Pencarian

Malaikat Bangau Sakti 1

Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti Bagian 1


MALAIKAT BANGAU SAKTI
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Malaikat Bangau Sakti
128 hal. 1 Ketika sang bayu berhembus kencang, de-
bur ombak bergulung membentuk julangan tinggi
bagai mulut raksasa. Suara yang ditimbulkan le-
bih menggiriskan dari auman seribu harimau. Ge-
lombang besar bergulung-gulung menghantam
karang terjal yang menjorok ke dalam laut.
Dewi Ikata duduk di hamparan pasir pan-
tai. Mata gadis cantik itu tampak sembab dan
memerah. Rambut serta pakaiannya telah basah
oleh siraman air laut yang terbawa hembusan an-
gin. "Maafkan aku, Suro...," desis Dewi Ikata lirih. "Aku dan Kapi Anggara tak
mempunyai hubungan apa-apa. Aku berhutang budi kepadanya.
Karena itulah aku tak bisa menolak persahabatan yang dia ulurkan. Tapi,
hubunganku dengan dia
tak lebih dari itu...."
Putri Adipati Danubraja itu berkata-kata
seorang diri. Sinar mentari menyengat kulitnya
yang halus. Tapi, tampaknya dia tak peduli.
"Aku tak pernah lupa pada janji kita, Suro.
Kau tak perlu meragukan cintaku. Aku akan me-
rasa sangat bahagia bila dapat hidup bersamamu.
Kau baik, perkasa, tampan, dan lucu. He-he-
he...." Dewi Ikata tertawa seperti sedang menyak-sikan sebuah adegan lucu. Kedua
kakinya yang berselonjor dihentak-hentakkan, hingga butiran
pasir berhamburan
Kemudian, dia bangkit dan berjalan me-
naiki sebongkah batu karang besar. Ketika angin berhembus lebih kencang, tubuh
gadis itu terhuyung-huyung. Tak ada rasa giris membayang di
matanya. Padahal di kiri-kanannya laut mengan-
ga lebar, menjanjikan kematian bagi siapa saja
yang jatuh ke dalamnya.
"Oh, Dewata Yang Agung..., adakah kekua-
tan yang melebihi kedahsyatan cinta sepenuh ha-
ti"!" teriak Dewi Ikata dengan suara lantang. Kedua tangannya dibentangkan ke
atas seperti se-
dang mengiba. "Cinta menggelora yang menghentak dalam hati melebihi tiupan angin
topan. Pa- nas membakar, membuat jiwa laksana tenggelam
dalam magma. Kekuatan cinta merubah wajah
Dewa Maut jadi lembut dan penuh welas-asih.
Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bi-
la cinta telah terhempas rasa kecewa..."
Gadis cantik itu menurunkan kedua tan-
gannya, lalu berjalan tiga tindak. Dia berhenti persis di tepi karang.
Ditatapnya deburan ombak yang memukul-mukul kaki karang jauh di ba-wahnya.
"Bila cinta telah terhempas rasa kecewa,
kematian memang patut untuk dirindukan...."
Dewi Ikata memejamkan mata. Jiwanya
melayang dalam keheningan. Seiring dengan
anak-anak rambutnya dipermainkan sang bayu,
ingatan gadis cantik itu terbang ke masa-masa
indah yang pernah dirasakan bersama kekasih-
nya. Bibir Dewi Ikata menyunggingkan senyum,
kemudian berubah menjadi tawa keras. Tubuh-
nya sampai berguncang-guncang. Tiba-tiba dia
meloncatkan tubuhnya meluncur deras menuju
gulungan ombak ganas. Malaikat Kematian pun
membentangkan kedua tangannya!
Tak ada jerit yang terlontar dari mulut ga-
dis cantik itu. Luncuran tubuhnya begitu cepat
hingga membuatnya jatuh pingsan.
Weeesss...! Mendadak sesosok bayangan hitam me-
nyambar tubuh Dewi Ikata. Bayangan hitam yang
adalah seorang tokoh bernama Perangai Gila itu
meluncur turun ke atas permukaan air, lalu me-
lompat-lompat di atas lidah ombak. Sambil me-
manggul tubuh Dewi Ikata, dia melesat menuju
Pulau Hitam. Walaupun kaki Perangai Gila hanya bera-
laskan sebatang kayu tipis selebar telapak ka-
kinya, tapi dia sanggup bertahan untuk tak tenggelam. Padahal gulungan-gulungan
ombak begitu besar. Dengan gerakan ringan dia meloncat tinggi, dan mendarat di atas air tanpa
mengalami kesulitan. Tubuh Perangai Gila meluncur semakin
cepat. Ketika kakinya telah menginjak hamparan
pasir pantai, dia melonjak-lonjak seperti anak kecil yang baru saja mendapat
mainan. "Eaaa...! Eaaa...! Kini aku tak sendiri lagi.
Ada kelinci manis yang akan menemani. Oh, Pen-
guasa Alam Semesta, baru sekarang aku merasa
bahagia!" Sambil berteriak-teriak macam orang kesu-
rupan, Perangai Gila melonjak-lonjak semakin cepat. Tanpa terasa tubuhnya
terlontar tinggi se-
tinggi pohon kelapa.
"Uh...!"
Dewi Ikata yang berada dalam pondongan
manusia kurang waras itu tersadar dari pingsan-
nya. Ketika merasakan tubuhnya melayang-
layang, dia pun terkejut dan menjerit keras-keras.
"Hei...! Rupanya kau telah bangun dari ti-
durmu, Manis...," kata Perangai Gila. Diturun-kannya tubuh Dewi Ikata di atas
hamparan pasir.
Selagi gadis cantik itu duduk bersimpuh
memikirkan apa yang baru saja dialaminya, Pe-
rangai Gila berlari-lari kecil mengitari. Mendadak, Dewi Ikata tertawa keras.
Perangai Gila terperangah, ditatapnya wajah Dewi Ikata dalam-dalam.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Perangai Gila keheranan.
Dewi Ikata tak menjawab. Dia balas mena-
tap. Diperhatikannya wajah wanita keriput yang
berdiri terbongkok di hadapannya.
"Ha-ha-ha...!" Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak. "Wajah Malaikat Kematian
ternyata sangat lucu! Pipinya kasar macam parutan kelapa. Giginya ompong. Dan,
matanya itu.... Hiii... Seperti mata ikan. Ha-ha-ha...."
Mendengar itu, Perangai Gila mendengus.
Lalu, telapak tangan kanannya digerak-gerakkan
di depan mata Dewi Ikata.
"Kau sinting?" tanya Perangai Gila kemudian. "Kau yang sinting!" tuding Dewi
Ikata. "Ha-ha-ha...!" Perangai Gila tertawa terbahak-bahak. "Kau jangan ingkar. Akui
saja kalau kau sinting!"
"Ya. Aku sinting!" Entah mengapa, Dewi Ikata mengakui tuduhan Perangai Gila.
"Sama!"
Dewi Ikata dan Perangai Gila tertawa ber-
samaan. Dua wanita itu saling tuding. Mereka terus tertawa sampai meneteskan air
mata. "Sekaranglah aku bisa merasakan kebaha-
giaan yang sesungguhnya...," kata Perangai Gila seraya memegang kedua bahu Dewi
Ikata. Tiba-tiba.... Tubuh gadis cantik itu dilon-
tarkan ke atas hingga melebihi ketinggian dua
pohon kelapa! Tapi bukan rasa ngeri yang mem-
bayang di mata Dewi Ikata, melainkan rasa gem-
bira yang meluap-luap. Bahkan gadis cantik itu
tertawa semakin keras!
Ketika tubuh Dewi Ikata meluncur jatuh ke
hamparan pasir, Perangai Gila dengan sigap me-
nyambutnya. Dipegangnya kedua kaki gadis can-
tik itu lalu diayunkan hingga menyerupai kitiran.
Jerit kecil keluar dari mulut Dewi Ikata.
Dia segera memejamkan mata merasakan putaran
bumi bergerak semakin cepat. Napas gadis cantik itu hampir berhenti mendadak
ketika ayunan tangan Perangai Gila bertambah liar. Kalau saja
Dewi Ikata pernah tidak berlatih untuk menya-
lurkan hawa murni, darahnya tentu akan bergo-
lak dan muncrat dari mulut, lubang hidung, dan
telinga! Mendadak, tubuh Dewi Ikata dilemparkan ke tengah laut! Gadis cantik itu
dalam sekejap lenyap tertelan gulungan ombak. Perangai Gila me-
natap sejenak. Lalu wanita kurang waras itu me-
lesat bagai anak panah lepas dari busur.
Byuuurrr...! Ombak besar menenggelamkan tubuh Pe-
rangai Gila. Dalam genangan air laut yang begitu luas,
wanita kurang waras itu membuka mata lebar-
lebar berusaha mencari tubuh Dewi Ikata.
Ketika didapatinya gadis cantik itu sedang
menggapai-gapai hendak mencapai permukaan
air, Perangai Gila memegang kedua kaki Dewi Ika-ta. Gadis cantik itu meronta
merasakan paru-
parunya hendak meledak karena kehabisan uda-
ra. Tapi, Perangai Gila malah berusaha meneng-
gelamkan tubuh Dewi Ikata!
Air laut mulai terminum gadis yang sudah
tak berdaya itu. Perlahan-lahan rontaan tubuh-
nya melemah. Maut pun telah menanti
Pada saat Dewi Ikata berada pada titik ak-
hir kemampuannya untuk mempertahankan
nyawa, mendadak tubuhnya mencelat. Terlihatlah
Perangai Gila mendorong tubuh Dewi Ikata.
Bruuukkk...! Gadis cantik itu terbanting keras di atas
hamparan pasir dalam keadaan telentang. Napas-
nya megap-megap seperti seekor ikan terlalu lama di darat. Perangai Gila menatap
tanpa rasa belas kasihan. Bahkan, dia tertawa terbahak-bahak
memperlihatkan giginya yang ompong.
Kemudian, wanita kurang waras itu berja-
lan mendekati tubuh Dewi Ikata. Diinjaknya perut gadis itu!
Hoeeekkk...! Air asin menyembur dari mulut Dewi Ikata.
Perangai Gila memonyongkan bibirnya. Kembali
diinjaknya perut Dewi Ikata semakin keras. Ber-
samaan air asin yang menyembur semakin ba-
nyak dari mulutnya, Dewi Ikata meronta merasa-
kan sakit yang luar biasa!
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Perangai Gila terbawa hembusan an-
gin laut. Disambarnya bahu Dewi Ikata, lalu me-
loncat tinggi-tinggi.
Bluuusss...! Dari atas tubuh Dewi Ikata dilemparkan
hingga amblas ke dalam pasir. Dengan satu kiba-
san tangan kiri, kubangan pasir yang terbentuk
dari luncuran tubuh Dewi Ikata tertutup dan
memadat. Tinggal kepala Dewi Ikata yang me-
nyembul di permukaan pasir.
Dan kemudian, sambil tertawa keras Pe-
rangai Gila berlalu dari tempat itu.
"Kau... jangan pergi...!"
Dengan susah payah Dewi Ikata mencoba
mencegah kepergian wanita kurang waras itu. Ta-
pi Perangai Gila tak peduli. Dia terus berjalan me-lenggang-kangkung.
Mata Dewi Ikata pun mendelik. Dia hendak
mengumpat, namun suaranya tersekat di tenggo-
rokan. Gadis cantik itu lalu mengerahkan sisa tenaganya untuk melepaskan diri
dari kubangan pasir. Tapi usahanya tidak berhasil.
Dewi Ikata menjerit seraya menggelengkan
kepala melihat beberapa ekor ke piring kecil merayap mendekatinya! Dengan
gelengan kepalanya,
coba diusir binatang laut yang terlihat sangat
mengerikan itu.
Dewi Ikata terkejut setengah mati. Leher-
nya pedih seperti tertancapi sebatang jarum. Dia pun menggerakkan kepalanya
semakin keras. Seekor kepiting kecil tak mau berhenti menan-
capkan ujung kakinya yang runcing.
Bersamaan dengan itu, kepiting-kepiting
kecil lainnya mulai merayap ke wajah Dewi Ikata.
Gadis cantik itu pun menjerit-jerit ngeri. Tapi, suaranya hilang tersapu desau
angin laut Di langit yang biru cahaya sang baskara
menyengat semakin panas. Angin berhembus
kencang. Debur ombak pun semakin ganas. Ber-
gerak bagai kibasan tangan raksasa.
Dilihat dari kejauhan, pulau kecil yang ter-
letak di tengah lautan itu membiaskan warna hi-
tam. Butiran-butiran pasir yang menghampar
berwarna gelap. Karang terjal yang menjulang
tinggi pun ditumbuhi lumut hijau tua. Karena itu-
lah pulau tersebut dinamakan Pulau Hitam.
Daratannya sangat tandus. Hanya lumut
dan bermacam-macam jamur yang tumbuh. Teb-
ing karang bertonjolan tajam seperti mata pedang.
Tak ada manusia yang mau tinggal di tempat itu, selain Perangai Gila. Seorang
tokoh tua nomor
wahid yang telah bosan malang-melintang di rim-
ba persilatan. Walaupun tindak-tanduknya mirip
orang kehilangan ingatan, tapi ketinggian ilmunya sangat sulit untuk diukur.
Bertahun-tahun sudah tokoh itu tinggal di


Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulau Hitam. Ketika dia sedang berburu ikan, dilihatnya tubuh Dewi Ikata
meluncur deras dari
tebing karang. Hati Perangai Gila tergerak untuk menolong. Dibawanya gadis itu
ke Pulau Hitam di mana dia tinggal
Perangai Gila melihat sikap gadis cantik
yang ditolongnya tampak aneh, mirip orang sinting. Dia pun merasa senang. Timbul
keinginan dalam hatinya untuk mengangkat Dewi Ikata se-
bagai murid. Jadi, apa yang dilakukan Perangai Gila
terhadap Dewi Ikata dengan seperti mencelaka-
kan dirinya, adalah tak lain untuk menguji calon muridnya itu.
*** Cahaya mentari mulai redup. Air laut ber-
gerak naik, lidahnya merayap ke pantai Pulau Hitam. Buih ombak keputihan
membasahi leher
Dewi Ikata. "Oh, Dewata Yang Agung..., aku memang
merindukan kematian. Tapi bukan begini ca-
ranya. Siksaan ini terlalu kejam...," kata gadis cantik itu dengan mata berkaca-
kaca. "Aku tahu Malaikat Kematian telah menanti kedatanganku.
Namun, kenapa nyawa ini tak juga lepas dari ra-
ga?" Usai berucap, Dewi Ikata membuka mulut lebar-lebar ketika gulungan air laut
bergerak ke arahnya. Kepala gadis cantik itu pun tersapu
hempasan gelombang. Beberapa ke piring kecil
yang menempel di wajahnya terlempar.
Setelah air laut kembali turun, rambut De-
wi Ikata menempel menutupi wajah. Kedua pi-
pinya tampak menggembung. Mulut gadis cantik
itu menyemburkan air asin secara perlahan-
lahan. "Ha-ha-ha...!"
Tawa Dewi Ikata tiba-tiba terdengar. Wa-
laupun sekujur tubuhnya terasa sakit, tak henti-hentinya dia mengeluarkan tawa.
Dadanya sam- pai terasa sesak.
Bersama cahaya mentari yang semakin pu-
dar, air laut pasang menenggelamkan kepala Dewi Ikata. Tapi dalam genangan air
yang begitu luas dia dapat bertahan. Keanehan itu dirasakan sendiri oleh Dewi
Ikata. "Apa yang terjadi?" tanya gadis itu dalam hati. "Kenapa aku tak juga mati?"
Dewi Ikata tak lagi menghiraukan keadaan
dirinya ketika suatu pemandangan indah terpam-
pang di matanya.
Beraneka-macam ikan kecil berwarna_-
warni berenang melenggak-lenggokkan tubuhnya.
Waktu ikan-ikan itu berpusing di sekitar kepala, Dewi Ikata meniup. Timbullah
gelembung air. Gadis cantik itu tersenyum senang melihat ikan-ikan berpencar
karena terkejut.
Tak ada rasa pedih ketika Dewi Ikata
membuka matanya lebar-lebar. Dilihatnya seekor
ikan kecil sedang berusaha meloloskan diri dari kejaran ikan besar.
Ikan kecil berenang berputaran seperti
hendak membuat pusing ikan besar. Tapi, tak
lama kemudian ekor ikan kecil tergigit. Dia pun meronta-ronta hendak melepaskan
diri. Karena rontaan yang keras, ekor ikan kecil
robek. Lepaslah gigitan si ikan besar. Namun dia tak mau melepaskan mangsanya
begitu saja. Ikan
besar berenang cepat, mengejar.
Dia segera menghentikan laju tubuhnya
waktu melihat calon mangsanya bersembunyi di
sela-sela batu karang. Si ikan besar tak kurang akal. Ekornya dihempaskan hingga
batu karang runtuh. Ikan kecil pun terperangkap di dalamnya.
Cepat dia berusaha menerobos sebuah
rongga sempit. Tapi, si ikan besar telah menghadang! Ikan kecil berusaha
berkutat dengan maut.
Sebentar kemudian, tubuhnya telah koyak-koyak
terkena gigitan ikan besar.
Namun, semangat untuk mempertahankan
nyawa tak pernah pupus. Sekuat tenaga dia terus melawan. Ketika ombak besar
menghempas, tubuh ikan kecil lenyap. Tinggallah ikan besar terpaku di tempatnya.
Menyaksikan adegan itu, timbul penyesa-
lan dalam hati Dewi Ikata.
"Seekor ikan yang sudah di ambang maut
masih berusaha menyelamatkan nyawanya. Tapi,
kenapa aku sebagai manusia yang dikaruniai akal budi malah ingin mati?" kata
gadis cantik itu dalam hati.
Perlahan-lahan mata Dewi Ikata terpejam.
Dipanjatkannya doa supaya diberi kekuatan da-
lam menghadapi cobaan Sang Penguasa Tunggal.
Tanpa terasa, waktu berlalu demikian ce-
pat. Gelap yang menyelubungi langit telah lenyap.
Cahaya mentari kembali menerpa permukaan
laut. Air pun mulai surut. Kepala Dewi Ikata
muncul dari permukaan air. Tampaklah Perangai
Gila berdiri di atas sebuah batu karang meman-
dang ke arahnya.
"Dia memang cocok untuk menjadi murid-
ku...," gumam nenek itu penuh kagum. "Kini aku tak sendiri lagi. Terima kasih,
Dewata. Anugerah ini sangat membuatku bahagia."
Wanita kurang waras itu tertawa tergelak-
gelak. Tubuhnya lalu melayang di udara dan
mendarat di depan kepala Dewi Ikata. Dijambak-
nya rambut gadis cantik itu, kemudian dengan
kekuatan tenaga dalam ditariknya!
Butiran pasir ambyar. Tubuh Dewi Ikata
terlontar ke atas. Perangai Gila menyambutnya.
Didapatinya gadis cantik itu telah pingsan.
"Kau baru saja mengalami penderitaan he-
bat, Manis...," bisik wanita kurang waras itu. "Ta-pi jangan khawatir. Semua itu
akan berguna bagi kekuatan jiwa dan ragamu."
Setelah menimang-nimbang tubuh Dewi
Ikata yang berada dalam pondongannya, Perangai
Gila berjalan perlahan sambil tertawa-tawa menu-ju ke sebuah gua.
Wanita itu lalu menotok beberapa jalan da-
rah di tubuh Dewi Ikata.
"Uh...!"
Dewi Ikata menggeliat. Ketika didapatinya
dia telah terbaring di lantai gua, gadis cantik itu tertawa. Namun segera
berhenti saat merasakan
sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan. Kulit tubuhnya yang semula berwarna
kuning langsat ti-
ba-tiba telah membiru. Dia terkejut bukan main
ketika telinganya menangkap suara tawa keras.
"Kau manusia atau iblis" Tunjukkan diri-
mu!" teriak Dewi Ikata.
"Aku berada di belakangmu, Manis...."
Dewi Ikata menolehkan kepala. Tampak Pe-
rangai Gila sedang duduk bersandar pada dinding gua. "Kau yang tertawa tadi?"
tanya dewi Ikata.
"Kenapa?" balas Perangai Gila dengan tersenyum.
"Suara tawa itu kudengar dari luar. Adakah
orang lain selain kita berdua?"
"Ha-ha-ha...!" Perangai Gila tertawa terbahak-bahak. "Rupanya kau masih sangat
hijau, Manis. Tapi tak apa. Aku malah senang. Ilmu
yang akan kuturunkan tak akan bercampur-baur
dengan ilmu lain."
"Apa maksudmu?"
Perangai Gila tak menjawab pertanyaan
Dewi Ikata. Tangan kanannya bergerak cepat me-
notok beberapa jalan darah di tubuh gadis itu.
"Ah...!"
Dewi Ikata tak mampu mengelak. Kembali
dia terkejut. Rasa dingin yang melanda tubuhnya mendadak lenyap, berganti dengan
rasa hangat menyegarkan. Rasa kaku yang membelenggu tu-
buhnya pun telah lenyap.
Ditatapnya tajam-tajam wajah Perangai Gi-
la. Ingatan Dewi Ikata melayang pada kejadian
yang baru saja dialaminya.
"Hei, kenapa bengong"!" bentak Perangai Gila. "Kau heran mendapati dirimu tiba-
tiba saja bisa bernapas di dalam air?" tanyanya kemudian.
Dewi Ikata menganggukkan kepala. Me-
mang, hal itu yang mengusik pikirannya.
Perangai Gila menyambut dengan tawa le-
bar. Ditudingnya dahi Dewi Ikata.
"Aku telah menotok beberapa sinus di da-
damu. Itulah yang membuatmu dapat bertahan
hidup di dalam air!"
"Kenapa kau melakukannya?"
"Aku sedang melatihmu. Selanjutnya, kau
harus dapat bertahan hidup seperti itu tanpa
bantuan siapa pun."
"Bagaimana caranya?" tanya Dewi Ikata ingin tahu.
"Aku akan mengajarimu!"
"Ha-ha-ha...!"
Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak. Kemu-
dian, dia bangkit dari duduknya dan melonjak-
lonjak kegirangan. Butiran pasir yang menempel
di sekujur tubuhnya berjatuhan.
"Diam!" bentak Perangai Gila.
Dewi Ikata memonyongkan bibirnya. Meli-
hat itu, Perangai Gila tertawa terbahak-bahak.
Tapi, tiba-tiba saja dia melancarkan sebuah tendangan!
Weeesss...! Dewi Ikata merundukkan kepala. Namun
Perangai Gila telah menyiapkan serangan susu-
lan. Dewi Ikata bergegas meloncat mundur. Dia
berdiri kokoh memasang kuda-kuda. Perangai Gi-
la hanya menatapnya dengan pandangan sinis.
Sesaat kemudian, tendangan dan pukulan
Perangai Gila menghujani tubuh Dewi Ikata. Den-
gan mengandalkan jurus-jurus yang diajarkan
gurunya, Dewi Ikata mampu menepis serangan
itu. "Dari mana kau belajar jurus-jurus itu?"
tanya Perangai Gila terheran-heran.
"Tentu saja dari guruku," jawab Dewi Ikata sambil menyunggingkan senyum.
"Arumsari?"
"Ya. Guruku bergelar Dewi Tangan Api!"
"Ha-ha-ha...!" Perangai Gila tertawa senang. "Rupanya aku telah berjumpa dengan
orang sendiri."
Kening Dewi Ikata berkerut. "Kau mengenal
guruku?" "Bukan hanya mengenal. Aku adalah ka-
kak kandungnya!"
Sejenak Dewi Ikata tercengang. "Eyang...,"
gumam gadis itu seraya berlutut.
Mendadak, Perangai Gila mendorong tela-
pak tangan kanannya ke depan! Serangkaian an-
gin pukulan menerpa. Tubuh Dewi Ikata terlontar dan membentur dinding gua.
Gadis cantik itu bangkit sambil meringis
kesakitan. Tuang-belulangnya terasa hampir re-
muk. "Kau jangan berlutut di hadapanku!" kata Perangai Gila dengan suara
menyimpan kemarahan. "Sekali lagi kau melakukan itu, aku akan membunuhmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, wanita ku-
rang waras itu tertawa terbahak-bahak. Bagai melihat sebuah lelucon, Dewi Ikata
ikut tertawa. "Hush...!" hardik Perangai Gila. "Kau belum menyebutkan namamu."
"Dewi Ikata. Eyang bisa memanggilku den-
gan sebutan 'Ika'."
Perangai Gila mendehem. Dia lalu berjalan
masuk ke bagian gua yang lebih gelap. Dewi Ikata cuma memperhatikan. Wanita
kurang waras itu
mencabuti jamur kuning yang tumbuh di sela-
sela rembesan air. Ketika kedua telapak tangan-
nya telah penuh, jamur kuning disodorkannya
kepada Dewi Ikata.
"Makanlah...," kata Perangai Gila setengah memaksa.
Kening Dewi Ikata berkerut.
Tiba-tiba perutnya dirasakan melilit-lilit
karena lapar. Tapi melihat jamur di tangan Pe-
rangai Gila, rasa laparnya lenyap kembali.
"Kau jijik?" tanya Perangai Gila.
Dewi Ikata diam saja. Kepalanya mengge-
leng lemah. "Bagus! Segera kau makan jamur ini!"
"Ehm... aku...."
Perangai Gila tersenyum. Dipandanginya
sejenak kumpulan jamur yang berada di tangan
kiri. "Jamur ini sangat bermanfaat bagi keseha-tan, Ika. Selain menambah
kekuatan dan mence-
gah beberapa penyakit, juga dapat memperpan-
jang napas."
Wanita kurang waras itu lalu melahap ja-
mur yang berada di tangan kirinya. Melihat tin-
dakan Perangai Gila, mendadak rasa lapar di pe-
rut Dewi Ikata muncul kembali. Dia pun meneri-
ma tawaran wanita kurang waras itu.
"Puah...!" Dewi Ikata meludahkan kembali jamur yang telah dikunyahnya.
"Pahit?" tanya Perangai Gila.
"Ya."
"Bodoh!" Perangai Gila marah. "Di dunia ini sesuatu yang manis adalah berawal
dari kepahi-tan. Orang tidak akan pernah merasa bahagia
tanpa terlebih dahulu mengalami penderitaan.
Rasa pahit penderitaan itulah tebusan bagi ma-
nisnya kebahagiaan...," Perangai Gila menatap wajah Dewi Ikata dalam-dalam.
"Jamur yang berada dalam genggamanmu sangat bermanfaat.
Sudah selayaknya bila terasa pahit."
Dewi Ikata langsung memakan habis jamur
pemberian Perangai Gila. Sekejap kemudian, dia
merasakan kepalanya pening. Matanya berku-
nang-kunang. "Tak usah khawatir...," kata Perangai Gila.
"Semua itu akan hilang dengan sendirinya. Sebentar lagi kau akan merasakan
manfaat jamur yang telah kau makan."
Bersamaan dengan usainya ucapan wanita
kurang waras itu, Dewi Ikata merasakan kehan-
gatan menjalar di sekujur tubuhnya. Rasa pening di kepalanya berangsur-angsur


Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lenyap. "Kita keluar, Ika...," ajak Perangai Gila kemudian.
Mereka berjalan berdampingan. Setibanya
di hamparan pasir luas, Perangai Gila menghentikan langkah.
"Aku akan menyempurnakan jurus-jurus
yang telah kau dapatkan dari Arumsari. Setelah
itu, kau akan menerima warisan ilmuku. Jurus-
jurus yang dimiliki Arumsari sangat hebat. Sudah patut untuk berdampingan dengan
ilmuku...,"
"Terima kasih, Eyang...," Dewi Ikata menjatuhkan diri
Perangai Gila mendengus keras. Cepat, ka-
ki kanannya diayunkan.
Dees...! Telapak kaki wanita kurang waras itu ber-
sarang tepat di dada Dewi Ikata. Tubuh gadis
cantik itu pun melayang jauh, lalu terhempas di hamparan pasir dalam keadaan
pingsan. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar.
"Monyet geblek! Kadal dungu!" umpat Perangai Gila sambil memukul-mukul kepalanya
sendiri. Wanita kurang waras itu berlari ke arah
pantai. Digalinya pasir hingga membentuk ku-
bangan lebar yang cukup untuk menguburkan
seekor gajah. Bahu si Perangai Gila tampak ber-
gerak naik-turun. Kedua matanya berkaca-kaca.
Rupanya, dia sedang menangis.
Tiba-tiba dia menggeram. Kedua telapak
tangannya dihentakkan ke depan.
Blaaammm...! Air laut berkubang dalam, membentuk ge-
lombang besar bagai ditepuk tangan raksasa.
"Monyet geblek! Kadal dungu! Kenapa aku
menyakiti muridku sendiri"!" Teriak Perangai Gila seraya berlari menghampiri
tubuh Dewi Ikata.
Wanita kurang waras itu lalu menotok beberapa
aliran darah di tubuh Dewi Ikata sebelum menya-
lurkan hawa murni
"Uh...!"
Dewi Ikata bangkit duduk. Diusap dadanya
yang terasa panas dan sesak.
"Eyang hendak mencelakakan aku?" tanya gadis itu lirih.
Perangai Gila tak memberi jawaban. Dia
hanya menatap wajah Dewi Ikata dengan penuh
perasaan sesal. Air matanya menetes semakin de-
ras. "Kenapa Eyang menangis?" tanya Dewi Ikata heran
"Aku bukan hendak mencelakakanmu, Ika.
Ketika kau berlutut, aku teringat seseorang yang sangat jahat terhadapku...,"
kata Perangai Gila sambil mengusap air mata dengan ujung lengan
bajunya. "Orang itu pada mulanya baik. Aku sangat mencintainya. Tapi dia
kemudian mengkhia-
nati cintaku."
Perangai Gila tak melanjutkan kalimatnya.
Suara tangisnya terdengar semakin keras.
"Sudahlah, Eyang...," ujar Dewi Ikata yang merasa terharu. "Tak perlu
mengungkit-ungkit masa lalu."
Perangai Gila mengambil napas panjang.
Perlahan air matanya diseka dengan jemari tan-
gannya yang keriput.
"Ketika aku memutuskan untuk berpisah
dengannya, dia menyatakan penyesalannya. Aku
pun memberinya maaf. Tapi luka hatiku sudah
telanjur dalam. Aku tak mungkin menerima ke-
hadirannya kembali. Dia menangis memohon be-
las kasihan sambil berlutut di hadapanku. Na-
mun apa yang dia lakukan, Ika?"
Dewi Ikata memandang wajah Perangai Gi-
la tanpa berkedip. Rasa kasihan semakin bergulat di hatinya.
"Orang Jahat itu memperdayai aku...," lanjut Perangai Gila. "Lihatlah, Ika. Apa
yang diper-buatnya kepadaku?"
Perlahan-lahan wanita kurang waras itu
meraba rambutnya yang hitam kemerah-
merahan. Srat...! Dewi Ikata bergidik ngeri. Rambut Perangai
Gila tercabut meninggalkan kepala gundul tanpa
kulit. Terlihatlah tempurung kepalanya yang berwarna putih.
"Orang jahat itu membeset kulit kepalaku,
Ika...." Tangis Perangai Gila langsung meledak.
Dia bangkit dari duduknya dan berlari-lari mirip orang kesurupan.
"Aku akan membunuhmu! Aku akan mem-
bunuhmu!" teriak Perangai Gila dengan suara lantang.
Dewi Ikata memandang tanpa berkedip.
Rasa haru semakin mendesak dada. Perlahan-
lahan dia menundukkan kepalanya. Gadis cantik
itu pun menangis....
*** 2 Dewi Ikata menatap gulungan ombak yang
terus bergerak susul-menyusul pantai. Suara de-
bur yang ditimbulkan seperti mengandung irama
nyanyian alam. Bibir gadis cantik itu menyunggingkan se-
nyum. Perlahan-lahan bayangan Suropati atau si
Pengemis Binal terpampang jelas di matanya.
Saat pertama mereka berjumpa adalah ketika Su-
ropati dan Gede Panjalu membantu ayahanda
Dewi Ikata, Adipati Danubraja, untuk menumpas
pemberontakan Patih Wiraksa. Setelah berhasil
memadamkan kemelut di Kadipaten Bumiraksa,
Suropati dan Gede Panjalu menjadi tamu kehor-
matan Adipati Danubraja. Sejak Itulah wajah Su-
ropati yang tampan dan keperkasaan sepak ter-
jangnya tak pernah lepas dari benak Dewi Ikata.
Waktu dia sedang duduk di bangku taman seo-
rang diri. Tiba-tiba muncul seorang remaja me-
nyapanya. "Suasana sore yang indah. Hembusan an-
gin terasa segar. Membuat Pengemis Binal ingin
duduk-duduk di taman sambil menikmati pe-
mandangan yang menakjubkan...."
Dewi Ikata menoleh. Terkejutlah dia meli-
hat kehadiran Suropati yang tak disangka-
sangka. "Mau apa kau, Tu..., eh...," kata gadis cantik itu gelagapan.
Pengemis Binal jadi ingin tertawa melihat
pipi Dewi Ikata merona merah. Gadis berumur tu-
juh belas tahun itu lalu menunduk menyembu-
nyikan perasaan malu.
"Di suasana sore yang indah ini bolehkan
Suropati yang miskin berkenalan dengan Tuan
Putri yang cantik rupawan?" tanya Suropati Mendengar ucapan itu, hati Dewi Ikata
jadi berdebar tak karuan. Rasa malu, takut, dan se-
nang bercampur jadi satu, membuat dia tak tahu
harus bersikap bagaimana. Tapi karena desakan
perasaan aneh yang menggelora di relung kalbu,
Dewi Ikata mendongakkan kepala. Dicobanya
menatap wajah remaja tampan yang berdiri tak
jauh darinya. Mereka pun bersirobok pandangan.
Pipi Dewi Ikata semakin merona merah.
"Jangan panggil aku 'Tuan Putri'. Namaku
Dewi Ikata," kata gadis cantik itu seraya menundukkan kepalanya kembali
"Dewi Ikata" Sebuah nama yang bagus.
Aku harus panggil 'Dewi' atau apa?"
"Aku biasa dipanggil 'Ika'....."
Senyum Suropati mengembang lebar. "Bo-
leh aku duduk di sampingmu, Ika?"
Seperti sedang melayang-layang di angka-
sa, begitulah gambaran perasaan Dewi Ikata wak-
tu itu. Beberapa saat dia tak mampu membuka
suara. Sikap diamnya dianggap sebagai tanda
persetujuan oleh Suropati. Maka, remaja tampan
itu segera meletakkan pantatnya di sisi Dewi Ika-ta.
"Kau suka bunga, Ika?" tanya Suropati berbasa-basi
Tak ada suara yang keluar dari mulut Dewi
Ikata. Pengemis Binal menyambung ucapannya
"Setiap gadis tentu suka bunga. Kenapa
aku mesti bertanya. He-he-he... Ehm, kau cantik sekali, Ika. Kau suka bunga
warna merah, kuning, biru, atau putih" Kalau aku sangat suka
bunga berwarna merah. Akan kupetikkan untuk-
mu. Mudah-mudahan kau suka...."
Remaja konyol itu langsung bangkit dari
duduknya. Tanpa meminta persetujuan Dewi Ika-
ta, dia berjalan menuju rimbunan bunga mawar.
Dipetiknya setangkai yang paling bagus menurut-
nya. Ketika itulah Dewi Ikata mendengar jerit kecil yang keluar dari mulut
Suropati. "Eh, kau kenapa?" tanya Dewi Ikata seraya berjalan menghampiri.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa...," Suropati ber-dusta. "Kau tertusuk duri?"
"Tidak"
"Lalu kenapa kau menjerit?"
"Aku ikut merasakan betapa sakitnya saat
tangkai bunga mawar ini kupetik tadi."
Mendengar itu kepala Dewi Ikata tertunduk
malu. Ia telah menunjukkan kekhawatiran yang
sebenarnya tidak perlu.
"Ika...," ucap Suropati penuh kelembutan.
"Seandainya kau bunga mawar, apakah kau juga akan merasakan sakit apabila
dipetik oleh seseo-
rang?" "Aku tak tahu."
"Kenapa" "
"Aku bukan bunga mawar" sahut Dewi Ika-ta pelan.
"Ah, aku tadi kan sudah bilang
'seandainya'. Bagaimana, Ika" Apakah kau juga
akan merasa sakit?"
"Tentu saja sakit. Tapi, aku berharap agar orang yang memetikku itu adalah orang
yang baik budi dan tidak akan menyia-nyiakan diriku."
"Ika, apabila seseorang yang akan meme-
tikmu itu adalah orang yang sangat mencintaimu
dan rela melakukan apa saja untukmu, apakah
kau akan bahagia bila dipetik olehnya" Masihkah kau merasa sakit?"
"Aku kira, orang yang seperti kau katakan
itu tidak ada," sahut Dewi Ikata dengan kepala tertunduk.
"Seandainya ada?"
"Aku akan menyerahkan hidupku kepa-
danya." Perlahan-lahan Suropati memegang dagu
Dewi Ikata. Lalu didongakkannya seraya menatap
wajah gadis cantik itu dalam-dalam.
"Ika...," ucap Pengemis Binal dengan penuh kesungguhan. "Apabila orang yang rela
berkorban itu sekarang berada di dekatmu, apakah kau juga akan menyerahkan
hidupmu?" Dewi Ikata tak menjawab. Kepalanya ter-
tunduk kembali. Tak ada kata-kata yang sanggup
melukiskan perasaannya saat itu. Ucapan Suro-
pati bagai angin yang berhembus nikmat, bisa dirasakan sampai ke dasar hati.
Melihat Dewi Ikata hanya tertunduk, Pen-
gemis Binal menyelipkan setangkai bunga mawar
yang baru dipetiknya ke sela-sela rambut gadis
cantik itu. "Ika...," bisik Suropati seraya meraih kedua tangan Dewi Ikata, lalu didekapnya
erat-erat. "Kau cantik sekali...," gumamnya lirih.
Dewi Ikata menurut saja ketika dirinya di-
bimbing oleh Pengemis Binal untuk duduk kem-
bali di bangku taman.
"Ika, apakah kau pernah bermimpi dida-
tangi seorang pangeran tampan yang sangat per-
kasa, kemudian dia menyatakan perasaan ha-
tinya?" tanya Suropati lagi.
"Pernah."
"Kau menerima?"
"Ya."
"Dalam kenyataan, apabila pangeran tam-
pan yang sangat perkasa itu berubah menjadi
orang miskin yang tidak punya apa-apa kecuali
cinta, apakah kau masih akan menerimanya?"
ujar Suropati. Belum sempat Dewi Ikata memberi jawa-
ban, mereka telah dikejutkan oleh kedatangan
Adipati Danubraja bersama Arumsari atau Dewi
Tangan Api. Nenek itu hendak mengambil Dewi
Ikata sebagai murid. Suropati berlalu dari tempat itu sambil bersungut-sungut
karena merasa ter-
ganggu. Keesokan harinya ketika Dewi Tangan Api
sedang memperagakan beberapa jurus ilmu silat,
Pengemis Binal mengintip. Sayang tindakannya
diketahui nenek itu.
"Hei, Bocah Gendeng! Kenapa kau berada
di sini"!" bentak Dewi Tangan Api.
Suropati tidak menjawab. Dia hanya me-
nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa kau berada
di sini!" "Aku tamu kehormatan Gusti Adipati Da-
nubraja. Tentu saja aku berada di sini."
"Bocah Gendeng! Kalau itu aku sudah ta-
hu! Yang kutanyakan, apakah kau di sini sedang
mengintipku"!"
"Huh! Siapa sudi melakukan itu, Nenek
Bawel! Aku bukan sedang mengintipmu!" sungut Suropati dengan muka cemberut
"Lalu mengintip siapa"!"
"Muridmu."
Mendengar ucapan itu, Dewi Ikata yang
berdiri tak jauh dari Dewi Tangan Api tampak tersenyum-senyum.
"Untuk apa kau mengintip Dewi Ikata"!"
bentak Dewi Tangan Api kemudian.
"Aku mau bicara"
"Tidak"
"Kenapa?"


Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia harus berlatih."
"Ah, sebentar saja. Masa' tidak boleh?" Su-
ropati mencoba merayu.
"Kau nekat rupanya"!" tantang Dewi Tangan Api.
"Tidak! Aku sedang berusaha."
Dewi Tangan Api tiba-tiba menampar wajah
Suropati. Tapi, tamparannya hanya mengenai an-
gin kosong, Pengemis Binal telah meloncat ke belakang. "Pergi, Kau!" usir Dewi
Tangan Api marah bukan main. Rupanya dia merasa dipermainkan.
"Kau yang harus pergi, Nenek Bawel!"
"Keparat!" umpat Dewi Tangan Api seraya menerjang.
Suropati berkelit ke samping. Melihat se-
rangannya luput, Dewi Tangan Api semakin naik
pitam. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi.
"Eit! Rupanya kau gampang naik darah,
Nenek Bawel! Nanti wajahmu yang keriput itu jadi bertambah keriput seperti wewe
gombel. Hiii..!"
goda Pengemis Binal diantara cecaran pukulan
dan tendangan Dewi Tangan Api.
"Bocah Gemblung! Aku akan melumat tu-
buhmu menjadi serpihan daging!"
"Kebetulan. Kalau kau suka, bisa dibikin
soto. He he he...."
"Keparat! Aku benar-benar akan melumat
tubuhmu!" Kemarahan Dewi Tangan Api tak dapat dibendung lagi.
Melihat kesungguhan Dewi Tangan Api da-
lam menyerang Suropati, Dewi Ikata berteriak,
"Sudahlah, Eyang! Kasihan dia!"
Dewi Tangan Api bergegas menghentikan
serangan dan berdiri di hadapan Dewi Ikata.
"Apa katamu"! Kau kasihan pada bocah
gendeng itu?" ucap Dewi Tangan Api "Dia buaya, Ika..." "Buaya baik hati yang
sering menolong orang. He-he-he...," sahut Pengemis Binal.
"Huh! Mana ada buaya baik hati"!" hardik Dewi Tangan Api
"Ada! Buaya dalam dongeng kancil. He-he-
he...." Dewi Tangan Api mendengus. Diterjangnya Suropati kembali sambil berkata,
"Akan kuron-tokkan gigimu!"
"Aduh! Kau terlalu kejam, Nek! Gimana
aku mesti makan" Apakah kau akan menyuapi
aku bubur setiap hari?"
"Sekarang juga aku akan menyuapimu
dengan telapak kakiku!" sahut Dewi Tangan Api.
Sambil berkata demikian, Dewi Tangan Api
melancarkan tendangan lurus terarah ke mulut
Suropati. Remaja konyol itu berkelit ke samping.
Tangannya menyodok perut Dewi Tangan Api.
Duuk...! Pergelangan tangan Pengemis Binal mem-
bentur telapak kaki Dewi Tangan Api. Remaja ko-
nyol itu mengeluarkan keluhan kecil karena me-
rasakan tubuhnya seperti dijalari api.
"Makanlah ini!" ucap Dewi Tangan Api seraya melancarkan tendangannya kembali.
Tentu saja Suropati tak mau giginya ron-
tok. Dia segera membuat tangkisan. Namun, ten-
dangan memutar Dewi Tangan Api telah menyu-
sul! Deees...! Dengan telapak tangan menempel di dada,
Pengemis Binal menadahi tendangan Dewi Tan-
gan Api. Lalu, dia pura-pura menjatuhkan diri.
"Aduh!" keluh remaja konyol itu sambil mendekap dadanya.
"Suro!" jerit Dewi Ikata berlari berhambur.
"Ak... aku... tidak bisa... bernapas...." Mendengar ucapan Suropati yang gagap,
sinar mata Dewi Ikata mendadak berubah nyalang. Hatinya
diliputi rasa khawatir.
"Ak... aku mau ma... ti...," ucap Pengemis Binal sambil mendekap erat jemari
tangan Dewi Ikata. Gadis cantik yang masih buta ilmu silat itu termakan sandiwara Suropati.
Perlahan-lahan mutiara bening bergulir dari matanya.
"Kau jangan mati, Suro...," Isak gadis itu dengan suara gemetar.
"Ak... aku sudah me... lihat Malaikat Kematian. Katakan kau... kau suka padaku,
Ika...." "Ya, Suro. Aku menyukaimu. Tapi kau jan-
gan mati."
"Kalau aku mati ba... gaimana...?"
"Aku ikut..."
"Ha-ha-ha...!"
Mendadak saja, Suropati tertawa terbahak-
bahak. Dia meloncat tinggi sambil membopong
tubuh Dewi Ikata.
"Aku tidak jadi mati, Ika...," kata remaja konyol itu, kemudian mencium pipi
Dewi Ikata. Dewi Tangan Api jadi gemas melihatnya.
Kakinya dihentakkan keras-keras ke tanah kare-
na jengkel. "Rupanya gurumu benar-benar marah,
Ika...," ucap Pengemis Binal. "Sebaiknya aku pergi saja. Kau berlatihlah dengan
tekun...," pesannya.
Suropati berjalan pergi sambil menggaruk-
garuk kepala. Dewi Ikata menatap kepergiannya
dengan sinar mata tak mengerti. Tapi, tiba-tiba dia merasakan suatu kebahagiaan
yang belum pernah dia alami. Ciuman Pengemis Binal tadi
membuat jiwa gadis cantik itu seperti melayang di angkasa.
Sejak saat itu, setiap pagi Suropati selalu
menunggui Dewi Ikata berlatih silat dengan gu-
runya. Dewi Tangan Api yang semula tidak suka
melihat sikap Pengemis Binal yang nekad, konyol, dan tampak ugal-ugalan, jadi
luluh hatinya. Nenek itu pun membiarkan saja ketika Suropati ikut memberi
petunjuk kepada muridnya. Kepandaian
Pengemis Binal memang tak kalah bila diban-
dingkan dengan Dewi Tangan Api sendiri.
Suropati semakin kerasan tinggal di Kadi-
paten Bumiraksa. Ketika Gede Panjalu yang juga
menjadi tamu kehormatan Adipati Danubraja
mengajak remaja konyol itu kembali ke Bukit
Pangalasan, dia menolak. Alasannya Adipati Da-
nubraja masih membutuhkan tenaganya untuk
berjaga-jaga. Barangkali saja ada kaki-tangan Patih Wiraksa yang hendak
menggempur kadipaten
kembali. Pada suatu sore yang cerah, Dewi Ikata
menghadap ayahandanya.
"Suropati hendak mengajakku berlatih me-
nunggang kuda, Ayah...," lapor gadis cantik itu sekaligus memohon ijin.
"Kau harus minta ijin gurumu," jawab Adipati Danubraja.
"Eyang Arumsari sedang ada keperluan,
Ayah. Mungkin menjelang malam Eyang baru
kembali." Mengetahui bila Suropati telah berjasa ke-
pada tampuk pimpinan di Kadipaten Bumiraksa
dan remaja tampan itu pun bukanlah tokoh sem-
barangan, akhirnya Adipati Danubraja melu-
luskan permohonan Dewi Ikata untuk berlatih
bersama pemuda itu.
Suropati mengajak Dewi Ikata pergi ke tepi
hutan kecil. Malang, di sana langkah kaki kuda
mereka dihadang sekawanan perampok bersenja-
ta. Lewat sebuah pertempuran sengit, Pengemis
Binal dapat mengusir perampok-perampok itu.
Namun, Dewi Ikata terkejut mendapati tubuh Su-
ropati tergeletak di tanah dan berlumuran darah.
"Ak... aku terluka, Ika...," ucap Pengemis Binal sambil mendekap perutnya.
"Tidak. Kau mau membohongiku lagi!" kata Dewi Ikata setengah membentak. Dia
teringat ketika Suropati pura-pura terkena tendangan Dewi
Tangan Api beberapa hari yang lalu.
"Tidakkah kau lihat darahku yang menga-
lir, Ika" Perutku terkena sabetan golok..."
"Kau tidak bohong, Suro?" suara Dewi Ikata mulai menunjukkan kecemasan.
"Kali ini aku akan mati sungguhan..."
Dewi Ikata berjongkok hendak memeriksa
luka Pengemis Binal. Tapi, remaja konyol itu
mencegah. Dia tidak mau tangan Dewi Ikata kotor oleh lumuran darah.
"Kalau aku mati, kuburkan jasadku di
puncak Bukit Pa... nga... lasan...."
"Tidak, Suro! Kau tidak boleh mati!" teriak Dewi Ikata pasrah.
"Aku tidak bisa melawan takdir, Ika. Cium-
lah aku sebagai tanda perpisahan...."
"Suro...," desis Dewi Ikata dengan air mata berlinang, Dia merunduk untuk
mencium kening Suropati. "Cium bibirku, Ika...," ucap Pengemis Binal sambil meringis kesakitan.
Air mata Dewi Ikata pun semakin deras
mengalir. Perlahan diciumnya bibir Suropati. Setelah itu, dengan susah payah
Pengemis Binal naik ke punggung kuda.
"Aku tidak mau melihat kau... menangis
saat aku menutup mata...."
Dengan hati hancur Dewi Ikata menatap
tubuh remaja tampan itu yang terduduk lemah di
punggung kuda. Suropati pergi meninggalkan
Dewi Ikata. Rupanya dia hendak menyendiri.
Akhirnya, Dewi Ikata kembali ke Kadipaten
seorang diri. Tentu saja Adipati Danubraja keheranan melihat putri tunggalnya
pulang dengan li-nangan air mata. Waktu ditanya, Dewi Ikata
hanya membungkam dan langsung menuju ka-
mar. Di sana dia menumpahkan semua kesedi-
hannya. Tak lama kemudian, samar-samar telinga
Dewi Ikata menangkap suara syair yang melantun
merdu.... Tak ada kebahagiaan yang melebihi keba-
hagiaan cinta terbalaskan
Tak ada kesedihan yang melebihi kesedi-
han bila kekasih telah meninggalkan
Putri pujaan hati, kematian tak perlu disesa-li
Kekasih pergi, apalah arti
Yang telah kembali, tak perlu ditangisi
Begitu syair usai dilantunkan, Dewi Ikata
meloncat dan berlari menuju taman. Dari sanalah suara itu berasal. Dia pun
terkejut bukan main
melihat Suropati telah duduk di bangku sambil
tersenyum-senyum. Dewi Ikata langsung meng-
hambur. Bukan memeluk, tapi menghujani dada
Pengemis Binal dengan pukulan. Namun yang di-
pukuli malah tertawa senang.
Untuk kedua kalinya Dewi Ikata jadi kor-
ban kekonyolan Suropati. Tapi gadis, cantik itu tak pernah sakit hati. Perasaan
cinta dalam ha-
tinya telah tumbuh subur, membuat harapannya
kian melambung tinggi.
Pada suatu malam, disaksikan oleh rembu-
lan dan bintang, Suropati mengungkapkan pera-
saan hatinya. Kebahagiaan Dewi Ikata semakin
memuncak karenanya.
"Aku pun mencintaimu, Suro...," kata Dewi Ikata dengan malu-malu.
"Tapi aku hanya orang miskin yang tak
punya apa-apa," ujar Suropati merendah.
"Di mataku kau sangat sempurna, Suro.
Kau tampan dan perkasa."
"Ah, kau hanya ingin membuatku merasa
senang. " "Tidak. Itu kukatakan dari ketulusan hati-
ku," Dewi Ikata menatap Suropati lekat-lekat.
"Sungguh?"
"Demi Tuhan, aku mencintaimu, Suro...."
Mereka lalu berpelukan, dan saling mengu-
cap janji untuk hidup bersama. Tapi kenyataan
mengatakan lain. Dewi Ikata harus mengikuti
pengembaraan gurunya, Arumsari atau Dewi
Tangan Api. Dalam pengembaraannya itu Dewi Ikata di-
culik oleh salah seorang dari si Kembar Budukan.
Kemudian, muncul Kapi Anggara menolongnya.
Pemuda tampan berambut pirang itu mengajak
Dewi Ikata ke istana Kerajaan Anggarapura. Kapi Anggara adalah salah seorang
kepercayaan Baginda Prabu Arya Dewantara.
Saat Sang Prabu mengadakan pesta syuku-
ran, Dewi Ikata menurut saja ketika Kapi Anggara mengajaknya ke taman di
belakang istana. Kapi
Anggara mencoba merayu Dewi Ikata sambil me-
remas jemari tangannya. Saat itulah, tanpa dis-
angka-sangka Dewi Ikata melihat kehadiran Su-
ropati. Tentu saja Pengemis Binal kecewa bukan
main. Kekasihnya tampak bermesraan dengan
Kapi Anggara. Tanpa mengucapkan sepatah kata
pun Suropati berlalu dari hadapan Dewi Ikata.
Perasaan Dewi Ikata terpukul. Diam-diam
dia meninggalkan istana kerajaan, kemudian
mencoba bunuh diri. Perbuatan nekat itu berhasil diselamatkan oleh Perangai
Gila. Sampai di situ, lamunan Dewi Ikata buyar.
Gadis itu lalu melangkah menuju gua di mana Pe-
rangai Gila telah menunggu. Nenek itu telah mengambil Dewi Ikata sebagai murid.
Diajarkannya seluruh ilmu kepandaiannya kepada gadis cantik
tersebut. Enam candra kemudian Perangai Gila
mengajak Dewi Ikata pergi mengembara.
3 Sebuah kedai makanan yang cukup besar
di Kademangan Masopati tampak seorang gadis
cantik berpakaian serba merah tengah duduk
mematung. Hidangan yang tersedia di hadapan-
nya sama sekali tak tersentuh.
Rambut gadis cantik itu digelung ke atas
dengan ikatan kain sutera merah. Raut wajahnya
terlihat suram. Sinar matanya kosong seperti tan-pa gairah hidup. Kedua kakinya
diselonjorkan. Sedangkan tangan kanan mengetuk-ngetuk meja


Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tangan kiri tergeletak lemah.
Sudah beberapa lama dia berada di tempat
itu, hingga waktu sarapan telah lewat dan kedai telah sepi. Dua orang pelayan
yang berdiri di ambang pintu dapur memperhatikan dengan kening
berkerut. "Gadis aneh...," bisik pelayan yang bertubuh jangkung.
"Siapa dia?" tanya temannya. Tak ada jawaban. Si pelayan yang bercambang bauk
mena- tap gadis aneh itu tanpa berkedip.
"Kau ingat peristiwa besar beberapa candra yang lalu, Dhi?"
"Peristiwa apa?" tanya temannya yang bertubuh jangkung.
"Pemberontakan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah."
"Kenapa?"
"Jangan-jangan gadis itu sisa anggota per-
kumpulan tersebut. Kau lihat pakaiannya, Dhi.
Bukankah itu ciri dari perkumpulan yang telah
ditumpas pihak kerajaan?"
"Lalu, kita harus berbuat apa?"
"Lapor kepada Demang," usul pelayan bercambang bauk
"Ah, kenapa kita harus mencampuri uru-
san yang bukan tanggung jawab kita?" kata pe-
layan bertubuh jangkung sambil berjalan mema-
suki dapur. "Tunggu dulu!" cegah temannya. "Aku dengar pihak kerajaan berupaya menumpas
Perkum- pulan Bidadari Lentera Merah sampai ke akar-
akarnya. Dengan melaporkan gadis itu kepada
Demang, siapa tahu kita akan mendapat hadiah."
"Betul katamu. Tapi, kau sajalah yang me-
lapor. Tugasku masih banyak," mendengar akan mendapat hadiah, pelayan bertubuh
jangkung langsung mendukung.
"Uh! Enak saja! Tapi tak apa, mumpung ju-
ragan sedang pergi. Kalau kutinggal sebentar dia tak akan tahu."
Pelayan bercambang bauk lalu melangkah-
kan kakinya keluar kedai. Ketika berada di am-
bang pintu depan, dia berpapasan dengan seo-
rang Resi yang berpakaian serba putih.
"Silakan, Pak Tua...," kata pelayan itu, masih sempat memberi sambutan.
Sang Resi pun mengambil tempat duduk di
pojok ruangan, berhadapan dengan si gadis aneh.
"Kasihan...," kata sang Resi dalam hati.
Matanya menatap tajam wajah si gadis. Kedua
alisnya yang telah memutih naik bersama ke-
ningnya yang berkerut. Pelayan bertubuh jang-
kung menghampiri Resi itu. Sang Resi menye-
butkan pesanannya tanpa menoleh.
"Dua manusia aneh telah hadir di kedai
ini...," kata pelayan itu dalam hati. Sambil bersungut-sungut dia melayani
pesanan tamunya.
Belum sempat sang Resi menyantap hidan-
gan yang tersedia, lima orang prajurit kademan-
gan hadir di tempat itu bersama pelayan kedai
bercambang bauk.
"Gadis itukah yang kau maksud?" tanya salah seorang prajurit.
Si pelayan menganggukkan kepalanya.
"Kita menunggu Ki Demang."
"Ah, kenapa tidak langsung ditangkap sa-
ja?" sahut pelayan bercambang bauk.
"Goblok! Semua anggota Perkumpulan Bi-
dadari Lentera Merah berkepandaian tinggi," prajurit kademangan jengkel.
Tak lama kemudian Demang Sosrobahu
muncul. Lelaki bertubuh tegap itu langsung
menghampiri si gadis aneh.
"Siapa namamu?" tanya lelaki tua berikat kepala itu.
Si gadis hanya mendengus, tanpa men-
gangkat wajahnya.
"Kau anggota Perkumpulan Bidadari Lente-
ra Merah?" tanya Demang Sosrobahu lagi.
Mendadak si gadis menggebrak meja. Lalu,
bangkit dari duduknya seraya hendak berlalu dari tempat itu.
"Hei! Hendak ke mana kau"!" bentak salah seorang prajurit sambil melompat
menghadang. Tanpa menjawab si gadis aneh mendorong
telapak tangan kanannya ke depan.
Dees...! Tubuh prajurit itu terhempas ke lantai. Se-
telah menyemburkan darah segar, dia tak mampu
bergerak lagi. Semua mata memandang kejadian itu den-
gan penuh keterkejutan. Demang Sosrobahu yang
sudah matang pengalaman pun tampak mundur
beberapa tindak
"Tangkap dia!" teriak Ki Demang kepada empat prajurit yang berdiri di ambang
pintu "Tahan...!"
Tiba-tiba sang Resi yang sedari tadi cuma
memperhatikan, meloncat menghalangi gerakan
keempat prajurit.
"Siapa kau"!" tanya Demang Sosrobahu
dengan suara lantang.
"Aku hanyalah manusia biasa. Aku hanya
ingin mencegah pertumpahan darah di tempat
ini...." "Jangan hiraukan kata-kata manusia usil itu!" Usai mengucapkan
kalimatnya, Demang Sosrobahu memberi isyarat kepada empat praju-ritnya untuk
segera menangkap si gadis aneh.
Sang Resi mengibaskan ujung lengan ju-
bahnya. Weeesss...! Serangkum angin pukulan menerpa.
Keempat prajurit kademangan terlempar dan ja-
tuh bergulingan di lantai kedai.
Demang Sosrobahu tercengang. Matanya
mendelik dengan mulut terbuka lebar. Si gadis
aneh tersenyum tipis, kemudian menghemposkan
tubuhnya ke luar kedai.
Sang Resi pun melemparkan beberapa
uang logam di atas meja, lalu melesat mengejar.
"Empat prajurit itu hanya pingsan...," katanya sebelum meninggalkan kedai
Si gadis aneh berpakaian serba merah ber-
lari sangat cepat. Tampaknya dia memperguna-
kan ilmu meringankan tubuh. Sekeluar dari wi-
layah Kademangan Masopati, dia mendengus ke-
ras seraya menghentikan gerak kakinya.
"Aku bermaksud baik kepadamu, Anak
Manis...," kata sang Resi yang telah berdiri di hadapan si gadis sejak keluar
dari kedai dia me-
mang terus menuruti gadis itu. "Kekuatan sihir jahat sedang mempengaruhimu. Aku
akan berusaha melenyapkannya," lanjutnya.
Si gadis hanya mendengus seraya melan-
carkan tendangan. Sang Resi berkelit sambil me-
lancarkan totokan ke sinus dada kiri. Mendadak, gadis berpakaian merah
mengibaskan telapak
tangan kanannya. Angin pukulan berhawa panas
pun menerpa! "Uts...!"
Sang Resi menarik pergelangan tangannya
kembali. Bersamaan dengan itu, si gadis meloncat ke samping dan menggeram keras.
Sang Resi pun terkejut melihat kedua pergelangan gadis aneh itu berubah merah membara!
"Diam di tempatmu!" perintah sang Resi.
Ucapannya dilancari kekuatan ilmu sihir.
Mata si gadis mendelik tanpa mampu ber-
buat apa-apa. Kesempatan itu tak disia-siakan
oleh sang Resi. Segera dilancarkannya totokan beruntun. Tubuh gadis berpakaian
merah terkulai lemah seperti selembar kain basah. Sang Resi bu-ru-buru menyambarnya supaya tak
terjerembab ke tanah. "Kasihan...," desis sang Resi. Dia berjalan menuju sebuah tempat di bawah
naungan pohon berdaun rindang. Setelah menatap sejenak wajah
si gadis, dia lalu memeriksa denyut nadinya.
"Kekuatan sihir jahat itu benar-benar telah menyatu. Aliran darahnya sangat
kacau...," gumam sang Resi. "Kalau aku tidak segera menolongnya, dia akan
menjadi gila."
Kakek itu menyandarkan tubuh si gadis ke
batang pohon. Sementara dia sendiri duduk bersi-la di hadapannya. Kedua matanya
dipejamkan. Kakek Resi itu berusaha menembus kekuatan
gaib yang memperbudak gadis berpakaian merah.
Sebentar kemudian, wajah lembut sang Resi
mengeluarkan cahaya kedamaian. Hembusan na-
pasnya terdengar sangat teratur. Tapi, di balik semua itu. Kekuatan batinnya
sedang bekerja keras memusnahkan pengaruh sihir jahat
Argh...! Mendadak kakek itu mengeluarkan jerit
tertahan. Dari sudut bibirnya meleleh darah se-
gar. Lalu, tubuh sang Resi bergetar hebat bagai terserang demam.
Bruk.... Diiringi pekikan tertahan tubuh sang Resi
terjengkang ke belakang. Ketika dia berusaha
bangkit, rasa panas menerjang tubuhnya. Kedua
matanya berubah nyalang. Jalan pikirannya pun
mendadak jadi kacau. Dia tak dapat lagi memu-
satkan pikiran, meskipun telah dicobanya.
"Heaaa...!"
Sang Resi tak dapat mengendalikan gerak
tubuhnya untuk melakukan loncatan. Kemudian
menghantam sebatang pohon besar hingga tum-
bang. Kakek itu berkelebatan ke sana-ke mari
seperti sedang berkutat dengan maut Berkali-kali mulutnya mengeluarkan erangan.
Bahkan, menjerit keras seperti sedang melihat kejadian yang menggiriskan.
Buuummm...! Sebatang pohon jatuh berdebum terkena
tendangan sang Resi yang kalap. Mendadak, tu-
buhnya melenting ke atas bagai seekor udang me-
loncat Waktu tubuh kakek itu masih melayang di
udara, ditekannya kedua sisi kening dengan jari telunjuk. Wajah sang Resi
mengeluarkan cahaya
kebiru-biruan. Splash...! Ketika cahaya itu lenyap, tubuh sang Resi
melayang turun dan mendarat di permukaan ta-
nah dalam keadaan bersila.
"Oh, Dewata Yang Agung!" bibir kakek itu bergetar menyebut Asma Penguasa Jagat.
Sambil mengatur napasnya yang membu-
ru, diperhatikannya dengan seksama wajah gadis
yang duduk bersandar jauh darinya.
"Kekuatan sihir yang mempengaruhinya
sangat jahat. Tak dapat aku memusnahkannya.
Seperti sebuah benteng yang berlapis-lapis...,"
gumam sang Resi. "Jiwaku pun hampir terbawa hanyut"
Beberapa lama kakek itu terpuruk dalam
kebingungan. Sinar mentari yang semakin me-
nyorot panas membuat peluh ditubuhnya terus
bergulir. "Kekuatan sihir biasa akan bersifat semen-
tara dalam mempengaruhi jalan pikiran. Tapi
yang ini lain. Kekuatan itu sangat kuat dan mempunyai kemampuan untuk memutar
balik daya batin yang hendak memusnahkannya. Aku men-
gira, ada benda beryoni yang menyatu dalam tu-
buh gadis itu..."
Sang Resi lalu mendorong kedua telapak
tangannya ke depan. Digerakkannya berputar se-
cara perlahan-lahan. Beberapa saat lamanya, bi-
bir sang Resi telah mengembangkan senyum.
"Tujuh batang jarum berkekuatan sihir ja-
Kelelawar Beracun 2 Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Kisah Pedang Bersatu Padu 10
^