Rahasia Arca Budha 2
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha Bagian 2
dirimu. Bila terjadi apa-apa, aku pasti menolong-
mu." Akhirnya, Karundeng menyanggupi keinginan Ingkanputri. Maka saat itu juga,
mereka berangkat
Perahu Karundeng pun meluncur, mengikuti arus
Sungai Balirang yang cukup lebar. Walau sudah tua,
namun perahu Karundeng masih terlihat kokoh-
kuat. Hingga, tak ada kekhawatitan di hati Ingkan-
putri bila badan perahu akan pecah karena mem-
bentur batu besar yang kemungkinan menyembul di
permukaan air sungai. Atap perahu pun tampak ba-
ru diganti beberapa hari yang lalu. Bila turun hujan deras, tak akan atap itu
menjadi bocor. Di sepanjang perjalanan, gembira sekali hati
Ingkanputri. Panorama di kanan-kiri sungai tampak
indah, menyejukkan pandangan mata. Apalagi, Ka-
rundeng adalah orang yang pandai bicara. Seakan
tidak punya lelah lelaki tua itu bercerita tentang
dongeng yang ada hubungannya dengan Sungai Ba-
lirang. Ketika mentari hampir memayung di atas ke-
pala, perahu Karundeng membelok memasuki hu-
tan. Samar-samar terlihat sepiring tanah muncul di
kejauhan. Di tengah-tengahnya terdapat gundukan
tanah tinggi, membentuk gunung kecil.
"Hati-hati, Nona. Itulah tanah lebih yang dis-
ebut Pulau Belut. Hah"! Apa itu?"
Terkejut luar biasa Karundeng. Dari sisi ka-
nan perahu, melesat sesosok bayangan hitam. Gera-
kannya amat cepat hingga dalam sekejap mata,
bayangan itu telah lenyap, masuk ke hutan di kiri
aliran sungai. "Celaka! Siluman datang!" seru Karundeng
terbawa rasa takut. Kontan tubuh lelaki tua itu
menggigil bagai terserang demam.
Sementara wajah Karundeng berubah pucat
seperti mayat, Dewi Baju Merah yang bermata jeli
tampak tenang-tenang saja. Gadis cantik itu tahu
bila bayangan yang dilihatnya adalah bayangan ma-
nusia biasa yang sedang meloncat dengan menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh.
Segera Ingkanputri melangkah ke buritan. Dia
celupkan kedua telapak tangannya ke dalam air.
Dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, In-
gkanputri membuat badan perahu meluncur cepat.
Sementara, Karundeng terlihat makin ketakutan sa-
ja. Tanpa sadar, dayungnya terjatuh ke geladak.
"Bagaimana ini" Bagaimana ini?" tanya Ka-
rundeng berulang kali.
"Tenanglah, Kek. Yang kau lihat tadi bukan
siluman. Dia manusia biasa yang kebetulan memiliki
kemampuan lebih. Aku saja, yang hanya seorang pe-
rempuan bisa bersikap tenang, kenapa kau malah
begitu ketakutan" Apa kau tidak malu?"
Mendengar ejekan Ingkanputri, timbul kem-
bali keberanian Karundeng. Dengan wajah masih
pucat, dia lalu mendayung lagi. Malah, dia kerahkan seluruh tenaganya. Hingga
sebentar saja, peluh telah membanjir di sekujur tubuhnya.
"Kau beristirahatlah, Kek. Tanpa kau bantu,
aku bisa membuat perahu ini meluncur cepat," ujar
Dewi Baju Merah yang merasa kasihan melihat Ka-
rundeng kelelahan.
"Tidak, Nona!" tolak Karundeng yang telah bangun semangatnya. "Walau batang
usiaku sudah lapuk, walau peluh sudah membanjiri sekujur tubuhku, tak sudi aku
meninggalkan kewajibanku!"
Melihat kekerasan kepala Karundeng, In-
gkanputri mengulum senyum. Dia biarkan saja lela-
ki tua itu mendayung, Badan perahu pun meluncur
cepat, memecah aliran Sungai Balirang.
Tiba-tiba, sekitar sepuluh tombak dari tempat
perahu yang ditumpangi Karundeng dan Ingkanpu-
tri, melesat sebuah bayangan besar berwarna hitam-
kecoklatan. Cepat sekali! Hingga dalam satu kejap
mata hampir menimpa badan perahu!
"Ampuuun...!" jerit Karundeng seraya menutup kelopak mata untuk menerima nasib.
Blarrr...! Bayangan hitam-kecoklatan yang bukan lain
dari bongkahan batu besar hancur berkeping-keping
terhantam pukulan jarak jauh Ingkanputri. Peca-
hannya berhamburan ke berbagai penjuru, namun
tak sekepingpun yang jatuh di geladak perahu.
Mendengar ledakan keras yang terasa sangat
dekat dengan telinganya, Karundeng memekik keras.
Namun karena lelaki tua itu tak merasakan apa-apa
di tubuhnya, dia jadi sadar, dan segera membuka
kembali kelopak matanya.
Karundeng menarik napas panjang beberapa
kali. Hatinya amat lega karena mengetahui keadaan
perahunya tidak kurang suatu apa. Ingat akan si
penyewa perahu yang minta diantarkan ke Pulau
Belut, Karundeng segera mengedarkan pandangan.
Tampak kemudian, Ingkanputri yang tengah
berdiri tegak di atas atap perahu. Karundeng jadi
heran dan tak habis pikir. Pasti gadis cantik itulah yang telah menghancurkan
batu besar yang hendak
menimpa badan perahu. Tapi, bagaimana caranya"
Apakah dia memang siluman yang dapat menghan-
curkan sebuah benda tanpa menyentuhnya"
"Nona.... Nona, tidak apa-apa?" tanya Karundeng, takut-takut
"Seperti yang kau lihat, Kek. Aku tidak ku-
rang suatu apa," jawab Dewi Baju Merah seraya meloncat ke buritan. Kedua telapak
tangannya segera
menebas ke dalam air. Dan, perahu pun meluncur
cepat "Sekarang kita menepi, Kek," ujar Ingkanputri setelah sampai di pinggir
pulau kecil yang dituju.
"Apa"!" Karundeng berseru kaget. "Bukankah Nona telah melihat sendiri siluman
itu" Tidakkah lebih baik kita kembali saja?"
Melihat Karundeng yang tampak sangat keta-
kutan, timbul rasa kasihan di hati Ingkanputri. Ce-
pat dia ambil dua keping uang perak, lalu sodorkan-
nya kepada lelaki tua itu.
"Seperti yang kujanjikan, terimalah uang ini.
Dan, kembalilah cepat..."
Dengan tangan masih gemetar, Karundeng
menerima pemberian Ingkanputri. "Terima kasih.
Terima kasih...," katanya.
Dewi Baju Merah pun segera menjejak lantai
perahu. Gerakannya ringan, namun tubuh murid
Dewi Tangan Api itu mampu melesat cepat laksana
burung walet menyambar mangsa. Bayangannya
pun segera lenyap ditelan rimbunan pohon yang ba-
nyak tumbuh di tepi Pulau Belut.
"Siluman...," desis Karundeng.
Lelaki tua itu menatap lekat dua keping uang
perak pemberian Ingkanputri. Dia khawatir. jangan-
jangan uang itu bisa berubah jadi batu. Setelah
mengucak-ngucak matanya dan tak melihat peruba-
han apa-apa, bergegas Karundeng memutar perahu.
Dikayuhnya dayung sekuat tenaga agar bisa cepat
kembali ke tempat kediamannya.
Karundeng pun tak mempedulikan rasa lelah
yang merejam tubuhnya. Dikayuhnya dayung makin
cepat. Begitu sampai di tempat kediamannya, lelaki
tua itu langsung jatuh pingsan karena kelelahan.
Penduduk setempat jadi gempar. Apalagi setelah si-
uman Karundeng menceritakan bahwa dia baru saja
mengantarkan siluman cantik berpakaian serba me-
rah ke Pulau Belut.
5 Hati-hati sekali Ingkanputri melangkah. Per-
mukaan tanah yang dilaluinya lembab dan becek,
serta banyak terdapat lubang-lubang, itu pasti liang belut, pikir Ingkanputri.
Walau sinar mentari sedang terik, tapi kea-
daan di sekitar Pulau Belut remang-remang. Pohon-
pohon besar tumbuh rapat, sehingga rimbunan
daunnya menghalangi sinar mentari. Amat cocok,
untuk dijadikan tempat persembunyian perampok
atau orang jahat lainnya yang hendak mengasingkan
diri. Suasananya memang terkesan angker menye-
ramkan. Kadang-kadang dari bagian dalam pulau
terdengar suara-suara aneh, yang apabila didengar
orang bernyali kecil pastilah lari terbirit-birit.
Setelah berjalan sekitar seratus langkah, In-
gkanputri tiba di satu tempat yang agak lapang. Me-
lihat keadaan Pulau Belut yang sunyi-senyap, sema-
kin besar niat Ingkanputri untuk terus menyelidiki.
Bahkan, kalau mungkin membasmi orang jahat
yang bersembunyi di pulau itu.
Semakin jauh kakinya melangkah, Ingkanpu-
tri semakin meningkatkan kewaspadaannya, Lonta-
ran batu besar yang hendak menimpa perahu men-
jadikan Ingkanputri yakin bila penghuni Pulau Belut bukanlah orang sembarangan.
Mungkinkah pelontar
batu itu adalah bayangan hitam yang sempat dili-
hatnya dari atas perahu"
Sewaktu Dewi Baju Merah berpikir-pikir,
mendadak berkelebat sesosok bayangan di balik pe-
pohonan. Bayangan itu pendek, mirip tubuh anak-
anak berumur dua belas tahun.
"Berhenti...!" hardik Ingkanputri.
Gadis cantik itu segera mengempos tubuh un-
tuk mengejar, tapi bayangan yang dilihatnya keburu
lenyap. Kelebatan bayangan itu tak kalah cepat bila dibanding dengan bayangan
hitam yang dilihat Ingkanputri bersama Karundeng ketika masih berada
di perahu. Mendadak, kira-kira empat tombak dari tem-
pat Ingkanputri berdiri, terlihat ratusan benda putih panjang berkilat-kilat
yang merayap hendak mengepung Ingkanputri.
Dewi Baju Merah terkejut setengah mati. Sat-
wa melata yang disangkanya belut itu ternyata ular!
Dilihat dari bentuk kepala dan warna tubuhnya, da-
pat dipastikan bahwa ratusan ular itu mempunyai
bisa yang amat mematikan.
Dalam keterkejutannya, Ingkanputri ingat
seorang pemuda yang tinggal di Sungai Bayangan,
bernama Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular. Di
tempat kediamannya, pemuda itu memelihara ber-
macam jenis ular yang dapat diperintah untuk me-
lakukan apa saja hanya dengan tiupan suling.
Mungkinkah ratusan ular putih yang tengah menge-
pung Ingkanputri itu adalah peliharaan Sawung Je-
nar" Dan, ada urusan apa pemuda itu datang ke Pu-
lau Belut" Untuk apa dia memerintahkan ular-
ularnya menyerang Ingkanputri"
Tak dapat Dewi Baju Merah berpikir panjang,
karena ratusan ular putih telah semakin dekat men-
gepungnya. Sebelum kakinya terbelit ataupun terpa-
tuk, cepat Dewi Baju Merah menjejak tanah. Hingga,
tubuhnya melesat ke atas!
"Hait...!"
Sekejap mata kemudian, Ingkanputri telah
bertengger di atas dahan pohon. Segera dia bersem-
bunyi di balik rimbunan daun. Hendak dia lihat,
apakah benar yang memerintahkan ular-ular putih
itu adalah Sawung Jenar.
Ingkanputri terkesiap ketika dari semak-
semak di sebelah kirinya keluar sesosok tubuh pen-
dek mengenakan rompi kuning dan bercelana cuma
sepanjang lutut. Wajahnya lucu, mirip anak-anak
berumur dua belas tahun. Di telinga kirinya, meng-
gantung sebuah anting besar terbuat dari perak.
"Gisa Mintarsa...," desis Ingkanputri yang dapat mengenali siapa sebenarnya
bocah berompi kun-
ing itu. Ingkanputri hendak berteriak memanggil. Ta-
pi karena tak mau penyelidikannya terganggu, dia
mengurungkan niatnya. Lagi pula, dia ingin tahu
apa yang akan diperbuat oleh Gisa Mintarsa yang
bergelar Raja Syair.
Gisa Mintarsa sebenarnya seorang tokoh tua
yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu. Ka-
rena memiliki dendam-kesumat terhadap Ratu Air,
guru Banjaranpati atau Bayangan Putih dan Selatan
itu lalu menitis pada tubuh seorang bocah. Oleh ka-
renanya, wujud Gisa Mintarsa berupa seorang bocah
berumur dua belas tahun. (Untuk lebih jelasnya, si-
lakan baca serial Pengemis Binal dalam episode :
'Prahara di Kuil Saloka").
Kening Dewi Baju Merah berkerut saat meli-
hat ulah aneh yang diperbuat Gisa Mintarsa. Bocah
titisan itu tampak berlari-lari mengitari ratusan ular putih yang tadi telah
mengepung Dewi Baju Merah.
Semakin lama, lari Gisa Mintarsa semakin cepat.
Anehnya ratusan ular putih yang dikitari terlihat
menengadahkan kepalanya tinggi-tinggi. Lalu, satwa
melata itu berkumpul dan bertumpuk-tumpuk men-
jadi satu. Tiba-tiba, Raja Syair menghentikan gerak tu-
buhnya. Terlihat oleh Ingkanputri, di punggung bo-
cah itu terlihat sebuah peti persegi terbuat dari besi.
Sejenak Raja Syair menatap tumpukan ular
putih di hadapannya. Lalu, dia menengadahkan ke-
pala seraya meludah!
"Cuhhh...!"
Segumpal air liur melesat ke udara. Bagai
mengandung bahan peledak, gumpalan air liur itu
lalu pecah berhamburan, untuk kemudian jatuh
menjadi titik-titik hujan yang menyiram tumpukan
ular putih! Hebatnya, titik-titik hujan berupa air liur itu
menimpa tepat di kepala ular-ular putih. Semua
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satwa melata itu lalu berkelojotan seraya memper-
dengarkan suara mendesis-desis keras. Hanya da-
lam beberapa kejap mata, mereka telah terbaring di
tanah tanpa nyawa!
Dewi Baju Merah berdecak kagum melihat
kehebatan Gisa Mintarsa. Semakin tertarik hatinya
untuk melihat apa yang akan diperbuat oleh bocah
titisan itu selanjutnya. Maka, dia atur tubuhnya
yang berada di atas dahan agar tak mudah terli-
hat..... "Pencuri keparat...!"
Terdengar sebuah makian yang melengking
tinggi. Disusul lima titik kecil yang melesat cepat memperdengarkan suara
mendengung keras. Senjata rahasia yang dilontarkan dari balik semak-
belukar itu mengancam lima jalan darah penting di
tubuh Gisa Mintarsa!
Mengetahui serangan gelap itu, Gisa Mintarsa
tampak tenang-tenang saja. Seperti tak ada kejadian apa-apa, dia lalu meludah
lagi! "Cuhhh...!"
Untuk kedua kalinya, segumpal air liur mele-
sat cepat. Gumpalan air liur itu pecah menjadi titik-titik hujan. Lima titik di
antaranya menghajar senja-ta rahasia yang mengancam jiwa Gisa Mintarsa. Se-
mentara, titik-titik lainnya melesat terus ke depan, menuju penyerang gelap yang
telah melontarkan li-ma senjata rahasia!
Prattt...! "Haya...!"
Dibarengi teriakan guntur, berkelebat sesosok
bayangan hitam dari semak belukar. Ingkanputri
yang berada di atas dahan pohon dapat memastikan
bila bayangan hitam itu adalah bayangan yang telah
dilihatnya bersama Karundeng waktu masih berada
di perahu. "Pencuri keparat! Walau wujudmu hanya seo-
rang bocah, tapi kau punya kepandaian juga. Cepat
kembalikan peti besi itu sebelum habis kesabaran-
ku!" hardik seorang lelaki tinggi-gemuk mengenakan pakaian hitam-kotor
gedombrongan. Tinggi lelaki itu melebihi tinggi tubuh rata-
rata orang Jawa. Kepalanya diikat dengan surban
dekil berwarna hitam pula. Wajahnya dipenuhi bulu
lebat. Agaknya, dia memang bukan orang Jawa. Ter-
lihat dari wujud dan ucapannya yang patah-patah.
Mendengar hardikan lelaki tinggi-gemuk itu,
bibir Gisa Mintarsa malah menyungging senyum.
"Bukankah kau ahli yoga dari India yang bernama Mahicha Kapoor?" tebaknya.
Terkesiap si lelaki tinggi-gemuk. Dia tak me-
nyangka bila dirinya dapat dikenali oleh Gisa Min-
tarsa. "Tak salah apa yang kau katakan. Aku memang Mahicha Kapoor. Katakan siapa
dirimu, dan bagaimana kau bisa mengenaliku!"
"Setelah aku menuruti permintaanmu, apa-
kah kau akan membiarkan aku pergi membawa peti
besi ini?" Gisa Mintarsa menunjuk peti persegi yang terikat di punggungnya.
"Keparat! Peti itu milikku! Tak akan kubiar-
kan orang lain membawanya pergi dari Pulau Belut!"
"Kalau begitu, seumur hidup kau tak akan
tahu siapa aku dan bagaimana aku bisa mengenali-
mu...." "Bedebah!" umpat Mahicha Kapoor seraya meloloskan pedang yang terselip
di punggungnya. "Jangan buat aku penasaran kalau tak ingin tubuhmu
kucincang!"
Walau dirinya diancam dengan tudingan pe-
dang tajam berkilat, sikap Gisa Mintarsa tenang-
tenang saja. Sejenak ditatapnya wajah Mahicha Ka-
poor yang kaku-membesi. Lalu, dia tengadahkan wa-
jahnya seraya mengucap kata-kata....
Banyak orang bodoh yang tak menyadari ke-
bodohannya Sering kali orang bodoh berlaku bodoh
Namun dia tak sadar bila telah berlaku bodoh
Gampang naik darah adalah contoh perilaku
bodoh. Orang yang mengumbar hawa amarah, bu-
kankah telah menunjukkan bahwa dirinya bodoh"
Kenapa dikatakan bodoh" Karena dia tak da-
pat mengendalikan nafsunya, maka dari itu dikatakan bodoh!
Mendengar ejekan Gisa Mintarsa yang berupa
sebait syair, Mahicha Kapoor menggeram keras.
Amarahnya tidak lenyap, tapi malah meledak-ledak.
"Hmmm.... Aku benar-benar akan mencin-
cang tubuhmu! Tapi sebelum nyawamu melayang ke
neraka, ada baiknya kau katakan siapa dirimu dan
bagaimana kau dapat mengenaliku, bahkan mencuri
peti besi milikku!"
"Ha ha ha...!" Raja Syair tertawa bergelak.
"Lucu.... Lucu sekali kau ini, Kapoor. Sudah ku-sindir-sindir sedemikian rupa,
agaknya kau tidak
menyadari juga kebodohanmu. Kenapa kau biarkan
darahmu mendidih terus" Tidakkah kau ingin ber-
cakap-cakap dengan kepala dingin dan pikiran jer-
nih?" "Jangan buat aku penasaran, Bocah Edan!"
"Hmmm... Yah, baiklah. Agar kau tak semakin
naik pitam, agar tak semakin terlihat kebodohanmu,
kukatakan saja siapa diriku sebenarnya. Aku ber-
nama Gisa Mintarsa. Puluhan tahun yang lalu, se-
masa aku masih hidup dengan raga tua, kaum per-
silatan biasa menyebutku sebagai Raja Syair...."
"Apa maksud ucapanmu itu"!" sela Mahicha
Kapoor, mencoba menahan kemarahan walau na-
pasnya sudah terasa sesak.
"Rupanya, kau memang tak lebih pandai dari
seekor kerbau, Kapoor. Tapi, tahanlah diri dulu! Aku bisa mengerti apa yang kau
tak mengerti. Ketahuilah, puluhan tahun yang lalu aku telah mati. Karena kuasa
Tuhan, rohku menitis ke tubuh seorang bocah, yang sekarang berada di hadapanmu
ini." Mahicha Kapoor terdiam. Keningnya berkerut
memikirkan keajaiban yang terjadi atas diri Gisa
Mintarsa. "Raja Syair.... Raja Syair...," desis ahli yoga dari India itu. "Mendengar
untaian kata-katamu ba-rusan, kau memang pantas diberi gelar Raja Syair,
Gisa. Sekarang, katakan bagaimana kau bisa men-
genal aku, sedang aku sama sekali tak mengenali-
mu!" "Kau tentu pernah mendengar nama Auwyang
Nan Ie...."
"Auwyang Nan Ie?" kejut Mahicha Kapoor.
"Kau juga mengenai jagoan dari daratan Tionggoan itu?" "Ya. Dialah yang telah
menceritakan perihal dirimu."
Mengelam paras Mahicha Kapoor seketika.
"Kalau begitu, si keparat seh Auwyang itukah yang telah menyuruhmu mencuri peti
besi milikku itu?"
Kepala Gisa Mintarsa menggeleng, hingga ant-
ing besar di telinga kirinya bergoyang-goyang. "Tidak. Auwyang Nan Ie tidak
menyuruhku! Dia tidak
tahu bila kau berada di Pulau Belut dan membawa
Arca Budha...."
Mendengar kata-kata Raja Syair, Ingkanputri
yang masih bersembunyi di dahan pohon makin ter-
tarik untuk terus mengikuti arah pembicaraan bo-
cah titisan itu. Dia tak tahu siapa Mahicha Kapoor
dan Auwyang Nan Ie, serta arca apa yang telah dis-
ebutkan oleh Raja Syair. Justru karena ketidakta-
huannya itulah, Ingkanputri jadi penasaran.
"Secara kebetulan aku bertemu dengan Au-
wyang Nan Ie. Karena gerak-gerik orang itu sangat
mencurigakan, aku memaksanya bercerita melalui
alam mimpi," lanjut Gisa Mintarsa.
"Benarkah kau memiliki kepandaian sedemi-
kian hebat?" tanya Mahicha Kapoor, tak percaya.
"Bukan maksudku untuk menyombongkan
diri. Tapi sesungguhnya, itulah yang terjadi. Ketika aku menembus alam mimpi
Auwyang Nan Ie, orang
itu bercerita bahwa dia memiliki sebatang pedang
pusaka bernama Pedang Burung Hong. Pedang itu
akan memiliki manfaat yang luar biasa bila telah di-
gabungkan dengan Arca Budha. Oleh karena aku
melihat nafsu buruk pada diri Auwyang Nan Ie, aku
berusaha mendahuluinya mencari Arca Budha. Ki-
ranya, Arca Budha berada di tanganmu. Karena aku
tahu kau juga memiliki nafsu buruk, mengejar Au-
wyang Nan Ie ke tanah Jawa untuk merebut Pedang
Burung Hong, terpaksa aku mencuri peti besimu
yang dapat kupastikan berisi Arca Budha."
"Keparat! Kau memang pintar, Gisa. Tapi jan-
gan kira aku tak dapat menebas batang lehermu bila
kau tak menyerahkan peti besi itu!"
"Datang ke Pulau Belut, aku sudah memper-
hitungkan segala sesuatunya. Kau sengaja menye-
bar desas-desus bahwa di Pulau Belut dihuni silu-
man. Maksudmu tentu untuk memancing Auwyang
Nan Ie datang. Kiranya, aku yang datang. Bahkan,
berhasil mencuri barang yang sebenarnya juga bu-
kan milikmu. Ha ha ha...!"
Sewaktu Raja Syair tertawa bergelak, Mahicha
Kapoor menggembor keras. Tubuhnya berkelebat
dengan ujung pedang menusuk lurus, mengarah ke
pangkal tenggorokan bocah titisan itu!
Wuttt...! "Cuhhh...!"
Tawa Raja Syair terhenti mendadak. Sambil
merunduk, dia keluarkan segumpal air liur dari mu-
lutnya. Gumpalan air liur lalu pecah di udara, men-
jadi titik-titik hujan yang hendak menghajar tubuh
Mahicha Kapoor!
"Uts...!"
Karena telah menyaksikan kehebatan air liur
Raja Syair, bergegas Mahicha Kapoor menarik pe-
dangnya seraya diputar cepat hingga membentuk
baling-baling perisai!
Prattt...! Titik-titik hujan air liur buyar tersapu puta-
ran pedang Mahicha Kapoor.
"Mati kau!" geram Mahicha Kapoor seraya
mengirim babatan ke leher Raja Syair.
Ketika kurang sejengkal pedang Mahicha Ka-
poor mengenai sasaran, Raja Syair menjatuhkan tu-
buh, lalu meludah ke atas. Mahicha Kapoor yang
sudah menduga akan datangnya serangan, memutar
pedangnya lagi. Setelah titik-titik hujan air liur ter-halau, lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun itu
menjejak tanah.
Sewaktu tubuhnya melayang di udara, Mahi-
cha Kapoor membuang pedangnya. Setelah bersalto
tiga kali, tubuh lelaki tinggi-gemuk itu melayang turun perlahan-lahan, seringan
kapas! Lebih hebat la-
gi, Mahicha Kapoor tidak mendarat dengan telapak
kaki, melainkan dengan kepala, dan sedikit pun ti-
dak memperdengarkan suara!
Di tempat persembunyiannya, Ingkanputri tak
dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Mata gadis
cantik itu terbelalak, seperti melihat suatu keajaiban. Sementara, Gisa Mintarsa
yang lebih matang
pengalaman, tetap berdiri tenang di tempatnya. Dia
melihat sikap aneh Mahicha Kapoor sambil terse-
nyum-senyum. Mahicha Kapoor yang berdiri dengan kepala di
bawah tampak memejamkan matanya. Perlahan-
lahan kedua kakinya menekuk, lalu mengambil si-
kap bersila dengan kepala tetap berada di bawah.
Beberapa saat kemudian, tubuh Mahicha Ka-
poor melayang, lalu membalik dengan perlahan-
lahan. Ketika ahli yoga dari India itu telah duduk
bersila di tanah sebagaimana mestinya, terkejutlah
Raja Syair. "Argh...!"
Gisa Mintarsa mengeluh kesakitan. Sekujur
tubuhnya terasa bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Semakin terkejut bocah titisan itu setelah mengeta-
hui kedua tangan dan kakinya tak dapat digerakkan
sama sekali! Rupanya, Mahicha Kapoor telah mengi-
rim gelombang serangan yang tak dapat dilihat den-
gan mata. Cepat Raja Syair mengatur hawa murni yang
berputar-putar tak karuan. Namun, keluh kesakitan
justru keluar dari mulutnya. Hawa murninya malah
bergolak. Itu berarti dia tak mungkin dapat menge-
rahkan tenaga dalam untuk membentengi dirinya
dari serangan kasat mata yang dilancarkan Mahicha
Kapoor! Sebentar saja, wajah Gisa Mintarsa telah
memucat seperti mayat. Aliran darahnya kacau,
membuat kepalanya pening dan pandangannya
mengabur. Terkejut luar biasa Ingkanputri melihat kea-
daan Gisa Mintarsa. Dari tempat persembunyiannya,
dia dapat melihat dengan jelas mulut Gisa Mintarsa
yang menyemburkan darah segar. Keterkejutan In-
gkanputri bertambah tatkala sekujur tubuhnya tera-
sa sakit bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sadarlah gadis cantik itu bila
gelombang serangan Mahicha
Kapoor juga mengenai dirinya!
Tanpa pikir panjang lagi, Ingkanputri melon-
cat dari tempat persembunyiannya, yang berada di
atas dahan pohon rimbun. Lalu, berkelebat, me-
nyambar tubuh Raja Syair yang sudah lemah tiada
daya. Namun....
Jderrr...! Tubuh Dewi Baju Merah terpental, lalu jatuh
bergulingan di tanah. Kontan gadis cantik itu meng-
geliat kesakitan. Kain baju di bagian punggungnya
robek sejengkal, dan ada cairan darah merembes!
"Uh...!" keluh Ingkanputri seraya meloncat bangkit.
Mahicha Kapoor yang telah berdiri tegak me-
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
natap murid Dewi Tangan Api itu dengan mata ber-
kilat tajam menusuk. Tangan kanannya mencekal
cambuk yang semula digunakan sebagai ikat ping-
gang. Cambuk itu gagangnya cuma sejengkal, se-
dang talinya yang terbuat dari olahan kulit beruang salju terjuntai sepanjang
tujuh kaki. Senjata itulah yang telah melukai punggung Ingkanputri.
"Kuntilanak laknat! Rupanya, kau hendak
main-main pula dengan Mahicha Kapoor!"
Di ujung kalimat Mahicha Kapoor, Raja Syair
menoleh. Melihat kehadiran Dewi Baju Merah timbul
rasa lega di hatinya. Cepat dia lepas ikatan peti besi di punggungnya. Lalu,
peti itu dilemparkan ke arah
Dewi Baju Merah.
"Pergilah cepat bersama peti ini!" teriak Raja Syair. Walau telah terluka, namun
gerakan Ingkanputri masih cekatan untuk dapat menangkap peti
besi yang dilemparkan Raja Syair. Namun, Ingkan-
putri tak segera menuruti perintah Raja Syair kare-
na tubuh bocah titisan itu tiba-tiba jatuh menggelo-sor ke tanah. Agaknya, Raja
Syair telah menderita
luka dalam yang cukup parah.
Ingkanputri bingung, tak tahu apa yang ha-
rus dilakukannya. Membawa pergi peti besi yang te-
lah berada di tangannya atau menyelamatkan Raja
Syair" Akhirnya, dia mengambil keputusan memba-
wa pergi peti besi dan menyelamatkan pula Raja
Syair. Maka tanpa pikir panjang lagi, Ingkanputri
menyambar tubuh Raja Syair yang tergeletak di ta-
nah. "Tinggalkan peti itu berikut nyawamu!" hardik Mahicha Kapoor seraya
menyabetkan cambuknya.
Terpaksa Ingkanputri mengurungkan niatnya.
Diegoskan tubuhnya ke kiri untuk menghindari sa-
betan cambuk kulit beruang salju. Ingkanputri ter-
perangah. Walau tali cambuk tak mengenai sasaran,
tapi sambaran anginnya sanggup membuat kulitnya
terasa pedih dan panas seperti terbakar!
Mahicha Kapoor yang tak mau memberi ke-
sempatan kepada Ingkanputri, segera mengirim se-
rangan susulan. Tapi cambuknya menyambar-
nyambar seakan berubah menjadi ratusan ular yang
tengah menyerbu mangsa. Sambaran cambuk itu
menimbulkan suara bersiut keras dan sesekali me-
ledak memekakkan gendang telinga. Tak ayal lagi,
daun-daun rontok berguguran. Gumpalan tanah
lembek dan bebatuan berhamburan ke udara!
Mendapat serangan yang demikian hebat, In-
gkanputri meloloskan ikat pinggangnya yang berupa
selendang sutera berwarna merah. Tak kalah berba-
hayanya, ujung selendang itu juga menyambar-
nyambar, mengincar jalan kematian di tubuh Mahi-
cha Kapoor! Namun karena bertempur sambil membawa
peti besi yang cukup berat, gerakan Ingkanputri jadi
kurang gesit. Sebelum sesuatu yang tak diinginkan
terjadi, Ingkanputri menjatuhkan peti itu ke tanah.
Lalu, dimainkannya jurus-jurus 'Selendang Sakti'
hasil ajaran Sekar Mayang semasa Ingkanputri ma-
sih menjadi anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah. "Setan alas! Hari ini juga akan kuhabiskan riwayatmu. Menyusul kemudian
si bocah edan Gisa
Mintarsa! Kalian adalah pencuri-pencuri busuk yang
layak dienyahkan dari muka bumi!" geram Mahicha Kapoor.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam
ke tali cambuk, Mahicha Kapoor melentingkan tu-
buhnya ke atas. Sebelum menginjak tanah, tubuh-
nya diputar. Kedua kakinya mengirim tendangan
saling susul. Sewaktu Ingkanputri berkelit, tali cambuk Mahicha Kapoor menyambar
cepat, mengurung
tubuh Ingkanputri dari segala penjuru. Itulah gerak tipu 'Cambuk Kosong
Menghajar Bayangan Hantu'
yang diperoleh Mahicha Kapoor dari perguruan silat
Liang San Pay di daratan Tionggoan.
Berkali-kali selendang sutera dan cambuk ku-
lit beruang salju berbenturan, kemudian saling belit.
Walau sebenarnya tenaga dalam Ingkanputri tidak
berada di bawah Mahicha Kapoor, tapi karena sifat
senjata selendangnya yang lebih lembut lama-
kelamaan selendang sutera itu pun robek-robek, lalu terbabat putus tinggal
setengah bagian!
Terdesaklah Ingkanputri akhirnya. Gadis can-
tik itu dipaksa bergerak mundur ke semak-semak,
menjauhi peti besi yang tergeletak di tanah
Tampak kemudian, sambil mengirim serangan
dengan tali cambuk, Mahicha Kapoor merundukkan
tubuhnya untuk menyambar peti besi. Tentu saja
Ingkanputri tak mau tinggal diam. Dari ucapan Raja
Syair yang didengarnya dari atas dahan pohon, In-
gkanputri tahu bila peti besi itu berisi Arca Budha yang tak boleh jatuh ke
tangan orang jahat. Maka,
setelah berhasil menghindari sambaran cambuk
Mahicha Kapoor, Ingkanputri menggerakkan sisa po-
tongan selendangnya!
Wuttt..! Prang...! Kontan Mahicha Kapoor mendengus gusar.
Peti besi yang hampir berhasil disambarnya, tiba-
tiba terlontar dua tombak. Rupanya, ujung selen-
dang Ingkanputri berhasil menghantam peti besi
yang semula berhasil dicuri oleh Raja Syair itu.
6 Mendadak dari balik semak-semak berkelebat
sesosok bayangan, langsung menyambar peti besi
yang berada di dekat tubuh Raja Syair, yang tergolek lemah di bawah naungan
pohon besar. Crep...! "Aih...!"
Sosok manusia yang telah berhasil menyam-
bar peti besi tak dapat melanjutkan kelebatan tu-
buhnya karena kaki kanannya kena cengkeraman
jari tangan Raja Syair. Dalam keterkejutannya, so-
sok manusia itu memekik keras seraya menusuk tu-
buh Raja Syair dengan ujung tongkat yang diba-
wanya. Tapi, gerakannya terhenti di udara karena
cambuk Mahicha Kapoor menyambar laksana kilat,
menimbulkan ledakan keras dan mengancam kepa-
la! "Mati kau, Pencuri Busuk!"
Cepat sekali orang yang baru muncul memu-
tar tongkatnya. Sewaktu, tali cambuk terpental ba-
lik, dia mengibaskan bambu sepanjang dua jengkal
di tangan kirinya!
Terdengar suara mendengung ketika dari da-
lam tongkat bambu menyembur ribuan jarum. Sen-
jata rahasia itu mengandung racun yang luar biasa
ampuh. Sebatang saja sudah mampu untuk mem-
bunuh orang dengan tubuh kaku-mengejang, apala-
gi ribuan! Mahicha Kapoor yang tak menyangka akan
datangnya serangan sedemikian mendadak menjerit
keras. Dia masih sempat memutar cambuk untuk
membuat perisai, tapi semburan jarum-jarum bera-
cun itu melesat lebih cepat. Tak ayal lagi, sekujur tubuh Mahicha Kapoor menjadi
makanan empuk. Tak terkecuali, wajahnya juga menjadi sasaran!
Pekik kesakitan Mahicha Kapoor membahana
seantero Pulau Belut. Ahli yoga dari India itu berkelojotan di tanah. Kedua
tangannya mendekap wa-
jahnya yang telah dipenuhi bintik-bintik merah.
Sementara Mahicha Kapoor meregang nyawa,
penyebar jarum beracun yang ternyata seorang lela-
ki berpakaian compang-camping penuh tambalan
berteriak nyaring. Cengkeraman Raja Syair masih
belum lepas dari kain kanannya. Bahkan, mengu-
curkan darah segar karena kuku-kuku jari tangan
Raja Syair menembus dagingnya!
"Lepaskan, Keparat!" hardik lelaki berpakaian
compang-camping.
Di ujung kalimatnya yang kaku dan patah-
patah, lelaki itu menyabetkan tongkatnya untuk
memecahkan batok kepala Raja Syair! Tentu saja In-
gkanputri tak mau tinggal diam. Sisa potongan se-
lendangnya meluncur cepat, dan berhasil membelit
tongkat lelaki berpakaian compang-camping.
Karena tak mau kehilangan senjata, cepat le-
laki berwajah kotor penuh debu itu mengerahkan
tenaga dalam untuk membetot tongkatnya. Sewaktu
terjadi adu kekuatan tenaga dalam, mendadak Raja
Syair melepas cengkeramannya. Dengan sisa-sisa
tenaganya dia bangkit, lalu merampas peti besi yang berada di jepitan ketiak
lelaki berpakaian compang-camping.
Merasa kecolongan, si wajah kotor mengge-
ram keras. Dia tambah kekuatan tenaga dalamnya
untuk membuat selendang Ingkanputri putus. Ber-
samaan dengan itu, dia mengirim tendangan ke tu-
buh Raja Syair yang belum beranjak jauh dari si-
sinya. Des...! "Argh...!"
Punggung Raja Syair kena hajar dengan telak.
Akibatnya, tubuh bocah titisan itu jatuh bergulin-
gan. Peti besi yang berada di kempitan ketiaknya
terlontar ke udara, lalu jatuh ke semak-semak. Se-
mentara, tubuh Raja Syair terus bergulingan sampai
membentur batang pohon besar, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi!
"Ha ha ha...! Mati kau, Bocah Edan!" ujar si wajah kotor dengan bahasa Jawa
patah-patah. Sambil menambah kekuatan tenaga dalam
pada lengan kanannya yang mencengkeram erat
ujung selendang, Ingkanputri mendengus gusar. Di-
tatapnya dengan penuh kebencian lelaki berpakaian
compang-camping yang tengah mengadu kekuatan
dengannya. Selain berwajah kotor, rambut lelaki bersenja-
ta tongkat itu awut-awutan tak terurus. Matanya
yang sipit menyorotkan sinar bengis, menandakan
kekejaman sifatnya. Walau penampilannya serba tak
karuan, masih dapat dilihat bila dia berkulit putih.
Sekilas orang bisa memastikan bila dia berasal dari negeri seberang.
Karena mengkhawatirkan keadaan Raja Syair
tergeletak di tanah tanpa daya, Dewi Baju Merah tak mau membuang-buang waktu.
Segera dia bagi kekuatan tenaga dalamnya untuk dialirkan ke tangan
kiri. Sewaktu selendang sutera nyaris terbetot pu-
tus, pergelangan tangan kiri Dewi Baju Merah telah
berubah merah membara dan memancarkan hawa
panas! Si wajah kotor terkejut ketika tiba-tiba kulit tubuhnya tersengat hawa
panas. Tanpa pikir panjang, dia kibaskan batang bambu di tangan kirinya.
Dalam sekejap mata, ribuan jarum beracun menyer-
bu Ingkanputri!
Namun bertepatan dengan itu, Ingkanputri
menghentakkan telapak tangan kirinya ke depan.
Selarik sinar merah menggidikkan melesat.
Jarum-jarum beracun berpentalan ke udara,
lalu rontok ke tanah. Sementara, selarik sinar merah yang muncul karena
penerapan ilmu 'Pukulan Api
Neraka' terus melesat, hendak menghajar tubuh si
wajah kotor! Wusss...! "Haya...!"
Si wajah kotor melompat tinggi ke atas. Ter-
bawa lesatan tubuhnya, selendang Ingkanputri ter-
betot putus. Selarik sinar merah menerpa batang
pohon dua rangkulan manusia dewasa. Terdengar
ledakan keras. Pohon besar itu tumbang. Pangkal-
nya menghitam dan mengepulkan asap, di beberapa
tempat terlihat percikan lidah api.
Begitu menginjak tanah, si wajah kotor berke-
lebat masuk ke semak-semak, lalu menghilang en-
tah ke mana. Ingkanputri sama sekali tak mempedu-
likan lelaki itu lagi. Dia harus cepat memberi pertolongan kepada Raja Syair.
Kening Dewi Baju Merah berkerut tajam. Rasa
khawatir terpancar jelas di sorot matanya. Dia me-
meriksa keadaan Raja Syair sambil berulang kali
menghela napas panjang.
Suhu badan Raja Syair amat tinggi. Rompi
dan celana pendek yang dikenakannya basah-kuyup
oleh keringat. Cepat Ingkanputri memutar otak. Di-
bopongnya tubuh Raja Syair, lalu dicelupkan ke da-
lam sungai. Sebentar kemudian. Raja Syair mengge-
liat. "Uh...!"
Mengetahui Gisa Mintarsa telah siuman, In-
gkanputri membaringkan tubuh bocah titisan itu di
tanah keras yang tidak becek.
"Suhu badanmu panas sekali, Gisa. Terpaksa
aku memandikanmu di air sungai," ujar Ingkanputri.
Gisa Mintarsa mengedip-ngedipkan matanya.
Setelah pandangannya jelas, dia mendesis, "Putri...."
"Ya. Aku Ingkanputri, Gisa. Kebetulan aku
berada di tempat ini."
"Aku sudah tahu. Bukankah kau telah men-
curi dengar ketika aku berbicara dengan Mahicha
Kapoor?" "Jadi, kau tahu bila aku bersembunyi?"
"Sengaja aku membiarkan. Kupikir, tenagamu
sewaktu-waktu bisa digunakan. Dan, sekarang telah
terbukti. Kau telah menolongku, Putri. Tapi...."
Mendadak, Gisa Mintarsa meloncat bangun.
Karena tubuhnya masih lemah, dia jatuh terjeng-
kang. Untung Ingkanputri segera menyambarnya,
hingga punggung bocah titisan itu tidak sampai
membentur tanah keras.
"Aku harus manyalurkan hawa murni ke tu-
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buhmu, Gisa. Kau masih butuh pertolongan...,"' tawar Ingkanputri.
"Peti besi...! Peti besi...!" sera Gisa Mintarsa, tak memperhatikan ucapan
Ingkanputri. Gisa Mintarsa meloncat bangun lagi, tapi ke-
buru dicegah Ingkanputri
"Benda itu tak boleh jatuh ke tangan orang
jahat." seru Gisa Mintarsa, lebih keras.
"Tenanglah, Gisa. Tunggulah di sini, akan ku
cari benda itu!"
Usai berkata, Ingkanputri meloncat ke semak-
semak di mana peti besi terlontar jatuh waktu Gisa
Mintarsa kena tendangan si wajah kotor. Namun
hingga beberapa lama Ingkanputri mencari, peti besi tak berhasil ditemukannya.
Dengan wajah pucat Ingkanputri keluar dari
semak-semak. Sejenak ditatapnya tubuh Mahicha
Kapoor yang tergeletak di tanah becek. Kedua tan-
gan dan kaki ahli yoga dari India itu mengejang ka-
ku. Bola matanya melotot besar. Mulutnya pun tern-
ganga lebar. Tak terdapat tanda-tanda kehidupan
sedikit pun, karena nyawanya memang telah me-
layang ke alam baka!
"Bagaimana, Putri" Tak kau dapatkan peti
itu?" tanya Gisa Mintarsa sambil beringsut duduk.
Dewi Baju Merah meraba luka di punggung-
nya yang terasa panas. Luka itu hanya luka luar
yang tidak mengandung racun. Oleh karenanya,
Dewi Baju Merah tidak seberapa mempedulikannya.
Dia lalu duduk di hadapan Gisa Mintarsa
"Lupakan dulu peti itu. Kau terluka dalam.
Aku harus menolongmu, Gisa...," ujar Ingkanputri kemudian.
"Kau baik sekali, Putri. Aku memang terluka
dalam. Tapi dengan melakukan semadi beberapa
saat, tiga hari kemudian keadaanku pasti akan
kembali seperti sediakala."
"Kau tidak perlu waktu tiga hari untuk me-
nyembuhkan luka dalammu bila kubantu kau den-
gan menyalurkan hawa murni."
"Terima kasih, Putri. Ada yang lebih penting
dari sekadar membicarakan keadaan diriku. Kata-
kan di mana peti besi berisi Arca Budha itu berada.
Apakah lelaki gembel itu berhasil membawanya la-
ri?" "Kemungkinan besar memang begitu. Aku memang tidak berusaha mencegahnya.
Karena ku-pikir, keselamatanmu lebih penting."
Raja Syair mengangguk-angguk. Tampaknya
dia bisa menerima penjelasan Ingkanputri.
"Apakah Arca Budha itu mempunyai suatu
rahasia, Gisa" Dan, kenapa kau sangat mengkhawa-
tirkan benda itu jatuh ke tangan orang jahat?" tanya Dewi Baju Merah kemudian,
"Arca Budha memang mempunyai rahasia be-
sar. Bila sampai jatuh ke tangan orang jahat, dan
orang itu bisa membuka rahasianya dengan Pedang
Burung Hong, maka malapetaka akan menimpa ta-
nah Tiongkok. Karena Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong sekarang ini berada di tanah Jawa, kita
semua juga terancam bahaya...."
"Kenapa bisa begitu" Sesungguhnya rahasia
apa yang terdapat pada Arca Budha" Dan, untuk
membuka rahasianya kenapa harus menggunakan
Pedang Burung Hong?" buru Dewi Baju Merah, ingin mendapatkan keterangan lebih
jelas. "Aku tak tahu itu rahasia apa," jawab Gisa Mintarsa, lirih.
"Kalau begitu, kenapa kau bisa mengatakan
bahwa Arca Budha dapat mendatangkan malapetaka
di tanah Tiongkok, bahkan di tanah Jawa ini?"
Mendengar pertanyaan Dewi Baju Merah,
kening Gisa Mintarsa berkerut. Matanya menyipit.
Dalam keadaan seperti itu, wajahnya jadi tampak
jenaka. Apalagi, batang hidungnya terlihat bergerak naik-turun.
"Bagaimana, Gisa" Kau tak mendengar perta-
nyaanku?" cecar Ingkanputri.
"Untuk menjelaskannya, aku harus bercerita.
Sedang kau tahu, Putri, aku tak punya waktu ba-
nyak. Aku harus mencari lelaki gembel yang telah
melarikan Arca Budha itu sebelum dia menemukan
Auwyang Nan Ie, dan merampas Pedang Burung
Hong dari tangannya..."
"Jangan buat aku penasaran, Gisa. Bercerita-
lah.... Kalau memang Arca Budha mengandung ra-
hasia yang amat berbahaya, aku akan membantumu
untuk mendapatkan benda itu!"
"Ya. Ya, baiklah. Aku akan bercerita walau
sebenarnya kau sudah tahu ketika kau mencuri
dengar pembicarakanku dengan Mahicha Kapoor...."
"Tapi, itu tidak jelas. Gisa."
Raja Syair menghirup udara dalam-dalam. Se-
telah menatap wajah Ingkanputri, sejenak mulailah
dia bercerita. "Kau tentu sudah tahu bila di kota Ngadiluwih banyak terdapat
bangunan kuil dan
candi. Dua bulan yang lalu, ketika aku kemalaman
di perjalanan, aku beristirahat di Candi Palindungan yang terletak di sebelah
utara kota Ngadiluwih. Cua-ca mendung membuat suasana malam jadi gelap-
gulita. Seorang diri di Candi Palindungan, aku
hanya dapat memicingkan mata walau sebenarnya
tubuhku terasa amat lelah. Hawa dingin semakin
membuat aku tak dapat tidur. Pada saat aku mem-
buat keputusan untuk mencari kayu bakar guna di-
jadikan perapian, aku mendengar suara-suara aneh
yang amat mencurigakan. Maka, kuurungkan
niatku. Aku menyelinap masuk lagi ke bangunan
candi. Kupasang indera pendengaran lebih tajam.
Suara-suara aneh itu terdengar makin jelas. Asalnya dari sebelah kanan bangunan
yang terdapat banyak
arca. Perlu kau ketahui, arca-arca yang terdapat di seluruh candi di kota
Ngadiluwih semuanya dikerja-kan oleh ahli pahat yang sangat berpengalaman, se-
hingga arca-arca itu amat indah bentuknya, dan
tentu saja mahal harganya apabila dijual. Berpikir
sampai di situ, timbul dugaan dalam benakku bila
suara-suara aneh yang kudengar tentulah suara
pencuri yang tengah melakukan tindak kejaha-
tan...." "Lalu, kau tangkap pencuri itu?" tebak Dewi Baju Merah.
"Rencanaku memang begitu...."
"Jadi, kau tak menangkapnya?"
"Hus! Jangan potong dulu ceritaku!" tegur Ra-ja Syair.
Kontan Ingkanputri terdiam.
"Ketika mengintai, aku melihat seorang lelaki
berpakaian kuning-coklat, bentuknya sangat berlai-
nan dengan pakaian orang Jawa pada umumnya.
Dalam keremangan malam, aku dapat melihat wa-
jahnya. Nyatalah bahwa dia memang bukan orang
Jawa, kulitnya putih dan raut wajahnya menunjuk-
kan bahwa dia orang dari seberang. Aku jadi tertarik untuk terus mengikuti
gerak-geriknya. Orang itu tak mengetahui bila ada yang tengah mengintainya. Ma-
ka, tanpa curiga sedikit pun dia teruskan peker-
jaannya..."
"Apa yang dia kerjakan?"
"Orang itu memeriksa seluruh arca yang ter-
dapat di Candi Palindungan. Ketika menemukan se-
buah arca sang Budha sebesar bayi, dia mengamati
dengan teliti. Dari jarak sekitar tiga tombak aku
mengintai. Walau tak seberapa jelas, tapi aku masih dapat melihat apa yang
kemudian dilakukannya. Dia
meremas arca sang Budha itu sampai hancur!"
"Lalu?"
"Arca sang Budha yang telah menjadi debu
dan kerikil diamatinya lebih teliti. Mendadak, dia
mengumpat-umpat dengan bahasa yang sama sekali
tak kumengerti."
"Lalu?"
"Dia mengitari Candi Palindungan dua kali
Ketika menemukan arca sang Budha lagi, dia mere-
masnya juga hingga hancur-luluh. Sebenarnya aku
hendak mencegahnya melakukan pengrusakan, tapi,
aku berdiam diri saja. Karena, aku ingin tahu apa yang sebetulnya sedang dicari.
Ternyata, apa yang
dia cari tidak terdapat di Candi Palindungan. Sambil terus mengumpat-umpat, dia
kemudian berkelebat..." "Dan, kau mengejarnya, Gisa?"
"Tentu saja."
"Orang itu tidak tahu bila gerak-geriknya kau
ikuti terus?"
"Agaknya, memang begitu. Tanpa menunjuk-
kan sikap bercuriga sedikit pun, dia berlari cepat
menuju ke Candi Kasinggih yang tidak seberapa
jauh letaknya dari Candi Palindungan. Di candi itu, dia juga mencari arca sang
Budha. Anehnya, setiap
ditemukan, arca suci itu pasti diremasnya hingga
hancur-luluh...."
"Tampaknya, dia mencari sesuatu yang terda-
pat di dalam arca sang Budha."
"Ya. Kupikir memang begitu. Tapi hingga se-
luruh candi kota Ngadiluwih dia datangi, apa yang
dicarinya tetap tak ditemukannya. Pada kokok ayam
pertama, mungkin karena kelelahan, dia jatuh terti-
dur di Kuil Santidar. Aku lalu duduk bersemadi di
halaman belakang kuil yang sudah jarang di jamah
manusia itu. Dengan memusatkan kekuatan batin
ke satu titik, aku menembus alam mimpi si orang
dari seberang itu...."
Dewi Baju Merah yang sudah tahu kehebatan
Raja Syair mengangguk-anggukkan kepalanya men-
dengar cerita bocah titisan itu. Dia dengarkan lebih seksama cerita selanjutnya.
"Dengan bahasa Jawa patah-patah, roh orang
itu mengatakan bahwa dia bernama Auwyang Nan
Ie. Berada di tanah Jawa hampir tiga tahun. Tu-
juannya untuk mencari Arca Budha yang seluruh-
nya terbuat dari emas murni. Arca itu sebenarnya
milik Raja Cina yang dihadiahkan oleh seorang tetua bangsa Cina yang sekitar dua
ratus tahun yang la-lu...." "Dua ratus tahun yang lalu" Jadi, arca itu telah
berumur setua itu?" kejut Ingkanputri.
"'Ya. Auwyang Nan Ie menduga bahwa Arca
Budha berada di tanah Jawa. Dia mendapat keyaki-
nan setelah tahu salah seorang pesaingnya yang
bernama Kwe Kok Jiang juga datang ke tanah Jawa
ini. Auwyang Nan Ie sangat bernafsu untuk memiliki
Arca Budha karena dia telah mendapatkan sebatang
pedang pusaka bernama Pedang Burung Hong. Den-
gan pedang itu, Auwyang Nan Ie akan dapat mem-
buka rahasia besar yang terdapat pada Arca Bud-
ha...." "Kau tanyakan kepadanya tentang rahasia itu?" "Tentu saja. Tapi, dia tak
dapat menjawab karena dia juga tak tahu sama sekali."
"Lalu?"
"Ketika kutanyakan kenapa dia merusak arca-
arca sang Budha yang ditemukannya di candi-candi
di kota Ngadiluwih, dia menjawab bahwa ada ke-
mungkinan Arca Budha yang tengah dicarinya ter-
simpan di dalam arca-arca itu."
"Apa yang kau lakukan selanjutnya, Gisa?"
"Pagi-pagi sekali aku melihat Auwyang Nan Ie
keluar dari Kuil Santidar. Baru melangkah beberapa
tindak dari ambang pintu, dia meloloskan sebilah
pedang bengkok yang diseluruh badannya dihiasi
ukiran amat indah. Ketika sinar matahari menerpa,
bilah pedang itu memancarkan cahaya biru gemer-
lapan, dan tampak amat mengerikan. Aku menduga
pedang itulah yang bernama Pedang Burung Hong."
"Lalu, apa yang diperbuatnya?"
"Sungguh aku merasa waswas saat itu. Kupi-
kir, Auwyang Nan Ie telah tahu bila gerak-geriknya
sedang diintai orang. Namun, kiranya dia tak ber-
buat apa-apa. Sambil memandangi bilah Pedang Bu-
rung Hong, dia berkata seorang diri 'Setelah Arca
Budha kudapatkan, aku akan menjadi orang besar
di antara yang terbesar, menjadi raja di antara sega-la raja'. Lalu, dia tertawa
terbahak-bahak, dan berkelebat lenyap."
"Kau tak mengikutinya lagi?"
"Bagaimana aku dapat mengikutinya bila aku
terserang kantuk luar biasa karena semalam penuh
aku tak tidur" Belum lagi seluruh badanku terasa
dipukul-pukul palu godam karena kelelahan!"
"Jadi, kau biarkan dia pergi?" tanya Ingkanputri untuk menegaskan ucapan Raja
Syair. "Ya. Setelah tidur sepuas hatiku, aku pergi
mencari Auwyang Nan Ie."
"Untuk apa?"
"Tentu saja menggagalkan niatnya mencari
Arca Budha. Aku tahu Auwyang Nan Ie bukan orang
baik-baik. Dia menyimpan nafsu buruk. Aku khawa-
tir setelah mendapatkan Arca Budha, dia akan
membuat keresahan di tanah kelahirannya. Walau
sebenarnya itu bukan urusanku, tapi hati kecilku
terpanggil. Aku tak ingin mendengar berita kebruta-
lan manusia yang membunuh sesamanya. Apalagi,
Auwyang Nan Ie berada di tanah Jawa. Sebelum
kembali ke Tiongkok, aku khawatir dia akan mem-
buat pertumpahan darah di sini..."
Dewi Baju Merah mengangguk-angguk. Dia
akui dalam hati bila Raja Syair memang seorang
pendekar sejati. Muridnya yang bernama Banjaran-
pati atau Bayangan Putih dari Selatan juga seorang
pendekar besar yang sangat terkenal di rimba persi-
latan. "Tapi sampai beberapa hari lamanya, aku tak menjumpai orang itu lagi,"
Lanjut Gisa Mintarsa,
"Sambil meneruskan pencarian, aku juga mencari Kwe Kok Jiang..."
"Kwe Kok Jiang?"
"Sudah kuceritakan di muka, orang dari sebe-
rang juga mencari Arca Budha di tanah Jawa ini."
"Dia kau temukan?"
Gisa Mintarsa menggeleng. Anting besar di te-
linga kirinya bergoyang-goyang. "Tidak. Kwe Kok Jiang tak kutemukan, juga
Auwyang Nan Ie."
"Lalu, apa yang kau perbuat selanjutnya?" kejar Ingkanputri.
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku putuskan untuk turut mencari Arca
Budha. Sebulan lebih aku mencari keterangan, tapi
usahaku sia-sia belaka."
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai di Pulau
Belut ini" Apakah kau juga mendengar desas-desus
bahwa pulau ini telah dihuni siluman jahat" Dan,
secara kebetulan kau dapatkan Arca Budha berada
di sini?" "Bisa dikatakan kebetulan, bisa juga dikata-
kan tidak."
"Maksudmu"'"
"Suatu malam, ketika aku sedang beristirahat
di Kademangan Maospati. Aku bermimpi yang tam-
pak sangat nyata. Dalam mimpi ku itu, aku melihat
dua orang lelaki tengah berhadap-hadapan di pun-
cak gunung salju yang terletak di Tibet. Mereka sa-
ma-sama membawa pedang terhunus yang telah
berlumuran darah. Sementara, di sekitar mereka
banyak sekali mayat manusia bergelimpangan. Dua
orang lelaki yang sudah siap tempur itu tampaknya
tengah memperebutkan sesuatu. Salah seorang di
antaranya adalah Auwyang Nan Ie. Wajahnya tam-
pak masih muda. Mungkin kejadian dalam mimpi ku
itu berlangsung sekitar sepuluh tahun yang lalu...,"
"Yang seorang lagi siapa?" tanya Ingkanputri, penasaran.
"Aku tak mengenalnya. Tapi, Auwyang Nan Ie
memanggilnya dengan sebutan Kok Jiang. Mungkin
dialah yang bernama Kwe Kok Jiang itu."
Kepala Ingkanputri mengangguk lemah. "Lalu,
mereka bertempur mati-matian?" tebaknya.
"Tidak. Aku melihat sesosok bayangan berke-
lebat cepat, menyambar sebuah arca sang Budha
yang tergeletak di tonjolan batu tinggi. Arca sang
Budha itu cuma sebesar bayi kucing, tapi seluruh-
nya terbuat dari emas. Aku menduga, yang sedang
diperebutkan oleh Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok
Jiang tentu arca itu. Dan itu terbukti. Mengetahui
Arca Budha lenyap, Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok
Jiang tidak jadi bertempur. Mereka lalu menuruni
puncak gunung bersalju itu lewat jalan berlainan...."
"Kedua orang itu tahu kalau Arca Budha telah
dicuri orang?"
"Tampaknya, mereka tidak tahu. Tapi, bisa
saja mereka menduga begitu. Aku tak tahu apa yang
diperbuat Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok Jiang selan-
jutnya karena sinar matahari keburu menerpa wa-
jahku, dan aku terbangun..."
"Kau percaya pada mimpimu itu, Gisa?"
"Ya. Aku percaya. Aku menduga, mimpi ku itu
bukan sekadar mimpi. Mimpi itu hadir untuk mem-
beri petunjuk kepadaku."
"Lalu, apa yang kau perbuat kemudian?"
"Aku datang ke Sungai Bayangan. Setelah
meminta ijin Sawung Jenar, aku bersemadi di aliran
sungai yang banyak ularnya itu."
"Sawung Jenar" Penghuni Sungai Bayangan
yang berjuluk Iblis Selaksa Ular itu?"
"Ya. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya heran kenapa kau
memilih sungai yang banyak ularnya untuk dijadi-
kan tempat bersemadi. Dan, untuk apakah kau ber-
semadi" Apakah untuk meminta petunjuk pada
Yang Kuasa" "
"Aku memilih Sungai Bayangan untuk kuja-
dikan tempat bersemadi karena tempat itu jarang di-
jamah manusia, hingga tak ada kekhawatiran dalam
diriku jika nanti akan ada orang yang mengganggu
semadiku." Gisa Mintarsa menghentikan ucapannya karena batuk-batuk
"Kau tak apa-apa, Gisa?" tanya Dewi Baju Merah, khawatir.
Bibir Gisa Mintarsa menyungging senyum ti-
pis. "Aku tak akan mati secepat yang kau kira. Tidakkah kau ingin mendengar
kelanjutan ceritaku?"
"Ya. Ya, lanjutkan ceritamu, Gisa..," ujar Dewi Baju Merah walau di hatinya
masih tersimpan rasa
khawatir. Dia tahu bila Gisa Mintarsa masih mende-
rita luka dalam.
"Setelah bersemadi selama tujuh hari tujuh
malam di mana aku menerapkan ilmu "Penerawan-
gan', aku tahu bila Arca Budha memang dilarikan
orang ke tanah Jawa ini. Orang itu berkebangsaan
India, namanya Mahicha Kapoor. Maka, segera ku-
datangi dia, yang ternyata berada di pulau yang se-
karang kita tempati ini. Selama dua pekan aku me-
lakukan penyelidikan. Mahicha Kapoor yang ahli
melakukan yoga ternyata amat cerdas. Dia menyim-
pan Arca Budha di sebuah goa bawah tanah yang
penuh jebakan. Siang-malam aku menyelidiki, ak-
hirnya aku berhasil mencuri Arca Budha yang ter-
simpan di dalam peti besi. Sayang, sebelum aku
membawa pergi jauh, Mahicha Kapoor memergoki-
ku. Seperti yang kau lihat kemudian, dia mengirim
ular-ular putih untuk menyerangku, mungkin juga
untuk menyerangmu...."
Sampai di situ, Gisa Mintarsa batuk-batuk te-
rus. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk. Terke-
jutlah Ingkanputri ketika bocah titisan itu memun-
tahkan darah kental kehitaman.
"Aku harus menyalurkan hawa murni ke tu-
buhmu, Gisa!" ujar Ingkanputri, memaksa.
"Yah, baiklah.... Tampaknya, aku memang tak
bisa menolak budi baikmu ini...," sahut Gisa Mintarsa sambil menyeringai
kesakitan. 7 Bukit Rawangun....
Di dalam goa yang bercahaya cukup terang,
seorang kakek berpakaian kuning-ringkas tampak
sedang membalur lengan kiri Kwe Kok Jiang yang te-
lah berhasil disambung kembali. Dari siku ke ba-
wah, tangan kiri Kwe Kok Jiang memang tak mung-
kin dapat digerakkan lagi, tapi itu lebih baik daripa-da lengan kirinya
dibiarkan buntung.
"Ramuan obat yang kuborehkan akan bekerja
selama satu bulan. Selama itu, jangan sekali-sekali kau gerakkan lenganmu ini,
agar sambungannya tak
terlepas lagi. Terlebih lagi, memohonlah kepada sang Penguasa Tunggal. Mudah-
mudahan semuanya berjalan dengan baik...," nasihat si kakek setelah peker-
jaannya selesai. Tampak kemudian, lengan kiri Kwe
Kok Jiang terjulur kaku karena dijepit dua bilah
bambu sepanjang dua jengkal. Ujung-ujung bambu
itu diikat pada lengan kiri Kwe Kok Jiang dengan
sobekan kain bersih berwarna putih.
"Terima kasih.... Terima kasih. Budi baik
Hiap-kek tak akan kulupakan seumur hidup. Entah
dengan apa aku harus membalas budi baik Hiapkek
ini...," ujar Kwe Kok Jiang, lirih.
"Hiap.... Hiapkek" Apa itu?" sela Suropati yang duduk tak seberapa jauh dari
lelaki berkuncir
itu. "Hiapkek adalah bahasa Cina. Artinya, orang gagah yang berhati mulia,"
jawab Kwe Kok Jiang sambil mengulum senyum.
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Saudara Kok
Jiang...," sahut tabib pandai yang baru saja mengo-bati Kwe Kok Jiang. Kulit
wajah kakek itu berwarna
merah seperti buah tomat matang. Oleh karenanya,
dia mendapat gelar si Wajah Merah.
"Kukira, aku tidak berlebihan. Kau memang
pantas kusebut sebagai hiapkek," tegas Kwe Kok Jiang. "Kalau aku pantasnya
disebut apa?" tanya Pengemis Binal tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan remaja tampan yang
sering berperilaku konyol itu, Kwe Kok Jiang menge-
rutkan kening. Diputarnya otak untuk mencari se-
butan yang tepat bagi Suropati.
"Jangan lama-lama, Pak Tua!" tegur Suropati melihat Kwe Kok Jiang belum juga
mengeluarkan suara. "Ya. Ya, aku telah mendapat sebutan yang sangat cocok untukmu...," ujar
Kwe Kok Jiang kemudian.
"Apa?" kejar Pengemis Binal sambil garuk-garuk kepala.
Kwe Kok Jiang tersenyum. "Karena kau sering
menggaruk kepalamu yang tak gatal dan sering pula
berbuat yang aneh-aneh, maka kau sangat pantas
disebut shia soat."
"Shia... shia soat" Apa itu?"
"Shia soat artinya monyet edan!"
Terbelalak mata Pengemis Binal seketika.
Tanpa sadar dia garuk-garuk kepala lagi. Si Wajah
Merah yang melihat ulahnya kontan tertawa ter-
pingkal-pingkal. Sementara, Kwe Kok Jiang hanya
tersenyum-senyum.
Merasa dirinya dijadikan bahan tertawaan,
Suropati mendengus gusar. Lalu, dia beringsut
mendekati Kwe Kok Jiang. Setengah berbisik dia
berkata, "Aku juga punya sebutan yang tepat untukmu, Pak Tua...."
"Apa?" tanya Kwe Kok Jiang ragu-ragu. Dia tahu bila Suropati hendak membalasnya.
Agar tak membuat remaja konyol itu marah, dia bertanya ju-
ga. "Kau pantas disebut maruta madaran!" beri tahu Suropati, keras membentak hingga
Kwe Kok Jiang menjomblak kaget.
"Jangan bercanda dengan orang tua, Suro!"
tegur si Wajah Merah.
"Aku tidak bercanda, Kek. Aku sungguh-
sungguh. Pak Tua yang bernama Kwe Kok Jiang ini
memang pantas disebut maruta madaran!" ujar Pengemis Binal dengan raut muka
menampakkan ke-
sungguhan. "Maruta madaran" Ya. Ya, agaknya aku me-
mang pantas mendapat sebutan itu. Cukup enak di-
dengar dan terkesan gagah," sahut Kwe Kok Jiang.
"Tapi, kau harus memberi tahu apa arti maruta madaran itu, Suro!"
"Pasti! Maruta madaran adalah bahasa Jawa
halus. Artinya, angin perut alias kentut! Ha ha
ha...!" Kontan mengelam paras Kwe Kok Jiang. Sewaktu Pengemis Binal tengah
tertawa terbahak-
bahak, si Wajah Merah menjitak kepala remaja ko-
nyol itu. Tawa Pengemis Binal terhenti seketika.
Sambil meraba-raba kepalanya, dia menatap lekat si
Wajah Merah. "Kenapa kau menjitakku, Kek?" tanya Pengemis Binal, cengar-cengir.
"Sudah kubilang, jangan bercanda dengan
orang tua!" bentak si' Wajah Merah.
"Ya.... Ya, aku memang salah, Kek. Tapi, bu-
kankah Pak Tua ini yang mengawali?"
"Ya. Kita sama-sama salah, Suro," sahut Kwe Kok Jiang.
"Maafkan kekonyolan Suropati, Saudara Kok
Jiang...," ujar si Wajah Merah kemudian.
"Ah! Tidak menjadi apa. Aku justru senang
melihat kekonyolannya. Selama tiga tahun di tanah
Jawa, baru sekarang aku bertemu dengan orang
yang begitu menyenangkan."
Si Wajah Merah menatap lekat Kwe Kok
Jiang. "Apakah Saudara Kok Jiang hendak mene-
ruskan usaha mencari Arca Budha itu?" tanyanya, sungguh-sungguh.
Agaknya, si Wajah Merah telah diberi tahu pe-
rihal Arca Budha yang tengah dicari oleh Kwe Kok
Jiang. "Tentu saja, Hiapkek. Arca itu harus kutemukan sebelum orang jahat
mendapatkannya," jawab Kwe Kok Jiang, cepat.
"Tapi tidak sekarang, bukan" Keadaanmu be-
lum memungkinkan untuk melakukan perjalanan
jauh." "Jangan khawatir, Kek. Aku akan menema-ninya," sahut Suropati yang duduk
bersandar di dinding goa.
"Yah. Melakukan perjalanan bersama Suropa-
ti, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," tegas Kwe
Kok Jiang. "Kalau begitu, terserah. Hanya aku ingatkan,
rawatlah lengan kirimu dengan baik, Saudara Kok
Jiang," putus si Wajah Merah kemudian.
Maka hari itu juga, Kwe Kok Jiang bersama
Pengemis Binal meninggalkan Bukit Rawangun. Dua
hari kemudian, dua anak manusia itu tiba di kota
Ngadiluwih. Matahari tepat memayung di atas kepa-
la ketika mereka memasuki kota perdagangan itu.
Setelah bosan berputar-putar, mereka beristirahat di tepi sungai besar yang
menjadi penghubung kota
Ngadiluwih dengan kota perdagangan lainnya.
Mendadak mata Pengemis Binal terbelalak le-
bar, namun senyum senang segera mengembang di
bibirnya. Dia melihat seorang gadis bersama bocah
lelaki berusia dua belas tahun tengah turun dari
kapal dagang yang baru saja menambat untuk me-
nurunkan barang dagangannya.
"Hoiii...!" teriak Pengemis Binal, tangannya melambai-lambai.
Gadis berpakaian serba merah dan bocah le-
laki berusia dua belas tahun menoleh bersamaan.
Melihat seorang remaja tampan melambaikan tan-
gan, mereka segera meloncat dari tangga kapal, lalu berlari-lari menghampiri.
"Suro...!" teriak gadis dan bocah lelaki yang bukan lain Ingkanputri dan Gisa
Mintarsa. Tanpa mempedulikan Gisa Mintarsa, Penge-
mis Binal menghambur ke arah Ingkanputri. Cepat
sekali dia memeluk gadis cantik itu. Ingkanputri jadi jengah dan kelabakan
karena tiba-tiba Pengemis Binal menciumi kedua pipinya.
"Uh! Apa-apaan kau, Suro!" tegur Dewi Baju
Merah, kedua tangannya mendorong dada Suropati.
Hingga, remaja konyol itu hampir jatuh terjengkang.
"He he he...," tawa kekeh Suropati. "Kau tidak senang berjumpa denganku, Putri"
Bukankah kita sudah cukup lama berpisah" Ciumanku tadi sebagai
tanda persahabatan. Kau minta tambah?"
Kedua tangan Suropati mengembang hendak
memeluk Ingkanputri lagi, namun gadis itu telah
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melompat ke belakang. Bahkan, dia mencak-mencak
seraya menatap galak dengan muka merah-padam.
Memang, siapa yang tak akan marah mendapat per-
lakuan konyol Suropati di depan orang banyak"
"Kau marah, Putri?" tanya Pengemis Binal, ketolol-tololan. "Makin marah, kau
tambah cantik. He he he...."
"Aku tidak mau bercanda, Suro!" bentak Dewi Baju Merah, matanya melotot tajam.
"Rupanya, kau bocah bengal yang minta di-
tanggalkan daun telingamu, Suro!" tambah Raja
Syair. Mendengar kata-kata bocah titisan itu, Pen-
gemis Binal tercekat. Dia baru ingat bila Ingkanputri tidak datang seorang diri.
Pengemis Binal menatap
lekat wajah Gisa Mintarsa. Kontan keningnya berke-
rut. Wajah Gisa Mintarsa terlihat pucat-pasi seperti sedang menderita sakit.
"Kau kenapa, Gisa?" tanya Pengemis Binal.
"Aku terluka dalam," beri tahu Raja Syair.
"Terluka dalam" Kau habis bertempur dengan
siapa?" Sebelum pertanyaan Suropati terjawab, seorang lelaki tua berkulit putih
menghampiri seraya
menepuk bahunya dari belakang.
"Siapa mereka, Suro?" tanya lelaki berkuncir yang bukan lain Kwe Kok Jiang.
Semula, lelaki bergelar Pendekar Sesat itu
asyik memperhatikan kuli-kuli kapal yang tengah
menurunkan barang dagangan. Hingga, dia tak me-
lihat kedatangan Ingkanputri dan Gisa Mintarsa.
"Eh! Kau, Pak Tua...," kejut Pengemis Binal.
"Mereka temanku. Gadis cantik ini bernama Ingkanputri atau Dewi Baju Merah.
Sedang bocah jelek dan
jarang mandi ini Gisa Mintarsa atau Raja Syair."
Pengemis Binal mengenalkan dua sahabatnya
kepada Kwe Kok Jiang. Ketika Gisa Mintarsa dan
Kwe Kok Jiang bertatapan mata, mereka sama-sama
menjomblak kaget. Kening Kwe Kok Jiang berkerut
rapat. Sementara, bola mata Gisa Mintarsa membe-
lalak lebar. Kwe Kok Jiang terkejut karena tak menyang-
ka bila Gisa Mintarsa yang hanya berwujud bocah
berusia dua belas tahun dikenalkan Suropati seba-
gai Raja Syair. Padahal, selama tiga tahun di tanah Jawa, Kwe Kok Jiang sering
mendengar orang membicarakan keharuman nama Raja Syair sebagai seo-
rang pendekar sejati. Bagaimana pendekar besar itu
ternyata seorang bocah berusia dua belas tahun
yang wajahnya masih tampak jenaka seperti tak
punya dosa"
Sementara, Gisa Mintarsa terkejut karena me-
lihat wajah Kwe Kok Jiang amat mirip dengan orang
yang diimpikannya. Walau tampak lebih tua, tapi
garis-garis wajahnya sama persis. Apakah lelaki itu benar-benar Kwe Kok Jiang
yang tengah mencari Ar-ca Budha" Gisa Mintarsa bertanya dalam hati.
"Eh! Kau kenapa, Pak Tua?" ujar Suropati
yang melihat perubahan raut wajah Kwe Kok Jiang.
"He he he.... Kau tak usah heran, Pak Tua. Bocah beranting perak itu memang
benar Raja Syair. Walau raganya hanya berupa bocah berusia dua belas
tahun, tapi dia berjiwa seorang kakek berumur
hampir seratus tahun."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Kwe Kok Jiang, tak mengerti.
"Puluhan tahun yang lalu, Gisa Mintarsa te-
lah mati. Namun karena kuasa Tuhan, rohnya meni-
tis ke tubuh seorang bocah, yang sekarang kau lihat ini," tambah Pengemis Binal.
Kwe Kok Jiang mengangguk-angguk. Tam-
paknya, lelaki berkuncir itu. dapat memahami pen-
jelasan Suropati. Sementara Gisa Mintarsa yang tak
pernah melepaskan tatapannya dari wajah Kwe Kok
Jiang, terdengar mendehem. Agaknya, dia minta
waktu untuk bicara.
"Siapa temanmu itu, Suro?" tanya Gisa Mintarsa sambil menggamit lengan Pengemis
Binal. Su- aranya pelan, tapi masih dapat ditangkap telinga.
Pengemis Binal menatap wajah Raja Syair se-
jenak, lalu katanya, "Dia Kwe Kok Jiang."
"Kwe Kok Jiang?" kejut Raja Syair. "Hmmm....
Benar dugaanku. Orang itu pernah kujumpai di
alam mimpi," katanya kepada diri sendiri.
"Kenapa, Gisa" Apakah kau pernah melihat-
nya?" tanya Pengemis Binal melihat Gisa Mintarsa terus menatap Kwe Kok Jiang.
"Ya. Aku pernah melihatnya, Suro," beri tahu Raja Syair.
"Dimana?"
"Di alam mimpi."
"Di alam mimpi" Jangan bergurau kau, Gisa!"
Mendengar bentakan Suropati, Raja Syair
cuma tersenyum. Bocah titisan itu lalu mencerita-
kan perihal mimpinya. Suropati dan Kwe Kok Jiang
mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Juga ke-
tika Raja Syair menceritakan pertemuannya dengan
Auwyang Nan Ie dan peristiwa di Pulau Belut.
"Mahicha Kapoor yang melarikan Arca Budha
ke tanah Jawa ini mati terkena semburan jarum be-
racun," ujar Raja Syair, menutup ceritanya.
"Siapa yang menyemburkan jarum itu?" tanya Kwe Kok Jiang dengan bahasa Jawa yang
cukup lancar. "Seorang lelaki dari negeri seberang. Berbeda benar dengan dirimu, Kok
Jiang. Pembunuh Mahicha Kapoor itu bertubuh kotor dekil, pakaiannya
compang-camping, rambutnya awut-awutan, dan
wajahnya terlihat buruk karena tak pernah diurus.
Dia bersenjata tongkat," papar Raja Syair.
"Bersenjata tongkat...," desis Kwe Kok Jiang dengan kening berkerut rapat.
Tampaknya, dia tengah berpikir keras.
"Apakah kau kenal orang itu, Kok Jiang?"
tanya Raja Syair.
"Apakah pada pangkal tongkatnya terdapat
hiasan tengkorak manusia?" Kwe Kok Jiang balik bertanya.
"Ah! Aku tak seberapa memperhatikan. Waktu
itu, punggungku keburu ditendangnya," papar Raja Syair. "Ya. Pangkal tongkat
orang dekil itu berhias tengkorak manusia," sahut Ingkanputri.
Dewi Baju Merah tentu saja tahu karena se-
lendang suteranya pernah membelit tongkat lelaki
berwajah kotor yang telah membunuh Mahicha Ka-
poor. Mendengar ucapan Ingkanputri, Kwe Kok
Jiang menganggukkan kepala. "Kau ceritakan tadi, Gisa, orang itu membunuh
Mahicha Kapoor dengan
semburan jarum beracun. Apakah jarum-tarum itu
disebarkan dari batang bambu sepanjang dua jeng-
kal?" "Ya!" Ingkanputri yang menjawab.
Mengelam paras Kwe Kok Jiang seketika.
"Hmmm,.. Kalau begitu, Arca Budha benar-benar
menjadi incaran orang jahat..." gumamnya.
"Kau kenal dengan orang itu, Kok Jiang?"
tanya Raja Syair kemudian.
"Melihat ciri-ciri senjata itu, tak salah lagi, dia pasti Tan Peng Sin. Dia jago
nomor satu di Kay
pang. Sebelum berangkat ke tanah Jawa ini, aku
mencium rencana busuk lelaki itu. Dia hendak me-
mimpin teman-temannya untuk memberontak," jelas Kwe Kok Jiang.
"Sebentar... kau tadi menyebut Kaypang. Apa
itu?" tanya Suropati.
"Kaypang adalah partai pengemis di daratan
Tionggoan. Semacam Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti yang kau pimpin, Suro."
"Apakah Tan Peng Sin pemimpin Kaypang
itu?" tanya Suropati lagi.
"Bukan. Dia hanya anggota biasa. Tapi, ilmu
silatnya amat tinggi, juga cerdik. Sehingga, banyak anggota Kaypang yang takut
kepadanya. Mereka lalu
menjadi kaki-tangan Tan Peng Sin. Ketua Kay-pang,
Lam Ce In, tidak mampu berbuat apa-apa. Selain
sudah tua, ilmu silatnya pun di bawah Tan Peng
Sin...," Kwe Kok Jiang menghentikan ceritanya untuk mengambil napas panjang.
Mendadak, bola ma-
tanya membesar. "Sekarang, Arca Budha itu berada di mana?" tanyanya dengan suara
berat. "Kemungkinan besar dilarikan orang yang
bernama Tan Peng Sin itu...," duga Dewi Baju Merah. Kwe Kok Jiang mendesah.
Suropati menatap
wajahnya sambil garuk-garuk kepala. Ingkanputri
dan Gisa Mintarsa memperhatikan kebiasaan remaja
konyol itu dengan perasaan sebal.
"Kits, menari Tan Peng Sin sekarang?" tanya Pengemis Binal kemudian.
"Tentu saja!" jawab Ingkanputri, membentak keras. Mendongkol hatinya teringat
perlakuan Suropati waktu baru berjumpa tadi.
* * * Walau melawan arus, tapi rakit itu dapat me-
luncur cepat di permukaan Sungai Bayangan. Seo-
rang lelaki berwajah kotor berdiri tegak di atasnya.
Kedua tangannya mencengkeram erat batang bambu
kuning panjang, alat untuk menggerakkan rakit.
Rambut lelaki itu panjang awut-awutan, sama sekali
tak terurus. Ditambah pakaiannya yang compang-
camping, penampilan lelaki yang sebenarnya berku-
lit putih itu tampak amat mengenaskan. Namun
demikian, dapat dilihat bila tubuhnya tegap-berisi, pertanda bila dia bukan
pengemis atau gelandangan
biasa. Lelaki dekil itu membenarkan ikatan tongkat
berhias tengkorak manusia dan batang bambu se-
panjang dua jengkal di pinggangnya. Setelah me-
mastikan bahwa peti besi masih terikat baik di
punggungnya, dia menjejakkan batang bambu ku-
ningnya ke dasar sungai. Badan rakit pun melesat
cepat. Dia Tan Peng Sin, anggota Kaypang yang be-
rasal dari daratan Tionggoan. Setelah berhasil me-
nemukan peti besi yang tergeletak di semak semak,
secepatnya dia lari meninggalkan Pulau Belut. Den-
gan menggunakan rakit, lelaki dekil itu mengarungi
Sungai Balirang yang cukup lebar. Kemudian, sam-
pailah dia di Sungai Bayangan. Kedua sungai itu
memang berhubungan.
Kepala Tan Peng Sin menoleh ke kanan-kiri.
Setelah menemukan tempat sepi yang dirasa aman,
lelaki dekil itu melompat dari rakit. Gerakannya ringan, namun tubuhnya mampu
melesat sejauh tiga
tombak. "Arca Budha.... Arca Budha...," gumam Tan Peng Sin begitu kakinya menginjak
tanah. "Dengan Arca Budha akan kusingkirkan Lam Ce In, kemudian.... Ha ha ha...!
Akan kugulingkan takhta kera-
jaan! Ha ha ha...!"
Tanpa disadari oleh Tan Peng Sin, tawa ke-
rasnya telah mengejutkan seorang lelaki yang tengah berlari-lari menyusuri tepi
Sungai Bayangan. Dilihat dari raut wajah dan kulit tubuhnya, lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun itu jelas dari negeri seberang. Warna pakaiannya
kuning-coklat, Sedang di
punggungnya terselip sebatang pedang bengkok
Dengan berjalan mengendap-endap, menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh, lelaki yang ram-
butnya digelung itu mengintai Fan Peng Sin yang
tengah menatap peti besi di hadapannya.
"Hmmm.... Kiranya, Fan Peng Sin juga berada
di sini," kata si pengintai dalam hati. "Isi peti besi yang berada tergeletak di
hadapannya itu tampaknya barang berharga. Mungkinkah hasil curian"
Hmm.... Agaknya, dia tahu bila ada yang
mengintai gerak-geriknya. Bila isi peti besi itu memang barang berharga, pasti
kurampas!"
Sambil tersenyum-senyum, lelaki berbaju ge-
dombrongan itu terus mengawasi gerak-gerik Tan
Peng Sin dari belakang pohon besar. Sementara, Tan
Peng Sin sendiri sama sekali tak tahu bila dirinya
tengah diintai orang.
Sebenarnya, pendengaran Tan Peng Sin cu-
kup tajam, namun karena si pengintai mempunyai
ilmu meringankan tubuh sedemikian tinggi, sehing-
ga Tan Peng Sin jadi tak tahu bila seluruh gerak-
geriknya diawasi orang dari jarak sekitar empat
tombak. "Arca Budha.... Arca Budha...," gumam Tan Peng Sin berulang kali.
Diamat-amatinya peti besi di hadapannya. Se-
telah menemukan kunci pembukanya yang terletak
di kiri-kanan peti, lelaki dekil itu mengambil napas dalam-dalam, lalu kedua
tangannya bekerja. Tapi...
Blakkk...! "Haya...!"
Tutup peti besi membuka keras. Bersamaan
dengan itu, jarum-jarum hitam yang amat halus
berhamburan dari dalamnya. Tan Peng Sin yang su-
dah menduga akan adanya jebakan, cepat mengem-
pos tubuh ke atas. Dan terhindarlah dia dari bahaya
maut "Arca Budha.... Arca Budha...," gumam Tan Peng Sin seraya mengarahkan
pandangan ke peti
besi yang telah terbuka tutupnya.
Di dalam peti yang tingginya sejengkal itu,
terdapat bungkusan kain hitam. Tan Peng Sin mena-
tapnya dengan mata bersinar-sinar.
Tanpa pikir panjang lagi. Tan Peng Sin me-
nyambar bungkusan itu. Tali ikatannya dia tarik.
Dan, dia dapati kemudian sebuah arca sebesar bayi
kucing. Arca itu berbentuk sang Budha yang tengah
duduk bersila. Karena seluruh badannya terbuat da-
ri emas murni, maka sinar berkilauan pun member-
sit. "Ha ha ha...!" Tan Peng Sin tertawa bergelak penuh luapan rasa gembira. Kedua
tangannya mengangkat Arca Budha tinggi-tinggi. "Arca Budha telah kudapatkan
sekarang! Ha ha ha...! Aku akan jadi
orang besar! Aku akan jadi raja di atas segala raja!
Ha ha ha...! Tinggal kurebut Pedang Burung Hong di
tangan Auwyang Nan Ie!"
Tan Peng Sin terus tertawa sampai air ma-
tanya mengalir. Agaknya luapan rasa gembira mem-
buat lelaki dekil itu lupa diri. Namun tiba-tiba bola mata Tan Peng Sin melotot
besar. Kontan tawanya
terhenti. Tubuhnya bergetar keras seperti terserang demam hebat. Tanpa sadar
Arca Budha dia jatuhkan
ke tanah.
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mahicha Kapoor keparat! Mahicha Kapoor
keparat...!" teriak Tan Peng Sin sambil menatap kedua telapak tangannya
Telapak tangan lelaki dekil itu bengkak dan
berwarna biru-kehitaman. Bola mata Tan Peng Sin
semakin melotot besar. Warna biru-kehitaman di te-
lapak tangannya menjalar amat cepat. Sebentar sa-
ja, seluruh pergelangan tangan lelaki dekil itu telah bengkak dan tak dapat
digerakkan lagi!
"Mahicha Kapoor keparat...!" maki Tan Peng Sin, lebih keras hingga suaranya
membahana di angkasa. Lelaki dekil itu berjingkrak-jingkrak seperti
orang kesurupan. Dia sama sekali tak tahu apa yang
harus diperbuatnya, karena kedua tangannya me-
mang sudah tak dapat digerakkan lagi!
Diiringi jeritan panjang yang sangat menyayat
hati, tubuh Tan Feng Sin terguling ke tanah. Setelah berkelojotan beberapa saat,
nyawanya segera melayang dijemput malaikat kematian. Dia mati dengan
sekujur tubuh membengkak dan berwarna biru-
kehitaman. Agaknya, Mahicha Kapoor telah mence-
lupkan kain pembungkus Arca Budha ke dalam cai-
ran racun yang amat ganas.
Sementara itu, lelaki berpakaian kuning cok-
lat yang sejak tadi mengintai gerak-gerik Tan Peng
Sin, terkejut melihat kematian Tan Peng Sin yang
amat mengerikan. Namun ketika melihat Arca Bud-
ha yang tergeletak di tanah, dia bersorak girang. Cepat dia keluar dari tempat
persembunyiannya seraya
menyambar arca yang terbuat dari emas murni itu.
"Ha ha ha...! Arca Budha telah kudapatkan.
Pedang Burung Hong pun telah lama berada di tan-
ganku. Segala cita-citaku akan segera terwujud! Ha
ha ha...!"
Lelaki berpakaian gedombrongan itu tertawa
panjang. Kedua tangannya menggenggam erat Arca
Budha, lalu didekapnya, seakan-akan arca itu bakal
menjadi miliknya selama-lamanya. Lelaki yang di
punggungnya terselip sebatang pedang bengkok itu
adalah Auwyang Nan Ie!
SELESAI Segera ikuti saja kelanjutannya!!!
Serial Pengemis Binal dalam episode:
HANTU MERAH Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Bulan Berdarah 2 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Bende Mataram 20
dirimu. Bila terjadi apa-apa, aku pasti menolong-
mu." Akhirnya, Karundeng menyanggupi keinginan Ingkanputri. Maka saat itu juga,
mereka berangkat
Perahu Karundeng pun meluncur, mengikuti arus
Sungai Balirang yang cukup lebar. Walau sudah tua,
namun perahu Karundeng masih terlihat kokoh-
kuat. Hingga, tak ada kekhawatitan di hati Ingkan-
putri bila badan perahu akan pecah karena mem-
bentur batu besar yang kemungkinan menyembul di
permukaan air sungai. Atap perahu pun tampak ba-
ru diganti beberapa hari yang lalu. Bila turun hujan deras, tak akan atap itu
menjadi bocor. Di sepanjang perjalanan, gembira sekali hati
Ingkanputri. Panorama di kanan-kiri sungai tampak
indah, menyejukkan pandangan mata. Apalagi, Ka-
rundeng adalah orang yang pandai bicara. Seakan
tidak punya lelah lelaki tua itu bercerita tentang
dongeng yang ada hubungannya dengan Sungai Ba-
lirang. Ketika mentari hampir memayung di atas ke-
pala, perahu Karundeng membelok memasuki hu-
tan. Samar-samar terlihat sepiring tanah muncul di
kejauhan. Di tengah-tengahnya terdapat gundukan
tanah tinggi, membentuk gunung kecil.
"Hati-hati, Nona. Itulah tanah lebih yang dis-
ebut Pulau Belut. Hah"! Apa itu?"
Terkejut luar biasa Karundeng. Dari sisi ka-
nan perahu, melesat sesosok bayangan hitam. Gera-
kannya amat cepat hingga dalam sekejap mata,
bayangan itu telah lenyap, masuk ke hutan di kiri
aliran sungai. "Celaka! Siluman datang!" seru Karundeng
terbawa rasa takut. Kontan tubuh lelaki tua itu
menggigil bagai terserang demam.
Sementara wajah Karundeng berubah pucat
seperti mayat, Dewi Baju Merah yang bermata jeli
tampak tenang-tenang saja. Gadis cantik itu tahu
bila bayangan yang dilihatnya adalah bayangan ma-
nusia biasa yang sedang meloncat dengan menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh.
Segera Ingkanputri melangkah ke buritan. Dia
celupkan kedua telapak tangannya ke dalam air.
Dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, In-
gkanputri membuat badan perahu meluncur cepat.
Sementara, Karundeng terlihat makin ketakutan sa-
ja. Tanpa sadar, dayungnya terjatuh ke geladak.
"Bagaimana ini" Bagaimana ini?" tanya Ka-
rundeng berulang kali.
"Tenanglah, Kek. Yang kau lihat tadi bukan
siluman. Dia manusia biasa yang kebetulan memiliki
kemampuan lebih. Aku saja, yang hanya seorang pe-
rempuan bisa bersikap tenang, kenapa kau malah
begitu ketakutan" Apa kau tidak malu?"
Mendengar ejekan Ingkanputri, timbul kem-
bali keberanian Karundeng. Dengan wajah masih
pucat, dia lalu mendayung lagi. Malah, dia kerahkan seluruh tenaganya. Hingga
sebentar saja, peluh telah membanjir di sekujur tubuhnya.
"Kau beristirahatlah, Kek. Tanpa kau bantu,
aku bisa membuat perahu ini meluncur cepat," ujar
Dewi Baju Merah yang merasa kasihan melihat Ka-
rundeng kelelahan.
"Tidak, Nona!" tolak Karundeng yang telah bangun semangatnya. "Walau batang
usiaku sudah lapuk, walau peluh sudah membanjiri sekujur tubuhku, tak sudi aku
meninggalkan kewajibanku!"
Melihat kekerasan kepala Karundeng, In-
gkanputri mengulum senyum. Dia biarkan saja lela-
ki tua itu mendayung, Badan perahu pun meluncur
cepat, memecah aliran Sungai Balirang.
Tiba-tiba, sekitar sepuluh tombak dari tempat
perahu yang ditumpangi Karundeng dan Ingkanpu-
tri, melesat sebuah bayangan besar berwarna hitam-
kecoklatan. Cepat sekali! Hingga dalam satu kejap
mata hampir menimpa badan perahu!
"Ampuuun...!" jerit Karundeng seraya menutup kelopak mata untuk menerima nasib.
Blarrr...! Bayangan hitam-kecoklatan yang bukan lain
dari bongkahan batu besar hancur berkeping-keping
terhantam pukulan jarak jauh Ingkanputri. Peca-
hannya berhamburan ke berbagai penjuru, namun
tak sekepingpun yang jatuh di geladak perahu.
Mendengar ledakan keras yang terasa sangat
dekat dengan telinganya, Karundeng memekik keras.
Namun karena lelaki tua itu tak merasakan apa-apa
di tubuhnya, dia jadi sadar, dan segera membuka
kembali kelopak matanya.
Karundeng menarik napas panjang beberapa
kali. Hatinya amat lega karena mengetahui keadaan
perahunya tidak kurang suatu apa. Ingat akan si
penyewa perahu yang minta diantarkan ke Pulau
Belut, Karundeng segera mengedarkan pandangan.
Tampak kemudian, Ingkanputri yang tengah
berdiri tegak di atas atap perahu. Karundeng jadi
heran dan tak habis pikir. Pasti gadis cantik itulah yang telah menghancurkan
batu besar yang hendak
menimpa badan perahu. Tapi, bagaimana caranya"
Apakah dia memang siluman yang dapat menghan-
curkan sebuah benda tanpa menyentuhnya"
"Nona.... Nona, tidak apa-apa?" tanya Karundeng, takut-takut
"Seperti yang kau lihat, Kek. Aku tidak ku-
rang suatu apa," jawab Dewi Baju Merah seraya meloncat ke buritan. Kedua telapak
tangannya segera
menebas ke dalam air. Dan, perahu pun meluncur
cepat "Sekarang kita menepi, Kek," ujar Ingkanputri setelah sampai di pinggir
pulau kecil yang dituju.
"Apa"!" Karundeng berseru kaget. "Bukankah Nona telah melihat sendiri siluman
itu" Tidakkah lebih baik kita kembali saja?"
Melihat Karundeng yang tampak sangat keta-
kutan, timbul rasa kasihan di hati Ingkanputri. Ce-
pat dia ambil dua keping uang perak, lalu sodorkan-
nya kepada lelaki tua itu.
"Seperti yang kujanjikan, terimalah uang ini.
Dan, kembalilah cepat..."
Dengan tangan masih gemetar, Karundeng
menerima pemberian Ingkanputri. "Terima kasih.
Terima kasih...," katanya.
Dewi Baju Merah pun segera menjejak lantai
perahu. Gerakannya ringan, namun tubuh murid
Dewi Tangan Api itu mampu melesat cepat laksana
burung walet menyambar mangsa. Bayangannya
pun segera lenyap ditelan rimbunan pohon yang ba-
nyak tumbuh di tepi Pulau Belut.
"Siluman...," desis Karundeng.
Lelaki tua itu menatap lekat dua keping uang
perak pemberian Ingkanputri. Dia khawatir. jangan-
jangan uang itu bisa berubah jadi batu. Setelah
mengucak-ngucak matanya dan tak melihat peruba-
han apa-apa, bergegas Karundeng memutar perahu.
Dikayuhnya dayung sekuat tenaga agar bisa cepat
kembali ke tempat kediamannya.
Karundeng pun tak mempedulikan rasa lelah
yang merejam tubuhnya. Dikayuhnya dayung makin
cepat. Begitu sampai di tempat kediamannya, lelaki
tua itu langsung jatuh pingsan karena kelelahan.
Penduduk setempat jadi gempar. Apalagi setelah si-
uman Karundeng menceritakan bahwa dia baru saja
mengantarkan siluman cantik berpakaian serba me-
rah ke Pulau Belut.
5 Hati-hati sekali Ingkanputri melangkah. Per-
mukaan tanah yang dilaluinya lembab dan becek,
serta banyak terdapat lubang-lubang, itu pasti liang belut, pikir Ingkanputri.
Walau sinar mentari sedang terik, tapi kea-
daan di sekitar Pulau Belut remang-remang. Pohon-
pohon besar tumbuh rapat, sehingga rimbunan
daunnya menghalangi sinar mentari. Amat cocok,
untuk dijadikan tempat persembunyian perampok
atau orang jahat lainnya yang hendak mengasingkan
diri. Suasananya memang terkesan angker menye-
ramkan. Kadang-kadang dari bagian dalam pulau
terdengar suara-suara aneh, yang apabila didengar
orang bernyali kecil pastilah lari terbirit-birit.
Setelah berjalan sekitar seratus langkah, In-
gkanputri tiba di satu tempat yang agak lapang. Me-
lihat keadaan Pulau Belut yang sunyi-senyap, sema-
kin besar niat Ingkanputri untuk terus menyelidiki.
Bahkan, kalau mungkin membasmi orang jahat
yang bersembunyi di pulau itu.
Semakin jauh kakinya melangkah, Ingkanpu-
tri semakin meningkatkan kewaspadaannya, Lonta-
ran batu besar yang hendak menimpa perahu men-
jadikan Ingkanputri yakin bila penghuni Pulau Belut bukanlah orang sembarangan.
Mungkinkah pelontar
batu itu adalah bayangan hitam yang sempat dili-
hatnya dari atas perahu"
Sewaktu Dewi Baju Merah berpikir-pikir,
mendadak berkelebat sesosok bayangan di balik pe-
pohonan. Bayangan itu pendek, mirip tubuh anak-
anak berumur dua belas tahun.
"Berhenti...!" hardik Ingkanputri.
Gadis cantik itu segera mengempos tubuh un-
tuk mengejar, tapi bayangan yang dilihatnya keburu
lenyap. Kelebatan bayangan itu tak kalah cepat bila dibanding dengan bayangan
hitam yang dilihat Ingkanputri bersama Karundeng ketika masih berada
di perahu. Mendadak, kira-kira empat tombak dari tem-
pat Ingkanputri berdiri, terlihat ratusan benda putih panjang berkilat-kilat
yang merayap hendak mengepung Ingkanputri.
Dewi Baju Merah terkejut setengah mati. Sat-
wa melata yang disangkanya belut itu ternyata ular!
Dilihat dari bentuk kepala dan warna tubuhnya, da-
pat dipastikan bahwa ratusan ular itu mempunyai
bisa yang amat mematikan.
Dalam keterkejutannya, Ingkanputri ingat
seorang pemuda yang tinggal di Sungai Bayangan,
bernama Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular. Di
tempat kediamannya, pemuda itu memelihara ber-
macam jenis ular yang dapat diperintah untuk me-
lakukan apa saja hanya dengan tiupan suling.
Mungkinkah ratusan ular putih yang tengah menge-
pung Ingkanputri itu adalah peliharaan Sawung Je-
nar" Dan, ada urusan apa pemuda itu datang ke Pu-
lau Belut" Untuk apa dia memerintahkan ular-
ularnya menyerang Ingkanputri"
Tak dapat Dewi Baju Merah berpikir panjang,
karena ratusan ular putih telah semakin dekat men-
gepungnya. Sebelum kakinya terbelit ataupun terpa-
tuk, cepat Dewi Baju Merah menjejak tanah. Hingga,
tubuhnya melesat ke atas!
"Hait...!"
Sekejap mata kemudian, Ingkanputri telah
bertengger di atas dahan pohon. Segera dia bersem-
bunyi di balik rimbunan daun. Hendak dia lihat,
apakah benar yang memerintahkan ular-ular putih
itu adalah Sawung Jenar.
Ingkanputri terkesiap ketika dari semak-
semak di sebelah kirinya keluar sesosok tubuh pen-
dek mengenakan rompi kuning dan bercelana cuma
sepanjang lutut. Wajahnya lucu, mirip anak-anak
berumur dua belas tahun. Di telinga kirinya, meng-
gantung sebuah anting besar terbuat dari perak.
"Gisa Mintarsa...," desis Ingkanputri yang dapat mengenali siapa sebenarnya
bocah berompi kun-
ing itu. Ingkanputri hendak berteriak memanggil. Ta-
pi karena tak mau penyelidikannya terganggu, dia
mengurungkan niatnya. Lagi pula, dia ingin tahu
apa yang akan diperbuat oleh Gisa Mintarsa yang
bergelar Raja Syair.
Gisa Mintarsa sebenarnya seorang tokoh tua
yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu. Ka-
rena memiliki dendam-kesumat terhadap Ratu Air,
guru Banjaranpati atau Bayangan Putih dan Selatan
itu lalu menitis pada tubuh seorang bocah. Oleh ka-
renanya, wujud Gisa Mintarsa berupa seorang bocah
berumur dua belas tahun. (Untuk lebih jelasnya, si-
lakan baca serial Pengemis Binal dalam episode :
'Prahara di Kuil Saloka").
Kening Dewi Baju Merah berkerut saat meli-
hat ulah aneh yang diperbuat Gisa Mintarsa. Bocah
titisan itu tampak berlari-lari mengitari ratusan ular putih yang tadi telah
mengepung Dewi Baju Merah.
Semakin lama, lari Gisa Mintarsa semakin cepat.
Anehnya ratusan ular putih yang dikitari terlihat
menengadahkan kepalanya tinggi-tinggi. Lalu, satwa
melata itu berkumpul dan bertumpuk-tumpuk men-
jadi satu. Tiba-tiba, Raja Syair menghentikan gerak tu-
buhnya. Terlihat oleh Ingkanputri, di punggung bo-
cah itu terlihat sebuah peti persegi terbuat dari besi.
Sejenak Raja Syair menatap tumpukan ular
putih di hadapannya. Lalu, dia menengadahkan ke-
pala seraya meludah!
"Cuhhh...!"
Segumpal air liur melesat ke udara. Bagai
mengandung bahan peledak, gumpalan air liur itu
lalu pecah berhamburan, untuk kemudian jatuh
menjadi titik-titik hujan yang menyiram tumpukan
ular putih! Hebatnya, titik-titik hujan berupa air liur itu
menimpa tepat di kepala ular-ular putih. Semua
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satwa melata itu lalu berkelojotan seraya memper-
dengarkan suara mendesis-desis keras. Hanya da-
lam beberapa kejap mata, mereka telah terbaring di
tanah tanpa nyawa!
Dewi Baju Merah berdecak kagum melihat
kehebatan Gisa Mintarsa. Semakin tertarik hatinya
untuk melihat apa yang akan diperbuat oleh bocah
titisan itu selanjutnya. Maka, dia atur tubuhnya
yang berada di atas dahan agar tak mudah terli-
hat..... "Pencuri keparat...!"
Terdengar sebuah makian yang melengking
tinggi. Disusul lima titik kecil yang melesat cepat memperdengarkan suara
mendengung keras. Senjata rahasia yang dilontarkan dari balik semak-
belukar itu mengancam lima jalan darah penting di
tubuh Gisa Mintarsa!
Mengetahui serangan gelap itu, Gisa Mintarsa
tampak tenang-tenang saja. Seperti tak ada kejadian apa-apa, dia lalu meludah
lagi! "Cuhhh...!"
Untuk kedua kalinya, segumpal air liur mele-
sat cepat. Gumpalan air liur itu pecah menjadi titik-titik hujan. Lima titik di
antaranya menghajar senja-ta rahasia yang mengancam jiwa Gisa Mintarsa. Se-
mentara, titik-titik lainnya melesat terus ke depan, menuju penyerang gelap yang
telah melontarkan li-ma senjata rahasia!
Prattt...! "Haya...!"
Dibarengi teriakan guntur, berkelebat sesosok
bayangan hitam dari semak belukar. Ingkanputri
yang berada di atas dahan pohon dapat memastikan
bila bayangan hitam itu adalah bayangan yang telah
dilihatnya bersama Karundeng waktu masih berada
di perahu. "Pencuri keparat! Walau wujudmu hanya seo-
rang bocah, tapi kau punya kepandaian juga. Cepat
kembalikan peti besi itu sebelum habis kesabaran-
ku!" hardik seorang lelaki tinggi-gemuk mengenakan pakaian hitam-kotor
gedombrongan. Tinggi lelaki itu melebihi tinggi tubuh rata-
rata orang Jawa. Kepalanya diikat dengan surban
dekil berwarna hitam pula. Wajahnya dipenuhi bulu
lebat. Agaknya, dia memang bukan orang Jawa. Ter-
lihat dari wujud dan ucapannya yang patah-patah.
Mendengar hardikan lelaki tinggi-gemuk itu,
bibir Gisa Mintarsa malah menyungging senyum.
"Bukankah kau ahli yoga dari India yang bernama Mahicha Kapoor?" tebaknya.
Terkesiap si lelaki tinggi-gemuk. Dia tak me-
nyangka bila dirinya dapat dikenali oleh Gisa Min-
tarsa. "Tak salah apa yang kau katakan. Aku memang Mahicha Kapoor. Katakan siapa
dirimu, dan bagaimana kau bisa mengenaliku!"
"Setelah aku menuruti permintaanmu, apa-
kah kau akan membiarkan aku pergi membawa peti
besi ini?" Gisa Mintarsa menunjuk peti persegi yang terikat di punggungnya.
"Keparat! Peti itu milikku! Tak akan kubiar-
kan orang lain membawanya pergi dari Pulau Belut!"
"Kalau begitu, seumur hidup kau tak akan
tahu siapa aku dan bagaimana aku bisa mengenali-
mu...." "Bedebah!" umpat Mahicha Kapoor seraya meloloskan pedang yang terselip
di punggungnya. "Jangan buat aku penasaran kalau tak ingin tubuhmu
kucincang!"
Walau dirinya diancam dengan tudingan pe-
dang tajam berkilat, sikap Gisa Mintarsa tenang-
tenang saja. Sejenak ditatapnya wajah Mahicha Ka-
poor yang kaku-membesi. Lalu, dia tengadahkan wa-
jahnya seraya mengucap kata-kata....
Banyak orang bodoh yang tak menyadari ke-
bodohannya Sering kali orang bodoh berlaku bodoh
Namun dia tak sadar bila telah berlaku bodoh
Gampang naik darah adalah contoh perilaku
bodoh. Orang yang mengumbar hawa amarah, bu-
kankah telah menunjukkan bahwa dirinya bodoh"
Kenapa dikatakan bodoh" Karena dia tak da-
pat mengendalikan nafsunya, maka dari itu dikatakan bodoh!
Mendengar ejekan Gisa Mintarsa yang berupa
sebait syair, Mahicha Kapoor menggeram keras.
Amarahnya tidak lenyap, tapi malah meledak-ledak.
"Hmmm.... Aku benar-benar akan mencin-
cang tubuhmu! Tapi sebelum nyawamu melayang ke
neraka, ada baiknya kau katakan siapa dirimu dan
bagaimana kau dapat mengenaliku, bahkan mencuri
peti besi milikku!"
"Ha ha ha...!" Raja Syair tertawa bergelak.
"Lucu.... Lucu sekali kau ini, Kapoor. Sudah ku-sindir-sindir sedemikian rupa,
agaknya kau tidak
menyadari juga kebodohanmu. Kenapa kau biarkan
darahmu mendidih terus" Tidakkah kau ingin ber-
cakap-cakap dengan kepala dingin dan pikiran jer-
nih?" "Jangan buat aku penasaran, Bocah Edan!"
"Hmmm... Yah, baiklah. Agar kau tak semakin
naik pitam, agar tak semakin terlihat kebodohanmu,
kukatakan saja siapa diriku sebenarnya. Aku ber-
nama Gisa Mintarsa. Puluhan tahun yang lalu, se-
masa aku masih hidup dengan raga tua, kaum per-
silatan biasa menyebutku sebagai Raja Syair...."
"Apa maksud ucapanmu itu"!" sela Mahicha
Kapoor, mencoba menahan kemarahan walau na-
pasnya sudah terasa sesak.
"Rupanya, kau memang tak lebih pandai dari
seekor kerbau, Kapoor. Tapi, tahanlah diri dulu! Aku bisa mengerti apa yang kau
tak mengerti. Ketahuilah, puluhan tahun yang lalu aku telah mati. Karena kuasa
Tuhan, rohku menitis ke tubuh seorang bocah, yang sekarang berada di hadapanmu
ini." Mahicha Kapoor terdiam. Keningnya berkerut
memikirkan keajaiban yang terjadi atas diri Gisa
Mintarsa. "Raja Syair.... Raja Syair...," desis ahli yoga dari India itu. "Mendengar
untaian kata-katamu ba-rusan, kau memang pantas diberi gelar Raja Syair,
Gisa. Sekarang, katakan bagaimana kau bisa men-
genal aku, sedang aku sama sekali tak mengenali-
mu!" "Kau tentu pernah mendengar nama Auwyang
Nan Ie...."
"Auwyang Nan Ie?" kejut Mahicha Kapoor.
"Kau juga mengenai jagoan dari daratan Tionggoan itu?" "Ya. Dialah yang telah
menceritakan perihal dirimu."
Mengelam paras Mahicha Kapoor seketika.
"Kalau begitu, si keparat seh Auwyang itukah yang telah menyuruhmu mencuri peti
besi milikku itu?"
Kepala Gisa Mintarsa menggeleng, hingga ant-
ing besar di telinga kirinya bergoyang-goyang. "Tidak. Auwyang Nan Ie tidak
menyuruhku! Dia tidak
tahu bila kau berada di Pulau Belut dan membawa
Arca Budha...."
Mendengar kata-kata Raja Syair, Ingkanputri
yang masih bersembunyi di dahan pohon makin ter-
tarik untuk terus mengikuti arah pembicaraan bo-
cah titisan itu. Dia tak tahu siapa Mahicha Kapoor
dan Auwyang Nan Ie, serta arca apa yang telah dis-
ebutkan oleh Raja Syair. Justru karena ketidakta-
huannya itulah, Ingkanputri jadi penasaran.
"Secara kebetulan aku bertemu dengan Au-
wyang Nan Ie. Karena gerak-gerik orang itu sangat
mencurigakan, aku memaksanya bercerita melalui
alam mimpi," lanjut Gisa Mintarsa.
"Benarkah kau memiliki kepandaian sedemi-
kian hebat?" tanya Mahicha Kapoor, tak percaya.
"Bukan maksudku untuk menyombongkan
diri. Tapi sesungguhnya, itulah yang terjadi. Ketika aku menembus alam mimpi
Auwyang Nan Ie, orang
itu bercerita bahwa dia memiliki sebatang pedang
pusaka bernama Pedang Burung Hong. Pedang itu
akan memiliki manfaat yang luar biasa bila telah di-
gabungkan dengan Arca Budha. Oleh karena aku
melihat nafsu buruk pada diri Auwyang Nan Ie, aku
berusaha mendahuluinya mencari Arca Budha. Ki-
ranya, Arca Budha berada di tanganmu. Karena aku
tahu kau juga memiliki nafsu buruk, mengejar Au-
wyang Nan Ie ke tanah Jawa untuk merebut Pedang
Burung Hong, terpaksa aku mencuri peti besimu
yang dapat kupastikan berisi Arca Budha."
"Keparat! Kau memang pintar, Gisa. Tapi jan-
gan kira aku tak dapat menebas batang lehermu bila
kau tak menyerahkan peti besi itu!"
"Datang ke Pulau Belut, aku sudah memper-
hitungkan segala sesuatunya. Kau sengaja menye-
bar desas-desus bahwa di Pulau Belut dihuni silu-
man. Maksudmu tentu untuk memancing Auwyang
Nan Ie datang. Kiranya, aku yang datang. Bahkan,
berhasil mencuri barang yang sebenarnya juga bu-
kan milikmu. Ha ha ha...!"
Sewaktu Raja Syair tertawa bergelak, Mahicha
Kapoor menggembor keras. Tubuhnya berkelebat
dengan ujung pedang menusuk lurus, mengarah ke
pangkal tenggorokan bocah titisan itu!
Wuttt...! "Cuhhh...!"
Tawa Raja Syair terhenti mendadak. Sambil
merunduk, dia keluarkan segumpal air liur dari mu-
lutnya. Gumpalan air liur lalu pecah di udara, men-
jadi titik-titik hujan yang hendak menghajar tubuh
Mahicha Kapoor!
"Uts...!"
Karena telah menyaksikan kehebatan air liur
Raja Syair, bergegas Mahicha Kapoor menarik pe-
dangnya seraya diputar cepat hingga membentuk
baling-baling perisai!
Prattt...! Titik-titik hujan air liur buyar tersapu puta-
ran pedang Mahicha Kapoor.
"Mati kau!" geram Mahicha Kapoor seraya
mengirim babatan ke leher Raja Syair.
Ketika kurang sejengkal pedang Mahicha Ka-
poor mengenai sasaran, Raja Syair menjatuhkan tu-
buh, lalu meludah ke atas. Mahicha Kapoor yang
sudah menduga akan datangnya serangan, memutar
pedangnya lagi. Setelah titik-titik hujan air liur ter-halau, lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun itu
menjejak tanah.
Sewaktu tubuhnya melayang di udara, Mahi-
cha Kapoor membuang pedangnya. Setelah bersalto
tiga kali, tubuh lelaki tinggi-gemuk itu melayang turun perlahan-lahan, seringan
kapas! Lebih hebat la-
gi, Mahicha Kapoor tidak mendarat dengan telapak
kaki, melainkan dengan kepala, dan sedikit pun ti-
dak memperdengarkan suara!
Di tempat persembunyiannya, Ingkanputri tak
dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Mata gadis
cantik itu terbelalak, seperti melihat suatu keajaiban. Sementara, Gisa Mintarsa
yang lebih matang
pengalaman, tetap berdiri tenang di tempatnya. Dia
melihat sikap aneh Mahicha Kapoor sambil terse-
nyum-senyum. Mahicha Kapoor yang berdiri dengan kepala di
bawah tampak memejamkan matanya. Perlahan-
lahan kedua kakinya menekuk, lalu mengambil si-
kap bersila dengan kepala tetap berada di bawah.
Beberapa saat kemudian, tubuh Mahicha Ka-
poor melayang, lalu membalik dengan perlahan-
lahan. Ketika ahli yoga dari India itu telah duduk
bersila di tanah sebagaimana mestinya, terkejutlah
Raja Syair. "Argh...!"
Gisa Mintarsa mengeluh kesakitan. Sekujur
tubuhnya terasa bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Semakin terkejut bocah titisan itu setelah mengeta-
hui kedua tangan dan kakinya tak dapat digerakkan
sama sekali! Rupanya, Mahicha Kapoor telah mengi-
rim gelombang serangan yang tak dapat dilihat den-
gan mata. Cepat Raja Syair mengatur hawa murni yang
berputar-putar tak karuan. Namun, keluh kesakitan
justru keluar dari mulutnya. Hawa murninya malah
bergolak. Itu berarti dia tak mungkin dapat menge-
rahkan tenaga dalam untuk membentengi dirinya
dari serangan kasat mata yang dilancarkan Mahicha
Kapoor! Sebentar saja, wajah Gisa Mintarsa telah
memucat seperti mayat. Aliran darahnya kacau,
membuat kepalanya pening dan pandangannya
mengabur. Terkejut luar biasa Ingkanputri melihat kea-
daan Gisa Mintarsa. Dari tempat persembunyiannya,
dia dapat melihat dengan jelas mulut Gisa Mintarsa
yang menyemburkan darah segar. Keterkejutan In-
gkanputri bertambah tatkala sekujur tubuhnya tera-
sa sakit bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sadarlah gadis cantik itu bila
gelombang serangan Mahicha
Kapoor juga mengenai dirinya!
Tanpa pikir panjang lagi, Ingkanputri melon-
cat dari tempat persembunyiannya, yang berada di
atas dahan pohon rimbun. Lalu, berkelebat, me-
nyambar tubuh Raja Syair yang sudah lemah tiada
daya. Namun....
Jderrr...! Tubuh Dewi Baju Merah terpental, lalu jatuh
bergulingan di tanah. Kontan gadis cantik itu meng-
geliat kesakitan. Kain baju di bagian punggungnya
robek sejengkal, dan ada cairan darah merembes!
"Uh...!" keluh Ingkanputri seraya meloncat bangkit.
Mahicha Kapoor yang telah berdiri tegak me-
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
natap murid Dewi Tangan Api itu dengan mata ber-
kilat tajam menusuk. Tangan kanannya mencekal
cambuk yang semula digunakan sebagai ikat ping-
gang. Cambuk itu gagangnya cuma sejengkal, se-
dang talinya yang terbuat dari olahan kulit beruang salju terjuntai sepanjang
tujuh kaki. Senjata itulah yang telah melukai punggung Ingkanputri.
"Kuntilanak laknat! Rupanya, kau hendak
main-main pula dengan Mahicha Kapoor!"
Di ujung kalimat Mahicha Kapoor, Raja Syair
menoleh. Melihat kehadiran Dewi Baju Merah timbul
rasa lega di hatinya. Cepat dia lepas ikatan peti besi di punggungnya. Lalu,
peti itu dilemparkan ke arah
Dewi Baju Merah.
"Pergilah cepat bersama peti ini!" teriak Raja Syair. Walau telah terluka, namun
gerakan Ingkanputri masih cekatan untuk dapat menangkap peti
besi yang dilemparkan Raja Syair. Namun, Ingkan-
putri tak segera menuruti perintah Raja Syair kare-
na tubuh bocah titisan itu tiba-tiba jatuh menggelo-sor ke tanah. Agaknya, Raja
Syair telah menderita
luka dalam yang cukup parah.
Ingkanputri bingung, tak tahu apa yang ha-
rus dilakukannya. Membawa pergi peti besi yang te-
lah berada di tangannya atau menyelamatkan Raja
Syair" Akhirnya, dia mengambil keputusan memba-
wa pergi peti besi dan menyelamatkan pula Raja
Syair. Maka tanpa pikir panjang lagi, Ingkanputri
menyambar tubuh Raja Syair yang tergeletak di ta-
nah. "Tinggalkan peti itu berikut nyawamu!" hardik Mahicha Kapoor seraya
menyabetkan cambuknya.
Terpaksa Ingkanputri mengurungkan niatnya.
Diegoskan tubuhnya ke kiri untuk menghindari sa-
betan cambuk kulit beruang salju. Ingkanputri ter-
perangah. Walau tali cambuk tak mengenai sasaran,
tapi sambaran anginnya sanggup membuat kulitnya
terasa pedih dan panas seperti terbakar!
Mahicha Kapoor yang tak mau memberi ke-
sempatan kepada Ingkanputri, segera mengirim se-
rangan susulan. Tapi cambuknya menyambar-
nyambar seakan berubah menjadi ratusan ular yang
tengah menyerbu mangsa. Sambaran cambuk itu
menimbulkan suara bersiut keras dan sesekali me-
ledak memekakkan gendang telinga. Tak ayal lagi,
daun-daun rontok berguguran. Gumpalan tanah
lembek dan bebatuan berhamburan ke udara!
Mendapat serangan yang demikian hebat, In-
gkanputri meloloskan ikat pinggangnya yang berupa
selendang sutera berwarna merah. Tak kalah berba-
hayanya, ujung selendang itu juga menyambar-
nyambar, mengincar jalan kematian di tubuh Mahi-
cha Kapoor! Namun karena bertempur sambil membawa
peti besi yang cukup berat, gerakan Ingkanputri jadi
kurang gesit. Sebelum sesuatu yang tak diinginkan
terjadi, Ingkanputri menjatuhkan peti itu ke tanah.
Lalu, dimainkannya jurus-jurus 'Selendang Sakti'
hasil ajaran Sekar Mayang semasa Ingkanputri ma-
sih menjadi anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah. "Setan alas! Hari ini juga akan kuhabiskan riwayatmu. Menyusul kemudian
si bocah edan Gisa
Mintarsa! Kalian adalah pencuri-pencuri busuk yang
layak dienyahkan dari muka bumi!" geram Mahicha Kapoor.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam
ke tali cambuk, Mahicha Kapoor melentingkan tu-
buhnya ke atas. Sebelum menginjak tanah, tubuh-
nya diputar. Kedua kakinya mengirim tendangan
saling susul. Sewaktu Ingkanputri berkelit, tali cambuk Mahicha Kapoor menyambar
cepat, mengurung
tubuh Ingkanputri dari segala penjuru. Itulah gerak tipu 'Cambuk Kosong
Menghajar Bayangan Hantu'
yang diperoleh Mahicha Kapoor dari perguruan silat
Liang San Pay di daratan Tionggoan.
Berkali-kali selendang sutera dan cambuk ku-
lit beruang salju berbenturan, kemudian saling belit.
Walau sebenarnya tenaga dalam Ingkanputri tidak
berada di bawah Mahicha Kapoor, tapi karena sifat
senjata selendangnya yang lebih lembut lama-
kelamaan selendang sutera itu pun robek-robek, lalu terbabat putus tinggal
setengah bagian!
Terdesaklah Ingkanputri akhirnya. Gadis can-
tik itu dipaksa bergerak mundur ke semak-semak,
menjauhi peti besi yang tergeletak di tanah
Tampak kemudian, sambil mengirim serangan
dengan tali cambuk, Mahicha Kapoor merundukkan
tubuhnya untuk menyambar peti besi. Tentu saja
Ingkanputri tak mau tinggal diam. Dari ucapan Raja
Syair yang didengarnya dari atas dahan pohon, In-
gkanputri tahu bila peti besi itu berisi Arca Budha yang tak boleh jatuh ke
tangan orang jahat. Maka,
setelah berhasil menghindari sambaran cambuk
Mahicha Kapoor, Ingkanputri menggerakkan sisa po-
tongan selendangnya!
Wuttt..! Prang...! Kontan Mahicha Kapoor mendengus gusar.
Peti besi yang hampir berhasil disambarnya, tiba-
tiba terlontar dua tombak. Rupanya, ujung selen-
dang Ingkanputri berhasil menghantam peti besi
yang semula berhasil dicuri oleh Raja Syair itu.
6 Mendadak dari balik semak-semak berkelebat
sesosok bayangan, langsung menyambar peti besi
yang berada di dekat tubuh Raja Syair, yang tergolek lemah di bawah naungan
pohon besar. Crep...! "Aih...!"
Sosok manusia yang telah berhasil menyam-
bar peti besi tak dapat melanjutkan kelebatan tu-
buhnya karena kaki kanannya kena cengkeraman
jari tangan Raja Syair. Dalam keterkejutannya, so-
sok manusia itu memekik keras seraya menusuk tu-
buh Raja Syair dengan ujung tongkat yang diba-
wanya. Tapi, gerakannya terhenti di udara karena
cambuk Mahicha Kapoor menyambar laksana kilat,
menimbulkan ledakan keras dan mengancam kepa-
la! "Mati kau, Pencuri Busuk!"
Cepat sekali orang yang baru muncul memu-
tar tongkatnya. Sewaktu, tali cambuk terpental ba-
lik, dia mengibaskan bambu sepanjang dua jengkal
di tangan kirinya!
Terdengar suara mendengung ketika dari da-
lam tongkat bambu menyembur ribuan jarum. Sen-
jata rahasia itu mengandung racun yang luar biasa
ampuh. Sebatang saja sudah mampu untuk mem-
bunuh orang dengan tubuh kaku-mengejang, apala-
gi ribuan! Mahicha Kapoor yang tak menyangka akan
datangnya serangan sedemikian mendadak menjerit
keras. Dia masih sempat memutar cambuk untuk
membuat perisai, tapi semburan jarum-jarum bera-
cun itu melesat lebih cepat. Tak ayal lagi, sekujur tubuh Mahicha Kapoor menjadi
makanan empuk. Tak terkecuali, wajahnya juga menjadi sasaran!
Pekik kesakitan Mahicha Kapoor membahana
seantero Pulau Belut. Ahli yoga dari India itu berkelojotan di tanah. Kedua
tangannya mendekap wa-
jahnya yang telah dipenuhi bintik-bintik merah.
Sementara Mahicha Kapoor meregang nyawa,
penyebar jarum beracun yang ternyata seorang lela-
ki berpakaian compang-camping penuh tambalan
berteriak nyaring. Cengkeraman Raja Syair masih
belum lepas dari kain kanannya. Bahkan, mengu-
curkan darah segar karena kuku-kuku jari tangan
Raja Syair menembus dagingnya!
"Lepaskan, Keparat!" hardik lelaki berpakaian
compang-camping.
Di ujung kalimatnya yang kaku dan patah-
patah, lelaki itu menyabetkan tongkatnya untuk
memecahkan batok kepala Raja Syair! Tentu saja In-
gkanputri tak mau tinggal diam. Sisa potongan se-
lendangnya meluncur cepat, dan berhasil membelit
tongkat lelaki berpakaian compang-camping.
Karena tak mau kehilangan senjata, cepat le-
laki berwajah kotor penuh debu itu mengerahkan
tenaga dalam untuk membetot tongkatnya. Sewaktu
terjadi adu kekuatan tenaga dalam, mendadak Raja
Syair melepas cengkeramannya. Dengan sisa-sisa
tenaganya dia bangkit, lalu merampas peti besi yang berada di jepitan ketiak
lelaki berpakaian compang-camping.
Merasa kecolongan, si wajah kotor mengge-
ram keras. Dia tambah kekuatan tenaga dalamnya
untuk membuat selendang Ingkanputri putus. Ber-
samaan dengan itu, dia mengirim tendangan ke tu-
buh Raja Syair yang belum beranjak jauh dari si-
sinya. Des...! "Argh...!"
Punggung Raja Syair kena hajar dengan telak.
Akibatnya, tubuh bocah titisan itu jatuh bergulin-
gan. Peti besi yang berada di kempitan ketiaknya
terlontar ke udara, lalu jatuh ke semak-semak. Se-
mentara, tubuh Raja Syair terus bergulingan sampai
membentur batang pohon besar, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi!
"Ha ha ha...! Mati kau, Bocah Edan!" ujar si wajah kotor dengan bahasa Jawa
patah-patah. Sambil menambah kekuatan tenaga dalam
pada lengan kanannya yang mencengkeram erat
ujung selendang, Ingkanputri mendengus gusar. Di-
tatapnya dengan penuh kebencian lelaki berpakaian
compang-camping yang tengah mengadu kekuatan
dengannya. Selain berwajah kotor, rambut lelaki bersenja-
ta tongkat itu awut-awutan tak terurus. Matanya
yang sipit menyorotkan sinar bengis, menandakan
kekejaman sifatnya. Walau penampilannya serba tak
karuan, masih dapat dilihat bila dia berkulit putih.
Sekilas orang bisa memastikan bila dia berasal dari negeri seberang.
Karena mengkhawatirkan keadaan Raja Syair
tergeletak di tanah tanpa daya, Dewi Baju Merah tak mau membuang-buang waktu.
Segera dia bagi kekuatan tenaga dalamnya untuk dialirkan ke tangan
kiri. Sewaktu selendang sutera nyaris terbetot pu-
tus, pergelangan tangan kiri Dewi Baju Merah telah
berubah merah membara dan memancarkan hawa
panas! Si wajah kotor terkejut ketika tiba-tiba kulit tubuhnya tersengat hawa
panas. Tanpa pikir panjang, dia kibaskan batang bambu di tangan kirinya.
Dalam sekejap mata, ribuan jarum beracun menyer-
bu Ingkanputri!
Namun bertepatan dengan itu, Ingkanputri
menghentakkan telapak tangan kirinya ke depan.
Selarik sinar merah menggidikkan melesat.
Jarum-jarum beracun berpentalan ke udara,
lalu rontok ke tanah. Sementara, selarik sinar merah yang muncul karena
penerapan ilmu 'Pukulan Api
Neraka' terus melesat, hendak menghajar tubuh si
wajah kotor! Wusss...! "Haya...!"
Si wajah kotor melompat tinggi ke atas. Ter-
bawa lesatan tubuhnya, selendang Ingkanputri ter-
betot putus. Selarik sinar merah menerpa batang
pohon dua rangkulan manusia dewasa. Terdengar
ledakan keras. Pohon besar itu tumbang. Pangkal-
nya menghitam dan mengepulkan asap, di beberapa
tempat terlihat percikan lidah api.
Begitu menginjak tanah, si wajah kotor berke-
lebat masuk ke semak-semak, lalu menghilang en-
tah ke mana. Ingkanputri sama sekali tak mempedu-
likan lelaki itu lagi. Dia harus cepat memberi pertolongan kepada Raja Syair.
Kening Dewi Baju Merah berkerut tajam. Rasa
khawatir terpancar jelas di sorot matanya. Dia me-
meriksa keadaan Raja Syair sambil berulang kali
menghela napas panjang.
Suhu badan Raja Syair amat tinggi. Rompi
dan celana pendek yang dikenakannya basah-kuyup
oleh keringat. Cepat Ingkanputri memutar otak. Di-
bopongnya tubuh Raja Syair, lalu dicelupkan ke da-
lam sungai. Sebentar kemudian. Raja Syair mengge-
liat. "Uh...!"
Mengetahui Gisa Mintarsa telah siuman, In-
gkanputri membaringkan tubuh bocah titisan itu di
tanah keras yang tidak becek.
"Suhu badanmu panas sekali, Gisa. Terpaksa
aku memandikanmu di air sungai," ujar Ingkanputri.
Gisa Mintarsa mengedip-ngedipkan matanya.
Setelah pandangannya jelas, dia mendesis, "Putri...."
"Ya. Aku Ingkanputri, Gisa. Kebetulan aku
berada di tempat ini."
"Aku sudah tahu. Bukankah kau telah men-
curi dengar ketika aku berbicara dengan Mahicha
Kapoor?" "Jadi, kau tahu bila aku bersembunyi?"
"Sengaja aku membiarkan. Kupikir, tenagamu
sewaktu-waktu bisa digunakan. Dan, sekarang telah
terbukti. Kau telah menolongku, Putri. Tapi...."
Mendadak, Gisa Mintarsa meloncat bangun.
Karena tubuhnya masih lemah, dia jatuh terjeng-
kang. Untung Ingkanputri segera menyambarnya,
hingga punggung bocah titisan itu tidak sampai
membentur tanah keras.
"Aku harus manyalurkan hawa murni ke tu-
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buhmu, Gisa. Kau masih butuh pertolongan...,"' tawar Ingkanputri.
"Peti besi...! Peti besi...!" sera Gisa Mintarsa, tak memperhatikan ucapan
Ingkanputri. Gisa Mintarsa meloncat bangun lagi, tapi ke-
buru dicegah Ingkanputri
"Benda itu tak boleh jatuh ke tangan orang
jahat." seru Gisa Mintarsa, lebih keras.
"Tenanglah, Gisa. Tunggulah di sini, akan ku
cari benda itu!"
Usai berkata, Ingkanputri meloncat ke semak-
semak di mana peti besi terlontar jatuh waktu Gisa
Mintarsa kena tendangan si wajah kotor. Namun
hingga beberapa lama Ingkanputri mencari, peti besi tak berhasil ditemukannya.
Dengan wajah pucat Ingkanputri keluar dari
semak-semak. Sejenak ditatapnya tubuh Mahicha
Kapoor yang tergeletak di tanah becek. Kedua tan-
gan dan kaki ahli yoga dari India itu mengejang ka-
ku. Bola matanya melotot besar. Mulutnya pun tern-
ganga lebar. Tak terdapat tanda-tanda kehidupan
sedikit pun, karena nyawanya memang telah me-
layang ke alam baka!
"Bagaimana, Putri" Tak kau dapatkan peti
itu?" tanya Gisa Mintarsa sambil beringsut duduk.
Dewi Baju Merah meraba luka di punggung-
nya yang terasa panas. Luka itu hanya luka luar
yang tidak mengandung racun. Oleh karenanya,
Dewi Baju Merah tidak seberapa mempedulikannya.
Dia lalu duduk di hadapan Gisa Mintarsa
"Lupakan dulu peti itu. Kau terluka dalam.
Aku harus menolongmu, Gisa...," ujar Ingkanputri kemudian.
"Kau baik sekali, Putri. Aku memang terluka
dalam. Tapi dengan melakukan semadi beberapa
saat, tiga hari kemudian keadaanku pasti akan
kembali seperti sediakala."
"Kau tidak perlu waktu tiga hari untuk me-
nyembuhkan luka dalammu bila kubantu kau den-
gan menyalurkan hawa murni."
"Terima kasih, Putri. Ada yang lebih penting
dari sekadar membicarakan keadaan diriku. Kata-
kan di mana peti besi berisi Arca Budha itu berada.
Apakah lelaki gembel itu berhasil membawanya la-
ri?" "Kemungkinan besar memang begitu. Aku memang tidak berusaha mencegahnya.
Karena ku-pikir, keselamatanmu lebih penting."
Raja Syair mengangguk-angguk. Tampaknya
dia bisa menerima penjelasan Ingkanputri.
"Apakah Arca Budha itu mempunyai suatu
rahasia, Gisa" Dan, kenapa kau sangat mengkhawa-
tirkan benda itu jatuh ke tangan orang jahat?" tanya Dewi Baju Merah kemudian,
"Arca Budha memang mempunyai rahasia be-
sar. Bila sampai jatuh ke tangan orang jahat, dan
orang itu bisa membuka rahasianya dengan Pedang
Burung Hong, maka malapetaka akan menimpa ta-
nah Tiongkok. Karena Arca Budha dan Pedang Bu-
rung Hong sekarang ini berada di tanah Jawa, kita
semua juga terancam bahaya...."
"Kenapa bisa begitu" Sesungguhnya rahasia
apa yang terdapat pada Arca Budha" Dan, untuk
membuka rahasianya kenapa harus menggunakan
Pedang Burung Hong?" buru Dewi Baju Merah, ingin mendapatkan keterangan lebih
jelas. "Aku tak tahu itu rahasia apa," jawab Gisa Mintarsa, lirih.
"Kalau begitu, kenapa kau bisa mengatakan
bahwa Arca Budha dapat mendatangkan malapetaka
di tanah Tiongkok, bahkan di tanah Jawa ini?"
Mendengar pertanyaan Dewi Baju Merah,
kening Gisa Mintarsa berkerut. Matanya menyipit.
Dalam keadaan seperti itu, wajahnya jadi tampak
jenaka. Apalagi, batang hidungnya terlihat bergerak naik-turun.
"Bagaimana, Gisa" Kau tak mendengar perta-
nyaanku?" cecar Ingkanputri.
"Untuk menjelaskannya, aku harus bercerita.
Sedang kau tahu, Putri, aku tak punya waktu ba-
nyak. Aku harus mencari lelaki gembel yang telah
melarikan Arca Budha itu sebelum dia menemukan
Auwyang Nan Ie, dan merampas Pedang Burung
Hong dari tangannya..."
"Jangan buat aku penasaran, Gisa. Bercerita-
lah.... Kalau memang Arca Budha mengandung ra-
hasia yang amat berbahaya, aku akan membantumu
untuk mendapatkan benda itu!"
"Ya. Ya, baiklah. Aku akan bercerita walau
sebenarnya kau sudah tahu ketika kau mencuri
dengar pembicarakanku dengan Mahicha Kapoor...."
"Tapi, itu tidak jelas. Gisa."
Raja Syair menghirup udara dalam-dalam. Se-
telah menatap wajah Ingkanputri, sejenak mulailah
dia bercerita. "Kau tentu sudah tahu bila di kota Ngadiluwih banyak terdapat
bangunan kuil dan
candi. Dua bulan yang lalu, ketika aku kemalaman
di perjalanan, aku beristirahat di Candi Palindungan yang terletak di sebelah
utara kota Ngadiluwih. Cua-ca mendung membuat suasana malam jadi gelap-
gulita. Seorang diri di Candi Palindungan, aku
hanya dapat memicingkan mata walau sebenarnya
tubuhku terasa amat lelah. Hawa dingin semakin
membuat aku tak dapat tidur. Pada saat aku mem-
buat keputusan untuk mencari kayu bakar guna di-
jadikan perapian, aku mendengar suara-suara aneh
yang amat mencurigakan. Maka, kuurungkan
niatku. Aku menyelinap masuk lagi ke bangunan
candi. Kupasang indera pendengaran lebih tajam.
Suara-suara aneh itu terdengar makin jelas. Asalnya dari sebelah kanan bangunan
yang terdapat banyak
arca. Perlu kau ketahui, arca-arca yang terdapat di seluruh candi di kota
Ngadiluwih semuanya dikerja-kan oleh ahli pahat yang sangat berpengalaman, se-
hingga arca-arca itu amat indah bentuknya, dan
tentu saja mahal harganya apabila dijual. Berpikir
sampai di situ, timbul dugaan dalam benakku bila
suara-suara aneh yang kudengar tentulah suara
pencuri yang tengah melakukan tindak kejaha-
tan...." "Lalu, kau tangkap pencuri itu?" tebak Dewi Baju Merah.
"Rencanaku memang begitu...."
"Jadi, kau tak menangkapnya?"
"Hus! Jangan potong dulu ceritaku!" tegur Ra-ja Syair.
Kontan Ingkanputri terdiam.
"Ketika mengintai, aku melihat seorang lelaki
berpakaian kuning-coklat, bentuknya sangat berlai-
nan dengan pakaian orang Jawa pada umumnya.
Dalam keremangan malam, aku dapat melihat wa-
jahnya. Nyatalah bahwa dia memang bukan orang
Jawa, kulitnya putih dan raut wajahnya menunjuk-
kan bahwa dia orang dari seberang. Aku jadi tertarik untuk terus mengikuti
gerak-geriknya. Orang itu tak mengetahui bila ada yang tengah mengintainya. Ma-
ka, tanpa curiga sedikit pun dia teruskan peker-
jaannya..."
"Apa yang dia kerjakan?"
"Orang itu memeriksa seluruh arca yang ter-
dapat di Candi Palindungan. Ketika menemukan se-
buah arca sang Budha sebesar bayi, dia mengamati
dengan teliti. Dari jarak sekitar tiga tombak aku
mengintai. Walau tak seberapa jelas, tapi aku masih dapat melihat apa yang
kemudian dilakukannya. Dia
meremas arca sang Budha itu sampai hancur!"
"Lalu?"
"Arca sang Budha yang telah menjadi debu
dan kerikil diamatinya lebih teliti. Mendadak, dia
mengumpat-umpat dengan bahasa yang sama sekali
tak kumengerti."
"Lalu?"
"Dia mengitari Candi Palindungan dua kali
Ketika menemukan arca sang Budha lagi, dia mere-
masnya juga hingga hancur-luluh. Sebenarnya aku
hendak mencegahnya melakukan pengrusakan, tapi,
aku berdiam diri saja. Karena, aku ingin tahu apa yang sebetulnya sedang dicari.
Ternyata, apa yang
dia cari tidak terdapat di Candi Palindungan. Sambil terus mengumpat-umpat, dia
kemudian berkelebat..." "Dan, kau mengejarnya, Gisa?"
"Tentu saja."
"Orang itu tidak tahu bila gerak-geriknya kau
ikuti terus?"
"Agaknya, memang begitu. Tanpa menunjuk-
kan sikap bercuriga sedikit pun, dia berlari cepat
menuju ke Candi Kasinggih yang tidak seberapa
jauh letaknya dari Candi Palindungan. Di candi itu, dia juga mencari arca sang
Budha. Anehnya, setiap
ditemukan, arca suci itu pasti diremasnya hingga
hancur-luluh...."
"Tampaknya, dia mencari sesuatu yang terda-
pat di dalam arca sang Budha."
"Ya. Kupikir memang begitu. Tapi hingga se-
luruh candi kota Ngadiluwih dia datangi, apa yang
dicarinya tetap tak ditemukannya. Pada kokok ayam
pertama, mungkin karena kelelahan, dia jatuh terti-
dur di Kuil Santidar. Aku lalu duduk bersemadi di
halaman belakang kuil yang sudah jarang di jamah
manusia itu. Dengan memusatkan kekuatan batin
ke satu titik, aku menembus alam mimpi si orang
dari seberang itu...."
Dewi Baju Merah yang sudah tahu kehebatan
Raja Syair mengangguk-anggukkan kepalanya men-
dengar cerita bocah titisan itu. Dia dengarkan lebih seksama cerita selanjutnya.
"Dengan bahasa Jawa patah-patah, roh orang
itu mengatakan bahwa dia bernama Auwyang Nan
Ie. Berada di tanah Jawa hampir tiga tahun. Tu-
juannya untuk mencari Arca Budha yang seluruh-
nya terbuat dari emas murni. Arca itu sebenarnya
milik Raja Cina yang dihadiahkan oleh seorang tetua bangsa Cina yang sekitar dua
ratus tahun yang la-lu...." "Dua ratus tahun yang lalu" Jadi, arca itu telah
berumur setua itu?" kejut Ingkanputri.
"'Ya. Auwyang Nan Ie menduga bahwa Arca
Budha berada di tanah Jawa. Dia mendapat keyaki-
nan setelah tahu salah seorang pesaingnya yang
bernama Kwe Kok Jiang juga datang ke tanah Jawa
ini. Auwyang Nan Ie sangat bernafsu untuk memiliki
Arca Budha karena dia telah mendapatkan sebatang
pedang pusaka bernama Pedang Burung Hong. Den-
gan pedang itu, Auwyang Nan Ie akan dapat mem-
buka rahasia besar yang terdapat pada Arca Bud-
ha...." "Kau tanyakan kepadanya tentang rahasia itu?" "Tentu saja. Tapi, dia tak
dapat menjawab karena dia juga tak tahu sama sekali."
"Lalu?"
"Ketika kutanyakan kenapa dia merusak arca-
arca sang Budha yang ditemukannya di candi-candi
di kota Ngadiluwih, dia menjawab bahwa ada ke-
mungkinan Arca Budha yang tengah dicarinya ter-
simpan di dalam arca-arca itu."
"Apa yang kau lakukan selanjutnya, Gisa?"
"Pagi-pagi sekali aku melihat Auwyang Nan Ie
keluar dari Kuil Santidar. Baru melangkah beberapa
tindak dari ambang pintu, dia meloloskan sebilah
pedang bengkok yang diseluruh badannya dihiasi
ukiran amat indah. Ketika sinar matahari menerpa,
bilah pedang itu memancarkan cahaya biru gemer-
lapan, dan tampak amat mengerikan. Aku menduga
pedang itulah yang bernama Pedang Burung Hong."
"Lalu, apa yang diperbuatnya?"
"Sungguh aku merasa waswas saat itu. Kupi-
kir, Auwyang Nan Ie telah tahu bila gerak-geriknya
sedang diintai orang. Namun, kiranya dia tak ber-
buat apa-apa. Sambil memandangi bilah Pedang Bu-
rung Hong, dia berkata seorang diri 'Setelah Arca
Budha kudapatkan, aku akan menjadi orang besar
di antara yang terbesar, menjadi raja di antara sega-la raja'. Lalu, dia tertawa
terbahak-bahak, dan berkelebat lenyap."
"Kau tak mengikutinya lagi?"
"Bagaimana aku dapat mengikutinya bila aku
terserang kantuk luar biasa karena semalam penuh
aku tak tidur" Belum lagi seluruh badanku terasa
dipukul-pukul palu godam karena kelelahan!"
"Jadi, kau biarkan dia pergi?" tanya Ingkanputri untuk menegaskan ucapan Raja
Syair. "Ya. Setelah tidur sepuas hatiku, aku pergi
mencari Auwyang Nan Ie."
"Untuk apa?"
"Tentu saja menggagalkan niatnya mencari
Arca Budha. Aku tahu Auwyang Nan Ie bukan orang
baik-baik. Dia menyimpan nafsu buruk. Aku khawa-
tir setelah mendapatkan Arca Budha, dia akan
membuat keresahan di tanah kelahirannya. Walau
sebenarnya itu bukan urusanku, tapi hati kecilku
terpanggil. Aku tak ingin mendengar berita kebruta-
lan manusia yang membunuh sesamanya. Apalagi,
Auwyang Nan Ie berada di tanah Jawa. Sebelum
kembali ke Tiongkok, aku khawatir dia akan mem-
buat pertumpahan darah di sini..."
Dewi Baju Merah mengangguk-angguk. Dia
akui dalam hati bila Raja Syair memang seorang
pendekar sejati. Muridnya yang bernama Banjaran-
pati atau Bayangan Putih dari Selatan juga seorang
pendekar besar yang sangat terkenal di rimba persi-
latan. "Tapi sampai beberapa hari lamanya, aku tak menjumpai orang itu lagi,"
Lanjut Gisa Mintarsa,
"Sambil meneruskan pencarian, aku juga mencari Kwe Kok Jiang..."
"Kwe Kok Jiang?"
"Sudah kuceritakan di muka, orang dari sebe-
rang juga mencari Arca Budha di tanah Jawa ini."
"Dia kau temukan?"
Gisa Mintarsa menggeleng. Anting besar di te-
linga kirinya bergoyang-goyang. "Tidak. Kwe Kok Jiang tak kutemukan, juga
Auwyang Nan Ie."
"Lalu, apa yang kau perbuat selanjutnya?" kejar Ingkanputri.
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku putuskan untuk turut mencari Arca
Budha. Sebulan lebih aku mencari keterangan, tapi
usahaku sia-sia belaka."
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai di Pulau
Belut ini" Apakah kau juga mendengar desas-desus
bahwa pulau ini telah dihuni siluman jahat" Dan,
secara kebetulan kau dapatkan Arca Budha berada
di sini?" "Bisa dikatakan kebetulan, bisa juga dikata-
kan tidak."
"Maksudmu"'"
"Suatu malam, ketika aku sedang beristirahat
di Kademangan Maospati. Aku bermimpi yang tam-
pak sangat nyata. Dalam mimpi ku itu, aku melihat
dua orang lelaki tengah berhadap-hadapan di pun-
cak gunung salju yang terletak di Tibet. Mereka sa-
ma-sama membawa pedang terhunus yang telah
berlumuran darah. Sementara, di sekitar mereka
banyak sekali mayat manusia bergelimpangan. Dua
orang lelaki yang sudah siap tempur itu tampaknya
tengah memperebutkan sesuatu. Salah seorang di
antaranya adalah Auwyang Nan Ie. Wajahnya tam-
pak masih muda. Mungkin kejadian dalam mimpi ku
itu berlangsung sekitar sepuluh tahun yang lalu...,"
"Yang seorang lagi siapa?" tanya Ingkanputri, penasaran.
"Aku tak mengenalnya. Tapi, Auwyang Nan Ie
memanggilnya dengan sebutan Kok Jiang. Mungkin
dialah yang bernama Kwe Kok Jiang itu."
Kepala Ingkanputri mengangguk lemah. "Lalu,
mereka bertempur mati-matian?" tebaknya.
"Tidak. Aku melihat sesosok bayangan berke-
lebat cepat, menyambar sebuah arca sang Budha
yang tergeletak di tonjolan batu tinggi. Arca sang
Budha itu cuma sebesar bayi kucing, tapi seluruh-
nya terbuat dari emas. Aku menduga, yang sedang
diperebutkan oleh Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok
Jiang tentu arca itu. Dan itu terbukti. Mengetahui
Arca Budha lenyap, Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok
Jiang tidak jadi bertempur. Mereka lalu menuruni
puncak gunung bersalju itu lewat jalan berlainan...."
"Kedua orang itu tahu kalau Arca Budha telah
dicuri orang?"
"Tampaknya, mereka tidak tahu. Tapi, bisa
saja mereka menduga begitu. Aku tak tahu apa yang
diperbuat Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok Jiang selan-
jutnya karena sinar matahari keburu menerpa wa-
jahku, dan aku terbangun..."
"Kau percaya pada mimpimu itu, Gisa?"
"Ya. Aku percaya. Aku menduga, mimpi ku itu
bukan sekadar mimpi. Mimpi itu hadir untuk mem-
beri petunjuk kepadaku."
"Lalu, apa yang kau perbuat kemudian?"
"Aku datang ke Sungai Bayangan. Setelah
meminta ijin Sawung Jenar, aku bersemadi di aliran
sungai yang banyak ularnya itu."
"Sawung Jenar" Penghuni Sungai Bayangan
yang berjuluk Iblis Selaksa Ular itu?"
"Ya. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya heran kenapa kau
memilih sungai yang banyak ularnya untuk dijadi-
kan tempat bersemadi. Dan, untuk apakah kau ber-
semadi" Apakah untuk meminta petunjuk pada
Yang Kuasa" "
"Aku memilih Sungai Bayangan untuk kuja-
dikan tempat bersemadi karena tempat itu jarang di-
jamah manusia, hingga tak ada kekhawatiran dalam
diriku jika nanti akan ada orang yang mengganggu
semadiku." Gisa Mintarsa menghentikan ucapannya karena batuk-batuk
"Kau tak apa-apa, Gisa?" tanya Dewi Baju Merah, khawatir.
Bibir Gisa Mintarsa menyungging senyum ti-
pis. "Aku tak akan mati secepat yang kau kira. Tidakkah kau ingin mendengar
kelanjutan ceritaku?"
"Ya. Ya, lanjutkan ceritamu, Gisa..," ujar Dewi Baju Merah walau di hatinya
masih tersimpan rasa
khawatir. Dia tahu bila Gisa Mintarsa masih mende-
rita luka dalam.
"Setelah bersemadi selama tujuh hari tujuh
malam di mana aku menerapkan ilmu "Penerawan-
gan', aku tahu bila Arca Budha memang dilarikan
orang ke tanah Jawa ini. Orang itu berkebangsaan
India, namanya Mahicha Kapoor. Maka, segera ku-
datangi dia, yang ternyata berada di pulau yang se-
karang kita tempati ini. Selama dua pekan aku me-
lakukan penyelidikan. Mahicha Kapoor yang ahli
melakukan yoga ternyata amat cerdas. Dia menyim-
pan Arca Budha di sebuah goa bawah tanah yang
penuh jebakan. Siang-malam aku menyelidiki, ak-
hirnya aku berhasil mencuri Arca Budha yang ter-
simpan di dalam peti besi. Sayang, sebelum aku
membawa pergi jauh, Mahicha Kapoor memergoki-
ku. Seperti yang kau lihat kemudian, dia mengirim
ular-ular putih untuk menyerangku, mungkin juga
untuk menyerangmu...."
Sampai di situ, Gisa Mintarsa batuk-batuk te-
rus. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk. Terke-
jutlah Ingkanputri ketika bocah titisan itu memun-
tahkan darah kental kehitaman.
"Aku harus menyalurkan hawa murni ke tu-
buhmu, Gisa!" ujar Ingkanputri, memaksa.
"Yah, baiklah.... Tampaknya, aku memang tak
bisa menolak budi baikmu ini...," sahut Gisa Mintarsa sambil menyeringai
kesakitan. 7 Bukit Rawangun....
Di dalam goa yang bercahaya cukup terang,
seorang kakek berpakaian kuning-ringkas tampak
sedang membalur lengan kiri Kwe Kok Jiang yang te-
lah berhasil disambung kembali. Dari siku ke ba-
wah, tangan kiri Kwe Kok Jiang memang tak mung-
kin dapat digerakkan lagi, tapi itu lebih baik daripa-da lengan kirinya
dibiarkan buntung.
"Ramuan obat yang kuborehkan akan bekerja
selama satu bulan. Selama itu, jangan sekali-sekali kau gerakkan lenganmu ini,
agar sambungannya tak
terlepas lagi. Terlebih lagi, memohonlah kepada sang Penguasa Tunggal. Mudah-
mudahan semuanya berjalan dengan baik...," nasihat si kakek setelah peker-
jaannya selesai. Tampak kemudian, lengan kiri Kwe
Kok Jiang terjulur kaku karena dijepit dua bilah
bambu sepanjang dua jengkal. Ujung-ujung bambu
itu diikat pada lengan kiri Kwe Kok Jiang dengan
sobekan kain bersih berwarna putih.
"Terima kasih.... Terima kasih. Budi baik
Hiap-kek tak akan kulupakan seumur hidup. Entah
dengan apa aku harus membalas budi baik Hiapkek
ini...," ujar Kwe Kok Jiang, lirih.
"Hiap.... Hiapkek" Apa itu?" sela Suropati yang duduk tak seberapa jauh dari
lelaki berkuncir
itu. "Hiapkek adalah bahasa Cina. Artinya, orang gagah yang berhati mulia,"
jawab Kwe Kok Jiang sambil mengulum senyum.
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Saudara Kok
Jiang...," sahut tabib pandai yang baru saja mengo-bati Kwe Kok Jiang. Kulit
wajah kakek itu berwarna
merah seperti buah tomat matang. Oleh karenanya,
dia mendapat gelar si Wajah Merah.
"Kukira, aku tidak berlebihan. Kau memang
pantas kusebut sebagai hiapkek," tegas Kwe Kok Jiang. "Kalau aku pantasnya
disebut apa?" tanya Pengemis Binal tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan remaja tampan yang
sering berperilaku konyol itu, Kwe Kok Jiang menge-
rutkan kening. Diputarnya otak untuk mencari se-
butan yang tepat bagi Suropati.
"Jangan lama-lama, Pak Tua!" tegur Suropati melihat Kwe Kok Jiang belum juga
mengeluarkan suara. "Ya. Ya, aku telah mendapat sebutan yang sangat cocok untukmu...," ujar
Kwe Kok Jiang kemudian.
"Apa?" kejar Pengemis Binal sambil garuk-garuk kepala.
Kwe Kok Jiang tersenyum. "Karena kau sering
menggaruk kepalamu yang tak gatal dan sering pula
berbuat yang aneh-aneh, maka kau sangat pantas
disebut shia soat."
"Shia... shia soat" Apa itu?"
"Shia soat artinya monyet edan!"
Terbelalak mata Pengemis Binal seketika.
Tanpa sadar dia garuk-garuk kepala lagi. Si Wajah
Merah yang melihat ulahnya kontan tertawa ter-
pingkal-pingkal. Sementara, Kwe Kok Jiang hanya
tersenyum-senyum.
Merasa dirinya dijadikan bahan tertawaan,
Suropati mendengus gusar. Lalu, dia beringsut
mendekati Kwe Kok Jiang. Setengah berbisik dia
berkata, "Aku juga punya sebutan yang tepat untukmu, Pak Tua...."
"Apa?" tanya Kwe Kok Jiang ragu-ragu. Dia tahu bila Suropati hendak membalasnya.
Agar tak membuat remaja konyol itu marah, dia bertanya ju-
ga. "Kau pantas disebut maruta madaran!" beri tahu Suropati, keras membentak hingga
Kwe Kok Jiang menjomblak kaget.
"Jangan bercanda dengan orang tua, Suro!"
tegur si Wajah Merah.
"Aku tidak bercanda, Kek. Aku sungguh-
sungguh. Pak Tua yang bernama Kwe Kok Jiang ini
memang pantas disebut maruta madaran!" ujar Pengemis Binal dengan raut muka
menampakkan ke-
sungguhan. "Maruta madaran" Ya. Ya, agaknya aku me-
mang pantas mendapat sebutan itu. Cukup enak di-
dengar dan terkesan gagah," sahut Kwe Kok Jiang.
"Tapi, kau harus memberi tahu apa arti maruta madaran itu, Suro!"
"Pasti! Maruta madaran adalah bahasa Jawa
halus. Artinya, angin perut alias kentut! Ha ha
ha...!" Kontan mengelam paras Kwe Kok Jiang. Sewaktu Pengemis Binal tengah
tertawa terbahak-
bahak, si Wajah Merah menjitak kepala remaja ko-
nyol itu. Tawa Pengemis Binal terhenti seketika.
Sambil meraba-raba kepalanya, dia menatap lekat si
Wajah Merah. "Kenapa kau menjitakku, Kek?" tanya Pengemis Binal, cengar-cengir.
"Sudah kubilang, jangan bercanda dengan
orang tua!" bentak si' Wajah Merah.
"Ya.... Ya, aku memang salah, Kek. Tapi, bu-
kankah Pak Tua ini yang mengawali?"
"Ya. Kita sama-sama salah, Suro," sahut Kwe Kok Jiang.
"Maafkan kekonyolan Suropati, Saudara Kok
Jiang...," ujar si Wajah Merah kemudian.
"Ah! Tidak menjadi apa. Aku justru senang
melihat kekonyolannya. Selama tiga tahun di tanah
Jawa, baru sekarang aku bertemu dengan orang
yang begitu menyenangkan."
Si Wajah Merah menatap lekat Kwe Kok
Jiang. "Apakah Saudara Kok Jiang hendak mene-
ruskan usaha mencari Arca Budha itu?" tanyanya, sungguh-sungguh.
Agaknya, si Wajah Merah telah diberi tahu pe-
rihal Arca Budha yang tengah dicari oleh Kwe Kok
Jiang. "Tentu saja, Hiapkek. Arca itu harus kutemukan sebelum orang jahat
mendapatkannya," jawab Kwe Kok Jiang, cepat.
"Tapi tidak sekarang, bukan" Keadaanmu be-
lum memungkinkan untuk melakukan perjalanan
jauh." "Jangan khawatir, Kek. Aku akan menema-ninya," sahut Suropati yang duduk
bersandar di dinding goa.
"Yah. Melakukan perjalanan bersama Suropa-
ti, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," tegas Kwe
Kok Jiang. "Kalau begitu, terserah. Hanya aku ingatkan,
rawatlah lengan kirimu dengan baik, Saudara Kok
Jiang," putus si Wajah Merah kemudian.
Maka hari itu juga, Kwe Kok Jiang bersama
Pengemis Binal meninggalkan Bukit Rawangun. Dua
hari kemudian, dua anak manusia itu tiba di kota
Ngadiluwih. Matahari tepat memayung di atas kepa-
la ketika mereka memasuki kota perdagangan itu.
Setelah bosan berputar-putar, mereka beristirahat di tepi sungai besar yang
menjadi penghubung kota
Ngadiluwih dengan kota perdagangan lainnya.
Mendadak mata Pengemis Binal terbelalak le-
bar, namun senyum senang segera mengembang di
bibirnya. Dia melihat seorang gadis bersama bocah
lelaki berusia dua belas tahun tengah turun dari
kapal dagang yang baru saja menambat untuk me-
nurunkan barang dagangannya.
"Hoiii...!" teriak Pengemis Binal, tangannya melambai-lambai.
Gadis berpakaian serba merah dan bocah le-
laki berusia dua belas tahun menoleh bersamaan.
Melihat seorang remaja tampan melambaikan tan-
gan, mereka segera meloncat dari tangga kapal, lalu berlari-lari menghampiri.
"Suro...!" teriak gadis dan bocah lelaki yang bukan lain Ingkanputri dan Gisa
Mintarsa. Tanpa mempedulikan Gisa Mintarsa, Penge-
mis Binal menghambur ke arah Ingkanputri. Cepat
sekali dia memeluk gadis cantik itu. Ingkanputri jadi jengah dan kelabakan
karena tiba-tiba Pengemis Binal menciumi kedua pipinya.
"Uh! Apa-apaan kau, Suro!" tegur Dewi Baju
Merah, kedua tangannya mendorong dada Suropati.
Hingga, remaja konyol itu hampir jatuh terjengkang.
"He he he...," tawa kekeh Suropati. "Kau tidak senang berjumpa denganku, Putri"
Bukankah kita sudah cukup lama berpisah" Ciumanku tadi sebagai
tanda persahabatan. Kau minta tambah?"
Kedua tangan Suropati mengembang hendak
memeluk Ingkanputri lagi, namun gadis itu telah
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melompat ke belakang. Bahkan, dia mencak-mencak
seraya menatap galak dengan muka merah-padam.
Memang, siapa yang tak akan marah mendapat per-
lakuan konyol Suropati di depan orang banyak"
"Kau marah, Putri?" tanya Pengemis Binal, ketolol-tololan. "Makin marah, kau
tambah cantik. He he he...."
"Aku tidak mau bercanda, Suro!" bentak Dewi Baju Merah, matanya melotot tajam.
"Rupanya, kau bocah bengal yang minta di-
tanggalkan daun telingamu, Suro!" tambah Raja
Syair. Mendengar kata-kata bocah titisan itu, Pen-
gemis Binal tercekat. Dia baru ingat bila Ingkanputri tidak datang seorang diri.
Pengemis Binal menatap
lekat wajah Gisa Mintarsa. Kontan keningnya berke-
rut. Wajah Gisa Mintarsa terlihat pucat-pasi seperti sedang menderita sakit.
"Kau kenapa, Gisa?" tanya Pengemis Binal.
"Aku terluka dalam," beri tahu Raja Syair.
"Terluka dalam" Kau habis bertempur dengan
siapa?" Sebelum pertanyaan Suropati terjawab, seorang lelaki tua berkulit putih
menghampiri seraya
menepuk bahunya dari belakang.
"Siapa mereka, Suro?" tanya lelaki berkuncir yang bukan lain Kwe Kok Jiang.
Semula, lelaki bergelar Pendekar Sesat itu
asyik memperhatikan kuli-kuli kapal yang tengah
menurunkan barang dagangan. Hingga, dia tak me-
lihat kedatangan Ingkanputri dan Gisa Mintarsa.
"Eh! Kau, Pak Tua...," kejut Pengemis Binal.
"Mereka temanku. Gadis cantik ini bernama Ingkanputri atau Dewi Baju Merah.
Sedang bocah jelek dan
jarang mandi ini Gisa Mintarsa atau Raja Syair."
Pengemis Binal mengenalkan dua sahabatnya
kepada Kwe Kok Jiang. Ketika Gisa Mintarsa dan
Kwe Kok Jiang bertatapan mata, mereka sama-sama
menjomblak kaget. Kening Kwe Kok Jiang berkerut
rapat. Sementara, bola mata Gisa Mintarsa membe-
lalak lebar. Kwe Kok Jiang terkejut karena tak menyang-
ka bila Gisa Mintarsa yang hanya berwujud bocah
berusia dua belas tahun dikenalkan Suropati seba-
gai Raja Syair. Padahal, selama tiga tahun di tanah Jawa, Kwe Kok Jiang sering
mendengar orang membicarakan keharuman nama Raja Syair sebagai seo-
rang pendekar sejati. Bagaimana pendekar besar itu
ternyata seorang bocah berusia dua belas tahun
yang wajahnya masih tampak jenaka seperti tak
punya dosa"
Sementara, Gisa Mintarsa terkejut karena me-
lihat wajah Kwe Kok Jiang amat mirip dengan orang
yang diimpikannya. Walau tampak lebih tua, tapi
garis-garis wajahnya sama persis. Apakah lelaki itu benar-benar Kwe Kok Jiang
yang tengah mencari Ar-ca Budha" Gisa Mintarsa bertanya dalam hati.
"Eh! Kau kenapa, Pak Tua?" ujar Suropati
yang melihat perubahan raut wajah Kwe Kok Jiang.
"He he he.... Kau tak usah heran, Pak Tua. Bocah beranting perak itu memang
benar Raja Syair. Walau raganya hanya berupa bocah berusia dua belas
tahun, tapi dia berjiwa seorang kakek berumur
hampir seratus tahun."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Kwe Kok Jiang, tak mengerti.
"Puluhan tahun yang lalu, Gisa Mintarsa te-
lah mati. Namun karena kuasa Tuhan, rohnya meni-
tis ke tubuh seorang bocah, yang sekarang kau lihat ini," tambah Pengemis Binal.
Kwe Kok Jiang mengangguk-angguk. Tam-
paknya, lelaki berkuncir itu. dapat memahami pen-
jelasan Suropati. Sementara Gisa Mintarsa yang tak
pernah melepaskan tatapannya dari wajah Kwe Kok
Jiang, terdengar mendehem. Agaknya, dia minta
waktu untuk bicara.
"Siapa temanmu itu, Suro?" tanya Gisa Mintarsa sambil menggamit lengan Pengemis
Binal. Su- aranya pelan, tapi masih dapat ditangkap telinga.
Pengemis Binal menatap wajah Raja Syair se-
jenak, lalu katanya, "Dia Kwe Kok Jiang."
"Kwe Kok Jiang?" kejut Raja Syair. "Hmmm....
Benar dugaanku. Orang itu pernah kujumpai di
alam mimpi," katanya kepada diri sendiri.
"Kenapa, Gisa" Apakah kau pernah melihat-
nya?" tanya Pengemis Binal melihat Gisa Mintarsa terus menatap Kwe Kok Jiang.
"Ya. Aku pernah melihatnya, Suro," beri tahu Raja Syair.
"Dimana?"
"Di alam mimpi."
"Di alam mimpi" Jangan bergurau kau, Gisa!"
Mendengar bentakan Suropati, Raja Syair
cuma tersenyum. Bocah titisan itu lalu mencerita-
kan perihal mimpinya. Suropati dan Kwe Kok Jiang
mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Juga ke-
tika Raja Syair menceritakan pertemuannya dengan
Auwyang Nan Ie dan peristiwa di Pulau Belut.
"Mahicha Kapoor yang melarikan Arca Budha
ke tanah Jawa ini mati terkena semburan jarum be-
racun," ujar Raja Syair, menutup ceritanya.
"Siapa yang menyemburkan jarum itu?" tanya Kwe Kok Jiang dengan bahasa Jawa yang
cukup lancar. "Seorang lelaki dari negeri seberang. Berbeda benar dengan dirimu, Kok
Jiang. Pembunuh Mahicha Kapoor itu bertubuh kotor dekil, pakaiannya
compang-camping, rambutnya awut-awutan, dan
wajahnya terlihat buruk karena tak pernah diurus.
Dia bersenjata tongkat," papar Raja Syair.
"Bersenjata tongkat...," desis Kwe Kok Jiang dengan kening berkerut rapat.
Tampaknya, dia tengah berpikir keras.
"Apakah kau kenal orang itu, Kok Jiang?"
tanya Raja Syair.
"Apakah pada pangkal tongkatnya terdapat
hiasan tengkorak manusia?" Kwe Kok Jiang balik bertanya.
"Ah! Aku tak seberapa memperhatikan. Waktu
itu, punggungku keburu ditendangnya," papar Raja Syair. "Ya. Pangkal tongkat
orang dekil itu berhias tengkorak manusia," sahut Ingkanputri.
Dewi Baju Merah tentu saja tahu karena se-
lendang suteranya pernah membelit tongkat lelaki
berwajah kotor yang telah membunuh Mahicha Ka-
poor. Mendengar ucapan Ingkanputri, Kwe Kok
Jiang menganggukkan kepala. "Kau ceritakan tadi, Gisa, orang itu membunuh
Mahicha Kapoor dengan
semburan jarum beracun. Apakah jarum-tarum itu
disebarkan dari batang bambu sepanjang dua jeng-
kal?" "Ya!" Ingkanputri yang menjawab.
Mengelam paras Kwe Kok Jiang seketika.
"Hmmm,.. Kalau begitu, Arca Budha benar-benar
menjadi incaran orang jahat..." gumamnya.
"Kau kenal dengan orang itu, Kok Jiang?"
tanya Raja Syair kemudian.
"Melihat ciri-ciri senjata itu, tak salah lagi, dia pasti Tan Peng Sin. Dia jago
nomor satu di Kay
pang. Sebelum berangkat ke tanah Jawa ini, aku
mencium rencana busuk lelaki itu. Dia hendak me-
mimpin teman-temannya untuk memberontak," jelas Kwe Kok Jiang.
"Sebentar... kau tadi menyebut Kaypang. Apa
itu?" tanya Suropati.
"Kaypang adalah partai pengemis di daratan
Tionggoan. Semacam Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti yang kau pimpin, Suro."
"Apakah Tan Peng Sin pemimpin Kaypang
itu?" tanya Suropati lagi.
"Bukan. Dia hanya anggota biasa. Tapi, ilmu
silatnya amat tinggi, juga cerdik. Sehingga, banyak anggota Kaypang yang takut
kepadanya. Mereka lalu
menjadi kaki-tangan Tan Peng Sin. Ketua Kay-pang,
Lam Ce In, tidak mampu berbuat apa-apa. Selain
sudah tua, ilmu silatnya pun di bawah Tan Peng
Sin...," Kwe Kok Jiang menghentikan ceritanya untuk mengambil napas panjang.
Mendadak, bola ma-
tanya membesar. "Sekarang, Arca Budha itu berada di mana?" tanyanya dengan suara
berat. "Kemungkinan besar dilarikan orang yang
bernama Tan Peng Sin itu...," duga Dewi Baju Merah. Kwe Kok Jiang mendesah.
Suropati menatap
wajahnya sambil garuk-garuk kepala. Ingkanputri
dan Gisa Mintarsa memperhatikan kebiasaan remaja
konyol itu dengan perasaan sebal.
"Kits, menari Tan Peng Sin sekarang?" tanya Pengemis Binal kemudian.
"Tentu saja!" jawab Ingkanputri, membentak keras. Mendongkol hatinya teringat
perlakuan Suropati waktu baru berjumpa tadi.
* * * Walau melawan arus, tapi rakit itu dapat me-
luncur cepat di permukaan Sungai Bayangan. Seo-
rang lelaki berwajah kotor berdiri tegak di atasnya.
Kedua tangannya mencengkeram erat batang bambu
kuning panjang, alat untuk menggerakkan rakit.
Rambut lelaki itu panjang awut-awutan, sama sekali
tak terurus. Ditambah pakaiannya yang compang-
camping, penampilan lelaki yang sebenarnya berku-
lit putih itu tampak amat mengenaskan. Namun
demikian, dapat dilihat bila tubuhnya tegap-berisi, pertanda bila dia bukan
pengemis atau gelandangan
biasa. Lelaki dekil itu membenarkan ikatan tongkat
berhias tengkorak manusia dan batang bambu se-
panjang dua jengkal di pinggangnya. Setelah me-
mastikan bahwa peti besi masih terikat baik di
punggungnya, dia menjejakkan batang bambu ku-
ningnya ke dasar sungai. Badan rakit pun melesat
cepat. Dia Tan Peng Sin, anggota Kaypang yang be-
rasal dari daratan Tionggoan. Setelah berhasil me-
nemukan peti besi yang tergeletak di semak semak,
secepatnya dia lari meninggalkan Pulau Belut. Den-
gan menggunakan rakit, lelaki dekil itu mengarungi
Sungai Balirang yang cukup lebar. Kemudian, sam-
pailah dia di Sungai Bayangan. Kedua sungai itu
memang berhubungan.
Kepala Tan Peng Sin menoleh ke kanan-kiri.
Setelah menemukan tempat sepi yang dirasa aman,
lelaki dekil itu melompat dari rakit. Gerakannya ringan, namun tubuhnya mampu
melesat sejauh tiga
tombak. "Arca Budha.... Arca Budha...," gumam Tan Peng Sin begitu kakinya menginjak
tanah. "Dengan Arca Budha akan kusingkirkan Lam Ce In, kemudian.... Ha ha ha...!
Akan kugulingkan takhta kera-
jaan! Ha ha ha...!"
Tanpa disadari oleh Tan Peng Sin, tawa ke-
rasnya telah mengejutkan seorang lelaki yang tengah berlari-lari menyusuri tepi
Sungai Bayangan. Dilihat dari raut wajah dan kulit tubuhnya, lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun itu jelas dari negeri seberang. Warna pakaiannya
kuning-coklat, Sedang di
punggungnya terselip sebatang pedang bengkok
Dengan berjalan mengendap-endap, menge-
rahkan ilmu meringankan tubuh, lelaki yang ram-
butnya digelung itu mengintai Fan Peng Sin yang
tengah menatap peti besi di hadapannya.
"Hmmm.... Kiranya, Fan Peng Sin juga berada
di sini," kata si pengintai dalam hati. "Isi peti besi yang berada tergeletak di
hadapannya itu tampaknya barang berharga. Mungkinkah hasil curian"
Hmm.... Agaknya, dia tahu bila ada yang
mengintai gerak-geriknya. Bila isi peti besi itu memang barang berharga, pasti
kurampas!"
Sambil tersenyum-senyum, lelaki berbaju ge-
dombrongan itu terus mengawasi gerak-gerik Tan
Peng Sin dari belakang pohon besar. Sementara, Tan
Peng Sin sendiri sama sekali tak tahu bila dirinya
tengah diintai orang.
Sebenarnya, pendengaran Tan Peng Sin cu-
kup tajam, namun karena si pengintai mempunyai
ilmu meringankan tubuh sedemikian tinggi, sehing-
ga Tan Peng Sin jadi tak tahu bila seluruh gerak-
geriknya diawasi orang dari jarak sekitar empat
tombak. "Arca Budha.... Arca Budha...," gumam Tan Peng Sin berulang kali.
Diamat-amatinya peti besi di hadapannya. Se-
telah menemukan kunci pembukanya yang terletak
di kiri-kanan peti, lelaki dekil itu mengambil napas dalam-dalam, lalu kedua
tangannya bekerja. Tapi...
Blakkk...! "Haya...!"
Tutup peti besi membuka keras. Bersamaan
dengan itu, jarum-jarum hitam yang amat halus
berhamburan dari dalamnya. Tan Peng Sin yang su-
dah menduga akan adanya jebakan, cepat mengem-
pos tubuh ke atas. Dan terhindarlah dia dari bahaya
maut "Arca Budha.... Arca Budha...," gumam Tan Peng Sin seraya mengarahkan
pandangan ke peti
besi yang telah terbuka tutupnya.
Di dalam peti yang tingginya sejengkal itu,
terdapat bungkusan kain hitam. Tan Peng Sin mena-
tapnya dengan mata bersinar-sinar.
Tanpa pikir panjang lagi. Tan Peng Sin me-
nyambar bungkusan itu. Tali ikatannya dia tarik.
Dan, dia dapati kemudian sebuah arca sebesar bayi
kucing. Arca itu berbentuk sang Budha yang tengah
duduk bersila. Karena seluruh badannya terbuat da-
ri emas murni, maka sinar berkilauan pun member-
sit. "Ha ha ha...!" Tan Peng Sin tertawa bergelak penuh luapan rasa gembira. Kedua
tangannya mengangkat Arca Budha tinggi-tinggi. "Arca Budha telah kudapatkan
sekarang! Ha ha ha...! Aku akan jadi
orang besar! Aku akan jadi raja di atas segala raja!
Ha ha ha...! Tinggal kurebut Pedang Burung Hong di
tangan Auwyang Nan Ie!"
Tan Peng Sin terus tertawa sampai air ma-
tanya mengalir. Agaknya luapan rasa gembira mem-
buat lelaki dekil itu lupa diri. Namun tiba-tiba bola mata Tan Peng Sin melotot
besar. Kontan tawanya
terhenti. Tubuhnya bergetar keras seperti terserang demam hebat. Tanpa sadar
Arca Budha dia jatuhkan
ke tanah.
Pengemis Binal 22 Rahasia Arca Budha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mahicha Kapoor keparat! Mahicha Kapoor
keparat...!" teriak Tan Peng Sin sambil menatap kedua telapak tangannya
Telapak tangan lelaki dekil itu bengkak dan
berwarna biru-kehitaman. Bola mata Tan Peng Sin
semakin melotot besar. Warna biru-kehitaman di te-
lapak tangannya menjalar amat cepat. Sebentar sa-
ja, seluruh pergelangan tangan lelaki dekil itu telah bengkak dan tak dapat
digerakkan lagi!
"Mahicha Kapoor keparat...!" maki Tan Peng Sin, lebih keras hingga suaranya
membahana di angkasa. Lelaki dekil itu berjingkrak-jingkrak seperti
orang kesurupan. Dia sama sekali tak tahu apa yang
harus diperbuatnya, karena kedua tangannya me-
mang sudah tak dapat digerakkan lagi!
Diiringi jeritan panjang yang sangat menyayat
hati, tubuh Tan Feng Sin terguling ke tanah. Setelah berkelojotan beberapa saat,
nyawanya segera melayang dijemput malaikat kematian. Dia mati dengan
sekujur tubuh membengkak dan berwarna biru-
kehitaman. Agaknya, Mahicha Kapoor telah mence-
lupkan kain pembungkus Arca Budha ke dalam cai-
ran racun yang amat ganas.
Sementara itu, lelaki berpakaian kuning cok-
lat yang sejak tadi mengintai gerak-gerik Tan Peng
Sin, terkejut melihat kematian Tan Peng Sin yang
amat mengerikan. Namun ketika melihat Arca Bud-
ha yang tergeletak di tanah, dia bersorak girang. Cepat dia keluar dari tempat
persembunyiannya seraya
menyambar arca yang terbuat dari emas murni itu.
"Ha ha ha...! Arca Budha telah kudapatkan.
Pedang Burung Hong pun telah lama berada di tan-
ganku. Segala cita-citaku akan segera terwujud! Ha
ha ha...!"
Lelaki berpakaian gedombrongan itu tertawa
panjang. Kedua tangannya menggenggam erat Arca
Budha, lalu didekapnya, seakan-akan arca itu bakal
menjadi miliknya selama-lamanya. Lelaki yang di
punggungnya terselip sebatang pedang bengkok itu
adalah Auwyang Nan Ie!
SELESAI Segera ikuti saja kelanjutannya!!!
Serial Pengemis Binal dalam episode:
HANTU MERAH Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Bulan Berdarah 2 Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Bende Mataram 20