Pencarian

Hantu Merah 1

Pengemis Binal 23 Hantu Merah Bagian 1


HANTU MERAH Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Hantu Merah 128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 "Huh! Kenapa gadis itu mengajak berpen-
car"! Padahal, aku masih ingin berdekatan lebih
lama dengannya. Apakah dia tidak suka padaku"
Ah, tidak! Aku tahu benar isi hatinya. Pasti dia sedang marah karena... karena
dengan paksa aku
telah men... men...."
Remaja tampan berpakaian putih penuh
tambalan itu tak melanjutkan gumamannya.
Langkah kakinya terhenti mendadak. Serta-merta
dia menggaplok kepalanya sendiri. Tak sadar dia
mengeluarkan tenaga terlalu banyak, hingga tu-
buhnya ikut oleng ke kiri.
"Ingkanputri... Ingkanputri...," desis remaja yang rambutnya dibiarkan tergerai
panjang ke punggung itu. Dia adalah Suropati atau Pengemis
Binal. Hati Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu tengah diliputi rasa kesal. Bersama Kwe Kok Jiang, Gisa
Mintarsa, dan Ingkan-
putri, dia melakukan perjalanan berempat untuk
mencari Tan Peng Sin yang telah melarikan Arca
Budha. Dalam perjalanan mereka, Suropati yang
konyol mencuci kesempatan, mencium bibir In-
gkanputri. Gadis bergelar Dewi Baju Merah itu
marah marah. Dia lalu mengajak Kwe Kok Jiang
dan Gisa Mintarsa mencari Arca Budha bertiga
saja. Hingga, Suropati benar-benar ditinggal seorang diri. Hal itulah yang
membuat hati Suropati kesal.
"Huh! Digitukan saja marah! Padahal... pa-
dahal dia juga merasakan...," gerutu Pengemis Binal yang tak menyadari
kesalahannya. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tak gatal, remaja konyol itu melanjutkan lang-
kahnya lebih cepat. Namun sebelum dia mengem-
pos tubuh, mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, mendadak terdengar wanita memanggil na-
manya. "Suro...! Suro...!"
Kontan Suropati melonjak girang. Dia pikir,
yang memanggilnya tentu Ingkanputri. Yang se-
dang berlari-lari ke arahnya memang seorang ga-
dis. Suropati jadi kecewa karena gadis itu bukan Ingkanputri.
"Suro...."
Mendapat panggilan itu, Suropati cuma di-
am. Keningnya berkerut melihat seraut wajah
cantik milik si gadis. Sambil garuk-garuk kepala, Suropati memperhatikan
penampilan gadis itu
dari telapak kaki sampai ujung rambut.
Gadis itu bersepatu hitam, terbuat dari
kain tebal. Bercelana hijau dan baju lengan pan-
jang kuning bergaris putih. Rambut hitam pan-
jang, sebagian digelung ke atas, sebagian lagi dibiarkan tergerai. Ada perhiasan
emas yang me- nempel di gelungannya. Kulitnya putih. Dilihat
dari raut wajah dan caranya berpakaian, jelas bila dia bukan orang Jawa. Dua
pedang bergagang perak tampak menyilang di punggungnya. Agaknya,
dia seorang petualang dari daratan Tionggoan.
"Kau siapa?" tanya Pengemis Binal, pan-
dangannya tak lepas dari wajah cantik si gadis.
"Kwe Sin Mei," kenal si gadis sambil melempar senyum manis.
Melihat senyum itu, hati Pengemis Binal
bergetar mendadak. Rasa kecewanya kontan le-
nyap. Tak bosan dia pandangi terus wajah gadis
yang mengaku bernama Kwe Sin Mei itu.
"Suro Toako, aku sudah mendengar kebesaran namamu. Senang sekali hatiku dapat
ber- jumpa denganmu. Kau hendak ke mana" Kulihat
wajahmu tampak murung. Apakah kau sedang
memikirkan sesuatu yang tak mengenakkan ha-
timu?" ujar Kwe Sin Mei dengan bahasa Jawa patah-patah, tapi cukup jelas
dimengerti. "Namaku Suropati, bukan Suro Toako,"
sergah Pengemis Binal.
Bibir Kwe Sin Mei tersenyum. "Ya. Ya, aku
tahu namamu Suropati. Toako itu artinya sauda-
ra yang lebih tua. Dengan kata lain, aku me-
manggilmu Kak Suro," jelasnya.
Pengemis Binal mengangguk-angguk. "Hari
ini aku berjumpa lagi dengan orang Tionggoan.
Apakah gadis cantik bernama Kwe Sin Mei ini ju-
ga mencari Arca Budha?" tanyanya dalam hati.
"Kak Suro masih muda, tapi memiliki nama
besar dan harum. Tentulah Kak Suro memiliki
kepandaian yang benar-benar dapat dibanggakan.
Bolehkah aku mengetahui siapa guru Kak Suro?"
tanya Kwe Sin Mei, penuh persahabatan.
"Guruku banyak," tukas Suropati, me-
nyangka Kwe Sin Mei hendak menyelidik. Walau
kagum akan kecantikan Kwe Sin Mei, tapi dia
mesti bersikap hati-hati.
"Banyak?" kening Kwe Sin Mei berkerut
"Ya."
"Meskipun banyak, tapi tetap bisa dis-
ebutkan juga, bukan?"
"Apa maksudmu menanyakan siapa guru-
ku?" Pengemis Binal balik bertanya.
Kwe Sin Mei mengangkat bahu, kepalanya
menggeleng, hingga anting emas di daun telin-
ganya bergoyang-goyang. "Jangan salah sangka, Kak Suro. Aku tak menyimpan maksud
buruk. Kak Suro tak perlu berprasangka yang bukan-
bukan. Bila Kak Suro tak mau menjawab perta-
nyaanku, aku juga tak apa-apa. Tapi, Kak Suro
tak perlu marah."
Mendengar penjelasan Kwe Sin Mei yang
lemah-lembut, senang hati Suropati. Kecurigaan-
nya lenyap sudah. Lalu, dengan tutur bahasa le-
mah-lembut pula dia berkata, "Guruku sebenarnya ada satu saja, tapi yang
memberikan ilmu
kepandaian kepadaku cukup banyak untuk uku-
ran rimba persilatan"
"Orang-orang gagah itu pasti berilmu san-
gat tinggi. Siapakah mereka itu, Kak Suro?"
"Pragolawulung atau Periang Bertangan
Lembut, Gede Panjalu atau Pengemis Tongkat
Sakti, Banjaranpati atau Bayangan Putih dari Se-
latan, Datuk Risanwari, dan Nyai Catur Asta," jawab Pengemis Binal tanpa ragu-
ragu lagi. Bibi Kwe Sin Mei berdecak kagum. "Pan-
tas,... Pantas Kak Suro begitu hebat. Kiranya,
guru Kak Suro memang begitu banyak. Walau
aku tak tahu siapa mereka itu, namun aku yakin
bila mereka adalah orang-orang gagah yang sulit
dicari tandingannya."
"Tak perlu memuji," tukas Pengemis Binal.
"Eh, siapa tadi namamu?"
"Kwe Sin Mei. Kak Suro bisa memanggilku
dengan 'Sin Mei'."
"Ya. Kwe Sin Mei. Jauh-jauh datang ke ta-
nah Jawa ini kau tentu mempunyai urusan pent-
ing, Sin Mei. Urusan apa itu" Apakah ada hubun-
gannya dengan...," Pengemis Binal tak melanjutkan pertanyaannya. Dia pikir,
biarlah Kwe Sin Mei yang menjelaskannya urusannya sendiri. Tak
perlu dia menyinggung-nyinggung soal Arca Bud-
ha. "Kak Suro tampaknya masih canggung. Ka-
lau ingin bertanya, silakan. Kalau hanya menja-
wab pertanyaan, aku sama sekali tak keberatan."
"Ya. Ya.... Kau datang ke tanah Jawa ini
tentu mempunyai urusan penting. Bolehkah aku
tahu?" "Tentu saja boleh, Kak Suro. Bahkan, aku merasa senang sekali karena Kak
Suro menanya-kannya...."
Kening Pengemis Binal berkerut mendengar
ucapan Kwe Sin Mei. Apakah gadis itu menyem-
bunyikan udang di balik batu" Sebagian orang
akan tersinggung atau marah apabila ditanyakan
urusan pribadinya, tapi kenapa Kwe Sin Mei ma-
lah merasa senang"
"Datang ke tanah Jawa ini sebenarnya aku
memikul tanggung jawab yang amat berat. Aku
harus menangkap hidup atau mati seorang pela-
rian. Selain berilmu tinggi, dia juga licik dan kejam," lanjut Kwe Sin Mei,
mengutarakan tujuannya datang ke tanah Jawa.
"Siapa dia?" tanya Pengemis Binal.
"Dia seorang tokoh sesat berjuluk Hantu
Merah. Tujuh tahun yang lalu, dia pernah menga-
cau Istana Kerajaan Tong. Berkat kecerdikan Kai-
sar Hiang Tjong, tokoh sesat itu dapat ditangkap, kemudian dijebloskan ke
penjara bawah tanah.
Namun, Hantu Merah berhasil melarikan diri,"
papar Kwe Sin Mei.
Kening Pengemis Binal berkerut lagi. Tanpa
sadar dia menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal. "Aneh...," katanya dalam hati. "Kalau memang tokoh sesat yang berjuluk
Hantu Merah itu
berilmu tinggi, kenapa Kaisar Hian Tjong meme-
rintahkan Kwe Sin Mei untuk membekuknya.
Apakah gadis ini mempunyai ilmu kepandaian
yang bisa diandalkan" Tapi kurasa tidak. Dari sorot matanya, aku bisa mengukur
ketinggian il- munya." "Kenapa kau diam, Kak Suro. Apakah kau
heran kenapa kaisar memberikan perintah kepa-
daku untuk menyelesaikan satu tugas yang tak
ringan ini?" tanya Kwe Sin Mei, seperti dapat membaca pikiran Suropati.
"Ya. Aku merasakan keanehan itu. Dan la-
gi, kenapa kau mengejar Hantu Merah ke tanah
Jawa" Apakah kau yakin bila pelarian itu berada
di pulau ini?"
Kwe Sin Mei tersenyum. "Sesungguhnya
bukan aku yang diberi tugas menangkap Hantu
Merah...."
'Tapi kenapa kau melaksanakannya" Apa-
kah kau tidak sadar bila kau bisa mendapat cela-
ka?" sela Pengemis Binal.
"Aku sadar sepenuhnya, Kak Suro. Namun
sebagai anak yang baik, aku harus dapat menjaga
nama baik orangtuaku."
"Maksudmu?"
Tangan kanan Kwe Sin Mei mengeluarkan
sebuah benda bulat gepeng dari lipatan bajunya.
Benda sebesar telapak tangan terbuat dari emas
itu lalu diperlihatkan kepada Pengemis Binal.
"Ini adalah Lencana Emas Berkepala Hari-
mau. Seseorang yang menerima lencana ini berar-
ti dia mendapat kepercayaan dari Kaisar Hian
Tjong untuk melaksanakan suatu tugas. Orang
yang menerimanya akan segera menjadi terkenal
dan harum namanya, serta tokoh-tokoh rimba
persilatan akan menghormatinya. Namun di balik
semua itu, si penerima lencana harus memperta-
ruhkan nyawanya untuk dapat melaksanakan pe-
rintah sang kaisar. Apabila gagal, semua orang di daratan Tiongkok akan
mencacinya dan melem-parkan dirinya ke tempat yang paling rendah,
yang martabatnya disejajarkan dengan seekor ti-
kus...," Kwe Sin Mei menghela napas panjang.
Mendadak, wajahnya tampak muram. "Ayahkulah yang mendapat Lencana Emas Berkepala
Harimau ini. Beliau harus dapat menangkap Hantu
Merah hidup atau mati. Waktu lencana ini disam-
paikan, kebetulan ayahku tidak ada. Jadi, aku
terpaksa menerimanya. Beberapa tahun aku me-
nunggu, ayahku tak datang-datang juga. Karena
takut nama baik ayahku berikut keluarganya
akan jatuh, terpaksa aku berangkat ke tanah Ja-
wa ini. Kebetulan kudengar desas-desus bahwa
Hantu Merah melarikan diri ke tanah Jawa. Se-
lain untuk mencari tempat persembunyian yang
aman, dia juga berusaha memiliki Arca Budha...."
"Arca Budha?" kejut Pengemis Binal. "Hantu Merah juga mencari Arca Budha?"
"Ya. Kenapa, Kak Suro" Apakah kau per-
nah mendengar orang di pulau ini menyebut-
nyebut arca itu?"
Pengemis Binal menarik napas panjang, la-
lu berkata, "Ketahuilah, Sin Mei. Sebelum bertemu denganmu, aku telah bertemu
dengan dua orang lelaki dari bangsamu...."
"Siapa mereka?"
"Mereka juga mencari Arca Budha. Yang
seorang bernama Kwe Kok Jiang...."
"Kwe Kok Jiang" Apakah dia berasal dari
Pulau Tho Lioe Tho?"
"Tepat."
"Bergelar Pendekar Sesat?"


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Memangnya kenapa" Kau mengenal-
nya?" "Dia ayahku!"
"Ayahmu?"
"Bukankah dia seh Kwe dan aku juga seh
Kwe" Berarti kami berasal dari satu keturunan."
"Ya... ya...," desis Pengemis Binal sambil garuk-garuk kepala.
"Lalu tahukah kau, Kak Suro, di mana se-
karang ayahku berada" Aku harus cepat membe-
ritahu perihal tugas yang diberikan oleh Kaisar
Hian Tjong."
"Aku tak tahu, Sin Mei. Kemarin sore aku
berpisah dengannya. Dia pergi bersama dua orang
sahabatku, Ingkanputri dan Gisa Mintarsa."
"Mencari Arca Budha?"
"Ya. Ingkanputri dan Gisa Mintarsa hanya
membantu ayahmu. Kedua sahabatku itu telah
tahu bila Arca Budha tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat"
Kepala Kwe Sin Mei mengangguk-angguk,
lalu menatap wajah Pengemis Binal lekat-lekat.
"Tadi Kak Suro mengatakan bahwa telah bertemu dengan dua lelaki dari bangsaku.
Satunya lagi siapa?" "Auwyang Nan Ie. Dan, orang itu telah..."
"Telah apa, Kak Suro?" kejar Kwe Sin Mei karena Suropati tak segera melanjutkan
kalimatnya. "Apakah... apakah Auwyang Nan Ie telah mendapatkan Arca Budha?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas, Ingkanputri
dan Gisa Mintarsa mengatakan bahwa Arca Bud-
ha berhasil dilarikan oleh Tan Peng Sin. Semula, arca itu disembunyikan Mahicha
Kapoor di Pulau
Belut" Usai berkata, paras Suropati tampak ke-ruh. Dia tadi hampir kelepasan
bicara, mengata-
kan Auwyang Nan Ie yang telah melukai Kwe Kok
Jiang dengar Pedang Burung Hong. Hingga, Kwe
Kok Jiang menderita cacat, lengan kirinya tak da-
pat digerakkan lagi.
"Wajah Kak Suro tampak muram. Tampak-
nya, Kak Suro menyembunyikan sesuatu yang
menyedihkan terhadapku. Katakanlah, Kak Su-
ro.... Aku tahu Auwyang Nan Ie memusuhi ayah-
ku. Apakah lelaki jahat itu telah berhasil... berhasil...." "Tak perlu kau
khawatirkan keselamatan ayahmu, Sin Mei. Telah kukatakan tadi, ayahmu
mencari Arca Budha bersama dua orang saha-
batku." "Lalu, apa yang membuat Kak Suro jadi muram?" cecar Kwe Sin Mei.
Pengemis Binal menatap wajah Kwe Sin
Mei lekat-lekat. Haruskah dia ceritakan perihal
ayahnya yang telah menjadi cacat" Tidakkah hal
itu akan membuat sedih hati Kwe Sin Mei"
"Ada apa, Kak Suro" Walau kita baru saja
bertemu, dan baru pula saling kenal, tapi aku telah berterus-terang kepada Kak
Suro. Kenapa Kak
Suro tak berterus-terang pula kepadaku" Apakah
aku tidak pantas untuk menjadi sahabat Kak Su-
ro?" Kwe Sin Mei membalas tatapan Pengemis Binal. Melihat remaja tampan itu
tetap diam, Kwe Sin Mei membalikkan badan hendak pergi.
"Sin Mei...,!" cegah Suropati.
Kwe Sin Mei menoleh. "Aku sadar siapa di-
riku. Aku memang tak pantas menjalin persaha-
batan dengan seorang pendekar besar seperti Kak
Suro...." "Sin Mei...!" cegah Suropati lagi waktu Kwe
Sin Mei melanjutkan langkahnya.
"Selamat tinggal, Kak Suro. Maaf, aku ha-
rus pergi...."
Melihat Kwe Sin Mei mempercepat langkah
kakinya, cepat Pengemis Binal mengejar.
"Sin Mei...," desis Pengemis Binal sambil memegang bahu Kwe Sin Mei. "Bukan aku
tak mau menjalin persahabatan denganmu. Tak akan
ada lelaki yang menolak bersahabat dengan gadis
secantik kau. Sin Mei...."
"Tapi, aku telah membuat sedih hati Kak
Suro. Raut wajah Kak Suro menggambarkan ke-
sedihan itu...," tukas Kwe Sin Mei.
"Aku tidak sedih. Sin Mei. Justru aku takut membuatmu jadi sedih. Oleh
karenanya, aku tidak bisa berterus-terang," kilah Pengemis Binal.
Kwe Sin Mei diam beberapa lama menden-
gar ucapan Pengemis Binal.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi, Kak
Suro?" tanya gadis itu kemudian. "Apakah ayahku telah dilukai oleh Auwyang Nan
Ie?" Suropati menghela napas panjang. Perihal
cacat yang diderita Kwe Kok Jiang, pada akhirnya Kwe Sin Mei pasti akan
mengetahuinya juga.
Apakah tidak lebih baik berterus-terang saja"
"Ayahmu memang telah dilukai oleh Au-
Wyang Nan Ie...," putus Pengemis Binal kemudian. "Binar dugaanku. Seberapa parah
lu- kanya?" tanya Kwe Sin Mei tanpa menunjukkan keterkejutan.
Karena telah beberapa tahun terjun ke da-
lam rimba persilatan, tentu saja Kwe Sin Mei
menganggap orang yang terluka ataupun mati di
arena pertempuran adalah sesuatu yang biasa.
Oleh karenanya, dia tak terkejut ketika Suropati mengatakan bahwa ayahnya telah
dilukai oleh Auwyang Nan Ie. Dan memang, kekhawatiran Su-
ropati tak pada tempatnya.
Sementara melihat Kwe Sin Mei menangga-
pi perkataannya dengan biasa-biasa saja, dia se-
gera menjawab pertanyaan gadis itu.
"Lengan kiri ayahmu terbabat putus oleh
Pedang Burung Hong di tangan Auwyang Nan Ie.
Tapi, Kakek Wajah Merah berhasil menyambung-
nya. Hanya saja, lengan kiri ayahmu tak mungkin
dapat bekerja seperti semula."
Kwe Sin Mei terdiam. Ada kedukaan mem-
bayang di matanya, tapi cepat dia mengusirnya.
Bagi orang gagah yang berjuang membela kebena-
ran, apa arti kehilangan sebelah lengan" Bila per-lu nyawa pun mesti
dipertaruhkan. "Maafkan aku. Sin Mei. Aku datang setelah
peristiwa itu terjadi...," sesal Suropati melihat Kwe Sin Mei menundukkan
kepala. "Kau tak perlu menyalahkan dirimu, Kak
Suro," tukas Kwe Sin Mei. "Aku memang sedih, tapi tak sesedih yang kau kira. Aku
bisa menerima kenyataan ini...."
Pengemis Binal merengkuh bahu gadis itu,
lalu berkata, "Kau, benar-benar berjiwa besar, Sia Mei..." "Terima kasih, Kak
Suro. Eh... tidakkah Kak Suro ingin mengetahui hasil penyelidikanku
perihal Hantu Merah?" ujar Kwe Sin Mei tiba-tiba.
"Tentu saja aku ingin tahu," sahut Pengemis Binal.
"Ya. Kau memang harus tahu, Kak Suro.
Tak dapat aku menyembunyikan maksudku yang
hendak meminta bantuanmu untuk menangkap
pelarian itu...."
"Kalau aku mampu, aku pasti akan mem-
bantumu. Tanpa kau minta pun aku pasti akan
membantumu. Aku tak mau kau terluka...."
"Sungguhkah itu?"
"Ya."
"Karena apa?"
Pengemis Binal menggenggam erat jemari
tangan Kwe Sin Mei. "Karena kau cantik...,"
ucapnya, mulai konyol.
"Aku tidak cantik. Aku hanya gadis biasa-
biasa saja. Banyak sahabat Kak Suro yang sega-
lanya melebihi diriku," ujar Kwe Sin Mei yang tampaknya tak mempan rayuan
Pengemis Binal.
Selagi Pengemis Binal garuk-garuk kepala,
Kwe Sin Mei tersenyum tipis. "Tiga tahun lamanya aku merantau di daratan
Tionggoan. Hingga, boleh dikatakan pengalamanku tentang rimba persi-
latan cukup luas. Aku tahu cara kerja orang baik atau jahat. Aku tahu orang yang
berpura-pura bermaksud baik, tapi menyimpan maksud jahat.
Oleh karenanya aku pun tahu orang yang me-
mang bermaksud baik, seperti Kak Suro. Namun,
Kak Suro tak perlu memuji yang tak pada tem-
patnya." Terkesiap Pengemis Binal mendengar uca-
pan Kwe Sin Mei. Agaknya, gadis itu memang tak
mempan dirayu. Tak seperti gadis-gadis lain yang akan senang hatinya mendengar
pujian Pengemis
Binal. "Ya. Ya.... Berceritalah tentang hasil penye-lidikanmu...," ujar Pengemis
Binal, menutupi rasa malunya.
"Dari daratan Tiongkok, aku menumpang
kapal dagang milik saudagar Jawa. Selama bebe-
rapa bulan di atas kapal, aku belajar bahasa Ja-
wa. Walau hasilnya tak seberapa baik, tapi Kak
Suro dapat mengerti semua ucapanku, bukan?"
papar Kwe Sin Mei, mengawali ceritanya.
"Ya. Karena kau cerdas, jadi bisa belajar
lebih cepat."
Bibir Kwe Sin Mei menyungging senyum ti-
pis. Dia tahu bila pujian Suropati kali ini di-
ucapkan dengan tulus, tak menyimpan maksud
apa-apa. "Setelah menginjakkan kaki di tanah Jawa.
ini, aku segera memulai penyelidikanku. Setengah bulan yang lalu baru kuketahui
bila Hantu Merah
bersembunyi di suatu tempat sunyi yang jarang
dijamah manusia."
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Hanya kebetulan. Waktu itu aku melihat
rombongan saudagar yang tengah mengangkut
barang dagangannya dengan tiga kereta kuda. Ke-
tika aku hendak menumpang, mendadak rom-
bongan saudagar itu dicegat seorang lelaki yang
sebagian wajahnya ditutupi kain hitam. Anehnya,
pencegat itu tidak mengambil barang-barang ber-
harga. Dia menculik dua kusir kuda. Karena ingin menolong, aku lalu mengejarnya.
Dan ternyata, penculik itu ternyata Hantu Merah, Dua kusir
kuda dibunuh dengan kejam. Rupanya, Hantu
Merah menjadikan mereka tumbal untuk me-
nyempurnakan ilmu kesaktiannya. Melihat kehe-
batan Hantu Merah, aku merasa tak mampu me-
nangkap pelarian itu. Lalu, aku berusaha menca-
rimu untuk meminta pertolongan, Kak Suro."
Kepala Pengemis Binal mengangguk-
angguk. "Apakah kita mesti mendatangi Hantu Merah sekarang?" tawarnya.
"Lebih cepat, lebih baik," sambut Kwe Sin Mei, girang.
*** 2 Tersiram sinar mentari. Arca Budha di tan-
gan Auwyang Nan Ie memancarkan cahaya berki-
lauan. Terbawa rasa gembira yang meluap-luap,
lelaki tinggi besar itu terus tertawa bergelak. Sementara tak jauh dari
tempatnya berdiri, tergeletak mayat Tan Peng Sin yang sudah tak karuan
lagi wujudnya. Sekujur tubuhnya melepuh-lepuh
berwarna biru-kehitaman. Bola matanya melotot
besar dan mulutnya ternganga lebar.
Semula, Tan Peng Sin berhasil melarikan
Arca Budha dari Pulau Belut. Di tepi Sungai
Bayangan, lelaki dekil itu membuka peti besi
tempat penyimpanan Arca Budha yang dibuat
oleh Mahicha Kapoor.
Tan Peng Sin berhasil menghindari hujan
jarum beracun yang menyembur dari dalam peti.
Tapi ketika dia membuka kain pembungkus Arca
Budha, dia terserang racun ganas, hingga me-
layanglah nyawa salah seorang tokoh Partai Pen-
gemis dari daratan Tiongkok itu
Auwyang Nan Ie yang kebetulan berada di
Sungai Bayangan dengan mudah mengambil Arca
Budha yang menggelinding di tanah. Karena dia
telah memiliki Pedang Burung Hong yang menjadi
kunci pembuka rahasia Arca Budha, maka tak
dapat digambarkan lagi betapa gembiranya hati
lelaki tinggi besar itu.
"Ha ha ha...! Kini, telah kudapatkan Arca
Budha! Jalan untuk mewujudkan cita-citaku te-
lah terbuka lebar! Ha ha ha...!"
Selagi Auwyang Nan Ie tertawa senang,
tanpa diketahuinya dua ekor ular hitam merayap
mendekatinya. Dua ekor ular sebesar lengan ma-
nusia dewasa itu lalu membelit kaki Auwyang
Nan Ie. "Hah"!"
Terkejut Auwyang Nan Ie ketika merasakan
kedua kakinya tak dapat digerakkan lagi. Sadar-
lah lelaki berpakaian kuning coklat itu bila di-
rinya dalam bahaya.
Tanpa pikir panjang lagi Auwyang Nan Ie
meloloskan Pedang Burung Hong yang terselip di
punggungnya. Dua kali pedang pusaka itu berke-
lebat membersitkan sinar biru berkilat. Kepala
dua ekor ular hitam yang membelit kaki Auwyang
Nan Ie pun terpisah dari tubuhnya. Bau anyir da-
rah pun menyebar.
Dengan penuh rasa kesal Auwyang Nan Ie
menyepak tubuh dua ekor ular yang menggeliat
ganas di dekat kakinya, hingga tercebur ke dalam sungai. "Ular keparat!
Mengganggu Auwyang Nan Ie sama saja mencari mati!" geram Auwyang Nan Ie seraya
menyarungkan lagi Pedang Burung Hong-nya. Lelaki tinggi-besar itu memandang
seben- tar air sungai yang bergolak karena geliatan dua ekor ular hitam yang sedang
meregang nyawa. Ketika pandangannya membentur pada mayat Tan
Peng Sin, dia tertawa bergelak lagi.
"Ha ha ha...! Sungguh malang nasibmu.
Tan Peng Sin...! Kau mati dalam keadaan menge-
naskan. Tapi seharusnya kau tahu diri, Pengemis


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malang. Tak perlu kau bersusah-payah mencari
Arca Budha sampai ke tanah Jawa ini karena di-
rimu tak pantas untuk memilikinya. Kenekatan-
mu hanya mendatangkan celaka! Ha ha ha...!"
Sejenak Auwyang Nan Ie menatap Arca
Budha di tangannya, lalu dia menjejak tanah un-
tuk segera meninggalkan Sungai Bayangan. Na-
mun.... "Jahanam! Tetaplah di tempatmu!"
Sebuah teriakan menghentikan kelebatan
tubuh Auwyang Nan Ie. Sekitar dua tombak dari
hadapan lelaki tinggi-besar itu telah berdiri seorang pemuda mengenakan pakaian
ketat yang terbuat dari kulit ular. Wajah pemuda itu tampak lucu karena matanya sipit dan
bibirnya monyong.
Di jemari tangan kanannya terjepit sebatang se-
ruling gading. Auwyang Nan Ie terkesiap melihat kulit
pemuda itu bersisik seperti kulit ular. Menyangka si pemuda bermaksud hendak
merampas Arca Budha di tangannya, cepat Auwyang Nan Ie me-
masukkan arca itu ke saku bajunya yang gedom-
brongan. "Siapa kau"!" bentak Auwyang Nan Ie, penuh selidik.
"Akulah yang seharusnya menanyakan itu.
Kau telah masuk ke Sungai Bayangan tanpa ijin,
bahkan telah membunuh dua ekor ular peliha-
raanku. Oleh karenanya, kau harus meninggal-
kan nyawamu di tempat ini!" ancam si pemuda yang bukan lain Sawung Jenar atau
Iblis Selaksa Ular. "Ha ha ha...! Aku tidak kenal siapa kau, ta-pi, kata-katamu sungguh
memerahkan daun te-
lingaku. Kau pikir dirimu malaikat kematian yang bisa mengambil nyawa sembarang
orang seenak perutmu sendiri, begitu"! Huh! Segeralah pergi
dari hadapanku, sebelum hilang kesabaranku!"
Auwyang Nan Ie ganti mengancam dengan bahasa
Jawa patah-patah.
"Keparat! Tidakkah kau tahu akulah Pen-
guasa Sungai Bayangan ini!" sahut Sawung Jenar cepat. "Masuk ke wilayahku tanpa
izin sudah me-rupakan kesalahan besar. Apalagi, membunuh
ular peliharaanku. Kau berlaku sombong pula.
Maka demi langit dan bumi, tak akan Sawung Je-
nar membiarkan dirimu berlama-lama menghirup
udara segar!"
Melihat kesungguhan Sawung Jenar, Au-
wyang Nan Ie mendengus gusar. Dalam sekejap
mata, sebatang kebutan telah berada di tangan
kanannya. Bulu-bulu senjata yang berupa alat tu-
lis Cina berukuran besar itu kontan mengejang
kaku ketika dialiri tenaga dalam.
"Matilah kau, Mulut Besar!"
Dibarengi teriakan itu, tubuh Auwyang Nan
Ie berkelebat ke depan. Bulu kebutannya yang
menyerupai mata tombak meluncur cepat, men-
garah jalan darah yang terletak di bawah iga Sa-
wung Jenar! Auwyang Nan Ie bersorak girang dalam hati
melihat Sawung Jenar sama sekali tak mengge-
rakkan tubuhnya. Apakah pemuda itu tidak tahu
bila dirinya terancam marabahaya" Apakah dia
hanya pemuda bodoh yang cuma dapat mengum-
bar kata-kata"
Set...! "Heh"!"
Terperangah Auwyang Nan Ie. Bulu kebu-
tannya tiba-tiba meleset, padahal Sawung Jenar
sama sekali tak menggerakkan tubuhnya!
Tak mau mendapat serangan balik, cepat
Auwyang Nan Ie menggerakkan senjatanya lagi.
Bulu kebutan yang dialiri tenaga dalam penuh
disodokkan Auwyang Nan Ie sambil bersalto di
udara. Mengarah jalan darah di punggung. Itu be-
rarti Auwyang Nan Ie benar-benar bermaksud
membunuh Sawung Jenar!
Tapi, pemuda bersisik ular tak mau berke-
lit. Dia menadahi serangan Auwyang Nan Ie den-
gan bersedekap. Sikapnya tenang-tenang saja,
seperti tak tahu bila ada bahaya sedang mengan-
cam nyawanya! Set...! "Heh"!"
Untuk kedua kalinya Auwyang Nan Ie ter-
perangah. Ketika bulu kebutan hendak mengenai
sasaran, tiba-tiba melenceng, hingga serangan itu gagal total!
Sadarlah Auwyang Nan Ie bila dirinya ten-
gah berhadapan dengan seorang pemuda yang
memiliki kepandaian luar biasa. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia segera
meloloskan Pedang Burung Hong!
Melihat sinar biru berkeredepan yang
membersit dari bilah pedang Auwyang Nan Ie,
Sawung Jenar terkesiap. Tanpa sadar dia melon-
cat menjauh karena kaget.
Dengan ilmu 'Lembu Sekilan', sebenarnya
Sawung Jenar tak mempan pukulan atau baco-
kan senjata tajam apapun. Tapi melihat pedang
pusaka di tangan Auwyang Nan Ie, dia jadi ragu-
ragu. Ada kemungkinan ketajaman Pedang Bu-
rung Hong mampu menembus benteng kekebalan
ilmu 'Lembu Sekilan'.
Tak mau menerima akibat buruk, cepat
Sawung Jenar mengalirkan seluruh kekuatan te-
naga dalamnya ke kedua tangannya. Sambil
menggembor keras, pemuda bersisik ular itu me-
lancarkan pukulan jarak jauh. Dua larik sinar
kuning meluncur deras ke arah Auwyang Nan Ie!
Wusss...! "Ngaco-belo!" ujar Auwyang Nan Ie seraya memutar Pedang Burung Hong di depan
tubuhnya. Putaran Pedang Burung Hong mampu
membuat benteng sinar biru yang amat menyi-
laukan mata. Ketika dua larik sinar kuning mem-
benturnya, timbul ledakan keras yang mampu
menggugurkan daun pepohonan. Bebatuan yang
berada di hadapan Sawung Jenar dan Auwyang
Nan Ie pun berhamburan ke angkasa, hingga
membuat penglihatan jadi ter-halang.
Ketika suara gemuruh yang timbul akibat
lontaran bebatuan telah reda dan pandangan pun
tak lagi terhalang, Auwyang Nan Ie tampak berdiri tegak di tempatnya tak kurang
suatu apa. Sementara, Sawung Jenar beberapa kali menggedrukkan
kakinya ke tanah. Dia jengkel sekaligus kagum
melihat kehebatan pedang pusaka di tangan Au-
wyang Nan Ie. "Walau kau memiliki pedang ampuh, jan-
gan harap aku akan membiarkan dirimu pergi da-
ri tempat ini!" ujar Sawung Jenar kemudian. "Hu-tang nyawa harus dibayar nyawa!"
"Hmm.... Kata-katamu semakin membuat
panas hatiku. Bila kau mampu membalikkan
bumi dan meruntuhkan langit, bolehlah kau se-
sumbar sesuka hatimu! Tanpa kau suruh pun
aku tak akan meninggalkan tempat ini. Tak kan
puas hatiku sebelum dapat memenggal kepala-
mu!" "Agaknya kau memang pantas untuk mati, Orang Edan!"
Di ujung kalimatnya, Sawung Jenar men-
cabut seruling gading yang tadi telah dia selipkan di ikat pinggangnya. Auwyang
Nan Ie hendak menerjang, namun lelaki tinggi-besar itu kaget keti-ka telinganya
mendengar suara tiupan seruling
merdu mendayu-dayu.
Otak Auwyang Nan Ie dapat bekerja dengan
baik. Dia tahu bila Sawung Jenar hendak me-
manggil ular-ularnya. Maka sebelum ular-ular itu datang, cepat dia mengempos
tubuh. Bilah Pedang Burung Hong yang bengkok hendak mengait
kepala Sawung Jenar!
"Uh...!"
Mendadak, keluh pendek keluar dari mulut
Auwyang Nan Ie. Tubuhnya yang tengah me-
layang di udara tiba-tiba jatuh ke tanah dalam
keadaan lemas. Sementara, tiupan seruling Sa-
wung Jenar berubah melengking tinggi, hingga te-
rasa menampar-nampar gendang telinga!
Sinar mata Auwyang Nan Ie jadi nyalang.
Dia bingung dan takut. Kenapa tiba-tiba tubuh-
nya terasa amat lemas seperti telah dilolosi seluruh urat dan tulang-
belulangnya"
Dalam kekalutannya, mata Auwyang Nan
Ie melihat ratusan ular merayap dari berbagai
penjuru, menuju ke arahnya!
"Hia...!"
Brukkk...! Auwyang Nan Ie hendak meloncat bangkit,
namun tubuhnya segera jatuh lagi. Dia benar-
benar kehilangan seluruh tenaganya. Bahkan ke-
tika mencoba mengalirkan tenaga dalam pun, dia
tidak mampu! Dia hanya dapat duduk setengah
terbaring tertelungkup, menunggu ajal menjem-
put! Diiringi tiupan seruling Sawung Jenar yang semakin melengking tinggi,
ratusan ular semakin
cepat merayap untuk segera mengerubuti tubuh
Auwyang Nan Ie yang sudah tak berdaya apa-apa!
"Arca Budha...." desis Auwyang Nan Ie dalam kekalutannya. "Biarlah aku mati di
sini asal Arca Budha turut hancur bersama tubuhku..."
Berpikir demikian, Auwyang Nan Ie menge-
luarkan Arca Budha yang berada di saku ba-
junya. Arca sebesar anak kucing itu lalu dia le-
takkan di hadapannya. Kemudian, Auwyang Nan
Ie mengangkat bilah Pedang Burung Hong tinggi-
tinggi. Dan... Prang...! Timbul suara nyaring ketika bilah Pedang
Burung Hong membentur Arca Budha yang ter-
buat dari emas murni, Auwyang Nan Ie bermak-
sud menghancurkan arca buatan seorang tetua
dari bangsa Cina dua ratus tahun yang silam itu.
Tapi anehnya, bilah Pedang Burung Hong tak
mampu membelahnya, bahkan melekat! Kedua-
nya seperti mengandung kekuatan yang saling ta-
rik-menarik! Auwyang Nan Ie terkejut luar biasa. Dia
sama sekali tak tahu keajaiban apa yang terdapat di balik keindahan Arca Budha.
Ketika dia menge-
rahkan tenaga untuk memisahkan bilah Pedang
Burung Hong dari badan arca itu, mendadak Arca
Budha memancarkan sinar kurung-keemasan
yang amat menyilaukan mata. Sinar itu kemudian
menjalar ke bilah Pedang Burung Hong, lalu men-
jalar terus ke tubuh Auwyang Nan Ie!
Saat sinar-keemasan telah lenyap, Au-
wyang Nan Ie merasakan kekuatannya pulih
kembali. Hawa murni yang berputar di sekitar
pusarnya pun terasa beraturan. Itu berarti dia bi-sa mengerahkan tenaga dalam
lagi! "Ha ha ha...! Hebat...! Hebat...! Sungguh
sebuah benda mustika yang tak ada bandingnya!"
Auwyang Nan Ie memuji kehebatan Arca
Budha seraya menarik bilah Pedang Burung
Hong. Kali ini, pedang bengkok itu dapat lepas
dari badan Arca Budha.
Sementara, Sawung Jenar yang tengah
meniup seruling gadingnya ganti terkejut bagai
disambar petir. Ketika Arca Budha memancarkan
sinar kuning-keemasan, ratusan ular yang berada
di bawah pengaruh tiupan serulingnya tiba-tiba
panik, lalu merayap pergi berserabutan, seperti
melihat sesuatu yang amat menakutkan!
"Mati kau, Setan!"
Mendengar teriakan itu, Sawung Jenar ter-
sadar dari keterkejutannya. Selarik sinar biru
berkeredepan meluncur cepat ke arahnya. Itulah
sinar yang timbul dari tusukan Pedang Burung
Hong di tangan Auwyang Nan Ie!
"Uts...!"
Bergegas Sawung Jenar melempar tubuh-
nya ke kiri. Ujung Pedang Burung Hong pun
hanya mengenai tempat kosong.
Tak mau membuang-buang waktu, Au-
wyang Nan Ie mencecar Sawung Jenar dengan se-
rangan mematikan. Suara gemuruh keras timbul
setiap Pedang Burung Hong berkelebat. Tubuh
Sawung Jenar terkurung oleh sinar biru yang
amat menggidikkan. Tampaknya, Auwyang Nan Ie
benar-benar ingin segera menyudahi riwayat Pen-
guasa Sungai Bayangan itu. Oleh karenanya, dia
mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh, yakni
ilmu pedang 'Delapan Dewa'
Dengan membentengi tubuhnya dengan il-
mu 'Lembu Sekilan', Sawung Jenar memberi per-
lawanan sekuat tenaga. Dia balas menyerang
dengan seruling gading di tangan. Namun tak la-
ma kemudian....
Trang...! "Haya...!"
Seruling gading Sawung Jenar terbabat pu-
tus oleh Pedang Burung Hong milik Auwyang Nan
Ie. Dalam keadaan sulit, Sawung Jenar mengem-
pos tubuh tinggi-tinggi karena ketajaman Pedang
Burung Hong mencecarnya dari bawah.
Selagi tubuh Sawung Jenar melayang di
udara, kebutan di tangan kanan Auwyang Nan Ie
meluncur deras hendak menotok jalan darah yang
terletak di lutut.
"Haram jadah!" maki Sawung Jenar seraya menyabetkan potongan seruling gadingnya


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menangkis luncuran kebutan.
Slap...! Tatkala bulu kebutan yang mengejang ka-
ku hendak membentur potongan seruling, tiba-
tiba bulu senjata yang menyerupai alat tulis Cina itu menjadi lemas. Hingga,
sabetan seruling gading lewat begitu saja. Agaknya, Auwyang Nan Ie
telah mengganti aliran tenaga dalamnya dengan
tenaga lembek. Sebenarnya, memang di situlah letak kehe-
batan kebutan milik Auwyang Nan Ie. Selagi po-
tongan seruling gading terus lewat ke samping,
bulu kebutan mengejang kaku lagi. Hendak
menggetok kepala Sawung Jenar!
Set...! "Heh"!"
Auwyang Nan Ie terperangah. Getokan bulu
kebutannya tiba-tiba melesat ke samping kanan
kepala Sawung Jenar. Auwyang Nan Ie pun jadi
tak habis mengerti, bagaimana hal itu bisa terja-di" Padahal, dia sudah sangat
yakin bila senja-
tanya akan dapat menghabisi riwayat Sawung Je-
nar! Kalau saja Sawung Jenar tak memiliki ilmu
'Lembu Sekilan', pastilah nyawanya telah me-
layang. Namun, dia belum bisa mengambil napas
lega karena Pedang Burung Hong di tangan kiri
Auwyang Nan Ie terus mengurungnya.
Susah payah Sawung Jenar berloncatan ke
sana kemari. Namun, Pedang Burung Hong terus
mengejar dan mengurungnya. Pedang pusaka itu
bagai punya mata yang terus mengincar jalan
kematian di tubuh Sawung Jenar.
Sepuluh jurus kemudian, wajah Sawung
Jenar terlihat pucat-pasi. Keringat telah memban-jir di sekujur tubuhnya. Walau
dia kebal terhadap serangan kebutan milik Auwyang Nan Ie, tapi
mampukah dia menahan ketajaman Pedang Bu-
rung Hong"
"Kau boleh bangga dengan ilmu simpa-
nanmu, tapi cobalah dulu ketajaman pedangku
ini!" ujar Auwyang Nan Ie.
Lelaki tinggi-besar itu telah menyimpan
kebutannya di balik bajunya yang gedombrongan.
Senjata itu dia anggap tak lagi berguna. Pedang
Burung Hong yang semula berada di tangan kiri,
dia pindah ke tangan kanan. Dengan demikian,
Auwyang Nan Ie lebih leluasa dalam memainkan
ilmu pedang 'Delapan Dewa'.
"Susullah ibumu ke alam baka!' ujar Au-
wyang Nan Ie seraya menusuk dada kiri Sawung
Jenar. Walau dalam keadaan sulit, pemuda bersi-
sik ular itu masih mampu berkelit. Namun ketika
Auwyang Nan Ie menyambung serangannya, Sa-
wung Jenar memekik!
"Argh...!"
Bahu kiri Sawung Jenar tersambar bilah
pedang di tangan Auwyang Nan Ie. Darah segar
memercik. Agaknya, ilmu 'Lembu Sekilan' tak
mampu menahan ketajaman Pedang Burung
Hong! Semakin pucatlah wajah Sawung Jenar.
Keringat dingin mengucur tanpa kendali. Nyawa
Sawung Jenar benar-benar diintai malaikat kema-
tian! "Ha ha ha.,.! Bila kau masih punya ilmu si-
luman, segeralah kau keluarkan!" sesumbar Auwyang Nan Ie, jumawa.
"Makan kesombonganmu!" sahut Sawung
Jenar seraya menyorongkan potongan seruling
gadingnya. Dari dalam seruling yang tinggal setengah
bagian itu melesat ular putih yang tak lebih besar dari batang lidi. Karena
lesatannya amat cepat,
mata Auwyang Nan Ie tak dapat melihatnya. Lela-
ki tinggi-besar yang hendak mengawali serangan-
nya lagi itu menjerit pendek. Dada kirinya terasa pedih bagai tersengat lebah.
Merasa dirinya telah termakan senjata ra-
hasia Sawung Jenar, Auwyang Nan Ie menggem-
bor keras. Tubuhnya berkelebat cepat. Sementa-
ra, Sawung Jenar yang merasa senang karena
'Ular Pemakan Jantung'-nya berhasil masuk ke
tubuh tawan, menjadi lengah. Hingga....
Wuttt...! "Aih...!"
Walau Sawung Jenar mampu berkelit den-
gan melempar tubuh ke belakang seraya berjung-
kir-balik di udara, tak urung paha kanannya ter-
sambar ketajaman Pedang Burung Hong.
"Keparat! Setan laknat!" maki Auwyang Nan Ie dengan sinar mata nyalang.
Tanpa mempedulikan Sawung Jenar yang
berdiri terhuyung-huyung, jago silat dari daratan Tionggoan itu mendekap .dada
kirinya. Cepat dia
sobek kain bajunya. Cairan darah segar tampak
menetes dari luka kecil di atas puting susunya!
"Keparat! Setan laknat!" maki Auwyang Nan Ie lagi. Sinar mata lelaki bertubuh
tinggi-besar itu semakin nyalang. Dia merasakan gerakan-gerakan aneh di dalam
dada kirinya. Sadarlah dia bila ada seekor ular kecil bersarang di tubuhnya.
Sambil menggembor keras, Auwyang Nan Ie
berkelebat menyambar Arca Budha yang tergele-
tak di tanah. Tanpa pikir panjang lagi dia lalu melarikan diri!
Sawung Jenar yang telah menderita luka
cuma memandang kepergian Auwyang Nan Ie
dengan senyum ejekan. Dia puas. Walau dirinya
terluka, tapi 'Ular Pemakan Jantung'-nya telah
berhasil masuk ke tubuh Auwyang Nan Ie. Nyawa
jago silat Cina itu akan segera melayang ke alam baka! "Uh...!"
Sawung Jenar jatuh terduduk disertai ke-
luhan pendek dari mulutnya. Luka di bahu ki-
rinya masih mengucurkan darah. Demikian pula
luka di paha kanannya.
Sawung Jenar segera memeriksa kedua lu-
kanya itu, Dia mengambil napas lega setelah tahu luka-lukanya tidak mengandung
racun. Dia lalu
merangkak bangkit untuk beranjak pergi. Namun
tiba-tiba, tiga sosok bayangan berkelebat, meng-
hadang langkahnya! Tiga sosok bayangan itu ter-
nyata Ingkanputri, Gisa Mintarsa, dan Kwe Kok
Jiang. "Kau terluka, Jenar...?" desis Ingkanputri atau Dewi Baju Merah.
Sawung Jenar menatap sekilas wajah gadis
berpakaian serba merah itu.
"Siapa yang melukaimu?" tanya Ingkanputri.
"Orang dari seberang," jawab Sawung Jenar, pendek.
"Dia bersenjata pedang bengkok yang pe-
nuh ukiran?" buru Kwe Kok Jiang.
'"Ya."
"Dia pasti Auwyang Nan Ie. Ada urusan apa
lelaki itu melukai pemuda ini?" tanya Kwe Kok Jiang kepada diri sendiri.
Lelaki berkuncir bergelar Pendekar Sesat
itu melonjak kaget ketika melihat mayat Tan Peng Sin tergeletak di tepi sungai!
*** 3 Dengan setengah menarik tangan Suropati,
Kwe Sin Mei berlari menyusuri sebuah sungai ke-
cil berair jernih. Hingga, sampailah mereka di suatu tempat yang dipenuhi
tumbuhan liar. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, Kwe Sin Mei te-
rus berlari menembus hutan itu. Ketika sampai di sebuah padang rumput yang
berupa bukit-bukit
kecil, Suropati menarik tangannya, hingga terle-
pas dari cekalan Kwe Sin Mei.
"Kau akan membawaku ke mana?" tanya
Pengemis Binal, sedikit jengkel.
Kwe Sin Mei menatap heran. "Bukankah ki-
ta hendak menangkap Hantu Merah" Aku tidak
mau penyelidikanku sia-sia hanya karena terlam-
bat datang."
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Dia bisa mengerti jalan pikiran Kwe Sin
Mei. Bila. Hantu Merah keburu pergi dari tempat
persembunyiannya, Kwe Sin Mei akan mendapat
kesulitan menangkap pelarian itu. Dia harus
mengawali lagi penyelidikannya.
"Ya, sudah. Aku turut apa maumu, tapi
jangan kau seret-seret aku seperti anak kecil,"
ujar Pengemis Binal.
Bibir Kwe Sin Mei menyungging senyum
manis. "Maafkan aku, Kak Suro. Aku merasa di-buru waktu, hingga tak sadar aku
telah memaksa Kak Suro berlari cepat."
Pengemis Binal tak seberapa mempeduli-
kan ucapan Kwe Sin Mei. Otaknya linglung men-
dadak saat melihat senyum manis di bibir putri
Kwe Kok Jiang itu. Ingin rasanya dia memeluk
erat seraya menjatuhkan ciuman mesra. Tapi,
keinginan itu cepat dihalaunya. Pengemis Binal
sadar bila tidak setiap gadis suka mendapat per-
lakuannya yang seperti itu. Apalagi, dia harus
menjaga nama baiknya sendiri sebagai seorang
pendekar. "Hei! Kenapa Kak Suro malah melamun"!"
tegur Kwe Sin Mei melihat Pengemis Binal cuma
berdiri terlongong bengong.
Tanpa sadar Suropati garuk-garuk kepala
lagi. Sambil nyengir kuda, dia berkata, "Tidak!
Aku tidak melamun. Aku hanya membayangkan
kecantikan seorang bidadari! Apakah bidadari itu secantik kau, Sin Mei?"
Kedua alis Kwe Sin Mei bertaut mendengar
kata-kata Pengemis Binal. "Kau jangan ngelantur, Kak Suro. Ayolah, segera ikuti
aku..." Di ujung kalimatnya, Kwe Sin Mei menjejak
tanah, lalu berlari cepat dengan mengandalkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Seperti
orang kehilangan ingatan, Suropati mengangguk-
anggukkan kepalanya. Setelah menepuk dahinya
beberapa kali, bergegas dia mengikuti kelebatan
tubuh Kwe Sin Mei.
Tanpa terasa waktu berlalu amat cepat.
Sang Candra dalam bulatan penuh berada di ten-
gah-tengah cakrawala. Cahaya kuning-
keemasannya membuka jalan Kwe Sin Mei dan
Suropati untuk terus berlari ke barat.
Sesampai di lereng bukit kecil yang diham-
pari rumput tebal, Kwe Sin Mei menghentikan ke-
lebatan tubuhnya. Cepat dia menoleh ke belakang
sambil menegakkan jari telunjuk di depan bibir-
nya. Suropati tahu bila gadis itu memberi isya-
rat agar dia tak mengeluarkan suara. Maka, dia
ikuti saja Kwe Sin Mei yang kini berjalan mengendap-endap, tanpa bertanya apa-
apa. Mata Pengemis Binal yang jeli mengamati
bukit-bukit di sekitarnya. Di punggung salah satu bukit terdapat tiga tumpukan
barang setinggi
manusia dewasa yang disusun membentuk keru-
cut. Pengemis Binal tidak tahu barang apa itu ka-
rena rembulan hanya memberikan cahaya tema-
ram. Suropati hendak menerapkan ilmu 'Mata
Awas'-nya untuk melihat tumpukan barang yang
menarik perhatiannya itu, tapi Kwe Sin Mei kebu-
ru melambaikan tangannya.
"Kau perhatikan tumpukan barang itu Kak
Suro...," ujar Kwe Sin Mei, setengah berbisik.
"Ya. Barang apa itu?" sahut Pengemis Binal dengan suara lirih pula. "Kita dekati
saja." Kwe Sin Mei menutup kalimatnya dengan
satu jejakan ringan di tanah. Tubuh gadis itu
langsung melayang. Dan dalam beberapa tarikan
napas saja, dia telah berada di dekat salah satu tumpukan barang setinggi
manusia dewasa. Suropati yang mengikuti di belakang kontan terkejut setelah
mengetahui, tumpukan barang itu ternyata tempurung kepala manusia!
"Apakah ini perbuatan Hantu Merah?"
tanya Pengemis Binal.
Kwe Sin Mei mengangguk "Ya. Tempurung-
kepala ini milik orang-orang yang dijadikan tum-
bal Hantu Merah,"
Gadis berkulit putih itu lalu mengambil sa-
tu tempurung kepala dengan hati-hati sekali, agar tumpukannya tak rusak atau
runtuh. Tempurung
kepala itu lalu disodorkannya kepada Pengemis
Binal. "Lihatlah..."
Setelah Suropati memeriksa, keningnya
berkerut rapat. Dalam hatinya timbul rasa ngeri bercampur kaget dan heran. Di
tempurung kepala
itu terdapat lima lubang, Lubang-lubang itu terletak di bagian telinga, mata,
dan hidung sebelah
kiri. Lubang yang di dekat hidung lebih besar dari empat lubang lainnya,
Suropati yang sudah cukup matang pengalaman segera bisa memastikan
bila kelima lubang itu adalah bekas tusukan jari tangan, bukan bekas tusukan
pedang atau senjata lainnya.
Untuk lebih memastikan, Pengemis Binal
memasukkan jari-jari tangan kanannya ke lima
lubang di tempurung kepala yang dibawanya,
Ternyata pas walau sedikit kelonggaran
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu segera memeriksa tiga tempurung kepala lainnya. Dan ternyata,
ketiganya sama seperti
tempurung kepala yang pertama. Semuanya ter-
dapat lima lubang yang pas bila dimasuki jari
tangan. Pengemis Binal segera teringat kepada
Prajna Singh, seorang tokoh tua dari India, yang memiliki ilmu 'Lima Jari
Pencabut Jiwa'. Di Kedai Melati, di kota Kadipaten Tanah Loh, dengan ma-ta
kepala sendiri Pengemis Binal melihat Prajna
Singh, mencengkeram batok kepala seorang pe-


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layan. Dengan jari tangan kanan tetap menceng-
keram batok kepala, Prajna Singh membalik tu-
buh si pelayan, hingga kakinya berada di atas.
Satu kejap mata kemudian, tubuh pelayan naas
itu terkulai layu menjadi selembar kulit tanpa
daging dan tulang. (Baca serial Pengemis Binal
dalam episode : "Asmara Putri Racun").
"Hmm.... Apakah orang yang berjuluk Han-
tu Merah itu juga mempunyai ilmu 'Lima Jari
Pencabut Jiwa'" Ah, tidak! Orang yang terkena
kedahsyatan ilmu sesat itu tak akan meninggal-
kan sedikit pun tulang. Karena di sini banyak terdapat tempurung kepala, berarti
Hantu Merah ti-
dak sedang mempelajari ilmu itu. Tapi, bagaima-
na kalau dia memang belum menguasainya seca-
ra sempurna?" kata Pengemis Binal dalam hati.
"Sekarang kau periksa tiga tumpukan lain-
nya, Kak Suro...."
Walau pelan tapi ucapan Kwe Sin Mei
membuat Pengemis Binal terkejut. Remaja tam-
pan, itu memang sedang melamun.
"Ya. Ya," sahutnya, tergagap.
"Kau periksa apakah jumlah dan susunan-
nya sama dengan yang ini" lanjut Kwe Sin Mei Suropati segera menuruti permintaan
gadis itu. "Benar. Susunannya sama membentuk segi tiga, jumlahnya pun sama," beri tahu
Pengemis Binal kemudian.
"Susunannya terbagi dalam enam tingkat.
Masing-masing berjumlah sepuluh, enam, tiga, ti-
ga, dan satu?" tegas Kwe Sin Mei tanpa memeriksa.
"Eh, Sin Mei, bagaimana kau dapat menge-
tahuinya dengan tepat?" Suropati memandang heran. Kwe Sin Mei tak menghiraukan
pertanyaan Suropati. Wajahnya tiba-tiba berubah cemas, se-
perti ada sesuatu yang dikhawatirkannya.
"Kau kenapa. Sin Mei?" tanya Suropati, le-
bih heran. Tetap tak ada jawaban dari mulut Kwe Sin
Mei. Mendadak, dia mendengus gusar. Dan den-
gan gerakan secepat kilat, tangannya berkelebat
menghunus salah satu pedang yang terselip di
punggungnya. Lalu....
Sing...! Ujung pedang Kwe Sin Mei melesat cepat,
menusuk batang tenggorokan Pengemis Binal!
Tak dapat digambarkan lagi betapa terke-
jutnya Suropati. Sungguh tak pernah dia sangka
bila Kwe Sin Mei hendak mencelakainya. Menyes-
al dia telah menaruh kepercayaan pada Kwe Sin
Mei yang memang berwajah cantik dan bertubuh
sintal-menarik.
Belum sempat Suropati berpikir bagaimana
cara berkelit dan dengan tipu apa dia barus me-
nyelamatkan diri, ujung pedang Kwe Sin Mei telah berada di bawah dagunya. Itu
berarti ajalnya
akan segera tiba.
Namun untung bagi Pengemis Binal, di
saat jiwanya hampir lepas dari raganya, gerak
bawah sadarnya bekerja karena dia mempunyai
ilmu 'Arhat Tidur' yang telah dikuasainya dengan sempurna. Ilmu hasil ajaran
Periang Bertangan
Lembut itu dapat menggerakkan anggota-anggota
tubuh Pengemis Binal tanpa disadari sendiri oleh Pengemis Binal.
Tap...! Luar biasa cepatnya kedua telapak tangan
Suropati merangkap di depan dada, dan berhasil
menjepit bilah pedang Kwe Sin Mei. Saking kesal
dan gemasnya, Suropati mengeluarkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Hingga....
Kresh...! "Aih...!"
Kwe Sin Mei menjerit keras. Sekujur tu-
buhnya terasa bergeletar, lalu terpental ke belakang sejauh enam tombak! Bilah
pedangnya men- cair dan gagangnya hancur menjadi serbuk halus!
"Kuntilanak! Kalau tahu akan begini, tak
mau aku mengikutimu!" bentak Pengemis Binal seraya membalikkan badan untuk
meninggalkan Kwe Sin Mei yang masih mengaduh kesakitan.
Namun sejauh remaja tampan itu melang-
kah jauh, terdengar suara tawa Kwe Sin Mei sam-
bil memanggil-manggil namanya. Kontan Suropati
jadi sangsi akan kewarasan otak gadis berkulit
putih itu. "Kakak! Kakak!" panggil Kwe Sin Mei seraya menghadang langkah Pengemis Binal.
"Kak Suro jangan pergi dulu. Iblis itu akan segera datang. Kak Suro pasti dapat
membantuku untuk
menangkap pembunuh yang sangat tak berperi-
kemanusiaan itu!"
Suropati mendengus gusar. Matanya me-
nangkap jari-jari tangan kanan Kwe Sin Mei yang
menghitam, yang tentunya terasa amat panas.
Namun tampaknya, Kwe Sin Mei tak mempeduli-
kan luka di tangannya itu. Malah, dia melan-
jutkan tawanya seraya mengerling penuh arti.
"Mau apa kau"!" bentak Pengemis Binal
yang menjadi muak dan sebal melihat Kwe Sin
Mei. Tanpa menunggu jawaban lagi, remaja
tampan itu mengibaskan telapak tangan kanan-
nya. Timbul tiupan angin keras yang memperden-
garkan suara bergemuruh. Tanpa ampun, tubuh
Kwe Sin Mei jatuh bergulingan. Masih mujur ba-
ginya karena Pengemis Binal hanya mengerahkan
sebagian kecil tenaga dalamnya.
Begitu gulingan tubuhnya terhenti, Kwe
Sin Mei segera bangkit. Matanya menatap tempat
kosong dengan leher ditegakkan. Agaknya, dia
tengah menajamkan pendengaran.
"Dia datang! Mari kita sembunyi!" seru gadis berkulit putih itu, sungguh-
sungguh. Wajah-
nya berubah tegang. Lalu, dia menyelinap di balik semak-semak.
Sebenarnya Suropati tak hendak meladeni
perbuatan Kwe Sin Mei. Tapi setelah dia mena-
jamkan pendengaran juga, telinganya menangkap
suara-suara aneh dari bawah bukit. Cepat dia ke-
luarkan ilmu 'Mata Awas'-nya. Maka saat itu juga, dia melihat dua sosok bayangan
berkelebat saling berdempetan, menuju ke arahnya.
Bergegas Suropati menyelinap ke semak-
semak tak jauh dari tempat Kwe Sin Mei bersem-
bunyi. Dari tempat itu Suropati cukup leluasa untuk mengedarkan pandangan.
Tiba-tiba, terdengar suara orang menjerit
panjang seperti lolongan serigala. Sekejap mata
kemudian, tampak dua bayangan melayang dan
mendarat di dekat tiga tumpukan tempurung ke-
pala. Tanpa menggunakan ilmu 'Mata Awas'-nya,
Suropati dapat melihat cukup jelas sosok dua
orang yang baru datang itu. Cahaya rembulan
memang banyak membantu.
Dua orang yang baru datang itu sama-
sama lelaki. Yang satu mengenakan topi kulit,
bertubuh sedang, dan mengenakan pakaian se-
derhana seperti seorang petani. Sedang yang sa-
tunya berambut awut-awutan, tubuhnya lebih
tinggi satu jengkal dari lelaki yang bertopi kulit.
Pakaiannya sudah tak karuan lagi wujudnya.
Hanya berupa selampir-selampir kain yang ditali-
kan jadi satu. Karena dia berdiri menghadap Pen-
gemis Binal, remaja tampan itu bisa melihat raut wajahnya yang bengis. Kulit
wajahnya merah-matang. Bola matanya juga berwarna merah.
"Itukah yang berjuluk Hantu Merah?"
tanya Suropati, masih menyimpan rasa kesal.
"Ya. Yang berpakaian compang-camping,"
Jawab Kwe Sin Mei, pelan sekali.
Sedikit demi sedikit gadis cantik itu me-
rayap mendekati Suropati. Sementara, Suropati
sendiri tak mau melihatnya. Matanya terus men-
gawasi dua lelaki yang berdiri di dekat tumpukan tempurung kepala.
"Kak Suro...," bisik Kwe Sin Mei. "Maafkan atas kelancanganku tadi yang telah
berani mencoba kepandaian Kak Suro. Sungguh Kak Suro
mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali.
Bertambah yakin aku sekarang bila Kak Suro
pasti mampu membantuku untuk menangkap
Hantu Merah."
Dengan ekor matanya Suropati melihat wa-
jah Kwe Sin Mei. Bibir gadis itu meringis kesakitan. Luka di jari-jari tangan
kanannya mulai tera-sa menyiksa. Timbul penyesalan dalam diri Suro-
pati karena telah kelepasan turun tangan.
"Yang berdiri di hadapan Hantu Merah itu
siapa?" tanya Pengemis Binal, lembut.
"Aku tak tahu. Namun aku dapat mendu-
ga, dia pasti orang yang akan dijadikan percobaan ilmu Hantu Merah," jawab Kwe
Sin Mei. "Baiknya kita tangkap dia sekarang. Sin
Mei," cetus Pengemis Binal.
"Kita tunggu saja. Siapa tahu orang bertopi kulit itu berilmu tinggi, sehingga
kita tidak perlu mengeluarkan tenaga terlalu banyak."
Pengemis Binal tak menyahuti ucapan Kwe
Sin Mei. Agaknya, dia menuruti jalan pikiran ga-
dis cantik itu.
"Orang-orang gagah dari selatan dan utara
Sungai Huangho pernah mengadakan perseku-
tuan besar di Gunung Hoa-san. Selama lima ta-
hun mereka mencoba menghentikan kekejaman
Hantu Merah, namun ilmu kepandaian iblis itu
terlalu sulit untuk dapat dikalahkan," tutur Kwe Sin Mei tanpa diminta. "Mungkin
karena menemui hari sialnya, dia dapat ditangkap oleh pesilat istana, yang
kemudian menjebloskannya kepenja-ra bawah tanah. Sayang, dia dapat meloloskan
di- ri, sampai mengasingkan diri di tempat ini."
Kwe Sin Mei lalu menceritakan beberapa
kejahatan yang pernah diperbuat oleh Hantu Me-
rah. Selain membunuh tokoh-tokoh rimba persila-
tan yang tak berdosa kepadanya, Hantu Merah
juga pernah mengacau Istana Kerajaan Tong,
hingga dua orang dayang dayang Kaisar Hian
Tjong terbunuh.
Mendengar cerita Kwe Sin Mei, semakin
menyesallah Suropati karena telah membuat tan-
gan putri Kwe Sin Mei itu terluka. Juga, semakin bulat hatinya untuk segera
membantu Kwe Sin
Mei menangkap Hantu Merah.
Sementara itu, lelaki bertopi kulit tampak
mengitari tubuh Hantu Merah. Semakin lama se-
makin cepat terdengar suara buku-buku tulang
berkeretakan. Semakin lama semakin keras,
mengikuti kecepatan gerak putaran tubuh lelaki
bertopi kulit. Walau Suropati sudah cukup matang pen-
galaman tapi dia heran melihat perbuatan lelaki
bertopi kulit. Orang itu sedang latihan atau tengah mengambil kesempatan untuk
menyerang"
Ketika Suropati hendak menanyakan hal
itu kepada Kwe Sin Mei, mendadak terdengar su-
ara menggembor keras. Niatan Suropati pun
urung. Putaran tubuh lelaki bertopi berhenti mendadak. Dia kembali berdiri
berhadapan dengan
Hantu Merah. Tanpa berkata apa-apa, orang itu
lalu mengangkat kedua tangannya ke depan.
Aneh! Kedua tangannya dapat mulur, hingga me-
lebihi dua kali ukuran normal. Yang kanan hen-
dak menggetok kepala Hantu Merah, sedang yang
kiri hendak menghantam dada!
Thokkk...! Dhesss....! Suropati tercengang. Sekitar sepuluh tom-
bak dari tempatnya bersembunyi, dia melihat tu-
buh Hantu Merah sama sekali tak bergerak.
Hingga, dua serangan lelaki bertopi kulit tepat
mengenai sasaran. Dua serangan itu jelas disertai aliran tenaga dalam tingkat
tinggi karena samba-rannya menimbulkan suara bersiut keras, yang
menyebabkan rumput-rumput kering beterban-
gan. Tapi, tubuh Hantu Merah tetap tak bergem-
ing menerima dua serangan itu.
Sesaat kemudian, lelaki bertopi kulit
menggembor keras. Kedua kakinya ikut mulur.
Lalu, dia menghajar tubuh Hantu Merah dengan
pukulan dan tendangan membabi-buta. Hingga,
suara hiruk-pikuk yang amat gaduh membahana
di angkasa. Tapi, tubuh Hantu Merah tetap tak
bergeming sedikit pun. Dia bagai batu karang ko-
koh-kuat yang tak mempan dihajar ombak ganas!
Karena kelelahan, lelaki bertopi kulit
menghentikan hajarannya. Dengan badan ter-
bungkuk dia berdiri di hadapan Hantu Merah,
yang kemudian tertawa bergelak-gelak.
Mendadak, Hantu Merah menjerit panjang.
Suaranya mirip lolongan serigala. Secepat kilat
tubuh tokoh tua itu melayang. Setelah berjumpa-
litan di udara, tangan kanannya terjulur. Kelima jarinya menancap di kepala
lelaki bertopi kulit! Di lain kejap, kepala lelaki naas itu copot! Tubuhnya
jatuh terkulai ke tanah. Berubah menjadi cairan
kental kemerahan!
Kalau saja Pengemis Binal belum pernah
melihat kedahsyatan ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa' milik Prajna Singh, remaja tampan itu pasti menjerit ngeri melihat
kekejaman Hantu Merah.
Sementara, Kwe Sin Mei tampak tenang-tenang
saja. Agaknya, gadis cantik itu telah cukup sering mengintai Hantu Merah melatih
ilmunya.

Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlihat kemudian, Hantu Merah men-
gangkat tangan kanannya yang masih menceng-
keram batok kepala tanpa badan. Dia lalu memo-
nyongkan bibirnya seraya meniup
Wust....! Luar biasa! Rambut berikut kulit dan dag-
ing di kepala tanpa badan yang dicengkeram Han-
tu Merah tiba-tiba lenyap. Hingga, batok kepala
itu menjadi putih bersih tanpa noda sedikit pun.
Bahkan, darah dan otak yang berada di dalamnya
pun telah kering!
Hantu Merah lalu menjatuhkan tempurung
kepala itu begitu saja di tanah. Kemudian dia
berkelebat lenyap.
"Dia pergi! Kita kejar!" seru Pengemis Binal
"Tenanglah!" cegah Kwe Sin Mei seraya
mencekal lengan remaja tampan itu. "Dia akan segera kembali."
"Untuk apa?" tanya Suropati, tak mengerti
"Melanjutkan latihannya," jawab Kwe Sin Mei dengan suara datar,
"Dengan membawa seorang korban lagi?"
"Tidak. Kak Suro akan tahu sendiri nanti."
Usai berkata, Kwe Sin Mei bangkit berdiri.
Suropati mengikuti sambil menggaruk-garuk ke-
palanya yang tak gatal.
"Kini Kak Suro sudah tahu sendiri kekeja-
man berikut kedahsyatan ilmu Hantu Merah. Wa-
lau Kak Suro berilmu tinggi juga, harap berhati-
hati. Jangan pandang ringan kepadanya. Selain
kejam, Hantu Merah terkenal licik dan culas.
Akalnya banyak. Jangan sampai Kak Suro kena
dikelabuinya," ujar Kwe Sin Mei penuh kesungguhan.
"Ya. Ya, akan kuingat kata-katamu itu. Sin
Mei," sambut Pengemis Binal, tangan kanannya masih tetap menggaruk kepala.
"Sekarang cobalah Kak Suro melangkah
dua puluh tindak ke utara. Periksalah, adakah di sana sebuah peti mati?" pinta
Kwe Sin Mei tanpa memperhatikan kebiasaan buruk Pengemis Binal.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Suropa-
ti menuruti permintaan Kwe Sin Mei. Setelah ber-
jalan lima puluh tindak ke utara, remaja tampan
itu segera memeriksa. Tak lama dia mendapatkan
peti mati batu yang tertanam dalam tanah. Maka,
timbullah kekaguman Suropati akan kejelian Kwe
Sin Mei yang tentunya telah cukup lama menyeli-
diki Hantu Merah.
"Bukalah tutup peti itu, Kak Suro!" ujar Kwe Sin Mei yang telah berdiri di dekat
Suropati. Seperti orang linglung. Pengemis Binal me-
natap wajah gadis cantik itu. "Dibuka" Untuk apa?" tanyanya.
"Sudahlah. Buka saja...," desak Kwe Sin Mei. Pengemis Binal menatap nanar peti
batu di hadapannya. Haruskah dia turuti permintaan
Kwe Sin Mei" Apakah peti itu tidak berisi mayat
manusia" Atau, mungkin malah senjata rahasia"!
*** 4 "Kau memikirkan apa lagi, Kak Suro"!" se-ru Kwe Sin Mei. "Kita tidak punya waktu
banyak." Mendengar peringatan gadis eantik itu,
Pengemis Binal garuk-garuk kepala sebentar, lalu mulutnya mendesis, "Ya...
ya...." Setelah menarik napas panjang, Pengemis
Binal mencengkeram pinggiran tutup peti batu.
Namun hingga dia berkerengkengan, tutup peti
itu tak bisa dibuka, bahkan bergeming pun tidak.
"Gunakan tenaga dalam, Kak Suro, "ujar Kwe Sin Mei, mengingatkan.
"Oh ya... ya! Kenapa aku begini bodoh"!"
Sambil berkata Suropati menggaplok kepa-
lanya dua kali. Melihat usul konyol remaja tam-
pan itu, Kwe Sin Mei cuma diam. Raut wajahnya
malah semakin menegang karena khawatir Hantu
Merah keburu datang.
"Cepatlah, Kak Suro!" seru gadis cantik itu, mendesak.
Bergegas Suropati memutar-mutar kedua
telapak tangannya di atas peti batu seraya men-
galirkan tenaga dalam. Lalu, kedua telapak tan-
gannya ditempelkan ke tutup peti batu.
Tap...! Mata Kwe Sin Mei bersinar melihat tutup
peti batu melekat di kedua telapak tangan Pen-
gemis Binal, dan perlahan-lahan terangkat.
Pengemis Binal berseru kaget setelah tahu
di dalam peti batu tergolek mayat seorang pemu-
da dua puluh tahunan. Mayat itu tidak menebar-
kan bau busuk karena masih baru. Belum sampai
setengah hari nyawanya lepas dari raga.
Sambil mengerutkan kening Pengemis Bi-
nal berusaha mengenali mayat pemuda di dalam
peti batu, namun tak dapat. Pemuda yang telah
menjadi mayat itu hanyalah seorang pesilat biasa yang belum punya nama di rimba
persilatan. "Hantu Merah akan segera balik ke sini.
Sebagai alat latihannya adalah mayat ini," beri tahu Kwe Sin Mei. "Sebagai
umpan, aku akan
menggantikannya agar lebih mudah bagiku untuk
melumpuhkan iblis itu. Kak Suro kembalilah ke
semak-semak tadi. Tapi ingat, Kak Suro harus
cepat membantu begitu melihat aku menggebrak
Hantu Merah. Kak Suro tak perlu sungkan-
sungkan. Kekejaman Hantu Merah sudah saatnya
dihentikan,"
"Apakah tidak lebih baik kita menggempur
iblis itu secara langsung saja?" cetus Suropati
"Dengan cara yang kau katakan tadi, aku
khawatir akan terjadi apa-apa denganmu. Bu-
kankah telah kau katakan bahwa Hantu Merah
cerdik dan licik?"
"Aku sudah memikirkannya matang-
matang. Tak perlu Kak Suro menyangsikan."
Usai berkata, Kwe Sin Mei menyingkirkan
mayat pemuda yang tergeletak di dalam peti batu,
Lalu, dia masuk untuk menggantikannya.
"Tutup lagi peti ini, Kak Suro. Tinggalkan
sedikit lubang agar aku bisa bernapas," pinta Kwe Sin Mei kemudian.
Suropati masih tampak ragu-ragu. "Apakah
telapak tangan kananmu sudah tak terasa sakit
lagi?" tanyanya.
"Tak apa-apa. Hanya terasa panas sedikit,"
beri tahu Kwe Sin Mei.
"Aku bisa membantumu melenyapkan rasa
panas itu."
"Benarkah itu?"
Tanpa berkata-kata lagi Suropati meng-
genggam telapak tangan kanan Kwe Sin Mei se-
raya mengeluarkan ilmu 'Pukulan Salju Merah'.
Remaja tampan itu hanya mengerahkan seperde-
lapan tenaga dalamnya. Namun Kwe Sin Mei tam-
pak menggigil kedinginan. Rasa panas di telapak
tangan kanannya pun kontan lenyap.
"Terima Kasih, Kak Suro," ujar Kwe Sin Mei setelah Suropati melepas
genggamannya. "Sekarang, tutuplah peti ini cepat."
Melihat Kwe Sin Mei telah rebah di dalam
peti batu dengan pedang terhunus, Suropati ga-
ruk-garuk kepala. Walau Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu masih mengkhawatir-
kan keselamatan Kwe Sin Mei, akhirnya dia me-
nuruti permintaannya. Dengan hati berdebar-
debar, Suropati meletakkan tutup peti batu ke
tempatnya semula. Tak lupa dia sisakan lubang
sedikit untuk jalan napas Kwe Sin Mei. Sesudah
itu, dia kembali ke semak-semak guna bersem-
bunyi sekaligus mengintai.
Tak lama kemudian, dari kaki bukit ter-
dengar jeritan panjang mirip lolongan serigala.
Suropati dapat memastikan bila jeritan itu keluar dari mulut Hantu Merah yang
akan segera datang. Remaja tampan itu semakin tegang.
Mata Suropati yang jeli dapat melihat kele-
batan tubuh Hantu Merah yang tengah menggen-
dong batu sebesar kerbau! Timbul rasa kagum
dalam diri Suropati melihat kekuatan Hantu Me-
rah. Menggendong batu sebesar kerbau tentu
amat berat, namun Hantu Merah dapat melaku-
kannya dengan mudah. Bahkan dia mampu
membawanya baik ke puncak bukit sambil berlari
amat cepat. Sulit diukur kekuatan tenaga dalam
dan ilmu meringankan tubuh pelarian dari dara-
tan Tionggoan itu.
Tanpa mengeluarkan suara berisik sedikit
pun, Hantu Merah meletakkan batu yang diba-
wanya di depan tiga tumpukan tempurung kepa-
la. Dia lalu melangkah empat tindak ke belakang
seraya menghirup udara sebanyak mungkin. Dan,
udara yang telah memenuhi paru-parunya dia
hembuskan kuat-kuat!
Wusss...! Mata Pengemis Binal terbelalak lebar. Mu-
lutnya pun ternganga melihat tiga tumpukan
tempurung kepala tiba-tiba hancur-luluh menjadi
serbuk halus berwarna putih yang segera diter-
bangkan angin malam. Bagaimana mungkin hal
itu terjadi" Padahal, tiupan Hantu Merah terha-
lang batu sebesar kerbau yang tetap utuh tak ku-
rang suatu apa!
Tampak kemudian Hantu Merah tertawa
bergelak-gelak. Perlahan-lahan kakinya melang-
kah menghampiri peti batu tempat Kwe Sin Mei
terbaring di dalamnya!
Dengan hati berdebar kencang Suropati tak
melepas sedikit pun perhatiannya pada Hantu
Merah. Namun baur sepuluh tindak Hantu Merah
melangkah, telinga Suropati menangkap suara
berderak. Tanpa sadar remaja tampan itu menga-
lihkan pandangan ke asal suara. Dan, terkejutlah dia. Batu sebesar kerbau yang
semula masih utuh tiba-tiba telah runtuh. Menjadi serbuk halus yang kemudian diterbangkan
angin malam juga!
Bertambah keyakinan Suropati bila Hantu
Merah memang bukan orang sembarangan. Meli-
hat kehebatan lelaki tua berwajah merah-matang
itu, mau tak mau Suropati semakin mengkhawa-
tirkan keselamatan Kwe Sin Mei.
Mendadak Hantu Merah menjerit panjang
seraya menjejak tanah. Dan, tubuh lelaki berwa-
jah merah-matang itu melesat tinggi, kemudian
menukik dengan jari-jari tangan, membentuk ca-
kar harimau. Menghujam deras ke arah peti batu!
Walau Suropati telah menguatkan hatinya,
tapi dia memekik kecil melihat perbuatan Hantu
Merah. Sementara, Hantu Merah sendiri terkesiap
mendengar pekikan Suropati. Hantu Merah sadar
bila di sekitar tempatnya berlatih ada orang yang sedang mengintai.
Dalam keadaan tubuh masih mengambang
di udara, Hantu Merah memalingkan kepala.
Hingga, perhatiannya jadi terbagi.
"Heh"!"
Hantu Merah mendengus gusar melihat
seorang remaja tampan muncul dari balik semak-
semak. Dia hendak mengeluarkan kata umpatan,
tapi.... Blak! Tutup peti batu terpental keras. Bersa-
maan dengan itu, sebuah sinar putih menyilau-
kan berkelebat, hendak menebas leher Hantu Me-
rah! Namun, Hantu Merah adalah tokoh tua
yang sudah kenyang makan asam-garam rimba
persilatan. Mendapat serangan gelap adalah hal
yang biasa baginya. Dengan cepat Hantu Merah
dapat menguasai keterkejutannya.
Ketika sinar putih menyilaukan yang tak
lain dari babatan pedang Kwe Sin Mei hampir
mengenai sasaran, Hantu Merah memalingkan
mukanya ke kanan.
Wuttt...! Babatan pedang Kwe Sin Mei hanya men-
genai tempat kosong Dengan kecepatan yang tak
dapat diikuti pandangan mata, Hantu Merah
mencengkeram pedang Kwe Sin Mei!
Bletakkk...! "Aih...!"
Pedang Kwe Sin Mei patah menjadi tiga ba-
gian. Sementara, Kwe Sin Mei sendiri terpelanting ke kiri. Tubuh gadis berkulit
putih itu lalu bergulingan sejauh tiga tombak. Tangan kanannya te-
rasa nyeri luar biasa. Bahkan, otaknya ikut berge-
tar, hingga dia jadi linglung dan tak mampu men-
gendalikan gerak tubuhnya.
Hantu Merah yang merasa gusar dan pa-
nas hatinya karena dibokong mengeluarkan jeri-
tan panjang mirip lolongan serigala. Lalu, tubuhnya melesat mengejar tubuh Kwe
Sin Mei yang masih bergulingan di tanah. Jari-jari tangan ka-
nan Hantu Merah siap mencengkeram kepala pu-
tri Kwe Kok Jiang itu!
Namun sebelum maksud niatnya kesam-
paian, Hantu Merah merasakan hembusan angin
dingin bersiut, menyambar punggungnya. Hantu
Merah segera tahu bila ada orang yang menye-
rangnya dari belakang. Dia tidak terkejut ataupun menjadi gugup.
Secepat kilat, tangan kanannya yang sudah
terjulur ke depan dia tarik kembali. Sambil ber-
jungkir balik tangan kanannya menyambar!
Kresh...! Suropati yang bermaksud menggebuk


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggung Hantu Merah terperangah. Tongkat bu-
tut di tangannya kena cengkeram Hantu Merah.
Namun sebelum Hantu Merah meremas hancur,
cepat Suropati menarik batang tongkatnya.
Ketika Suropati mendarat di tanah, batang
tongkatnya tinggal dua pertiga bagian. Yang se-
pertiga bagian telah hancur menjadi serbuk ha-
lus. Kwe Sin Mei yang sudah bisa menguasai
gerak tubuhnya segera melompat ke sisi kanan
Pengemis Binal. Wajahnya tampak pucat. Dia
menahan rasa nyeri di tangan kanannya dengan
menggigit bibir.
"Kau tak apa-apa, Sin Mei?" tanya Pengemis Binal, khawatir.
"Rupanya, aku salah perhitungan, Kak Su-
ro. Hantu Merah lebih pandai dari yang kukira,"
ujar Kwe Sin Mei, tak menjawab pertanyaan Pen-
gemis Binal. Kwe Sin Mei menyesal karena siasat-
nya telah gagal.
Mendadak, Hantu Merah tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Sungguh beruntung aku.
Mendapatkan dua kelinci yang akan segera men-
jadi korban kesaktianku! Ha ha ha...!"
"Apa yang dia katakan, Sin Mei?" tanya Pengemis Binal, tak tahu maksud ucapan
Hantu Merah karena lelaki berpakaian tak karuan itu
berkata dengan bahasa negerinya.
Kwe Sin Mei tak menjawab pertanyaan Su-
ropati. Hatinya berdebar keras melihat Hantu Me-
rah meloloskan sebatang tongkat dari batu kuma-
la hitam yang terselip di ikat pinggangnya. Kwe
Sin Mei tahu benar akan kehebatan tongkat yang
disebut Tongkat Kumala Batu Hitam itu.
"Hati-hatilah, Kak Suro. Tongkat Hantu
Merah itu adalah senjata mustika yang dahsyat
luar biasa," Kwe Sin Mei mengingatkan
"Aku tahu. Menyingkirlah, Sin Mei," sahut Pengemis Binal.
Usai berkata, remaja tampan itu memasang
kuda-kuda seraya mengalirkan tenaga dalam ke
tongkat bututnya yang tinggal dua pertiga bagian.
Melihat Hantu Merah telah siap sedia untuk men-
gawali serangan pula, Kwe Sin Mei segera me-
nyingkir ke tempat yang aman.
"Ciattt...!"
"Heaaa...!"
Dalam waktu yang hampir bersamaan,
Hantu Merah dan Pengemis Binal mengempos tu-
buh. Ujung tongkat Hantu Merah hendak menu-
suk ulu hati. Sementara, tongkat Pengemis Binal
hendak mengemplang kepala Hantu Merah!
Namun karena tongkat Pengemis Binal le-
bih pendek, keadaan remaja tampan itu sangat
tidak menguntungkan. Maka sebelum ujung
tongkat Hantu Merah berhasil menusuk ulu ha-
tinya, cepat dia sabetkan tongkat bututnya untuk menangkis!
Tak...! Hantu Merah terperangah melihat tongkat
Pengemis Binal tidak patah saat membentur
tongkat mustikanya. Bahkan, tangannya terasa
kesemutan. Suropati yang sudah tahu bila senjata la-
wan adalah tongkat mustika yang tentunya ter-
buat dari bahan keras yang mempunyai kekuatan
luar biasa, tidak tanggung-tanggung lagi. Dia menyalurkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya ke
batang tongkatnya. Sehingga, tongkat yang ter-
buat dari kayu biasa dan tidak mempunyai keis-
timewaan apa-apa itu tidak patah ketika berben-
turan dengan Tongkat Kumala Batu Hitam di tan-
gan Hantu Merah.
Kwe Sin Mei melihat dengan penuh rasa
khawatir ketika Pengemis Binal dan Hantu Merah
sama-sama tak mau menarik tongkat masing-
masing. Sebaliknya, mereka saling menekan den-
gan kekuatan penuh, sehingga kedua batang
tongkat tampak melekat erat!
Kaki Pengemis Binal dan Hantu Merah sa-
ma-sama mencengkeram tanah dengan kuda-
kuda yang kokoh-kuat. Mereka mengempos se-
mangat untuk mengerahkan tenaga dalam sampai
ke puncak. Telapak kaki Hantu Merah tampak menge-
pulkan asap tipis. Sementara, asap tipis juga
mengepul dari kepala Pengemis Binal.
Kedua tongkat sama sekali tak bergeming,
pertanda tenaga dalam Pengemis Binal dan Hantu
Merah seimbang. Namun setelah sepuluh tarikan
napas, tongkat Pengemis Binal mengeluarkan su-
ara gemeretak hendak patah.
Hantu Merah tidak merasa senang sama
sekali, sebaliknya dia malah mendengus gusar
walau dia lebih unggul karena memegang tongkat
mustika. Agaknya, sebagai tokoh tua Hantu Me-
rah merasa malu harus mengadu kekuatan den-
gan seorang tokoh muda yang umurnya terpaut
jauh darinya. Sementara, ketika mendengar tongkatnya
mengeluarkan suara gemeretak, Suropati mende-
likkan mata. Sebelum tongkatnya benar-benar pa-
tah, cepat dia keluarkan ilmu 'Pukulan Salju Me-
rah' warisan Nyai Catur Asta.
Sekejap mata kemudian, kedua tangan Su-
ropati yang memegang erat batang tongkat tam-
pak mengepulkan asap tipis berwarna merah.
Hantu Merah terkesiap merasakan hawa dingin
menyengat kedua telapak tangannya. Namun, tak
hendak dia lepaskan Tongkat Kumala Batu Hi-
tamnya. Bahkan, dia mencengkeram lebih erat se-
raya mengempos tenaga lebih kuat!
"Argh...!"
Mendadak, Hantu Merah mengeluh pen-
dek. Sekujur tubuhnya tiba-tiba telah terbungkus salju tipis berwarna merah, dan
hawa dingin yang lebih menyengat mengalir terus dari batang tongkat Suropati!
Karena tak kuasa menahan hawa dingin
yang terasa merejam tubuhnya, Hantu Merah
menarik tongkat mustikanya. Namun...
Wutt...! Pletakkk...! "Wadouw...!"
Begitu tongkat Hantu Merah ditarik, tong-
kat Pengemis Binal berkelebat cepat. Mulut Hantu Merah mengeluarkan pekik
kesakitan. Kepalanya
kena kemplang dengan telak!
Kwe Sin Mei yang melihat adegan itu terta-
wa terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Kiranya kau
hanya seekor keledai tua, Hantu Merah! Kebesa-
ran namamu hanya isapan jempol belaka! Ha ha
ha...!" Namun Kwe Sin Mei dan Pengemis Binal
terperangah melihat kepala Hantu Merah tak re-
tak ataupun pecah kena kemplang tongkat yang
dialiri tenaga dalam penuh, Hantu Merah cuma
berdiri terhuyung-huyung lalu menggembor ma-
rah ketika mendengar ejekan Kwe Sin Mei yang
diucapkan dalam bahasa negerinya.
"Bedebah! Bocah tak tahu mampus! Aku
toh belum kalah. Setelah kawanmu ini kube-
reskan, akan segera kupecahkan batok kepala-
mu!" ancam Hantu Merah dalam bahasa yang
sama pula Cepat Suropati berkelit ke kanan ketika ti-
ba-tiba tongkat Hantu Merah membiaskan sinar
hijau, dan berkelebat hendak menggetok jidatnya.
"Uts...!"
Suropati lalu melentingkan tubuhnya se-
raya menyabetkan tongkat untuk menghajar len-
gan Hantu Merah.
Pertempuran sengit pun tak dapat dihinda-
ri lagi. Dengan jurus 'Tongkat Memukul Anjing',
Pengemis Binal berusaha memukul roboh Hantu
Merah. Sementara, Hantu Merah pun memberi-
kan perlawanan tak kalah berbahaya. Setiap
tongkatnya menyambar, seberkas sinar hijau ber-
kelebat dan menimbulkan suara mendengung ke-
ras yang memekakkan gendang telinga.
Suatu ketika, tongkat Hantu Merah berke-
lebat amat cepat hendak mengemplang bahu ka-
nan Pengemis Binal. Namun, Pengemis Binal
mengelak ke samping seraya mengirim serangan
balik. Tubuh remaja tampan itu berkelebat den-
gan tongkat terangkat tinggi lalu menukik turun dengan gerakan 'Tongkat
Menghajar Maling'.
Dan.... Buk...! "Heh"!"
Untuk ke sekian kalinya Pengemis Binal
terkejut. Tongkatnya berhasil menghantam pung-
gung Hantu Merah dengan telak. Tapi, jago silat
tua dari daratan Tionggoan itu tampaknya kebal
terhadap pukulan. Dia hanya terjajar dua langkah ke depan, tapi tak menderita
luka apa-apa. "Mati kau!"'
Sambil berteriak demikian, Hantu Merah
menebas leher Pengemis Binal dengan tongkat
mustikanya. Serangan itu disusul dengan cengke-
raman jari-jari tangan kiri yang berkuku runcing berwarna hitam kelam. Mengarah
Anak Harimau 20 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Pendekar Lengan Buntung 8
^