Pencarian

Muslihat Cinta Sang Pangeran 1

Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran Bagian 1


MUSLIHAT CINTA SANG PANGERAN Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Muslihat Cinta Sang Pangeran
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 "Sungguh sebuah kehormatan yang tiada
terkira, Banjaranpati yang bergelar Bayangan Pu-
tih Dari Selatan bersedia berkunjung ke tempat
jorok dan pengap ini. Aku Arumsari alias Dewi
Tangan Api serasa kejatuhan rembulan...."
Di ujung kalimatnya, nenek berpakaian
serba ungu itu menyungging senyum di bibir. Ke-
lopak matanya mengerjap dua kali. Kakek ber-
kuncir berpakaian serba putih mirip jubah pende-
ta tampak menyipitkan matanya. Getaran bibir-
nya jelas menunjukkan bila dia terpesona oleh
kecantikan si nenek yang masih tergambar lekat
di wajahnya. Namun, si kakek sama sekali tak
mengurangi kewaspadaannya. Memang, tidak bi-
asa dia mendapat sambutan sedemikian ramah
dari nenek yang tak lain Arumsari alias Dewi
Tangan Api. "Ah, kau jangan terlalu berlebihan, Arum.
Kita berdua yang sama-sama sudah bau tanah ini
ada baiknya menyambung lagi tali persahabatan
yang sudah lama terputus. Tapi, kau tak perlu
mengunggulkan diriku. Aku takut kepalaku jadi
besar. Aku tahu siapa diriku. Tak lebih dari ba-
dan tua yang sebentar lagi pasti menjadi santa-
pan rayap dan cacing."
Arumsari menyambung ucapan si kakek
dengan tawa kecil. Sementara, kakek berkuncir
yang tak lain Banjaranpati alias Bayangan Putih
Dari Selatan tampak terpesona untuk kedua ka-
linya. Matanya sempat melihat barisan gigi Arum-
sari yang masih rapi dan berwarna putih bersih.
"Kebetulan sekali kau datang, Banjaranpa-
ti. Karena ada sesuatu yang harus kubicarakan,
pada saatnya nanti aku pasti akan mencarimu.
Namun, kiranya Tuhan memberi kemudahan un-
tukku. Tanpa susah-payah aku mencarimu, kau
sudah menampakkan batang hidungmu. Karena
itulah, aku layak menyambutmu sebagai tamu
terhormat..."
Hati-hati sekali Arumsari menuangkan
arak merah ke kedua cawan yang telah diper-
siapkan di atas meja. Banjaranpati menerima sa-
lah satu cawan yang diulurkan kepadanya. Dan,
terkesiaplah Banjaranpati. Cawan yang telah ter-
jepit jemari tangan kanannya tak dapat diturun-
kan, melayang di atas meja!
"Bola matamu membesar, Banjaranpati.
Adakah sesuatu yang membuatmu terkejut?" ujar Arumsari dengan senyum manis
tersungging di bibir. Telapak tangan kanannya menghadap ke
cawan yang masih melayang di udara. Jelas bila
dia tengah mengerahkan tenaga dalam yang
membuat cawan itu tak dapat diturunkan oleh
Banjaranpati. "Luar biasa sekali sambutanmu ini, Arum.
Benar-benar aku merasa dirajakan...," sahut Banjaranpati, turut menyungging
senyum di bibir un-
tuk menepis keterkejutannya.
Perlahan sekali kakek berwajah halus ke-
merahan itu menarik tangan kanannya yang me-
megang cawan. Sepertinya dia tak hendak mela-
deni pameran kekuatan tenaga dalam yang se-
dang dipertontonkan oleh Arumsari. Namun tiba-
tiba, dia menegakkan punggungnya. Kedua ka-
kinya yang bersila tampak bergetar. Lalu, dia
menghirup udara lewat mulut...
Ganti Arumsari yang terkesiap. Arak merah
di dalam cawan yang masih melayang di udara
terhirup masuk ke mulut Banjaranpati.
"Hmm.... Arak tua yang benar-benar nik-
mat...," desis Banjaranpati sambil menjilati bibirnya yang basah.
Arumsari mengulum senyum, namun
hanya senyum hambar yang dapat dia perli-
hatkan. "Kau mau lagi, Banjaranpati?" tawarnya.
Banjaranpati tak memberi jawaban. Dia ta-
hu benar siapa Arumsari. Nenek itu selain keras
kepala, juga angkuh dan tak mau kalah. Bila
Banjaranpati menerima tawaran Arumsari, tidak
mustahil nenek itu akan memamerkan lagi keku-
atan tenaga dalamnya yang bisa saja membuat
Banjaranpati celaka.
"Tak perlu sungkan, Banjaranpati. Aku ta-
hu apa yang ada di hatimu. Aku akan merasa
terhina bila kau menolak tawaranku," lanjut Arumsari, suaranya berat dan
mengandung pak-saan. Banjaranpati tetap tak menjawab. Dia me-
nambah kewaspadaannya. Sementara, Arumsari
mendengus gusar, lalu mengepalkan telapak tan-
gan kanannya yang terbuka. Cawan kosong yang
melayang di atas meja meluncur turun dengan
cepat, tapi tak ada suara yang terdengar ketika
menyentuh permukaan meja.
"Terimalah...! Agar tubuhmu terasa lebih
segar...."
Arumsari menyambung ucapannya dengan
menepuk permukaan meja. Perlahan, tapi sudah
mampu menggetarkan meja kecil setinggi satu
jengkal itu. Untuk kedua kalinya Banjaranpati
terkesiap. Arak merah di dalam cawan kedua
tampak terangkat ke udara meninggalkan tem-
patnya. Dan, ketika Arumsari meniup, genangan
arak tua itu meluncur hendak mengguyur wajah
Banjaranpati! Wusss...! Tak mau dirinya dipermalukan, cepat Ban-
jaranpati mengisi paru-parunya dengan udara se-
banyak mungkin. Lalu, ditiupnya arak merah
yang masih menggenang dan meluncur ke arah-
nya. Genangan arak merah tampak tertahan di
udara dua kejap mata. Sebelum genangan arak
merah itu meluncur balik yang akan mengguyur
wajahnya, bergegas Arumsari mengibaskan tela-
pak tangan kanannya!
Wesss...! Gelombang angin menderu. Genangan arak
merah tertekan ke arah Banjaranpati. Kakek ber-
kuncir itu segera berbuat serupa. Dikibaskannya
telapak tangan kanannya ke depan. Genangan
arak merah kembali tertahan di udara.
"Sambutanmu ini sungguh luar biasa,
Arum. Tapi, kurasa aku tak bisa menerima arak
merahmu ini...," ujar Banjaranpati seraya mengibaskan telapak tangan kirinya.
Genangan arak merah bergeser ke arah Arumsari.
"Tolakanmu berarti penghinaan...."
Usai berkata Arumsari turut mengibaskan
telapak tangan kirinya untuk menahan genangan
arak merah yang hendak mengguyur wajahnya.
Namun, Banjaranpati telah menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan. Gelombang an-
gin besar menderu ganas. Genangan arak merah
melesat cepat ke arah Arumsari.
"Bangsat...!"
Nenek yang wajahnya masih tampak cantik
itu mengumpat seraya meniru gerakan Banjaran-
pati. Timbul pula gelombang angin besar. Tak ay-
al lagi, dua kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi pun bertumbukan!
Blaarrr...! Terdengar ledakan cukup keras yang mem-
buat telinga jadi pekak. Genangan arak merah
bermuncratan ke berbagai penjuru. Merasa ada
bahaya mengancam, Arumsari dan Banjaranpati
sama-sama menepukkan kedua telapak tangan ke
lantai tanah yang tertutup tikar barubu. Dalam
keadaan masih duduk bersila tubuh mereka me-
lesat ke atas. Setelah bersalto dua kali di udara, mereka mendarat bersamaan
sejauh satu tombak
dari tempat duduk mereka semula.
Arumsari dan Banjaranpati saling tatap
untuk beberapa saat. Lalu, mereka sama-sama
mengalihkan pandangan ke permukaan meja ber-
kaki pendek yang kini tampak berlubang-lubang
dan di beberapa tempat masih mengepulkan
asap. Rupanya, arak merah yang menjadi sarana
adu kekuatan tenaga dalam telah membuat meja
itu bisa jadi sedemikian rupa. Bahkan, tikar ba-
rubu yang semula diduduki Arumsari dan Banja-
ranpati juga tampak berlubang di sana-sini.
"Hmmm.... Semakin tua, kau semakin he-
bat saja, Banjaranpati," puji Arumsari, tulus.
Mata nenek itu menatap lurus poci arak di
atas meja yang juga telah berlubang-lubang.
Isinya memancar ke luar
"Sayang bila arak tua dibiarkan terbuang
percuma...," ujar Banjaranpati.
"Kau benar. Sebaiknya arak itu kita hirup
bersama-sama, Banjaranpati."
Tanpa mengedipkan mata, Arumsari
menghirup udara lewat mulut. Dilihat dari tu-
buhnya yang bergetar, jelas bila dia tengah men-
gerahkan tenaga dalam. Banjaranpati tersenyum
tipis melihat arak merah yang mancur dari lu-
bang-lubang poci terhirup masuk ke mulut Arum-
sari. Kakek yang termasyhur dengan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan' itu pun segera berbuat
serupa. Hingga dalam sekejap mata, arak merah
yang masih tersisa di dalam poci habis tanpa se-
tetes pun yang tumpah ke permukaan meja!
"Ha ha ha.,.!" Arumsari tertawa bergelak.
"Kau memang hebat sekali, Banjaranpati. Pantas bila kau menjadi salah satu guru
dari Suropati yang bergelar Pengemis Binal."
"Sudah kukatakan bila kau tak perlu men-
gumbar pujian. Arum. Aku takut kepalaku mem-
besar tanpa dapat kukendalikan. Aku tak mau
hanyut dalam kata-kata pujian."
"Hmmm.... Kau memang pandai merendah,
Banjaranpati...," sahut Arumsari seraya melangkah tiga tindak, lalu duduk
bersila di dekat meja.
Banjaranpati turut melangkah tiga tindak,
kemudian duduk berhadapan meja dengan Arum-
sari. Kedua tokoh tua itu berpandangan sejenak.
Sama-sama mengulum senyum di bibir.
"Kau katakan tadi bahwa kedatanganku ini
adalah suatu kebetulan. Kebetulan macam apa
itu" Adakah suatu urusan penting yang hendak
kau bicarakan denganku?" tanya Banjaranpati, sungguh-sungguh.
Arumsari menarik napas panjang, lalu ka-
tanya, "Kau tentu telah mengenal Dewi Ikata yang bergelar Pendekar Wanita
Gila...." "Putri tunggal Adipati Danubraja itu?"
"Ya."
"Kenapa dengan dia?"
"Dewi Ikata adalah muridku. Aku tahu bila
dia sangat mencintai Suropati...."
"Lalu?" buru Banjaranpati, penasaran.
"Aku tak mau muridku menderita karena
rasa cintanya. Aku ingin menjodohkan dia dengan
Suropati."
Mendengar ucapan Arumsari, kening Ban-
jaranpati berkerut. Kedua ujung alis putihnya
hampir bertautan. "Kau ini aneh, Arumsari," desahnya. "Kenapa kau membicarakan
perjodohan muridmu dengan diriku?"
"Karena orang yang hendak kujodohkan
dengan muridku adalah muridmu," sahut Arum-
sari, tegas. Kepala Banjaranpati kontan menggeleng.
Kerut di keningnya terlihat lagi. Sementara,
Arumsari tampak terkejut. Matanya membelalak
lebar. Dia salah mengartikan gelengan kepala
Banjaranpati. "Bila kau tak menerima tawaran baikku
untuk menjodohkan Dewi Ikata dengan Suropati,
sama artinya dengan menginjak kepalaku!" dengus si nenek, keras membentak.
"Jangan keburu naik darah. Arum. Aku
yang bodoh ini sama sekali tak merasa menjadi
guru Suropati. Oleh karenanya, aku tak bisa me-
nentukan jodoh Pemimpin Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti itu...," tukas Banjaranpati dengan suara lemah lembut. Dia tak
perlu menimpali
ucapan keras Arumsari dengan kekerasan pula.
Dia tahu benar tabiat buruk nenek yang mempu-
nyai ilmu 'Pukulan Api Neraka' yang terkenal


Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat itu. "Huh! Bila kau menolak jangan mencari-
cari alasan. Kau katakan tak merasa menjadi
guru Suropati, lalu siapa yang telah menurunkan
ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' kepa-
danya?" Banjaranpati tersenyum tipis. "Memang,
aku yang telah menurunkan ilmu itu. Tapi, bukan
berarti aku telah menjadi gurunya. Waktu itu,
aku hanya terpanggil untuk menghentikan keke-
jaman Aki Barondeng alias si Mayat Hidup yang
tak lain dari saudara seperguruanku sendiri. Un-
tuk dapat melumpuhkan kesaktiannya, tak ada
cara lain bagiku kecuali menurunkan ilmu 'Kalbu
Suci Penghempas Sukma' kepada Suropati," tu-turnya. (Untuk lebih jelasnya,
silakan baca serial Pengemis Binal dalam episode : "Bidadari Lentera Merah").
"Itu sudah cukup bagi Suropati untuk
menganggapmu sebagai guru. Dan sebagai seo-
rang murid, Suropati pun harus turut dan patuh
kepadamu," tandas Arumsari.
"Tapi, tidak untuk memaksakan jodohnya."
Arumsari mendengus gusar "Kau katakan
di awal pertemuan kita bahwa kau datang untuk
mengikat lagi tali persaudaraan kita yang telah
lama terputus. Lalu, apa arti dari penolakan ini"
Kenapa kau tidak bersedia menjodohkan Suropati
dengan Dewi Ikata" Bukankah itu bisa mempere-
rat tali persaudaraan kita?"
"Untuk mempererat tali persaudaraan, tak
berarti kita harus menjodohkan Suropati dengan
Dewi Ikata. Sebenarnya, kau lebih tepat membica-
rakan hal ini dengan Gede Panjalu. Sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itulah yang le-
bih berhak memberikan jawaban. Lagi pula, Dewi
Ikata masih mempunyai orangtua. Kenapa kau
tak membicarakan dulu hal ini kepada Adipati
Danubraja" Dan kau mesti ingat juga, Arum. Soal
jodoh tak bisa dipaksakan. Biarlah Dewi Ikata
dan Suropati sendiri yang menentukan...."
"Suropati pernah berjanji kepada Dewi Ika-
ta untuk mengikat tali perkawinan. Tapi, aku sa-
ma sekali tak percaya pada Bocah Gemblung itu.
Di sana-sini dia punya kekasih. Dan tampaknya,
dia pun senang mengumbar sifat mata bongsang-
nya. Oleh karena aku tak mau Dewi Ikata mende-
rita tekanan batin, aku ingin segera Suropati di-ikat dalam tali perkawinan
dengan Dewi Ikata.
Atau paling tidak, mereka dipertunangkan dulu.
Biar semua gadis yang selalu mengejar-ngejar Su-
ropati tahu bila Bocah Gemblung itu telah menja-
di milik Dewi Ikata. Dengan demikian, Suropati
akan menghentikan kebiasaan buruknya."
Banjaranpati mendesah panjang. Kerut di
keningnya terlihat makin kentara. Dia tak tahu
harus berbuat apa. Mengabulkan permintaan
Arumsari, dia merasa tak berhak. Dan bila meno-
lak, sama halnya dengan menanam duri di jan-
tung nenek keras kepala yang suka memaksakan
kehendak itu. "Apa lagi yang kau pikirkan, Banjaranpati?"
tegur Arumsari yang melihat Bayangan Putih Dari
Selatan cuma mendesah-desah saja.
Banjaranpati menatap lekat wajah Dewi
Tangan Api, lalu katanya, "Aku bisa mengerti apa yang kau inginkan, Arum. Aku
tahu kau sangat
mencintai Dewi Ikata muridmu, hingga kau ber-
maksud mewujudkan kebahagiaan gadis itu. Na-
mun tentang perjodohan yang kau mintakan ini,
aku belum bisa memberi jawaban. Aku mesti me-
rundingkannya terlebih dahulu dengan Gede Pan-
jalu dan Suropati sendiri."
"Hmmm.... Begitukah pikiran yang ada di
benakmu" Aku ingin bertanya sekarang, jawablah
dengan sejujurnya. Apakah kau tidak senang bila
pada suatu saat nanti Suropati dan Dewi Ikata
bersanding bahagia di pelaminan?"
"Bila mereka yakin akan mendapat keba-
hagiaan, aku turut bahagia. Tak ada alasan bagi-
ku untuk menghalangi perjodohan mereka."
"Singkat kata, kau setuju bila aku menjo-
dohkan Dewi Ikata dengan Suropati?"
"Secara pribadi, aku setuju. Namun, kau
mesti ingat kedudukanku, Arum. Aku sama sekali
tak dapat memaksakan kehendak terhadap Suro-
pati, termasuk menentukan siapa jodohnya."
Mendengar kalimat Banjaranpati yang di-
ucapkan dengan nada rendah penuh persahaba-
tan, Arumsari tersenyum senang. Hatinya sedikit
lega walau jawaban Banjaranpati tidak sepenuh-
nya sesuai dengan harapannya.
Sebelum Arumsari mengungkapkan rasa
hatinya, tiba-tiba sepuluh batang obor yang dipasang di dinding ruangan padam.
Ruangan yang sebenarnya berada di dalam gua itu kontan gelap-
gulita. Padahal, tak ada hembusan angin ken-
cang. Bahkan, desiran kecil pun tak terasa. Ba-
gaimana mungkin obor-obor itu bisa padam" Se-
mentara, ketika terjadi bentrokan tenaga dalam
Arumsari dan Banjaranpati yang menimbulkan
gelombang angin besar pun tak mampu mema-
damkannya"
Keterkejutan mereka tiada terkira. Di balik
itu, tersimpan rasa kagum akan kehebatan orang
yang dapat memadamkan sepuluh obor secara
bersamaan tanpa diketahui di mana dia berada.
Namun karena Arumsari dan Banjaranpati adalah
dua tokoh tua yang sudah matang pengalaman,
mereka sama sekali tak menjadi gentar ataupun
ngeri. Mereka tetap duduk bersila di tempat mas-
ing-masing. "Apakah di luar sana ada manusia berke-
pandaian dewa yang hendak memberi pelajaran?"
Arumsari yang punya sifat berangasan berteriak
lantang, tak dapat menahan desakan yang ada di
hatinya. Tiada sahutan yang terdengar. Suasana
menjadi sunyi karena Arumsari dan Banjaranpati
sama-sama diam menunggu jawaban.
"Siapakah yang datang" Walau kau dede-
mit buruk rupa, tunjukkan batang hidungmu.
Menjawablah, jangan bersembunyi terus!"
Arumsari berteriak lebih lantang. Dia per-
tajam pendengarannya. Namun, tetap saja tak
dapat menangkap suara-suara yang menandakan
bahwa di situ telah hadir seorang manusia.
Karena terbawa rasa penasaran, Arumsari
bangkit dari duduknya. Banjaranpati mengikuti.
Tapi sebelum melompat keluar, mereka dike-
jutkan oleh suara dingin yang begitu dekat den-
gan tempat mereka berdiri.
"Tak perlu kalian menjadi gusar. Aku telah
berada di dekat kalian."
Keterkejutan Arumsari dan Banjaranpati
tak dapat diperkirakan lagi ketika mendengar su-
ara yang begitu dekat dengan telinga itu. Sebagai tokoh tua yang berkepandaian
tinggi, mereka dapat memastikan bila suara yang mereka dengar
bukan diperdengarkan melalui ilmu mengirim su-
ara jarak jauh.
Arumsari dan Banjaranpati pun tahu bila
ruangan yang sedang mereka tempati hanya
mempunyai satu pintu masuk. Mungkinkah ada
manusia yang bisa bergerak sedemikian cepat
tanpa meninggalkan desiran angin" Mungkinkah
tokoh itu memiliki ilmu siluman"
Tak mau mendapat celaka, cepat Arumsari
dan Banjaranpati meningkatkan kewaspadaan.
Mereka sama-sama mempertajam indera penden-
garan. Sementara, tubuh mereka pun mengejang
kaku akibat pengerahan tenaga dalam untuk
membentengi diri, berjaga-jaga dari kemungkinan
mendapat serangan gelap.
Mendadak, terdengar letupan kecil yang
dibarengi menyebarnya percikan api, Arumsari
dan Banjaranpati terperangah ketika ruangan te-
rang kembali karena sepuluh obor menyala lagi.
Tampak kemudian, seorang pemuda berpakaian
kuning gemerlap mirip pakaian pembesar kera-
jaan, berdiri tegak dengan punggung hampir me-
nyentuh dinding ruangan yang berupa tanah ca-
das. Wajah pemuda itu cukup tampan. Alisnya
tebal, yang ujung-ujungnya hampir bertautan.
Sorot matanya tajam menusuk, pertanda dia
punya kecerdasan dan kepandaian tinggi.
Karena kesal, terlebih lagi untuk mengukur
ketinggian ilmu kesaktian tamu tak diundang itu, Arumsari melontarkan dua belas
biji teratai merah. Semuanya mengancam jalan darah penting!
Srattt...! Betapa terkejutnya Arumsari. Sebelum me-
nyentuh sasaran, kedua belas biji teratai merah
yang dilontarkan dengan tenaga dalam penuh itu
lenyap tanpa bekas, seperti terhisap kekuatan ka-sat mata! Bahkan, tanpa
memperdengarkan suara
sedikit pun. Karena apabila si pemuda yang men-
jadi sasaran berkelit, biji-biji itu tentu akan membentur dinding yang pasti
menimbulkan letupan-
letupan keras. Bagaimana mungkin senjata raha-
sia Arumsari itu bisa menghilang" Benarkah si
pemuda memilik ilmu siluman"
Tanpa sadar Arumsari mendelikkan mata.
Mulutnya pun turut terbuka lebar. Banjaranpati
yang sudah tahu tingkat kesaktian Arumsari pun
turut memandang heran. Hanya saja, kakek ber-
pakaian serba putih itu lebih bisa mengendalikan keterkejutannya. Hingga,
mulutnya tidak sampai
terbuka lebar. Ketika ruangan dipenuhi suara tawa dingin
si pemuda, barulah Arumsari dan Banjaranpati
menyadari keadaan. Karena masih belum percaya
pada apa yang baru saja mereka lihat, kedua to-
koh tua itu mengedarkan pandangan ke lantai
ruangan. Mereka ingin tahu kalau-kalau dua be-
las biji teratai merah rontok. Tapi ternyata, dua belas biji teratai merah itu
benar-benar lenyap! Di lantai ruangan tak terdapat barang sebiji pun
senjata rahasia Arumsari itu!
Perlu diketahui, puluhan tahun lamanya
Arumsari memperdalam kemahirannya dalam
menggunakan senjata rahasia yang berapa biji te-
ratai merah. Serta, puluhan tahun berkelana, be-
lum pernah dia menjumpai tokoh sakti yang begi-
tu mudah menghalau senjata rahasianya tanpa
sedikit pun menggerakkan tubuh.
"Kalian berdua mendapat kehormatan un-
tuk melaksanakan amanat Pangeran Sadis."
Arumsari dan Banjaranpati terkejut untuk
kesekian kalinya. Sosok pemuda tampan berpa-
kaian kuning gemerlap tiba-tiba lenyap tanpa be-
kas! Hanya meninggalkan suara dingin yang
sanggup mendirikan bulu roma....
Belum hilang keterkejutan Arumsari dan
Banjaranpati ketika hidung mereka mencium bau
busuk yang amat menyengat. Tahulah mereka bi-
la di atas meja berkaki pendek telah tergeletak
benda bulat terbungkus kain putih yang penuh
noda kecoklatan yang dapat dipastikan cairan da-
rah kering. Menyaksikan keluarbiasaan si pemuda
yang mengenalkan dirinya sebagai Pangeran Sa-
dis, mau tak mau Arumsari dan Banjaranpati jadi
bergidik ngeri. Mereka sadar sepenuhnya bila to-
koh muda itu menginginkan nyawa mereka, sama
mudahnya dengan membalikkan telapak tangan.
Untuk beberapa saat Arumsari dan Banja-
ranpati saling pandang. Lalu, secara bersamaan
pandangan mereka beralih ke bungkusan yang
tergeletak di atas meja.
"Bukalah bungkusan itu, Banjaranpati...,"
pinta Arumsari sambil menutup lubang hidung
dengan ujung lengan bajunya.
Banjaranpati tak menjawab. Tapi tampak-
nya dia meluluskan permintaan Arumsari. Den-
gan menahan bau busuk yang begitu menyengat,
cepat dia membuka ikatan kain putih. Terbelalak-
lah mata Banjaranpati. Demikian pula dengan
Arumsari. Tanpa sadar mereka meloncat mundur.
Bungkusan kain putih itu ternyata berisi kepala
manusia yang sudah rusak! Di dalam bungkusan
terdapat pula dua sampul surat berwarna kuning.
Setelah Arumsari dan Banjaranpati meneliti, me-
reka dapat memastikan bila kepala tanpa badan
itu adalah milik Dewi Ikata!
Tak ayal lagi, menggembor keraslah Arum-
sari. Nenek itu kontan menangis menggerung-
gerung menyesali kematian Dewi Ikata muridnya.
Sungguh tak dapat digambarkan lagi betapa han-
cur luluh perasaan Arumsari. Kesedihan meng-
hantam telak, membuat sesak jalan napasnya.
Baru saja dia membicarakan perjodohan Dewi
Ikata dengan Suropati, bagaimana mungkin mu-
ridnya itu telah tergeletak di atas meja berupa kepala tanpa badan"
Namun sebagai tokoh tua yang sudah ma-


Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tang pengalaman, Arumsari cepat mengendalikan
kedukaannya. Dia merasa malu untuk memperli-
hatkan cucuran air mata di hadapan Banjaranpa-
ti, yang sama saja memperlihatkan kelemahan ji-
wanya. Perlahan, dengan mata merah bengkak ka-
rena menahan tangis, Arumsari mengambil salah
satu sampul kuning di dekat kepala tanpa badan
itu. Banjaranpati turut membaca tulisan yang tertera. Bunyinya : Jangan buka
sampul ini, kecuali yang berhak!
Sedang di sampul kedua, mereka menda-
patkan sehelai surat yang bertuliskan perintah : Serahkan surat dan kepala ini
kepada seseorang yang beberapa hari lagi akan melalui tempat ini!
Setelah membaca tulisan itu, Arumsari dan Banjaranpati saling pandang lagi. Hati
Banjaranpati tersentuh haru melihat kedukaan yang jelas
tergambar di wajah Arumsari. Kakek itu bisa me-
rasakan betapa terpukulnya hati Arumsari yang
kehilangan seorang murid yang amat dicintainya.
Mendadak, Arumsari menggeram keras.
Cepat sekali tangannya menyambar sampul kun-
ing yang belum terbuka. Tapi sebelum dia sempat
membuka sampul itu, Banjaranpati telah men-
cekal pergelangan tangannya.
"Kita tak berhak untuk mengetahui isinya!"
ujar Bayangan Putih Dari Selatan dengan suara
berat. "Persetan dengan semua itu! Aku ingin ta-hu apa maksud Setan Laknat itu
membunuh mu- ridku!" bentak Arumsari seraya menarik tangan kanannya.
"Jangan!"
Mendengar bentakan keras Banjaranpati,
Arumsari kontan mengurungkan niatnya untuk
membuka sampul kuning di tangannya. Tiba-tiba,
darah nenek itu bergolak naik. Amarahnya me-
luap. Dengan sinar mata berapi-api, ditatapnya
wajah Banjaranpati.
"Tak perlu kau menghalangi keinginanku,
Banjaranpati! Aku bisa kalap untuk mengadu jiwa
denganmu!"
"Sabarlah, Arum. Tenangkan, dulu pera-
saanmu...," ucap Banjaranpati bernada sedih.
"Aku bukan hendak menghalangi keinginanmu.
Hanya saja, kau mesti ingat bahwa orang yang
berjiwa pendekar akan memegang teguh amanat
yang diembankan kepadanya...."
"Walau orang itu seorang durjana yang te-
ramat kejam"!" tukas Arumsari.
Banjaranpati tersentak melihat pandangan
Arumsari yang semakin berapi-api. Namun sebe-
lum dia sempat mengucapkan sepatah kata lagi,
Arumsari telah menghentakkan telapak tangan
kanannya ke depan, mengarah ulu hati!
"Uts...!"
Cepat Banjaranpati meloncat ke samping.
Namun, tak urung kain bajunya terbakar oleh
sambaran angin pukulan Arumsari yang menggu-
nakan ilmu 'Pukulan Api Neraka'. Rupanya, da-
lam kemarahannya, Arumsari jadi lupa diri. Se-
hingga, dia berniat membunuh Banjaranpati yang
sama sekali tak bersalah.
"Sadarlah, Arum...," ujar Banjaranpati sambil menepuk-nepuk api yang menjilati
kain bajunya. Arumsari tak memperhatikan ucapan ka-
kek itu. Tangannya menyobek sampul kuning....
"Jangan...!" sergah Banjaranpati seraya meloncat untuk merampas sampul kuning di
tangan Arumsari yang telah terbuka.
2 Kedatangannya di kota Kadipaten Bumi-
raksa bertepatan hari telah jatuh dalam dekapan
malam. Sang Candra dalam bulatan penuh dike-
dipi tebaran bintang seperti sedang bercanda di
layar hitam. Gelap tak begitu berkuasa. Apalagi
lampu-lampu kota cukup memberi sinar terang.
Sehingga, langkah kaki Suropati sama sekali tak
mendapat kesulitan
Baru saja menapaki jalan utama kota, re-
maja tampan berpakaian putih penuh tambalan
itu menghentikan langkah. Kakinya terasa berat
untuk dilangkahkan lagi. Kelopak matanya sulit
dibuka berlama-lama. Kantuk menyerang, terba-
wa kelelahan yang menggayuti badannya. Dia
memang baru melakukan perjalanan jauh dari
kota Kadipaten Tanah Loh.
Suropati mengucak-ucak matanya, namun
rasa kantuk tetap tak mau hilang. Beberapa kali
dia menguap lebar. Tanpa sadar, dia menggerutu
panjang-pendek.
"Huh! Tak dapat aku melanjutkan langkah
ke Kuil Saloka. Lebih baik aku ke Penginapan
Mawar. Biarlah dingin menusuk tulang asal aku
dapat segera beristirahat..."
Sambil garuk-garuk kepala, remaja yang
sering berperilaku konyol itu melanjutkan lang-
kah kakinya, membelok ke kiri jalan. Beberapa
orang yang berpapasan dengannya sama sekali
tak dia hiraukan. Suasana kota sudah mulai sepi
karena hari telah merayap ke tengah malam.
Sesampai di Penginapan Mawar, Suropati
bukannya masuk melalui pintu besar untuk pe-
san kamar, melainkan menyelinap di sisi kanan
bangunan. Begitu mendapatkan tempat gelap
yang tak terjangkau sinar lampu, dia langsung
merebahkan tubuh. Dia tak perlu alas karena
pinggiran bangunan penginapan itu berlantai cu-
kup bersih. Namun baru saja dia mengatupkan
kelopak mata, telinganya menangkap suara tan-
gis. Asalnya dari kamar di tingkat atas.
"Uuuhhh...! Malam-malam begini, kenapa
mengumbar tangis"! Mengganggu orang tidur sa-
ja!" gerutu Suropati lagi.
Remaja konyol bergelar Pengemis Binal itu
miringkan tubuhnya dengan perasaan jengkel.
Dia mendekap daun telinganya kuat-kuat, tapi
suara tangis itu tetap terdengar. Didekapnya lebih kuat daun telinganya, tapi
suara tangis itu tetap saja terdengar. Karena ledakan rasa jengkel, dia meloncat
bangun. "Aku ingin tahu siapa pengumbar tangis
itu. Apakah dia baru saja kehilangan orang yang
sangat dicintainya, sehingga membuat hatinya
begitu sedih?"
Mengikuti suara hatinya, Suropati merayap
ke dinding bangunan walau rasa kantuk masih
menyerangnya. Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah sedemikian
tinggi, mudah saja bagi Suropati untuk menemu-
kan kamar tempat suara tangis berasal.
Jendela kamar itu masih terbuka. Tapi,
Suropati tak dapat melihat ke dalam karena tertutup tirai dari kertas. Untuk
dapat mengintip, Suropati melubangi tirai kertas itu dengan ujung li-dahnya.
Kening Suropati berkerut setelah dapat
melihat siapa yang tengah menangis. Seorang
wanita setengah baya berpakaian sederhana ber-
warna kuning tampak berlutut di sisi pembarin-
gan. Bahunya bergoyang-goyang terbawa isakan
tangisnya. Suropati terkejut karena di antara isakan tangis wanita itu ada
menyebut-nyebut nama
yang sudah amat dikenalnya.
"Dewi Ikata.... Dewi Ikata.... Kenapa kau
pergi begitu cepat..." Dewi Ikata.... Kasihan sekali
kau..." Begitulah suara di antara isakan tangis yang didengar Suropati. Maka
saat itu juga, pikiran tak enak menggeluti benak Suropati. Rasa
kantuknya kontan lenyap. Terbawa rasa penasa-
ran dan bayangan buruk yang muncul di depan
matanya, Suropati merobek tirai kertas, lalu meloncat masuk.
Terkejut bukan main wanita setengah baya
yang tengah menangis. Saking terkejutnya, dia
meloncat bangun dan hampir jatuh terjengkang
karena kakinya terpeleset. Sementara, tangisnya
pun kontan terhenti, berganti jerit ketakutan.
"Sssttt...! Aku bukan setan atau hantu gen-
tayangan. Aku manusia!" ujar Pengemis Binal dengan konyolnya.
Sinar mata nyalang si wanita setengah
baya langsung meredup setelah tahu bila yang
menerobos masuk ke kamarnya adalah seorang
remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan
yang dikenalinya sebagai Suropati alias Pengemis Binal. Namun, air mata wanita
itu mengucur deras lagi. Cepat sekali dia menghambur dan meme-
luk kaki Suropati. Mulutnya tiada henti meratap.
"Dewi Ikata.... Dewi Ikata...," ucap si wanita setengah baya.
"Apa yang terjadi denganmu" Kenapa kau
menangis" Kenapa pula kau menyebut-nyebut
nama Dewi Ikata?" buru Suropati, amat penasaran.
Wanita berbaju kuning melepaskan pelu-
kannya pada kaki Suropati. Ditatapnya wajah
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu dengan air mata menganak sungai. Untuk be-
berapa lama dia tak mampu mengucapkan sepa-
tah kata pun. Hanya isakan tangis yang dapat dia perdengarkan.
"Tenangkan hatimu.... Lalu, ceritakan apa
yang terjadi... Kau menyebut-nyebut nama putri
tunggal Adipati Danubraja. Apa yang terjadi den-
gan gadis itu. Berceritalah...," pinta Suropati, semakin penasaran.
"Suro...," desis wanita setengah baya.
"Ya. Aku Suropati. Aku pun tahu bila kau
inang pengasuh Dewi Ikata. Cobalah kendalikan
perasaanmu, lalu berceritalah. Jangan buat aku
mati berdiri karena penasaran. Apa yang terjadi
dengan Dewi Ikata...?"
Karena tak sabar, Suropati berjongkok, dan
mengguncang-guncangkan bahu wanita setengah
baya, yang memang inang pengasuh Dewi Ikata
alias Pendekar Wanita Gila.
Dengan ujung lengan bajunya, inang pen-
gasuh Dewi Ikata yang bernama Palupi itu meng-
hapus airmatanya. Kemudian, ditatapnya wajah
Suropati dengan sinar mata redup penuh kedu-
kaan yang amat dalam. Namun, rasa penasaran
dalam diri Suropati mengalahkan rasa harunya.
Dia guncang-guncangkan lagi bahu Palupi. Hing-
ga, wanita setengah baya itu mengeluh kesakitan
karena tanpa sadar Suropati mencengkeram ba-
hunya terlalu kuat
"Ceritakan apa yang terjadi dengan Dewi
Ikata...!" pinta Suropati, setengah membentak.
Bayangan buruk berkelebatan di benaknya. Dewi
Ikata adalah gadis yang sangat dekat di hatinya.
Wajar apabila dia begitu mengkhawatirkan kea-
daan murid Dewi Tangan Api itu.
"Dewi Ikata...," desah Palupi seraya mendekap wajahnya. Airmatanya jatuh
bercucuran lagi.
"Aku bisa gila bila kau hanya menyebut-
nyebut nama Dewi Ikata terus! Ceritakan apa
yang terjadi! Apakah Dewi Ikata tertimpa musi-
bah"!" bentak Suropati. Tangannya mengangkat dagu Palupi, agar wanita setengah
baya itu menatap ke arahnya.
"Ya, Suro.... Dewi Ikata tertimpa musi-
bah...," beri tahu Palupi, pelan sekali. Hampir tak terdengar.
"Apa" Benar Dewi Ikata tertimpa musibah"
Musibah apa?" bum Suropati dengan hati semakin was was.
Palupi menarik napas panjang. Dicobanya
untuk menghalau kedukaan di hatinya. Usai
menghapus airmatanya, dia bercerita.
"Tiga hari yang lalu, Dewi Ikata mengajak-
ku pergi dari Pendapa Kadipaten. Dia tidak mem-
beri tahu hendak pergi ke mana. Waktu kutanya
dia malah marah-marah...."
"Lalu?" desak Suropati, tak sabar.
"Sesampai di tepi hutan yang sudah cukup
jauh dari kota Kadipaten Bumiraksa ini, muncul
seorang pemuda tampan berpakaian kuning ge-
merlap mirip bangsawan kerajaan. Dewi Ikata dan
pemuda itu terlibat perang mulut. Aku tak tahu
apa masalahnya...."
"Kau kenal siapa pemuda itu?"
Palupi menggeleng. "Aku tak kenal dia. Ta-
pi kepada Dewi Ikata, dia mengenalkan diri seba-
gai Pangeran Sadis."
"Pangeran Sadis?" Kening Suropati berkerut rapat Dicobanya untuk mengingat-ingat
siapa sebenarnya tokoh itu. Namun, otaknya segera
menemui jalan buntu. Dia merasa belum men-
genal. Gelar Pangeran Sadis masih sangat asing
baginya. "Perang mulut jadi ramai. Lalu...."
Suropati mendelikkan mata karena Palupi
tidak segera melanjutkan ceritanya. Malah, me-
nangis terisak-isak lagi.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Dewi
Ikata" Apakah kemudian bertempur dengan Pan-
geran Sadis itu?" desak Suropati, tak mempedulikan kedukaan Palupi. Pikirannya
jadi kalut ter-
bawa kekhawatiran.
Kepala Palupi mengangguk lemah. "Dia
bertempur dengan Pangeran Sadis. Dewi Ikata....
Dewi Ikata kalah...."
"Lalu" Dia terluka?"
"Tidak hanya terluka...."
Mendelik mata Suropati mendengar ucapan
Palupi. Jalan napasnya terasa buntu mendadak.
Apalagi setelah melihat Palupi meneteskan airma-
ta kembali.

Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang kau maksud, Mbok" Kenapa kau
katakan Dewi Ikata tidak hanya terluka" Apakah
dia...?" Suropati tak mampu melanjutkan kalimatnya. Cepat dia usir bayangan
buruk yang ada di
benaknya. Namun, tetap saja hatinya berdebar-
debar tak karuan.
"Maafkan aku. Suro...," desis Palupi seperti menyesali peristiwa yang telah
terjadi. "Kenapa kau minta maaf" Segeralah lan-
jutkan ceritamu tadi.... Aku benar-benar bisa ma-ti penasaran!"
Palupi menatap wajah Pengemis Binal le-
kat-lekat. "Kau mencintai Dewi Ikata?" tanyanya dengan bola mata berkaca-kaca.
Suropati menelan ludah. Kerongkongannya
terasa kering mendadak. Dengan perasaan galau
dia membalas tatapan Palupi. "Apa maksud pertanyaanmu, Mbok?"
"Jawablah pertanyaanku dengan sejujur-
nya. Aku ingin tahu isi hatimu. Aku ingin tahu
perasaanmu terhadap Dewi Ikata...."
Pengemis Binal terdiam. Tapi melihat ke-
sungguhan Palupi, akhirnya dia menjawab, "Ya.
Aku mencintai Dewi Ikata, Mbok...."
"Sungguh?"
"Ya."
"Kalau begitu, kau harus segera membalas
kematian putri tunggal Gusti Adipati Danubraja
itu." "Hah"!"
Terkejut Suropati tiada terkira. Melebihi
keterkejutannya andai dia tersambar petir di
siang bolong. Hingga tanpa sadar, dia meloncat ke belakang dengan bola mata
melotot lebar seperti
hendak keluar dari rongganya. Sementara, na-
pasnya pun terasa menemui jalan buntu, Jan-
tungnya pun terasa berhenti berdetak. Hingga un-
tuk beberapa lama,
Suropati terlihat megap-megap bagai see-
kor ikan yang kehabisan air.
"Ap... apa yang kau katakan, Mbok" De-
wi.... Dewi Ikata sudah... sudah...," ucap Suropati, terbata-bata.
"Kau harus membalas kematiannya, Suro!
Kau harus membuat perhitungan dengan Pange-
ran Sadis!"
"Jadi... jadi, benar bila Dewi Ikata telah
meninggal?"
Palupi menegaskan ceritanya dengan ang-
gukan kepala. Hati Suropati kontan terasa dira-
jang seribu pedang tajam. Pedih tiada terkira!
"Ika.... Ika...," desahnya berulang kali.
"Kau harus membalas kematian kekasihmu
itu, Suro! Harus!" ujar Palupi, pandangannya kembali nanar dengan dengus napas
memburu, menyimpan dendam-kesumat dalam dada.
"Di mana... di mana jenazah Ika sekarang,
Mbok...?" tanya Suropati, menguatkan diri. Namun, butiran mutiara bening
bergulir juga dari
sudut matanya. Memang, siapa yang tak akan se-
dih dan terpukul hatinya mendengar berita kema-
tian kekasihnya"
"Kau harus membalas kekejaman Pangeran
Sadis itu, Suro!" sahut Palupi. "Dia memenggal kepala Dewi Ikata, lalu
membawanya pergi entah
ke mana. Aku yang bodoh dan tak mampu ber-
buat apa-apa ini hanya dapat menangis di sisi
badan tanpa kepala, kemudian menguburkan-
nya...." "Oh...," keluh Suropati. "Apakah Gusti Adipati sudah tahu akan
peristiwa ini?"
"Belum. Aku tidak berani memberitahukan-
nya...." Pengemis Binal menatap lekat wajah Palupi. Kerut-merut di wajah wanita
itu menggambar-
kan kesedihan hatinya. Walau Palupi dan Dewi
Ikata tidak mempunyai pertalian apa-apa, tapi sejak kecil dialah yang mengasuh
putri tunggal Adipati Danubraja itu. Sehingga, kepergian gadis itu membuatnya
sangat kehilangan.
"Bagaimanapun juga kau harus memberi-
tahukan peristiwa ini kepada Gusti Adipati. Wa-
lau sangat menyedihkan, tapi itu lebih baik. Gusti Adipati harus tahu. Besok
pagi-pagi sekali kau
harus kembali ke Pandapa Kadipaten, Mbok. Ka-
takan apa yang terjadi. Gusti Adipati tidak akan menyalahkan dirimu. Jadi, kau
tidak perlu takut."
Usai mengucapkan pesannya, Suropati
bangkit berdiri. Ditatapnya sebentar wajah Palupi.
Lalu, dia membalikkan badan untuk segera me-
lompat turun lewat jendela.
"Kau hendak ke mana, Suro?" cegah Palu-pi.
"Mencari pemuda kejam yang menamakan
dirinya Pangeran Sadis itu," jawab Pengemis Binal tanpa menoleh.
"Tunggu dulu!"
"Ada apa lagi, Mbok" Aku harus cepat per-
gi. Aku tak mau petugas penginapan memergoki-
ku berada di kamarmu. Aku bisa dituduh berbuat
yang bukan-bukan."
"Pangeran Sadis meninggalkan sesuatu."
Pengemis Binal membalikkan badan. Palupi men-
geluarkan sampul kuning dari balik bajunya.
Pengemis Binal menatapnya dengan kening ber-
kerut rapat. "Sengaja Pangeran Sadis tidak membu-
nuhku, karena aku diperintahkannya untuk me-
nyampaikan benda ini kepada kekasih Dewi Ikata.
Kupikir, kekasih Dewi Ikata adalah kau. Maka, terimalah...."
Suropati menerima sampul kuning yang
disodorkan Palupi dengan hati berdebar-debar.
Mengelamlah parasnya setelah membaca surat
yang tersimpan di dalam sampul kuning.
Aku tahu bila kematian Dewi Ikata sangat
memukul hatimu. Tapi, kau tak perlu membiarkan rasa sedihmu berlarut-larut. Kau
bisa membalas kematiannya. Karena itu, datanglah ke puncak Bukit Ranuglagah
secepatnya. Pangeran Sadis "Keparat!" umpat Pengemis Binal dengan darah bergolak naik sampai ke ubun-ubun.
Ditatapnya sebentar wajah Palupi, lalu dia meloncat
turun lewat jendela. Dan, hilanglah sosok Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu ter-
telan kegelapan malam.
* * * Sang Baskara sudah beranjak naik ketika
Suropati menginjakkan kaki di lereng Bukit Ra-
nuglagah. Tak dia pedulikan rasa pegal dan kan-
tuk yang mendera. Dia harus segera menjumpai
Pangeran Sadis. Sakit hatinya harus terbalaskan.
Namun, badannya yang kurang tenaga membuat
perjalanan jadi sedikit lambat.
Suropati menapaki jalan kecil yang di ka-
nan-kirinya diapit barisan pohon cemara. Pohon-
pohon yang tumbuh tegak lurus itu semuanya
berwarna hijau, seperti selimut hijau yang mela-
pisi seluruh permukaan bukit.
Jalan yang dilalui Suropati cuma selebar
dua kaki. Jalan setapak yang menuju ke puncak
itu tidak saja naik turun, tapi juga berbelit-belit seperti usus kambing.
Belum seberapa jauh Suropati mengayun-
kan langkah, mendadak telinganya menangkap
suara napas orang yang diiringi rintih kesakitan.
Cepat Suropati mengempos tubuh untuk mencari
dari mana suara itu terdengar. Dan, terkejutlah
dia ketika melihat seorang nenek berpakaian ser-
ba ungu tengah duduk bersandar di batang po-
hon cemara. Wajah nenek itu masih kelihatan
cantik. Namun, dari sikapnya jelas dia sedang
menderita sakit yang amat hebat. Mulutnya tiada
henti merintih-rintih. Napasnya pun terdengar
ngorok seperti ayam habis disembelih.
"Siapa kau?" tanya Pengemis Binal seraya berjalan mendekati. Namun, dia terkejut
lagi setelah mengenali siapa nenek berpakaian serba ungu
itu. Dia tak lain dari Arumsari alias Dewi Tangan Api! Belum hilang keterkejutan
Suropati ketika
Arumsari mengangkat tangan kanannya. Tapi, se-
gera terjatuh karena dia sudah tak bertenaga lagi
"Suropati...," desah Arumsari, menguatkan diri. Pengemis Binal bergidik ngeri
melihat kedua lengan baju Arumsari robek lebar, menam-
pakkan kulit lengannya yang berlubang-lubang.
Dari lubang-lubang luka itu mengalir darah ber-
warna kehitaman. Sedangkan di kedua pelipisnya
keluar keringat yang juga berwarna kehitaman.
Pengemis Binal menduga bila Arumsari
tentulah habis melakukan pertempuran melawan
tokoh yang amat sakti. Pengemis Binal tahu benar ketinggian ilmu guru Dewi Ikata
itu. Maka, Pengemis Binal tak dapat membayangkan kesaktian
tokoh yang berhasil melukai Arumsari sedemikian
mengenaskan. Lalu, siapa tokoh itu" Apakah dia
yang bergelar Pangeran Sadis itu" Dan, luka-luka
yang diderita Arumsari ada hubungannya dengan
dendam atas kematian Dewi Ikata"
"Kau... kau terluka amat parah. Nek. Aku
harus segera menolongmu...," ujar Suropati seraya memeriksa keadaan Dewi Tangan
Api. Se- mentara yang diperiksa cuma pasrah ketika Su-
ropati menotok beberapa jalan darah di tubuh-
nya. "Aku harus membawamu ke Bukit Rawan-
gun. Kau harus mendapat pertolongan Kakek Wa-
jah Merah," ujar Suropati, menyebut nama tabib pandai yang pernah beberapa kali
menyelamatkan nyawanya.
Arumsari menggeleng. "Totokan yang kau
berikan sudah cukup meringankan rasa sa-
kitku...," tolaknya, lirih.
"Tapi, luka dalammu belum sembuh. Akan
kusalurkan hawa murni dulu...."
Arumsari yang keras kepala menggeleng la-
gi. "Tidak perlu. Kau tak usah khawatir. Nyawaku tidak akan melayang secepat
yang kau duga. Aku
akan mengatakan sesuatu yang harus segera kau
ketahui...."
"Apa" Ada hubungannya dengan kematian
Dewi Ikata?" tanya Pengemis Binal, mencoba menenangkan perasaannya walau dalam
hati dia be- gitu mengkhawatirkan keadaan Arumsari.
"Kau tahu bila Dewi Ikata dibunuh orang?"
Arumsari balik bertanya.
Suropati mengangguk. "Inang pengasuh
Dewi Ikata yang menceritakannya kepadaku."
"Dia juga memberi tahu bila yang membu-
nuh Dewi Ikata adalah Setan Laknat yang mena-
makan dirinya sebagai Pangeran Sadis?"
"Ya. Oleh karena aku hendak ke puncak
bukit ini untuk memenuhi tantangan pembunuh
kejam itu."
"Jangan!" tukas Arumsari, cepat.
"Kenapa" Tidakkah kau ingin kematian
muridmu terbalaskan?"
"Pemuda yang bergelar Pangeran Sadis itu
teramat sakti. Kau lihat luka-luka ini. Dengan
mudah dia mengalahkan aku. Sepertinya dia bu-
kan manusia!"
"Siapa pun dia, sampai di mana pun ke-
tinggian ilmunya, aku tetap akan membuat perhi-
tungan dengannya!"
"Tapi, gunakan pikiran warasmu! Kau bisa
menjadikan apa yang terjadi atas diriku sebagai
pelajaran."
Di ujung kalimatnya, Arumsari bangkit
berdiri walau dengan susah-payah. Dia menolak
bantuan Suropati.
"Kukatakan sekali lagi, jangan naik ke
puncak bukit untuk membuat perhitungan den-
gan Setan Laknat itu, temuilah Datuk Risanwari."
Mendadak, kaki Arumsari menjejak tanah.
Suropati hanya dapat garuk-garuk kepala melihat
tubuh nenek keras kepala itu melesat menuruni
bukit. "Hmmm.... Benarkah Pangeran Sadis itu bukan manusia" Kalau dia manusia,
bagaimana mungkin Dewi Tangan Api berkata bahwa dia da-
pat dikalahkan dengan mudah" Bahkan, mampu
membunuh Dewi Ikata, yang aku tahu benar ke-
tinggian ilmunya!"
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Berulang kali dia mendesah panjang. Dalam hatinya timbul rasa gentar.
Namun, terbawa luapan amarahnya cepat dia menepis rasa gentar-
nya. Dan melangkahlah dia menaiki puncak bu-
kit... 3 Belum seberapa jauh Suropati melangkah-
kan kaki, di sebuah tanjakan dia menemukan gua
kecil. Di kanan-kiri gua itu ditumbuhi pohon cemara tua yang tinggi menjulang
bagai mencakar langit. Kening Suropati berkerut tajam. Cepat dia mendekap hidung, karena dari
dalam gua tercium
bau busuk amat menyengat.
Bergegas Suropati berlari menjauh. Namun
tiba-tiba, di benaknya terbersit rasa heran ber-
campur curiga. Dia ingat cerita tentang suku pe-
dalaman yang masih memakan daging sesama
manusia. Terbawa keingintahuannya, Suropati
membalikkan badan, kembali berlari mendekati
gua. Sambil terus mendekap hidung, Suropati
berdiri di mulut gua kecil itu. Setelah memperhatikan dengan saksama, tahulah
dia bila kedala-
man gua berupa pertapaan. Panjangnya sekitar
dua tombak, sedangkan lebarnya satu tombak
kurang sedikit. Bertambah rasa heran dalam diri


Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suropati. Mungkinkah sebuah pertapaan dijadi-
kan tempat penyimpanan bangkai"
"Hmmm.... Apakah tokoh yang bergelar
Pangeran Sadis itu tinggal di tempat ini?" tanya Suropati kepada diri sendiri.
Tanpa mempedulikan bau busuk yang te-
rus menyengat, Suropati melangkah memasuki
gua yang remang-remang. Tak dia hiraukan juga
perutnya yang mulai mual dan kepalanya yang
pusing mendadak.
Dan... kaget tiada terkira Suropati. Baru
melangkah tiga tindak, dia melihat kepala manu-
sia yang sudah rusak! Kepala tanpa badan itu di-
tataki selembar kain putih kotor penuh noda da-
rah kering, tergeletak di atas meja pendek yang
berada di tengah-tengah ruangan.
Rasa mual dan pusing Suropati menghe-
bat. Tapi, dia malah berjalan mendekat. Remaja
tampan yang menyelipkan tongkat butut di ikat
pinggangnya itu seperti pernah mengenali kepala
tanpa badan yang tergeletak di atas meja.
Dengan mendekap hidung lebih kuat, Su-
ropati berjongkok. Diamatinya lebih teliti kepala tanpa badan itu. Dan, benarlah
bila dia pernah
mengenali pemilik kepala itu. Tapi, siapa" Suro-
pati tak berani menebak. Namun, teringat cerita Palupi di Penginapan Mawar,
Suropati dapat memastikan bila kepala itu adalah milik.... Dewi Ika-
ta! Mengelam paras Pengemis Binal seketika.
Dua bans giginya bertaut rapat memperdengar-
kan suara gemelutuk. Darahnya pun kontan
mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
"Kejam...! Pangeran Keparat! Kubunuh
kau... Kubunuh kau...!" Suropati berteriak-teriak seperti orang kehilangan
ingatan. Tanpa sadar airmatanya menetes. Samar-
samar dilihatnya selembar sampul kuning di atas
meja. Dengan dengus napas memburu dipungut-
nya sampul kuning yang telah robek sedikit itu.
Dan, semakin meledaklah amarah Suropati sete-
lah membaca sepucuk surat yang tersimpan di
dalamnya. Untuk kekasih Dewi Ikata,
Terpaksa aku memenggal kepala gadis can-
tik yang tak berdosa ini. Tak usah kau teruskan langkahmu ke puncak bukit.
Karena, aku sudah tak ada. Aku percaya bila kau pasti akan dapat menemukan aku.
Balaskan dendammu. Kutung-gu....
Pangeran Sadis Tak kuasa menahan amarah, Suropati
menggeram keras seraya menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dua larik sinar kebiruan
melesat, menimbulkan suara gemuruh dahsyat.
Dinding ruangan kontan jebol, berlubang dalam.
Sementara, dari atas berjatuhan tanah dan beba-
tuan, menimpa kepala dan badan Suropati. Na-
mun, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang terluka hatinya itu tak mau beranjak
dari tempatnya. Dia biarkan gumpalan tanah dan
bebatuan menghajarnya.
"Ika.... Ika.... Ika...," sebut Pengemis Binal berulang kali.
Ketika gemuruh sudah reda dan gumpalan
tanah dan bebatuan tak lagi berjatuhan, Suropati mengangkat kepala tanpa badan
yang masih tergeletak di atas meja. Tidak ada lagi rasa mual dan pusing, berikut
perasaan jijik dalam dirinya. Dengan langkah terseok dan mata berkaca-kaca, ke-
pala tanpa badan itu dibawanya keluar gua.
Di terang sinar mentari, Suropati mene-
gaskan lagi kepala yang berada di atas telapak
tangannya. Setelah yakin bila kepala itu milik
Dewi Ikata, dia lalu menguburnya di bawah po-
hon cemara di sebelah kanan gua. Diberinya tan-
da kuburan itu dengan batu sebesar kambing.
Dengan mengalirkan tenaga dalam ke te-
lunjuk jari tangan kanannya, Suropati menu-
liskan nama Dewi Ikata di permukaan batu. Un-
tuk beberapa lama dia menatap batu itu, lalu di-
peluknya erat-erat. Karena kedukaannya begitu
dalam, tak kuasa dia menahan cucuran airmata.
Namun, segera Suropati sadar bila dia tak boleh
membiarkan kedukaan mencengkeram jiwanya.
Manusia pasti mati. Jadi, untuk apa mesti me-
nyesali kematian Dewi Ikata. Gadis itu telah kembali kepada Sang Pencipta. Dia
telah berada di
tempat yang tenang. Airmata tak perlu dijatuhkan lagi. Sang Baskara telah
condong ke barat. Pancaran sinarnya melemah. Desir angin mengusap
lembut, membuat lena. Di bawah langit biru ber-
baur warna perak awan, burung-burung beter-
bangan, seakan membalas lambaian pucuk-
pucuk cemara. Suropati tersentak kaget merasakan tepu-
kan di bahu kanannya. Lebih kaget lagi dia tatka-la melihat seorang kakek
berpakaian serba putih
tiba-tiba tergeletak pingsan di belakangnya.
"Kek...!" jerit Pengemis Binal setelah mengenali kakek yang datang tanpa
sepengetahuan- nya. Sesaat Suropati bergidik ngeri. Kedua per-
gelangan tangan kakek yang tiada lain dari Banjaranpati itu tampak berlubang-
lubang. Dan men-
gucurkan darah kehitaman. Dari kedua pelipisnya
menetes keringat kehitaman pula. Persis luka
yang diderita Arumsari! Apakah kakek yang ber-
gelar Bayangan Putih Dari Selatan itu juga men-
jadi korban keganasan Pangeran Sadis"
Cepat Suropati menekan dada kiri Banja-
ranpati. Jantungnya masih berdetak normal. Ta-
pi, keadaan tubuhnya sudah cukup mengkhawa-
tirkan. Tanpa pikir panjang lagi, Suropati segera menotok beberapa jalan darah
kakek berkuncir
itu. Dikeluarkannya seluruh ilmu pengobatannya
hasil ajaran si Wajah Merah.
Tak lama kemudian, keluar keluh pendek
dari mulut Banjaranpati. Tersadarlah dia dari
pingsannya. "Aku Suropati, Kek.... Bagaimana keadaan-
mu" Haruskah kusalurkan hawa murni ke tu-
buhmu?" ujar Pengemis Binal, penuh kekhawatiran. Banjaranpati beringsut duduk
bersandar di batang cemara. Dikerjapkannya kelopak matanya
beberapa kali. "Suro...," desisnya sambil meringis kesakitan.
"Apa yang terjadi denganmu, Kek" Apakah
kau baru bertempur dengan Pangeran Sadis?"
"Kau sudah masuk ke gua?" Banjaranpati balik bertanya.
"Ya. Aku menemukan kepala Dewi Ikata,
dan sekarang sudah kukuburkan," beri tahu Suropati. "Akan kusalurkan hawa murni
ke tubuh-mu, Kek...."
Kepala Banjaranpati menggeleng lemah.
"Tak perlu. Aku tak akan mati hanya karena luka-lukaku ini...."
"Tapi, kau tampak menderita sekali, Kek.
Apa yang harus kuperbuat?"
Banjaranpati menarik napas panjang, lalu
dihembuskannya dengan deras. "Pangeran Sa-
dis...," desahnya.
"Ada apa dengan dia" Benar kau dilu-
kainya, Kek?" kejar Suropati, penasaran.
"Dialah yang membunuh Dewi Ikata...."
"Aku sudah tahu. Ceritakan apa yang kau
ketahui, Kek. Bagaimana kau bisa bertempur
dengan tokoh jahat itu?"
Banjaranpati menatap wajah Pengemis Bi-
nal sejenak. Sambil menekan dada kirinya, dia
berkata, "Tiga hari yang lalu, aku datang ke pertapaan Arumsari. Gua yang baru
saja kau masu- ki...." "Lalu, kau bertemu dengan Pangeran Sadis?" "Jangan potong bicaraku!"
Mendengar nada ucapan Banjaranpati yang
tiba-tiba mengeras, Suropati tercekat. Segera dia menyadari kesalahannya yang
terlalu mendesak.
"Tujuanku menemui Arumsari sebenarnya
hanya untuk mengikat lagi tali persahabatan yang telah lama terputus. Kau tahu
bukan, Suro, bila
selama ini aku dan Arumsari tak pernah akur?"
"Ya. Ya, aku tahu, Kek...."
"Uh...!"
Banjaranpati mengeluh. Dia tekap dada ki-
rinya lebih kuat. Namun, rasa sakit di sekujur tubuhnya malah menghebat.
"Aku harus membawamu ke Bukit Rawan-
gun, Kek. Kau harus mendapat pertolongan Ka-
kek Wajah Merah!"
Suropati yang sangat mengkhawatirkan
keadaan kakek yang pernah menurunkan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' kepadanya itu,
mengulurkan tangan. Maksudnya untuk membo-
pong tubuh Banjaranpati guna dilarikan ke Bukit
Rawangun. Tapi, Banjaranpati menolak keras.
"Sudah kubilang, aku tak akan mati hanya
karena luka-luka ini!"
"Lalu, apa yang harus kuperbuat, Kek?"
Pengemis Binal garuk-garuk kepala.
"Duduklah yang enak, dan dengarkan ceri-
taku." Dengan gerakan sedikit konyol, Suropati duduk bersila di hadapan
Banjaranpati. Walau
dia sangat mengkhawatirkan keadaan Banjaran-
pati, tapi dia percaya bila kakek itu tak akan mati cepat. Suropati bisa memetik
pelajaran dari Arumsari yang juga menderita luka serupa.
"Kasihan sekali Arumsari...," desah Banjaranpati. "Aku bisa merasakan jiwanya
yang terpukul. Ketika itu, dia dan aku tengah membica-
rakan perjodohan Dewi Ikata...."
"Dewi Ikata dijodohkan" Dengan siapa,
Kek?" sela Pengemis Binal.
"Denganmu."
"Aku?"
"Ya. Jangan bohongi dirimu! Kau mencintai
Dewi Ikata, bukan" Aku tahu benar akan hal itu.
Tapi, aku tak setuju pada gagasan Arumsari. Soal jodoh, orangtua tak bisa
memaksakan kehendak.
Namun karena aku tak mau Arumsari menjadi
murka, kukatakan padanya bila perjodohan Dewi
Ikata denganmu harus dirundingkan dengan Adi-
pati Danubraja dan Gede Panjalu. Arumsari bisa
menerima...."
"Lalu?"
"Selagi kami bercakap-cakap itulah tiba-
tiba obor di dalam gua padam. Kemudian, muncul
seorang pemuda tampan berpakaian kuning ge-
merlap mirip pembesar kerajaan...."
"Diakah yang mengaku sebagai Pangeran
Sadis?" Banjaranpati menjawab dengan anggukan kepala. "Karena penasaran,
Arumsari melontarkan segenggam biji teratai merah. Kau tentu su-
dah tahu kehebatan senjata rahasia guru Dewi
Ikata itu. Tapi anehnya, biji-biji teratai itu lenyap tanpa bekas. Padahal,
Pangeran Iblis yang menjadi sasaran sama sekali tak menggerakkan tubuh-
nya...." "Lalu?"
"Dia pergi meninggalkan kepala Dewi Ikata
dan dua sampul surat berwarna kuning. Salah
satu suratnya mengatakan bahwa kami harus
menyerahkan kepala Dewi Ikata dan surat lainnya
kepada seseorang yang beberapa hari lagi melalui tempat ini. Ternyata, orang itu
adalah kau, Su-ro...," Banjaranpati menghentikan ceritanya untuk menarik napas
panjang. Tak dia hiraukan ra-
sa sakit yang masih mendera di sekujur tubuh-
nya. "Tentu saja Arumsari sedih bukan main melihat murid yang hendak dijodohkan
denganmu tiba-tiba muncul di hadapannya hanya berupa
kepala tanpa badan. Rasa sedih membuat Arum-
sari lupa diri. Terdorong hawa amarah pula, dia
menyambar sampul kuning yang belum dibuka.
Aku berusaha, mencegahnya. Karena, kupikir
Arumsari tak berhak mengetahui isinya. Tapi,
Arumsari malah naik pitam. Dihantamnya aku
dengan ilmu 'Pukulan Api Neraka'. Aku berhasil
menghindari walau tak urung kain bajuku terba-
kar. Kemudian, Arumsari merobek sampul kun-
ing. Namun sebelum dia sempat mengeluarkan
isinya, tiba-tiba terdengar bentakan keras. Sam-
pul kuning di tangan Arumsari mendadak me-
layang jatuh ke atas meja. Lalu, terdengar kata-
kata yang menyuruh aku dan Arumsari keluar
gua. Di luar gua, ternyata Pangeran Sadis sudah
menunggu. Begitu melihat kami berdua, dia lang-
sung mengeluarkan kata-kata kotor yang sangat
menyinggung perasaan...."
"Kemudian, terjadi pertempuran?"
"Dibilang pertempuran, bisa. Dibilang ti-
dak, juga bisa."
"Kenapa begitu?"
"Karena dengan mudah Pangeran Sadis
merobohkan kami. Kesaktiannya sungguh mem-
buat aku tak habis pikir. Dia itu manusia atau siluman. Semua biji teratai merah
yang dilontarkan dilontarkan Arumsari lenyap tanpa bekas. Bahkan, dia tak mempan
'Pukulan Api Neraka'. Aku
sendiri terperanjat dan seperti mimpi saja layaknya. Dengan menggunakan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan', aku mencoba menggedor dadanya.
Namun ketika tanganku hampir menyentuh sasa-
ran, dia menghilang entah ke mana. Saat aku ke-
bingungan, aku merasakan seluruh anggota ba-
danku tak dapat digerakkan lagi. Tahu-tahu ke-
dua pergelangan tanganku mengucurkan darah
kehitaman. Dan, kedua pelipisku mengeluarkan
keringat kehitaman pula...."
"Nenek Arumsari juga mengalami hal seru-
pa?" "Ketika kulihat guru Dewi Ikata itu, begitu-lah yang terjadi?"


Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu?"
"Terdengar suara dingin yang mengatakan
bahwa kami berdua tak akan mati. Tapi, selama
tiga hari kami tak akan dapat berbuat apa-apa.
Kemudian, tanah tempat kami berpijak bergun-
cang keras. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang
terjadi. Mendadak, tubuhku terasa ringan. Ki-
ranya, aku terlontar ke lereng bukit. Selama tiga hari aku terkapar pingsan.
Ketika siuman, ku-dengar ledakan di gua pertapaan Arumsari. Su-
sah-payah aku naik. Dan, kujumpai kau di tem-
pat ini, Suro...."
Banjaranpati menutup ceritanya dengan
dengus napas memburu. Setelah batuk-batuk be-
berapa saat, dia lalu bangkit berdiri. Ditatapnya lekat-lekat wajah Pengemis
Binal yang masih terbengong mendengar ceritanya.
"Aku tahu dalam dirimu telah timbul den-
dam kesumat, Suro...," ujar Banjaranpati kemudian. "Tapi untuk membuat
perhitungan dengan Pangeran Sadis, kau tidak boleh menjadikan dendam kesumat
sebagai alasan. Hanya karena tun-
tutan jiwa pendekarlah kau bisa berhitungan
dengan pembunuh Dewi Ikata itu. Kejahatan mes-
ti dibasmi. Keadilan mesti ditegakkan. Itulah alasanmu. Tapi sebelum kau menemui
Pangeran Sa- dis, datanglah ke Bukit Hantu. Temui Datuk Ri-
sanwari. Mintalah petunjuk darinya."
Pengemis Binal makin terbengong, lalu ga-
ruk-garuk kepala ketika sosok Banjaranpati ber-
kelebat lenyap dari hadapannya.
"Pangeran Sadis...," desis remaja tampan berambut panjang tergerai itu. "Siapa
dia sebenarnya" Dan, kenapa dia tega membunuh Dewi
Ikata" Dua pucuk suratnya yang disampaikan
kepadaku semua bermakna tantangan. Dia pasti
menyimpan bibit permusuhan denganku. Tapi,
oleh sebab apa" Sedangkan aku sendiri sama se-
kali tak tahu siapa dia...."
Pengemis Binal garuk-garuk kepala lagi.
Berbagai tanda tanya muncul di benaknya. Tapi,
tak satu pun yang dapat dia jawab. Ketika bangkit dari duduknya, tersadarlah
Pengemis Binal bila
badannya amat lelah dan perutnya berkeruyukan
minta diisi. Maka, lupalah sejenak dia pada kese-dihannya. Dia harus turun bukit
untuk mengisi perut. * * * Sehari kemudian, langkah kaki Suropati
sampai di kota Ngadiluwih, masuk wilayah Kadi-
paten Tanah Loh. Tujuannya hendak ke Bukit
Hantu guna menemui Datuk Risanwari, seperti
yang dinasihatkan Arumsari dan Banjaranpati.
Namun melihat keramaian kota Ngadiluwih, dia
tertarik untuk melihat-lihat. Siapa tahu bisa
memperoleh keterangan perihal Pangeran Sadis.
Ngadiluwih adalah kota hidup yang meng-
hubungkan daerah barat dan timur. Berpendu-
duk padat. Perdagangan pun cukup ramai. Yang
diperdagangkan terutama rempah-rempah yang
didatangkan dari tempat lain. Ketika Pengemis
Binal memasuki keramaian kota, hari menjelang
senja. Namun, kesibukan para pedagang masih
bisa dilihat. Memang, kota Ngadiluwih tak pernah mati, siang ataupun malam. Ada
saja yang diker-jakan oleh penduduk kota yang rata-rata bermata
pencaharian sebagai pedagang.
Tak bosan Suropati mengedarkan pandan-
gan ke kanan kiri. Kota Kadipaten Bumiraksa
tempat dia dibesarkan juga ramai. Tapi bila di-
bandingkan dengan kota Ngadiluwih, keramaian-
nya terpaut cukup jauh. Karena ingin merasakan
masakan penduduk kota Ngadiluwih, Suropati
memasuki sebuah kedai. Kebetulan di kantong
bajunya terdapat beberapa keping uang logam.
Pada mulanya kehadiran Suropati ditolak
oleh pelayan kedai. Namun setelah dia menun-
jukkan uang yang dibawanya, dia persilakan ma-
suk. Setelah mengambil tempat duduk, dia minta
sepiring nasi beserta lauknya dan segelas minu-
man. Tengah Suropati asyik menyantap maka-
nannya, di luar kedai terdengar ribut-ribut. Dari tempat duduknya, dia dapat
melihat dua pelayan
sedang membentak-bentak seorang pemuda ku-
rus dan berpakaian compang-camping. Pemuda
itu kira-kira sebaya dengannya. Kepalanya ditu-
tup caping yang sudah pecah-pecah. Wajahnya
kotor dan tampak dekil sekali.
Tangan pemuda bercaping butut itu meng-
genggam sepotong ubi yang baru dipungutnya da-
ri meja di dalam kedai. Sementara, kedua pelayan tampak menuding-nudingnya.
"Pergilah cepat! Jangan kotori tempat ini!"
usir salah seorang pelayan.
Pemuda bercaping butut bukannya takut,
tapi malah tertawa. Dua baris giginya yang putih bersih terlihat. Sangat tak
sepadan dengan pakaian yang dikenakannya.
"Kuhajar kau bila tak segera pergi!" ancam pelayan satunya.
"Baiklah.... Baiklah, aku pergi...," ucap pemuda bercaping butut seraya
membalikkan ba-
dan. Namun, pelayan yang berperut gendut
mencegahnya. "Hei! Tinggalkan ubi itu!"
Pemuda bercaping butut membalikkan ba-
dan lagi. Ubi yang tergenggam di tangan kanan-
nya dia sodorkan ke pelayan berperut gendut. Ta-
pi karena tangannya kotor, pada ubi itu membe-
kas tanda tiga jari tangan berwarna hitam. Pe-
layan gendut naik pitam karena ubi itu tentu tak dapat dijual lagi.
Maka, ringan sekali tangannya melayang.
Pemuda bercaping butut cukup tangkas meng-
hindar. Sehingga, tamparan pelayan gendut lewat
di atas kepalanya.
"Jangan! Jangan!" teriak Suropati ketika melihat pelayan gendut hendak
melanjutkan tamparannya. "Aku yang membayar. Biarkan ubi itu dia makan!"
Saat kedua pelayan menoleh ke arah Suro-
pati, pemuda bercaping butut cepat menyantap
ubi di tangannya dengan lahap. Agaknya, dia be-
nar-benar menderita kelaparan.
"Masuklah...!" ajak Suropati sambil me-lambaikan tangan kepada pemuda bercaping
bu- tut. "Baik!" sambut pemuda itu sambil tertawa kecil. "Aku memang sedang mencari
kawan. Hidup tanpa kawan, dunia terasa sunyi."
Pemuda bercaping butut melangkah ma-
suk. Dua pelayan yang tadi menghardiknya cuma
dapat saling pandang.
Pengemis Binal lalu minta tambah maka-
nan. Pelayan yang diperintah memenuhi pesa-
nannya dengan sikap acuh tak acuh. Mungkin
karena melihat pakaian Pengemis Binal yang pe-
nuh tambalan dan kawan barunya yang berpe-
nampilan lebih mengenaskan.
Sambil duduk berhadapan meja, pemuda
bercaping butut berbasa-basi mengucapkan kata
terima kasihnya. Nada bicara pemuda itu enak di
didengar, dan tampaknya dia terpelajar.
"Hmmm.... Benar dugaanku bila pemuda
ini bukan orang sembarangan," kata Suropati dalam hati.
Karena ingin memastikan dugaannya, Su-
ropati lalu mencekal lengan si pemuda keras-
keras. Heran dia ketika merasakan lengan yang
dicekalnya berkulit halus dan lembut. Sementara, pemuda bercaping butut cuma
tersenyum malu-malu. Beberapa lama kemudian, si pemuda ber-
kata, "Sudah cukup lama kita berada di sini. Makanan pun sudah habis. Mari kita
keluar." Cepat Pengemis Binal membayar makanan
yang telah dihabiskan. Lalu, digandengnya lengan pemuda itu keluar kedai. Belum
seberapa jauh mereka berjalan, mendadak pemuda bercaping
butut menarik lengannya.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Aku tak
mau berhutang budi lagi kepadamu. Maka, per-
kenankan aku minta diri...," ujar pemuda bercaping butut sambil membungkuk
hormat. "Uts! Tunggu dulu!" cegah Suropati. "Kau belum menyebutkan namamu. Barangkali
kita berjodoh untuk bertemu lagi."
"Oh ya. Aku lupa belum mengenalkan diri.
Namaku, Jatiwulung. Terserah dengan sebutan
apa kau memanggilku."
"Sekarang, kau hendak ke mana" Tidakkah
kau juga ingin tahu namaku?"
Pemuda yang mengaku bernama Jatiwu-
lung tersenyum tipis. "Aku hidup sebatang kara.
Tak ada tujuan dalam langkah kakiku," katanya.
"Aku tak perlu menanyakan namamu, karena aku sudah tahu siapa kau."
Kening Pengemis Binal berkerut. "Benarkah
kau sudah tahu siapa aku?"
Jatiwulung tertawa lebar, memperlihatkan
dua baris giginya yang putih bersih. "Hanya orang bodoh dan kurang pergaulan
yang tak mengenal
nama Suropati alias Pengemis Binal."
Mendengar kalimat Jatiwulung, Pengemis
Binal makin penasaran. Maka, tak segan dia ber-
kata, "Bila benar kau tak mempunyai tujuan, ada baiknya kau ikut aku ke Bukit
Hantu." "Bukit Hantu" Di sana ada apa?"
"Sudahlah. Kau ikut saja. Barangkali da-
lam perjalanan nanti, kau mendapat banyak pen-
galaman berharga."
Jatiwulung tampak berpikir sebentar, lalu
dia menganggukkan kepala. Dan sedih di hati Su-
ropati dapat sedikit ditepis ketika dalam perjalanan ke Bukit Hantu, Jatiwulung
menunjukkan sikap yang sangat bersahabat. Namun saat pe-
muda itu menanyakan keperluannya ke Bukit
Hantu, Suropati masih berat untuk mengatakan-
nya. Sehari kemudian, sewaktu Pengemis Binal
berpikir tentang kehebatan Pangeran Sadis sambil berjalan menunduk, dia
mendengar suara bersiut
yang dibarengi desir angin keras menyambar dari
belakang. Mengira ada senjata rahasia yang ditu-
jukan ke arahnya, cepat dia melentingkan tubuh
dengan gerakan 'Pengemis Menghiba Rembulan'.
Terkejut bagai disambar petir Suropati.
'Senjata rahasia' itu melesat melebihi kecepatan gerak tubuhnya. Hingga, batok
kepalanya terhan-
tam tepat! "Slompret!" maki Pengemis Binal, merasakan kepalanya lagi pusing. Tapi, dia jadi
bernapas lega setelah meraba bagian belakang kepalanya.
Ternyata, barang yang disangkanya senjata raha-
sia itu tak lain dari sejumput tanah liat yang masih basah.
"Kadal bunting! Kambing congek! Kurang
ajaaarrr...!" maki Pengemis Binal, lebih keras. Kepalanya celingukan mencari
pelempar 'senjata ra-
hasia' itu. Sementara, Jatiwulung tampak tertawa cekikikan.
Suropati menggedruk-gedrukkan kaki ke
tanah terbawa luapan rasa jengkelnya. Dia mera-
sa dipermainkan orang. Mendadak, remaja konyol
itu berdiri mematung. Sambil cengar-cengir, dia
menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dalam hati
dia mengagumi kehebatan orang yang telah ber-
hasil mempercundanginya. Dia tak dapat mem-
bayangkan apabila benda yang lontarkan ke kepa-
lanya tadi berupa senjata rahasia yang sebenar-
nya, tentu saat itu juga dia telah terkapar di tanah tanpa nyawa.
"Hmm.... Mungkinkah orang itu Pangeran
Sadis" Tapi, kenapa dia tak langsung saja mem-
bunuhku bila dia memang menyimpan bibit per-
musuhan kepadaku?" tanya Pengemis Binal da-
lam hati. Tanpa sadar Suropati garuk-garuk kepala
lagi. Jatiwulung yang mengetahui bila Suropati
baru saja dipermainkan orang tampak tersenyum-
senyum. "Ternyata kebesaran nama Pengemis Binal
tak seperti yang kukira," cibir Jatiwulung, meng-goda. Mendengar itu, Suropati
yang sudah panas
hatinya kontan mencak-mencak. Dipelototinya
wajah Jatiwulung. "Kau jangan mengejek!" bentaknya dengan muka merah-padam.
"Kalau marah-marah begitu, kau persis
monyet kehilangan ekor, Suro!" tambah Jatiwulung, sedikit pun tak menyimpan rasa
takut wa- lau bola mata Pengemis Binal terus memeloto-
tinya. Jengkel di hati Suropati tiada dapat ditahan lagi. Serta merta dia
menghentakkan kakinya
ke tanah. Terdengar suara berdebum. Permukaan
tanah berguncang sesaat. Bekas pijakan kaki Su-
ropati tampak berkubang dalam. Namun, Jatiwu-
lung malah tertawa keras.
"Setan dekil! Menyesal aku mengajakmu!"
Tahu Pengemis Binal meluap amarahnya,
Jatiwulung tetap saja tertawa-tawa. Hingga, pe-
muda itu sampai batuk-batuk karena tersedak.
Bola mata Pengemis Binal makin melotot
saja ketika tiba-tiba tubuh Jatiwulung terlontar tiga tombak, lalu jatuh
bergulingan. Pemuda itu
memekik keras ketika tubuhnya membentur se-
bongkah batu sebesar kerbau.
"Keparat! Haram jadah!" umpat Jatiwulung seraya meloncat bangkit dengan raut
muka amat keruh. Kini, ganti Pengemis Binal yang tertawa
bergelak. "Rasakan...!" ejeknya, yang segera dis-ahuti kata-kata kotor
Jatiwulung. 4

Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak..., tiupan angin berubah arah.
Bertiup dari tenggara dengan kecepatan luar bi-
asa. Akibatnya, daun-daun berguguran dan rant-
ing-ranting meliuk untuk kemudian berpatahan.
Tak ayal lagi, burung-burung yang bertenggeran
di atasnya terlihat berpentalan ke udara. Kekua-
tan badai yang tiba-tiba muncul tidak hanya
sampai di situ. Beberapa pohon kecil mulai tercabut dari dalam tanah, lalu
terlontar jauh seringan kapas! Terkejut tiada terkira Suropati dan Jatiwulung.
Cepat mereka memasang kuda-kuda seraya
mengerahkan ilmu memperberat tubuh. Caping
butut Jatiwulung telah terlempar entah ke mana.
Sementara, rambutnya pun terburai tak karuan
bagai ditarik-tarik tangan yang tak tampak.
"Jahanam...!" umpat Jatiwulung, keras
membentak. Sekujur tubuhnya terasa pedih se-
perti sedang dicambuki.
Wajah pemuda itu kontan memucat ketika
tahu pohon sebesar dua rangkulan manusia de-
wasa yang berada tak jauh darinya, mengelua-
rkan suara berderak-derak. Sesaat kemudian po-
hon itu miring, lalu akar-akarnya berserabutan
keluar dari dalam tanah. Dan....
Brolll...! Pohon trembesi yang baru berbuah itu be-
nar-benar tercabut. Melesat amat cepat di udara
dan menimbulkan suara bersiut keras. Salah satu
dahannya tepat menghantam bahu kiri Jatiwu-
lung! Desss...!
"Argh...!"
Kuda-kuda Jatiwulung goyah. Tak mau tu-
buhnya terlontar, cepat dia membungkuk seraya
menghentakkan kedua tangannya ke bawah. Hen-
takan yang disertai pengerahan tenaga dalam
membuat kedua tangan Jatiwulung amblas ke da-
lam tanah sampai sebatas siku. Merasakan ti-
upan angin yang makin dahsyat, pemuda itu se-
gera pula menghentakkan kedua kakinya, hingga
amblas ke dalam tanah hampir sebatas lutut.
Sekitar empat tombak dari tempat Jatiwu-
lung berada, Suropati tampak memasang kuda-
kuda dengan kedua tangan menekan lutut. Kare-
na tiupan angin makin kencang, pertahanan re-
maja tampan itu pun mulai goyah. Perlahan-
lahan kedudukannya bergeser ke belakang, mem-
buat tubuhnya terseret
"Saka Purdianta...," desis Pengemis Binal, teringat putra mendiang Tumenggung
Sangga Percona yang mempunyai ilmu 'Dewa Guntur Sa-
tukan Badai'. Karena menduga yang membuat ulah ada-
lah Saka Purdianta, Pengemis Binal mengumpul-
kan seluruh kekuatannya untuk kemudian berte-
riak, "Jangan main-main, Saka! Jangan menodai persahabatan yang telah lata
jalin!" Tak ada yang menyahuti teriakan Pengemis
Binal. Saka Purdianta atau si Dewa Guntur pun
tak tampak batang hidungnya. Hanya gemuruh
angin yang terdengar memekakkan gendang telin-
ga. Suropati mendengus gusar, lalu berteriak
lebih keras, "Saka! Bila kau hendak membuat permusuhan lagi denganku, segera
tampakkan dirimu. Hadapi aku secara jantan. Jangan menye-
rang sambil menyembunyikan diri!"
Tetap tak ada suara sahutan. Maka mele-
daklah amarah Suropati. Jiwanya yang terpukul
oleh kematian Dewi Ikata membuat remaja tam-
pan itu cepat naik darah.
"Aku bukan arca yang cuma dapat diam
saja ketika dipermainkan orang! Jangan salahkan
aku bila kubalas perbuatan usilmu ini!"
Di ujung kalimatnya, Pengemis Binal mem-
buka pergelangan kakinya lebih lebar. Ditariknya napas dalam-dalam seraya
menarik kedua tangannya ke belakang sejajar pinggang. Di lain ke-
jap, urat-urat tangannya menggembung dan ma-
tanya berkilat-kilat
"Waspadalah, kau orang usil! Hirup udara
sebanyak-banyaknya selagi mampu!"
Selama tiga tarikan napas, Pengemis Binal
memutar-mutar kedua telapak tangannya di de-
pan dada. Timbul suara gemuruh yang tak kalah
dahsyat. Gelombang angin dari tenggara melemah.
Lalu, Pengemis Binal menggeram parau seraya
menghentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan! Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat membahana. Be-
berapa pohon yang sudah berdiri miring kontan
tercabut akar-akarnya. Gumpalan tanah dan be-
batuan berhamburan ke angkasa, menutupi pan-
dangan mata. Gelombang angin yang bertiup dari tengga-
ra lenyap seketika. Namun, hanya berlangsung
beberapa kejap mata. Gelombang angin yang lebih
dahsyat tiba-tiba muncul. Jatiwulung menjerit
keras ketika kedua tangan dan kakinya tercabut
dari dalam tanah. Wajah Suropati kontan memu-
cat melihat tubuh pemuda dekil itu terhempas ke-
ras. Tapi, dia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya sendiri mendadak
terhempas pula!
Untuk beberapa lama tubuh kedua anak
manusia itu terbanting-banting. Mereka mencoba
bertahan dengan menghujam-hujamkan kedua
tangan ke tanah. Tapi, usaha mereka sia-sia ka-
rena gelombang angin semakin dahsyat!
"Ha ha ha...!" terdengar suara gelak tawa mendadak, lalu disambung dengan kata-
kata, "Kasihan betul kalian dua anak muda. Maafkan aku orang tua-bangka ini yang ingin
menjajal kemampuan kalian. "
Begitu suara itu terhenti, gelombang angin
yang berhembus dari tenggara terhenti pula. Su-
sah-payah Suropati dan Jatiwulung mengendali-
kan gerak tubuh mereka yang masih terbanting-
banting. Terbawa rasa penasaran bercampur
amarah, mereka langsung meloncat menuju asal
suara. Sekali empos, tubuh mereka melayang se-
puluh tombak. Pada emposan ketiga, sampailah
mereka di sebuah tanah datar yang permukaan-
nya diseraki bebatuan.
"Kentut busuk!" maki Pengemis Binal ketika melihat seorang lelaki tua tengah
berdiri tegak di atas lempengan batu besar.
"Bila kau ingin menjajal kepandaian orang,
bukan begini caranya, Pak Tua!" tambah Jatiwulung. "Rimba persilatan punya
aturan! Kukira, umurmu sudah mendekati liang kubur, tapi kenapa perbuatanmu
mirip bocah ingusan yang
sama sekali tak tahu tatakrama"!"
"Maaf.... Maaf...," seru lelaki tua yang berdiri di lempengan batu besar. "Aku yang tua dan sudah hampir pikun ini
mengaku salah. Aku memang tak dapat menahan gatalnya tangan untuk
membuktikan sendiri kehebatan anak muda yang
bergelar Pengemis Binal."
Suropati dan Jatiwulung mendengus gu-
sar. Mata mereka berkilat tajam menatap lelaki
tua yang hampir mencelakakan mereka. Sementa-
ra, yang ditatap tampak tenang-tenang saja.
Lelaki tua yang berdiri tegak di atas lem-
pengan batu besar itu berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya sungguh tak
sedap dipandang
mata. Selain keriputan, juga bopeng-bopeng be-
kas penyakit cacar. Lucunya, dia mengenakan
pakaian mahal yang tampak indah sekali. Ber-
warna kuning-merah, yang di beberapa tempat
terdapat sulaman bangau dari benang emas. Ke-
palanya tertutup topi hitam panjang persegi, yang biasa dipakai oleh tukang
tenung. Sorot matanya
tajam menusuk, cukup untuk menciutkan nyali
siapa saja yang menatapnya.
Setelah puas lelaki tua itu memandang Ja-
tiwulung, ia tersenyum kecil seraya berkomat-
kamit. Dia mengangguk dua kali, lalu mengalih-
kan pandangannya ke wajah Pengemis Binal.
"Jangan pandangi aku seperti itu, Pak
Tua!" hardik Suropati. "Siapa suka dipelototi lelaki buruk rupa macam kau!"
"Ah! Kau jangan keburu naik darah, Suro!"
sahut lelaki tua, "Tak ada maksud buruk dalam hatiku. Aku melihat wajahmu karena
parasmu seperti orang yang sedang dirundung malang. Ka-
lau boleh aku yang memang buruk rupa ini tahu,
apakah gerangan yang kau susahkan?"
"Kau baru saja mempermainkan aku, ke-
napa sekarang bermanis mulut" Menanyakan ke-
susahan orang, apakah kau kira dirimu dapat
memberi kesenangan?" cibir Pengemis Binal.
Lelaki tua bertopi persegi mengerutkan
kening. Ditatapnya wajah Suropati yang berdiri ti-ga tombak dari hadapannya.
Kali ini tatapannya
tampak aneh. Ditariknya napas panjang, lalu ka-
tanya, "Tak salah lagi! Tak salah lagi! Sorot ma-
tamu menunjukkan bila kau baru saja ditinggal
seseorang."
Terkejut Suropati mendengar kata-kata itu.
Terbersit rasa kagum dalam hatinya karena teba-
kan si lelaki tua tak meleset.
"Aku tak mengenal siapa kau. Tapi, terus
terang aku mengakui kehebatanmu. Selain beril-
mu tinggi, rupanya kau ada bakat untuk menjadi
peramal," ujar Pengemis Binal, menampakkan
kekagumannya. "Aha! Apa kukatakan"! Tidak percuma aku
mendapat julukan Per.... Peramal.... Peramal Sak-ti," sahut lelaki tua bertopi
persegi sambil berpikir-pikir. "Dari sorot matamu pula aku tahu bila orang yang
membuat sedih hatimu itu adalah
seorang gadis cantik putri bangsawan."
Terperanjat Suropati mendengar tebakan
lelaki tua yang mengaku berjuluk Peramal Sakti.
Untuk sesaat dia lupa bila orang itu hampir saja mencelakakannya dengan
gelombang angin cip-taannya tadi.
"Aku pun tahu bila dalam dadamu tersim-
pan api dendam yang berkobar-kobar," lanjut Peramal Sakti.
Pendekar Bloon 6 Mas Rara Seri Arya Manggada 2 Karya S H Mintardja Keris Pusaka Nogopasung 7
^