Setan Pantai Timur 2
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur Bagian 2
datang. Hatinya masih belum mengerti kenapa Pendekar Bayangan Setan sampai
sedemikian takutnya menghadapi serangan Andari. Padahal kepandaian tokoh
setengah gila itu, ia tahu berada jauh di atas putrinya. Sagotra benar-benar
tidak habis pikir dengan keanehan yang baru saja terjadi di depan matanya itu.
"Ayah..., kau tidak apa-apa...?" tanya Andari ce-mas sambil memapah tubuh
Sagotra, "Siapa setan gundul itu, Ayah" Mengapa ia ingin membunuhmu?"
"Cuma orang sinting...," jawab Sagotra singkat, Mari, kita pulang...!" lanjutnya
membuat Andari cuma bisa mengangkat bahu, tak banyak bertanya lagi.
Kemudian dipapahnya sang Ayah pergi meninggalkan tempat itu.
*** 4 Kuda hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari busur, meninggalkan kepulan
debu di atas jalanan yang dilewatinya. Setelah menerobos kelebatan hutan,
sampailah di depan sebuah rumah panggung yang cukup besar. Penunggangnya
bergegas melompat turun kemudian melangkah masuk dengan agak tergesa. Sedang
kuda hitam itu sudah diurus oleh seorang lelaki yang menyambut kedatangannya.
"Kali ini kita benar-benar celaka, Penjagal...!"
ucapnya cemas, kepada seorang lelaki gemuk bertelanjang dada, hingga menampakkan
bulu-bulu lebat yan tumbuh di dadanya.
"Kau ini kenapa, Ronggawu"! Datang-datang, membuat orang kebingungan" Coba
tenang dulu, dan ceritakan yang jelas...!" sambut lelaki gemuk yang dikenal
sebagai Penjagal Kepala, seorang kepala rampok yang bengis dan kejam tak kenal
ampun. Setiap lawan yang dihadapinya harus tewas dengan kepala putus. Kebengisan inilah
yang membuat julukan Penjagal Kepala melekat pada dirinya.
"Kematian Kakek Jubah Hitam ternyata malah membuat diri kita terancam bahaya!
Bahkan jauh lebih hebat ketimbang sewaktu kakek celaka itu masih hidup! Kalau
dulu cuma dia seorang yang selalu menggagalkan usaha kita, sekarang justru
semakin banyak. Kematiannya membuat orang-orang golongan putih menjadi marah!
Mereka hendak mencari pembunuhnya. Menurutku, sebaiknya kita menyingkir dulu
jauh-jauh sampai keadaan kembali
tenang. Sebab, kalau sampai golongan putih tahu, mereka pasti akan mendatangi
kita. Bukankah ini celaka namanya...?" jelas Ronggawu, yang membuat paras
Penjagal Kepala berubah seketika.
"Dari mana kali dapatkan berita itu" Apakah itu bukan cuma desas-desus saja?"
tanya Penjagal Kepala, yang kelihatan belum yakin benar akan ucapan kawannya.
"Orang-orangku yang bekerja sebagai pencari berita tentang mangsa yang bakal
lewat di daerahku, datang dan melaporkan semua itu kepadaku," jawab Ronggawu,
yang juga merupakan kepala rampok, dan mempunyai hubungan dekat dengan Penjagal
Kepala. Hubungan antara kedua kepala rampok ini semakin dekat semenjak sepak terjang
Kakek Jubah Hitam mengacaukan pekerjaan mereka.
Mendengar penjelasan rekannya, Penjagal Kepala menjadi termenung. Keningnya
berkerut. Sepertinya tokoh ini tengah berpikir keras untuk mencari jalan
keluarnya. "Apakah hal ini sudah kau beritahukan kepada Harimau Gila?" tanya Penjagal
Kepala tiba-tiba.
"Aku tidak tahu ke mana harus mencarinya.
Karena selama ini ia tidak pernah memberitahukan tempat tinggalnya kepada kita.
Harimau Gila hanya muncul menemui kita jika memerlukan bantuan!
Hhh... itulah yang membuatku kurang suka kepadanya. Sebaiknya kau tak perlu
memikirkannya, Penjagal. Yang penting kita harus segera menyingkir.
Jangan sampai mereka keburu mengetahui pelaku pembunuhan itu, lalu mendatangi
tempat ini," jawab Ronggawu setengah mendesak.
"Pengikutmu sendiri bagaimana...?"
"Mereka sudah kusuruh menyingkir lebih dulu, dan
menunggu di sekitar Lembah Sungai Gerong. Di sana ada tempat yang cukup baik dan
tersembunyi. Rasanya, untuk sementara tempat itu bisa kita gunakan bersama-sama," jawab
Ronggawu menerangkan tempat yang bakal mereka gunakan sebagai persembunyian
sementara. "Hm..., kalau begitu kau tunggulah sebentar. Aku akan berkemas...," ujar
Penjagal Kepala, mengambil keputusan untuk mengikuti anjuran rekannya.
Namun, baru saja Penjaglal Kepala memutar tubuh hendak masuk ke dalam kamarnya,
tiba-tiba dari luar rumah terdengar bentakan dan suara benturan senjata tajam.
Penjagal Kepala menjadi kaget. Lalu menoleh dan bertukar pandang dengan
Ronggawu. Seperti telah mendapat kata sepakat, kedua gembong perampok ini sama melesat
keluar. "Berhenti, tahan senjata...!"
Begitu tiba di luar dan menyaksikan adanya dua orang lelaki berseragam biru
muda, tengah dikeroyok belasan orang anggota perampok, Penjagal Kepala langsung
membentak. Disusul kemudian dengan tubuh gemuknya yang melayang ke tengah arena
dan mendarat tepat di hadapan dua orang lelaki gagah itu.
"Hm..., siapa kalian, dan mau apa datang ke tempat ini?" tegur Penjagal Kepala
dengan sorot mata bengis mengandung ancaman maut. Di sebelah kanannya, sudah
berdiri Ronggawu, yang juga meneliti kedua orang lelaki gagah berseragam biru
muda itu. "Namaku Banadri, sedangkan saudaraku ini adalah Sandrila. Kami berdua datang
dari daerah Pantai Utara, dan dijuluki sebagai Sepasang Elang Laut Utara.
Mengenai tujuan kami datang ke tempat ini,
adalah untuk mencari kepala rampok yang berjuluk Penjagal Kepala. Siapakah di
antara kalian berdua yang memiliki julukan itu?" tanya salah satu dari kedua
orang lelaki gagah yang berwajah agak mirip dengan kawannya. Keduanya terlihat
masih berusia muda, sekitar tiga puluh tahun. Kendati demikian, sorot wajah dan
sinar mata mereka terlihat tajam dan berpengaruh. Hingga, sempat membuat hati
Penjagal Kepala dan Ronggawu tergetar.
"Hm..., keperluan apa yang membuat kalian berdua ingin bertemu dengan Penjagal
Kepala?" kali ini yang melontarkan pertanyaan adalah Ronggawu.
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan kepadanya, sehubungan dengan
terbunuhnya Kakek Jubah Hitam, yang merupakan sahabat guru kami.
Dan kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki serta membekuk pelaku laknat
itu...!" Sandrila yang menjawab pertanyaan Ronggawu. Sambil berkata demikian,
sepasang matanya tak pernah lepas dari wajah Penjagal Kepala. Sepertinya ia
sudah dapat menebak siapa di antara kedua orang itu yang berjuluk Penjagal
Kepala. "Kalau begitu, kalian berdua salah alamat. Karena di sini tidak ada yang
berjuluk Penjagal Kepala. Sebaiknya kalian cari di tempat lain...!" Lagi-lagi
Ronggawu berkata mendahului rekannya. Sedang Penjagal Kepala masih diam, belum
bisa mengambil keputusan harus bagaimana.
"Hmhh...!"
Banadri mendengus dan tersenyum sinis ketika mendengar jawaban Ronggawu.
Demikian pula dengan Sandrila. Kemudian keduanya saling bertukar pandang.
"Ternyata kabar tentang kebengisan dan ke-
kejaman Penjagal Kepala cuma isapan jempol belaka," ujar Sandrila kepada
Banadri. "Benar. Sejak semula aku memang sudah dapat menebak kalau kepala rampok yang
berjuluk Penjagal Kepala itu tak lebih dari seorang pengecut besar!"
Banadri menimpali dengan suara lantang sambil mengerling ke arah Penjagal
Kepala. "Sekarang terbukti bahwa dugaanku itu benar..."
"Keparat...!" Penjagal Kepala menggeram dengan wajah terbakar. Dadanya serasa
hendak meledak menahan gejolak amarah. Dia tidak bisa menerima penghinaan itu.
"Bocah-bocah sombong! Perhatikan-lah baik-baik! Akulah yang berjuluk Penjagal
Kepala, yang akan segera membuat kalian berdua menjadi mayat-mayat tanpa
kepala!" Usai berkata demikian, Penjagal Kepala melolos-kan sebatang golok besar yang
matanya bergerigi.
Kemudian memutarnya hingga menerbitkan deru angin keras. Dan dibarengi dengan
sebuah teriakan mengguntur, golok di tangannya menyambar begitu cepat ke arah
Banadri, orang yang telah berani mati menghinanya.
Trang...! Bunga api berpijar seiring dengan suara benturan keras dua batang senjata. Entah
kapan meng-gerakkan tangannya, tahu-tahu dalam genggaman Banadri ada sebilah
pedang, yang digunakan untuk menyambut sambaran golok Penjagal Kepala.
Gembong perampok dari Hutan Gagak ini menjadi kaget bukan main, sewaktu
merasakan lengan kanannya bergetar keras, nyaris membuat goloknya terlepas dari
pegangan! Selain itu, tubuhnya pun sampai terjajar mundur beberapa langkah.
Padahal lawannya sendiri seperti tidak terpengaruh oleh
benturan keras itu. Kenyataan ini membuat Penjagal Kepala sadar kalau tenaganya
kalah dua tingkat dari lawannya.
"Hm..., pantas kau berani membuka mulut besar!
Rupanya kepandaianmu boleh juga...!" dengus Penjagal Kepala mengakui kelebihan
lawannya. Banadri tidak menanggapi. Tokoh muda yang berjuluk Elang Laut Utara ini cuma
tersenyum tipis.
Kemudian menggeser langkahnya ke kanan sambil memutar pedang.
Wuttt! Sambaran angin panas menderu sewaktu pedang di tangan Banadri menyambar.
Penjagal Kepala pun tidak mau kalah. Golok besarnya datang menyambut disertai
deruan angin yang bergulung-gulung.
Sebentar saja kedua tokoh ini sudah saling serang dengan hebatnya!
"Tunggu, Sahabat...!" seru Sandrila mencegah Ronggawu yang hendak campur tangan
ke dalam arena pertarungan itu. "Akulah yang bakal menjadi lawanmu...."
"Hmmhh...!"
Ronggawu menggereng bagai binatang buas
terluka. Sebatang tongkat pendek berantai, yang pada bagian ujungnya terdapat
bola berduri, diputar hingga menimbulkan suara berdengung-dengung.
Dan, tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung diayunkan ke kepala Sandrila,
yang langsung menyambut dengan pedangnya.
Tingkat kepandaian Ronggawu tampaknya masih berada jauh di bawah lawannya.
Serangan-serangan tongkat bola berdurinya yang datang menderu-deru, selalu gagal
menemui sasarannya. Bahkan beberapa kali ujung pedang lawan, yang menerobos
masuk, nyaris melukai tubuhnya. Sehingga, setelah pertarungan berjalan tiga puluh
jurus, Ronggawu sudah kelabakan oleh sambaran pedang lawan, yang memiliki
kecepatan mengagumkan itu. Ia tidak lagi diberi kesempatan untuk balas
menyerang. Karena sambaran pedang lawan demikian gencar, membuat Ronggawu sibuk
melindungi tubuhnya dari incaran mata pedang Sandrila.
"Yeaaattt...!"
Setelah selama kurang lebih sepuluh jurus mencecar lawan yang semakin tak
berdaya itu, tiba-tiba Sandrila berteriak mengejutkan. Gerakan-gerakan kakinya
berubah, membuat kepala Ronggawu menjadi pening. Karena tubuh lawannya selalu
bergerak ke kiri-kanan dengan lompatan-lompatan yang cepat dan sulit diikuti
pandangan matanya.
Breettt...! Ronggawu menjerit kesakitan sewaktu pedang lawan merobek lambung kanannya.
Tubuhnya terhuyung mundur disertai ceceran darah segar, yang mengucur dari luka
di lambungnya. Pada waktu yang hampir bersamaan, Penjagal Kepala pun harus mengakui keunggulan
lawannya. Sebuah tendangan keras dan tusukan pada dada kanannya, membuat tubuh kepala
rampok ini terlempar dan terbanting keras.
Penjagal Kepala menyeret tubuhnya sewaktu Banadri melangkah menghampiri dengan
sorot mata nengancam. Sementara Ronggawu yang hatinya sudah merasa gentar, juga
bergerak mundur, dan memberikan isyarat kepada para pengikut Penjagal Kepala
untuk maju mengeroyok.
Banadri dan Sandrila terpaksa bergerak mundur ketika kurang lebih tiga puluh
orang anggota perampok bergerak menghadang langkah mereka.
Namun sepasang Elang Laut Utara ini sama sekali tidak terlihat gentar. Mereka
memutar senjata, dan merobohkan beberapa orang perampok yang
menerjang maju. Sekali bergerak saja keduanya telah membuat enam orang perampok
berkelojotan mandi darah! Hingga, perampok yang lainnya merasa gentar dan ragu-
ragu untuk maju menyerang.
"Bodoh, ayo habisi kedua manusia celaka itu...!"
Penjagal Kepala membentak marah ketika melihat sikap gentar anak buahnya.
Sehingga, meski agak takut-takut, akhirnya mereka pun menyerbu dua orang saudara
kembar yang berjuluk Sepasang Elang Laut Utara itu.
Serbuan anggota perampok itu disambut sambaran pedang Banadri dan Sandrila.
Deruan angin panas yang timbul dari sambaran pedang kedua tokoh ini, membuat
para pengeroyoknya tak berani terlalu dekat Sehingga, pedang di tangan Elang
Laut Utara kembali merenggut empat orang korban.
Membuat yang lainnya kembali bergerak mundur dengan wajah agak pucat!
"Hih hih hih...!"
Banadri dan Sandrila menahan gerakannya dan melompat mundur ketika mendadak
terdengar suara tawa mengikik, yang membuat telinga mereka berdenging kesakitan.
Cepat keduanya mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh suara tawa itu.
Pertempuran pun terhenti seketika.
Beberapa saat kemudian, suara tawa mengikik itu lenyap. Digantikan oleh
munculnya sesosok tubuh kurus seorang perempuan tua. Kemunculan sosok perempuan
tua ini, membuat semua orang yang berada di tempat itu sama membelalakkan mata!
Karena tubuh perempuan tua ini sama sekali tidak terbungkus pakaian, kecuali
celana hitam setinggi betis, yang pada bagian bawahnya compang-camping.
Rambutnya yang putih dan tipis, digelung di atas, dan terdapat hiasan berupa
tulang, yang digunakan sebagai tusuk konde. Sedang buah dadanya yang keriput dan
panjang, menjuntai hingga ke perut, dibiarkan terbuka begitu saja. Tentu saja
penampilan yang menunjukkan ketadakwarasan ini membuat heran siapa saja yang
menyaksikannya.
Banadri dan Sandrila yang semula sempat merasa risih melihat penampilan nenek
itu, kini menjadi kaget bukan main. Sekali melihat saja, keduanya langsung bisa
mengenali siapa adanya nenek berpenampilan sangat 'berani' itu.
"Kalong Wewe..."!" desis Banadri yang tanpa sadar melangkah mundur. Pada
wajahnya terlihat gambaran kegentaran.
"Tidak salah lagi! Ciri-ciri nenek itu sama persis dengan yang digambarkan ayah
kita!" desis Sandrila yang juga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan
gentarnya. Karena dari apa yang mereka dengar, Kalong Wewe merupakan seorang
tokoh wanita tua yang kepandaiannya sukar diukur. Dan merupakan tokoh gila, yang
memiliki kebiasaan tidak lumrah.
Kabarnya Kalong Wewe gila anak, dan kadang suka menculik laki-laki muda untuk
diteteki. Namun kemudian dibunuhnya setelah nenek itu merasa bosan.
"Hih hih hih...! Orang-orang muda cakap dan gagah, kalau aku tidak salah lihat,
bukankah kalian putra Pendekar Elang Bulu Emas, yang tinggal di daerah Pantai
Utara?" tanya nenek berpenampilan aneh itu sambil memperdengarkan tawa mengikik-
nya, lalu gerak maju mendekati Banadri dan Sandrila.
"Benar, beliau memang ayah kami," Banadri menjawab sambil menggeser mundur
kakinya dengan gerakan perlahan dan tidak terlalu kentara. Meski berusaha
disembunyikan, rasa ngeri tetap saja terlihat pada wajahnya.
"Kuharap Nenek suka memandang ayah kami, dan tidak mencampuri urusan ini...!"
timpal Sandrila yang mencoba mengusir Kalong Wewe dengan mengandalkan nama besar
ayahnya. Karena, seperti halnya Banadri, Sandrila pun merasa agak ngeri jika
mengingat nenek itu mempunyai penyakit gila anak.
Jika pikirannya terganggu atau kumat, perempuan itu melakukan perbuatan
menakutkan sekaligus men-jijikkan.
"Hih hih hih...! Tanpa memandang nama besar ayah kalian pun, aku memang tidak
bermaksud mencampuri urusan ini. Bahkan kalau kalian menghendaki, aku akan suka
sekali untuk membantu. Karena begitu melihat, aku langsung merasa suka dengan kegagahan dan
ketampanan kalian...," ujar Kalong Wewe dengan suara lembut dan pandang mata
menggambarkan perasaan sayang kepada Banadri dan Sandrila.
"Celaka..."!" desis Banadri, kaget mendengar ucapan Kalong Wewe"
"Sebaiknya kita tunda saja urusan dengan Penjagal Kepala, Kakang...!" bisik
Sandrila, yang menjadi tegang ketika mendengar pengakuan nenek sinting itu.
Sandrila menggelengkan kepala, ketika di depan matanya melintas bayangan dirinya
yang tengah dipeluk dan dipaksa untuk menetek.
Bayangan itu membuat perutnya tiba-tiba menjadi mual.
Banadri yang juga ngeri terhadap nenek sinting itu, langsung saja mengangguk
setuju. Kemudian berpaling memandang Kalong Wewe.
"Maaf, Nek. Kami terpaksa harus pergi. Karena masih ada yang harus segera kami
kerjakan di tempat lain...," ujar Banadri, yang kemudian menoleh kepada
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sandrila. Setelah memberikan isyarat dengan anggukkan kepala, Banadri segera
memutar tubuh, lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sandrila bergegas
mengikuti. "Hih hih hih...! Apa kalian kira bisa pergi begitu mudah setelah berhadapan
dengan Kalong Wewe"!"
ujar Kalong Wewe dengan sorot mata berkilat. Dan dibarengi dengan suara tawa
mengikik, tubuh nenek ini sudah melayang mengejar Sepasang Elang Laut Utara.
Banadri dan Sandrila bukan tidak tahu kalau mereka berdua dikejar. Suara tawa
mengikik dan sambaran angin kuat yang semakin dekat, membuat keduanya bergegas
membungkuk. Sehingga, cengkeraman kedua jari-jari tangan Kalong Wewe tidak
mengenai sasarannya.
Namun tubuh kurus yang terus meluncur ke depan itu, mendadak terhenti di udara.
Kemudian kedua kakinya bergerak menendang-nendang di udara.
Bukan main kagetnya hati Sepasang Elang Laut Utara ketika menyaksikan tubuh
Kalong Wewe dapat berputar balik! Padahal kedua kakinya sama sekali belum
menginjak tanah!
"Gila...! Ilmu meringankan tubuh nenek itu hebat sekali..."!" desis Banadri
kaget dan takjub.
Sandrila, meski tidak berkata apa-apa, tubuhnya tegak terpaku dengan sepasang
mata masih membelalak. Sebab, apa yang dilakukan Kalong Wewe
memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Hanya tokoh persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi sajalah, yang kiranya
akan mampu melakukan perbuatan itu. Ilmu meringankan tubuh milik keluarganya
sendiri sudah cukup terkenal di kalangan persilatan. Namun Sandrila sangsi
apakah ayahnya sanggup melakukan yang seperti ditunjukkan Kalong Wewe itu.
"Sandrila, awaaaass...! "
Banadri berteriak memperingatkan adiknya, yang masih berdiri terpaku. Karena
saat itu tubuh Kalong Wewe sudah kembali meluncur dengan kedua tangan terulur ke
depan. Sandrila tersadar begitu mendengar teriakan kakaknya. Tapi, ia menjadi gugup
sewaktu melihat bayangan tubuh Kalong Wewe sudah demikian dekat di depannya.
Tahu kalau untuk mengelak jelas tidak mungkin keburu, Sandrila mengambil
keputusan nekat. Dengan mengempos seluruh kekuatan yang ada, kedua tangannya
memukul ke depan memapaki uluran tangan Kalong Wewe, yang berkuku runcing itu.
Bedd, beddd! Namun, tokoh wanita sinting yang dijuluki Kalong Wewe ini, ternyata merubah
gerakannya. Kedua tangannya yang semula siap mencengkeram, mendadak meliuk
berputar. Sehingga kedua pukulan Sandrila hanya mengenai tempat kosong. Dan,
tahu-tahu kuku-kuku runcing Kalong Wewe sudah berada dekat lehernya. Karuan saja
Sandrila menjadi pucat!
Cusss...! Sandrila tak dapat lagi menghindar sewaktu ujung kuku runcing Kalong Wewe
menusuk jalan darah di lehernya. Akibatnya, tubuh pemuda itu langsung
melorot ke tanah bagai sehelai karung basah Dan, tergeletak pingsan seketika.
"Sandrila..."!"
Banadri merasa kaget dan juga heran melihat adiknya langsung roboh begitu
tersentuh kuku runcing Kalong Wewe. Sepintas saja, Banadri langsung bisa menebak
kalau kuku perempuan tua itu mengandung racun pembius, yang bisa membuat lawan
roboh seketika, apabila tertusuk.
"Kalong Wewe...!" ujar Banadri. Dia semakin bertambah tegang bukan main, karena
sadar kalau adiknya berada dalam cengkeraman seorang aneh yang wataknya tidak
lumrah manusia. "Lepaskan adikku, atau kau sengaja ingin menanam permusuhan
dengan keluarga kami" Kalau kau tidak mau membebaskannya, ayahku pasti akan
marah, dan menghajarmu sampai babak belur...!" Banadri terus menggunakan nama
besar ayahnya untuk menggertak Kalong Wewe.
"Hih hih hih...! Jangankan cuma ayahmu, Bocah Bagus! Kakek dan buyutmu pun boleh
kau panggil dari kuburnya untuk menghadapiku. Sebaiknya kau tinggallah dulu di
sini bersama keroc-keroco itu! Kelak kalau adikmu dapat membuat hatiku senang,
akan kukembalikan dia kepadamu. Nah, apakah kau masih juga menganggap aku
jahat?" sahut Kalong Wewe, yang sama sekali tidak gentar dengan ancaman Banadri.
Setelah berkata demikian, disambarnya tubuh Sandrila yang terkulai menelungkup
di tanah. Sekali cungkil dengan ujung kakinya, tubuh yang rebah itu melayang
naik, kemudian diterima dengan bahunya.
Lagi-lagi Banadri dibuat kagum oleh pertunjukan tenaga dalam Kalong Wewe.
"Hei..., mau kau bawa ke mana adikku..." Kalong Wewe, tunggu...!"
Wajah Banadri semakin pucat, melihat Kalong Wewe memutar tubuhnya dan melesat
pergi meninggalkannya. Ia berteriak-teriak mencegah, namun perempuan tua renta itu
sama sekali tidak peduli. Sehingga Banadri nekat mengejar dengan mengerahkan
seluruh kemampuan yang ada pada dirinya.
"Nenek Iblis, kembalikan adikku...!"
Kalong Wewe sendiri hanya memperdengarkan suara tawa mengikiknya yang panjang.
Dan tampaknya ia tidak berlari sungguh-sungguh, karena sampai sejauh itu Banadri
tetap cuma tertinggal sekitar tiga tombak. Itu sebabnya, mengapa Banadri masih
nekat terus mengejar.
*** 5 "Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan putih menghadang sekitar satu setengah tombak di hadapan Kalong Wewe.
Namun perempuan tua yang tidak lumrah manusia itu seperti tidak mendengar
ataupun melihat sosok yang berdiri menghadang di depannya.
Tubuhnya terus meluncur ke depan, membuat sosok bayangan putih yang melakukan
penghadangan menjadi tertegun. Sedangkan saat itu, Kalong Wewe yang sudah begitu
dekat, tahu-tahu menjulurkan tangan kirinya dengan sebuah cengkeraman.
Whuttt! Plakkk!
Sepasang lengan berbenturan keras sewaktu sosok bayangan putih mengangkat tangan
kirinya sambil memiringkan tubuh. Akibatnya, justru Kalong Wewe sendiri yang
terpekik tak dapat menahan rasa terkejutnya. Bahkan tubuh tua renta keriput itu
terhuyung ke tepi jalan, menabrak semak-semak!
"Cuh, cuhh, cuhhh...!"
Setelah dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, beberapa kali Kalong Wewe
menyemburkan ludah sebagai tanda kegusaran hatinya. Baru kemudian mengangkat
wajah, didahului sambaran matanya yang memancarkan sinar berapi. Ketika
pandangannya matanya berubah melembut. Bahkan mulutnya menyeringai, membentuk
seuntai senyum, menampakkan gigi-giginya yang hitam.
Sementara Banadri sudah tiba di tempat itu. Ia
yang dari kejauhan telah melihat sosok bayangan putih yang menghadang jalan
Kalong Wewe, kini menatap dengan kening berkerut agak heran. Dia pun tadi sempat
melihat ketika sosok bayangan putih itu menyambut cengkeraman Kalong Wewe, yang
membuat nenek itu terhuyung. Rasa heran ketika mendapati sosok bayangan putih
itu ternyata seorang pemuda berwajah tampan, membuat Banadri
menelitinya beberapa saat
"Kalau aku tidak salah mengenali orang, kau pastilah yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, Sobat...?" ujar Banadri langsung menduga setelah meneliti sosok pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Begitulah orang memberikan julukan kepadaku...,"
sahut pemuda tampan yang ternyata memang Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum merangkapkan kedua tangannya ke arah Banadri.
"Secara kebetulan aku sedang menuju ke daerah sekitar sini, dan mendengar suara
tawa mengikik serta teriakanmu," lanjutnya menjelaskan keberadaannya di tempat
itu. Sementara, Kalong Wewe yang mendengar pembicaraan itu, menghentikan langkahnya.
Karena tertarik begitu melihat wajah penghadangnya, dan langsung merasa suka,
dia bermaksud menukar pemuda yang dibawanya dengan Panji. Namun setelah
mendengar pemuda tampan itu berjuluk Pendekar Naga Putih, nenek menggiriskan ini
menjadi ragu sejenak.
"Hih hih hih...! Siapa kira hari ini aku ternyata sangat beruntung bisa berjumpa
dengan Pendekar Naga Putih! Aih..., sudah lama sekali aku merindu-kanmu, Bocah
Bagus! Sekarang, setelah melihatmu, rasanya aku tak memerlukan lagi pemuda
ini...," ujar Kalong Wewe. Keraguannya seketika lenyap, berganti
kegembiraan yang meluap-luap. Sambil berkata begitu tubuh Sandrila yang semula
dipanggulnya, dilemparkan begitu saja ke arah Banadri.
Banadri bertindak cepat melesat ke udara, menangkap tubuh adiknya. Sekali
mengulur tangan saja, tubuh Sandrila dapat diselamatkannya. Kemudian meluncur
turun dengan gerakan yang ringan sekali.
Lalu menoleh kepada Panji.
"Hati-hati, Pendekar Naga, Putih! Nenek itu adalah tokoh wanita sakti berotak
sinting, yang terkenal dengan julukan Kalong Wewe. Tampaknya, nenek yang
dikabarkan gila anak itu menaruh rasa suka kepadamu...," bisik Banadri
mengingatkan Pendekar Naga Putih.
"Kalong Wewe...!" desis Panji yang merasa agak kaget mendengar ucapan Banadri.
Dirinya memang pernah mendengar tentang tokoh wanita tua yang sakti dan tidak
lumrah manusia itu. Juga tahu tentang kebiasaan Kalong Wewe, yang gila
mengangkat anak, dan memperlakukannya dengan cara yang meng-gelikan sekaligus
membuat hati bergidik.
"Hih hih hih..., marilah ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih...!" bujuk Kalong
Wewe dengan suara lembut dan penuh kasih. Tak ubahnya seorang ibu yand
menyayangi anaknya.
Panji masih berdiri tegak, tanpa sepatah kata pun.
Karena ia merasa bingung bagaimana harus bersikap menghadapi perempuan sinting
seperti Kalong Wewe.
Jika ia menolak, nenek itu sudah pasti akan marah dan memaksanya. Tapi, ia pun
tidak sudi ikut bersamanya.
Kalong Wewe tidak dapat menahan kesabaran ketika melihat Pendekar Naga Putih
masih berdiri diam. Tubuhnya langsung melesat dengan kedua
tangan terjulur ke depan, siap meringkus Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih, awaaasss...!"
Banadri yang menjadi cemas ketika melihat Panji masih diam tak bergerak, berseru
memperingatkan.
Namun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan Banadri. Karena meski Panji
kelihatan seperti orang linglung, sambaran angin keras yang terbit dari kedua
cengkeraman Kalong Wewe, sudah membangkitkan kesadarannya. Tepat pada saat
cengkeraman itu hampir merenggutnya, Panji langsung melompat mundur. Sehingga,
cengkeraman Kalong Wewe menemui kegagalan.
"Kalong Wewe, tahan serangan...!" seru Panji yang sudah melompat agak jauh,
berdiri tegak mengangkat tangannya mencegah kelanjutan serangan nenek itu.
Seruan yang dilakukan Panji dengan pengerahan tenaga dalam itu, membuat langkah
Kalong Wewe terhenti. Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih itu dengan mulut
menyeringai. "Kau harus ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih..!" desak Kalong Wewe memecah
keheningan, yang beberapa saat menyelimuti mereka. Kemudian kakinya kembali
bergerak mau mendekati Panji.
"Celaka...! Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi nenek gila
ini...!" gumam Panji, yang mau tidak mau ikut menggeser langkahnya.
Hingga keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak. Kalong Wewe
siap untuk menerjang. Sedangkan Pendekar Naga Putih siap untuk membela diri.
*** Sosok pemuda tampan terbungkus jubah putih, duduk menikmati makannya di sebuah
kedai yang memiliki ruangan cukup besar. Melihat dari cara makannya yang lambat-
lambat dan seringkali terhenti terlalu lama, serta ada kerutan pada keningnya,
seolah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Paman...," ujar pemuda tampan itu setelah menyudahi makannya. Dia memanggil
pelayan, yang segera datang menghampiri. "Apakah kau pernah dengar tentang
seorang tua yang disebut sebagai Kakek Jubah Hitam...?" tanyanya dengan suara
agak direndahkan.
"Kalau nama itu, hampir seluruh penduduk desa sekitar kaki Bukit Bantaran ini
pernah mendengar dan mengenalnya, Tuan. Karena, secara tidak langung, beliau
merupakan pelindung kami semua,"
jawab pelayan kedai, yang kemudian duduk di depan pemuda tampan ini. Lalu dia
bercerita panjang lebar tentang sepak terjang Kakek Jubah Hitam. Pelayan ini
tampak semakin bersemangat sewaktu ceritanya di-dengarkan dengan sungguh-
sungguh. "Sayang beliau sekarang sudah tewas dibunuh orang jahat yang
kemungkinan besar menaruh dendam kepadanya...,"
sesalnya pada akhir cerita.
Pemuda berjubah putih yang tak lain si Pendekar Naga Putih itu mengangguk-
anggukkan kepala. Cerita itu baginya tidak terlalu aneh, dan hampir sama dengan
yang dituturkan beberapa penduduk desa sekitar Bukit Bantaran, yang pernah
ditanyainya. Panji yang memang kebetulan lewat di sekitar Bukit Bantaran dan
mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam, langsung mengambil keputusan untuk
menyelidik dan mencari pembunuhnya. Dan karena hal itu masih sangat gelap
baginya, maka ia pun
mulai mencari keterangan dari penduduk desa sekitar tempat tinggal Kakek Jubah
Hitam. "Apakah kira-kira Paman bisa menduga siapa yang melakukan pembunuhan itu...?"
tanya Panji setelah terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan ketika
dilihatnya pelayan itu menggelengkan kepala,
"Bagaimana dengan orang-orang jahat yang pernah diusirnya, apakah Paman mengenai
beberapa di antara mereka...?"
"Terlalu banyak orang jahat yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam, dan aku tak
dapat mengenali mereka satu persatu," jawab si Pelayan Kedai dengan suara
lambat-lambat, sambil mengerahkan ingatan-nya.
"Tapi...."
"Tapi apa, Paman...?" tanya Panji mendekatkan wajahnya, mengerti akan
kekhawatiran pelayan kedai, yang menghentikan ucapannya dan menoleh ke kiri-
kanan dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.
"Salah satu dari sekian banyak orang yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam
adalah gerombolan perampok. Kalau aku tidak salah ingat, pemimpinnya dijuluki
sebagai Penjagal Kepala...!" jelasnya. Lagi-lagi ucapannya terhenti, dan menoleh
ke sana kemari dengan takut-takut, "Kepala rampok itu sangat terkenal kekejaman
dan kebuasannya...," lanjutnya dengan suara yang lebih rendah. Kemudian bergerak
bangkit dan meninggalkan Panji setelah membersih-kan meja. Namun, langkahnya
terhenti. Karena Panji sudah menangkap lengannya.
"Di mana markas Penjagal Kepala itu, Paman...?"
tanya Panji setengah berbisik.
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Tuan..."!"
pelayan kedai tampak terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Tidak, Paman. Cuma sekadar ingir tahu saja...,"
jawab Pendekar Naga Putih berdusta, khawatir pelayan kedai itu akan bertanya
macam-macam. "Sepanjang yang kudengar, Penjagal Kepala sering melakukan penghadangan terhadap
kereta-kereta barang di sekitar Hutan Gagak. Kira-kira setengah hari perjalanan
dari desa ini...," jelas pelayan kedai, yang kemudian memutar tubuhnya setelah
merasakan pegangan pada pergelangan tangannya dilepas-kan.
Setelah mendapat keterangan dan membayar makanannya, Pendekar Naga Putih
meninggalkan kedai. Ia sudah mendapat keterangan tentang letak Hutan Gagak, dan
bermaksud mendatangi tempat itu.
Maka, begitu berada di luar desa, dan jalanan agak sepi, Panji melanjutkan
perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Ketika hampir tiba di Hutan Gagak, mendadak langkahnya terhenti. Telinganya
menangkap suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Selain itu, ia juga mendengar adanya suara orang berteriak, seperti tengah
mengejar seseorang yang melarikan diri. Bergegas Panji melesat ke arah asal
suara. Dilihatnya seorang nenek berpenampilan aneh sedang berlari cepat
memanggul sesosok tubuh di bahu kanannya. Di belakang si Nenek tampak seorang
lelaki muda tengah mengejar-ngejar. Segera saja Panji mengambil keputusan untuk
menghadang nenek yang diduganya telah melakukan penculikan itu. Sampai akhirnya
ia terpaksa harus bertarung melawan nenek itu. Perempuan aneh itu ternyata suka
kepadanya, bahkan ingin mengangkatnya se-
bagai anak. Tentu saja Panji tidak sudi ikut bersama nenek yang otaknya tidak
waras itu. *** Wrrettt! Kalong Wewe membuka serangan lebih dulu, memulai perkelahian itu. Sepasang
tangannya yang berkuku runcing dan hitam, menyambar disertai deru angin keras.
Namun, Panji yang sudah siap menghadapi serangan nenek gila itu, dengan cepat
bergerak mengelak. Sehingga, serangan Kalong Wewe tidak mengenai sasarannya.
Bahkan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan serangan balasan dengan
pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya.
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gelombang angin keras berhawa dingin ber-hembus menyertai datangnya serangan
balasan Panji, yang terus berlanjut ketika nenek itu dapat menghindarinya. Dalam
jurus-jurus pertama, Panji langsung melakukan desakan, karena ia ingin
mengakhiri pertarungan secepatnya.
Namun untuk mewujudkan niat itu ternyata bukan suatu hal yang mudah! Karena
Kalong Wewe merupakan salah satu gembong golongan sesat, yang tingkat
kepandaiannya sulit diukur. Sehingga, untuk menghadapinya Pendekar Naga Putih
harus bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang di-milikinya.
Termasuk 'Ilmu Silat Naga Sakti', yang sangat jarang digunakan.
Selama kurang lebih dua puluh jurus, Kalong Wewe terus mengambil sikap bertahan,
menggunakan kedua tangannya sebagai benteng, yang sukar ditembus. Bahkan ketika
pertarungan menginjak
pada jurus yang keempat puluh, perempuan tua renta itu mulai melakukan serangan
balik, sambil tetap memperkuat pertahanannya. Gelombang pukulannya menderu
tajam, mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat, membuat serangan Panji mulai
mengen-dur. Sampai akhirnya giliran pendekar muda itu yang harus bertahan dari
serangan gencar lawannya.
Plakkk...! Untuk kesekian kalinya, benturan kedua lenganB
mereka kembali terjadi. Kali ini Panji benar-benar dibuat kaget! Tenaga pukulan
lawan yang semakin bertambah kuat itu, membuat tubuhnya terhuyung beberapa
langkah. Sedangkan Kalong Wewe, yang cuma merasakan getaran pada tubuhnya, sudah
kembali menyusuli serangannya.
Blakkk! "Hukkhh...!"
Sebuah hantaman telapak tangan Kalong Wewe yang berhasil menjebol benteng
pertahanan Panji, membuat tubuh pendekar muda itu terdorong ke belakang dengan
tubuh terbungkuk. Hantaman keras yang telak mengenai perutnya membuat Panji
merasa mual seketika. Namun, meski dalam keadaan demiki an, pemuda itu masih
juga sempat menyelamatkan diri dari incaran kuku-kuku runcing lawan yang
mengirimkan serangan susulan. Tindakan itu sempat membuat kedudukannya semakin
tidak seimbang, dan terus terhuyung. Sampai akhirnya ia bisa menguasai diri,
setelah melompat jauh. ke belakang dengan berputaran beberapa kali di udara.
Dengan kuda-kuda yang kokoh laksana tertanam di tanah, Pendekar Naga Putih
mengumpulkan tenaga dalam, berusaha menekan rasa mual yang membuat gerakannya
agak terganggu itu. Saat serangan lawan
yang terus mengejarnya datang, Panji menepiskan rasa ibanya terhadap sosok nenek
berwajah mengerikan itu. Disambutnya serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya.
Sehingga, pertempuran semakin bertambah sengit!
Tiga puluh jurus lebih, setelah pertempuran -, Pendekar Naga Putih tiba-tiba
memekik keras. Tubuhnya melenting dan melayang-layang di udara.
Sepasang cakar naganya berputaran menerbit-kan pendaran sinar putih keperakan
yang menyilau-kan mata. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan
salah satu jurus pamungkas, sempat membuat Kalong Wewe kelabakan, dan tak mampu
lagi melindungi dirinya.
Plakk! Bukk! Blukkk!
Tiga hantaman berturut-turut bersarang di tubuh Kalong Wewe, membuat nenek gila
ini terhumbalang ke kiri-kanan, dan akhirnya terbanting ke tanah.
Namun, Panji benar-benar dibuat terbelalak kagum oleh kekuatan tubuh kurus yang
kulitnya sudah ber-keriput itu. Meski kelihatan telah menderita luka dalam,
nenek ini masih sanggup untuk langsung bangkit berdiri, meski kuda-kudanya
terlihat goyah.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" aku Kalong Wewe, yang kali ini
bicaranya lancar, dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dirinya berotak miing.
"Untuk kali ini aku mengaku kalah. Tapi, kelak aku akan menebus sekaligus dengan
bunganya...," lanjutnya menyiratkan ancaman dan dendam. Setelah berkata
demikian, dengan tertatih-tatih, Kalong Wewe bergerak meninggalkan tempat itu.
Panji hanya bisa menghela napas. Ia tidak berkata apa-apa. Dibiarkan saja nenek
gila itu pergi membawa luka di dalam tubuhnya. Meski agak menyesal
telah menanam bibit permusuhan baru dengan seorang tokoh gila yang berbahaya,
namun Panji merasa lega telah dapat mengusir pergi Kalong Wewe.
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan adikku, Pendekar Naga Putih. Kami berdua
tentu tak akan melupakan jasamu...."
Ucapan Banadri membuat Panji memutar tubuh menghadapi tokoh muda dari Pantai
Utara itu. "Pertolongan sesama manusia adalah satu kewajiban. Jadi, janganlah kau anggap
sebagai hutang, Sobat..!" sahut Panji yang tanpa diminta segera memeriksa
keadaan Sandrila. Lalu menotok di beberapa bagian tubuhnya untuk memulihkan
kesadaran orang kedua dari Sepasang Elang Pantai Utara itu. Kemudian memberikan
sebutir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk mengusir racun dari dalam
tubuh. "Sebenarnya siapa kalian berdua ini, dan berasal dari mana" Mengapa sampai bisa
bentrok dengan Kalong Wewe?" tanya Panji setelah keadaan Sandrila sudah tidak
mengkhawatirkan lagi. Ketiganya duduk saling berhadapan.
Setelah memperkenalkan diri dan tempat asalnya, Banadri menceritakan secara
singkat tentang tujuan-nya, juga pertemuannya dengan Kalong Wewe.
Sementara Sandrila hanya diam, ikut mendengarkan.
"Hm..., tidak aneh kalau Elang Bulu Emas sampai mengirimkan kalian berdua
sebagai putra-putranya untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Kakek Jubah Hitam.
Kematiannya memang membuat tokoh-tokoh golongan putih menjadi marah. Mereka
bertekad untuk membekuk si Pembunuh Keji itu. Aku pun mempunyai tujuan yang sama
dengan kalian ber-
dua. Dan hendak nendatangi Penjagal Kepala guna mencari keterangan. Karena
kepala rampok itu merupakan salah seorang musuh Kakek Jubah Hitam, yang menaruh
dendam. Begitulah keterangan beberapa penduduk sekitar Bukit Bantaran, sewaktu
kutanya...," ujar Panji menatap kagum dua orang tokoh muda di hadapannya. Karena
ia juga sudah mendengar akan nama besar Elang Bulu Emas, yang juga dijuluki
sebagai Majikan Pantai Utara itu.
"Bagaimana kalau sekarang kita datangi lagi Penjagal Kepala itu. Karena kami
berdua pun mendapatkan keterangan yang sama denganmu, Pendekar Naga Putih," ujar
Sandrila mulai menimpali pembicaraan.
"Ayolah, mudah-mudahan kepala rampok itu bisa memberikan keterangan yang
memuaskan...," sambut Panji yang segera bangkit berdiri. Lalu ketiganya
melangkah, kembali menuju perkampungan peram-pok yang dipimpin Penjagal Kepala.
Tiba di tempat tujuan, ketiganya mendapati perkampungan itu sudah kosong! Tak
satu pun anggota perampok yang masih berada di sana.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah meninggalkan tempat ini...!" geram
Banadri, yang tak menemukan sepotong manusia pun, meski ia telah memeriksa semua
rumah dengan teliti.
"Mungkin mereka sudah mendengar tentang kemarahan tokoh-tokoh golongan putih.
Lalu menghindar dan menyembunyikan diri di tempat yang mereka anggap cukup
aman...," timpal Panji dengan nada agak kecewa. Dia berdiri menatapi rumah-rumah
yang telah ditinggal pergi penghuninya itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?"
tanya Sandrila, yang pikirannya mendadak buntu
karena rasa kecewa.
"Kurasa mereka belum terlalu jauh. Ada baiknya kita melakukan pengejaran dengan
berpencar. Dengan begitu, ada kemungkinan salah satu dari kita dapat menemukan Penjagal
Kepala dan para pengikutnya itu...," jawab Panji mengajukan usul, yang disambut
anggukan kepala Banadri dan Sandrila.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji dan Sepasang Elang Pantai Utara melesat
meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda.
*** 6 "Maaf, Nyi Lurah...!"
Andari dan ibunya mengerutkan kening menatap penjaga yang menghadap tanpa
dipanggil itu. Keduanya mengangguk, sebagai isyarat agar penjaga itu segera
mengatakan keperluannya.
"Seseorang tak dikenal, memberikan surat yang minta disampaikan kepada Nyi
Lurah...," lanjut penjaga ini sambil mengangsurkan surat yang dimaksud.
Setelah itu ia membungkuk hormat, lalu beranjak meninggalkan ruangan di rumah
Kepala Desa Kranggan.
Wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun, yang tubuhnya masih terlihat
ramping ini, segera membuka gulungan daun lontar itu dan membaca isinya. Mula-
mula wajahnya tampak berkerut, lalu berubah pucat. Sekujur tubuhnya gemetar,
sehingga surat yang dipegangnya ikut bergetar.
"Dusta! Ini pasti fitnah...!" desisnya berkeras menyangkal isi surat yang
dibacanya. Meski demikian dalam nada suaranya terkandung keraguan atas bantahan
itu. "Ada apa, Ibu" Apa isi surat itu, dan siapa yang nengirimnya?" tanya Andari yang
tentu saja menjadi bingung dan cemas ketika melihat keadaan ibunya.
Namun sang Ibu tidak berkata apa-apa, dan menyerahkan surat itu kepadanya.
Andari semakin kaget tak mengerti ketika melihat wajah ibunya dibasahi mata.
Buru-buru dibacanya isi surat itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Seperti halnya yang dialami ibunya, paras Andari pun berubah pucat setelah
membaca isi surat itu.
Setelah selesai, gadis itu menoleh kepada ibunya, yang duduk lemas di atas kursi
sambil menekap wajah dengan kedua tangan.
"Ibu..., apakah benar apa yang tertera dalam surat ini" Benarkah aku bukan anak
Ayah" Benarkah aku sebenarnya putri seorang pendekar yang berjuluk Garuda Kuku
Baja"!" tanya Andari dengan wajah pucat dan bibir gemetar menahan jatuhnya air
mata. Ketika tidak mendengar adanya jawaban, Andari mengguncang tubuh ibunya dengan
keras, "Jawablah, Ibu" Katakan kalau semua ini tidak benar!"
Guncangan Andari membuat ibunya mengangkat kepala, memandang wajah putrinya
dengan air mata berlinang. Lalu mengangguk perlahan. Kemudian kembali menangis,
menutupi wajahnya.
Jawaban ibunya membuat Andari merasakan
tanah tempat kaki berpijak bergoyang. Tubuh gadis remaja ini terjajar mundur.
Air mata yang kini tak bisa lagi ditahannya, mengalir di pipinya yang bertambah
pucat. Kenyataan itu membuat Andari terguncang hatinya.
"Lalu..., apakah semua isi surat ini benar, Ibu...?", desis Andari setengah
berbisik. Seperti takut kalau ibunya kembali membenarkan pertanyaan itu.
"Tidak seluruhnya, Anakku. Hanya sebagian saja yang benar. Selebihnya hanyalah
fitnahan keji Harimau Gila, si Pengirim Surat itu," jawabnya sambil menghapus
air mata, "Sebelum menjadi istri ayahmu yang sekarang, Ibu adalah seorang janda,
Anakku. semula Ibu pun menolak lamaran Sagotra. Saat itu kau baru berusia kurang lebih
lima tahun. Sagotralah yang menyelamatkan kita berdua dari ancaman
kematian, sewaktu rumah kita diserbu gerombolan perampok. Sebenarnya, kalau saja
para perampok itu tidak berbuat curang, kemungkinan besar mereka akan dapat
dikalahkan ayahmu. Tapi mereka berlaku licik dengan membakar tempat kediaman
kita. Ayahmu menjadi sibuk dan kewalahan waktu itu.
Sebab, selain harus menyelamatkan kita berdua, beliau masih harus berusaha
memadamkan api, dan serbuan manusia-manusia biadab itu. Hingga, akhirnya beliau
tewas tertembus belasan senjata. Saat kita berdua dalam bahaya itulah, Sagotra
muncul, mengamuk menerobos kepungan, lalu membawa lari kita berdua. Budinya yang
sangat besar, membuat Ibu akhirnya menerima lamarannya, sewaktu usiamu mencapai
tujuh tahun. Tak tega hati Ibu untuk mengecewakan lelaki yang demikian baik dan
sabar menunggu sampai sedemikian lama...."
Cerita ibunya membuat Andari termenung masih dengan wajah pucat. Ia percaya akan
cerita sang Ibu, yang menurutnya tidak mungkin tega membohongi anaknya. Namun di
sisi lain, dirinya juga ragu akan isi surat itu. Karena apa yang tertera di
dalamnya demikian jelas, dan sama persis kejadiannya. Hanya saja ada beberapa
tambahan, yang merupakan tuduhan keji terhadap ayahnya yang sekarang. Hal ini
membuat Andari tidak puas dengan cerita Ibunya.
"Belakangan ini kuperhatikan sikap Ayah sangat aneh...?" gumamnya perlahan
seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Itu terjadi setelah Ayah kedatangan
seorang sahabat lamanya. Dan..., kalau tidak salah orang itu juga berjuluk
Harimau Gila! Aku sempat mendengar Ayah menyebutnya sewaktu mereka bertengkar
mulut, sampai kemudian orang itu lari dikejar-kejar Ayah..."!" Sampai di sini
Andari menghentikan. ucapannya. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir keras.
"Kau bicara apa, Andari?" tegur ibunya setengah membentak, "Tidak pantas kau
mencurigai orang yang telah begitu besar budinya terhadap kita berdua!
Apa lagi ia adalah orang yang telah merawatmu sampai besar, dan mendidikmu
dengan ilmu-ilmu silat tinggi Sebaiknya hentikan ocehanmu itu, dan segera kita
tinggalkan tempat ini untuk mencari ayahmu itu... "
"Itulah, Ibu...!" seru Andari mengejutkan, seperti baru teringat sesuatu.
"Belakangan setelah kedatangan Harimau Gila, Ayah beberapa kali meninggalkan
rumah pada waktu malam. Bahkan beberapa malam yang lalu, Ayah sampai tidak
pulang. Dan aku menemukannya jauh di luar desa ini. Ibu masih ingat dengan
ceritaku itu, bukan?"
Istri Sagotra mengangguk lemah, melihat tatapan putrinya, yang menunggu
jawabannya. "Setelah itu, Ayah lebih sering termenung dan mengurung dirinya di kamar semadi.
Dan akhirnya.., Ayah lenyap tanpa kita tahu kapan dan ke mana perginya. Padahal
seluruh keamanan desa sudah kita kerahkan untuk mencari. Namun, Ayah lenyap
seperti ditelan bumi! Nah, tidakkah tindakan Ayah ini sangat mencurigakan?"
lanjut Andari mengutarakan semua apa yang dilihat dan didengar tentang ayahnya
belakangan ini. Kini dalam sorot mata dan nada ucapannya, menimbulkan kesan
bahwa gadis remaja ini semakin menaruh kecurigaan kepada sang Ayah yang juga
seorang kepala desa.
"Tapi itu semua tidaklah dapat dijadian alasan bagimu untuk mencurigai ayahmu,
Andari! Sudahlah!
Sebaiknya kita segera berangkat untuk mencari-
nya...!" tukas ibunya tetap berkeras membantah tuduhan Andari. Perempuan ini
memang terlihat sudah mengenakan pakaian ringkas. Dan pada waktu penjaga datang
memberikan surat kepadanya, mereka berdua memang sudah bersiap untuk pergi
mencari suami dan ayah mereka, yang tiba-tiba lenyap tanpa diketahui ke mana dan
kapan perginya.
"Tunggu dulu, Ibu...!" ujar Andari, yang kelihatannya masih belum puas, "Coba
Ibu katakan, apakah benar gerombolan perampok yang menyerbu tempat tinggal kita
dulu dipimpin seorang yang bernama Ki Tambak Rejo?"
"Itu memang benar...," jawab ibunya membenarkan apa yang juga tertera di dalam
surat itu. "Lalu, bagaimana Harimau Gila bisa mengetahuinya dengan pasti"! Padahal
peristiwa itu sudah lama sekali terjadinya" Jangan-jangan..., ia memang benar-
benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentang peristiwa belasan tahun
silam itu" Kalau tidak, bagaimana mungkin ia dapat menuliskannya sama persis
baik tempat maupun waktunya?" gumam Andari sambil tak lepas menatap wajah
ibunya. "Hanya ayahmu yang bisa menjelaskannya. Itu sebabnya kita harus pergi
mencarinya...," tukas ibunya, yang kali ini tidak dibantah Andari. Lalu
melangkah keluar dari dalam rumah, menemui dan berpesan kepada penjaga.
"Kami berdua akan pergi untuk beberapa waktu.
Harap kalian urus segala sesuatunya di rumah ini.
Dan apabila suamiku sudah kembali, katakan kepada beliau agar tidak perlu
mencari kami. Karena secepatnya kami berdua akan kembali ke sini...," pesan
ibunya Andari kepada empat orang keamanan desa, yang bertugas menjaga tempat
kediaman Ki Sagotra,
kepala desanya.
*** Seorang lelaki tinggi kurus tengah melangkah lambat-lambat menyusuri tanah
berlumpur, yang sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman bunga, sedang bermekaran.
Ayunan langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa kecil
dan riang. Merasa tertarik dan penasaran, langkahnya pun diputar mendatangi
sumber suara yang meng-gelitik keingintahuannya.
Tidak berapa lama kemudian, lelaki tinggi kurus ini menemukan sumber suara itu.
Dari balik sebatang pohon, tempatnya bersembunyi, lelaki ini melihat seorang
bocah perempuan berusia sekitar lima tahun.
Melihat tingkah lucu bocah perempuan yang berlari tertatih-tatih mengejar seekor
kupu-kupu, lelaki setengah tua itu tersenyum. Menyaksikan tingkah bocah
perempuan itu, seketika timbul rasa suka dan sayangnya. Suatu perasaan asing,
yang nyaris tidak pernah dialaminya. Selama ini hidupnya dipenuhi dengan
kekerasan dan bau darah! Lelaki ini bernama Sagotra, yang juga dikenal dengan
julukan Setan Pantai Timur. Sepak terjangnya sebagai seorang penjahat tunggal,
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kadang juga menerima tugas untuk membunuh seseorang dengan imbalan cukup
besar, membuat nama Setan Pantai Timur semakin terkenal. Kali ini, secara tak
sengaja, langkahnya membawanya ke daerah sekitar kaki Gunung Dampit.
Dia sempat termenung memikirkan perasaan yang tiba-tiba menyeruak di sudut
hatinya. Suara jeritan bocah perempuan yang lucu itu membuyarkan lamunan Setan Pantai
Timur. Tubuh- nya langsung melesat ke luar dari tempat persembunyian ketika melihat bocah
perempuan itu terjerembab jatuh. Ia yang biasanya tidak pernah mempedulikan
nasib orang, kini mendadak tergerak untuk menolong bocah perempuan itu. Sikap
dan kata-kata yang diucapkannya terdengar asing bagi telinganya. Demikian lembut
dan penuh kasih, sewaktu menghibur bocah yang kini telah berada dalam
gendongannya itu.
Selagi sibuk menghibur bocah perempuan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki lembut mendatangi dari arah belakangnya. Bergegas Setan Pantai Timur
memutar tubuh. Dan..., sepasang matanya sekilas membelalak lebar, melihat
seorang wanita berparas cantik dengan kulit wajah segar kemerahan. Perempuan itu
berlari mendatangi. Rambutnya yang panjang dan tergerai lepas, terayun lembut
mengikuti langkah kakinya. Dada Setan Pantai Timur berdebur keras sewaktu sosok
perempuan yang membuatnya terpaku bagai patung itu, semakin dekat.
"Maaf, kalau putriku telah mengganggu Tuan...!"
Suara lembut dan merdu bagaikan nyanyian bidadari itu, menyelusup masuk melalui
telinga Setan Pantai Timur, membuat tokoh sesat ini memejamkan mata, seakan
ingin suara itu buru-buru lenyap dari pendengarnya. Hal itu membuat dirinya
terlena untuk beberapa saat, dan baru tersadar ketika suara merdu itu kembali
terdengar, meminta agar ia menyerahkan anak dalam pondongannya.
"Kau... kau cantik sekali, Nyi...," puji Setan Pantai Timur berterus terang,
sambil menyerahkan bocah perempuan itu. "Maaf kalau aku telah berkata
lancang...," lanjutnya sewaktu melihat kedua belah pipi wanita cantik itu
merona. Permintaan maafnya
membuat kilatan marah dalam sorot mata perempuan itu lenyap seketika.
"Terima kasih, aku harus segera pergi...," ujar perempuan cantik yang telah
membuat hati Setan Pantai Timur serasa jungkir balik. Setelah menerima putrinya,
bergegas memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
"Nyi... tunggu...!" Setan Pantai Timur berseru mencegah. Tapi, ia tidak bergerak
dari tempatnya semula. Membuat wanita cantik itu menunda langkah dan memutar
tubuhnya, berbalik.
"Ada apa, Tuan..."!" tanya perempuan cantik ini mengerutkan kening, menatap
lekat-lekat wajah lelaki di depannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap putrimu. Kebetulan aku sedang
lewat ketika melihat putrimu yang tengah mengejar seekor kupu-kupu, terjatuh.
Lalu aku membantunya berdiri...," jelas Setan Pantai Timur, yang lagi-lagi
merasa asing dengan ucapannya. Karena perkataannya demikian lembut dan sopan.
Padahal ia sudah banyak bergaul dengan perempuan cantik. Namun perempuan yang
satu ini, benar-benar harus diakui memiliki pesona yang membuat dirinya seperti
Iumpuh. Sehingga, ia ingin agar perempuan itu memandangnya sebagai orang baik-
baik. Karena saat itu juga Setan Pantai Timur sadar kalau dirinya telah jatuh
cinta kepada perempuan itu. Hal ini dapat diketahui, karena terhadap perempuan
lain, yang pernah digaulinya, tidak pernah hatinya merasakan seperti apa yang
dialami kali ini.
"Aku tahu, Tuan. Karena aku juga melihatnya.
Kebetulan Tuan lebih dulu menolongnya. Itu sebabnya aku mengucapkan terima kasih
kepada Tuan, yang telah menolong putriku," tukas perempuan cantik itu dengan suaranya
yang bagi Setan Pantai Timur terdengar sangat nikmat. Bahkan membuatnya ingin
agar perempuan itu berbicara lebih banyak.
Sayang harapannya tidak terkabul. Karena perempuan itu sudah tidak berkata apa-
apa lagi. "Mmm..., kalau tidak dianggap terlalu lancang, bolehkah aku mengetahui nama dan
suamimu..."
Dan apakah tempat tinggal Nyai berada di sekitar kaki Gunung Dampit ini...?"
tanya Setan Pantai Timur setengah memohon dengan wajah harap-harap cemas.
Khawatir kalau perempuan cantik itu menjadi marah karena pertanyaannya.
"Maaf, tanpa setahu suamiku, rasanya kurang pantas kalau aku memperkenalkan nama
kepadamu, Tuan. Cukup kau ketahui nama suamiku saja, yang disebut orang dengan
julukan Garuda Kuku Baja. Dan tempat tinggal kami memang sekitar kaki Gunung
Dampit ini. Nah, jika Tuan ingin singgah, silakan.
Suamiku selalu membuka pintu kepada siapa saja yang datang dengan maksud
baik...," ujar perempuan cantik ini, yang kemudian berlari-lari kecil
meninggalkannya.
Sagotra si Setan Pantai Timur hanya bisa menghela napas, memandangi bayangan
perempuan cantik itu yang semakin jauh. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba merasa
kosong. Serasa semangatnya ikut pergi bersama perempuan itu. Baru kali ini
Sagotra merasa hatinya merasa begitu nelangsa. Dan untuk pertama kalinya,
Sagotra merasa bahwa kehidupan-nya selama ini tidaklah lengkap. Dirinya tidak
mempunyai istri dan anak. Pertemuan yang hanya terjadi beberapa saat itu,
membuat Sagotra jatuh cinta!
Sebuah perasaan yangselama ini tak pernah di-
kenalnya. "Aku harus memiliki mereka...!" desis Sagotra dengan sorot mata tajam,
menunjukkan kebulatan tekadnya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Sagotra pun mulai menyelidiki tempat
kediaman Garuda Kuku Baja. Sebenarnya bisa saja ia merampas perempuan itu dengan
kekerasan dan memaksa untuk menjadi istrinya. Namun bukan itu yang
diinginkannya. Ia ingin agar perempuan itu menjadi istrinya dengan suka rela.
Keinginan ini membuat Sagotra berpikir keras, mencari cara untuk dapat memiliki
perempuan itu. Sampai akhirnya muncul sebuah rencana di kepalanya, yang dianggap akan dapat
mewujudkan keinginan itu. Dan untuk menjalankan rencana itu, Sagotra membutuhkan
bantuan orang lain.
"Aahh..., selamat datang di tempatku, Setan Pantai Timur..."!" seru seorang
lelaki setengah baya, yang bertubuh kekar, dan wajahnya terhias kumis tebal.
Lelaki ini tampak gembira menyambut kedatangan Sagotra.
Sagotra cuma tersenyum tipis. Dan tidak menolak sewaktu lelaki itu mengajaknya
masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar dan bagus.
"Aku memerlukan bantuanmu, Ki Tambak Rejo,"
Begitu duduk, Sagotra langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya.
Ki Tambak Rejo, seorang kepala rampok yang menganggap dirinya sebagai penguasa
daerah Hutan Pagar Jurang, tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ada
kebanggaan terselip di hatinya sewaktu mendengar Setan Pantai Timur membutuhkan
bantuannya. Karena selama ini ia mendengar dan mengetahui bahwa orang-orang
seperti dirinyalah yang justru lebih banyak meminta bantuan kepada Setan Pantai Timur.
Tentu saja permintaan yang baginya merupakan suatu kehormatan itu, langsung
Pendekar Panji Sakti 3 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pedang Keadilan 35
datang. Hatinya masih belum mengerti kenapa Pendekar Bayangan Setan sampai
sedemikian takutnya menghadapi serangan Andari. Padahal kepandaian tokoh
setengah gila itu, ia tahu berada jauh di atas putrinya. Sagotra benar-benar
tidak habis pikir dengan keanehan yang baru saja terjadi di depan matanya itu.
"Ayah..., kau tidak apa-apa...?" tanya Andari ce-mas sambil memapah tubuh
Sagotra, "Siapa setan gundul itu, Ayah" Mengapa ia ingin membunuhmu?"
"Cuma orang sinting...," jawab Sagotra singkat, Mari, kita pulang...!" lanjutnya
membuat Andari cuma bisa mengangkat bahu, tak banyak bertanya lagi.
Kemudian dipapahnya sang Ayah pergi meninggalkan tempat itu.
*** 4 Kuda hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari busur, meninggalkan kepulan
debu di atas jalanan yang dilewatinya. Setelah menerobos kelebatan hutan,
sampailah di depan sebuah rumah panggung yang cukup besar. Penunggangnya
bergegas melompat turun kemudian melangkah masuk dengan agak tergesa. Sedang
kuda hitam itu sudah diurus oleh seorang lelaki yang menyambut kedatangannya.
"Kali ini kita benar-benar celaka, Penjagal...!"
ucapnya cemas, kepada seorang lelaki gemuk bertelanjang dada, hingga menampakkan
bulu-bulu lebat yan tumbuh di dadanya.
"Kau ini kenapa, Ronggawu"! Datang-datang, membuat orang kebingungan" Coba
tenang dulu, dan ceritakan yang jelas...!" sambut lelaki gemuk yang dikenal
sebagai Penjagal Kepala, seorang kepala rampok yang bengis dan kejam tak kenal
ampun. Setiap lawan yang dihadapinya harus tewas dengan kepala putus. Kebengisan inilah
yang membuat julukan Penjagal Kepala melekat pada dirinya.
"Kematian Kakek Jubah Hitam ternyata malah membuat diri kita terancam bahaya!
Bahkan jauh lebih hebat ketimbang sewaktu kakek celaka itu masih hidup! Kalau
dulu cuma dia seorang yang selalu menggagalkan usaha kita, sekarang justru
semakin banyak. Kematiannya membuat orang-orang golongan putih menjadi marah!
Mereka hendak mencari pembunuhnya. Menurutku, sebaiknya kita menyingkir dulu
jauh-jauh sampai keadaan kembali
tenang. Sebab, kalau sampai golongan putih tahu, mereka pasti akan mendatangi
kita. Bukankah ini celaka namanya...?" jelas Ronggawu, yang membuat paras
Penjagal Kepala berubah seketika.
"Dari mana kali dapatkan berita itu" Apakah itu bukan cuma desas-desus saja?"
tanya Penjagal Kepala, yang kelihatan belum yakin benar akan ucapan kawannya.
"Orang-orangku yang bekerja sebagai pencari berita tentang mangsa yang bakal
lewat di daerahku, datang dan melaporkan semua itu kepadaku," jawab Ronggawu,
yang juga merupakan kepala rampok, dan mempunyai hubungan dekat dengan Penjagal
Kepala. Hubungan antara kedua kepala rampok ini semakin dekat semenjak sepak terjang
Kakek Jubah Hitam mengacaukan pekerjaan mereka.
Mendengar penjelasan rekannya, Penjagal Kepala menjadi termenung. Keningnya
berkerut. Sepertinya tokoh ini tengah berpikir keras untuk mencari jalan
keluarnya. "Apakah hal ini sudah kau beritahukan kepada Harimau Gila?" tanya Penjagal
Kepala tiba-tiba.
"Aku tidak tahu ke mana harus mencarinya.
Karena selama ini ia tidak pernah memberitahukan tempat tinggalnya kepada kita.
Harimau Gila hanya muncul menemui kita jika memerlukan bantuan!
Hhh... itulah yang membuatku kurang suka kepadanya. Sebaiknya kau tak perlu
memikirkannya, Penjagal. Yang penting kita harus segera menyingkir.
Jangan sampai mereka keburu mengetahui pelaku pembunuhan itu, lalu mendatangi
tempat ini," jawab Ronggawu setengah mendesak.
"Pengikutmu sendiri bagaimana...?"
"Mereka sudah kusuruh menyingkir lebih dulu, dan
menunggu di sekitar Lembah Sungai Gerong. Di sana ada tempat yang cukup baik dan
tersembunyi. Rasanya, untuk sementara tempat itu bisa kita gunakan bersama-sama," jawab
Ronggawu menerangkan tempat yang bakal mereka gunakan sebagai persembunyian
sementara. "Hm..., kalau begitu kau tunggulah sebentar. Aku akan berkemas...," ujar
Penjagal Kepala, mengambil keputusan untuk mengikuti anjuran rekannya.
Namun, baru saja Penjaglal Kepala memutar tubuh hendak masuk ke dalam kamarnya,
tiba-tiba dari luar rumah terdengar bentakan dan suara benturan senjata tajam.
Penjagal Kepala menjadi kaget. Lalu menoleh dan bertukar pandang dengan
Ronggawu. Seperti telah mendapat kata sepakat, kedua gembong perampok ini sama melesat
keluar. "Berhenti, tahan senjata...!"
Begitu tiba di luar dan menyaksikan adanya dua orang lelaki berseragam biru
muda, tengah dikeroyok belasan orang anggota perampok, Penjagal Kepala langsung
membentak. Disusul kemudian dengan tubuh gemuknya yang melayang ke tengah arena
dan mendarat tepat di hadapan dua orang lelaki gagah itu.
"Hm..., siapa kalian, dan mau apa datang ke tempat ini?" tegur Penjagal Kepala
dengan sorot mata bengis mengandung ancaman maut. Di sebelah kanannya, sudah
berdiri Ronggawu, yang juga meneliti kedua orang lelaki gagah berseragam biru
muda itu. "Namaku Banadri, sedangkan saudaraku ini adalah Sandrila. Kami berdua datang
dari daerah Pantai Utara, dan dijuluki sebagai Sepasang Elang Laut Utara.
Mengenai tujuan kami datang ke tempat ini,
adalah untuk mencari kepala rampok yang berjuluk Penjagal Kepala. Siapakah di
antara kalian berdua yang memiliki julukan itu?" tanya salah satu dari kedua
orang lelaki gagah yang berwajah agak mirip dengan kawannya. Keduanya terlihat
masih berusia muda, sekitar tiga puluh tahun. Kendati demikian, sorot wajah dan
sinar mata mereka terlihat tajam dan berpengaruh. Hingga, sempat membuat hati
Penjagal Kepala dan Ronggawu tergetar.
"Hm..., keperluan apa yang membuat kalian berdua ingin bertemu dengan Penjagal
Kepala?" kali ini yang melontarkan pertanyaan adalah Ronggawu.
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan kepadanya, sehubungan dengan
terbunuhnya Kakek Jubah Hitam, yang merupakan sahabat guru kami.
Dan kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki serta membekuk pelaku laknat
itu...!" Sandrila yang menjawab pertanyaan Ronggawu. Sambil berkata demikian,
sepasang matanya tak pernah lepas dari wajah Penjagal Kepala. Sepertinya ia
sudah dapat menebak siapa di antara kedua orang itu yang berjuluk Penjagal
Kepala. "Kalau begitu, kalian berdua salah alamat. Karena di sini tidak ada yang
berjuluk Penjagal Kepala. Sebaiknya kalian cari di tempat lain...!" Lagi-lagi
Ronggawu berkata mendahului rekannya. Sedang Penjagal Kepala masih diam, belum
bisa mengambil keputusan harus bagaimana.
"Hmhh...!"
Banadri mendengus dan tersenyum sinis ketika mendengar jawaban Ronggawu.
Demikian pula dengan Sandrila. Kemudian keduanya saling bertukar pandang.
"Ternyata kabar tentang kebengisan dan ke-
kejaman Penjagal Kepala cuma isapan jempol belaka," ujar Sandrila kepada
Banadri. "Benar. Sejak semula aku memang sudah dapat menebak kalau kepala rampok yang
berjuluk Penjagal Kepala itu tak lebih dari seorang pengecut besar!"
Banadri menimpali dengan suara lantang sambil mengerling ke arah Penjagal
Kepala. "Sekarang terbukti bahwa dugaanku itu benar..."
"Keparat...!" Penjagal Kepala menggeram dengan wajah terbakar. Dadanya serasa
hendak meledak menahan gejolak amarah. Dia tidak bisa menerima penghinaan itu.
"Bocah-bocah sombong! Perhatikan-lah baik-baik! Akulah yang berjuluk Penjagal
Kepala, yang akan segera membuat kalian berdua menjadi mayat-mayat tanpa
kepala!" Usai berkata demikian, Penjagal Kepala melolos-kan sebatang golok besar yang
matanya bergerigi.
Kemudian memutarnya hingga menerbitkan deru angin keras. Dan dibarengi dengan
sebuah teriakan mengguntur, golok di tangannya menyambar begitu cepat ke arah
Banadri, orang yang telah berani mati menghinanya.
Trang...! Bunga api berpijar seiring dengan suara benturan keras dua batang senjata. Entah
kapan meng-gerakkan tangannya, tahu-tahu dalam genggaman Banadri ada sebilah
pedang, yang digunakan untuk menyambut sambaran golok Penjagal Kepala.
Gembong perampok dari Hutan Gagak ini menjadi kaget bukan main, sewaktu
merasakan lengan kanannya bergetar keras, nyaris membuat goloknya terlepas dari
pegangan! Selain itu, tubuhnya pun sampai terjajar mundur beberapa langkah.
Padahal lawannya sendiri seperti tidak terpengaruh oleh
benturan keras itu. Kenyataan ini membuat Penjagal Kepala sadar kalau tenaganya
kalah dua tingkat dari lawannya.
"Hm..., pantas kau berani membuka mulut besar!
Rupanya kepandaianmu boleh juga...!" dengus Penjagal Kepala mengakui kelebihan
lawannya. Banadri tidak menanggapi. Tokoh muda yang berjuluk Elang Laut Utara ini cuma
tersenyum tipis.
Kemudian menggeser langkahnya ke kanan sambil memutar pedang.
Wuttt! Sambaran angin panas menderu sewaktu pedang di tangan Banadri menyambar.
Penjagal Kepala pun tidak mau kalah. Golok besarnya datang menyambut disertai
deruan angin yang bergulung-gulung.
Sebentar saja kedua tokoh ini sudah saling serang dengan hebatnya!
"Tunggu, Sahabat...!" seru Sandrila mencegah Ronggawu yang hendak campur tangan
ke dalam arena pertarungan itu. "Akulah yang bakal menjadi lawanmu...."
"Hmmhh...!"
Ronggawu menggereng bagai binatang buas
terluka. Sebatang tongkat pendek berantai, yang pada bagian ujungnya terdapat
bola berduri, diputar hingga menimbulkan suara berdengung-dengung.
Dan, tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung diayunkan ke kepala Sandrila,
yang langsung menyambut dengan pedangnya.
Tingkat kepandaian Ronggawu tampaknya masih berada jauh di bawah lawannya.
Serangan-serangan tongkat bola berdurinya yang datang menderu-deru, selalu gagal
menemui sasarannya. Bahkan beberapa kali ujung pedang lawan, yang menerobos
masuk, nyaris melukai tubuhnya. Sehingga, setelah pertarungan berjalan tiga puluh
jurus, Ronggawu sudah kelabakan oleh sambaran pedang lawan, yang memiliki
kecepatan mengagumkan itu. Ia tidak lagi diberi kesempatan untuk balas
menyerang. Karena sambaran pedang lawan demikian gencar, membuat Ronggawu sibuk
melindungi tubuhnya dari incaran mata pedang Sandrila.
"Yeaaattt...!"
Setelah selama kurang lebih sepuluh jurus mencecar lawan yang semakin tak
berdaya itu, tiba-tiba Sandrila berteriak mengejutkan. Gerakan-gerakan kakinya
berubah, membuat kepala Ronggawu menjadi pening. Karena tubuh lawannya selalu
bergerak ke kiri-kanan dengan lompatan-lompatan yang cepat dan sulit diikuti
pandangan matanya.
Breettt...! Ronggawu menjerit kesakitan sewaktu pedang lawan merobek lambung kanannya.
Tubuhnya terhuyung mundur disertai ceceran darah segar, yang mengucur dari luka
di lambungnya. Pada waktu yang hampir bersamaan, Penjagal Kepala pun harus mengakui keunggulan
lawannya. Sebuah tendangan keras dan tusukan pada dada kanannya, membuat tubuh kepala
rampok ini terlempar dan terbanting keras.
Penjagal Kepala menyeret tubuhnya sewaktu Banadri melangkah menghampiri dengan
sorot mata nengancam. Sementara Ronggawu yang hatinya sudah merasa gentar, juga
bergerak mundur, dan memberikan isyarat kepada para pengikut Penjagal Kepala
untuk maju mengeroyok.
Banadri dan Sandrila terpaksa bergerak mundur ketika kurang lebih tiga puluh
orang anggota perampok bergerak menghadang langkah mereka.
Namun sepasang Elang Laut Utara ini sama sekali tidak terlihat gentar. Mereka
memutar senjata, dan merobohkan beberapa orang perampok yang
menerjang maju. Sekali bergerak saja keduanya telah membuat enam orang perampok
berkelojotan mandi darah! Hingga, perampok yang lainnya merasa gentar dan ragu-
ragu untuk maju menyerang.
"Bodoh, ayo habisi kedua manusia celaka itu...!"
Penjagal Kepala membentak marah ketika melihat sikap gentar anak buahnya.
Sehingga, meski agak takut-takut, akhirnya mereka pun menyerbu dua orang saudara
kembar yang berjuluk Sepasang Elang Laut Utara itu.
Serbuan anggota perampok itu disambut sambaran pedang Banadri dan Sandrila.
Deruan angin panas yang timbul dari sambaran pedang kedua tokoh ini, membuat
para pengeroyoknya tak berani terlalu dekat Sehingga, pedang di tangan Elang
Laut Utara kembali merenggut empat orang korban.
Membuat yang lainnya kembali bergerak mundur dengan wajah agak pucat!
"Hih hih hih...!"
Banadri dan Sandrila menahan gerakannya dan melompat mundur ketika mendadak
terdengar suara tawa mengikik, yang membuat telinga mereka berdenging kesakitan.
Cepat keduanya mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh suara tawa itu.
Pertempuran pun terhenti seketika.
Beberapa saat kemudian, suara tawa mengikik itu lenyap. Digantikan oleh
munculnya sesosok tubuh kurus seorang perempuan tua. Kemunculan sosok perempuan
tua ini, membuat semua orang yang berada di tempat itu sama membelalakkan mata!
Karena tubuh perempuan tua ini sama sekali tidak terbungkus pakaian, kecuali
celana hitam setinggi betis, yang pada bagian bawahnya compang-camping.
Rambutnya yang putih dan tipis, digelung di atas, dan terdapat hiasan berupa
tulang, yang digunakan sebagai tusuk konde. Sedang buah dadanya yang keriput dan
panjang, menjuntai hingga ke perut, dibiarkan terbuka begitu saja. Tentu saja
penampilan yang menunjukkan ketadakwarasan ini membuat heran siapa saja yang
menyaksikannya.
Banadri dan Sandrila yang semula sempat merasa risih melihat penampilan nenek
itu, kini menjadi kaget bukan main. Sekali melihat saja, keduanya langsung bisa
mengenali siapa adanya nenek berpenampilan sangat 'berani' itu.
"Kalong Wewe..."!" desis Banadri yang tanpa sadar melangkah mundur. Pada
wajahnya terlihat gambaran kegentaran.
"Tidak salah lagi! Ciri-ciri nenek itu sama persis dengan yang digambarkan ayah
kita!" desis Sandrila yang juga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan
gentarnya. Karena dari apa yang mereka dengar, Kalong Wewe merupakan seorang
tokoh wanita tua yang kepandaiannya sukar diukur. Dan merupakan tokoh gila, yang
memiliki kebiasaan tidak lumrah.
Kabarnya Kalong Wewe gila anak, dan kadang suka menculik laki-laki muda untuk
diteteki. Namun kemudian dibunuhnya setelah nenek itu merasa bosan.
"Hih hih hih...! Orang-orang muda cakap dan gagah, kalau aku tidak salah lihat,
bukankah kalian putra Pendekar Elang Bulu Emas, yang tinggal di daerah Pantai
Utara?" tanya nenek berpenampilan aneh itu sambil memperdengarkan tawa mengikik-
nya, lalu gerak maju mendekati Banadri dan Sandrila.
"Benar, beliau memang ayah kami," Banadri menjawab sambil menggeser mundur
kakinya dengan gerakan perlahan dan tidak terlalu kentara. Meski berusaha
disembunyikan, rasa ngeri tetap saja terlihat pada wajahnya.
"Kuharap Nenek suka memandang ayah kami, dan tidak mencampuri urusan ini...!"
timpal Sandrila yang mencoba mengusir Kalong Wewe dengan mengandalkan nama besar
ayahnya. Karena, seperti halnya Banadri, Sandrila pun merasa agak ngeri jika
mengingat nenek itu mempunyai penyakit gila anak.
Jika pikirannya terganggu atau kumat, perempuan itu melakukan perbuatan
menakutkan sekaligus men-jijikkan.
"Hih hih hih...! Tanpa memandang nama besar ayah kalian pun, aku memang tidak
bermaksud mencampuri urusan ini. Bahkan kalau kalian menghendaki, aku akan suka
sekali untuk membantu. Karena begitu melihat, aku langsung merasa suka dengan kegagahan dan
ketampanan kalian...," ujar Kalong Wewe dengan suara lembut dan pandang mata
menggambarkan perasaan sayang kepada Banadri dan Sandrila.
"Celaka..."!" desis Banadri, kaget mendengar ucapan Kalong Wewe"
"Sebaiknya kita tunda saja urusan dengan Penjagal Kepala, Kakang...!" bisik
Sandrila, yang menjadi tegang ketika mendengar pengakuan nenek sinting itu.
Sandrila menggelengkan kepala, ketika di depan matanya melintas bayangan dirinya
yang tengah dipeluk dan dipaksa untuk menetek.
Bayangan itu membuat perutnya tiba-tiba menjadi mual.
Banadri yang juga ngeri terhadap nenek sinting itu, langsung saja mengangguk
setuju. Kemudian berpaling memandang Kalong Wewe.
"Maaf, Nek. Kami terpaksa harus pergi. Karena masih ada yang harus segera kami
kerjakan di tempat lain...," ujar Banadri, yang kemudian menoleh kepada
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sandrila. Setelah memberikan isyarat dengan anggukkan kepala, Banadri segera
memutar tubuh, lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sandrila bergegas
mengikuti. "Hih hih hih...! Apa kalian kira bisa pergi begitu mudah setelah berhadapan
dengan Kalong Wewe"!"
ujar Kalong Wewe dengan sorot mata berkilat. Dan dibarengi dengan suara tawa
mengikik, tubuh nenek ini sudah melayang mengejar Sepasang Elang Laut Utara.
Banadri dan Sandrila bukan tidak tahu kalau mereka berdua dikejar. Suara tawa
mengikik dan sambaran angin kuat yang semakin dekat, membuat keduanya bergegas
membungkuk. Sehingga, cengkeraman kedua jari-jari tangan Kalong Wewe tidak
mengenai sasarannya.
Namun tubuh kurus yang terus meluncur ke depan itu, mendadak terhenti di udara.
Kemudian kedua kakinya bergerak menendang-nendang di udara.
Bukan main kagetnya hati Sepasang Elang Laut Utara ketika menyaksikan tubuh
Kalong Wewe dapat berputar balik! Padahal kedua kakinya sama sekali belum
menginjak tanah!
"Gila...! Ilmu meringankan tubuh nenek itu hebat sekali..."!" desis Banadri
kaget dan takjub.
Sandrila, meski tidak berkata apa-apa, tubuhnya tegak terpaku dengan sepasang
mata masih membelalak. Sebab, apa yang dilakukan Kalong Wewe
memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Hanya tokoh persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi sajalah, yang kiranya
akan mampu melakukan perbuatan itu. Ilmu meringankan tubuh milik keluarganya
sendiri sudah cukup terkenal di kalangan persilatan. Namun Sandrila sangsi
apakah ayahnya sanggup melakukan yang seperti ditunjukkan Kalong Wewe itu.
"Sandrila, awaaaass...! "
Banadri berteriak memperingatkan adiknya, yang masih berdiri terpaku. Karena
saat itu tubuh Kalong Wewe sudah kembali meluncur dengan kedua tangan terulur ke
depan. Sandrila tersadar begitu mendengar teriakan kakaknya. Tapi, ia menjadi gugup
sewaktu melihat bayangan tubuh Kalong Wewe sudah demikian dekat di depannya.
Tahu kalau untuk mengelak jelas tidak mungkin keburu, Sandrila mengambil
keputusan nekat. Dengan mengempos seluruh kekuatan yang ada, kedua tangannya
memukul ke depan memapaki uluran tangan Kalong Wewe, yang berkuku runcing itu.
Bedd, beddd! Namun, tokoh wanita sinting yang dijuluki Kalong Wewe ini, ternyata merubah
gerakannya. Kedua tangannya yang semula siap mencengkeram, mendadak meliuk
berputar. Sehingga kedua pukulan Sandrila hanya mengenai tempat kosong. Dan,
tahu-tahu kuku-kuku runcing Kalong Wewe sudah berada dekat lehernya. Karuan saja
Sandrila menjadi pucat!
Cusss...! Sandrila tak dapat lagi menghindar sewaktu ujung kuku runcing Kalong Wewe
menusuk jalan darah di lehernya. Akibatnya, tubuh pemuda itu langsung
melorot ke tanah bagai sehelai karung basah Dan, tergeletak pingsan seketika.
"Sandrila..."!"
Banadri merasa kaget dan juga heran melihat adiknya langsung roboh begitu
tersentuh kuku runcing Kalong Wewe. Sepintas saja, Banadri langsung bisa menebak
kalau kuku perempuan tua itu mengandung racun pembius, yang bisa membuat lawan
roboh seketika, apabila tertusuk.
"Kalong Wewe...!" ujar Banadri. Dia semakin bertambah tegang bukan main, karena
sadar kalau adiknya berada dalam cengkeraman seorang aneh yang wataknya tidak
lumrah manusia. "Lepaskan adikku, atau kau sengaja ingin menanam permusuhan
dengan keluarga kami" Kalau kau tidak mau membebaskannya, ayahku pasti akan
marah, dan menghajarmu sampai babak belur...!" Banadri terus menggunakan nama
besar ayahnya untuk menggertak Kalong Wewe.
"Hih hih hih...! Jangankan cuma ayahmu, Bocah Bagus! Kakek dan buyutmu pun boleh
kau panggil dari kuburnya untuk menghadapiku. Sebaiknya kau tinggallah dulu di
sini bersama keroc-keroco itu! Kelak kalau adikmu dapat membuat hatiku senang,
akan kukembalikan dia kepadamu. Nah, apakah kau masih juga menganggap aku
jahat?" sahut Kalong Wewe, yang sama sekali tidak gentar dengan ancaman Banadri.
Setelah berkata demikian, disambarnya tubuh Sandrila yang terkulai menelungkup
di tanah. Sekali cungkil dengan ujung kakinya, tubuh yang rebah itu melayang
naik, kemudian diterima dengan bahunya.
Lagi-lagi Banadri dibuat kagum oleh pertunjukan tenaga dalam Kalong Wewe.
"Hei..., mau kau bawa ke mana adikku..." Kalong Wewe, tunggu...!"
Wajah Banadri semakin pucat, melihat Kalong Wewe memutar tubuhnya dan melesat
pergi meninggalkannya. Ia berteriak-teriak mencegah, namun perempuan tua renta itu
sama sekali tidak peduli. Sehingga Banadri nekat mengejar dengan mengerahkan
seluruh kemampuan yang ada pada dirinya.
"Nenek Iblis, kembalikan adikku...!"
Kalong Wewe sendiri hanya memperdengarkan suara tawa mengikiknya yang panjang.
Dan tampaknya ia tidak berlari sungguh-sungguh, karena sampai sejauh itu Banadri
tetap cuma tertinggal sekitar tiga tombak. Itu sebabnya, mengapa Banadri masih
nekat terus mengejar.
*** 5 "Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan putih menghadang sekitar satu setengah tombak di hadapan Kalong Wewe.
Namun perempuan tua yang tidak lumrah manusia itu seperti tidak mendengar
ataupun melihat sosok yang berdiri menghadang di depannya.
Tubuhnya terus meluncur ke depan, membuat sosok bayangan putih yang melakukan
penghadangan menjadi tertegun. Sedangkan saat itu, Kalong Wewe yang sudah begitu
dekat, tahu-tahu menjulurkan tangan kirinya dengan sebuah cengkeraman.
Whuttt! Plakkk!
Sepasang lengan berbenturan keras sewaktu sosok bayangan putih mengangkat tangan
kirinya sambil memiringkan tubuh. Akibatnya, justru Kalong Wewe sendiri yang
terpekik tak dapat menahan rasa terkejutnya. Bahkan tubuh tua renta keriput itu
terhuyung ke tepi jalan, menabrak semak-semak!
"Cuh, cuhh, cuhhh...!"
Setelah dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, beberapa kali Kalong Wewe
menyemburkan ludah sebagai tanda kegusaran hatinya. Baru kemudian mengangkat
wajah, didahului sambaran matanya yang memancarkan sinar berapi. Ketika
pandangannya matanya berubah melembut. Bahkan mulutnya menyeringai, membentuk
seuntai senyum, menampakkan gigi-giginya yang hitam.
Sementara Banadri sudah tiba di tempat itu. Ia
yang dari kejauhan telah melihat sosok bayangan putih yang menghadang jalan
Kalong Wewe, kini menatap dengan kening berkerut agak heran. Dia pun tadi sempat
melihat ketika sosok bayangan putih itu menyambut cengkeraman Kalong Wewe, yang
membuat nenek itu terhuyung. Rasa heran ketika mendapati sosok bayangan putih
itu ternyata seorang pemuda berwajah tampan, membuat Banadri
menelitinya beberapa saat
"Kalau aku tidak salah mengenali orang, kau pastilah yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, Sobat...?" ujar Banadri langsung menduga setelah meneliti sosok pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Begitulah orang memberikan julukan kepadaku...,"
sahut pemuda tampan yang ternyata memang Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum merangkapkan kedua tangannya ke arah Banadri.
"Secara kebetulan aku sedang menuju ke daerah sekitar sini, dan mendengar suara
tawa mengikik serta teriakanmu," lanjutnya menjelaskan keberadaannya di tempat
itu. Sementara, Kalong Wewe yang mendengar pembicaraan itu, menghentikan langkahnya.
Karena tertarik begitu melihat wajah penghadangnya, dan langsung merasa suka,
dia bermaksud menukar pemuda yang dibawanya dengan Panji. Namun setelah
mendengar pemuda tampan itu berjuluk Pendekar Naga Putih, nenek menggiriskan ini
menjadi ragu sejenak.
"Hih hih hih...! Siapa kira hari ini aku ternyata sangat beruntung bisa berjumpa
dengan Pendekar Naga Putih! Aih..., sudah lama sekali aku merindu-kanmu, Bocah
Bagus! Sekarang, setelah melihatmu, rasanya aku tak memerlukan lagi pemuda
ini...," ujar Kalong Wewe. Keraguannya seketika lenyap, berganti
kegembiraan yang meluap-luap. Sambil berkata begitu tubuh Sandrila yang semula
dipanggulnya, dilemparkan begitu saja ke arah Banadri.
Banadri bertindak cepat melesat ke udara, menangkap tubuh adiknya. Sekali
mengulur tangan saja, tubuh Sandrila dapat diselamatkannya. Kemudian meluncur
turun dengan gerakan yang ringan sekali.
Lalu menoleh kepada Panji.
"Hati-hati, Pendekar Naga, Putih! Nenek itu adalah tokoh wanita sakti berotak
sinting, yang terkenal dengan julukan Kalong Wewe. Tampaknya, nenek yang
dikabarkan gila anak itu menaruh rasa suka kepadamu...," bisik Banadri
mengingatkan Pendekar Naga Putih.
"Kalong Wewe...!" desis Panji yang merasa agak kaget mendengar ucapan Banadri.
Dirinya memang pernah mendengar tentang tokoh wanita tua yang sakti dan tidak
lumrah manusia itu. Juga tahu tentang kebiasaan Kalong Wewe, yang gila
mengangkat anak, dan memperlakukannya dengan cara yang meng-gelikan sekaligus
membuat hati bergidik.
"Hih hih hih..., marilah ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih...!" bujuk Kalong
Wewe dengan suara lembut dan penuh kasih. Tak ubahnya seorang ibu yand
menyayangi anaknya.
Panji masih berdiri tegak, tanpa sepatah kata pun.
Karena ia merasa bingung bagaimana harus bersikap menghadapi perempuan sinting
seperti Kalong Wewe.
Jika ia menolak, nenek itu sudah pasti akan marah dan memaksanya. Tapi, ia pun
tidak sudi ikut bersamanya.
Kalong Wewe tidak dapat menahan kesabaran ketika melihat Pendekar Naga Putih
masih berdiri diam. Tubuhnya langsung melesat dengan kedua
tangan terjulur ke depan, siap meringkus Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih, awaaasss...!"
Banadri yang menjadi cemas ketika melihat Panji masih diam tak bergerak, berseru
memperingatkan.
Namun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan Banadri. Karena meski Panji
kelihatan seperti orang linglung, sambaran angin keras yang terbit dari kedua
cengkeraman Kalong Wewe, sudah membangkitkan kesadarannya. Tepat pada saat
cengkeraman itu hampir merenggutnya, Panji langsung melompat mundur. Sehingga,
cengkeraman Kalong Wewe menemui kegagalan.
"Kalong Wewe, tahan serangan...!" seru Panji yang sudah melompat agak jauh,
berdiri tegak mengangkat tangannya mencegah kelanjutan serangan nenek itu.
Seruan yang dilakukan Panji dengan pengerahan tenaga dalam itu, membuat langkah
Kalong Wewe terhenti. Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih itu dengan mulut
menyeringai. "Kau harus ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih..!" desak Kalong Wewe memecah
keheningan, yang beberapa saat menyelimuti mereka. Kemudian kakinya kembali
bergerak mau mendekati Panji.
"Celaka...! Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi nenek gila
ini...!" gumam Panji, yang mau tidak mau ikut menggeser langkahnya.
Hingga keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak. Kalong Wewe
siap untuk menerjang. Sedangkan Pendekar Naga Putih siap untuk membela diri.
*** Sosok pemuda tampan terbungkus jubah putih, duduk menikmati makannya di sebuah
kedai yang memiliki ruangan cukup besar. Melihat dari cara makannya yang lambat-
lambat dan seringkali terhenti terlalu lama, serta ada kerutan pada keningnya,
seolah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Paman...," ujar pemuda tampan itu setelah menyudahi makannya. Dia memanggil
pelayan, yang segera datang menghampiri. "Apakah kau pernah dengar tentang
seorang tua yang disebut sebagai Kakek Jubah Hitam...?" tanyanya dengan suara
agak direndahkan.
"Kalau nama itu, hampir seluruh penduduk desa sekitar kaki Bukit Bantaran ini
pernah mendengar dan mengenalnya, Tuan. Karena, secara tidak langung, beliau
merupakan pelindung kami semua,"
jawab pelayan kedai, yang kemudian duduk di depan pemuda tampan ini. Lalu dia
bercerita panjang lebar tentang sepak terjang Kakek Jubah Hitam. Pelayan ini
tampak semakin bersemangat sewaktu ceritanya di-dengarkan dengan sungguh-
sungguh. "Sayang beliau sekarang sudah tewas dibunuh orang jahat yang
kemungkinan besar menaruh dendam kepadanya...,"
sesalnya pada akhir cerita.
Pemuda berjubah putih yang tak lain si Pendekar Naga Putih itu mengangguk-
anggukkan kepala. Cerita itu baginya tidak terlalu aneh, dan hampir sama dengan
yang dituturkan beberapa penduduk desa sekitar Bukit Bantaran, yang pernah
ditanyainya. Panji yang memang kebetulan lewat di sekitar Bukit Bantaran dan
mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam, langsung mengambil keputusan untuk
menyelidik dan mencari pembunuhnya. Dan karena hal itu masih sangat gelap
baginya, maka ia pun
mulai mencari keterangan dari penduduk desa sekitar tempat tinggal Kakek Jubah
Hitam. "Apakah kira-kira Paman bisa menduga siapa yang melakukan pembunuhan itu...?"
tanya Panji setelah terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan ketika
dilihatnya pelayan itu menggelengkan kepala,
"Bagaimana dengan orang-orang jahat yang pernah diusirnya, apakah Paman mengenai
beberapa di antara mereka...?"
"Terlalu banyak orang jahat yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam, dan aku tak
dapat mengenali mereka satu persatu," jawab si Pelayan Kedai dengan suara
lambat-lambat, sambil mengerahkan ingatan-nya.
"Tapi...."
"Tapi apa, Paman...?" tanya Panji mendekatkan wajahnya, mengerti akan
kekhawatiran pelayan kedai, yang menghentikan ucapannya dan menoleh ke kiri-
kanan dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.
"Salah satu dari sekian banyak orang yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam
adalah gerombolan perampok. Kalau aku tidak salah ingat, pemimpinnya dijuluki
sebagai Penjagal Kepala...!" jelasnya. Lagi-lagi ucapannya terhenti, dan menoleh
ke sana kemari dengan takut-takut, "Kepala rampok itu sangat terkenal kekejaman
dan kebuasannya...," lanjutnya dengan suara yang lebih rendah. Kemudian bergerak
bangkit dan meninggalkan Panji setelah membersih-kan meja. Namun, langkahnya
terhenti. Karena Panji sudah menangkap lengannya.
"Di mana markas Penjagal Kepala itu, Paman...?"
tanya Panji setengah berbisik.
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Tuan..."!"
pelayan kedai tampak terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Tidak, Paman. Cuma sekadar ingir tahu saja...,"
jawab Pendekar Naga Putih berdusta, khawatir pelayan kedai itu akan bertanya
macam-macam. "Sepanjang yang kudengar, Penjagal Kepala sering melakukan penghadangan terhadap
kereta-kereta barang di sekitar Hutan Gagak. Kira-kira setengah hari perjalanan
dari desa ini...," jelas pelayan kedai, yang kemudian memutar tubuhnya setelah
merasakan pegangan pada pergelangan tangannya dilepas-kan.
Setelah mendapat keterangan dan membayar makanannya, Pendekar Naga Putih
meninggalkan kedai. Ia sudah mendapat keterangan tentang letak Hutan Gagak, dan
bermaksud mendatangi tempat itu.
Maka, begitu berada di luar desa, dan jalanan agak sepi, Panji melanjutkan
perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Ketika hampir tiba di Hutan Gagak, mendadak langkahnya terhenti. Telinganya
menangkap suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Selain itu, ia juga mendengar adanya suara orang berteriak, seperti tengah
mengejar seseorang yang melarikan diri. Bergegas Panji melesat ke arah asal
suara. Dilihatnya seorang nenek berpenampilan aneh sedang berlari cepat
memanggul sesosok tubuh di bahu kanannya. Di belakang si Nenek tampak seorang
lelaki muda tengah mengejar-ngejar. Segera saja Panji mengambil keputusan untuk
menghadang nenek yang diduganya telah melakukan penculikan itu. Sampai akhirnya
ia terpaksa harus bertarung melawan nenek itu. Perempuan aneh itu ternyata suka
kepadanya, bahkan ingin mengangkatnya se-
bagai anak. Tentu saja Panji tidak sudi ikut bersama nenek yang otaknya tidak
waras itu. *** Wrrettt! Kalong Wewe membuka serangan lebih dulu, memulai perkelahian itu. Sepasang
tangannya yang berkuku runcing dan hitam, menyambar disertai deru angin keras.
Namun, Panji yang sudah siap menghadapi serangan nenek gila itu, dengan cepat
bergerak mengelak. Sehingga, serangan Kalong Wewe tidak mengenai sasarannya.
Bahkan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan serangan balasan dengan
pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya.
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gelombang angin keras berhawa dingin ber-hembus menyertai datangnya serangan
balasan Panji, yang terus berlanjut ketika nenek itu dapat menghindarinya. Dalam
jurus-jurus pertama, Panji langsung melakukan desakan, karena ia ingin
mengakhiri pertarungan secepatnya.
Namun untuk mewujudkan niat itu ternyata bukan suatu hal yang mudah! Karena
Kalong Wewe merupakan salah satu gembong golongan sesat, yang tingkat
kepandaiannya sulit diukur. Sehingga, untuk menghadapinya Pendekar Naga Putih
harus bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang di-milikinya.
Termasuk 'Ilmu Silat Naga Sakti', yang sangat jarang digunakan.
Selama kurang lebih dua puluh jurus, Kalong Wewe terus mengambil sikap bertahan,
menggunakan kedua tangannya sebagai benteng, yang sukar ditembus. Bahkan ketika
pertarungan menginjak
pada jurus yang keempat puluh, perempuan tua renta itu mulai melakukan serangan
balik, sambil tetap memperkuat pertahanannya. Gelombang pukulannya menderu
tajam, mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat, membuat serangan Panji mulai
mengen-dur. Sampai akhirnya giliran pendekar muda itu yang harus bertahan dari
serangan gencar lawannya.
Plakkk...! Untuk kesekian kalinya, benturan kedua lenganB
mereka kembali terjadi. Kali ini Panji benar-benar dibuat kaget! Tenaga pukulan
lawan yang semakin bertambah kuat itu, membuat tubuhnya terhuyung beberapa
langkah. Sedangkan Kalong Wewe, yang cuma merasakan getaran pada tubuhnya, sudah
kembali menyusuli serangannya.
Blakkk! "Hukkhh...!"
Sebuah hantaman telapak tangan Kalong Wewe yang berhasil menjebol benteng
pertahanan Panji, membuat tubuh pendekar muda itu terdorong ke belakang dengan
tubuh terbungkuk. Hantaman keras yang telak mengenai perutnya membuat Panji
merasa mual seketika. Namun, meski dalam keadaan demiki an, pemuda itu masih
juga sempat menyelamatkan diri dari incaran kuku-kuku runcing lawan yang
mengirimkan serangan susulan. Tindakan itu sempat membuat kedudukannya semakin
tidak seimbang, dan terus terhuyung. Sampai akhirnya ia bisa menguasai diri,
setelah melompat jauh. ke belakang dengan berputaran beberapa kali di udara.
Dengan kuda-kuda yang kokoh laksana tertanam di tanah, Pendekar Naga Putih
mengumpulkan tenaga dalam, berusaha menekan rasa mual yang membuat gerakannya
agak terganggu itu. Saat serangan lawan
yang terus mengejarnya datang, Panji menepiskan rasa ibanya terhadap sosok nenek
berwajah mengerikan itu. Disambutnya serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya.
Sehingga, pertempuran semakin bertambah sengit!
Tiga puluh jurus lebih, setelah pertempuran -, Pendekar Naga Putih tiba-tiba
memekik keras. Tubuhnya melenting dan melayang-layang di udara.
Sepasang cakar naganya berputaran menerbit-kan pendaran sinar putih keperakan
yang menyilau-kan mata. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan
salah satu jurus pamungkas, sempat membuat Kalong Wewe kelabakan, dan tak mampu
lagi melindungi dirinya.
Plakk! Bukk! Blukkk!
Tiga hantaman berturut-turut bersarang di tubuh Kalong Wewe, membuat nenek gila
ini terhumbalang ke kiri-kanan, dan akhirnya terbanting ke tanah.
Namun, Panji benar-benar dibuat terbelalak kagum oleh kekuatan tubuh kurus yang
kulitnya sudah ber-keriput itu. Meski kelihatan telah menderita luka dalam,
nenek ini masih sanggup untuk langsung bangkit berdiri, meski kuda-kudanya
terlihat goyah.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" aku Kalong Wewe, yang kali ini
bicaranya lancar, dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dirinya berotak miing.
"Untuk kali ini aku mengaku kalah. Tapi, kelak aku akan menebus sekaligus dengan
bunganya...," lanjutnya menyiratkan ancaman dan dendam. Setelah berkata
demikian, dengan tertatih-tatih, Kalong Wewe bergerak meninggalkan tempat itu.
Panji hanya bisa menghela napas. Ia tidak berkata apa-apa. Dibiarkan saja nenek
gila itu pergi membawa luka di dalam tubuhnya. Meski agak menyesal
telah menanam bibit permusuhan baru dengan seorang tokoh gila yang berbahaya,
namun Panji merasa lega telah dapat mengusir pergi Kalong Wewe.
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan adikku, Pendekar Naga Putih. Kami berdua
tentu tak akan melupakan jasamu...."
Ucapan Banadri membuat Panji memutar tubuh menghadapi tokoh muda dari Pantai
Utara itu. "Pertolongan sesama manusia adalah satu kewajiban. Jadi, janganlah kau anggap
sebagai hutang, Sobat..!" sahut Panji yang tanpa diminta segera memeriksa
keadaan Sandrila. Lalu menotok di beberapa bagian tubuhnya untuk memulihkan
kesadaran orang kedua dari Sepasang Elang Pantai Utara itu. Kemudian memberikan
sebutir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk mengusir racun dari dalam
tubuh. "Sebenarnya siapa kalian berdua ini, dan berasal dari mana" Mengapa sampai bisa
bentrok dengan Kalong Wewe?" tanya Panji setelah keadaan Sandrila sudah tidak
mengkhawatirkan lagi. Ketiganya duduk saling berhadapan.
Setelah memperkenalkan diri dan tempat asalnya, Banadri menceritakan secara
singkat tentang tujuan-nya, juga pertemuannya dengan Kalong Wewe.
Sementara Sandrila hanya diam, ikut mendengarkan.
"Hm..., tidak aneh kalau Elang Bulu Emas sampai mengirimkan kalian berdua
sebagai putra-putranya untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Kakek Jubah Hitam.
Kematiannya memang membuat tokoh-tokoh golongan putih menjadi marah. Mereka
bertekad untuk membekuk si Pembunuh Keji itu. Aku pun mempunyai tujuan yang sama
dengan kalian ber-
dua. Dan hendak nendatangi Penjagal Kepala guna mencari keterangan. Karena
kepala rampok itu merupakan salah seorang musuh Kakek Jubah Hitam, yang menaruh
dendam. Begitulah keterangan beberapa penduduk sekitar Bukit Bantaran, sewaktu
kutanya...," ujar Panji menatap kagum dua orang tokoh muda di hadapannya. Karena
ia juga sudah mendengar akan nama besar Elang Bulu Emas, yang juga dijuluki
sebagai Majikan Pantai Utara itu.
"Bagaimana kalau sekarang kita datangi lagi Penjagal Kepala itu. Karena kami
berdua pun mendapatkan keterangan yang sama denganmu, Pendekar Naga Putih," ujar
Sandrila mulai menimpali pembicaraan.
"Ayolah, mudah-mudahan kepala rampok itu bisa memberikan keterangan yang
memuaskan...," sambut Panji yang segera bangkit berdiri. Lalu ketiganya
melangkah, kembali menuju perkampungan peram-pok yang dipimpin Penjagal Kepala.
Tiba di tempat tujuan, ketiganya mendapati perkampungan itu sudah kosong! Tak
satu pun anggota perampok yang masih berada di sana.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah meninggalkan tempat ini...!" geram
Banadri, yang tak menemukan sepotong manusia pun, meski ia telah memeriksa semua
rumah dengan teliti.
"Mungkin mereka sudah mendengar tentang kemarahan tokoh-tokoh golongan putih.
Lalu menghindar dan menyembunyikan diri di tempat yang mereka anggap cukup
aman...," timpal Panji dengan nada agak kecewa. Dia berdiri menatapi rumah-rumah
yang telah ditinggal pergi penghuninya itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?"
tanya Sandrila, yang pikirannya mendadak buntu
karena rasa kecewa.
"Kurasa mereka belum terlalu jauh. Ada baiknya kita melakukan pengejaran dengan
berpencar. Dengan begitu, ada kemungkinan salah satu dari kita dapat menemukan Penjagal
Kepala dan para pengikutnya itu...," jawab Panji mengajukan usul, yang disambut
anggukan kepala Banadri dan Sandrila.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji dan Sepasang Elang Pantai Utara melesat
meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda.
*** 6 "Maaf, Nyi Lurah...!"
Andari dan ibunya mengerutkan kening menatap penjaga yang menghadap tanpa
dipanggil itu. Keduanya mengangguk, sebagai isyarat agar penjaga itu segera
mengatakan keperluannya.
"Seseorang tak dikenal, memberikan surat yang minta disampaikan kepada Nyi
Lurah...," lanjut penjaga ini sambil mengangsurkan surat yang dimaksud.
Setelah itu ia membungkuk hormat, lalu beranjak meninggalkan ruangan di rumah
Kepala Desa Kranggan.
Wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun, yang tubuhnya masih terlihat
ramping ini, segera membuka gulungan daun lontar itu dan membaca isinya. Mula-
mula wajahnya tampak berkerut, lalu berubah pucat. Sekujur tubuhnya gemetar,
sehingga surat yang dipegangnya ikut bergetar.
"Dusta! Ini pasti fitnah...!" desisnya berkeras menyangkal isi surat yang
dibacanya. Meski demikian dalam nada suaranya terkandung keraguan atas bantahan
itu. "Ada apa, Ibu" Apa isi surat itu, dan siapa yang nengirimnya?" tanya Andari yang
tentu saja menjadi bingung dan cemas ketika melihat keadaan ibunya.
Namun sang Ibu tidak berkata apa-apa, dan menyerahkan surat itu kepadanya.
Andari semakin kaget tak mengerti ketika melihat wajah ibunya dibasahi mata.
Buru-buru dibacanya isi surat itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Seperti halnya yang dialami ibunya, paras Andari pun berubah pucat setelah
membaca isi surat itu.
Setelah selesai, gadis itu menoleh kepada ibunya, yang duduk lemas di atas kursi
sambil menekap wajah dengan kedua tangan.
"Ibu..., apakah benar apa yang tertera dalam surat ini" Benarkah aku bukan anak
Ayah" Benarkah aku sebenarnya putri seorang pendekar yang berjuluk Garuda Kuku
Baja"!" tanya Andari dengan wajah pucat dan bibir gemetar menahan jatuhnya air
mata. Ketika tidak mendengar adanya jawaban, Andari mengguncang tubuh ibunya dengan
keras, "Jawablah, Ibu" Katakan kalau semua ini tidak benar!"
Guncangan Andari membuat ibunya mengangkat kepala, memandang wajah putrinya
dengan air mata berlinang. Lalu mengangguk perlahan. Kemudian kembali menangis,
menutupi wajahnya.
Jawaban ibunya membuat Andari merasakan
tanah tempat kaki berpijak bergoyang. Tubuh gadis remaja ini terjajar mundur.
Air mata yang kini tak bisa lagi ditahannya, mengalir di pipinya yang bertambah
pucat. Kenyataan itu membuat Andari terguncang hatinya.
"Lalu..., apakah semua isi surat ini benar, Ibu...?", desis Andari setengah
berbisik. Seperti takut kalau ibunya kembali membenarkan pertanyaan itu.
"Tidak seluruhnya, Anakku. Hanya sebagian saja yang benar. Selebihnya hanyalah
fitnahan keji Harimau Gila, si Pengirim Surat itu," jawabnya sambil menghapus
air mata, "Sebelum menjadi istri ayahmu yang sekarang, Ibu adalah seorang janda,
Anakku. semula Ibu pun menolak lamaran Sagotra. Saat itu kau baru berusia kurang lebih
lima tahun. Sagotralah yang menyelamatkan kita berdua dari ancaman
kematian, sewaktu rumah kita diserbu gerombolan perampok. Sebenarnya, kalau saja
para perampok itu tidak berbuat curang, kemungkinan besar mereka akan dapat
dikalahkan ayahmu. Tapi mereka berlaku licik dengan membakar tempat kediaman
kita. Ayahmu menjadi sibuk dan kewalahan waktu itu.
Sebab, selain harus menyelamatkan kita berdua, beliau masih harus berusaha
memadamkan api, dan serbuan manusia-manusia biadab itu. Hingga, akhirnya beliau
tewas tertembus belasan senjata. Saat kita berdua dalam bahaya itulah, Sagotra
muncul, mengamuk menerobos kepungan, lalu membawa lari kita berdua. Budinya yang
sangat besar, membuat Ibu akhirnya menerima lamarannya, sewaktu usiamu mencapai
tujuh tahun. Tak tega hati Ibu untuk mengecewakan lelaki yang demikian baik dan
sabar menunggu sampai sedemikian lama...."
Cerita ibunya membuat Andari termenung masih dengan wajah pucat. Ia percaya akan
cerita sang Ibu, yang menurutnya tidak mungkin tega membohongi anaknya. Namun di
sisi lain, dirinya juga ragu akan isi surat itu. Karena apa yang tertera di
dalamnya demikian jelas, dan sama persis kejadiannya. Hanya saja ada beberapa
tambahan, yang merupakan tuduhan keji terhadap ayahnya yang sekarang. Hal ini
membuat Andari tidak puas dengan cerita Ibunya.
"Belakangan ini kuperhatikan sikap Ayah sangat aneh...?" gumamnya perlahan
seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Itu terjadi setelah Ayah kedatangan
seorang sahabat lamanya. Dan..., kalau tidak salah orang itu juga berjuluk
Harimau Gila! Aku sempat mendengar Ayah menyebutnya sewaktu mereka bertengkar
mulut, sampai kemudian orang itu lari dikejar-kejar Ayah..."!" Sampai di sini
Andari menghentikan. ucapannya. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir keras.
"Kau bicara apa, Andari?" tegur ibunya setengah membentak, "Tidak pantas kau
mencurigai orang yang telah begitu besar budinya terhadap kita berdua!
Apa lagi ia adalah orang yang telah merawatmu sampai besar, dan mendidikmu
dengan ilmu-ilmu silat tinggi Sebaiknya hentikan ocehanmu itu, dan segera kita
tinggalkan tempat ini untuk mencari ayahmu itu... "
"Itulah, Ibu...!" seru Andari mengejutkan, seperti baru teringat sesuatu.
"Belakangan setelah kedatangan Harimau Gila, Ayah beberapa kali meninggalkan
rumah pada waktu malam. Bahkan beberapa malam yang lalu, Ayah sampai tidak
pulang. Dan aku menemukannya jauh di luar desa ini. Ibu masih ingat dengan
ceritaku itu, bukan?"
Istri Sagotra mengangguk lemah, melihat tatapan putrinya, yang menunggu
jawabannya. "Setelah itu, Ayah lebih sering termenung dan mengurung dirinya di kamar semadi.
Dan akhirnya.., Ayah lenyap tanpa kita tahu kapan dan ke mana perginya. Padahal
seluruh keamanan desa sudah kita kerahkan untuk mencari. Namun, Ayah lenyap
seperti ditelan bumi! Nah, tidakkah tindakan Ayah ini sangat mencurigakan?"
lanjut Andari mengutarakan semua apa yang dilihat dan didengar tentang ayahnya
belakangan ini. Kini dalam sorot mata dan nada ucapannya, menimbulkan kesan
bahwa gadis remaja ini semakin menaruh kecurigaan kepada sang Ayah yang juga
seorang kepala desa.
"Tapi itu semua tidaklah dapat dijadian alasan bagimu untuk mencurigai ayahmu,
Andari! Sudahlah!
Sebaiknya kita segera berangkat untuk mencari-
nya...!" tukas ibunya tetap berkeras membantah tuduhan Andari. Perempuan ini
memang terlihat sudah mengenakan pakaian ringkas. Dan pada waktu penjaga datang
memberikan surat kepadanya, mereka berdua memang sudah bersiap untuk pergi
mencari suami dan ayah mereka, yang tiba-tiba lenyap tanpa diketahui ke mana dan
kapan perginya.
"Tunggu dulu, Ibu...!" ujar Andari, yang kelihatannya masih belum puas, "Coba
Ibu katakan, apakah benar gerombolan perampok yang menyerbu tempat tinggal kita
dulu dipimpin seorang yang bernama Ki Tambak Rejo?"
"Itu memang benar...," jawab ibunya membenarkan apa yang juga tertera di dalam
surat itu. "Lalu, bagaimana Harimau Gila bisa mengetahuinya dengan pasti"! Padahal
peristiwa itu sudah lama sekali terjadinya" Jangan-jangan..., ia memang benar-
benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentang peristiwa belasan tahun
silam itu" Kalau tidak, bagaimana mungkin ia dapat menuliskannya sama persis
baik tempat maupun waktunya?" gumam Andari sambil tak lepas menatap wajah
ibunya. "Hanya ayahmu yang bisa menjelaskannya. Itu sebabnya kita harus pergi
mencarinya...," tukas ibunya, yang kali ini tidak dibantah Andari. Lalu
melangkah keluar dari dalam rumah, menemui dan berpesan kepada penjaga.
"Kami berdua akan pergi untuk beberapa waktu.
Harap kalian urus segala sesuatunya di rumah ini.
Dan apabila suamiku sudah kembali, katakan kepada beliau agar tidak perlu
mencari kami. Karena secepatnya kami berdua akan kembali ke sini...," pesan
ibunya Andari kepada empat orang keamanan desa, yang bertugas menjaga tempat
kediaman Ki Sagotra,
kepala desanya.
*** Seorang lelaki tinggi kurus tengah melangkah lambat-lambat menyusuri tanah
berlumpur, yang sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman bunga, sedang bermekaran.
Ayunan langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa kecil
dan riang. Merasa tertarik dan penasaran, langkahnya pun diputar mendatangi
sumber suara yang meng-gelitik keingintahuannya.
Tidak berapa lama kemudian, lelaki tinggi kurus ini menemukan sumber suara itu.
Dari balik sebatang pohon, tempatnya bersembunyi, lelaki ini melihat seorang
bocah perempuan berusia sekitar lima tahun.
Melihat tingkah lucu bocah perempuan yang berlari tertatih-tatih mengejar seekor
kupu-kupu, lelaki setengah tua itu tersenyum. Menyaksikan tingkah bocah
perempuan itu, seketika timbul rasa suka dan sayangnya. Suatu perasaan asing,
yang nyaris tidak pernah dialaminya. Selama ini hidupnya dipenuhi dengan
kekerasan dan bau darah! Lelaki ini bernama Sagotra, yang juga dikenal dengan
julukan Setan Pantai Timur. Sepak terjangnya sebagai seorang penjahat tunggal,
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kadang juga menerima tugas untuk membunuh seseorang dengan imbalan cukup
besar, membuat nama Setan Pantai Timur semakin terkenal. Kali ini, secara tak
sengaja, langkahnya membawanya ke daerah sekitar kaki Gunung Dampit.
Dia sempat termenung memikirkan perasaan yang tiba-tiba menyeruak di sudut
hatinya. Suara jeritan bocah perempuan yang lucu itu membuyarkan lamunan Setan Pantai
Timur. Tubuh- nya langsung melesat ke luar dari tempat persembunyian ketika melihat bocah
perempuan itu terjerembab jatuh. Ia yang biasanya tidak pernah mempedulikan
nasib orang, kini mendadak tergerak untuk menolong bocah perempuan itu. Sikap
dan kata-kata yang diucapkannya terdengar asing bagi telinganya. Demikian lembut
dan penuh kasih, sewaktu menghibur bocah yang kini telah berada dalam
gendongannya itu.
Selagi sibuk menghibur bocah perempuan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki lembut mendatangi dari arah belakangnya. Bergegas Setan Pantai Timur
memutar tubuh. Dan..., sepasang matanya sekilas membelalak lebar, melihat
seorang wanita berparas cantik dengan kulit wajah segar kemerahan. Perempuan itu
berlari mendatangi. Rambutnya yang panjang dan tergerai lepas, terayun lembut
mengikuti langkah kakinya. Dada Setan Pantai Timur berdebur keras sewaktu sosok
perempuan yang membuatnya terpaku bagai patung itu, semakin dekat.
"Maaf, kalau putriku telah mengganggu Tuan...!"
Suara lembut dan merdu bagaikan nyanyian bidadari itu, menyelusup masuk melalui
telinga Setan Pantai Timur, membuat tokoh sesat ini memejamkan mata, seakan
ingin suara itu buru-buru lenyap dari pendengarnya. Hal itu membuat dirinya
terlena untuk beberapa saat, dan baru tersadar ketika suara merdu itu kembali
terdengar, meminta agar ia menyerahkan anak dalam pondongannya.
"Kau... kau cantik sekali, Nyi...," puji Setan Pantai Timur berterus terang,
sambil menyerahkan bocah perempuan itu. "Maaf kalau aku telah berkata
lancang...," lanjutnya sewaktu melihat kedua belah pipi wanita cantik itu
merona. Permintaan maafnya
membuat kilatan marah dalam sorot mata perempuan itu lenyap seketika.
"Terima kasih, aku harus segera pergi...," ujar perempuan cantik yang telah
membuat hati Setan Pantai Timur serasa jungkir balik. Setelah menerima putrinya,
bergegas memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
"Nyi... tunggu...!" Setan Pantai Timur berseru mencegah. Tapi, ia tidak bergerak
dari tempatnya semula. Membuat wanita cantik itu menunda langkah dan memutar
tubuhnya, berbalik.
"Ada apa, Tuan..."!" tanya perempuan cantik ini mengerutkan kening, menatap
lekat-lekat wajah lelaki di depannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap putrimu. Kebetulan aku sedang
lewat ketika melihat putrimu yang tengah mengejar seekor kupu-kupu, terjatuh.
Lalu aku membantunya berdiri...," jelas Setan Pantai Timur, yang lagi-lagi
merasa asing dengan ucapannya. Karena perkataannya demikian lembut dan sopan.
Padahal ia sudah banyak bergaul dengan perempuan cantik. Namun perempuan yang
satu ini, benar-benar harus diakui memiliki pesona yang membuat dirinya seperti
Iumpuh. Sehingga, ia ingin agar perempuan itu memandangnya sebagai orang baik-
baik. Karena saat itu juga Setan Pantai Timur sadar kalau dirinya telah jatuh
cinta kepada perempuan itu. Hal ini dapat diketahui, karena terhadap perempuan
lain, yang pernah digaulinya, tidak pernah hatinya merasakan seperti apa yang
dialami kali ini.
"Aku tahu, Tuan. Karena aku juga melihatnya.
Kebetulan Tuan lebih dulu menolongnya. Itu sebabnya aku mengucapkan terima kasih
kepada Tuan, yang telah menolong putriku," tukas perempuan cantik itu dengan suaranya
yang bagi Setan Pantai Timur terdengar sangat nikmat. Bahkan membuatnya ingin
agar perempuan itu berbicara lebih banyak.
Sayang harapannya tidak terkabul. Karena perempuan itu sudah tidak berkata apa-
apa lagi. "Mmm..., kalau tidak dianggap terlalu lancang, bolehkah aku mengetahui nama dan
suamimu..."
Dan apakah tempat tinggal Nyai berada di sekitar kaki Gunung Dampit ini...?"
tanya Setan Pantai Timur setengah memohon dengan wajah harap-harap cemas.
Khawatir kalau perempuan cantik itu menjadi marah karena pertanyaannya.
"Maaf, tanpa setahu suamiku, rasanya kurang pantas kalau aku memperkenalkan nama
kepadamu, Tuan. Cukup kau ketahui nama suamiku saja, yang disebut orang dengan
julukan Garuda Kuku Baja. Dan tempat tinggal kami memang sekitar kaki Gunung
Dampit ini. Nah, jika Tuan ingin singgah, silakan.
Suamiku selalu membuka pintu kepada siapa saja yang datang dengan maksud
baik...," ujar perempuan cantik ini, yang kemudian berlari-lari kecil
meninggalkannya.
Sagotra si Setan Pantai Timur hanya bisa menghela napas, memandangi bayangan
perempuan cantik itu yang semakin jauh. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba merasa
kosong. Serasa semangatnya ikut pergi bersama perempuan itu. Baru kali ini
Sagotra merasa hatinya merasa begitu nelangsa. Dan untuk pertama kalinya,
Sagotra merasa bahwa kehidupan-nya selama ini tidaklah lengkap. Dirinya tidak
mempunyai istri dan anak. Pertemuan yang hanya terjadi beberapa saat itu,
membuat Sagotra jatuh cinta!
Sebuah perasaan yangselama ini tak pernah di-
kenalnya. "Aku harus memiliki mereka...!" desis Sagotra dengan sorot mata tajam,
menunjukkan kebulatan tekadnya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Sagotra pun mulai menyelidiki tempat
kediaman Garuda Kuku Baja. Sebenarnya bisa saja ia merampas perempuan itu dengan
kekerasan dan memaksa untuk menjadi istrinya. Namun bukan itu yang
diinginkannya. Ia ingin agar perempuan itu menjadi istrinya dengan suka rela.
Keinginan ini membuat Sagotra berpikir keras, mencari cara untuk dapat memiliki
perempuan itu. Sampai akhirnya muncul sebuah rencana di kepalanya, yang dianggap akan dapat
mewujudkan keinginan itu. Dan untuk menjalankan rencana itu, Sagotra membutuhkan
bantuan orang lain.
"Aahh..., selamat datang di tempatku, Setan Pantai Timur..."!" seru seorang
lelaki setengah baya, yang bertubuh kekar, dan wajahnya terhias kumis tebal.
Lelaki ini tampak gembira menyambut kedatangan Sagotra.
Sagotra cuma tersenyum tipis. Dan tidak menolak sewaktu lelaki itu mengajaknya
masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar dan bagus.
"Aku memerlukan bantuanmu, Ki Tambak Rejo,"
Begitu duduk, Sagotra langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya.
Ki Tambak Rejo, seorang kepala rampok yang menganggap dirinya sebagai penguasa
daerah Hutan Pagar Jurang, tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ada
kebanggaan terselip di hatinya sewaktu mendengar Setan Pantai Timur membutuhkan
bantuannya. Karena selama ini ia mendengar dan mengetahui bahwa orang-orang
seperti dirinyalah yang justru lebih banyak meminta bantuan kepada Setan Pantai Timur.
Tentu saja permintaan yang baginya merupakan suatu kehormatan itu, langsung
Pendekar Panji Sakti 3 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pedang Keadilan 35