Pencarian

Asmara Putri Racun 3

Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun Bagian 3


mencelakakanku.
Kau menyuruh aku pergi. Alangkah lucunya hal
ini. Hanya orang gila yang mau melakukannya.
Tapi, aku mau pergi asal telah kupecahkan dulu
batok kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, Prajna Singh mem-
buat tendangan melingkar. Namun, mudah saja
Pengemis Binal menghindar. Hanya dengan me-
runduk sedikit, kepalanya terlepas dari sasaran tendangan Prajna Singh.
"Pergilah!" ujar Pengemis Binal sekali lagi.
"Ya! Ya, aku akan pergi...," sahut Prajna Singh. "Aku segera pergi ke alam baka,
tapi harus bersamamu!"
Karena tak mungkin dapat membalas sakit
hatinya, Prajna Singh bermaksud mengajak Suro-
pati mati bersama-sama. Dia tubruk Suropati
dengan maksud untuk mengadu kepala!
Prakkk...! "Argh...!"
Suropati yang dapat membaca maksud
Prajna Singh, membentengi kepalanya dengan se-
luruh kekuatan tenaga dalamnya. Prajna Singh
yang sudah tak dapat menyalurkan tenaga dalam
dengan sempurna menjerit kesakitan. Tubuhnya
kembali jatuh berdebam ke tanah. Masih untung
kepalanya tidak pecah. Namun, karena sudah ge-
lap mata, dia meloncat bangkit hendak mengu-
langi lagi perbuatannya. Tapi dia hanya mampu
berdiri satu kejap mata. Tubuhnya jatuh lagi ke tanah. Pingsan!
"Kita lanjutkan perjalanan!" ujar Suropati seraya menghampiri kudanya, dan
memacunya ke arah Pendapa Kadipaten Bumiraksa.
Kusuma dan Puspita saling pandang seje-
nak. Kedua gadis ini segera memacu kuda mas-
ing-masing. Hanya desau angin dan suara bina-
tang malam yang menemani mimpi buruk Prajna
Singh.... Terik sinar mentari yang memayung tepat
di atas kepala terasa menyengat kulit. Hembusan angin tak mampu meredakan
sengatannya. Panas! Hingga, peluh Kusuma dan Puspita yang du-
duk di punggung kuda coklat tampak berlelehan.
Suropati pun demikian. Namun, mereka tak pe-
duli pada hawa panas yang laksana membakar.
Mereka memacu kuda dengan cepat untuk men-
gejar waktu demi keselamatan Arya Wirapaksi
yang tengah terbaring tiada daya di Pendapa Ka-
dipaten Bumiraksa.
Mendadak, hawa panas terusir karena an-
gin kencang berhembus. Hembusan angin ken-
cang itu bukan saja mengusir hawa panas, tapi
juga sanggup mengejutkan kuda Suropati yang
melaju di depan. Dibarengi ringkikan panjang,
kuda Suropati yang menghentikan langkah ka-
kinya. Kuda yang ditunggangi Kusuma dan Puspi-
ta juga berlaku serupa. Sementara, hembusan
angin bertambah kencang, bertiup dari arah de-
pan. Hingga, Suropati dan kedua temannya mera-
sakan wajah mereka bagai ditampar-tampar.
"Hmm.....Hembusan angin ini tidak wa-
jar...," pikir Pengemis Binal. "Jauh di depan sana tentu ada manusia usil yang
sengaja memamer-kan kepandaian. "
Wajah Pengemis Binal dan Puspita terlihat
tegang. Mereka sama-sama mengerahkan ilmu
memperberat tubuh agar tak terlontar oleh hem-
busan angin yang semakin lama semakin ken-
cang. Sementara, kuda kedua tokoh muda itu
tampak terseret ke belakang. Cepat Suropati dan Puspita menahannya. Berbeda
benar dengan Kusuma. Gadis cantik itu tampak menyungging se-
nyum manis di bibir.
"Tak perlu main-main, Saka!" teriak Kusuma dengan perasaan girang. "Tampakkan
dirimu. Jangan membuat kedua sahabatmu jadi penasa-
ran!" Seperti kedatangannya, hembusan angin kencang itu lenyap secara mendadak.
Tentu saja Suropati dan Puspita terkesima. Mereka menatap
wajah Kusuma lekat-lekat.
"Siapa yang baru saja berbuat usil, Kusu-
ma?" tanya Pengemis Binal.
"Kau akan segera tahu, Suro," jawab Putri Racun, cepat.
Suropati terkesiap ketika telinganya me-
nangkap suara tawa meledak-ledak.
"Ha ha ha...! Suropati yang gagah perkasa!
Hari ini kita berjumpa lagi. Namun, aku mesti
berpikir seribu kali untuk melanjutkan urusan
lama kita. Aku yang bodoh ini merasa bersalah.
Dan, dengan penuh kerendahan hati aku memin-
ta kata maaf. Namun, terus terang jauh di dasar lubuk hatiku tersimpan keinginan
untuk menjajal kepandaianmu. Apakah kau bersedia melaya-ninya, Suro?"
"Saka Purdianta...!" kejut Pengemis Binal melihat kehadiran seorang pemuda
tampan berpakaian coklat bergaris-garis hitam.
"Ya! Penglihatanmu tak salah, Suro! Aku
memang Saka Purdianta atau si Dewa Guntur.
Bagaimana" Apakah kau bersedia melayani tan-
tanganku hari ini?"
"Saka!" teriak Kusuma tiba-tiba. "Jangan main-main! Aku tak suka perbuatanmu
ini!" "Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak melihat Putri Racun
menghampirinya. "Kekasihku, jangan kau khawatirkan keselamatanku.
Aku yakin akan dapat mengimbangi kesaktian
Pengemis Binal!"
"Tidak! Ini bukan saatnya untuk main-
main!" Saka Purdianta tertawa bergelak lagi. Lalu, disambarnya tubuh Putri
Racun, dan dihadiah-
kan ciuman mesra di keningnya.
Melihat adegan itu, tentu saja Suropati ter-
kejut. Bagaimana mungkin Saka Purdianta bisa
menghadiahkan ciuman tanpa ditolak oleh Ku-
suma" "Jangan-jangan Kusuma telah termakan ti-pu muslihat Saka Purdianta?" pikir
Pengemis Binal, merasa curiga. Karena, setahunya Saka Pur-
dianta adalah pemuda licik.
Suropati bertambah heran tatkala Kusuma
dan Saka Purdianta menghampirinya sambil ber-
gandengan tangan.
"Kalian... kalian...," ujar Pengemis Binal gelagapan, seperti tak percaya pada
penglihatannya sendiri.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku meno-
lak pinangan Gayat Ngalim karena aku sudah
mempunyai kekasih, Suro. Saka Purdianta inilah
kekasihku."
Perkataan Putri Racun yang disampaikan
dengan rasa bangga membuat Pengemis Binal me-
longo. "Tahukah kau, Kusuma, bila... bila...,"
ucapannya tetap gelagapan. Remaja konyol ini
hendak mengatakan sifat-sifat buruk Saka Pur-
dianta, tapi tak sampai hati. Karena, Putri Racun tampak sudah begitu lengket.
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak. "Lupakan tantanganku barusan,
Suro! Aku cuma bercanda. Aku ingin menjadi sahabatmu,"
Saka Purdianta menyodorkan tangan ka-
nannya. Mau tak mau Suropati mesti menyam-
butnya. Begitu telapak tangan dua tokoh muda
ini bersalaman, terdengar suara gemeretak seperti ranting patah. Kusuma dan
Puspita terkejut. Telapak tangan Saka Purdianta dan Suropati yang
saling menempel erat mengepulkan asap putih
yang memendarkan hawa panas. Rupanya mere-
ka tengah mengadu kekuatan.
Diam-diam Suropati terperanjat. Telapak
tangan kanannya terasa bagai terjepit balok baja yang amat kuat. Walau remaja
konyol ini telah
menambah kekuatan tenaga dalamnya hingga
sampai ke puncaknya, rasa sakit tetap mendera
telapak tangan kanannya. Nyatalah bahwa tenaga
dalam Saka Purdianta lebih unggul.
Tenaga dalam Saka Purdianta memang te-
lah berlipat ganda sejak pemuda ini minum darah Prajna Singh beberapa hari yang
lalu. Namun, dia tak menyadari kalau tenaga dalamnya lebih unggul. Walau merasa
kesakitan, tapi bibir Suropati menyungging senyum. Senyum inilah yang membuat
Saka Purdianta tertipu.
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak lagi seraya menarik telapak
tangan kanan- nya. "Hebat.. kau hebat sekali, Suro," pujinya dengan sungguh-sungguh. "Aku akan
bangga sekali bila menjadi sahabat seorang tokoh muda
sakti sepertimu."
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal ketika Saka Purdianta membungkuk dalam
ke arahnya. "Lupakan masa lalu kita, Suro. Aku me-
nyesal dengan perbuatanku dahulu yang selalu
memusuhimu...," ujar Saka Purdianta, penuh kerendahan hati.
"Sungguhkah kau telah sadar untuk men-
jadi manusia yang menjunjung tinggi nilai kebe-
naran dan keadilan?" tanya Suropati sedikit ragu.
Tapi, di lubuk hatinya tersimpan rasa lega. Rema-ja konyol ini tak dapat
membayangkan apa yang
terjadi di rimba persilatan seandainya Saka Purdianta yang begitu tinggi ilmunya
tetap menjadi orang jahat
"Kematian ayahkulah yang membuka mata
hatiku. Baginda Prabu Singgalang Manjunjung
Langit berkenan mengangkatku sebagai Tumeng-
gung Lemah Abang menggantikan ayahku sendiri,
walau beliau tahu bila ayahku adalah seorang
pengkhianat," tutur Saka Purdianta.
"Itu karena kau ikut berjasa dalam usaha
memadamkan api pemberontakan yang disulut
oleh I Halu Rakryan Subandira," sahut Suropati.
(Baca serial Pengemis Binal dalam episode :
"Pemberontakan Subandira").
"Untuk menjadi seorang tumenggung yang
memimpin orang banyak tentu saja aku membu-
tuhkan seorang pendamping. Lalu, aku ingat seo-
rang gadis cantik yang dulu pernah kutemui dan
pernah memberi pelajaran kepadaku. Karena ke-
sombongan dan kecongkakanku, waktu itu aku
menjajal ilmu kesaktiannya. Namun, aku malah
ketemu batunya. Aku kalah dan hampir mati ka-
lau saja aku tidak membawa Kitab Selaksa Dewa
Turun ke Bumi yang mempunyai khasiat pe-
nyembuhan luar biasa. Gadis itu adalah Kusu-
ma...," Saka Purdianta melirik wajah Putri Racun.
Disunggingnya senyum manis. "Kusuma bersedia menjadi istriku asal aku mau
berjanji untuk menjadi orang baik-baik sampai badan tiada bernya-wa. Aku yang
telah menyadari semua perbuatan
jahatku, langsung saja menyetujui permintaan-
nya. Maka kau tak perlu khawatir, Suropati. Aku bukanlah Saka Purdianta yang
dulu pernah kau
kenal..." Suropati menggangguk-angguk mendengar
penuturan Saka Purdianta. Digaruknya lagi kepa-
lanya yang tak gatal. Sementara, Saka Purdianta meraih bahu Putri Racun, lalu
mereka berciuman.
"Sontoloyo!" desis Suropati melihat adegan mesra yang berlangsung di hadapannya.
Puspita terkejut ketika tiba-tiba Suropati
memeluknya dengan erat, dan mendaratkan ci-
uman di bibirnya.
"Uh! Apa-apaan kau, Suro!" hardik Puspita dengan galak.
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh-kekeh. "Saka Purdianta dan Kusuma
saling berciuman. Apakah kau tidak ingin seperti mereka?"
"Tidak!" bentak Puspita semakin galak.
Suropati melihat wajah Puspita merah-
padam. Remaja konyol ini menggaruk kepalanya
lagi sambil cengar-cengir.
"Kita lanjutkan perjalanan sekarang...,"
ajak Kusuma tiba-tiba. Saka Purdianta yang ber-
diri di sisi kirinya cuma senyum-senyum melihat kebiasaan Pengemis Binal.
"Ya! Secepatnya kita ke Pendapa Kadipaten
Bumiraksa!" sahut Puspita.
Kusuma melirik Saka Purdianta. "Kau ten-
tu bersedia ikut, Saka. Setelah aku menolong
Arya Wirapaksi, aku akan meminta bantuan-
mu...." "Ya!" sahut Dewa Guntur, cepat. Pemuda ini memang telah tahu bila Kusuma
terperangkap dalam masalah sulit.
*** Pendapa Kadipaten Bumiraksa....
Di sebuah kamar cukup luas, tubuh Arya
Wirapaksi terbaring lemah tiada daya. Wajahnya
pucat-pasi seperti mayat. Kelopak mata dan bi-
birnya terkatup rapat. Sementara, Putri Racun
tampak memeriksa keadaan putra Prabu Arya
Dewantara itu. Tak jauh dari pembaringan terli-
hat Suropati, Saka Purdianta, Puspita, si Wajah Merah, Dewi Ikata, Adipati
Danubraja, dan Adipati Barasangga.
"Bagaimana, Kusuma?" tanya Suropati setelah Putri Racun cukup lama memeriksa
kea- daan Arya Wirapaksi.
"Ramuan obat-obatan saja tak akan dapat
menolong jiwa Arya Wirapaksi...," beri tahu Kusuma dengan suara lirih.
"Aku membutuhkan seseorang yang mem-
punyai kekuatan tenaga dalam luar biasa. Racun
dalam otak Arya Wirapaksi hanya dapat dikelua-
rkan lewat dorongan tenaga dalam."
"Aku bersedia membantumu," tawar Pen-
gemis Binal, sungguh-sungguh.
Putri Racun menatap lekat wajah Suropati.
Gadis cantik ini lalu menggeleng. "Tak mungkin, Suro...," desisnya.
"Kenapa" Kenapa tak mungkin?" tanya Suropati dengan kening berkerut.
"Racun dalam otak Arya Wirapaksi me-
mang dapat dikeluarkan dengan dorongan tenaga
dalam. Tapi, otaknya akan ikut tercuci. Arya Wirapaksi tak akan mempunyai
keinginan membu-
nuh lagi. Tapi, dia akan lupa pada keadaan sekelilingnya, termasuk dirinya


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Mengingat
nama sendiri pun dia tak akan mampu. Karena,
otaknya ikut tercuci"
Semua yang mendengar penjelasan Putri
Racun terkejut. Tak terkecuali si Wajah Merah
yang sudah cukup terkenal sebagai seorang tabib pandai.
"Arya Wirapaksi dapat disembuhkan seper-
ti sediakala, tapi membutuhkan pengorbanan...,"
lanjut Putri Racun.
"Pengorbanan apa" Aku juga bersedia?"
sahut Pengemis Binal.
Putri Racun tersenyum tipis, lalu mengge-
leng. "Tugasmu sebagai seorang pendekar yang memimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti masih banyak, Suro."
"Apa maksudmu, Kusuma?" tanya Suropa-
ti, semakin penasaran.
"Bila kau membantuku untuk menyem-
buhkan Arya Wirapaksi seperti sediakala, seba-
gian tenaga dalammu akan terhisap. Itu berarti
ilmu kesaktianmu akan berkurang...."
Selagi Pengemis Binal garuk-garuk kepala,
Saka Purdianta menepuk bahu Putri Racun se-
raya berkata, "Aku bersedia membantumu, Kekasihku...."
Putri Racun menatap lekat wajah Saka
Purdianta. Gadis ini seperti tak mempercayai
ucapan si Dewa Guntur.
"Beberapa hari yang lalu, aku minum da-
rah seorang pelarian dari tanah India yang ber-
nama Prajna Singh...."
"Prajna Singh" Kakek tinggi-besar yang pe-
nuh bulu itu?" sela Putri Racun.
"Rupanya kau telah mengenalnya, Prajna
Singh memang bertubuh tinggi-besar dan berbulu
lebat. Aku minum darahnya tanpa sengaja. Waktu
itu aku tengah mengintai Prajna Singh yang se-
dang bertempur dengan Prabandari, seorang ne-
nek tua-renta bekas istrinya. Prabandari mati,
namun Prajna Singh terkena sambitan kapak be-
racun," cerita Saka Purdianta. "Selagi Prajna Singh berusaha menghilangkan racun
dalam tubuhnya, aku keluar dari persembunyianku. Tak
dapat kupungkiri bila aku ingin memiliki kitab
yang tiba-tiba meloncat keluar dari saku baju
Prajna Singh. Namun, kakek sakti itu melihat ke-
lebatan tubuhku. Serta-merta dia mengibaskan
tangannya. Mendadak, pandanganku jadi gelap
ketika segumpal darah masuk ke mulutku. Aneh-
nya, setelah aku siuman, aku merasakan tenaga
dalamku menjadi berlipat ganda. Karena itulah
aku bersedia mengorbankan sebagian tenaga da-
lamku, Kusuma. Demi sang putra mahkota Arya
Wirapaksi. Demi kau pula, Kekasihku. Biar kau
bertambah yakin bila aku telah menjadi orang
baik-baik kini...."
Putri Racun terkesima mendengar ucapan
si Dewa Guntur. Dipeluknya pemuda itu dengan
erat. Rasa haru merebak di dalam dadanya.
Sebentar kemudian, tubuh Arya Wirapaksi
yang terbaring lemah telah duduk tegak di pem-
baringan. Kusuma menempelkan kedua telapak
tangannya ke dahi putra Prabu Arya Dewantara
itu. Sementara, kedua telapak tangan Saka Pur-
dianta menempel di belakang kepalanya.
Peluh membanjiri wajah Putri Racun yang
cantik jelita. Saka Purdianta pun bermandi keringat. Tubuh pemuda itu tampak
bergetar hebat ka-
rena tenaga dalamnya terhisap!
Semua yang menyaksikan usaha penyem-
buhan itu mengambil napas lega saat Putri Racun berkata, "Cukup!"
Saka Purdianta bernapas lega juga karena
tidak begitu banyak tenaga dalamnya yang terhi-
sap. Dengan dibantu Putri Racun, dia lalu mem-
baringkan tubuh Arya Wirapaksi lagi.
"Sepekan kemudian, Arya Wirapaksi boleh
kembali ke istana. Dia butuh waktu untuk men-
gumpulkan kekuatannya kembali," beri tahu Putri Racun seraya turun dari
pembaringan. Selagi semua orang terbawa dalam suasana
gembira, Pengemis Binal tampak celingukan.
"Siapa yang kau cari, Suro?" tanya Dewi Ikata atau Pendekar Wanita Gila, putri
tunggal Adipati Danubraja atau cucu Adipati Barasangga.
"Intan Melati. Aku tak melihat Intan Melati.
Di mana gadis itu?"
"Kemarin dia dijemput oleh ayahnya," beri tahu Dewi Ikata.
"Rama Ludira?"
"Huh! Kenapa kau tampak begitu memper-
hatikan gadis itu, Suro?" rungut Dewi Ikata.
"Ah, tidak! Aku hanya bertanya saja. Kalau dia sudah dijemput ayahnya,
syukurlah.... Kau
jangan cemburu, Ika. Kau tahu hatiku ada di ma-
na?" Dewi Ikata yang mengerti maksud ucapan Pengemis Binal tersenyum senang.
Gadis ini lalu menghambur. Dipeluknya tubuh Pengemis Binal
dengan erat tanpa malu bila banyak orang berada di sekitarnya.
Sewaktu semua orang tertawa melihat Dewi
Ikata menciumi pipi Pengemis Binal, Puspita me-
nundukkan kepala. Terbersit rasa sedih di ha-
tinya. Gadis ini semakin tahu cintanya pada Su-
ropati tak akan terbalaskan. Namun, bayangan
Kapi Anggara atau Pendekar Asmara tiba-tiba
berkelebat di benaknya. "Pemuda itu mencintai-
ku. Aku tak akan menyia-nyiakan cintanya. Ku-
pikir dia juga bisa menjadi suami yang baik...,"
katanya dalam hati.
Mendadak, seorang prajurit penjaga datang
untuk menghadap Adipati Danubraja. Kedatan-
gan lelaki itu seperti membawa sebuah berita
penting. "Ada apa, Prajurit?" tanya sang adipati, berwibawa.
"Seorang lelaki berkuda datang ke penda-
pa. Dia mengaku sebagai utusan Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit Raja Pasir Luhur," tutur prajurit
"Tujuannya?"
"Dia mencari Saka Purdianta yang bergelar
Dewa Guntur. Ada sesuatu yang harus segera di-
sampaikan."
Usai si prajurit memberi laporan, Adipati
Danubraja mengarahkan pandangan ke Saka
Purdianta yang berdiri tak jauh darinya. "Segera temui utusan itu...," ujarnya.
"Terima kasih, Gusti Adipati...," Saka Purdianta membungkuk hormat kemudian
keluar ruangan. Di pintu gerbang pendapa, Saka Purdianta
menjumpai seorang lelaki setengah baya yang
berdiri di sisi kuda putih. Saka Purdianta mengenalnya sebagai salah seorang
kepercayaan Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Lelaki setengah
baya itu sering diutus ke Katumenggungan Le-
mah Abang semasa ayah Saka Purdianta, Tu-
menggung Sangga Percona, masih hidup.
"Kau mencariku, Gambang?" tanya Saka
Purdianta. Gambang mengangguk. Tanpa berkata apa-
apa dia mengeluarkan gulungan kertas kecil dari saku dalam jubah yang
dikenakannya. Gulungan
kertas itu lalu disodorkan kepada Saka Purdianta.
Saka Purdianta,
Saat ini warga Katumenggungan Lemah
Abang membutuhkan seorang pemimpin yang be-
nar-benar dapat bertindak sebagai pemimpin. Se-peninggal ayahmu, Patih Bayu Ardi
yang sudah lanjut usia tak dapat menjalankan tampuk pimpi-nan di katumenggungan
dengan baik. Maka dari itu, segeralah kau jalankan tugasmu sebagai seorang
tumenggung. Jangan kecewakan warga Ka-
tumenggungan Lemah Abang.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit
Usai membaca tulisan di atas kertas, ken-
ing Saka Purdianta berkerut. Ditariknya napas
panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Pemu-
da tampan ini terkejut ketika seseorang menepuk bahunya.
"Wajahmu terlihat muram. Ada apa, Saka?"
tanya Suropati yang datang menyusul.
Saka Purdianta menatap wajah Pengemis
Binal, lalu bibirnya bergetar. "Hari ini juga aku harus ke Katumenggungan Lemah
Abang." "Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang
memerintahkanmu?"
"Ya."
"Bagaimana dengan Kusuma" Kalian baru
berjumpa, masa harus berpisah lagi" Kau tahu
bila Kusuma sedang menghadapi masalah sulit"
Dia dituduh membunuh seorang punggawa Kadi-
paten Tanah Loh yang bernama Danang Burgun-
di." "Aku sudah tahu. Aku menemui dia sebe-
narnya untuk membantu mengatasi masalahnya
itu. Tapi, sekarang aku tak punya waktu lagi. Aku percaya kepadamu, Suro. Aku
yakin bila kau akan menolong Kusuma."
Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta
membalikkan badan, lalu berkelebat lenyap. Su-
ropati cuma dapat menggeleng-geleng kepala.
Remaja konyol ini terkesiap ketika telinganya menangkap pesan Saka Purdianta
yang dikirim me-
lalui bisikan jarak jauh.
"Setelah urusan Kusuma dapat diselesai-
kan, suruh dia datang ke Katumenggungan Le-
mah Abang. Aku akan menyiapkan upacara per-
nikahanku dengannya. Bila ada waktu, datanglah
di hari yang paling membahagiakan dalam hi-
dupku itu, Suro."
Suropati mengangguk-angguk. "Semoga
keinginanmu itu terlaksana, Saka...," doanya.
6 Gayat Ngalim adalah seorang pemuda be-
rumur dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi
tegap dan berdada bidang. Wajahnya cukup tam-
pan. Hanya yang tampak aneh, bulu alisnya ber-
warna putih. Seluruh anggota Partai Alis Putih
memang memiliki ciri demikian. Tak terkecuali
Gayat Ngalim yang diangkat menjadi ketua.
Pemuda yang beberapa waktu lalu menge-
nali penyamaran Putri Racun di Kedai Melati itu kini tampak berdiri mondar-
mandir di sebuah
ruangan lebar di sarang Partai Alis Putih. Hatinya sedang galau. Ada sesuatu
yang tak mengenak-kan pikirannya.
"Kusuma...," desisnya seraya menghentikan langkah kakinya yang hampir kesemutan
ka- rena terlalu lama dibuat mondar-mandir. "Kau ki-ra menolak cinta Gayat Ngalim
tak akan menim-
bulkan masalah. Kau keliru, Kusuma. Andai tem-
po hari kau terima pinanganku, kau tak akan
mendapat susah. Prajurit kadipaten dan beberapa tokoh sakti rimba persilatan tak
akan mencari-cari dirimu. Tapi, sesungguhnya aku merasa ka-
sihan padamu, Kusuma...."
Mata Gayat Ngalim menerawang. Tatapan-
nya kosong. Mendadak, pemuda berpakaian serba
putih ini menggeram. Suara cicak di dinding
membuat sakit gendang telinganya. Dia merasa
diejek. Kontan amarah Gayat Ngalim meledak.
Dipelototinya cicak di dinding yang berada dua
depa dari hadapannya.
"Pergilah ke neraka, Bangsat!" umpat Gayat Ngalim seraya meludah. "Cuah!"
Gumpalan air ludah meluncur cepat, me-
nerpa tubuh cicak yang sebenarnya tak berdosa
apa-apa. Akibatnya cukup mengejutkan. Bukan
saja tubuh cicak yang lumat, tapi dinding tempat rayapannya tampak berlubang dan
mengepulkan asap putih. "Kusuma...," desis Gayat Ngalim sambil mendekap wajahnya yang mengelam.
Berulang kali Gayat Ngalim menyebut na-
ma kecil Putri Racun. Rasa hatinya yang tak ka-
ruan membuat kewaspadaannya berkurang.
Hingga tanpa disadarinya, seorang gadis berpa-
kaian pelayan telah berdiri di belakangnya. Un-
tunglah gadis itu tidak bermaksud jahat. Dia datang untuk mengantarkan baki yang
di atasnya terdapat segelas arak merah.
"Arak yang Tuan inginkan telah siap...,"
ujar gadis pelayan.
Gayat Ngalim terkejut. Tapi melihat yang
datang adalah orang suruhannya, cepat ditepis-
nya perasaannya yang hendak marah. Dikem-
bangkannya senyum lebar, lalu menyambut arak
pemberian gadis pelayan.
"Nikmat sekali, Dara...," desis Gayat Ngalim usai menenggak araknya hingga
tandas. "Saya mohon diri, Tuan..." ujar gadis pelayan setelah Gayat Ngalim meletakkan
gelas arak ke atas baki yang dibawanya.
"Eit! Tunggu dulu!" cegah Gayat Ngalim.
Matanya menatap tajam wajah gadis pelayan ber-
nama Dara. "Ada apa lagi, Tuan?" tanya Dara. Gadis ini merasa tak enak menerima tatapan
mata Gayat Ngalim yang sepertinya menyimpan maksud ter-
sembunyi. "Hmmm.... Kau cukup cantik, Dara," puji Gayat Ngalim sambil melempar kerlingan
mata. Hati Dara semakin tak enak. Gadis ini tahu
makna kerlingan tuannya. Sambil menunduk,


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutnya berucap, "Saya hanya gadis biasa, Tuan. Tuan tak perlu memuji. Kalau
tak ada tugas lagi, izinkan saya meninggalkan tempat..."
"Uts! Jangan tergesa-gesa!" cegah Gayat Ngalim lagi. "Aku ingin menceritakan
sesuatu kepadamu, Dara...."
"Itu tidak perlu, Tuan. Saya takut tidak bi-sa menyimpan rahasia."
"Apa yang akan kuceritakan bukan sesuatu
yang rahasia, Dara. Hanya suatu hal yang ba-
rangkali saja ada gunanya bagimu."
Walau masih diliputi rasa tak enak, Dara
menurut saja ketika Gayat Ngalim membimbing-
nya memasuki ruangan yang lebih kecil. Dengan
duduk di kursi saling berhadapan, Gayat Ngalim
membuka ceritanya.
"Beberapa bulan yang lalu, aku bertemu
dengan seorang gadis cantik, Namanya, Kusuma
dan bergelar Putri Racun. Jelas dia mempunyai
ilmu yang sangat tinggi. Maka, tak segan aku untuk meminta dia agar bersedia
menjadi istriku.
Namun, dia menolak. Katanya, dia telah mempu-
nyai kekasih...," Gayat Ngalim menarik napas panjang. Ditatapnya wajah Dara
lekat-lekat "Dapat kau bayangkan betapa sakit hatiku, Dara.
Seandainya dadaku disayat pedang tajam, pedih-
nya tak akan dapat menyamai rasa hatiku saat
ini...." "Di kota ini, nama Tuan cukup ternama.
Tuan juga seorang pemuda kaya. Masih banyak
gadis cantik yang mau menjadi istri Tuan. Lupa-
kan saja gadis yang bernama Kusuma itu. Dengan
membuka pintu hati kepada gadis lain, Tuan pas-
ti dapat menyembuhkan luka hati Tuan...," tutur Dara. "Sungguh pandai kau
bertutur kata, Dara,"
puji Gayat Ngalim. "Terima kasih atas nasihatmu.
Memang benar. Aku mesti membuka pintu hatiku
untuk gadis lain...."
Gayat Ngalim meraih jemari tangan Dara,
lalu dikecupnya dengan lembut "Kau cukup cantik, Dara...," lanjut Gayat Ngalim.
"Bersediakah kau menggantikan tempat Kusuma di hatiku?"
"Tuan jangan mengajak bercanda. Saya
hanya seorang gadis biasa yang tak mempunyai
kepandaian apa-apa...," ujar Dara sambil menarik tangannya yang diremas oleh Gayat
Ngalim. "Aku... aku ingin...," ujar Gayat Ngalim, terputus-putus. Mendadak, mata pemuda
ini jelalatan. Pandangannya tertuju pada belahan kebaya
Dara yang terbuka, sehingga memperlihatkan se-
bagian kulit dadanya yang halus-mulus.
"Hari mulai larut malam. Ijinkan saya mo-
hon diri, Tuan...," ujar Dara. Gadis ini terkejut ketika pandangannya membentur
penglihatan Gayat
Ngalim yang memelototi belahan kebayanya. "Kenapa Tuan melihatku seperti ini"
Saya mohon diri sekarang...."
Gayat Ngalim menyambar tangan Dara
yang hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Malam ini aku membutuhkan dirimu, Dara...,'
dengan napas menderu.
"Apa maksud Tuan"!" sentak Dara, merasa tersinggung akan ucapan Gayat Ngalim.
"Hmmm.... Kau memang cantik, Dara. Aku
baru menyadari kecantikanmu saat sekarang.
Malam ini kau temani aku. Harus! Kau tidak bo-
leh menolak!"
"Tidak Tuan!" tolak Dara, tegas. "Bukankah Tuan sudah tahu bila beberapa pekan
yang lalu saya telah menikah. Saya bekerja di sini hanya
untuk melunasi hutang orang tua saya. Tuan ti-
dak berhak berbuat semau hati Tuan terhadap
saya!" "Sungguh berani ucapanmu itu, Dara!"
bentak Gayat Ngalim. "Tidakkah kau tahu aku ini siapa"! Aku bisa membunuhmu
tanpa menyentuh
tubuhmu terlebih dahulu!"
Usai berkata, Gayat Ngalim menggelengkan
kepalanya ke kanan. Gelengan kepala yang diser-
tai kekuatan tenaga dalam ini menimbulkan
hembusan angin kencang. Beberapa cicak yang
merayap di dinding kontan jatuh ke lantai dan tak berkutik lagi. Mati!
Terkesiap Dara melihat kesaktian tuannya.
Tapi, gadis ini sama sekali tidak menjadi takut, malah dipelototinya wajah Gayat
Ngalim. "Kalau mau bunuh, silakan! Tapi, Tuan tak akan lepas
dari pengadilan Gusti Adipati!" ujarnya dengan berani. "Ha ha ha...!" Gayat
Ngalim tertawa bergerak. "Tahu apa kau tentang pengadilan"! Adipati Barasangga
tak berada di pendapa. Dia ada urusan dengan menantunya di Kadipaten Bumirak-
sa." "Tapi bila Tuan tetap hendak berbuat jahat terhadap saya, pada saatnya
nanti barang busuk
akan tercium juga baunya!"
"Tak perlu banyak cakap lagi, Dara! Segera pergi ke kamarku!"
"Cih! Saya bukan perempuan jalang! Nyata-
lah bila Gayat Ngalim Ketua Partai Alis Putih
mempunyai sifat buruk!" cela Dara, semakin berani. "Kau telah menjerat ayahku
dengan hutang berbunga tinggi! Dan, kini kau pun hendak mempermainkan diriku.
Dasar lelaki jahanam!"
Dara mundur beberapa langkah, lalu
membalikkan badan hendak meninggalkan Gayat
Ngalim. "Tidak mudah menolak keinginan Gayat
Ngalim!" Sebelum langkah kaki Dara mencapai pin-
tu, Gayat Ngalim meloncat seraya menjambret
kain kebaya Dara. Gayat Ngalim tertawa bergelak sambil memegang sobekan kain
kebaya Dara. Sementara, Dara memekik karena terkejut. Meli-
hat kulit bahunya terbuka, dia segera mengang-
kat kaki untuk berlari. Tapi, gerakan Gayat Ngalim lebih cepat. Kain baju Dara
robek lagi. Karena tarikan Gayat Ngalim cukup kuat, tubuh Dara
kali ini sampai terpelanting ke kanan. Untung dia masih dapat menjaga
keseimbangan tubuhnya,
sehingga tidak sampai jatuh tersungkur.
"Hmmm.... Kulitmu cukup mulus, Dara.
Mungkin tak kalah mulus bila dibanding dengan
kulit Kusuma...," ujar Gayat Ngalim dengan pandangan menyala-nyala karena
desakan hawa naf-
sunya. Sementara, Dara yang tadi memperlihatkan keberaniannya telah menjadi
sangat ketakutan.
Dia duduk meringkuk di sudut ruangan sambil
mendekap dadanya yang terbuka. Gadis ini bisa
membayangkan apa yang akan diperbuat Gayat
Ngalim kepada dirinya. Maka, cepat dia kumpul-
kan lagi seluruh keberaniannya. Dipelototinya lagi Gayat Ngalim.
"Jahanam! Aku sudah punya suami! Jan-
gan berlaku kurang ajar!" hardik Dara.
Tapi, Gayat Ngalim malah tertawa bergelak.
Sekali renggut tanggallah sisa kain kebaya yang dipakai Dara.
"Aku tuanmu. Kau harus menuruti segala
yang kumau!" ujar Gayat Ngalim sambil menjilati
kulit mulus Dara dengan pandangan matanya.
"Tidak! Lebih baik mati daripada menuruti
kemauan anjing buduk macam kau!" pekik Dara.
Dengan sinar mata berkilat Dara bangkit
dari duduknya. Lalu, mendorong tubuhnya se-
kuat tenaganya. Maksudnya untuk membentur-
kan kepalanya ke dinding hingga pecah. Namun,
bukan permukaan dinding keras yang terbentur
kepala Dara, melainkan telapak tangan Gayat
Ngalim yang bisa membaca maksud Dara untuk
bunuh diri. "Kau boleh melakukan apa saja termasuk
bunuh diri. Tapi, sebelumnya kau harus melaya-
niku dulu...," ujar Gayat Ngalim seraya memeluk erat tubuh Dara, yang lalu
mendaratkan ciuman-ciuman ganas.
"Jangan! Jangan!" jerit Dara seraya meron-ta-ronta sekuat tenaga. Tapi apa daya,
tenaga Gayat Ngalim terlalu kuat untuk dapat dilawan
gadis lemah seperti dirinya.
Hanya lewat sentakan pelan, tubuh Dara
jatuh telentang di lantai. Tangan kanan Gayat
Ngalim berkelebat cepat. Dirobeknya kain bawah
Dara. Untuk beberapa saat Gayat Ngalim berdiri
terpaku di tempatnya. Jakunnya naik-turun me-
lihat pemandangan indah yang terpampang di
hadapannya. "Ternyata kau cantik sekali, Dara...," desis Gayat Ngalim.
Bergegas Dara menggulingkan tubuhnya ke
kiri ketika Gayat Ngalim menerkamnya. Namun,
gerakannya kurang cepat. Bahunya dapat dicekal.
Hingga, jatuhlah dia dalam pelukan erat Gayat
Ngalim yang telah dikuasai nafsu setan!
Dara tak mampu menjerit karena bibirnya
dipagut kuat-kuat oleh Gayat Ngalim. Jeritan Da-ra baru terdengar ketika Gayat
Ngalim mengalih-
kan sasaran ciumannya. Dengan dengus napas
memburu dia berusaha melepas pakaiannya sen-
diri. Tapi, baru saja dia membuka kancing ba-
junya, tiba-tiba.....
"Lelaki bejat...!"
Terdengar sebuah makian. Disusul berke-
lebatnya sebuah bayangan yang langsung beru-
saha mendaratkan tendangan ke kepala Gayat
Ngalim! Plak...! Gayat Ngalim yang sudah dikuasai nafsu
birahinya ternyata masih mampu menepis seran-
gan dengan mengangkat telapak tangan kanan-
nya. Kaki si penyerang seperti membentur tembok baja setebal satu depa. Namun,
si penyerang yang ternyata Kusuma alias Putri Racun tak menjadi terkejut. Dia
sudah menduga akan kehebatan lawan. Selagi Gayat Ngalim meloncat berdiri, cepat
dia sambung lagi serangannya dengan sebuah
pukulan mengarah ke dada!
"Kurang ajar!" geram Gayat Ngalim sambil mengegos tubuh ke kiri. Tahu siapa yang
menyerangnya, pemuda ini segera meloncat jauh. "Tahan!" serunya.
Putri Racun tak melanjutkan lagi seran-
gannya. Gadis yang berpakaian ungu-hitam ini sen-
gaja datang ke sarang Partai Alis Putih bukan untuk membunuh Gayat Ngalim, tapi
untuk me- maksanya mengaku sebagai penyebar fitnah atas
pembunuhan Danang Burgundi.
Gayat Ngalim terkesiap. Putri Racun ter-
nyata tidak datang sendirian. Suropati dan Puspi-ta berdiri tegak di kanan-
kirinya. Gayat Ngalim tak habis mengerti bagaimana mereka bisa masuk
ke sarangnya tanpa diketahui anak buahnya yang
melakukan penjagaan ketat"
Puspita segera melepas baju luarnya. Dan,
diberikannya kepada Dara yang terlihat menangis sambil meringkuk memeluk lutut
"Pakailah. Dan, segeralah pergi dari tempat ini," ujar Puspita.
Dara segera mengenakan baju luar pembe-
rian Puspita. Usai membenarkan letak kain ba-
wahnya yang robek, dia berlari cepat keluar ruangan. "Terima kasih.... Terima
kasih...," ucapnya tanpa menolehkan kepala. Agaknya rasa takut
begitu menggeluti jiwanya.
"Hmm.... Ada urusan apa kau datang ke
tempat kediamanku, Kusuma?" selidik Gayat Ngalim. "Kau datang bersama dua
temanmu, apakah mereka sengaja kau ajak untuk menjadi saksi
bersatunya cinta kita pada malam hari ini?"
"Dua temanku memang akan segera men-
jadi saksi. Mereka akan turut mendengar penga-
kuanmu atas pembunuhan yang kau lakukan ke-
pada Danang Burgundi!" tukas Putri Racun.
"Ha ha ha...!" Gayat Ngalim tertawa bergelak. "Sebenarnya aku hendak marah
karena kau telah menggangguku, tapi melihat wajahmu yang
cantik-jelita, amarahku lenyap mendadak. Ha ha
ha...! Aku bisa membersihkan nama baikmu, Ku-
suma. Asal kau bersedia menjadi istriku!"
"Cih! Tak tahu malu!" hardik Putri Racun seperti orang jijik mendengar perkataan
Gayat Ngalim. Sementara, Suropati yang mengenali Gayat
Ngalim sebagai lelaki yang tadi sore datang ke Kedai Melati dan menjatuhkan
tuduhan terhadap
Putri Racun, melangkah maju setindak.
"Cinta tak dapat dipaksakan...," ujarnya.
"Harap kau tahu itu. Kusuma tak bersalah apa-apa, kenapa kau menjatuhkan fitnah
keji kepa- danya." Gayat Ngalim menatap tajam wajah Pen-
gemis Binal. "Aku tahu kau Suropati Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti...," ucapnya bernada sinis. "Kau katakan aku menjatuhkan fitnah terhadap
Kusuma. Apakah kau telah
berpikir sebelum mengatakan itu" Tidak sadarkah kau bila kau sendiri yang telah
menjatuhkan fitnah atas diriku?"
"Jangan bersilat lidah, Ngalim!" hardik Suropati. "Ha ha ha...!" Gayat Ngalim
tertawa bergelak lagi. "Siapa yang bersilat lidah, Suro" Kau tak perlu membela
orang yang bersalah. Kusuma ada-
lah seorang perampok dan pembunuh. Beberapa
anak buahku menjadi saksinya!"
"Hmmm.... Begitukah?" ujar Pengemis Binal. Otaknya segera diputar. "Aku tak akan
membela orang yang bersalah. Tapi, aku belum yakin bila Kusuma, sahabatku,
benar-benar seorang perampok dan pembunuh. Bisakah kau menda-
tangkan beberapa anak buahmu yang kau kata-
kan dapat menjadi saksi?"
Gayat Ngalim tampak berpikir sejenak.
"Baik. Aku akan mendatangkan mereka. Setelah kau mendengar kesaksian mereka, kau
dan temanmu yang menyandang pedang di punggung
itu harus menyingkir dari tempat ini dan jangan mencampuri urusanku lagi!
Bagaimana?"
"Aku turuti tawaranmu. Aku dan Puspita
akan pergi setelah aku mendapat kepastian bila
Kusuma benar-benar seorang gadis jahat."
Di ujung kalimat Pengemis Binal, Gayat
Ngalim tersenyum tipis. "Tunggulah sebentar...,"
katanya seraya melangkahkan kaki, keluar ruan-
gan. "Aku tak tahu apa rencanamu, Suro...,"
ujar Kusuma setelah sosok Gayat Ngalim menghi-
lang dari pandangan.
"Percayalah padaku, Kusuma. Aku tak


Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mencelakakanmu...," bisik Pengemis Binal di dekat telinga Putri Racun.
Putri Racun tak melanjutkan pertanyaan-
nya lagi karena Gayat Ngalim keburu muncul ber-
sama empat pemuda yang kesemuanya berpa-
kaian serba putih, sama dengan Gayat Ngalim ke-
tua mereka. Bulu alis mereka juga berwarna pu-
tih. "Palindung, kau wakili ketiga temanmu untuk mengatakan apa yang kau ketahui
tentang peristiwa di tepi Hutan Jalonggrang...," perintah Gayat Ngalim kepada pemuda
berhidung pesek
yang berdiri di sisi kirinya.
Palindung menghirup udara dalam-dalam,
lalu ucapnya dengan suara berat, "Aku menyaksikan sebuah perbuatan kejam. Aku
menyaksikan sebuah perampokan berdarah. Danang Burgundi
seorang punggawa kadipaten mati terbunuh sete-
lah sekantung uang emasnya dirampas...."
"Katakan siapa yang melakukan perbuatan
kejam itu!" perintah Gayat Ngalim dengan bibir menyungging senyum kemenangan.
Palindung mengedarkan pandangan. Dita-
tapnya wajah Gayat Ngalim sejenak. Lalu, dita-
tapnya bergantian wajah Suropati dan Puspita.
Ketika menatap wajah Kusuma, dia langsung me-
nunjuk, "Gadis itulah yang telah merampok dan membunuh Danang Burgundi!"
Putri Racun kontan menggeram marah
mendengar tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Gadis ini hendak meloncat untuk menonjok mu-
lut Palindung, tapi Suropati mencegahnya.
"Tahan perasaanmu, Kusuma...!" bisik
Pengemis Binal, mempergunakan ilmu memin-
dahkan suara. "Ha ha ha...!" Gayat Ngalim tertawa berge-
lak. "Kini kau telah mendengar penuturan saksi mata yang melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana kejamnya Kusuma. Sayang, gadis can-
tik tapi punya perilaku buruk...."
"Aku belum yakin bila Kusuma adalah pe-
laku perampokan dan pembunuhan itu, Ngalim!"
tukas Pengemis Binal. "Tiga orang pemuda yang kau ajak kemari itu belum
mengatakan apa-apa."
Gayat Ngalim tersenyum tipis. Matanya
melihat ketiga teman Palindung satu persatu, lalu katanya, "Benarkah apa yang
di..." "Tunggu!" sergah Pengemis Binal. "Aku yang bertanya kepada mereka!"
Gayat Ngalim mendengus gusar. "Baik-
lah.... Kau boleh bertanya apa yang kau ingin ta-hu, agar kau puas hatimu ketika
meninggalkan tempat ini...," ujarnya setelah terlebih dahulu menahan amarahnya.
Pengemis Binal menatap tajam wajah tiga
pemuda yang berdiri berderet di sisi kiri Palindung. Diam-diam remaja konyol ini
mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya.
"Benarkah apa yang telah dikatakan oleh
teman kalian yang bernama Palindung itu?" tanya Pengemis Binal kemudian.
Suaranya datar saja.
Namun, di baliknya tersimpan kekuatan yang
memaksa tiga anak buah Gayat Ngalim untuk
mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
"Tidak!" jawab ketiga teman Palindung serempak.
"Jadi, Palindung telah memberi kesaksian
palsu?" "Ya!"
Mendengar jawaban ketiga anak buahnya,
mengelam paras Gayat Ngalim. Ketua Partai Alis
Putih ini hendak membentak, tapi suara Penge-
mis Binal keburu menghalangi niatnya.
"Diamlah kau, Gayat Ngalim! Kau telah
memberi kebebasan kepadaku untuk bertanya
kepada anak buahmu. Harap kau pegang kata-
katamu!" Gayat Ngalim menggeram, tapi tak dapat
berbuat apa-apa ketika Pengemis Binal melan-
jutkan pernyataannya.
"Kau, yang berdiri di sebelah Palindung,"
tunjuk Suropati, "Ceritakan peristiwa yang sebenarnya!"
Pemuda yang dahinya terdapat luka gore-
san senjata tajam menarik napas panjang. Pemu-
da yang telah dipengaruhi sihir Suropati ini lalu bercerita.
"Sepekan yang lalu, bersama ketiga teman-
ku, aku diajak Tuan Gayat Ngalim pergi ke pinggir Hutan Jalonggrang. Sesuai
rencana yang telah di-atur oleh Tuan Gayat Ngalim, kami menghadang
laju kuda Danang Burgundi..."
"Bangsat! Hentikan ucapanmu!" pekik
Gayat Ngalim. Cepat sekali Suropati melesatkan tubuh-
nya ketika melihat Gayat Ngalim hendak menya-
rangkan pukulan maut ke kepala pemuda yang
tengah bercerita.
Duk...! Tuk...! Tuk...!
"Aaakh...!"
Pukulan Gayat Ngalim berhasil ditangkis
oleh Suropati. Gayat Ngalim pun tak dapat melanjutkan niatnya untuk membunuh
anak buahnya karena beberapa totokan Suropati keburu menda-
rat di tubuhnya. Hingga, menjadikannya tak da-
pat berbuat apa-apa lagi, kecuali berdiri tegak-kaku bagai patung. Hanya bola
matanya yang bergerak jelalatan mengandung ancaman kema-
tian. "Kau terima dulu hukuman itu, Ngalim...,"
ujar Suropati sambil menggaruk kepalanya. Pan-
dangan remaja konyol ini lalu beralih ke pemuda yang berdiri di sisi kiri
Palindung. "Lanjutkan ce-ritamu!" perintahnya kali ini tanpa disertai kekuatan
ilmu sihir. "Tak perlu takut. Dengan mengatakan peristiwa yang sebenarnya, kau
akan men- gungkapkan kebusukan Gayat Ngalim. Itu berarti, kau tak akan mempunyai ketua
berwatak jahat.
Gayat Ngalim akan diadili pejabat kadipaten. Ke-dudukannya sebagai Ketua Partai
Alis Putih bisa digantikan oleh orang yang lebih tepat."
"Ya. Kita harus mengatakan hal yang sebe-
narnya!" tegas Palindung tiba-tiba. "Teruskan ce-ritamu, Warak!"
Semakin jelalatan saja mata Gayat Ngalim
mendengar ucapan Palindung. Namun, pemuda
culas ini tak mampu berbuat apa-apa lagi. Bah-
kan, mengeluarkan suara pun tidak. Urat besar di
pangkal lehernya juga menjadi sasaran totokan
Suropati. Sebelum pemuda yang dipanggil Warak
melanjutkan ceritanya, Putri Racun menyentuh
bahu Pengemis Binal. "Tidakkah lebih baik mereka kita bawa saja untuk bersaksi
di hadapan Pa- tih Juna Kambang, Suro?"
Suropati menatap wajah Putri Racun seki-
las. Lalu, tanyanya kepada Palindung, "Kenapa kau tadi memberi kesaksian palsu?"
"Aku dipaksa oleh Gayat Ngalim. Dia men-
gancam akan membunuh seluruh keluargaku,
termasuk aku sendiri. Ketiga temanku juga dian-
cam demikian. Tapi setelah melihat bagaimana
kau dengan mudah melumpuhkan Gayat Ngalim,
aku jadi tak takut lagi kepadanya. Aku yakin kau akan melindungiku."
Pengemis Binal mengangguk-angguk. "Ka-
lian semua bersedia memberikan kesaksian atas
kelicikan Gayat Nalim dan membersihkan nama
baik Kusuma?"
"Kami bersedia!" jawab Palindung dan teman-temannya, serempak.
"Kita berangkat sekarang juga ke Pendapa
Kadipaten. Berikan kesaksian kalian di hadapan
Patih Juna Kambang."
Namun... sebelum Palindung dan ketiga
temannya mengikuti langkah Suropati, terdengar
bentakan keras. "Matilah kalian semua!"
Walau terkejut tapi Putri Racun masih
mampu bergerak cepat. Tubuh gadis ini melesat
ke depan memapaki seberkas cahaya putih yang
hendak menerpa tubuh Palindung dan ketiga te-
mannya! Blarrrr...! Sebuah ledakan dahsyat terdengar ketika
seberkas cahaya putih bertumbukan dengan ge-
lombang angin yang muncul dari kedua telapak
tangan Putri Racun. Lantai ruangan berguncang.
Keempat dindingnya tiba-tiba jebol. Palindung
dan ketiga temannya menggigil ketakutan melihat Gayat Ngalim yang mendadak telah
berdiri tegak dengan kedua pergelangan tangan terjulur lurus
ke depan. "Kalian semua harus mati di tempat ini!"
ancam Gayat Ngalim dengan sinar mata berkilat-
kilat. Bagaimana Ketua Partai Alis Putih ini bisa terbebas dari pengaruh totokan
Pengemis Binal"
Sebagai seorang ketua partai yang memim-
pin banyak orang, tentu saja Gayat Ngalim mem-
punyai ilmu kesaktian yang bisa diandalkan.
Gayat Ngalim juga menguasai ilmu 'Pemencar Ja-
lan Darah', sebuah ilmu memindahkan jalan da-
rah yang berasal dari wilayah selatan. Ilmu itu dapat membuat pemiliknya tak
mempan ditotok karena jalan darah di tubuhnya dapat dipindah-
pindahkan sesuka hati. Kalau tadi Gayat Ngalim
sempat menjadi kaku-kejang karena totokan Su-
ropati, itu karena dia tidak sempat menerapkan
ilmu 'Pemencar Jalan Darah'-nya. Tapi setelah
beberapa saat waktu berlalu, Gayat Ngalim dapat menghimpun hawa saktinya.
Hingga, dia berhasil
menerapkan ilmu 'Pemencar Jalan Darah'-nya.
Dan, terbebaslah dia dari pengaruh totokan Pen-
gemis Binal. "Kusuma, Puspita, lindungi keempat pe-
muda itu ke Pendapa Kadipaten!" ujar Suropati ketika mendengar suara gaduh
langkah kaki puluhan anggota Partai Alis Putih.
"Kau sendiri bagaimana, Suro?" tanya Kusuma. "Aku akan menyusul kalian dengan
membawa Gayat Ngalim hidup-hidup! Cepatlah pergi
sebelum anak buah Gayat Ngalim tiba di tempat
ini!" Kusuma dan Puspita yang telah tahu akan kesaktian Pengemis Binal segera
mengajak Palindung dan ketiga temannya meninggalkan tempat.
Baru saja sosok tubuh mereka menghilang dari
pandangan, belasan pemuda anggota Partai Alis
Putih memasuki ruangan. Puluhan orang lainnya
berjaga-jaga di luar. Semua memegang pedang
terhunus. Sementara, Gayat Ngalim yang hendak
mengejar kepergian empat anak buahnya, meng-
gembor keras karena kelebatan tubuh Pengemis
Binal menghalangi maksudnya.
"Kau dapat menyusul mereka setelah kau
berhasil kulumpuhkan dan anak buahmu me-
nyaksikan sifat burukmu!" ujar Pengemis Binal.
"Bangsat!" umpat Gayat Ngalim. Pemuda ini lalu memerintahkan anak buahnya untuk
menyerang Suropati. "Bunuh dia!"
"Tahan...!" pekik Pengemis Binal dengan suara lantang.
Belasan pemuda yang telah siap memba-
batkan pedang masing-masing tampak terkejut
karena gendang telinga mereka bagai ditepuk.
Jantung mereka yang tiba-tiba berdegup lebih cepat membuat mereka tersurut
mundur. "Ketua kalian yang bernama Gayat Ngalim
itu bukanlah orang baik-baik. Dia pemuda jahat
yang telah membunuh Danang Burgundi!" ujar Suropati. "Aku akan membuktikan
kejahatan ketua kalian itu malam ini juga di Pendapa Kadipaten." "Bohong! Bunuh
dia cepat! Dia seorang pengacau!" tolak Gayat Ngalim.
Namun. tak seorang pun dari anggota Par-
tai Alis Putih yang menuruti perintah ketuanya.
Mereka tetap berdiri di tempat masing-masing.
Agaknya mereka percaya pada ucapan Suropati.
Dan, sesungguhnya mereka pun telah lama tak
suka pada Gayat Ngalim yang sering menunjuk-
kan perangai buruk.
"Tunggu apa lagi"! Cepat bunuh dia!" perintah Gayat Ngalim, lebih keras dan
lantang. Mengelam paras Gayat Ngalim mengetahui
tak seorang pun anak buahnya yang menjalankan
perintahnya. Sambil menggembor keras, pemuda
ini lalu menerjang Suropati!
"Kukira tanganku sendiri sudah mampu
untuk memecahkan batok kepalamu!"
"Uts!" Pengemis Binal berkelit ke samping,
menghindari kepalan tangan Gayat Ngalim yang
mengarah kepala. "Kau boleh bangga karena dapat terbebas dari pengaruh
totokanku. Tapi, jangan harap kau dapat lolos dari hukuman setelah
kupatahkan kedua kakimu!"
Cepat sekali Suropati mengempos tubuh.
Sebelum kepalanya membentur langit-langit
ruangan, dia bersalto, lalu kedua tangannya di-
buka lebar-lebar. Dengan gerakan 'Pengemis Me-
minta Sedekah' hendak ditangkapnya kedua kaki
Gayat Ngalim. Sayang, Gayat Ngalim telah melon-
cat jauh. Namun sebelum Gayat Ngalim membalas
serangan, Suropati berteriak, "Tetaplah di tempat-mu!" Teriakan yang disertai
kekuatan ilmu sihir membuat Gayat Ngalim berdiri terpaku di tempatnya. Sebelum
pemuda ini menyadari apa yang ter-
jadi, Suropati telah mencengkerak kedua lutut-
nya! "Wuah...!"
Gayat Ngalim memekik kesakitan ketika ja-
ri-jari tangan Pengemis Binal menancap di tulang lututnya. Para anggota Partai
Alis Putih cuma dapat memandang dengan muka melongo tatkala
Pengemis Binal berkelebat keluar ruangan dengan membopong tubuh Gayat Ngalim
yang sudah tak sadarkan diri. 7

Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di tepi Hutan Jalonggrang, kami diperin-
tah untuk mencegat kuda Danang Burgundi. Se-
lagi Danang Burgundi marah-marah kepada ka-
mi, Gayat Ngalim menyambar kantung uang emas
yang terikat di pinggangnya. Setelah menampar
wajah Danang Burgundi, Gayat Ngalim menakut-
nakuti dengan memperlihatkan ilmu kesaktian-
nya...," tutur Warak ketika memberi kesaksian di hadapan Patih Juna Kambang dan
beberapa pejabat tinggi kadipaten. "Gayat Ngalim memberi ta-hu kepada kami bahwa
ada orang yang tengah
mengintai perbuatan kami. Dia memerintahkan
agar kami cepat-cepat menyingkir. Sebelumnya
dia menyerahkan kantung uang emas yang telah
dirampasnya kepada kami, kami dipesan agar me-
letakkannya di atas altar sembahyang kami. Dia
berpesan pula agar kami memerintahkan seluruh
anggota Partai Alis Putih, meninggalkan tempat
kediaman. Dan, kami melaksanakannya dengan
baik." "Tutup mulutmu, Warak!" teriak Gayat Ngalim yang tampak duduk meringkuk
di lantai dengan kedua kaki berhias darah kering.
"Diam kau, Ngalim!" bentak Patih Juna Kambang yang berusia enam puluh tahunan.
"Kami tak tahu apa rencana Gayat Ngalim
selanjutnya. Tapi keesokan harinya kami men-
dengar kabar bila Danang Burgundi telah me-
ninggal dibunuh orang. Kami berempat tentu saja menjadi ketakutan karena
khawatir dituduh sebagai pembunuh. Tapi, Gayat Ngalim mengatakan
bahwa kami harus mengatakan kepada semua
orang bahwa Kusuma-lah pelaku perampokan
dan pembunuhan itu."
Di ujung kalimat Warak, Suropati yang
berdiri di dekat Gayat Ngalim berkata, "Sekarang sudah jelas bahwa Kusuma alias
Putri Racun tidak bersalah apa-apa. Dia telah menjadi korban
fitnah keji Gayat Ngalim...," Suropati lalu menekan tengkuk Gayat Ngalim.
"Kenapa kau lakukan semua ini, Ngalim"!" tanyanya dengan suara berat memaksa.
"Aku tidak melakukan apa-apa! Semua
yang dikatakan Warak adalah bohong!" pungkir Gayat Ngalim.
"Tidak! Warak berkata yang sebenarnya!"
tegas Palindung yang duduk di sisi kanan Warak.
Dua temannya yang lain turut menegaskan. "Ya!
Warak berkata benar!"
"Kau dengar itu, Ngalim?" ujar Pengemis Binal sambil tetap mencengkeram tengkuk
Gayat Ngalim. "Kau tak dapat berkelit lagi. Sekarang katakan apa maksudmu dengan
melempar fitnah
pada Kusuma!"
Mendadak, Gayat Ngalim meneteskan air
mata. Dengan suara patah-patah dia berkata,
"Aku... aku mencintai Kusuma, tapi ditolaknya.
Aku jadi sakit hati...."
"Kau bunuh Danang Burgundi, lalu kau ja-
tuhkan tuduhan kepada Kusuma! Bukankah be-
gitu yang terjadi?"
Gayat Ngalim tak menjawab. Dia mendekap
wajahnya dengan kedua tangan. Pemuda ini lalu
menangis menggerung-gerung menyesali perbua-
tannya. "Kini semuanya sudah jelas, Gusti Patih...,"
ujar Pengemis Binal dengan tubuh dibungkukkan
ke arah Patih Juna Kambang. "Sudah jelas bila Gayat Ngalim adalah seorang
penjahat culas.
Gusti Patih tentu tahu hukuman apa yang pantas
untuk dijatuhkan kepadanya...."
Putri Racun yang duduk di kanan Puspita,
satu tombak dari tempat Gayat Ngalim, tampak
beringsut ke depan. Diserahkannya kantung emas
bersulam yang dibawanya kepada Patih Juna
Kambang. "Uang emas dalam kantung ini tak
berkurang sekeping pun. Semula saya bermaksud
menyerahkan kantung uang emas ini dan kuda
merah kepada pemiliknya, tapi Danang Burgundi
keburu meninggal..."
Patih Juna Kambang menerima kantung
uang emas tanpa berkata apa-apa.
"Sekarang, izinkan saya meninggalkan
tempat ini, Gusti Patih...," mohon Putri Racun.
"Saya harus datang secepatnya ke Katumenggungan Lemah Abang yang terletak di
wilayah Kera- jaan Pasir Luhur. Ada sesuatu yang harus saya
kerjakan di sana."
Putri Racun teringat pesan Saka Purdianta
yang disampaikan oleh Suropati di Pendapa Kadi-
paten Bumiraksa.
Patih Juna Kambang mengangguk. "Karena
urusanmu sudah selesai, aku tak dapat mena-
hanmu lagi."
Putri Racun membungkuk hormat. Bersa-
ma Suropati dan Puspita, gadis ini lalu pergi meninggalkan Pendapa Kadipaten
Tanah Loh. Patih
Juna Kambang yang memegang kendali pemerin-
tah selama Adipati Barasangga pergi, menjatuh-
kan hukuman mati terhadap Gayat Ngalim. Selu-
ruh anggota Partai Alis Putih yang mengikuti per-sidangan di luar pendapa
tampaknya dapat mene-
rima keputusan itu. Gayat Ngalim memang pan-
tas dihukum mati untuk menebus kelicikannya.
SELESAI Segera menyusul!!!
Serial Pengemis Binal dalam episode:
MUSLIHAT CINTA SANG PANGERAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pendekar Remaja 11 Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Bangau Sakti 31
^