Pencarian

Asmara Putri Racun 2

Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun Bagian 2


jelita, kenapa bisa begitu?"
"Sejak muda dia tinggal di Kerajaan Silu-
man milik Nyai Catur Asta. Di sana, dia tak ikut dalam putaran waktu."
"Kalau begitu, kita cari dia sekarang. Tapi, ke mana?" (Tentang Putri Racun,
silakan baca serial Pengemis Binal dalam episode : "Petaka Kerajaan Air").
Kening Pengemis Binal berkerut. Ketika se-
dang menggaruk kepalanya yang tak gatal, wajah
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini jadi tampak lucu dan bodoh.
"Seandainya ada Saka Purdianta atau si
Dewa Guntur, kita bisa minta pertolongan kepa-
danya...," ucap Suropati. "Pemuda itu mempunyai ilmu 'Pelacak Jejak'. Dia bisa
mendengar getaran tubuh seseorang dari jarak ribuan tombak."
"Dia tak bersama kita, Suro. Jangan berpi-
kir macam-macam. Saka Purdianta belum tentu
mau membantu. Kudengar, dia adalah musuh be-
sarmu. Dia sangat membencimu. Mana mungkin
dia mau memberi pertolongan."
"Itu dulu," sergah Pengemis Binal, cepat,
"Sejak ayah Saka Purdianta, Tumenggung Sangga Percona meninggal, dia telah
insyaf dan kukira dia telah menjadi orang baik-baik sekarang. Dia pernah
membantuku untuk menumpas pemberontakan I Halu Rakryan Subandira di Kerajaan
Pasir Luhur." (Baca serial Pengemis Binal dalam episode : "Pemberontakan
Subandira").
"Hmm.... Yah! Tapi, kita tak punya waktu
banyak. Sebaiknya kita cari Putri Racun secepatnya. Barangkali juga kita bisa
berjumpa dengan
Saka Purdianta, dan dia bersedia membantu."
"Itu gagasan bagus. Kita ke kota Kadipaten Tanah Loh sekarang," cetus Suropati
penuh keya-kinan. "Kenapa mesti ke sana?"
"Kupikir dia di sana. Kalau dia di kotapraja atau di kota Kadipaten Bumiraksa
atau tempat-tempat di sekitarnya, anak buahku pasti sudah
menemukannya."
Puspita mengangguk, lalu menggebah ku-
danya kuat-kuat Pengemis Binal berbuat serupa.
Kuda mereka pun melaju cepat. Hari sudah ham-
pir gelap ketika mereka memasuki pintu gerbang
kota Kadipaten Tanah Loh.
"Sudah lama kudengar arak merah Kedai
Melati tersohor harum dan nikmat. Tidakkah kita lebih baik mencoba satu-dua
cawan sambil melepas lelah, Puspita?" cetus Pengemis Binal sambil memperlambat
laju kudanya. Si Pedang Perak tak memberi tanda perse-
tujuan, tapi dia memperlambat juga laju kudanya.
Suropati menduga si gadis menyetujui ga-
gasannya. Maka, remaja tampan ini lalu meng-
hentikan kudanya di depan sebuah kedai besar
yang lebih pantas disebut rumah makan.
Ketika menambatkan kudanya, Suropati
melihat seekor kuda merah gagah-tegap dan ba-
gus sekali. Seluruh bulu tubuhnya berwarna me-
rah, termasuk keempat kakinya. Polos, tiada noda warna lain. Suropati
menambatkan kudanya di
samping kuda yang menarik perhatiannya itu.
Pengemis Binal memasuki kedai dengan
langkah tenang. Remaja tampan ini sama sekali
tak mempedulikan tatapan orang yang ditujukan
kepadanya. Pakaiannya yang penuh tambalan
tentu saja menarik perhatian orang. Tapi melihat Puspita yang berpakaian bagus
berjalan di si-sinya, orang-orang jadi tahu bila Suropati bukanlah orang
sembarangan. Suropati dan Puspita mengambil tempat
duduk di pojok utara yang kebetulan kosong. Sa-
tu tombak dari jendela, duduk seorang pemuda
tampan berpakaian ungu-hitam. Cara berpa-
kaiannya menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu
silat. Seorang diri dia minum araknya.
Suropati merasa heran melihat wajah pe-
muda yang tengah minum arak itu. Wajahnya
yang halus sepertinya hanya pantas dimiliki oleh seorang gadis. Gerak-geriknya
pun lemah-lembut.
Di sebelah timur pemuda itu, terpaut satu meja
kosong, duduk dua orang lelaki berwajah kasar.
Yang satu gemuk dan satunya lagi kurus. Asyik
sekali dua lelaki itu menenggak araknya. Dua po-ci besar berada di atas mejanya.
Agaknya mereka adalah jago-jago minum. Yang membuat Suropati
tertarik adalah sikap kedua lelaki berwajah kasar itu yang sering melirik si
pemuda tampan berpakaian ungu-hitam.
Pemuda tampan yang mirip wanita itu
agaknya sudah terlampau banyak minum. Sikap
duduknya sudah tak lagi tegak. Dilihat dari air mukanya, dia seperti sedang
bersusah hati. Terbukti dari kepalanya yang sebentar-sebentar di-
goyang-goyangkan dan tangannya yang mengepal-
ngepal. Beberapa kali terdengar suara ngorok dari dalam perutnya.
"Pemuda itu menyimpan beban batin berat,
sepertinya mempunyai urusan besar. Tapi, kena-
pa dia masih saja melanjutkan minumnya" Ti-
dakkah dia menyadari bila sedang diincar dua
orang jahat" Apakah dia benar-benar begitu to-
lol?" pikir Pengemis Binal.
Sementara, Puspita yang duduk di sisi Su-
ropati sama sekali tak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dia benar-benar
menikmati arak merah yang telah disajikan. Sebelum diangkat sebagai orang kepercayaan Prabu
Dewantara, Pus-
pita adalah seorang pendekar pedang yang suka
berpetualang. Jadi, soal minum arak, dia sudah
terbiasa walau dia seorang gadis.
Sementara itu, si gemuk di timur terdengar
berseru, "Hayo, Kawan, kau harus minum dua ratus cawan! Tidak boleh curang!"
Sang kawan yang bertubuh kurus mengge-
drukkan kaki ke lantai. "Kau sinting!" bentaknya.
"Kau sendiri belum habis sepuluh cawan, sudah mendesak aku untuk minum dua ratus
cawan!" "Bodoh! Tubuhmu kurus. Kau membutuh-
kan lebih banyak air agar tubuhmu lekas gemuk,
dan bisa jadi panas setiap kali minum. Untuk itu, paling sedikit kau harus minum
dua ratus cawan.
Tidak boleh kurang!"
"Kentut busuk! Kentut bau!" maki si kurus dengan hati tambah dongkol. "Tidak!
Aku tidak mau minum lagi. Cukuplah sampai di sini!"
"Eh! Tidak mau minum"! Kupaksa kau!"
ujar si gemuk seraya mengangkat salah satu poci arak untuk kemudian dituangkan
ke mulut temannya.
Si kurus mendengus gusar. Dia tampak
naik pitam. Dengan kasar ditepisnya tangan si
gemuk. Karena si gemuk memaksa, cairan arak
merah tumpah menyiram wajah dan pakaian si
kurus. "Keparat kau!" caci si kurus seraya menonjok wajah si gemuk, tapi
berhasil dikelitkan. Si gemuk terus memaksa, hingga bergumullah mereka. Seperti
disengaja, pergumulan mereka me-
nabrak meja pemuda tampan berpakaian ungu-
hitam. "Kurang ajar!" geram si pemuda seraya bangkit dari duduknya. Tanpa
disadari oleh pemuda ini, karena gerakannya tergesa-gesa, kan-
tung sulam yang terikat di pinggangnya jatuh ke lantai. Dan, dari dalam kantung
itu meloncat keluar beberapa keping uang emas.
Mendengar suara gemerincing jatuhnya
uang logam, si gemuk dan temannya menghenti-
kan pergumulan mereka. Mata kedua orang ini
terbeliak melihat beberapa keping uang emas berceceran di lantai. Namun sebelum
mereka berha- sil meraupnya, si pemuda tampan meloncat un-
tuk menghalangi niat buruk si gemuk dan te-
mannya. "Maling busuk! Kalian hendak merampas
uangku"!" bentak si pemuda tampan dengan tatapan garang menyimpan amarah.
Si gemuk dan temannya cepat bangkit. Ka-
rena ketahuan niat jahat mereka, wajah mereka
jadi bersemu merah menahan rasa malu.
"Siapa hendak merampas uangmu"!"
pungkir si gemuk.
"Jangan sembarang menuduh orang! Kuha-
jar kau nanti," ancam si kurus turut memungkiri niat jahatnya.
Menyaksikan ketiga orang ini ribut dan se-
perti hendak berkelahi, beberapa orang pengun-
jung kedai meninggalkan tempat duduknya untuk
melerai. Sementara, Suropati tertawa dalam hati melihat ulah si gemuk dan
temannya. Jelas sekali bila mereka bukanlah orang baik-baik. Mereka
sengaja bergumul hanya untuk menjatuhkan
kantung uang emas si pemuda tampan untuk di-
rampas. Hanya karena si pemuda tampan lebih
cepat bertindak, maksud mereka jadi tak kesam-
paian. Tanpa mempedulikan lagi si gemuk dan
temannya yang terus menatapnya dengan tajam,
si pemuda tampan memunguti uang emasnya
yang berceceran di lantai, lalu memasukkannya
kembali ke kantung sulam. Beberapa orang yang
semula hendak melerai kembali ke tempat duduk
masing-masing. Pengemis Binal yang seringkali berperilaku
konyol tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya.
"Kalian sudah sinting! Kenapa ribut-ribut dengan teman sendiri"!" bentaknya
seraya mendorong dada di gemuk dan temannya. Tanpa sepengeta-huan mereka,
Suropati meraba saku mereka dan
mengambil uangnya. Setelah itu, Suropati mendo-
rong dada mereka lebih keras, hingga mereka ja-
tuh ke lantai dan mengerang kesakitan.
"Bangsat kau!" hardik si gemuk. "Kenapa
mencampuri urusan orang"!"
"Sudah. Sudahlah! Kalianlah yang bersa-
lah. Kalian telah menubruk orang. Seharusnya
kalian minta maaf, bukannya malah marah-
marah seperti itu," ujar Suropati. "Lanjutkan saja minum kalian. Kalau masih
belum puas, minum-lah di rumah sampai jebol perut kalian!"
Merasakan dorongan keras Suropati, si
gemuk dan temannya tahu bila remaja berpa-
kaian penuh tambalan ini bukanlah orang semba-
rangan. Maka, mereka segera mengambil tempat
duduk lagi walau disertai gerutu panjang-pendek.
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
mengangkat cawannya ke arah Pengemis Binal.
"Saudara baik sekali. Mari minum bersama,"
ajaknya. Suaranya menyebarkan bau arak yang ke-
ras. "Terima kasih. Aku sudah punya teman,"
tolak Suropati sambil mengalihkan pandangan ke
Puspita yang tetap duduk tenang di kursinya.
"Ajaklah teman itu untuk turut minum
bersama," buru si pemuda tampan.
"Terima kasih. Aku menghargai ajakan
Saudara. Tapi, untuk kali ini aku tidak bisa menerimanya," tolak Suropati lagi.
Remaja tampan ini lalu kembali ke tempat duduknya semula. Si
pemuda tampan pun agaknya tak merasa tersing-
gung atas tolakan Suropati.
Sementara, si gemuk dan temannya duduk
dengan wajah ditekuk. Agaknya kedua orang ini
masih mendongkol. Mata mereka menatap si pe-
muda tampan dengan tajam. Si kurus bangkit da-
ri duduknya. Bukan untuk membuat perkara lagi,
melainkan berteriak memanggil pelayan. Seorang
pelayan setengah baya datang tergopoh-gopoh.
Pelayan setengah baya menyebutkan jum-
lah uang yang harus dibayar. Si kurus merogoh
saku bajunya. Namun, betapa terkejutnya lelaki
berwajah kasar ini. Dia tak dapat menemukan
uang yang tersimpan di dalam saku bajunya.
"Uangku...?" desis si kurus dengan mata jelalatan. Tangannya sibuk meraba-raba
saku baju dan celananya. Karena masih tak dapat menemu-
kan apa yang dicarinya, mata lelaki ini tambah jelalatan. "Uangku..."
Uangku...?" desisnya berulang kali.
"Kenapa dengan uangmu?" tanya si gemuk dengan air muka amat keruh.
"Uangku hilang!" beri tahu si kurus. Tubuh lelaki ini mendadak terkulai layu dan
jatuh ter-duduk di kursinya tanpa sadar.
"Keparat! Jangan kau tipu aku!" hardik si gemuk. "Kau ajak aku minum di sini,
bukankah kau yang bayar! Sekarang kau hendak bikin ulah.
Kau minta aku yang bayar, bukan"!"
Mendengar bentakan temannya, wajah si
kurus makin pucat-pasi saja, "Sungguh! Aku tidak bohong! Uangku benar-benar
hilang!" beri tahunya dengan penuh kesungguhan.
Usai berkata, si kurus mengedarkan pan-
dangan ke lantai kedai. Tentu saja dia tak akan
dapat menemukan uangnya di lantai karena si
konyol Suropati telah mengambilnya secara diam-
diam tadi. "Sungguhkah uangmu hilang?" tanya si
gemuk, mulai percaya pada keterangan teman-
nya. "Ya! Ya! Untuk apa aku berbohong!" tegas si kurus. "Kau bayarlah dulu. Aku
hutang kepadamu!" Si gemuk menyeringai seperti monyet menginjak tahi. Lelaki
bertubuh tambun ini tak me-
nemukan pula uangnya di saku bajunya. Untuk
beberapa saat, dia tak dapat membuka suara.
Hanya matanya yang melotot lebar.
"Celaka!" desis si gemuk akhirnya. "Ada apa?" tanya si kurus, tak mengerti.
"Uangku juga hilang!"
Pengemis Binal berusaha keras untuk da-
pat menahan tawanya ketika melihat si gemuk
dan si kurus celingukan ke sana kemari untuk
mencari uang mereka yang mereka pikir tentu terjatuh ke lantai. Sementara,
pelayan setengah
baya yang menunggu pembayaran jadi tak saba-
ran. "Cepatlah bayar! Tunggu apa lagi"! Masih banyak tugas yang harus
kukerjakan!" ujar si pelayan dengan nada keras.
Si kurus menatap wajah pelayan lekat-
lekat, lalu dilemparnya sebuah senyum. "Boleh-kah saya membayar lain kali saja?"
rayunya dengan raut wajah dibuat seperti tak berdosa.
Pelayan setengah baya mendengus. Tanpa
berkata apa-apa, lelaki ini lalu masuk ke ruang dalam. Hanya dalam beberapa
kejap mata, dia telah kembali bersama lelaki gendut berpakaian bagus yang tak


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain si pemilik kedai.
"Tuan, uang kami hilang. Kami harap Tuan
bisa mengerti. Kami akan membayar di lain wak-
tu...," pinta si kurus yang telah mengenali si pemilik kedai.
"Tidak! Kedai ini akan bangkrut bila aku
mengizinkan orang berhutang!" bentak pemilik kedai, garang sekali.
Pelayan setengah baya yang sudah merasa
tak senang pada si gemuk dan si kurus turut
angkat bicara. "Kedatangan kalian ke kedai ini apakah bukan sengaja untuk
membuat onar"!
Sudah minum sepuas-puasnya, malah berlagak
berkelahi sampai menubruk orang! Kalau bukan
hendak membuat onar, mau apa lagi"!"
"Jika kalian benar-benar tak punya uang,
buka semua baju kalian!" tambah pemilik kedai.
Kasar dan keras sekali perkataan pemilik
kedai. Melihat wajah si gemuk dan si kurus yang makin pucat-pasi, seluruh
pengunjung kedai jadi tertawa. Pengemis Binal pun tak kuasa lagi menahan
tawanya. Dia tertawa terkekeh-kekeh sam-
pai matanya berkaca-kaca. Puspita yang duduk di sampingnya turut tertawa pula.
Hanya pemuda tampan berpakaian ungu-hitam yang tak mem-
perlihatkan perubahan. Raut wajahnya tetap mu-
ram. "Memang mereka berdua hendak membuat
onar...!" beberapa orang turut bicara untuk mem-beratkan kesalahan si gemuk dan
si kurus. "Cepat buka baju kalian!" bentak pemilik kedai makin kasar dan keras.
Si gemuk dan si kurus saling pandang.
Terpaksa kedua lelaki berwajah kasar ini membu-
ka baju mereka.
Pemilik kedai mengamati sebentar dua po-
tong baju yang diberikan padanya. Lalu, dilihatnya dua poci besar di meja yang
semula ditempati si gemuk dan si kurus. Lelaki gendut ini kemudian
menggerendeng. "Kalian telah menghabiskan dua poci arak
merah yang paling baik. Dua potong baju saja belum cukup untuk membayarnya!"
ujar pemilik kedai. "Buka celana kalian!"
Selagi seluruh pengunjung kedai tertawa
bergelak mendengar ucapan pemilik kedai, si ge-
muk dan si kurus mendelikkan mata. Tubuh me-
reka kontan terasa lemas. Tanpa sengaja kedua
lelaki itu melihat Suropati yang tengah tertawa terbahak-bahak keras sekali.
"Keparat!" umpat si gemuk dalam hati. "Ketika bocah edan itu mendorong dadaku
tadi, dia tentu telah mengambil uangku. Hmmm.... Tunggu
pembalasanku!"
"Hei! Kenapa malah bengong"! Cepat buka
celana kalian!" bentak pemilik kedai.
Si gemuk menatap wajah pemilik kedai se-
bentar, lalu membuka celananya. Perbuatannya
segera diikuti oleh si kurus. Dengan menyimpan
rasa malu dan marah luar biasa, kedua lelaki ini berlari keluar kedai hanya
dengan mengenakan
cawat. Tawa riuh-rendah seluruh pengunjung ke-
dai mengiringi kepergian mereka.
Puas sekali hati Pengemis Binal berhasil
mempermainkan mereka. Begitu tawanya berhen-
ti, remaja konyol ini mengeringkan dua cawan
araknya. Ketika menoleh ke arah pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam, kening Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini berkerut.
Digaruk-garuknya kepalanya yang tak gatal
"Sudah pasti si gemuk dan temannya tadi
bukan orang baik-baik. Mendapat hinaan seperti
barusan, mereka tentu berniat untuk membalas.
Hmm..., Kemungkinan besar mereka akan kemba-
li dengan membawa banyak teman atau barang-
kali memanggil ketua mereka..." pikir Suropati.
"Jangan-jangan mereka menimpakan kesalahan pada pemuda tampan itu. Kasihan
sekali dia. Pemuda tampan itu tak tahu apa-apa. Sudah punya
masalah berat yang membuat wajahnya muram,
kini justru akan dibebani masalah lagi. Ini gara-gara ulahku! Bodoh sekali aku
ini!" Puspita terkejut ketika tiba-tiba Pengemis
Binal menggaplok kepalanya sendiri.
"Eh, kau kenapa, Suro?" tanyanya, heran.
"Emmm... Ah! Tak apa-apa. Hanya ada la-
lat yang hinggap di kepalaku," jawab Suropati se-kenanya sambil cengar-cengir.
Karena merasa kasihan pada pemuda ber-
pakaian ungu-hitam, Suropati berniat mengajak-
nya untuk cepat-cepat meninggalkan kedai. Na-
mun sebelum remaja konyol ini bangkit dari tem-
pat duduknya, di depan kedai terdengar suara ribut-ribut. Disusul kemudian,
belasan lelaki yang wajahnya rata-rata bengis serta bertubuh tinggi-besar, masuk
ke kedai menimbulkan suara derap
keras karena langkah mereka sengaja diperberat.
4 Di antara belasan orang kasar itu terlihat si
gemuk dan si kurus yang telah berpakaian leng-
kap kembali. Wajah kedua orang yang bam saja
dipermainkan Pengemis Binal itu terlihat tegang dan menampakkan sebuah ancaman
kematian. Begitu melihat Suropati masih duduk di tempat-
nya, si gemuk menggembor seraya menuding.
"Itulah bocah edan itu!"
Lima orang lelaki menghampiri Pengemis
Binal serempak. Sedang yang lainnya, mengikuti
si kurus yang menghampiri pemuda tampan ber-
pakaian ungu-hitam.
Dengan datangnya belasan lelaki bertam-
pang bengis itu, pengunjung kedai jadi panik.
Yang bernyali kecil segera membayar sejumlah
uang sebagai pengganti arak yang telah diminum, lalu beranjak pergi dengan
tergopoh-gopoh.
Si gemuk yang air mukanya masih keruh
dan tampak mendongkol sekali, tanpa berkata
apa-apa langsung melayangkan telapak tangan
kanannya untuk menampar Pengemis Binal. Tapi
sebelum tangannya yang besar dan berbulu lebat
mengenai sasaran, dia menjerit kesakitan dengan bola mata melotot lebar!
"Auw...! Aduh...!"
Di tengah jerit kesakitan si gemuk, terden-
gar suara berdebam. Tubuhnya yang hampir se-
besar kerbau terbanting ke lantai dengan amat
kerasnya. Beberapa pengunjung kedai yang masih
berada di tempatnya tertawa geli melihat si gemuk yang menggelepar-gelepar
berusaha bangun, tapi
mendapat kesulitan karena dia jatuh dengan pe-
rut di bawah. Ketika berhasil bangun, terlihat
mulutnya berdarah. Empat buah giginya telah
tanggal karena membentur lantai yang keras.
Puspita atau si Pedang Perak cuma terse-
nyum-senyum saja. Gadis cantik ini dapat meli-
hat bagaimana Pengemis Binal menelikung perge-
langan tangan si gemuk, lalu menghempaskannya
ke lantai. "Kubunuh kau! Kubunuh kau!" ancam si
gemuk seraya mencabut golok yang disandangnya
di pinggang. Pengemis Binal tersenyum kecil walau re-
maja konyol ini melihat bahaya mengancam ji-
wanya. Timbul suara berdesing ketika golok si
gemuk berkelebat. Namun sebelum kepala Pen-
gemis Binal terpenggal, tubuhnya yang besar ja-
tuh ke lantai lagi. Kali ini terdengar berdebam lebih keras. Orang-orang yang
menyaksikan peris-
tiwa ini terkejut bukan main. Apalagi si gemuk
sudah tak bangun-bangun lagi. Dia pingsan.
Agaknya ketika sambaran golok hampir mengenai
sasaran, Pengemis Binal berhasil menendang pe-
rut si gemuk, hingga dia jatuh telentang. Karena kepalanya membentur lantai
cukup keras, kesa-darannya jadi hilang.
"Kita bunuh dia! Kita bunuh dia!" teriak teman-teman si gemuk seraya mencabut
golok masing-masing. Si kurus dan beberapa temannya
yang semula menghampiri pemuda tampan ber-
pakaian ungu-hitam pun turut mengepung Suro-
pati. Melihat gelagat kurang baik yang kemung-
kinan besar akan terjadi pertumpahan darah, pa-
ra pengunjung kedai yang tertinggal kontan me-
nyingkir. Tidak terkecuali para pelayan dan pemilik kedai. Sementara, si kurus
yang digeluti amarah luar biasa melihat temannya telah tergeletak tak berdaya
segera memberi aba-aba kepada teman-temannya.
"Cincang tubuhnya!"
Tapi sebelum Pengemis Binal benar-benar
dihujani sambaran golok, terdengar teriakan lantang. "Hentikan...!"
Suara bentakan itu amat keras dan berwi-
bawa, terlebih lagi dialiri tenaga dalam. Hingga, orang-orang yang mendengarnya
jadi terpaku di
tempatnya tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
Hebatnya, beberapa golok yang sudah dibabatkan
pun tampak berhenti di udara.
Suropati dan Puspita melihat kehadiran
seorang lelaki tua bertubuh tinggi-besar. Dia berdiri berkacak pinggang di pintu
kedai. Wajah kakek itu penuh bulu kasar. Begitu juga dengan kulit tubuhnya. Dahi
dan kedua pipinya terdapat
banyak sekali luka goresan senjata tajam. Ram-
butnya yang panjang dikuncir jadi dua. Pakaian-
nya yang mirip jubah berwarna kuning tampak
kotor sekali. Dia adalah Prajna Singh!
"Pergi kalian semua!" usir kakek yang berasal dari India itu.
Belasan lelaki kasar yang agaknya telah
mengenal siapa Prajna Singh tampak terkejut se-
kali. Tanpa pikir panjang lagi mereka segera keluar kedai. Tubuh si gemuk yang
belum sadar da-
ri pingsannya mereka seret beramai-ramai.
"Ya! Ya! Keluarlah kalian semua!" pemuda tampan berpakaian ungu-hitam turut
angkat bicara diselingi tawa terkekeh-kekeh. Bola matanya membesar dan kedua
tangannya tiada henti
menggebah-gebah seperti sedang mengusir ayam.
"Hayo! Cepat keluar semua! Keluar!" tambahnya tanpa mempedulikan beberapa lelaki
kasar masih sempat menatap tajam ke arahnya dengan penuh
ancaman. Prajna Singh menatap sebentar ke wajah si
pemuda tampan. Tahu dia sedang mabuk, kakek
bermuka buruk mengalihkan pandangan. Dita-
tapnya Pengemis Binal dan Puspita yang duduk
berdampingan. Tapi, agaknya dia tak bercuriga
apa-apa. "Mana pemilik kedai ini"!" teriak Prajna Singh dengan suara keras seperti
guntur. "Ya... ya... ya...," terdengar suara si gendut pemilik kedai yang muncul tiba-
tiba dari bawah
meja. Tubuhnya gemetar dan dibanjiri keringat
dingin. Agaknya lelaki ini terserang rasa takut yang sangat. "Maaf... maaf,
Tuan.... Aduh...!"
Ucapan pemilik kedai dihentikan oleh jerit
kesakitannya sendiri. Tanpa tahu apa yang terja-di, dia merasa tubuhnya limbung
ke kanan dan jatuh berdebam di lantai. Prajna Singh telah me-namparnya. Untung tamparannya
hanya meng- gunakan tenaga luar, hingga kepala pemilik kedai tidak sampai pecah.
Mendadak, dari ruang dalam muncul pe-
layan setengah baya dengan pisau pemotong dag-
ing di tangan. Dia meloncat kencang sekali hen-
dak membacok dada Prajna Singh. Tapi....
Creppp...! "Wuahhh...!"
Cepat sekali gerakan Prajna Singh. Tahu-
tahu kelima jari tangannya telah menancap di batok kepala si pelayan. Saat
Prajna Singh meng-
gembor, tiba-tiba tubuh si pelayan terangkat naik dalam keadaan tegak lurus
dengan kaki terjulur
ke atas. Satu kejap mata kemudian, tubuh si pe-
layan telah terkulai layu menjadi selembar kulit tanpa daging dan tulang!
"Ha ha ha...! Kerbau dungu! Kenapa kau
hendak membokong Prajna Singh, hah"! Kau ra-
sakan sekarang ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'-
ku. Ha ha ha...!"
Betapa terperanjatnya Suropati dan Puspi-
ta menyaksikan kehebatan kakek tinggi-besar ini.
Bagaimana mungkin tubuh manusia yang meng-
gumpal besar terdiri dari daging, tulang, darah, dan lain sebagainya bisa diubah
jadi selembar kulit tipis bagai lembaran kertas saja layaknya" Pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam yang ten-
gah mabuk pun tak kalah terperanjatnya. Dia
sampai menjomblak bangkit dari duduknya den-
gan mulut terbuka lebar.
"Kau telah mempermainkan dua anak bua-
hku, Keparat! Agaknya kau pun harus merasakan
ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'!"
Di ujung kalimatnya, Prajna Singh meng-
hampiri pemilik kedai yang masih merintih kesa-
kitan di lantai sambil mendekap pipinya yang merah matang. Mulutnya terlihat
berlelehan darah
segar. Dapat dipastikan tidak kurang lima giginya telah tanggal.
Sebelum Prajna Singh melakukan pembu-
nuhan lagi, cepat Pengemis Binal meloncat untuk menghadang langkah Prajna Singh.
"Tahan...!" sergah Pengemis Binal. "Bukan dia yang bersalah. Akulah yang
mempermainkan anak buahmu!"
Prajna Singh menatap tajam seraut wajah
tampan di hadapannya. Namun, kepalanya segera
menggeleng-geleng. "Bukan... bukan kau. Pemilik kedai itulah yang telah
menelanjangi anak buahku!"
"Bukan dia! Juga bukan pemilik kedai. Ta-
pi, akulah orangnya. Aku yang menelanjangi anak buahmu tadi...!"
Pengemis Binal terkesiap. Pemuda tampan


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian ungu-hitam tiba-tiba meloncat dan
mendarat di depan Prajna Singh, membelakangi
Pengemis Binal. Suropati mengerutkan kening.
Walau remaja konyol itu telah menduga bila si
pemuda tampan memiliki ilmu silat, tapi melihat loncatannya yang gesit tadi, dia
sempat terkagum dalam hati. Apalagi gerakan itu dilakukan dalam keadaan mabuk.
"Persetan! Minggir kau!" usir Prajna Singh seraya menghantam dada si pemuda
tampan. Namun, pemuda yang masih dipengaruhi minu-
man keras ini dapat bergerak gesit. Tubuhnya
melenting ke kiri, hingga hantaman Prajna Singh hanya mengenai tempat kosong.
Prajna Singh mendengus gusar. Karena
penasaran, dia majukan tubuhnya selangkah. La-
lu, tangan kirinya berkelebat hendak mengulang
hantamannya yang gagal. Selagi pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam melangkah mundur, tan-
gan kanan Prajna Singh bergerak dua kali lebih
cepat dari kelebatan tangan kirinya. Pengemis Binal yang melihat gerak tipu ini
jadi terkesiap melihat jemari tangan Prajna Singh yang besar-besar berbulu
hendak mencengkeram batok kepala si
pemuda. Pengemis Binal tak dapat membayang-
kan bagaimana akibatnya bila si pemuda menjadi
korban ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'. Namun,
kekhawatiran Pengemis Binal sebenarnya tak per-
lu karena si pemuda walau tengah mabuk tapi
masih dapat membaca tipuan lawan. Bahkan....
Bukkk...! "Hekkk...!"
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
merundukkan tubuhnya untuk menghindari
cengkeraman jemari tangan kanan Prajna Singh.
Lalu, dengan kecepatan luar biasa dia berhasil
menyarangkan tendangan ke perut kakek tinggi
besar itu. Prajna Singh mengumpat panjang-pendek.
Bola matanya melotot besar seperti hendak keluar dari rongganya. Kakek ini
seperti tak percaya pa-da apa yang baru terjadi. Bagaimana mungkin
seorang pemuda mabuk bisa menendang perut-
nya sampai dia tersurut tiga tindak ke belakang"
"Haram jadah!" umpat Prajna Singh. Beberapa saat lamanya kakek ini masih
menggerutu panjang-pendek. Tiba-tiba dia teringat pengala-
mannya tempo hari di gua tempat tinggalnya di
mana ada seorang pemuda mampu menghancur-
kan senjata cambuk tulangnya.
"Kupikir aku telah berhasil melipatganda-
kan ilmu kepandaianku. Tapi, kenapa banyak to-
koh muda yang membuat diriku merasa lemah"
Apakah di rimba persilatan telah bermunculan
tokoh-tokoh muda yang amat sakti?" kata hati Prajna Singh.
Mendadak, lima orang lelaki berpakaian
serba putih dan menyandang pedang di punggung
masuk ke kedai. Wajah mereka sama-sama halus.
Anehnya, walau umur mereka belum genap tiga
puluh tahun, tapi alis mereka telah memutih. Salah seorang dari mereka langsung
berseru dan menuding ke arah pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam. "Itu dia pembunuh itu!" Mendengar tuduhan itu, wajah si pemuda
kontan memucat Namun, cepat pemuda ini membentak lantang.
"Siapa yang kau tuduh membunuh"!"
"Hei! Kau jangan mungkir!" sergah lelaki yang bam saja melempar tuduhan. "Kawan-
kawan, bukankah dia juga yang merampok se-
kantung uang emas Danang Burgundi?"
Tanpa menunggu tanggapan dari keempat
temannya, lelaki yang sebenarnya adalah Ketua
Partai Alis Putih ini merangsek dengan pedang
terhunus. Sementara, pemuda tampan berpa-
kaian ungu-hitam mendengus. Dengan gerakan
sedikit sempoyongan, dia melompat ke pintu. Ge-
rakan yang dilakukan ini cepat sekali, hingga tubuhnya laksana dapat lenyap.
Lelaki yang sedang menyerangnya pun terperangah karena sasaran
tusukan pedangnya telah lenyap mendadak. Satu
kejap mata kemudian, terdengar ringkik kuda
panjang sekali yang disusul derap kaki kuda yang dipacu amat cepat
Pengemis Binal yang merasa penasaran
pada si pemuda cepat memberi isyarat kepada
Puspita. Kedua muda-mudi ini meloncat keluar
kedai hampir bersamaan. Di depan kedai, Penge-
mis Binal tak melihat lagi kuda merah gagah dan
bagus yang tadi dilihatnya sebelum memasuki
kedai. Rupanya kuda itu milik pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam yang kini telah digunakan untuk melarikan diri.
"Kita kejar pemuda itu, Puspita!" ajak Suropati seraya meloncat ke punggung
kuda. Tanpa berkata apa-apa Puspita menuruti
ajakan Suropati. Gadis ini turut meloncat ke
punggung kudanya. Lalu, memacunya dengan ce-
pat, menyusul kuda Suropati yang lebih dulu me-
lesat *** Pemuda yang wajahnya masih tampak mu-
ram ini terus memacu kudanya bagai orang kese-
tanan. Lari kuda yang sudah cepat, dia rasa ma-
sih kurang cepat Pantat kuda dipukulinya berka-
li-kali. Hingga, kuda gagah berbulu merah indah itu meringkik-ringkik terus di
sepanjang jalan.
"Cepatlah...! Cepatlah...!" teriak si pemuda, menyimpan kekhawatiran yang
sangat. Gelap sudah menyelimuti bumi tatkala ku-
da si pemuda menginjakkan kaki di tepi gurun
kecil yang orang Kadipaten Tanah Loh menyebut-
nya Gurun Angkara.
Cahaya rembulan yang dalam bulatan pe-
nuh menyiram permukaan pasir dengan bebas-
nya. Walau malam telah tiba, tapi pandangan ma-
ta masih dapat melihat sampai puluhan tombak
ke depan. Karena, gelap tak begitu berkuasa.
Kuda merah yang ditunggangi pemuda
berpakaian ungu-hitam ini tak mampu berlari
kencang lagi. Selain harus melewati permukaan
pasir yang tentu saja menyulitkan langkah kaki, tenaganya juga sudah terkuras.
Namun, si pemuda seperti tak mau tahu akan hal ini. Dia meng-
gebah-gebah kudanya terus.
"Hei! Tunggu!"
Terkejut si pemuda mendengar teriakan
yang ditujukan kepada dirinya. Kepalanya kontan menoleh ke belakang. Jadi lega
hatinya setelah
tahu orang yang memanggilnya tak lain dari re-
maja tampan berpakaian penuh tambalan yang
dijumpainya di Kedai Melati. Walau samar-samar, tapi si pemuda masih bisa
mengenalinya. Remaja
tampan itu adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Dia memacu kudanya cepat sekali. Beberapa
tombak di belakangnya, tampak Puspita juga
memacu kudanya tak kalah cepat
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
menghentikan langkah kudanya. Dan, sengaja
menunggu. Setelah kuda Suropati dan Puspita
berhenti di hadapannya, pemuda yang memakai
ikat kepala merah ini berseru, "Aku sudah menduga bila kau akan menyusulku,
Suro!" "Kau mengenalku?" kejut Pengemis Binal sambil menenangkan kudanya yang
menghentak-hentakkan kaki ke permukaan pasir.
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
tersenyum manis. "Kenapa tidak" Aku mengenal-mu dengan baik, Suro. Bukankah kau
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti" Putra Raja
Pasir Luhur yang bernama Prabu Singgalang
Manjunjung Langit!"
Keterkejutan Pengemis Binal berlipat dua
mendengar tebakan si pemuda yang sangat jitu.
Bagaimana pemuda itu bisa tahu bila dirinya adalah putra seorang raja" Padahal
remaja konyol ini tak pernah mengatakan kepada siapa pun, dan
hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu tentang jati dirinya yang
sebenarnya. "Kau siapa?" tanya Pengemis Binal dengan penuh kesungguhan. Suaranya terdengar
setengah membentak.
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
tersenyum lagi. "Ingatkah kau pada orang yang pernah membersihkan darahmu dari
pengaruh racun ganas yang membuat seluruh ilmu kesak-
tianmu hilang?"
"Kusuma?" kejut Suropati bagai disambar petir. Bukan matanya saja yang mendelik,
mulutnya juga ternganga lebar untuk beberapa saat.
Setelah otaknya dapat bekerja normal kembali,
remaja konyol ini menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal.
"Kenapa kau, Suro" Kau kemasukan setan
di mana?" goda si pemuda tampan yang merasa geli melihat sikap Suropati.
"Benarkah kau Kusuma yang bergelar Putri
Racun?" desis Pengemis Binal seraya menajamkan pandangan, menatap wajah si
pemuda lekat- lekat Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
melepas ikatan kepalanya. Rambut yang tersem-
bunyi di balik kain ikat kepala langsung tergerai panjang ke punggung. Tampak
kemudian, seraut
wajah cantik bulat-telur milik Kusuma alias Putri Racun. Gadis ahli racun yang
tengah menyamar
ini tak menampakkan lagi rasa gelisahnya seperti yang tadi ditunjukkan ketika
memacu kuda dengan kencang.
Pengaruh minuman keras juga hilang. Se-
pertinya ketika mabuk di kedai dia hanya berpu-
ra-pura. Suropati yang merasa tertipu penglihatan-
nya tampak tertawa terkekeh-kekeh. "He he he....
Mungkin mataku ini sudah lamur. Atau, otakku
memang amat bebal, hingga begitu mudah melu-
pakan ciri-ciri orang...."
Di ujung kalimatnya, Pengemis Binal
menggaplok kepalanya sendiri. Puspita yang du-
duk di punggung kuda di sisi kirinya menatap
dengan kening berkerut. Gadis ini sering merasa heran melihat perbuatan Suropati
yang kadang-kadang seperti orang gila. Namun, dia cepat me-
maklumi kekonyolan Pengemis Binal.
"Apakah dia yang disebut Putri Racun, Su-
ro?" tanya Puspita.
"Ya. Dialah Putri Racun itu," beri tahu Suropati. Matanya tak lepas menatap
seraut wajah cantik milik Kusuma yang baru saja melakukan
penyamaran. "Kalau begitu, ajaklah dia segera ke Penda-
pa Kadipaten Bumiraksa, Suro. Arya Wirapaksi
harus segera diselamatkan!"
Pengemis Binal menatap wajah si Pedang
Perak sebentar, lalu dilemparkannya senyum ma-
nis ke arah Kusuma. "Aku sungguh tak menduga bila pemuda tampan yang air mukanya
menunjukkan kesedihan itu adalah kau, Kusuma...,"
ujarnya. Seperti diingatkan akan sebuah peristiwa
yang amat memilukan, tiba-tiba mengelam paras
Kusuma. Untuk beberapa saat gadis yang baru
saja melakukan penyamaran ini tertunduk dalam.
"Eh, kau kenapa, Kusuma?" tanya Pengemis Binal, heran.
Putri Racun tak memberi jawaban. Diten-
gadahkan wajahnya untuk menatap bulatan rem-
bulan yang bercahaya kuning keemasan. Penge-
mis Binal tercekat. Dia sempat melihat kesedihan dan sorot mata Putri Racun yang
redup. Air muka keruh yang ditampakkan di kedai terlihat lagi.
"Kau tentu punya masalah berat, Kusu-
ma...," tebak Pengemis Binal. "Apakah itu ada hubungannya dengan tuduhan lima
orang lelaki berpakaian serba putih tadi?"
Putri Racun melompat dari punggung ku-
da. Dituntunnya kuda merah itu untuk keluar la-
gi dari Gurun Angkara. Suropati dan Puspita yang tersentuh perasaannya berbuat
serupa. Mereka bertiga berjalan beriringan. Tiga kuda mereka
tampak lebih tenang karena sudah tidak ada lagi beban di punggung.
"Sebetulnya kedatanganku ke kota Kadipa-
ten Tanah Loh memang sengaja untuk mencari-
mu, Kusuma," beri tahu Suropati. "Kau tentu sudah mendengar nama Arya Wirapaksi.
Putra mahkota Prabu Arya Dewantara itu berhasil men-
guasai ilmu kesaktian dahsyat. Sayang, dia tak
mampu lagi berpikir waras karena otaknya telah
tercampuri racun. Dalam waktu empat hari ini,
bila tak segera ditolong, nyawanya akan me-
layang. Kukira hanya kau yang mampu menyem-
buhkannya, Kusuma. Kakek Wajah Merah pun
tak dapat berbuat banyak."
"Benar. Kau harus menolong Arya Wira-
paksi, Kusuma," tegas Puspita. "Arya Wirapaksi adalah harapan seluruh rakyat
Anggarapura. Kita berangkat ke Pendapa Kadipaten Bumiraksa sekarang."
"Tidak perlu tergesa-gesa, Puspita," cegah Suropati, berbisik di dekat telinga
si Pedang Perak. "Tidakkah kau tahu Putri Racun sedang menghadapi masalah berat"
Lihatlah wajah mu-rung itu."
Puspita mengangguk. Tampaknya gadis ini
bisa mengerti keadaan. Sementara, Suropati
mengajak Kusuma untuk duduk di batang pohon
besar yang telah tumbang, belasan tombak dari
pinggir Gurun Angkara.
"Ceritakan apa yang terjadi, Kusuma. Aku
sahabatmu. Aku pasti akan membantu meme-
cahkan masalahmu. Aku pernah berhutang nya-
wa padamu," ujar Pengemis Binal, menawarkan
jasa. Kusuma menatap wajah Suropati sebentar,
lalu gadis ini mulai bercerita. "Sepekan yang lalu, ketika aku hendak memasuki
kota Kadipaten Tanah Loh, aku berjumpa dengan gerombolan pe-
rampok yang merupakan anggota dari Partai Alis


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih. Mereka dipimpin langsung oleh ketuanya
yang bernama Gayat Ngalim. Mereka merampas
sekantung uang emas milik punggawa kadipaten,
yang kemudian diketahui bernama Danang Bur-
gundi. Karena Danang Burgundi hanyalah seo-
rang punggawa bertubuh tambun yang tak sebe-
rapa memiliki kepandaian bela diri, dia mesti merelakan hartanya dirampas oleh
orang-orang Par-
tai Alis Putih. Aku saksikan dengan mata kepala sendiri kesaktian Gayat Ngalim.
Dia menakut-nakuti Danang Burgundi dengan memotong per-
gelangan tangannya sendiri lalu menyambungnya
kembali tanpa meninggalkan bekas luka sedikit
pun. Aku membatalkan niat untuk menolong Da-
nang Burgundi karena kupikir punggawa itu tak
dilukai atau disiksa. Lagi pula, aku penasaran
melihat kesaktian Gayat Ngalim yang diperguna-
kan di jalan sesat. Aku bermaksud menakluk-
kannya di sarangnya sendiri dengan disaksikan
seluruh anak buahnya. Agar bisa dijadikan pela-
jaran bagi mereka untuk menghentikan perbua-
tan jahat mereka selamanya. Tapi...."
Putri Racun menghela napas panjang. Ga-
dis ini seakan-akan ingin mengeluarkan seluruh
beban batinnya lewat udara yang keluar deras da-
ri lubang hidungnya.
"Ketika aku datangi sarang Partai Alis Pu-
tih, tak seorang pun yang kujumpai. Di sebuah
ruang lebar seperti tempat pemujaan, tergeletak di atas altar kantung sulam
berisi uang emas milik Danang Burgundi. Kantung itu segera kuambil untuk
kuserahkan kembali kepada pemiliknya.
Sekeluar dari sarang Partai Alis Putih yang cukup jauh dari kota Kadipaten Tanah
Loh, aku melihat kuda merah tengah merumput. Aku mengenali
kuda itu sebagai milik Danang Burgundi ketika
dia tengah dirampok orang-orang Partai Alis Pu-
tih. Aku naiki kuda itu, dan memacunya ke kota
Kadipaten Tanah Loh. Kupikir aku bisa mengem-
balikan uang emas dan kuda merah kepada pemi-
liknya. Namun di tengah jalan aku berpapasan
dengan beberapa orang anak buah Gayat Ngalim.
Mereka langsung meneriakiku, sebagai pencuri.
Karena aku tak mau berurusan dengan cecunguk
yang tak tahu apa-apa, aku memacu kuda terus.
Tapi, apa yang terjadi sungguh membuatku terke-
jut dan menjadi khawatir bercampur sedih. Ba-
nyak punggawa kadipaten berkumpul di rumah
Danang Burgundi. Mereka datang melayat Da-
nang Burgundi yang ternyata telah mati! Melihat aku naik kuda merah dan membawa
kantung uang, emas Danang Burgundi, orang-orang lang-
sung menjatuhkan tuduhan kepadaku. Aku beru-
saha menjelaskan, tapi tak seorang pun percaya.
Karena, orang-orang Partai Alis Putih yang ba-
nyak melayat di tempat itu semua menyatakan
bahwa akulah yang merampok Danang Burgundi
dan kemudian membunuhnya."
"Lalu karena kau dikejar-kejar prajurit kadipaten, kau melakukan penyamaran,
begitu?" se-la Pengemis Binal.
"Ya. Tapi, aku tak mau meninggalkan kota
karena aku mesti membersihkan nama baikku.
Dan, kupikir semua ini pasti didalangi oleh Gayat Ngalim."
"Apakah kau pernah bentrok dengan Ketua
Partai Alis Putih itu sebelumnya?" Puspita turut bertanya.
Putri Racun tak segera menjawab. Melihat
Suropati dan Puspita menunjukkan keinginta-
huannya, gadis ini melanjutkan bicaranya juga.
"Beberapa kali aku bertatap muka dengan Gayat Ngalim. Dia ingin memperistri
diriku. Tapi, aku menolak karena...."
"Karena apa?" buru Pengemis Binal yang melihat perubah air muka Putri Racun yang
makin keruh. "Aku telah mempunyai kekasih," jawab Putri Racun, lirih sekali.
Pengemis Binal menatap lekat wajah Ku-
suma. Yang ditatap segera menunduk, Pengemis
Binal jadi maklum. Walau usia Kusuma telah le-
bih dari satu abad, tapi jiwa dan raganya masih muda. Wajar bila dia terlibat
jalinan asmara dengan seorang pemuda.
"Siapa kekasihmu itu?" tanya Suropati, ingin tahu.
"Ah! Aku tak bisa memberitahukannya, Su-
ro...," tolak Putri Racun dengan wajah bersemu merah. "Eh, kau belum mengenalkan
temanmu ini, Suro...," ujarnya kemudian sambil menunjuk Puspita yang duduk di sisi kiri
Pengemis Binal.
"Namanya Puspita dan bergelar si Pedang
Perak," beri tahu Pengemis Binal. "Temanku ini sekarang sedang mengemban tugas
dari Prabu Arya Dewantara untuk mencari Arya Wirapaksi.
Aku sudah memberi tahu bahwa putra mahkota
itu berada di Pendapa Kadipaten Bumiraksa da-
lam perawatan Kakek Wajah Merah. Kau harus
mengeluarkan racun yang bersarang di otaknya,
Kusuma. Secepatnya!"
"Ya. Ya, aku pasti menolongnya kalau aku
mampu. Tapi, tahukah kau, Suro, bila hatiku be-
nar-benar sedih hari ini...."
"Jangan khawatir, Kusuma. Aku akan
membantu membersihkan nama baikmu. Akan
kupaksa Gayat Ngalim untuk mengakui perbua-
tan culasnya di depan para punggawa Kadipaten
Tanah Loh," janji Pengemis Binal dengan penuh kesungguhan.
"Sebenarnya bukan itu yang membuat aku
jadi sebegini sedih, Suro...," desah Kusuma.
"Lalu apa?"
"Kekasihku pergi entah ke mana. Di saat-
saat seperti ini sebenarnya aku sangat merindu-
kan kehadirannya. Terlebih lagi, mengharapkan
bantuannya...."
Suropati mengambil napas panjang melihat
mata Putri Racun mulai berkaca-kaca.
"Aku turut merasakan kesedihanmu, Ku-
suma...," ujar Suropati dengan desah berat. "Aku bisa merasakan bagaimana
kesedihan sepasang
kekasih yang saling mencintai tiba-tiba harus
berpisah dan tak tahu kapan bisa berjumpa la-
gi...." Putri Racun menyeka air matanya dengan ujung lengan bajunya. Sementara,
Puspita tampaknya juga terbawa dalam rasa sedih. Pendekar
Pedang Perak ini sebenarnya menaruh hati pada
Suropati sejak pertemuannya di sarang Perkum-
pulan Bidadari Lentera Merah. Tapi, dia tahu cintanya tak mungkin terbalaskan
karena Suropati
telah menaruh hati pada gadis lain. Teringat akan perjalanan cintanya yang juga
menyedihkan, Puspita menundukkan kepala. Diam-diam gadis ini
juga meneteskan air mata.
"Kita ke Pendapa Kadipaten Bumiraksa se-
karang. Nyawa Arya Wirapaksi harus segera dis-
elamatkan," cetus Suropati tiba-tiba. "Setelah itu, kita kembali ke kota
Kadipaten Tanah Loh. Kalau memang Gayat Ngalim adalah lelaki culas, kita
pasti akan dapat membuka kedoknya. Aku ber-
janji untuk membantu kesulitanmu, Kusuma...."
"Terima kasih, Suro...," ujar Putri Racun, perlahan sekali.
"Tapi, kita belum membayar minuman di
Kedai Melati...," sahut Suropati sambil menggaruk kepalanya.
"Sebelum pergi tadi, aku meletakkan se-
jumlah uang. Kupikir, itu sudah cukup untuk
membayar minuman kita bertiga," beri tahu Puspita. Suropati tersenyum. "Kalau
begitu, kita memang harus berangkat sekarang!" ujarnya seraya menggamit lengan
Kusuma dan Puspita.
5 Suropati, Puspita, dan Kusuma memacu
kuda dengan cepat agar segera sampai di Pendapa Kadipaten Bumiraksa. Perjalanan
mereka tak sedikit pun mendapat kesulitan. Gelap malam tak
sampai membutakan mata. Karena, rembulan di
langit bercahaya cukup terang, menyiram bumi
walau hanya dalam temaram.
"Awasss...!" seru Pengemis Binal tiba-tiba.
Cepat Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini mengekang kendali kuda. Begitu kuda yang ditungganginya
meringkik panjang seraya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, dan
melentingkan tubuhnya dengan kedua pergelan-
gan tangan terjulur lurus ke depan!
Blarrr...! Timbul ledakan dahsyat tatkala kedua te-
lapak tangan Suropati bertumbukan dengan
bongkahan batu sebesar kerbau yang meluncur
deras dari arah depan. Laksana terhantam petir, batu itu hancur berkeping-
keping. Pecahannya
semburat ke berbagai penjuru menimbulkan letu-
pan-letupan kecil saat menimpa permukaan ta-
nah. "Setan alas! Haram jadah!" umpat seorang kakek berjubah kuning kotor yang
berdiri tegak di tengah jalan, kira-kira dua puluh tombak jarak-nya dari hadapan
Pengemis Binal yang telah
mendaratkan kakinya di tanah.
"Hmm.... Kiranya kau yang telah melem-
parkan batu tadi...," tebak Pengemis Binal dengan tatapan tajam. "Tenagamu
sungguh besar, Kek.
Sayang sekali kau gunakan untuk mengganggu
orang. Apakah tidak lebih baik tenagamu yang
besar itu kau manfaatkan dengan bekerja sebagai buruh angkat barang?"
Kakek tinggi-besar yang tak lain dari Praj-
na Singh mendengus gusar mendengar ejekan
Pengemis Binal. Lebih gusar lagi hatinya karena si remaja telah menunjukkan
kekuatan tenaga dalamnya.
"Sebaiknya kau menyingkir dan jangan
menghalangi langkah kami, Prajna Singh!" ujar Putri Racun dari punggung kuda.
Gadis ini agaknya telah mengenal si kakek. "Kami tidak mempunyai urusan
denganmu. Bila kau penasaran
akan peristiwa di kedai tadi, aku bisa memberi-
kan sejumlah uang kepada anak buahmu...."
Prajna Singh melangkah lima tindak ke de-
pan. Diperhatikannya wajah Putri Racun dengan
saksama. "Hmmm.... Menilik pakaian yang kau kenakan, bukankah kau pemuda mabuk
yang mengaku telah mempermainkan dua anak bua-
hku" Melihat wajahmu yang sekarang menunjuk-
kan wajah se orang gadis, kupikir kau cukup
pandai menyamar. Hanya sayangnya, kini kau
membuka penyamaranmu sendiri. Aku jadi men-
genali siapa dirimu. Bukankah kau Kusuma alias
Putri Racun yang menjadi buronan prajurit kadi-
paten" Ya! Ya, aku yakin sekali! Ha ha ha...!"
Prajna Singh tertawa bergelak.
Tubuhnya yang tinggi-besar tampak ber-
guncang-guncang. "Kini ada kesempatan bagiku untuk mendapat hadiah! Sungguh ini
suatu kebetulan. Ha ha ha...!"
"He, Prajna Singh!" sebut Kusuma. "Aku menghormatimu sebagai seorang tokoh tua
yang tentunya lebih matang berpikir dan dapat bertindak bijaksana. Adakah kau tahu
bila sebenarnya
aku menjadi korban fitnah keji. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan jahat
terhadap Danang Burgundi. Apalagi membunuh punggawa
itu. Aku menduga Gayat Ngalimlah pelakunya.
Maka dari itu, tak perlu kau campuri urusan ini.
Biarkan aku pergi ke kota untuk membersihkan
nama baikku dan mengungkapkan kepada semua
orang peristiwa yang sebenarnya."
"Huh! Aku tak peduli semua itu!" sahut Prajna Singh. "Kau bersalah atau tidak,
bukan urusanku. Yang kutahu kau adalah buronan prajurit kadipaten. Dan, sekarang
aku hendak me- nangkapmu karena aku mengincar hadiah!"
"Tua-bangka tak tahu malu!" maki Pengemis Binal. "Sudah tua bukannya lebih
mende- katkan diri pada Tuhan, malah menuruti nafsu
duniawi. Kau bisa menangkap Putri Racun, tapi
setelah kau nikmati dulu hadiahku ini!"
Secepat burung walet, tubuh Pengemis Bi-
nal melesat ke depan. Setelah bersalto dua kali di udara, remaja konyol ini
melakukan gerakan
'Pengemis Meminta Sedekah'. Tapi, dia melaku-
kannya dengan terbalik. Tubuhnya yang mem-
bungkuk membelakangi Prajna Singh. Sedang ke-
dua tangannya tetap terjulur lurus ke depan. Dalam keadaan demikian, tubuh
Pengemis Binal te-
tap dapat meluncur cepat. Sementara, Prajna
Singh terdengar menggembor keras. Kedua tan-
gannya yang besar dan berbulu dihentakkan ke
depan hendak menghantam pantat Pengemis Bi-
nal. Namun.....
Bruooottt..! "Hukkk...!"
Walau dalam keremangan malam Puspita
dan Kusuma masih dapat melihat apa yang dila-
kukan Suropati. Sebelum kedua tangan Prajna
Singh menghantam pantatnya, Suropati kentut.
Lalu, dengan kecepatan luar biasa sekali, dia je-jakkan kakinya ke belakang.
Dan, tepat mengenai perut Prajna Singh, hingga mulutnya terbuka lebar. Pada saat
inilah, "udara beracun" Suropati berhembus kencang menebarkan aroma bangkai
tikus! "He he he...!" tawa kekeh Pengemis Binal melihat Prajna Singh memencet
batang hidung sambil melangkah mundur beberapa tindak. "Ba-
gaimana, Kek" Hadiah dariku apakah cukup
nikmat kau rasakan" Bila kau minta tambah, bi-
lang saja. Sungguh aku bukan orang pelit, kok...!"
Kemarahan Prajna Singh sudah tak dapat
digambarkan lagi. Darahnya mendidih naik sam-
pai ke ubun-ubun. Giginya bertaut rapat mem-
perdengarkan bunyi berkerotan. Rahangnya yang
dipenuhi bulu lebat berubah bentuk menjadi per-
segi empat. Sementara, kedua matanya melotot
lebar berwarna merah menyala.
Dalam kemarahannya, Prajna Singh meli-
hat tiga ekor kelelawar terbang di atas kepalanya.
Mendadak, kakek bertubuh tinggi-besar ini me-


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nengadahkan kedua telapak tangannya ke atas.
Aneh! Lesatan tubuh tiga ekor kelelawar berhenti di udara. Hanya sayapnya yang
masih mengepak-ngepak.
"Kubunuh kau, Bocah Edan!" sentak Praj-na Singh seraya mengibaskan kedua telapak
tan- gannya ke depan.
Wusss...! Pengemis Binal yang telah berdiri sekitar
lima belas tombak dari hadapan Prajna Singh
menjadi terkesiap. Tiga ekor kelelawar melesat
cepat ke arahnya. Remaja konyol ini tahu bila
satwa-satwa bersayap itu telah menjadi senjata
rahasia yang amat ampuh dan mengancam kese-
lamatan jiwa. Maka tanpa pikir panjang lagi, Pengemis Binal sorongkan kedua
telapak tangannya
ke depan. Dia kerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Akibatnya, bukan saja lesatan tiga
ekor kelelawar berhenti di udara, tapi lesatannya malah berbalik arah. Meluncur
deras mengarah dada Prajra Singh dalam keadaan terbalik, kepala di belakang dan ekor di depan!
"Edan!" pekik Prajna Singh dalam keterkejutannya. Karena tak mau kalah dalam
memper- lihatkan kekuatan tenaga dalam, Prajna Singh
menyorongkan pula kedua telapak tangannya ke
depan. Lesatan tiga ekor kelelawar berhenti mendadak, tepat di tengah-tengah
antara tempat Pengemis Binal dan Prajna Singh berdiri. Hingga beberapa tarikan
napas, satwa-satwa bersayap itu hanya dapat mengepak-ngepakkan sayapnya tanpa
dapat memindahkan kedudukan tubuhnya
yang melayang di udara. Karena tertindih dua kekuatan tenaga dalam dahsyat,
tubuh tiga ekor kelelawar itu kemudian meledak hancur menjadi
serpihan daging kecil-kecil bagai habis dicacah pisau yang amat tajam!
Walau Pengemis Binal telah banyak ber-
jumpa dengan tokoh-tokoh sakti, tapi melihat kekuatan tenaga dalam Prajna Singh,
remaja konyol ini terkagum-kagum juga. Berbeda dengan Prajna
Singh sendiri. Melihat kehebatan Pengemis Binal, bukan rasa kagum yang ada di
hatinya, melainkan amarah yang makin meluap-luap. Dia merasa
malu karena sebagai tokoh tua kesaktiannya da-
pat diimbangi oleh seorang remaja tampan yang
tampak kebodoh-bodohan. Oleh sebab hatinya di-
penuhi amarah, lupa sudah Prajna Singh pada
tujuannya untuk menangkap Putri Racun. Dalam
benaknya dipenuhi keinginan untuk membunuh
Pengemis Binal. Maka sambil berseru nyaring
yang memekakkan gendang telinga, dia meloncat
ke depan. Jemari-jemari tangannya terjulur lurus-lurus. Hendak diterapkannya
ilmu 'Lima Jari Pencabut Nyawa' yang telah dikuasainya dengan
sempurna. Suropati yang sudah melihat kedahsyatan
ilmu andalan Prajna Singh waktu di Kedai Melati, tak menjadi gugup. Dia mencabut
tongkat butut yang terselip di pinggangnya. Lalu, tongkat yang terbuat dari kayu tak berharga
itu dia gunakan
untuk menahan gerakan Prajna Singh.
Wuttt...! Tongkat Suropati meluncur lurus ke depan
untuk memapaki pergelangan tangan Prajna
Singh. Namun, Suropati berseru kaget ketika
ujung tongkatnya membentur telapak tangan kiri
Prajna Singh. Tongkat kayu itu hancur-luluh
menjadi serbuk halus tiada tersisa. Telapak tangan kanan Suropati pun terasa
panas luar biasa
bagai tersengat bara api. Walau tongkat Suropati hanya terbuat dari kayu tak
berharga, tapi dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Namun, kenapa begitu mudah
Prajna Singh membuatnya hancur-
luluh" Tak ada kesempatan berpikir panjang bagi Suropati. Tangan kiri Prajna
Singh yang baru saja memperlihatkan kehebatannya, terus melesat hebat hendak
mencengkeram batok kepala. Tak
mau tubuhnya berubah menjadi selembar kulit
tanpa daging dan tulang, cepat Suropati melen-
tingkan tubuhnya ke belakang. Begitu kakinya
menginjak tanah, dia miringkan tubuhnya. Lalu,
lewat gerakan 'Pengemis Menghiba Rembulan', dia sorongkan kedua telapak
tangannya. Maksudnya
untuk menghantam dada Prajna Singh. Tapi,
tampaknya si kakek telah menduga serangan Su-
ropati. Sebelum dadanya terhantam, dia tarik kedua tangannya bersamaan. Suropati
memekik nyaring ketika kedua pergelangan tangannya ke-
na tangkap Prajna Singh!
"Kuremukkan tanganmu dulu, Monyet
Bau!" ujar Prajna Singh seraya menekan kedua tangan Suropati dengan penyaluran
tenaga dalam lebih tinggi. Sekali lagi Suropati memekik. Kusuma dan
Puspita yang melihat kejadian ini terkejut. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu
untuk menolong Suropati, tiba-tiba terdengar suara berdebam.
Tubuh Prajna Singh jatuh telentang di tanah
hingga melesak satu jengkal ke dalam.
Apa yang terjadi" Rupanya sebelum perge-
langan tangan Suropati hancur kena remas Praj-
na Singh, dia masih sempat menggerakkan dua
telunjuk jarinya untuk menotok jalan darah besar di lipatan siku Prajna Singh.
Totokan yang dilam-bari kekuatan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' itu
membuat cengkeraman Prajna Singh
terlepas. Akibatnya bukan hanya sampai di situ.
Karena terhantam keterkejutan luar biasa, Prajna Singh meloncat mundur. Tapi,
Suropati berhasil
pula menyarangkan pukulan ke dadanya, hingga
membuatnya jatuh berdebam ke tanah dalam
keadaan telentang.
"He he he...!" tawa kekeh Pengemis Binal.
"Cepatlah bangun, Kek. Aku khawatir tubuhmu yang bau itu akan dikerumuni semut!"
"Keparat..! Huk! Huk!" umpatan Prajna Singh dihentikan oleh batuk. Darah kental
meng-genang di rongga mulutnya. Saat bangkit, kakek
yang sebenarnya seorang bangsawan dari tanah
India ini terperangah. "Tanganku...! Tanganku...!"
pekiknya berulang kali sambil berusaha mengge-
rakkan kedua pergelangan tangannya. Tapi, tan-
gan yang telah terkena sebagian kekuatan dari
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' itu su-
dah tak dapat digerakkan lagi. Kaku-kejang se-
perti batang kayu kering!
"Jalan darah besar di lipatan sikumu telah hancur, Kek!" beri tahu Pengemis
Binal. "Hanya dengan perawatan yang tekun dan memakan
waktu paling cepat setahun, kau akan dapat me-
normalkan lagi kerja tanganmu. Tapi, kau tak
mungkin dapat mempergunakan lagi ilmu kejam
yang kau sebut sebagai ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'!" Mendengar penuturan
Pengemis Binal, pucat pasilah wajah Prajna Singh. Ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'
dipelajarinya selama dua puluh
tahun. Dan untuk menyempurnakannya, dia te-
lah membunuh bayi tak berdosa ratusan jumlah-
nya. Kalau sekarang ilmu itu musnah, maka be-
tapa kecewa hati Prajna Singh. Tak malu-malu la-gi dia berjingkrak-jingkrak
karena kerja otaknya tiba-tiba jadi terganggu.
"Bangsat! Keparat! Bedebah!" makinya
sambil terus berjingkrak-jingkrak.
"Pergilah!" bentak Suropati.
"Apa"! Kau menyuruh aku pergi" Ha ha
ha...! Lucu... lucu sekali kau ini, Bocah Gem-
blung!" ujar Prajna Singh sambil menatap tajam wajah Suropati. "Kau baru saja
Rahasia Kampung Garuda 12 Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah Tengkorak Maut 10
^