Pencarian

Bangkitnya Kebo Ireng 1

Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng Bagian 1


BANGKITNYA KEBO IRENG Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Bangkitnya Kebo Ireng
128 hal. 1 Kabut masih menyelimuti puncak Bukit Selak-
sa Mambang. Sang baskara bagai perawan yang malu-
malu menampakkan diri. Sinarnya lemah tak mampu
menembus rimbunan daun. Rumput ilalang masih ba-
sah oleh butiran embun. Satwa-satwa malas berkelia-
ran mencari makan untuk melanjutkan kehidupannya.
Agaknya, karena dingin begitu menusuk tulang.
Pohon raksasa banyak tumbuh di puncak bukit
itu. Rimbunan daun melebar bagai ratusan payung
yang dijajarkan. Konon puncak Bukit Selaksa Mam-
bang adalah tempat berkumpulnya jin, setan, peri pe-
rayangan, dan makhluk-makhluk halus lainnya. Tapi
yang unik, di puncak bukit itu banyak terdapat batu
apung. Batu itu akan mengambang bila dilemparkan
ke dalam air. Mungkin karena itulah, gundukan tanah
tinggi itu dinamakan Bukit Selaksa Mambang.
Seorang gadis cantik berusia sekitar sembilan
belas tahun tampak berjalan menembus semak belu-
kar. Pakaiannya berwarna putih-merah, kelihatan
ringkas membungkus badannya yang padat berisi.
Rambut gadis itu digelung ke atas dan diikat dengan
sehelai kain hijau. Wajah si gadis sangat cantik, namun tampak begitu pucat.
Bibirnya terkatup rapat
menahan gigi yang bergemeletukan oleh hawa dingin
yang terasa menggigil.
"Sebelum siang aku harus sudah menemukan
gua yang kucari. Aku tidak mau sekembali ku dari sa-
na, hari telah gelap. Aku takut roh-roh jahat itu memang benar ada...," gumam
gadis itu yang tak lain Ingkanputri, murid Arumsari atau Dewi Tangan Api yang
sudah terkenal di rimba persilatan.
Gadis cantik itu bersusah payah mendaki Bukit
Selaksa Mambang yang diketahui orang sangat angker.
Tujuannya tak lain untuk menuruti wasiat terakhir
Resi Agaswara yang telah mati di tangan Margana Kal-
pa atau Malaikat Bangau Sakti.
Ingkanputri pernah diselamatkan oleh Resi
Agaswara saat dia terpengaruh ilmu sihir Sekar
Mayang atau Bidadari Lentera Merah, yang kemudian
mengubah julukannya menjadi Penghimpun Angkara.
(Untuk jelasnya mengenai cerita Ingkanputri baca seri-al Pengemis Binal episode
'Bidadari Lentera Merah').
Ilmu sihir Sekar Mayang sanggup menghilang-
kan daya ingat Ingkanputri. Gadis cantik itu lalu dijadikan budak. Tapi setelah
Sekar Mayang mati di tan-
gan Suropati atau si Pengemis Binal, Ingkanputri berkelana tak tentu rimbanya
dengan berperilaku seperti orang kurang waras, karena ilmu sihir yang memper-
budaknya belum lepas seluruhnya.
Bertemulah Ingkanputri dengan Resi Agaswara.
Dan, Resi Agaswara dapat melenyapkan pengaruh ilmu
sihir jahat yang membelenggu jiwa Ingkanputri.
Ingkanputri yang sudah yatim piatu menjadi
akrab dengan Resi Agaswara. Mereka pergi berkelana
bagai ayah dan anak. Keduanya kemudian bertemu
dengan Margana Kalpa yang menjatuhkan tangan
maut kepada Resi Agaswara. Sebelum maut menjem-
put, pertapa itu berpesan kepada Ingkanputri untuk
memasuki sebuah gua yang terdapat di puncak Bukit
Selaksa Mambang.
"Aku tak tahu apa yang berada di dalam gua
itu. Tapi dari pesan Resi Agaswara yang disampaikan
beberapa saat sebelum dia meninggal, tampaknya apa
yang terdapat di dalam gua adalah sesuatu yang san-
gat penting," gumam Ingkanputri.
Gadis cantik itu terus melangkah menembus
semak belukar. Sesampainya di puncak bukit kabut
masih mengaburkan pandangan. Padahal mentari te-
lah melintas naik.
Di puncak bukit itu Ingkanputri menghem-
poskan tubuhnya berlari cepat. Dia berlari mengitari puncak bukit. Namun hingga
peluh membanjiri tubuh
gadis cantik itu, dia tak juga menemukan gua yang
dimaksud Resi Agaswara.
"Apakah Resi Agaswara salah menyampaikan
pesan?" pikir Ingkanputri. "Tapi, tampaknya itu tak mungkin. Pesan orang yang
akan meninggal tentu benar adanya."
Gadis cantik itu lalu menghemposkan tubuh-
nya kembali untuk mengitari puncak Bukit Selaksa
Mambang. Sementara di atas langit berwarna biru in-
dah. Mega menggumpal membentuk rona-rona indah
bagai lukisan. Mentari yang telah memayung di atas
kepala memancarkan sinar panas. Dingin tak lagi me-
magut puncak Bukit Selaksa Mambang. Burung-
burung bernyanyi memamerkan suara merdunya.
Ingkanputri menghentikan langkah kakinya di
sebuah tanah lebar. Dilihatnya terdapat sebuah lubang tak lebih dari lingkaran
mangkuk besar di atas permukaan tanah. Gadis cantik itu lalu berjongkok di sisi
lubang. "Apakah gua yang dimaksud Resi Agaswara
adalah gua bawah tanah" Dan, lubang yang kutemu-
kan ini adalah pintunya?"
Ingkanputri memukul-mukulkan kepalan tan-
gannya ke permukaan tanah di sekitar lubang. Terden-
gar suara yang mengisyaratkan kalau tanah di sekitar lubang ternyata berongga.
Bibir Ingkanputri menyunggingkan senyum. Dihantamkannya kepalan tangannya
lebih keras. Pergelangan tangan Ingkanputri pun am-
blas ke dalam tanah sampai sebatas siku.
Sengaja gadis cantik itu tak segera mencabut
pergelangan tangannya. Saat dia membuka jemari, te-
rasa olehnya ada ruangan kosong yang terdapat di ba-
wah telapak tangannya. Ingkanputri menancapkan
pergelangan tangan kanannya lebih dalam, kemudian
ditekuknya dengan jemari terbuka. Dari bawah gadis
cantik itu membuat pukulan ke atas yang dilambari
tenaga dalam. Brooolll....! Permukaan tanah terkuak lebar. Akar-akar po-
hon yang menopang gumpalan tanah berhamburan ke
luar. Ingkanputri tersenyum lebar. Di hadapannya
telah terpampang kubangan tanah sebesar tubuhnya.
Tapi karena dia merasa kubangan tanah itu masih ter-
lalu sempit, Ingkanputri menghentakkan kaki kanan-
nya. Akar-akar pohon kembali berserabutan keluar
dan kubangan tanah menjadi lebih lebar.
Ingkanputri menatap sebentar lubang besar
yang didapatkannya. Kemudian, dengan cekatan dia
mengumpulkan ranting-ranting kering. Setelah dirasa
cukup, ranting-ranting itu diikatnya dengan besetan
kulit pohon. Dari sebatang ranting yang disisakan, Ingkan-
putri membuat obor dengan menggunakan pemantik
yang terbuat dari batu api. Ingkanputri menunggu
sampai api menyala besar. Setelah itu, ditentengnya
ikatan ranting di tangan kiri. Lalu, meloncat ke dalam lubang yang baru saja
dibuatnya. Kedalaman lubang itu ternyata melebihi tinggi
dua manusia dewasa, Ingkanputri berputar sejenak
memeriksa lubang yang ternyata buntu. Tapi karena
gadis cantik itu merasa yakin lubang yang dimasu-
kinya adalah gua yang dimaksud Resi Agaswara, dia
membetot akar-akar pohon yang berserabutan di dind-
ing tanah. Ingkanputri akhirnya mendapatkan sebuah lu-
bang kecil mirip liang tikus. Diketuk-ketuknya tanah di sekitar sebuah lorong
gelap yang tampaknya sangat panjang.
Dengan mengambil sebatang ranting dari ika-
tannya Ingkanputri memperbesar nyala obor. Berjalan-
lah dia memasuki lorong gelap. Tak lupa Ingkanputri
membawa ikatan ranting sebagai obor nanti.
Lorong yang dimasuki Ingkanputri tidak sebe-
rapa lebar. Seringkali dia harus memiringkan tubuh-
nya untuk dapat terus berjalan. Satu demi satu rant-
ing dalam ikatan tangan kiri Ingkanputri mulai habis.
Saat ranting benar-benar habis, bingunglah Ingkanpu-
tri. Tapi dia tak mau putus asa. Walau kegelapan terpampang di hadapannya,
Ingkanputri terus berjalan
sambil meraba-raba dinding tanah.
"Sudah telanjur basah...," kata hati gadis cantik itu. "Biarlah aku mati di
sini. Kalau memang itu sudah ditakdirkan Tuhan. Untuk kembali ke atas, hanya
manusia pengecut berjiwa kerdillah yang mau melaku-
kannya...."
Dengan tekad bulat Ingkanputri terus melang-
kah. Tidak jarang dia jatuh terjungkal saat kakinya terantuk batu. Atau,
lehernya terjerat akar-akar pohon yang berserabutan dari atas.
Namun, tiba-tiba Ingkanputri melihat seberkas
cahaya bagai kemerlip bintang. Semakin kuatlah tekad Ingkanputri. Kakinya
dilangkahkan lebar-lebar. Tapi
saat cahaya yang dia tuju tinggal beberapa tombak da-ri hadapannya, terdengarlah
suara aneh. Ingkanputri
terkejut, indera pendengarannya langsung dipertajam.
"Ular...," gumam gadis cantik itu. "Suara aneh itu mirip desisan ular."
Ingkanputri berusaha melihat ke lantai lorong
yang berupa tanah gembur. Hanya kegelapanlah yang
dia lihat. Seberkas cahaya di depan hanya sanggup
menerangi lorong bagian atas. Tiba-tiba suara aneh itu terdengar semakin jelas.
"Oh, ular itu mendekatiku...," bisik Ingkanputri.
Mau tak mau bulu kuduk gadis cantik itu meremang.
"Bila ular itu mempunyai bisa yang sangat jahat, sang-gupkah aku melawannya
dalam keadaan gelap begini?"
Ketegangan itu hanya berjalan sebentar. Suara
aneh yang ditangkap telinga Ingkanputri mendadak le-
nyap. Ingkanputri mengambil napas panjang. Lang-
kahnya kembali dilanjutkan tanpa sedikit pun mening-
galkan kewaspadaan. Saat gadis cantik itu telah bera-da di dekat sumber cahaya,
Ingkanputri berbelok ke
kiri. Gadis cantik itu terperanjat dengan mulut terbuka. Dia telah berada di
ambang pintu sebuah ruan-
gan besar. Dindingnya banyak terdapat obor gas alam.
Dinding itu terbuat dari susunan batu. Demikian pula dengan lantainya, sayang
kelihatan kotor karena air
mengalir bercampur tanah berlumpur.
Ingkanputri melangkah masuk. Keterkejutan
kembali melanda gadis cantik itu. Sejurus dengan
pandangannya, di atas susunan batu yang lebih tinggi, seorang kakek berpakaian
mirip panglima perang duduk bersila. Kepala kakek itu diikat dengan surban
berwarna merah darah. Di bahu kirinya terselempang
selendang berwarna serupa.
Kulit tubuh kakek itu menunjukkan keriput
yang sangat kentara. Rambutnya putih panjang terge-
rai di punggung. Alisnya juga putih panjang dan ter-
juntai ke bawah hingga mencapai pipi. Demikian pula
kumis dan janggutnya, ujung-ujungnya sampai me-
nyentuh ke pangkuan. Kedua kelopak mata kakek itu
tertutup rapat.
"Siapa kau, Kek...?"
Suara Ingkanputri terdengar bergetar. Rupa In-
gkanputri terlihat sudah tak karuan lagi. Pakaiannya telah kotor belepotan
lumpur. Pada siku kiri dan kanannya ada luka lecet. Lengan bajunya koyak. Luka
memar terdapat di kening kiri gadis cantik itu akibat terantuk batu waktu
terjatuh. Setelah menunggu beberapa lama, si kakek tak
memberi jawaban. Ingkanputri mengulang perta-
nyaannya kembali. Tapi tetap tak mendapat jawaban.
Gadis cantik itu lalu berjalan mendekat. Tapi,
dia terkejut bukan main bagai disambar petir. Seekor ular sendok tiba-tiba
muncul di hadapan si kakek.
Ular itu mengangkat kepalanya dengan leher melebar
bagai sayap. Mulutnya menganga memperlihatkan ta-
ringnya yang putih mengkilat, dan berlelehan cairan
bening. Mata ular melotot mengancam Ingkanputri!
"Ih...!"
Ingkanputri melangkah tiga tindak ke belakang.
Bulu kuduknya langsung berdiri.
"He, ular...!" teriak gadis cantik itu. "Aku tak hendak bermaksud jahat. Aku
hanya ingin memasti-kan apakah kakek yang duduk di belakangmu itu ma-
sih hidup atau telah mati."
Tentu saja si ular sendok tak mengerti ucapan
Ingkanputri. Saat gadis cantik itu berjalan mendekat, dia segera mengangkat
kepala lebih tinggi seraya menjulurkan lidahnya yang bercabang.
"Ah, kenapa aku jadi bodoh dan membuang-
buang waktu saja?" gumam Ingkanputri "Aku bunuh saja ular sendok itu, semuanya
akan beres...."
Gadis cantik itu mengambil sekeping uang lo-
gam dari balik pakaiannya. Setelah ditimang-
timangnya sebentar sambil menatap tajam si ular sen-
dok, diambilnya uang sekeping lagi. Lalu, dilemparkan ke lantai di sisi kanan
tubuh si ular sendok.
Suara gemerincing mengejutkan ular yang san-
gat berbisa itu. Dia menolehkan kepalanya. Kesempa-
tan itu tak disia-siakan Ingkanputri. Cepat dilemparkannya sekeping uang logam
yang masih berada dalam
genggaman. Terdengar suara seperti bara api tersiram air.
Uang logam yang dilemparkan Ingkanputri tepat men-


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genai belakang kepala si ular sendok. Leher binatang melata itu yang semula
mengembang langsung menangkup. Bersamaan dengan itu kepalanya menggelo-
sor ke lantai ruangan. Tapi dia segera bangkit, seperti tak mengalami suatu apa.
Padahal uang logam yang
dilemparkan Ingkanputri sanggup untuk memecahkan
sebongkah batu karang!
"Ya, Tuhan...," gumam Ingkanputri menyebut nama-Nya.
Mata gadis cantik itu bersinar nyalang. Si ular
sendok mendadak memutar-mutar kepalanya bagai
ayam terserang penyakit telo. Dan, secara mendadak
pula, gerakannya dihentikan. Lalu, dengan leher men-
gembang dan moncong terbuka lebar, ditatapnya ta-
jam-tajam wajah Ingkanputri.
Tanpa sadar, gadis cantik itu melangkah setin-
dak ke belakang. Perasaannya jadi tegang. Si ular sendok tampaknya akan segera
mengawali serangannya.
Dan, ternyata benar. Ular berbisa itu menggerakkan
ujung ekornya, lalu tubuhnya yang panjang terjulur
dan berkelebat sangat cepat.
Ingkanputri adalah seorang gadis cantik yang
berilmu cukup tinggi. Sejak kecil dia sudah melatih
panca inderanya. Bahkan, indera keenamnya pun de-
mikian tajam. Hingga, walau mata lahir Ingkanputri
tak dapat melihat gerakan si ular sendok yang melun-
cur ke arahnya, tapi indera keenamnya dapat bekerja
dengan baik. Gadis cantik itu dapat menangkap leher
si ular sendok yang hendak menerkamnya.
Kemudian, pertempuran sengit yang saling
mempertahankan nyawa pun terjadi. Si ular sendok
menggeliat ganas. Tubuhnya membelit pinggang In-
gkanputri. Dengan sentakan-sentakan keras dia beru-
saha melepaskan lehernya dari cengkeraman Ingkan-
putri. Si ular sendok mempererat belitannya, Dan,
melalui sebuah sentakan keras dia berhasil membuat
kaki Ingkanputri bergeser. Saat ekor si ular sendok
menyentuh dinding ruangan, dia membuat sentakan
yang lebih keras!
Akibatnya, tubuh Ingkanputri terguling ke lan-
tai ruangan. Cengkeramannya pada leher si ular sen-
dok terlepas. Mata ular berbisa itu pun berkilat lebih ganas. Moncongnya terbuka
lebar menampakkan ta-ringnya yang runcing. Malaikat Kematian mengintai
nyawa Ingkanputri!
Tampaknya gadis cantik itu sudah pasrah me-
nerima ajal. Matanya terpejam rapat. Dia sampai su-
dah lupa untuk menarik napas. Namun, keanehan se-
gera terjadi. Belitan si ular sendok pada pinggang Ingkanputri mendadak lepas.
Ular berbisa itu lalu me-
rayap pergi tanpa melukai Ingkanputri.
"Maafkan aku, Bocah Manis. Aku hanya ber-
maksud mengukur kepandaianmu. Ternyata kau cu-
kup pantas untuk mendapat warisan Panglima Prana-
sutra...."
Perlahan-lahan Ingkanputri membuka kelopak
matanya, lalu bangkit berdiri.
"Ah, kenapa ular sendok itu tak membunuh-
ku?" tanya gadis, cantik itu dalam hati. "Dan, seper-tinya aku mendencar bisikan
gaib. Siapa yang melaku-
kannya" Ular sendok itu, atau si kakek yang sedang
duduk bersila?"
Ingkanputri membuka kelopak matanya lebih
lebar, tak terlihat sosok ular sendok yang baru saja menyerangnya. Ular berbisa
itu telah pergi tanpa meninggalkan bekas. Sedangkan si kakek berpakaian mi-
rip panglima perang tetap duduk bersila di tempatnya.
Ingkanputri berjalan mendekati, menggerak-
gerakkan telapak tangannya di depan wajah si kakek.
Namun, tak dirasakan hembusan nafasnya.
"Kakek ini tiada bernyawa lagi," gumam In-
gkanputri. Tapi, gadis cantik itu belum yakin benar. Tela-
pak tangan kanannya ditempelkan di dada kiri si ka-
kek. Ia hendak memeriksa detak jantungnya.
Ingkanputri terperanjat dan langsung melompat
ke belakang. Tubuh kakek berpakaian panglima pe-
rang itu tiba-tiba hancur seperti serbuk yang ditaburkan. Pakaian yang
dikenakannya pun hancur menjadi
serpihan halus. Termasuk surban dan selendang me-
rahnya. Belum hilang keterkejutan Ingkanputri, di hadapannya tahu-tahu saja ada
sebuah peti besi sebesar kotak penyimpan wayang kulit. Peti besi itu semula tak
terlihat, karena tertutup tubuh si kakek. Perlahan-lahan Ingkanputri melangkah
mendekati peti besi. Dia
menemui kesulitan untuk membukanya karena tutup
peti terpatri dengan kuat.
"Aku akan mencoba membuka tutup peti besi
ini dengan menggunakan ilmu 'Pukulan Api Neraka'...,"
gumam gadis cantik itu.
Ingkanputri meletakkan telapak tangan kiri dan
kanannya ke tutup peti besi. Saat dia menghembuskan
napas berat, perlahan-lahan pergelangan tangan In-
gkanputri menjadi merah membara dan mengalirkan
hawa sangat panas.
Asap mengepul dari permukaan peti besi. Lan-
tai ruangan di sekitar peti besi pun demikian. Asap mengepul tebal. Tempat di
sekitar peti banyak dige-nangi air, sehingga menguap oleh hawa panas yang di-
timbulkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.
Perlahan-lahan penutup peti besi ikut merah
membara bagai habis ditempa. Ingkanputri mengang-
kat kedua tangannya tinggi-tinggi, kemudian dihan-
tamkannya dengan keras!
Terdengar suara seperti lempengan logam di-
lemparkan. Penutup peti besi terkuak lebar. Ingkanputri membuang serpihan besi
yang menghalangi pan-
dangannya. Terlihatlah di hadapan gadis cantik itu butiran-butiran intan yang
menyilaukan mata!
"Ya, Tuhan...," gumam Ingkanputri menyebut kembali kebesaran-Nya.
Dengan kedua telapak tangan gadis cantik itu
meraup butiran-butiran intan yang menggunduk bagai
kerikil saja. Beberapa lama, Ingkanputri berulang kali berbuat seperti itu.
Sampai, tiba-tiba jemari tangannya menyentuh gulungan kulit badak yang terdapat
di antara butiran intan.
Dengan tangan gemetar Ingkanputri berusaha
membuka gulungan kulit. Gulungan itu ternyata san-
gat kaku. Setelah mengerahkan tenaga dalam, barulah
usaha Ingkanputri berhasil. Mata gadis cantik itu menatap tajam deretan huruf
yang tertera....
Dalam sisa hidupku, aku telah mengumpulkan
butiran-butiran intan ini dari dasar Laut Selatan.
Dan, akan kuwariskan kepada seseorang yang
berniat baik. Dalam sisa hidupku pula, aku telah menyusun
sebuah kitab yang merupakan inti sari dari seluruh ilmu kepandaianku. Kitab itu
aku beri nama : Selaksa Dewa Turun Ke Bumi. Juga akan kuwariskan kepada
seseorang yang berniat baik. Tapi, seseorang yang berniat baik itu tidak boleh
serakah. Dia harus menentukan salah satu dari dua pili-
han. Karena, aku berharap seseorang yang berniat baik lainnya akan muncul lagi.
Panglima Pranasutra
Ingkanputri duduk terpaku di tempatnya. Be-
berapa lama dia tak tahu apa yang harus dilakukan-
nya. "Butiran intan... Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi...," gumam gadis cantik
itu perlahan. Gulungan kulit badak yang terbentang di tan-
gan Ingkanputri tiba-tiba melenting. Waktu melayang
di udara benda wasiat itu menggulung kembali. Lalu
jatuh tepat di pangkuan Ingkanputri. Gadis cantik itu menimang-nimangnya.
"Panglima Pranasutra.... Siapa dia?"
Karena tak mau membuang waktu, Ingkanputri
segera menyosok butiran-butiran intan di dalam peti.
Dari dasar peti besi gadis cantik itu mengeluarkan sebuah kitab yang cukup
tebal. Ingkanputri membaca
sekilas tulisan yang terdapat di sampul depan, lalu dibukanya halaman kitab
lembar demi lembar.
Sebagian dari isi kitab membeberkan tentang
petunjuk untuk menghimpun tenaga prana.
Ingkanputri melonjak kegirangan.
"Aku tidak butuh butiran intan. Aku tidak bu-
tuh kekayaan. Kekayaan hanyalah pakaian lahir yang
seringkali membuat manusia gelap mata. Aku membu-
tuhkan pakaian batin. Selama udara masih dapat ku-
hirup dan hayat masih dikandung badan. Pakaian ba-
tin akan memancar sebagai cahaya bijak...."
Ingkanputri mendekap erat-erat Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi. Suatu kekuatan kasat mata
yang entah dari mana asalnya tiba-tiba mengguncang-
kan lantai ruangan. Ingkanputri tak mampu mengua-
sai keseimbangan tubuhnya dan jatuh terpelanting ke
kanan. Sebuah lubang yang terdapat di pojok ruangan
telah menanti. Tak ayal lagi, tubuh Ingkanputri terpe-rosok ke dalamnya....
Pancaran sinar mentari begitu menyengat. Tak
ada burung yang mau terbang di angkasa, karena pa-
nas laksana membakar. Angin berhembus lemah tak
mampu menggerakkan ranting pohon.
Ingkanputri menggeliat tersadar dari pingsan-
nya. Saat gelap perlahan-lahan hilang dari pandangan, Ingkanputri merasakan bumi
berputar-putar karena
kepalanya yang terasa pusing.
"Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi...," gumam gadis cantik itu perlahan
Ingkanputri langsung meloncat dan menyebar
pandangan tanpa peduli pada tubuhnya yang berdiri
limbung. Senyum segera mengembang di bibirnya. Apa
yang dicarinya tergeletak di tanah tak jauh dari tempat dia berdiri. Buru-buru
diambilnya Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. "Oh, rupanya aku telah berada di lereng Bukit
Selaksa Mambang," ujar gadis itu setelah meneliti keadaan di sekitarnya.
Ingkanputri memandang ke langit. Hari telah
siang. Agaknya telah seharian lebih ia berkutat di lorong-lorong sempit di
puncak bukit. "Uh! Pantas kerongkongan ku terasa kering dan
perutku keroncongan..."
Ketika gadis cantik itu melihat keadaan dirinya,
dia tersenyum geli. Tubuhnya kotor belepotan Lumpur
mirip tikus kecebur comberan.
Sambil mendekap erat kitab warisan. Panglima
Pranasutra, Ingkanputri lalu berlari mengitari lereng bukit untuk mencari aliran
sungai. Gadis cantik itu
segera mencebur dan mandi sepuas-puasnya.
*** 2 Seorang gadis berpakaian lusuh tampak berja-
lan terseok-seok. Rambutnya yang digelung terurai kusut. Sebagian menjuntai di
bahu kiri. Pakaian yang dikenakan telah koyak-koyak. Beberapa lubang memper-
lihatkan rompi hitam yang dipakainya. Sinar mata ga-
dis itu terlihat redup, sama sekali tak menggambarkan semangat hidup. Wajahnya
kotor oleh debu yang menempel. Ketika melewati pintu gerbang untuk keluar da-ri
kotapraja Kerajaan Anggarapura, beberapa orang
penjaga menyapanya. Si gadis menunjukkan sikap
acuh tak acuh. Jangankan menjawab, menoleh pun ti-
dak. "Ayah...," gumam gadis yang sebenarnya cantik itu. "Aku menyesali apa yang
terjadi." Perlahan-lahan butiran mutiara bening bergulir
dari sudut mata gadis berpakaian lusuh itu. Beberapa kali ditariknya napas
panjang berusaha mengusir ke-galauan hatinya. Mendadak, sinar mata gadis itu
jadi nyalang saat seorang pemuda berpakaian compang-camping menghadang
langkahnya. "Nona hendak ke mana?" tanya pemuda itu.
"Apa perlumu"!" hardik si gadis ketus.
"Suropati belum mengizinkan Nona kembali ke
kotapraja Kerajaan Saloka Medang."
"Aku berhak menentukan langkah kakiku sen-
diri!" "Tapi, Nona...."
"Tak ada kata 'tapi'!" bentak si gadis dengan ga-laknya. Pemuda berpakaian
compang-camping yang tak
lain salah seorang anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti terlihat membungkukkan badannya.
"Suropati memang tidak bisa memaksakan ke-
hendaknya. Tapi, alangkah baiknya Nona menunggu
sampai dia selesai bersemadi, kemudian Nona bisa
berpamitan kepadanya...."
Si gadis mendengus seperti tak mau menden-
garkan ucapan pemuda itu. Dia meneruskan langkah
kakinya tanpa menoleh lagi.
"Nona...," panggil si pemuda. Tapi tak mendapat jawaban.
Gadis lusuh yang berwajah muram tersebut
meninggalkan kotapraja dengan langkah lebar. Semen-
tara si pemuda memandang kepergiannya dengan ta-
tapan tak mengerti.
Langit berwarna putih keperakan. Mentari yang
memayung membuat panas makin menyengat. Sejauh
mata memandang permukaan tanah tampak mengelu-
arkan bayang-bayang bagai kepulan asap,
"Ayah...," desah si gadis lusuh yang tak lain Yaniswara.
Kedua mata gadis yang datang dari kotapraja
Kerajaan Saloka Medang itu tampak sembab. Perla-
han-lahan butiran mutiara bening kembali bergulir.
Yaniswara mendekap wajah. Bahunya naik tu-
run terbawa isakan tangis. Dengan duduk bersimpuh
di bawah pohon besar dia merenungi nasibnya.
Kesedihan yang mendalam memang sedang
menghujam relung hati Yaniswara. Sejak kecil dia tia-da pernah tahu wajah
ibunya. Orang yang telah mela-
hirkannya itu meninggal beberapa saat setelah Yanis-
wara menghirup udara dunia. Ayah Yaniswara yang
bernama Lodra Sawala kemudian membesarkannya
seorang diri. Setelah Yaniswara berumur dua belas tahun, Lodra Sawala mendirikan
perusahaan pengiriman
barang yang diberi nama Ekspedisi Kencana Mega.
Dari hari ke hari Ekspedisi Kencana Mega me-
nunjukkan kejayaannya. Lodra Sawala yang mempu-
nyai bakat pemimpin dan penuh tanggung jawab ter-
hadap pekerjaannya dapat membuat para pejabat serta


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudagar kaya di Kerajaan Saloka Medang menyukai
keberadaan Ekspedisi Kencana Mega. Mereka memper-
cayakan hampir semua pengiriman barangnya kepada
perusahaan pengiriman barang itu. Jaminan keraha-
siaan dan keselamatan barang yang dikirimkan mem-
buat Ekspedisi Kencana Mega semakin naik pamornya.
Saat Yaniswara berumur dua puluh tahun,
Ekspedisi Kencana Mega berada pada puncak ke-
jayaannya. Seorang brahmana yang bernama Tuhisa
Brama berkenan mempercayakan pengiriman barang
miliknya kepada Ekspedisi Kencana Mega. Barang Tu-
hisa Brama itu adalah sebotol kecil berisi air sakti. Barang itu harus
disampaikan kepada Gusti Wirasantri,
seorang pejabat Kerajaan Anggarapura.
Sekembali dari mengirimkan air sakti itulah
Lodra Sawala gugur bersama Tuhisa Brama. Brahma-
na itu menyusul ke Kerajaan Anggarapura karena tak
mau air saktinya dipergunakan Gusti Wirasantri seba-
gai kemasan untuk memberontak terhadap Kerajaan
Anggarapura. Kepala Lodra Sawala dan Tuhisa Brama di-
penggal orang-orang Partai Iblis Ungu yang sangat
menginginkan air sakti. Kemudian, kepala dua lelaki
naas itu dilemparkan ke hadapan Yaniswara yang se-
dang melakukan perjalanan bersama Suropati atau si
Pengemis Binal dan Kipas Sakti. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pengemis
Binal dalam Episode: 'Tabir Air Sakti').
Siapa yang tak terpukul perasaannya melihat
ayahnya mati dalam keadaan begitu mengenaskan.
Keadaan itulah yang menimpa Yaniswara.
"Ayah...," desah Yaniswara untuk kesekian ka-linya. Dengan menggunakan ujung
lengan bajunya,
gadis itu menyeka air mata. Dia tercekat dalam keterkejutan ketika tahu-tahu
muncul seorang remaja tam-
pan di hadapannya. Tapi Yaniswara segera menun-
dukkan kepala, pura-pura tidak tahu.
Melihat demikian, si remaja tampan yang baru
datang tersenyum kecut kemudian menggaruk-garuk
kepalanya. "Yani...," panggilnya.
Yaniswara tak mau mengangkat wajah. Dengan
menggunakan ujung jari dia membuat guratan-guratan
di tanah. Perlahan-lahan si remaja tampan duduk di
samping Yaniswara. Tangan kirinya dilingkarkan di
bahu gadis itu.
"Pergi kau!"
Si remaja tampan terperanjat karena dihardik
seperti itu. "Uh! Begitu saja marah...," ucapnya. "Nggak baik lho seorang gadis
lekas naik darah. Bisa dikira kuntilanak, tahu!"
Tak ada tanggapan dari Yaniswara. Dia hanya
membisu. Si remaja tampan mengerling. Dengan ber-
jingkat perlahan dia mendekati. Kemudian, kedua tan-
gannya meggelitik pinggang Yaniswara.
"Kau mau melarikan diri dariku, ya?"
"Tidak! Jangan kurang ajar, Suro!" bentak Yaniswara, menyebut nama si remaja
tampan yang tak
lain Suropati atau Pengemis Binal.
"Kau sadar apa yang kau perbuat, Yani?" tanya Suropati.
"Apa pedulimu"!" teriak Yaniswara keras.
"Jelas aku peduli. Kau kan cantik. He, he,
he...," Suropati tertawa terkekeh.
"Siapa bilang aku cantik" Nih!"
Yaniswara memonyongkan bibirnya. Pengemis
Binal malah mengerjap senang. Dengan gerakan kilat
dipeluknya tubuh Yaniswara, lalu melirik ke arah bi-
birnya yang sedang dimonyongkan.
"Uh! Jangan kurang ajar, Suro!" hardik Yaniswara sambil menggeliat-geliat
berusaha melepaskan di-ri. Tapi, pelukan remaja tampan yang berperilaku ko-
nyol itu sekuat jepitan baja. Sampai kehabisan tenaga Yaniswara tak berhasil
melepaskan diri.
"Aku ingin memelukmu lebih lama, Yani," ucap Suropati.
Remaja konyol itu memeluk Yaniswara lebih
erat. Napas Yaniswara terdengar terengah-engah. Men-
dadak Pengemis Binal mendorong tubuh gadis itu.
"Uh! Kau sangat bau, Yani. Kau ganti pakaian
dulu...." Remaja konyol itu mengambil buntalan pakaian
yang ditaruh di tanah, lalu disodorkannya pada Yaniswara. "Aku tak mau ganti
pakaian!" kata gadis itu ketus. "Lho, kenapa" Aku membeli pakaian ini un-tukmu.
Biar kau kelihatan lebih cantik."
"Dari mana kau mendapatkan uang?" Yaniswa-
ra kelihatan begitu penasaran.
"Wuih! Main selidik! Tentu saja dari cara yang
halal," elak Suropati.
"Mengemis?"
"He, he, he...," Suropati cengar-cengir mirip ku-da tertawa.
"Ya. Mengemis, kan?" tuduh Yaniswara.
"Uh! Walau aku berpakaian seperti pengemis,
tapi aku tidak mengemis!"
"Lalu, dari mana kau dapat uang?"
"Kau lupa, aku telah seringkali berjasa terha-
dap Prabu Arya Dewantara. Tentu saja beliau banyak
memberikan hadiah kepadaku," ujar Suropati dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Jadi uang untuk membeli pakaian itu pembe-
rian Baginda Prabu, begitu?"
"Tidak!" Suropati menggelengkan kepalanya
kuat-kuat. "Lho, bagaimana, sih"!" Yaniswara kelihatan begitu sewot.
"Mencuri. He, he, he...," Suropati tertawa tanpa
merasa bersalah sedikit pun.
"Uh! Dasar gendeng!"
Yaniswara menggerutu panjang-pendek. Meng-
hadapi kekonyolan Suropati, dia jadi lupa akan kese-
dihannya. "Aku tidak mau bergaul dengan pencuri!" kata gadis itu sambil berlalu dari
hadapan Pengemis Binal.
"Eit! Tunggu dulu! Sudah kubilang, seorang ga-
dis tidak boleh gampang naik darah. Bisa nggak laku
kawin." "Biar! Pokoknya aku tak mau bergaul dengan pencuri"
"Siapa yang mencuri. Wong aku tadi bercanda.
He, he, he....".
Remaja konyol itu lalu mencubit hidung Yanis-
wara. Dan, Yaniswara balas mencubit. Tawa kedua
muda-mudi itu pun terdengar.
"Walau wajahmu kotor, tapi tak menyembunyi-
kan kecantikanmu, Yani," kata Pengemis Binal.
"Ah, masa'?" Yaniswara pura-pura tak percaya.
"Sungguh, Yani...."
Perlahan-lahan Suropati meraih bahu Yaniswa-
ra. Ditatapnya wajah cantik di hadapannya. Remaja
konyol itu kemudian mendaratkan ciuman lembut di
bibir Yaniswara. Tapi, Yaniswara menghindar dengan
menggerakkan kepalanya ke samping.
"Katamu aku sangat bau, Suro?" elak Yaniswa-ra.
"E eh, tidak..."
"Mana pakaian yang akan kau berikan kepada-
ku?" Yaniswara mengalihkan perhatian Suropati.
Suropati melepas pelukannya. Disodorkan bun-
talan pakaiannya.
"Kau memang lebih baik ganti pakaian dulu,
Yani. Pakaianmu yang compang-camping mengundang
perhatian orang."
"Kau kira pakaianmu yang penuh tambalan itu
tak mengundang perhatian orang?" balas Yaniswara.
"Tapi aku laki-laki, Yani...," Suropati membela diri. "Apa bedanya laki-laki dan
perempuan?"
"Laki-laki punya burung, sedangkan perem-
puan tidak. He, he, he..."
Yaniswara tampak sewot. Segera disambarnya
buntalan pakaian yang disodorkan Suropati.
"Kau ganti pakaian di sini?" tanya Pengemis Binal ketolol-tololan.
"Tentu saja tidak! Aku perlu mandi dulu!"
"Mandi?" ulang Suropati setengah bergumam.
"Ya. Kenapa?"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. "Wuih!
Bakal ada pemandangan yang mengasyikkan," gu-
mamnya. "Eh, kau bilang apa?" Yaniswara memelototkan matanya. Rupanya dia mendengar
gumaman lirih Suropati. "Ah, tidak. Kalau kau ingin mandi, di sebelah utara
kotapraja ada sungai kecil yang berair jernih.
Kau bisa mandi sepuas-puasmu di situ...."
"Terima kasih, Suro."
Yaniswara melangkahkan kakinya sambil me-
nenteng buntalan pakaian.
"Eh, kau tidak mau kuantar?" cegah Pengemis Binal. "Terima kasih, Suro. Aku tahu
sungai yang kau tunjukkan."
Yaniswara terus melangkah. Suropati mengga-
ruk-garuk kepalanya. Setelah bayangan Yaniswara hi-
lang di tikungan jalan, remaja konyol itu tersenyum-
senyum seorang diri.
Di siang hari yang panas, gemericik air sungai
terdengar sangat merdu, bagai suara kecapi yang dipetik bidadari kahyangan.
Apalagi air yang mengalir begitu jernih hingga membuat keinginan untuk mandi se-
makin menyentak-nyentak.
Dengan tergesa-gesa Yaniswara menanggalkan
pakaiannya. Baju yang telah koyak-koyak dia lempar-
kan begitu saja. Sedangkan rompi pusakanya diletak-
kan perlahan-lahan di atas batu.
Suropati yang nakal itu bersembunyi di balik
semak-semak. Berulang kali ia mendesah sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya tak berkedip meli-
hat tubuh bagian atas Yaniswara yang telah telanjang.
Saat gadis itu membuka celananya, Pengemis
Binal menggerutu. "Uih! Mestinya aku mengintip dari sebelah sana!"
Yang sedang diintip sama sekali tak menyadari
keadaan. Setelah menanggalkan semua pakaiannya,
perlahan-lahan Yaniswara menceburkan diri ke dalam
air. Ternyata air sungai tak seberapa dalam. Per-
mukaan air hanya sebatas pinggang. Setelah berenang
beberapa lama, dia menggosok-gosok bagian tubuhnya
yang kotor. Terdengar senandung kecil dari mulut ga-
dis itu. Kesedihan yang semula menyelimuti hatinya
untuk sementara terlupakan.
Pengemis Binal yang sedang mengintip terus
mendesah-desah sambil menggaruk-garuk kepala.
Mendadak, remaja konyol itu terkejut. Matanya terbe-
liak melihat Yaniswara meloncat dari kedalaman sun-
gai seperti ketakutan. Cepat gadis itu mengenakan pakaian yang diberikan
Suropati. Tak lupa dikenakan
pula rompi pusakanya.
Dari balik semak-semak, Pengemis Binal meli-
hat Yaniswara berjongkok, meneliti air sungai. Karena desakan perasaan ingin
tahu, Suropati bergegas menyingkir.
"Apa yang kau lihat, Yani?"
Yaniswara terkejut. Melihat kehadiran Penge-
mis Binal, dia langsung memasang wajah angker.
"Kau mengintipku mandi, Suro"!" sentak gadis itu.
"Tidak! Aku baru saja datang...." Suropati berkata sambil menggaruk-garuk
kepala. Sinar matanya
mencoba menunjukkan kesungguhan.
Tapi, siapa yang mau percaya pada perkataan
remaja konyol itu kalau lagi kumat gendengnya"
Tanpa mempedulikan Yaniswara, Suropati me-
langkah ke tepi sungai. Dia pun terkejut melihat air sungai berwarna merah.
"Darah...," desis Suropati.
Yaniswara mendekat. "Itulah yang membuatku
terkejut, Suro."
"Jadi ketika kau melompat sebelum selesai
mandimu, karena air yang bercampur darah ini?"
"Ya. Eh. kalau kau tahu saat aku melompat,
tentu kau sedang mengintipku!" tuduh Yaniswara.
Mendadak Suropati tercekat. Matanya terbeliak
lebar melihat benda panjang mengapung terbawa arus
sungai. Remaja konyol itu lalu meloncat ke atas batu yang menonjol di tengah
sungai. Diambilnya benda
yang menarik perhatiannya itu. Dia kemudian melon-
cat kembali ke hadapan Yaniswara.
"Kau lihat benda ini, Yani...."
"Sebatang tongkat."
"Ya. Bagian pangkalnya berkepala naga, sedang
ujungnya terpeluntir sepanjang satu jengkal. Tongkat ini milik anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
"Berarti tongkat itu milik anak buahmu, Suro.
Kau harus bertindak cepat. Di bagian sungai sebelah
sana tentu telah terjadi peristiwa berdarah."
Yaniswara mengikat rambutnya yang tergerai
dengan saputangan merah, lalu digandengnya tangan
Suropati. Tapi, remaja konyol itu tak segera beranjak dari tempatnya.
"Di buntalan pakaian yang kuberikan ada se-
buah benda berharga. Kau harus membawanya, Ya-
ni...," kata Suropati.
"Benda apa?" tanya Yaniswara.
"Sudahlah, kau ambil saja. Kita tak punya wak-
tu!" Yaniswara segera membalik kain yang terham-
par di tanah. Diambilnya sebuah gulungan benda bu-
lat pipih berwarna perak.
"Kalau terjadi apa-apa, kau bisa memperguna-
kan pedang itu, Yani."
"Pedang?" tanya Yaniswara heran.
"Ya. Itu adalah pedang pusaka. Prabu Arya De-
wantara menghadiahkannya kepadaku, lalu kuhadiah-
kan kepadamu. Kau pegang gagangnya yang berwarna
hitam. Lewat penyaluran tenaga dalam sedikit saja,
pedang itu akan mengejang sebagaimana mestinya."
Begitu usai kalimat Pengemis Binal, Yaniswara
langsung mengerahkan tenaga dalamnya ke gagang
pedang dalam genggamannya.
Set...! Mata gadis itu terbelalak. Bilah pedang meman-


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

carkan cahaya keperakan. Namun, dia tak bisa berla-
ma-lama mengagumi keindahan pedang itu, Suropati
telah mencekal lengannya untuk diajak berlari, me-
nyusuri tepian sungai....
*** 3 Diapit dua batang pohon yang tak seberapa be-
sar, tak jauh dari tepian sungai, seorang kakek berusia sekitar delapan puluh
tahun sibuk memasukkan ranting-ranting kering ke dalam perapian. Di atas
perapian terdapat sebuah kuali besar yang ditopang empat batu datar. Gumpalan
daging tampak bergerak-gerak di dalam kuali mengikuti gelombang air yang mulai
mendi- dih. "Ehm..., harum...," desis si kakek. Bibirnya yang keriput mengulum senyum.
Dia berkepala botak dan tampak berkilat kare-
na minyak. Bagian belakang hanya ditumbuhi rambut
tipis berwarna putih. Tak ada bulu yang menghiasi wajahnya. Alisnya pun hampir
tak kentara. Namun, tu-
buhnya yang gemuk jadi kelihatan aneh karena pa-
kaian yang dikenakan terbuat dari bahan mahal. War-
nanya hijau-kuning dan ada garis-garis merah menco-
lok mata. Tangan kanannya yang gempal tapi berkulit
keriput dihiasi rentengan gelang perak.
Sambil terus mengulum senyum kakek itu
bangkit dari duduknya. Tampaklah tubuhnya yang
gemuk ternyata sangat tinggi. Dia melongokkan kepa-
lanya ke atas kuali. Mendadak, kakek itu meloncat
tinggi dengan tangan kanan memegang sebatang rant-
ing panjang. Suatu pemandangan ganjil dipertunjuk-
kan kakek itu. Saat tubuhnya yang tinggi meluncur kembali ke
bawah, ranting panjang yang dipegangnya disorong-
kan. Tak ada suara yang timbul ketika ujung ranting
masuk ke dalam kuali besar. Pameran ilmu meringan-
kan tubuh yang hebat segera terlihat. Tubuh si kakek yang gendut tertahan di
udara dalam kedudukan ter-balik. Kepala berada di bawah, sedang kedua
pergelangan kaki terselonjor lurus ke atas.
Tangan kiri lelaki tinggi gemuk itu dilingkarkan
ke pinggang. Sedangkan, tangan kanannya dijulurkan
ke bawah dengan ujung ranting bergaris menancap di
dalam kuali. Walaupun garis tengah ranting itu tak lebih besar dari jari
kelingking, tapi sanggup menahan beban tubuh si kakek tanpa melengkung sedikit
pun. Kakek tinggi gendut itu tertawa bergelak mem-
perlihatkan barisan giginya yang tanggal. Dengan sua-tu sentakan lembut, tubuh
tua itu berputar cepat ba-
gai gangsing. Isi kuali yang berisi gumpalan daging
bercampur air mendidih pun teraduk. Beberapa keja-
pan mata kemudian, gumpalan daging telah lumat
menjadi bubur berwarna kuning kemerahan.
Tubuh si kakek melenting ke atas, lalu menda-
rat di permukaan tanah dengan tanpa mengeluarkan
suara. Disepaknya kuali besar yang berisi bubur dag-
ing. Benda bundar dari tanah liat itu melayang tinggi.
Serta-merta si kakek menyorongkan telapak tangan
kanannya ke atas. Kuali yang sedang melesat ke atas
pun tertahan di udara.
Kakek tinggi gemuk menggerakkan telapak tan-
gannya sedikit, kuali terguling dan bubur daging yang berada di dalamnya tumpah.
Namun kuali kecil yang
berada di samping perapian menerima tumpahan bu-
bur daging itu. Kemudian, perlahan-lahan kuali besar turun ke tanah. Terlihatlah
yang berada di dalamnya
tinggal tulang-belulang saja!
"Ha-ha-ha...!"
Kakek tinggi gemuk tertawa terbahak-bahak.
"Makan siang telah siap. Ehm...."
Kedua tangan kakek itu memegang kuping kua-
li kecil, lalu diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan mulut terbuka lebar dia
menuangkan bubur daging panas!
"Ehm..., lezat..."
Hanya beberapa tarikan napas saja bubur dag-
ing dalam kuali kecil telah tandas. Si kakek menjilati bibirnya yang belepotan,
kemudian dilemparkan begitu saja kuali yang dipegangnya. Dan, jatuh tepat di
mulut kuali besar dalam keadaan utuh!
Kakek tinggi gemuk mengelus perutnya yang
buncit. Saat dari mulutnya terdengar suara siulan, ka-ki kakek itu melangkah
pergi. Kecuali cairan darah yang telah mengering di
atas sebuah batu besar, Suropati dan Yaniswara tak
menemukan apa-apa lagi. Namun melihat bekas-bekas
telapak kaki yang tertera jelas di tepi sungai, mereka yakin di tempat itu baru
saja terjadi pertarungan.
"Apakah mayat anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu dijadikan makanan burung-burung
pemakan bangkai, Suro?" tanya Yaniswara memberi kemungkinan.
"Di sekitar sini tidak ada burung pemakan
bangkai," ucap Pengemis Binal sambil menyepak-
nyepak permukaan tanah, mencari sesuatu yang bisa
dijadikan petunjuk.
"Lalu, ke mana hilangnya mayat anggota per-
kumpulan yang kau pimpin itu?"
"Pertanyaan itu sedang berkecamuk dalam be-
nakku," jawab Suropati.
"Mungkinkah dia belum mati" Dia melarikan
diri misalnya...."
"Tidak. Aku yakin di sini baru saja terjadi pembunuhan," Suropati tetap bertahan
pada pendapatnya.
"Semula aku juga berpikiran begitu. Tapi bila
tidak ada mayat, bagaimana?"
"Kita akan mencarinya sampai ketemu!"
Gigi Suropati terdengar bergemeletukan. Tam-
paknya dia sedang menahan amarah. Remaja konyol
itu menyebar pandangan lebih teliti.
"Hei! Kau lihat itu, Yani"!" Suropati menunjuk kepulan asap dari balik
pepohonan. Yaniswara melihat ke arah yang ditunjukkan
Pengemis Binal. Dia segera mengekor langkah remaja
konyol itu yang meloncati bentangan sungai. Tubuh
Yaniswara melayang, dan mendarat di seberang. Gadis
itu tidak menemukan kesulitan yang berarti. Bentan-
gan air sungai memang tidak seberapa lebar.
Suropati dan Yaniswara berdiri terpaku di de-
pan perapian yang masih belum padam. Dengan kaki
telanjang Pengemis Binal mengorek-ngorek perapian
itu. "Aku mencium bau daging direbus," ujar Suropati. Yaniswara yang mencium bau
serupa langsung
menghampiri kuali besar yang berada tak jauh dari perapian. Dikeluarkannya kuali
kecil yang berada di dalam kuali besar. Tampaklah isi kuali ternyata tulang
belulang kambing.
"Ya, Tuhan...," desis Yaniswara tiba-tiba sambil mendekap mulut.
Sejurus dengan pandangan gadis itu, sesosok
mayat manusia tergeletak di atas tanah dalam keadaan mengerikan. Sekujur
tubuhnya terbungkus serat-serat
putih bercampur cairan darah kering. Mayat manusia
itu tanpa kepala!
Pengemis Binal melemparkan pandangan. Dia
dikejutkan oleh jerit ketakutan Yaniswara. Tak sebera-pa jauh dari mayat, tampak
kepala lelaki berambut
panjang menancap di ranting pohon. Kedua matanya
terbeliak dengan mulut terbuka lebar!
Yaniswara tak berani melihat lebih lama. Tubuh
gadis itu melorot ke tanah kemudian menangis terse-
du-sedu. Perasaan ngeri dan sedih bercampur jadi sa-
tu. Dia teringat kematian ayahnya yang dipenggal ke-
palanya oleh orang-orang Partai Iblis Ungu.
Suropati cepat menyadari keadaan. Direngkuh-
nya bahu Yaniswara lalu dibimbingnya meninggalkan
tempat itu. Apa sesungguhnya yang telah terjadi di tepi
sungai tak jauh dari kotapraja Kerajaan Anggarapura
itu" Ceritanya bermula dari seorang lelaki tua tinggi
gemuk yang hanya mengenakan cawat memasuki se-
buah toko pakaian. Keadaannya yang hampir telanjang
mengundang perhatian orang. Sentanu, pemuda ang-
gota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang kebe-
tulan sedang duduk di depan toko memandang penuh
curiga. Apalagi setelah terdengar teriakan keras yang disusul dengan kelebatan
tubuh lelaki tinggi gemuk.
Lelaki itu menenteng sebuah buntalan. Cepat-cepat
Sentanu mengejar. Dia mempunyai dugaan lelaki tinggi gemuk telah mencuri sesuatu
dari dalam toko.
Setelah terjadi kejar-mengejar beberapa lama,
Sentanu kehilangan jejak. Namun karena dorongan
hati yang ingin berbuat baik, dia terus mencari jejak lelaki tinggi gemuk. Di
belakang sebuah kedai pemuda itu melihat orang yang dicarinya telah mengenakan
pakaian mahal hasil curian dari toko. Lelaki tinggi ge-
muk berjalan santai dengan tangan kanan menenteng
seekor kambing kecil yang telah mati disembelih.
Lelaki itu menghemposkan tubuhnya ketika
terdengar teriakan dari dalam kedai kalau ada pencuri beraksi. Sentanu segera
mengejar. Namun, kembali dia kehilangan jejak. Kecepatan lari lelaki tinggi
gemuk sangat luar biasa, tak bisa diimbangi Sentanu.
Karena rasa penasaran, Sentanu terus mencari
jejak lelaki tinggi gemuk. Di tepi sebuah sungai barulah dia menemukannya.
Lelaki itu membuat perapian
untuk memasak kambing kecil hasil curiannya.
Sentanu menegur. Lelaki tinggi gemuk yang
jengkel karena perbuatan jahatnya diketahui orang
langsung melancarkan ilmu 'Serat Maut'-nya. Sentanu
yang tidak menduga akan datangnya serangan terjerat
serat-serat putih yang sangat alot. Dalam keadaan tak berdaya pemuda anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu dicebur-ceburkan ke dalam sungai.
Cairan darah mengotori air sungai yang jernih. Tong-
kat Sentanu pun lepas dari pegangannya lalu hanyut.
Lelaki tinggi gemuk berbuat lebih kejam. Tubuh
Sentanu dilemparkan ke tepi sungai. Dengan menggu-
nakan telapak tangan yang dialiri tenaga dalam, lelaki tinggi gemuk menebas
batang leher Sentanu. Kepalanya ditancapkan pada ranting pohon yang telah pa-
tah! Sekarang, Suropati berlari-lari mengikuti aliran
sungai. Tangan kirinya memegang tongkat yang baru
saja ditemukan. Sedangkan tangan kanan menggan-
deng Yaniswara yang masih terbalut perasaan ngeri.
Pengemis Binal menghentikan langkah. Dita-
tapnya wajah Yaniswara dalam-dalam.
"Kalau kau masih dibayangi ketakutan, aku ti-
dak bisa mencari orang yang telah membunuh anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu, Yani..."
Mendengar ucapan itu, Yaniswara menunduk-
kan kepalanya. Dicobanya menenteramkan perasaan.
Tak lama kemudian dia mengangkat wajah. "Aku akan membantumu mencari manusia
biadab itu, Suro...,"
ujar gadis itu kemudian.
Suropati tersenyum tipis. "Kau tidak takut me-
lihat kepala tanpa badan lagi?"
"Tidak!"
"Sungguh?"
Yaniswara mengangguk. Buru-buru Pengemis
Binal menggamit lengannya untuk diajak berlari kem-
bali. Sepeminum teh berlalu, mereka menghentikan
langkah. Tampak seorang lelaki tinggi gemuk sedang
tidur mendengkur. Cara tidur kakek itu sangat aneh.
Kedua telapak kakinya menjepit dahan pohon. Tubuh-
nya yang terbungkus pakaian hijau kuning menjulur
ke bawah seperti seekor kelelawar raksasa!
"Mungkinkah orang ini yang telah membunuh
anak buahku?" pikir Suropati. "Melihat sikapnya yang aneh, dia tentu seorang
tokoh berilmu tinggi. Ah, akan ku bangunkan dia. Kalau dugaanku keliru, aku bisa
meminta maaf...."
Melihat Suropati yang melangkah mendekati si
kakek, Yaniswara segera bertanya, "Apa yang hendak kau lakukan, Suro?"
Suropati memberi isyarat untuk diam. Lalu ka-
tanya membangunkan si kakek, "Bangunlah, Pak Besar. Aku hendak bertanya."
Tak ada tanggapan ditunjukkan kakek yang se-
dang tidur menggelantung. Suara dengkurannya masih
terdengar teratur. Suropati mengulang perkataannya.
Namun tetap tak mendapat tanggapan apa pun.
Remaja konyol itu lalu menepuk bahunya. Ma-
sih juga tak mendapat tanggapan. Didorongnya tubuh
kakek tinggi gemuk itu. Suropati terkejut. Dia merasa seperti mendorong tonggak
baja yang sangat kukuh!
"Bangunlah, Pak Besar!" teriak Pengemis Binal kemudian di dekat telinga si
kakek. Remaja konyol itu tercekat merasakan desir angin panas menghunjam ke
kepalanya. Hanya karena gerakan bawah sadarlah
tangan kiri Suropati menyorongkan tongkat.
Trak...! Tongkat di tangan Suropati patah menjadi dua
tertimpa telapak tangan si kakek. Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu langsung merasa te-
gang. Dia bergidik ngeri membayangkan bila kepalanya yang menjadi sasaran. Tentu
akan remuk! Pengemis Binal meloncat satu tombak jauhnya.
Lalu ditatapnya wajah lelaki tinggi gemuk yang masih tidur menggelantung.
Yaniswara yang tak sabar segera melontarkan batu sebesar kepalan tangan, dan
tepat mengenai kening lelaki tinggi gemuk. Namun, kakek
itu tak mengeluarkan suara keluhan. Padahal lempa-
ran batu Yaniswara mampu untuk meremukkan kepa-
la seekor banteng!
Mendadak, lelaki tinggi gemuk melentingkan
tubuhnya. Dia mendarat di atas tanah dengan sangat
ringan. "Kelinci-kelinci liar, berani benar kalian mengganggu tidurku!"
"Maaf, Pak Besar...," tukas Suropati dengan sedikit membungkukkan badan. "Aku
yang bodoh ini hendak bertanya, apakah Pak Besar tahu siapa yang
telah membunuh seorang anggota Perkumpulan Pen-


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemis Tongkat Sakti di seberang sungai sebelah sana?"
"Ehm.... Apa urusannya kau menanyakan itu?"
tanya si kakek tak senang.
"Dia anak buahku. Aku hendak mencari orang
yang telah melakukan perbuatan biadab itu. "
"Ha-ha-ha...." Lelaki tinggi gemuk tertawa bergelak. "Pengemis edan itu hanya
mengganggu keasyikan ku saja. Sudah selayaknya dia mati!"
Kening Pengemis Binal langsung berkerut. "Apa
maksud perkataan Pak Besar" Apakah Pak Besar yang
telah membunuhnya?"
Kembali lelaki tinggi gemuk tertawa bergelak.
Yaniswara yang sudah bisa menangkap makna uca-
pannya segera memegang hulu pedang pemberian Su-
ropati. Pedang pusaka yang disebut sebagai Pedang Perak Lentur itu langsung
mengejang begitu terkena aliran tenaga dalam.
"Perbuatanmu sangat biadab, Manusia Busuk!"
umpat Yaniswara sambil mengacungkan pedangnya.
Lelaki tinggi gemuk mendengus. Tendangannya
segera dilancarkan. Yaniswara membalasnya dengan
tebasan pedang tertuju ke arah leher.
Wuuuttt...! Serangan Yaniswara tak mengenai sasaran. Le-
laki tinggi gemuk telah melentingkan tubuhnya. Tanpa diduga-duga sebuah totokan
jarak jauh dilancarkan!
Yaniswara tercekat. Dia masih sempat berkelit
dengan menjatuhkan diri ke tanah Lelaki tinggi gemuk menyambung serangannya
dengan tendangan yang
sangat cepat. Melihat Yaniswara terdesak, Pengemis Binal se-
gera bertindak. Jalan satu-satunya untuk menyela-
matkan nyawa gadis itu adalah dengan memapaki lun-
curan tubuh si kakek dengan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat membahana di angkasa. Bumi
berguncang menimbulkan hembusan angin kencang.
Dedaunan pohon di sekitar tempat itu berguguran ba-
gai diterpa angin topan.
Sinar kebiru-biruan yang timbul dari telapak
tangan Suropati tepat mengenai dada lelaki tinggi gemuk. Tubuh kakek itu
bergerak mundur-mundur. Saat
membentur sebatang pohon besar, pohon itu tumbang
dan tubuh lelaki tinggi gemuk sempoyongan. Diperha-
tikan bajunya yang terbakar dan tampak mengepulkan
asap. Lalu matanya melotot melihat Pengemis Binal
yang sedang terkejut. Pukulan jarak jauhnya ternyata tak berpengaruh apa-apa
terhadap lawan. Padahal,
pukulan jarak jauh itu sanggup untuk menghancur-
kan batu sebesar gajah! Keterkejutan Suropati ber-
tambah ketika melihat lawan tertawa bergelak sambil
melangkah menghampirinya.
"Rupanya kau pintar memijit juga, Kelinci Ma-
nis!" Pengemis Binal melangkah mundur sambil
menggaruk-garuk kepala. Tawa lelaki tinggi gemuk
makin terdengar keras.
"Siapa kau, Pak Besar?" tanya Suropati dengan suara bergetar.
"Siapa aku" Ha-ha-ha.... Aku kira kelinci yang
hendak mampus direjam cakar harimau tak berhak
bertanya!"
Pengemis Binal kembali menggaruk-garuk ke-
pala. Yaniswara yang sudah bisa menguasai keadaan
telah meloncat di sampingnya.
"Manusia Biadab! Kami pun tak hendak men-
gurus siapa kau sebenarnya. Tapi melihat perbuatan-
mu yang kejam, kami tak hendak memberi ampunan.
Maka dari itu sebutkan namamu. Biar ada tanda di
Kuburmu nanti!" bentak Yaniswara dengan bengisnya.
"Ha-ha-ha.... Kelinci betina yang lucu, ucapan-
mu sungguh menggelikan. Walau aku menyebutkan
nama, aku meragukan kemampuanmu untuk dapat
menggali lubang kuburku. Memegang pedang saja tan-
ganmu gemetar!"
"Bangsat!" umpat Yaniswara.
Mendidih juga darahnya dikatakan seperti itu.
Dia memang gemetar, tapi bukan karena takut, Yanis-
wara tengah dilanda kemarahan yang meluap-luap.
Melihat ujung pedang Yaniswara yang ditu-
dingkan ke arahnya, tawa lelaki tinggi gemuk malah
melengking tinggi. Kakek itu menepuk dadanya.
"Ayolah, segera gunakan pedangmu itu. Tak se-
nang hatiku kau ancam seperti itu!"
Yaniswara menggeram. Kakinya dijejakkan ke
tanah. Dengan bilah pedang disorongkan ke depan tu-
buh gadis itu meluncur. Suropati yang sudah tahu ke-
hebatan lawan tak mau Yaniswara celaka. Dia berte-
riak mencegah. Namun gerakan Yaniswara lebih cepat.
Kelebatan pedang hendak membelah kepala la-
wan. Lelaki tinggi gemuk menarik kedua tangannya ke
belakang. Pengemis Binal sadar kakek itu hendak me-
mapaki luncuran tubuh Yaniswara dengan pukulan ja-
rak jauh. Maka sebelum sesuatu yang tak diinginkan
terjadi, dia segera mendahului!
Wuuusss...! Sinar kebiru-biruan yang timbul dari telapak
tangan Suropati meluncur deras menghantam dada le-
laki tinggi gemuk. Kembali ledakan dahsyat membaha-
na. Bumi berguncang makin keras. Tidak hanya de-
daunan pohon yang rontok. Ranting-ranting pun ikut
berparahan. Tubuh lelaki tinggi gemuk terlontar jauh. Ya-
niswara yang masih melayang di udara melenting lalu
meluncur lebih cepat. Tak ada jeritan yang terdengar
tatkala leher lelaki tinggi gemuk tertebas pedang Yaniswara. Kepalanya
menggelinding ke tanah. Sedang-
kan tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras.
Yaniswara menarik napas lega. Dilihatnya seje-
nak bilah pedang di tangannya. Tak ada darah yang
menempel. Bilah pedang itu berlapis bahan anti air,
hingga cairan darah tak dapat mengotorinya.
Suropati berjalan mendekat. Dipeluknya tubuh
gadis itu dari belakang. "Kita telah melenyapkan manusia biadab, Yani...."
Yaniswara memutar tubuhnya. Kepalanya dis-
andarkan ke bahu kanan Suropati. Perlahan-lahan bu-
tiran mutiara bening bergulir dari sudut mata gadis itu.
"Kau menangis, Yani?" tanya Suropati.
"Aku menyesal telah memenggal kepala orang
itu." "Kenapa?"
"Aku ingat Ayah," rintih Yaniswara.
Suropati menarik napas panjang. Diraihnya
bahu Yaniswara. Lalu ditatapnya dalam-dalam wajah
gadis itu. "Kematian tak perlu disesali, Yani," bujuk Suropati.
"Aku tidak pernah menyesali kematian. Aku
hanya sedih melihat diriku yang sebatang kara...."
"Bukankah ayahmu masih kerabat dekat den-
gan Prabu Mahindra Suikarnaka, Raja Saloka Medang"
Itu berarti kau tidak sebatang kara, Yani."
"Apalah gunanya semua itu, Suro" Seorang
pembesar tak akan mau mengakui orang sepertiku."
"Belum tentu. Aku yakin Prabu Mahindra Sui-
karnaka orang yang bijaksana. Beliau akan dapat me-
nerima keberadaanmu, Yani...," Suropati terus membujuk.
Yaniswara memeluk Suropati. Kepalanya kem-
bali disandarkan di bahu kanan pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tingkat Sakti itu. Butiran mutiara bening semakin deras mengalir
dari sudut mata Yaniswara.
Tanpa sepengetahuan mereka, jemari tangan le-
laki tinggi gemuk bergerak-gerak. Kedua kakinya ikut bergerak. Lalu, dengan
sebuah sentakan kuat tubuh
tanpa kepala itu berdiri tegak. Darah meleleh dari
pangkal leher yang menyemburatkan urat-urat.
Perlahan-lahan jemari tangannya meraba ba-
gian yang mengerikan itu. Kemudian, setelah kaki ka-
nannya menggedruk tanah, kepala yang tergolek di
atas tanah melayang dan jatuh tepat di bekas luka ba-batan pedang.
Dengan usapan lembut garis luka yang men-
ganga langsung hilang. Wujud lelaki tinggi gemuk
kembali seperti sediakala. Tawa keras memecah kehe-
ningan, mengiringi kedua telapak tangan si kakek yang disorongkan ke depan
melancarkan ilmu 'Serat Maut'.
Malang bagi Suropati. Loncatannya terlambat!
Ketika kakinya mendarat ke tanah, tubuhnya telah
terbungkus serat-serat putih berperekat kuat. Semen-
tara Yaniswara langsung terkulai lemas, terkena totokan jarak jauh si kakek.
Dengan tawa kemenangan
yang meledak-ledak, kakek itu menyambar tubuh Ya-
niswara yang tiada berdaya....
*** 4 Sejak kematian Anjarweni di tangan Margana
Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti tingkah laku Wiro-
gundi jadi aneh. Dia senang duduk termenung. Mem-
bayangkan masa-masa indah bersama kekasihnya, bi-
bir Wirogundi seringkali menyunggingkan senyum. Se-
ringkali juga dia kelihatan begitu berduka bila teringat kebiadaban Margana
Kalpa di puncak Bukit Pangalasan. Di tempat pemukiman para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itulah Anjarweni menemui
ajalnya. Anjarweni bertarung mati-matian membela para anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang
diserbu orang-orang Perkumpulan Bangau Sakti, yang
dipimpin Margana Kalpa. Di tangan tokoh sesat itulah Anjarweni gugur sebagai
seorang pendekar wanita
yang sangat gagah. (Baca serial Pengemis Binal epi-
sode: 'Malaikat Bangau Sakti').
Kematiannya tidak bisa diikhlaskan begitu saja
oleh Wirogundi. Perasaan cinta di dalam hati Wirogun-di terlalu dalam. Apalagi
Anjarweni ketika itu sedang mengandung. Kematian Anjarweni sangat memukul ji-wa
Wirogundi. Semangat hidupnya bagai terbang. Per-
nah terlintas di benak pemuda anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu untuk bunuh diri. Namun,
hal itu tak dilakukan. Dia tahu bunuh diri adalah perbuatan yang merugikan diri
sendiri dan dikutuk Tu-
han. Para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti tak pernah tahu Wirogundi mengalami kegun-
cangan jiwa yang sangat parah. Mereka menyangka
kematian Margana Kalpa di Bukit Bangau telah me-
nyembuhkan luka hati Wirogundi. Namun, sesung-
guhnya tidak. Jiwa Wirogundi tetap merana.
Bila bertemu dengan teman-temannya dia sela-
lu menampakkan wajah ceria, seperti tak menanggung
beban apa-apa. Begitu pula bila dia berhadapan den-
gan Gede Panjalu dan Suropati. Semua itu dilakukan
karena tak ingin mendapat perhatian yang berlebihan.
Terutama dari Gede Panjalu yang telah dianggapnya
sebagai ayah sendiri.
Wirogundi tak mau kesedihan hatinya akan
mengganggu ketenangan sesepuh Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu. Jadilah Wirogundi pemuda
yang memiliki dua muka. Muka lahirnya penuh den-
gan kegembiraan, tapi batinnya terbalut duka lara.
Sore ini Wirogundi tampak tengah berjalan di
tepi sungai dekat kotapraja Kerajaan Anggarapura. Matanya menatap jauh ke depan.
Rahangnya yang kokoh
seperti menggambarkan keinginan hatinya untuk da-
pat menepis semua cobaan hidup.
Dengan mempergunakan ujung tongkatnya Wi-
rogundi memukul sebuah batu yang cukup besar. Ba-
tu melayang cepat dan tercebur ke dalam sungai. Wi-
rogundi memperhatikan gelombang air yang timbul.
Mula-mula besar dan penuh dengan cipratan air, per-
lahan-lahan mengecil lalu lenyap.
Beberapa lama Wirogundi berdiri di tempatnya.
Matanya terus menatap aliran sungai. Pemuda itu ba-
nyak merenung. "Mungkinkah perjalanan hidupku seperti ge-
lombang air itu" Air yang semula tenang bergolak liar kemudian lenyap dengan
sendirinya. Mungkinkah rasa
sedih dalam hatiku ini akan lenyap?"
Wirogundi mengusap dahinya yang berpeluh.
Senja yang menjelang membuat hawa terasa segar.
Namun, kesegaran itu sama sekali tak dirasakan Wiro-
gundi. Perasaannya sedang galau.
Mendadak, sesosok bayangan bekelebat. Wiro-
gundi dapat melihat dengan jelas bayangan yang me-
lintas tak seberapa jauh dari hadapannya itu membo-
pong seorang gadis.
"Keparat....!" umpat Wirogundi.
Bayangan itu adalah seorang lelaki bertubuh
tinggi gemuk. Menurut dugaan Wirogundi, sosok
bayangan itu tentu telah melakukan penculikan. Hal
demikian tak bisa dibiarkan begitu saja oleh Wirogundi yang mempunyai jiwa
pendekar. Pemuda kurus itu
langsung menghemposkan tubuhnya mengejar sosok
bayangan. Sejak Wirogundi memakan buah pala ajaib di
dasar jurang Bukit Pangalasan, ilmu kepandaiannya
jadi berlipat ganda. Demikian pula ilmu meringankan
tubuhnya. Sebentar saja dia telah menyusul langkah
sosok bayangan.
Namun ketika Wirogundi samar-samar melihat
wajah gadis yang sedang dibopong sosok bayangan, dia tercekat. Wajah Anjarweni
membayang di mata Wirogundi. Pemuda kurus itu mengeluh. Keadaan demikian
mengganggu kecepatan larinya. Akibatnya Wirogundi
tertinggal. "Anjarweni...," desis Wirogundi.
Anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu menghentikan langkahnya, lalu menggedrukkan
tongkat ke tanah. Rasa sedih kembali menghantam
sanubarinya. Perlahan-lahan tubuhnya melorot. Se-
mangat mengejarnya hilang begitu saja.
Tak lama kemudian Wirogundi berhasil mengu-
sir perasaan galaunya. Pandangannya diedarkan ber-


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keliling berusaha menembus hari yang hampir gelap.
Tentu saja apa yang dia cari sudah tak ada. Sosok
bayangan yang dikejarnya telah lenyap.
"Aku harus mencarinya...," kata Wirogundi dalam hati. "Aku harus menolong gadis
itu. Tak bisa membiarkan perbuatan biadab terjadi di depan mata-
ku." Lelaki tinggi gemuk yang menculik Yaniswara berlari dengan mengandalkan
seluruh ilmu meringankan tubuh. Darahnya laksana bergolak mengikuti ha-
srat hati yang menghentak. Yaniswara yang terkulai
lemah akibat pengaruh totokan berada dalam kenge-
rian yang sangat. Dia tak sanggup membayangkan apa
yang akan terjadi pada dirinya.
Di rimba persilatan hanya tokoh-tokoh tua yang
tahu pasti siapa lelaki tinggi gemuk itu. Dia tak lain Kebo Ireng. Kaum rimba
persilatan memberinya julukan si Pantang Mati.
Memang, ilmu kesaktian lelaki tinggi gemuk itu
sudah sedemikian tinggi. Hingga membuatnya seperti
tak bisa mati. Pada masa pemerintahan Prabu Indra Prastha,
ayahanda Prabu Arya Dewantara yang memegang tam-
puk pimpinan di Kerajaan Anggarapura sekarang, per-
nah diperintahkan puluhan tokoh sakti istana untuk
menangkap Kebo Ireng alias si Pantang Mati. Prabu
Indra Prastha sangat mengkhawatirkan ketenteraman
rakyatnya. Pantang Mati mempunyai kebiasaan buruk
gemar mencuri dan membuat keonaran. Bahkan, se-
ringkali melakukan pembunuhan yang sangat kejam.
Karenanya, tokoh jahat itu selayaknya dijatuhi huku-
man. Melalui pertempuran dahsyat yang banyak
memakan korban jiwa akhirnya Pantang Mati dapat
disekap di penjara bawah tanah istana. Tapi, tokoh jahat itu hanya menjalani
hukumannya beberapa candra
saja. Dia dapat meloloskan diri dengan membunuh
puluhan prajurit.
Prabu Indra Prastha murka. Beliau membuat
sayembara untuk menghukum mati si Pantang Mati.
Tokoh-tokoh jajaran atas rimba persilatan berlomba-
lomba mengikuti sayembara itu. Namun, kematianlah
yang mereka temui. Kaum rimba persilatan yang me-
nyatroni si Pantang Mati bagai ular mencari gebuk.
Mereka menemui ajal tanpa dapat melaksanakan ke-
hendak. Ilmu kesaktian Pantang Mati terlalu sulit untuk dilawan.
Melihat korban banyak berjatuhan, kaum rim-
ba persilatan membuat suatu kesepakatan kerja sama.
Namun, Kebo Ireng benar-benar tak bisa dikalahkan.
Seorang penasihat kerajaan akhirnya membuat
siasat. Tanpa melalui pertempuran dia berhasil menjebak Pantang Mati. Di suatu
tempat Kebo Ireng terjeblos ke dalam sumur yang sangat dalam, tubuhnya lalu di-
timbuni batu-batu besar.
Sejak itu kabar mengenai Pantang Mati tak ter-
dengar lagi. Kaum rimba persilatan menganggapnya te-
lah mati. Namun tanpa diketahui oleh siapa pun, Kebo Ireng menghimpun kekuatan.
Puluhan tahun kemudian si pembuat onar itu dapat keluar dari dalam su-
mur tempatnya terkurung selama ini.
Kebo Ireng menuju ke kotapraja. Setelah men-
curi pakaian dan seekor kambing kecil, dia membunuh
seorang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang bernama Sentanu.
Hari telah gelap ketika si pembuat onar itu me-
nurunkan tubuh Yaniswara ke atas tanah berumput.
Walau tak seberapa terang cahaya rembulan di langit, namun Pantang Mati tak
menemukan kesulitan membuat perapian dari ranting-ranting kering.
"Ehm... Sebentar lagi aku akan menikmati se-
suatu yang selama puluhan tahun tak pernah ku ra-
sakan. Kenikmatan itu akan membuat semangat hi-
dupku semakin menggebu."
Berpikir demikian, lelaki tinggi gemuk itu mele-
pas totokan di tubuh Yaniswara.
"Aku tak ingin bermain-main dengan tubuh
mati. Aku ingin geliatan yang panas. Ha-ha-ha...."
"Apa maumu"!" hardik Yaniswara seraya me-
loncat jauh. Pantang Mati berjalan mendekati. Yaniswara
pun bergerak mundur lalu menghemposkan tubuhnya.
Tawa keras mengiringi Kebo Ireng ketika melancarkan
ilmu 'Serat Maut'-nya. Tubuh Yaniswara yang me-
layang mendadak berhenti di udara, lalu jatuh ke ta-
nah. Serat-serat putih telah menjeratnya.
Tentu saja gadis itu dihantam keterkejutan
yang sangat Dia meronta-ronta sekuat tenaga. Namun
serat-serat putih tetap membelenggu kedua tangan
dan kakinya. Saat Pantang Mati menghampiri, sinar
mata Yaniswara berubah nyalang.
"Lepaskan aku!" teriak Yaniswara.
"Ha-ha-ha.... Susah-susah aku mendapatkan
mu, kenapa harus kulepaskan?" sambut Kebo Ireng.
"Tidak! Jangan!"
Yuniswara meronta semakin keras. Tapi usa-
hanya untuk melepaskan diri tetap sia-sia. Jerit keras terdengar ketika Pantang
Mati menggerayangi tubuh
Yaniswara. Sebelum kejadian yang tak diinginkan terlak-
sana, sesosok bayangan meluncur cepat menendang
kepala Pantang Mati.
Praaakkk...! Tendangan yang dilancarkan sepenuh tenaga
membuat kepala Pantang Mati melayang jauh lepas
dari lehernya. "Suro...," desis Yaniswara.
Tapi, dia segera menatap tajam sosok pemuda
yang baru datang ternyata bukan Suropati. Yaniswara
salah lihat. Pemuda itu berpenampilan persis sama seperti Suropati. Pakaiannya
penuh tambalan. Tongkat
yang dipegangnya pada pangkal berhias kepala naga,
sedang ujungnya terpeluntir sepanjang satu jengkal.
Jelas, dia anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Walau tubuhnya kurus, tapi rahangnya kokoh
kuat dengan mata bersinar tajam menunjukkan kega-
gahan dan kepandaiannya. Dia adalah Wirogundi.
"Tolong...!" teriak Yaniswara yang melihat Wirogundi berdiri terpaku.
Wirogundi tercekat. Matanya tak berkedip me-
natap wajah Yaniswara.
"Kau.... Kau Anjarweni?" kata pemuda kurus itu tergagap.
"Aku Yaniswara. Cepat lepaskan aku dari serat-
serat putih ini!"
"Oh...," desis Wirogundi sambil mendekap mulutnya. "Cepatlah kau tolong aku.
Manusia biadab itu belum mati!"
Wirogundi mengalihkan pandangannya. Lima
tombak dari hadapannya tubuh Pantang Mati tampak
bergerak-gerak, walaupun tanpa kepala!
"Setan...," gumam Wirogundi.
"Bukan. Dia manusia biasa yang berilmu san-
gat tinggi!"
Serta-merta Wirogundi membungkukkan tu-
buhnya untuk melepas serat-serat putih yang membe-
lenggu tubuh Yaniswara. Namun, anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti itu terkejut. Telapak tangannya yang menempel pada
serat-serat putih tidak
bisa ditarik. Lengket!
Sementara badan Kebo Ireng telah berdiri te-
gak, lalu kakinya menggedruk tanah. Kepala yang ter-
geletak jauh dari sisinya tiba-tiba melayang dan jatuh tepat pada leher Pantang
Mati! Terlihat suatu pemandangan yang cukup
menggidikkan. Kepala yang telah menyatu dengan tu-
buhnya itu ternyata telah rusak! Tulang dahinya bo-
long, mengeluarkan darah bercampur cairan kental
keputihan yang meleleh-leleh melumuri seluruh wajah.
Sambil menggeram laksana harimau marah,
Kebo Ireng meraba-raba bagian tubuhnya yang rusak.
Mendadak, suatu keanehan terjadi. Tulang dahinya ra-
ta kembali. Kulitnya yang semula sobek menangkup
kembali seperti sediakala, tanpa bekas luka sedikit
pun. Hanya, darah dan cairan kental keputihan masih
melumuri wajahnya.
Yaniswara meronta-ronta. Telapak tangan Wi-
rogundi yang belum lepas dari serat-serat putih ikut terbawa rontaan Yaniswara.
Tubuh Wirogundi pun ter-sentak-sentak.
"Tenanglah! Jangan meronta seperti ini!" kata Wirogundi.
"Aduh! Aku sangat takut!" Yaniswara takut bukan main. Ketakutan terpancar jelas
di matanya. "Tenanglah! Kau jangan meronta terus!"
Mendengar ucapan Wirogundi yang cukup ke-
ras, Yaniswara terdiam. Tapi sinar matanya tetap nyalang melihat Pantang Mati
yang bergerak mendekati.
Wirogundi yang juga dalam perasaan ngeri se-
gera bangkit membopong tubuh Yaniswara. Tak ada
cara lain untuk melepaskan diri dari jeratan serat-
serat putih. "Ha-ha-ha...!" Pantang Mati tertawa bergelak.
"Rupanya ada kelinci liar yang mengganggu keasyikan
ku. Namun, hasrat hatiku semakin berkobar. Ha-ha-
ha...." Melihat Pantang Mati tertawa bergelak dengan mata menyipit, Wirogundi
segera menghemposkan tubuhnya. Kecepatan gerak Wirogundi sangat sulit diiku-ti
pandangan mata.
Saat Kebo Ireng menghentikan tawanya, sosok
Wirogundi dan Yaniswara telah lenyap ditelan kegela-
pan malam. Tak ayal lagi, Pantang Mati menggeram-
geram bagai harimau lapar. Dia mengamuk luar biasa.
Pohon-pohon besar diterjangnya hingga tumbang. Bu-
mi pun berguncang laksana dilanda gempa saat Pan-
tang Mati menggedruk-gedrukkan kakinya ke tanah.
*** Bulan sepenggal di langit memancarkan cahaya
temaram. Ditingkahi kerlip bintang gumpalan awan ti-
pis bergerak perlahan mengikuti arah angin. Itulah
irama alam yang dimainkan tangan Sang Penguasa Ja-
gad. Kepompong raksasa berwarna putih itu tampak
bergelindingan di tanah. Di dalamnya Suropati sedang berusaha keras melepaskan
diri dari kungkungan serat-erat aneh berperekat kuat.
Hawa di dalam kepompong sangat pengap. Pe-
luh telah membanjiri tubuh Suropati. Nafasnya pun
megap-megap karena tak ada udara yang masuk.
"Uh! Bagaimana aku melepaskan diri?" kata
remaja konyol itu dalam hati.
Kaki dan tangannya menghentak-hentak. Tapi
tak mendapat hasil seperti yang diinginkan. Kepom-
pong raksasa itu tetap bergelindingan.
"Ah, bodoh amat aku ini! Bukankah bisa ku co-
ba dengan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'?"
Pengemis Binal lalu mengumpulkan segenap
kekuatan batinnya untuk menghimpun tenaga semes-
ta. Kesulitan dia dapatkan. Nafasnya yang megap-
megap membuat pemusatan inderanya jadi terganggu.
Dicobanya untuk memejamkan mata tanpa bernapas.
Beberapa saat kepala Suropati menjadi sangat
pusing. Jiwanya seakan sedang dihempas-hempaskan
kekuatan kasatmata. Aliran darah berdesir tak karuan.
Jantungnya pun berdegup lebih kencang hingga da-
danya sesak. Waktu remaja konyol itu merasakan jantung-
nya benar-benar akan meledak, dari sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan. Terdengar letusan
keras. Dan, serat-serat putih yang membungkus tubuh
Suropati ambyar!
Setelah melemaskan otot-ototnya yang kaku,
Pengemis Binal melayangkan pandangan ke sekeliling-
nya. Malam yang sudah rebah membuat pandangan
Suropati hanya menemui bayang-bayang hitam.
"Di mana Yaniswara?" tanya remaja konyol itu.
"Apakah gadis itu masih berada di sekitar sini" Ah, lebih baik ku kerahkan ilmu
'Mata Awas'...."
Sebelum Suropati mengerahkan ilmu tembus
pandang itu, tampak cahaya keperakan berpendar di
kejauhan. Pemuda itu segera menghemposkan tubuh-
nya. "Pedang Perak Lentur...," gumam Suropati setelah berada di dekat pusat
pendaran cahaya.
Dengan menggunakan pedang pusaka itu seba-
gai lentera, Pengemis Binal berjalan berputar-putar, mencaci sosok Yaniswara.
Tapi tak ditemukan.
"Yaniswara tentu telah diculik manusia biadab
itu...," pikir Suropati. "Kakek itu dapat berbuat sede-
mikian kejam. Aku tak dapat membayangkan nasib
Yaniswara bila berada di tangannya. Aku harus segera bertindak...."
Suropati menyimpan Pedang Perak Lentur di li-
patan kain bajunya, kemudian, dia berkelebat cepat
melamban pandangannya dengan ilmu 'Mata Awas'.
Gerak tubuh remaja konyol itu laksana keleba-
tan setan. Secara kebetulan nalurinya membawa lang-
kah kaki Suropati menuju lereng bukit di perbatasan
wilayah Kademangan Maospati, tak jauh dari kotapra-
ja. Di situlah dia menjumpai Pantang Mati sedang
mengamuk. "Di mana Yaniswara"!" bentak Suropati.
Kebo Ireng tak menjawab. Amukannya lang-
sung terhenti. Matanya yang sipit dibukanya selebar
Pedang Dan Kitab Suci 12 Pendekar Naga Geni 12 Bentrok Di Kali Serang Tantangan Mesra 1
^