Pencarian

Pusaka Langit 2

Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit Bagian 2


*** 5 "Siapa yang berani bertingkah di hadapan Tiga Setan Selatan"!"
Kali ini Atma Sungsang yang membentak. Tubuhnya segera berbalik, menghadap pintu
masuk. Kini terlihatlah seorang gadis berambut pendek berpakaian biru tua tengah
berdiri santai tepat di mulut pintu. Dan gadis itu memang Ratna Kumala.
Sementara itu para penghuni kamar lain ber-munculan di dekat pintu masing-masing
setelah mendengar jeritan tadi. Di antaranya, malah sudah menyiapkan senjata di
tangan. Mereka adalah beberapa tokoh persilatan yang selalu siaga terhadap
kekacauan. Namun belum ada satu pun yang hendak turun tangan.
"Ooo, Tiga Setan Kurapan?" ejek Ratna Kumala acuh tak acuh.
"Perempuan keparat! Rupanya dia minta di-cincang, Kang," dengus Jarjaran amat
geram. Meski mata ketiga lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Tiga Setan Selatan itu
menghujam lurus-lurus ke arahnya, namun Ratna Kumala tetap bersikap santai.
Malah dengan tenang kakinya melangkah ke dalam ruangan sambil menoleh ke sana
kemari, melihat-lihat keadaan penginapan. Seakan-akan tak dipedulikannya Tiga
Setan Selatan yang begitu muak melihat tingkahnya.
"Hm.... Para tamu terhormat. Para saudagar dan para pendekar. Penginapan ini
rupanya telah di-masuki tiga ekor kecoa mabok. Tapi, percayalah
padaku. Mereka tak akan senang ditonton seperti itu," celoteh Ratna Kumala.
Kebo Ireng berusaha menahan diri agar tak kalap menerima ejekan habis-habisan
dari Ratna Kumala.
Namun beda dengan Atma Sungsang. Seluruh wajah lelaki itu langsung matang.
Rahangnya bergemelutuk, memperlihatkan tarikan otot kegeraman. Dari hidung-nya
yang pesek terdengar dengusan napas sebagaimana banteng murka. Maka tanpa
meminta pertimbangan Kebo Ireng lagi, Atma Sungsang menerjang Ratna Kumala
dengan parang besar di tangan disertai makian yang menggelegar ke seluruh
ruangan. Kemarahannya yang memuncak membuat Atma
Sungsang ingin secepatnya menghabisi gadis itu, maka senjatanya langsung
diarahkan ke kepala wanita yang membuat ubun-ubunnya hendak
meledak ini. Wet "Heit!"
Ratna Kumala bertindak cepat dalam menghadapi sabetan parang yang bergerak
dahsyat. Tubuhnya langsung bersalto ke belakang. Namun, serangan Atma Sungsang
memang tak tanggung-tanggung.
Sebelum kaki gadis itu mendarat mantap di tanah, parangnya sudah diayunkan
kembali dalam kecepatan luar biasa.
"Heaaa!"
Wet! Wet! Mau tak mau, Ratna bersalto ke belakang kembali.
Bahkan sampai tubuhnya hampir mencapai pintu keluar, Atma Sungsang tetap memburu
bagai kerasukan.
Pada saat bersamaan, mendadak seseorang
masuk ke rumah penginapan ini. Begitu asyiknya dia memperhatikan sesuatu di
tangannya, sampai-sampai tak menyadari kalau tubuh Ratna Kumala berputar deras
ke arahnya. Dan....
Buk! "Adaow!"
Orang itu berteriak nyaring, begitu kaki Ratna Kumala mendepaknya tanpa sengaja.
Orang yang ternyata pemuda berpakaian hijau itu tak lain Andika alias Pendekar
Slebor. Kini pendekar ini telah kehilangan seluruh ingatannya akibat gangguan
pada otak besarnya, ketika mengalami cidera di dasar Danau Panca Warna.
Andika langsung tersuruk mendapat hantaman keras tadi. Kain bercorak catur yang
menjadi pusat perhatiannya tadi terlempar dari tangannya. Dan memang, kain itu
sampai saat ini masih menjadi bahan pemikirannya.
"Sialan! Tengik sekali kau, Ratna!" maki pemuda itu pada Ratna Kumala yang sudah
berdiri di sisinya.
Andika segera bangkit dengan wajah bersungut-sungut. "Kenapa kau bercanda
keterlaluan dengan lelaki bengkak itu, sih?"
Mendengar kicauan jengkel Andika, Ratna Kumala jadi tertawa geli. Matanya
melirik Atma Sungsang yang lantas mendelik mendengar ucapan Andika.
"Tadi kau meninggalkanku begitu saja. Setelah kutemui, malah menabrakku tanpa
permisi!" rutuk Andika.
"Hey, Pemuda Dungu!" hardik Atma Sungsang.
Atma Sungsang benar-benar jengkel disebut lelaki bengkak. Apalagi, dia memang
sedang diamuk kemarahan oleh ulah Ratna Kumala.
"Hah"! Apa?" tanya Andika, seraya mengangkat
wajah kebodoh-bodohan.
"Apa" Kau tadi menyebutku apa"!"
"Lelaki bengkak," sahut Andika, seperti tak merasa salah.
"Keppparaaat...!" desis Atma Sungsang. Hidungnya sudah kembang kempis karena
gusar. Di lain pihak, Andika malah sibuk mencari-cari kain bercorak caturnya. Matanya
jelalatan ke sana kemari, sampai akhirnya kain yang dicari ditemukan tengah
berada di bawah kaki Atma Sungsang.
"Na, itu dia!" seru pemuda itu tertahan.
Lalu Andika menghampiri kain itu tanpa mempedulikan Atma Sungsang. Padahal,
lelaki tinggi besar itu sudah ingin mengunyahnya hidup-hidup.
"Den Gemuk! Permisi, ya. Apa kakinya bisa diangkat?" kata Andika kalem.
Sementara tangannya sudah siap menarik kain bercorak catur di kaki Atma
Sungsang. "Babi! Rupanya, kau memang minta mampus!"
hardik Atma Sungsang. Tangannya pun terangkat tinggi-tinggi, untuk membenamkan
ujung parangnya ke punggung Andika yang sedang merunduk.
Wet! "Awas!" pekik Ratna Kumala, memperingati.
Teriakan Ratna Kumala begitu melengking nyaring, membuat telinga Andika bagai
ditusuk sebatang lidi.
Bukan itu saja. Pendekar muda yang sedang mengalami gangguan ingatan itu jadi
tersentak tak alang kepalang. Dan seketika kain bercorak catur yang sudah
dipegangnya ditarik mendadak. Akibatnya....
Bruk! Atma Sungsang kontan jatuh berdebam di lantai penginapan. Tubuhnya yang tambun
menciptakan getaran kecil pada tiang dan dinding kayu
penginapan. "Aduh.... Maaf ya, Den Gemuk. Aku tak sengaja,"
ucap Andika tergesa-gesa. Bibirnya meringis-ringis melihat Atma Sungsang jatuh.
Padahal yang merasakan sakit bukan dia.
"Babi! Babi! Babi!" maki Atma Sungsang gencar.
Segera laki-laki itu mencelat bangkit. Ke-kalapannya kini benar-benar membuatnya
nyaris edan. Dia berteriak sekuat-kuatnya, tatkala melabrak Andika kembali.
"Khuaaa...!"
Wet! Wet! Dua tebasan Atma Sungsang sekaligus hendak memotong lutut dan leher Andika.
Gerakannya benar-benar sudah membabi buta. Tak dipedulikan lagi, apakah lawannya
nanti bakal menjadi daging cincang atau perkedel.
"Mak! Mat..!"
Andika melompat tak karuan. Tangannya mendekap wajahnya sendiri, mirip anak
kecil yang hendak dipukuli ibunya,
Sebelumnya, Ratna Kumala sudah mengira riwayat Andika akan tamat di ujung parang
Atma Sungsang. Bagaimana perkiraan itu tidak muncul, kalau serangan Atma Sungsang demikian
cepat mengancam tubuh Andika. Padahal selama ini yang diketahuinya, Andika
hanyalah pemuda bodoh yang pikun! Kini, gadis itu boleh ternganga. Nyatanya,
pemuda yang dianggap bodoh itu mampu mementahkan tebasan Atma Sungsang dengan
gerakan cepat luar biasa. Meski terlihat tolol.
"Hiaaa!"
Wet! Deb! Serangan susulan Atma Sungsang yang berupa
tebasan-tebasan parang, disertai tendangan-tendangan dengan ganas ke beberapa
bagian tubuh Andika. Terkadang, menyapu gencar ke kepala.
Sesekali menotok. Malah tak jarang pula mencoba menghantam selangkangan. Namun
semua itu dengan mudah dihindari Andika. Sampai suatu saat, tubuhnya seperti
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Sementara itu, Ratna Kumala makin terpana.
Sungguh tak dikira kalau pemuda tolol itu akan melakukan gerakan mengagumkan"
Tak hanya Ratna Kumala terkagum-kagum melihat setiap kelitan Andika. Bahkan tamu
penginapan pun sampai berdecak-decak kagum Meski di antara mereka terdapat tokoh
berkepandaian cukup tinggi, tak urung mereka sampai terlongong bengong.
Di ruang tengah, pertarungan berjalan kian sengit.
Tapi sampai sejauh itu, Pendekar Slebor belum tampak hendak balas menyerang.
Sampai suatu saat, tubuhnya melenting gesit ke udara. Setelah beberapa kali
berputaran, kakinya menjejak ringan sejauh enam tombak di depan Atma Sungsang.
Di lain pihak, Atma Sungsang tampak tersengal-sengal kehabisan napas. Hampir
seluruh tenaga dalam, kecepatan, dan jurus-jurus dahsyat dikerah-kannya. Namun,
Pendekar Slebor tetap biasa-biasa saja.
Kini, Atma Sungsang menatap jalang pada Andika dengan napas senin-kemis.
Sedangkan Andika bergerak kian kemari, memperlihatkan kembangan jurus yang
terlihat ganjil. Setiap kali tubuhnya bergerak, bayangannya yang terlihat.
Gerakannya benar-benar bagai sambaran kilat. Tak ada yang indah dari jurus-
jurusnya. Tapi, mata para tokoh yang
sudah banyak makan asam garam akan segera tahu kalau gerakan itu merupakan
gerakan tangguh yang amat sulit ditembus. Itulah jurus ketiga puluh dari
rangkaian jurus 'Memapak Petir Membabi Buta'.
Entah bagaimana jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan masih melekat kuat
dalam otaknya. Padahal buat Andika sendiri, seperti asal gerak saja.
Bisa jadi setiap jurus ciptaannya sudah begitu menyatu dalam dirinya, sehingga
kelumpuhan ingatan yang dialami tak sedikit pun mempengaruhi jurus-jurusnya.
Melihat jurus-jurus Andika, Atma Sungsang jadi tercekat. Tak mungkin seorang
berkepandaian tanggung dapat melakukannya. Bahkan Kebo Ireng yang berkepadaian
lebih tinggi dari dirinya pun, tidak bakalan mampu.
Dan tiba-tiba saja, Atma Sungsang menyadari kalau dirinya tengah berhadapan
dengan tokoh kelas atas dunia persilatan. Padahal, dirinya sendiri" Hanya
bajingan tengik yang masih perlu mencari guru!
Tanpa disadari, kaki Atma Sungsang tersurut dua langkah. Pada saat itu pula dia
ingat desas-desus tentang seorang pendekar kalangan atas yang mampu melakukan
gerakan secepat kerjapan kilat.
"Pendekar Slebor...," desah Atma Sungsang cukup keras bersama wajahnya yang
memucat. Tak lama kemudian, Atma Sungsang berbalik, lantas mengambil langkah seribu. Dia
berlarian menuju jendela besar penginapan. Dan langsung diterjangnya jendela
agar bisa cepat tiba di luar.
Sementara, Kebo Ireng dan Jarjaran telah menyusut di sudut meja penerimaan tamu
yang sudah berlubang pada bagian tengahnya. Sama seperti Atma Sungsang, mereka
pun teringat pada
kebesaran nama Pendekar Slebor. Mendengar nama besar itu, nyali mereka langsung
menciut. "Loh"! Den Gemuk tadi ke mana?" tanya Andika dengan wajah bingung ketika
gerakannya berhenti perlahan-lahan.
Pendekar Slebor jadi celingukan ke sana kemari, mencari-cari lawannya tadi.
"Wah, Den Gemuk.... Rupanya dia lupa kalau pintu keluar ada di belakang sana,"
gumam Andika saat matanya menemukan jendela besar di sudut timur porak poranda.
"Pemuda tak tahu diri! Jadi selama ini kau hanya mau mempermainkan aku, ya"!"
Tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita di belakang Pendekar Slebor.
Andika cepat menoleh. Rupanya, Ratna Kumala sedang menghampirinya dengan wajah
garang. Tangan lentiknya bahkan menuding-nuding kasar.
"Ada apa, Ratna?" tanya Andika heran.
Pemuda itu bingung, tahu-tahu wanita jelita yang dikenalnya beberapa hari ini
membentak-bentak tak karuan.
"Kenapa" Jangan berpura-pura lagi padaku! Apa kau pikir telingaku tuli" Aku
dengar ucapan lelaki bajingan tadi!" dengus Ratna Kumala.
"Ucapan apa?"
"Apa?" mata Ratna Kumala mendelik sejadi-jadinya. "Lelaki tadi mengatakan kalau
kau adalah Pendekar Slebor, yang sakti dan suka menipu wanita!"
"Siapa Pendekar Slebor?" tanya Andika lagi, benar-benar menjengkelkan Ratna
Kumala. "Siapa" Ya, kau! Kau telah berpura-pura tolol untuk mempermainkan aku. Kau
mencoba mem- perolok-olok aku, heh. Kau... penipu!"
Andika melongo. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Mulai sekarang, jangan pernah dekati aku lagi.
Anggap saja aku tak pernah menolongmu. Dan, aku tak pernah kenal padamu! Apa
dikira aku akan memelas padamu agar aku tetap dekat padamu"!
O.... Terima kasih, Pendekar Muda...," cecar Ratna Kumala lagi.
Andika makin melongo seperti sapi ompong.
"Ratna, tunggu!" tahan Andika ketika Ratna Kumala berbalik pergi.
Langkah gadis itu terbanting-banting keras di lantai penginapan. Tampaknya
hatinya begitu kesal dengan pemuda ganteng di belakangnya.
"Ratna!"
Terdengar panggilan sekali lagi. Tapi, kali ini bukan berasal dari mulut Andika.
*** 6 "Tak patut kau bersikap seperti itu pada pendekar terhormat seperti dia!"
Terdengar kembali suara lelaki dari arah tangga.
Suaranya terdengar berwibawa. Dan dari nadanya, terkesan kalau lelaki itu kenal
baik pada Ratna.
Sesaat Ratna terdiam di tempat. Kemudian tubuhnya berbalik. Wajahnya tampak
terlihat jengkel ber-campur gembira.
"O, jadi kau menginap di tempat ini rupanya, Kakang Rudapaksa?" ucap gadis itu
seraya memandang lelaki di tangga penginapan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Ratna! Kau harus minta maaf pada Pendekar
Slebor," ujar lelaki berjubah biru tua bernada memerintah. Wajahnya yang tampan
menawan, dihiasi sebaris kumis tipis memperlihatkan kesungguhan. Dan dia memang
Rudapaksa. "Mana Kakang Rudapaksi?" tanya Ratna Kumala, mencoba mengalihkan pembicaraan
lagi. Ratna Kumala dan Rudapaksa memang satu
perguruan. Begitu juga Rudapaksi. Mereka adalah murid-murid terbaik Ki Kenaka,
guru besar Perguruan Topan Utara.
"Rupanya kau tak mendengarku, ya" Kuperingatkan, kau harus minta maaf pada
pendekar itu!"
hardik Rudapaksa.
Dihardik seperti itu, wajah Ratna Kumala jadi memerah. Perlakuan kakak
seperguruannya sama sekali tidak membuatnya untuk segera meminta maaf
pada Andika. Malah hatinya bertambah kesal. Sambil menggerutu, tubuhnya berbalik
kembali ke arah pintu.
"Biar namanya selebar jagad sekalipun, aku tak sudi meminta maaf padanya!"
dengus gadis itu seraya melangkah pergi.
"Ratna!"
Rudapaksa berusaha menahannya. Tapi, Ratna Kumala sudah menghilang di sisi pintu
keluar. Dan ini membuat Rudapaksa menggeleng-geleng kepala.
"Dasar anak keras kepala," rutuk pemuda itu perlahan.
Rudapaksa lalu berbalik menghadap Pendekar Slebor. Dihampirinya pendekar muda
yang sudah kondang namanya ini.
"Maafkan adik seperguruanku itu, Tuan
Pendekar," ucap pemuda itu.
Sementara pendekar muda yang ditegur masih berdiri terpaku menatap pintu keluar,
tempat Ratna Kumala menghilang.
"Tuan Pendekar," sapa Rudapaksa sekali lagi.
"Eh, apa" Tuan berbicara denganku?" tanya Andika, setelah tersadar dari
keterpakuannya.
"Ya," jawab Rudapaksa seraya tersenyum. "Maafkan adik seperguruanku tadi."
"Tak apa-apa," jawab Andika singkat, kemudian berbalik. Sebentar saja dia sudah


Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan penginapan untuk menyusul Ratna Kumala.
*** Malam turun merambah di Desa Ambangan. Bulan sabit tampak mengambang hening di
angkasa berawan tipis. Satwa malam mulai memperdengarkan
senandungnya di sela-sela kegelapan.
Di atas sebatang pohon meranti yang tumbang di pinggir jalan setapak, Ratna
Kumala membisu.
Matanya memandang lurus pada kepingan rembulan pucat di atas sana. Pikirannya
sendiri mengembara pada kejadian beberapa hari lalu, saat menolong Andika di
Danau Panca Warna.
Sewaktu tubuh pemuda tampan itu diangkat dari dinginnya air danau, entah kenapa
Ratna Kumala menatapnya lama-lama. Ada semacam keter-pesonaan yang sulit
dijabarkan kata-kata, ketika mendapati gurat-gurat ketampanan wajah Andika.
Garis dan lekuk wajah itu membuat hatinya bergetar halus.
Dia sendiri tak mengerti, perasaan macam apa itu.
Dan ketika hari-hari dilalui bersama pemuda itu, perasaan yang menyeruak saat
pertama kalinya menatap tidak juga pupus. Hari memang terus berlalu. Tapi,
getaran itu malah kian menguat men-cengkeram rongga batin Ratna Kumala.
"Kenapa dengan diriku ini?" desah batin gadis itu.
Baru pertama kali ini dia menemukan gejolak aneh saat bertemu seorang pemuda.
Apakah ini cinta buta" Atau sekadar kekaguman" Tanpa disadari, kepalanya
menggeleng-geleng perlahan-lahan. Dia tidak bisa mengatakan kalau itu hanya
sekadar rasa kagum.
Kalau hanya kagum, kenapa Ratna Kumala harus merasa kecewa tatkala dibohongi
Andika" Apakah ini pertanda kekhawatirannya jika harus kehilangan, setelah
diketahui kalau pemuda itu adalah Pendekar Slebor" Apalagi, seorang pendekar
adalah milik semua orang lemah, bukan milik dirinya.
"Apa mungkin aku telah jatuh hati padamu, sementara namamu pun belum sempat
kuketahui?"
bisik Ratna Kumala perlahan.
"Ratna...."
Lamunan Ratna Kumala buyar seketika, begitu terdengar suara halus di
belakangnya. Cepat kepalanya menoleh ke asal suara tadi. Ternyata Andika sudah
berdiri di sana dengan mata lekat menatapnya. Seketika wajah Ratna Kumala
bersemu. Tanpa diduga pemuda yang sedang mengisi benaknya tiba-tiba berada di
belakangnya. "Kenapa kau dekati aku lagi" Bukankah sudah kukatakan, jangan coba...."
"Ratna...," sela Andika. "Kalau kau marah karena kesalahanku, maafkanlah. Tapi
bisakah kau jelaskan padaku, apa salahku?"
Ratna Kumala tak menyahut, tapi diam dalam seribu bahasa.
"Apa kau tak merasa telah mempermainkanku?"
tanya Ratna Kumala akhirnya, setelah cukup lama berdiam diri.
"Mempermainkanmu bagaimana?" tanya Andika tak mengerti.
"Kau tak pernah mengatakan padaku kalau dirimu adalalah Pendekar Slebor," sahut
Ratna Kumala tanpa menoleh.
Kali ini Andika yang membisu. Matanya menancap lurus ke rerumputan berembun.
"Aku sendiri tak tahu, apakah aku adalah orang yang kau sebutkan tadi," balas
Andika, nyaris men-desah.
"Kau mulai berpura-pura lagi padaku," ujar Ratna Kumala kesal.
Andika menarik napas dalam-dalam.
"Ratna pandangah aku," pinta Andika penuh harap.
Ratna Kumala tak mempedulikan.
"Ratna...," ulang Andika sambil menatap punggung Ratna Kumala.
Pemuda itu melangkah dan langsung memegang bahu gadis muda yang berusia sebaya
dengannya. Lalu, perlahan diputarnya tubuh Ratna Kumala agar menghadap dirinya.
"Lihallah aku. Rat. Tatap mataku. Apakah aku terlihat berpura-pura padamu?"
sangkal Andika lembut. Matanya terarah tepat di manik mata indah gadis berambut
pendek di depannya
Sementara, Ratna Kumala sledikit pun tak sanggup membalas tatapan Iembut itu.
Entah kenapa, wajahnya kini terasa hangat. Itu sebabnya, wajahnya tak mau
diperlihatkan. Dia khawatir perubahan wajahnya diketahui Andika.
Sesaat kemudian Andika melepas pegangannya pada bahu Ratna Kumala, lalu
berbalik. Kini, dihadapinya temaram cahaya rembulan yang menyapu wajah
jantannya. "Percayalah padaku, Rat. Aku tak pernah bermaksud membohongimu. Apalagi,
mempermainkanmu. Ingatanku benar-benar lenyap begitu saja. Aku tak tahu, kenapa
tiba-tiba berada di gubuk tepi danau itu. Dan aku juga tak tahu, kalau kau
menyelamatkan-ku. Kini bahkan aku tidak tahu siapa diriku, dan siapa namaku,"
tutur Andika di sela-sela desau angin yang bertiup dan suara jangkrik.
Keduanya kini terdiam. Mereka berdiri saling membelakangi, sibuk dengan isi
benak masing-masing.
Entah, apa yang saat ini tengah mereka pikirkan.
Hanya mereka yang tahu.
Sekian lama sunyi....
"Maafkan aku.... Aku telah menuduhmu yang tidak-tidak," akhirnya Ratna Kumala
membuka suara, walau hampir berbisik dengan kepala tertunduk.
"Aku bisa maklum. Kesalahan memang bagian dari diri kita."
Ratna Kumala tergugu. Segera direnunginya kata-kata bijak dari hati arif seorang
pemuda tampan di dekatnya.
*** Hari bergulir tanpa kenal letih. Dan waktu jualah yang mengakrabkan Ratna Kumala
dan Andika. Nama Andika yang masih belum diketahui Ratna Kumala, kini sudah
tidak menjadi persoalan. Dan Andika sendiri bersedia dipanggil apa saja oleh
Ratna Kumala, berhubung dia sendiri lupa pada namanya.
Akhirnya, Ratna Kumala memutuskan untuk
memanggil dengan sebutan Slebor.
Hari-hari dilalui Andika di gubuk, di tepi Danau Panca Warna. Di sini, dia
mencoba mengembalikan semua ingatannya. Meski tetap sulit. Tapi terus berusaha.
Di samping karena sifat kepala batu yang membuatnya tak mudah menyerah, juga
karena Ratna Kumala pun terus mendorong semangatnya.
Di kala senggang, Ratna Kumala bercerita kalau dirinya adalah adik seperguruan
Rudapaksa dan Rudapaksi. Beberapa bulan lalu, guru mereka memberi tugas penting
pada kedua kakak seperguruannya. Ratna Kumala yang tak dipilih untuk menjalankan
tugas, tentu saja menjadi iri. Apalagi dia pun salah satu murid terbaik Ki
Kenaka, Ketua Perguruan Topan Utara. Menurutnya, gurunya pilih kasih pada murid
lelaki. Lalu karena kesal, diputuskan untuk
pergi dari perguruan tanpa pamit pada Ki Kenaka.
Tujuannya tentu saja hendak ikut menjalankan tugas bersama Rudapaksa dan
Rudapaksi. Tapi hingga sejauh itu, kedua kakak seperguruannya malah menyuruhnya
pulang ke perguruan.
"Itu sebabnya aku pergi ke tepi danau ini, untuk melepas kejengkelanku pada
malam kau terapung,"
jelas Ratna Kumala, mengakhiri ceritanya.
Tapi baru saja Ratna Kumala bercerita.....
"Aaa...!"
Tiba-tiba teriakan menyayat hati terdengar. Andika terkesiap. Sama halnya Ratna Kumala.
Seketika mereka saling bertatapan, seakan tidak mempercayai apa yang didengar
barusan. Dan belum lagi keduanya memutuskan untuk melihat apa yang terjadi,
sudah terdengar lagi satu teriakan membahana.
"Huaaa!"
Kali ini mereka tak menunggu lebih lama. Andika segera menggenjot tubuhnya.
Langsung melesat bagaikan kilat menuju arah datangnya suara. Sedangkan Ratna
Kumala menyusul di belakangnya. Meski agak jauh tertinggal karena ilmu lari
cepat Andika jauh di atasnya, Ratna Kumala berusaha untuk terus mengikuti.
Tak lama, Andika sudah menghentikan larinya, dan langsung berdiri mematung
sambil menatap sesuatu di tanah.
"Apa yang terjadi, Slebor?" tanya Ratna Kumala setelah kakinya menjejak di
belakang Andika.
Andika tak segera menjawab, karena tahu Ratna Kumala akan segera menyaksikan apa
yang dilihatnya.
Di tanah berumput yang tak jauh dari danau, tampak tergeletak bermandikan darah
dua mayat yang amat dikenal Ratna Kumala. Masing-masing di kening mayat itu terdapat
lubang sebesar ibu jari.
Sedangkan di tubuh dan pakaian terdapat sayatan kasar.
"Kakang Rudapaksa.... Kakang Rudapaksi," desis Ratna Kumala.
Nyaris gadis itu menjerit, saat mengenali kedua mayat yang terbujur kaku di
depannya. Kejengkelan terhadap kedua kakak seperguruannya memang timbul
belakangan ini. Namun tak urung perasaannya seperti tercabik-cabik mendapati
kenyataan itu. Biar bagaimanapun, mereka tetap kakak seperguruan yang
dicintainya. "Bedebah keji! Siapa yang telah melakukan ini"!"
dengus gadis itu dengan mata mencari-cari jalang. Di bawah kelopak matanya yang
berbulu lentik tampak menggenang segaris air mata.
Dengan lembut Andika memegang kedua pangkal lengan Ratna Kumala. Lalu,
dibangunkannya gadis itu dari bersimpuhnya.
"Aku turut menyesal atas kejadian ini, Rat," ucap pemuda itu perlahan
Tatkala Ratna kumala membenamkan wajah di dada bidang Andika untuk melepas
kesedihannya, tiba-tiba saja....
"Serbuuu!"
Bagai aliran air bah, diiringi teriakan menggelegar sepasukan berseragam merah
mendadak menyerbu Andika dan Ratna Kumala. Pasukan yang berjumlah puluhan orang
itu mengenakan penutup kepala merah berlipat ke belakang. Di bagian lengan baju
mereka yang memanjang hingga ke lutut, terdapat tulisan Tiongkok berbentuk
elang. Celana mereka yang juga berwarna merah, tertutup sepatu panjang
di bagian betis.
Entah, bagaimana cara mereka bersembunyi di dalam semak dan pepohonan. Sampai-
sampai pen-dengaran Andika yang terlatih, tidak bisa menangkap desah napas
mereka sedikit pun. Dari cara melompat, Andika tahu kalau mereka adalah
pendekar-pendekar Tiongkok berkepandaian tinggi.
"Pasukan Tiongkok dari mana ini"!" tanya Ratna Kumala garang.
Benak gadis itu langsung bisa menduga kalau para pengepungnya adalah yang
menghabisi nyawa dua saudara seperguruannya.
"Sudah pasti dari negeri Tiongkok," sahut Andika setengah berkelakar. Namun
demikian, matanya tetap bergerak waspada. "Yang pasti pula, mereka berniat
merencah kita berdua."
Ucapan Andika barusan sepertinya tidak meleset.
Setelah memutari Andika dan Ratna Kumala beberapa lama, puluhan lelaki bermata
sipit itu berhamburan dalam terjangan dahsyat.
"Hiaaa!"
Mulut Andika seketika berteriak menggelegar.
Berbareng dengan itu, tubuhnya cepat melenting ke udara sambil menyambar
pinggang Ratna Kumala.
Tapi lompatan Pendekar Slebor tidak dibiarkan pasukan dari Tiongkok itu. Dengan
sigap, para penyerbu bersenjatakan tombak itu mengangkat senjata ke atas. Lalu
dengan serentak tombak itu ditusukkan ke tubuh Andika dan Ratna Kumala yang
melayang di udara.
Andika tentu saja tak membiarkan tubuhnya dicabik-cabik puluhan tombak. Maka
tanpa sempat tertangkap mata pasukan itu, tangan kirinya yang masih bebas
menyambar kain bercorak catur dari
pundak dan langsung dikebutkannya.
Bet! Bet! Trak! Trak! Puluhan tombak setajam taring-taring serigala seketika tersambar Kain Pusaka
Pendekar Slebor, hingga berbenturan satu dengan yang lain. Sebagian malah ada
yang tersasar ke tubuh kawan mereka sendiri. Tapi karena pasukan dari Tiongkok
ini memiliki kepandaian tinggi, maka tombak yang tersasar itu dapat segera
dikuasai dengan baik.
Sementara Pendekar Slebor langsung melenting tinggi-tinggi, sambil berputaran di
udara. "Sial!" maki Andika, begitu hinggap di sebuah batang pohon besar. "Mereka
rupanya tidak sudi mengongkosi kawan sendiri ke neraka."
Belum sempat Andika bernapas lega, empat orang Tiongkok ini serempak menyusul ke
dahan pohon. Setelah berputar di udara beberapa kali, dua orang menjejakkan kaki disisi
Andika dan Ratna Kumala.
Sedangkan, dua orang lain hinggap di dahan yang berhadapan.
"Haiii!"
Seorang di sisi kiri Andika mengayunkan pangkal tombak ke kepala Andika dengan
tenaga dalam tinggi. Sehingga, tombaknya menciptakan angin yang menderu kencang.
Wesss! "Hih!"
Tanpa menemui kesulitan, Pendekar Slebor melecutkan kain pusaka di tangan
kirinya. Cletar!
Krak! Pangkal tombak lawan langsung terpatah dua.
Sementara itu, Ratna Kumala yang berada dalam rangkulan Andika harus menghadapi
lawan di sisinya.
Gadis yang memiliki sifat keras kepala ini ternyata cukup mampu mengimbangi
setiap serangan.
Kini dua orang lawan di depan tak mau tinggal diam. Mereka segera memutar tombak
masing-masing, bersiap memperkuat serangan.
"Hih!"
Salah seorang menghentikan putaran tombak secara mendadak. Lalu tiba-tiba
tombaknya ditusukkan ke dada Pendekar Slebor dengan tenaga penuh.
Menurut perkiraannya, dia akan segera menamatkan pendekar muda itu di ujung
senjatanya. Tapi, dugaan-nya meleset sama sekali. Justru dari sini Pendekar
Slebor bisa melihat kesempatan bagus.
"Bhaaa!"
Dengan satu gerakan tak terduga, Andika melesat ke arah salah seorang lawan yang
kehilangan tombak, dan sedang melepaskan pukulan. Secepat kilat, ditariknya
tangan orang itu ke arahnya.
Sehingga.... Jep! "Aaa!"
Tombak lawan di depan yang tertuju pada Andika, kontan menembus pinggang orang
yang tangannya ditarik untuk dijadikan tameng.
"Wah! Tega nian kau membunuh kawan sendiri,"
seloroh Pendekar Slebor. "Lain kali, lebih baik meminta izin dulu pada kawanmu
itu." Andika langsung menggejot tubuhnya, hingga melayang kembali di udara bersama
Ratna Kumala dalam rangkulannya. Kedua tubuh itu menyeruak daun pepohonan,
hingga merontokkan yang kering.
Pada pucuk satu pohon, Pendekar Slebor menjejak. Kemudian tubuhnya digenjot
kembali. Tubuhnya melesat dari satu pucuk ke pucuk pohon lain
dengan kecepatan angin. Sampai akhirnya, pasukan dari Tiongkok itu hanya bisa
menggerutu kesal ketika tubuh mereka lenyap.
*** 7 Dua hari setelah terbunuhnya Rudapaksa dan Rudapaksi, Danau Panca Warna
didatangi ratusan tokoh persilatan dari seluruh penjuru baik secara perorangan,
maupun perkelompok.
Sedikit demi sedikit, mereka telah berkumpul di sekitar Danau Panca Warna
membentuk lingkaran yang kian membesar. Entah siapa yang memberi petunjuk, yang
jelas mereka berkumpul serempak setelah memastikan tentang benda pusaka di dasar
Danau Panca Warna dari penduduk desa tempat mereka menginap.
Dalam beragam pakaian dan senjata, seluruh tokoh itu menatap tegang ke permukaan
air danau. Sesekali mata mereka melirik waspada satu dengan yang lain. Sikap curiga seperti
itu terutama diperlihatkan orang-orang pada barisan terdepan. Mereka umumnya
adalah tokoh-tokoh golongan sesat yang begitu berhasrat untuk menguasai benda
pusaka di dasar Danau Panca Warna ini.
Sementara, para pendekar aliran putih lebih suka mengambil tempat yang agak jauh
dari tepi danau.
Tujuan mereka memang bukan hendak menguasai-nya, tapi hendak menyelamatkan.
Mereka takut, pusaka yang hendak diperebutkan itu bakal jatuh ke tangan para
durjana. Di beberapa tempat lain yang terbilang jauh dari danau, beberapa orang tampak


Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerumun untuk menyaksikan peristiwa hebat yang tampaknya akan segera meletus.
Dari sekian banyak tokoh, beberapa orang tampak menonjol. Di antaranya adalah
lelaki berpenampilan menggetarkan hati. Tubuhnya yang gempal dan tinggi ditutup
pakaian padri berwarna putih. Pakaiannya pun masih digabung kain hitam bertotol
putih berbentuk jubah yang menutupi dari bahu kiri ke pinggang kanan. Orang
persilatan mengenalnya sebagai si Padri Sesat. Padahal, nama aslinya adalah
Kudungga. Sebagaimana seorang padri, kepala Kudungga gundul dengan beberapa titik hitam di
ubun-ubunnya. Kesan menyeramkan tergambar di wajah yang ditumbuhi brewok lebat dan kasar.
Sedangkan matanya yang bulat tajam, dihiasi alis hitam tebal. Dia tak tampak
membawa senjata, kecuali tasbih berbiji sebesar buah duku di tangan kanannya
yang kekar berbulu.
Sementara di sebelah timur danau, tampak lelaki tua berwajah culas. Kumis dan
janggut putihnya tergerai tipis, hingga ke dadanya yang cekung.
Rambutnya juga sudah berwarna putih. Tanpa alis, matanya terlihat tajam. Dia
mengenakan celana pangsi hitam. Dadanya yang kurus tak ditutupi apa-apa.
Bibir lelaki tua itu terus menyeringai kejam.
Sementara, kedua tangannya menepuk-nepuk kecapi kayu. Orang persilatan
mengenalnya sebagai Dedengkot Iblis. Sedangkan nama aslinya sendiri tak pernah
diketahui. Di sebelah selatan danau, berdiri mematung seorang lelaki berpenampilan perlente
yang dikenal bernama Lodaya Burang. Namun dia lebih dikenal sebagai Kumbang
Bengis Dari Timur. Sesuai namanya, dia memang gemar memetik 'bunga' desa
yang tak berdosa. Sifatnya kejam. Itu terlihat dari wajahnya yang begitu dingin.
Rambutnya tersisir rapi dan berminyak. Wajahnya masih terlihat tampan, meski
telah disemaraki kerutan. Lelaki gagah itu berpakaian seorang bangsawan dengan
kancing dan berantai emas. Celana panjang hitamnya ditutupi kain batik sebatas
lutut. Ketiga lelaki itu memang tokoh kelas atas golongan sesat yang amat ditakuti di
tanah Jawa Dwipa.
Sementara, jauh di lereng bukit yang memagari danau, Andika dan Ratna Kumala
sedang memperhatikan seluruh tokoh persilatan itu. Keduanya bersembunyi di balik
sebongkah batu sebesar kerbau.
"Aku tak mengerti, kenapa mereka berkumpul seperti orang yang hendak nonton
pertujukan ludruk?" tanya Andika. Ingatannya yang hilang membuatnya melupakan
benda pusaka di dasar danau yang menyebabkan dirinya sampai menjadi pikun
seperti sekarang ini.
"Apa kau belum mendengar berita santer itu?"
tanya Ratna Kumala agak heran karena tokoh kelas satu seperti Andika bisa luput
dari desas-desus tersebut.
"Aku tak tahu," jawab Andika sambil melirik Ratna.
"O, iya," sergah Ratna Kumala cepat-cepat.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Aku lupa kalau kau kehilangan ingatan."
"Kehilangan ingatan" Apa kau menganggapku gila" Sinting" Sableng?" cecar Andika,
tak senang mendengar ucapan Ratna Kumala.
"Ei, ei! Tentu saja kau tidak gila. Maksudku, kau mengalami...."
"Ya! Aku sudah tahu," potong Andika bersungut-
sungut. Melihat tingkah pemuda di sisinya barusan, Ratna Kumala jadi tersenyum-senyum
kecil. "Kenapa?" tanya Andika. Matanya membesar pada Ratna Kumala.
"Sebenarnya sulit mengatakan kalau kau tidak sinting. Sebab, tingkahmu lebih
ngaco dibandingkan orang sinting."
Usai berkata begitu. Ratna Kumala tertawa tertahan. Tangannya lantas menutup
bibirnya yang merah ranum.
"Sialan!" maki Andika.
Ratna Kumala terus tertawa.
"Sudah... sudah! Kau ingin meledekku terus, atau ingin menceritakan kenapa
mereka berkumpul di danau itu"!" sergah Andika.
"Baik..., baik," ucap Ratna Kumala sambil menghentikan tawa. "Apa kau masih
ingat ketika kita singgah di Desa Ambangan untuk mencari makanan mentah?"
"Tentu saja ingat. Kau pikir, aku pikun?" selak Andika cepat.
Setelah itu, Andika jadi tersenyum-senyum malu setelah sadar kalau dirinya saat
ini memang pikun minta ampun.
Setelah tersenyum sejenak, Ratna Kumala
meneruskan ucapan.
"Waktu itu, aku dengar dari percakapan orang di kedai kalau di dasar Danau Panca
Warna ada benda sakti yang jatuh dari langit. Mereka menyebutnya Pusaka
Langit...."
"Benda sakti" Pusaka Langit?" bisik Andika, tanpa maksud bertanya.
Samar-samar benak Andika dilintasi bayangan
kejadian yang dialami di dasar Danau Panca Warna beberapa waktu lalu. Tentang
pasir danau, tentang cahaya merah bara menyilaukan, dan tentang pusaran air.
Setelah itu, semuanya seperti sirna kembali dari kepalanya.
"Andika!" sapa Ratna Kumala perlahan.
Andika tersadar. Kepalanya lantas menoleh pada Ratna Kumala.
"Siapa Andika?" tanya pemuda itu bodoh.
Ratna Kumala tersenyum kembali. Kali ini tersimpan sesuatu yang sulit
dijelaskan. Dan senyumnya pun menyimpan makna khusus.
"Ya, kau...," jawab Ratna Kumala agak tersipu, ketika mata elang Andika
memergoki pandangan hangatnya.
"Aku" Jadi, namaku Andika" Dari mana kau tahu?"
tanya Andika heran.
"Aku..., aku, akh! Apa itu penting?"
"Terserahmu. Apa kau anggap itu penting?" Andika malah balik bertanya.
"Ng..., aku ke Desa Ambangan kemarin. Di sana, kucoba mengorek keterangan
tentang dirimu. Termasuk, namamu dari beberapa orang persilatan...."
"Apa"! Hanya untuk itu kau singgah ke sana"! Apa kau sinting" Mestinya kau tahu,
itu akan membahayakan dirimu. Karena, pembunuh kakak seperguruanmu tentu berniat
menghabisimu pula!" kata Andika panjang lebar.
Wajah Ratna Kumala dalam sekejap berubah memerah. Matanya pun berkilat-kilat
kesal. "Kau memang tak tahu berterima kasih. Belum lagi berterima kasih karena telah
kuselamatkan, kini malah membentak-bentakku karena telah berusaha menolongmu,
agar kau ingat pada dirimu sendiri,"
sungut Ratna Kumala seraya membuang wajah kesisi lain.
"Baik! Terima kasih.... Terima kasih banyak!
Cukup" Tapi, tetap saja aku tak setuju dengan tindakanmu ke desa itu! Toh, aku
akan ingat kembali pada namaku suatu saat. Aku yakin itu!" ucap Andika.
"Tapi, aku tak suka memanggilmu dengan sebutan Slebor!" bentak Ratna Kumala di
depan hidung Andika.
"Kenapa"! Aku sendiri tak punya masalah. Lantas kenapa tiba-tiba kau yang mesti
tak suka" Kenapa, Ratna?" desak Andika.
Ratna Kumala mati kutu. Kenapa" Tentu saja gadis itu tak sudi memanggil orang
yang telah menawan hatinya dengan sebutan dungu seperti itu.
Tapi alasan itu tentu saja tak dikatakannya, dan hanya disembunyikan di sudut
hatinya yang terdalam.
"Ah, sudahlah," tukas Andika. "Kenapa aku harus meributkan soal itu. Toh kau
masih sehat walafiat..."
Ratna Kumala langsung lega, karena Andika tidak mendesaknya. Meskipun hatinya
masih agak jengkel.
*** Sementara jauh di bawah sana, para pendatang tampak sudah memulai acara dahsyat
yang akan segera terjadi.
"Hari ini kita berkumpul," kata Lodaya Burang, membuka keheningan. "Dan kita
semua tahu, benda sakti yang bersemayam di dasar danau inilah yang mengundang
kita semua untuk memilikinya. Tapi, tak mungkin semuanya bisa memilikinya. Yang
jelas, harus ada satu orang yang benar-benar menjadi pemilik tunggal Pusaka
Langit! Dan orang itu harus
benar-benar pantas memilikinya! Untuk itu, kita harus melakukan pertandingan,
agar dapat mengambil Pusaka Langit. Siapa yang paling unggul, dialah yang berhak
menyelam ke dasar Danau Panca Warna."
Semua orang yang mendengar suara Lodaya
Burang termanggut-manggut. Entah menyetujui usul itu, atau tidak. Yang jelas,
bagi mereka yang berkepandaian rendah, perlahan-lahan mundur ke belakang, lalu
hilang entah ke mana.
"Jika ada yang ingin memulai, kupersilakan menghadapiku. Dengan satu syarat,
kita bertaruh nyawa!"
tantang Lodaya Burang.
Tampaknya, laki-laki perlente itu benar-benar bernafsu memiliki Pusaka Langit,
sehingga lebih dahulu mengajukan tanding.
"Ha ha ha..., Kumbang Perlente! Mana ada yang berani menyambut tantanganmu,
kecuali aku!" tiba-tiba Dedengkot Iblis menyelak disertai tenaga dalam.
Sehingga, permukaan air danau terlihat beriak.
"Ooo! Rupanya kau, Tua Bangka. Apa tidak sebaiknya kau memikirkan dirimu yang
sudah dekat liang kubur, daripada ikut memperebutkan Pusaka Langit?" ejek Lodaya
Burang dengan wajah dingin.
Sebagai tokoh yang sudah bulukan dalam dunia persilatan, Dedengkot Iblis tak
terpancing ejekan Lodaya Burang barusan. Dia amat tahu siasat tokoh macam Lodaya
Burang yang ingin memancing kemarahannya, agar bertarung tanpa kendali.
"Ah! Jangan terlalu banyak basa-basi, Kumbang Bengis dari Timur. Apa kau tak
berani menghadapiku, sehingga menyarankan agar aku mundur?" tukas Dedengkot
Iblis, balik mengejek.
Lodaya Burang jadi termakan ucapannya sendiri.
Lelaki perlente itu malah terpancing ucapan
Dedengkot Iblis. Wajahnya seketika terbakar berang.
"Hhh, Bajingan Tua! Mari kita buktikan saja!"
bentak laki-laki perlente itu seraya melompat tinggi ke dataran kosong.
Seketika itu pula Dedengkot Iblis menyusul.
Dan tanpa ingin menunggu lebih lama, Kumbang Bengis melancarkan serangan
pembuka. "Khiaaa!"
Tapak Maut yang di kalangan persilatan begitu terkenal kejam dari Kumbang
Bengis, menerabas deras ke dada Dedengkot Iblis. Angin pukulannya seketika
menimbulkan suara menderu-deru.
Deb! Wut! Wut! Deb!
Tentu saja Dedengkot Iblis tak mau terhantam begitu saja. Tubuhnya langsung
melengos ke kiri dan kanan, bagai gerakan seekor cengcorang. Kemudian, kecapi di
kedua tangannya diangkat dengan gerakan menebas ke atas.
Dreng! Bunyi getaran senar kecapi milik laki-laki tua itu terdengar melengking ketika
berbenturan dengan tangan Kumbang Bengis. Tenaga dalam tingkat tinggi yang
disalurkan pada masing-masing tangan mereka, membuat lengkingan tali senar
kecapi Dedengkot Iblis mampu memecahkan gendang telinga orang yang berilmu
cekak. Terbukti, beberapa orang yang berada di sekitar arena pertarungan
berjatuhan sambil mendekap telinga masing-masing.
Kini Dedengkot Iblis balas menyerang. Kecapinya diayunkan ke samping, terarah
pada rusuk sebelah kiri Kumbang Bengis. Namun laki-laki perlente itu mengetahui
ancaman yang datang ke arahnya.
Segera kakinya diangkat berbarengan dengan gerakan tubuhnya ke belakang.
Dreng! Sekali lagi, bunyi melengking terdengar ketika lutut Kumbang bengis bertumbukan
dengan sisi kecapi Dedengkot Iblis.
"Hiaaat!"
Berbareng satu teriakan garang, tubuh Dedengkot Iblis langsung berputar cepat.
Kaki kanannya terbentang tinggi, bermaksud memecahkan kepala Kumbang Bengis
dengan satu sapuan dahsyat.
Namun, mata jeli Kumbang Bengis masih mampu menangkap gerakan kilat Dedengkot
Iblis. Segera dia menjatuhkan diri ke tanah berumput searah dengan sapuan kaki
Dedengkot Iblis. Setelah itu tubuhnya bergulingan, tangannya menghentak tanah
untuk kemudian bergegas bangkit.
Kumbang Bengis menjejakkan kakinya, sepuluh tombak di depan Dedengkot Iblis. Tak
ada sekerdip mata setelah menyentuh tanah, dia sudah mempersiapkan kuda-kuda
kembali. "Jurus-jurusmu rupanya masih cukup bagus, meski semakin peot, Tua Bangka!" ledek
Lodaya Burang bersama tatapan matanya yang dingin.
"Tak perlu banyak memuji, Mata Keranjang!
Karena, hanya aku yang pantas mendapat Pusaka Langit!" balas Dedengkot Iblis.
Selesai berkata demikian, lelaki tua sakti itu menerjang Kumbang Bengis.
"Haaat!"
"Tunggu!" cegah Lodaya Burang tiba-tiba.
Dedengkot Iblis sebenarnya tak mengerti, kenapa Lodaya Burang mendadak menahan
serangannya. Di kalangan tokoh kelas satu, pantang untuk menghentikan
pertarungan jika belum ada yang tewas.
Namun begitu, Dedengkot Iblis cepat menghentikan
juga terjangannya.
"Ada seseorang yang hendak berbuat
kecurangan!" kata Lodaya Burang seraya menunjuk ke seberang danau yang dibatasi
bukit cemara. Di sana, memang terlihat seseorang berpakaian hijau dan bertopeng kain warna
hijau pula. Dia tampak sedang bersiap terjun ke Danau Panca Warna.
"Bangsat! Pengecut dari mana yang hendak mendahului kita itu?" hardik Dedengkot
Iblis geram. Sementara itu orang di seberang sana telah melompat ke danau.
"Aku tidak ingin didahului!" teriak Dedengkot Iblis penuh kemurkaan.
Tanpa mengindahkan Lodaya Burang lagi, dia bergegas menggenjot tubuhnya ke
udara. Gerakannya begitu indah di udara. Tubuh lelaki tua itu berputaran dengan
tangan terbentang. Sementara kecapinya yang telah ditautkan ke punggung,
memperdengarkan bunyi mendesing. Tak lama, Dedengkot Iblis menembus permukaan
air danau bagai sebatang tombak. Byur!
Tak ada seorang tokoh kelas atas golongan sesat pun yang tidak berhasrat
memiliki Pusaka Langit.
Memang, suatu keharusan bagi mereka untuk memiliki benda pusaka apa pun yang
sanggup melambungkan nama ke puncak kekuasaan dunia persilatan. Meskipun, itu
hanya baru kabar angin dari mulut ke mulut. Lodaya Burang sebagai seorang tokoh
kelas atas golongan sesat menyadari benar hal itu. Itu sebabnya, dia tak sudi
membiarkan seorang pun mendahuluinya untuk mendapatkan Pusaka Langit. Sesaat
setelah Dedengkot Iblis menyelam, dia pun memburu ke arah danau.
Byur! Lodaya Burang menyusul ke dalam Danau Panca Warna.
Menyaksikan dua saingannya telah masuk ke dalam danau, Kudungga yang dikenal
sebagai si Padri Sesat secepatnya melakukan tindakan sama. Dari tempatnya
berdiri, segera kakinya bergerak.
Kehandalan ilmu meringankan tubuhnya, membuat gerakan kaki Kudungga terlihat
menjadi puluhan. Dan dalam sekejap, lelaki kasar itu telah tiba pula di bibir
danau. Lalu.....
Byur! Tubuh tinggi gempal Kudungga seketika me-nampar permukaan air danau, menciptakan
percikan air yang tinggi.
Kini, tiga tokoh sakti aliran sesat telah siap berlaga bertaruh nyawa dalam
dinginnya dasar Danau Panca Warna. Ditambah, seseorang yang hendak melakukan
kecurangan.... *** 8 Selang beberapa saat, setelah ketiga tokoh kelas satu golongan sesat itu
tertelan Danau Panca Warna, permukaan danau menjadi tenang kembali. Hanya
tersisa riak kecil yang berkejar-kejaran menuju tepian.
Sementara suasana menjadi sepi. Sedangkan tokoh lain seperti tidak mau bertindak
apa-apa. Di antara mereka tak ada yang mau mengantar bahaya untuk ikut menyelam
ke danau. Sebagian berpikir, jika mereka ikut masuk ke danau, itu sama artinya
mencari mati. Karena, harus menghadapi tiga tokoh kejam! Di samping itu mereka
juga sudah mendengar bagaimana kekuatan pengaruh Pusaka Langit bagi orang-orang
berkepandaian tanggung. Bahkan sebagian yang lain hanya ingin menunggu apa yang
akan terjadi. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan putih.
Ketegangan menyelimuti diri para tokoh persilatan lain. Hati mereka semua
seperti tak henti bertanya, apa yang akan terjadi kemudian. Dan ketegangan pun
membuat mereka bagai patung tak bernyawa.
Bahkan rasanya mereka ingin menahan napas saat menanti kejadian berikutnya.
Sementara, desau angin yang berjinjit di permukaan air danau, makin mem-bangun


Pendekar Slebor 07 Pusaka Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suasana mencekam.
Sesaat demi sesaat mereka menanti, namun belum ada tanda-tanda kalau ketiga
tokoh sesat dan seorang yang wajahnya tertutup itu akan segera muncul. Padahal,
daya tahan pernapasan seseorang sudah mengalami saat-saat amat membahayakan
dalam waktu selama itu.
Sampai akhirnya....
Blup! Blup! Blup...!
Mendadak sesosok tubuh muncul ke permukaan danau dalam keadaan mengerikan.
Sayatan-sayatan kasar merencah sekitar badan orang itu, hingga pakaiannya
terserpih. Di keningnya terdapat lubang sebesar jari. Sementara, air
disekitarnya berubah merah. Ternyata, lelaki itu Lodaya Burang!
Blup! Blup! Blup...!
Tak lama berikutnya, Dedengkot Iblis menyusul.
Keadaannya juga mengerikan! Selanjutnya, giliran si Padri Sesat. Keadaannya pun
tak kalah mengerikan dengan dua orang sebelumnya.
Kini seluruh orang yang berada di pinggir danau terperangah. Kelopak mata mereka
membesar tegang. Tak pernah ada yang menyangka kalau tiga tokoh aliran sesat itu
akan mengalami nasib begitu menggiriskan! Keterkejutan tak luput melanda diri
Andika dan Ratna Kumala di tempat persembunyian.
Berbeda dengan mereka yang berada di sekitar danau, kedua anak muda itu terkejut
karena menyaksikan luka di kening ketiga mayat dari kejauhan.
"Apakah aku tidak salah lihat, Andika?" gumam Ratna Kumala.
"Tampaknya, kita akan segera bertemu pembunuh kedua saudara seperguruanmu...,"
tanggap Andika tanpa melepaskan pandangan dari tiga mayat yang terapung di
danau. "Aku tidak mengerti, kenapa bajingan itu membunuh kakak seperguruanku. Dan,
kenapa pula mereka membunuh tiga tokoh sakti aliran sesat?"
tanya Ratna Kumala, masih terdengar bergumam.
"Aku juga tidak mengerti. Yang pasti, orang itu membunuh bukan karena kurang
kerjaan," tukas Andika seraya bangkit dari duduknya.
"Hendak ke mana kau?" tanya Ranta Kumala cemas.
Andika mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Kau ingin tahu alasan orang itu membunuh kedua kakak seperguruanmu dan tiga
orang tokoh sesat itu, atau tidak?"
Kaki Pendekar Slebor melangkah, menuju jalan setapak yang menurun ke arah Danau
Panca Warna. "Apa maksudmu?" tanya Ratna Kumala, seraya ikut bangkit.
"Akan kuringkus orang itu."
"Aku ikut!"
Sepasang alis sayap elang milik Andika merapat.
Tampaknya dia tak begitu suka oleh ucapan terakhir Ratna Kumala. Ditatapnya
gadis berambut pendek itu lekat-lekat, dengan kelopak mata agak mengerut.
"Apa kau pikir orang yang akan kuhadapi nanti centeng pasar berkepandaian
tanggung" Apa kematian ketiga tokoh aliran sesat itu tidak membuka matamu?"
tegas Andika. Ratna Kumala menaikkan wajahnya tinggi-tinggi.
"Apa kau kira aku takut?" ujarnya agak tersinggung.
"Aku yakin kau tidak akan takut. Karena, kau memang perempuan nekat yang tidak
bisa berpikir jernih," sindir Andika, seraya menaikkan sudut bibir.
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak mengerti" Apa otakmu sudah digadai-kan" Ini bukan masalah takut atau
tidak, Ratna. Ini masalah hidup-mati. Mengerti"!" sambut Andika.
Mata Ratna Kumala membesar sejadi-jadinya.
Gadis yang juga keras kepala itu mulai jengkel mendengar ucapan Andika yang
terdengar ceplas-ceplos tadi.
"Sudah kubilang, aku tidak takut! Apa kau pikir seorang pengecut tidak akan
mati" Semua orang pasti akan mati, Andika. Kalau aku mesti mati hari ini di
tangan bajingan itu, apa bedanya" Mati toh hanya masalah waktu. Aku bahkan lebih
suka mati dalam perjuangan, ketimbang mati penasaran atau mati ketakutan...,"
sergah Ratna Kumala panjang.
Andika berdecak jengkel. Tangannya lantas menggaruk-garuk kepala. Dia mati kutu
menghadapi gadis jelita satu ini. Dihelanya napas dalam-dalam, mencoba
mengenyahkan kedongkolan yang mulai menggelayuti tenggorokan.
"Baiklah," Andika menyerah. "Tapi kau harus menunggu di tepi danau. Biar aku
saja yang menyelam."
Kini, Ratna Kumala mengangguk puas.
Kemudian, mereka segera turun dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Maka sebentar saja mereka telah tiba di
bibir danau. Dan tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang menatap dan puluhan mulut yang
kasak-kusuk melihat kehadirannya, Andika langsung loncat ke dalam Danau Panca
Warna. Byur! Rasa dingin langsung merambah sekujur tubuh Andika. Gelembung-gelembung kecil
yang diciptakan sibakan air, menari-nari di sekitar wajahnya. Untuk kedua
kalinya, dia akan menyelam ke dalam danau berair bening, namun selalu siap
membawa hawa maut.
Sempat pula ingatan pendekar muda itu ber-
kelebat tentang kejadian-kejadian yang pernah menimpanya. Terutama saat
melakukan penyelaman pertama, hingga menemukan benda sakti yang kini disebut-
sebut orang dunia persilatan bernama Pusaka Langit. Sekilas tergambar di
kepalanya, bagaimana rasa sesak yang melanda dadanya kala sinar merah bara
menyilaukan menyedot dirinya.
Setelah itu, ingatannya pun pupus kembali.
Kejadian yang tersembul sesaat di benaknya, membuat Andika terpaku. Untunglah,
dinginnya air danau segera menyadarkannya.
Kini Andika menggerakkan kakinya, mengayuh untuk menyelam ke dasar Danau Panca
Warna. Setelah dasar danau terlihat, penyelaman diteruskan ke sekitarnya. Tumbuhan
danau yang menggapai-gapai lemah gemulai, disibakkan dengan kedua tangannya.
Perlahan Andika maju. Seluruh kemampuan indra pengelihatannya dikerahkan untuk
menebus keremangan dasar danau.
Beberapa saat kemudian, mata Pendekar Slebor menangkap sesosok tubuh berpakaian
serba hijau sedang berenang menuju permukaan.
"Akhirnya kau kutemukan juga kunyuk busuk itu!"
kutuk hati Andika.
Wrrr! Tanpa menunggu lebih lama, Andika mengirim pukulan jarak jauhnya. Saat telapak
tangannya terdorong ke depan, segulungan gelembung udara yang memanjang meluncur
ke arah sasaran.
Bentuknya seperti rentangan tambang yang tembus pandang.
Sebenarnya, pantang bagi seorang pendekar seperti Andika melakukan bokongan.
Namun, semuanya sudah matang dipertimbangannya. Dia tahu,
pukulan jarak jauh akan melemah jika dilakukan dalam air. Di samping itu, orang
yang dituju pun cukup jauh dari tempatnya. Kalau pun bokongannya akan mengenai
sasaran, pasti tidak akan berakibat parah. Tujuan Andika memang bukan hendak
melumpuhkan, melainkan sedikit memberi per-ingatan.
Mendengar bunyi ganjil di belakangnya, orang berpakaian serba hijau itu bergerak
siaga. Tangannya cepat mengayuh ke depan, sehingga tubuhnya terdorong cepat ke
belakang. Maka pukulan jarak jauh Andika hanya melintas di depan dadanya.
Saat orang berpakaian serba hijau itu berbalik, pada tangan kirinya terlihat
kain putih tembus pandang yang didalamnya terdapat batu sebesar kepala bayi,
memancarkan sinar merah bara menyilaukan!
Hal itu langsung menusuk benak Andika. Secara samar-samar, bayangan kejadian
beberapa waktu lalu terbersit kembali. Keningnya berkerut. Andika berusaha
mempertahankan bayangan itu. Beberapa saat ia hampir berhasil. Bayangan kejadian
berupa cahaya merah bara seperti yang baru saja dilihatnya di tangan orang itu
makin menjelas di benaknya.
Sebelum semuanya menjadi benar-benar jelas, tiba-tiba telinganya menangkap suara
sumbang menggetarkan.
Wrrr...! Pendekar Slebor terkesiap. Secepatnya disadari kalau sosok berpakaian serba
hijau itu telah melakuan serangan balik berupa pukulan jarak jauh kini
mengancam. "Arrrgkh!"
Andika berteriak keras seraya berputaran di dalam
air. Suaranya yang disertai gelembung udara terdengar aneh dan menyeramkan.
Teriakannya membuat Andika mampu menghindari terjangan tenaga pukulan yang jauh
lebih dahsyat dari pukulannya.
"Gila! Pukulan macam apa itu"!" Serapahnya dalam hati.
Nyaris Pendekar Slebor tak mempercayai kejadian di depan matanya tadi. Bagaimana
mungkin orang itu bisa mengirimkan pukulan yang mampu menciptakan pusaran
sebesar kerbau di sekitar tubuhnya"
Ketika mata elangnya tertumbuk kembali pada batu merah bara di tangan orang itu,
Pendekar Slebor langsung teringat pada cerita Ratna Kumala tentang benda pusaka
dari langit.... Pusaka Langit!
Hanya ada satu dugaan di kepala Andika saat itu.
Dia yakin, benda pusaka itulah yang telah memperkuat tenaga pukulan orang. Jadi,
Pusaka Langit benar-benar nyata dan bukan bualan belaka orang-orang persilatan!
Memang pantas jika hati Andika berkata seperti itu. Karena, dia tidak lagi ingat
Altar Setan 2 Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Raja Silat 2
^