Pencarian

Pemberontakan Subandria 1

Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria Bagian 1


PEMBERONTAKAN SUBANDRIA Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Pemberontakan Subandria
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Setelah mengetahui ayahnya bersekongkol
dengan I Halu Rakryan Subandira untuk membe-
rontak terhadap Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, timbul rasa sedih dalam diri Saka Pur-
dianta atau Dewa Guntur. Rasa sedih itu bercam-
pur dengan kekecewaan. Karena, orangtua yang
selama ini disanjung-sanjungnya ternyata mem-
punyai perangai buruk, tidak seperti yang ia kira.
Kedudukan ayahnya sebagai seorang tumenggung
masih dirasa kurang tinggi.
Kalau ini dijadikan alasan melakukan
pemberontakan terhadap Prabu Singgalang Man-
junjung Langit, alangkah tidak berbudinya ayah
Saka Purdianta. Bukankah dengan menjadi orang
nomor satu di Katumenggungan Lemah Abang
sudah merupakan suatu kehormatan yang tidak
setiap orang dapat memilikinya"
"Ah...," desah Saka Purdianta. "Sudah ke-palang basah aku jadi orang jahat. Satu
lagi sebutan untukku sebagai anak durhaka. Biarlah bumi
menelanku dan langit menimbunku, Dewa Gun-
tur pantang berbelok keyakinan!"
Langkah kaki pemuda tampan ini memba-
wanya ke sebuah hutan kecil, tak seberapa jauh
dari pusat pemerintah Katumenggungan Lemah
Abang. Pakaiannya yang berwarna coklat dengan
garis-garis hitam tampak sobek di sana-sini oleh sayatan semak-belukar. Namun,
Saka Purdianta tak ambil peduli. Kakinya terus melangkah.
"Menyesal aku telah melukai Anggraini Su-
listya di geladak Kapal Rajawali. Walau Jarum
Mati Sekejap tidak kutujukan pada dirinya, tapi putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu telah menderita luka dalam yang cukup parah...,"
kata hati Dewa Guntur.
"Hmmm.... Sejak peristiwa naas itu aku tak pernah berjumpa lagi dengannya.
Namun, fira-satku mengatakan dia masih hidup, seperti hal-
nya dengan Suropati yang juga terkena Racun Ja-
rum Mati Sekejap...."
Kepala Saka Purdianta menengadah. Dita-
tapnya langit cerah nun jauh di sana. Gumpalan
awan perak mengabut, tertembus sinar matahari.
Tampak seperti tebaran kapas. Alangkah terke-
jutnya Saka Purdianta ketika dari balik gumpalan awan melesat titik hitam menuju
ke arahnya! "Aih...!"
Dewa Guntur segera melempar tubuhnya
ke samping kanan. Benda hitam yang tadi dili-
hatnya seperti hendak mencaplok kepala. Belum
hilang keterkejutan pemuda tampan ini, gelom-
bang angin besar meluruk dari arah belakang.
"Setan alas!" maki Dewa Guntur sambil melempar kembali tubuhnya.
"Ha ha ha...! Wajah keruh menandakan ha-
ti yang galau. Alangkah bodohnya manusia. Kesu-
litan adalah bagian dari hidup. Kenapa mesti dipikirkan terlalu jauh. Karena,
selamanya manusia tak mungkin lepas dari kesulitan."
Saka Purdianta menebarkan pandangan.
Hingga dia berdiri berputar-putar, pemilik suara
itu tak juga didapatkan. Kerut di kening pemuda tampan ini semakin terlihat
jelas. Raut wajahnya tampak menegang.
"Hei, Penyerang Gelap!" teriak Saka Purdianta lantang. "Adab dan sopan santun
rimba persilatan kenapa mesti ditinggalkan" Kau menyerang, gembar-gembor, lalu
bersembunyi! Apa-
kah ini tindakan yang menunjukkan kesopanan?"
Dewa Guntur menunggu sejenak untuk
memperoleh tanggapan atas kata-katanya. Dita-
riknya napas panjang sebelum dihembuskan den-
gan deras. Dia mengumpat dalam hati. Orang
yang baru saja membokongnya tak juga mau me-
nampakkan diri.
"Dewa Guntur mengucapkan terima kasih
atas segala peradatan yang kau tunjukkan, Orang Edan! Membuat gara-gara dengan
Dewa Guntur sama halnya menyulut api di jantung sendiri!"
Tanpa mau peduli lagi pada keadaan seke-
lilingnya, Saka Purdianta kembali melangkah.
Namun pandangan matanya kini terlihat penuh
kewaspadaan. Sesampainya di tanah datar yang
agak lapang, Saka Purdianta menghentikan lang-
kah. Tubuhnya yang tegap berdiri tegak dengan
pandangan lurus ke depan.
"Ha ha ha...! Setelah menerima salam per-
kenalan, kenapa kau tidak segera menuju ke ma-
ri" Apakah kau mengira burung gagak raksasa,
gelombang angin, dan si pemilik suara masih di
sana" Kalau memang semua ini benar, alangkah
lucunya. Ha ha ha...! Penampilan lahir tampak
pandai, tapi cuma kebodohan yang ada di dalam-
nya...." Dada Dewa Guntur bergemuruh menahan kemarahan. Giginya bergemelutukkan,
hingga ra-hangnya menggembung berbentuk segi empat.
Dengan pandangan tajam ditatapnya orang yang
barusan mengumbar kata-kata.
Di bawah kerindangan pohon besar tampak
duduk bersila seorang lelaki setengah baya. Tubuhnya yang ditopang sebongkah
batu besar keli-
hatan kokoh kuat, terbungkus pakaian ketat ber-
warna putih. Ada selampir kain hijau di pundak-
nya. Bukan selendang, karena lebih kecil dan
pendek. Wajah orang itu halus. Di atas alis mata
kanannya terdapat bekas luka kecil sepanjang jari kelingking. Yang menjadikan
penampilan orang
itu tampak angker adalah adanya seekor burung
gagak besar. Saka Purdianta menduga burung
gagak raksasa yang tadi hampir mencaplok kepa-
lanya. Maka, meledaklah amarah Dewa Guntur.
"Hei, Orang Asing yang tak tahu sopan-
santun!" dengus Saka Purdianta. "Aku tidak tahu siapa dirimu. Aku pun tidak tahu
apa maumu. Namun menilik sikapmu, aku bisa memastikan
kau tak lebih dari anjing kurap sok pandai yang layak untuk digebuki!"
Mendengar makian Dewa Guntur, orang
berpakaian putih malah tertawa terbahak-bahak.
Dia kemudian menjentikkan ujung jari kirinya ke arah gagak besar. Timbul suara
bersuit nyaring.
Gagak besar mendongakkan kepala, lalu melesat
cepat "Kaaakkk...!"
"Kurang ajar...!"
Suara nyaring yang keluar dari mulut ga-
gak besar ditimpali makian Dewa Guntur. Pemu-
da tampan ini segera mengegos ke samping kiri.
Lalu, dengan kibasan telapak tangan kanan yang
dialiri tenaga dalam penuh, hendak dipapakinya
luncuran tubuh gagak besar.
"Kaaakkk...!"
Cepat sekali gerakan burung gagak. Tu-
buhnya yang hitam kelam melenting ke atas, lalu menukik hendak mencaplok kepala
Dewa Guntur. "Kentut busuk! Salam perkenalanmu kute-
rima!" ujar Saka Purdianta seraya merundukkan tubuh. Serangan gagak besar pun
gagal. Sebelum satwa perkasa itu mengawali lagi serangannya,
Saka Purdianta telah mengirimkan pukulan jarak
jauh. Saat itu juga terdengar gemuruh angin
kencang. Di langit muncul suara ledakan yang
memekakkan gendang telinga. Orang berpakaian
putih yang masih duduk bersila terkejut bukan
main. Tanpa sadar dia meloncat bangkit.
"Monyet busuk!"
Orang berpakaian putih memandang wajah
Dewa Guntur dengan sinar mata berkilat. Sekitar lima tombak dari tempatnya
berdiri, bertebaran
serpihan daging berbau anyir. Sementara di ang-
kasa beterbangan bulu hitam dari tubuh gagak
besar yang telah menemui ajal.
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur mengeluarkan tawa ejekan. "Salam perkenalan dari
gagak naas- mu sudah kuterima dengan baik. Kenapa wajah-
mu malah mengelam, Sahabat" Apakah salah bila
kekerasan dibalas dengan kekerasan" Satwa peli-
haraanmu sudah layak mati, karena kesalahan-
mu sendiri!"
"Saka Purdianta!" sebut orang berpakaian putih. "Aku menemuimu bukan hendak
membuat permusuhan...."
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur memotong
ucapan itu dengan tawanya yang nyaring. "Kau tahu siapa diriku. Kukira kau pun
tahu kemampuanku. Tapi dengan menyuruh satwa peliha-
raanmu menyerangku, itu sama saja dengan me-
nunjukkan kemampuan otakmu yang tak lebih
cakap dari seekor kerbau!"
Wajah orang berpakaian putih semakin
merah-padam. Kata-kata Dewa Guntur sangat
menusuk perasaan. Namun, dicobanya untuk
bersikap wajar.
Senyum tipis tampak di bibirnya.
"Hei, Saka!" ujar lelaki itu sambil membu-sungkan dada. "Kata-katamu memang
pedas di telinga. Wajar saja bila kau menunjukkan keberanianmu. Kau belum tahu
siapa aku...."
Dewa Guntur tersenyum sinis. "Tidakkah
kau pernah mendengar bicara orang" Dewa Gun-
tur tak punya rasa takut. Dewa Guntur berhati
baja dan pantang menyerah. Walau kau menye-
but nama dan gelar segala iblis, Dewa Guntur tak akan gentar! Apalagi kau telah
menunjukkan sifat picik dan culas. Mana mungkin Dewa Guntur ciut
nyalinya. Justru kepalan tangan ini akan meme-
cahkan batok kepalamu!"
Tepat di ujung kalimatnya, Saka Purdianta
mengepalkan jari tangan kanan. Dan ketika dis-
orongkan ke depan, gumpalan sinar kelabu melu-
ruk begitu cepat.
Wuuusss...! Orang berpakaian putih tersenyum tipis.
Tanpa bergerak sedikit pun, ditadahinya pukulan jarak jauh Dewa Guntur.
Blaaarrr...! Saka Purdianta terkesiap. Terheran-heran
dipandangnya sosok lelaki setengah baya yang
berdiri lima tombak di hadapannya. Dada orang
itu jelas terhantam telak pukulan jarak jauh mi-liknya. Tapi, bagaimana mungkin
orang berpa- kaian putih tak mengalami apa-apa. Bahkan ber-
geming dari tempatnya pun tidak.
Sewaktu Saka Purdianta masih terbawa ra-
sa heran, orang berpakaian putih tertawa berge-
lak penuh kemenangan. "Ha ha ha...! Kenapa heran melihat kemampuanku. Itu
menunjukkan Dewa Guntur kurang pengalaman!"
"Tutup mulutmu!" geram Saka Purdianta.
"Di balik bau busuk kata-katamu, ada tersimpan sedikit kepandaian. Sebutkan nama
dan gelarmu sebelum kita mengawali sebuah persahabatan
atau permusuhan!"
Orang berpakaian putih mengusap bajunya
yang masih mengepulkan asap. Kembali senyum
tipis diperlihatkan.
"Dari semula aku sudah katakan kalau aku
bukan hendak membuat permusuhan. Hanya,
mungkin caraku yang keliru sehingga membuat
darahmu naik, Saka...."
"Jangan bertele-tele!" sela Dewa Guntur.
"Aku tak punya waktu untuk menghadapi urusan sepele. Segera sebutkan nama dan
gelarmu. Apa-bila kau punya urusan, lain kali bisa menemui
aku lagi. Sekarang aku benar-benar menghargai
waktu!" "Ah, kiranya Dewa Guntur kini orang yang
sibuk. Bukan maksud hatiku untuk menyita wak-
tumu. Aku bernama Karma Salodra, dan bergelar
Malaikat Baju Putih. Sebenarnya aku datang ke-
padamu bukan atas kemauan pribadiku. Aku da-
tang atas perintah junjunganku...."
"Siapa junjunganmu itu?" tanya Dewa
Guntur tak sabar.
"Tumenggung Sangga Percona."
Saka Purdianta tertegun. Tumenggung
Sangga Percona adalah ayah kandungnya. Dan,
Saka Purdianta tidak mengenali orang yang me-
nyebut dirinya Karma Salodra atau Malaikat Baju Putih. Tapi, kenapa dia
mengatakan sebagai
orang suruhan ayahnya"
"Jangan main-main, Salodra!" bentak Dewa Guntur. "Ayahku tidak punya orang
suruhan seperti dirimu. Semua pembantu ayahku selalu ber-
sikap hormat kepadaku, sedang kau tidak!"
"Ha ha ha...!" Karma Salodra tertawa keras.


Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bukan pembantu ayahmu, Saka. Kalau aku mau membantu ayahmu, itu karena
diberi imba-lan besar...."
"Keparat!" umpat Dewa Guntur. "Dasar
orang tak berguna. Menjual tenaga dan kemam-
puan hanya untuk harta dunia!"
"Justru aku ini sangat berguna, Saka.
Ayahmu tahu betul hal ini..."
"Jangan lagi banyak bacot! Segera katakan
mengapa ayahku menyuruh orang culas seperti-
mu untuk menemuiku!"
Malaikat Baju Putih menarik napas pan-
jang. Sikapnya tampak tenang sekali. Setelah beberapa tarikan napas, dia tak
juga membuka sua-
ra. Tentu saja Saka Purdianta menjadi penasaran.
"Enyahlah kau dari hadapanku bila mu-
lutmu tak bisa bicara!" bentak Dewa Guntur, geram. "Sabarlah, Saka...," ujar
Karma Salodra lembut. "Terlalu tergesa-gesa itu tidak baik. Seha-rusnya kau tahu
makna ujar-ujar orang dahulu,
bahwa di mana pun kaki berpijak, di sanalah langit dijunjung."
"Aku tak butuh nasihat, Orang Edan!" ma-ki Saka Purdianta. "Segera katakan apa
kemauan ayahku, atau kau akan menyesal karena tak dapat menjumpai Dewa Guntur
lagi!" "Baiklah kalau begitu, Saka...," kata Malaikat Baju Putih. "Aku datang ke
hadapan Dewa Guntur untuk meminta Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi."
Mendelik mata Saka Purdianta mendengar
penuturan Karma Salodra. "Tak mungkin...," bisik Saka Purdianta dalam hati.
"Hei! Kenapa kau malah terbengong-
bengong macam kerbau sakit ingatan?" ejek Ma-
laikat Baju Putih melihat Dewa Guntur berdiri
terpaku di tempatnya.
"Sedikit pun aku tak mempercayai kata-
katamu!" ujar Saka Purdianta.
Senyum tipis mengembang ke bibir Karma
Salodra. "Apa perlunya aku berbohong kepadamu.
Ayahmu memang menyuruhku untuk meminta
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang di balik
bajumu...," sambil berkata demikian, pandangan lelaki setengah baya ini tertuju
pada bagian yang menonjol di pinggang Saka Purdianta. Memang, di balik baju Saka
Purdianta terselip Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi (Tentang asal-usul Saka
Purdianta mendapatkan kitab ini, baca episode :
"Dendam Ratu Air").
Dewa Guntur tetap berdiri terpaku. Melihat
itu, Malaikat Baju Putih segera menyambung
ucapannya. "Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi seba-
gian berisi siasat dan strategi perang. Karena kau tak mau membantu perjuangan
ayahmu, maka Tumenggung Sangga Percona menginginkan kitab
itu. Saat ini penghalang paling berbahaya bagi ci-ta-cita Tumenggung Sangga
Percona adalah pu-
tranya sendiri. Tiada lain kau, Saka Purdianta!"
Mengelam paras Dewa Guntur mendengar
tudingan Malaikat Baju Pulih. "Berani benar kau berkata seperti itu!" bentaknya.
Namun sebelum pemuda tampan ini menyambung ucapannya.
Karma Salodra keburu menyela.
"Ha ha ha...! Cita-cita memang perlu se-
tinggi langit. Semua orang pun tahu bila semakin tinggi cita-cita, semakin besar
pengorbanan yang diperlukan. Dan, Tumenggung Sangga Percona
tahu benar akan hal itu. Karenanya, bila kau ingin jasadmu mempunyai jiwa,
segera serahkan Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi. Bila kau meno-
lak permintaan, ini, Tumenggung Sangga Percona
telah menyerahkan segala sesuatunya kepadaku.
Itu berarti aku mempunyai kuasa untuk berbuat
apa saja kepadamu!"
"Bangsat!" umpat Dewa Guntur penuh lua-pan kemarahan.
Pemuda tampan yang keras kepala ini se-
gera memasang kuda-kuda. Kedudukan kaki ka-
nannya digeser ke samping. Kemudian, dengan
badan sedikit berjongkok ditariknya kedua tangan ke belakang.
"Heaaah...!"
Gelombang angin dahsyat meluncur cepat
dari kedua telapak tangan Saka Purdianta yang
disorongkan ke depan. Inilah salah satu ilmu andalannya yang bernama 'Tapak Dewa
Guntur Sa- tukan Badai'. Kehebatannya tidak dapat disang-
kal lagi. Gemuruh angin yang ditimbulkan laksa-
na suara geledek.
Ketika gelombang angin dahsyat menghan-
tam tubuhnya, Malaikat Baju Putih telah me-
nyiapkan ilmu untuk memperberat tubuh. Sambil
membuka kedua telapak tangan di depan dada,
kaki kanannya ditarik ke belakang. Lalu....
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar di angkasa.
Tanah tempat Dewa Guntur dan Malaikat Baju
Putih berpijak terasa berguncang. Dan, tiba-tiba saja langit yang semula cerah
berubah gelap-pekat. Keadaan ini terjadi karena gumpalan tanah bercampur
bebatuan beterbangan ke atas. Bahkan, beberapa pohon besar tercabut hingga ke
akar-akar dan melayang tinggi ke angkasa.
Saat keadaan telah kembali seperti semula,
permukaan tanah tampak tak karuan. Banyak
terdapat kubangan-kubangan dalam, sementara
di sekitarnya batang-batang pohon besar rebah
melintang. Dewa Guntur dan Malaikat Baju Putih
tetap berdiri di tempatnya. Kedua orang ini saling bertatapan dengan sorot mata
tajam bak sebilah
pedang. Wajah mereka pun sama-sama tegang.
Dewa Guntur terlihat menyeringai dingin, se-
dangkan Malaikat, Baju Putih mengatupkan gigi
kuat-kuat "Kiranya nama besar Dewa Guntur bukan
isapan jempol belaka...," puji Karma Salodra.
"Hmm... Walau aku baru mengenalmu per-
tama kali ini, tapi aku bisa merasakan keheba-
tanmu. Namun tak hendak aku memberikan ka-
ta-kata pujian. Di antara kita telah terpaut benang permusuhan!"
"Kalau kau menganggap diriku sebagai
musuh, tidak menjadi apa, Saka. Tapi kau harus
tahu bahwa aku ini hanyalah orang upahan. Aku
mesti menjalankan perintah tuanku."
"Apa bedanya kau hendak membuat per-
musuhan denganku atau tidak. Kau telah mem-
buat pertentangan denganku"!" sahut Saka Pur-
dianta. "Baik! Apa pun tanggapanmu, aku tetap pada tujuanku semula. Serahkan
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi!" Karma Salodra rupanya sudah kehabisan kesabaran.
"Seujung rambut pun tak ada niat dalam
hatiku untuk melepaskan kitab warisan Panglima
Pranasutra!"
"Kalau begitu, jangan salahkan aku bila
terjadi apa-apa! Sekarang sebutkan apa maumu
sebelum pintu gerbang neraka menyambut keda-
tanganmu!" ujar Malaikat Baju Putih seraya mencabut sebilah pedang pendek dari
balik bajunya. Tertimpa sinar matahari, bilah pedang itu me-
mantulkan kilatan-kilatan cahaya yang menya-
kitkan mata. "Hmm.... Kiranya kau telah siap untuk
memaksaku. Seperti katamu, baiklah aku akan
menyampaikan kemauanku terlebih dahulu sebe-
lum kita bertarung...," ucap Saka Purdianta tanpa mengalihkan pandangan dari
wajah Karma Salodra. "Apa?"
"Tusuklah jantungmu dengan pedang yang
kau bawa!"
"Baik!"
Kesanggupan itu dikatakan Karma Salodra
tanpa pikir panjang lagi. Dicengkeramnya gagang pedang dengan kedua tangan.
Lalu, ditariknya bilah pedang itu di depan dada dengan ujung lurus tertuju ke
jantung. Tampaknya dia benar-benar
hendak menusuk jantungnya sendiri!
Jrep...! Mata Saka Purdianta mendelik. Bagaimana
mungkin Malaikat Baju Putih melakukan tinda-
kan sebodoh itu" Bunuh diri dengan menikam
jantung sendiri.
Keterkejutan yang menghantam Dewa
Guntur semakin bertambah tatkala melihat tubuh
Malaikat Baju Putih tak juga roboh ke tanah, padahal darah mengalir demikian
deras. Sebelum Saka Purdianta sempat menyadari keadaan, ter-
dengar suara berdesing yang dibarengi kelebatan bayangan putih.
Dewa Guntur tampak linglung. Tak tahu
apa sesungguhnya yang terjadi. Dan ketika akal
sehatnya telah kembali, dia meraba bajunya yang robek sejengkal Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi telah lenyap!
Saka Purdianta menebar pandangan. So-
sok Malaikat Baju Putih tak lagi berada di tem-
patnya. Dia lenyap bagai ditelan bumi.
"Sihir...!" desis Dewa Guntur. Tak ada kata-kata yang dapat diucapkan lagi
selain sumpah se-rapah.
2 Suropati berdiri termangu. Anggraini Sulis-
tya terlihat menggandeng tangannya untuk diajak memasuki lorong bawah tanah.
Tapi, kaki remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan itu tak
juga melangkah. Matanya terus memandang ke
bawah, hanya kegelapan yang didapat. Sementara
Raka Maruta yang berdiri di belakangnya mende-
sah terus. Entah apa yang dipikirkan pemuda
bergelar Pendekar Kipas Terbang itu.
"Ayolah, Suro...," ajak Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya Sakti. "Kenapa kau
ragu" Bukankah kita hendak menghadap Ayahanda Pra-
bu?" "Iya. Tapi..., kenapa beliau berada di tempat seperti ini?" tolak Suropati
atau Pengemis Binal. Hati remaja tampan yang sering berperilaku konyol ini masih
diselimuti keraguan.
"Aduh, Suro! Kau ini bodoh benar!" gerutu Anggraini Sulistya. Pegangan tangannya
ditepis oleh Pengemis Binal. "Bukankah sudah kukatakan kalau Ayahanda Prabu
kusembunyikan di lo-
rong bawah tanah karena keberadaan sangat ti-
dak memungkinkan. Kenapa semakin hari kau
bertambah bodoh saja" Di negeri Pasir Luhur ini telah bercokol pasukan
pemberontak...."
"Aku sudah tahu!" sela Suropati sambil menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, kenapa kau menolak kuajak meng-
hadap Ayahanda Prabu?"
"Bukannya aku menolak. Aku hanya ragu,
apakah benar aku ini putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit?"
"Kenapa kau masih saja menyangsikan hal
itu, Suro" Di punggung kirimu terdapat toh yang menandakan kau adalah adik
kandungku. Kau putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang
hilang ketika masih bayi."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepa-
lanya lagi. Kali ini diikuti dengan hidungnya yang berkernyit. Ingatannya
melayang pada peristiwa
di geladak Kapal Rajawali. Di sanalah Anggraini Sulistya mendapat keyakinan,
Suropati adalah
putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit (Ten-
tang cerita ini, silakan baca episode : "Cinta Bernoda Darah").
"Sebaiknya kita turuti ajakan Anggraini Sulistya, Suro...," cetus Pendekar Kipas
Terbang yang sedari tadi diam saja.
Dalam keremangan cahaya, Suropati me-
malingkan wajah untuk menatap Raka Maruta.
Pemuda berwajah lembut itu cepat-cepat menun-
dukkan kepala ketika Putri Cahaya Sakti turut
menatap ke arahnya.
"He he he...," kekeh Pengemis Binal. "Rupanya hatimu telah tercuri Anggraini
Sulistya, Maruta..."
"Hush...! Jangan bicara sembarangan, Su-
ro!" sergap Anggraini Sulistya sambil mencekal lengan Pengemis Binal. Kepala
Raka Maruta semakin tertunduk. Tebakan Suropati sanggup me-
nerbangkan keberaniannya untuk bersitatap den-
gan Putri Cahaya Sakti.
Sambil tersenyum-senyum, Pengemis Binal
menurunkan kaki kanannya ke pintu ruang ba-
wah tanah. Setindak-dua tindak akhirnya dia be-
nar-benar memasuki ruangan itu. Sebentar saja
sosok Pengemis Binal telah hilang. Anggraini Sulistya malah tak beranjak dari
tempatnya berdiri.
Dalam hati gadis cantik putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit ini tertawa geli. Ia melihat Ra-ka Maruta belum juga
mendongakkan kepala.
"Pendekar budiman yang tampan rupa-
wan...," bisik Putri Cahaya Sakti dalam hati.
"Sayang, dia sangat pemalu."
"Hoiii...!"
Tiba-tiba dari arah ruangan bawah tanah
terdengar teriakan. Anggraini Sulistya dan Raka Maruta tersentak. Suara yang
terdengar menya-darkan mereka untuk mengikuti langkah Suropa-
ti. "Ayolah, Maruta...," ajak Putri Cahaya Sakti. Kaki kanannya sudah meniti tangga
batu yang menuju ke bawah. Mau tak mau Raka Maruta
pun mengikuti. Anggraini Sulistya dan Raka Maruta hanya
membutuhkan sepuluh langkah untuk dapat me-
nyusul Suropati. Kiranya, remaja tampan Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
sengaja menunggu kemunculan mereka.
Ketika anak tangga yang menuju ke bawah
telah mereka lalui, jalan di depan berbelok ke kiri.
Gelap tak lagi menyelimuti. Pada dinding-dinding lorong terdapat cahaya yang
berasal dari nyala api obor. Dengan mengikuti kelokan jalan inilah akhirnya
ketiga muda-mudi itu sampai di sebuah
ruangan lebar berlantai marmer. Ruangan itu ternyata buntu. Anggraini Sulistya


Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyenggol len-
gan Suropati yang berdiri keheranan.
"Bila sedang bingung wajahmu jadi mirip
monyet kena sumpit!" ejek Putri Cahaya Sakti.
Suropati hanya menggaruk-garuk kepa-
lanya sambil nyengir kuda. Ditebarkannya pan-
dangan. Hampir seluruh ruangan dipenuhi ba-
rang-barang istana yang sudah tak berguna.
"Orang-orang di istana hanya tahu tempat
ini gudang bawah tanah...," jelas Anggraini Sulistya. "Tapi tidak semua orang
tahu bila di bawah gudang ini terdapat sebuah ruangan."
"Ruang rahasia?" tebak Pengemis Binal.
"Ya," Anggraini Sulistya menganggukkan kepalanya.
"Jadi, Prabu Singgalang Manjunjung Langit
dan Permaisuri Sekar Tunjung Biru berada di ba-
wah lantai manner ini?"
Kembali Anggraini Sulistya mengangguk.
"Maka dari itu, sebelum aku mengajakmu dan Raka Maruta datang ke tempat ini, aku
telah memastikan tidak ada orang yang mengikuti kita."
Pengemis Binal mengangguk-angguk. Raka
Maruta menatap wajah Anggraini Sulistya lewat
sudut mata. Sayang, gerakan yang sangat rahasia itu berhasil diketahui oleh
Suropati. "He he he...," Suropati tertawa terkekeh.
"Kebesaran nama Pendekar Kipas Terbang ki-
ranya tiada berarti ketika berdekatan dengan seorang gadis cantik."
Mendengar sindiran Suropati, Pendekar Ki-
pas Terbang cuma mengeluh dalam hati. Mulut-
nya tetap terkunci rapat. Anggraini Sulistya berdiri tampak acuh tak acuh. Gadis
berpakaian sute-
ra putih itu melangkah ke salah satu sudut ruangan. Setelah menyingkirkan
beberapa kotak kayu
yang menutupi lantai, dia melambaikan tangan-
nya. "Kemarilah...," ajak Anggraini Sulistya kepada Suropati dan Raka Maruta.
Kedua pendekar muda itu segera mende-
kat. Anggraini Sulistya menginjak tonjolan batu kecil yang terdapat di lantai.
Suropati dan Raka Maruta merasakan lantai tempat kaki mereka
berpijak bergetar. Sebelum mereka sempat men-
duga apa yang akan terjadi, tubuh ketiga orang
muda itu terjeblos ke bawah! Ketiganya mampu
mendarat di lantai ruang rahasia dengan kedudu-
kan tetap berdiri.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit dan
Permaisuri Sekar Tunjung Biru yang berada di
ruang rahasia terkejut melihat kehadiran
Anggraini Sulistya dan kedua kawan lelakinya.
"Aini...," panggil Prabu Singgalang Manjunjung Langit.
Baginda Raja langsung bangkit dari tempat
duduknya. Diikuti oleh permaisuri. Wanita setengah baya yang masih menampakkan
kecantikan- nya ini segera memeluk Anggraini Sulistya.
"Kau datang bersama siapa. Aini?" tanya permaisuri setengah berbisik.
Putri Cahaya Sakti melepas pelukan
ibunya. Ditatapnya wajah wanita setengah baya
itu lekat-lekat. Sebentar kemudian, pandangan-
nya beralih pada sosok Suropati.
"Apakah Ibunda Sekar Tunjung Biru masih
merindukan putra Ibu yang hilang ketika masih
bayi?" tanya Anggraini Sulistya dengan tatapan tetap tertuju pada Suropati.
"Apa maksud pertanyaanmu ini, Aini?"
Permaisuri balik bertanya.
"Jawablah pertanyaanku dulu, Ibu." Permaisuri menatap lekat wajah putrinya.
"Ibu dan anak mempunyai ikatan batin
yang tak mungkin dapat dipisahkan...," katanya.
"Seandainya putra Ibu yang hilang itu
kembali, apakah Ibu akan merasa bahagia?"
"Tentu saja, Anakku...."
Bibir Anggraini Sulistya mengembangkan
senyum. "Lihatlah dia, Ibu...," pintanya sambil menunjuk ke arah Suropati.
Kening ibunda Anggraini Sulistya tampak
berkerut. Sesaat degup jantungnya mengencang.
"Kau..., kau anakku?" desisnya hampir tak ke-dengaran.
Suropati cuma menggaruk-garuk kepala.
Namun, remaja konyol ini tak dapat menipu diri
sendiri. Ada getar-getar aneh yang memerintah-
kannya untuk segera berlutut ke hadapan Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang
sejak tadi tak pernah lepas memperhatikan sosok Pengemis Binal terdengar
mendehem. Lalu, tangan kanannya melambai ke arah pemuda konyol
itu. "Kemarilah...."
Mendengar titah sang Raja, Suropati segera
melangkah empat tindak. Gerakannya tampak
konyol dan terkesan tidak menghormat. Namun
begitu berada di dekat sang Raja, dia menjatuh-
kan diri untuk berlutut.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit men-
gelus rambut Pengemis Binal. "Buka bajumu...,"
pintanya kemudian.
Suropati menurut saja. Begitu bajunya ter-
lepas, tak berkedip mata sang Raja menatap toh
di punggung kiri Suropati. Kalau penguasa negeri Pasir Luhur ini masih dapat
mengendalikan perasaan, lain halnya dengan Permaisuri Sekar Tun-
jung Biru. Dia langsung berhambur memeluk Su-
ropati, dan menangis tersedu-sedu.
"Anakku.... Anakku...," isak permaisuri be-rulang-ulang.
Ada dorongan dalam hatinya yang mem-
buat Suropati tak dapat menolak keinginan itu.
Dorongan yang begitu kuat sehingga Suropati tak dapat menguasai diri. Dibalasnya
pelukan Permaisuri Sekar Tunjung Biru. Mendengar sedu-
sedan wanita itu, butiran mutiara bening menitik dari sudut mata Suropati.
Hilang sudah semua
kekonyolannya. Yang ada hanyalah rasa bahagia
bercampur haru yang sangat
"Ibu...," bisik Pengemis Binal setelah me-longgarkan pelukan. Ditatapnya wajah
Permaisuri Sekar Tunjung Biru, lalu dipeluknya lagi semakin erat. Kembali mereka
bertangisan. Di kursi yang terbuat dari kayu jati seder-
hana, Prabu Singgalang Manjunjung Langit tak
kuasa pula menahan perasaan. Walau dia tak be-
ranjak dari tempat duduk, tapi pandangan ma-
tanya menggambarkan sebuah pelukan mesra.
Wajah Anggraini Sulistya tampak meme-
rah. Sedari tadi air matanya telah mengalir. Raka
Maruta pun merasakan keharuan yang sangat.
Pemuda berwajah lembut yang sangat pemalu itu
tampak berusaha keras menahan jatuhnya air
mata. *** Di depan pintu yang menuju lorong bawah
tanah, Ingkanputri atau Dewi Baju Merah tampak
berjaga-jaga. Dia berdiri tegak di ambang pintu dengan tangan bersedekap. Ruang
tempatnya berada itu jarang dijamah orang. Hanya beberapa
pelayan yang bertugas memindahkan barang-
barang tak terpakai yang sering memasuki tempat tersebut Ingkanputri melihat dua
orang prajurit menghampiri tempatnya berada. Menurut penuturan Anggraini
Sulistya, hampir semua orang istana tak dapat dipercayai lagi, termasuk para
prajurit. Itu berarti nyawa sang Raja beserta orang-orang yang bersamanya di
ruang rahasia berada
di tangan Ingkanputri.
"Ah, bukankah Nona sahabat Tuan Putri
Anggraini Sulistya?" sapa prajurit bertubuh jangkung. "Benar," angguk
Ingkanputri. "Kenapa Nona berada di tempat ini" Dan,
di nana pula Tuan Putri?" tanya prajurit berkumis tebal.
Kening Dewi Baju Merah berkerut. Dia
tampak berpikir. Karena tak menemukan alasan
untuk menjawab pertanyaan itu. Ingkanputri ba-
lik bertanya. "Kau sendiri mengapa berada di
tempat ini, Prajurit?"
"Saya sedang jaga berkeliling, Nona. Bu-
kankah Nona tahu di istana telah bercokol ba-
nyak pemberontak?"
"Hmm.... Benar begitu?"
"Nona mencurigai kami?" tanya prajurit jangkung sambil menatap tajam wajah Dewi
Baju Merah. Gadis cantik itu jadi jengah dan sedikit tersinggung. Sebagai sahabat
putri raja, dia merasa diperlakukan tak hormat
"Aku tidak suka tatapan matamu, Prajurit!"
bentak Ingkanputri.
Prajurit jangkung tersenyum tipis. "Nona belum menjawab pertanyaan temanku,"
katanya. "Kenapa Nona berada di tempat ini" Dan, di mana Tuan Putri Anggraini Sulistya
berada?" "Apa urusanmu"!" bentak Dewi Baju Merah lagi. "Segera kembali bersama temanmu!
Tempat ini aman. Selama ada aku, tidak akan ada orang
yang berani menyusup kemari!"
"Hmm.... Benar kata Nona. Tuan Putri
Anggraini Sulistya tentu tak salah memilih sahabat. Nona pasti memiliki
kepandaian tinggi."
Usai berkata, prajurit jangkung memberi
isyarat lewat kedipan mata kepada temannya un-
tuk segera berlalu. Begitu sosok mereka lenyap di balik pintu, Ingkanputri
menarik napas lega. Namun beberapa kejap mata kemudian muncul seo-
rang lelaki berjubah kuning. Usianya sekitar lima puluh tahun. Wajahnya halus
dan bertubuh sedang. "I Halu Rakryan Subandira...!" terkejut bu-
kan main Dewi Baju Merah.
Dia berdiri terpaku dengan tatapan tertuju
lurus pada sosok yang baru datang. Ingkanputri
benar-benar tidak dapat mempercayai pengliha-
tannya. Sebelum datang ke ruang bawah tanah
ini bersama Anggraini Sulistya, Suropati dan Ra-ka Maruta, ia yang dibantu Raka
Maruta berhasil membekuk pengkhianat kerajaan tersebut. Masih
segar di ingatannya, bagaimana I Halu Rakryan
Subandira terluka dalam cukup parah sewaktu
mengadakan perlawanan.
Melalui pertarungan yang alot, akhirnya I
Halu Rakryan Subandira dapat dibekuk juga.
Sengaja pengkhianat kerajaan itu tidak dibunuh.
Karena, rasanya terlalu ringan bila hukuman itu dijatuhkan kepadanya. Biarlah
nanti pengadilan
istana yang akan memutuskan hukuman apa
yang tepat baginya. Mungkin penjara seumur hi-
dup di ruang bawah tanah hukuman yang paling
setimpal dengan perbuatannya yang hendak ma-
kar terhadap kerajaan. Biar I Halu Rakryan Sub-
andira merasakan bagaimana tersiksanya hidup
terkurung dengan segala kebebasan yang terba-
tas. Dan, melihat bagaimana usaha pemberonta-
kannya yang telah disusun demikian matang, ak-
hirnya hancur berantakan tanpa guna.
Ingkanputri tidak tahu yang terjadi sebe-
narnya setelah I Halu Rakryan Subandira berhasil dikalahkan. Ia dan Raka Maruta
diajak Anggraini Sulistya menuju ruang bawah tanah untuk menjumpai Prabu
Singgalang Manjunjung Langit dan
permaisuri. Sementara I Halu Rakryan Subandira di-
bawa oleh Patih Sanca Singapasa serta Senopati
Guntur Selaksa untuk dijebloskan ke dalam pen-
jara. Di saat-saat yang tidak menguntungkan I
Halu Rakryan Subandira itulah datang pertolon-
gan untuk dirinya. Seorang tokoh persilatan yang tak dikenal pihak istana datang
membebaskan. Tokoh yang cukup lihai itu berhasil melumpuh-
kan kedua perwira tinggi istana yang menawan I
Halu Rakryan Subandira. Tidak itu saja. Tokoh
yang tiba-tiba muncul ini pun membantu me-
nyembuhkan luka dalam I Halu Rakryan Suban-
dira. Ternyata tokoh yang datang menyelusup ke dalam lingkungan istana itu
memang bertugas
melancarkan jalannya pemberontakan. Buktinya,
tidak hanya I Halu Rakryan Subandira saja yang
ditolongnya. Tumenggung Sangga Percona pun
demikian. Dia kemudian pergi ke taman keputren
untuk membebaskan ayah Saka Purdianta itu da-
ri totokan yang dilancarkan Pengemis Binal. Tu-
menggung Sangga Percona dan penolongnya lalu
bergegas pergi meninggalkan istana. Mereka ber-
pisah di tengah perjalanan.
Ingkanputri bukannya tak melihat gelagat
tak baik yang ditunjukkan I Halu Rakryan Sub-
andira. Kecurigaannya terbukti. Tapi, ia membiarkan saja ketika ujung jari I
Halu Rakryan Subandira mendaratkan beberapa totokan di tubuhnya.
I Halu Rakryan Subandira tersenyum sinis
melihat Ingkanputri masih termangu-mangu.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira tertawa penuh kemenangan. Dia baru saja
melancarkan totokan jarak jauh. Dan..., berhasil. Tubuh Ingkanputri terjatuh
lemas ke lantai.
"Apa yang kau lakukan, Subandira"!" bentak Dewi Baju Merah.
"Apa yang kulakukan" Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira tertawa bergelak.
"Tanyalah kepada dirimu sendiri, Nona Ingkanputri yang
cantik jelita...."
"Tua bangka keparat!" umpat Ingkanputri dengan sinar mata berkilat.
"Hmm.... Kau memang seorang gadis yang
sangat berani, Putri. Boleh saja sekarang ini kau mengatakan aku sebagai 'tua
bangka', tapi nanti setelah aku jadi raja masihkah kau akan mengatakan
demikian?"
"Pengkhianat busuk!"
Mendengar cacian Dewi Baju Merah, I Halu
Rakryan Subandira malah tersenyum-senyum.
Perlahan sekali diloloskan sebilah pedang dari balik jubah kuningnya. Pandangan
Ingkanputri se-
makin berkilat ketika pedang itu disorongkan ke pangkal lehernya.
"Kau takut, Putri?" tanya I Halu Rakryan Subandira, setengah mengejek.
"Cih! Siapa yang takut pada ular berkepala dua sepertimu"!" jawab Dewi Baju
Merah, garang. "Aku menghargai keberanianmu. Tapi, bi-
sakah kau membayangkan wajahmu yang cantik
jelita ini, kuhancurkan dengan ujung pedang?"
"Pengkhianat busuk! Tak perlu kau men-


Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gancam! Katakan apa maumu!"
"Hmm.... Rupanya kau sangat menghargai
kecantikanmu, Putri. Baiklah, aku katakan ke-
mauanku...," I Halu Rakryan Subandira tersenyum. Ingkanputri mendengus. "Cepat
katakan!" bentaknya. Wajah I Halu Rakryan Subandira tampak
berubah tegang. "Kau diminta Anggraini Sulistya berada di tempat ini untuk
keperluan apa?" tanyanya sungguh-sungguh.
"Untuk memperhatikan gelagat para
pengkhianat seperti dirimu, Tua Bangka Keparat!"
Plak...! Tubuh Ingkanputri yang semula bersandar
ke dinding langsung terpelanting dua depa. Tam-
paran I Halu Rakryan Subandira mendarat telak
di pipinya. "Berani kau berkata kasar lagi, kurusak
wajahmu sekarang juga!" ancam I Halu Rakryan Subandira. Ujung pedangnya
ditempelkan ke mulut Ingkanputri. "Sayang sekali bila aku harus merobek bibir
seranum ini...," ujarnya. "Tapi, aku tak akan melakukannya bila kau berkata
jujur. Untuk apa kau berada di sini?"
Pertanyaan I Halu Rakryan Subandira
hanya dijawab oleh sorot mata tajam Ingkanputri.
"Aku tanya sekali lagi, untuk apa kau be-
rada di tempat ini?"
"Itu sudah kujawab!"
"Hmm.... Ya, baiklah.... Aku terima jawa-
banmu. Lalu, di mana Anggraini Sulistya dan ke-
dua temannya berada?"
"Apa urusanmu menanyakan itu?" selidik Ingkanputri. Tentu saja ia menaruh
kecurigaan. "Jawab saja pertanyaanku!"
Dewi Baju Merah tampak berpikir sejenak.
"Mereka sedang berunding untuk mengha-
dapi pemberontak busukmu, Subandira!" katanya kemudian.
"Di mana?"
"Aku tak tahu!"
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira tertawa bergelak. "Aku tahu sekarang.
Kau hendak menipuku. Tapi, justru tipuanmu yang men-
jebak dirimu sendiri...."
Di ujung kalimatnya, I Halu Rakryan Sub-
andira bertepuk tangan tiga kali. Dalam sekejap mata di tempat itu bermunculan
dua puluh orang
pengawal istana kelas satu.
"Geledah gudang bawah tanah!"
Mendengar perintah I Halu Rakryan Sub-
andira, wajah Dewi Baju Merah langsung berubah
pucat pasi.... *** Ruang rahasia bawah tanah....
Prabu Singgalang Manjunjung Langit, Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru, Anggraini Sulistya, Suropati, dan Raka Maruta
tampaknya sudah dapat mengendalikan perasaan. Suasana haru tak
lagi menyelimuti.
"Kau belum memperkenalkan temanmu
yang satu lagi, Aini...," ujar permaisuri.
Putri Cahaya Sakti sejenak melempar liri-
kan ke arah Raka Maruta.
"Dia bernama Raka Maruta. Orang membe-
rinya gelar Pendekar Kipas Terbang. Dia lahir di negeri Saloka Medang...," ujar
Anggraini Sulistya.
Senyum manis mengembang di bibirnya. "Raka Maruta sengaja datang menghadapi
Ibunda dan Ayahanda Prabu. Selain untuk membantu menga-
tasi kemelut di Pasir Luhur, juga untuk memi-
nang...." Kalimat Putri Cahaya Sakti tak berlanjut.
Karena keburu dipotong Pendekar Kipas Terbang.
"Aini...! Aku..., aku...."
"Kenapa malu-malu, Maruta?" tukas
Anggraini Sulistya. "Salahkah apa yang kukatakan?" "Aduh, Aini...," ucap Raka
Maruta. Dikumpulkannya seluruh keberanian. "Aku ini orang biasa, Aini. Aku
berasal dari kaum jelata. Aku tidak pantas menyampaikan sebuah pinangan kepada
putri seorang raja...."
"Kalau kau berhasil membantu menumpas
para pemberontak, Ayahanda Prabu akan membe-
rimu gelar bangsawan. Dan itu berarti kau layak meminangku!" tegas Putri Cahaya
Sakti. Mendengar penuturan gadis itu, Pendekar
Kipas Terbang malah jadi linglung. Apakah yang
dikatakan Anggraini Sulistya hanya sekadar eje-
kan" Atau, Anggraini Sulistya selama ini telah
menyimpan perasaan cinta terhadapnya" Alis
Pendekar Kipas Terbang bertaut rapat.
"He he he...," suasana hening itu dipecah-kan oleh tawa terkekeh Pengemis Binal.
"Persoalan yang satu belum terselesaikan, kenapa mesti menambah persoalan lagi"
Memikirkan cara untuk dapat bertahan hidup saja sulit, kau malah
membicarakan sesuatu yang tak layak dibicara-
kan saat ini."
"Ha ha ha...!" Prabu Singgalang Manjunjung Langit tertawa senang. "Pandai sekali
kau merangkai kata-kata, Suro. Bangga aku mempunyai putra seperti dirimu.
Memang, negeri Pasir Luhur tengah dibakar api pemberontakan. Jadi
kenapa kita sekarang memikirkan tentang perjo-
dohan?" "Hmm.... Yah, memang benar juga yang di-
katakan Suropati," sahut Anggraini Sulistya dengan tersipu-sipu. "Sekarang ini
istana tengah memerlukan penguasa tunggalnya. Kalau Ayahanda Prabu terus berdiam
di sini, tampuk peme-
rintahan kosong. Aku khawatir para pemberontak
akan segera memanfaatkan keadaan ini."
"Tepat! Padahal, kelangsungan hidup ra-
kyat Pasir Luhur sepenuhnya adalah tanggung
jawabku." Prabu Singgalang Manjunjung Langit
bangkit dari duduknya. Permaisuri Sekar Tunjung Biru mengikuti. Begitu pula
Suropati. Raka Maruta masih berdiam di tempatnya. Ketika Anggraini Sulistya
lewat di sisinya, pemuda berwajah lembut itu mencekal lengan gadis itu.
"Ada-ada saja kau, Aini...," tegur Raka Ma-
ruta. "Siapa yang bermaksud meminangmu?"
"Jadi, kau tidak cinta padaku?" Putri Cahaya Sakti balik bertanya.
"Iya. Tapi..., tapi...."
"Tapi apa?"
"Bukan begitu caranya. Kau membuat aku
malu." "Tapi senang juga, kan" Kau telah tahu isi hatiku."
"Iya, eh, ti...."
"Ayo, mau bilang apa"!" sergap Anggraini Sulistya.
"Iya. Aku mencintaimu, Aini...."
"Dan kau mau meminangku setelah kita
berhasil mengatasi kemelut di Pasir Luhur ini,
bukan?" "I..., iya."
Melihat Raka Maruta tersipu, Anggraini Su-
listya menyunggingkan senyum simpul. Kedua
muda-mudi lalu bergegas menuju pintu rahasia
untuk mengikuti Prabu Singgalang Manjunjung
Langit. I Halu Rakryan Subandira terkejut setengah mati. Ingkanputri yang tadi
tergeletak tak berdaya tiba-tiba meloncat bangun seraya mengi-
rimkan pukulan maut ke dada.
"Uts...!"
Walau dihantam keterkejutan yang sangat,
kepala pengawal istana itu masih sempat berkelit.
Tubuhnya melenting, dan mendarat tiga depa di
hadapan Ingkanputri yang berdiri tegak menatap-
nya dengan pandangan berapi-api.
"Bagaimana kau bisa lepas dari totokan-
ku?" tanya I Halu Rakryan Subandira, heran.
"Ilmu 'Totokan Tembre' yang kau miliki
mana bisa melumpuhkan aku?" ujar Dewi Baju Merah. Ketika gadis cantik ini
ditotok, sebenarnya dia telah menerapkan ilmu 'Pemancar Jalan Darah' ajaran
gurunya yang bergelar Dewi Tangan
Api. Ilmu itu membuatnya tak mempan ditotok.
Dan ketika dia terbaring lemah, itu hanya pura-
pura saja. Dua puluh orang pengawal kelas satu yang
diperintahkan menggeledah ruang bawah tanah
telah kembali. Mereka tak dapat menemukan
ruang rahasia tempat sang Raja dan permaisuri
bersembunyi. "Kalian tak menemukan apa-apa?" tanya I Halu Rakryan Subandira, memastikan hasil
kerja bawahannya. "Tidak ada yang dapat kami laporkan.
Ruang bawah tanah kosong belaka. Hanya berisi
tumpukan barang tidak berguna," jelas salah seorang pengawal.
I Halu Rakryan Subandira mendengus.
"Tangkap gadis itu! Jangan biarkan dia lolos!"
Para pengawal istana kontan menyerbu
Dewi Baju Merah. I Halu Rakryan Subandira sen-
diri turut mengeroyok. Menghadapi lawan yang
begitu banyak, Ingkanputri terdesak hebat. Para pengawal istana ternyata
memiliki kepandaian
tinggi. Mereka juga begitu bernafsu menjatuhkan tangan maut. Keadaan ini sangat
merepotkan Ingkanputri.
Suara desing pedang mengundang rasa
ngeri. I Halu Rakryan Subandira sendiri langsung mengeluarkan ilmu pedang
andalannya. Tubuh
lelaki itu berkelebatan cepat dengan ujung pedang mencecar jalan kematian di
tubuh Ingkanputri.
"Bedebah! Pengkhianat busuk!" umpat De-wi Baju Merah di sela-sela sambaran
pedang. "Merutuklah sepuasmu sebelum Malaikat
Kematian menjemput!" ejek I Halu Rakryan Subandira. Dewi Baju Merah segera
melepas selendang merah yang melilit pinggangnya. Begitu terlepas, selendang itu
langsung mengejang. Ujungnya me-liuk-liuk bagai kepala ular hendak mematuk
mangsa. Inilah jurus selendang merah hasil aja-
ran Sekar Mayang semasa Ingkanputri menjadi
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
(Tentang kisah Ingkanputri bersama Sekar
Mayang, baca episode : "Bidadari Lentera Merah"
dan "Asmara Penggoda").
Trang! Trang! Para pengeroyok Dewi Baju Merah terke-
siap. Ketika pedangnya membentur selendang
merah di tangan gadis itu, ternyata ketajaman
pedang tak mampu menebas putus selendang da-
ri kain sutera.
"Punya kepandaian juga kau rupanya,
Anak Manis!" ujar I Halu Rakryan Subandira.
Ingkanputri tak menjawab. Saat dia hampir
berhasil merobohkan salah seorang lawan, kepala pengawal istana itu mengalirkan
kekuatan tenaga
dalam ke bilah pedang.
Set! Tas! Ingkanputri mendengus gusar. Selendang-
nya berhasil dibabat putus pedang I Halu Ra-
kryan Subandira.
"Jangan gembira dulu, Bangsat!" rutuk Dewi Baju Merah.
Tubuh gadis itu melompat jauh saat pe-
dang I Halu Rakryan Subandira hendak memba-
bat leher. Begitu kakinya mendarat di lantai, Dewi Baju Merah mengalirkan
seluruh tenaga dalam ke
kedua pergelangan tangan. Sekejap mata kemu-
dian, dari kedua tangan Ingkanputri menyebar
hawa panas akibat penerapan ilmu 'Pukulan Api
Neraka'. Potongan selendang yang masih dipegang gadis cantik itu terbakar jadi
abu. "Kalian mundur semua!" perintah I Halu Rakryan Subandira kepada anak buahnya.
"Hmmm.... Rupanya kau hendak menye-
rahkan diri, Pengkhianat!" ujar Ingkanputri. "Ku-pikir itu lebih baik.
Barangkali Prabu Singgalang Manjunjung Langit berkenan menjatuhkan hukuman yang
lebih ringan!"
"Jangan salah mengerti, Gadis Manis...,"
sahut I Halu Rakryan Subandira sambil me-
nyunggingkan senyum tipis. "Orang-orangku ku-suruh mundur bukan untuk menyerah.
Karena kau telah memamerkan ilmu kesaktian, tergerak
hatiku untuk menjajal kehebatannya."
"Baik! Terimalah ini!"
Tubuh Dewi Baju Merah melenting tinggi.
Setelah bersalto tiga kali di udara, tubuh ramping
yang terbungkus pakaian serba merah itu mele-
sat. Seluruh anak buah I Halu Rakryan Suban-
dira mendelikkan mata. Tuannya terlihat tak
mencoba menghindar. Dan, teriakan penasaran
pun memenuhi tempat itu ketika kedua telapak
tangan Ingkanputri yang merah membara mem-
bentur dada I Halu Rakryan Subandira!
Blaaarrr...! Betapa terkejutnya Ingkanputri. Ketika te-
lapak tangannya membentur dada I Halu Rakryan
Subandira, terasa ada kekuatan yang menyentak.
Tenaga dalam yang tersalur ke kedua tangannya
berbalik memukul diri sendiri.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira tertawa penuh kemenangan. Dilihatnya
tubuh Dewi Baju Merah mencelat, lalu membentur dind-
ing ruangan hingga retak. Dia sendiri cuma mun-
dur setindak oleh pukulan Ingkanputri.
Susah-payah Dewi Baju Merah mencoba
berdiri. Begitu kedua kakinya berhasil ditegak-
kan, darah segar mengalir dari sudut bibir. Kepalanya terasa pening dan
pandangannya menga-
bur. I Halu Rakryan Subandira menatap tajam ke
arah murid Dewi Tangan Api itu.
"Bunuh dia!" perintah I Halu Rakryan Subandira. Seperti para pekerja paksa
berebut makanan, dua puluh orang pengawal istana merangsek
ke depan dengan pedang terhunus.
Dewi Baju Merah masih mencoba berkelit.


Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua-tiga sambaran pedang dapat ditepisnya. Na-
mun setelah darah segar mengalir lagi dari sudut bibir, pertahanan gadis itu pun
goyah. Sing...! Satu babatan pedang mengarah ke leher.
Satu babatan lagi tertuju ke pinggang. Disusul
kemudian dengan sebuah tusukan ke arah jan-
tung! Mustahil Dewi Baju Merah dapat menyela-
matkan diri. Trang! Trang! Trang!
Terdengar tiga kali benturan senjata tajam
yang memekakkan gendang telinga. Lalu, tiga pe-
kik kesakitan menambah hiruk-pikuk dalam
ruangan ini. I Halu Rakryan Subandira menggeram ma-
rah. Tiga anak buahnya berkelojotan di lantai
sambil memegang bahu kanan masing-masing.
Bawahannya yang lain berloncatan mundur.
"He he he...," tawa kekeh orang yang baru menyelamatkan jiwa Ingkanputri
ternyata Suropati atau Pengemis Binal. Dia berdiri tegak dengan tangan kanan
mencengkeram sebatang tong-
kat kayu butut.
"Kurang ajar!" geram I Halu Rakryan Subandira.
Kepala pengawal istana ini menghentak-
hentakkan kakinya ke lantai. Pandangannya na-
nar setelah mengetahui Suropati hadir bersama
Anggraini Sulistya, Raka Maruta, Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit beserta permaisurinya.
"Kedokmu sudah terbuka, Subandira!" ujar Prabu Singgalang Manjunjung Langit.
"Apa lagi yang dapat kau kerjakan kecuali berlutut dan
menyerahkan diri untuk menerima hukuman?"
"Itu hanyalah mimpi di siang bolong, Sapi
Tua!" balas I Halu Rakryan Subandira. Lelaki setengah baya ini segera memberi
isyarat kepada bawahannya untuk menyerang.
Putri Cahaya Sakti yang berdiri di sisi ka-
nan ayahnya, bersuit nyaring. Dari arah lorong
ruang sebelah kiri tampak berkelebatan dua pu-
luh bayangan hitam memapaki serangan para
pengikut I Halu Rakryan Subandira.
Dua puluh orang yang mengenakan pa-
kaian ketat hitam dan kerudung kepala hitam. Di pinggang mereka terlilit seutas
tali putih. Dengan senjata pedang panjang, gerakan mereka sangat
gesit dan tampak sangat terlatih. Mereka adalah Pasukan Hitam yang dibentuk
Anggraini Sulistya
untuk membantu mengatasi kemelut pemberon-
takan di negeri Pasir Luhur.
Sekembalinya dari pengembaraan di Kera-
jaan Anggarapura dan mengetahui adanya pem-
berontakan, Anggraini Sulistya mengusulkan ke-
pada ayahnya untuk meminta bantuan Ki Banyak
Sungsang yang menjadi Ketua Perguruan Pedang
Sakti. Karena Ki Banyak Sungsang tak mau lagi
mengurusi dunia luar, maka dia hanya mengirim-
kan dua puluh orang muridnya.
Mereka adalah murid-murid utama pergu-
ruan. Kemampuan mereka tak perlu disangsikan
lagi. Anggraini Sulistya membentuk mereka seba-
gai Pasukan Hitam. Ini untuk mengecoh salah sa-
tu kekuatan pemberontak yang dibantu para nin-
ja yang juga berpakaian dan berkerudung hitam
(Sepak terjang Pasukan Hitam untuk menumpas
para ninja negeri Matahari Terbit bisa diikuti pa-da episode : "Sengketa Orang-
orang Berkerudung"). Pertempuran Pasukan Hitam melawan para pengikut I Halu
Rakryan Subandira berlangsung
seru. Suropati segera meloncat ke hadapan In-
gkanputri. "Kau terluka, Putri?" tanya Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu,
khawatir. "Hanya luka dalam ringan, Suro," jelas Dewi Baju Merah. "Hadanglah Subandira!
Aku melihat gelagat dia hendak melarikan diri."
Di ujung kalimat Ingkanputri, Pengemis
Binal bergegas meloncat, dan berdiri tepat dua
tombak di depan I Halu Rakryan Subandira yang
masih memegang pedang.
"Sudah tua bukannya menumpuk pahala
dengan berbuat kebajikan, malah mengikuti naf-
su busuk. Mengumbar keinginan yang tak benar!"
sindir Pengemis Binal sambil mengetuk-
ngetukkan tongkatnya ke lantai.
"Bocah gemblung tak tahu diuntung! Kau
yang masih ingusan lebih baik menetek lagi pada ibumu, daripada tanggal kepalamu
terkena sambaran pedangku!" balas I Halu Rakryan Subandira.
"Hati-hati, Suro!" Ingkanputri memberi peringatan. "Dia mengenakan jubah pusaka
yang membuat tubuhnya jadi kebal!"
"Jangan khawatir, Putri!" sahut Suropati.
Remaja tampan berpakaian putih penuh
tambalan itu segera memutar tongkat memainkan
jurus 'Tongkat Menghajar Maling'. Dengan tubuh
melayang, beberapa kali tongkatnya menyambar
dan mengeluarkan suara menderu-deru. Tentu
saja I Halu Rakryan Subandira tak mau dipecun-
dangi. Segera pula kepala pengawal istana yang
hendak makar itu mengeluarkan seluruh daya
kemampuan. Putri Cahaya Sakti telah merangsek untuk
membantu Pasukan Hitam. Sedangkan Pendekar
Kipas Terbang meloncat dengan kipas baja putih
di tangan. Digempurnya I Halu Rakryan Subandi-
ra. Beberapa tarikan napas kemudian, terden-
gar empat kali jerit kematian. I Halu Rakryan
Subandira yang tengah bertempur mati-matian
melihat empat anak buahnya roboh bermandikan
darah. Karena dilanda kemarahan hebat, dia pun
menggempur lawannya laksana banteng terluka.
Diputarnya pedang lebih cepat. Jurus-jurus yang lebih hebat dikeluarkan. Tapi,
semua serangannya membentur benteng pertahanan yang kokoh.
Suropati dan Raka Maruta terlalu tangguh untuk
segera dapat dirobohkan.
Ketika melihat dua anak buahnya jatuh
terjungkal lagi, I Halu Rakryan Subandira sema-
kin murka. Dengan satu lompatan yang sangat
cepat, tubuhnya berputar di udara meninggalkan
ajang pertempuran. Kebetulan sekali ruangan cu-
kup luas sehingga I Halu Rakryan Subandira le-
luasa bergerak.
"Hendak lari ke mana kau"!" pekik Penge-
mis Binal seraya mengejar. Pendekar Kipas Ter-
bang mengikuti.
Teriakan Suropati dibalas dengan geram
kemarahan I Halu Rakryan Subandira. Dike-
butkan ujung jubah kuning yang dipakainya.
Wuuusss...! Gelombang angin dahsyat menerjang tu-
buh Pengemis Binal dan Pendekar Kipas Terbang
yang masih melayang di udara. Karena tak men-
duga datangnya serangan, tubuh kedua pendekar
muda itu pun terhempas.
Permaisuri Sekar Tunjung Biru dan In-
gkanputri menjerit ngeri. Prabu Singgalang Man-
jujung Langit tersurut mundur setindak. Tubuh
Suropati dan Raka Maruta melesat ke atas. Sete-
lah membentur atap ruangan, lalu jatuh berde-
bam amat keras ke lantai.
Raka Maruta mengaduh kesakitan sambil
mencari senjata andalannya yang terlepas dari
pegangan. Tapi tidak dengan Suropati, pemuda
itu langsung meloncat bangkit. Tak dipedulikan
rasa sakit yang merejam tubuhnya.
"Kadal tua kurang kerjaan!" maki Pengemis Binal yang masih memegang tongkat.
"Kucungkil matamu baru tahu rasa!"
Saat Suropati menerjang lagi, tiga jerit ke-
matian anak buah I Halu Rakryan Subandira ter-
dengar. Pandangan lelaki setengah baya itu jadi nanar. Belum sempat dia
mengambil tindakan,
Pengemis Binal telah mencecarnya dengan seran-
gan mematikan. Suropati memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing' yang digabung dengan
'Tongkat Mengejar Kucing'.
Buk...! Dada I Halu Rakryan Subandira terhantam
telak pukulan tongkat Pengemis Binal. Anehnya,
dia cuma mendengus tanpa menunjukkan sedikit
pun rasa sakit. Bahkan, tubuhnya hanya terjajar setindak. Padahal pukulan
tongkat Suropati
mampu untuk menghancurkan kepala seekor
banteng. "Kubantu kau, Suro!" teriak Ingkanputri.
Diterjangnya I Halu Rakryan Subandira tanpa
mempedulikan luka dalamnya. Raka Maruta yang
telah mendapatkan kembali kipas baja putihnya
ikut merangsek maju.
Melihat keadaan yang tak menguntungkan
apalagi setelah belasan prajurit yang masih setia pada sang Raja bermunculan. I
Halu Rakryan Subandira bergegas melenting ke belakang. Begi-
tu mendarat, Pusaka Jubah Kuning-nya dike-
butkan tiga kali.
Gelombang angin dahsyat meluruk deras.
Putri Cahaya Sakti meninggalkan ajang pertem-
puran untuk melindungi ibunya. Pendekar Kipas
Terbang pun meloncat untuk melindungi Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Ingkanputri sege-
ra merapat ke dinding karena tak mau tubuhnya
terlontar. Ketika gelombang angin ciptaan I Halu Ra-
kryan Subandira lenyap, kepala pengawal istana
yang berkhianat itu juga tak berada di tempatnya.
"Kalian tetaplah di sini, aku akan mengejar pengkhianat busuk itu!" seru
Pengemis Binal ke-
pada Ingkanputri dan Raka Maruta. Saat terjadi
tiupan angin laksana badai tadi, remaja konyol ini mempergunakan ilmu
memperberat tubuh untuk
melindung diri.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit dan
Permaisuri Sekar Tunjung Biru memandang lurus
ke arah hilangnya kelebatan tubuh Pengemis Bi-
nal. Sepertinya mereka tidak merelakan kepergian Suropati.
3 Seharian penuh Suropati menjelajahi kota-
praja. Tapi, jejak I Halu Rakryan Subandira tak juga ditemukan. Setiap melewati
sudut-sudut jalan, selalu saja timbul perasaan tak enak. Banyak lelaki
berperawakan kekar berpapasan dengannya. Sikap mereka rata-rata angkuh. Jauh
sekali dengan sikap para warga kotapraja yang ramah-ramah. "Hmm.... Orang-orang
itu tentu pasukan pemberontak yang sedang melakukan penyamaran...," kata hati
Pengemis Binal. "Agaknya negeri Pasir Luhur dilanda kemelut pemberontakan yang
hebat. Perpecahan di antara prajurit kerajaan saja sangat mengurangi kekuatan
pihak istana. Di-tambah lagi dengan adanya pasukan tersem-
bunyi. Ah..., aku tak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi...."
Suropati mendongak. Ditatapnya langit bi-
ru. Matahari yang telah condong ke barat mem-
buat sinarnya tak lagi menyengat. Melihat barisan burung yang mengangkasa,
Suropati menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Langkah kaki remaja konyol itu menuju
pintu gerbang kotapraja. Beberapa penjaga me-
nyapanya dengan sopan. Mereka memang telah
mengenal Suropati sebagai sahabat Anggraini Su-
listya. Kalau saja mereka tahu Suropati adalah
putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit, sikap mereka tentu akan lebih hormat
lagi. "Kelihatannya prajurit penjaga di pintu
gerbang ini masih berpihak pada sang Raja...," pikir Pengemis Binal sambil terus
melangkahkan kaki. "Di mana aku dapat menemukan I Halu Rakryan Subandira" Seandainya banyak
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti berada di
negeri ini, akan lebih mudah menemukan
pengkhianat itu. Ah..., aku jadi tak habis pikir.
Bagaimana dia dapat meloloskan diri dari penja-
gaan Patih Sanca Singapasa dan Senopati Guntur
Selaksa. Padahal waktu itu dia terluka dalam.
Apakah ada seorang yang menolongnya" Dan....
Apakah Tumenggung Sangga Percona juga dito-
longnya. Aku belum mengetahui kabar ayah Saka
Purdianta itu"
Suropati mendesah. Tiba-tiba saja pikiran-
nya jadi kalut. "Kekuatan dalam istana sangat lemah. Tanpa siasat yang jitu, api
pemberontakan tak mungkin dapat dipadamkan. Lalu, siasat apa
yang harus kugunakan?" Sambil membatin, Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya
kembali. Sekeluarnya dari kotapraja, jalanan terasa
lengang. Semakin jauh kaki Pengemis Binal me-
langkah, pikirannya semakin tak tenang. Tapi setelah sampai di lereng bukit
kecil, mendadak saja remaja konyol itu nyengir kuda lalu melonjak-lonjak
kegirangan. "Aku dapatkan jawabannya!" Suropati berteriak sekeras-kerasnya. "Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi! Yah, kitab warisan Panglima Prana-
sutra itu selain berisi cara-cara menghimpun tenaga prana juga berisi siasat dan
strategi perang.
Aku yakin dengan mempelajari isi kitab itu, kemelut negeri Pasir Luhur akan
dapat teratasi!"
Tak lama Pengemis Binal berada pada ke-
gembiraan. Wajahnya kini terlihat muram lagi.
"Uh! Bagaimana aku bisa mempelajari isi Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi kalau
kitab itu berada di tangan Saka Purdianta" Tapi tak apa,
sambil mencari I Halu Rakryan Subandira, kucari pula putra Tumenggung Sangga
Percona itu...,"
sekali lagi Pengemis Binal melonjak kegirangan.


Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku pergi ke Katumenggungan Lemah Abang sa-ja," cetusnya kemudian.
Remaja konyol itu berlari cepat dengan di-
lambari ilmu meringankan tubuh. Arah yang ditu-
junya adalah utara. Walau dia baru beberapa hari menginjakkan kaki di wilayah
Kerajaan Pasir Luhur, tapi jalan-jalan di sekeliling kotapraja telah
diketahuinya. Itu berkat penjelasan Anggraini Sulistya. Keringat membanjir di
sekujur tubuh keti-ka Pengemis Binal menghentikan langkah untuk
beristirahat. Matahari telah semakin condong ke
barat. Sinarnya pun bertambah lemah. Tapi
agaknya Suropati kegerahan. Dia kini membuat
langkah pendek-pendek.
"Hea. .! Hea...!" Terdengar teriakan orang memacu kuda.
Suropati menoleh ke belakang. Tampak
seekor kuda hitam berlari cepat melewati jalan
yang tadi dilaluinya. Cepat-cepat Pengemis Binal melompat ke pinggir karena tak
mau tertabrak. "Hei...!" teriak orang di atas kuda. Ditariknya tali kekang kuat-kuat. Kuda
hitam itu pun meringkik panjang sambil mengangkat kaki de-
pan. Begitu kuda hitam itu kembali tenang, pe-
nunggangnya segera meloncat turun.
"Saka Purdianta!" gumam Pengemis Binal sambil menatap tajam pemuda tampan
berpakaian coklat dengan garis-garis hitam.
"Ya! Aku memang Saka Purdianta atau
Dewa Guntur!" ujar pemuda itu yang tak lain putra Tumenggung Sangga Percona.
"Lama sekali ki-ta tak berjumpa, Suro. Sebaiknya kau terima sa-
lam hormatku!"
Usai berkata, Dewa Guntur meloncat den-
gan telapak tangan terbuka di depan dada. Saat
tubuhnya masih melayang, dihentakkan telapak
tangannya ke depan.
Wuuusss...! Pengemis Binal terkesiap. Dua larik sinar
kelabu meluncur ke arahnya. Cepat dia mem-
buang tubuh ke samping kanan. Akibatnya....
Blaaammm...! Dua larik sinar kelabu yang muncul karena
pukulan jarak jauh Saka Purdianta menghantam
pohon besar. Pohon dengan batang dua rangku-
lan manusia dewasa itu langsung tumbang.
Pangkal batangnya menghitam seperti habis ter-
bakar. "Hmm.... Kenapa kau menolak salam hormatku, Suro"!" dengus Saka Purdianta
dengan sinar mata berkilat.
"Rupanya kebencian Dewa Guntur terha-
dap Pengemis Binal lebih dari yang kukira...," ujar Suropati. "Terima kasih atas
salam hormatmu."
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur tertawa bergelak. "Di antara kita tersimpan dendam
lama. Kenapa mesti sungkan-sungkan mengundang Ma-
laikat Kematian agar mencabut nyawa salah seo-
rang di antara kita?"
Suropati tersenyum tipis. Dia tahu benar
Saka Purdianta pemuda keras kepala dan sangat
berangasan. Saka Purdianta pun menyimpan ke-
bencian yang sangat kepadanya. Putra Tumeng-
gung Sangga Percona itu menganggapnya sebagai
musuh bebuyutan! (Untuk mengetahui asal-usul
perselisihan kedua tokoh muda ini, silakan baca episode : "Cinta Bernoda
Darah"). "Saat ini aku tak hendak membuat permu-
suhan dengan siapa pun...," kata Pengemis Binal, merendah. "Aku mempunyai tugas
berat yang harus segera kuselesaikan. Kalau kau masih men-
ganggap negeri Pasir Luhur adalah tanah kelahi-
ranmu, sebaiknya kau simpan dulu rasa bencimu
terhadapku."
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur tertawa terba-
hak lagi. "Hmm.... Kiranya Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti adalah
seorang pe- cundang berjiwa pengecut!"
"Simpan kata-kata kotormu, Saka!" tukas Suropati. "Negeri Pasir Luhur berada di
ambang kehancuran karena adanya pemberontak yang
hendak merebut kekuasaan. Tahukah kau, Saka,
bila terjadi pertempuran maka rakyat juga yang
akan menderita. Tidakkah kau terpanggil untuk
melakukan sesuatu?"
"Dengan alasan apa kau hendak memban-
tu mengatasi kemelut di negeri ini?" tanya Dewa Guntur penuh selidik.
"Hati kecilku terpanggil untuk melakukan
semua ini. Aku tak ingin melihat pertumpahan
darah. Dan, Anggraini Sulistya memintaku untuk
membantu...."
"Anggraini Sulistya...," desis Saka Purdianta memotong kalimat Pengemis Binal.
"Masih hi-dupkah dia?"
"Ya!" jawab Suropati dengan suara lantang.
"Melalui perjuangan berat, Anggraini Sulistya dapat terbebas dari pengaruh Racun
Jarum Mati Sekejap." "Oh, benarkah begitu?" tanya Saka Purdianta ragu-ragu. Sinar kegembiraan jelas
terpancar di matanya.
"Tak ada gunanya aku berdusta. Kalau kau
mau menebus dosamu terhadapnya, kau harus
membantu dia. Yang dapat kau lakukan adalah
menyerahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
kepadaku."
"Untuk apa?"
"Kitab itu berisi siasat dan strategi perang.
Kau tentu tahu kegunaannya, Saka...," Pengemis Binal memang berkata demikian.
Tapi di hatinya
tiba-tiba saja timbul rasa curiga. Bukan tidak
mungkin Saka Purdianta membantu pemberonta-
kan ayahnya. "Aku tidak membawanya...," aku Dewa
Guntur dengan paras mengelam.
"Apa"! Kau jangan mungkir, Saka!" hardik Pengemis Binal. "Kitab itu milik
Ingkanputri. Kau telah melarikannya dari kota Kadipaten Bumirak-sa!" "Ya, ya...,
aku mengakui. Tapi sekarang kitab itu memang tidak ada lagi padaku."
"Apa maksudmu"!" bentak Pengemis Binal lebih keras. "Apakah kita mesti bertempur
untuk membuktikan dustamu?"
Suropati mencengkeram erat tongkat di
tangannya. Tampaknya remaja konyol ini ber-
sungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Tunggu dulu, Suro!" cegah Saka Purdianta sambil melangkah setindak ke belakang.
"Jika kau menantangku bertempur, sebenarnya aku
malah senang. Tapi aku tidak mau kau menu-
duhku menyembunyikan Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi. Kitab itu telah dirampas orang...."
"Apa"!" Suropati melonjak kaget. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi lenyap
dilarikan orang. Semakin sulitlah tugas Suropati untuk
menumpas pemberontak di negeri Pasir Luhur.
"Kau menganggapku sebagai penjahat cu-
las dan licik, terserah apa maumu. Tapi kali ini kau harus percaya dengan
ucapanku, Suro."
Pengemis Binal mendengus. Sinar matanya
berkilat tajam seperti hendak menjajaki isi hati Dewa Guntur.
"Kemarin dalam perjalanan menuju kota-
praja, aku diikuti orang yang mengenalkan diri
sebagai Karma Salodra atau Malaikat Baju Putih.
Dengan ilmu sihirnya dia berhasil merampas Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang kusimpan
di balik baju," tutur Dewa Guntur.
"Siapa Karma Salodra itu?" selidik Pengemis Binal.
"Dia orang upahan ayahku."
"Untuk apa dia merampas Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi?"
Mendengar pertanyaan Suropati, Saka
Purdianta termangu. Hatinya jadi ragu. Apakah
harus dibeberkan persekongkolan ayahnya den-
gan I Halu Rakryan Subandira untuk merebut
takhta Pasir Luhur"
"Kenapa kau diam, Saka?" cecar Pengemis Binal. "Kalau kau ingin aku percaya
padamu, jangan sembunyikan apa yang kau ketahui?"
Dewa Guntur menatap sejenak wajah Pen-
Malaikat Jubah Keramat 1 Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara Cinta Sang Pendekar 1
^