Pencarian

Hantu Merah 2

Pengemis Binal 23 Hantu Merah Bagian 2


batok kepala! Wuttt...! Tebasan tongkat Hantu Merah dapat dihin-
dari dengan mudah oleh Pengemis Binal. Namun,
dia sama sekali tak menyangka bila jari-jari tangan kiri lelaki berwajah merah-
matang itu hendak mencengkeram batok kepalanya.
Brettt...! "Ouw...!"
Susah-payah Suropati berkelit dengan me-
lempar tubuh ke belakang, namun tak urung ba-
hunya terserempet. Kain bajunya koyak berikut
sebagian kulitnya. Untung luka akibat sambaran
jari tangan Hantu Merah itu tidak begitu dalam.
Hanya luka gores yang tidak seberapa banyak
mengeluarkan darah.
"Kau tidak apa-apa, Kak Suro?" seru Kwe Sin Mei dengan pandangan khawatir.
Suropati tak menjawab. Matanya berkilat
menatap wajah Hantu Merah yang merah-matang
dan buruk sekali.
"Jangan sungkan-sungkan lagi, Kak Suro!
Bila tak dapat menangkap hidup-hidup, bolehlah
dia ditangkap setelah menjadi mayat!"
Mendengar teriakan Kwe Sin Mei itu, Han-
tu Merah mendengus gusar. "Siapa kau"!" ben-taknya dengan gusar.
"Aku Kwe Sin Mei! Bila kau pernah men-
dengar kebesaran nama Pendekar Sesat Kwe Kok
Jiang pemilik Pulau The Lioe Tho, akulah pu-
trinya!" kenal Kwe Sin Mei dengan tegas.
"Bangsat! Aku tak pernah berurusan den-
ganmu atau dengan ayahmu, kenapa kau menye-
wa orang untuk menangkapku"!"
"Aku memegang kuasa Kaisar Hian Tjong!"
Di ujung kalimatnya, Kwe Sin Mei memper-
lihatkan sebuah benda bulat gepeng terbuat dari
emas. Hantu Merah menatapnya dengan pandan-
gan setengah tak percaya.
"Lencana Emas Berkepala Harimau..."!" kejut Hantu Merah.
Kwe Sin Mei mengangkat tinggi-tinggi ben-
da di tangannya yang tak lain dari Lencana Emas
Berkepala Harimau. "Karena aku memegang kua-sa Kaisar Hian Tjong, lebih baik kau
menyerah dan kutungi sendiri kedua tanganmu, Iblis Ja-
hat!" "Ha ha ha...!" Hantu Merah tertawa keras.
"Lencana Emas Berkepala Harimau tak mempu-
nyai kekuatan untuk memaksa karena aku punya
ini!" Terkejut luar biasa Kwe Sin Mei ketika Hantu Merah memperlihatkan lencana
yang hampir serupa dengan lencana yang dibawanya. Len-
cana di tangan Hantu Merah lebih kecil sedikit.
"Lencana Pembebasan dari Hukuman Ma-
ti..."!" seru Kwe Sin Mei dalam keterkejutannya.
"Ha ha ha...! Dengan melihat lencana yang
kubawa ini, tidakkah kau tahu diri untuk segera
menyingkir dari hadapanku"!"
Mendengar ucapan Hantu Merah itu, Kwe
Sin Mei mencak-mencak. Hatinya jengkel dan ge-
mas sekali. Dia tak mungkin melanjutkan niatnya
untuk menangkap Hantu Merah karena tokoh tua
itu memegang Lencana Pembebasan dari Huku-
man Mati yang derajatnya lebih tinggi dari Lenca-na Emas Berkepala Harimau di
tangannya. "Setan alas kau, Iblis Jahat!" maid Kwe Sin Mei. "Tak mungkin Kaisar Hian Tjong
memberikan Lencana Pembebasan dari Hukuman Mati
kepadamu. Lencana itu pasti kau peroleh dari
mencuri!" "Ha ha ha...! Mencuri atau tidak, yang
penting aku telah memilikinya. Maka, segeralah
kau pergi bila kau merasa sebagai orang bawahan
Kaisar Hian Tjong yang baik!"
Kwe Sin Mei mengumpat-umpat beberapa
saat, lalu melompat seraya menggamit lengan
Pengemis Binal yang sedang berdiri sambil garuk-
garuk kepala. "Eh, ada apa ini?" tanya Pengemis Binal yang tak tahu arti ucapan Suropati dan
Hantu Merah. "Kita pergi!" sahut Kwe Sin Mei, cepat.
Walau masih diliputi tanda tanya besar,
Pengemis Binal menurut saja ketika tangannya
digandeng Kwe Sin Mei untuk diajak berlari cepat
menuruni bukit.
"Hei! Jangan pergi dulu! Aku masih ada
urusan denganmu, Anak Muda!" seru Hantu Me-
rah kepada Pengemis Binal.
Agaknya, jago tua dari daratan Tionggoan
itu masih penasaran terhadap Pengemis Binal.
Dan tanpa pikir panjang lagi, dia berlari mengejar!
*** 5 Sinar mentari pagi menyapa pucuk-pucuk
cemara dalam kehangatan. Kabut membubung te-
riring sang Bayu yang berhembus mendesau lem-
but. Butir-butir embun menitik jatuh dalam de-
kapan ilalang. Panorama indah pun menyembul
dipayungi langit putih bersih.
Diawal geliatan alam yang baru bangun da-
ri tidurnya itu, sesosok tubuh tampak terbaring
lemah dari kaki sebuah bukit kecil. Sosok tubuh
yang telentang lemas di tanah berumput itu seo-
rang lelaki berkulit putih mengenakan pakaian
gedombrongan berwarna kuning coklat. Kain ba-
junya robek di bagian dada, memperlihatkan luka
kecil di atas puting susu sebelah kiri yang sudah tertutup gumpalan darah
kering. Rambut lelaki berusia enam puluh tahu-
nan itu terburai di tanah. Karena terbaring dalam keadaan telentang, wajahnya
bisa dikenali. Dia
adalah Auwyang Nan Ie!
Saat bertempur dengan Sawung Jenar di
tepi Sungai Bayangan, Auwyang Nan Ie berhasil
melukai pemuda berjuluk Iblis Selaksa Ular itu
dengan Pedang Burung Hong. Namun, Auwyang
Nan Ie pun harus merelakan dada kirinya dima-
suki Ular Pemakan Jantung yang dilontarkan Sa-
wung Jenar dengan Seruling Ular-nya yang ter-
buat dari gading.
Merasa dirinya termakan senjata rahasia,
bergegas Auwyang Nan Ie menyambar Arca Budha
yang tergeletak di tanah, kemudian melarikan diri meninggalkan Sungai Bayangan.
Sesampai di bukit kaki kecil yang banyak ditumbuhi pohon ce-
mara, jago silat dari seberang itu jatuh pingsan.
Tubuhnya terbaring telentang hingga setengah
hari lebih Sesungguhnya Ular Pemakan Jantung pe-
liharaan Sawung Jenar adalah sejenis ular yang
amat mematikan. Begitu masuk ke tubuh manu-
sia, ular putih sebesar lidi itu akan segera me-
mangsa jantung calon korbannya. Hanya dalam
beberapa tarikan napas saja orang itu akan mati
tanpa memiliki jantung lagi!
Namun, kenapa Auwyang Nan Ie hanya ja-
tuh pingsan walau sampai setengah hari lebih"
Arca Budha-lah yang menyelamatkan nyawa lela-
ki tinggi-besar itu.
Sejak dari Sungai Bayangan, Auwyang Nan
Ie terus berlari sambil mencengkeram erat Arca
Budha. Kekuatan gaib yang terkandung di arca
buatan seorang tetua negeri Tiongkok itu mampu
menahan Ular Pemakan Jantung untuk tak me-
mangsa jantung Auwyang Nan Ie. Ular Pemakan
Jantung hanya berputar-putar di dalam dada
Auwyang Nan Ie. Walau begitu, Auwyang Nan Ie
merasa kesakitan luar biasa, hingga dia jatuh
pingsan. "Uh...!"
Mendadak, Auwyang Nan Ie mengeluh pen-
dek. Dikerjap-kerjapkan matanya sebentar, lalu
mengangkat tangan kanannya. Melihat Arca Bud-
ha masih terjepit di jari-jari, jago silat dari seberang itu bersorak girang
dalam hati. Bergegas dia meloncat bangun, tapi.....
"Argh...!"
Bruk...! Auwyang Nan Ie jatuh terduduk. Dada ki-
rinya terasa sakit luar biasa. Pedih-pedih tiada terkira! Sambil menggigit
bibir, lelaki tinggi-besar itu meraba dada kirinya. Kontan matanya mendelik
karena terkejut. Dia merasakan ada gerakan-
gerakan aneh di dada kirinya.
"Hmmm.... Senjata rahasia pemuda bersi-
sik itu tentu seekor ular," pikir Auwyang Nan Ie.
Cepat Auwyang Nan Ie memutar otak. Te-
ringat di benaknya ketika dia diserang tiupan seruling Sawung Jenar. Tiupan
Penguasa Sungai
Bayangan itu mampu membuatnya kehilangan
seluruh kekuatan tenaga dalam. Namun ketika
dia hendak menghancurkan Arca Budha agar tak
jatuh ke tangan orang lain, tiba-tiba Pedang Bu-
rung Hong melekat di badan Arca Budha. Arca itu
lalu memancarkan sinar kuning-keemasan yang
kemudian menjalar ke tubuhnya. Dan, kembali-
lah seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Bahkan,
sinar yang memancar dari badan Arca Budha
mampu mengusir ratusan ular yang tengah me-
rayap mendekatinya.
Teringat itu, Auwyang Nan Ie berseru gi-
rang. Dia mendapat cara bagus untuk mengusir
ular kecil yang masih bersarang di dadanya.
Tergesa-gesa Auwyang Nan Ie menghunus
Pedang Burung Hong yang terselip di punggung-
nya. Lalu, bilah pedang bengkok yang dipenuhi
ukiran itu ditempelkannya ke badan Arca Budha.
Splash...! Tiba-tiba, badan Arca Budha memancar-
kan sinar kuning-keemasan. Sinar itu lalu menja-
lar ke tubuh Auwyang Nan Ie melalui bilah Pe-
dang Burung Hong!
Sekejap mata kemudian, tubuh Auwyang
Nan Ie bergetar. Lalu dari dada kirinya melesat benda kecil panjang yang tak
lain Ular Pemakan
Jantung! "Mati kau!"
Cepat Auwyang Nan Ie menarik Pedang Bu-
rung Hong seraya berkelebat untuk mengejar le-
satan Ular Pemakan Jantung!
Wut! Wut! Wut! Pedang Burung Hong menebas tiga kali.
Dan matilah Ular Pemakan Jantung dengan ba-
dan terpotong menjadi tiga bagian!
"Ha ha ha...!" Auwyang Nan Ie tertawa bergelak. "Kini sudah saatnya aku kembali
ke daratan Tionggoan. Aku akan menjadi raja dari segala
raja! Ha ha ha...!"
Auwyang Nan Ie terus tertawa bergelak pe-
nuh luapan rasa gembira. Namun tiba-tiba, ta-
wanya terhenti mendadak disertai dengus napas
berat "Tidak! Belum saatnya aku kembali ke daratan Tionggoan. Aku masih punya
urusan den- gan si Bocah Gemblung Suropati. Bocah edan itu
telah menggagalkan niatku untuk membunuh
Kwe Kok Jiang!"
* * * Hantu Merah menggedruk tanah dengan
perasaan kesal. Dia menggerutu panjang-pendek
tak karuan. Kata-kata kotor pun berhamburan
dari mulutnya. "Haram jadah! Setan alas! Ke mana per-
ginya bocah gemblung berpakaian penuh tamba-
lan itu"! Huh! Apakah gadis bengal bernama Kwe
Sin Mei itu mengajaknya bersembunyi" Awas! Bila
kutemukan, pasti kujadikan mereka korban tipu
silat. 'Memecah Otot Membagi Tulang!"
Lelaki tua berwajah merah-matang itu
mengeluarkan kata-kata ancaman terhadap Pen-
gemis Binal dan Kwe Sin Mei. Mereka hendak di-
jadikan korban tipu silat 'Memecah Otot Membagi
Tulang'. Memang, Hantu Merah sedang diliputi
rasa kesal bercampur penasaran. Dia kehilangan
jejak Pengemis Binal dan Kwe Sin Mei yang telah
mengganggunya ketika sedang berlatih tipu silat
'Memecah Otot Membagi Tulang'.
Setelah tahu bila Hantu Merah membawa
Lencana Pembebasan dari Hukuman Mati, Kwe
Sin Mei mengurungkan niatnya untuk menang-
kap pelarian itu. Kwe Sin Mei lalu mengajak pergi Pengemis Binal. Karena
dikejar, Kwe Sin Mei dan
Pengemis Binal berlari memutar bukit, lalu
menghilang dalam kegelapan malam.
Sampai pagi datang menjemput, Hantu Me-
rah tak menemukan sosok mereka. Hingga, mele-
daklah amarah lelaki tua berpakaian compang-
camping itu. "Tampakkan batang hidungmu, Keparat!"
teriak Hantu Merah dengan bahasanya.
Hanya desau angin dan ceracau burung
yang menyahuti teriakan lelaki berwajah merah-
matang itu. Maka, menggembor keraslah dia. Ser-
ta-merta Tongkat Kumala Batu Hitam di tangan-
nya disabetkan ke batang pohon cemara!
Bummmm...! Dengan mengeluarkan suara berkeretakan,
batang pohon sebesar dua pelukan manusia de-
wasa itu roboh. Menerbitkan suara gaduh, yang
membuat burung-burung terkejut lalu terbang


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat ke angkasa.
"Keluarlah, Keparat! Kita belum selesai bertempur! Hadapi Hantu Merah bila kau
benar- benar bernyali besar!"
Teriakan Hantu Merah yang ditujukan ke-
pada Pengemis Binal terbawa hembusan angin.
Karena apa yang diharapkannya tak kesampaian,
Hantu Merah mengumpat-umpat lagi.
"Hmmm... Walau kau bersembunyi di liang
semut, kau akan tetap menjadi korban tipu silat
'Memecah Otot Membagi Tulang'!"
Di ujung kalimatnya, lelaki yang rambut-
nya terburai tak karuan tak menjejak tanah. Den-
gan mengerahkan seluruh kemampuan berlari
cepatnya, dia mengitari lagi bukit kecil yang menjadi tempat latihannya itu.
Ketika mendapat setengah lingkaran bukit,
mendadak Hantu Merah menghentikan kelebatan
tubuhnya. Bola matanya melotot besar melihat
seorang lelaki berpakaian kuning-coklat tengah
mengobati luka kecil di dada kirinya
"Auwyang Nan Ie..." desis Hantu Merah.
Lelaki bertampang seram itu lalu menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh seraya meloncat
ke balik batang pohon cemara. Bola matanya se-
makin melotot besar saat melihat arca sebesar
anak kucing yang berada di dekat kaki Auwyang
Nan Ie. "Arca Budha...., Arca Budha...," desis Hantu Merah berulang kali.
Auwyang Nan Ie terkejut ketika sesosok
bayangan berkelebat dan berhenti di hadapannya.
"Serahkan arca itu!" teriak si bayangan yang tak lain Hantu Merah.
Cepat Auwyang Nan Ie meloncat menjauh.
Tak lupa tangannya menyambar Arca Budha, lalu
dimasukkan ke saku bajunya yang gedombron-
gan. "Serahkan arca itu!" teriak Hantu Merah lagi. Auwyang Nan Ie mendengus
gusar. Setelah mengenali siapa yang datang, dia berkata lantang,
"Apa perlunya kau datang kemari, Tua Bangka"!
Tidakkah kau lebih senang tinggal dipenjara ba-
wah tanah"!"
"Jangan meledek, Keparat! Sudah kukata-
kan aku menginginkan arca yang kau bawa itu.
Tak perlu aku mengulang kata-kata!" hardik Hantu Merah.
"Kau menginginkan Arca Budha" Ha ha
ha...! Tidak pantas...! Tidak pantas...! Dirimu
yang sudah bau tanah dan sangat buruk rupa tak
pantas memiliki Arca Budha. Kecuali bila kau
mau berlutut di hadapanku lalu memecahkan ke-
pala sendiri, Arca Budha akan kuberikan kepa-
damu. Ha ha ha...!"
Sebenarnya Auwyang Nan Ie agak gentar
melihat kehadiran Hantu Merah. Dia tahu benar
akan kehebatan lelaki bertampang seram itu.
Namun Pedang Burung Hong yang terselip di
punggungnya mampu mengusir rasa gentarnya.
Dia yakin bila ketajaman Pedang Burung Hong
akan dapat meredam kesaktian Hantu Merah.
"Sombong sekali kau, Bangsat! Tidakkah
kau ingat bila aku pernah membuat kocar-kacir
persekutuan orang-orang rimba persilatan di ne-
geri kita?" seru Hantu Merah, panas hatinya mendengar ejekan Auwyang Nan Ie.
"Itu dulu! Sekarang akulah yang akan
membuat kocar-kacir anggota tubuhmu!"
Usai berkata, Auwyang Nan Ie menghunus
Pedang Burung Hong. Tanpa mempedulikan luka
di dada kirinya yang belum selesai diobati, dia
menerjang Hantu Merah dengan ganas. Sengaja
Auwyang Nan Ie tak menggunakan kebutannya,
karena dia tahu bila tubuh Hantu Merah kebal.
Hanya senjata mustika yang dapat melukai jago
tua bertampang seram itu.
"Jahanam!" pekik Hantu Merah seraya berkelit ke kiri untuk menghindari sabetan
Pedang Burung Hong yang mengarah pinggang.
Segera Auwyang Nan Ie memainkan ilmu
pedang 'Delapan Dewa'. Dengan ilmu pedang yang
terdiri dari lima puluh jurus itu, Auwyang Nan Ie mampu mengurung tubuh Hantu
Merah. Hingga, Hantu Merah jadi kewalahan. Ke mana pun dia
bergerak, sinar biru yang timbul dari sabetan Pedang Burung Hong selalu
mengejarnya! Trang! Trang! "Ih...!"
Tongkat Kumala Batu Hitam di tangan
Hantu Merah membentur Pedang Burung Hong
dua kali. Pada saat sabetan Pedang Burung Hong
melenceng ke kiri. Cepat Hantu Merah melempar
tubuh sejauh tiga tombak.
Dan, menggeram marahlah Hantu Merah.
Batang Tongkat Kumala Batu Hitam miliknya cuil
di dua tempat. Walau Tongkat Batu Hitam dan
Pedang Burung Hong sama-sama senjata musti-
ka, namun Pedang Burung Hong terbuat dari ba-
han yang lebih keras sehingga mampu membuat
rusak Tongkat Kumala Batu Hitam.
"Malaikat kematian datang!" pekik Au-
wyang Nan Ie. Pedang Burung Hong di tangan lelaki ting-
gi-besar itu berkelebat untuk menebas leher Han-
tu Merah yang masih memandangi tongkatnya!
"Uts...!"
Hantu Merah berhasil menghindar dengan
merundukkan tubuh. Tapi ketika Pedang Burung
Hong hendak menusuk dadanya, terpaksa dia
menggulingkan tubuh ke tanah.
"Haram jadah! Keparat kau, Setan Belang!"
Usai mengumpat, Hantu Merah melu-
ruskan jari-jari tangan kirinya, hingga lima ku-kunya yang runcing hitam
terlihat jelas oleh mata Auwyang Nan Ie.
Saat jari-jari tangan kiri Hantu Merah dite-
kuk menyerupai cakar harimau, Auwyang Nan Ie
mendelikkan mata. Dia tahu bila Hantu Merah
hendak mengeluarkan ilmu andalannya. Namun,
cepat dia tutup keterkejutannya dengan mengelu-
arkan kata-kata ejekan.
"Tipu silat 'Memecah Otot Membagi Tulang'
tingkat keenam tak akan mampu membunuhku!"
"Ha ha ha...!" Hantu Merah tertawa bergelak. "Di daratan Tionggoan, aku memang
baru menguasai tipu silat 'Memecah Otot Membagi Tulang' pada tingkat keenam.
Tapi di tanah Jawa
ini, aku telah berlatih diri hingga mencapai tingkat kesepuluh. Alias
kesempurnaan telah kuda-
pat! Ha ha ha...!"
Kening Auwyang Nan Ie berkerut rapat.
Benarkah Hantu Merah telah menguasai ilmu se-
sat itu dengan sempurna" Kalau pada tingkat
keenam saja tipu silat 'Memecah Otot Membagi
Tulang' sudah mampu membuat tokoh-tokoh
rimba persilatan daratan Tionggoan berlari keta-
kutan, apalagi bila Hantu Merah telah mengua-
sainya dengan sempurna! Namun, cepat Auwyang
Nan Ie mengusir rasa gentar di hatinya.
"Sebelum jari tangan Hantu Merah men-
cengkeram kepalaku, Pedang Burung Hong telah
memenggal batang lehernya," pikir Auwyang Nan Ie, memberi semangat kepada diri
sendiri. Maka segera dia memekik nyaring seraya
menyabetkan pedang mustikanya. Sementara,
Hantu Merah pun menjerit panjang mirip lolongan
serigala. Tongkat Kumala Batu Hitam dia pergu-
nakan untuk menangkis Pedang Burung Hong,
tangan kirinya berkelebat cepat, menyambar ke-
pala Auwyang Nan Ie!
* * * "Sawung Jenar mengatakan bahwa orang
yang melukainya membawa pedang bengkok yang
dipenuhi ukiran, apakah kau kenal dengan orang
itu, Pak Tua?" tanya Ingkanputri setelah meninggalkan Sungai Bayangan.
"Dia pasti Auwyang Nan Ie," Gisa Mintarsa yang menjawab.
"Ya. Dan, pedang yang dibawanya tak lain
Pedang Burung Hong yang telah membuat cacat
tangan kiriku," tegas Kwe Kok Jiang.
"Kita harus cepat mencari sebelum dia me-
ninggalkan tanah Jawa," cetus Gisa Mintarsa.
"Sawung Jenar bercerita pula bahwa orang yang
telah melukainya memiliki sebuah arca sang
Budha yang terbuat dari emas murni. Arca itu
memiliki kekuatan gaib yang mampu mengusir
ular-ular peliharaan Sawung Jenar. Yang dimak-
sud oleh pemuda itu tentu Arca Budha yang ten-
gah kau cari, Kok Jiang."
Kepala Kwe Kok Jiang mengangguk. "Ke-
mungkinan besar, Tan Peng Sin melarikan Arca
Budha ke Sungai Bayangan. Namun, niatnya un-
tuk memiliki arca bertuah itu tak kesampaian ka-
rena dirinya keburu terserang racun yang dibuat
oleh Mahicha Kapoor. Kebetulan Auwyang Nah Ie
berada di Sungai Bayangan pula. Sehingga den-
gan mudah dia mengambil Arca Budha yang dila-
rikan Tan Peng Sin dari Pulau Belut. Lalu, Au-
wyang Nan Ie terlibat pertempuran dengan Sa-
wung Jenar karena dia telah membunuh ular pe-
liharaan pemuda itu," tutur Kwe Kok Jiang yang telah lancar berbahasa Jawa.
"Ya. Ya, kemungkinan besar memang begi-
tu,?" tegas Gisa Mintarsa atau Raja Syair.
"Hmmm.... Apakah tidak lebih baik kita
mengejar Auwyang Nan Ie dengan berpencar?"
usul Ingkanputri yang selalu mengenakan pa-
kaian serba merah. Oleh karenanya dia bergelar
Dewi Baju Merah.
"Tidak. Itu amat berbahaya. Dengan Pe-
dang Burung Hong, Auwyang Nan Ie berubah jadi
momok yang sangat menakutkan. Apalagi, Arca
Budha telah berada di tangannya. Arca itu bisa
memberikan kekuatan yang luar biasa," tolak Kwe Kok Jiang.
Dewi Baju Merah mengangguk, pertanda
dapat menerima penjelasan lelaki dari seberang
yang telah tiga tahun berada di tanah jawa itu.
"Kita tetap mencari bertiga, dan mengikuti
arah yang ditunjukkan Sawung Jenar. Bagaima-
na?" ujar Gisa Mintarsa.
Mendengar ucapan bocah titisan itu, tanpa
pikir panjang lagi Kwe Kok Jiang mengangguk se-
tuju. Ingkanputri menyetujui pula. Maka, berke-
lebatlah mereka bertiga menuju bukit kecil yang terlihat samar-samar.
Di Sungai Bayangan, Sawung Jenar me-
mang telah menceritakan sebab-sebab dirinya
bertempur dengan Auwyang Nan Ie. Termasuk
mengatakan ciri-ciri Auwyang Nan Ie. Usai berce-
rita, pemuda itu lalu mengusir Ingkanputri, Gisa Mintarsa, dan Kwe Kok Jiang.
Sawung Jenar yang
bersifat aneh tak suka bila Sungai Bayangan di-
jamah orang luar. Lagi pula, luka yang dideri-
tanya tidak parah sehingga dia tidak membutuh-
kan pertolongan orang lain. Namun sebelum
mengusir, Sawung Jenar mengatakan ke mana
arah perginya Auwyang Nan Ie.
Ingkanputri, Gisa Mintarsa, dan Kwe Kok
Jiang lalu berlari cepat ke selatan. Karena hari keburu dijemput malam, mereka
beristirahat di
tepi sebuah hutan jati. Dan, baru pagi hari inilah mereka bisa melanjutkan
perjalanan mengejar
Auwyang Nan Ie. Namun belum seberapa jauh
mereka meninggalkan hutan jati, mendadak Gisa
Mintarsa menghentikan kelebatan tubuhnya.
"Ada apa, Gisa?" tanya Dewi Baju Merah yang terpaksa menghentikan kelebatan
tubuhnya pula. Kwe Kok Jiang yang berlaku serupa mena-
tap Gisa Mintarsa dengan kening berkerut. Tam-
paknya, lelaki berkuncir itu merasa sayang bila
harus membuang-buang waktu.
"Tenang..., tenang.... Jangan tatap aku se-
perti itu," sergah Raja Syair. "Tidakkah lebih baik kita menemui Suropati dulu?"
"Uh! Macam-macam saja kau ini, Gisa!" tegur Ingkanputri, tak senang. "Daripada
kita menemui Suropati yang tak kita ketahui berada di
mana, lebih baik kita menghemat waktu dengan
mencari langsung Auwyang Nan Ie!"
"Tepat!" tegas Kwe Kok Jiang. "Sawung Jenar mengatakan bahwa tubuh Auwyang Nan
Ie te- lah dimasuki Ular Pemakan Jantung yang amat
mengerikan. Aku khawatir Auwyang Nan Ie telah
menemui ajal di suatu tempat, dan ada orang
yang mengambil Arca Budha dan Pedang Burung
Hong yang dibawanya. Oleh karena itu, kita harus cepat-cepat menemukan Auwyang
Nan Ie walau dia telah menjadi mayat!"
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Gisa Mintarsa melihat Kwe Kok Jiang memberi isyarat
kepada Ingkanputri untuk melanjutkan perjalanan.
"Kau jangan main-main, Gisa!" tegur Ingkanputri," keras membentak.
"Kau jangan keburu naik pitam, Putri. Aku
tahu hatimu kesal terhadap Suropati. Tapi, bukan maksudku untuk menambah
kekesalanmu den-
gan mempertemukan kau dengan remaja konyol
itu," kilah Raja Syair.
"Lalu, maumu apa?" tanya Ingkanputri masih dengan suara ketus. Dia memang
memendam rasa kesal terhadap Suropati. Setiap berjumpa
dengan Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti itu, ada saja ulah konyol yang diper-


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buatnya. "Firasatku mengatakan bahwa Auwyang
Nan Ie masih hidup. Arca Budha telah menyela-
matkan nyawanya. Sawung Jenar mengatakan
bahwa sinar kuning keemasan yang memancar
dari badan Arca Budha membuat ular-ularnya la-
ri ketakutan. Kemungkinan besar Ular Pemakan
Jantung yang bersemayam di dalam tubuh Au-
wyang Nan Ie pun tak mampu berbuat banyak.
Auwyang Nan Ie tentu telah mengeluarkan ular
itu dengan menggunakan kekuatan gaib Arca
Budha." Mendengar penjelasan Gisa Mintarsa, In-
gkanputri, dan Kwe Kok Jiang mengerutkan ken-
ing. Tampaknya, mereka tengah menimbang ke-
benaran ucapan bocah titisan itu.
"Ya. Aku bisa menerima penjelasanmu. Ta-
pi kalau memang Auwyang Nan Ie belum mati,
bukankah dia bisa pergi makin jauh" Itu berarti
kita tak punya waktu untuk menemui Suropati!"
seru Ingkanputri tiba-tiba.
"Tidak! Kita harus menemui Suropati du-
lu!" ujar Raja Syair, ngotot.
"Walau tubuhmu berwujud bocah berusia
dua belas tahun, tapi kau berjiwa Raja Syair yang
telah berusia seratus tahun lebih, bukan" Jangan berlaku seperti anak-anak,
Gisa!" tegur Ingkanputri seperti akan mengajak bersitegang.
"Tenanglah. Aku bisa memanggil Suropati
ke sini dalam waktu singkat!"
Tanpa menunggu tanggapan, Gisa Mintar-
sa melangkah tiga tindak, lalu mengambil sikap
semadi di bawah naungan pohon besar. Ingkan-
putri dan Kwe Kok Jiang cuma dapat menggeleng-
gelengkan kepala.
*** 6 "Huah...!"
Suropati memekik kaget seraya meloncat
bangkit. Remaja tampan itu kembali memekik.
Namun, kali ini yang keluar dari mulutnya adalah pekik kesakitan. Kakinya
terpeleset, dan kepalanya membentur lempengan batu besar yang
menjadi tempat tidurnya.
"Aduh...!"
Sambil mengumpat-umpat tak karuan Su-
ropati memegangi bagian belakang kepalanya
yang sakit. Umpatannya semakin tak karuan ke-
tika dia tahu bila wajahnya basah-kuyup.
"Kunyuk buduk! Kerbau congek! Hmm....
Siapa yang menyiram wajahku dengan air"!"
Sewaktu Pengemis Binal mengedarkan
pandangan, terdengar suara tawa tertahan dari
atas kepala remaja tampan itu. Segera Pengemis
Binal mendongak. Terlihat olehnya Kwe Sin Mei
yang tengah nangkring di atas pohon. Tangan ki-
rinya mendekap mulut, sedang tangan kanannya
memegang tempurung kelapa yang tampak basah.
"Rupanya kau yang membuat ulah, Sin
Mei!" bentak Suropati, gemas.
"Lihatlah hari yang telah beranjak siang,
Kak Suro...," ujar Kwe Sin Mei, menahan tawa.
"Susah-payah aku membangunkanmu, tapi kau
tetap mendengkur terus. Terpaksa kusiram kau
dengan... hik hik hik...."
Melihat Kwe Sin Mei tertawa cekikikan,
Pengemis Binal mencak-mencak. Dengan muka
merah-padam, dia membentak lebih keras putri
Kwe Kok Jiang itu.
"Hayo, katakan apa yang kau siramkan di
wajahku tadi!"
Kwe Sin Mei tak menjawab. Kedua tangan-
nya digunakan untuk mendekap mulut agar ta-
wanya tak terdengar keras. Agaknya, dia merasa
geli melihat Pengemis Binal yang sedang marah-
marah. "Wajahmu cantik dan sungguh amat menarik. Namun aku heran dan tak habis
mengerti, kenapa kau berubah yang aneh-aneh. Apakah
otakmu tak waras. Sin Mei?" sindir Pengemis Binal, dongkol.
"Maafkan aku, Kak Suro," sesal Kwe Sin Mei. "Kak Suro tak perlu mengumbar
prasangka. Aku tidak gila. Aku sadar atas segala apa yang
kulakukan."
Di ujung kalimatnya, Kwe Sin Mei meloncat
turun dari dahan pohon yang didudukinya. Se-
mentara, Pengemis Binal menatapnya dengan pe-
rasaan kesal-sebal.
"Apa yang kau siramkan di wajahku"!"
"Air sungai."
"Air sungai atau...."
?"Air sungai!" potong Kwe Sip Mei, cepat.
Suropati mengusap butir-butir air yang
masih menempel di dahinya, lalu diciumnya.
"Hmm... yah! Aku percaya ini memang air
sungai. Seandainya kau menyiramku dengan air
kencing kuda, pasti kutonjok batang hidungmu
sampai nyonyor," ancam Suropati kekonyol-
konyolan. Kwe Sin Mei memasang wajah muram, na-
mun Pengemis Binal tampaknya tak mau menger-
ti penyesalan gadis itu. Sambil menggeleng-
gelengkan kepala Suropati berkata, "Aku tetap tak habis mengerti akan ulahmu
yang aneh-aneh.....''
"Aneh bagaimana, Kak Suro?" tanya Kwe
Sin Mei, lembut Bibirnya menyungging senyum
untuk mendinginkan hati Pengemis Binal yang
terbakar rasa jengkel.
Namun, Pengemis Binal malah mendengus
gusar dan tatapannya tajam penuh selidik.
"Tidakkah Kak Suro melihat matahari yang
telah naik tinggi" Tidur Kak Suro begitu lelap sehingga aku sulit membangunkan.
Terpaksa aku mengambil air sungai, lalu...."
"Bukan karena itu!" bentak Pengemis Binal, memotong penjelasan Kwe Sin Mei.
Sinar mata Kwe Sin Mei kontan meredup. Rasa bersalah ma-
kin mendera hatinya.
"Kau katakan bila Hantu Merah adalah pe-
larian yang amat jahat. Tapi, kenapa tadi malam
kau malah mengajakku pergi sewaktu aku beru-
saha menangkapnya" Kau membuatku penasaran
saja! Kau tahu luka di bahu kiriku ini"!"
Suropati maju selangkah, menunjukkan
garis luka akibat sambaran kuku Hantu Merah.
"Walau tidak parah, tapi ini sudah cukup
kujadikan alasan untuk memecahkan batok kepa-
la kakek buruk rupa itu!" lanjut Pengemis Binal.
"Jangan keburu naik darah, Kak Suro...!"
ujar Kwe Sin Mei, berusaha menenangkan hati
Pengemis Binal yang sedang uring-uringan. "Hantu Merah membawa Lencana
Pembebasan dari
Hukuman Mati. Aku tidak mungkin menangkap
atau mengganggunya..."
"Bukankah Hantu Merah nyata-nyata
orang jahat. Kita telah melihat dengan mata kepa-la sendiri. Dia telah membunuh
orang dengan ca-
ra yang amat keji. Itu sudah cukup dijadikan alasan untuk menghukum mati kakek
tua buruk itu!" "Kau tidak mengerti, Kak Suro. Kami, orang-orang dari Tionggoan, amat
menjunjung tinggi kehormatan dalam mengabdi kepada kai-
sar" "Maksudmu?"
"Walau aku membawa Lencana Emas Ber-
kepala Harimau yang membuat berkuasa penuh
untuk menangkap atau menjatuhkan hukuman
terhadap Hantu Merah, tapi aku tidak mungkin
melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh para tetua kami...."
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan,
Sin Mei," ujar Pengemis Binal dengan kening berkerut rapat "Kau memegang kuasa
kaisar untuk menangkap atau menghukum Hantu Merah, tapi
kenapa kau katakan tak mungkin melanggar atu-
ran yang telah ditetapkan oleh leluhurmu" Seperti yang kau katakan, Hantu Merah
itu jelas manusia
berjiwa iblis, Sin Mei. Sudah selayaknya bila kita menghentikan dan memerangi
segala perbuatan
jahat..." "Benar katamu, Kak Suro. Tapi, kita tak
boleh mengusik Hantu Merah karena dia memba-
wa Lencana Pembebasan dari Hukuman Mati. Bi-
la kita nekat, itu sama saja menghina kewiba-
waan kaisar."
Pengemis Binal garuk-garuk kepala. Ke-
ningnya berkerut makin rapat "Aneh...," desisnya.
"Bila benar Hantu Merah pernah mengganggu ke-tenteraman istana dan melarikan
diri dari penja-
ra, kenapa dia malah diberi Lencana Kebebasan?"
"Kaisar Hian Tjong tak akan berbuat sebo-
doh itu." "Lalu, dari mana Hantu Merah mempero-
lehnya?" '
"Aku menduga bila Lencana Pembebasan
dari Hukuman Mati diperoleh Hantu Merah den-
gan mencuri."
"Mencuri?"
"Ya."
"Kalau Lencana Kebebasan itu diperoleh
dari cara yang tak benar, bukankah kekuatan
atau pengaruhnya akan hilang" Karena, bukan
Kaisar Hian Tjong sendiri yang memberikannya."
"Tidak," kepala Kwe Sin Mei menggeleng.
"Lencana Pembebasan dari Hukuman Mati tetap mempunyai kekuatan."
"Kenapa bisa begitu?"
"Sudah menjadi aturan yang ditetapkan
oleh para tetua kami."
Suropati yang sudah hilang rasa dongkol-
nya karena disiram air sungai tampak menger-
nyitkan hidung. Sambil nyengir kuda, Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu meng-
garuk kepalanya yang tak gatal. Penjelasan Kwe
Sin Mei sama sekali tak masuk di akalnya. Orang
yang sudah jelas berperilaku amat jahat dan ke-
jam kenapa bisa bebas dari hukuman karena
memegang sebuah lencana" Itu pun diperoleh da-
ri hasil mencuri!
"Ah, adat kebiasaan di setiap daerah tentu
saja berbeda. Kalau di tanah Tiongkok telah ditetapkan aturan seperti itu, siapa
yang dapat men-
gubah atau menentangnya" Tak juga aku yang
nyata-nyata bukan orang dari sana," kata Pengemis Binal akhirnya, dalam hati.
"Kau memikirkan apa, Kak Suro?" tanya
Kwe Sin Mei yang melihat Suropati diam saja.
Pengemis Binal menatap wajah Kwe Sin
Mei. Dia menikmati sejenak kecantikan gadis ber-
kulit putih itu. Lalu, dia berkata dengan suara berat dan sungguh-sungguh,
"Walau Hantu Merah
memegang Lencana Kebebasan, aku tetap tak bi-
sa membiarkan dia mengumbar kejahatan."
"Tidak bisa begitu, Kak Suro!" tolak Kwe Sin Mei. "Kau harus turut pada aturan,"
Kepala Pengemis Binal menggeleng, "Atu-
ran itu ditetapkan oleh para leluhurmu, sedang
aku bukan orang dari sana. Bila aku tak memu-
lai, siapa yang akan menyalahkan" Lagi pula, aku bermaksud baik,"
Kwe Sin Mei diam. Dia merasakan kebena-
ran ucapan Pengemis Binal. Namun, dia tak be-
rarti memberi ketegasan. Bagaimanapun juga dia
adalah orang Tionggoan yang tentu saja harus
menjunjung tinggi adat dan aturan yang berlaku
di tanah kelahirannya.
"Sin Mei..."
"Ya, Kak Suro..."
"Bila. Hantu Merah dibiarkan berkeliaran
bebas tanpa ada yang berusaha menghentikan
perbuatan jahatnya, tidakkah kau merasa bersa-
lah?" Kwe Sin Mei tak mampu membuka mulut.
Dia bingung, harus memberikan jawaban apa.
"Bila kau tak memberikan tindakan apa-
apa, tidakkah kau merasa kedatanganmu di ta-
nah Jawa ini sia-sia belaka?"
Mulut Kwe Sin Mei tetap terkunci.
"Bagaimana, Sin Mei?" desak Pengemis Binal sambil menepuk bahu Kwe Sin Mei.
Namun sebelum gadis cantik itu memberi-
kan jawaban, mendadak Pengemis Binal tersurut
mundur setindak. Raut wajahnya menegang, dan
seperti sedang menajamkan pendengaran.
"Ada apa, Kak Suro?"
"Diamlah..."
Kening Kwe Sin Mei berkerut melihat sikap
aneh Suropati. Namun, dia tak berani bertanya
lagi karena raut wajah Suropati menampakkan
kesungguhan. "Raja Syair...," desis Pengemis Binal.
"Raja Syair?" Kwe Sin Mei tak dapat menahan kata hatinya. "Siapa dia" Aku tak
melihat ke-hadirannya."
"Diamlah...," perintah Suropati dengan suara setengah membentak.
Kwe Sin Mei kontan terdiam walau di be-
naknya telah dijejali berbagai pertanyaan. Sementara, Pengemis Binal terus
menajamkan penden-
garan. Remaja tampan itu berusaha menangkap
pesan yang dikirim oleh seseorang dari jarak
jauh. Ketika Suropati telah memusatkan perha-
tiannya pada satu titik seraya membuka mata ba-


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinnya, maka dapat dia tangkap pesan yang me-
mang ditujukan kepada dirinya.
Ketika mata batinmu telah terbuka
Dapatlah kau mendengar
Bisikan dari hati ke hati
Aku tak tahu kau berada di mana
Namun, Raja Syair perlu bicara
Datanglah ke utara hutan jati
Bila ada pohon rebah membujur ke timur
Di situlah aku berada
"Kita pergi sekarang," ajak Pengemis Binal usai mendengar pesan yang berupa
kata-kata syair. "Ke mana?" tanya Kwe Sin Mei, tak mengerti.
"Sudahlah. Turut saja denganku."
"Mencari Hantu Merah?"
"Itu bisa dilakukan lain waktu. Sekarang,
ada seseorang yang ingin bertemu denganku."
"Siapa?"
"Raja Syair."
"Kau telah membuat janji dengannya?"
"Tidak. Tadi dia telah mengirim pesan ke-
padaku." "Pesan" Dengan cara apa" Aku tidak meli-
hat seorang pun hadir di tempat ini. Apakah pe-
san itu dikirim dengan ilmu mengirim suara?"
"Tidak. Ilmu mengirim suara tidak dapat
menjangkau jarak yang terlampau jauh."
"Lalu, pesan yang kau terima itu dikirim
dengan cara apa?"
"Dengan kekuatan batin. Kekuatan batin
tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan jarak," Suropati memberi penjelasan.
"Ayolah, Kau jangan bertanya-tanya lagi. Kita pergi sekarang."
Dengan tak sabaran Pengemis Binal me-
nyambar lengan Kwe Sin Mei, lalu diajaknya gadis cantik itu berlari cepat.
Kelebatan tubuh mereka menuju hutan jati yang terletak di sebelah selatan dari
tempat mereka berada semula.
* * * "Uh! Ada-ada saja, Bocah Gemblung ini!"
gerutu Dewi Baju Merah.
Kesal hati gadis itu melihat Raja Syair te-
rus duduk bersila dengan tangan bersedekap dan
mata terpejam rapat. Sementara, pancaran sinar
mentari semakin menyengat kulit.
"Bagaimana kalau kita tinggalkan saja bo-
cah titisan ini, Putri," cetus Kwe Kok Jiang, turut kesal. "Itu lebih baik.
Daripada Arca Budha keburu dilarikan orang," tegas Ingkanputri.
Mendadak, Kwe Kok Jiang dan Ingkanputri
sama-sama tercengang. Mereka mendengar se-
buah ledakan keras yang berasal dari lereng bukit cemara yang tidak seberapa
jauh dari hutan jati.
"Ada orang sedang bertempur," duga Dewi Baju Merah.
"Ya. Telah terjadi bentrokan kekuatan te-
naga dalam tingkat tinggi di sana." Kwe Kok Jiang menudingkan telunjuk dari
tangan kanannya ke
arah bukit kecil yang banyak ditumbuhi pohon
cemara. "Apakah itu Auwyang Nan Ie" Mungkinkah
Ular Pemakan Jantung tidak mampu membu-
nuhnya?" "Kita buktikan segera."
Di ujung kalimatnya, Kwe Kok Jiang men-
gempos tubuh. Berlari cepat dengan mengandal-
kan seluruh kemampuannya. Ingkanputri mena-
tap sejenak Raja Syair yang masih saja duduk
bersila, kemudian berkelebat menyusul Kwe Kok
Jiang. Seberkas cahaya biru menyambar amat
menggidikkan. Sesosok tubuh yang menjadi sasa-
ran melesat cepat, melayang tinggi di udara.
Hingga.... Wusss...! Bummm...! *** 7 Cahaya biru yang muncul dari tebasan Pe-
dang Burung Hong menerpa barisan pohon cema-
ra. Suara hiruk-pikuk memekakkan gendang te-
linga. Dua batang di antara pohon yang rata-rata bergaris tengah dua kaki itu
tumbang. Beberapa
batang lainnya terpapas seperti ditebas pedang
yang amal tajam. Daun-daun yang mirip jarum
panjang bertebaran, menghalangi pandangan be-
berapa lama. "Ha ha ha...!" Auwyang Nan Ie tertawa pon-gah. "Walau tak dapat melihat
perubahan air mukamu, tapi aku tahu bila hatimu mengecil dan
nyalimu menciut, Setan Muka Merah!" ujarnya dengan Pedang Burung Hong menyilang
di dada. "Hmmm..., Kau boleh bangga dan besar
kepala karena memegang sebilah pedang pusaka,"
sahut Hantu Merah, menggeram marah. "Tapi,
sebentar lagi Tongkat Kumala Batu Hitam akan
segera menjebol dadamu. Setelah itu, akan kulu-
matkan tubuhmu dengan tipu silat 'Memecah
Otot Membagi Tulang'!"
Sedikit kedher hati Auwyang Nan Ie men-
dengar ancaman Hantu Merah. Namun dengan
Pedang Burung Hong di tangan, tak ada yang per-
lu ditakutkan. Bukankah tongkat mustika Hantu
Merah yang bernama Tongkat Kumala Batu Hitam
tak dapat menandingi ketajaman Pedang Burung
Hong" Tipu silat 'Memecah Otot Membagi Tulang'
yang mengandalkan kekuatan jari-jari tangan
pasti dapat pula diredam oleh Pedang Burung
Hong, pikir Auwyang Nan Ie menguatkan hatinya
sendiri. "Ha ha ha...! Manusia memang tak dapat
melihat belakang leher sendiri. Tapi karena aku
masih memandang mukamu yang sebenarnya le-
bih buruk dari pantat babi itu, aku masih menco-
ba menahan diri. Tahu dirilah sedikit, Hantu Me-
rah. Lupakan perihal Arca Budha! Segera enyah
dari hadapanku!"
Mendengar kata-kata kasar Auwyang Nan
Ie yang memandang rendah kepadanya, Hantu
Merah menggembor keras. Terbawa luapan ama-
rah, wajahnya yang berwarna merah semakin
memerah dengan sorot mata tajam berkilat-kilat.
Mendadak, lelaki tua berpakaian compang-
camping itu memutar Tongkat Kumala Batu Hi-
tam di depan dada. Kekuatan tenaga dalamnya
yang terdahsyat dia keluarkan!
Wuttt..! Wuttt...!
Wesss...! Putaran tongkat mustika di tangan Hantu
Merah menimbulkan tiupan angin kencang laksa-
na badai. Auwyang Nan Ie terkesiap. Batu yang
berserakan di tanah tiba-tiba berpentalan menuju ke arahnya. Cepat dia memutar
Pedang Burung Hong membentuk perisai yang melindungi tubuh-
nya. Dan, suara berkerontangan terdengar tiada
henti tatkala batu-batu yang terlontar membentur bilah pedang pusaka itu.
Tongkat Kumala Batu Hitam terus berputar
menyerupai baling-baling. Semakin lama tiupan
angin yang ditimbulkannya semakin kencang.
Akibatnya, gumpalan tanah turut berhamburan
ke arah Auwyang Nan Ie. Hingga, keadaan di le-
reng bukit cemara itu benar-benar seperti sedang dilanda badai!
"Keparat!" maki Auwyang Nan Ie seraya
memutar Pedang Burung Hong lebih cepat.
Blar...! Blar...!
Terdengar ledakan keras dua kali ketika ti-
upan angin yang timbul dari putaran Tongkat
Kumala Batu Hitam membentur sinar biru yang
memancar dari bilah Pedang Burung Hong.
Karena tiupan angin kencang yang mende-
ranya tak juga berhenti, Auwyang Nan Ie mulai
kewalahan. Pijakan kakinya terseret mundur dua
jengkal. Sementara, ranting-ranting cemara di belakangnya mulai berantakan!
Karena pandangannya terhalang, Auwyang
Nan Ie tak tahu bila Hantu Merah melepas ceka-
lannya pada batang Tongkat Kumala Batu Hitam.
Hebatnya, tongkat mustika itu mampu berputar
terus walau tanpa dipegang lagi oleh pemiliknya!
"Chiattt...!"
Kaki kanan Hantu Merah menjejak tanah
kuat-kuat, hingga tubuhnya melesat amat cepat.
Sepuluh jari tangannya yang membentuk cakar
harimau siap mencengkeram kepala Auwyang
Nan Ie! Namun, serangan kilat Hantu Merah yang
dilancarkan sambil mengeluarkan pekikan pan-
jang tak memperoleh hasil seperti yang diha-
rapkan. Pekikan Hantu Merah menyadarkan Au-
wyang Nan Ie bahwa dirinya berada dalam anca-
man bahaya. Maka, Auwyang Nan Ie memutar Pedang
Burung Hong lebih tinggi. Walau tindakannya itu
hanya untung-untungan, tapi mampu mele-
paskan dirinya dari intaian malaikat kematian.
"Mati kau!"
Dibarengi kata itu, mendadak tabuh Hantu
Merah melenting. Ketika sambaran Pedang Bu-
rung Hong lewat di bawah kakinya, kakek berwa-
jah merah-matang itu meluruskan kedua perge-
langan tangannya!
Auwyang Nan Ie yang belum dapat melihat
luncuran tubuh Hantu Merah tiba-tiba merasa-
kan kepalanya amat sakit seperti dijepit besi baja yang amat kuat!
Crok...! "Wuah...!"
Sepuluh jari tangan Hantu Merah menan-
cap di batok kepala Auwyang Nan Ie! Namun se-
belum nyawanya lepas dari raga, lelaki tinggi-
besar itu masih sempat menggerakkan Pedang
Burung Hong untuk membabat pergelangan tan-
gan Hantu Merah!
Wuttt...! Brukkk...! "Ah...!"
Auwyang Nan Ie mengeluarkan jerit kesaki-
tan untuk kedua kalinya. Babatan Pedang Bu-
rung Hong melenceng. Hantu Merah telah mem-
banting tubuh Auwyang Nan Ie ke tanah.
"Ih...!"
Mendadak, Hantu Merah menjerit gusar.
Sepuluh jari tangannya yang menancap di batok
kepala Auwyang Nan Ie terasa ngilu dan kaku.
Maka, cepat dia menggagalkan niatnya untuk
menghancurkan tubuh Auwyang Nan Ie dengan
tipu silat 'Memecah Otot Membagi Tulang' tingkat kesepuluh.
'"Jahanam kau, Setan Muka Merah!" pekik Auwyang Nan Ie seraya meloncat bangun.
Hantu Merah yang masih merasakan ngilu
di sepuluh jari tangannya tampak tersurut mun-
dur dua langkah. Dia terkejut dan bergidik ngeri.
Walau batok kepala Auwyang Nan Ie telah berlu-
bang-lubang, namun lelaki tinggi-besar itu masih mampu berdiri tegak. Wajahnya
yang berlumuran
darah segar dan cairan otak terlihat amat menggi-riskan! Tangan kiri lelaki
berpakaian gedombron-
gan itu memegang sebuah arca sebesar anak kuc-
ing yang tak lain Arca Budha. Bilah Pedang Bu-
rung Hong di tangan kanannya menempel di ba-
dan arca yang terbuat dari emas murni itu. Se-
mentara, sekujur tubuh Auwyang Nan Ie diselu-
bungi cahaya kuning keemasan yang memancar
dari badan Arca Budha. Agaknya, kekuatan gaib
yang tersimpan di balik, keelokan Arca Budha
mampu menahan nyawa Auwyang Nan Ie agar tak
segera melayang ke alam baka, walau sebenarnya
keadaan lelaki berambut panjang tergerai itu su-
dah tak memungkinkan lagi untuk dapat berta-
han hidup. "Jahanam...!" geram Auwyang Nan Ie dengan suara serak-parau.
Hantu Merah tersurut mundur lagi. Cepat
dia mengendalikan perasaannya. Dan, tahulah
dia bila Arca Budha yang ditempeli bilah Pedang
Burung Hong memberikan kekuatan gaib. Maka
sebelum Auwyang Nan Ie berbuat sesuatu, cepat
kakek berwajah merah-matang itu berkelebat!
Desss...! "Argh...!"
Tendangan Hantu Merah tepat mendarat di
dada Auwyang Nan Ie. Tapi, pekik kesakitan ju-
stru keluar dari mulut Hantu Merah sendiri. Tu-
buh kakek tinggi-kurus itu terpelanting, lalu jatuh bergulingan di tanah.
Sementara, Auwyang
Nan Ie tetap berdiri tegak di tempatnya! Tak bergeming sedikit pun!
"Ha ha ha...! Sekarang, kau baru tahu ke-
hebatanku, Kunyuk Busuk!" sesumbar Auwyang
Nan Ie. Dengan mata yang tertutup sebagian oleh
cairan darah, lelaki berpakaian kuning-coklat itu
mendatangi Hantu Merah yang berusaha bangkit
berdiri dengan ringis kesakitan menghiasi bibir-
nya. Tak mau kehilangan kesempatan bagus, ce-
pat Auwyang Nan Ie menarik bilah Pedang Bu-
rung Hong yang menempel di badan Arca Budha.
Pedang pusaka itu akan digunakannya untuk
mencabut nyawa Hantu Merah. Tapi....
Slash...! "Wuah...!"
Saat bilah Pedang Burung Hong lepas dari


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badan Arca Budha, cahaya kuning-keemasan
yang menyelubungi sekujur tubuh Auwyang Nan
Ie lenyap seketika. Kekuatan gaib yang muncul
dari badan Arca Budha turut lenyap. Akibatnya,
Auwyang Nan Ie menjerit kaget. Tubuhnya berdiri
limbung, lalu jatuh telentang ke tanah. Tak ber-
kutik lagi! Hantu Merah yang masih belum mampu
berdiri tegak lagi-lagi dihantam keterkejutan. Namun setelah tahu bila tubuh
Auwyang Nan Ie su-
dah tak bernyawa, dia tertawa keras penuh lua-
pan rasa gembira!
"Ha ha ha...! Pedang Burung Hong! Arca
Budha! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa, Hantu Merah me-
nyambar Pedang Burung Hong dan Arca Budha
yang tergeletak di tanah tak jauh dari mayat Au-
wyang Nan Ie. Setelah menatap dua benda pusa-
ka itu bergantian, Hantu Merah mencabut sarung
pedang yang masih terselip di punggung Auwyang
Nan Ie. Lalu, pergilah lelaki berpakaian compang-camping itu tanpa mempedulikan
Tongkat Kuma- la Batu Hitam yang menancap di tanah!
* * * "Astaga...!" pekik Dewi Baju Merah yang telah sampai di tanah lapang penuh
kubangan. Gadis cantik berambut panjang digelung ke
atas itu mendelikkan mata dengan benak dipenu-
hi tanda tanya besar. Dia melihat sesosok mayat
berpakaian gedombrongan kuning-coklat. Tubuh
tanpa nyawa yang telentang di tanah itu wajah-
nya berlumuran darah dan cairan otak.
"Mayat siapa ini?" desis Dewi Baju Merah.
Kwe Kok Jiang yang berdiri di belakangnya
tak mengeluarkan suara. Sambil menahan napas,
lelaki bergelar Pendekar Sesat itu menghampiri
mayat yang ditemukannya.
"Auwyang Nan Ie...," desis Kwe Kok Jiang.
Walau wajah si mayat sudah sulit dikenali,
tapi Kwe Kok Jiang dapat memastikannya. Meni-
lik dari ukuran tubuh dan pakaian yang dikena-
kan. "Benarkah ini Auwyang Nan Ie?" tanya Ingkanputri, belum begitu percaya.
"Ya," jawab Kwe Kok Jiang, pendek.
Lelaki berkuncir itu mengedarkan pandan-
gan. Beberapa pohon cemara tampak tak berdaun
lagi. Ranting-ranting pun berpatahan. Dua di an-
taranya bahkan telah tumbang, akarnya tercabut
dari tanah. Sementara, permukaan tanah dipe-
nuhi kubangan. Keadaan di tempat itu seperti
habis diterjang badai dahsyat.
Mendadak, mata Kwe Kok Jiang terbelalak
lebar. Lalu, dengan kening berkerut rapat dia
menghampiri sebatang tongkat yang berdiri me-
nancap di tanah.
Tangan kanan Kwe Kok Jiang yang ber-
warna kuning seperti dilumuri kunyit, mencabut
tongkat yang terbuat dari batu kumala hitam itu, Wajah Kwe Kok Jiang kontan
menegang. "Tongkat Kumala Batu Hitam...," desisnya, menyebut nama tongkat di tangannya.
"Tongkat Kumala Batu Hitam?" sentak Ingkanputri seraya meloncat ke sisi Kwe Kok
Jiang. "Tongkat Kumala Batu Hitam ini milik seo-
rang tokoh sesat yang amat kejam. Karena perbu-
atannya, dia menjadi buronan orang-orang Kaisar
Hian Hong."
"Jadi, pemiliknya orang Tionggoan seperti
dirimu?" "Ya. Dia bergelar Hantu Merah."
Usai berkata, wajah Kwe Kok Jiang tampak
mengelam. Kerut di keningnya kembali muncul.
"Hmmm.... Aku tak menyangka bila buro-
nan itu berada di tanah Jawa ini. Apakah dia juga mencari Arca Budha?" gumam Kwe
Kok Jiang kemudian. Teringat akan benda bertuah yang sedang
dicarinya, bergegas lelaki berkuncir itu meloncat ke dekat mayat Auwyang Nan Ie.
"Celaka...!" pekik Kwe Kok Jiang.
"Kau tak menemukan Pedang Burung Hong
dan Arca Budha, Pak Tua?" tanya Dewi Baju Merah.
"Seseorang telah melarikannya."
"Hantu Merah?"
Kwe Kok Jiang tak menjawab pertanyaan
Ingkanputri. Dengan mata bersorot tajam, lelaki
berpakaian merah-hijau itu mengamati luka ber-
lubang di kepala Auwyang Nan Ie.
"Tipu silat 'Memecah Otot Membagi Tu-
lang'...!" desis Kwe Kok Jiang. "Auwyang Nan Ie pasti telah terbunuh oleh ilmu
sesat itu. Siapa la-gi pelakunya kalau bukan Hantu Merah!"
"Auwyang Nan Ie mati di tangan Hantu Me-
rah. Tongkatnya tertinggal pula di tempat ini. Dapat dipastikan bila Pedang
Burung Hong dan Arca
Budha dibawa lari oleh orang itu," cetus Dewi Ba-ju Merah.
"Tepat! Aku juga berpikiran seperti itu," tegas Kwe Kok Jiang.
"Kalau begitu, segera saja kita cari dia.
Mudah-mudahan dia masih berada di sekitar bu-
kit cemara ini."
Kwe Kok Jiang memegang erat Tongkat
Kumala Batu Hitam, lalu katanya, "Sebaiknya ki-ta berpencar. Bila kau menjumpai
Hantu Merah terlebih dahulu, berilah isyarat dengan melem-
parkan ranting eemara beberapa kali ke udara.
Aku akan melakukan hal yang serupa bila aku
yang menjumpai Hantu Merah lebih dulu."
"Jangan! Itu sangat berbahaya," tolak Ingkanputri.
"Kenapa?" tanya Kwe Kok Jiang, heran.
"Sambungan lengan kirimu masih belum
sempurna. Aku khawatir akan terjadi apa-apa se-
belum aku datang mengikuti isyarat yang kau be-
rikan, Pak Tua."
Bibir Kwe Kok Jiang mengulum senyum
kecut. "Terima kasih atas perhatianmu, Anak Manis. Tapi kau mesti tahu, aku
bukan bocah kecil
yang patut dikhawatirkan. Aku adalah Pendekar
Sesat Kwe Kok Jiang Penguasa Pulau Tho Lioe
Tho. Namaku cukup terkenal di dataran Tiong-
goan karena aku punya kepandaian yang bisa di-
andalkan," katanya.
Lelaki berkuncir itu terpaksa menyom-
bongkan diri karena tak mau dianggap orang le-
mah hanya karena lengan kirinya tak dapat dige-
rakkan lagi. Dewi Baju Merah menatap wajah Kwe Kok
Jiang sejenak. Melihat kesungguhan lelaki keras
kepala itu, dia mengangkat bahu.
"Terserah kau, Pak Tua. Aku hanya menya-
rankan. Kalau terjadi apa-apa denganmu, itu bu-
kan salahku. Aku hanya membantumu untuk
mencari Arca Budha."
Usai berkata, Dewi Baju Merah menjejak
tanah. Dan berkelebatlah murid Dewi Tangan Api
itu ke utara. Sementara, Kwe Kok Jiang geleng-
geleng kepala sebentar, lalu menjejak tanah pula.
Berkelebat ke selatan.
* * * "Gisa!"
Kelopak mata Raja Syair terbuka merasa-
kan tepukan di bahu kirinya. Melihat seorang re-
maja tampan yang tengah berjongkok di hada-
pannya, bocah titisan itu bergegas bangkit.
"Ada perlu apa kau memanggilku, Gisa" "
tanya si remaja yang tak lain Suropati.
Gisa Mintarsa tak menjawab. Matanya me-
natap seraut wajah cantik milik Kwe Sin Mei yang berdiri di sisi kanan Suropati.
"Siapa dia?" tanya bocah beranting perak itu. "Kwe Sin Mei. Putri Kwe Kok
Jiang," Pengemis Binal mengenalkan.
Kwe Sin Mei yang telah diberi tahu perihal
Gisa Mintarsa cepat membungkuk hormat. Gisa
Mintarsa mengangguk-angguk seraya melempar-
senyum persahabatan.
"Dengan kekuatan batin aku menuntun
langkahmu agar kau cepat sampai di tempat ini,
Suro," ujar Raja Syair.
"Hmmm.. yah! Pantas, aku berasa seperti
ada yang mendorongku dari belakang," sahut
Pengemis Binal. "Sebenarnya ada urusan apa, Gi-sa" Apakah ada hubungannya dengan
Arca Bud- ha?" "Ya. Tapi...."
Raja Syair tak melanjutkan kalimatnya.
Kepalanya bergerak ke kanan-kiri.
"Apa yang kau cari, Gisa?" tanya Suropati.
"Kwe Kok Jiang dan Ingkanputri," jawab Raja Syair, tetap mengedarkan pandangan.
"Ketika aku datang, dua orang itu sudah
tak ada di tempat ini," beri tahu Pengemis Binal.
"Bukan begitu, Sin Mei?"
"Ya," sahut Kwe Sin Mei. "Ke mana ayahku pergi?" "Aku tak tahu. Kemungkinan
besar ayahmu dan Ingkanputri pergi mencari Auwyang Nan
Ie," jawab Gisa Mintarsa.
"Kita menyusulnya sekarang," ajak Kwe Sin Mei dengan bahasa Jawa yang cukup
mudah dimengerti.
"Sebentar. Aku ada perlu dengan Suropati,"
tolak Gisa Mintarsa.
"Yah! Segera kau sampaikan apa keper-
luanmu itu, Gisa," desak Pengemis Binal.
"Ketahuilah, Suro, Auwyang Nan Ie telah
mendapatkan Arca Budha. Di tepi Sungai Bayan-
gan, orang dari seberang itu terlibat bentrokan
dengan Sawung Jenar, dan berhasil melukainya
dengan Pedang Burung Hong. Sementara, Au-
wyang Nan Ie pun harus rela tubuhnya dimasuki
Ular Pemakan Jantung. Namun, aku menduga bi-
la ular itu tak mampu berbuat banyak karena
Auwyang Nan Ie membawa Arca Budha yang me-
miliki kekuatan gaib."
"Lalu?"
"Seseorang yang tubuhnya telah diselu-
bungi kekuatan gaib Arca Budha tak dapat dilu-
kai dengan senjata apa pun, bahkan dengan pu-
kulan tenaga dalam terdahsyat sekalipun."
"Kau tahu dari mana?"
"Aku bisa menyelidiki kekuatan yang ter-
simpan pada Arca Budha melalui kekuatan batin,
walau aku belum pernah melihat wujud arca itu
sebelumnya."
"Lantas, keperluanmu memanggilku ke
tempat ini untuk apa?"
"Orang yang membawa Arca Budha dan Pe-
dang Burung Hong secara bersamaan amat ber-
bahaya bila dia punya jiwa jahat. Tak akan ada
orang yang mampu mengalahkannya. Karena, se-
tiap kekuatan yang menyerang tubuh orang itu
akan berbalik menghantam penyerangnya sendi-
ri." "Sehebat itukah Arca Budha dan Pedang
Burung Hong?"desis Pengemis Binal, setengah tak percaya.
"Kau akan membuktikannya nanti," sahut Gisa" Mintarsa, sungguh-sungguh.
"Jadi, orang yang membawa Arca Budha
dan Pedang Burung Hong benar-benar akan men-
jadi raja rimba persilatan?" Kwe Sin Mei turut bicara. "Tidak. Kekuatan gaib
yang terpancar dari badan Arca Budha bisa dilumpuhkan dengan kekuatan gaib pula,
yang bersumber dari kekuatan
batin yang suci bersih," beri tahu Gisa Mintarsa.
Guru Banjaranpati itu menatap wajah Pen-
gemis Binal lekat-lekat. "Hanya kau yang bisa melumpuhkan kekuatan gaib Arca
Budha, Suro," katanya, seperti memohon.
"Aku?" Suropati menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ya. Karena, kau memiliki ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma' yang telah diwejangkan oleh
muridku Banjaranpati atau Bayangan Putih dari
Selatan." "Jadi, untuk memberi tahu hal inikah kau
memanggilku kemari?"
Gisa Mintarsa mengangguk. "Namun, kau
mesti tahu juga, Suro, ilmu 'Kalbu Suci Penghem-
pas Sukma' akan mencelakakan dirimu sendiri bi-
la kau salah menggunakannya!"
"Maksudmu?"
"Ketika kekuatan semesta telah berhasil
kau himpun, batinmu harus tetap suci-bersih.
Dengan kata lain, tak boleh ada nafsu membunuh
atau sejenisnya di batinmu."
Suropati garuk-garuk kepala. "Kalau aku
tak mempunyai nafsu membunuh, bagaimana
aku bisa melumpuhkan kekuatan orang yang
membawa Pedang Burung Hong dan Arca Bud-
ha?" tanyanya ketolol-tololan.
"Pasrahkan semuanya kepada Tuhan."
Mendengar penjelasan pendek Gisa Mintar-
sa, Pengemis Binal mengerutkan kening. Diga-
ruknya lagi kepalanya yang tak gatal.
"Aku tahu bila jiwa kependekaranmu ter-
panggil untuk membantu Kwe Kok Jiang mencari
Arca Budha. Aku membuka rahasia kekuatan
gaib Arca Budha sebab aku tak ingin melihat kau
celaka. Aku tahu benar sifat dan tabiatmu. Bila tak kukatakan rahasia ini, bukan
mustahil kau akan berbuat seenak perutmu sendiri ketika ber-
hadapan dengan orang yang mendapatkan kekua-
tan gaib dari Arca Budha," ujar Raja Syair
"Ya, ya...! Terima kasih, Gisa," sahut Pengemis Binal.


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu kira-kira ke mana ayahku pergi,
Gisa?" tanya Kwe Sin Mei tiba-tiba.
"Oh, ya! Bodoh sekali aku ini!" Gisa Mintarsa menggaplok, kepalanya sendiri.
"Bila Kwe Kok Jiang dan Ingkanputri menjumpai orang yang
membawa Pedang Burung Hong dan Arca Budha,
mereka pasti berusaha merebutnya. Itu berarti
malapetaka!"
Melihat Pengemis Binal cengar-cengir sam-
bil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Raja
Syair mendengus gusar. Sambil memukul ping-
gang remaja konyol itu, dia membentak.
"Tunggu apa lagi"! Segera kita susul Kwe
Kok Jiang dan Ingkanputri!"
"Ke mana?"
Mendengar pertanyaan tolol Pengemis Bi-
nal, Raja Syair mendelik.
"Ke mana?" dengus bocah titisan itu. "Kau bertanya karena tak tahu atau
gendengmu tiba-tiba kumat?"
Suropati hanya garuk-garuk kepala. Se-
mentara. Kwe Sin Mei menatapnya dengan mata
mendelik pula. Karena tak sabaran, Gisa Mintarsa me-
nyambar lengan Pemimpin Perkumpulan Penge-
mis Tingkat Sakti itu. Dibawanya berlari menuju
bukit cemara. Kwe Sin Mei segera menyusul.
*** 8 Hantu Merah terkejut. Sesosok bayangan
tiba-tiba bersalto di atas kepalanya, lalu mendarat empat tombak dari
hadapannya. Kelebatan
tubuh kakek berwajah merah-matang itu terhenti
seketika. "Serahkan Arca Budha di tanganmu!" perintah si penghadang, Pendekar Sesat Kwe
Kok Jiang. Hantu Merah menggeram. Dengan sorot
mata tajam-menusuk, dia tatap wajah Kwe Kok
Jiang. "Hmm... Di dataran Tionggoan, namamu tak pernah disebut-sebut orang lagi.
Kiranya, kau berada di sini," ujar Hantu Merah dengan bahasa Cina. "Mencegat
langkahku saja, kau sudah pantas dihukum mati. Apalagi berkata kasar, memin-
ta sesuatu dariku!"
"Kau tidak berhak memiliki Arca Budha.
Serahkan kepadaku untuk kubawa kepada yang
berhak!" "Siapa?" tanya Hantu Merah, mengulum
senyum ejekan. "Sang Kaisar. "
"Ha ha ha...!" Hantu Merah tertawa bergelak. "Bila Arca Budha kuserahkan
kepadamu, monyet pun akan menertawakanku. Siapa yang
mau percaya bualanmu"! Ha ha ha...!"
Mendengar tawa Hantu Merah yang berna-
da meremehkan, Kwe Kok Jiang mendengus gu-
sar. Tongkat Kumala Batu Hitam di tangan ka-
nannya dia acungkan ke depan.
"Kau lihat apa yang kubawa ini!" sentak lelaki berkuncir itu. "Jangan menyesal
bila senjata andalanmu ini akan memakan kepala tuannya
sendiri!" Tawa Hantu Merah kontan terhenti. Ma-
tanya terbelalak lebar melihat Tongkat Kumala
Batu Hitam yang lupa dibawanya lagi sehabis ber-
tempur dengan Auwyang Nan Ie. Namun tiba-tiba,
kakek berpakaian eompang-camping itu menjerit
panjang mirip lolongan serigala. Lalu....
Sing...! Hantu Merah menghunus Pedang Burung
Hong yang terselip di punggungnya. Namun sebe-
lum Hantu Merah menggunakan pedang pusaka
itu, Kwe Kok Jiang telah mengirim kemplangan
tongkat ke kepala!
Trang...! Bunga api memercik. Kemplangan Tongkat
Kumala Batu Hitam berhasil ditangkis Pedang
Burung Hong. Kwe Kok Jiang memekik kecil se-
raya membuang tubuh ke kanan. Telapak tangan
kanannya terasa panas seperti terjilat lidah api.
"Ha ha ha...!" Hantu Merah tertawa sombong. "Wajahmu pucat, Kok Jiang. Aku tahu
tangan kirimu yang terbalut itu tidak dapat kau ge-
rakkan lagi. Tongkat Kumala Batu Hitam tak da-
pat menandingi ketajaman Pedang Burung Hong.
Tidakkah kau sadar. Bila kau sedang berhadapan
dengan Giam Lo Ong"!"
Kwe Kok Jiang terkesiap melihat Tongkat
Kumala Batu Hitam yang rusak di beberapa ba-
gian. Kiranya, kerusakan di batang tongkat mus-
tika itu akibat berbenturan dengan Pedang Bu-
rung Hong ketika masih digunakan Hantu Merah
untuk melawan Auwyang Nan Ie.
Tapi sebagai seorang pendekar, Kwe Kok
Jiang pantang menyerah pada gebrakan pertama.
Cepat, dia kendalikan perasaannya. Lalu sambil
menggembor keras, dia menerjang. Ujung Tongkat
Kumala Batu Hitam digunakannya untuk menu-
suk ulu hati, Hantu Merah.
Trang...! Trang...! Terjadi benturan beberapa kali. Bunga api
berpercikan ke berbagai penjuru, Kwe Kok Jiang
yang biasa bertempur dengan senjata pedang, tak
mampu berbuat banyak mendesak Hantu Merah.
Apalagi, Tongkat Kumala Batu Hitam di tangan-
nya semakin banyak kerusakannya. Hingga, tak
sampai sepuluh jurus kemudian...
Tas...! "Aih...!"
Tongkat Kumala Batu Hitam terbabat pu-
tus setengah bagian. Dan, pucat pasilah wajah
Kwe Kok Jiang. Sementara, Hantu Merah terus
mencecarnya dengan serangan-serangan memati-
kan! Lewat lima belas jurus kemudian, tubuh
Kwe Kok Jiang benar-benar terkurung oleh ca-
haya biru yang timbul dari babatan Pedang Bu-
rung Hong. "Mati aku...!" pekik Hantu Merah.
Pedang Pusaka di tangan kakek berwajah
merah-matang itu berkelebat cepat untuk me-
menggal leher Kwe Kok Jiang!
"Ih...!"
Kwe Kok Jiang masih sempat merunduk-
kan tubuhnya. Namun ketika bilah Pedang Bu-
rung Hong lewat di atas kepalanya, tiba-tiba Han-tu Merah menggunakan Arca Budha
di tangan ki- rinya untuk menghantam dada lelaki berkuncir
itu! Desss...! "Uh...!"
Bagai dilemparkan tangan raksasa, tubuh
Kwe Kok Jiang mencelat jauh, lalu bergulingan di tanah. Potongan Tongkat Kumala
Batu Hitam di tangannya lepas dari cekalan, dan terlontar entah ke mana.
"Mati kau...!" pekik Hantu Merah sekali la-gi.
Laksana, kilat, tubuh kakek berpakaian
compang-camping berkelebat memburu tubuh
Kwe Kok Jiang yang masih bergulingan di tanah.
Bilah Pedang Burung Hong memancarkan cahaya
biru berkeredepan, siap mencincang!
"Tak tahu malu!"
Tiba-tiba, terdengar teriakan keras yang
dibarengi kelebatan sesosok bayangan-merah.
Karena terkejut, luncuran tubuh Hantu
Merah terhambat. Pada saat kakek berambut
awut-awutan itu menoleh, sebuah pukulan telah
menggedor punggungnya!
Dukkk...! "Argh...!"
Mulut Hantu Merah memekik. Tubuhnya
jatuh berdebam ke tanah dalam keadaan terte-
lungkup. Untung dia masih sempat menarik tan-
gan kanannya ke samping, hingga ketajaman Pe-
dang Burung Hong tak sampai menikam dadanya
sendiri. "Kenapa kau tak memberi isyarat, Pak
Tua"!" bentak Ingkanputri yang berhasil menyelamatkan nyawa Kwe Kok Jiang.
Walau gadis cantik itu mengeluarkan kata-
kata keras, tapi matanya memancarkan sinar be-
las-kasihan. Dengan menyimpan rasa khawatir,
dia membantu Kwe Kok Jiang untuk dapat duduk
bersila. Dilihat dari wajahnya yang pucat dan cairan darah yang merembes dari
sudut bibirnya, je-
las bila lelaki berkuncir itu menderita luka dalam.
"Aku tak memberi isyarat karena tak ingin
merepotkanmu, Putri.,.," tutur Kwe Kok Jiang dengan dengus napas memburu.
"Sudah kubilang beberapa kali. Aku berse-
dia membantumu untuk mendapatkan Arca-
Budha. Kenapa kau keras kepala, Pak Tua" Apa-
kah kau malu menerima uluran tanganku?"
Kwe Kok Jiang menyungging senyum ke-
cut. Lalu, dia terbatuk-batuk sampai badannya,
membungkuk. Dalam hati, lelaki berkuncir mem-
benarkan ucapan Ingkanputri. Sebagai pendekar
besar yang cukup ternama di daratan Tionggoan,
dia memang merasa malu menerima bantuan seo-
rang tokoh muda macam Ingkanputri. Tapi sete-
lah Pedang Burung Hong nyaris merenggut nya-
wanya, masih mampukah dia menolak bantuan
murid Dewi Tangan Api itu"
"Bersemadilah, Pak Tua. Atasi luka da-
lammu sendiri," ujar Dewi Baju Merah ketika melihat Hantu Merah meloncat ke
hadapannya den-
gan Pedang Burung Hong menyilang di dada.
"Bedebah! Siapa kau"!" bentak Hantu Merah dengan bahasa dari seberang. Ujung
Pedang Burung Hong ditudingkan ke muka Ingkanputri.
Kening Dewi Baju Merah berkerut. Tentu
saja dia tak mengerti apa arti ucapan Hantu Me-
rah. Tapi ketika melihat Arca Budha di tangan kiri Hantu Merah, gadis berambut
panjang digelung
itu mendengus. Srat..! Ingkanputri melepas selendang sutera yang
membelit pinggangnya. Selendang sutera itu ma-
sih baru. Miliknya yang lama telah rusak waktu
bertempur dengan Mahicha Kapoor dan Tan Peng
Sin di Pulau Belut.
"Serahkan arca itu, Kakek Muka Tomat!"
Sambil berkata demikian, Dewi Baju Merah
menggerakkan selendangnya. Ujung selendang
yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi itu mengarah batok kepala Hantu Merah!
Wut...! "Haya...!"
Dewi Baju Merah memekik kaget. Senjata
andalannya terbabat putus oleh ketajaman Pe-
dang Burung Hong. Sementara sambil tertawa
bergelak, Hantu Merah berkelebat hendak mem-
belah kepala Dewi Baju Merah!
Melihat kecepatan gerak lelaki tua itu,
agaknya pukulan Ingkanputri yang mendarat te-
pat di punggungnya tak berpengaruh apa-apa.
Namun, Ingkanputri adalah pendekar be-
rilmu tinggi. Babatan Pedang Burung Hong dapat
dia hindarkan dengan mudah. Tahu kehebatan
pedang pusaka di tangan lawan, segera gadis itu
menyalurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya
ke kedua pergelangan tangannya.
Sekejap mata kemudian, dengan pergelan-
gan tangan merah membara, Ingkanputri berusa-
ha menyarangkan pukulan ke tubuh Hantu Me-
rah. Luar biasa sekali kecepatan gerak dua
anak manusia yang berbeda golongan itu. Tubuh
mereka laksana dapat menghilang. Wujud Hantu
Merah digantikan oleh sinar biru yang memancar
dari bilah Pedang Burung Hong. Sementara, wu-
jud Ingkanputri pun berganti sinar merah. Udara
di sekitar ajang pertempuran itu terasa amat pa-
nas karena Ingkanputri mengeluarkan ilmu
'Pukulan Api Neraka' pada tingkatan tertinggi.
Sampai lima puluh jurus kemudian, kedu-
dukan Ingkanputri dan Hantu Merah masih
seimbang. Tapi karena termakan usia, napas
Hantu Merah mulai ngos-ngosan. Dan itu berarti
angin segar bagi Ingkanputri untuk segera dapat
menjatuhkan Hantu Merah.
"Jahanam!" maki Hantu Merah.
Tiba-tiba, tubuh pelarian dari daratan
Tionggoan itu melenting tinggi dan keluar dari
ajang pertempuran. Ingkanputri hendak menge-
jar, tapi gadis itu segera mengurungkan niatnya.
Dia dihantam keterkejutan karena sekujur tubuh
Hantu Merah mendadak diselubungi oleh cahaya
kuning-keemasan.
"Ha ha ha...!" Hantu Merah tertawa bergelak. Pedang Burung Hong dan Arca Budha
mele- kat di depan dadanya. "Hayo, tunggu apa lagi"!
Segera gempur aku! Ha ha ha...!"
Melihat kecongkakan lelaki tua itu, In-
gkanputri menggeram keras. Tanpa pikir panjang
dia menerjang, Kepalan tangan kanannya berke-
lebat untuk menggedor dada Hantu Merah!
Blarrr...! "Argh...!"
Timbul ledakan keras tatkala kepalan tan-
gan Ingkanputri membentur cahaya kuning-


Pengemis Binal 23 Hantu Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keemasan yang menyelubungi tubuh Hantu Me-
rah. Diiringi pekik kesakitan, tubuh Ingkanputri terpental sejauh lima tombak!
Sementara, Hantu
Merah tetap berdiri tegak di tempatnya, tak ku-
rang suatu apa!
"Setan alas!" umpat Dewi Baju Merah.
Susah-payah gadis cantik itu bangkit. Di-
usapnya darah segar yang mengalir dari sudut bi-
birnya. Melihat Hantu Merah tertawa panjang pe-
nuh penghinaan, mendidihlah darah Ingkanputri.
Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam
sampai ke puncak. Dia lancarkan pukulan jarak
jauh! Blarrrr...!
Dua larik sinar merah menggidikkan yang
memancarkan hawa panas menghantam cahaya
kuning-keemasan yang menyelubungi tubuh Han-
tu Merah. Timbul ledakan dahsyat yang mengge-
legar di angkasa!
Dewi Baju Merah terkejut setengah mati.
Dua larik sinar merah wujud ilmu 'Pukulan Api
Neraka'-nya terlontar balik. Naasnya, luncuran
dua larik sinar itu menuju ke Kwe Kok Jiang yang tengah bersemadi!
"Celaka...!"
Mata Ingkanputri terbelalak lebar. Dia
hendak meloncat untuk memberi pertolongan,
namun tubuhnya tiba-tiba terasa lemas lalu jatuh terduduk di tanah. Luka
dalamnya tak memungkinkan gadis itu menyelamatkan jiwa Kwe Kok
Jiang! Namun sebelum sesuatu yang tak diingin-
kan terjadi, mendadak berkelebat sesosok bayan-
gan, menyambar tubuh Kwe Kok Jiang!
Bummm...! Dua larik sinar merah menghantam dua
pohon cemara secara bersamaan. Kedua pohon
itu kontan tumbang, lalu hangus terbakar!
"Suro...!" pekik Ingkanputri yang melihat seorang remaja berpakaian penuh
tambalan tengah menurunkan tubuh Kwe Kok Jiang ke tanah.
Remaja tampan yang memang Suropati
alias Pengemis Binal melempar pandangan ke
arah Ingkanputri. "Kau menyingkirlah, Putri!" te-riaknya.
Sementara Dewi Baju Merah berjalan terta-
tih-tatih menjauhi Hantu Merah, Kwe Sin Mei
yang datang bersama Suropati tampak memeluk
tubuh Kwe Kok Jiang sambil menangis tersedu-
sedu. "Ingat pesanku, Suro!" teriak Raja Syair yang turut hadir di tempat itu.
"Jangan khawatir, Gisa! Aku tahu kakek je-
lek ini telah menggunakan kekuatan gaib Arca
Budha," sahut Pengemis Binal.
"Ha ha ha...!" Hantu Merah tertawa bergelak. "Susah-payah aku mencarimu, kiranya
kau muncul sendiri di tempat ini, Anak Muda," katanya dengan bahasa Jawa patah-
patah. "Ya. Aku datang untuk meminta Arca Bud-
ha dan Pedang Burung Hong yang kau bawa itu,
Kakek Jelek!" ejek Pengemis Binal.
"Hmm.... Kalau kau mampu, segera kau la-
kukan itu!" tantang Hantu Merah.
Suropati menatap sejenak tubuh Hantu
Merah yang masih diselubungi cahaya kuning-
keemasan. Lalu, dia pejamkan matanya dengan tan-
gan bersedekap. Beberapa tarikan napas kemu-
dian, tubuh remaja tampan itu memancarkan ca-
haya kebiru-biruan. Suropati telah menghimpun
kekuatan semesta yang menjadi sumber kekuatan
ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'!
Namun hingga beberapa lama, Pengemis
Binal tetap berdiri di tempatnya tanpa berbuat
apa-apa. Tentu saja hal itu membuat heran Han-
tu Merah yang sengaja menunggu serangan.
"Bocah gemblung! Segeralah kau tunjuk-
kan kehebatanmu!" geram kakek berwajah me-
rah-matang itu.
Hantu Merah menyambung ucapannya
dengan umpatan panjang-pendek karena Penge-
mis Binal telah tak berbuat apa-apa.
Tiba-tiba, lelaki tua itu menjerit panjang
mirip lolongan serigala. Pedang Burung Hong dan
Arca Budha yang masih saling melekat dia
ikatkan ke pinggangnya dengan menggunakan
sobekan kain bajunya. Lalu dengan kecepatan ki-
lat, dia berkelebat dengan jari-jari tangan mem-
bentuk cakar harimau. Hantu Merah hendak
menggunakan tipu silat 'Memecah Otot Membagi
Tulang' untuk mencabut nyawa Pengemis Binal!
Melihat Suropati masih tetap berdiri di
tempatnya dengan mata terpejam rapat, Ingkan-
putri dan Kwe Sin Mei menjerit khawatir. Kwe Kok Jiang tampak membuang muka
karena tak sampai hati melihat adegan mengerikan yang akan
segera terjadi. Hanya Gisa Mintarsa yang terlihat tenang-tenang saja. Bocah
titisan itu tahu bila serangan Hantu Merah akan mengalami kegagalan
karena tubuh Pengemis Binal terlindungi oleh il-
mu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'.
Slaps...! "Heh..."!"
Hantu Merah terkejut. Sepuluh jari tan-
gannya yang sudah dialiri tenaga dalam penuh
tertahan di udara, tak mampu menembus cahaya
kebiru-biruan yang memancar dari tubuh Penge-
mis Binal. Sesungguhnya apabila kekuatan gaib Arca
Budha tidak melindungi Hantu Merah, tubuh le-
laki tua ini pasti hancur berantakan ketika ujung
jarinya membentur inti kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'.
Namun, keberuntungan Hantu Merah tidak
berlangsung lama. Sebelum dia menyadari kea-
daan, tiba-tiba dua telunjuk jari Suropati berkelebat, melancarkan ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa'! Tuk! Tuk! Tuk! Blarrr...! Mendadak, dari delapan belas jalan darah
di tubuh Hantu Merah memancar darah segar.
Sejenak, lelaki tua itu menatap wajah Pengemis
Binal dengan mata mendelik. Dia hendak menge-
luarkan kata-kata umpatan, tapi tubuhnya kebu-
ru meledak hancur menjadi abu!
"Arca Budha! Pedang Burung Hong!" teriak Pengemis Binal seraya meloncat, dan
menyambar dua benda bertuah yang terpental ke udara.
Melihat Pengemis Binal mendarat di tanah
tak kurang suatu apa, Kwe Sin Mei melompat
meninggalkan ayahnya. Lalu, memeluk erat tu-
buh Pengemis Binal seraya menghadiahkan ci-
uman di pipi remaja tampan itu.
Suropati tertawa terkekeh-kekeh. Dibalas-
nya pelukan Kwe Sin Mei. Ingkanputri kontan
menutup mata karena tak tahan melihat Suropati
melumat bibir Kwe Sin Mei.
SELESAI Segera menyusul episode:
PENYESALAN RATU SILUMAN
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Iblis Penebus Dosa 1 Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Golok Sakti 11
^