Pencarian

Sengketa Di Gunung Merbabu 2

Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Bagian 2


ksatria kepada murid-muridnya. Siapa pun lawan, harus dihada-
pi secara ksatria. Membokong adalah tindak pen-
gecut! Malah kemungkinan besar, justru Ki Ling-
kih Manuk sendiri yang akan marah kepada anak
buahnya bila ada yang membokong ketiga lawan-
nya. Namun tiba-tiba salah seorang murid me-
lemparkan pedang di tangannya.
"Guru! Terimalah ini!" teriak murid itu.
Siing! Dalam sekali dengar saja, Ki Lingkih Ma-
nuk bisa mengetahui sebuah pedang telah melun-
cur ke arahnya. Dengan cepat disongsongnya pe-
dang itu. Akan tetapi, niatnya harus diurungkan, karena tiga bandul besi
lawannya yang bosan
dengan rambut itu sudah kembali menderu ke
arahnya. Wusss! Wusss! Wusss!
"Kau tak akan bisa ke mana-mana, Orang
Tua! Bahkan ke lubang tikus sawah sekali pun!"
ejek Sepuh Bumi sambil menyerang gencar.
Sementara, pedang yang dilemparkan mu-
rid Partai Gunung Anjosmoro menancap di tanah.
"Lihat saja! Kepala kalian yang licin itu
akan kubuat makin licin! Lihatlah!" seru Ki Lingkih Manuk sambil berjumpalitan
menghindari dua bandul besi yang menderu ke arahnya.
Ketika bandul besi milik Sepuh Bumi men-
deru ke arahnya, dengan manis Ki Lingkih Manuk
berputar dua langkah sembari melompat. Begitu
menjejak tanah, kakinya menendang sebuah ke-
rikil yang meluncur deras ke arah kepala Sepuh
Langit yang siap meluncurkan bandul besinya la-
gi. "Settaaannn!" maki Sepuh Langit seraya membatalkan serangan. Dia tahu, apa
akibatnya bila kerikil yang ditendang lewat penyaluran tena-ga dalam tinggi itu mengenai
kepalanya. Kesempatan itu dipergunakan Ki Lingkih
Manuk untuk bergulingan. Tangannya sekali lagi
menyambar sebuah kerikil. Saat menghindar ke-
jaran dari dua bandul besi yang mengarah kepa-
lanya, dilemparkannya kerikil itu.
Tak! Luncuran dahsyat kerikil tepat mengenai
hulu pedang yang menancap di tanah. Bagaikan
disentak tenaga malaikat, pedang itu kontan
mencelat lepas dari tanah dan meluncur ke arah-
nya. Lalu dengan sentakan satu kaki, Ki Lingkih
Manuk melompat menyambarnya.
Tap! Begitu pedang berhasil ditangkap, Ki Ling-
kih Manuk bersalto dua kali. Dan ketika hinggap
di tanah, dia sudah bersiap kembali menerima se-
rangan. Bukan hanya murid-murid Partai Gunung
Anjasmoro yang berdecak kagum. Diam-diam Se-
puh Langit pun kagum melihat kecepatan gerak
Ki Lingkih Manuk. Namun sudah tentu kekagu-
mannya tidak ditunjukkan. Kalau tadi serangan-
nya tanpa berpindah dari tempat berdirinya, kali ini rantai itu diputar di atas
kepalanya. Dan sambil melompat ke arah Ki Lingkih Manuk, tubuh-
nya mencelat untuk melontarkan bandul besinya.
Gerakan itu disusul oleh gerakan Sepuh Bumi
dan Sepuh Bayu.
Dengan pedang di tangan, sudah tentu kali
ini Ki Lingkih Manuk bisa membuktikan kalau di-
rinya adalah salah seorang pendekar yang patut
diperhitungkan. Dia melompat lincah ke sana
kemari. Bahkan dengan beraninya, jalannya ban-
dul besi itu dipotong oleh gerakan tubuhnya.
Trang! Bandul besi milik Sepuh Bayu bukannya
mengarah pada sasaran, justru meluncur kembali
ke pemiliknya yang langsung tercekat melihatnya.
Untung dia segera bergulingan dengan cepat. Se-
hingga, bandul berduri itu menghantam pohon di
belakangnya hingga sempal!
Dan bukan hanya sampai di sana saja Ki
Lingkih Manuk menunjukkan kepandaiannya.
Mendadak saja pedang di tangannya dilemparkan
ke arah Sepuh Langit.
Laki-laki botak berkumis panjang itu terke-
jut pula. Cepat tangannya digerakkan berputar,
sehingga pedang itu terbelit rantai besinya. Pada saat yang sama Ki Lingkih
Manuk melompat ke
atas bandul besi milik Sepuh Bumi.
Pertunjukan tenaga dalam tinggi oleh Ki
Lingkih Manuk diperlihatkan sekarang. Dengan
masih berdiri di atas bandul besi milik Sepuh
Bumi, dibawanya bandul berduri yang bagaikan
menempel di kakinya itu ke pemiliknya. Sehingga, tubuhnya seakan terbang.
Bukan main terkejutnya Sepuh Bumi meli-
hat serangan yang aneh namun mengagumkan
itu. Mendadak saja rantai besi itu dilepaskan dari tangan dengan jalan
membantingnya! Karena me-
nurut perhitungannya, tubuh Ki Lingkih Manuk
akan tersentak jatuh.
Namun di luar dugaan, dengan lincahnya
Ki Lingkih Manuk telah melenting dan berputa-
ran, mengejar Sepuh Bumi yang bergulingan ba-
gaikan meluncur. Seketika dilepaskannya dua
pukulan dahsyat.
Des! Des! "Aaakh...!"
Dua kali pukulan Ki Lingkih Manuk tepat
mengenai punggung Sepuh Bumi yang kontan
menjerit keras. Sementara dengan lincahnya Ki
Lingkih Manuk terus bersalto kembali ke bela-
kang, karena nalurinya yang tajam merasakan
dua angin menderu kencang ke arahnya.
"Ini yang dikatakan ilmu kalian bertambah,
hah"!" Sepuh Langit menggeram marah. Sungguh, amat tidak disangka kalau Ki
Lingkih Manuk mampu melakukan gerakan mengejutkan. Apalagi
ketika melihat Sepuh Bumi yang bangkit dengan
terhuyung dan muntah darah.
"Kau harus membayar semua ini dengan
nyawamu. Orang Tua!" dengus Sepuh Langit.
Begitu kata-katanya habis, Sepuh Langit
meluruk cepat ke arah Ki Lingkih Manuk. Kali ini, bandul besi yang sejak tadi
dilontarkannya dipe-gangnya. Begitu berada tak seberapa jauh dari Ki Lingkih
Manuk, baru dilemparkannya dengan tenaga penuh.
Wusss! Ki Lingkih Manuk yang sudah memperhi-
tungkan kalau Sepuh Langit akan melakukan se-
rangan seperti itu cepat bergulingan. Sehingga,
bandul besi itu hanya menebas angin.
Dan dalam masih bergulingan. Ki Lingkih
Manuk mengibaskan kakinya ke atas, ke arah
kaki Sepuh Langit.
Duk! "Auhhh....!"
Tepat sekali kaki Ki Lingkih Manuk men-
genai tulang kering Sepuh Langit. Laki-laki botak ini langsung kehilangan
keseimbangan dan jatuh
sempoyongan. Saat itulah Ki Lingkih Manuk me-
mutar tubuhnya. Dia segera melompat untuk
menghabisi nyawa Sepuh Langit. Tetapi seran-
gannya harus dihentikan, karena Sepuh Bayu
sudah menyerangnya.
"Bagus, bagus sekali! Hanya sayang. Tiga
Duri Setan cuma membuang nyawa percuma!" se-ru Ki Lingkih Manuk.
Dan mendadak saja Ketua Partai Gunung
Anjasmoro itu kembali menyerang. Kedua tan-
gannya mengembang, bagaikan serangan elang
menyambar anak ayam.
Sepuh Bayu melontarkan bandul besinya.
Begitu pula Sepuh Langit yang sudah menyambar
kembali senjata. Dua bendul besi itu kembali me-
nyerang. Dan mendadak saja, Ki Lingkih Manuk
yang masih melayang menghindar merasakan se-
buah deru angin kencang ke arahnya. Rupanya
Sepuh Bumi mempergunakan kesempatan untuk
membokongnya. Sekaligus, membalas sakit ha-
tinya. "Bagus! Orang yang sudah mau mampus pun, mampu berbuat curang!" seru Ki
Lingkih Manuk. Dan dengan gerakan tak terduga, menda-
dak saja Ki Lingkih Manuk menyongsong bandul
besi Sepuh Langit yang sudah kembali mengarah
padanya. Beberapa rambut saja tubuhnya akan
lumat dimakan bandul besi berduri yang sangat
tajam! Sepuh langit sendiri sudah mengembang-
kan senyum karena yakin Ki Lingkih Manuk tak
akan mampu menghindari serangannya kali ini.
Apalagi dibantu Sepuh Bayu yang juga sudah
menyerangnya! Tetapi alangkah terkejutnya Sepuh Langit,
ketika melihat Ki Lingkih Manuk justru mem-
buang tubuhnya ke kiri. Langsung ditendangnya
rantai besi milik Sepuh Bayu, sehingga bandul
besi berduri itu justru berbalik ke arah pemiliknya yang terpaksa menjatuhkan
diri untuk meng-
hindari seraya melepas rantainya.
Sementara, bandul besi berduri milik Se-
puh Langit terus meluncur deras. Pada saat yang
sama, Sepuh Bumi meluruk deras tak tertahan-
kan lagi. Padahal, Ki Lingkih Manuk telah bergu-
lingan di tanah. Akibatnya....
Brettt! "Aaakhhh...!"
"Sepuh Bumiii...!"
Bersamaan dengan itu terdengar pula jeri-
tan keras dari mulut Sepuh Langit yang tercen-
gang. Tubuh Sepuh Bumi sudah ambruk ke ta-
nah dengan dada robek terhantam bandul besi
berduri milik Sepuh Langit. Rupanya Sepuh Lan-
git tidak lagi mampu menahan rantai besinya lagi.
Sementara, Sepuh Bumi sudah siap menyerang Ki
Lingkih Manuk. Maka tak ayal lagi, tubuh Sepuh Bumi pun
harus termakan bandul besi berduri milik Sepuh
Langit sendiri. Maka makin murkalah Sepuh Lan-
git. Dia cepat melompat seraya melepaskan rantai besinya.
"Kau harus membayar semua ini dengan
darahmu, Orang Tua! Aku bersumpah, akan
mencuci mukaku dengan darahmu!"
Seketika dua tangan Sepuh Langit bergerak
lurus ke arah Ki Lingkih Manuk.
"Cobalah buktikan sumpahmu itu!" sahut Ki Lingkih Manuk tanpa bergerak, seraya
menghentakkan kedua tangannya.
Blarrr...! Blarrr...!
Terjadi benturan dua kali. Sepuh Langit
merasakan tangannya kesemutan. Sementara Ki
Lingkih Manuk masih berada dalam sikap biasa.
Dia tahu, tenaga dalamnya lebih tinggi.
Sementara itu. Sepuh Bayu pun mem-
buang pula senjatanya. Lalu tubuhnya meluruk
ke arah Ki Lingkih Manuk.
Rupanya, Ketua Partai Gunung Anjasmoro
itu selain mempunyai keahlian luar biasa dalam
ilmu pedang, juga memiliki kemampuan bela diri
tangan kosong. Apalagi didukung tenaga dalam
tinggi. Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, terlihat Sepuh Langit dan Sepuh Bayu
yang terdesak hebat. Rupanya Ki Lingkih Manuk sudah mem-
pergunakan ajian yang memang selalu disimpan-
nya, aji 'Pedang Kilat'.
Ajian itu membuat kedua telapak tangan Ki
Lingkih Manuk seolah berubah menjadi setajam
pedang. Memang, lima murid yang tergabung da-
lam Panca Giri dari Partai Gunung Merbabu telah
diturunkan ajian pamungkas yang disesuaikan
keahlian dalam mempergunakan senjata masing-
masing. Dua kali tangan Sepuh Bayu terhantam
sambaran tangan Ki Lingkih Manuk, sehingga
mengeluarkan darah. Melihat Sepuh Bayu dibuat
kalang kabut seperti itu, kemarahan Sepuh Langit bertambah. Dengan kemurkaannya
seluruh ke-saktiannya diumbar untuk menjatuhkan Ki Ling-
kih Manuk. Namun ia sendiri tak kuasa menahan
serangan Ajian 'Pedang Kilat'. Bahkan kakinya
pun telah mengeluarkan darah tersambar ajian
'Pedang Kilat'.
Melihat kenyataan itu, Sepuh Langit yakin
kalau pertarungan ini diteruskan, akan berakhir
kekalahan di pihaknya. Mendadak saja dia bersal-
to ke belakang.
"Sepuh Bayu!! Kita pergi dari sini. Dan kita akan datang lagi untuk mencabut
nyawa Orang tua itu!!" teriak Sepuh Langit.
Sepuh Bayu pun segera berbuat sama.
Namun sayang. Ternyata Ki Lingkih Manuk
tidak mau lagi memberi kesempatan. Ketika Se-
puh Bayu melompat ke belakang, laki-laki Ketua
Partai Gunung Anjasmoro itu justru mengejar ba-
gaikan meluncur di atas air. Seketika tangan ka-
nannya ditusukkan ke dada Sepuh Bayu. Lalu....


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Crasss! "Aaa...!"
Tangan kanan Ki Lingkih Manuk tembus
ke jantung Sepuh Bayu! Ketika ditarik, darah
muncrat keluar. Kini tangan Ki Lingkih Manuk
berlumur darah.
Mendengar teriakan menyayat Sepuh Bayu,
Sepuh Langit menghentikan larinya. Dengan ge-
ram dia melihat keadaan saudara seperguruan-
nya yang bernasib naas.
"Tunggu pembalasanku, Lingkih Manuk!"
teriak Sepuh Langit, seraya kembali berlari den-
gan hati penuh dendam dan amarah.
Ki Lingkih Manuk menghela napas pan-
jang. Pagi ini, dia telah membunuh dua orang. Tetapi yang dibunuh justru akan
merugikan orang
banyak. Dibayangkannya, apa yang akan terjadi
di lereng Gunung Merbabu tiga hari lagi.
"Makamkan kedua mayat ini di belakang
pendopo," ujar Ki Lingkih Manuk pada murid-
muridnya. Tak ada yang membantah. Padahal, kalau
mau menuruti kata hati, mereka lebih suka
membuang kedua mayat ini ke hutan. Dibiarkan
membusuk dan digerogoti ulat-ulat kecil. Namun
perintah tetaplah perintah.
5 Tubuh Sari perlahan-lahan mulai bergerak.
Wajahnya pun mulai tampak cerah. Bibirnya yang
ranum namun kali ini terlihat agak pucat, me-
nimbulkan suara lirih. Andika yang sudah selesai bersemadi menoleh,
memperhatikan gadis itu.
"Sari..., masih hidup rupanya, eh. Maksud-
ku, kau sudah sadar?" kata Andika buru-buru meralat.
Perlahan-lahan Sari membuka kedua ma-
tanya, yang segera dipejamkannya kembali. Kare-
na, ada silau yang cukup menyengat sepasang
matanya. Lalu perlahan-lahan dibukanya kemba-
li. Kali ini dirasakannya sedikit lumayan, dan bisa seperti biasa kembali.
Sekujur tubuhnya pun masih sangat le-
mah. "Andika...," desah Sari begitu melihat tubuh Andika di dekatnya.
"Oh.... Syukurlah kau sudah siuman,"
sambut Andika. Pendekar Slebor benar-benar tidak akan
memaafkan dirinya bila gagal menyelamatkan Sa-
ri. Diam-diam, hatinya teramat marah pada keli-
ma orang berpakaian merah-merah yang telah
menuangkan cairan berwarna merah itu. Andika
bertekad, untuk mencari orang-orang itu agar
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
yang hampir saja merenggut nyawa Sari.
Lalu dengan sangat perlahan. Andika
membantu Sari untuk duduk.
"Kenapa aku, Andika?" tanya gadis itu
sambil memegangi kepalanya. Sedikit pusing.
Kening Andika berkerut, mendengar nada
pertanyaan lembut yang dilontarkan Sari. Heran!
Rupanya dia bisa juga bersikap lembut. Kalau be-
gitu, apakah Sari harus dibuat pingsan dulu se-
tiap kali ingin melihatnya bersikap lembut"
"Yang jelas, ini gara-gara kau bandel!" sahut Andika. "Makanya, jangan suka
meninju kening yang tuaan. Beginilah akibatnya!"
Sari teringat kalau sebelumnya bercanda
dengan Andika tadi. Meninju kening Andika dan
berlari, karena pemuda itu mengejarnya. Tetapi,
oh! Mengapa tahu-tahu tubuhnya terjatuh dan
terguling begitu saja" Padahal dia yakin, kakinya tidak tersandung sesuatu.
Namun kemudian, gadis yang juga dianu-
gerahkan Yang Maha Kuasa memiliki otak cerdik
itu teringat runtutan kejadiannya. Dan keningnya sedikit berkerut.
"Andika..., apakah tidak mungkin kalau
pingsanku ini disebabkan cairan merah yang tak
sengaja kuinjak?" tanya Sari kemudian. Andika
tersenyum. "Betul! He he he.... Apa kau kira menginjak ampas orang buang hajat?"
Sari cemberut. "Aku sungguh-sungguh."
"Betul, Sari..." kata Andika lebih bersung-guh-sungguh. "Itu juga yang menjadi
pemikiranku." "Kalau begitu, cairan itu sangat berbahaya.
Andika." "Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Mereka pasti tengah bermaksud mencela-
kakan seseorang atau beberapa orang."
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Tetapi..., siapa mereka?"
"Itu juga yang menjadi pemikiranku."
"Andika!" sentak Sari tiba-tiba.
Andika mengangkat kepalanya. "Lho" Men-
gapa kau membentak begitu" Apa aku salah?" tukas Andika seenaknya.
"Jangan mempermainkan aku?" bentak ga-
dis itu lagi, gemas.
Andika menggelengkan kepala. "Sama se-
kali tidak. Apa yang kau katakan itu juga menjadi pemikiranku. Sari. Mana
mungkin sih, aku mempermainkan gadis cantik tetapi...."
"Diaaammm!" bentak Sari kembali. Gadis ini tahu pasti, apa yang akan dikatakan
Pendekar Slebor di ujung kalimatnya. Tetapi kali ini dia ke-cele.... "Juga
sangat ayu dan manis...."
Ternyata Andika tetap berkata-kata. Dan
ujung kalimatnya, tidak seperti yang diduga.
"Hah"!" gadis itu melengak, tetapi buru-buru menundukkan kepala.
Andika tertawa dalam hati. Heran! Kok ta-
hu-tahu jadi tersipu-sipu seperti gadis pingitan"
Sebenarnya, bagaimana sih cara untuk mem-
buatnya jadi kalem dan tidak galak seperti begi-
tu" "He he he.... Kau ini sangat manis sebenar-
nya kalau tidak galak."
Kali ini Sari menundukkan kepala. Hatinya
berdebar-debar mendengar kata-kata Andika.
"Sari..., apakah kau yakin kesehatanmu
benar-benar sudah pulih?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Sari mengangguk. Dia yakin kalau tidak
segera ditolong Andika mungkin nyawanya sudah
kembali ke Sang Pencipta.
"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap gadis ini tulus.
Andika tersenyum, seraya mengibaskan
tangannya. "Tak apa-apa. Asal jangan bandel sa-ja." Ganti Sari tersenyum. Andika
berdiri. "Mau ke mana?" tanya Sari. Kali ini wajahnya kelihatan malu-malu untuk langsung
mena- tap mata Pendekar Slebor.
Andika yang masih tidak mengerti akan pe-
rubahan sikap Sari, mengangkat bahunya saja.
"Aku ingin memusnahkan cairan-cairan
merah yang kelihatannya jelas-jelas berbahaya
itu. Lho,, lho..." Kau sendiri mau ke mana?" tanya
Andika ketika melihat gadis itu juga berdiri.
"Aku ingin membantu."
"Jangan! Nanti kau malah pingsan dua
kali. Cah Ayu..., ketahuilah. Cairan merah itu
sangat berbahaya sekali. Kalau kau pingsan lagi, aku jadi bingung lagi...."
Bukannya menjawab, Sari malah menun-
dukkan kepala. Sementara Pendekar Slebor telah melang-
kah dengan santainya.
*** "Kenapa diam saja, sih?" tanya Sari.
Dari tadi gadis ini memperhatikan Pende-
kar Slebor yang hanya terdiam. Berkali-kali kepalanya menelang ke kanan dan ke
kiri, sementara
tangannya berada di mulutnya. Seperti berpikir.
Andika tidak menyahuti kata-kata Sari. Dia
sedang memikirkan bagaimana untuk menying-
kirkan sekaligus membuang cairan merah yang
sangat berbahaya itu.
"Andika!"
"Iya, iya! Aku dengar!" sahut Andika tanpa bergeming.
Sari mendengus.
"Menyebalkan! Untung aku tidak jadi keka-
sihmu, huh!"
Kali ini Andika menoleh. Keningnya berke-
rut "Yeee,.., siapa yang mau jadi kekasihmu"
Sudi amat sih!" goda Pendekar Slebor.
"Aku juga tak sudi jadi kekasihmu!" dengus Sari sambil mengangkat tangannya.
"Eit, eit!" seru Andika sambil berlagak hendak menahan pukulan Sari. "Belum jadi
kekasih, sudah main pukul saja. Bagaimana kalau sudah
jadi?" Sari menurunkan tangannya Bibirnya
cemberut. Namun, hatinya sedih. Sungguh, sukar
sekali menebak isi hati Pendekar Slebor yang
sangat memusingkan kepalanya. Terkadang, dari
setiap ucapannya, mampu membuat Sari terba-
wa. Namun di lain ucapannya, just membuatnyakesal Andika yang merasa kasihan melihat gadis
itu terdiam, tersenyum.
"He he he.... Tidak usah marah. Sekarang,
kau berdiri saja di sini. Aku akan mencoba mem-
buang cairan warna merah itu," ujar Andika, lembut. Kali ini Sari menurut.
Andika kini mengangkat kedua tangannya
ke atas, lalu menurunkannya ke bawah kembali.
Ditariknya napas dalam-dalam, menghimpun
kembali tenaga 'inti petir'nya lagi. Dengan cepat tangannya dikibaskan ke arah
salah satu tempat
yang dituangi cairan merah tadi.
Wusss...! Serangkum angin kencang yang bersuara
bagai salakan petir seketika terdengar. Maka ta-
nah berpasir yang ada di sana mengembang dan
buyar terbawa angin pukulan Andika. Tetapi yang
mengejutkan cairan merah itu tetap berada di sa-
na. Mengering, dan seperti membatu.
"Busyet!" rutuk Pendekar Slebor. "Bisa saja sih, aku membuangnya dengan kedua
tanganku ini. Tetapi... he he he.... Tadi saja Sari sudah merasakan akibatnya. Masa iya
aku begitu bodoh
mau melakukannya lagi."
Tetapi meskipun begitu, Andika mengambil
sebatang ranting dan melemparkannya ke arah
tempat yang dituangi cairan merah tadi.
Pluk! Srrsss! Begitu ranting tadi jatuh tepat di tempat
yang dituangi cairan merah, seketika berubah
menjadi debu. Hangus bagaikan tersambar petir.
"Busyet!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Se-
mentara Sari menghela napas panjang melihat
ranting yang seketika menjadi debu.
"Kang Andika.... Sangat berbahaya cairan
merah itu, meskipun telah cukup lama mengen-
dap di tanah!" seru gadis itu.
Andika menoleh. Bukannya menanggapi
kata-kata Sari, dia justru bengong menatap gadis itu. Kang Andika" Busyet! Kok
pakai 'kang' segala" Lagi-lagi dia tidak mengerti dengan sikap Sari yang
terkadang cepat sekali berubah.
"Kau benar! Cairan merah itu sangat ber-
bahaya! Tetapi, bukan Andika kalau tidak mampu
membuangnya!" kata Pendekar Slebor sombong,
sambil menepuk dadanya. "Kau lihat ini!"
Wuuuttt! Lalu dengan gaya yang sok, Andika mence-
lat ke atas. Tubuhnya diputar dua kali di atas.
Seketika kain pusakanya yang bercorak catur di-
kebutkan. Bletarrr...! Pasir di bawah kontan beterbangan. Sebe-
lum kakinya menjejak tanah, tangan Pendekar
Slebor yang telah merangkum ajian 'Guntur Se-
laksa', salah satu ajian warisan dari Lembah Ku-
tukan, dikibaskan.
Dgerrr! Seketika tanah yang dihantam ajian itu bo-
long! Lalu dengan ringannya, Andika hinggap di
sisi tanah yang bolong itu. Kini tak ada sesuatu yang membuatnya mengaduh atau
jatuh pingsan. Sari yang sudah terkejut tadi karena meli-
hat betapa beraninya Andika menginjak tempat
itu, kini menghela napas lega. Ternyata pemuda
yang diam-diam dicintainya itu tak kurang suatu
apa. Andika terkekeh-kekeh.
"Rupanya, hawa panaslah yang menguasai
cairan merah itu, sehingga tidak mau pergi juga!
Memang bandel! Makanya, dengan mengerahkan
kekuatan panas dari ajian 'Guntur Selaksa', pa-
nas yang ditimbulkan cairan merah itu bisa dika-
lahkan. Buktinya" He he he..., kau lihat sendiri kan, Sari?"
Sari hanya tersenyum. Merasa lucu melihat
sikap Andika yang lugu seperti itu. Lalu tampak
pemuda berbaju hijau pupus itu melakukan gera-
kan serupa sebanyak tiga kali. Dan di tiga tempat berikutnya, tanahnya pun
bolong. Kini, cairan merah beracun itu telah pu-
nah. Meskipun Andika tidak mengerti, mengapa
kelima orang itu tadi menuangkan cairan ini
keempat tempat, namun dia tetap memusnah-
kannya. Pendekar Slebor memang telah mendu-
ganya, tetapi.... siapa keempat calon yang hendak dibunuh itu" Lalu diuruknya
kembali tanah yang
bolong, sehingga keadaannya seperti semula. Rata dengan tanah.
Sari mendekat sambil bertepuk tangan.
"Hebat, hebat!"
Andika membusungkan dadanya


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Andika...," panggil Sari dengan nada tinggi. Sari tersenyum dan terus mendekat.
Lalu, ti- ba-tiba dipukulnya dada Andika. Keras.
Buk! "Heigkh! Kenapa lagi ini, sih?" tanya Andika pura-pura.
Padahal kalaupun Andika menangkis pu-
kulan itu, bisa saja dilakukannya. Tetapi lagi-lagi dia ingin menggoda Sari.
"Biar kau tidak besar kepala! Kang Andi-
ka..., sebenarnya apa yang telah terjadi ini?"
tanya Sari. "Aku tidak tahu. Tetapi, aku akan mencari
tahu." "Maksudmu?"
"Pertama, ada pertanyaan yang sangat
mengganggu sekali bagiku," sahut Andika sambil menatap sepasang mata jernih di
hadapannya. "Pertanyaan apa?" tanya Sari. "Kenapa kau tiba-tiba memanggilku 'kang'?" tanya
Andika pelan. Sari mendadak saja gelagapan. Kepalanya
ditundukkan dengan sikap gelisah.
"Aku..., ah! Kau tidak senang?"
"Aku" He he he..., senang banget,"
"Lalu..., mengapa..., mengapa dipermasa-
lahkan?" "Soalnya...," Andika menggaruk-garuk kepalanya. "Soalnya apa, kenapa tidak
memanggil 'yang'... he he he...."
"Sudah..., sudah...!" teriak Sari, jadi malu.
Wajah Sari bersemu dadu. Andika sangat menik-
mati sekali wajah yang cantik itu memerah. Apa-
lagi dari jarak dekat seperti ini.
Sejenak suasana jadi hening, ketika tak
ada yang bersuara.
"Aku ingin mencari tempat yang teduh dan
agak tersembunyi" cetus Andika seraya melangkah. "Mau apa?" seru Sari lagi.
"Aku ingin menunggu di sini. Menurut
orang-orang berpakaian merah yang bersenjata
cakra di tangannya, pertemuan itu akan diadakan
tiga hari lagi di sini. Tidak tahu pertemuan apa"
Tetapi aku justru penasaran. Bila melihat perbuatan mereka tadi, bisa dipastikan
kalau pertemuan
yang akan terjadi pasti akan menimbulkan per-
tumpahan darah! Hei, Sari! Kau dengar itu"!" teriak Andika sambil terkekeh.
"Aku ikut!"
Andika terus melangkah.
"Tidak usah!"
"Ikut! Pokoknya ikut!"
"Terserah! Itu urusanmu, kok! Tetapi, lebih baik panggil harimaumu yang jelek
itu! Kasihan dia kalau tidak diperintahkan keluar dari per-
sembunyiannya. Bertahun-tahun juga tidak akan
keluar!" "Oh! Kakang Andika suka pada si Belang?"
tanya Sari, riang. Pertama. Karena akhirnya An-
dika mengabulkan permintaannya. Kedua, karena
baru tahu kalau Andika menyukai si Belang.
"Siapa bilang" Malah kalau bisa usir saja
dia dari sini..."
Sari menghentakkan kakinya lagi. Lalu tu-
buhnya berbalik untuk mengambil si Belang.
Memang, di samping ingin selalu berada dekat
pendekar tampan itu, Sari juga penasaran ingin
tahu apa maksud kelima orang itu menuangkan
cairan merah beracun yang mampu mencabut
nyawa dalam beberapa hitungan saja!
6 Malam mulai merebak perlahan-lahan.
Hembusan angin kini dirasakan semakin dingin.
Pendekar Slebor telah menemukan sebuah gua
kecil yang terdekat di sisi sebelah kanan Gunung Merbabu. Saat ini, pemuda itu
sedang memanggang daging kelinci yang tadi diburunya.
"Jadi bagaimana keputusanmu, Kang An-
dika?" tanya Sari yang duduk di sisi Pendekar Slebor sambil merangkul Belang
untuk menghilangkan rasa dingin yang menyengat.
Si Belang sendiri sejak tadi sudah tidak sa-
bar ketika mencium aroma daging kelinci yang
dipanggang Andika.
Andika membalik-balikkan daging kelinci
itu di atas api yang menyala.
"Aku akan tetap menunggu di sini," tegas Andika.
"Sampai kapan?"
"Sampai aku mengetahui, apa yang sebe-
narnya tengah terjadi. Hmmm... Sari... Apakah
kau tidak mencium aroma daging ini yang menga-
syikkan?" Sari hanya mengangguk. Wajahnya berki-
lat-kilat ditimpa cahaya api. Dia pun sudah tidak sabar menyikat daging kelinci
itu. Dari aromanya saja, sudah tercium wangi yang sangat nikmat.
Apalagi bila memakannya. Ah! Rupanya Pendekar
Slebor memang pandai memanggang daging ke-
linci. "Sudah matangkah daging itu, Kakang?"
tanya Sari. "He he he.... Jangan khawatir. Sebentar la-
gi kita akan menikmatinya. Masing-masing men-
dapat satu buah daging kelinci. Termasuk kau,
Belang! Aku tahu, kau sudah tidak sabar segera
menyantapnya, bukan?"
Andika membalik-balik lagi daging kelinci
itu. Lalu dibawanya ke depan hidung.
"Hmmm.... Tak terkirakan nikmatnya.
Hmm, Belang.... Bolehlah kau menikmatinya lebih
dulu." Andika melemparkan daging kelinci yang telah matang itu kepada Belang
yang dengan sigapnya melahapnya. Kalau si Belang bisa ngo-
mong, tentunya akan mengatakan kalau daging
kelinci mentah lebih mengasyikkan daripada ma-
tang begini. Kini Andika memberikan potongan daging
kelinci lainnya kepada Sari. Dan gadis itu segera menikmatinya. Mereka pun
menikmati daging kelinci yang penuh aroma mengasyikkan.
Dan malam pun terus merambat. Suasana
yang dingin membuat Sari harus menekuk kedua
kakinya ke depan. Meskipun mereka berada di
dalam gua, namun gua itu hanya kecil saja. Din-
dingnya tidak terlalu tinggi, sehingga angin yang masuk hanya berkutat di
sekitar dalam saja.
Andika yang masih belum bisa memejam-
kan mata, melirik Sari yang masih meringkuk di
atas beberapa lembar daun pisang yang dijadikan
sebagai alas. Kasihan. Begitu gumam Andika. Sari me-
mang menyukai petualangan. Dan kini dia sudah
berada di sini.
Dan Andika pun terkenang kembali bagai-
mana mula bertemu Sari.
"Sari...," panggil Pendekar Slebor kemudian. Sari mengangkat kepala. "Ada apa,
Kang?" "Kau belum tidur?"
"Belum."
"Si Belang?"
"Kusuruh menjaga di biar." Belum lagi Andika menyahuti kata-kata gadis itu
"Grrrhhh...!"
Terdengar erangan pelan dari luar. "Be-
lang!" desis Sari. Secepat kilat tubuhnya sudah mencelat keluar.
Andika pun menyusul.
Kini mereka melihat si Belang sedang me-
ringkuk dengan auman pelan. Sari memeriksa
hewan kesayangannya dengan hati berdebar-
debar. "Oh!" desis gadis itu begitu melihat luka di kaki Belang. "Aduh,
Belang.... Kau kenapa" Kenapa?" Pendekar Slebor berdiri kembali. Matanya
memperhatikan sekelilingnya. Dia yakin, ada seseorang berilmu tinggi yang telah
melukai si Be- lang. Tetapi yang mengherankan, kalau memang
orang itu berniat mencelakakan, sangat mudah
sekali. Tetapi mengapa hanya melukai kaki kiri
belakang si Belang saja"
Tiba-tiba Andika mencelat ke satu tempat.
Nalurinya yang terlatih mengatakan ada sesuatu
yang berkelebat di kejauhan. Dengan mengguna-
kan ilmu larinya disertai pengerahan ilmu merin-
gankan tubuh, Pendekar Slebor mengejar bayan-
gan yang hanya bisa terlihat bayang-bayang saja.
Lari bayangan itu memang sangat cepat.
Bahkan dalam beberapa tarikan napas saja, Pen-
dekar Slebor kehilangan jejak.
"Brengsek! Siapa manusia itu?" dengus
Andika jengkel.
Pendekar Slebor lantas mencari-cari di se-
kitarnya dengan sikap siaga. Tetapi, dia tak me-
nemukan siapa-siapa di sana.
"Hmmm.... Monyet belang! Kalau kau me-
mang jantan, keluar! Tunjukkan tampang jelek-
mu?" seru Andika keras sambil bersiaga.
Tak ada yang muncul. Hanya angin malam
yang berdesir membelai rambutnya yang panjang.
"Kutu kupret! Cepat keluar! Aku ingin me-
lihat tampang cecungukmu yang sudah tentu je-
lek sekali!" teriak Andika lagi.
Lagi-lagi tak ada yang keluar. Bahkan tak
ada suara yang memancing perhatian Pendekar
Slebor. "Pengecut!" dengus pendekar urakan ini.
Lalu Pendekar Slebor melesat kembali ke
tempat semula, tempat Sari yang tengah cemas
memeriksa luka hewan kesayangannya. Namun
alangkah terkejutnya Pendekar Slebor, ketika dua sosok yang sangat dikenalnya
tidak terlihat lagi.
"Busyet, deh! Ke mana lagi gadis galak itu?"
rutuk Andika sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya. "Sari! Kalau mau bercanda, jangan begini dong!"
Namun sosok Sari tetap tak muncul. Andi-
ka menghentakkan kakinya, jengkel.
"Belang! Kau juga jangan main sembunyi-
sembunyi seperti ini"! Jangan suka main ikut-
ikutan seperti majikanmu yang rada brengsek
itu!" Hanya angin yang berhembus. Suara geme-resek dedaunan terdengar
dipermainkan angin.
"Edan! Kenapa sih, aku harus mengalami
kejadian seperti begini?" dengus Pendekar Slebor.
"Seharusnya, aku tidak menunggu apa yang akan terjadi di lereng gunung sialan
ini! He he he...
Mending juga aku mengajak Sari berpacaran"
Apa" Berpacaran dengan gadis galak itu" Tidak
usah, ya" Mendingan juga.... He he he.... Tetapi dia juga cantik, kan" Sariii!
Belaaanggg! Keluar dong kalian!"
Bukannya sosok Sari ataupun si Belang
yang muncul, justru dua sosok lain yang muncul.
Sepasang laki-laki dan perempuan yang bersikap
begitu mesra sekali satu sama lain. Bahkan keti-
ka muncul, masih berada dalam satu rangkulan
mesra. Pendekar Slebor melongo. Dia tertawa keti-ka melihat yang perempuan
membelai-belai wajah
si laki-laki. "Hi hi hi.... Apa kubilang. Benar kan, kalau pemuda itu ternyata Pendekar
Slebor?" kata yang perempuan terkikik. "Sejak tadi aku sudah yakin, kalau pemuda
itu adalah Pendekar Slebor. Siapa
sih, yang tidak tahu ciri-cirinya" Berpakaian war-
na hijau pupus dengan kain jelek yang bercorak
catur itu?"
Ketika rembulan menyinari tubuhnya, An-
dika bisa melihat jelas wajah perempuan itu yang cukup mengerikan. Dagunya agak
memanjang ke bawah. Yang paling aneh, semua giginya ompong.
"Busyet! Kalau melihat tampangnya, keli-
haian masih berusia sekitar tiga puluh lima ta-
hun. Tetapi giginya itu... hiii...! Ampun, deh!" gumam Pendekar Slebor, dalam
hati. Yang laki-laki menatap si perempuan den-
gan sinar mata mesra. Tangannya masih meling-
kar di bahu perempuan itu.
"Kau benar, Dinda Sukesih.... Kau benar.
Ternyata pendekar sakti yang ramai dibicarakan
orang-orang rimba persilatan mempunyai otak li-
cik juga! Dia lebih dulu menunggu di sini, sebe-
lum waktu pertarungan antara kelompok Panca
Giri dilakukan!" sahut yang laki-laki, terkekeh.
Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya panjang sam-
pai menutupi wajahnya.
Perempuan yang dipanggil Sukesih sema-
kin menyusupkan kepala di dada si laki-laki.
Tangannya melingkar di pinggang laki-laki itu. Bi-la melihat sekilas, sudah
jelas kalau keduanya
bukanlah pasangan pas. Tetapi mesranya itu...,
ya ampun! Andika kontan sakit perut!
"Sayang, sayang sekali.... Pendekar licik itu akan mampus hari ini juga di
tangan Sepasang
Kelabang Berbisa. Nah, Kanda Jinar.... Siapa yang bilang kalau dia pendekar yang
patut dikagumi"
Buktinya, dia mempunyai rencana untuk mencuri
bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu!"
Pendekar Slebor yang masih jengkel akibat
perlakuan sosok yang menghilang tadi dan meng-
hilangnya Sari serta si Belang, mengangkat da-
gunya. "O, jadi kalian Sepasang Kelabang Berbi-sul" Ah, kulihat justru
perempuannya yang bisu-
lan... Hm... sebaiknya kalian jangan pacaran di
sini , deh...! mengintip kalian berpacaran saja, kambing pun enggan...!"
7 Bukannya marah mendengar ejekan Pen-
dekar Slebor, laki-laki dan perempuan aneh yang
berjuluk Sepasang Kelabang Berbisa malah saing
berpandangan. "Ha ha ha.... Kau benar, Dinda Sukesih.
Rupanya pendekar yang kesohor itu tak ubahnya


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang bego belaka!" ejek laki-laki aneh dari Sepasang Kelabang Berbisa. Dia tadi
dipanggil dengan nama Jinar.
"Nah! Apa kubilang, Kanda" Masa dia bi-
lang tadi, kambing saja tidak mau melihat kita
pacaran" Kalau tidak mau melihat kita, berarti
dia kambing, kan?" cetus yang dipanggil Sukesih.
"Kutu monyet!" dengus Andika dalam hati dibalikkan seperti itu.
Pendekar Slebor memang baru melihat dua
tokoh aneh yang baru muncul ini. Memang, sepa-
sang anak manusia yang aneh itu cukup lama
menghilang dari dunia persilatan, setelah dika-
lahkan kelompok Lima Gunung ketika melakukan
penculikan bayi-bayi di beberapa dusun untuk
penyempurnaan ilmu sesat yang dipelajari.
Selama sepuluh tahun Sepasang Kelabang
Berbisa hidup menyendiri di Gua Kelabang Mere-
ka memacu diri dan berlatih demi balas dendam
yang akan dilakukan terhadap Panca Giri.
Setelah sepuluh tahun, mereka pun keluar
dari persembunyiannya. Bertepatan dengan itu,
mereka pun mendengar kalau di tubuh Panca Giri
telah terjadi perpecahan karena memperebutkan
bokor emas yang berisi Air Swargaloka. Maka se-
makin kuat dendam di hati Sepasang Kelabang
Berbisa untuk memusnahkan lima orang pengua-
sa lima gunung itu. Di samping, juga ingin mere-
but bokor emas yang berisi Air Swargaloka.
Sikap Sepasang Kelabang Berbisa memang
selalu mesra. Tak pandang tempat, dan siapa pun
yang dihadapinya. Tak terkecuali, Pendekar Sle-
bor yang kini menggaruk-garuk kepalanya.
Bila mendengar omongan Nyi Sukesih tadi,
adalah tentang bokor emas yang berisi Air Swar-
galoka dan pertarungan yang akan terjadi di tu-
buh Panca Giri. Berarti cerita yang didengarnya
dari lima orang berpakaian merah yang telah me-
nuangkan cairan merah sangat mematikan makin
jelas menuju kebenaran.
Andika kini semakin yakin, kalau memang
akan terjadi sesuatu di lereng Gunung Merbabu
"Hei, Kelabang Jorok! Mau apa kalian ke
sini" Mau ngorek-ngorek tanah di sini, ya?" kata Andika sambil menahan geli
melihat kemesraan
mereka yang semakin menjadi-jadi.
"Hi hi hi.... Ternyata pendekar bego itu masih bisa bermain sandiwara. Kanda
Jinar?" "Kau benar, Dinda Sukesih...! Sepertinya
dia merasa pasti, kalau dirinya tak ubahnya pe-
main ludruk!"
"Sialan!" maki Andika.
Pendekar Slebor lantas bermaksud me-
ninggalkan tempat itu untuk mencari Sari dan si
Belang. Mereka lebih penting daripada melayani
sikap kedua manusia aneh ini.
Tetapi mendadak saja Nyi Sukesih sudah
berkelebat dan berdiri di hadapan Andika.
"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku
tadi, kalau kau akan mampus malam ini juga"
Karena, hi hi hi... Kau rupanya menginginkan pu-
la Air Swargaloka."
Andika mendengus.
"Kau mau apa sih, Kelabang Perempuan"
Kalau mau pacaran denganku, cium dulu pan-
tatku! Hi hi hi...! Hanya laki-laki bego itu saja yang mau menjadi pacarmu!"
ejek Andika. Bukannya marah, Nyi Sukesih malah me-
rajuk pada Jinar.
"Kanda..., dia mengejekku...."
"Hhh! Siapa pun orangnya yang mengejek
istriku, maka harus mampus!" bentak Jinar,
menggeram marah. "Apalagi orang itu Pendekar Slebor! Pendekar yang selalu
menghalangi sepak
terjang kami dari golongan sesat!"
"Masa bodoh!" sahut Andika santai. "Kalau kalian yang ingin mampus, mengapa
tidak segera menyerangku, hah"!"
Sebenarnya. Pendekar Slebor masih memi-
kirkan tentang Sari dan si Belang yang lenyap begitu saja. Juga sosok tubuh yang
dilihatnya tadi.
Kini Andika yakin kalau sosok itu sengaja menga-
lihkan perhatiannya. Pasti, sosok tadi balik lagi entah lewat mana, lalu
menculik Sari serta si Belang. Tetapi bila melihat betapa mudahnya Sari
dan si Belang diculik, sudah jelas kesaktian orang itu sangat tinggi
Selagi Pendekar Slebor berkata-kata, Jinar
sudah menyerang dengan satu pukulan bertenaga
dalam tinggi. "Kucabut nyawamu... Pendekar Slebor!"
"Bagus! Atau malah sebaliknya?" tukas
Andika sambil mengegos ke kiri. Dan bisa dirasa-
kannya angin yang keras melewati pelipisnya.
"Wiiih! Hebat juga tenagamu, Jelek!"
Lalu dengan gerak ringan sekali, Andika
mengirimkan serangan balasan. Namun di luar
dugaan, lawannya bukan menghindar justru me-
mapaki serangannya.
Plak! Dalam satu gebrak saja, tenaga mereka su-
dah saling berbenturan. Secara tak sengaja mere-
ka saling mengukur tenaga dalam masing-masing.
Andika terkejut ketika benturan itu terjadi. Bisa dirasakannya tenaga dalam
lawannya sangat
tinggi. "Ha ha ha... Rupanya pendekar yang kesohor itu hanya cetek sekali tenaga
dalamnya!" ejek Jinar, terbahak-bahak sambil hinggap kembali di
tanah. "Pendekar Slebor.... Malam ini kau berkenalan dengan Sepasang Kelabang
Berbisa yang sangat tangguh dan ditakuti siapa pun juga! Aku
Jinar. Dan istriku Nyi Sukesih! Ingatlah kedua
nama itu, sebelum kau terkubur malam ini!"
"Hei, Sepasang Kelabang Bisulan! Malam
ini kau berkenalan dengan Pendekar Slebor yang
tersohor ketampanannya! Ingatlah nama bagus
itu. Karena sebentar lagi, kalian akan mampus!"
balas Andika sambil mencibir.
"Kanda.... Dia menghina kita!" seru Nyi Sukesih. "Bunuh dia, Kanda! Bunuh!"
Jinar pun meluruk kembali dengan cepat-
nya. Tenaga dalamnya yang tinggi telah terang-
kum di kedua tangannya. Kalau tadi Andika
hanya menggunakan tenaga dalam biasa, kali ini
menggunakan tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh delapan untuk memapak.
Pertarungan pun berlangsung sengit, di-
iringi seruan Nyi Sukesih yang keras.
"Bunuh dia, Kanda! Bunuh manusia itu!"
Tetapi setelah lima belas jurus berlang-
sung, Jinar belum juga mampu menjatuhkan An-
dika. Begitu pula sebaliknya.
Pendekar Slebor sendiri sudah mempergu-
nakan otaknya untuk mencari kelemahan Jinar.
Memang, julukan Sepasang Kelabang Berbisa itu
bukan julukan kosong. Yang maju saja baru Ji-
nar. Belum dibantu Nyi Sukesih yang kemungki-
nan bisa mengacaukan jalannya pertarungan.
Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang. "Ba-
gus! Rupanya kau memang memiliki kebolehan
yang tidak bisa dianggap enteng!" kata Jinar.
"Nah! Ngaku, kan" Ngaku, kan" Makanya,
jungkir balik saja deh! Nanti kutendang pantatmu yang besar itu!" seloroh
Andika, mengejek.
Wajah Jinar memerah mendengarnya. Ti-
ba-tiba kedua tangannya dikatupkan, di gosok-
gosoknya. Seketika terlihat asap hitam mengepul
dari sana. "Sekarang, rasakanlah ajian 'Kelabang Ber-
bisa' tingkat kesepuluh ini! Heaaa...!"
Dengan satu teriakan keras, Jinar meluruk
deras dengan kedua tangan menunjuk ke depan.
Pendekar Slebor sadar, kalau ajian itu sangat
dahsyat. Maka tenaga 'inti petir' nya dinaikkan
menjadi tingkat kedua puluh lima.
"Bagus, Kanda! Bunuh dia! Biar tubuhnya
kelojotan seperti monyet kebakar ekornya!" seru Nyi Sukesih, sambil bertepuk
tangan. Andika tidak mau untuk beradu tangan
itu. Karena diyakini kedua tangan Jinar mengan-
dung bisa yang sangat mematikan.
Benar saja! Ketika tangan kanan Jinar me-
leset dari sasarannya saat Pendekar Slebor me-
lenting ke atas, sebatang pohon besar yang ter-
cengkeram seketika berguguran daun-daunnya.
Dan perlahan-lahan hangus.
"Gila! Kalau mengenai tubuhku, bagaimana
ya" Bisa-bisa jadi Andika panggang, nih!"
"Ha ha ha.... Mengapa kau hanya bisa
menghindar saja!" ejek Jinar sambil menyerang.
Andika yang sudah melihat keampuhan
ajian 'Kelabang Berbisa' milik Jinar sudah tentu tidak ingin beradu tangan.
Makanya dicoba mencuri menyerang dari bawah. Namun dengan ce-
patnya. Jinar menutupi geraknya.
Wuuut! "Kau tak akan bisa ke mana-mana. Pende-
kar Slebor!"
"Yeee..., memangnya aku mau ke mana"
Lagi pula, kalau tahu aku mau ke mana, kau pas-
ti minta ikut, kan" Iya, kan?" sahut Andika sambil melenting ke atas dengan
pijakan satu kaki.
Dalam keadaan melenting itu kaki kanan Pende-
kar Slebor menyambar kepala Jinar, secepat kilat tokoh sesat ini langsung
merunduk dan mengibaskan tangannya.
Cepat Andika menekuk kedua kakinya. Da-
lam bentuk koprol, dia berputaran menghindari
serangan. "Kacau balau begini! Aku masih memikir-
kan tentang nasib Sari dan si Belang!" dengus
Andika sambil menghindar kembali.
Begitu mendapat kesempatan, Andika ba-
las menyerang. Tetapi Jinar terus menutup setiap seran-
gan Pendekar Slebor. Malah diam-diam ajian
'Kelabang Berbisa'nya dinaikkan pada tingkat ke
tujuh. Dia ingin, dalam sekali pukul saja tubuh
Pendekar Slebor akan ambruk.
Namun sudah tentu Andika tidak mengin-
ginkan dirinya dijadikan sasaran serangan Jinar.
Namun yang jelas, kini Andika yakin maksud Se-
pasang Kelabang Berbisa datang ke lereng Gu-
nung Merbabu ini. Pasti sehubungan dengan per-
tarungan yang akan terjadi di sini antara sesama kelompok Panca Giri, seperti
yang dikatakan Nyi
Sukesih tadi. Pendekar Slebor berada di sini, bukannya
ingin merebut bokor emas yang berisi Air Swarga-
loka yang seperti dikatakan Nyi Sukesih. Justru
hanya karena merasa penasaran saja, sehingga
mau menunggu saat pertarungan tiba. Ingin dili-
hatnya sendiri, apa yang sebenarnya dipere-
butkan. Dan bila mendengar namanya, Panca Giri
yang berarti Lima Gunung, sudah bisa dipastikan
kalau yang akan bertarung sesama kelompok. Te-
tapi mengapa mereka harus bertarung" Mengapa
mereka memperebutkan bokor emas itu" Inilah
yang membuat Pendekar Slebor sangat penasa-
ran. Dan kalaupun sekarang Pendekar Slebor
harus bertarung melawan salah seorang dari Se-
pasang Kelabang Berbisa, karena merasa yakin
kalau kedatangan kedua manusia aneh itu untuk
mencuri kesempatan selagi lima anggota Panca
Giri bertarung dengan mencuri bokor emas yang
diperebutkan. Bisa jadi, mereka ingin membalas
dendam! Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor me-
lenting ke atas. Dibuatnya gerakan seperti meluncur ke arah Jinar.
Jinar terbahak-bahak melihatnya. Karena,
saat-saat seperti inilah yang ditunggunya. Ajian
'Kelabang Berbisa'nya ingin dihantamkannya pa-
da tingkat ketujuh.
Tetapi, ternyata justru Jinar menjadi kela-
bakan ketika tiba-tiba saja selembar kain berco-
rak catur menutupi wajahnya. Tubuhnya ter-
huyung ke belakang, sambil berusaha mele-
paskan kain itu.
Rupanya selagi meluruk tadi, Andika me-
lemparkan kain bercorak catur nya ke wajah Ji-
nar. Lalu dengan gerak sangat cepat sekali Pen-
dekar Slebor sudah menderu maju sambil meng-
hantamkan telapak tangannya.
Desss! "Aaakh...!"
Pukulan yang mengandung tenaga 'inti pe-
tir' tingkat kedua puluh lima itu telah telak mengenai dada Jinar.
Tubuh Jinar sempoyongan ke belakang.
Dan secepat kilat, Andika menyambar kembali
kainnya. "Kandaaa!" terdengar seruan Nyi Sukesih.
Wanita aneh ini terkejut melihat suaminya
sempoyongan. Lalu tubuhnya meluruk cepat.
"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" teriak Nyi Sukesih.
"Nah, nah.... Mengapa tidak sejak tadi kau
membantu suamimu itu, Jelek!" seru Andika
sambil berkelit.
Serangan Nyi Sukesih dibaluri amarah
yang menggelegak. Dia tidak terima suaminya be-


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gitu mudah dipecundangi oleh Pendekar Slebor.
Perbuatan itu harus dibalas lewat kedua tangan-
nya. Serangan-serangan Nyi Sukesih sangat ce-
pat dan bengis. Bahkan sudah mempergunakan
ajian 'Kelabang Berbisa'nya tingkat pertama. Dia memang ingin melihat Pendekar
Slebor bukan sa-ja terkapar mampus, tapi juga berubah menjadi
hangus! Kalau bukan Andika yang memiliki kecepa-
tan menghindar dan menyerang, sudah tentu tu-
buhnya akan ambruk seketika. Namun, Andika
sendiri merasakan kerepotan juga menahan se-
tiap serangan Nyi Sukesih.
Dan Pendekar Slebor makin kelabakan ke-
tika satu sosok besar berkelebat membantu Nyi
Sukesih. Jangankan menyerang. Bahkan untuk
menghindar saja sangat sulit dilakukannya.
"Kau sudah mendingan, Kanda?" tanya Nyi Sukesih sambil bergerak membentuk
setengah lingkaran. Diberinya kesempatan pada suaminya
untuk menyerang Andika.
"Manusia itu memang harus mampus,
Dinda!" sahut Jinar.
"Hei" Sejak tadi kalian bicara ingin mem-
bunuhku. Mana buktinya?" ejek Andika.
Dan Pendekar Slebor sendiri memang ha-
rus mengeluarkan kecepatannya menghindar.
Memang, hanya itulah jalan satu-satunya yang
bisa dilakukan. Karena untuk membalas sangat
sulit dilakukan.
Sepasang Kelabang Berbisa kembali melu-
ruk cepat. Mereka menyerang dari dua arah yang
berlainan. Jinar di sisi sebelah kiri, sementara Nyi Sukesih dari sebelah kanan.
Dengan cara seperti
itu, ruang gerak Andika semakin sulit saja. Malah kalau tidak berhati-hati,
tubuhnya bisa hangus
terkena ajian 'Kelabang Berbisa' milik mereka.
"Kanda! Kita harus bisa membunuh Pende-
kar Slebor! Nanti dia malah menjadi urusan bila
kita hendak mencuri bokor emas itu!"
"Ya, aku memang ingin membunuhnya!"
sahut Jinar sambil menderu cepat.
Andika terbahak-bahak mengejek.
"Kalau tadi kalian begitu yakin dapat
membunuhku, mengapa sekarang harus pakai
kata 'bisa'" Memangnya sulit, ya" Maklum..., yang dihadapi kan Pendekar Slebor
yang tersohor!"
Kata-kata Andika membuat Sepasang Ke-
labang Berbisa semakin penasaran dan marah.
Rupanya mereka salah menduga. Meskipun Pen-
dekar Slebor bisa didesak, namun sampai saat ini
belum juga berhasil dilukai. Bahkan telinga me-
reka harus memerah mendengar ejekan-ejekan
Pendekar Slebor.
Tiba-tiba Jinar melenting ke belakang.
"Dinda! Kita hajar manusia itu dengan ajian
'Sepasang Kelabang Marah'!" teriak Jinar.
Nyi Sukesih cepat melompat ke belakang.
Dan tahu-tahu dia sudah hinggap di sebelah ka-
nan suaminya. Lalu tangan kanannya direntang-
kan ke depan. Sementara kaki kirinya membujur
ke belakang. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Sedangkan Jinar berdiri tegak dengan ke-
dua tangan terbuka ke depan, menekuk ke dalam.
Tubuhnya agak condong ke belakang.
"Lho" Kalian mau menari?" ejek Pendekar Slebor sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Diam-diam Pendekar Slebor yakin, kalau
jurus 'Sepasang Kelabang Marah' itu sangat dah-
syat. Makanya, diam-diam dirangkulnya ajian
'Guntur Selaksa', salah satu jurus warisan Pen-
dekar Lembah Kutukan yang sangat dibangga-
kannya. Ketika tubuh Sepasang Kelabang Berbisa
menderu ke depan diiringi satu teriakan keras,
Andika pun melenting ke depan dengan tubuh
meluncur ke muka.
"Heaaa!"
"Yeaaa!"
Dua buah tenaga yang menjadi satu itu
pun bertemu dengan ajian 'Guntur Selaksa' milik
Pendekar Slebor. Dan....
Glarrr...! Terdengar suara bagai ledakan keras. Dan
tiga sosok tubuh pun terpental deras ke belakang.
Namun masing-masing masih mampu menguasai
keseimbangan, sehingga bisa jatuh dengan ringan
di tanah. "Busyet! Hebat sekali jurus yang mereka
perlihatkan!" desis Andika dalam hati
Sementara itu, Sepasang Kelabang Berbisa
sudah meluruk lagi dengan serangan sama. Kare-
na, disadari betul kalau tenaga dalam yang dimi-
liki seimbang dengan tenaga dalam Pendekar Sle-
bor. Andika tidak menyadari kalau sewaktu-
waktu, bisa saja salah satu dari Sepasang Kela-
bang Berbisa akan melakukan gerakan membo-
kong. Dia terus melayani serangan dengan me-
rangkum ajian 'Guntur Selaksa' di tangan.
Seperti yang telah direncanakan, menda-
dak. Tubuh Nyi Sukesih melenting ke atas. Dile-
watinya tubuh Andika. Sementara, Jinar justru
membanting tubuhnya ke kiri.
"Heiiit!" desis Andika terkejut.
Sebisanya Pendekar Slebor membuang tu-
buhnya ke depan. Namun di luar dugaan, Nyi Su-
kesih mengejar dengan gerakan meluruk cepat.
Dalam keadaan yang sangat genting, Andi-
ka sebisanya melepaskan kain pusaka bercorak
catur. Dan langsung dikebutkannya kain itu ke
arah Nyi Sukesih.
Ctarrr! "Auuhhh...!"
Kain pusaka itu tepat mengenai kedua tan-
gan Nyi Sukesih. Secepatnya perempuan itu me-
lenting ke belakang sambil mengaduh-aduh man-
ja pada Jinar yang segera memburunya. Kedua
tangannya terasa bagai kesemutan.
"Kanda..., bunuh dia...! Bunuh...! Kedua
tanganku dibuat luka olehnya...."
Jinar menggeram marah. Sementara Andi-
ka menghela napas lega. Untungnya Pendekar
Slebor masih waspada dengan serangan yang
mendadak itu. Namun dia tak lagi diberi kesem-
patan untuk mengatur napasnya lagi, karena Ji-
nar sudah menderu dengan kekuatan tinggi.
"Mampuslah kau, Pendekar Slebor!"
Namun dengan sigapnya, Andika kembali
mengibaskan kain pusaka kembali.
Brusss! Serangan kain pusaka itu luput dari sasa-
ran, karena Jinar sudah melenting ke atas. Na-
mun Andika yang melihat celah menguntungkan
segera memburu dengan ajian 'Guntur Selak-
sa'nya. Tubuhnya melesat dahsyat dengan kedua
tangan terbuka. Dan...
Glarrr...! "Aaa...!"
Terdengar suara bagai petir menyalak,
yang disusul jeritan menyayat
Pukulan Pendekar Slebor tepat mengenai
dada Jinar yang langsung jatuh ambruk. Sua-
ranya berdebam dan pasir di bawahnya berter-
bangan. "Kandaaa!" jerit Nyi Sukesih, langsung me-nubruk suaminya yang telah menjadi
mayat. Tanpa malu-malu lagi, menangislah pe-
rempuan aneh ini. Sementara Pendekar Slebor
segera mengatur napasnya yang memburu.
Bukannya menyerang kembali, Nyi Sukesih
hanya bangkit. Matanya menyalang dengan tan-
gan bergetar. "Kali ini, aku mengaku kalah! Tetapi suatu
saat nanti, kau harus menebus nyawa suamiku
ini dengan nyawamu!" desis Nyi Sukesih.
Andika tidak menyahut. Dia hanya mena-
tap redup pada Nyi Sukesih yang mengangkat
mayat suaminya yang bertubuh besar itu.
"Hu hu hu.... Kanda.... Kita gagal memba-
las dendam pada Panca Giri! Tetapi malam ini,
dendam itu kita alihkan pada Pendekar Slebor!
Percayalah, Kanda.... Aku akan membalas semua
sakit hatimu!"
Lalu masih menangis, Nyi Sukesih berkele-
bat meninggalkan tempat itu, sedang Andika
menghela napas panjang.
Beruntunglah Pendekar Slebor bisa menga-
lahkan dua lawan tangguhnya. Lalu kembali piki-
rannya berputar tentang Sari, Belang, dan sosok
yang dilihatnya. Juga, masih dipikirkannya ten-
tang pertarungan yang akan terjadi di lereng Gu-
nung Merbabu ini.
Untuk kali ini, Andika bingung menentu-
kan tujuan. Apakah akan mencari Sari dan si Be-
lang, ataukah menunggu sampai hari yang diten-
tukan, di mana kelompok Lima Gunung akan
mengadakan pertarungan antar sesama"
8 Pagi kembali menyelimuti seisi alam. Ca-
haya matahari sebagai pembangkit kehidupan,
memancarkan sinarnya kepada siapa saja. Dan di
pagi yang masih berkabut itu, tiga sosok tubuh
tampak duduk bersila di Puncak Gunung Semeru.
Mereka tak lain tiga dari Panca Giri. Ki Danang
Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.
Dan sejak malam tadi, mereka telah duduk
bersila di Puncak Gunung Semeru tanpa sedikit
pun merasakan sengatan hawa dingin. Karena,
masing-masing telah mengalirkan hawa panas da-
lam tubuhnya. Ki Danang Gumilar memang sengaja men-
gundang Ki Kalungkung dan Ki Redamo Rusa,
untuk datang ke tempatnya. Mereka tengah
membicarakan masalah pertarungan yang tinggal
dua hari lagi. Ki Danang Gumilar, sebenarnya menyetu-
jui usul Ki Lingkih Manuk, agar bokor emas yang
berisi Air Swargaloka dan kini menjadi perebutan para anggota Panca Giri,
dibuang saja. Sehingga, perpecahan tidak akan terjadi. Namun, Ki Samundang telah
menolak dengan kata-kata berna-
da menantang. Memang sejak dulu Ki Danang
Gumilar tahu betul bagaimana tabiat Ki Samun-
dang, yang memang selalu penasaran dan ingin
tahu. Dan itu berarti, pertarungan akan benar-
benar terjadi. Namun, Ki Danang Gumilar masih
berharap, agar kiranya pertarungan yang bakal
menimbulkan perpecahan di tubuh Lima Partai
Gunung itu tidak akan pernah terlaksana. Itulah
sebabnya, yang diundang hanya Ki Kalungkung
dan Ki Redamo Rusa. Menurutnya, mereka masih
berada di pertengahan antara dua pendapat yang
diberikan Ki Lingkih Manuk dengan Ki Samun-
dang. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ki Kalungkung setelah sekian
lama dicekam pikiran masing-masing.
Ki Danang Gumilar menggeleng.
"Aku masih belum mendapatkan jawaban-
nya. Akan tetapi, aku tetap tidak berkeinginan
terjadinya perpecahan di tubuh Lima Partai Gu-
nung hanya karena mencari siapa yang berjodoh
dengan Air Swargaloka. Karena, akhirnya akan
merugikan diri sendiri. Juga, ketahuilah. Saat ini aku yakin, para tokoh sesat
yang dulu kita kalahkan, sudah tentu akan memanfaatkan kesempa-
tan seperti ini...."
Tak ada yang bersuara. Panas sinar mata-
hari yang lebih dekat menyengat tak dirasakan.
Kalau semalam ketiganya mengeluarkan hawa
panas untuk mengusir dingin, kini mengeluarkan
hawa dingin untuk mengusir panas.
"Apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk
memang benar. Meskipun kita harus mengkhia-
nati amanat Guru. Tetapi, yang dikatakan Ki Sa-
mundang pun benar. Karena, kita menjalankan
amanat Guru. Hanya yang sulitnya, mau tidak
mau terjadi perpecahan di tubuh Lima Partai Gu-
nung. Dan kita tidak memiliki kekuasaan untuk
menahannya," kata Ki Redamo Rusa.
"Berbicara soal amanat, itulah yang paling
susah," timpal Ki Kalungkung. "Dalam keadaan semacam ini, sebenarnya sangat
menguntungkan bagi lawan-lawan Panca Giri yang kemungkinan
besar akan mempergunakan kesempatan. Ah! Bila
saja kita menemukan jalan keluarnya."
Hening. Masing-masing kembali dicamuk
pikiran sama. "Ki Danang Gumilar! Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Pernahkah kalian mendengar tentang seo-
rang pendekar yang namanya akhir-akhir ini dibi-
carakan orang?" kata Ki Danang Gumilar balik bertanya tiba-tiba.
"Maksudmu..., Pendekar Slebor?" tebak Ki Kalungkung.
"Benar! Aku mendengar selain sakti, Pen-
dekar Slebor pun memiliki otak sangat cerdik."


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu tiba-tiba membicarakan
Pendekar Slebor?" tanya Ki Redamo Rusa.
"Kita bisa meminta bantuannya untuk
memecahkan kemelut di tubuh Lima Partai Gu-
nung." "Meminta bantuannya?" tanya Ki Redamo Rusa dengan kening berkerut.
"Benar! Kupikir harus ada seseorang yang
bisa menghentikan kemelut di antara kita. Paling tidak, mampu memecahkan maksud
dari amanat Guru. Karena aku masih ragu, apakah yang telah
kita putuskan ini telah memecahkan amanat
Guru atau tidak?"
"Ki Danang Gumilar! Aku tidak yakin se-
perti yang kau katakan tadi, apakah Guru mem-
punyai maksud tertentu dengan memberikan
amanat," sergah Ki Kalungkung.
"Amanat yang sudah nyata sekarang ini,
Guru menghendaki kita untuk berkumpul dan
bertarung memperebutkan bokor emas berisi Air
Swargaloka. Dengan kata lain, mungkin Guru in-
gin melihat siapakah yang paling tangguh di anta-ra kita" "Pendapatmu bisa
kubenarkan. Tetapi aku justru tiba pada kesimpulan seperti itu. Karena, tak
mungkin Guru memberi amanat yang sangat
sulit. Kita ibarat diberi buah simalakama. Dalam hal ini, sekali lagi kupikir,
Pendekar Kidal 15 Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Bara Di Jurang Guringring 1
^