Pencarian

Sengketa Di Gunung Merbabu 3

Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Bagian 3


kita harus meminta bantuan seseorang yang cerdik untuk memecahkan kemelut ini.
Di samping juga, untuk mendin-
ginkan suasana panas yang mulai tercipta di tu-
buh Lima Partai Gunung."
Lagi tak ada yang bersuara. Keheningan
mulai merambah.
"Usul yang kau berikan itu memang baik
dicoba," sahut Ki Kalungkung kemudian. "Tetapi, apakah itu justru tidak
menyinggung perasaan Ki
Samundang maupun Ki Lingkih Manuk?"
"Maksudmu, bagaimana?" tanya Ki Danang Gumilar.
"Bila melihat usia kita yang sudah berkepa-
la enam ini, tidak seharusnya meminta nasihat
dari orang yang lebih muda. Aku yakin, Ki Sa-
mundang akan merasa terinjak-injak kepalanya
bila hal ini kita lakukan juga."
"Tidak! Kau salah, Ki Kalungkung. Dalam
hal meminta nasihat, kita tidak berpatokan pada
usia. Dalam hal ini dibutuhkan adalah orang cer-
dik, yang mampu mendinginkan suasana panas
di tubuh Lima Partai Gunung. Jadi kupikir, jalan satu-satunya adalah meminta
bantuan pendekar
sakti yang berjuluk Pendekar Slebor itu. Bila kita memakai pendapatmu, siapakah
orang yang lebih
tua dari kita yang bisa dimintai pendapat?" Ki Danang Gumilar mengedarkan
pandangan bergantian pada Ki Kalungkung dan Ki Redamo Ru-
sa. "Bagaimana bila Ki Samundang marah?"
tanya Ki Redamo Rusa. "Bukankah dengan begitu kita hanya menambah kemelut saja"
Memang, dalam hal ini kita membutuhkan orang cerdik
yang mampu memecahkan kemelut. Karena se-
perti diketahui, saat ini kita bertiga berada dalam ikatan persaudaraan. Namun
dua hari lagi di lereng Gunung Merbabu, kita akan menjadi musuh
yang harus mempertahankan nyawa demi Air
Swargaloka yang berada di dalam bokor emas. In-
ilah sulitnya. Dari semalam, kita berembuk untuk memecahkan kemelut ini, agar
jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Namun, pada akhirnya
kita harus melakukannya juga. Padahal, hanya
semata untuk memenuhi amanat Guru. Di samp-
ing itu juga, bila kita mengizinkan Pendekar Slebor mencampuri urusan ini,
bukankah menam-
bah masalah yang ada pada dirinya?"
Mendengar kata-kata Ki Redamo Rusa. Ki
Danang Gumilar terdiam. Memang sangat sulit
masalah yang dihadapi ini. Namun Ki Danang
Gumilar yang tidak ingin terjadi pertumpahan da-
rah tetap bersikeras untuk meminta nasihat dari
orang cerdik. Keputusannya, tetap Pendekar Sle-
bor! "Aku yakin, Pendekar Slebor bersedia
membantu kita. Meskipun kudengar dia seorang
pemuda urakan, namun otaknya sangat cerdik.
Kemungkinan Ki Samundang marah, bisa saja
terjadi. Karena aku sendiri tahu bagaimana sifatnya. Tetapi apakah kalian rela,
bila melihat darah kita yang berada dalam satu tubuh Lima Partai
Gunung mengalir oleh tangan kita sendiri?"
"Ki Samundang rela melihatnya. Buktinya,
dia tetap berkeinginan pertarungan di antara kita dijalankan," sahut Ki
Kalungkung yang membuat Ki Danang Gumilar lagi-lagi terdiam.
"Tetapi, bukankah kita tidak rela melihat
darah sesama kita" Termasuk, Ki Lingkih Manuk
yang langsung mengusulkan untuk membuang
saja bokor emas itu, meskipun sebenarnya sangat
berat melakukannya. Apalagi, membatalkan ama-
nat Guru sama saja telah lancang mengkhiana-
tinya!" "Itulah yang membuat Ki Samundang tetap bersikeras agar pertarungan
memperebutkan bokor emas dilaksanakan," desah Ki Kalungkung sambil menghela
napas panjang. Hatinya benar-benar sedih memikirkan kemungkinan itu. Dita-
tapnya Ki Danang Gumilar.
"Rasanya, sia-sia kita berkumpul di sini
untuk memecahkan kemelut yang sebentar lagi
akan terjadi," kata Ki Danang Gumilar disertai he-laan napas panjang. Hening.
Masing-masing sangat menyesali melihat
keadaan ini. Namun apalah hendak dikata" Ama-
nat sudah disampaikan. Ucapan sudah jatuh.
Tinggal menunggu hari pelaksanaannya lagi.
"Kalaupun kita akan meminta bantuan
Pendekar Slebor..., di manakah keberadaannya
sekarang ini?"
Semuanya terdiam kembali. Yah! Di mana-
kah Pendekar Slebor berada sekarang ini" Ki Da-
nang Gumilar yang mengusulkan saja tidak tahu
di mana pendekar sakti yang cerdik itu berada.
"Aku memang tidak tahu di mana dia bera-
da," kata Ki Danang Gumilar jujur.
"Berarti, keputusan kita tetaplah seperti
yang dikatakan Ki Samundang tiga bulan yang la-
lu!" tambah Ki Redamo Rusa. "Kita akan tetap melakukan pertarungan itu dua hari
lagi di lereng Gunung Merbabu."
*** Pendekar Slebor yang memutuskan untuk
menunggu Sari dan si Belang di lereng Gunung
Merbabu, kini bangkit dari duduknya. Pantatnya
yang berdebu ditepuk-tepuknya.
"Hhh! Aku jadi cemas memikirkan gadis
itu?" desah Pendekar Slebor seorang diri. Tetapi kalau melihat kesaktian yang
dimilikinya, dia
memang bisa menjaga diri. Apalagi ada si Belang.
Tetapi, nampaknya sosok tubuh semalam yang
kuyakini sebagai penculik keduanya, menanda-
kan kesaktian Sari tidak seberapa."
Andika menatap kejauhan.
"Di mana mereka harus kucari?"
Pendekar Slebor menghela napas panjang.
"Kalau nanti kutemukan Sari dan si Belang
dalam keadaan tidak kuinginkan, aku akan
membalas perbuatan orang yang melakukannya!"
Di samping memikirkan Sari dan si Belang,
Pendekar Slebor juga memikirkan tentang perta-
rungan yang akan terjadi di lereng Gunung Mer-
babu. Kedatangan Sepasang Kelabang Berbisa
semalam memperkuat dugaannya. Namun yang
sampai sekarang membuatnya penasaran, siapa-
kah orang-orang Lima Partai Gunung itu" Menga-
pa mereka memperebutkan bokor emas di antara
sesama saudara sendiri"
"Pasti bokor emas itu sangat mahal har-
ganya! Memangnya, kalau sudah berbicara soal
ilmu dan harta, tak akan pernah lagi orang me-
mikirkan siapa yang dihadapi. Bahkan terkadang,
anak sendiri pun rela membunuh kedua orangtu-
anya demi mendapatkan harta yang diinginkan-
nya! Sia-sia saja orang-orang itu berada dalam
kelompok Lima Partai Gunung, yang pada akhir-
nya akan menumpahkan darah saudaranya sen-
diri," desah Pendekar Slebor.
Memang selama petualangannya, bukan
hanya sekali dua kali saja Andika menyaksikan
orang-orang memperebutkan harta sampai men-
gorbankan darah dan nyawa. Bahkan begitu ba-
nyaknya, sehingga lupa mengingatnya satu persa-
tu. "Sariii! Belaaang! Di mana kalian"!" Tiba-tiba Pendekar Slebor berteriak keras.
Suaranya menggema, terbawa angin. Tetapi tak ada satu
sosok yang muncul. Andika menunggu beberapa
saat, sebelum akhirnya memutuskan untuk sege-
ra mencari Sari dan si Belang.
Tetapi sebelum beranjak dari tempatnya,
seekor hewan berkaki empat dengan seorang pe-
nunggang di atas tubuhnya berkelebat ke arah-
nya. "Kang Andikaaa!"
Dengan cepat Andika mendekati sosok
yang tak lain Sari yang sudah melompat turun
dari tubuh si Belang.
"Ke mana saja kau"! Siapa yang menculik-
mu, hah"! Katakan! Akan kuhajar dia sampai
tunggang langgang!" ujar Andika berapi-api, membuat gadis itu malah cekikikan.
"Soknya!" cibir Sari.
"Eh" Kok tidak percaya" Aku akan...."
Tiba-tiba saja Andika memegangi seluruh
tubuh Sari. Akibatnya gadis itu melayangkan tan-
gannya. Plak! "Hei!"
"Genit! Tidak sopan! Jorok!" maki gadis itu.
Andika tertawa. Baru sadar, karena terlalu cemas memikirkan keadaan Sari.
"Maaf, aku hanya ingin melihat keadaanmu
saja." Gadis itu cemberut.
"Brengsek! Mau mencuri kesempatan, ya"!"
sembur Sari. "Maaf, maaf...," ucap Andika sambil nyengir.
"Sudah, sudah! Kenapa teriak-teriak me-
manggil namaku dan si Belang tadi?"
Andika hanya nyengir saja. Rupanya sua-
ranya tadi terdengar Sari yang menaiki tubuh si
Belang dan sedang melesat ke arah Gunung Mer-
babu. "Kang Andika masih ingat Eyang Sasongko Murti?" tanya Sari, tahu-tahu.
"Huh! Orang tua jelek yang mukanya tidak
bisa ditebak seperti apa" Jelek kayak dedemit,
atau ganteng seperti aku?"
Sari menahan tawanya.
"Ya."
"Kenapa dengan dia?"
"Dialah yang menculikku!"
"Apa?"
Andika menepuk keningnya. Pantas saja
dia tidak berhasil mengetahui siapa sosok tubuh
yang dilihatnya.
"Rupanya murid Siluman Hutan Waringin
yang membelot itu yang membuatku gelisah se-
malaman, hah"!" (Untuk mengetahui siapa Eyang Sasongko Murti, silakan baca
Pendekar Slebor dalam episode : "Neraka di Keraton Barat").
"Benar! Dialah yang menculik aku dan si
Belang. Dia juga yang melukai si Belang."
"Edan! Kenapa dia melakukan itu?" tanya Andika gemas.
"Karena Kang Andika tidak berhati-hati!"
"Hei" Apa maksudmu" Enak saja kau
ngomong!" seru Andika mangkel.
"Memang Kang Andika tidak berhati-hati.
Rupanya, Sepasang Kelabang Berbisa dari golon-
gan sesat itu telah lama melihat kita berada di si-ni. Mereka bermaksud membunuh
kita. Kebanya- kan makan daging kelinci panggang, sih!"
"Aku sudah membunuh salah seorang da-
rinya!" "Nah! Itulah yang diinginkan Eyang Sasongko Murti."
"Busyet! Jadi untuk apa dia melukai si Be-
lang dan menculikmu juga si Belang?" cecar si Andika.
"Menurut perhitungannya, kalau saat itu
aku masih berada di sana, jelas akan membuyar-
kan perhatian Kang Andika dalam menghadapi
Sepasang Kelabang Berbisa. Sehingga, dia mem-
buat si Belang luka dan melesat cepat. Sementa-
ra, Kang Andika melihatnya. Lalu dia kembali lagi dan membawaku dengan maksud
untuk me-nyingkirkanku."
"Memangnya kau kenapa" Biar saja kau
berada di sini! Kalau kau luka, apa urusanku?"
sahut Andika, menyembunyikan rasa khawatir-
nya tadi. Tidak tahu, mengapa dia mengkhawatir-
kan Sari. Tetapi yang pasti, Sari dianggap sebagai adiknya.
"Menyebalkan!"
"Tetapi manis, kan?"
"Brengsek! Pokoknya, kata Eyang Sasongko
Murti, Kang Andika kebanyakan melihat gadis
cantik. Jadi, kurang hati-hati! Dasar mata bong-
sang!" "Sialan! Kenapa dia tidak membantuku sa-ja, sih" Tetapi..., he he he....
Pantang bagi Andika untuk dibantu. Lagi pula aku yakin, orang tua jelek yang
sudah seratus tahun terdampar di Alam
Sunyi itu pasti takut menghadapi Sepasang Kela-
bang Berbisa."
"Jangan mengejek dia! Saat ini, dia sedang
dikejar-kejar Siluman Hutan Waringin. Menurut-
nya, kalau berlama-lama berada di alam nyata
ini, bisa-bisa Siluman Hutan Waringin akan mun-
cul kembali dan membuat onar. Jadi, dia sengaja
membiarkan dirinya saja yang dikejar-kejar, agar Siluman Hutan Waringin tidak
mengganggu yang
lain." "Biar tahu rasa dia! Membuatku bingung
saja! Coba kalau dia menga...."
"Kang Andika bingung, ya?" potong gadis itu dengan dada berdebar. Kalau memang
Andika memikirkannya, alangkah senangnya. Apakah itu
berarti Andika mencintai Sari"
"Ya!"
"Memikirkan aku?"
"Sudah jelas aku..., he he he.... Enaknya
memikirkanmu! Buat apa sih, gadis jelek seperti-
mu dipikirkan!" sahut Andika nyengir. Dan dia bi-sa melihat sepasang bibir yang
ranum itu cembe-
rut. Menggemaskan sekali!
"Eyang Sasongko Murti bilang, kalau se-
bentar lagi akan ada pertumpahan darah di sini!"
jelas Sari kemudian.
"Aku sudah tahu!"
"Dia juga bilang, kalau Kang Andika segera
menghentikan pertarungan antara Lima Partai
Gunung, Kang! Bukankah itu yang kita ketahui


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari lima orang berpakaian merah, bukan?"
"Benar. Dan akupun mengetahuinya lebih
jelas dari Sepasang Kelabang Berbisa, kalau se-
bentar lagi akan ada pertarungan darah di sini.
Makanya aku mau menunggu! Kau boleh pergi la-
gi dari sini!"
"Kang Andika!" seru gadis itu manja.
"Kenapa?" tanya Andika acuh.
"Kang Andika menginginkan aku pergi?"
Gadis itu merajuk.
"Terserah kau."
"Huh! Sebel! Mendingan aku tadi tidak
kembali lagi ke sini! Biar dimakan harimau saja!"
Andika tertawa.
"Apakah si Belang akan memakanmu?"
Mata jernih Sari melotot.
"Enak saja ngomong! Belang adalah hewan
kesayanganku yang pasti menurut kepadaku! Su-
dah, sudah! Aku mau tidur! Ayo. Belang! Jangan
dekat-dekat pemuda edan itu! Bisa-bisa kita ketu-laran lagi!" semprot Sari.
Si Belang yang sudah merebahkan tubuh-
nya di tanah tadi, kini tegak berdiri.
Andika menghela napas panjang. Rupanya
saat ini Eyang Sasongko Murti masih berada da-
lam pengejaran Siluman Hutan Waringin yang
mendendam kepadanya. Dan bila urusan ini telah
selesai, Andika berjanji akan membantu me-
nyingkirkan Siluman Hutan Waringin yang men-
gerikan itu. Lalu, Pendekar Slebor menyusul Sari dan si
Belang ke gua. 9 Hari yang ditentukan akan terjadinya per-
tarungan antara Ketua Partai Gunung pun tiba.
Andika yang sejak tadi bersama Sari ber-
sembunyi di sebuah pohon besar yang di bawah-
nya penuh semak belukar, bisa melihat beberapa
rombongan yang datang sekaligus. Sementara si
Belang sudah diperintahkan bersembunyi oleh
Sari tadi. Semua rombongan datang dari jalan yang
sama. Yang di depan rombongan berpakaian pu-
tih. Berjalan di depan seorang laki-laki gagah berusia kira-kira enam puluhan.
Langkahnya tegap
penuh wibawa. Laki-laki itu sendiri mengenakan
pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna
putih, Di belakang kemudian, rombongan berpa-
kaian biru. Paling depan seorang laki-laki berpakaian hitam dengan ikat pinggang
berwarna biru. Lalu rombongan selanjutnya berpakaian merah.
Seorang laki-laki gagah berpakaian hitam dengan
ikat pinggang berwarna merah berjalan di depan.
Andika dan Sari bisa melihat kalau lima
orang yang berniat melakukan kecurangan berada
dalam rombongan berpakaian merah.
Di belakang rombongan berpakaian merah,
melangkah rombongan berpakaian hijau. Seorang
laki-laki gagah yang berjalan di depan berpakaian hitam dengan ikat pinggang
berwarna hijau. Yang
paling akhir adalah rombongan berpakaian kun-
ing. Berjalan gagah di depan adalah laki-laki berkepala botak berpakaian hitam
dengan ikat ping-
gang kuning. Tiba di lereng Gunung Merbabu, laki-laki
paling di depan yang tak lain Ki Lingkih Manuk
mengangkat tangannya.
"Sebelum kita menuju tempat pertarungan,
ada baiknya kita berkumpul dulu di sini!" ujar Ki
Lingkih Manuk. Seketika empat laki-laki berpakaian hitam
dengan ikat pinggang berbeda berkelebat mende-
katinya. Sementara, rombongan berpakaian ber-
lainan warna itu membentuk lingkaran besar. Se-
dangkan kelima orang-berpakaian hitam tadi su-
dah duduk bersila membentuk lingkaran kecil.
"Sebelum darah tumpah dan nyawa me-
layang di antara kita, aku ingin bertanya. Apakah kita akan mengurungkan niat
ini?" tanya Ki Lingkih Manuk.
"Tidak!" sahut laki-laki berikat pinggang berwarna merah, tegas. "Aku tetap
menginginkan pertarungan itu dilakukan! Karena, semua ini
semata-mata amanat Guru!"
"Tidakkah di hatimu ada keinginan untuk
menghentikan semuanya ini, Ki Samundang"
Apalagi, aku masih sangsi, apakah pemecahan
amanat Guru benar seperti itu?"
"Tak usah disangsikan lagi. Untuk menen-
tukan siapa yang berjodoh, sudah tentu dengan
cara membuktikan siapa yang paling tangguh.
Nah, itulah pemecahan amanat Guru yang se-
sungguhnya."
Tak ada yang bersuara.
Andika melihat Ki Lingkih Manuk menge-
luarkan sesuatu yang terbungkus, dari sebuah
tempat yang tersampir di pinggangnya. Lalu di-
bawanya ke tengah dan dibukanya bungkusan
itu. Sebuah bokor emas.
"Kang!" desah Sari terbelalak sambil memegang lengan Andika.
Pendekar Slebor mendengus. Perempuan di
mana saja sama. Kalau melihat emas, pasti melo-
tot. Tetapi bukan itu yang dimaksud Sari sebe-
narnya. "Aku yakin..., bokor emas itulah yang akan
diperebutkan mereka?" lanjut Sari.
"Apa lagi kalau bukan itu" Masa iya sih, tidak bisa menebak" Soalnya, tidak ada
lagi benda yang diperlihatkan selain bokor emas itu. Sudah, sudah, diam. Lama-lama kita
bisa ketahuan, nih!"
ujar Andika. Sari mendengus, tetapi menurut juga.
"Inilah bokor emas yang pada akhirnya ju-
stru menjadi lambang keributan dan pertumpa-
han darah di antara kita. Bokor emas yang men-
jadi penentu, siapakah yang berhak mendapatkan
Air Swargaloka yang berada di dalamnya," jelas Ki Lingkih Manuk dengan pandangan
beredar. "Jadi..., keputusan kita ini tetap sama dengan keputusan tiga bulan yang lalu?"
"Ya!" lagi-lagi hanya Ki Sumandang yang menyahut
"Baiklah. Memang tak ada jalan lain lagi,
kecuali memperebutkan bokor emas ini yang di-
perkirakan sesuai amanat Guru. Pada akhirnya,
pagi ini... Ikatan Lima Partai Gunung yang sudah terjalin selama dua puluh tahun
harus pecah. Dan darah yang akan tumpah tak bisa dibendung
lagi!" lanjut Ki Lingkih Manuk.
"Ki Samundang..., apakah tidak bisa dihen-
tikan saja pertarungan sesama kita ini" Karena
menurutku, pertarungan ini hanya membuat sua-
sana menjadi keruh!" timpal Ki Danang Gumilar.
Ki Samundang menggeleng.
"Tidak! Pertarungan itu harus tetap dilak-
sanakan!" Kali ini tak ada yang bersuara. Ki Lingkih
Manuk berdiri, disusul keempat saudara sepergu-
ruan yang lain.
"Ada baiknya kita melakukan sembah ke-
pada Ki Panca Giri," ujar Ki Lingkih Manuk.
Lalu masing-masing berdiri seraya menun-
dukkan kepala. Mereka memanjatkan doa bagi
arwah Ki Panca Giri.
"Kini..., kita akan menuju ke tempat per-
temuan...."
Lalu mereka pun beranjak ke tempat yang
dikatakan Ki Lingkih Manuk. Sementara anak
murid masing-masing tetap berdiri tegap.
*** "Nampaknya, pertarungan itu akan terjadi
juga. Sangat disayangkan, kalau sampai terjadi
pertumpahan darah di antara mereka sendiri,"
gumam Andika "Lalu, apa yang akan Kang Andika laku-
kan?" tanya Sari.
"Aku belum tahu. Tetapi..., ya, ya.... Aku
sudah mendapatkan jalan keluarnya sekarang.
Kau tunggu di sini. Sari," ujar Pendekar Slebor, mendadak mendapat semacam
petunjuk. Sari menganggukkan kepala. Andika yang
mau melompat justru menghentikan geraknya.
Kepalanya menoleh, menatap Sari dengan kening
berkerut. "Tumben kau tidak membantah?" tanya
Andika, meledek.
"Serba salah! Kalau aku mau ikut, kau ma-
rah. Kalau aku menurut, kau bertanya! Jadinya,
aku harus bagaimana?"
Andika tertawa. Ditepuk-tepuknya pipi Sa-
ri. Dan tahu-tahu dikecupnya pula pipi gadis itu.
"Bagus!"
Seketika tubuh Pendekar Slebor pun me-
lompat turun. Sari, meskipun hanya dikecup sekilas,
sukmanya terasa melayang. Oh, Gusti.... pemuda
yang dicintainya itu mengecup pipi. Ah! Kalau sa-ja Andika melihat perubahan
wajahnya yang me-
merah, pasti akan mengolok-oloknya. Sari tidak
mau membantah tadi, karena ingin dinilai penuh
pengertian oleh Andika.
Andika kini sudah melenting tiga kali, lalu
hinggap di depan kelima anggota Panca Giri yang
seketika menghentikan langkah.
"Bangsat! Siapa kau, Anak Muda?" bentak Ki Samundang, menggeram.
"Pendekar Slebor!"
Bukannya Andika yang menjawab, justru
Ki Danang Gumilar yang berseru. Andika hanya
nyengir. "Maaf, kalau kemunculanku ini menggang-
gu kalian semua," ucap Pendekar Slebor.
"Kau sudah mengganggu. Lebih baik, me-
nyingkir!" dengus Ki Samundang sambil melangkah satu tindak, tetapi dihalangi
tangan Ki Lingkih Manuk.
"Pemarah!" dengus Andika. "Terus terang, kehebatan Lima Partai Gunung sudah lama
kudengar. Sekaligus para tokohnya. Sebenarnya,
aku sangat menyayangi, bila kalian yang berada
dalam tubuh Lima Partai Gunung harus menum-
pahkan darah sesama orang sendiri, hanya gara-
gara bokor emas yang berisi Air Swargaloka! Maaf, aku mengetahui hal itu dari
lima orang yang berpakaian merah, yang kulihat berada dalam rom-
bonganmu tadi, Ki Samundang!"
Kening Ki Samundang berkerut. "Mengapa
mereka memberitahumu, hah"! Pendekar Sle-
bor..., namamu sudah lama kudengar. Tetapi ru-
panya selama ini aku salah menafsirkan tentang
dirimu. Hm..., ternyata kau terlalu banyak ikut
campur dalam urusan orang lain!" sindir Ki Samundang.
"Aku tidak mendengar dari mulut mereka,
Ki Samundang. Maaf jika kukatakan, kalau keli-
ma muridmu itu tiga hari yang lalu datang ke si-
ni." "Mau apa mereka?"
"Baiklah. Nampaknya tak ada yang perlu
dirahasiakan lagi. Kelima muridmu itu melaku-
kan sebuah tindakan keji, dengan cara menabur-
kan cairan racun warna merah yang sangat me-
matikan di empat tempat. Tempat untukmu tidak,
Ki Samundang. Dan gara-gara mereka, seorang
temanku hampir saja tewas."
"Tidak mungkin!"
"Kau bisa memanggilnya nanti, Ki! Dan sa-
tu lagi, aku mengetahui tentang pertarungan yang akan kalian lakukan dari
Sepasang Kelabang
Berbisa...."
Terdengar beberapa desisan. Tetapi, Andika
tidak mempedulikannya.
"Mereka ingin mempergunakan kesempa-
tan untuk mencuri bokor emas itu, selagi kalian
bertarung. Rupanya, mereka adalah Sepasang Ke-
labang Berbisa musuh bebuyutan kahan. Dan
syukurnya, aku bisa menghentikan perbuatan
busuk mereka dengan berhasil membunuh Jinar.
Sementara, Nyi Sukesih meninggalkan tempat ini
dengan penuh dendam terhadapku! Dari dua ke-
lompok orang itulah aku mendengar tentang per-
tarungan kalian!"
"Dusta! Tidak pernah kuperintahkan lima
muridku untuk berbuat curang!" bentak Ki Samundang.
"Aku pun yakin kau tidak tahu hal itu. Ka-
rena salah seorang muridmu mengatakan, kau ti-
dak mengetahui perbuatan mereka. Yang jelas,
mereka berbuat keji agar kau senang. Dan mere-
ka ingin melihat kau berhasil mendapatkan bokor
emas yang berisi Air Swargaloka," papar Andika.
Wajah Ki Samundang memerah.
"Siapa mereka?"
"Aku bisa mengenalinya! Tunggu di sini!"
Pendekar Slebor seketika berkelebat. Dan
sebentar saja dia sudah kembali lagi bersama
Linggar dan empat orang berpakaian merah lain-
nya. "Ki Samundang! Silakan tanyakan mereka."
"Baik! Kalau memang benar apa yang kau
katakan, mereka harus mati sekarang juga! Tetapi bila yang kau katakan dusta,
kau yang akan ku-bunuh, Pendekar Slebor!" ancam Ki Samundang.
"Aku masih berada di sini," sahut Andika tenang.


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dengan geram Ki Samundang mena-
nyai Linggar dan keempat muridnya yang lain.
Sudah tentu wajah mereka pucat. Tetapi Linggar
berusaha menyangkal.
"Tidak, Ketua.... Kami tidak berani mela-
kukan perbuatan hina itu tanpa perintah Ketua!"
"Kurang ajar! Aku tidak akan pernah me-
merintahkan kalian melakukan perbuatan busuk
itu!" "Kami tidak pernah melakukannya, Ketua!
Anak muda itu saja yang mengada-ada!"
"Baiklah....Untuk membuktikan kebenaran
itu, aku akan melemparkan sebatang ranting di
salah satu tempat ini, yang tentunya telah diberi cairan racun berwarna merah
yang mematikan,"
sahut Andika, kalem.
Andika memungut sebatang ranting di de-
katnya. Dan belum lagi tegak, Linggar sudah me-
luruk penuh kemarahan. Sepasang cakra yang
sudah berada dalam genggamannya langsung di-
kelebatkan. "Pemuda keparat! Kau menghancurkan
rencanaku!"
Seruan itu sudah cukup bagi Ki Samun-
dang untuk mempercayai kata-kata Andika. Tan-
gannya seketika dijentikkan.
Seerrr! Crasss! "Aaa...!"
Serangkum angin kecil namun tajam Lang-
sung melesat, menembus jantung Linggar yang
kontan tersuruk ke depan. Melihat Linggar tewas.
Seketika keempat orang lainnya meratap-ratap
minta ampun di depan kaki Ki Samundang.
Tetapi laki-laki dingin yang telah diperma-
lukan akibat perbuatan murid-muridnya sendiri,
tidak lagi memberi ampun. Tangannya berkelebat
sekali. Maka empat tubuh langsung ambruk den-
gan leher hampir putus memancurkan darah.
"Itu upah kalian yang telah mempermalu-
kan aku!" desis Ki Samundang, lalu menatap dingin pada Andika. "Pendekar Slebor!
Lebih baik kau angkat kaki saja dari sini!"
Andika hanya tersenyum. Sementara, Ki
Danang Gumilar diam-diam gembira melihat ke-
munculan pendekar yang diharapkannya mampu
menghentikan kemelut di tubuh Lima Partai Gu-
nung. Tidak dipedulikannya sikap Ki Samundang
yang menurunkan tangan telengas kepada lima
muridnya. Karena bila kekejian itu terjadi di tubuh Partai Gunung, sudah tentu
dia tak akan se-
gan-segan menurunkan tangan telengas. Me-
mang, murid-murid seperti itu hanya membuat
celaka saja. "Aku telah berada di sini," kata Andika, menyahuti kata-kata Ki Samundang dengan
tenang. "Dan aku pun tidak menginginkan kalian yang berada dalam aliran lurus
harus saling tempur. Sekarang, dengarkan pendapatku. Memang,
aku terlalu lancang mencampuri urusan ka-
lian...." Sejenak Pendekar Slebor menghentikan ka-ta-katanya. Matanya beredar ke
sekeliling. "Kalian memang telah mendapatkan ama-
nat dari Guru kalian, akan sebuah bokor emas
yang berisi Air Swargaloka. Sialnya, kalian berli-ma sulit untuk memutuskan,
siapa yang berhak
meminum Air Swargaloka. Dan jalan yang dipakai
adalah dengan bertarung, untuk membuktikan
siapa yang paling tangguh. Dengan demikian pe-
menangnya berhak untuk meminum Air Swarga-
loka yang tentunya mengandung khasiat sangat
tinggi" Lagi-lagi Andika menghentikan kata-
katanya. Lagaknya seperti seorang guru di depan
murid-muridnya.
"Sekarang, aku mempunyai satu pikiran
menarik. Itu pun bila kalian memang tidak men-
ginginkan terjadinya pertumpahan darah di sini,
sesama Lima Partai Gunung, Ki Samundang! Se-
jak tadi aku tahu, kaulah yang paling mengingin-
kan Air Swargaloka. Nah! Mengapa kalian berem-
pat tidak merelakannya saja Air Swargaloka itu
diminum Ki Samundang" Toh, dia masih saudara
kalian juga" Kalian masih menemuinya. Dan lagi.
Air Swargaloka diminum oleh orang yang berada
dalam jalan lurus. Bukankah ini usul yang sangat baik" Namun dugaanku tentang
amanat Guru kalian itu, karena kalian merasa tak ada yang berjodoh, maka akan
bisa ditentukan dengan perta-
rungan untuk mencari orang yang paling tang-
guh." Semua terdiam. Namun dalam hati, mereka membenarkan juga usul Pendekar
Slebor. Memang, kedatangan pendekar urakan ini sungguh
mengejutkan. Terutama bagi Ki Danang Gumilar,
Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa.
Sementara kening Ki Lingkih Manuk berke-
rut, sungguh tidak disangka kalau pendekar sakti yang banyak dibicarakan orang
ternyata masih muda. Dan rupanya, sudah mengerti duduk ma-
salahnya yang tengah dihadapi Lima Partai Gu-
nung. Yang tak pernah disangka, ternyata murid-
murid Ki Samundang telah melakukan suatu ke-
giatan keji, ingin membunuh mereka secara se-
rempak. Namun, Ki Lingkih Manuk sangat yakin
kalau itu bukanlah perintah Ki Samundang.
Meskipun berada pada titik panasnya, namun Ke-
tua Partai Gunung Arjuno bukanlah orang penge-
cut. Bukan pula orang yang tergolong suka mem-
bokong. Sepasang Kelabang Berbisa" Ki Lingkih
Manuk teringat bagaimana Lima Partai Gunung
memukul lari Sepasang Kelabang Berbisa. Itu pun
setelah mereka berlima mengeroyoknya. Kalau-
pun Pendekar Slebor mengatakan telah membu-
nuh salah seorang dari Sepasang Kelabang Berbi-
sa, bisa ditebak kesaktian pemuda ini memang
sangat tinggi. Suasana sejenak hening.
"Benar!" kata Ki Danang Gumilar memecah keheningan. "Benar sekali usul Pendekar
Slebor! Maksudku, bila memang Ki Samundang meng-
hendaki Air Swargaloka itu, silakan saja. Aku pribadi tidak begitu menginginkan,
daripada harus melihat darah sesama kita. Begitulah keputusan-
ku setelah mendengar usul Pendekar Slebor. Lagi
pula, aku bisa mengerti kelanjutan dari kata-
katanya. Kalau tidak ada yang berjodoh, berarti
bokor emas itu memang harus dibuang. Seperti
usul Ki Lingkih Manuk, yang sebenarnya telah ki-
ta pecahkan pertama kita bertemu."
Mendengar kata-kata Ki Danang Gumilar
yang pelan namun sangat pedas di telinga, mem-
buat wajah Ki Samundang memerah.
Ki Samundang menggeram. Kejengkelan
pertamanya, adalah karena kehadiran Pendekar
Slebor. Kedua, malunya karena perbuatan lima
muridnya. Ketiga, justru secara tidak langsung
Pendekar Slebor memojokkannya. Keempat, Ki
Danang Gumilar telah membuat telinganya me-
merah. "Ki Danang Gumilar! Kau berhasil membuatku malu!" desis Ki Samundang.
Ki Danang Gumdar menyadari kesalahan
bicaranya. "Tidak! Bukan begitu maksudku. Aku
hanya mengatakan, kalau tidak begitu mengin-
ginkannya. Bukankah amanat Guru, salah seo-
rang di antara kita yang berjodoh berhak memi-
numnya. Nah! Aku pribadi justru menghendaki,
kalau kaulah yang berjodoh untuk meminum Air
Swargaloka. Apa yang dikatakan Pendekar Slebor
memang benar. Juga tentang bokor emas yang
seharusnya dibuang saja. Apalagi kita terlalu sulit untuk menentukan, siapa yang
berjodoh dengan
bokor emas itu. Sehingga, tidak akan terjadi pertumpahan darah di antara kita.
Sekali lagi kuka-
takan, kau memang berhak meminum Air Swar-
galoka itu, Ki Samundang."
Harga diri yang sudah tersinggung itu tak
mampu lagi membendung amarah Ki Samundang.
Tiba-tiba saja telunjuknya menjentik ke arah Ki
Danang Gumilar.
Werrr...! Sebuah angin yang meluncur seperti jarum
menderu ke arah Ki Danang Gumilar. Namun la-
ki-laki ini mampu melihat. Dibalasnya serangan
itu dengan menjentikkan tangannya.
Wesss...! Darrr! Pertemuan dua angin yang dilakukan
hanya dengan satu jentikan tangan menimbulkan
suara bagai balon pecah.
Andika berdecak kagum dalam hati.
"Hebat! Suatu pameran tenaga dalam me-
nakjubkan!" desis Pendekar Slebor dalam hati.
"Tunggu!" seru Ki Gumilar seraya men-
gangkat tangannya. "Pertarungan di antara kita belum dilakukan. Tetapi,
mendengar usul dari
Pendekar Slebor, kupikir merupakan usulan yang
sangat baik. Dengan begitu, kita tidak akan me-
neruskan pertarungan ini! Aku pribadi, setuju
dengan usulnya! Apalagi, seperti yang dikatakan-
nya, kalau Sepasang Kelabang Berbisa telah da-
tang untuk memukul kita dari belakang. Memang,
aku pun telah kedatangan tamu yang tak kalah
dahsyat dan mendendam kepadaku. Mereka ada-
lah Tiga Duri Setan yang juga berniat memiliki
bokor emas yang berisi Air Swargaloka itu. Sekali lagi kukatakan, aku setuju
dengan usul Pendekar
Slebor. Bagaimana dengan kalian, Ki Lingkih Ma-
nuk dan Ki Redamo Rusa?"
Ki Lingkih Manuk dan Ki Redamo Rusa sal-
ing berpandang, lalu sama-sama menganggukkan
kepala. Ki Lingkih Manuk tertawa.
"Ha ha ha.... Rupanya penyelesaian ini
sangat mudah! Memang, kehadiran Pendekar Sle-
bor tidak diundang. Namun, otaknya yang encer
hanya dalam sesaat saja bisa memecahkan kete-
gangan di antara kita. Sementara, kita selama tiga bulan berada dalam
kegelisahan."
"Tidak!" sergah Ki Samundang geram.
Mata Ketua Partai Gunung Arjuno itu me-
natap tajam pada Pendekar Slebor. Secara tidak
langsung, dia dibuat malu oleh pemuda berbaju
hijau pupus yang mendadak saja muncul.
"Ki Lingkih Manuk! Usul itu dikeluarkan
oleh orang yang berdiri di luar Lima Partai Gu-
nung. Sehingga, nampaknya tidak sah. Jadi me-
nurut hematku, aku menolak pemberian Air
Swargaloka itu secara cuma-cuma. Aku tetap
menginginkan pertarungan terjadi Karena, aku
menilai amanat dari Guru, kalau yang paling
tangguh di antara kitalah yang berhak menda-
patkan Air Swargaloka. Pendekar Slebor...! Sekali lagi kukatakan, jangan
memancing di air keruh!
Aku tahu, kau sebenarnya yang menginginkan Air
Swargaloka itu. Hhh! Lebih baik menyingkir dari
sini, sebelum nama besarmu hari ini akan runtuh
di tangan Partai Gunung Arjuno!"
Pendekar Slebor menggaruk-garuk kepala.
Diam-diam bisa ditebak maksud Ki Samundang.
Memang secara sekilas tidak terlalu kentara, ka-
rena ditekankan pada Ki Panca Giri. Padahal bila dilihat dari sisi lain, semua
itu terjadi karena kesombongan Ki Samundang saja.
10 Andika terkekeh-kekeh.
"Memang kuakui, apa yang kau katakan
itu benar, Ki. Bila kalian tidak setuju dengan
pendapatku yang terakhir, kalau kalian merasa
tak seorang pun yang berjodoh, lebih baik bokor
emas itu dibuang saja. Tetapi, pendapatku yang
pertama, secara tidak langsung sudah disepakati.
Maksudku, empat orang di antara kalian sudah
setuju, hanya kau seorang saja. Tetapi satu di-
banding empat, sudah tentu menang empat. Da-
lam hal ini, keputusan sudah dicapai. Kalau yang berhak untuk menerima dan
meminum Air Swargaloka itu."
Ki Samundang menyipitkan matanya. Ber-
bahaya. Hatinya benar-benar tersinggung oleh
perlakuan Andika. Yang terutama lagi ia telah dibuat malu.
Tiba-tiba saja Ki Samundang meluncur
dahsyat ke arah Andika.
"Kau memang mencari penyakit Pendekar
Slebor!" Gebrakan cepat dan mengandung tenaga dalam tinggi dari Ki Samundang,
meleset dari sasaran, karena Pendekar Slebor dengan sigap me-
miringkan tubuhnya ke kiri. Sementara tangan
kanannya bergerak menyerang balik.
Ki Samundang terkejut melihat serangan
balik Pendekar Slebor yang sangat cepat itu. Se-
ketika tubuhnya dikempos ke belakang. Begitu
menjejak tanah, cepat tubuhnya meluruk ke de-
pan diiringi teriakan cukup keras.
Andika diam-diam bisa merasakan kege-
raman Ki Samundang. Karena bila melihat seran-
gan yang penuh tenaga dan mematikan itu, bisa
jadi Ki Samundang memang ingin merampas
nyawanya. Sudah tentu Andika tidak mengingin-
kannya. Pendekar Slebor pun segera menggebrak


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak kalah cepat. Pertarungan yang terjadi itu kini hanya kelihatan bagaikan dua
bayangan yang berkelebat, karena saking cepatnya. Dan sekali-
sekali terdengar teriakan keras.
Ki Lingkih Manuk diam-diam mengagumi
kesaktian Pendekar Slebor. Karena dia tahu, ju-
rus Ki Samundang adalah "Sepasang Cakra Mencecar Jantung'. Kedua tangannya
bagaikan cakra yang berputar cepat, menyambar bagaikan seekor
elang mengintai anak ayam.
Namun yang dihadapi Ki Samundang ada-
lah Pendekar Slebor yang sangat kesohor kesak-
tiannya. Pendekar urakan ini bukan hanya bisa
mengimbangi serangan Ki Samundang saja. Bah-
kan mampu mengirimkan serangan balasan yang
tak kalah dahsyat.
Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan ter-
jadi. Tiba-tiba saja, Ki Lingkih Manuk meluruk
deras masuk dalam pertarungan itu. Ajian
'Pedang Kilat' telah terangkum di tangannya. Se-
mentara sasaran yang ditujunya adalah Andika.
Andika terkejut ketika merasakan angin
keras menderu ke arahnya. Dengan cepat tubuh-
nya dikempos ke samping. Maka serangan Ki
Lingkih Manuk pun luput.
"Busyet!" dengus Pendekar Slebor dalam hati. "Kenapa dia justru menyerangku"
Tadi se- pertinya usulku disetujui" Apakah ada yang salah sekarang?"
Dan bukan hanya itu saja yang menge-
jutkan Andika. Karena tiba-tiba saja Ki Danang
Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo Rusa
menerjunkan diri dalam pertarungan. Sasaran
mereka adalah Andika!
"Hei! Kenapa jadi begini?" seru Pendekar Slebor pontang-panting menghindari
setiap serangan.
Ki Samundang saja tidak mengerti, menga-
pa saudara-saudaranya yang lain justru menye-
rang Pendekar Slebor. Namun kesempatan itu di-
pergunakan untuk mencecarnya.
"Kutu loncat! Monyet belang! Kenapa jadi
begini, sih"!" dengus Andika sambil berjumpalitan menghindari setiap serangan.
Yang membuat Pendekar Slebor semakin
terkejut ketika menyadari kalau kelima lawannya
telah mempergunakan ajian pamungkas masing-
masing. Ki Danang Gumilar sendiri telah meng-
gunakan ajian 'Tombak Maut'. Sedangkan Ki Ka-
lungkung merangkum ajian 'Golok Dewa'. Semen-
tara Ki Redamo Rusa menggunakan ajian 'Parang
Membelah Bumi'. Belum lagi ajian 'Pedang Kilat'
yang dipergunakan oleh Ki Lingkih Manuk, dan
ajian 'Sepasang Cakra Mencecar Jantung'.
Lengkaplah kesulitan Pendekar Slebor se-
karang ini. Ia mendengus dalam hati, ketika me-
nyadari kalau bantuannya justru menjadi bume-
rang bagi diri sendiri.
"Brengsek. Kalau tahu begini, biar saja ka-
lian saling bertempur!" rutuk Andika sambil melompat ke belakang, bermaksud menghindari per-
tarungan. Namun Ki Lingkih Manuk sudah kembali
meluruk cepat. "Kau sudah masuk kalangan, dan men-
campuri urusan kami. Berarti, kau harus meng-
hadapi kami berlima. Lima Partai Gunung!" kata Ki Lingkih Manuk keras.
Kini mau tak mau Andika mulai menggu-
nakan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh. Kare-na yang dihadapinya adalah
jago-jago yang na-
manya sudah menjulang puncak ketenaran. Jago-
jago yang memang patut diperhitungkan.
Dengan mempergunakan kecepatannya,
Andika mencoba meladeni serangan yang datang
sekaligus. Tiba-tiba saja, dengan keberanian luar biasa, tubuhnya meluruk ke
arah lima serangan
yang datang secara serempak. Tetapi, sebelum te-
naganya beradu dengan lima ajian maut yang di-
pergunakan Lima Partai Gunung, tubuhnya digu-
lingkan ke samping. Kakinya diangkat dengan sa-
tu sentakan kuat ke arah Ki Redamo Rusa.
Ki Redamo Rusa langsung melompat
menghindar. Namun dengan gerakan sangat ce-
pat, Pendekar Slebor cepat melepaskan pukulan
telak ke dada Ketua Partai Gunung Slamet itu.
Dan.... Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Ki Redamo Rusa terguling. Dia ce-
pat bangkit, tapi tidak untuk menyerang. Segera
diambilnya sikap bersemadi, ketika merasakan
hawa panas mengalir di tubuhnya.
"Hebat!" puji Ki Lingkih Manuk. "Tetapi jangan bangga dulu. Masih ada empat
orang lagi yang harus kau hadapi, Pendekar Slebor!"
"Hei. hei! Hentikan dong, serangan ini!"
pinta Andika seperti anak kecil. Dia tahu, kalau sedikit saja lengah, maka
nyawanya akan lewat.
"Aku kan hanya usul! Kalau tidak mau terima, ya sudah!"
Sementara itu, Sari yang melihat pertarun-
gan dari tempat persembunyiannya jadi berdebar-
debar cemas. Inikah yang dimaksud Andika kalau
siasatnya cemerlang untuk mengatasi kemelut di-
tubuh Lima Partai Gunung"
Ingin sekali Sari membantu pemuda pu-
jaannya. Tetapi, dia mencoba untuk belajar me-
nuruti kata-kata Andika. Dia ingin menjadi gadis lembut di mata Andika. Makanya,
hanya diperha-tikannya saja jalannya pertarungan dengan dada
semakin berdebar.
Andika sendiri kini sudah melepas kain
pusakanya yang bercorak catur. Dengan bantuan
kain pusaka yang dijadikan senjata, dia bisa menjaga jarak dari setiap serangan.
Bahkan ketika melihat Ki Danang Gumilar melesat ke atas. den-
gan cepat Andika membuang tubuhnya sambil
menyentakkan kain pusakanya ke kaki.
Ctarrr...! "Aaakh...!"
Ki Danang Gumilar terpekik. Dan baru saja
mendarat di tanah, dia harus menerima pukulan
tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh milik Andika yang telah berkelebat
kembali. Seperti yang dilakukan Ki Redamo Rusa, Ki Danang Gumilar pun
segera bersemadi.
Kini tinggal tiga orang lawan yang harus
dihadapi Andika. Namun, bagi Andika semua itu
sama sulitnya. Apalagi ketika dirasakannya angin menderu ke arah tangannya yang
datang dari serangan Ki Lingkih Manuk.
Dengan cepat tubuhnya dimiringkan. Teta-
pi ajian 'Pedang Kilat' yang dilakukan Ki Lingkih Manuk lebih cepat datangnya.
Dan.... Diegkh...! "Aaakh...!"
Pendekar Slebor terpekik, tersambar tan-
gan Ki Lingkih Manuk yang bagaikan pedang.
Darah segera mengalir bersamaan dengan
kemarahan Andika yang mulai memuncak. Tiba-
tiba saja Pendekar Slebor menerjang membabi bu-
ta sambil mengecutkan kain pusakanya ke sana
kemari. Bukan hanya itu saja yang dilakukan.
Secepat kilat tubuhnya berkelebat ke arah Ki Ka-
lungkung sambil mengecutkan kain pusakanya.
Ctarrr...! "Aaakh...!"
Ki Kalungkung harus tersuruk ke bela-
kang, ketika tangannya tersambar kain pusaka
milik Andika. Belum lagi dia bisa berbuat sesua-
tu, sebuah tendangan mampir di dadanya.
Desss...! "Aaakh...!"
Kini tinggal dua orang yang dihadapi Andi-
ka. Yang sangat berbahaya adalah serangan Ki
Samundang yang tetap bernafsu ingin menjatuh-
kannya. Bahkan sekaligus membunuhnya. Tetapi
serangan Ki Lingkih Manuk pun tak kalah berba-
hayanya. "Edan! Aku bisa mampus juga nih! Sari...,
kau bisa jadi janda!" seloroh Pendekar Slebor sambil melenting ke belakang.
Dan begitu hinggap di tanah, kain pusaka
Andika sudah disampirkan kembali ke bahunya.
Lalu ajiannya yang sangat dibanggakan dibuka
'Guntur Selaksa'.
"Maaf. Terpaksa aku harus memperguna-
kan ajianku ini. Karena, kalian adalah orang tua yang keras kepala!" ucap
Andika. "Persetan dengan ucapanmu itu. Pendekar
Slebor!" seru Ki Samundang. "Kau melihat sendiri, bukan" Ternyata saudara-
saudaraku pun tidak
suka kau ikut campur dalam urusan ini!"
"Aku kan hanya usul! Usul!" seru Andika ngotot. "Kalau kalian tidak mau terima,
ya sudah! Tidak usah marah-marah seperti ini! Dasar, su-
dah pada pikun semuanya!"
Sementara Ki Lingkih Manuk menghela
napas diam-diam. Dia menyerang Andika bukan-
lah sesuai alasan yang dikatakan Ki Samundang.
Dia mempunyai pikiran lain. Maka tiba-tiba saja
tubuhnya meluruk kencang.
"Kita lihat sekarang, siapa yang paling he-
bat, Pendekar Slebor"!"
"Boleh, boleh!" sahut Andika. "Tetapi..., maafkan aku!"
Bersamaan dengan itu, Andika pun mele-
sat ke arah Ki Lingkih Manuk yang sudah melu-
ruk maju. Dan.....
Blarrr...! Dua buah ajian sakti berbenturan, menim-
bulkan suara cukup keras.
Sosok Ki Lingkih Manuk terlempar ke bela-
kang disertai muntahan darah. Sementara Andi-
ka, meskipun hanya terjajar ke belakang dua tin-
dak, tetapi dadanya terasa sangat nyeri. Dan se-
lagi menahan rasa sakit itu, Ki Samundang segera menyerangnya dengan cepat.
"Kini kau mampus. Pendekar Slebor!"
Naluri Andika yang terlatih segera me-
nangkap bahaya yang mematikan. Seketika kedua
kakinya dihentakkan ke tanah, seolah hendak
menancapkannya dalam-dalam. Namun, tanah
yang dipijaknya tidak jeblos.
Begitu serangan Ki Samundang tiba, men-
dadak saja dengan gerakan aneh sekaligus me-
nakjubkan, tubuh Andika meluncur ke atas seca-
ra berputar. Serangan Ki Samundang luput. Dan
orangnya berada di bawah tubuh Andika.
Secepat kilat Andika meluruk ke arah Ki
Samundang yang tak bisa menghindar lagi. La-
lu.... Des! Buk! Ajian 'Guntur Selaksa' telak sekali mampir
di punggung Ki Samundang, disusul satu tendan-
gan berputar yang dilakukan Andika. Tubuh itu
pun tersuruk ke depan.
Sementara Andika berdiri dengan tegar.
Namun dadanya sangat nyeri sekali. Bahkan di-
yakini, dalam dua gebrakan lagi, dia bisa mam-
pus. Sedangkan Sari, diam-diam menghela na-
pas lega. Dia memang tak pernah menyangsikan
kehebatan Pendekar Slebor. Akan tetapi, ia tahu
kalau Andika terluka dalam.
Apalagi ketika Ki Samundang tampak
bangkit dan bermaksud menyerang kembali. Sari
sudah berniat turun membantu. Tetapi niatnya
diurungkan ketika dilihatnya Ki Lingkih Manuk
mengangkat tangannya.
"Tahaaannn!"
Ki Samundang menghentikan gerakan,
berdiri dengan tubuh gemetar.
Kening Andika berkerut. Tidak mengerti,
mengapa Ki Lingkih Manuk menyuruh Ki Samun-
dang menghentikan serangan.
"Saudara-saudaraku.... Pertarungan di an-
tara kita telah selesai...," lanjut Ki Lingkih Manuk.
Andika melongo. Apa maksudnya"
"Dengarkan kata-kataku sekarang. Keda-
tangan Pendekar Slebor memang sangat menen-
tukan dari pertarungan di antara kita yang sebentar lagi dilakukan. Tetapi,
justru Pendekar Slebor
yang menjadi sasaran. Menurut amanat Guru,
yang berjodohlah yang berhak meminum Air
Swargaloka. Paling tidak, kita mengartikannya
yang paling tangguhlah yang berhak meminum
Air Swargaloka. Tetapi kini, kita semua harus
mengakui ketangguhan Pendekar Slebor. Bukan
berarti dia yang berhak meminum Air Swargaloka.
Tidak. Karena itu, berarti mengkhianati amanat
Guru." Semua terdiam.
"Tetapi, dengarkan sekali lagi. Bila kita sepakat memecahkan amanat Guru dengan
men- gartikan siapa yang paling tangguh, berarti kita sudah melakukannya. Tetapi
kenyataannya, kita
semua tak ada yang lebih tangguh. Buktinya da-
pat dipecundangi Pendekar Slebor, yang terpaksa
hari ini dijadikan sebagai tumbal! Kita jadikan sebagai lawan kita! Dengan
ketentuan, yang bisa
menjatuhkannya, maka dialah yang berhak me-
minum Air Swargaloka...."
Semua masih terdiam.


Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andika kini mengerti, apa maksud Ki Ling-
kih Manuk menyerangnya. Dia juga melihat Ki
Danang Gumilar, Ki Kalungkung, dan Ki Redamo
Rusa menganggukkan kepala. Rupanya mereka
menyetujui usul Ki Lingkih Manuk, meskipun
terpaksa menjadikan Andika sebagai lawan tand-
ing. "Brengsek!" maki Andika kemudian. "Kalau memang kenyataannya seperti itu,
kenapa tidak bilang dari tadi"!"
Ki Lingkih Manuk tersenyum.
"Pendekar muda yang sakti, maafkan sikap
kami yang menyerangmu. Kami akui, kami masih
kalah jauh dibandingkan kesaktianmu. Bila tadi
niatan kami menyerangmu dijelaskan, sudah ten-
tu kau tidak akan menyambutnya dengan sung-
guh-sungguh. Padahal, yang tahu hal itu hanya-
lah aku seorang. Dan kau lihat sendiri, bukan"
Aku tidak main-main menyerangmu! Ki Samun-
dang..., bagaimana sekarang?"
Ki Samundang menunduk. Dia malu sekali
dengan sikap lancangnya selama ini. Memang,
apa yang dikatakan Ki Lingkih Manuk dapat dite-
rimanya. Rupanya di antara mereka tak ada yang
paling tangguh. Buktinya tak ada yang berhasil
menjatuhkan Pendekar Slebor.
Ki Samundang mengangkat wajahnya. Di-
helanya napas seraya menatap Ki Lingkih Manuk.
"Aku setuju dengan kata-katamu itu, Ki
Lingkih Manuk. Kau benar. Dengan begitu, kita
pun tak menyalahi amanat Guru," ucap Ki Sa-
mundang. "Ha ha ha.... Kemelut di tubuh Lima Partai
Gunung rupanya sudah berakhir sekarang ini,"
desah Ki Lingkih Manuk gembira, seraya menoleh
pada Andika, "Pendekar Slebor..., terima kasih atas bantuanmu."
"Terima kasih, terima kasih! Enak saja ka-
lian sudah membikin jantungku hampir copot!"
seru Andika melotot
Kelima Ketua Partai Gunung terbahak-
bahak. Rupanya ikatan batin dan tali persauda-
raan di antara mereka masih erat mengikat. Ter-
bukti sikap mereka seperti tak pernah punya ma-
salah. Terutama, Ki Samundang. Dia kini menya-
dari sikapnya yang terlalu mau menang sendiri.
Dia disadarkan seorang pemuda yang usianya
jauh lebih muda darinya. Seharusnya, di usianya
yang mulai memasuki masa senja ini, dia harus
banyak berpikir dan merenung.
"Sudah, sudah! " seru Andika ketika kelima orang itu masih terbahak-bahak.
"Kalau begitu, mau diapakan bokor emas yang berada di ping-gangmu itu, Ki
Lingkih Manuk" Jangan-jangan,
hendak kau bawa ke tukang loak?"
Ki Lingkih Manuk tertawa. Diambilnya bo-
kor emas itu. "Karena tak ada yang berhak untuk memi-
numnya, juga tidak ada yang menyalahi amanat
Guru, lebih baik bokor emas ini dibuang saja!
Dan lebih penting, jangan sampai terjatuh ke tangan orang-orang golongan sesat."
Sehabis berkata begitu, dengan pengera-
han tenaga dalam tinggi, Ki Lingkih Manuk me-
lemparkan bokor emas itu ke puncak kawah Gu-
nung Merbabu. Di puncaknya lubang kawah
menganga siap menelan bulat-bulat.
"Kini, Lima Partai Gunung bersatu kemba-
li!" seru Ki Lingkih Manuk. "Pendekar Slebor...!
Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu. Kau
memang seorang pendekar kesohor dan dianggap
sebagai orang nomor satu di rimba persilatan ini!
Kalau bukan kau yang kami jadikan lawan tadi,
tak mungkin semua setuju dengan kata-kataku!"
Lalu satu persatu meninggalkan tempat
itu. Sedangkan Ki Danang Gumilar menghampiri
Andika. "Sebelumnya, aku pun ingin meminta ban-
tuanmu, Andika. Tetapi rupanya, Gusti Allah te-
lah menuntunmu ke sini," kata Ki Danang Gumilar, terus terang.
Andika tersenyum.
"Itulah sebabnya, kita harus percaya pada
Yang Maha Kuasa."
Ki Danang Gumilar menepuk-nepuk bahu
Andika. "Aku percaya, suatu saat nanti kau akan
menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini bila kau memang
menginginkannya," lanjut Ketua Partai Gunung Semeru.
"Aku tidak pernah memimpikan soal itu,
Ki. Membantu orang lain dalam kesusahan saja,
aku sudah suka," sahut Andika kalem.
Lalu perlahan-lahan rombongan itu pun
meninggalkan lereng Gunung Merbabu. Kalau ta-
di di wajah mereka terlihat ketegangan, kali ini tampak ceria oleh napas
persaudaraan yang berhembus kembali.
Sari segera melompat turun dan berlari
menemui Andika.
"Kau tidak apa-apa, Kang Andika" Tidak
apa-apa?" sambut Sari dengan wajah dan suara cemas. Andika melotot.
"Enak saja ngomong! Dadaku sakit, tahu"!"
rutuk Pendekar Slebor, tak sungguh-sungguh.
"Oh! Yang mana, Kang" Bagian mana?"
tanya gadis itu, cemas. "Ma.... Mau kupijit, Kang?" Tetapi sesaat kemudian,
gadis itu segera menundukkan kepala.
Andika tersenyum, lalu perlahan-lahan
menaikkan dagu Sari. Sehingga, mata yang jernih
itu menatapnya. Tampak wajah Sari yang tersipu
bercampur cemas, memancar di sana. Sungguh!
Baru kali ini Andika melihat mata yang teduh
yang membuatnya tenang. Sejenak batin pemuda
itu teraduk-aduk.
"Tidak usah. Terima kasih atas penawa-
ranmu," ucap Pendekar Slebor.
"Aku..., ah! Aku...."
Gadis itu bingung sekali untuk mengung-
kapkan isi hatinya.
Andika tersenyum.
"Sari... Kau adalah gadis cantik, berani,
dan lincah. Aku suka sekali bertemu denganmu.
Tetapi nampaknya, aku harus melanjutkan perja-
lananku." "Oh!"
Gadis itu terhenyak
"Kenapa, Sari?" tanya Andika.
"Kau mau ke mana, Kang Andika?" Gadis
itu tidak bisa lagi menyembunyikan rasa kasih
sayangnya. "Ke mana kakiku melangkah, ke sanalah
aku pergi. Karena, atap rumahku langit yang luas membentang. Lantai rumahku,
bumi yang sangat
luas." "Tetapi, Kang...."
"Tidak ada tetapi. Sari. Aku harus melan-
jutkan perjalananku kembali."
Sari mendesah pendek.
"Bolehkah aku turut serta denganmu?"
tanya Sari, penuh harap.
Andika menggelengkan kepala sambil ter-
senyum. "Sari..., kau adalah seorang gadis perkasa.
Kau masih muda. Tidak ada gunanya mengikuti
aku. Karena dalam perjalananku ini, dalam setiap kakiku melangkah, mata-mata
beracun akan selalu mengintai," tolak Andika, halus.
"Aku mampu menjaga diriku, Kang. Kau ti-
dak usah cemas," tukas gadis itu meyakinkan Andika. Besar sekali keinginannya
untuk mengikuti Andika.
"Seperti yang kukatakan tadi, kau gadis
yang perkasa Sari. Tetapi, aku ingin melanjutkan perjalananku seorang diri. "
"Tetapi, Kang,..."
"Tahanlah keinginanmu itu, Adikku. Bila
Yang Maha Kuasa mengizinkan..., pasti kita akan
bertemu kembali."
Wuuusss! Seketika tubuh Pendekar Slebor melesat.
Sebentar saja dia sudah jauh dari pandangan.
"Jangan tinggalkan aku. Kang Andikaaa!"
teriak Sari. "Jaga dirimu baik-baik, Sari!" balas Andika keras "Oya, terima kasih kau mau
kukecup waktu itu! Pipimu mulus sekali..., ha ha ha...!"
Tanpa terasa dua titik air bening muncul di
sudut mata Sari. Dan tanpa sadar tangannya
membelai-belai pipinya yang dicuri kecup Andika.
Tiba-tiba satu sosok yang sangat dikenali
Sari mendekat. Langsung didekapnya dengan
erat. "Oh, Belang.... Dia menganggapku sebagai adiknya. Dia jahat, Belang.
Jahat...!"
Bagaikan mengerti apa yang merisaukan
majikannya, si Belang menjilat-jilat wajah Sari.
Seolah dia berusaha untuk menenangkannya.
Sari mengangkat kepala.
"Ya! Kau benar, Belang. Aku tidak boleh
bersedih, Aku masih memilikimu. Seperti yang
dikatakan Kang Andika tadi. Kalau Yang Maha
Kuasa mempertemukan kembali aku dengannya,
pasti akan bertemu. Tetapi mungkinkan aku?"
Lalu perlahan-lahan gadis itu berdiri. Di-
naikinya punggung si Belang.
"Kita pulang, Belang!"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Renjana Pendekar 13 Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau Harpa Iblis Jari Sakti 35
^