Pencarian

Siluman Hutan Waringin 2

Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin Bagian 2


dihadapi adalah bangsa siluman. yang ilmunya jauh berbeda dengan kita!"
"Dimarahi lagi!" maki Andika.
"Kalau kau memang merasa tidak mampu mengalahkannya, mengapa tidak turunkan saja ilmu
siluman itu kepadaku" Dengan begitu, bukankah kita memiliki dua buah tenaga.
Kurasa dengan kemampuan kita berdua, bukan hanya mampu menandingi Siluman Hutan
Waringin. Bahkan mampu memukulnya sampai
lenyap untuk selama-lamanya!"
Eyang Sasongko Murti terdiam. Lalu mendadak saja tua bangka ini melonjak-lonjak
seperti monyet dapat pisang. Mulutnya meracau kegirangan.
Kening Andika berkerut.
"Hei. kalau mendadak sinting jangan di sini, dong!"
"Hei, Bor! Usulmu boleh juga! Bagus, bagus! Aku akan mengajarkan kau ilmu
siluman! He he he.... Dengan kekuatan kita berdua, kita pasti mampu menaklukkan
Siluman Hutan Waringin! T ak kusangka, encer sekali otakmu! Kupikir otakmu hanya
ada di dengkul. Tak tahunya...?"
Andika melotot.
"Jadi hanya karena kau ingin mengajarkan ilmu siluman, sampai teriak-teriak
hingga telingaku budek, hah"!"
"Masa bodoh! Pokoknya kau harus memperlajari ilmu siluman ilu! Ayo. kita mencari
tempat sepi!" Andika terkikik.
"Busyet... Aku mau diajak kencan" Pikir dong kau ini siapa ?"
Eyang Sasongko Murti melotot seraya menghentikan langkahnya.
"Mulutmu memang harus disumpal gombal!" umpat orang tua itu.
Andika nyengir.
"Kalau begitu, boleh saja. Awas, jangan-jangan kau mau memperkosa aku ya..., ha
ha ha...."
"Kau ini...."
Kata-kata Eyang Sasongko Murti terputus ketika
melihat satu sosok tubuh berparas jelita terbungkus pakaian biru melangkah
dengan gemulai ke arah mereka.
Kini, mereka tidak lagi berada di tanah panjang
membentang, tapi sudah memasuki sebuah hutan kecil
yang rimbun. Kalau Eyang Sasongko Murti mengerutkan keningnya, Andika
justru cengengesan. Baginya, ini memang pemandangan yang tak boleh dilewatkan. "Mau ke mana, Neng Geulis pagi-pagi
begini?" sapa Andika, seraya menghentikan langkahnya dan memasang sikap sok
ganteng. Eyang Sasongko Murti melotot. Sementara Andika
cuma mengangkal alisnya saja yang seperti sayap elang berkepak.
Gadis itu tersipu-sipu.
"Mau..., mau pulang, Kang...," sahut gadis itu.
"Pulang" Lho, Iho..., berani-beraninya sendirian di tempat scpi sepei ti ini"
Apa tidak takut diculik?" Andika makin menjadi-jadi.
Gadis itu tersenyum, semakin menambah manis
wajahnya. Kulilnya sebening susu, dengan wajah bulat telur. Pipinya yang
berlesung pipit ilu menambah pesona wajahnya. Mulutnya mungil dan sepasang bibir
memerah. Matanya memancarkan sinar kesejukan, membuat laki-laki yang
menatapnya mampu merasa berada dalam rangkulannya. "Ah! Memangnya ada apa, Kang" Sepertinya aman-aman saja, kok... "
"Bagaimana kalau kuantar?" tanya Andika, menge-dipkan matanya. Menyebalkan
sekali. "Jangan, Kang.... Ayah bisa marah." tolak gadis ini.
"Lho. ayahmu galak, ya?"
"Bukan itu maksudku, Kang. Ayah tidak suka kalau ada laki-laki yang bertandang
ke rumah."
"Ayahmu salah kalau begitu. Masa' punya anak secantik kau dibiarkan pergi
sendirian. Namamu siapa?"
Andika tidak mempedulikan Eyang Sasongko Murti
yang mengerutkan keningnya.
"Rukmini, Kang...."
"Aih! Bagus sekali. Namaku...."
"Slebor!" tcrabas Eyang Sasongko Murti.
Andika melotot.
"Iri saja! Eh, Eyang! Kalau ingin mendapatkan teman secantik Rukmini, lebih baik
pakai topeng dulu. Tapi, Kalaupun kau masih semuda aku..., hmmm. . Paling-paling
cuma mendapatkan sapi!" ledek Andika.
"Sialan!"
Gadis bernama Rukmini terkikik. "Aku pamit dulu, Kang...,' kata Rukmini tersipu
sambil terus melangkah.
"Eh! Jadi kuantar tidak?" tanya Andika.
"Tidak usah! Lain kali saja, Kang!"
"Namaku Andikaaa!"
Rukmini sudah berlari menjauh. Sementara Andika
menggeleng-gelengkan kepala melihat pinggul gadis itu yang montok. Saat berlari
seperti itu, membuat pinggulnya bagaikan memberi isyarat, silakan dikejar kalau
bisa, "Ampun, deh! Ada gadis cantik di tempat seseram ini!
Kupikir, aku hanya bisa menatap pemandangan buruk saja! Seperti... kau, Eyang!
Ha ha ha!"
Eyang Sasongko Murti mendengus.
"Mata keranjang! Tak boleh lihat jidat licin!"
"Daripada melihat jidatmu yang jelek" Kan lebih baik melihat jidatnya. Dia
cantik, bukan?"
Eyang Sasongko Murti tidak mempedulikan kata-kata Andika. Tubuhnya seketika
sudah kembali berkelebat.
"Ayo, kau harus segera berlatih! Andika mencibir.
"Busyet! Tidak tahu malu, sudah jelek seperti itu masih suka nekat juga!"
Lalu Andika bermaksud untuk segera menyusul Eyang Sasongko Murti. Namun....
"Tolooong! Tooolooong!"
Andika tersentak ketika tiba-tiba mendengar satu teriakan keras. Padahal Eyang
Sasongko Murti sudah lak terlihat lagi oleh pandangannya. Telinganya menangkap
sekali lagi jcritan minta tolong ilu. Dengan sekali sebat, tuhuh Andika sudah
berbalik dan berkelebat!
Pendekar Slebor melihat gadis berbaju warna biru tadi terduduk di rumput, sambil
mcmijal-mijat kakinya yang
membengkak. Wajahnya mencerminkan kesakitan luar biasa.
Sejenak kening Andika bcrkerul sebelum mendekat.
"Ada apa. Rukmini?"
"Oh, Kang Andika...," desis Rukmini dengan wajah cerah, lalu menunjuk kakinya.
"Kenapa?"
"Terkilir."
"Lho, lho..." Mcngapa bisa begitu?" tanya Andika, mesem-mesem. Itu betis! Amboi,
begitu berisi dan bening sekali!
Rukmini tersipu-sipu.
"Aku..., ah! Tadi ketika melangkah, seekor ular melintas di hadapanku.... Aku
terkejut, Kang Andika...," desah Rukmini, menggemaskan sekali.
"Nah, nah...! Bukankah tadi sudah kukatakan, lebih baik kuantar saja," sahut
Andika nyengir.
Rukmini kembali tersipu-sipu dan masih tersipu pula ketika Andika berlutut.
"Coba kulihat dulu," kata Andika. Dipegangnya betis yang halus dan kuning
langsat itu. Dirabanya sesekali.
"Tidak terlalu parah."
Tetapi terasa sangat sakit. Kang Andika....." keluh gadis itu.
Andika mengangguk-angguk. Lalu mulailah betis yang bagus itu diurut perlahan-
lahan. "Cukup, Kakang.... Rasanya sudah lebih baik.
Pijatanmu hebat, Kakang...," puji Rukmini.
Andika cuma tersenyum.
"Sekarang, bagaimana?" tanya Pendekar Slebor seperti orang bodoh.
Rukmini mcnalapnya sekilas. lalu menundukkan
kepalanya. "Terserah,
Kang Andika. Kalau Kakang mau mengantarku pulang, kali ini aku bersedia."
"Kalau tidak?" goda Andika.
"Ya, aku pulang sendiri, kan?"
Andika terkekeh-kekeh. Lalu dituntunnya gadis ilu untuk berdiri. Dan agaknya
keseimbangan gadis itu masih belum pulih. Berdirinya pun timpang ke kiri.
"Kau yakin kalau mampu berjalan?" tanya Pendekar Slebor.
Rukmini menganggukkan kepala meskipun saat
melangkah kemudian berkali-kali meringis.
"Hmmm.... Sepertinya kau kesakitan, Rukmini. Bagaimana kalau digendong saja?"
"Tidak! Oh! Maksudku..., jangan, Kang... Jangan."
Andika tersenyum.
"Malu?"
Rukmini mengangguk tersipu.
"Kan, tidak ada siapa-siapa kec uali kita berdua. Tidak usah malu. Biar kau
lebih cepat sampai di rumah."
Dansebeluin Rukmini menyetujui, pemuda berbaju
hijau pupus itu sudah membopongnya dan melesat cepat.
Tinggal Rukmini yang menjerit-jerit terkejut mints dilepaskan, tetapi kemudian gadis ilu pun terdiam. Justru kepalanya direbahkan
di dada Andika.
Di sebuah ranting pohon yang kccil. sosok berpakaian compang-camping dengan
wajah yang sukar dilukis
mendengus. "Dasar tidak boleh lihat jidat licin! Tetapi..., hmmm.. .
Apakah penciumanku tidak salah?"
*** 5 Andika yang sedang membopong tubuh Rukmini tiba
di sebuah gubuk mungil yang tertata rapi. Hanya ada satu-satunya gubuk di tempat
ini. Letaknya agak terhalang semak belukar yang cukup lebat. Di belakangnya
terdapat sebuah sungai yang mengalir lembut.
"Turunkan aku di sini, Kang. Nanti kalau Ayah melihat, kau bisa kena bogem
mentah...," bisik Andika.
Pendekar Slebor mengangkat kedua alisnya sambil
meringis dan memegangi kepalanya. Seolah dia sudah dipukul Ayah Rukmini. Melihat
kelakuan pemuda yang konyol seperti itu, Rukmini tertawa-tawa.
"Kang Andika ini bisa saja! Jangan meledek, ya?"
"Habisnya..., belum apa-apa sudah membuatku gemetar."
"Kang Andika takut menghadapi Ayah?" tanya Rukmini, kelihatan sungguh-sungguh.
Andika menggeleng. 'Tidak."
"Kalau begitu. ayo masuk... '
Bersama Rukmini, Pendekar Slebor menaiki tangga
menuju gubuk panggung itu. Rukmini mendorong pintu yang tidak terkunci. Sikapnya
kelihatan takut-takut.
"Ayah... aku sudah pulang...," seru Rukmini pelan.
Tak ada sahutan apa-apa. Andika mengedarkan
pandangan ke sekeliling gubuk. Hanya ada tiga lembar tikar yang sudah kusam dan
beberapa alat memasak. Di sisi sebelah kiri, ada ruang tidur yang tertutup
pintunya. Rukmini memanggil lagi ayahnya, namun tidak ada
scorang pun yang muncul.
"Kita selamat. Kang," kata gadis ini sambil tersenyum.
"Selamat?" Andika mengerutkan keningnya.
"Ya."
Rukmini duduk di lantai gubuk itu. Kedua kakinya ditekuk ke belakang.
"Maksudku, Ayah pasti sedang mencari kayu bakar dan memburu kelinci di hutan
sebelah sana. Nah, kita bisa
tenang sekarang, Kang?"
Andika tersenyum.
"Nantang atau mengundang nih?" seloroh Andika.
Wajah Rukmini memerah.
"Ih! Omongan apa itu?" tukas gadis ini seraya buru-buru berdiri,
"Kubuatkan air dulu ya, Kang?"
Andika hanya manggut-manggut saja. Sementara
tubuh Rukmini menghilang di balik sekat yang ada di gubuk itu. Kembali Andika
mengedarkan pandangan. Tempat ini lumayan nyaman. Namun mengapa tak ada orang
lain yang tinggal di sini" Mengapa hanya mereka berdua saja"
Dugaan Andika saat itu. pasti mereka sudah sangat kerasan tinggal di tempat sepi
seperti ini. Tak lama Rukmini sudah muncul kembali dengan dua buah gelas leh panas. Bau wangi
menguap dari sana.
Rupanya teh itu dicampur daun pandan, sehingga
menimbulkan aroma nikmat.
"Silakan, Kang Andika...," ucap gadis itu tersipu-sipu.
Andika mengangkat gelasnya. Lalu diteguknya teh itu perlahan-lahan. Ah, nyaman
sekali rasanya. Sementara Rukmini menatap tanpa meminum tehnya.
"Lho kenapa menatap aku" Apa ada yang aneh?"
tanya Andika sambil memperhatikan sekujur tubuhnya sendiri.
"Oh! Tidak, tidak!"
Rukmini gelagapan sejenak, lalu untuk menutupi
ketersipuannya tehnya diminum. Sementara Andika hanya tersenyum melihat sikap
Rukmini yang polos dan lugu ini.
Obrolan pun mulai terjadi. Waktu perlahan-lahan terus bergulir. Andika sendiri
merasa heran, mengapa senang berada di sini dan bercakap-cakap dengan Rukmini
tanpa menghiraukan malam yang sudah menjelang kembali.
Andika bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayahnya Rukmini belum kembali pula"
Tapi, ah! Masa bodoh! Justru itu yang diharapkan.
Tapi kegembiraan
Pendekar Slebor
mendadak terpenggal, ketika kepalanya terasa pusing. Matanya mulai nanar. Lalu
penciumannya menangkap aroma sangat
memabukkan.

Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh.... Kenapa aku ini?" desisnya sambil berusaha mempertahankan kesadarannya.
Namun dari rasa pusing yang diderita, kini Pendekar Slebor merasakan tubuhnya
melayang. Bahkan aroma wangi itu semakin tercium hidungnya. Mendayu-dayu seperti
membelai segenap jiwa dan perasaannya.
"Rukmini..., kenapa aku ini?" tanya Andika, lirih.
Mata Pendekar Slebor yang nanar menangkap
senyum Rukmini yang memabukkan. Perlahan-lahan gadis itu tampak mendekatinya
dengan sikap penuh rangsangan.
Tangannya yang halus membelai-belai wajah Andika.
"Mengapa, Kang" Bukankah kau menyenangi keadaan seperti ini" Ayolah, Kang.... Kau boleh melakukan apa saja pada
diriku...," rayu Rukmini, mengandung kekuatan membiuskan sekaligus memabukkan.
Dan kalau Pendekar Slebor mampu berpikir jernih, seharus nya curiga kalau sikap
gadis ini yang tiba-tiba justru malah menawarkan diri.
Justru saat ini Andika berusaha mempertahankan
kesadarannya. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan dirinya terbawa
arus yang tidak dimengertinya. Mengapa datangnya begitu tiba-tiba" Ataukah sebelumnya sudah merambat namun perlahan"
Andika mencoba berdiri, bermaksud meninggalkan
gubuk itu. Namun tubuhnya justru sempoyongan, dan jatuh menindih tubuh montok
Rukmini. "Ah! Kau ini, Kang Andika.... Aku siap diperlakukan apa saja, Kang...," bisik
gadis itu, parau.
"Tidak! Jangan, Rukmini! Jangan.... Kita tidak boleh melakukannya!"
Andika mengibaskan tangannya. Namun, terasa
lemah sekali. Bahkan seluruh tubuhnya terasa tak lagi memiliki daya tahan
berarti. "Mengapa, Kang" Oh... Apakah wajahku tidak
membuatmu tertarik. Kang?"
Suara gadis itu benar-benar memabukkan. Bahkan
perlahan-lahan seluruh pakaiannya dibuka. Hingga tak ada selembar benang pun
yang melekal di tubuh seindah pualam itu.
"Ataukah..., kau juga tidak tertarik pada tubuhku ini?"
Andika berusaha memalingkan wajahnya. Namun
entah dari mana datangnya. kepalanya pun menoleh ke tubuh telanjang Rukmini yang
menggairahkan. Tidak! Ini pasti ada yang salah! Pasti ada yang tidak beres!
Begitu teriak hati Andika, berusaha mengusir seluruh pesona aneh yang merasuki
seluruh jiwanya.
Namun belum juga perasaan aneh itu terusir tubuh Rukmini yang bak pualam itu
telah mendekatinya. Setiap kali gadis ini membuat sebuah gerakan, selalu tercium
aroma rangsangan yang membelai-belai sukma Andika.
"Kang Andika..., ayolah! Kita bisa melakukannya sebelum Ayah pulang.... Ayolah,
Kang...," rayu Rukmini.
Di alas kesadarannya, Andika masih berusaha
menolak semua rangsangan Rukmini. Tangannya berusaha dikibaskan mengusir segenap
keanehan di hatinya. Namun semakin
berusaha. semakin bertambah sulit melakukannya. Apalagi kini kedua tangan halus Rukmini telah melilit di leher Andika. Tubuh
telanjangnya dekat sekali dengan Andika. Membuat Andika perlahan-lahan terbakar.
Kini kesadarannya benar-benar hilang,
meksipun masih memiliki akal sehat kalau itu adalah perbuatan terlarang.
Namun tetap saja Pendekar Slebor tak kuasa
menolak ketika Rukmini mulai memagut bibirnya,yang kemudian berpindah ke leher
dan belakang telinga disertai rayuan membiuskan.
Sekuat tenaga Andika berusaha mempertahankan
dirinya, namun naluri kelaki-Iakiannya sangat sulit ditahan.
Matanya pun redup. Suaranya parau.
"Rukmini.... Kau..., kau cantik sekali?"
Senyum di bibir Rukmini membuka, membentuk
lorong kecil yang memabukkan.
"Kau juga tampan, Kang...
Ayolah, Kang. Ini
kesempatan kita untuk mencicipi kenikmatan dunia...,"
bujuk gadis itu, makin berani menawarkan.
"Tetapi...."
Hanya kata-kata itu yang bisa diucapkan Pendekar Slebor. Sementara tubuhnya
bergetar hebat. Nuraninya mengatakan kalau yang akan dilakukannya adalah
perbuatan terlarang. Namun, kelaki-lakiannya sangat sukar dikcndalikan.
"Tidak ada tetapi, Kang Andika.... Ayolah, mumpung Ayah belum pulang...." desis
Rukmini. Di bibirnya tersungging sebuah senyum aneh.
Akan tetapi, sebelum Andika membuka bajunya
sendiri. satu sosok tubuh mendadak berkelebat masuk ke dalam gubuk. Langsung
disambarnya tubuh Andika.
Sementara tangan kanannya menggedor tubuh Rukmini hingga.. terguling ke
belakang. Rukmini yang sedang merangkul Andika, tersentak
kagel. "Keparat busuk! Siapa yang berani menggangguku.
hah"!"Di luar gubuk, sosok tubuh compang-camping sedang menepuk-nepuk pipi
Andika yang terkulai bagaikan orang mabuk. Sosok compang-camping berambut acak-
acakan yang tak lain Eyang Sasongko Murti malah mengomcl-ngomel.
"Hei. Bor! Sadar! Sadar!" dengusnya. "Dasar gendeng!
Kenapa kau tidak bisa mcmbedakan mana perawan asli, dan mana jelmaan sih" Ini akibatnya!"
"Aaah... kau..., kau ini siapa?" racau Pendekar Slebor.
"Oh.... Kau cantik sekali, Manis.... Cantik.. ."
Tangan Pendekar Slebor terangkat untuk membelai
sosok yang berdiri memapahnya. Tentu saja laki-laki tua itu langsung mendengus.
Dilepasnya tubuh Andika sambil menarik kepalanya. Sehingga, Pendekar Slebor yang
berada di bawah sadarnya harus terjerunuk ke depan dan
jatuh menggeletak di tanah.
"Hei! Sadar, Bor! Aku Eyang Sasongko Murti! Bukan gadis cantik!" ujar Eyang
Sasongko Murti, seraya menghampiri dan jongkok di sebelah Andika.
"Siapa itu, Manis" Ayolah.... Jangan main-main denganku.... Aku sudah tidak
tahan...."
Pendekar Slebor memaksakan kedua tangannya yang
lemah itu untuk merangkul tubuh Eyang Sasongko Murti yang telah
menyelamatkannya.
"Heran! Kenapa kau bau kambing sih. Manis?"
"Edan!"
Eyang Sasongko Murti meletakkan telapak tangannya ke kening Andika. Dirasakannya
kening Pendekar Slebor yang tengah berada dalam rangsangan tinggi itu agak
panas. "Hhh! Kalau kau bergelut juga dengan gadis itu, maka akan menjadi pengikut
siluman, Bor!" dengus si tua bangka.
Lalu Eyang Sasongko Murti menotok tubuh Andika di beberapa bagian. Sehingga
tubuh pendekar sakti itu tak bisa bergerak. Namun mulutnya masih bisa berkata-
kata. Bila dalam keadaan sadar, belum tentu semudah itu Andika bisa ditotok.
"Hei" Kenapa, Manis" Oho..., aku tahu. Kau sudah tidak sabar, kan?" racau Andika
sambil berusaha memberontak.
"Makanya, jangan nafsu kalau lihat jidat licin!"maki si tua bangka ini jengkel.
Kini Eyang Sasongko Murti duduk bersila di hadapan Pendekar Slebor yang terbujur
kaku dan meracau tak karuan.
Namun sebelum Eyang Sasongko Murti menyadarkan
Pendekar Slebor dari pengaruh rangsangan kuat. tiba-tiba saja satu sosok tubuh
melenting ke luar dengan gerakan ringan.
Eyang Sasongko Murti menoleh, melihat Rukmini
berdiri dengan kedua kaki terbuka. Yang membuatnya
tersentak, gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!
Namun si tua bangka ini tidak memalingkan
wajahnya! Karena, penciumannya menangkap sesuatu yang sangat dikenalnya. Sesuatu
yang membuatnya
terpaksa harus mengikuti Andika yang pergi bersama Rukmini.
"Hhh! Rupanya Siluman Hutan Waringin menjelma jadi gadis jelita!" seru Eyang
Sasongko Murti tiba-tiba.
Mata si tua ini waspada. Dan diam-diam hawa
murninya dialirkan pada Andika agar cepat sadar. Bisa di-maklumi, kalau pendekar
muda ini bisa terkecoh oleh Siluman Hutan Waringin yang menjelma menjadi gadis
cantik bernama Rukmini. Karena, ilmu dari bangsa siluman begitu halus, namun
dahsyat luar biasa. Untungnya, di saat Pendekar Slebor pergi bersama Rukmini,
penciuman si tua ini menangkap sesuatu yang sangat dikenalnya. Berbau busuk dan
menjijikkan. "Ha ha ha.... Rupanya, penciumanmu sudah tidak setajam dulu untuk melihat
kedatanganku! Tetapi, kau telah menggagalkan rencanaku untuk membuat Pendekar
Slebor menjadi pengikutku!"
"Itu lebih bagus, daripada harus mengabdi kepadamu selama-Iamanya!" sahut Eyang
Sasongko Murti seraya meludah.
"Karena dia akan menjadi penggantimu, Murid Murtad!"
Tiba-tiba saja Rukmini menggoyangkan tangan
kanannya. Kelihatan sekali kalau goyangan itu sangat pelan. Namun tiba-tiba saja
Eyang Sasongko Murti merasakan bumi yang di njaknya bergetar.
Si tua ini semakin yakin, kalau Rukmini adalah
jelmaan Siluman Hutan Waringin. Dia memang tidak cepat tanggap tadi, sehingga
Pendekar Slebor hampir terjebak Siluman Hutan Waringin. Bila saja Andika
bergelut dengan gadis jelmaan itu, maka seumur hidupnya, bahkan sampai matinya
pun, akan menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin!
Eyang Sasongko Murti mengalirkan tenaga dalam ke kedua kakinya, untuk
mempertahankan keseimbang-an.
"Bor! Sadar cepat! Bahaya sedang mengancam kita!"
bisik si tuajni, sambil bertindak seperti itu.
Namun Pendekar Slebor yang masih berada dalam
pengaruh bius Rukmini yang ternyata jelmaan Siluman Hutan Waringin, masih berada
dalam keadaan seperti orang kesurupan. Sehingga tak ubahnya bagai orang yang tak
pernah bisa mengetahui keadaan diri sendiri.
Rukmini terbahak-bahak. Dadanya yang bulat montok bergoyang, merangsang siapa
saja yang melihatnya. Tetapi bagi Eyang Sasongko Murti, tak ada pengaruh apa-
apa. Begitu pula dengan anggota-anggota tubuh lainnya yang terbuka. Baginya, yang
terlihat tak lebih dari makhluk yang sangat mengerikan.
"Sasongko Murti! Kini sudah tiba saatnya kau mampus bersama Pendekar Slebor!
Kali ini, kau tak akan bisa meloloskan diri!" desis Rukmini.
Tiba-tiba saja sosok Rukmini yang menggiurkan
lenyap. Dan sebagai gantinya muncul sosok sangat mengerikan. Sosok kurus dengan
kedua telinga lebar. Mon-congnya seperti babi. Sosok Siluman Hutan Waringin!
Eyang Sasongko Murti tersentak melihatnya. Namun dalam keadaan seperti ini,
ketenangan memang harus dipertahankan. Dengan gerakan cepat sekali. tangannya
mengibas. Wuuuttt...! Maka tubuh Pendekar Slebor yang masih terbujur
kaku terlontar ke belakang. Saat tangan si tua itu mengibas, sudah dikirimkannya
satu ajian pemunah dari pengaruh Siluman Hutan Waringin.
Namun sebelum tubuh Pendekar Slebor menyangkut
di salah satu sebuah pohon, tangan Siluman Hutan Waringin pun bergerak.
Wuuuttt...! Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bagaikan
tertahan dari lontaran Eyang Sasongko Murti. Seolah,
terpaku di awang-awang.
Eyang Sasongko Murti menyumpah-nyumpah
melihatnya. Seketika dikirimkannya satu tenaga kembali untuk melontarkan tubuh
Andika. Namun, tubuh itu tetap seperti mengapung di udara.
"Sasongko Murti! Kita jadikan Pendekar Slebor sebagai taruhan!" tantang Siluman
Hutan Waringin dengan suara dingin dan penuh geraman.
Eyang Sasongko Murti diam-diam mendesah panjang.
Bahaya sekali bila membiarkan Pendekar Slebor dijadikan taruhan seperti itu. Ah!
Seharusnya memang harus cepat disadari kalau Rukmini bukanlah gadis dalam arti
sesungguhnya. Dia tak lain jelmaan dari Siluman Hutan Waringin.
Seharusnya pula. si tua itu mengajarkan beberapa ilmu siluman pada Pendekar
Slebor. Apalagi Eyang Sasongko Murti sendiri tidakyakin. apakah bisa mengalahkan
Siluman Hutan Waringin"
"Siluman busuk!" dengus Eyang Sasongko Murti.
"Kenapa sih, kau tidak juga membiarkan aku hidup bebas, hah"! Sudah kukatakan,
aku tidak akan terus-menerus menjadi
muridmu! Ilmu bangsa siluman terlalu mengerikan!"
"Grrrhhh! Kau berani menghinaku!"
"Kenapa memangnya" Kalau aku tidak berani, nanti kau yang menghinaku lagi" Lebih
baik, duluan saja!"
Wuttt...! Tangan Siluman Hutan Waringin mengibas. Terasa
hawa panas yang menderu-deru,
membuat Eyang Sasongko Murti terhenyak untuk menerima serangan.
Dengan sigap tubuhnya melenting ke belakang, menghindari serangan mengandung kekuatan dahsyat itu.
"Hei, sabar dong! Aku kan belum siap!" seru Eyang Sasongko Murti, seperti anak
kecil yang didahului temannya saat berebut makanan.
Tetapi Siluman Hutan Waringin sudah mengirimkan
serangan-serangan bangsa siluman yang berbahaya. Dan
ini membuat Eyang Sasongko Murti harus mati-matian menghindarinya.
Seketika di tempat sepi itu terasa bagaikan ada
gempa. Dua kekuatan dari ilmu bangsa siluman
diperlihatkan. *** Alam bagaikan diguncang. Pepohonan yang tumbuh di
sana tumbang. Bahkan beberapa buah batu besar
beterbangan tak ubahnya kerikil yang dilemparkan.
Pertarungan antara murid dan guru itu bertambah
mengerikan. Ajian-ajian dari bangsa siluman telah
diperlihatkan. Sungguh terlalu mengerikan!
"Kau tak akan bisa melarikan diri lagi, Sasongko!"
geram Siluman Hutan Waringin.
Dengan gerakan penuh amarah dan dahsyat siluman
ini menyerbu Eyang Sasongko Murti. Sementara si tua itu memutar-mutar tubuhnya


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh kekuatan hawa dingin.
Kalau Siluman Hutan Waringin mempergunakan ajian berhawa panas, Eyang Sasongko
Murti kebalikannya.
Blarrr.... Setiap kali salah satu ada yang melakukan serangan, terjadilah suara
mengguncangkan yang memekakkan
telinga. Sedikit banyaknya, Eyang Sasongko Murti memang telah mempelajari ilmu
bangsa siluman.
Namun yang dihadapi adalah siluman sejati yang
penuh kebuasannya. Bahkan pernah menjadi gurunya.
Ajian-ajian mengerikan pun silih berganti dilontarkan satu sama lain. Bagi Eyang
Sasongko Murti, ini adalah pertarungan hidup mati baginya. Kalau tidak bisa
diatasi, sudah bisa dipastikan bukan hanya Pendekar Slebor saja yang akan
menjadi korban. Tapi para tokoh sakti maupun penduduk bisa-bisa menjadi korban,
sekaligus pengikut Siluman Hutan Waringin.
Sementara tubuh Andika yang masih mengapung di
udara terus meracau dalam keadaan penuh rangsangan.
Benar-benar tidak disadari kalau tubuhnya mengapung di udara seperti litu. Kalau
saja dalam keadaan sadar. sudah tentu akan mengomel-ngomel berkepanjangan.
Eyang Sasongko Murti terus mengeluarkan ajian-ajian bangsa siluman yang pernah
dipelajari. Beberapa kali tubuhnya terkena gempuran-gempuran dahsyat me-
nyakitkan. Kalau dia tidak menguasai ajian bangsa siluman, bisa dipastikan tubuh
yang terkena serangan Siluman Hutan Waringin akan berkeping-keping hangus.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Sasongko!"
"Kenapa sih banyak omong terus" Ayo hajar aku! Kau kuberi kesempatan dulu
sebelum aku menghancurkanmu!"
seru Eyang Sasongko Murti sambil melenting dan
mengirimkan serangan balasan tak kalah dahsyatnya.
Namun lama kelamaan si tua itu pun akhirnya
kewalahan juga. Serangan-serangan dari Siluman Hutan Waringin memang tak mungkin
dihadapi terus-menerus.
Ilmu bangsa siluman yang dimiliki Eyang Sasongko Murti masih kalah jauh
dibanding Siluman Hutan Waringin yang pernah menjadi gurunya.
Kalau begitu, ia harus menyelamatkan diri.
Sementara, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri harus meminta bantuan
Pendekar Slebor, agar bersedia diturunkan ajian-ajian bangsa siluman. Karena,
meskipun terkadang jengkel dengan sikapnya. Eyang Sasongko Murti berkeyakinan
kalau Pendekar Slebor lah yang bisa dipercayainya.
Tiba-tiba saja saat melenting ke samping menghindari serangan Siluman Hutan
Waringin, Eyang Sasongko Murti mengusap kedua tangannya. Seketika dikibaskannya
ke arah Siluman Hutan Waringin.
Wusss! Brrr! Serangkum api bergerak menjilat-jilat ke arah Siluman Hutan Waringin. Dengan
cepat, makhluk aneh ini
bergulingan mcnghindarinya. Lalu mulutnya yang panjang berlendir itu membuka.
"Hooowwwaaa!"
Seketika api besar yang menjilat-jilat tertarik oleh tarikan napas Siluman Hutan
Waringin. Dan dengan cepat, masuk ke mulut penuh lendir itu.
Kesempatan ini segera dipergunakan Eyang Sa-
sonnko Murti untuk melompat ke atas.
"Hup...!"
Gerakan si tua ini sangat menakjubkan. Saat
melompat. kedua tangannya ditepuk. Blaaar...!
Saat itu juga terdengar suara yang memekakkan
telinga. Lalu tanpa menginjak bumi lagi, tangannya menepuk sebanyak empat kali,
membentuk bujur sangkar.
Tiba-liba saja tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke bawah! Dengan sigap.
Eyang Sasongko Murti
menangkap. Dan sekali lagi. tanpa menginjakkan kakinya ke tanah, tubuhnva sudah
berjumpalitan beberapa kali dan langsung lenyap dari pandangan.
Tinggal Siluman Hutan Waringin yang menggerarn
penuh kemarahan menjadi-jadi. Tubuhnya bergerak tak karuan. Sehingga tanah yang
berada di sekitar sana guncang. Pepohonan kembali tercabut.
"Sasongkooo! Kau lak akan bisa melarikan diri!"
*** 6 Dua sosok tubuh berkepala gundul tampak melesat
cepat, menerobos setiap hutan dan lembah. Melompati sungai dan ngarai. Keduanya
tak lain dari Sepasang Tasbih Kepalan Batu. Setelah mereka tiba di tempat
pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Siluman Hutan Waringin, keduanya tak
menemukan Pendekar Slebor di sana.
Setelah disepakati, mereka pun terus melesat,
mencari Pendekar Slebor. Memang mereka benar-benar berharap sekali agar Pendekar
Slebor sudi menolong Ki Mahesa Luwing, guru mereka.
Di satu tempat sepi yang penuh pepohonan tinggi, keduanya menghentikan lari.
"Kang Tapa.... Ke mana lagi kita harus mencari Pendekar Slebor?" tanya Angling
Srenggi sambil memperhatikan sekitarnya.
Tapa Srenggi cuma bisa menggelengkan kepalanya
saja. "Aku tidak tahu. Tetapi naluriku mengatakan, pemuda berbaju hijau pupus
itu pasti masih hidup, meskipun menghadapi siluman yang sangat hebat!"
"Aku pun menduga seperti itu. Kang Tapa... kalau saja aku tahu pemuda itu adalah
Pendekar Slebor, sudah tentu akan mengatakannya langsung permintaan kita," sesal
Angling Srenggi.
"Tidak usah bcrsikap seperti itu. Apa yang kau lakukan benar, Adi Angling.
Karena dalam keadaan seperti ini, kita memang harus berhati-hati. Dan yang bisa
diketahui sekarang
ini, Siluman Hutan Waringin lah yang mencelakakan Guru. Yah.... Kita memang harus waspada.
Ayolah.... Kita harus mencari Pendekar Slebor sampai dapat."
Tetapi sebelum mereka melangkah kembali. tiba-tiba satu sosok tubuh jelita
berlari mendatangi. Sosok itu kelihatan ketakutan sekali. Lemah dengan wajah
pucat. Pakaian putih yang dikenakannya penuh noda darah.
"Tolooong... Tolong aku...," desis wanita ini begitu melihat Sepasang Tasbih
Kepalan Batu. Dan hanya itulah kata yang bisa diucapkan wanita ini.
Selebihnya tubuhnya sudah terhuyung bagaikan sebatang pohon rubuh tertiup angin.
Lalu, pingsan. Sepasang Tasbih Kepalan Batu dengan sigap sege?ra mendekati gadis itu.
"Kang T apa.... Lukanya sangat parah...." desis Angling Srenggi setelah
memeriksa tubuh gadis itu dengan jalan membuka pakaiannya. Apa yang mereka
saksikan memang menggiurkan mata. Tetapi tak sedikit pun keduanya berusaha
menatap sepasang bukit kembar mengkal yang ranum itu. Karena, mata mereka
terpaku pada luka yang menganga di perut gadis itu. Sementara di bahu gadis itu
terlihat memar cukup besar.
"Adi Angling.... Kau cari air!" ujar Tapa Srenggi dengan suara tenang. "Kalau
tidak segera ditolong, gadis ini pasti tak akan selamat."
Angling Srenggi pun mempunyai pikiran sama. Maka segera dia mencari air yang
dibutuhkan kakak kembarnya.
Ketika kembali membawa air dengan batang pohon yang telah dibuat ceruk, kakak
kembarnya sedang mengalirkan tenaga dalam pada gadis itu.
Diam-diam Angling Srenggi menghela napas melihat hal itu. Karena dia tahu betul
kakak kembarnya baru sembuh dan tidak boleh terlalu banyak membuang tenaga.
Namun menghadapi kejadian seperti ini. Tapa Srenggi masih menunjukkan sikap
perikemanusiaannya.
Terkadang, Angling Srenggi sering tak mengerti
melihat sikap kakak kembarnya. Tapa Srenggi dikenal sebagai orang panasan. Tak
sabar, dan terkadang mau menang
sendiri. Apalagi menghadapi lawan yang menjengkelkan. Namun kalau sudah menemui kejadian seperti ini, sikapnya tak
ubahnya bagai seorang dewa.
"Adi Angling, alirkan 'Tapak Angin Panas'-mu ke air itu.
Cepat! Kita tak punya banyak waktu," ujar Tapa Srenggi ketika melihat Angling
Srenggi cepat mengalirkan ajian
'Tapak Angin Panas'-nya ke air yang dibawanya. Dalam waktu beberapa kejapan saja
terlihat air telah mendidih.
"Cukup!"
Tapa Srenggi segera mengangkat ceruk pohon berisi air yang masih mendidih,
seolah dipanasi oleh panas yang tinggi. Lalu mulutnya terlihat komat-kamit.
Diban-tu oleh ajian 'Tapak Angin Dingin'- nya, diguyurnya luka di tubuh si gadis
dengan air itu.
"Pegang kedua ibu jarinya. Kalau kukatakan alirkan
'Tapak Angin Panas'-mu, segera lakukan."
Angling Srenggi segera bertindak seperti yang
dikatakan kakak kembarnya. Sementara T apa Srenggi sedang menutup kembali
pakaian gadis ini, lalu memegang keningnya.
"Lakukan sekarang!" ujar Tapa Srenggi.
Seketika Angling Srenggi mengalirkan ajian 'Tapak Angin Panas'- nya melalui ibu
jari gadis itu. Bisa dirasakannya kalau tubuh kakaknya seperti tersengat petir.
Namun Tapa Srenggi berusaha menahannya.
Pengobatan aneh ini cukup lama dilakukan. Sampai kemudian Angling Srenggi
tersadar, kalau kakaknya sengaja menyedot tenaga pukulan yang ada di tubuh gadis
itu. "Kang Tapa!"
"Tidak apa-apa. Tak usah cemas. Pertahankan aliran
'Tapak Angin Panas'-mu. Adi Angling, bila melihat lukanya yang sukar sekali
diobati, dia bukan dihantam oleh tenaga kasar."
"Oh, Gusti! Maksudmu tenaga halus?"
"Ya!"
"Siapa yang melakukannya, Kang?"
"Entahlah.... Namun dugaanku,
Siluman Hutan Waringin yang melakukan semua ini. Bisa pula bangsa siluman lain. Aku tidak bisa
memastikan."
Angling Srenggi kelihatan terkejut mendengarnya.
Yang dikuatirkan bila tenaga pukulan yang telah
mengendap di tubuh gadis itu berbalik mengenai kakak
kembarnya. Namun dia yakin dengan kata- kata Tapa Srenggi. Dan tentunya, kakak
kembarnya melakukan semua ini dengan perhitungan niatang.
"Hentikan aliran 'Tapak Angin Panas'-mu, Adi Angling,"
ujar Tapa Srenggi. "Sekarang dengarkan kata-kataku.
Berdirilah di belakang tubuhku. Bila tanganku terangkat dari kening gadis ini.
segera alirkan 'Tapak Angin Panas'-
mu. Langsung pada tingkat pamungkas! Kau mengerti?"
"Kang Tapa!" desis Angling Srenggi terkejut. Laki-laki botak bertasbih perak ini
bisa mengelahui apa akibatnya bila sampai mengalirkan ajian 'Tapak Angin Panas'-
nya pada tingkat pamungkas ke tubuh kakak kembarnya. Jelas, Tapa Srenggi bukan
hanya bisa hangus seketika, tetapi bisa-bisa nyawanya akan langsung melayang.
"Jangan banyak tanya!" seru Tapa Srenggi melihat adik kembarnya ragu-ragu.
"Sebentar lagi aku tak akan mampu untuk membuang tenaga pukulan siluman ini!"
"Tetapi, Kang...."
"Kau memang selalu membantahku! Lakukan apa yang kukatakan! Mengerti?"
Angling Srenggi tak tahu lagi, apa yang harus
diperbual. Dia pun segera berpindah tempat. Dan
sekarang, berada di belakang kakak kembarnya. Sukar dibayangkan, apa yang akan
terjadi. Namun lagi-lagi dia percaya kalau kakak kembarnya melakukan semua ini
dengan perhitungan matang.
"Adi Angling! Tidak usah cemas! Semuanya akan berlangsung seperti yang kita
harapkan! Ingat! Jangan melepaskan kedua tanganmu ytng telah dialirkan ajian
'Tapak Angin Panas' tingkat pamungkas itu! Nah,
pusatkanlah pikiranmu sekarang!"
Angling Srenggi menarik napas.
"Aku siap, Kang," kata Angling Srenggi bergetar.
"Bagus!"
Angling Srenggi melihai tubuh kakaknya semakin
bergetar. Juga dirasakan dadanya berdebar hebat. Apa yang dilakukannya lebih
mengerikan dari serangan-
serangan Siluman Hutan Waringin. Namun sekali lagi, dia percaya dengan
perhitungan kakak kembarnya, meski pun hati kecilnya begitu was-was memikirkan
akibat yang akan terjadi. Karena, bila meleset dari perhitungan, maka nyawa
kakak kembarnya akan melayang seketika.
"Sekarang!" tiba-tiba terdengar seruan Tapa Srenggi yang keras, membuat Angling
Srenggi tersentak.
Seketika laki-laki botak bertasbih perak menempelkan kedua telapak tangannya ke
punggung kakak kembarnya.
Dialirkannya ajian 'Tapak Angin Panas'-nya tingkat pamungkas!
Angling Srenggi merasakan sesuatu yang dingin
menyerap di kedua tangannya. Sementara tubuh kakaknya tampak bagaikan tersungkur
ke depan, lalu muntah darah berwarna hitam pekat berkali-kali. Sepertinya darah
yang dikeluarkan mengandung racun sangat berbahaya. Dalam keadaan seperti ini,
Angling Srenggi ingin segera menghentikan aliran 'Tapak Angin Panas'-nya. Namun
bila dilepaskan sebelum mendapat perintah dari kakak
kembarnya, bisa dipastikan akan berakibat sangat berbahaya.
Maka laki-laki botak bertasbih perak ini berusaha mempertahankannya, meskipun
hatinya teriris melihat penderitaan kakak kembarnya. Tanpa sadar Angling Srenggi
menghitung beberapa kali kakak kembarnya muntah darah!
Tujuh kali! Dan pakaian yang dikenakan Tapa Srenggi pun
hangus seketika begitu ajian 'Tapak Angin Panas'-nya dialirkan untuk pertama
kali. "Cukup!" seru Tapa Srenggi terdengar keras.
Bagai tersengat petir berkekuatan tinggi. Angling Srenggi segera menarik kedua
telapak tangannya. Begitu ditarik, tubuh kakak kembarnya bagaikan sebuah pohon
pisang ditiup angin. Ambruk terjerunuk ke depan.
"Kang Tapa!" seru Angling Srenggi sambil membalikkan tubuh kakak kembarnya dengan hati cemas.
Tetapi nyatanya T apa Srenggi malah tersenyum.
Penuh rasa sakit, juga penuh senyum gembira.
"Kita telah melewatkan saat-saat yang mengerikan.
Aku tidak apa- apa.... Sebentar lagi, tenagaku akan pulih,"
katanya pelan. Namun, suaranya mengandung kelegaan.
Angling Srenggi menarik napas panjang. Tersenyum haru pada kakaknya yang rela
mengorbankan nyawa untuk menolong nyawa orang lain. Padahal, mereka tidak
mengenal gadis yang masih dalam keadaan pingsan itu.
"Di punggungmu membekas
telapak tanganku,
Kang...," jelas Angling Srenggi.
"Tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir...."
Perlahan-lahan Ielaki botak bertasbih emas ini
bangkit. Dirasakannya nyeri luar biasa sekali di dadanya.
"Adi Angling.... Aku yakin, gadis ini dilukai oleh siluman."


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angling Srenggi c uma mendesah. Begitu banyaknya persoalan
yang dihadapi sekarang ini. Masalah keselamatan gurunya sampai saat ini belum tcrpecahkan.
Mencari Pendekar Slebor pun belum tentu bisa ditemukan.
Dan sekarang, mereka menjadi buruan dari Siluman Hutan Waringin yang ganas.
"Siluman manakah yang telah melukainya seperti ini?"
desis Angling Srenggi, walaupun telah menduga kalau itu hasil perbuatan Siluman
Hutan Waringin.
"Untuk mengetahui jawabannya, kita harus menunggu gadis ini siuman. Darinya,
kita bisa tahu bangsa siluman manakah yang melakukan hal ini. Di samping itu,
tenagaku belum pulih benar. Aku akan mempergunakan kesempatan ini untuk
memulihkan kembali tenagaku," sahut Tapa Srenggi.
Angling Srenggi hanya mengangguk. Sementara kakak kembarnya s udah duduk
bersemadi dengan kedua tangan mengatup di dada. Lagi-lagi Ielaki botak bertasbih
perak ini mendesah masygul, menerima kenyataan seperti ini.
Bukan keselamatannya yang dipikirkan, tetapi kesehatan gurunya yang
dipikirkannya. Dan dia yakin, kakak
kembarnya berpikiran sama.
Setelah lewat beberapa penanakan nasi, sementara mentari kini mulai menuju
peraduannya, Tapa Srenggi selesai meuiulihkan tenaganya kembali. Dan belum lama
kepulihannya bisa dinikmati, si gadis telah mengeluarkan keluhan tertahan.
Serentak Tapa Srenggi dan Angling Srenggi mendekati. "Ia sudah siuman, Kang...."
"Ya.... Biarkan dia tenang dulu. Mungkin dia kaget bila melihat kita. Karena aku
yakin, gadis ini telah mengalami suatu kejadian yang benar-benar menakutkannya."
Apa yang dikatakan Tapa Srenggi memang benar.
Karena begitu si gadis membuka kedua matanya, langsung tersentak. Gadis ini
berusaha untuk bangkit.
"Jangan banyak bergerak dulu.... Kau terluka hebat, Nona...," ujar Tapa Srenggi,
lembut. "Oh! Siapakah kalian" Siapakah kalian?" desis gadis itu dengan suara tertahan,
sarat ketakutan luar biasa.
Untuk menenangkan gadis
itu, Tapa Srenggi tersenyum. "Namaku Tapa Srenggi. Dan ini adikku. Namanya Angling Srenggi. Kami kakak
beradik yang kembar. Jangan takut, Nona.... Kau dalam keadaan aman sekarang.
Kami berdua akan berusaha melindungimu sekuat tenaga," ujar Tapa Srenggi lagi,
lembut. Rupanya kelembutan itu membuat si gadis mulai
sedikit berani. Tetapi sebentar kemudian, kepalanya sudah celingukan dengan mata
mengerjap-ngerjap. Penuh sinar ketakutan!
"Oh, Gusti.... Di mana makhluk ganas yang menyeramkan itu" Di mana?" desah si
gadis. "Tenang, Nona...," ujar Tapa Srenggi, sekali lagi.
Lelaki botak bertasbih emas ini semakin yakin kalau gadis ini telah mengalami
kejadian yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup.
"Sekali lagi kukatakan. kau aman di sini. Sekarang,
ceritakanlah mengapa kau mengalami kejadian seperti ini?" lanjutnya.
Kata-kata lembut Tapa Srenggi memang benar-benar merasuk di hati gadis itu. Lalu
dengan suara tersendat, dia mulai
menceritakan kejadian menyeramkan yang dialaminya. "Namaku Minanti, salali seorang murid Perguruan Selendang Putih di sebelah
selatan Bukit Menjangan.
Guruku hanya mengambil murid dari jenis kaum hawa.
Entah mengapa, hanya Guru yang tahu. Nyi Nimas Anjani memang telah bersikap adil
dan bijaksana. Dia pun dikenal sangat baik terhadap para penduduk yang tinggal
di sekitar Bukit Menjangan," tutur gadis bernama Minanti.
Sejenak gadis ini terdiam, seperti berusaha mengingat-ingat
peristiwa yang dialami. "Semalam, ketenteraman yang telah lama tercipta tiba-tiba dihancurkan kedatangan sosok mengerikan yang mengaku berjuluk Siluman Hutan
Waringin. Siluman itu mengamuk sejadi-jadinya,
memporak porandakan seluruh isi. Perguruan Selendang Putih. Banyak murid-murid di sana yang gugur, termasuk Nyi
Nimas Anjani sendiri...."
Kembali gadis ini menghentikan cerilanya dengan
wajah sendu penuh haru. "Aku yang waktu itu ikut bertarung, terlontar beberapa
tombak ke belakang. Dadaku terasa nyeri. Darah mengalir keluar. Namun
kesadarannya untuk tidak mati konyol seperti itu membuatku berusaha untuk
bangkit dan melarikan diri," lanjut Minanti. "Sambil menatap dengan linangan air
mata bercampur kegeraman.
aku terus melangkah ke mana saja. Kulihat, seluruh murid Perguruan Selendang
Putih termasuk Nyi Nimas Anjani, harus menemui ajal. Dan aku masih mendengar
seruan keras mengandung kemarahan Siluman Hutan Waringin yang mencari Pendekar
Slebor.... Begitulah yang terjadi sampai kalian menemukan aku," desis Minanti
sambil menunduk.
Tiba-tiba gadis ini menangis pilu.
"Gusti..., mengapa Kau turunkan cobaan yang yang
mengerikan ini. Aku telah menjadi pengecut! Yang hanya bisa menyelamatkan diri
saja tanpa memikirkan yang lain!
Oh, tidak! Aku tidak boleh hidup lebih lama lagi! Aku harus mati!" rutuk gadis
itu. Mendadak saja Minanti menyambar sebuah batu yang runcing, siap dihunjamkan ke
perutnya yang masih terluka.
Namun, Tapa Srenggi bergerak cepat.
Tak! Lelaki bertasbih emas ini menjentikkan jarinya,
membuat batu itu terlepas. Sementara Minanti menangis tersedu-sedu. Dengan penuh
kelembutan Tapa Srenggi merangkulnya.
"Sudahlah, Nona.,, tak usah ditangisi semuanya ini.
Apa yang telah terjadi, biarkanlah terjadi....."
"Tetapi, Kang. Aku telah menjadi pengecut. Aku tidak berani mati... hu hu
hu...." Tapa Srenggi memaklumi perasaan gadis ini. Tentu saja Minanti merasa sedih
menyadari dirinya masih hidup, sementara saudara- saudaranya yang lain sudah
menjadi mayat. "Minanti..., tak usah diratapi lagi. Hadapilah semua ini dengan tabah. Seperti
matahari yang tanpa berhenti terus bekerja, tanpa mempedulikan perbuatan anak
manusia yang hidup di bawah sinarnya...."
Kata-kata lembut itu benar-benar menyejukkan hati Minanti.
"Minanti.... Kami pun telah mengalami hal yang sama.
Kami pun diserang Siluman Hutan Waringin. Akibatnya aku pernah mengalami luka
mengerikan sekali. Kita senasib....
Dan kau benar... Siluman Hutan Waringin itu memang hendak mencari Pendekar
Slebor. Ah! Menghadapi siluman yang ganas itu memang tidak mudah. Saat ini, kami
pun sedang mencari Pendekar Slebor. Pertama, meminta bantuannya untuk
menyelamatkan nasib guru kami yang sudah di ambang maut yang juga telah dibuat
celaka oleh siluman
itu. Kedua, untuk meminta bantuannya memusnahkan Siluman Hutan Waringin...."
Menyadari kalau ada orang lain mengalami nasib
sama, Minanti mengangkat kepalanya. Matanya yang leduh dengan bola mata hitam
itu mengerjap-ngerjap.
"Oh.... Benarkah, Kang?"
Tapa Srenggi mengangguk sambil tersenyum.
"Apa yang kukatakan ini benar. Aku bukan sedang menghiburmu, Minanti. Kita
memang harus mencari
Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya."
"Oh.... Di manakah dia berada sekarang ini?"
Di balik mata gadis ini yang memerah karena
menangis, terbersit sinar harapan sekaligus kegembiraan.
"Kami pernah berjumpa dengannya. Hanya saja, kami tidak mengetahui kalau pemuda
berbaju hijau pupus itu adalah Pendekar Slebor."
Minanti terdiam. Kalau begitu, masih jauh perjalanan yang harus ditempuh. Karena
bisa jadi, Siluman Hutan Waringin akan mencari mereka. Itu sangat gawat sekali.
Apalagi tadi Tapa Srenggi mengatakan kalau mereka belum tentu mampu menandingi
Siluman Hutan Waringin, yang tentunya memiliki ajian-ajian ampuh bangsa siluman.
Namun sedikit banyaknya harapan telah terlihat di mata gadis itu.
"Kang Tapa..., izinkan aku ikut bersamamu," pinta gadis itu sambil menatap
lembut. Tapa Srenggi menganggukkan kepalanya.
Minanti menoleh pada Angling Srenggi yang sejak tadi diam saja.
"Kau tidak keberatan, Kang Angling?"
*** 7 Seharusnya Pendekar Slebor menyadari kesalahannya. Karena dalam sekali waktu, siapa pun pasti pernah berbuat salah.
Tetapi sikapnya tetap acuh saja.
Bahkan terkekeh-kekeh mendengar omelan Eyang Sasongko Murti yang panjang pendek.
"Habisnya..., gadis itu cantik...," katanya sambil nyengir.
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Kalau dia benar-benar gadis asli sih, aku juga tertarik! Tetapi apa kau juga
akan tertarik kalau tahu dia ternyata jelmaan Siluman Hutan Waringin?" balik si
tua bangka. "Ya..., daripada tidak ada. Kan lebih baik ada...,"
tangkis Andika.
"Kentut!" maki Eyang Sasongko Murti.
Sebenarnya si tua ini cukup gembira melihat
Pendekar Slebor telah pulih kembali dari pikatan Siluman Hutan Waringin yang
menjelma menjadi Rukmini. Dan ia pun tahu, kalau pendekar pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan ini sebenarnya agak menyesali kecerobohannya.
Tetapi Eyang Sasongko Murti pun merasa kalau itu bukanlah suatu kecerobohan.
Karena, menolong siapa pun adalah sifat manusia dari aliran lurus. Menolong
tanpa pamrih. Dan kebetulan saja, yang ditolong seorang gadis jelmaan Siluman
Hutan Waringin.
"Hhh! Aku bisa membayangkan, bagaimana kalau Siluman Hutan Waringin dibiarkan
merajalela seperti ini, Eyang. Pasti keadaan akan semakin memburuk saja," desis
Andika, sarat kegeraman.
"Nah! Otakmu encer juga rupanya!" puji si tua bangka.
"He he he.... Kebanyakan dikasih air, sih!"
"Sialan! Coba kau berdiri, Bor!"
"Eil, eit! Mau apa" Ayolah. Eyang. Masa' kau bernafsu juga sih denganku" Aku
laki-laki, lho"!" seloroh Andika.
Saking kesalnya, Eyang Sasongko Murti mengibaskan
tangan kirinya. Wusss!
Serangkum angin berkekualan tinggi menderu ke arah Andika. Namun dengan sigap
Pendekar Slebor melompat ke kiri, lalu seketika berada dalam keadaan bersiaga.
"Bagus! Kulihat kau memang patut menjadi orang nomor satu di rimba persilatan."
puji si tua. "Ah.... Jadi tak enak nih!" sahut Andika nyengir.
Eyang Sasongko Murti tak mengacuhkan seloroh
Andika. "Andika.... Waktu kita sangat sempit. Menurut dugaanku, bukan hanya kita saja
yang akan diburu Siluman Hutan Waringin. Untuk memancing kemunculan kita,
siluman itu pasti akan melakukan apa saja. Kini saatnya kau menerima ajian-ajian
dari ilmu bangsa siluman.
"Eh, benar nih?" goda Andika.
"Jangan banyak omong! Ayo bersiap!"
"Nanti kalau kau kalah denganku, bagaimana?"
Andika masih menggoda lagi. Padahal hatinya senang sekali dengan kenyataan ini.
"Sudah. sudah...! Sekarang,
rentangkan kedua
kakimu. Dan. angkat kedua tanganmu sejajar dengan dada. Tahan napasmu...,"
perintah Eyang Sasongko Murti.
"Tahan napas lagi?" tukas Andika.
"Busyet, deh! Temyata mulutmu seperti perempuan"
Mau aku gampar, hah"!" bentak Eyang Sasongko Murti.
Andika cuma nyengir saja. Lalu dilaksanakan perintah Eyang Sasongko Murti.
"Kendalikan napasmu di perul jangan bawa kemana-mana."
Andika yang paham tentang ilmu pernapasan, bisa
mengetahui kalau pusat seluruh tenaga dalam berada di dalam perut. Dengan
mempertahankan napas di perut.
berarti mengumpulkan kembali seluruh tenaga dalam.
Kalau saja sampai pindah ke salah satu bagian tubuh, bisa dipastikan akan celaka
sendiri. Karena Andika tahu, ajian yang akan diberikan si tua bavvel itu sangat
dahsyat. "Ingat, Andika! Sebelum semuanya selesai, kau tidak boleh mengalirkan napasmu."
"Eyang.... Apakah kau akan mengajariku ajian bangsa siluman satu persatu?" tanya
Pendekar Slebor.
"Tidak!" sahul Eyang Sasongko Murti tegas. "Kau akan mendapatkan seluruh ajian
dari bangsa siluman. Yang perlu diketahui, ajian itu tidak akan bisa
dipergunakan sembarangan."
"Wah.... Tidak sip kalau begitu!"
Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan


Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah sengak. "Lagipula, tidak usah mempelajari ajian bangsa siluman, aku mampu menghadapi
siluman busuk itu, kok!
Kalau aku teringat hampir saja terjebak olehnya, hhh!
Rasanya ingin kubuat perkedel saja!"
"Cerewet! Sok tahu! Sok jago! Kau ini benar-benar memusingkan kepalaku, Bor!
Sudah! Pokoknya. kau hanya bisa menggunakan ajian bangsa siluman itu bila sudah
terdesak," sentak si tua. mangkel bukan main.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Andika akhirnya. Diam-diam Pendekar Slebor pun
tertarik oleh pernyataan Eyang Sasongko Murti.
"Pertama, kau tidak pantas memiliki ajian bangsa siluman yang ganas. Kedua,
usiamu masih terlalu muda.
Sehingga, jiwamu masih goyah. Belum mapan! Ketiga, ajian itu sangat berbahaya,"
jelas si tua ini, mencoba untuk tetap bersabar.
"Kalau yang ketiga sih, aku s udah tahu! Tetapi yang pertama dan kedua itu
kan...." "Diam!" bentak si tua bawel ini, akhirnya tak sabar lagi. Bersamaan bentakan itu
terdengar. mulut Pendekar Slebor terkunci. Tinggal pandangan matanya saja yang
mencerminkan keheranan, sekaligus kekesalan.
"Kumpulkan seluruh tenaga dalammu di perut. Ingat!
Kau akan mengalami sesuatu yang aneh. Panas, dingin, terkadang penuh getaran
hebat. Pendekar Slebor cuma mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Dia telah siap menerima ajian-ajian bangsa siluman dari Eyang
Sasongko Murti.
Kini si tua bawel itu merapatkan kedua tangan
keriputnya di dada. Mulutnya komat-kamit. Dan sesaat kemudian tubuhnya bergetar.
Tiba-tiba saja Andika merasakan ada hawa dingin
yang menyergapnya. Dingin sekali sehingga sckujur tubuhnya terasa kaku.
Sementara bibirnya bergemeletuk.
"Aaa...!"
Namun tiba-tiba hawa dingin itu berubah menjadi
panas luar biasa, membuat Andika mcnjerit keras karena tak kuasa menahan panas
seperti itu. Bila tidak berada dalam pengajaran Eyang Sasongko Murti, akan
sangat mudah baginya untuk mengusir hawa panas itu.
Dan mendadak saja rasa panas itu berubah menjadi rasa mual yang mcmular-mutar
seisi perutnya. Dan ini membuat Andika kelabakan dan bagaikan tersentak-sentak
ingin muntah. Namun dia berusaha menguatkan diri. Sikapnya dipertahankan agar
bisa menyerap ajian-ajian bangsa siluman.
Tidak hanya sampai di sana saja penderitaan
Pendekar Slebor. Karena kedua tangan Eyang Sasongko Murti mendadak saja mengibas
ke depan! Lalu....
Des! Des! Des! Tiga bagian di tubuh Andika terhantam. Kening, dada, dan perut. Rasa sakit yang
diderita pendekar urakan ini sungguh luar biasa. Namun Andika tetap menguatkan
dirinya. Aliran tenaga dalamnya yang dipusatkan di pusar sama sekali tidak boleh
dipindahkan. Kini. lampak sebuah sinar kuning kcluar dari tubuh Eyang Sasongko Murti. dan
masuk ke tubuh Pendekar Slebor melalui pusat kepala. Sesaat seluruh tubuh Andika
bergetar. Bulu kuduknya pun mcremang.
Hampir sepenanak nasi Andika menerima gemblengan langsung dari
Eyang Sasongko Murti.
Gemblengan untuk mendapatkan ajian bangsa siluman.
Hingga kemudian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor terlempar ke belakang
dalam satu sentakan keras.
Bersamaan dengan itu, tubuh Eyang Sasongko Murti pun terhuyung ke belakang.
Sepertinya. seluruh tenaganya telah terkuras.
Andika merasa sekujur tubuhnya bagaikan di njak-
injak sekawanan gajah liar, yang membuatnya susah sekali saat bangkit. Tulang-
tulangnya pun terasa seperti patah.
Meskipun begitu. mulutnya tetap saja mengumbar kata-kala konyol.
"Hei, Eyang! Lain kali kalau mengajariku yang kalem dikit, dong! Memangnya aku
karung basah untuk latihan pukulan?"
"Cerewet! Hei, Bor! Kau sudah menguasai ajian-ajian bangsa siluman yang
kumiliki!" jelas Eyang Sasongko Murti sambil berdiri pula. Meskipun sekujur
tubuhnya terasa lemas. namun hatinya puas karena berhasil menurunkan ajian
bangsa siluman pada saat yang tepat. "Kini dengan bantuanmu, kita akan bisa
menghancurkan Siluman Hutan Waringin!"
Pendekar Slebor mengangguk. Disadari, lawan yang dihadapi sekarang ini bukanlah
jasad kasar. Melainkan, jasad halus yang penuh dendam.
*** Panas meranggas alam. Debu-debu jalan berterbangan menerpa wajah, tak ubahnya bagaikan serpihan
besi panas menerpa kulit. Namun tak menghalangi langkah sebuah rombongan yang terdiri dari sepuluh orang laki-laki
gagah memegang tombak. Di belakang rombongan tampak sebuah tandu berwarna
keemasan. Digotong empat laki-laki berpakaian warna biru.
Di belakang tandu pun berjalan sekitar lima belas laki-laki ber-senjatakan
tombak pula. Rombongan itu dipimpin seorang laki-laki berkumis melintang dengan pakaian
merah. Selendang sutera warna
biru tampak menyampir di pundaknya.
Mereka terus melangkah tenang. Namun mendadak
saja Ielaki berselendang sutera biru berusia empat puluh lima tahun itu
mengangkat tangannya.
Seketika rombongan itu berhenti. Lelaki berkumis melintang memicingkan matanya.
Pendengarannya yang terlatih menangkap sesuatu yang menarik perhatian.
"Hmmm... orang iseng manakah yang berani
menghalangi rombongan Dewi Sutera! Aku Abirawa tak gentar menghadapinya...!"
serunya, tiba-tiba saja.
Di balik sebuah batu besar, ternyata tengah
bersembunyi Sepasang Tasbih Kepalan Batu dan Minanti.
"Busyet! Hebat juga tuh orang!" maki Tapa Srenggi.
Dalam mencari Pendekar Slebor. Sepasang Tasbih
Kepalan Batu dan Minanti tadi melihat rombongan itu.
Karena tidak ingin mencari masalah. Tapa Srenggi sengaja mengajak mereka untuk
hcrscmbunyi. Tetapi rupanya lelaki berselendang sutera biru itu tajam iuga
pendengarannya.
"Minanti! Kau jangan menongolkan wajahmu. Tubuhmu masih lemah. Biar kami yang menemuinya.
Karena, kami belum mcngetahui siapakah rombongan itu.
Dan berada dalam golongan mana mereka...," ujar Tapa Srenggi.
Minanti hanya mengangguk-angguk. Lalu bersama
adik kembarnya, Tapa Srenggi melesat keluar dengan sekali bersalto. Dan secara
bersamaan mereka mendarat di depan rombongan itu.
"Maafkan kami, yang ternyata telah mengganggu perjalananmu. Tak ada maksud apa-
apa dari kami. Karena.
kita tak saling kenal dan tak ada silang sengketa," ucap Tapa Srenggi, seraya
menjura. Rupanya. lelaki yang mcngaku bernama Abirawa
bukanlah orang mudah percaya. Kembali matanya
dipicingkan. "Terserah, apa yang kau katakan. Yang pasti, kau telah membuat rombongan yang
kupimpin ini berhenti!"
desis Abirawa. Rupanya Abirawa mcmpunyai sifat pemarah. Dan
Angling Srenggi melirik wajah kakak kembarnya yang seketika memerah. Kacau kalau
begini. Bila Tapa Srenggi tidak bisa mcnguasai amarahnya. bisa berarti
pertempuran. Padahal saat ini mereka hendak mencari Pendekar Slebor untuk
meminta bantuan. Karena nasib Ki Mahesa Luwing sudah berada di ujung tanduk.
Namun, rupanya T apa Srenggi pun merasa lebih baik menghindari pertempuran saja.
"Sekali lagi... maafkan kami.... Lebih baik, kami segera melanjutkan pcrjalanan
kembali." "Manusia sombong!" maki Abirawa. "Tanpa mem-perkenalkan diri, kalian sudah ingin
mengundurkan diri!"
Angling Srenggi melihat Tapa Srenggi menjura
kembali. Padahal dia yakin sekali kalau kakak kembarnya sudah berada dalam batas
kesabarannya. "Maaf.... Namaku, Tapa Srenggi. Dan ini adik kembarku. Namanya Angling Srenggi.
Kami dikenal sebagai Sepasang Tashih Kepalan Batu," ucap laki-laki botak
bertasbih emas.
Tiba-tiba Abirawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Rupanya kali ini aku bertemu murid-murid Pesanggrahan Utara.
Bagus! Dan kalian rupanya memang sengaja memancing keributan di sini!"
Mata Tapa Srenggi menyipit.
"Sekali lagi, maafkan kami," elak Angling Srenggi cepat, saat melihat gelagat
buruk. "Kami tak bermaksud mencari silang sengketa dengan kalian, lzinkan kami
melanjutkan perjalanan.
"Ha ha ha.... Sepasang Tasbih Kepalan Batu! Hari ini kalian berkenalan dengan
Abirawa yang berjuluk Pencabut Nyawa!
"Sungguh, berbahagia sekali dapat berkenalan
dengan si Pencabut Nyawa. Ah! Panas memang meranggas. Tak baik bila kita
meneruskan percakapan ini."
Abirawa yang ternyata berjuluk si Pencabut Nyawa menyeringai penuh kesombongan.
"Kalian kuberi kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, asalkan kalian
memberitahu di mana Pendekar Slebor berada"!" kata lelaki berkumis ini, dingin.
Angling Srenggi melirik kakak kembarnya yang juga sedang meliriknya. Otaknya
yang pintar tidak segera mcngatakan, kalau mereka pun sedang mencari Pendekar
Slebor. "Oh" Apakah yang kau maksudkan si pendekar sakti dari Lembah Kutukan?" tukas
Angling Srenggi, bernada heran."Tai kucing dikatakan sakti! Aku ingin mencoba
kcsaktiannya!" sentak Abirawa sambil meludah, penuh kesombongan.
Dalam waktu yang cepat saja, Sepasang Tasbih
Kepalan Batu itu bisa menebak maksud Abirawa.
Sementara, beberapa laki-laki yang berada di belakangnya, seperti siap menunggu
perintah. "Terus terang, kami tidak tahu keberadaan Pendear Sakti."
"Bangsat! Sekali lagi kau menyebutnya sakti, kucabut nyawamu saat ini juga!"
bentak si Pencabut Nyawa dengan sepasang mata lebar melotot nyalang.
Tapa Srenggi sudah mengepalkan tangannya dengan
rahang terkatup. Dia benar-benar hampir tak mampu lagi menguasai dirinya.
Tetapi, marahnya masih berusaha ditahan.
"Abirawa..., apa yang kami katakan ini benar. Kami tidak mengetahuinya.
Lagipula, kami tidak mempunyai kepentingan dengan Pendekar Slebor. Sehingga
tidak perlu mencarinya," katanya berbohong sambil menggertakkan giginya.
"Kalau begitu, kalian tak akan kuberikan kesempatan untuk meninggalkan tempat
ini!" desis si Pencabut Nyawa.
Dendam Empu Bharada 6 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Nyawa Kedua Dari Langit 3
^