Rahasia Permata Sakti 1
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Bagian 1
RAHASIA PERMATA SAKTI Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Rahasia Permata Sakti
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Bunga-bunga bermekaran indah dan harum
tersiram hujan rintik-rintik semalam. Panorama indah
membedah daerah di sekitar Gunung Semeru. Tanah
di sekitar sana sedikit basah.
Beberapa desa terbenam kesunyian, terletak
cukup jauh dari Gunung Semeru, berada dalam sapu-
tan kabut pagi cukup tebal. Puncak Semeru tersaput
kabut. Terbayang di pelupuk mata bagaikan raksasa
yang sedang tidur.
Dalam kabut tebal dan dingin menyengat, seo-
rang pemuda berbaju hijau pupus melangkah di jalan
setapak. Kira-kira tiga puluh tombak dari lereng Gu-
nung Semeru ia hentikan langkah. Wajah si pemuda
yang tampan dengan rambut gondrong tak beraturan
itu bagai tak hiraukan keadaan di sekelilingnya.
Diedarkan pandangan ke segenap penjuru.
Yang nampak hanyalah lapisan kabut, dingin, berpen-
dar. Keningnya berkerut hingga wajah tampannya
jadi jelek bukan main.
"Hmmm... siapa sebenarnya yang mengun-
dangku ke sini?" desis si pemuda dalam hati. "Isi pesan yang ditinggalkan dari
guratan di batang pohon,
meminta kesediaanku datang ke Gunung Semeru ini.
Sialnya, orang itu tidak memberitahukan siapa dirinya.
Dan untuk apa meminta aku datang ke sini. Brengsek!
Mau-maunya aku melakukan hal ini" Jangan-jangan
hanya orang iseng saja yang melakukannya. Tetapi,
melihat dari guratan pesan di batang pohon itu, jelas kalau orang yang memintaku
datang memiliki tenaga
dalam tinggi."
Pemuda berbaju hijau pupus dengan kain ber-
corak catur di lehernya itu, menggerutu panjang pen-
dek. Ia teringat saat kemarin malam tidur di sebuah
lembah, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru. Ke-
tika ia terbangun pagi hari, pandangannya tak berke-
sip menatap pohon di hadapannya. Sebuah guratan
tulisan berisi pesan ditujukan padanya, terpampang di pohon itu.
Pendekar Slebor, kuminta kau datang ke lereng
Gunung Semeru. Ada sesuatu yang hendak kusampai-
kan. Si pemuda berbaju hijau pupus yang tampan itu ternyata tak lain adalah
Andika alias Pendekar Slebor. Keningnya berkerut kembali sambil coba terka apa
maksud dari pesan itu. Yang pasti, pesan yang tertulis cukup dalam di batang
pohon itu jelas ditujukan padanya. Yang membuatnya geleng-geleng kepala, bila
melihat betapa dekatnya jarak pohon itu dengan tem-
pat di mana ia tidur, sudah tentu telinganya yang terlatih akan menangkap suara
langkah atau tarikan na-
pas seseorang. Namun apa yang dilihatnya sekarang
ini, justru membuatnya bertambah yakin, kalau orang
yang menuliskan pesan itu bukan hanya memiliki te-
naga dalam tinggi, melainkan ilmu meringankan tubuh
yang tinggi pula. Sedikit pun ia tak mendengar suara
langkah atau tarikan napas seseorang.
Karena rasa penasarannya, selesai mandi di se-
buah sungai, dan memburu seekor kelinci gemuk un-
tuk dijadikan sarapan pagi, Pendekar Slebor segera
emposkan tubuh. Dengan pergunakan ilmu larinya
yang kesohor, dalam waktu satu hari satu malam ia
sudah hampir tiba di lereng Gunung Semeru.
Sekarang, si pemuda urakan dari Lembah Ku-
tukan kembali edarkan pandangan ke sekeliling. Di-
ngin yang menyengat tak dihiraukan. Hatinya penasa-
ran terhadap isi pesan itu. Terutama, ingin mengetahui siapa yang menuliskan
pesan padanya. "Busyet!" desisnya sambil garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal. "Siapa sih yang mengirim pesan untukku itu" Bila
ternyata orang itu hanya mempermainkan ku saja, awas, akan kubalas tindakannya!
Sebaiknya, aku segera menuju lereng Gunung Seme-
ru!" Memikir begitu, Andika mengempos tubuhnya
kembali. Hanya dua tarikan napas saja, jarak tiga pu-
luh tombak di mana ia berdiri dengan Gunung Se-
meru, sudah dicapainya. Keadaan bertambah dingin
dan kabut tebal itu menutupi pandangannya. Dipi-
cingkan mata seksama, dikerahkan sedikit tenaga da-
lam guna mengusir hawa dingin. Kalau memang isi pe-
san itu benar, Andika memperkirakan orang yang me-
mintanya datang pasti telah menunggunya. Namun ia
tak melihat sosok tubuh di sana.
"Edan! Tak ada siapa pun di sini kecuali aku!"
makinya tak karuan. "Hhh! Lebih baik kuputari saja gunung ini! Barangkali bisa
kutemukan orang iseng
itu!!" Namun belum lagi ia menjalankan niatnya, ti-ba-tiba terdengar desingan
halus menyusul tiga desir
angin yang kuat ke arahnya.
*** "Sapi ompong! Manusia iseng mana yang lan-
cang menyerang, hah"!" maki Pendekar Slebor sambil lakukan satu lompatan ringan.
Tubuhnya mencelat ke
atas bagai mengapung, masih berada di udara ia putar
tubuhnya. Kakinya bergerak sebanyak tiga kali.
Trak! Trak! Trak!
Tiga desir angin itu berpentalan ke berbagai
arah. Andika hinggap lagi di tanah sambil edarkan
pandangan. Ia yakin, yang barusan mendesing ke
arahnya itu hanya tiga buah ranting kecil, yang telah dialirkan tenaga dalam
mematikan. Belum lagi ia bisa menentukan dari mana arah
serangan itu datang, lima buah kerikil, cepat luar biasa menderu kembali. Dua
menyerang bagian atas tu-
buh dan tiga lagi menyerang bagian bawah.
"Kerbau mabuk!" maki Andika sambil gerakkan tubuhnya. Dua batu yang menyerang
bagian atas, di-hindari dengan merunduk. Tiga buah batu lagi yang
menyusul belakangan dipapas dengan gerakan tangan
tiga kali yang tak kalah cepat. Kali ini rasa jengkelnya sudah naik ke ubun-
ubun. "Manusia iseng! Lebih baik keluar dari tempat
persembunyiamnu! Jangan sampai kuobrak-abrik Gu-
nung Semeru ini!!"
Habis kata-katanya, terdengar satu tawa yang
luar biasa keras. Tanpa terasa tubuh Andika bergetar.
Ia pun merasakan bagaimana tanah yang dipijaknya
bergetar pula. Cepat ia alirkan tenaga dalamnya guna
mengatasi serangan tak nampak yang disalurkan me-
lalui tawa keras.
Sambil menahan serangan itu, ia buka pandan-
gannya. Samar matanya yang terlatih melihat dalam
gelap, menangkap bayangan satu sosok tubuh yang
duduk dalam jarak sepuluh tombak di hadapannya.
"Hhh! Manusia itu yang membuat ulah!" desisnya. Cepat ia menggerakkan tangan
kanannya sebagai
balasan atas serangan orang di atas batu. Angin panas menderu dahsyat memecah
kabut tebal. Terdengar suara ledakan keras. Samar pula pandangannya me-
nangkap satu sosok tubuh melompat dan batu besar
yang didudukinya hancur berantakan.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau kuundang
ke gunung ini!!" terdengar suara laki-laki, serak, mengekeh. Andika yang masih
menahan serangan tak
nampak melalui suara tawa yang menyakitkan tadi,
melihat satu sosok tubuh berdiri di hadapannya dalam
jarak tiga tombak. Meskipun pandangannya tertutup
kabut tebal, namun ia cukup dibuat terkejut saat me-
lihat rupa orang itu.
"Hmm... apakah aku berjumpa dengan setan
beranak di tempat seram ini?" desisnya sambil kerutkan kening.
Sosok yang berdiri di hadapannya bertubuh
bongkok. Pakaian compang-camping dengan perli-
hatkan tulang di tubuhnya, seolah tak merasakan ha-
wa dingin yang sangat kuat. Wajahnya sukar sekali di-
lukiskan karena rambut putihnya memanjang bagai
menutupi pandangannya. Jenggotnya yang putih men-
julai hingga setengah meter dari tanah. Celananya
berwarna putih yang sudah kotor sekali.
"Siapakah kau, Orang Tua?" desis Andika de-
ngan hati bertanya-tanya. Namun ia yakin, kalau
orang tua aneh itulah yang mengundangnya datang ke
tempat ini. "Hehehe... pertanyaan bagus, berarti permulaan
yang bagus pula. Selamat datang di tempat sialan ini, Pendekar Slebor." Orang
tua itu mengekeh, seperti mentertawai kata-katanya sendiri yang dianggapnya
sebagai gurauan yang lucu. Padahal Andika tidak me-
nimpalinya. Ia justru mendengus karena pertanyaannya tak
segera dijawab. Ia mengulanginya lagi. Namun lagi-lagi orang tua aneh, kurus
kerempeng, dan memiliki tulang
seperti udang itu, perdengarkan tawanya. Kali ini tidak
terlalu keras menerpa dan tidak menggetarkan. Ru-
panya, tawanya itu tidak dialirkan tenaga dalam seper-ti tadi. "Tidak sia-sia
aku mengundang seorang pendekar kenamaan ke tempat ini, yang namanya semakin
lama semakin merangkak naik ke langit ketujuh. Te-
tapi perlu kau ketahui, kau sebenarnya beruntung ber-
temu denganku, Pendekar Slebor!"
"Monyet bongkok!" maki Andika dalam hati.
"Konyol benar kata-katanya itu! Dipikirnya ia seorang dewa apa?" Lalu ia berseru
lagi, "Orang tua... lebih baik katakan siapa kau adanya, dan apa maksudmu
mengundangku kemari?"
"Tidak sabaran! Memang tak heran, bila kuke-
tahui hal itu! Julukan Pendekar Slebor memang cukup
aneh dan sekaligus mengerikan."
"Busyet! Dia masih belum menjawab juga per-
tanyaanku?" maki Andika dalam hati. "Jangan-jangan, orang tua ini sinting.
Mungkin kebanyakan makan na-si campur tahi ayam!"
Selagi Andika mendumal tak karuan, orang tua
aneh itu justru menjawab pertanyaannya, "Hehehe...
kau boleh memanggilku Kakek Buruk Rupa. Padahal,
wajahku tak kalah ganteng denganmu, lho."
Kalau tadi Andika jengkel karena pertanyaan-
nya tidak segera dijawab, sekarang buyut dari Eyang
Saptacakra penguasa Lembah Kutukan itu jadi ingin
kencing mendengar kata-kata si orang tua. "Heran, kok tidak malu ya memuji
sendiri," ejeknya sambil perlihatkan seringainya yang paling jelek. "Padahal
wajah-mu tak lebih dari setan kuburan, Orang Tua!"
Bukannya marah mendengar ejekan itu, si
orang tua yang mengaku berjuluk Kakek Buruk Rupa
justru sunggingkan senyum. Karena wajahnya yang
mengerikan itu, senyumnya pun tak ubahnya seperti
setan yang kebelet kencing.
"Pujian bagus! Aku senang mendengarnya!
Mendekatlah! Ada sebuah pesan yang ingin kusam-
paikan padamu! Duduk!!"
Mungkin karena rasa penasarannya itulah yang
membuat Andika memenuhi kata-kata si orang tua
yang mengaku telah sengaja mengundangnya ke tem-
pat ini. Perlahan-lahan ia duduk bersila. Meskipun wajahnya tertutup panjangnya
rambut, namun Andika
tak menyangkal lagi kalau wajah orang tua di hada-
pannya pasti lebih buruk dari kucing kurus!
Orang tua itu pun duduk di hadapan Andika.
Dua orang laki-laki berbeda usia itu kini saling berhadapan. Dan saling tatap
seolah menjajaki siapa adanya diri masing-masing. Kakek Buruk Rupa kilapkan
tangannya seolah sikap seperti itu tak usah diperlihatkan.
Ia justru keluarkan sesuatu dari balik pakaiannya
yang compang-camping. Rupanya, di balik pakaiannya
itu terdapat semacam ikat pinggang berwarna merah
dan sesuatu yang diambilnya tadi itu berasal dari sa-
na. Dibawanya benda yang masih berada dalam
genggamannya itu di hadapan Andika.
"Tebak! Apa yang ku genggam ini?"
Andika picingkan matanya. Ia hanya melihat
sebuah sinar warna biru yang memancar dari gengga-
man si orang tua. Namun sulit menebak benda apakah
itu. "Katakanlah, Kek."
"Pasti... pasti kau sangat penasaran sekali" sahut Kakek Buruk Rupa yang
kelihatan geli dengan
permintaan Andika. "Baik, baik... karena aku yang mengundangmu ke sini, aku akan
segera memberitahukannya padamu."
"Ya sudah! Ceritalah, Kek!" seru Andika sewot.
Si orang tua perdengarkan tawanya yang benar-
benar tak sedap didengar. Perlahan-lahan ia buka
genggamannya. Sinar biru yang tadi memancar, kini
bertambah terang, menusuk mata.
"Bola kaca!" desis Andika kagum. Matanya melotot melihat benda di tangan si
orang tua. "Goblok! Ini permata!"
Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir.
Diperhatikannya permata sebesar telur ayam yang be-
rada di telapak tangan si orang tua. Sinar biru yang
memancar dari sana, benar-benar cukup menyilaukan.
"Hanya karena permata ini, kau mengundang-
ku kemari, Kek?" tanyanya kemudian.
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek Buruk Rupa terkekeh lagi. "Permata di
tanganku ini bukanlah permata sembarangan. Bukan
permata seperti yang dimiliki orang kebanyakan. Apa
yang kau lihat dari permata ini, Andika?"
"Sinar warna biru yang menyilaukan namun
kuakui cukup mempesona."
"Bodoh! Coba perhatikan lagi!"
Sebenarnya, Andika sudah jengkel bukan main
karena selalu dibentak. Tetapi rasa penasarannya
mengunci jengkelnya itu. Ia picingkan matanya seka-
ligus halau sinar biru yang cukup menusuk mata. Per-
lahan-lahan dilihatnya sebuah bayangan di dalam
permata sebesar telur ayam itu.
"Ada gambar naga di dalamnya," katanya agak ragu. Si kakek justru mengiyakan dan
memujinya. "Tepat! Tepat sekali! Kau memang pintar! Tak
sia-sia kau dikatakan pendekar yang memiliki sejuta
akal cerdik. Perlu kau ketahui... permata biru ini adalah Permata Sakti yang
kudapatkan lima belas tahun
lalu di Sungai Biru yang letaknya ribuan tombak dari
tempat ini. Semula, aku tidak tahu menahu soal per-
mata yang entah berapa lama terpendam di Sungai Bi-
ru. Ketika kudapatkan, sesuatu yang mengejutkanku
terjadi. Karena permata ini begitu panas sekali! Satu hal yang mengejutkanku,
selama lima belas tahun itu
banyak sekali orang-orang yang menginginkan perma-
ta ini. Terus terang, aku tidak tahu apa kegunaannya.
Namun ketika setiap saat aku harus bertarung mem-
pertahankan permata ini, barulah aku sadar kalau
tentunya permata ini mengandung satu kekuatan sakti
yang luar biasa...."
"Apakah itu, Kek?"
"Goblok!" Kakek Buruk Rupa member tak. "Bertanya terus! Dengarkan saja!"
Andika menggeram jengkel. Hhh! Kalau tidak
penasaran, ingin dijitaknya kepala si orang tua.
Kakek Buruk Rupa berkata lagi. "Selama lima
belas tahun aku berusaha mempertahankannya, ka-
rena meskipun saat itu aku belum mengetahui apa ra-
hasia permata ini, aku terus mempertahankannya. Te-
rus terang, aku menyukainya dan kudapatkan dalam
rentang waktu yang sangat jauh dari usiaku sekarang
ini yang sudah mencapai sembilan puluh tahun. Kini,
Permata Sakti ini kuhadiahkan kepadamu, Andika."
"Heran... tadi kau mengatakan akan memperta-
hankannya. Lalu mengapa kau begitu saja mengha-
diahkannya padaku" Jangan-jangan, kau cuma men-
jebakku saja," seloroh Andika.
"Kurang ajar! Tak pantas kau berkata begitu
padaku! Dengar, usiaku sudah lanjut. Aku ingin ada
yang mewarisi Permata Sakti ini dan pilihanku jatuh
kepadamu."
"Mengapa pilihanmu kau jatuhkan kepadaku,
Kek" Bila kau memang ingin menyerahkan Permata
Sakti itu, lebih baik kau berikan saja pada yang lainnya."
"Karena, aku tak percaya pada orang lain kecu-
ali kau untuk menjaganya dan mempergunakannya di
jalan kebajikan."
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir aku ini ba-
jik?" kata Pendekar Slebor. Mulutnya berkata begitu, padahal hatinya bangga
sekali. Dasar urakan!
"Aku percaya akan sepak terjangmu yang selalu
kupantau. Nah, permata ini kuserahkan kepadamu."
"Maafkan aku, Kek... aku sulit menerimanya
tanpa alasan yang masuk akal."
"Apakah tadi bukan alasan yang masuk akal?"
maki Kakek Buruk Rupa sewot.
"Katakan dulu, apa rahasia Permata Sakti itu.
Tadi kau katakan, permata ini bukanlah jenis permata
biasa. Melainkan sebuah permata yang memiliki ke-
saktian yang dahsyat. Nah, katakan kesaktian apa
yang dimiliki permata ini" Jangan-jangan, omonganmu
ini tak lebih dari gombal belaka!"
"Enaknya kau ngomong! Kuhadiahkan saja kau
sudah beruntung, masih ceriwis ingin mengetahui ra-
hasia permata ini dariku! Kau pecahkan sendiri!"
"Kalau begitu... aku tidak mau. Lagi pula, ka-
tamu kan banyak yang menginginkannya, jangan-
jangan... kau sengaja menyerahkannya kepadaku biar
aku yang diburu oleh orang-orang yang menginginkan-
nya," kata Andika yang coba memancing kata-kata si orang tua.
"Brengsek!" maki Kakek Buruk Rupa. Matanya
yang celong ke dalam melotot dari balik rambutnya
yang lebat. "Pokoknya, kau harus menerimanya dan memecahkannya sendiri!"
Andika tertawa dalam hati. Sebenarnya, rasa
penasaran di hatinya makin mengikat. Masalah ia
akan diburu atau tidak oleh orang-orang yang mengin-
ginkan Permata Sakti itu, urusan nanti. Namun, sudah
tentu ia tidak akan menerima pemberian Kakek Buruk
Rupa begitu saja. Masih banyak pertanyaan yang ber-
gelimpangan di benaknya.
Ia tetap menggeleng. Dilihatnya si Kakek Buruk
Rupa mengangguk-angguk, seperti menyetujui kata-
katanya. Lalu seperti pada kenalan lama saja, ia me-
nepuk perut Andika.
"Kalau kau memang tidak mau, ya tidak apa-
apa. Kupikir, memang sebaiknya permata ini berada di
tanganku saja. Terima kasih kau telah memenuhi un-
danganku ke sini,"
Belum lagi Andika berkata apa-apa, mendadak
saja tubuh Kakek Buruk Rupa menghilang dari pan-
dangan. Bagai ditelan kabut pekat. Yang tercium ke-
mudian, hanyalah bau tidak sedap.
Andika lebih keburu menekap hidupnya seolah
baru menyadari sebenarnya sejak bertemu dengan Ka-
kek Buruk Rupa ia sudah mencium bau tidak sedap
itu daripada memikirkan ke mana perginya si kakek
bongkok itu. "Hhh! Seumur hidupnya pasti dia tidak mandi!"
gerutunya setelah itu barulah ia ingat kalau si kakek telah meninggalkan tempat
itu. "Busyet! Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya hingga ia bisa lenyap
begitu saja! Hhh! Cukup penasaran sebenarnya aku di-
buat orang tua jelek itu. Tetapi, cukup mengherankan
juga mengapa ia ingin menyerahkan Permata Sakti
yang memancarkan sinar warna biru itu kepadaku,
padahal ia telah lima belas tahun memperta-
hankannya. Brengsek! Kok sekarang aku jadi ingin
memiliki permata itu. Rahasia di dalamnyalah yang
membuatku jadi seperti itu. Tetapi, biarlah permata itu dipegang oleh Kakek
Buruk Rupa, Karena ia memang
pemiliknya yang sah."
Andika pun berdiri, merasa lebih baik segera
meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kedua ka-
kinya tegak, sesuatu jatuh dari balik pakaiannya.
"Hei!" serunya tanpa sadar. Benda yang jatuh itu memancarkan sinar warna biru.
"Busyet! Orang tua jelek itu mempermainkan ku rupanya! Gerakannya
sangat cepat sekali! Rupanya, selagi ia menepuk pe-
rutku tadi, Permata Sakti ini diselipkannya di balik
pakaianku. Luar biasa!"
Masih mengagumi kehebatan Kakek Buruk Ru-
pa dan seolah melupakan kalau ia tadi dipermainkan,
Andika memungut permata yang memancarkan sinar
biru itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dilihatnya
bayangan seekor naga di dalam permata sebulat telur
ayam itu yang semakin lama nampak semakin jelas.
Bayangan gambar naga itu terdiri dari tiga warna. Ke-
palanya berwarna kuning. Tubuhnya berwarna merah.
Sedangkan kaki dan ekornya berwarna hitam.
Tiba-tiba dirasakannya panas yang membara,
hingga tanpa sadar dilemparkannya permata itu.
"Busyet! Aku seperti memegang bara api saja!"
desisnya dan dengan konyol ia meniup tangannya.
"Hhh! Biar bagaimanapun juga, aku tak menginginkan permata ini. Akan kucari
Kakek Buruk Rupa dan ku-kembalikan padanya!"
Sambil kerahkan tenaga dalamnya, guna hin-
dari hawa panas tadi, Andika mengambil kembali per-
mata itu. Meskipun masih terasa panas, namun tak
terlalu menyengat. Dimasukkannya ke balik pakaian-
nya. Diperhatikan lagi sekelilingnya, "Hmmm... ke mana aku harus cari orang tua
itu" Rupanya, ia sudah
sinting permata kesayangannya ini diserahkannya pa-
daku. Biar bagaimanapun juga, aku harus mengemba-
likannya. Karena aku tak berhak untuk memilikinya."
Belum lagi ia melangkah, terdengar kekehan
yang luar biasa kerasnya dari satu tempat.
2 Seorang nenek dengan rambut disanggul ke
atas muncul dari sebuah tempat. Kemunculannya ba-
gai mencelos dari gumpalan kabut. Tawa yang diper-
dengarkannya tak kalah hebat dengan tawa yang dila-
kukan oleh Kakek Buruk Rupa.
Andika menatap tak berkesip pada orang tua
berpakaian warna perak menyala itu. Wajah si nenek
yang penuh kerut merut cukup mengejutkannya. Apa-
lagi ketika ia mulai ingat siapa gerangan wanita tua
yang memegang tongkat kusam di tangan kanannya.
"Hmmm... Si Camar Hitam," desis Andika dan tanpa sadar ia bersiaga. Andika tahu
siapa wanita tua itu. Seorang tokoh hitam yang sangat kejam. Bahkan
Andika pernah bertarung dengannya. (Untuk me-
ngetahui siapa gerangan si Camar Hitam, silakan baca
episode: "Cincin Berlumur Darah").
Wanita tua yang memang si Camar Hitam per-
dengarkan kekehannya yang tak sedap.
"Tak kusangka, hari ini berjumpa lagi dengan
Pendekar Slebor. Bagus, bagus sekali! Sekali datang,
dua nyawa kukepruk!"
Meskipun tak mengerti nyawa siapa satu lagi
yang dimaksudkan oleh wanita berwajah tirus penuh
keriput, Andika perlihatkan seringaiannya.
"Kalau begitu, apakah yang satu lagi nyawamu
sendiri" Ya... bunuh diri saja dulu, baru kemudian kau berusaha untuk
membunuhku!"
Kerut merut di wajah Camar Hitam bagai ber-
tambah, berlipat menambah keangkerannya. Mata ke-
labunya yang celong ke dalam bagai terlempar keluar.
"Setan alas! Dendam lamaku semakin berkarat
padamu, Pendekar Slebor! Gara-gara kaulah aku gagal
mendapatkan Cincin Sakti milik Ki Seta! Bahkan gagal
membunuh Penguasa Alas Roban! Kali ini, kau tak
akan bisa hindarkan lagi dari kematian!"
"Heran ya... apakah bukan kau dulu yang akan
dijemput ajal" Usiamu bukan lagi sudah magrib, tetapi sudah memasuki isya! Dan
satu lagi, malaikat maut
biasanya lebih suka dengan orang jelek seperti kau,
karena cuma merusak pemandangan!!" sehabis mengejek seperti itu, Andika
terbahak-bahak keras. Kelam
wajah si Camar Hitam. Masih berdiri di tempatnya, ia
menggerakkan tongkatnya.
Wuss! Deru angin dahsyat disertai suara menggidik-
kan, menderu ke arah Andika. Masih tertawa, Andika
melompat ke kiri. Lalu dengan gerakan yang aneh, ba-
gai memotong, ia mengibaskan tangannya!
Deru angin itu putus di tengah jalan terhantam
pukulan jarak jauhnya. Ia memutar tubuhnya kembali.
Masih penuh seringaian mengejek, ia berkata, "Nah!
Kau lihat sendiri, bukan" Apakah kau mampu meng-
hadapiku?"
Saat ini Andika sebenarnya jengkel dengan ke-
munculan si Camar Hitam. Keinginannya untuk men-
cari sekaligus mengembalikan permata pada Kakek
Buruk Rupa jadi terhalang. Dan ia tahu, akan sulit
menghindarkan diri dari munculnya si Camar Hitam.
Camar Hitam menggeram. Gebrakan pertama
dari serangannya itu merupakan rangkaian jurus
tongkat yang dimilikinya. Pendekar Slebor bukan
hanya bisa menghindari, bahkan sekaligus mematah-
kan serangannya.
"Pemuda keparat! Setelah kubunuh kau, baru
kucari Kakek Buruk Rupa yang menyimpan Permata
Sakti!" Kali ini Andika menghentikan tawa. Matanya
tak berkesip pada si Camar Hitam. Kakek Buruk Ru-
pa" Permata Sakti" Hmm, jelas sekali kalau kehadiran
si Camar Hitam ini untuk mendapatkan Permata Sakti
milik Kakek Buruk Rupa yang sekarang berada di balik
pakaiannya. Jadi, apa yang dikatakan Kakek Buruk Rupa
itu memang benar adanya, kalau selama lima belas ta-
hun ia harus mempertahankan Permata Sakti itu.
Andika mendengus menyadari kalau sekarang
justru ialah yang terkena batunya. Hadangan pertama
yang dihadapinya adalah si Camar Hitam, yang me-
mang belum tahu kalau Permata Sakti itu berada pa-
danya. Namun, kehadiran tokoh golongan hitam ini
cukup akan merepotkannya.
"Manusia jelek ini jangan sampai tahu kalau
Permata Sakti itu berada padaku." desis Andika dalam hati. "Apa sebenarnya
kesaktian permata ini" Dan lagi, kenapa si kakek yang tidak tahu mana hidung dan
mulut itu memberikannya kepadaku?"
Memikir sampai di sana, guna membuang ke-
terkejutannya Andika terkekeh.
"Apa sih yang kau maksudkan dengan Permata
Sakti" Dan lagi, siapa gerangan Kakek Buruk Rupa
itu" Apakah kau tidak pantas kalau kusebut Nenek Je-
lek-jelek Sekali"!"
Gusar bukan buatan Camar Hitam. Tubuhnya
sampai bergetar bersamaan dengan suara gerengan
dari mulutnya. Sebenarnya, yang ia inginkan adalah
Kakek Buruk Rupa. Setelah tak mampu mengalahkan
Penguasa Alas Roban, si nenek kembali ke asalnya.
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia pulihkan tubuh dan kesaktiannya. Sampai
kemudian terdengar kabar tentang seorang tokoh aneh
yang berjuluk Kakek Buruk Rupa. Camar Hitam telah
lama mendengar julukan itu. Ia tak pernah tertarik
sama sekali. Akan tetapi, ketika didengarnya tentang
sebuah Permata Sakti yang dimiliki oleh Kakek Buruk
Rupa, ia tinggalkan kediamannya guna merebut Per-
mata Sakti itu.
Dalam rencananya, setelah berhasil mendapat-
kan Permata Sakti, ia akan mendatangi Penguasa Alas
Roban untuk membuat perhitungan, sekaligus mencari
Pendekar Slebor yang menggagalkan rencananya un-
tuk memiliki cincin pusaka Ki Seta. Dan sekarang ini, sebelum rencana pertamanya
dijalankan, ia telah bertemu dengan Pendekar Slebor. Selentingan ia menyirap
kabar, kalau Kakek Buruk Rupa mendiami Gunung
Semeru. Tubuh si Camar Hitam sudah berkelebat laksa-
na kilat. Tongkat kusamnya bergerak membabi-buta,
menimbulkan suara angin dahsyat. Andika sejak tadi
sudah bersiap menerima serangan, bergerak tak kalah
cepat. Namun gebrakan selanjutnya yang dilakukan si
nenek berbaju perak itu, cukup membuat Andika ke-
repotan. Bukan hanya tongkat yang menderu-deru siap
menghabisinya, juga gerakan bagai seekor camar yang
kadang menukik dan meluruk cepat. Andika memaki-
maki tak karuan.
"Ini tak bisa kubiarkan!!" makinya sewot sambil menggulingkan tubuh menghindari
gempuran itu. De-bu di sekitarnya mengepul lebih tebal. Kabut yang
menghalangi pandangan terpecah dan berpindah tem-
pat. Suatu saat, Andika membuat satu gerakan
yang benar-benar aneh. Karena ketika tongkat di tan-
gan si Camar Hitam siap menotoknya, ia justru maju
bagai menyongsong. Kendati kaget dan berpikir kalau
Andika hendak menipunya, Camar Hitam tak meng-
hentikan serangan.
Dan benar-benar mengejutkan si Camar Hitam
sendiri. Karena Andika memang menyongsong se-
rangannya! *** Tuk! Tuk! Tuk! Tiga kali tubuh Andika tertotok tongkat yang
dialiri tenaga dalam. Si Camar Hitam menghentikan
gerakan. Bibirnya tersenyum puas melihat tubuh pe-
muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu ter-
huyung. Gerakan limbung Pendekar Slebor memang
benar-benar bagai kehilangan tenaganya.
Beberapa saat hal itu terjadi, sementara dari
senyuman berubah tawa ejekan dari Camar Hitam.
"Rupanya ajal sudah tiba untukmu, Pendekar
Slebor. Jurus 'Penutup Jalan Darah'-ku memang tak
bisa dikalahkan...."
Puas sekali wajah si Camar Hitam melihat ba-
gaimana Andika terus menerus limbung seperti tak
mampu menguasai keseimbangannya. Namun detik
berikutnya, kedua mata kelabunya bagai hendak me-
lompat keluar melihat bagaimana Andika berdiri tegak
dengan tubuh tak kurang suatu apa.
"Setan keparat! Kau menipuku, hah?"
Memikir kalau ia hanya dipermainkan oleh Pen-
dekar Slebor, Camar Hitam buat serangan yang lebih
dahsyat. Namun seperti tadi Andika menyongsong se-
rangan itu. Tubuhnya bukan hanya terkena totokan tong-
kat si nenek, melainkan juga gebukan bahkan jotosan
tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Hanya
saja, sampai sejauh itu, Andika tak sekali pun memba-
las. Justru membiarkan tubuhnya dihantami berkali-
kali. Limbung tubuhnya pun semakin cepat, tetapi la-
gi-lagi tidak jatuh, bahkan berdiri tegak!
Sementara itu, sesuatu yang aneh dirasakan
Andika. "Aneh! Ke mana perginya nenek jelek itu" Kutu monyet! Ke mana dia"
Mengapa seluruh pandanganku
berubah biru dan di mana-mana yang nampak hanya
warna biru saja. Apa yang terjadi?"
Sementara itu Camar Hitam menghentikan se-
rangannya. Tatapannya benar-benar tak bisa memper-
cayai apa yang dilihatnya itu. Penasaran ia menyerang lagi. Lebih dahsyat
disertai dengan teriakan-teriakan membahana penuh amarah.
Seperti yang sudah-sudah, Andika tetap mem-
biarkan tubuhnya dihantami dan tak sekali pun mem-
balas. Sedangkan menurut perasaan Andika saat ini,
dia hanya melihat warna biru di sekelilingnya.
Sadar lawan memiliki ilmu yang lebih darinya,
Camar Hitam menghentikan serangannya lagi.
Ia berdiri tegak dengan napas terengah. Selu-
ruh tenaganya bagai terkuras habis akibat gerakannya
sendiri. "Tak kusangka, Pendekar Slebor memiliki ke-majuan sangat pesat. Padahal
ketika pertama kali aku
bertarung dengannya, aku bisa mengimbangi sekaligus
mengalahkannya. Rupanya ia memiliki ilmu simpanan
yang jarang diperlihatkannya. Tetapi, mengapa sejak
tadi ia tidak membalas" Peduli setan! Ini kesempatan
yang terbaik bagiku untuk meninggalkan tempat ini!
Lebih baik aku teruskan mencari Kakek Buruk Rupa
untuk dapatkan Permata Sakti. Aku yakin, si kakek ti-
dak berada di sini. Sejak tadi ia tidak tampakkan ba-
tang hidungnya! Setelah kudapatkan benda itu, akan
kubalas perlakuan Pendekar Slebor yang memper-
mainkan ku ini!"
Memikir sampai di situ, Camar Hitam langsung
melompat meninggalkan Pendekar Slebor yang masih
berdiri tegak tanpa melakukan apa-apa.
Dalam jarak beberapa saat setelah kepergian si
Camar Hitam, Andika menggerakkan tubuhnya. Dari
sikapnya yang tegak tak melakukan apa-apa ia celin-
gukan "Busyet! Mengapa pandanganku berubah kem-
bali" Tadi seluruh yang nampak di mataku hanyalah
warna biru belaka" Monyet pitak! Kenapa jadi begini"
Ke mana perginya nenek jelek tadi" Aneh! Apa yang
terjadi sebenarnya?"
Merasa penasaran sekaligus heran, Andika ber-
kelebat mencari si Camar Hitam, namun tubuh si ne-
nek berbaju perak itu tak ditemuinya. Ia berdiri tegak dengan kening berkerut.
"Busyet! Ke mana manusia jelek itu" Wah, ja-
ngan-jangan dia takut padaku, hingga melarikan diri?"
pikirnya sok. Lalu menyambung, "Tetapi, apa yang terjadi denganku barusan"
Sepertinya seluruh pandan-
ganku berubah menjadi biru. Dan tak kulihat tempat
ini tadi. Bahkan tak kuketahui di mana sosok Camar
Hitam berada" Aneh! Ada apa ini" Tetapi, sekarang
aku tahu, kalau Camar Hitam menginginkan Permata
Sakti ini. Pasti sekarang ia sedang mencari Kakek Bu-
ruk Rupa. Agaknya, aku bukan hanya berniat men-
gembalikan permata ini pada si kakek, tetapi juga
memperingatkannya kalau bahaya masih mengancam
dirinya." Masih dengan rasa keheranan mengenai peru-
bahan yang terjadi pada pandangannya tadi di samp-
ing juga karena tahu-tahu Camar Hitam lenyap dari
pandangannya, Andika berkelebat meninggalkan tem-
pat itu. Namun samar masih diingatnya kalau tadi, ia
sedang diserang hebat oleh Camar Hitam.
Andika memang tidak tahu apa yang terjadi de-
ngan dirinya tadi. Ia tidak tahu mengapa apa yang di-
lihatnya hanya warna biru belaka" Ia tidak tahu kalau ia dengan sengaja
menyongsong serangan maut si Camar Hitam dan membiarkan tubuhnya dihajar.
Karena, gebrakan semacam itu akan membuatnya mati. Satu
pertanyaan yang akan melanda diri Pendekar Slebor
telah tercipta di hadapannya sendiri, tanpa disada-
rinya. *** 3 Matahari mulai condong ke barat ketika Andika
tiba di sebuah ngarai yang dipenuhi pepohonan. Di
hadapannya berjejer bukit-bukit yang indah sekali. Di atas perbukitan itu bagai
dipayungi oleh lentera merah yang dipancarkan oleh sinar matahari senja.
Pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutuk-
an mengedarkan pandangan ke sekeliling bukit.
"Sinting! Ke mana aku harus mencari Kakek
Buruk Rupa" Bikin kepalaku pusing!" makinya tak karuan. Diambilnya permata biru
yang berada di balik
pakaiannya. Dipegangnya perlahan. "Hmm, masih agak panas. Brengsek! Apa sih
sebenarnya kesaktian permata ini" Kenapa banyak yang menginginkannya" Lagi
pula, mengapa Kakek Buruk Rupa mengundangku
yang ternyata memberikan permata ini padaku" Dan
lagi, mengapa saat bertarung dengan Camar Hitam, se-
luruh penglihatanku hanya melihat warna biru bela-
ka?" Pemuda tampan berambut gondrong tak teratur itu membiarkan tubuhnya
dihembusi angin senja yang
sejuk. Ia masukkan lagi Permata Sakti itu ke balik pakaiannya.
Mendadak saja telinganya yang tajam mende-
ngar desisan liar dari samping. Seekor ular belang
yang cukup panjang muncul dari balik rimbunnya se-
mak dan meluncur ke arah kaki Andika.
"Dasar ular lapar!" maki Andika sambil putar tubuhnya. Lalu kakinya menyentak.
Preek! Kepala ular itu diinjaknya, pecah dan mengalir-
kan cairan kuning. Saat itu kabut mendadak turun di
muka bumi dan memenuhi perbukitan. Andika men-
gambil ular yang telah dibunuhnya itu.
"Lumayan untuk pengisi perut," desisnya.
Sambil tenteng ular itu, ia mulai melangkah di antara liputan kabut. Dan
mendadak saja terdengar suara ta-wa yang cukup merdu bersamaan dengan seruan
"Hei! Kenapa kau bunuh Jelita-ku?"
*** Suara itu datang dari samping Andika yang se-
gera menoleh. Terus terang, ia tak mendengar ada
langkah di sekitarnya. Bahkan tak melihat sosok yang
sepertinya sejak tadi berada di dekatnya.
Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut,
tampak satu sosok tubuh seorang gadis berpakaian
kuning. Berusia lebih kurang tujuh belas tahun. Ia tersenyum jenaka pada Andika
yang terbelalak melihat
betapa cantiknya gadis itu. Raut wajahnya bulat, mu-
lutnya mungil dengan sepasang bibir memerah. Ma-
tanya hitam jernih dengan gigi yang putih mengkilat
seperti salju. Ketawa yang diperdengarkan gadis itu ke-tawa lincah dan nakal.
Sukar untuk mengetahui mak-
na senyuman yang diperlihatkannya.
Andika yang masih diliputi kagetnya mendesis
dalam hati, "Apakah aku bertemu dengan kuntilanak
kesorean ataukah ia bidadari yang turun dari kayan-
gan?" Untuk beberapa saat perasaan Andika bagai di-aduk-aduk. Matanya tak tahan
lama-lama menatap si
gadis yang masih tersenyum.
"Hayo! Kenapa matamu itu?" katanya jenaka
masih tersenyum.
Andika gelagapan ditembak' seperti itu. Dasar
urakan, ia segera bisa menguasai dirinya lagi.
"Busyet! Kupikir lembah ini tempat jin buang
anak! Eh, jangan-jangan kau ini anaknya jin, ya?" selo-rohnya. Bukannya marah
mendengar selorohan Andika,
gadis itu justru tertawa.
"Kalau aku yang cantik ini anak jin, kau yang
jelek itu anak siapa?"
Andika tertawa gurauannya dibalas. Ia ber-
tanya, "Siapa tadi yang kau maksudkan dengan si Jelita?"
"Kau telah membunuhnya."
"Aku?" Andika mengerutkan keningnya. "Kok main tuduh sembarangan saja!"
"Apa yang ada di tanganmu itu?"
Andika mengangkatnya. "Ular!"
"Nah, itu si Jelitaku!"
Kali ini sepasang mata tajam bagai mata elang
itu melotot. "Yang beginian kau namakan Jelita?"
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Aku bersyukur karena kau berhasil membu-
nuhnya! Telah dua hari aku mencarinya untuk mem-
bunuhnya."
"Mengapa" Katanya, ular ini binatang kesayan-
ganmu?" "Betul. Tetapi, ia telah membunuh kelinci ke-
sayanganku. Nah, apa aku tidak jengkel" Lagi pula,
ular itu binatang tak tahu berterima kasih. Sudah
kuurus, eh malah membuatku susah. Lebih baik ku-
bunuh saja. Tetapi, kau telah membunuhnya!"
Meskipun heran mendapati gadis cantik di tem-
pat sunyi seperti ini apalagi dengan sikap yang plin-
plan begitu, Andika cuma mengangkat bahunya.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku, bu-
kan?" "Itulah sebabnya aku ingin mengajakmu ke rumahku."
Lagi-lagi Andika terdiam. Baru kali ini ia men-
dapati urusan yang agak aneh semacam ini. Dan men-
dadak saja perutnya berbunyi. Malunya bukan main
ketika melihat gadis di depannya tertawa.
"Kau lapar, kan" Nah! Ayo ke rumahku saja! Di
sana kau akan mendapatkan makanan yang banyak
sebagai ucapan terima kasihku!"
Tawaran itu memang mengasyikkan sebenar-
nya. Namun saat ini, Andika yang sedang mencari Ka-
kek Buruk Rupa, jadi ragu. Akhirnya ia memutuskan
untuk menolak. "Terima kasih. Masih ada urusan yang harus
kulakukan."
"Kalau begitu, aku marah karena kau membu-
nuh ularku!"
"Hei!" Andika melotot tak mengerti. "Tadi kau mengatakan berterima kasih padaku
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena aku membunuh ular ini, lalu mengapa kau hendak marah
sekarang?"
"Karena, kau menolak tawaran terima kasihku!
Ayolah, aku ingin sekali mengajakmu ke rumah! Kau
bisa melihat hewan-hewan peliharaanku! Bahkan ada
yang diberikan kakekku dulu, ketika aku berusia tiga
tahun. Sekarang, monyet yang diberikan kakekku su-
dah semakin tua usianya. Seiring dengan usiaku. Eh,
anaknya banyak lho! Tetapi, sayangnya, aku tidak ta-
hu lagi di mana kakek berada. Memang brengsek si
kakek! Hanya tiga kali aku dikunjunginya! Pertama,
ketika aku berusia sembilan tahun! Lalu, ia mendatan-
giku lagi ketika usiaku dua belas tahun dan itu terakhir setahun yang lalu,
ketika usiaku sudah lima belas tahun! Sebenarnya kakek baik, ia menurunkan
kepandaiannya kepadaku! Cuma ya, sebel aku dibuatnya!! Ia
selalu lama pergi dan ketika mendatangiku, ia justru
hanya sebentar. Kadang-kadang cepat menghilang lagi
tanpa mau bertemu dengan ayahku. Ih! Meskipun aku
sebel padanya, tetapi aku merindukannya. Karena aku
tahu, kakek sangat baik sekali padaku. Apalagi aku ini kan cucunya satu-
satunya." Andika mengerutkan keningnya tak mengerti.
Mengapa tahu-tahu gadis ini bercerita tentang dirinya padanya" Kelihatannya ia
memang merindukan kakeknya. Andika bisa menebak sekarang, ketika ia tak
mendengar bagaimana munculnya gadis ini, jelas dika-
renakan gadis ini mempunyai kepandaian. Mungkin,
ilmu meringankan tubuh yang diturunkan kakeknya
padanya. Tiba-tiba gadis itu menatapnya serius. Ditatap
dengan mata hitam jernih itu Andika jadi gelagapan.
"Ayahku selalu meminta kakekku untuk tinggal
bersama kami. Tetapi ia selalu menolak. Kakek me-
mang begitu! Tempat tinggalnya aku tidak tahu di ma-
na! Kakek pernah bercerita, ia adalah orang rimba persilatan, hingga hidupnya
selalu di mana saja. Tak me-
netap di satu tempat! Kakek pernah pula bercerita, ia selalu berkelahi terus
menerus. Kakekku itu hebat, ia tak pernah kalah. Makanya, ia bilang, lebih baik
menjauh dari kami, hingga bila ada musuh-musuh yang
mencarinya, kami tidak terlibat. Hhh! Kakek memang
menyebalkan! O ya, Kakek juga berpesan kalau kepan-
daianku ini tak boleh diketahui ayah dan ibuku! Eh,
dari cara pakaian yang kau kenakan, kau pasti orang
rimba persilatan, ya?"
Andika diam saja. Jelas sekali gadis ini adalah
bangsa terpelajar. Dari tutur sapa dan sikap sopannya membuktikan ia bukanlah
orang rimba persilatan.
Mungkin, keberaniannya muncul di tempat semacam
ini diwariskan oleh darah kakeknya.
"O ya, apakah kau pernah bertemu dengan ka-
kekku" Kakekku agak bongkok. Umurnya sudah tua
sekali. Ia selalu mengenakan pakaian compang-cam-
ping. Ih! Padahal ayahku mampu membelikannya pa-
kaian yang bagus! Tetapi kakekku selalu menolak.
Mengenai wajahnya, katanya wajah kakek menyeram-
kan! Menurut kakek, ia dulu wajahnya tampan. Tetapi
seorang lawan menjahatinya dengan menaruh obat bi-
us pada minumannya. Setelah ia pingsan, wajahnya
dilumuri madu dan ia diikat dalam keadaan tertotok di sebuah tempat. Semut-semut
ganas mendatanginya
dan menggigiti tubuhnya. Aku ngeri sekali mem-
bayangkannya! Makanya, sekarang ini Kakek selalu
menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang.
O ya, kakekku dijuluki Kakek Buruk Rupa!"
Dari ketersimaannya mendengar penuturan ga-
dis itu, Andika terjingkat. Ular yang dipegangnya terlepas. Ia terbelalak pada
gadis itu yang ganti me-
ngerutkan keningnya heran.
"Kau kenapa" Kalau kau menolak ke rumahku,
ya tidak apa. Tetapi, jangan tampakkan wajah jelek
kayak begitu?" si gadis bergidik. "Aku jadi ngeri."
Andika merubah sikap terkejutnya. Pelan tanpa
mengalihkan pandangannya pada wajah jelita di ha-
dapannya, ia berkata, "Kau bilang, kakekmu berjuluk Kakek Buruk Rupa?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Ya. Memangnya kenapa" Kau baru bertemu
dengannya, ya?"
Andika ganti mengangguk.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya" Ajak
aku untuk menemuinya! Aku kangen sekali pada ka-
kek!" seru gadis itu dengan suara dan wajah lebih cerah. Andika menceritakan
pertemuannya dengan
Kakek Buruk Rupa. Tetapi, karena sejak tadi si gadis
tidak menyinggung soal permata yang memancarkan
warna biru, Andika tidak menceritakannya. Apakah si
kakek memang pernah menceritakan permata itu pada
gadis ini lalu memintanya untuk menutup mulut,
ataukah ia sama sekali tak pernah menceritakannya"
Andika mendengar gadis itu menarik napas
panjang. Kelihatan betapa galau hatinya.
"Kakek memang begitu! Ia pasti telah jauh dari
sini! Ah, bila saja kau tahu di mana kakekku berada,
pastinya aku akan berjumpa dengannya. Akan kubu-
juk dia untuk tinggal bersama kami. Tetapi, sudah-
lah... memahami sifat kakek tak cukup memakan wak-
tu sepuluh tahun. Harus selalu dipenuhi kesabaran
yang mendalam. Eh, kau mau ke rumahku atau tidak"
Sebentar lagi malam?"
Kalau tadi Andika menolak permintaan gadis
itu, sekarang ia mengangguk. Ada sesuatu yang ingin
ia ketahui, tentang Kakek Buruk Rupa yang masih dis-
elimuti misteri. Terutama, soal Permata Sakti yang berada di balik pinggangnya
sekarang. Melihat Andika mengangguk, si gadis sungging-
kan senyum. "Nah! Itu baru bagus! O ya, namaku Suci. Na-
mamu siapa" Kau pasti punya nama kan?"
Andika cuma tersenyum mendengar gurauan
gadis itu. Gadis yang mengaku bernama Suci itu me-
mang bersifat jenaka. Ia selalu riang gembira.
"Namaku Andika."
"Nah! Kalau begitu, kita berangkat sekarang!
Biar sampai di rumahku tidak terlalu kemalaman!"
Sehabis berkata begitu, Suci langsung memutar
tubuh. Andika mengira mereka akan berjalan beririn-
gan, namun ia harus belalakkan matanya ketika tiba-
tiba gadis itu sudah melesat laksana anak panah dile-
pas dari busurnya.
"Kejarlah aku kalau kau mampu, Andika!!" serunya sambil tertawa.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Busyet! Benar-benar menantang! Biarlah kui-
kuti saja dulu gadis yang bernama Suci itu! Barangkali saja aku bisa mendapatkan
keterangan tentang Kakek
Buruk Rupa!"
Selesai berpikir begitu, Andika pun segera me-
nyusul Suci yang sudah melesat jauh.
*** Kakek Buruk Rupa benar-benar mengajarkan
cucunya ilmu lari yang hebat. Meskipun dapat melam-
pauinya, Andika merasakan kehebatan ilmu lari gadis
itu cukup lumayan meskipun masih tiga tingkat di ba-
wahnya. Mereka memasuki sebuah jalan desa ketika
rembulan tepat di tengah kepala. Selama berlari, tak
sekali pun Suci berhenti.
Kali ini Suci memperlambat larinya. Mendapati
gadis itu memperlambat larinya, Andika berbuat sama.
Sambil melangkah beriringan, Suci berkata, "Kalau ayahku tanya, katakan kau
temanku sejak lama, ya"
Katakan pula, kita berkenalan di kaki Bukit Serabut."
"Di mana itu?" tanya Andika tak mengerti.
"Pokoknya kau bilang begitu saja. Ayah pasti ti-
dak bertanya. Yang terpenting, jangan katakan apa-
apa tentang kakekku. Ayah bisa marah besar. Nanti,
aku ingin ikut denganmu mencari kakekku, ya" Kau
janji, ya?"
Lagi-lagi Andika dibuat tak mampu memu-
tuskan sikapnya. Dari nada suara dan pancaran mata
Suci, nampak sekali kalau gadis itu sangat merindu-
kan kakeknya. "Mengapa kau diam saja?"
"Aku belum tahu harus menjawab apa."
"Tetapi, kau mau membantuku mencarinya,
bukan" Aku rindu pada kakek. Aku ingin bermain-
main dengannya."
Andika tak menjawab, justru ia bertanya, "Ma-
sih jauhkah rumahmu?"
Suci menggelengkan kepalanya. Menunjuk ru-
mah besar di ujung jalan. Di depan rumah itu ada se-
macam taman yang cukup besar. Pintu pagar rumah
itu cukup tinggi.
"Ingat ya, jangan sekali-sekali mengatakan pa-
da ayah atau ibuku kalau kakek pernah mengajariku
ilmu silat dan yang lainnya. Ingat ya" Kau akan men-
jadi sahabatku kalau kau memang memenuhinya."
Kali ini Andika menyanggupi keinginan Suci. Ia
berpikir, orang tua Suci tak akan menanyakan hal itu.
Keduanya terus melangkah. Tiba di depan ru-
mah yang tadi ditunjuk Suci, dua orang laki-laki yang berdiri di sana dan sedang
merokok bergegas meng-hampiri,
"Den Suci!"
Suci meletakkan telunjuknya di bibir.
"Jangan berisik. Ayah dan Ibu sudah tidur?"
"Belum. Mereka cemas memikirkanmu," sahut
yang berkumis tipis. Matanya tajam menatap Andika.
Seperti menemukan maling jemuran!
"Wah! Gawat kalau begini!" desis Suci, lalu menoleh pada Andika, "Ingat kata-
kataku tadi ya" Jangan sampai kau keceplosan ngomong. Kalau melihat sikapmu ini,
kayaknya kau termasuk orang yang cere-
wet!" Andika yang hendak menganggukkan kepala,
jadi urung dan keluarkan dengusan. "Brengsek! Gadis ini benar-benar pandai
omong! Tetapi masa bodohlah!
Yang ingin kutahu saat ini adalah tentang Kakek Bu-
ruk Rupa," desisnya dalam hati.
Suci hanya tertawa saja melihat perubahan wa-
jah Andika. Tanpa mempedulikannya, ia menarik tan-
gan pemuda tampan itu mengikuti langkahnya mema-
suki halaman yang cukup lebar.
Sementara dua orang laki-laki yang menjaga di
depan rumahnya, saling pandang melihat keakraban
Suci dengan pemuda yang menurut pandangan me-
reka itu, kumal sekali.
Selebihnya, mereka tak acuh saja. Toh, Den
Suci sudah kembali ke rumah. Sepeninggal Suci yang
tanpa pamit itu, memang cukup meresahkan kedua
orangtuanya, hingga ayahnya mengutus tiga orang
penjaga rumahnya untuk mencari gadis itu. Dan sebe-
lum tiga orang yang diutusnya itu menemukan pu-
trinya, sang putri sudah muncul bersama seorang pe-
muda tampan namun rambutnya seperti tak diurus.
*** 4 Ayah Suci bernama Haryo Adilekso. Laki-laki
itu berperawakan cukup gemuk. Wajahnya bulat. Ia
memiliki kulit yang bersih. Pandangan matanya bijak-
sana, penuh kebajikan. Sedangkan ibunya bernama
Hartati. Seorang wanita yang selalu menekankan pada
kelembutan dan sopan santun yang tinggi. Wanita itu
amat menyayangi Suci, hingga kepergian Suci yang
tanpa pamit, membuatnya bagai kehilangan suk-
manya. Tetapi, kemunculan Suci yang tak disang-
kanya, membuatnya segera bangkit dari kamarnya. Pa-
dahal, sejak pagi ia tidak makan apa-apa. Tak ada ke-
nikmatan menikmati hidangan lezat selagi putrinya ti-
dak ada di sisinya.
Suci jadi iba melihat keadaan ibunya. Ia lang-
sung merangkul ibunya penuh kasih sayang, lalu den-
gan tulus ia berkata, "Maafkan Suci, Bu.... Suci nakal, ya?" Ibunya tersenyum.
Matanya berkaca-kaca. Tangannya membelai rambut putrinya yang panjang.
"Mengapa kau tidak pamit, Suci?" tanyanya
lembut. "Habisnya, aku kan tidak tahu kalau kelinci kesayanganku dimangsa oleh
si Jelita" Aku kesal kan,
Bu. Makanya, kucari ular brengsek itu dan kubunuh."
Ibunya cuma sunggingkan senyum, Sementara Andika
yang sejak tadi masih berdiri dan belum dipersilakan
duduk, hanya memperhatikan saja. Dalam hatinya, ia
kesal pada Suci karena telah membuat wanita yang
lembut itu jadi kebingungan.
Haryo Adilekso mendehem dua kali. Seketika
Andika memutar kepalanya dan mengangguk. Suci
berdiri, melepaskan rangkulannya dari ibunya. Ia ber-
kata pada ayahnya, "O ya... kenalkan, ini temanku.
Yah. Bu. Namanya Andika."
Andika menganggukkan kepalanya lagi sambil
tersenyum. Suci memang benar tentang ayahnya. Setelah
menatap Andika beberapa saat, laki-laki gemuk itu
bertanya, "Terus terang, kami baru mendengar kalau Suci mempunyai seorang
sahabat seperti kau, Andika.
Hmm, katakan, di mana kalian berkenalan?"
Seperti yang telah direncanakan, Andika men-
gatakan apa yang diminta Suci. Padahal hatinya bukan
main jengkel berbohong seperti ini. Sudah sepatutnya
bila Suci menerima hukuman atas perbuatan nakal-
nya. Haryo Adilekso mengangguk-angguk. Meskipun
pemuda di hadapannya ini seperti orang jarang mandi,
laki-laki gemuk itu yakin kalau Andika orang baik-
baik. Ia menoleh pada putrinya yang tiba-tiba menun-
dukkan kepala. "Suci... beberapa kali Ayah katakan padamu,
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila kau hendak tinggalkan rumah, kau harus berpa-
mitan kepada kami."
"Maafkan Suci, Yah. Habisnya, Suci jengkel pa-
da si Jelita. Ia tak tahu berterima kasih. Padahal sejak kecil Suci merawatnya
dan selalu bermain-main dengannya. Eh, dia justru memangsa kelinci kesayangan
Suci." Haryo Adilekso tahu betapa manja putri semata wayang ini.
"Ya, sudahlah... kalian lebih baik beristirahat
saja. Andika... kau bisa menempati ruangan di bela-
kang." "Terima kasih," sahut Andika sopan. Hatinya masih jengkel menyadari kalau
ia seperti diperalat oleh Suci. Sementara gadis itu mendekati Andika. Kalau
tadi sikapnya seperti takut-takut pada ayahnya, seka-
rang ia seperti bebas dari sebuah tekanan.
"Kamu belum makan, kan?" katanya pada An-
dika. "Ayo, kita makan dulu! Perutku juga lapar!"
Andika jadi risih ketika tanpa menunggu jawa-
bannya, gadis itu sudah menariknya, membawanya ke
ruangan yang cukup besar.
Hartati hanya tersenyum saja melihat sikap pu-
trinya yang begitu akrab dan manja. Mungkin, mereka
telah berkenalan lama, pikirnya. Tetapi, mengapa ha-
rus pemuda yang kumal itu menjadi kenalan Suci"
Sedangkan Haryo Adilekso hanya terdiam. Piki-
rannya berputar cepat. Meskipun ia sulit menentukan
apakah putrinya berbohong atau tidak saat ini, namun
diam-diam ia yakin, kalau kepergian putrinya ini sebenarnya hendak mencari
kakeknya. Hati Haryo Adilekso sangat jengkel melihat ke-
lakuan ayahnya sendiri yang dijuluki orang Kakek Bu-
ruk Rupa. Bukan berarti, ia melarang putrinya berde-
katan dengan kakeknya, melainkan karena ia ingin hi-
dup tentram bersama keluarganya. Ia tahu, ayahnya
adalah orang rimba persilatan, yang setiap saat selalu harus menurunkan tangan
keras guna pertahankan
hidup. Berulang kali ia meminta pada orangtua yang
berkemauan aneh itu untuk tinggal bersama dan
menghentikan semua sepak terjangnya. Namun seba-
gai orang rimba persilatan, Kakek Buruk Rupa meno-
lak permintaannya.
*** Sudah dua malam Andika tinggal di rumah be-
sar itu. Dan terus terang, keadaan ini sangat menyik-
sanya. Ia tak betah tidur di kasur empuk dan menik-
mati makanan lezat yang dihidangkan. Tetapi, rasa in-
gin tahunya tentang Kakek Buruk Rupa yang menu-
rutnya bisa diketahui dari Suci, memaksanya untuk
membuang segala kebosanannya.
Di kamar yang disediakan, Andika berusaha
memecahkan rahasia apa yang terkandung pada Per-
mata Sakti yang memancarkan sinar biru. Diperasnya
seluruh otaknya dengan mata tak berkesip menatap
permata biru yang berada di tangannya. Semakin ia
berusaha memecahkan rahasia apa yang dikandung-
nya, semakin buntu rasanya.
Bayangan gambar seekor naga jantan di dalam
permata sebesar telur ayam itu, bagai mengambang
dan berpendar-pendar di matanya. Tak ada keanehan
apa-apa dengan bayangan gambar naga itu yang tak
bergerak sedikit juga.
"Rahasia apa yang terkandung di dalam perma-
ta ini sehingga banyak yang menginginkannya. Lagi
pula, yang masih mengherankanku, mengapa Kakek
Buruk Rupa menyerahkannya begitu saja padaku" Ka-
lau memang dia sudah mengetahui rahasianya, lalu
teka-teki apa yang ada di balik pemberian permata ini"
Hmm, sudah saatnya aku mencari keterangan pada
Suci." Dalam satu kesempatan ketika Suci mengajaknya bermain-main di Lembah
Wangi, di mana terdapat
ribuan bunga yang menebarkan aroma wangi itu, An-
dika mengemukakan keingintahuannya.
Suci yang sedang tertawa sambil mengejar se-
ekor kupu-kupu, menghentikan gerakannya. Kepa-
lanya menoleh seketika dengan sambil tersenyum ke-
tika Andika memanggilnya, "Ada apa, Kang?"
Andika membawa langkahnya ke sebuah pohon
rindang. Ia duduk di bawahnya. Matahari pagi yang
sudah sepenggalah memberikan sinar cerah ke pen-
juru persada. Suci dengan riangnya duduk pula di si-
sinya. Mungkin karena sifat riangnya, ia langsung saja memegang tangan Andika.
"Apakah kau ingin mengajakku mencari ka-
kek?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa yang hendak kau katakan?"
Ditatapnya gadis itu yang masih memperli-
hatkan wajah riang.
"Suci... aku ingin tahu, selama kau bertemu ka-
kekmu, apakah ia pernah menceritakan tentang per-
mata bersinar biru?" tanya Andika sambil mencabut sebatang alang-alang, lalu
dihisap-hisapnya. Manis.
Suci memandang Andika. "Permata bersinar bi-
ru" Permata apakah itu, Kang" Baguskah?"
Lagi Andika mendesah. Dengan jawaban seperti
itu, ia bisa langsung menduga kalau Suci tak tahu
menahu soal permata biru itu.
"Ceritakan tentang kakekmu."
"Mengapa Kang Andika jadi tertarik soal kakek"
Rasanya, berkali-kali Andika menanyakan soal kakek."
Andika gelagapan dibuatnya. Tetapi bukan ia
bila tak bisa mengendalikan gelagapannya sendiri.
"Terus terang, aku ingin sekali bertemu dengan
kakekmu." Kali ini Suci tersenyum. "Kakek orang yang ra-
mah. Ia selalu terbuka dan siap bersahabat dengan
siapa saja. Namun, banyak sekali orang yang berlagak
bersahabat padahal ingin membunuhnya. Kupikir, ka-
kek akan kesulitan hidup. Oh! Rinduku makin mem-
besar saja pada kakek."
Andika pun tak meneruskan pertanyaannya.
Bila Suci sudah menjawab seperti itu, berarti pembicaraan soal Kakek Buruk Rupa
harus dihentikan. Karena
jelas sekali, Suci hanya tahu sedikit tentang kakeknya.
Dan yang terpenting, sekarang Andika yakin kalau ga-
dis itu tidak tahu menahu soal Permata Sakti yang
memancarkan sinar biru. Berarti, sang kakek tak
memberitahukannya.
Ia mengajak Suci kembali ke rumah dan sepan-
jang perjalanan menuju rumah, gadis itu terus me-
nerus meminta Andika mengajaknya serta mencari ka-
keknya. Andika benar-benar dibuat mati kutu!
*** Malam kembali bentangkan sayapnya. Sang ra-
tu malam kembali berada dalam perjalanannya me-
nyongsong matahari. Kegelapan dan kesunyian malam
payungi desa di mana Suci tinggal dan Andika mengi-
nap. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutuk-
an itu kembali duduk di atas ranjangnya. Matanya tak
berkesip memandang Permata Sakti yang memancar-
kan sinar warna biru di tangannya. Otaknya kembali
diperas guna memecahkan rahasia apa yang dikan-
dung permata biru itu. Namun lagi-lagi buntu.
Dan mendadak saja pendengarannya yang ter-
latih menangkap satu sosok tubuh hinggap di wuwun-
gan rumah. Sigap Andika tiup lentera yang menerangi
kamarnya sambil bergulingan. Permata itu langsung
dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Lalu dibukanya pintu dan setelah melihat ke-
adaan aman, ia kelebatkan tubuh keluar.
"Hmm, ada tamu tak diundang yang mau cari
penyakit!" desisnya. Melalui jendela ia lompat keluar dan langsung berkelebat ke
atas. Disangkanya ia akan pergoki orang itu namun
ketika tiba di atap rumah, ia tak melihat sosok lain kecuali dirinya.
"Gila! Orang itu jelas mempunyai kecepatan
dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan.
Hmm... aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa
gerangan dia!"
Tubuhnya dikelebatkan kembali. Dan pandan-
gannya samar melihat bayangan melompat ke bawah.
Cepat Andika mengejar dengan rasa penasaran. Lebih
penasaran lagi ketika tahu sosok itu berusaha masuk
ke kamar Suci. "Setan alas! Siapa dia?" begitu melihat bayangan itu, Andika kibaskan tangannya.
Wusss!! Sosok tubuh hitam-hitam yang sedang berusa-
ha membuka jendela kamar Suci, terkejut ketika me-
nangkap desing halus ke arahnya. Ia langsung memu-
tar tubuh dan melompat ke samping.
Andika tak mau membuang waktu, ia langsung
berkelebat untuk menangkapnya. Namun, sosok tubuh
hitam-hitam yang menutup wajahnya dengan secarik
kain, telah bergulingan. Cukup terkejut Andika di-
buatnya. Ia langsung mengempos tubuh kembali. Dan
sosok itu kembali menghindar dengan cepatnya.
"Hhh! Memaksaku main kucing-kucingan! Kau
akan gagal, Kawan!" dengus Andika, kali ini ia membuat gerakan seperti melompat.
Dugaannya tepat ka-
rena sosok hitam-hitam itu sudah membuang tubuh.
Padahal, gerakan yang diperlihatkan Andika sebe-
narnya hanya pancingan belaka. Begitu sosok dihada-
pannya bergulingan, ia langsung menyergap.
Tap! Kedua tangannya menangkap tangan orang itu,
lalu diputar ke belakang hingga terdengar jeritan tertahan. "Aaaakhhh!!"
Justru Andika yang langsung melepaskan kun-
cian tangannya. Ia terbengong sesaat, apalagi melihat orang itu menjatuhkan
tubuh dan mendengus panjang
pendek sambil mengusap tangannya yang sakit akibat
pitingan Andika.
"Kau?" desis Andika terbata. Sesaat kemudian, terdengar suaranya jengkel, "Mau
apa kau memata-mataiku, Suci"!"
Orang berbaju hitam-hitam itu mengangkat ke-
palanya. Matanya pancarkan sinar jengkel. Ia menarik
kain hitam yang menutup wajahnya. Seketika terden-
gar seruannya. "Sakit tanganku kau buat, Kang Andika!" Andi-ka mendengus. Benar-benar jengkel
melihat wajah orang itu. Suci. Bila saja Andika lebih keras sedikit, tak mustahil kedua tangan
gadis itu patah dibuatnya!
"Hhhh! Perbuatanmu keterlaluan, Suci! Meng-
apa kau melakukan tindakan seperti ini, hah"."
"Karena Kang Andika akan pergi!"
"Kalaupun aku akan pergi, aku tak akan me-
ninggalkan kau secara sembunyi-sembunyi!"
"Aku takut, Kang Andika tak mengajakku ser-
ta," kata gadis itu. Kali ini suaranya lebih pelan dan sarat dengan kesalahan.
"Aku tahu, karena Kang Andika belum juga mengiyakan permintaanku."
Peristiwa Bulu Merak 4 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Pendekar Pedang Dari Bu Tong 26
RAHASIA PERMATA SAKTI Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode: Rahasia Permata Sakti
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Bunga-bunga bermekaran indah dan harum
tersiram hujan rintik-rintik semalam. Panorama indah
membedah daerah di sekitar Gunung Semeru. Tanah
di sekitar sana sedikit basah.
Beberapa desa terbenam kesunyian, terletak
cukup jauh dari Gunung Semeru, berada dalam sapu-
tan kabut pagi cukup tebal. Puncak Semeru tersaput
kabut. Terbayang di pelupuk mata bagaikan raksasa
yang sedang tidur.
Dalam kabut tebal dan dingin menyengat, seo-
rang pemuda berbaju hijau pupus melangkah di jalan
setapak. Kira-kira tiga puluh tombak dari lereng Gu-
nung Semeru ia hentikan langkah. Wajah si pemuda
yang tampan dengan rambut gondrong tak beraturan
itu bagai tak hiraukan keadaan di sekelilingnya.
Diedarkan pandangan ke segenap penjuru.
Yang nampak hanyalah lapisan kabut, dingin, berpen-
dar. Keningnya berkerut hingga wajah tampannya
jadi jelek bukan main.
"Hmmm... siapa sebenarnya yang mengun-
dangku ke sini?" desis si pemuda dalam hati. "Isi pesan yang ditinggalkan dari
guratan di batang pohon,
meminta kesediaanku datang ke Gunung Semeru ini.
Sialnya, orang itu tidak memberitahukan siapa dirinya.
Dan untuk apa meminta aku datang ke sini. Brengsek!
Mau-maunya aku melakukan hal ini" Jangan-jangan
hanya orang iseng saja yang melakukannya. Tetapi,
melihat dari guratan pesan di batang pohon itu, jelas kalau orang yang memintaku
datang memiliki tenaga
dalam tinggi."
Pemuda berbaju hijau pupus dengan kain ber-
corak catur di lehernya itu, menggerutu panjang pen-
dek. Ia teringat saat kemarin malam tidur di sebuah
lembah, terletak cukup jauh dari Gunung Semeru. Ke-
tika ia terbangun pagi hari, pandangannya tak berke-
sip menatap pohon di hadapannya. Sebuah guratan
tulisan berisi pesan ditujukan padanya, terpampang di pohon itu.
Pendekar Slebor, kuminta kau datang ke lereng
Gunung Semeru. Ada sesuatu yang hendak kusampai-
kan. Si pemuda berbaju hijau pupus yang tampan itu ternyata tak lain adalah
Andika alias Pendekar Slebor. Keningnya berkerut kembali sambil coba terka apa
maksud dari pesan itu. Yang pasti, pesan yang tertulis cukup dalam di batang
pohon itu jelas ditujukan padanya. Yang membuatnya geleng-geleng kepala, bila
melihat betapa dekatnya jarak pohon itu dengan tem-
pat di mana ia tidur, sudah tentu telinganya yang terlatih akan menangkap suara
langkah atau tarikan na-
pas seseorang. Namun apa yang dilihatnya sekarang
ini, justru membuatnya bertambah yakin, kalau orang
yang menuliskan pesan itu bukan hanya memiliki te-
naga dalam tinggi, melainkan ilmu meringankan tubuh
yang tinggi pula. Sedikit pun ia tak mendengar suara
langkah atau tarikan napas seseorang.
Karena rasa penasarannya, selesai mandi di se-
buah sungai, dan memburu seekor kelinci gemuk un-
tuk dijadikan sarapan pagi, Pendekar Slebor segera
emposkan tubuh. Dengan pergunakan ilmu larinya
yang kesohor, dalam waktu satu hari satu malam ia
sudah hampir tiba di lereng Gunung Semeru.
Sekarang, si pemuda urakan dari Lembah Ku-
tukan kembali edarkan pandangan ke sekeliling. Di-
ngin yang menyengat tak dihiraukan. Hatinya penasa-
ran terhadap isi pesan itu. Terutama, ingin mengetahui siapa yang menuliskan
pesan padanya. "Busyet!" desisnya sambil garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal. "Siapa sih yang mengirim pesan untukku itu" Bila
ternyata orang itu hanya mempermainkan ku saja, awas, akan kubalas tindakannya!
Sebaiknya, aku segera menuju lereng Gunung Seme-
ru!" Memikir begitu, Andika mengempos tubuhnya
kembali. Hanya dua tarikan napas saja, jarak tiga pu-
luh tombak di mana ia berdiri dengan Gunung Se-
meru, sudah dicapainya. Keadaan bertambah dingin
dan kabut tebal itu menutupi pandangannya. Dipi-
cingkan mata seksama, dikerahkan sedikit tenaga da-
lam guna mengusir hawa dingin. Kalau memang isi pe-
san itu benar, Andika memperkirakan orang yang me-
mintanya datang pasti telah menunggunya. Namun ia
tak melihat sosok tubuh di sana.
"Edan! Tak ada siapa pun di sini kecuali aku!"
makinya tak karuan. "Hhh! Lebih baik kuputari saja gunung ini! Barangkali bisa
kutemukan orang iseng
itu!!" Namun belum lagi ia menjalankan niatnya, ti-ba-tiba terdengar desingan
halus menyusul tiga desir
angin yang kuat ke arahnya.
*** "Sapi ompong! Manusia iseng mana yang lan-
cang menyerang, hah"!" maki Pendekar Slebor sambil lakukan satu lompatan ringan.
Tubuhnya mencelat ke
atas bagai mengapung, masih berada di udara ia putar
tubuhnya. Kakinya bergerak sebanyak tiga kali.
Trak! Trak! Trak!
Tiga desir angin itu berpentalan ke berbagai
arah. Andika hinggap lagi di tanah sambil edarkan
pandangan. Ia yakin, yang barusan mendesing ke
arahnya itu hanya tiga buah ranting kecil, yang telah dialirkan tenaga dalam
mematikan. Belum lagi ia bisa menentukan dari mana arah
serangan itu datang, lima buah kerikil, cepat luar biasa menderu kembali. Dua
menyerang bagian atas tu-
buh dan tiga lagi menyerang bagian bawah.
"Kerbau mabuk!" maki Andika sambil gerakkan tubuhnya. Dua batu yang menyerang
bagian atas, di-hindari dengan merunduk. Tiga buah batu lagi yang
menyusul belakangan dipapas dengan gerakan tangan
tiga kali yang tak kalah cepat. Kali ini rasa jengkelnya sudah naik ke ubun-
ubun. "Manusia iseng! Lebih baik keluar dari tempat
persembunyiamnu! Jangan sampai kuobrak-abrik Gu-
nung Semeru ini!!"
Habis kata-katanya, terdengar satu tawa yang
luar biasa keras. Tanpa terasa tubuh Andika bergetar.
Ia pun merasakan bagaimana tanah yang dipijaknya
bergetar pula. Cepat ia alirkan tenaga dalamnya guna
mengatasi serangan tak nampak yang disalurkan me-
lalui tawa keras.
Sambil menahan serangan itu, ia buka pandan-
gannya. Samar matanya yang terlatih melihat dalam
gelap, menangkap bayangan satu sosok tubuh yang
duduk dalam jarak sepuluh tombak di hadapannya.
"Hhh! Manusia itu yang membuat ulah!" desisnya. Cepat ia menggerakkan tangan
kanannya sebagai
balasan atas serangan orang di atas batu. Angin panas menderu dahsyat memecah
kabut tebal. Terdengar suara ledakan keras. Samar pula pandangannya me-
nangkap satu sosok tubuh melompat dan batu besar
yang didudukinya hancur berantakan.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau kuundang
ke gunung ini!!" terdengar suara laki-laki, serak, mengekeh. Andika yang masih
menahan serangan tak
nampak melalui suara tawa yang menyakitkan tadi,
melihat satu sosok tubuh berdiri di hadapannya dalam
jarak tiga tombak. Meskipun pandangannya tertutup
kabut tebal, namun ia cukup dibuat terkejut saat me-
lihat rupa orang itu.
"Hmm... apakah aku berjumpa dengan setan
beranak di tempat seram ini?" desisnya sambil kerutkan kening.
Sosok yang berdiri di hadapannya bertubuh
bongkok. Pakaian compang-camping dengan perli-
hatkan tulang di tubuhnya, seolah tak merasakan ha-
wa dingin yang sangat kuat. Wajahnya sukar sekali di-
lukiskan karena rambut putihnya memanjang bagai
menutupi pandangannya. Jenggotnya yang putih men-
julai hingga setengah meter dari tanah. Celananya
berwarna putih yang sudah kotor sekali.
"Siapakah kau, Orang Tua?" desis Andika de-
ngan hati bertanya-tanya. Namun ia yakin, kalau
orang tua aneh itulah yang mengundangnya datang ke
tempat ini. "Hehehe... pertanyaan bagus, berarti permulaan
yang bagus pula. Selamat datang di tempat sialan ini, Pendekar Slebor." Orang
tua itu mengekeh, seperti mentertawai kata-katanya sendiri yang dianggapnya
sebagai gurauan yang lucu. Padahal Andika tidak me-
nimpalinya. Ia justru mendengus karena pertanyaannya tak
segera dijawab. Ia mengulanginya lagi. Namun lagi-lagi orang tua aneh, kurus
kerempeng, dan memiliki tulang
seperti udang itu, perdengarkan tawanya. Kali ini tidak
terlalu keras menerpa dan tidak menggetarkan. Ru-
panya, tawanya itu tidak dialirkan tenaga dalam seper-ti tadi. "Tidak sia-sia
aku mengundang seorang pendekar kenamaan ke tempat ini, yang namanya semakin
lama semakin merangkak naik ke langit ketujuh. Te-
tapi perlu kau ketahui, kau sebenarnya beruntung ber-
temu denganku, Pendekar Slebor!"
"Monyet bongkok!" maki Andika dalam hati.
"Konyol benar kata-katanya itu! Dipikirnya ia seorang dewa apa?" Lalu ia berseru
lagi, "Orang tua... lebih baik katakan siapa kau adanya, dan apa maksudmu
mengundangku kemari?"
"Tidak sabaran! Memang tak heran, bila kuke-
tahui hal itu! Julukan Pendekar Slebor memang cukup
aneh dan sekaligus mengerikan."
"Busyet! Dia masih belum menjawab juga per-
tanyaanku?" maki Andika dalam hati. "Jangan-jangan, orang tua ini sinting.
Mungkin kebanyakan makan na-si campur tahi ayam!"
Selagi Andika mendumal tak karuan, orang tua
aneh itu justru menjawab pertanyaannya, "Hehehe...
kau boleh memanggilku Kakek Buruk Rupa. Padahal,
wajahku tak kalah ganteng denganmu, lho."
Kalau tadi Andika jengkel karena pertanyaan-
nya tidak segera dijawab, sekarang buyut dari Eyang
Saptacakra penguasa Lembah Kutukan itu jadi ingin
kencing mendengar kata-kata si orang tua. "Heran, kok tidak malu ya memuji
sendiri," ejeknya sambil perlihatkan seringainya yang paling jelek. "Padahal
wajah-mu tak lebih dari setan kuburan, Orang Tua!"
Bukannya marah mendengar ejekan itu, si
orang tua yang mengaku berjuluk Kakek Buruk Rupa
justru sunggingkan senyum. Karena wajahnya yang
mengerikan itu, senyumnya pun tak ubahnya seperti
setan yang kebelet kencing.
"Pujian bagus! Aku senang mendengarnya!
Mendekatlah! Ada sebuah pesan yang ingin kusam-
paikan padamu! Duduk!!"
Mungkin karena rasa penasarannya itulah yang
membuat Andika memenuhi kata-kata si orang tua
yang mengaku telah sengaja mengundangnya ke tem-
pat ini. Perlahan-lahan ia duduk bersila. Meskipun wajahnya tertutup panjangnya
rambut, namun Andika
tak menyangkal lagi kalau wajah orang tua di hada-
pannya pasti lebih buruk dari kucing kurus!
Orang tua itu pun duduk di hadapan Andika.
Dua orang laki-laki berbeda usia itu kini saling berhadapan. Dan saling tatap
seolah menjajaki siapa adanya diri masing-masing. Kakek Buruk Rupa kilapkan
tangannya seolah sikap seperti itu tak usah diperlihatkan.
Ia justru keluarkan sesuatu dari balik pakaiannya
yang compang-camping. Rupanya, di balik pakaiannya
itu terdapat semacam ikat pinggang berwarna merah
dan sesuatu yang diambilnya tadi itu berasal dari sa-
na. Dibawanya benda yang masih berada dalam
genggamannya itu di hadapan Andika.
"Tebak! Apa yang ku genggam ini?"
Andika picingkan matanya. Ia hanya melihat
sebuah sinar warna biru yang memancar dari gengga-
man si orang tua. Namun sulit menebak benda apakah
itu. "Katakanlah, Kek."
"Pasti... pasti kau sangat penasaran sekali" sahut Kakek Buruk Rupa yang
kelihatan geli dengan
permintaan Andika. "Baik, baik... karena aku yang mengundangmu ke sini, aku akan
segera memberitahukannya padamu."
"Ya sudah! Ceritalah, Kek!" seru Andika sewot.
Si orang tua perdengarkan tawanya yang benar-
benar tak sedap didengar. Perlahan-lahan ia buka
genggamannya. Sinar biru yang tadi memancar, kini
bertambah terang, menusuk mata.
"Bola kaca!" desis Andika kagum. Matanya melotot melihat benda di tangan si
orang tua. "Goblok! Ini permata!"
Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir.
Diperhatikannya permata sebesar telur ayam yang be-
rada di telapak tangan si orang tua. Sinar biru yang
memancar dari sana, benar-benar cukup menyilaukan.
"Hanya karena permata ini, kau mengundang-
ku kemari, Kek?" tanyanya kemudian.
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek Buruk Rupa terkekeh lagi. "Permata di
tanganku ini bukanlah permata sembarangan. Bukan
permata seperti yang dimiliki orang kebanyakan. Apa
yang kau lihat dari permata ini, Andika?"
"Sinar warna biru yang menyilaukan namun
kuakui cukup mempesona."
"Bodoh! Coba perhatikan lagi!"
Sebenarnya, Andika sudah jengkel bukan main
karena selalu dibentak. Tetapi rasa penasarannya
mengunci jengkelnya itu. Ia picingkan matanya seka-
ligus halau sinar biru yang cukup menusuk mata. Per-
lahan-lahan dilihatnya sebuah bayangan di dalam
permata sebesar telur ayam itu.
"Ada gambar naga di dalamnya," katanya agak ragu. Si kakek justru mengiyakan dan
memujinya. "Tepat! Tepat sekali! Kau memang pintar! Tak
sia-sia kau dikatakan pendekar yang memiliki sejuta
akal cerdik. Perlu kau ketahui... permata biru ini adalah Permata Sakti yang
kudapatkan lima belas tahun
lalu di Sungai Biru yang letaknya ribuan tombak dari
tempat ini. Semula, aku tidak tahu menahu soal per-
mata yang entah berapa lama terpendam di Sungai Bi-
ru. Ketika kudapatkan, sesuatu yang mengejutkanku
terjadi. Karena permata ini begitu panas sekali! Satu hal yang mengejutkanku,
selama lima belas tahun itu
banyak sekali orang-orang yang menginginkan perma-
ta ini. Terus terang, aku tidak tahu apa kegunaannya.
Namun ketika setiap saat aku harus bertarung mem-
pertahankan permata ini, barulah aku sadar kalau
tentunya permata ini mengandung satu kekuatan sakti
yang luar biasa...."
"Apakah itu, Kek?"
"Goblok!" Kakek Buruk Rupa member tak. "Bertanya terus! Dengarkan saja!"
Andika menggeram jengkel. Hhh! Kalau tidak
penasaran, ingin dijitaknya kepala si orang tua.
Kakek Buruk Rupa berkata lagi. "Selama lima
belas tahun aku berusaha mempertahankannya, ka-
rena meskipun saat itu aku belum mengetahui apa ra-
hasia permata ini, aku terus mempertahankannya. Te-
rus terang, aku menyukainya dan kudapatkan dalam
rentang waktu yang sangat jauh dari usiaku sekarang
ini yang sudah mencapai sembilan puluh tahun. Kini,
Permata Sakti ini kuhadiahkan kepadamu, Andika."
"Heran... tadi kau mengatakan akan memperta-
hankannya. Lalu mengapa kau begitu saja mengha-
diahkannya padaku" Jangan-jangan, kau cuma men-
jebakku saja," seloroh Andika.
"Kurang ajar! Tak pantas kau berkata begitu
padaku! Dengar, usiaku sudah lanjut. Aku ingin ada
yang mewarisi Permata Sakti ini dan pilihanku jatuh
kepadamu."
"Mengapa pilihanmu kau jatuhkan kepadaku,
Kek" Bila kau memang ingin menyerahkan Permata
Sakti itu, lebih baik kau berikan saja pada yang lainnya."
"Karena, aku tak percaya pada orang lain kecu-
ali kau untuk menjaganya dan mempergunakannya di
jalan kebajikan."
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir aku ini ba-
jik?" kata Pendekar Slebor. Mulutnya berkata begitu, padahal hatinya bangga
sekali. Dasar urakan!
"Aku percaya akan sepak terjangmu yang selalu
kupantau. Nah, permata ini kuserahkan kepadamu."
"Maafkan aku, Kek... aku sulit menerimanya
tanpa alasan yang masuk akal."
"Apakah tadi bukan alasan yang masuk akal?"
maki Kakek Buruk Rupa sewot.
"Katakan dulu, apa rahasia Permata Sakti itu.
Tadi kau katakan, permata ini bukanlah jenis permata
biasa. Melainkan sebuah permata yang memiliki ke-
saktian yang dahsyat. Nah, katakan kesaktian apa
yang dimiliki permata ini" Jangan-jangan, omonganmu
ini tak lebih dari gombal belaka!"
"Enaknya kau ngomong! Kuhadiahkan saja kau
sudah beruntung, masih ceriwis ingin mengetahui ra-
hasia permata ini dariku! Kau pecahkan sendiri!"
"Kalau begitu... aku tidak mau. Lagi pula, ka-
tamu kan banyak yang menginginkannya, jangan-
jangan... kau sengaja menyerahkannya kepadaku biar
aku yang diburu oleh orang-orang yang menginginkan-
nya," kata Andika yang coba memancing kata-kata si orang tua.
"Brengsek!" maki Kakek Buruk Rupa. Matanya
yang celong ke dalam melotot dari balik rambutnya
yang lebat. "Pokoknya, kau harus menerimanya dan memecahkannya sendiri!"
Andika tertawa dalam hati. Sebenarnya, rasa
penasaran di hatinya makin mengikat. Masalah ia
akan diburu atau tidak oleh orang-orang yang mengin-
ginkan Permata Sakti itu, urusan nanti. Namun, sudah
tentu ia tidak akan menerima pemberian Kakek Buruk
Rupa begitu saja. Masih banyak pertanyaan yang ber-
gelimpangan di benaknya.
Ia tetap menggeleng. Dilihatnya si Kakek Buruk
Rupa mengangguk-angguk, seperti menyetujui kata-
katanya. Lalu seperti pada kenalan lama saja, ia me-
nepuk perut Andika.
"Kalau kau memang tidak mau, ya tidak apa-
apa. Kupikir, memang sebaiknya permata ini berada di
tanganku saja. Terima kasih kau telah memenuhi un-
danganku ke sini,"
Belum lagi Andika berkata apa-apa, mendadak
saja tubuh Kakek Buruk Rupa menghilang dari pan-
dangan. Bagai ditelan kabut pekat. Yang tercium ke-
mudian, hanyalah bau tidak sedap.
Andika lebih keburu menekap hidupnya seolah
baru menyadari sebenarnya sejak bertemu dengan Ka-
kek Buruk Rupa ia sudah mencium bau tidak sedap
itu daripada memikirkan ke mana perginya si kakek
bongkok itu. "Hhh! Seumur hidupnya pasti dia tidak mandi!"
gerutunya setelah itu barulah ia ingat kalau si kakek telah meninggalkan tempat
itu. "Busyet! Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya hingga ia bisa lenyap
begitu saja! Hhh! Cukup penasaran sebenarnya aku di-
buat orang tua jelek itu. Tetapi, cukup mengherankan
juga mengapa ia ingin menyerahkan Permata Sakti
yang memancarkan sinar warna biru itu kepadaku,
padahal ia telah lima belas tahun memperta-
hankannya. Brengsek! Kok sekarang aku jadi ingin
memiliki permata itu. Rahasia di dalamnyalah yang
membuatku jadi seperti itu. Tetapi, biarlah permata itu dipegang oleh Kakek
Buruk Rupa, Karena ia memang
pemiliknya yang sah."
Andika pun berdiri, merasa lebih baik segera
meninggalkan tempat itu. Namun baru saja kedua ka-
kinya tegak, sesuatu jatuh dari balik pakaiannya.
"Hei!" serunya tanpa sadar. Benda yang jatuh itu memancarkan sinar warna biru.
"Busyet! Orang tua jelek itu mempermainkan ku rupanya! Gerakannya
sangat cepat sekali! Rupanya, selagi ia menepuk pe-
rutku tadi, Permata Sakti ini diselipkannya di balik
pakaianku. Luar biasa!"
Masih mengagumi kehebatan Kakek Buruk Ru-
pa dan seolah melupakan kalau ia tadi dipermainkan,
Andika memungut permata yang memancarkan sinar
biru itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dilihatnya
bayangan seekor naga di dalam permata sebulat telur
ayam itu yang semakin lama nampak semakin jelas.
Bayangan gambar naga itu terdiri dari tiga warna. Ke-
palanya berwarna kuning. Tubuhnya berwarna merah.
Sedangkan kaki dan ekornya berwarna hitam.
Tiba-tiba dirasakannya panas yang membara,
hingga tanpa sadar dilemparkannya permata itu.
"Busyet! Aku seperti memegang bara api saja!"
desisnya dan dengan konyol ia meniup tangannya.
"Hhh! Biar bagaimanapun juga, aku tak menginginkan permata ini. Akan kucari
Kakek Buruk Rupa dan ku-kembalikan padanya!"
Sambil kerahkan tenaga dalamnya, guna hin-
dari hawa panas tadi, Andika mengambil kembali per-
mata itu. Meskipun masih terasa panas, namun tak
terlalu menyengat. Dimasukkannya ke balik pakaian-
nya. Diperhatikan lagi sekelilingnya, "Hmmm... ke mana aku harus cari orang tua
itu" Rupanya, ia sudah
sinting permata kesayangannya ini diserahkannya pa-
daku. Biar bagaimanapun juga, aku harus mengemba-
likannya. Karena aku tak berhak untuk memilikinya."
Belum lagi ia melangkah, terdengar kekehan
yang luar biasa kerasnya dari satu tempat.
2 Seorang nenek dengan rambut disanggul ke
atas muncul dari sebuah tempat. Kemunculannya ba-
gai mencelos dari gumpalan kabut. Tawa yang diper-
dengarkannya tak kalah hebat dengan tawa yang dila-
kukan oleh Kakek Buruk Rupa.
Andika menatap tak berkesip pada orang tua
berpakaian warna perak menyala itu. Wajah si nenek
yang penuh kerut merut cukup mengejutkannya. Apa-
lagi ketika ia mulai ingat siapa gerangan wanita tua
yang memegang tongkat kusam di tangan kanannya.
"Hmmm... Si Camar Hitam," desis Andika dan tanpa sadar ia bersiaga. Andika tahu
siapa wanita tua itu. Seorang tokoh hitam yang sangat kejam. Bahkan
Andika pernah bertarung dengannya. (Untuk me-
ngetahui siapa gerangan si Camar Hitam, silakan baca
episode: "Cincin Berlumur Darah").
Wanita tua yang memang si Camar Hitam per-
dengarkan kekehannya yang tak sedap.
"Tak kusangka, hari ini berjumpa lagi dengan
Pendekar Slebor. Bagus, bagus sekali! Sekali datang,
dua nyawa kukepruk!"
Meskipun tak mengerti nyawa siapa satu lagi
yang dimaksudkan oleh wanita berwajah tirus penuh
keriput, Andika perlihatkan seringaiannya.
"Kalau begitu, apakah yang satu lagi nyawamu
sendiri" Ya... bunuh diri saja dulu, baru kemudian kau berusaha untuk
membunuhku!"
Kerut merut di wajah Camar Hitam bagai ber-
tambah, berlipat menambah keangkerannya. Mata ke-
labunya yang celong ke dalam bagai terlempar keluar.
"Setan alas! Dendam lamaku semakin berkarat
padamu, Pendekar Slebor! Gara-gara kaulah aku gagal
mendapatkan Cincin Sakti milik Ki Seta! Bahkan gagal
membunuh Penguasa Alas Roban! Kali ini, kau tak
akan bisa hindarkan lagi dari kematian!"
"Heran ya... apakah bukan kau dulu yang akan
dijemput ajal" Usiamu bukan lagi sudah magrib, tetapi sudah memasuki isya! Dan
satu lagi, malaikat maut
biasanya lebih suka dengan orang jelek seperti kau,
karena cuma merusak pemandangan!!" sehabis mengejek seperti itu, Andika
terbahak-bahak keras. Kelam
wajah si Camar Hitam. Masih berdiri di tempatnya, ia
menggerakkan tongkatnya.
Wuss! Deru angin dahsyat disertai suara menggidik-
kan, menderu ke arah Andika. Masih tertawa, Andika
melompat ke kiri. Lalu dengan gerakan yang aneh, ba-
gai memotong, ia mengibaskan tangannya!
Deru angin itu putus di tengah jalan terhantam
pukulan jarak jauhnya. Ia memutar tubuhnya kembali.
Masih penuh seringaian mengejek, ia berkata, "Nah!
Kau lihat sendiri, bukan" Apakah kau mampu meng-
hadapiku?"
Saat ini Andika sebenarnya jengkel dengan ke-
munculan si Camar Hitam. Keinginannya untuk men-
cari sekaligus mengembalikan permata pada Kakek
Buruk Rupa jadi terhalang. Dan ia tahu, akan sulit
menghindarkan diri dari munculnya si Camar Hitam.
Camar Hitam menggeram. Gebrakan pertama
dari serangannya itu merupakan rangkaian jurus
tongkat yang dimilikinya. Pendekar Slebor bukan
hanya bisa menghindari, bahkan sekaligus mematah-
kan serangannya.
"Pemuda keparat! Setelah kubunuh kau, baru
kucari Kakek Buruk Rupa yang menyimpan Permata
Sakti!" Kali ini Andika menghentikan tawa. Matanya
tak berkesip pada si Camar Hitam. Kakek Buruk Ru-
pa" Permata Sakti" Hmm, jelas sekali kalau kehadiran
si Camar Hitam ini untuk mendapatkan Permata Sakti
milik Kakek Buruk Rupa yang sekarang berada di balik
pakaiannya. Jadi, apa yang dikatakan Kakek Buruk Rupa
itu memang benar adanya, kalau selama lima belas ta-
hun ia harus mempertahankan Permata Sakti itu.
Andika mendengus menyadari kalau sekarang
justru ialah yang terkena batunya. Hadangan pertama
yang dihadapinya adalah si Camar Hitam, yang me-
mang belum tahu kalau Permata Sakti itu berada pa-
danya. Namun, kehadiran tokoh golongan hitam ini
cukup akan merepotkannya.
"Manusia jelek ini jangan sampai tahu kalau
Permata Sakti itu berada padaku." desis Andika dalam hati. "Apa sebenarnya
kesaktian permata ini" Dan lagi, kenapa si kakek yang tidak tahu mana hidung dan
mulut itu memberikannya kepadaku?"
Memikir sampai di sana, guna membuang ke-
terkejutannya Andika terkekeh.
"Apa sih yang kau maksudkan dengan Permata
Sakti" Dan lagi, siapa gerangan Kakek Buruk Rupa
itu" Apakah kau tidak pantas kalau kusebut Nenek Je-
lek-jelek Sekali"!"
Gusar bukan buatan Camar Hitam. Tubuhnya
sampai bergetar bersamaan dengan suara gerengan
dari mulutnya. Sebenarnya, yang ia inginkan adalah
Kakek Buruk Rupa. Setelah tak mampu mengalahkan
Penguasa Alas Roban, si nenek kembali ke asalnya.
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia pulihkan tubuh dan kesaktiannya. Sampai
kemudian terdengar kabar tentang seorang tokoh aneh
yang berjuluk Kakek Buruk Rupa. Camar Hitam telah
lama mendengar julukan itu. Ia tak pernah tertarik
sama sekali. Akan tetapi, ketika didengarnya tentang
sebuah Permata Sakti yang dimiliki oleh Kakek Buruk
Rupa, ia tinggalkan kediamannya guna merebut Per-
mata Sakti itu.
Dalam rencananya, setelah berhasil mendapat-
kan Permata Sakti, ia akan mendatangi Penguasa Alas
Roban untuk membuat perhitungan, sekaligus mencari
Pendekar Slebor yang menggagalkan rencananya un-
tuk memiliki cincin pusaka Ki Seta. Dan sekarang ini, sebelum rencana pertamanya
dijalankan, ia telah bertemu dengan Pendekar Slebor. Selentingan ia menyirap
kabar, kalau Kakek Buruk Rupa mendiami Gunung
Semeru. Tubuh si Camar Hitam sudah berkelebat laksa-
na kilat. Tongkat kusamnya bergerak membabi-buta,
menimbulkan suara angin dahsyat. Andika sejak tadi
sudah bersiap menerima serangan, bergerak tak kalah
cepat. Namun gebrakan selanjutnya yang dilakukan si
nenek berbaju perak itu, cukup membuat Andika ke-
repotan. Bukan hanya tongkat yang menderu-deru siap
menghabisinya, juga gerakan bagai seekor camar yang
kadang menukik dan meluruk cepat. Andika memaki-
maki tak karuan.
"Ini tak bisa kubiarkan!!" makinya sewot sambil menggulingkan tubuh menghindari
gempuran itu. De-bu di sekitarnya mengepul lebih tebal. Kabut yang
menghalangi pandangan terpecah dan berpindah tem-
pat. Suatu saat, Andika membuat satu gerakan
yang benar-benar aneh. Karena ketika tongkat di tan-
gan si Camar Hitam siap menotoknya, ia justru maju
bagai menyongsong. Kendati kaget dan berpikir kalau
Andika hendak menipunya, Camar Hitam tak meng-
hentikan serangan.
Dan benar-benar mengejutkan si Camar Hitam
sendiri. Karena Andika memang menyongsong se-
rangannya! *** Tuk! Tuk! Tuk! Tiga kali tubuh Andika tertotok tongkat yang
dialiri tenaga dalam. Si Camar Hitam menghentikan
gerakan. Bibirnya tersenyum puas melihat tubuh pe-
muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu ter-
huyung. Gerakan limbung Pendekar Slebor memang
benar-benar bagai kehilangan tenaganya.
Beberapa saat hal itu terjadi, sementara dari
senyuman berubah tawa ejekan dari Camar Hitam.
"Rupanya ajal sudah tiba untukmu, Pendekar
Slebor. Jurus 'Penutup Jalan Darah'-ku memang tak
bisa dikalahkan...."
Puas sekali wajah si Camar Hitam melihat ba-
gaimana Andika terus menerus limbung seperti tak
mampu menguasai keseimbangannya. Namun detik
berikutnya, kedua mata kelabunya bagai hendak me-
lompat keluar melihat bagaimana Andika berdiri tegak
dengan tubuh tak kurang suatu apa.
"Setan keparat! Kau menipuku, hah?"
Memikir kalau ia hanya dipermainkan oleh Pen-
dekar Slebor, Camar Hitam buat serangan yang lebih
dahsyat. Namun seperti tadi Andika menyongsong se-
rangan itu. Tubuhnya bukan hanya terkena totokan tong-
kat si nenek, melainkan juga gebukan bahkan jotosan
tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Hanya
saja, sampai sejauh itu, Andika tak sekali pun memba-
las. Justru membiarkan tubuhnya dihantami berkali-
kali. Limbung tubuhnya pun semakin cepat, tetapi la-
gi-lagi tidak jatuh, bahkan berdiri tegak!
Sementara itu, sesuatu yang aneh dirasakan
Andika. "Aneh! Ke mana perginya nenek jelek itu" Kutu monyet! Ke mana dia"
Mengapa seluruh pandanganku
berubah biru dan di mana-mana yang nampak hanya
warna biru saja. Apa yang terjadi?"
Sementara itu Camar Hitam menghentikan se-
rangannya. Tatapannya benar-benar tak bisa memper-
cayai apa yang dilihatnya itu. Penasaran ia menyerang lagi. Lebih dahsyat
disertai dengan teriakan-teriakan membahana penuh amarah.
Seperti yang sudah-sudah, Andika tetap mem-
biarkan tubuhnya dihantami dan tak sekali pun mem-
balas. Sedangkan menurut perasaan Andika saat ini,
dia hanya melihat warna biru di sekelilingnya.
Sadar lawan memiliki ilmu yang lebih darinya,
Camar Hitam menghentikan serangannya lagi.
Ia berdiri tegak dengan napas terengah. Selu-
ruh tenaganya bagai terkuras habis akibat gerakannya
sendiri. "Tak kusangka, Pendekar Slebor memiliki ke-majuan sangat pesat. Padahal
ketika pertama kali aku
bertarung dengannya, aku bisa mengimbangi sekaligus
mengalahkannya. Rupanya ia memiliki ilmu simpanan
yang jarang diperlihatkannya. Tetapi, mengapa sejak
tadi ia tidak membalas" Peduli setan! Ini kesempatan
yang terbaik bagiku untuk meninggalkan tempat ini!
Lebih baik aku teruskan mencari Kakek Buruk Rupa
untuk dapatkan Permata Sakti. Aku yakin, si kakek ti-
dak berada di sini. Sejak tadi ia tidak tampakkan ba-
tang hidungnya! Setelah kudapatkan benda itu, akan
kubalas perlakuan Pendekar Slebor yang memper-
mainkan ku ini!"
Memikir sampai di situ, Camar Hitam langsung
melompat meninggalkan Pendekar Slebor yang masih
berdiri tegak tanpa melakukan apa-apa.
Dalam jarak beberapa saat setelah kepergian si
Camar Hitam, Andika menggerakkan tubuhnya. Dari
sikapnya yang tegak tak melakukan apa-apa ia celin-
gukan "Busyet! Mengapa pandanganku berubah kem-
bali" Tadi seluruh yang nampak di mataku hanyalah
warna biru belaka" Monyet pitak! Kenapa jadi begini"
Ke mana perginya nenek jelek tadi" Aneh! Apa yang
terjadi sebenarnya?"
Merasa penasaran sekaligus heran, Andika ber-
kelebat mencari si Camar Hitam, namun tubuh si ne-
nek berbaju perak itu tak ditemuinya. Ia berdiri tegak dengan kening berkerut.
"Busyet! Ke mana manusia jelek itu" Wah, ja-
ngan-jangan dia takut padaku, hingga melarikan diri?"
pikirnya sok. Lalu menyambung, "Tetapi, apa yang terjadi denganku barusan"
Sepertinya seluruh pandan-
ganku berubah menjadi biru. Dan tak kulihat tempat
ini tadi. Bahkan tak kuketahui di mana sosok Camar
Hitam berada" Aneh! Ada apa ini" Tetapi, sekarang
aku tahu, kalau Camar Hitam menginginkan Permata
Sakti ini. Pasti sekarang ia sedang mencari Kakek Bu-
ruk Rupa. Agaknya, aku bukan hanya berniat men-
gembalikan permata ini pada si kakek, tetapi juga
memperingatkannya kalau bahaya masih mengancam
dirinya." Masih dengan rasa keheranan mengenai peru-
bahan yang terjadi pada pandangannya tadi di samp-
ing juga karena tahu-tahu Camar Hitam lenyap dari
pandangannya, Andika berkelebat meninggalkan tem-
pat itu. Namun samar masih diingatnya kalau tadi, ia
sedang diserang hebat oleh Camar Hitam.
Andika memang tidak tahu apa yang terjadi de-
ngan dirinya tadi. Ia tidak tahu mengapa apa yang di-
lihatnya hanya warna biru belaka" Ia tidak tahu kalau ia dengan sengaja
menyongsong serangan maut si Camar Hitam dan membiarkan tubuhnya dihajar.
Karena, gebrakan semacam itu akan membuatnya mati. Satu
pertanyaan yang akan melanda diri Pendekar Slebor
telah tercipta di hadapannya sendiri, tanpa disada-
rinya. *** 3 Matahari mulai condong ke barat ketika Andika
tiba di sebuah ngarai yang dipenuhi pepohonan. Di
hadapannya berjejer bukit-bukit yang indah sekali. Di atas perbukitan itu bagai
dipayungi oleh lentera merah yang dipancarkan oleh sinar matahari senja.
Pemuda pewaris Ilmu Pendekar Lembah Kutuk-
an mengedarkan pandangan ke sekeliling bukit.
"Sinting! Ke mana aku harus mencari Kakek
Buruk Rupa" Bikin kepalaku pusing!" makinya tak karuan. Diambilnya permata biru
yang berada di balik
pakaiannya. Dipegangnya perlahan. "Hmm, masih agak panas. Brengsek! Apa sih
sebenarnya kesaktian permata ini" Kenapa banyak yang menginginkannya" Lagi
pula, mengapa Kakek Buruk Rupa mengundangku
yang ternyata memberikan permata ini padaku" Dan
lagi, mengapa saat bertarung dengan Camar Hitam, se-
luruh penglihatanku hanya melihat warna biru bela-
ka?" Pemuda tampan berambut gondrong tak teratur itu membiarkan tubuhnya
dihembusi angin senja yang
sejuk. Ia masukkan lagi Permata Sakti itu ke balik pakaiannya.
Mendadak saja telinganya yang tajam mende-
ngar desisan liar dari samping. Seekor ular belang
yang cukup panjang muncul dari balik rimbunnya se-
mak dan meluncur ke arah kaki Andika.
"Dasar ular lapar!" maki Andika sambil putar tubuhnya. Lalu kakinya menyentak.
Preek! Kepala ular itu diinjaknya, pecah dan mengalir-
kan cairan kuning. Saat itu kabut mendadak turun di
muka bumi dan memenuhi perbukitan. Andika men-
gambil ular yang telah dibunuhnya itu.
"Lumayan untuk pengisi perut," desisnya.
Sambil tenteng ular itu, ia mulai melangkah di antara liputan kabut. Dan
mendadak saja terdengar suara ta-wa yang cukup merdu bersamaan dengan seruan
"Hei! Kenapa kau bunuh Jelita-ku?"
*** Suara itu datang dari samping Andika yang se-
gera menoleh. Terus terang, ia tak mendengar ada
langkah di sekitarnya. Bahkan tak melihat sosok yang
sepertinya sejak tadi berada di dekatnya.
Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut,
tampak satu sosok tubuh seorang gadis berpakaian
kuning. Berusia lebih kurang tujuh belas tahun. Ia tersenyum jenaka pada Andika
yang terbelalak melihat
betapa cantiknya gadis itu. Raut wajahnya bulat, mu-
lutnya mungil dengan sepasang bibir memerah. Ma-
tanya hitam jernih dengan gigi yang putih mengkilat
seperti salju. Ketawa yang diperdengarkan gadis itu ke-tawa lincah dan nakal.
Sukar untuk mengetahui mak-
na senyuman yang diperlihatkannya.
Andika yang masih diliputi kagetnya mendesis
dalam hati, "Apakah aku bertemu dengan kuntilanak
kesorean ataukah ia bidadari yang turun dari kayan-
gan?" Untuk beberapa saat perasaan Andika bagai di-aduk-aduk. Matanya tak tahan
lama-lama menatap si
gadis yang masih tersenyum.
"Hayo! Kenapa matamu itu?" katanya jenaka
masih tersenyum.
Andika gelagapan ditembak' seperti itu. Dasar
urakan, ia segera bisa menguasai dirinya lagi.
"Busyet! Kupikir lembah ini tempat jin buang
anak! Eh, jangan-jangan kau ini anaknya jin, ya?" selo-rohnya. Bukannya marah
mendengar selorohan Andika,
gadis itu justru tertawa.
"Kalau aku yang cantik ini anak jin, kau yang
jelek itu anak siapa?"
Andika tertawa gurauannya dibalas. Ia ber-
tanya, "Siapa tadi yang kau maksudkan dengan si Jelita?"
"Kau telah membunuhnya."
"Aku?" Andika mengerutkan keningnya. "Kok main tuduh sembarangan saja!"
"Apa yang ada di tanganmu itu?"
Andika mengangkatnya. "Ular!"
"Nah, itu si Jelitaku!"
Kali ini sepasang mata tajam bagai mata elang
itu melotot. "Yang beginian kau namakan Jelita?"
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Aku bersyukur karena kau berhasil membu-
nuhnya! Telah dua hari aku mencarinya untuk mem-
bunuhnya."
"Mengapa" Katanya, ular ini binatang kesayan-
ganmu?" "Betul. Tetapi, ia telah membunuh kelinci ke-
sayanganku. Nah, apa aku tidak jengkel" Lagi pula,
ular itu binatang tak tahu berterima kasih. Sudah
kuurus, eh malah membuatku susah. Lebih baik ku-
bunuh saja. Tetapi, kau telah membunuhnya!"
Meskipun heran mendapati gadis cantik di tem-
pat sunyi seperti ini apalagi dengan sikap yang plin-
plan begitu, Andika cuma mengangkat bahunya.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku, bu-
kan?" "Itulah sebabnya aku ingin mengajakmu ke rumahku."
Lagi-lagi Andika terdiam. Baru kali ini ia men-
dapati urusan yang agak aneh semacam ini. Dan men-
dadak saja perutnya berbunyi. Malunya bukan main
ketika melihat gadis di depannya tertawa.
"Kau lapar, kan" Nah! Ayo ke rumahku saja! Di
sana kau akan mendapatkan makanan yang banyak
sebagai ucapan terima kasihku!"
Tawaran itu memang mengasyikkan sebenar-
nya. Namun saat ini, Andika yang sedang mencari Ka-
kek Buruk Rupa, jadi ragu. Akhirnya ia memutuskan
untuk menolak. "Terima kasih. Masih ada urusan yang harus
kulakukan."
"Kalau begitu, aku marah karena kau membu-
nuh ularku!"
"Hei!" Andika melotot tak mengerti. "Tadi kau mengatakan berterima kasih padaku
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena aku membunuh ular ini, lalu mengapa kau hendak marah
sekarang?"
"Karena, kau menolak tawaran terima kasihku!
Ayolah, aku ingin sekali mengajakmu ke rumah! Kau
bisa melihat hewan-hewan peliharaanku! Bahkan ada
yang diberikan kakekku dulu, ketika aku berusia tiga
tahun. Sekarang, monyet yang diberikan kakekku su-
dah semakin tua usianya. Seiring dengan usiaku. Eh,
anaknya banyak lho! Tetapi, sayangnya, aku tidak ta-
hu lagi di mana kakek berada. Memang brengsek si
kakek! Hanya tiga kali aku dikunjunginya! Pertama,
ketika aku berusia sembilan tahun! Lalu, ia mendatan-
giku lagi ketika usiaku dua belas tahun dan itu terakhir setahun yang lalu,
ketika usiaku sudah lima belas tahun! Sebenarnya kakek baik, ia menurunkan
kepandaiannya kepadaku! Cuma ya, sebel aku dibuatnya!! Ia
selalu lama pergi dan ketika mendatangiku, ia justru
hanya sebentar. Kadang-kadang cepat menghilang lagi
tanpa mau bertemu dengan ayahku. Ih! Meskipun aku
sebel padanya, tetapi aku merindukannya. Karena aku
tahu, kakek sangat baik sekali padaku. Apalagi aku ini kan cucunya satu-
satunya." Andika mengerutkan keningnya tak mengerti.
Mengapa tahu-tahu gadis ini bercerita tentang dirinya padanya" Kelihatannya ia
memang merindukan kakeknya. Andika bisa menebak sekarang, ketika ia tak
mendengar bagaimana munculnya gadis ini, jelas dika-
renakan gadis ini mempunyai kepandaian. Mungkin,
ilmu meringankan tubuh yang diturunkan kakeknya
padanya. Tiba-tiba gadis itu menatapnya serius. Ditatap
dengan mata hitam jernih itu Andika jadi gelagapan.
"Ayahku selalu meminta kakekku untuk tinggal
bersama kami. Tetapi ia selalu menolak. Kakek me-
mang begitu! Tempat tinggalnya aku tidak tahu di ma-
na! Kakek pernah bercerita, ia adalah orang rimba persilatan, hingga hidupnya
selalu di mana saja. Tak me-
netap di satu tempat! Kakek pernah pula bercerita, ia selalu berkelahi terus
menerus. Kakekku itu hebat, ia tak pernah kalah. Makanya, ia bilang, lebih baik
menjauh dari kami, hingga bila ada musuh-musuh yang
mencarinya, kami tidak terlibat. Hhh! Kakek memang
menyebalkan! O ya, Kakek juga berpesan kalau kepan-
daianku ini tak boleh diketahui ayah dan ibuku! Eh,
dari cara pakaian yang kau kenakan, kau pasti orang
rimba persilatan, ya?"
Andika diam saja. Jelas sekali gadis ini adalah
bangsa terpelajar. Dari tutur sapa dan sikap sopannya membuktikan ia bukanlah
orang rimba persilatan.
Mungkin, keberaniannya muncul di tempat semacam
ini diwariskan oleh darah kakeknya.
"O ya, apakah kau pernah bertemu dengan ka-
kekku" Kakekku agak bongkok. Umurnya sudah tua
sekali. Ia selalu mengenakan pakaian compang-cam-
ping. Ih! Padahal ayahku mampu membelikannya pa-
kaian yang bagus! Tetapi kakekku selalu menolak.
Mengenai wajahnya, katanya wajah kakek menyeram-
kan! Menurut kakek, ia dulu wajahnya tampan. Tetapi
seorang lawan menjahatinya dengan menaruh obat bi-
us pada minumannya. Setelah ia pingsan, wajahnya
dilumuri madu dan ia diikat dalam keadaan tertotok di sebuah tempat. Semut-semut
ganas mendatanginya
dan menggigiti tubuhnya. Aku ngeri sekali mem-
bayangkannya! Makanya, sekarang ini Kakek selalu
menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang.
O ya, kakekku dijuluki Kakek Buruk Rupa!"
Dari ketersimaannya mendengar penuturan ga-
dis itu, Andika terjingkat. Ular yang dipegangnya terlepas. Ia terbelalak pada
gadis itu yang ganti me-
ngerutkan keningnya heran.
"Kau kenapa" Kalau kau menolak ke rumahku,
ya tidak apa. Tetapi, jangan tampakkan wajah jelek
kayak begitu?" si gadis bergidik. "Aku jadi ngeri."
Andika merubah sikap terkejutnya. Pelan tanpa
mengalihkan pandangannya pada wajah jelita di ha-
dapannya, ia berkata, "Kau bilang, kakekmu berjuluk Kakek Buruk Rupa?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Ya. Memangnya kenapa" Kau baru bertemu
dengannya, ya?"
Andika ganti mengangguk.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya" Ajak
aku untuk menemuinya! Aku kangen sekali pada ka-
kek!" seru gadis itu dengan suara dan wajah lebih cerah. Andika menceritakan
pertemuannya dengan
Kakek Buruk Rupa. Tetapi, karena sejak tadi si gadis
tidak menyinggung soal permata yang memancarkan
warna biru, Andika tidak menceritakannya. Apakah si
kakek memang pernah menceritakan permata itu pada
gadis ini lalu memintanya untuk menutup mulut,
ataukah ia sama sekali tak pernah menceritakannya"
Andika mendengar gadis itu menarik napas
panjang. Kelihatan betapa galau hatinya.
"Kakek memang begitu! Ia pasti telah jauh dari
sini! Ah, bila saja kau tahu di mana kakekku berada,
pastinya aku akan berjumpa dengannya. Akan kubu-
juk dia untuk tinggal bersama kami. Tetapi, sudah-
lah... memahami sifat kakek tak cukup memakan wak-
tu sepuluh tahun. Harus selalu dipenuhi kesabaran
yang mendalam. Eh, kau mau ke rumahku atau tidak"
Sebentar lagi malam?"
Kalau tadi Andika menolak permintaan gadis
itu, sekarang ia mengangguk. Ada sesuatu yang ingin
ia ketahui, tentang Kakek Buruk Rupa yang masih dis-
elimuti misteri. Terutama, soal Permata Sakti yang berada di balik pinggangnya
sekarang. Melihat Andika mengangguk, si gadis sungging-
kan senyum. "Nah! Itu baru bagus! O ya, namaku Suci. Na-
mamu siapa" Kau pasti punya nama kan?"
Andika cuma tersenyum mendengar gurauan
gadis itu. Gadis yang mengaku bernama Suci itu me-
mang bersifat jenaka. Ia selalu riang gembira.
"Namaku Andika."
"Nah! Kalau begitu, kita berangkat sekarang!
Biar sampai di rumahku tidak terlalu kemalaman!"
Sehabis berkata begitu, Suci langsung memutar
tubuh. Andika mengira mereka akan berjalan beririn-
gan, namun ia harus belalakkan matanya ketika tiba-
tiba gadis itu sudah melesat laksana anak panah dile-
pas dari busurnya.
"Kejarlah aku kalau kau mampu, Andika!!" serunya sambil tertawa.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Busyet! Benar-benar menantang! Biarlah kui-
kuti saja dulu gadis yang bernama Suci itu! Barangkali saja aku bisa mendapatkan
keterangan tentang Kakek
Buruk Rupa!"
Selesai berpikir begitu, Andika pun segera me-
nyusul Suci yang sudah melesat jauh.
*** Kakek Buruk Rupa benar-benar mengajarkan
cucunya ilmu lari yang hebat. Meskipun dapat melam-
pauinya, Andika merasakan kehebatan ilmu lari gadis
itu cukup lumayan meskipun masih tiga tingkat di ba-
wahnya. Mereka memasuki sebuah jalan desa ketika
rembulan tepat di tengah kepala. Selama berlari, tak
sekali pun Suci berhenti.
Kali ini Suci memperlambat larinya. Mendapati
gadis itu memperlambat larinya, Andika berbuat sama.
Sambil melangkah beriringan, Suci berkata, "Kalau ayahku tanya, katakan kau
temanku sejak lama, ya"
Katakan pula, kita berkenalan di kaki Bukit Serabut."
"Di mana itu?" tanya Andika tak mengerti.
"Pokoknya kau bilang begitu saja. Ayah pasti ti-
dak bertanya. Yang terpenting, jangan katakan apa-
apa tentang kakekku. Ayah bisa marah besar. Nanti,
aku ingin ikut denganmu mencari kakekku, ya" Kau
janji, ya?"
Lagi-lagi Andika dibuat tak mampu memu-
tuskan sikapnya. Dari nada suara dan pancaran mata
Suci, nampak sekali kalau gadis itu sangat merindu-
kan kakeknya. "Mengapa kau diam saja?"
"Aku belum tahu harus menjawab apa."
"Tetapi, kau mau membantuku mencarinya,
bukan" Aku rindu pada kakek. Aku ingin bermain-
main dengannya."
Andika tak menjawab, justru ia bertanya, "Ma-
sih jauhkah rumahmu?"
Suci menggelengkan kepalanya. Menunjuk ru-
mah besar di ujung jalan. Di depan rumah itu ada se-
macam taman yang cukup besar. Pintu pagar rumah
itu cukup tinggi.
"Ingat ya, jangan sekali-sekali mengatakan pa-
da ayah atau ibuku kalau kakek pernah mengajariku
ilmu silat dan yang lainnya. Ingat ya" Kau akan men-
jadi sahabatku kalau kau memang memenuhinya."
Kali ini Andika menyanggupi keinginan Suci. Ia
berpikir, orang tua Suci tak akan menanyakan hal itu.
Keduanya terus melangkah. Tiba di depan ru-
mah yang tadi ditunjuk Suci, dua orang laki-laki yang berdiri di sana dan sedang
merokok bergegas meng-hampiri,
"Den Suci!"
Suci meletakkan telunjuknya di bibir.
"Jangan berisik. Ayah dan Ibu sudah tidur?"
"Belum. Mereka cemas memikirkanmu," sahut
yang berkumis tipis. Matanya tajam menatap Andika.
Seperti menemukan maling jemuran!
"Wah! Gawat kalau begini!" desis Suci, lalu menoleh pada Andika, "Ingat kata-
kataku tadi ya" Jangan sampai kau keceplosan ngomong. Kalau melihat sikapmu ini,
kayaknya kau termasuk orang yang cere-
wet!" Andika yang hendak menganggukkan kepala,
jadi urung dan keluarkan dengusan. "Brengsek! Gadis ini benar-benar pandai
omong! Tetapi masa bodohlah!
Yang ingin kutahu saat ini adalah tentang Kakek Bu-
ruk Rupa," desisnya dalam hati.
Suci hanya tertawa saja melihat perubahan wa-
jah Andika. Tanpa mempedulikannya, ia menarik tan-
gan pemuda tampan itu mengikuti langkahnya mema-
suki halaman yang cukup lebar.
Sementara dua orang laki-laki yang menjaga di
depan rumahnya, saling pandang melihat keakraban
Suci dengan pemuda yang menurut pandangan me-
reka itu, kumal sekali.
Selebihnya, mereka tak acuh saja. Toh, Den
Suci sudah kembali ke rumah. Sepeninggal Suci yang
tanpa pamit itu, memang cukup meresahkan kedua
orangtuanya, hingga ayahnya mengutus tiga orang
penjaga rumahnya untuk mencari gadis itu. Dan sebe-
lum tiga orang yang diutusnya itu menemukan pu-
trinya, sang putri sudah muncul bersama seorang pe-
muda tampan namun rambutnya seperti tak diurus.
*** 4 Ayah Suci bernama Haryo Adilekso. Laki-laki
itu berperawakan cukup gemuk. Wajahnya bulat. Ia
memiliki kulit yang bersih. Pandangan matanya bijak-
sana, penuh kebajikan. Sedangkan ibunya bernama
Hartati. Seorang wanita yang selalu menekankan pada
kelembutan dan sopan santun yang tinggi. Wanita itu
amat menyayangi Suci, hingga kepergian Suci yang
tanpa pamit, membuatnya bagai kehilangan suk-
manya. Tetapi, kemunculan Suci yang tak disang-
kanya, membuatnya segera bangkit dari kamarnya. Pa-
dahal, sejak pagi ia tidak makan apa-apa. Tak ada ke-
nikmatan menikmati hidangan lezat selagi putrinya ti-
dak ada di sisinya.
Suci jadi iba melihat keadaan ibunya. Ia lang-
sung merangkul ibunya penuh kasih sayang, lalu den-
gan tulus ia berkata, "Maafkan Suci, Bu.... Suci nakal, ya?" Ibunya tersenyum.
Matanya berkaca-kaca. Tangannya membelai rambut putrinya yang panjang.
"Mengapa kau tidak pamit, Suci?" tanyanya
lembut. "Habisnya, aku kan tidak tahu kalau kelinci kesayanganku dimangsa oleh
si Jelita" Aku kesal kan,
Bu. Makanya, kucari ular brengsek itu dan kubunuh."
Ibunya cuma sunggingkan senyum, Sementara Andika
yang sejak tadi masih berdiri dan belum dipersilakan
duduk, hanya memperhatikan saja. Dalam hatinya, ia
kesal pada Suci karena telah membuat wanita yang
lembut itu jadi kebingungan.
Haryo Adilekso mendehem dua kali. Seketika
Andika memutar kepalanya dan mengangguk. Suci
berdiri, melepaskan rangkulannya dari ibunya. Ia ber-
kata pada ayahnya, "O ya... kenalkan, ini temanku.
Yah. Bu. Namanya Andika."
Andika menganggukkan kepalanya lagi sambil
tersenyum. Suci memang benar tentang ayahnya. Setelah
menatap Andika beberapa saat, laki-laki gemuk itu
bertanya, "Terus terang, kami baru mendengar kalau Suci mempunyai seorang
sahabat seperti kau, Andika.
Hmm, katakan, di mana kalian berkenalan?"
Seperti yang telah direncanakan, Andika men-
gatakan apa yang diminta Suci. Padahal hatinya bukan
main jengkel berbohong seperti ini. Sudah sepatutnya
bila Suci menerima hukuman atas perbuatan nakal-
nya. Haryo Adilekso mengangguk-angguk. Meskipun
pemuda di hadapannya ini seperti orang jarang mandi,
laki-laki gemuk itu yakin kalau Andika orang baik-
baik. Ia menoleh pada putrinya yang tiba-tiba menun-
dukkan kepala. "Suci... beberapa kali Ayah katakan padamu,
Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila kau hendak tinggalkan rumah, kau harus berpa-
mitan kepada kami."
"Maafkan Suci, Yah. Habisnya, Suci jengkel pa-
da si Jelita. Ia tak tahu berterima kasih. Padahal sejak kecil Suci merawatnya
dan selalu bermain-main dengannya. Eh, dia justru memangsa kelinci kesayangan
Suci." Haryo Adilekso tahu betapa manja putri semata wayang ini.
"Ya, sudahlah... kalian lebih baik beristirahat
saja. Andika... kau bisa menempati ruangan di bela-
kang." "Terima kasih," sahut Andika sopan. Hatinya masih jengkel menyadari kalau
ia seperti diperalat oleh Suci. Sementara gadis itu mendekati Andika. Kalau
tadi sikapnya seperti takut-takut pada ayahnya, seka-
rang ia seperti bebas dari sebuah tekanan.
"Kamu belum makan, kan?" katanya pada An-
dika. "Ayo, kita makan dulu! Perutku juga lapar!"
Andika jadi risih ketika tanpa menunggu jawa-
bannya, gadis itu sudah menariknya, membawanya ke
ruangan yang cukup besar.
Hartati hanya tersenyum saja melihat sikap pu-
trinya yang begitu akrab dan manja. Mungkin, mereka
telah berkenalan lama, pikirnya. Tetapi, mengapa ha-
rus pemuda yang kumal itu menjadi kenalan Suci"
Sedangkan Haryo Adilekso hanya terdiam. Piki-
rannya berputar cepat. Meskipun ia sulit menentukan
apakah putrinya berbohong atau tidak saat ini, namun
diam-diam ia yakin, kalau kepergian putrinya ini sebenarnya hendak mencari
kakeknya. Hati Haryo Adilekso sangat jengkel melihat ke-
lakuan ayahnya sendiri yang dijuluki orang Kakek Bu-
ruk Rupa. Bukan berarti, ia melarang putrinya berde-
katan dengan kakeknya, melainkan karena ia ingin hi-
dup tentram bersama keluarganya. Ia tahu, ayahnya
adalah orang rimba persilatan, yang setiap saat selalu harus menurunkan tangan
keras guna pertahankan
hidup. Berulang kali ia meminta pada orangtua yang
berkemauan aneh itu untuk tinggal bersama dan
menghentikan semua sepak terjangnya. Namun seba-
gai orang rimba persilatan, Kakek Buruk Rupa meno-
lak permintaannya.
*** Sudah dua malam Andika tinggal di rumah be-
sar itu. Dan terus terang, keadaan ini sangat menyik-
sanya. Ia tak betah tidur di kasur empuk dan menik-
mati makanan lezat yang dihidangkan. Tetapi, rasa in-
gin tahunya tentang Kakek Buruk Rupa yang menu-
rutnya bisa diketahui dari Suci, memaksanya untuk
membuang segala kebosanannya.
Di kamar yang disediakan, Andika berusaha
memecahkan rahasia apa yang terkandung pada Per-
mata Sakti yang memancarkan sinar biru. Diperasnya
seluruh otaknya dengan mata tak berkesip menatap
permata biru yang berada di tangannya. Semakin ia
berusaha memecahkan rahasia apa yang dikandung-
nya, semakin buntu rasanya.
Bayangan gambar seekor naga jantan di dalam
permata sebesar telur ayam itu, bagai mengambang
dan berpendar-pendar di matanya. Tak ada keanehan
apa-apa dengan bayangan gambar naga itu yang tak
bergerak sedikit juga.
"Rahasia apa yang terkandung di dalam perma-
ta ini sehingga banyak yang menginginkannya. Lagi
pula, yang masih mengherankanku, mengapa Kakek
Buruk Rupa menyerahkannya begitu saja padaku" Ka-
lau memang dia sudah mengetahui rahasianya, lalu
teka-teki apa yang ada di balik pemberian permata ini"
Hmm, sudah saatnya aku mencari keterangan pada
Suci." Dalam satu kesempatan ketika Suci mengajaknya bermain-main di Lembah
Wangi, di mana terdapat
ribuan bunga yang menebarkan aroma wangi itu, An-
dika mengemukakan keingintahuannya.
Suci yang sedang tertawa sambil mengejar se-
ekor kupu-kupu, menghentikan gerakannya. Kepa-
lanya menoleh seketika dengan sambil tersenyum ke-
tika Andika memanggilnya, "Ada apa, Kang?"
Andika membawa langkahnya ke sebuah pohon
rindang. Ia duduk di bawahnya. Matahari pagi yang
sudah sepenggalah memberikan sinar cerah ke pen-
juru persada. Suci dengan riangnya duduk pula di si-
sinya. Mungkin karena sifat riangnya, ia langsung saja memegang tangan Andika.
"Apakah kau ingin mengajakku mencari ka-
kek?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa yang hendak kau katakan?"
Ditatapnya gadis itu yang masih memperli-
hatkan wajah riang.
"Suci... aku ingin tahu, selama kau bertemu ka-
kekmu, apakah ia pernah menceritakan tentang per-
mata bersinar biru?" tanya Andika sambil mencabut sebatang alang-alang, lalu
dihisap-hisapnya. Manis.
Suci memandang Andika. "Permata bersinar bi-
ru" Permata apakah itu, Kang" Baguskah?"
Lagi Andika mendesah. Dengan jawaban seperti
itu, ia bisa langsung menduga kalau Suci tak tahu
menahu soal permata biru itu.
"Ceritakan tentang kakekmu."
"Mengapa Kang Andika jadi tertarik soal kakek"
Rasanya, berkali-kali Andika menanyakan soal kakek."
Andika gelagapan dibuatnya. Tetapi bukan ia
bila tak bisa mengendalikan gelagapannya sendiri.
"Terus terang, aku ingin sekali bertemu dengan
kakekmu." Kali ini Suci tersenyum. "Kakek orang yang ra-
mah. Ia selalu terbuka dan siap bersahabat dengan
siapa saja. Namun, banyak sekali orang yang berlagak
bersahabat padahal ingin membunuhnya. Kupikir, ka-
kek akan kesulitan hidup. Oh! Rinduku makin mem-
besar saja pada kakek."
Andika pun tak meneruskan pertanyaannya.
Bila Suci sudah menjawab seperti itu, berarti pembicaraan soal Kakek Buruk Rupa
harus dihentikan. Karena
jelas sekali, Suci hanya tahu sedikit tentang kakeknya.
Dan yang terpenting, sekarang Andika yakin kalau ga-
dis itu tidak tahu menahu soal Permata Sakti yang
memancarkan sinar biru. Berarti, sang kakek tak
memberitahukannya.
Ia mengajak Suci kembali ke rumah dan sepan-
jang perjalanan menuju rumah, gadis itu terus me-
nerus meminta Andika mengajaknya serta mencari ka-
keknya. Andika benar-benar dibuat mati kutu!
*** Malam kembali bentangkan sayapnya. Sang ra-
tu malam kembali berada dalam perjalanannya me-
nyongsong matahari. Kegelapan dan kesunyian malam
payungi desa di mana Suci tinggal dan Andika mengi-
nap. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutuk-
an itu kembali duduk di atas ranjangnya. Matanya tak
berkesip memandang Permata Sakti yang memancar-
kan sinar warna biru di tangannya. Otaknya kembali
diperas guna memecahkan rahasia apa yang dikan-
dung permata biru itu. Namun lagi-lagi buntu.
Dan mendadak saja pendengarannya yang ter-
latih menangkap satu sosok tubuh hinggap di wuwun-
gan rumah. Sigap Andika tiup lentera yang menerangi
kamarnya sambil bergulingan. Permata itu langsung
dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Lalu dibukanya pintu dan setelah melihat ke-
adaan aman, ia kelebatkan tubuh keluar.
"Hmm, ada tamu tak diundang yang mau cari
penyakit!" desisnya. Melalui jendela ia lompat keluar dan langsung berkelebat ke
atas. Disangkanya ia akan pergoki orang itu namun
ketika tiba di atap rumah, ia tak melihat sosok lain kecuali dirinya.
"Gila! Orang itu jelas mempunyai kecepatan
dan ilmu meringankan tubuh yang cukup lumayan.
Hmm... aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa
gerangan dia!"
Tubuhnya dikelebatkan kembali. Dan pandan-
gannya samar melihat bayangan melompat ke bawah.
Cepat Andika mengejar dengan rasa penasaran. Lebih
penasaran lagi ketika tahu sosok itu berusaha masuk
ke kamar Suci. "Setan alas! Siapa dia?" begitu melihat bayangan itu, Andika kibaskan tangannya.
Wusss!! Sosok tubuh hitam-hitam yang sedang berusa-
ha membuka jendela kamar Suci, terkejut ketika me-
nangkap desing halus ke arahnya. Ia langsung memu-
tar tubuh dan melompat ke samping.
Andika tak mau membuang waktu, ia langsung
berkelebat untuk menangkapnya. Namun, sosok tubuh
hitam-hitam yang menutup wajahnya dengan secarik
kain, telah bergulingan. Cukup terkejut Andika di-
buatnya. Ia langsung mengempos tubuh kembali. Dan
sosok itu kembali menghindar dengan cepatnya.
"Hhh! Memaksaku main kucing-kucingan! Kau
akan gagal, Kawan!" dengus Andika, kali ini ia membuat gerakan seperti melompat.
Dugaannya tepat ka-
rena sosok hitam-hitam itu sudah membuang tubuh.
Padahal, gerakan yang diperlihatkan Andika sebe-
narnya hanya pancingan belaka. Begitu sosok dihada-
pannya bergulingan, ia langsung menyergap.
Tap! Kedua tangannya menangkap tangan orang itu,
lalu diputar ke belakang hingga terdengar jeritan tertahan. "Aaaakhhh!!"
Justru Andika yang langsung melepaskan kun-
cian tangannya. Ia terbengong sesaat, apalagi melihat orang itu menjatuhkan
tubuh dan mendengus panjang
pendek sambil mengusap tangannya yang sakit akibat
pitingan Andika.
"Kau?" desis Andika terbata. Sesaat kemudian, terdengar suaranya jengkel, "Mau
apa kau memata-mataiku, Suci"!"
Orang berbaju hitam-hitam itu mengangkat ke-
palanya. Matanya pancarkan sinar jengkel. Ia menarik
kain hitam yang menutup wajahnya. Seketika terden-
gar seruannya. "Sakit tanganku kau buat, Kang Andika!" Andi-ka mendengus. Benar-benar jengkel
melihat wajah orang itu. Suci. Bila saja Andika lebih keras sedikit, tak mustahil kedua tangan
gadis itu patah dibuatnya!
"Hhhh! Perbuatanmu keterlaluan, Suci! Meng-
apa kau melakukan tindakan seperti ini, hah"."
"Karena Kang Andika akan pergi!"
"Kalaupun aku akan pergi, aku tak akan me-
ninggalkan kau secara sembunyi-sembunyi!"
"Aku takut, Kang Andika tak mengajakku ser-
ta," kata gadis itu. Kali ini suaranya lebih pelan dan sarat dengan kesalahan.
"Aku tahu, karena Kang Andika belum juga mengiyakan permintaanku."
Peristiwa Bulu Merak 4 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Pendekar Pedang Dari Bu Tong 26