Pencarian

Rahasia Permata Sakti 2

Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Bagian 2


"Aku memang tak akan mengajakmu! Melihat
sikapmu seperti ini apa aku tak akan mengalami kesu-
litan bila bersamamu, hah" Lagi pula, aku ingin sendi-ri."
"Aku bisa menjaga diri."
"Dan aku tak ingin mendapatkan sulit dan re-
pot karenamu! Masuk kembali ke kamarmu, Suci! Ja-
ngan kau lakukan tindakan seperti ini lagi!!" suara Andika tegas, meskipun
rasanya ia tidak tega membentak
gadis ini terus menerus.
Suci menundukkan kepalanya. Rasa bersalah
menjalari hatinya hingga ia tak mampu berkata apa-
apa. Lalu dengan perlahan ia bangkit dan menatap
Andika. Yang ditatap membuang muka. Hatinya masih
kesal. Justru melihat sikap Andika, rasa bersalah di
hati Suci makin membesar.
Perlahan-lahan terdengar suaranya pelan, agak
bergetar, "Maafkan aku, Kang Andika. Aku janji, tak akan berbuat seperti ini
lagi." Andika tak menjawab.
Suci sadar kalau Andika marah akan perbua-
tannya. Dengan hati sedih ia melangkah masuk ke ka-
marnya. Tak ada maksud apa-apa ketika ia mencoba
melihat keadaan Andika, kecuali ingin mengetahui
apakah Andika akan meninggalkannya atau tidak. Te-
tapi, Andika keburu memergokinya.
Sementara Andika yang masih jengkel dengan
sikap Suci, merasa saat inilah yang terbaik untuk se-
gera meninggalkan gadis itu. Hatinya masih banyak di-
liputi pertanyaan yang merisaukan dan membingung-
kannya. Begitu Suci masuk dan mengunci kamarnya,
Andika langsung mengemposkan tubuh tinggalkan
tempat itu. Hal inilah yang terbaik menurutnya.
Namun, tanpa sepengetahuannya, satu sosok
tubuh yang sejak tadi melihat dari wuwungan mende-
sis, "Kini aku tahu... kalau Permata Sakti itu berada di tangan Pendekar Slebor.
Sekian lama aku mencari jejak Kakek Buruk Rupa, dan ketika kudapatkan kete-
rangan kalau rumah ini adalah tempat tinggal anak
dan cucunya, kudatangi tempat ini. Dan yang kulihat
sekarang, Pendekar Slebor-lah yang memilikinya. Ten-
tunya ia tak menyangka kalau aku sejak tadi sudah
melihat permata itu saat dikeluarkan dari balik pa-
kaiannya. Untungnya, gadis manja itu mendadak
muncul hingga kehadiranku tak diketahuinya. Hhh!
Akan kudapatkan Permata Sakti itu darinya!"
Memikir sampai di situ, sosok tinggi besar den-
gan baju panjang itu pun melesat turun menyusul
Pendekar Slebor. Gerakannya sangat ringan sekali, tak ubahnya bagai sehelai
kapas yang bergerak dimainkan
angin. *** 5 Ketika Andika tiba di sebuah sungai yang san-
gat lebar, siang sudah meranggas. Suasana di tepi
sungai itu cukup nyaman, karena dipenuhi banyak
pepohonan. "Sial! Bagaimana caraku untuk melewati sungai
yang panjang dan luas ini untuk sampai ke seberang"
Bila saja aku bisa berjalan di atas air, tentunya dengan mudah aku bisa
menyeberang sungai yang berair deras
ini!" dengus Andika sambil memperhatikan aliran sungai yang deras.
Digunakan akalnya untuk memecahkan masa-
lah di depannya. Lalu nampak ia melangkah mengam-
bil potongan dahan pohon. Dibawanya kembali ke tepi
sungai. "Dengan bantuan ranting pohon ini, aku bisa melewati sungai. Akan
kulemparkan ranting-ranting
ini secara serempak. Namun sulitnya, aliran sungai ini begitu deras. Bisa-bisa
sebelum aku melompat, ranting-ranting ini sudah jauh dibawa aliran sungai! Hhh!
Sial! Apakah aku harus balik lagi" Tetapi, jalan satu-satunya yang bisa
kugunakan adalah merenangi sun-
gai ini." Selagi Andika memikirkan kemungkinan cara yang hendak digunakannya,
sebuah sampan yang di-kayuh oleh seorang laki-laki bertudung caping, me-
luncur dari arah kanan sungai.
Seketika Andika melambaikan tangannya.
Orang dalam sampan, menghentikan sampan-
nya. Bambu kayuhnya yang cukup panjang dihujam-
kan ke dasar sungai hingga sampannya berhenti dan
dipermainkan air.
"Ada apa, Orang Muda?" tanyanya.
Andika berusaha melihat wajah orang di sam-
pan itu. Namun tak bisa karena sebagian wajahnya di-
tutupi caping bambu kusam.
"Orang tua... bisakah kau mengantarku ke se-
berang sungai?"
"Hendak ke manakah kau, Orang Muda?"
Terus terang, Andika memang tidak tahu hen-
dak ke mana. Yang menjadi tujuannya adalah mencari
Kakek Buruk Rupa. Untuk menjawab pertanyaan si
pemilik sampan ia berkata, "Aku hanya ingin ke seberang dan melanjutkan
perjalananku."
"Aku mencari nafkah dengan sampanku, Orang
Muda." Andika mengerti apa maksud orang itu. Ia berkata, "Aku akan
membayarmu...."
"Naiklah!"
Andika melompat ringan, hinggap di dasar sam-
pan yang tak bergerak sedikit juga. Kalau bergerak, itu dikarenakan sampan masih
dimainkan oleh arus sungai.
"Kita akan memotong aliran sungai, Orang Mu-
da." Ketika si tukang sampan mengangkat kayuh-
nya, sampannya meluncur. Lalu dengan cekatan sekali
ia menahannya kembali. Lalu perlahan-lahan sampan
itu mulai bergerak ke tengah.
Diam-diam Andika kagum dengan kelincahan si
tukang sampan. Ia mampu kendalikan sampannya di
arus sungai deras semacam ini. Deburnya terdengar
cukup memekakkan. Andika sendiri kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya, dengan maksud memudahkan
si tukang sampan mengendalikan sampannya.
Dari balik caping bambunya, sepasang mata si
tukang sampan memancarkan sinar merah menatap
tubuh Andika yang berdiri menghadap ke muka. Men-
dadak saja, ia lepaskan kayuhnya. Hingga sampannya
deras meluncur.
Andika terperanjat. Ia mengendalikan tenaga
dalamnya karena sampan oleng. Sementara tangan si
tukang sampan yang sengaja melepaskan kayuhnya,
terulur. Siap menjambak rambut Andika.
Namun mendadak saja Andika memiringkan
kepalanya. Lalu memutar tubuh dengan satu jotosan
dari bawah. Si tukang sampan terperanjat melihat ge-
rakan yang tak disangkanya sama sekali. Jotosan yang
cepat itu memang tak mungkin untuk dielakkan.
Namun, si tukang sampan bukanlah orang
sembarangan. Ketika tangan Andika menjotos, cepat
pula ia menarik tangan kanannya menekuk.
Des! Akibat benturan itu, sampan menjadi oleng dan
semakin kencang bagai digusur oleh air.
Andika sunggingkan senyum. "Manusia busuk!
Bokongan semacam ini tak berguna sama sekali! Ka-
takan, siapa kau adanya?"
Si tukang sampan mencabut capingnya dan ter-
lihatlah seraut wajah kasar dengan hidung besar.
Rambutnya yang digelung ke atas menjuntai panjang.
Ia membuka pakaian kumalnya, yang nampak pakaian
warna hitam sekarang. Panjang dengan celana hitam
pula. Wajahnya dipenuhi jerawat masak. Ia tertawa.
Sampan itu terus meluncur.
"Hebat! Hebat sekali! Tak sia-sia kau dijuluki
orang nomor satu di rimba persilatan ini, Pendekar
Slebor! Hanya sayangnya, siang ini kau berjumpa de-
ngan si Rase Maut!"
Andika cuma mendengus. "Kau pantasnya ber-
juluk si Tikus Jelek!" seringainya. Ketika tadi Andika melihat sampan itu
datang, ia sama sekali tak menduga apa-apa kecuali menyangka orang itu memang
ke- betulan lewat. Namun, cara orang itu menahan perahu
dari derasnya air sungai, seketika Andika bisa melihat kalau orang itu memiliki
tenaga dalam yang hebat. Belum lagi saat ia melompat tadi, masih dilihatnya pa-
kaian orang itu di balik pakaian kumalnya. Berwarna
hitam. Kecurigaannya makin membesar ketika men-
gingat akan tudung bambu yang dikenakan si tukang
sampan. Tak seperti biasanya seorang tukang sampan
mengenakan tudung bambu begitu lebar hingga me-
nenggelamkan sebagian wajahnya. Andika pun men-
gambil posisi siap menghadapi segala kemungkinan.
"Haram jadah! Nyawamu sudah berada di ta-
nganku, Pendekar Slebor! Sebaiknya, kau serahkan
permata itu kepadaku!!"
Kalau sejak tadi Andika sudah mencurigai si
tukang sampan, kali ini ia jadi kaget. Karena orang
yang berjuluk si Rase Maut itu mengetahui tentang
Permata sakti biru yang diberikan Kakek Buruk Rupa
kepadanya Diam-diam hatinya mendesis, "Bagaimana
orang ini bisa tahu kalau permata itu ada padaku"
Hm, dugaanku hanya satu. Ia pasti mengintipku. Teta-
pi, tak mungkin ia bisa lolos dari pendengaranku. Oh!
Kini aku tahu sekarang. Ketika Suci mencoba memata-
mataiku, manusia ini pasti lebih dulu melihatnya dan
aku tak menyangka sama sekali. Karena dugaanku,
hanya Sucilah yang melakukan tindakan seperti itu.
Sungguh konyol!"
Memikir sampai di situ Andika cuma mengang-
kat kedua bahu.
"O... jadi Permata Sakti biru itu yang kau inginkan" Bila memang begitu, mengapa
kau tidak segera
mengambilnya?"
Kelam wajah penuh jerawat itu. Dan satu lom-
patan sudah menderu ke arah Andika, cepat, menim-
bulkan dorongan angin hebat.
Rase Maut menunjukkan kelasnya dalam ilmu
meringankan tubuh. Gerakan yang dilakukan dengan
satu dorongan tenaga dalam tinggi itu seharusnya
membuat sampan oleng, namun tidak sama sekali.
Andika sendiri membuat gerakan yang menak-
jubkan. Tubuhnya melompati tubuh si Rase Maut yang
menggempurnya. Namun di luar dugaannya, Rase
Maut justru membiarkan tubuhnya dilompati Andika.
Bersamaan tubuh Andika melompat, telunjuk tangan
kanannya menotok.
Tuk! Tuk! Gerakan Andika jadi limbung. Seharusnya ia
hinggap kembali di dasar sampan dengan kedua kaki
tegak. Akibat totokan yang dilakukan oleh si Rase
Maut, ia jatuh dengan posisi tubuh tengkurap.
Laki-laki tinggi besar yang mengintip Andika
semalam itu terbahak-bahak. "Rimba persilatan akan berkabung dengan kematianmu,
Pendekar Slebor!"
Sehabis berkata begitu, si Rase Maut angkat
sebelah kakinya. Dengan tenaga dalam tinggi, ia men-
jejak kepala Andika.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!!"
Namun di luar dugaannya, Andika yang kelihat-
an tak berdaya, mendadak mencelat naik, berputar di
atas lalu hinggap di ujung sampan. Terdengar tawanya
yang mengejek si Rase Maut.
"Wah, kupikir totokan itu benar-benar hebat!
Rupanya cuma pantas dilakukan pada tikus got, ya?"
Merah padam wajah Rase Maut menyadari ka-
lau ia tengah dipermainkan oleh Pendekar Slebor. Ke-
tika Rase Maut menotoknya, Andika yang memang su-
dah alirkan tenaga dalamnya, mampu menahan to-
tokan itu. Tetapi dasar urakan, di saat maut sudah di ambang mata ia masih
bertingkah saja. Setelah terkena totokan itu, ia berlagak ambruk. Padahal dalam
hatinya terbahak-bahak melihat bagaimana si Rase
Maut sudah berbesar hati melihat gebrakan perta-
manya membawa hasil.
Penuh gerengan amarah. Rase Maut menerjang
lagi. Tetapi Andika justru menjejakkan kakinya di da-
sar sampan. Sampan yang tertahan karena tenaga da-
lam yang dikerahkan oleh si Rase Maut, bagai anak
panah terlepas dari busur.
Wusss! Sampan itu bergerak cepat, kembali dimainkan
air. Sedangkan tubuh si Rase Maut jadi limbung, se-
rangannya terhenti seketika.
"Busyet! Kau ini lebih pantas jadi penari jaipong di kotapraja, ya" Eh! Kalau
senggang, bagaimana kalau kau mengajari aku?" ejek Andika nyengir.
Rase Maut menggeram keras. Ia kendalikan lagi
posisi tubuhnya. Lalu menerjang dengan jotosan ke
muka. Namun lagi-lagi Andika menjejakkan kakinya di
dasar sampan. Kali ini sampan bukan hanya ber-
goyang, melainkan pecah berantakan. Secepat itu pula
Andika lompat dan hinggap di salah satu pecahan
sampan. Tubuhnya mengapung dengan tenaga dalam
yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara si Rase Maut yang sebelumnya su-
dah menebak kalau Andika akan menjejakkan kakinya
kembali, berhasil kendalikan diri. Namun, ia tidak menyangka kalau Andika justru
akan menghancurkan
sampan. Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya pun jatuh
ke sungai yang mengalir deras itu.
Byuuur! Laki-laki berbaju hitam itu gelagapan terbawa
air. Andika melambaikan tangannya. Menirukan suara
perempuan genit, ia berkata, "Aduh, Kang! Kenapa sih kau mau mandi di sungai
yang kotor ini" Ih! Sampai


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jumpa, ya?"
Bukan buatan geramnya si Rase Maut. Ia ber-
usaha untuk keluar dari gulungan air sungai. Ketika
dilihatnya sebuah pecahan sampan mendekatinya, ia
bersiap untuk meloncat dan hinggap di pecahan sam-
pan itu. Tetapi mendadak saja kayu pecahan sampan
itu, melompat dan mencelat ke atas. Ketika ia putar
kepalanya, dilihatnya Andika terbahak-bahak.
"Maaf ya" Kayu itu terlalu jelek untukmu! Jadi
kupikir, lebih baik dibuang saja!!"
Namun di luar dugaan Andika, si Rase Maut te-
lah mempergunakan ajian andalannya, 'Rase Lompati
Pagar Api'. Tubuhnya mendadak mencelat dari dalam
air, mengalahkan suara gemuruh. Bahkan dalam jarak
yang cukup jauh dengan Andika, seharusnya sangat
sulit bagi Rase Maut untuk langsung menyerang.
Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan
itu! Begitu tubuhnya mencelat dari dalam air, joto-
san tangan kanan dan kiri siap dihadiahkan kepada
Andika. Andika cukup tersentak dibuatnya.
Ia segera angkat tangan kanan dan kirinya.
Des! Des! Jotosan Rase Maut yang mengandung tenaga
dalam tinggi itu tertahan oleh tangkisannya. Namun
Rase Maut kembali menunjukkan kelasnya, kalau ia
memang seorang lawan yang patut diperhitungkan.
Masih berada di udara, tubuhnya berputar setengah
lingkaran dan kakinya dikibaskan.
Des! Tendangan itu tepat mengenai dada Andika. Ke-
seimbangannya oleng seketika. Rase Maut yang me-
rasa kalau lawan sudah kendor serangannya, menyu-
sulkan tendangan beruntun.
Berkali-kali tubuh Andika terhantam tendan-
gan kerasnya. Tubuhnya limbung berkali-kali. Pecahan
kayu yang diinjaknya bergoyang. Dalam pikiran Rase
Maut, Andika akan jatuh ke air saat itu juga, tetapi setelah tubuhnya oleng,
Andika berdiri tegak kembali.
Sesuatu yang aneh dirasakan oleh pemuda
urakan itu. "Sinting! Mengapa pandanganku berubah men-
jadi biru kembali dan tak kulihat kembali apa-apa
yang ada di hadapanku. Busyet! Mengapa hal ini ter-
jadi" Ada apa sebenarnya" Sulit bagiku untuk melihat
Rase Maut berada. Jangan-jangan dia menyerangku"
Tetapi, apa yang kulihat sekarang hanya warna biru
belaka tanpa ada sesuatu yang kukenal. Semuanya
kosong." Selagi Andika dihinggapi perasaan tak menen-
tu. Rase Maut yang sudah hinggap di pecahan sam-
pan, kembali menerjang. Menghajar Andika membabi-
buta, yang seolah membiarkan dirinya dihantam terus
menerus. Namun sampai sejauh itu, ia seolah tak me-
rasakan betapa kerasnya hajaran si Rase Maut. Jatuh
dan tegak lagi tanpa membalas.
Sudah tentu hal itu mengejutkan si Rase Maut.
Kalau tadi Andika tak akan membiarkan pukulannya
masuk, kali ini justru membiarkannya dipukuli.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya" Tetapi, men-
gapa ia tidak membalas" Peduli setan! Akan kuhajar
habis-habisan!"
Namun apa yang terjadi kemudian, Andika te-
tap menerima dan tak membalasnya sekali pun, hingga
akhirnya Rase Maut yang terkuras tenaganya.
"Ada apa ini" Ilmu apa yang dimilikinya?" serunya heran.
Dihentikan serangan dan siap menunggu bila
Andika menyerang. Tetapi sampai beberapa kejap, tak
ada serangan yang dilakukan Andika. Justru saat ini
Andika yang sedang berada dalam keheranannya ka-
rena pandangannya yang hanya menemukan suasana
berwarna biru kini kembali seperti biasa.
"Busyet! Kenapa ini" Jangan-jangan.... Aku te-
lah lama dihinggapi setan gentayangan?" Dan begitu melihat sosok Rase Maut di
hadapannya dia berkata
yang membuat kening Rase Maut berkerut,
"Lho" Kau bisa menyelamatkan diri rupanya,
ya" Hebat-hebat!!"
Rase Maut mendidih amarah yang menyelimuti
tubuhnya. Ia merasa diejek dengan kata-kata Andika
itu. "Keparat hina! Kuhajar kau!!" makinya.
Dalam sangkaannya, Andika akan kembali
membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan, namun
begitu Rase Maut menggerakkan kakinya, Andika jus-
tru melompat dan membuat gerakan memutar. Kaki-
nya tepat menghajar kepala si Rase Maut yang lang-
sung terjungkal kembali ke dalam air.
"Wah! Kau ini jangan-jangan belum mandi, ya"
Ya, mandi dululah kalau begitu!" seloroh Andika dan melihat Rase Maut gelagapan.
Tendangan telak yang
mengenai kepalanya membuatnya pusing dan sukar
mengendalikan diri lagi. Apalagi air deras itu telah
menggulungnya. Sementara itu Andika masih memikirkan kea-
nehan yang terjadi. pada dirinya. "Apa yang terjadi se-
benarnya" Mengapa pandanganku seolah melihat
ruang warna biru yang besar" Lalu kejap lain kembali
normal?" Kejap lain, pemuda urakan berbaju hijau pupus ini sudah mendengus,
"Masa bodohlah! Yang kutahu sekarang, Rase Maut pun menginginkan Permata
Sakti ini!"
Dengan mempergunakan tenaga dalamnya, An-
dika membawa pecahan kayu di mana ia berdiri ke te-
pian. Masih berjarak tiga tombak, dia segera melom-
pat. Hup! Sekarang, ia hinggap di seberang sungai. Dili-
hatnya bagaimana Rase Maut berusaha untuk men-
gendalikan dirinya. Sumpah serapah yang panjang ter-
dengar di telinga Andika. Sebenarnya, Andika ingin
menolong Rase Maut yang tengah gelagapan. Tetapi
menurutnya, biarlah orang itu mendapat pelajaran dari niat busuknya.
Setelah tubuh si Rase Maut yang tergulung de-
rasnya air sungai menghilang, Andika terdiam. Ma-
tanya memandangi sungai itu.
"Hmmm... memang banyak yang menginginkan
Permata Sakti biru ini, padahal aku sendiri tidak tahu apa rahasia yang ada di
balik permata ini. Jalan satu-satunya, aku memang harus memecahkannya. Namun
yang lebih penting lagi, aku harus temui Kakek Buruk
Rupa yang menyebalkan itu! Tetapi, mengapa dua kali
aku merasa aneh. Bahkan aku tidak tahu ketika Ca-
mar Hitam mendadak menyerang kembali. Juga, saat
Rase Maut muncul dari dalam air tadi. Busyet! Kenapa
ini?" Memikir begitu, Andika pun putar tubuhnya.
Namun ia urung melangkah, karena satu sosok jelita
berdiri di hadapannya dengan senyuman di bibir.
*** "Uh! Mau apa sih kau ke sini?" maki Andika dengan kepala yang mendadak jadi
pusing. Matanya me-
lotot gusar. "Aku paling tidak suka dibuntuti!"
"Lho, siapa yang membuntuti Kang Andika"
Aku keluar dari rumah karena ingin mencari kakek!
Kok, kecakepan sekali Kang Andika ini kalau aku mau
melakukan hal itu!" kata sosok jelita di hadapannya dengan senyum mengejek
bertengger di bibirnya yang
memerah ranum. Ia tak lain adalah Suci.
Andika mendengus dalam hati. "Sial! Rupanya
diam-diam ia mengetahui aku pergi. Hebat juga ilmu
meringankan tubuh yang dipelajari gadis ini dari ka-
keknya! Lalu katanya, "Lebih baik kau kembali ke rumahmu, Suci!"
"Tidak mau! Aku ingin mencari kakek!"
Di balik keriangannya gadis ini ternyata juga
seorang yang keras kepala.
"Perjalanan yang akan kau tempuh sangat sulit,
karena kau sendiri tidak tahu di mana kakekmu ber-
ada." "Bersama dengan Kang Andika, apa yang kutakutkan" Tadi kulihat bagaimana
Kang Andika me-
ngalahkan si tukang perahu itu! Lagi pula, aku bisa
berjalan sendiri. Aku bisa menjaga diri. Aku bisa berbuat apa-apa sendiri. Aku
cuma ikut dengan Kang An-
dika. Kalau sudah kutemukan kakekku, aku akan pu-
lang. Itu saja, kan" Apa yang merepotkan Kang Andika
kalau begitu" Buktinya, aku bisa menyeberangi sungai
ini, karena aku tahu ada jembatan gantung di sebelah
barat sana."
Kali ini Andika keluarkan napas pelan. Yang
cukup merepotkannya, karena ia pun hendak mencari
Kakek Buruk Rupa. Dan bukan mustahil ia sendiri ti-
dak akan menemukan si orang tua kumal itu.
Kalaupun soal mencarinya memang bukan ma-
salah besar, akan tetapi, soal Permata Sakti biru inilah yang ia pikir akan
merepotkannya. "Aku yakin, kepergianmu ini tak diketahui oleh
kedua orangtuamu."
"Biasanya memang seperti itu. Soalnya, mereka
bisa marah kalau aku pergi lagi. Lebih-lebih bila me-
reka tahu kalau aku mencari kakek."
"Kau bukan hanya akan membuat kedua
orang-tuamu cemas, Suci... tetapi kau telah membo-
honginya."
Kali ini Suci kelihatan kikuk.
"Habisnya, aku kan rindu kakek. Kalau kuka-
takan aku hendak mencari kakek, mana mereka men-
gizinkan?"
"Kau terlalu sering membohongi kedua orang
tuamu." "Kalau sudah kutemukan kakek dan kakek
mau tinggal bersamaku, kan tak ada lagi yang perlu
kubohongi."
"Bagaimana kalau kakekmu menolak?"
"Bila kakek mau berjanji untuk mendatangiku
sebulan atau beberapa bulan sekali, sudah cukup
memuaskanku. Pokoknya, aku harus bertemu kakek."
"Kalau begitu lebih baik kau...."
Wusss! Andika sudah berkelebat cepat dan mempergu-
nakan ilmu meringankan tubuhnya menjauhi Suci.
Gadis itu menjerit kaget, "Kang Andikaaa!!"
Bagi Andika, yang terpenting adalah keselama-
tan Suci. Karena ia yakin, akan banyak orang-orang
yang muncul hendak merebut Permata Sakti biru yang
ada di balik bajunya.
Senja sudah menurun ketika Andika memasuki
sebuah hutan. Ia celingukan sebentar dari balik se-
buah pohon. Ketika ia yakin kalau Suci tidak akan
berhasil mengejarnya, ia pun keluar dari sana sambil
tarik napas panjang.
"Hmmm.... Suci pasti tak bisa lagi mengikutiku.
Sebentar lagi malam akan datang. Lebih baik aku cari
kelinci atau ayam hutan yang bisa kujadikan penggan-
jal perut. Mudah-mudahan Suci sadar akan keke-
raskepalaannya dan kembali lagi ke rumahnya."
Selang beberapa saat, nampaklah Andika se-
dang asyik memanggang daging seekor kelinci. Aro-
manya sangat mengundang selera sekali.
Dan ketika ia sedang mengerat daging itu, lalu
siap dimakannya, tiba-tiba saja terdengar suara, "Ih!
Kau jahat sekali kalau tidak mengajakku menikmati
lezatnya daging kelinci itu, Kang Andika!!"
*** 6 Sementara itu, di tempat yang sangat jauh dari
tempat di mana Andika berada, Kakek Buruk Rupa se-
dang duduk di sebuah batu besar. Cukup aneh me-
mang, batu besar itu ada di tengah-tengah sebuah hu-
tan belantara yang lebat.
Dari cara duduk dan wajahnya yang berkerut,
jelas sekali ada yang dipikirkan. Orangtua kakek dari Suci itu memang tengah
memikirkan tentang Permata
Sakti biru yang lima belas tahun lalu ditemukannya.
Sebenarnya, ada perasaan mengganjal di hati-
nya. Karena, ia sama sekali belum berhasil memecah-
kan rahasia apa yang ada di balik batu Permata Sakti
itu. Yang diketahuinya, begitu banyak orang yang
menginginkan Permata Sakti itu.
Lalu pikirannya tiba pada Pendekar Slebor.
"Pemuda itu memiliki otak yang cerdik. Maka-
nya, aku rela menyerahkan Permata Sakti itu padanya.
Karena aku berharap, dengan kecerdikannya ia berha-
sil memecahkan rahasia permata itu," orang tua itu bergumam sambil usap jenggot
putihnya. "Yah, di tan-gannyalah aku berharap rahasia permata itu terpecah-
kan." Angin malam berhembus dingin, namun tak dihiraukan oleh Kakek Buruk Rupa
yang mengenakan
pakaian acak-acakan. Rambut panjangnya yang tutupi
wajahnya, tergerai. Hanya sesaat, karena kemudian
kembali lagi pada posisinya.
Tiba-tiba, si orang tua membentak, "Tamu tak
diundang. Mengapa harus mengintip. Nanti matamu
bintit. Silahkan keluar, karena bila kau bermaksud jahat, kau telah dinanti
ajal!!" Seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh
lima tahun, melengak di atas sebuah pohon. Dari tadi
laki-laki berwajah tengkorak dan tubuh kurus kerem-
peng itu berada di sana dan memperhatikan Kakek
Buruk Rupa yang duduk di atas sebuah batu besar.
Rambut panjangnya awut-awutan. Karena malu di-
ketahui kehadirannya, tanpa disadari olehnya, ia me-
lompat turun sambil terbahak-bahak.
Ketika ia berdiri di atas kedua kakinya yang ku-
rus, terlihat sebuah tambang yang besar di panggul di bahu kirinya. Dari cara ia


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggul tambang besar
tanpa menimbulkan kesulitan baginya, sudah bisa di-
pastikan ia bukan orang kebanyakan.
"Mata dan telinga tuamu ternyata masih awas,
Kakek Buruk Rupa. Cukup senang aku bisa melihat
kehebatanmu itu!" Orang yang baru turun itu terbahak-bahak kembali.
Sedangkan Kakek Buruk Rupa tak bergerak se-
dikit juga dari duduknya yang membelakangi laki-laki
berwajah tengkorak itu. Hatinya mendesis, "Bila melihat cara ia menjejakkan
kakinya dan benda yang di-
panggul di bahu kirinya, aku yakin, manusia inilah
yang berjuluk Iblis Tambang," Si kakek lalu perdengarkan suara, "Senang mendapat
teman di tempat
sepi seperti ini. Cuma sayangnya, mengapa harus ber-
jumpa dengan manusia jelek seperti tengkorak?"
Si wajah tengkorak kelam seketika. Mukanya
yang rata tinggal kulit pembungkus tulang bagai tertekuk ke dalam. Mulutnya yang
seperti memiliki bibir
menggeram, "Aku datang, untuk meminta Permata
Sakti darimu, Kakek Buruk Rupa!"
"O... salah seorang yang memiliki jiwa serakah
yang berada di belakangku ini. Sayangnya, aku tak
pernah akan memberikan Permata Sakti itu pada
orang semacammu!!"
Laki-laki kurus kering itu perdengarkan gera-
mannya yang dibaluri kemarahan menghemat. Ialah
yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan de-
ngan sebutan Iblis Tambang. Cukup lama juga Iblis
Tambang malang melintang di rimba persilatan. Tak
seorang pun yang tahu dari mana asalnya. Yang dike-
tahui, ia hanyalah seorang laki-laki yang berwatak culas dan memiliki kekejaman
yang luar biasa. Tambang
besar yang menjadi senjatanya itu, adalah sebuah
benda yang dahsyat. Mengenai wajahnya yang mirip
tengkorak, orang-orang hanya menyirap kabar, kalau
semenjak lahir ia memang sudah berwajah seperti itu.
"Menolak, berarti hanya menantang maut! Lima
tahun aku mencari jejakmu, Orang Tua Hina, tak akan
mungkin setelah kutemukan aku akan tinggalkan kau
begitu saja!"
"Kau betul, karena bila kau berbuat seperti itu,
kau hanya membuang waktu lima tahunmu itu secara
sia-sia." Marah bukan buatan Iblis Tambang. Tanpa buang tempo lagi, ia buat satu
serangan kelebatan dah-
syat. Tangan kurusnya menderu hebat. Kakek Buruk
Rupa yang sejak tadi memang sudah waspada, segera
mencelat ke atas. Tangan Iblis Tambang menghantam
batu besar yang tadi didudukinya.
Blaaarrr! Batu besar itu menjadi kerikil dan berpentalan.
Serangan Iblis Tambang menyusul. Kedua kaki
kurusnya menderu dahsyat ke muka. Kakek Buruk
Rupa cepat mengangkat tangannya menangkis.
Des! Des! Gempuran kedua kaki Iblis Tambang tertahan.
Akibatnya, kedua tokoh aneh itu mencelat beberapa
tombak ke belakang. Kakek Buruk Rupa merasa ta-
ngannya bagai remuk. Sedangkan yang dialami oleh
Iblis Tambang tak jauh berbeda sebenarnya. Kedua
kakinya terasa ngilu. Hal itu membuatnya jadi marah
tak karuan. Tahu-tahu tangan kanannya sudah mengambil
tambang besar yang tergulung dan sepanjang tiga me-
ter di bahunya. Diloloskannya tambang itu hingga se-
bagian menjulai di tanah. Tatapannya tak berkesip pe-
nuh sinar kematian laksana api yang menyala.
"Aku tak ingin banyak bicara, serahkan Perma-
ta Sakti itu kepadaku!!"
"Kau tak akan bisa memecahkan rahasianya,
Jelek!" Iblis Tambang terbahak-bahak keras. "Begitu bodohnya bila aku tak bisa
mengetahui. Bukankah
tenggorakanmu bisa kujadikan sebagai imbalan bila
kau mau mengatakannya kepadaku!"
Berulang kali Kakek Buruk Rupa selalu menda-
patkan jawaban seperti itu dari orang-orang serakah
yang menginginkan permata biru yang sekarang ber-
ada di tangan Pendekar Slebor. Rata-rata mereka me-
nyangka, kalau ia mengetahui rahasia Permata Sakti.
Belum lagi ia berkata apa-apa, Iblis Tambang
sudah menggerakkan tangannya. Tambang berat itu
menderu ke arah si orang tua yang terkesiap melihat
sinar merah yang dipancarkan dari tambang itu ke
arahnya. Cepat ia menghindar bergulingan, namun Ib-
lis Tambang sambil terbahak-bahak dan bagai melihat
seekor monyet yang terjebak lingkaran jaring, terus
menerus gerakkan tangannya dengan gencar.
Pepohonan yang tumbuh di sana banyak yang
tumbang berdebam. Tanah yang semula dipijak oleh
Kakek Buruk Rupa, bolong setengah meter!
Ia belum punya kesempatan sekali pun untuk
membalas. Sebaliknya, Iblis Tambang terus menerus
perdengarkan tawanya sambil melakukan serangkaian
serangan tambang dahsyatnya yang timbulkan suara
bergemuruh dan suara bagai ledakan.
Blaaarr! Sebatang pohon terhantam lagi hingga beran-
takan. Bersamaan senjata tambang dahsyat itu me-
ngejar dirinya tadi, si orang tua bongkok melepaskan
satu tendangan dahsyat yang didahului lompatan satu
kaki. Iblis Tambang tak memperhitungkan kalau la-
wan akan melakukan satu serangan balik yang me-
matikan. Ia tarik pulang tambangnya kembali. Lalu di-
hentakkan dengan suara keras, "Heaaaa!!"
Namun, Kakek Buruk Rupa yang sudah mem-
perhitungkan kalau lawan akan memotong serangan-
nya, justru berputar. Tambang itu mendesir di atas
kepalanya. Tubuh udangnya tak ubahnya bagai bola
setengah lingkaran. Mendadak ia mengibaskan ram-
butnya ke depan.
Wuuuttt! Bau tak sedap menguar, bagai memenuhi hu-
tan di mana mereka bertempur. Menyergap Iblis Tam-
bang yang terhenyak sejenak. Lalu segera menutup ja-
lan napasnya sendiri. Meskipun dilakukan dengan
sangat cepat, waktu yang hanya dua detik itu sudah
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kakek Buruk Rupa.
Selagi lawan mau tak mau menghentikan se-
rangannya, orang tua bongkok itu memutar tubuhnya.
Tangannya bergerak ke depan.
Des! Jotosannya telak menghantam dada Iblis Tam-
bang. Meskipun dalam keadaan terdesak, Iblis Tam-
bang tidak memperlihatkan wajah pias. Sebisanya ia
menggerakkan senjatanya lagi.
Wusss! Tambang yang menderu itu siap mencopot ke-
pala Kakek Buruk Rupa bila ia tak segera menunduk.
Sementara kakinya terus meluncur.
Buk! Buk! Dua kali tendangan berkekuatan dahsyat itu
menghantam Iblis Tambang hingga tersuruk ke bela-
kang. Dadanya dirasakan bagai remuk. Darah menga-
lir dari mulut dan hidungnya. Sedangkan Kakek Buruk
Rupa yang memang enggan untuk menurunkan tan-
gan telengas, segera angkat kaki dari sana.
"Orang tua keparat! Kau tak akan bisa lolos da-
ri tanganku!!"
Tanpa menghentikan larinya, Kakek Buruk Ru-
pa perdengarkan tawa yang keras.
"Maaf, tanganku bisa lumutan bila bertarung
dengan orang yang memiliki ilmu picisan!"
Panas wajah Iblis Tambang. Ia mencoba untuk
bangkit. Namun dadanya yang terhantam tendangan
dahsyat si kakek, membuatnya harus rebah kembali.
"Bangsat keparat! Sampai ke mana pun kau
akan kukejar!"
Sementara itu, satu sosok tubuh hitam-hitam
dengan rambut digelung ke atas yang sejak tadi mem-
perhatikan pertempuran itu, segera mencelat me-
nyusul Kakek Buruk Rupa.
"Kehebatan Iblis Tambang tak banyak berarti di
tangan Kakek Buruk Rupa. Sekarang, orang tua sialan
itu akan menerima batunya di tanganku, si Camar Hi-
tam! Setelah kudapatkan Permata Sakti itu, akan ku-
bunuh Pendekar Slebor! Aneh, mengapa pemuda ura-
kan dari Lembah Kutukan itu tiba-tiba mampu mem-
balikkan pukulanku. Bahkan, ia membiarkan setiap
pukulanku di tubuhnya! Hhh! Kehebatannya semakin
bertambah saja!"
Wanita tua yang tak lain si Camar Hitam, terus
mengejar Kakek Buruk Rupa yang berkelebat laksana
angin. Andika yang urung menikmati daging pang-
gangnya, menoleh, dan melotot. Lagi-lagi cucu Kakek
Buruk Rupa yang berada di hadapannya.
"Brengsek! Kupikir ia tak akan mampu meng-
ikutiku!" makinya dalam hati. Hatinya makin kesal ketika melihat Suci tersenyum
sambil mengangkat kedua
alisnya. Lalu seperti tak menghiraukan kedatangan
Suci, Andika putar tubuhnya kembali dan menikmati
daging panggangnya.
Suci tahu kalau kehadirannya tidak disukai
oleh Andika. Namun ia tidak peduli. Dengan santainya
tanpa menghilangkan senyum yang bertengger di bi-
birnya itu, ia duduk di sisi Andika. Tanpa merasakan
kejengkelan Andika, dengan enaknya Suci me-
natapnya. Kedua matanya dibulatkan. Andika yang
meskipun sudah diusahakan berlagak tak acuh, justru
jadi risih juga karena ditatap terus menerus.
"Apa sih maumu?" dengusnya jengkel.
Seperti baru sadar kalau Andika tidak mengerti
keinginannya, Suci melengak dengan kening berkerut.
"Jadi Kang Andika tidak tahu, ya" Kasihan se-
kali! Padahal aku sudah mengatakannya beberapa kali!
Jangan-jangan, telinga Kang Andika jadi tuli, ya" Pasti kebanyakan makan daging
kelinci! Coba kalau Kang
Andika membaginya separo denganku, pasti telinga
Kang Andika tidak akan tuli."
Seharusnya Andika bisa tertawa mendengar ka-
ta-kata Suci yang punya dua tujuan. Pertama, dengan
kata-kata seperti itu, ia mengejek Andika. Kedua, seca-ra tidak langsung ia
mengatakan kalau perutnya lapar.
Tetapi pemuda urakan nan tampan itu kembali
perdengarkan dengusannya. Hatinya mendongkol se-
kali. Benar-benar mati kutu dia menghadapi gadis di
sampingnya ini.
Ditariknya napas perlahan, dihentikannya ma-
kannya. "Sekali lagi kukatakan, bukannya aku tidak
mau membawamu untuk menemui Kakek Buruk Ru-
pa, tetapi perjalanan yang akan kutempuh ini sangat
sulit sekali. Kapan sih kau mau mengerti akan kata-
kataku itu?"
"Berapa kali kukatakan pada Kang Andika, ka-
lau aku mampu menjaga diri. Kang Andika tidak usah
cemas," kata Suci berusaha meyakinkan.
"Enaknya ngomong! Kau tidak tahu bagaimana
sebenarnya kehidupan ini. Aku tahu kau sering mem-
bohongi kedua orangtuamu sementara kau sendiri
pergi dengan enaknya ke segenap penjuru. Akan te-
tapi, sampai saat ini kau tak kurang suatu apa, karena kau memang belum
mendapatkan masalah."
"Kalaupun iya, aku akan berusaha menghinda-
rinya." "Ucapan tak sama dengan tindakan. Sudahlah lebih baik kau kembali ke
rumahmu." "Mana bisa begitu" Aku mau mencari kakek."
"Aku sendiri sedang mencari kakekmu yang je-
lek itu, tahu!" sengat Andika benar-benar jengkel.
Kalau tadi Suci nampak masih berusaha mem-
bantah kata-kata Andika, kali ini gadis itu terdiam.
Seolah tak percaya dengan kata-kata Andika barusan.
Ini berita baru baginya. Dan keningnya yang licin itu, perlahan-lahan mengerut.
"Kang Andika... juga mencari kakekku?" ta-
nyanya meyakinkan pendengarannya.
Andika yang sudah merasa kelepasan bicara,
mau tak mau akhirnya menganggukkan kepala. "Ya!
Laki-laki tua bongkok jelek itu menitipkan sebuah
permata biru kepadaku."
"Permata apa?"
"Kan tadi sudah kukatakan, permata biru!"
"Maksudku... untuk apa?"
"Aku sendiri tidak tahu." Andika menatap gadis yang masih menatapnya itu. Bagai
baru menyadari, ia
bisa melihat betapa cantiknya gadis ini. Tetapi mes-
kipun sifatnya riang dan jenaka, ia memiliki sifat yang keras kepala. "Suci...
apakah kakekmu pernah menceritakan tentang sebuah permata biru?"
Suci menggelengkan kepalanya, Matanya masih
lekat memandang Andika.
"Aku tidak tahu menahu soal itu."
"Sayang, padahal aku dibuat pusing olehnya."
"Bolehkan aku melihatnya?"
Andika menatap Suci dalam-dalam. Lalu mem-
perhatikan sekelilingnya. Memang tak jadi masalah bi-
la ia memperlihatkan permata biru itu pada Suci. Di-
ambilnya benda sebesar telur ayam yang meman-
carkan sinar biru.
"Wooo... indah sekali. Jadi, permata itu milik
kakek, Kang Andika?"
Andika menganggukkan kepalanya, lalu mema-
sukkan permata itu lagi ke balik pakaiannya.
"Itulah sebabnya mengapa aku mencari kakek-


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu. Perlu kau ketahui, menurut kakekmu sendiri, ka-
lau permata ini banyak menimbulkan petaka. Mak-
sudku, banyak sekali orang-orang serakah yang men-
ginginkannya. Dan pertarunganku di sungai sebelah
sana tadi, adalah salah seorang yang mempunyai niat
busuk terhadapku. Itulah Suci, mengapa aku tidak
mengizinkan kau untuk ikut denganku. Karena...."
"Aku kangen kakek!"
"Aku tahu. Tetapi...."
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, aku mau men-
cari kakek! Kang Andika kan bisa membawaku serta!"
Kali ini Andika benar-benar kehabisan akal un-
tuk menghadapi Suci. Tanpa menjawab ia meneruskan
lagi menikmati daging panggangnya. Suci yang me-
mang sudah merasa lapar, hanya menatap saja tanpa
berani memintanya.
Melihat kesungguhan gadis itu, Andika akhir-
nya jadi tidak tega. Dibaginya sebagian daging pang-
gang itu pada Suci, dia menerima dan menikmatinya
dengan lahap. Karena sulit untuk meminta pengertian dari
Suci agar tidak mengikutinya, Andika membiarkan sa-
ja gadis itu bersamanya.
Selesai menghabiskan daging panggangnya, An-
dika bangkit sambil berkata, "Aku ingin tidur! Kau silakan cari tempat untuk kau
tidur!" "Tetapi, Kang Andika jangan meninggalkan aku,
ya?" katanya dengan suara mengibakan.
Andika tak menyahut. Ia mematikan api yang
dipakainya untuk memanggang. Dan tidak lagi menya-
lakan api untuk menghangatkan badan. Dibawanya
langkahnya ke balik semak.
"Hei! Sana cari tempat untuk tidur!" serunya.
"Apakah kau ingin tidur berdua-dua denganku?"
Bagai disentak Suci bangkit, lalu celingukan ke
sana-sini. Meskipun ia tahu Andika keberatan meng-
ajaknya serta, tetapi ia bisa menebak kalau pemuda
tampan itu tidak tega pada akhirnya.
"Aku tidur di sini saja!"
"Terserah!"
Sambil cemberut, gadis itu merebahkan tubuh-
nya. Dia cukup dibuat jengkel dengan sikap Andika
yang semaunya. Diingatnya lagi tentang kakeknya. La-
lu pikirannya tiba pada permata biru yang diperli-
hatkan Andika. Permata yang bagus sekali.
Dan diam-diam, di bibir gadis itu tersungging
sebuah senyuman. "Menurut Kang Andika.... Banyak yang menginginkan, permata itu.
Hmm... Aku pun jadi
tertarik untuk mendapatkannya. Yah, suatu saat akan
kukejutkan Kang Andika."
*** 7 Malam makin membentang. Hawa dingin yang
tak terkira menusuk tulang. Sang Ratu Malam dijaga
oleh gumpalan awan hitam. Bunyi dedaunan diper-
mainkan angin, cukup mampu membuat jantung lebih
cepat berdetak. Andika yang sejak tadi tak bisa meme-
jamkan mata, bangkit perlahan, disibaknya semak di
mana ia berada. Dilihatnya Suci tengah melingkar
dengan kedua tangan mendekap dada. Kelihatan kalau
gadis itu kedinginan.
Andika mendesah pendek. "Sulit bagiku meng-
hadapi gadis ini. Tetapi, biar dia tahu bagaimana sulitnya perjalanan ini."
Namun ketika malam semakin mengedar, lama
kelamaan rasa iba datang di hati Andika. Jangan-ja-
ngan, gadis itu bisa membeku ketika bangun keesokan
harinya. Akhirnya Andika keluar dari balik semak, di-
dekatinya Suci yang menggigil.
"Suci...," dipanggilnya dengan lembut, seperti ada pesona yang menariknya.
Suci yang memang tak bisa tidur karena hawa
dingin, menyahut pelan sambil buka matanya, "Kena-pa, Kang Andika...," suaranya
bergetar, setengah menggigil.
Andika melihat wajah gadis itu membiru, ter-
utama di bibirnya yang memerah. Rasa ibanya makin
menjalar, hati-hati direbahkan tubuhnya di sisi gadis itu. Dilingkarkan tangan
kanannya ke tubuh gadis itu, diberinya kehangatan yang dalam.
Dalam dingin menusuk, perlahan-lahan Suci
merasa hangat kembali. Diam-diam, ia menyukai
rangkulan Andika di tubuhnya. Selang beberapa saat
Andika masih juga merangkulnya. Dibuka matanya
perlahan-lahan, dilihatnya pemuda tampan itu sudah
terlelap. Lalu dengan batin bergejolak hebat, perlahan-
lahan Suci mengulurkan tangannya untuk balas me-
rangkul. Namun beberapa kali ia tidak jadi melaku-
kannya. "Tidak, aku bisa malu kalau Kang Andika tahu-
tahu bangun," desisnya. Begitu nyaman sekali pelukan Kang Andika ini, tambahnya
dalam hati. Kalau pun ia
pernah meninggalkan rumah selama dua hari dan ti-
dur di sembarang tempat, itu dikarenakan ia secara tidak sengaja menemukan
gubuk-gubuk milik para pe-
nebang kayu, hingga terhalang dari hawa dingin yang
menusuk. Dan perlahan-lahan ia pun akhirnya terlelap.
*** Tepat ketika ayam jantan berkokok di kejau-
han, Andika terbangun. Diliriknya Suci yang terlelap
dengan bibir tersenyum. Tangan kanan merangkul tu-
buh Andika. Sejenak Andika mengerutkan keningnya.
"Heran, ada orang tidur tersenyum seperti itu?"
Hati-hati ia menurunkan tangan gadis manis
itu dari tubuhnya. Ia sendiri segera berdiri. Menggerak-gerakkan tubuhnya
sekadar melemaskan otot. Lalu di-
edarkan pandangan ke sekelilingnya. Alam begitu ra-
mah dan asri meskipun belum begitu terang. Di ufuk
timur sana, matahari baru memancarkan sinar me-
rahnya yang tipis.
"Hmm... sebenarnya cukup merepotkan bila
kuajak gadis ini mencari Kakek Buruk Rupa," desisnya sambil melirik Suci
kembali. Dalam pandangannya,
wajah gadis itu begitu bersih sekali. "Tetapi mau bagaimana" Melihat
kekeraskepalaannya aku yakin ia
tak akan merepotkanku sebenarnya."
Andika menarik napasnya lagi. Ia bermaksud
untuk mencari sungai guna membersihkan tubuhnya
selagi Suci masih tidur. Namun langkahnya urung.
Tiba-tiba saja pemuda dari Lembah Kutukan
itu merasa jantungnya berdetak keras. Ia menangkap
sebuah isyarat bahaya yang cukup menegangkan. Se-
ketika dibangunkannya Suci yang membuka dan men-
gucak-ngucak matanya.
"Apakah ini sudah pagi, Kang Andika?" ta-
nyanya dengan suara agak parau.
Andika tidak menyahut. Batinnya mengatakan
kalau bahaya semakin dekat. Ia justru berbisik, "Cepat kau naik ke pohon itu,
Suci." Meskipun baru bangun tidur dan kepala ber-
pendar pusing, Suci tak banyak bertanya akan perin-
tah Andika. Cepat ia mengempos tubuhnya melompat
ke dahan pohon, melompati satu dahan ke dahan lain.
Hal itu tidak mengherankan, karena Suci sedikit ba-
nyaknya telah digembleng oleh kakeknya. Bila saja Ka-
kek Buruk Rupa mengajari ilmunya lebih lama lagi, tak mustahil Suci akan menjadi
seorang wanita muda yang
sukar dikalahkan oleh lawan-lawannya. Dari balik
rimbunnya dedaunan dilihatnya Andika sedang berdiri
bersiaga. Pijaran mata bagai sepasang mata elang itu
berkeliling. Sekarang telinganya menangkap derap ce-
pat ke arah di mana ia berdiri.
"Siapa yang datang sekarang" Kalau mendengar
suara yang cukup ramai ini, pasti yang datang dengan
menunggang kuda. Hmm... rasanya lebih dari tiga
orang. Sebaiknya, aku bersembunyi dulu untuk men-
getahui siapa dan mau apa orang-orang ini!"
Memikir sampai di situ, Andika langsung me-
ngempos tubuhnya ke sebuah pohon besar. Dilambai-
kan tangannya pada Suci dan diletakkan telunjuknya
ke bibir memberi isyarat agar gadis itu jangan menge-
luarkan suara. Suci mengangguk, agak tegang.
Selang beberapa saat, muncul di tempat cukup
terbuka itu lima ekor kuda jantan yang gagah. Ditung-
gangi oleh orang-orang berpakaian hitam. Salah seo-
rang menarik kendali kuda, hingga kudanya berhenti
dan keluarkan suara ringkikan cukup keras. Menyusul
kuda-kuda yang lain.
Dari tempat di mana dirinya bersembunyi, An-
dika jelas melihat rata-rata wajah penunggang kuda
itu cukup menyeramkan. Tubuh mereka besar. Mas-
ing-masing dipenuhi dengan cambang bawuk yang le-
bat. Pakaian hitam dengan destar merah menambah
angkernya penampilan mereka.
"Hmmm, aku pernah mendengar tentang seri-
kat dari golongan hitam yang bernama Serikat Kuda
Hitam. Apakah manusia-manusia jelek ini dari Serikat
Kuda Hitam?" desis Andika sambil terus memperha-
tikan. Salah seorang dari penunggang kuda itu, me-
lompat turun. Gerakannya begitu ringan sekali. Ia
mendekati kayu bekas Andika memanggang daging ke-
linci. "Gadis itu memang berada di sini semalam. Tetapi, ia sudah pergi lagi
dari sini!" suaranya kasar dan tak sedap di dengar.
"Kalau begitu, secepatnya kita harus mencari
gadis yang bernama Suci itu!" sahut yang rambutnya tipis. "Selentingan kabar
mengatakan kalau ia adalah cucu dari Kakek Buruk Rupa. Telah tujuh bulan kita
mencari jejak Kakek Buruk Rupa untuk mendapatkan
Permata Sakti berwarna biru, tetapi sampai saat ini belum juga kita dapatkan
jejaknya. Bila kita berhasil
menangkap cucunya, kita paksa ia keluar dari per-
sembunyiannya dan menukar Permata Sakti itu de-
ngan nyawa cucunya!!"
Di atas pohon, Suci merasa dadanya semakin
berdebar hebat. Wajah cantiknya berkerut pias. Na-
mun di balik ketegangannya, menyembul pula kema-
rahan yang hampir saja tak mampu membuatnya un-
tuk menahan diri bila tak dilihatnya Andika memberi
isyarat agar ia tetap tenang.
Orang yang pertama berbicara tadi, naik kem-
bali ke kudanya.
"Permata Sakti yang berada di tangan Kakek
Buruk Rupa harus kita serahkan pada Ketua. Biar ba-
gaimanapun sulitnya, permata itu harus kita da-
patkan. Serikat Kuda Hitam harus mengibarkan
sayapnya setinggi langit! Kita harus cepat, paling tidak gadis itu belum jauh
dari sini! Hhhh! Seharusnya kita tidak kehilangan jejaknya waktu itu, bila ia
tidak berlari secepat kilat di tepi sungai sebelah sana!"
"Moro Alit... bagaimana dengan pemuda berbaju
hijau pupus yang bertarung dengan si tukang sam-
pan?" "Peduli setan dengan pemuda itu!" sahut si rambut panjang yang bernama
Moro Alit. "Meskipun kita menduga kalau pemuda itulah yang berjuluk Pendekar
Slebor dari ciri-ciri yang ada padanya, namun ki-ta tak punya urusan dengannya!"
"Ingat, Pendekar Slebor tak akan pernah mem-
biarkan kita melakukan tindakan seperti yang kita in-
gin lakukan."
"Kalau begitu, ia harus mampus di tangan Seri-
kat Kuda Hitam!"
Sehabis berkata begitu, laki-laki berambut pan-
jang itu menggebrak kudanya. Menyusul yang lainnya
menggebah kuda masing-masing.
Di tempatnya Andika mendesis, "Rupanya ma-
nusia-manusia itu memang dari Serikat Kuda Hitam.
Hhhh! Cukup lama juga nama golongan itu kudengar
namun sampai saat ini belum juga kudapatkan kete-
rangan di mana mereka berdiam. Tetapi yang jelas se-
karang, mereka pun menginginkan Permata Sakti itu
dan bermaksud menculik Suci untuk memancing Ka-
kek Buruk Rupa. Tentunya, seperti kebanyakan orang
lainnya, mereka menyangka permata itu masih berada
di tangan Kakek Buruk Rupa."
Sedangkan yang dipikirkan Suci, kalau sebe-
lumnya ia berada dalam jalur ketegangannya sekarang
nampak kening gadis itu berkerut. Ia memikirkan ka-
ta-kata salah seorang dari penunggang kuda tadi.
Pendekar Slebor" Samar ia mengingat kalau ka-
keknya pernah menceritakan tentang seorang pen-
dekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor. Menurut
kakeknya, kepandaian Pendekar Slebor yang memiliki
sifat bijaksana namun juga sifat urakan, sangat sulit dicari tandingannya.
Batin Suci bergetar, "Apakah Kang Andika yang
berjuluk Pendekar Slebor?" desisnya.
Saat itu ia mendengar suara Andika memanggil,
"Hei! Ayo, turun! Apakah kau akan menjadi monyet disana?"
Suci melengak dengan mata melotot. Lalu de-
ngan ringannya ia melompat ke bawah dan begitu ka-
kinya hinggap di tanah, dijejakkannya dua kali dengan jengkel. "Enaknya ngomong!
Kang Andika... apakah Kang Andika berjuluk Pendekar Slebor?"
Andika menatap gadis itu lekat-lekat. Mengapa
tiba-tiba saja gadis ini bertanya soal julukannya se-
gala" Tetapi ia menganggukkan kepalanya juga.
"Kakek pernah bercerita tentang Pendekar Sle-
bor. Ia juga bermaksud untuk mencari Kang Andika.
Kalau menurut cerita Kang Andika pernah bertemu
dengan kakek... aku yakin ada sesuatu yang terjadi,
bukan?" Andika cuma mengulapkan tangannya.
"Kalau kau mau ikut denganku, silakan! Tapi
jangan banyak bertanya! Ingat, sekarang banyak yang
mengincar dirimu karena permata itu!"
Setelah berkata begitu, ia berkelebat ke arah
orang-orang Serikat Kuda Hitam tadi. Suci sendiri tak melanjutkan pikiran yang


Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada di benaknya. Baginya,
ini sebuah keberuntungan karena Kang Andika akhir-
nya mengizinkannya untuk ikut bersama. Dalam per-
kiraan Suci, jaraknya dengan kakek yang dirindukan-
nya semakin dekat.
Ia langsung mengejar Andika.
*** Orang-orang dari Serikat Kuda Hitam menghen-
tikan lari kuda mereka di sebuah tempat terbuka. Di
sekeliling mereka ditumbuhi semak belukar, lebat dan
pepohonan tinggi. Di hadapan mereka nampak sebuah
gunung yang menjulang.
"Hhhh! Tak ada tanda-tanda gadis itu datang
ke tempat ini!" maki Moro Alit sambil perdengarkan dengusannya. Matanya yang
kasar melotot memperha-
tikan sekelilingnya. "Sulit untuk menentukan di mana Kakek Buruk Rupa berada!
Padahal, yang terbaik adalah menculik cucunya yang sangat disayanginya!"
"Bagaimana kalau kita kembali ke tempat ting-
gal anak dan menantunya?" tanya Dimar Gondo.
"Itu berarti mengulang dari awal! Hhh! Sebaik-
nya, kita lanjutkan saja mencari cucu Kakek Buruk
Rupa itu! Bila kita sudah berhasil menculiknya, se-
muanya akan terasa mudah! Ketua sangat mengingin-
kan sekali Permata Sakti biru itu!!"
Tanpa setahu mereka, tiga pasang mata men-
gintip kehadiran mereka di sana. Dua pasang mata
yang mengintip dari balik rimbunnya semak saling
berdekatan. Salah satu pasang mata memancarkan si-
nar jengkel, yang satu lagi menatap penuh ketenan-
gan. "Mereka harus dibunuh, Kang Andika," desis yang memiliki pasang mata
jengkel tadi. Ia tak lain Su-ci.
Andika mendesis pelan, "Kita harus menahan
amarah, Suci. Manusia-manusia itu tidak tahu kalau
Permata Sakti yang diberikan kakekmu itu ada pada-
ku." "Apakah sebaiknya tidak diserahkan saja pada mereka, hingga kakekku tidak
selalu diburu?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Terus terang, aku sendiri tidak tahu apa ke-
saktian yang ada pada permata ini. Kakekmu juga ti-
dak mengatakannya padaku. Tetapi, meskipun demi-
kian, samar bisa kuyakini kebenaran omongan ka-
kekmu itu, Suci. Kalau permata ini memang mengan-
dung sebuah kesaktian meskipun aku tidak tahu ke-
saktian apa itu. Jangan bersuara. Aku melihat seseo-
rang di sebuah pohon."
Diam-diam Suci membatin, teringat pada ke-
inginannya untuk memiliki permata itu pula. "Bila ada kesempatan, aku akan
mengambilnya."
Suci memicingkan matanya untuk mengikuti
pandangan Andika. Namun, ia tak bisa melihat siapa
yang berada di balik rimbunnya dedaunan.
Sementara itu, Moro Alit yang hendak mengge-
brak kudanya lagi, menjadi urung ketika melihat satu
sosok tubuh berpakaian hitam meluncur turun dengan
ringannya dari pohon yang tak jauh dari hadapannya.
Andika mendesis, "Rase Maut! Sinting! Rupanya
ia bisa menyelamatkan diri."
Orang yang tadi bersembunyi dan meluncur tu-
run itu memang si Rase Maut. Ketika ia tergulung de-
ras oleh aliran sungai dan kepalanya berpendar pusing hingga sulit mengendalikan
tubuhnya, mendadak matanya menangkap sebatang pohon yang menjulai ke
air. Cepat disambarnya batang pohon itu. Lalu dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia pun me-
lompat naik. Dialirkan tenaga dalam dan hawa murni guna
menghilangkan rasa pusing akibat tendangan Andika.
Ia masih tak mengerti mendapati kehebatan yang di-
perlihatkan Pendekar Slebor. Membiarkan dirinya di-
hantam oleh pukulan seorang tokoh tinggi semacam
dia, bukanlah suatu pekerjaan yang lunak. Harus
mengandalkan kemampuan dan kekebalan. Tetapi,
lama kelamaan pun akan roboh juga, karena keke-
balan itu pasti memiliki kelemahan. Hanya yang
mengherankannya, Pendekar Slebor tetap mampu me-
nahan setiap hantamannya, tanpa sekali pun memba-
las. Sakit hati Rase Maut memikirkan hal itu.
Akhirnya ia menunggu Pendekar Slebor di tem-
pat itu sambil memulihkan seluruh tenaganya. Ter-
nyata orang-orang Serikat Kuda Hitam yang muncul.
Ia terbahak-bahak melihat wajah kelima pe-
nunggang kuda itu melotot padanya.
"Jangan gusar! Aku si Rase Maut adalah saha-
bat dari Tunggul Manik, atau Ketua Serikat Kuda Hi-
tam!" Moro Alit tatap dengan mata nyalang.
"Jangan menjadi tukang ngibul di sini! Ketua
tak punya sahabat buruk seperti kau!"
Meskipun hatinya geram bukan buatan, Rase
Maut hanya memperdengarkan tawa belaka.
"Jangan marah! Dengar baik-baik, urungkan
niat kalian untuk menculik cucu Kakek Buruk Rupa!"
Semakin kelam wajah Moro Alit mendengarnya.
Secara tidak langsung ia bisa menangkap kalau laki-
laki di hadapannya ini sejak tadi sudah mencuri den-
gar percakapan mereka.
"Setan alas! Minggir kalau tidak ingin tubuhmu
tercacak tak berbentuk di sini!!"
Rase Maut hanya sunggingkan senyum.
"Aku tahu apa yang kalian inginkan, Permata
Sakti biru milik Kakek Buruk Rupa, bukan" Ketahui-
lah... meskipun kalian telah berhasil menculik cucu
dari Kakek Buruk Rupa, kalian tetap tak akan menda-
patkan permata itu!"
Dari rasa marah yang menyelimutinya, Moro
Alit diam-diam menjadi tertarik juga untuk lebih lanjut mendengar penuturan
laki-laki di hadapannya ini.
"Alasan apa yang bisa kau berikan padaku"!"
"Karena, Permata Sakti itu tidak lagi berada di
tangan Kakek Buruk Rupa!"
"Haram jadah! Kau ingin membohongi kami,
hah?" "Dengar baik-baik," suara Rase Maut berada di tenggorokan, menandakan ia
marah luar biasa. "Permata Sakti itu telah berada di tangan seorang pemuda
dari Lembah Kutukan yang berjuluk Pendekar Slebor!"
"Keparat! Bagaimana kau bisa mengatakan se-
perti itu?"
"Karena aku melihatnya sendiri! Dan aku sem-
pat bentrok pula dengannya?"
"Kau berhasil dikalahkan?" suara Moro Alit penuh ejekan.
Ganti wajah Rase Maut yang mengkelam.
"Itulah sebabnya, kukatakan semua ini, karena
aku ingin kita bergabung untuk membunuh Pendekar
Slebor!" "Kau memiliki kelicikan yang luar biasa! Setelah bergabung dan berhasil
merebut permata itu dari tangan Pendekar Slebor, kau akan mengkangkanginya
sendiri!" "Dengar baik-baik, Tunggul Manik adalah sa-
habatku, bila ia menginginkan Permata Sakti itu, aku
akan membantunya! Terus terang, aku juga ingin me-
milikinya! Tetapi sekarang, yang kuinginkan adalah
nyawa Pendekar Slebor! Kalian mendapatkan Permata
Sakti itu untuk diserahkan pada Tunggul Manik, dan
aku mendapatkan nyawa busuk Pendekar Slebor! Ba-
gaimana?" Moro Alit terdiam. Lalu mengedarkan pandang-
annya pada keempat temannya yang seperti memberi
isyarat mengiyakan.
"Baik! Kita bisa bergabung! Bila kau ingkar, ja-
ngan harap kau bisa hidup lebih lama!"
Rase Maut terbahak-bahak. Bukan dalam arti
ketakutan mendengar ancaman itu yang ia samarkan
melalui tawanya, melainkan karena ia merasa mampu
menghancurkan kelima orang ini sekaligus. Namun
saat ini, ia memang berdiri dalam satu pikiran licik. Bi-la bergabung dengan
kelimanya, sudah dipastikan ke-
kuatannya akan bertambah. Dan ini lebih memudah-
kannya untuk membunuh Pendekar Slebor sekaligus
merebut Permata Sakti itu.
Di tempat persembunyiannya, Andika mende-
sis, "Bisa berabe kalau begini! Pencarianku untuk menemukan Kakek Buruk Rupa
akan semakin terham-
bat!" Rase Maut berkata lagi, "Kalian kujanjikan le-herku sebagai taruhannya!"
Lalu menyambung dalam hati, "Itu pun bila kalian mampu melakukannya, Anjing-
anjing geladak!"
Moro Alit tertawa. Ia bangga karena merasa bi-
sa menguasai permainan. Bukannya ia tidak tahu ten-
tang Rase Maut yang mendiami Bukit Tunggul, yang
dikenalnya sebagai tokoh dari golongan hitam yang te-
lah lama malang melintang di rimba persilatan.
Namun kenyataannya, meskipun mereka berli-
ma, mereka tak akan mampu mengalahkan Rase Maut.
Betapa dungunya laki-laki itu!
Tiba-tiba terdengar tawa keras dari Rase Maut.
Cukup kuat untuk menghancurkan gendang telinga.
"Mengapa harus bersembunyi seperti seekor ke-
linci! Jadilah seekor musang yang berani muncul
menghadapi bahaya!"
Moro Alit dan keempat temannya saling pan-
dang tak mengerti mendengar ucapan Rase Maut. Te-
tapi, Andika tahu sekali siapa yang dimaksud oleh la-
ki-laki itu. Ia pun berbisik pada Suci, "Kau tetap di sini.
Jangan keluar meskipun bahaya mengancam diriku.
Bila kau lihat aku dalam bahaya, lebih baik segera
tinggalkan tempat ini."
Tanpa menunggu sahutan Suci, pemuda pewa-
ris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu segera melom-
pat keluar dari persembunyiannya.
"Hebat juga mata belomu itu, Orang Jelek!" se-lorohnya sambil mengangkat kedua
alis hitamnya de-
ngan sikap yang lucu pada Rase Maut. "Jangan-ja-
ngan, kau memakai mata ikan mas koki, ya" Besar se-
kali!" *** 8 Lima anggota dari Serikat Kuda Hitam segera
memutar tubuh dan serentak melompat dari kuda
masing-masing. Mereka melihat seorang pemuda tam-
pan berbaju hijau pupus dengan sehelai kain bercorak
catur yang tersampir di bahunya. Sikapnya begitu en-
teng sekali, cengengesan, menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
Diam-diam Moro Alit menyadari kedunguannya
yang merasa berhasil memenangkan permainan yang
diciptakan si Rase Maut. Ia jadi malu sendiri ketika ta-
hu kelihaian si Rase Maut, yang bisa mengetahui kebe-
radaan orang lain yang di dekat mereka.
"O... jadi kalian bergabung toh untuk menga-
lahkanku" Waduh, rasa-rasanya... kalian hanya jadi
pemimpi di siang bolong belaka! Bagaimana bila kalian masing-masing menungging
saja dan saling tendang"
Bukankah itu permainan yang lebih asyik?"
Rase Maut memerah wajahnya. Diingatnya ba-
gaimana ketika Andika membiarkan tubuhnya dihajar
terus menerus. Ia menggeram murka, "Kalau waktu itu kau
berhasil mempecundangiku, sekarang ajalmu sudah
nampak, Pendekar Slebor! Serahkan permata biru itu
kepadaku"!"
Seperti tak tahu ancaman orang, Andika masih
menunjukkan sifat urakannya.
"Jadi yang kau inginkan Permata Sakti. itu"
O... sudah kujual ke tukang loak untuk ditukar den-
gan sebidang tanah."
"Setan alas!"
"Lho, kau tidak bertanya tanah yang kudapat
itu untuk apa" Tidak usah sedih, karena aku pasti me-
ngatakannya. Tanah itu akan kujadikan tempat ku-
buran bagi dirimu. Nah, akan kuhiasi tempat itu de-
ngan bunga-bunga yang indah dan... heeeittt! Kenapa
Pedang Langit Dan Golok Naga 45 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Kesatria Baju Putih 12
^