Pencarian

Pewaris Mustika Api 3

Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api Bagian 3


lihat kehebatan si gadis. Apalagi ketika sanggulan gadis berparas cantik ini
lepas. Dan tiba-tiba,
rambutnya bergerak ke depan dalam keadaan
mengejang kaku.
Jaka Pamulang menggembor keras. Dengan
nekat diterjangnya Pendekar Wanita Gila yang
tampaknya akan menjatuhkan hukuman.
Dalam keremangan petang, terlihat rambut
panjang Pendekar Wanita Gila telah membelit per-
gelangan tangan kanan Jaka Pamulang yang hen-
dak mendaratkan pukulan. Dan....
Krakkk! "Aaa...!"
Terdengar suara gemeretak tulang patah.
Lalu, disusul pekik kesakitan Jaka Pamulang.
Pendekar Wanita Gila melepas belitan ram-
butnya. Untuk kesekian kalinya, tubuh Jaka Pa-
mulang jatuh berdebam di tanah. Namun, kali ini
dia memperdengarkan raungan panjang tiada hen-
ti. Tubuhnya menggeliat-geliat karena tulang per-
gelangan tangan kanannya telah remuk!
"Sekarang kau pergilah, Jahanam!"
Buk! Usai berkata, Pendekar Wanita Gila menen-
dang punggung Jaka Pamulang. Gadis ini lalu ter-
tawa bergelak. Matanya tak lepas menatap tubuh
Jaka Pamulang yang terlontar jauh, lalu bergulin-
gan di atas tanah. Sengaja seluruh kekuatan tena-
ga dalamnya tak dipergunakan. Kalau itu dilaku-
kan, tubuh Jaka Pamulang tentu akan hancur be-
rantakan. Melihat Jaka Pamulang telah lari terbirit-
birit seperti dikejar setan, Pendekar Wanita Gila memperkeras suara tawanya.
Setelah puas, barulah gadis ini menyanggul kembali rambutnya. Wa-
jahnya yang ketus-galak mendadak berubah manis
sekali, membuat kecantikannya semakin meman-
car. Pendekar Wanita Gila segera membebaskan
pengaruh totokan di tubuh Intan Melati. Dipan-
danginya wajah si gadis dengan penuh rasa iba.
Seperti ingat sesuatu yang amat menyedihkan, ti-
ba-tiba air mata Pendekar Wanita Gila berlinang.
Dia menangis sesenggukan. Dibelainya rambut In-
tan Melati yang tergerai tak karuan.
"Uh...!" keluh Intan Melati yang tersadar da-ri pingsannya.
Putri Rama Ludira ini mengerjap-
ngerjapkan matanya. Dia tersentak kaget. Tapi me-
lihat yang berada di dekatnya bukan Jaka Pamu-
lang, si gadis bernapas lega.
"Aku telah mengusir pemuda jahat itu, Adik
Manis...," jelas Pendekar Wanita Gila sambil menyeka air matanya.
Intan Melati tak berkata apa-apa. Teringat
perbuatan Jaka Pamulang, dia menjerit keras. La-
lu kembali si gadis menangis mengguguk.
"Jangan menangis, Adikku. Tidak ada yang
ditakuti sekarang...," ujar Pendekar Wanita Gila dengan suara lembut penuh kasih
sayang. Melihat
Intan Melati terus menangis, air mata gadis ber-
sanggul ini mengalir lagi.
Dengan mata berkaca-kaca Intan Melati
memperhatikan keadaan tubuhnya. Tahu kalau
dirinya belum ternoda, dia menyebut kebesaran
Tuhan. Dengan mata tetap berkaca-kaca, pandan-
gannya dialihkan ke wajah gadis yang duduk di si-
sinya. "Kaukah yang telah menolongku?" tanya Intan Melati.
Pendekar Warata Gila tersenyum. "Tuhan-
lah yang menolongmu. Aku hanya perantara...,"
ujarnya sambil menyeka air mata.
"Terima kasih, Kak. Aku tak tahu, bagaima-
na harus membalasnya nanti. Tapi, kenapa Kakak
menangis?" tanya Intan Melati penuh keluguan.
Seperti baru teringat pada sesuatu yang
amat penting, Pendekar Wanita Gila tersentak.
"Aku menangis?" gumamnya. Melihat Intan Melati menatap lekat ke arahnya,
mendadak gadis ini tertawa bergelak.
Perubahan yang cepat terjadi pada diri Pen-
dekar Warata Gila membuat Intan Melati heran.
Keningnya berkerut. Air matanya berhenti menda-
dak. Dia jadi lupa pada peristiwa yang baru terjadi atas dirinya.
"Kenapa kau menatapku terus, Adik Manis"
Namamu siapa?" tanya Pendekar Wanita Gila kemudian.
"Kakak baik sekali. Tapi, kenapa Kakak ha-
bis menangis lalu tertawa?" Intan Melati tak memberikan jawaban, malah balik
bertanya. Pendekar Wanita Gila tersenyum tipis.
"Lupakan apa yang baru kuperbuat," ujarnya dengan penuh kesungguhan. "Kau belum
mengenalkan siapa dirimu."
"Namaku Intan Melati."
"Namamu bagus sekali, Intan. Ayah dan
ibumu pastilah orang terpelajar. Di mana rumah-
mu" Dan, bagaimana peristiwa ini bisa terjadi?"
Intan Melati menghembuskan napas berat,
seakan tengah mengusir kesedihan yang meng-
gayuti benaknya. Pendekar Wanita Gila agaknya
dapat memahami keadaan Intan Melati. Dengan
penuh kasih sayang dikenakannya pakaian luar
berwarna biru laut ke tubuh gadis malang itu un-
tuk menutupi bajunya yang robek di dada.
"Ibuku sudah meninggal. Ayahku sekarang
mungkin sedang mencariku, karena aku pergi tan-
pa sepengetahuannya...," tutur Intan Melati kemudian. "Dalam perjalananmu, lalu
kau berjumpa pemuda jahat itu?" tebak Pendekar Wanita Gila.
Intan Melati mengangguk.
"Ayahmu tentu sangat sedih, karena kau
tinggalkan, Intan. Kau harus kembali pada ayah-
mu. Kau harus minta maaf padanya..."
"Kupikir memang begitu. Aku tak tahu, apa
yang akan terjadi pada diriku seandainya Kakak
tidak datang menolongku."
"Jangan panggil 'Kakak'. Namaku Dewi Ika-
ta..." Kontan mengelam paras Intan Melati mendengar ucapan Pendekar Wanita Gila.
"Kau... kau benar Dewi Ikata...?"
"Ya. Kenapa, Intan" Kau tak perlu khawatir.
Aku bukan orang jahat, walau aku bergelar Pende-
kar Wanita Gila. Kasihan sekali kau, Intan. Mau-
kah kau tinggal di Pendapa Kadipaten beberapa
lama?" Intan Melati tak lagi memperhatikan ucapan Pendekar Wanita Gila. Rasa
cemburu kembali
menghantam jiwanya. Gadis ini merasa rendah di-
ri. Dia memang tak sebanding dengan Dewi Ikata.
Selain lebih cantik, Dewi Ikata juga mempunyai
ilmu lebih tinggi. Putri adipati lagi.
Memikirkan keadaannya sendiri, Intan Me-
lati lalu menangis lagi. Sementara Dewi Ikata atau Pendekar Wanita Gila
memandang heran.
"Kau menolak kuajak ke Pendapa Kadipaten
Bumiraksa, Intan?" tanya putri tunggal Adipati Danubraja itu. "Tapi, kau tak
perlu menangis, Intan. Kalau kau tidak mau, aku tak akan memaksa.
Mudah-mudahan ayahmu segera dapat menemu-
kanmu. Aku senang bersahabat denganmu, Intan.
Kalau kau butuh bantuan, datang saja ke Pendapa
Kadipaten Bumiraksa...."
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kak..,"
ucap Intan Melati di sela-sela tangisnya. "Aku pergi saja. Aku berdoa untuk
kebahagiaan Kakak..."
"Kau hendak pergi ke mana?"
Intan Melati diam. Kepalanya tertunduk.
Gadis ini memang tidak tahu, ke mana hendak
pergi. Dia tak mungkin kembali ke Pulau Karang
tempat tinggalnya yang terpencil.
"Hari sudah mulai gelap, Intan. Aku tak
mau kejadian seperti tadi terulang lagi. Aku tak te-ga melepasmu seorang diri.
Ikutlah aku ke Penda-
pa Kadipaten Bumiraksa. Tinggallah selama kau
suka. Hingga sampai saatnya nanti, kau berjumpa
ayahmu...."
Mendengar tawaran baik Dewi Ikata, air ma-
ta Intan Melati malah mengalir deras. Bahunya
semakin terlihat naik turun, karena terbawa sedu-
sedan tangisnya.
Dewi Ikata memandang iba. Lalu, dibim-
bingnya Intan Melati untuk berdiri. Entah kenapa, Intan Melati tak mampu menolak
ketika Dewi Ikata
membawanya berjalan menuju kota Kadipaten
Bumiraksa. Sepanjang perjalanan, Intan Melati terus
melelehkan air mata. Namun, Dewi Ikata tak henti-
hentinya menghiburnya. Tanpa diketahui putri
tunggal Adipati Danubraja, semua kata-kata bi-
jaknya yang mencerminkan kebaikannya justru
membuat kesedihan Intan Melati makin bertam-
bah. Intan Melati semakin merasa dirinya tiada
berarti bila dibanding Dewi Ikata....
6 Seorang pemuda gagah menyandang pedang
di punggung keluar dari kedai minuman dengan
langkah sempoyongan. Matanya diucak-ucak se-
perti tak percaya kalau hari telah gelap. Berulang kali dia bersendawa,
mengeluarkan udara di perut
lewat mulut. Ditatapnya langit hitam yang berta-
bur bintang. Melihat Sang Candra bersinar putih,
pemuda berpakaian coklat-hitam ini tertawa ter-
bahak-bahak. "Ha ha ha...! Sungguh kau cantik sekali,
Kekasihku. Aku merindukanmu siang dan malam.
Aku mencintaimu sepanjang hayatku. Tapi...."
Pemuda ini tak melanjutkan kalimatnya ke-
tika udara dari perutnya kembali keluar mengha-
langi bicaranya. Setelah berjalan beberapa tindak, wajahnya ditengadahkan ke
langit. Kedua tangannya yang terpentang ke atas menunjukkan kalau
dirinya tengah mengiba.
"Kekasihku.... Huk! Huk! Kau pasti tahu,
seberapa besar cintaku padamu. Kau pasti tahu,
aku tak mungkin hidup tanpa dirimu. Tapi, kena-
pa kau pergi"! Kenapa kau berpaling dan mening-
galkan aku seorang diri" Tahukah kau, Kekasihku.
Kau telah merobek-robek hatiku. Kau telah meng-
hancurkan harapanku. Huk! Huk!"
Pemuda yang sudah dipengaruhi minuman
keras ini terus menceracau. Air mukanya menun-
jukkan kesedihan amat sangat. Namun sebentar
kemudian, dia memperdengarkan suara tawa yang
meledak-ledak. Di depan kedai minuman itu, kebetulan le-
wat seorang pemuda bertubuh kurus kecil.
"Kasihan sekali pemuda itu...," desah si pemuda sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku akan mengantarnya pulang. Dalam keadaan seperti itu, dia tentu tak
tahu jalan."
Mengikuti pikiran di benaknya, pemuda
bertubuh kurus kecil itu segera mendekati pemuda
yang tengah mabuk. Baru saja pemuda kurus kecil
hendak memapah, tapi dengar kasar ditolak.
"Siapa kau"! Aku tidak butuh bantuanmu!"
bentak si pemuda pemabuk.
"Tenanglah, Badrowi. Aku Palungan. Aku
akan mengantarmu pulang."
"Kau Palungan" Ha ha ha...!" si pemuda
mabuk tertawa bergelak. "Syukurlah kau datang, Sahabatku. Kau akan segera
menjadi saksi di hari
bahagia ini. Aku akan menikah dengan Wilujeng.
Ha ha ha...!"
"Ya. Aku tahu, kau akan menikah. Tapi bu-
kan dengan Wilujeng. Kekasihmu itu telah me-
ninggal...," tutur pemuda bertubuh kurus kecil bernama Palungan, mencoba
mengembalikan kesadaran pemuda pemabuk yang dipanggil Badrowi.
"Apa"! Wilujeng telah meninggal" Bodoh
kau, Palungan!" maki Badrowi.
"Ya. Ya, Wilujeng tidak meninggal...," ucap Palungan, untuk menyenangkan hati
Badrowi. "Ha ha ha...! Kau benar, Sahabatku. Wilu-
jeng memang tidak meninggal. Kau lihat itu!" tud-ing Badrowi pada rembulan. "Dia
tersenyum ke arahku. Bukankah dia cantik sekali...?"
Kali ini Palungan tak mendengarkan ucapan
Badrowi. Dengan setengah memaksa, dipapahnya
pemuda mabuk itu untuk meninggalkan tempat.
Namun baru saja memasuki jalan lebar yang
membelah kota, mendadak langkah mereka terha-
dang oleh seorang pemuda berambut awut-awutan
dengan bola mata memancarkan cahaya merah
menakutkan. "Siapa kau"!" bentak Palungan, karena melihat pemuda yang menghadang seperti
hendak mengganggu. "Uts! Tenanglah, Sahabatku...," sela Badrowi. "Kau lihat dia baik-baik. Bukankah
dia Wilujeng" Ya! Dia Wilujeng!"
Palungan mendekap bahu Badrowi kuat-
kuat, ketika pemuda mabuk ini hendak berham-
bur ke arah pemuda berambut awut-awutan.
"Kita ambil jalan lain saja, Badrowi...," bisik Palungan saat pemuda berambut
awut-awutan menggeram dengan mata bercahaya merah sema-
kin menakutkan.
Susah-payah, diseretnya tubuh Badrowi.
Tapi baru saja membalikkan badan, Palungan ter-
kejut setengah mati karena tahu-tahu pemuda be-
rambut awut-awutan itu telah berdiri menghadang
lagi. Entah, kapan berkelebatnya.
"Siapa kau"! Biarkan kami lewat!" bentak Palungan, setelah mengumpulkan seluruh


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebe- raniannya. "Bodoh!" sahut Badrowi. "Sudah kubilang tadi, dia itu Wilujeng. Biarlah dia
mengikuti kita."
"Diamlah, Badrowi! Dia bukan Wilujeng. Dia
hendak mengganggu kita," ujar Palungan seraya menyeret tubuh temannya untuk
diajak berlari.
Pemuda berambut awut-awutan mendengus
gusar. Dan sekali kakinya menjejak tanah, tubuh-
nya melesat. Lalu, tahu-tahu mendarat di hadapan
Palungan yang sedang dihantui rasa takut
Sementara itu, orang-orang yang kebetulan
berlalu-lalang mulai menghentikan langkah. Mere-
ka memperhatikan penampilan pemuda berambut
awut-awutan yang terlihat kotor sekali. Pakaian-
nya yang sebenarnya terbuat dari bahan mahal
penuh bercak yang berasal dari debu tanah. Wa-
jahnya yang sebenarnya tampan, jadi amat mena-
kutkan. Karena, bola matanya memancarkan ca-
haya merah. Melihat penampilan yang aneh ini,
cepat-cepat mereka melangkah lagi. Seolah, mere-
ka seperti habis berjumpa dengan sesosok mak-
hluk amat mengerikan.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Biar-
kan aku lewat..," pinta Palungan dengan suara di-lembutkan.
Pemuda berambut awut-awutan mengge-
leng-gelengkan kepalanya.
"Tolonglah aku...," desisnya. "Tunjukkan jalan ke kotapraja...."
"Sana!" tunjuk Palungan, cepat. Hatinya sedikit lega. "Berjalanlah terus ke
utara mengikuti jalan ini. Kau akan segera sampai ke kotapraja."
"Terima kasih...."
Usai berucap, pemuda berambut awut-
awutan berbalik. Namun baru melangkah tiga tin-
dak, tiba-tiba dia menggembor keras. Badannya
berbalik lagi. Palungan terkejut setengah mati melihat
wajah pemuda berambut awut-awutan itu meng-
gambarkan kemarahan amat sangat. Cahaya me-
rah yang memancar dari matanya semakin terlihat
mengerikan. "Aku tidak menipumu...," ujar Palungan penuh rasa takut. Dekapannya pada
pinggang Ba- drowi terlepas. "Benar aku tidak menipumu. Kotapraja berjarak setengah hari dari
sini...." Seolah tak mendengarkan ucapan Palun-
gan, pemuda berambut awut-awutan itu mende-
kap kepalanya seperti sedang menderita pening
hebat. Sesaat kemudian, dia menggerendeng. Lalu,
tubuhnya melesat ke depan dengan tangan berke-
lebat cepat Palungan terkesiap. Cepat tangannya
memapak. Prak..! "Aaakh...!"
Jerit panjang Palungan membahana, mero-
bek angkasa. Tubuh kurus pemuda naas ini ter-
pental dan jatuh ke tanah. Tulang tangan kanan-
nya patah, ketika menangkis tamparan pemuda
berambut awut-awutan. Namun, tak lama kemu-
dian kesadarannya segera lenyap.
"Huk! Huk! Kenapa kau lukai Palungan, Ke-
kasihku...?" oceh Badrowi dengan tubuh sem-
poyongan seraya menghunus pedangnya. "Ternya-
ta... ternyata kau bukan Wilujeng! Kau iblis! Kau harus kubunuh!"
Melihat pedang Badrowi berkelebat, pemuda
berambut awut-awutan memekik panjang. Cepat
sekali tangan kanannya bergerak menangkap bilah
pedang yang mengancam nyawanya. Dan entah
bagaimana, tahu-tahu pedang itu telah berpindah
tangan. "Huah...!"
Bletak..! Walau otaknya masih terpengaruh minu-
man keras, tapi Badrowi dapat melihat bagaimana
pemuda berambut awut-awutan itu mematahkan
bilah pedangnya. Kontan mata pemuda mabuk ini
mendelik karena terkejut. Terbawa rasa takutnya,
badannya cepat membalik untuk berlari seken-
cang-kencangnya. Tapi sayang, baru dapat empat
langkah, kakinya terantuk batu.
Brukk! "Aduhh...!"
Suara kesakitan mengiringi tubuh Badrowi
yang jatuh tertelungkup dengan kepala memben-
tur tanah kasar.
"Jangan! Jangan kau bunuh aku...!" pinta Badrowi.
Pemuda berambut awut-awutan malah
menggeram marah. Tiba-tiba tubuhnya melenting.
Begitu menukik turun, telapak kaki kanannya siap
mendarat di kepala Badrowi!
"Jangan sembarang main bunuh, Iblis Ke-
jam!" Mendadak terdengar sebuah teriakan yang
dibarengi berkelebatnya sesosok bayangan mema-
pak gerakan pemuda berambut awut-awutan.
Takkk! "Aaahhh...!"
Pemuda berambut awut-awutan itu kontan
memekik nyaring. Tubuhnya kontan terjajar den-
gan pergelangan kaki kanan terasa berdenyut
Sementara itu bayangan tadi telah menda-
rat mantap di tanah. Dan sosok yang ternyata seo-
rang pemuda berpakaian penuh tambalan itu me-
natap heran pada batang tongkatnya yang telah
patah jadi dua.
Di tempat lain, pemuda berambut awut-
awutan itu terus menjerit-jerit seperti tengah menderita sakit hebat. Dia
menggedor-gedor dadanya
sendiri. Sementara, di sekitar tempatnya berdiri telah hadir enam pemuda
bersenjata tongkat. Mere-
ka sama-sama berpakaian penuh tambalan. Tong-
kat yang pangkalnya berbentuk kepala naga me-
nunjukkan kalau mereka adalah anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Arya Wirapaksi...," desis pemuda yang
tongkatnya telah patah, ketika mengenali pemuda
berambut awut-awutan yang sebenarnya memang
Arya Wirapaksi.
"Tolong aku! Tolong aku! Dia... dia hendak
membunuhku!" ceracau Badrowi sambil merang-
kak bangkit Keenam anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti memandang nanar tubuh Palungan
yang tergolek di tanah dalam keadaan pingsan.
Mereka seperti tak mempercayai dengan pengliha-
tan sendiri. Bagaimana mungkin Arya Wirapaksi
yang tak lain putra mahkota Kerajaan Anggarapu-
ra dapat berbuat demikian kejam" Melukai seo-
rang pemuda yang tak bersalah apa-apa!
"Tolong! Tolonglah aku! Dia hendak mem-
bunuhku!" ceracau Badrowi lagi.
Pemuda yang tongkatnya tinggal setengah
mendengus. "Pergilah sana!" sentaknya.
Namun Badrowi masih tetap di situ sambil
mendekap pergelangan kakinya.
"Kalau kau tak ingin mati, cepatlah pergi!"
bentak pemuda berpakaian pengemis itu lagi.
"Ya... ya, aku akan pergi. Terima kasih....
Terima kasih, Tuan Pendekar...," ucap Badrowi seraya berlari kesetanan, tak
mempedulikan kakinya
yang berulang kali terantuk batu.
Sementara pemuda berambut awut-awutan
bernama Arya Wirapaksi masih menjerit-jerit sam-
bil menggedor-gedor dadanya, keenam pemuda
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti tadi
telah berkumpul.
"Kita harus membawa Arya Wirapaksi pergi
dari tempat ini," cetus pemuda yang tongkatnya patah. "Kalau ketahuan prajurit
kadipaten, peristiwa ini akan membuat Baginda Prabu Arya De-
wantara murka. Beliau tentu malu dan marah
mengetahui putranya ditangkap prajurit kadipaten
karena melukai orang."
"Benar katamu, Ganda," sahut pemuda berpakaian pengemis lainnya. "Tapi,
bagaimana kita bisa membawa Arya Wirapaksi pergi dari tempat
ini" Aku yakin dia memiliki ilmu amat tinggi. Kau lihat bola matanya itu. Sinar
merah yang memancar dari bola matanya menunjukkan kalau dirinya
menyimpan kekuatan dahsyat. "
Pandangan pemuda bernama Ganda yang
tongkatnya patah jadi nanar ketika beberapa war-
ga kota mulai berdatangan. Agaknya, mereka ter-
tarik untuk melihat Arya Wirapaksi yang terus
menjerit-jerit seperti orang gila.
Tanpa pikir panjang lagi, Ganda segera me-
loncat untuk mendaratkan totokan di tubuh Arya
Wirapaksi. Dan tampaknya, pemuda yang jalan pi-
kirannya terganggu itu tak menghindar. Hingga....
Tuk! Tuk! Tubuh Arya Wirapaksi kontan terkulai le-
mas, begitu totokan Ganda bersarang tepat di
tempatnya. Sebelum tubuh Arya Wirapaksi jatuh, Gan-
da cepat menyambarnya. Dibawanya tubuh putra
mahkota itu berlari keluar kota Kadipaten Bumi-
raksa. Sementara kelima temannya mengikuti di
belakang. Sesampai di ujung utara kota yang sepi,
Arya Wirapaksi mengeluarkan keluhan.
"Uh! Lepaskan aku.... Aku hendak dibawa
ke mana...?"
"Tenanglah, Wirapaksi. Aku tidak bermak-
sud buruk. Aku membawamu berlari untuk meng-
hindari prajurit Kadipaten Bumiraksa," jelas Ganda sambil terus berlari.
"Apakah aku baru saja berbuat jahat...?"
"Ya. Kau baru saja melukai orang. Dan, ba-
nyak saksi mata melihatnya."
"Oh...," keluh Arya Wirapaksi. "Tubuhku lemas sekali. Turunkan aku...."
Merasa telah mendapat tempat aman, Gan-
da menuruti permintaan Arya Wirapaksi. Diba-
ringkannya tubuh pemuda itu di tanah berumput
tebal. Sementara, di langit sana rembulan bulat
penuh memancarkan cahaya kuning keemasan.
Walau temaram, tapi mampu membuat bumi tak
terselimuti kepekatan.
Ganda dan teman-temannya memandangi
tubuh Arya Wirapaksi yang masih terkulai lemas.
Namun keenam pemuda ini jadi bergidik ngeri ke-
tika sinar merah di bola mata Arya Wirapaksi terus memancar.
"Apa yang harus kita perbuat sekarang?"
tanya pemuda yang bajunya robek lebar di bagian
bahu. "Bagaimana kalau kita membawanya ke
puncak Bukit Pangalasan" Sesuatu yang ganjil
tentu telah terjadi pada diri Arya Wirapaksi. Ba-
rangkali, Kakek Gede bisa menolong," cetus Ganda.
"Malam-malam begini kita mendaki bukit?"
sergah pengemis yang memakai ikat kepala merah
kumal. "Kenapa tidak" Arya Wirapaksi adalah orang terpenting di Kerajaan
Anggarapura, setelah Baginda Prabu Arya Dewantara. Karena, dialah yang
kelak akan menjadi pemimpin kita. Pemimpin se-
luruh rakyat di negeri ini. Oleh karena itu, kita harus melakukan apa saja untuk
menolongnya."
"Memangnya dia kenapa?" tanya teman
Ganda yang lain.
Pemuda yang Wajahnya tampak ketolol-
tololan ini sama sekali tak mengerti, apa yang terjadi pada diri Arya Wirapaksi.
"Aku menduga, Arya Wirapaksi sakit inga-
tan." "Sakit ingatan" Berarti dia gila?" sahut kelima anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sak-
ti itu hampir serempak.
"Bukan begitu. Tapi...."
Ganda tak dapat melanjutkan kalimatnya.
Keningnya berkerut terbawa pikiran di benaknya.
"Ah, apa pun yang terjadi, kita harus mem-
bawa Arya Wirapaksi ke puncak Bukit Pangalasan.
Aku yakin, sesepuh perkumpulan kita akan dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada diri Arya Wira-
paksi. Ayolah.... Daripada terlambat, lebih baik..."
Ucapan Ganda terputus, karena pemuda
bertubuh tinggi-kurus ini dihantam keterkejutan.
Ternyata, tubuh Arya Wirapaksi sudah tak ada lagi di tempatnya. Lima anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang lainnya pun turut terkejut.
Mereka segera mengedarkan pandangan. Keterke-
jutan mereka bertambah, saat menemukan Arya
Wirapaksi tengah berdiri tegak di tonjolan tanah
yang agak tinggi. Bagaimana mungkin Arya Wira-
paksi bisa berpindah tempat, selagi pengaruh totokan di tubuhnya belum
dilepaskan"
"Ha ha ha...!" Arya Wirapaksi tertawa bergelak. Suaranya berkumandang mendirikan
bulu roma. Dalam keremangan malam, bola matanya
yang memancarkan cahaya merah seakan dapat
merobek dada siapa saja yang melihatnya.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Wirapaksi...?"
tanya Ganda, gelagapan.
"Huh! Salah seorang di antara kalian pasti
telah menotok beberapa aliran darah di tubuhku.
Karena, aku telah menguasai ilmu 'Mustika Api',
totokan macam ini tak akan mampu melumpuh-
kan aku. Dan... kalian akan segera merasakan ke-
hebatan ilmu warisan Eyang Arya Balambang Je-
nar! Ha ha ha...!"
Racun dalam tubuh Arya Wirapaksi agak-


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya bekerja lagi. Racun yang berasal dari Kitab
Pemecahan Lukisan Mustika Api itu membuat otak
Arya Wirapaksi dipenuhi keinginan membunuh.
Dan, pemuda ini pun tampaknya akan segera
menjatuhkan tangan maut terhadap Ganda dan
kelima temannya yang sebenarnya bermaksud
baik. "Bersiap-siaplah kalian menerima kematian...!" ujar Arya Wirapaksi seraya
memutar-mutar kedua telapak tangan di depan dada.
Keenam anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti menatap tak mengerti. Ketika dari
telapak tangan Arya Wirapaksi muncul bola api
yang memancarkan hawa panas, barulah mereka
menyadari keadaan. Nyawa mereka terancam! Na-
mun, mereka tak tahu apa yang harus dilakukan.
Memberi perlawanan" Atau, lari meninggalkan
tempat" Kedua telapak tangan Arya Wirapaksi ber-
putar makin cepat. Maka bola yang terbentuk pun
makin membesar. Saat pemuda yang sudah lupa
diri ini menggembor keras, Ganda dan teman-
temannya tersurut mundur beberapa tindak kare-
na kaget. Malam yang tak lagi gelap, menerangi
wajah mereka yang pucat pasi.
"Sadarlah, Wirapaksi...," ujar Ganda, mencoba bersikap tenang. "Kami adalah
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Perkumpulan
kami punya hubungan baik dengan ayahanda-
mu...." "Ha ha ha...!" Arya Wirapaksi tertawa bergelak. "Aku tidak kenal siapa
kalian! Aku tidak tahu-menahu tentang perkumpulan yang kau sebutkan!
Tapi, kalian mesti tahu. Aku adalah pewaris ilmu
'Mustika Api'. Ha ha ha...!"
Sambil tertawa keras, Arya Wirapaksi me-
lontarkan bola api sebesar kerbau dari pengerahan ilmu 'Mustika Api'.
Wuuttt! Bergegas Ganda dan kelima temannya me-
loncat. Tapi... tubuh mereka yang melayang di
udara tiba-tiba berjatuhan ke tanah. Entah bagai-
mana caranya, mereka telah terkena totokan Arya
Wirapaksi yang amat lihai.
Mata para anggota perkumpulan pengemis
yang tinggal di kota Kadipaten Bumiraksa itu me-
lotot lebar menyadari dalam kengerian sangat. Bo-
la api sebesar kerbau yang memancarkan hawa
panas meluncur deras dari atas, siap menimpa tu-
buh mereka! Namun pada saat yang gawat, melesat dua
sinar kuning langsung menghantam bola api itu.
Hingga.... Blarrrr...! Sebuah ledakan membahana di angkasa,
membuat bumi berguncang. Bola api yang hendak
merenggut nyawa Ganda dan taman-temannya
langsung buyar.
Para pemuda berpakaian penuh tambalan
itu masih belum bisa menggerakkan tubuh. Tapi,
mereka bersorak girang dalam hati melihat kehadi-
ran dua gadis cantik yang salah seorang dikenal
sebagai Dewi Ikata atau Pendekar Wanita Gila.
Timbul harapan dalam diri Ganda dan teman-
temannya. Apalagi, mereka sudah tahu kehebatan
murid Dewi Tangan Api itu.
Sementara, mata Dewi Ikata yang datang
bersama Intan Melati tak berkedip memandang so-
sok pemuda berambut awut-awutan yang hampir
berhasil membunuh enam anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
"Arya Wirapaksi...!" desis Dewi Ikata, begitu mengenali pemuda yang ilmunya baru
saja dimentahkan. "Benarkah kau Wirapaksi" Kenapa kau
hendak membunuh anak buah Suropati" Tidak-
kah kau tahu Suropati punya hubungan baik den-
gan ayahandamu?"
Arya Wirapaksi menjawab pertanyaan Pen-
dekar Wanita Gila dengan geram kemarahan. Se-
perti orang kalap, rambutnya dikibas-kibaskan se-
hingga menimbulkan tiupan angin kencang.
"Aku adalah pewaris ilmu 'Mustika Api'! Aku
adalah pewaris Eyang Arya Balambang Jenar!" pekik Arya Wirapaksi sambil terus
mengibas- ngibaskan rambutnya. "Kalian harus merasakan kedahsyatan ilmuku! Kalian harus
mati di tempat ini! Ha ha ha...!"
Di tengah gelak tawanya, Arya Wirapaksi
menepukkan kedua telapak tangannya di atas ke-
pala. Blarrr! Gelegar dahsyat terdengar, mengiringi mele-
satnya bunga-bunga api yang menerangi kegela-
pan malam. Jangan dikira lesatan bunga-bunga
api itu tidak berbahaya. Justru, itulah puncak dari kehebatan ilmu 'Mustika Api'
warisan Arya Balambang Jenar pendiri wangsa Anggarapura yang hi-
dup puluhan tahun silam.
Mata Ganda dan kelima temannya melotot
lagi. Dalam pengaruh totokan, tentu saja mereka
tak mampu menghindari lesatan bunga api yang
bertebaran ke berbagai penjuru. Sementara, Dewi
Ikata pun tampak bingung, bagaimana harus me-
nolong mereka. Karena pada saat yang sama, di-
rinya juga menjadi sasaran lesatan bunga api.
Intan Melati pun tampak berloncatan ke sa-
na kemari dalam perasaan ngeri. Permukaan ta-
nah tempat bunga-bunga api mendarat tampak
berlubang-lubang, kemudian menyemburkan api
berwarna kebiruan!
Jerit kesakitan terdengar menyayat hati, ke-
tika tubuh Ganda dan kelima temannya mulai ter-
jilat api. "Hiaaa...!"
Diiringi pekikan nyaring, Pendekar Wanita
Gila melancarkan pukulan jarak jauh, tanpa pedu-
li kalau Arya Wirapaksi adalah putra mahkota Ke-
rajaan Anggarapura!
Wusss...! Blarrr...! Dewi Ikata dihantam keterkejutan luar bi-
asa. Dua larik sinar kuning yang melesat dari telapak tangannya seperti
membentur benteng gaib.
Sementara Arya Wirapaksi tetap berdiri tegak di
tempatnya. Bunga-bunga api makin banyak ber-
percikan. Pandangan Dewi Ikata jadi nyalang. Telin-
ganya menangkap jerit kesakitan Intan Melati yang kain bajunya mulai terbakar.
Dewi Ikata semakin
bingung. Pikirannya kalut. Tak mungkin ilmu
'Pukulan Api Neraka' hasil ajaran Dewi Tangan Api dipergunakannya. Kalau ilmu
itu digunakan, maka
tempatnya berada benar-benar akan berubah men-
jadi lautan api, yang panasnya tiada terkira. Ini sama saja dengan mempercepat
kematian Intan Melati, Ganda dan kelima temannya!
"Chiaaa...!"
Pada saat Pendekar Wanita Gila berada da-
lam kebingungannya, tiba-tiba terdengar pekik
nyaring amat keras yang disusul oleh hembusan
angin kencang. Tubuh para pemuda yang tergele-
tak di tanah sekonyong-konyong terlontar jauh.
Tapi, mereka jadi bernapas lega ketika mendarat di tanah. Api yang menjilati
tubuh tahu-tahu telah
padam. Bahkan, mereka merasakan hawa dingin
seperti berada di dekat bongkahan es amat besar.
Rupanya, tubuh mereka telah terbungkus salju ti-
pis berwarna merah.
Sementara, api yang menyembur-nyembur
dari permukaan tanah, berasal dari panas bumi
akibat kekuatan ilmu 'Mustika Api', telah padam.
Sebagai gantinya, permukaan tanah telah diseraki
butiran-butiran salju berwarna merah.
"Suro...!" pekik Intan Melati ketika melihat siapa yang telah melumpuhkan ilmu
'Mustika Api'. Namun, gadis ini segera menutup mulutnya
dengan telapak tangan seperti orang telah kelepa-
san bicara. "Intan...!" sambut Pengemis Binal yang datang bersama si Wajah Merah.
Melihat Suropati hendak berhambur meme-
luknya, Intan Melati meloncat mundur.
"Jangan, Suro...! Kau...."
"Aku kenapa?" sela Suropati bertanya tak mengerti.
"Lihatlah itu...."
Pengemis Binal melihat tempat yang ditun-
jukkan Intan Melati. Kontan wajah remaja konyol
ini jadi pucat. Matanya mendelik. Tapi, keterkejutannya segera disembunyikan
dengan tawa terke-
keh-kekeh walau terdengar hambar.
"Aku tak tahu kau berada di sini, Ika...,"
ujar Pengemis Binal sambil menatap Pendekar
Wanita Gila yang berdiri mematung di bawah po-
hon. Suropati yang baru saja menerapkan ilmu
pukulan 'Salju Merah' untuk menolong anak
buahnya tampak cengar-cengir sambil garuk-
garuk kepala. Tak bisa dibayangkan, bagaimana
jengkelnya hati Dewi Ikata bila Intan Melati berse-
dia dipeluknya.
"Awas, Suro...!"
Teriakan si Wajah Merah membuat Penge-
mis Binal, mendadak tersentak. Bola-bola api tam-
pak melesat menuju ke arahnya. Bergegas Suropa-
ti meloncat tinggi. Tapi begitu mendarat di permukaan tanah lagi....
Prashh...! "Aaahh...!"
Remaja konyol ini memekik kesakitan. Tela-
pak kakinya yang melepuh terasa amat pedih.
Sementara, Arya Wirapaksi menggeram-
geram laksana banteng yang berada pada puncak
kemarahannya. Kedua telapak tangannya dikibas-
kibaskan membuat bola-bola api kecil kembali me-
luncur. Bukan hanya Suropati yang menjadi sasa-
ran, tapi juga Intan Melati, Dewi Ikata, dan si Wajah Merah!
"Gunakan pukulan 'Salju Merah'-mu lagi,
Suro!" teriak si Wajah Merah.
"Hup!"
Cepat sekali Suropati melenting. Dan dalam
keadaan masih melayang di udara, kekuatan tena-
ga dalamnya dihimpun untuk dialirkan ke tangan
kiri. Sengaja tangan kanannya tak ikut dialiri, karena lukanya masih belum
sembuh walau telah
diobati si Wajah Merah.
Bed! Saat itu pula Pengemis Binal mengibaskan
telapak tangan kirinya beberapa kali. Seketika
timbul gelombang angin dahsyat yang memendar-
kan hawa dingin. Bahkan di tempat itu kini laksa-
na terjadi hujan salju merah.
Namun, Pengemis Binal terperangah. Bola-
bola api kecil yang melesat dari telapak tangan
Arya Wirapaksi ternyata tak mau padam, terus
meluncur membuat serangan mematikan. Permu-
kaan tanah tempat mendarat bola api kecil jadi
berlubang-lubang dan menyemburkan api berwar-
na kebiruan lagi. Agaknya, Arya Wirapaksi berhasil menarik panas bumi untuk
kedua kalinya. Dan itu
berarti mengancam nyawa orang-orang yang bera-
da di sekitarnya!
Kembali Suropati mengibaskan telapak tan-
gan kirinya. Tapi, tindakannya tak menghasilkan
apa-apa. Butiran salju berwarna merah yang di-
timbulkan tampak lumer, terjilat api kebiruan
yang muncul dari dalam tanah!
"Hmm.... Haruskah aku menyerang Arya
Wirapaksi?" tanya Pengemis Binal kepada diri sendiri. Dengan bertumpu pada jari-
jari kaki, Pe- mimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini
berloncatan ke sana kemari untuk menghindari
bola-bola api kecil yang terus menghujaninya.
"Apa yang harus kita perbuat, Kek..."!" teriak Pengemis Binal dalam
kebingungannya.
"Bertahanlah, Suro, Aku akan berusaha
mendekati Arya Wirapaksi!" sahut si Wajah Merah.
Bed! Bed! Sigap sekali tabib pandai ini menyampok
beberapa bola api yang menuju ke arahnya dengan
tangan telanjang. Bola-bola api itu terlontar, dan amblas ke dalam tanah. Namun
sebagai gantinya,
menyembur api berwarna kebiruan.
Si Wajah Merah tak mempedulikannya. Tu-
buhnya telah digenjot dengan mengerahkan selu-
ruh ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara itu, Arya Wirapaksi yang kalap
seperti tak tahu akan datangnya bahaya. Telapak
tangannya terus dikibas-kibaskan. Dan ini mem-
buat si Wajah Merah tersenyum senang. Kedua
tangannya terjulur ke depan, untuk mendaratkan
totokan, Tapi....
Blarrr...! "Aaakh...!"
Si Wajah Merah memekik nyaring ketika
luncuran tubuhnya membentur kekuatan kasat
mata yang melindungi diri Arya Wirapaksi. Melihat keadaan ini cepat sekali
Suropati berkelebat.
Langsung disambarnya tubuh si Wajah Merah
yang terlontar balik di udara. Maka, selamatlah
kakek ini dari semburan api kebiruan yang akan
membakar tubuhnya bila jatuh ke tanah.
"Kau tak apa-apa, Kek...?" tanya Suropati penuh rasa khawatir, setelah membawa


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh si Wajah Merah belasan tombak jauhnya dari hada-
pan Arya Wirapaksi.
"Tidak apa-apa bagaimana" Jelas aku luka
dalam, Goblok!" maki si Wajah Merah.
Pengemis Binal garuk-garuk kepala seben-
tar. "Cobalah duduk bersila. Aku akan menyalur-kan hawa murni ke tubuhmu.."."
"Goblok!" maki Wajah Merah lagi. "Sewaktu kau lakukan itu, Arya Wirapaksi akan
membunuh kita dengan bola api mautnya!"
Suropati cengar-cengir. Selagi remaja konyol
ini garuk-garuk kepala, si Wajah Merah memun-
tahkan darah segar. Merasakan suhu tubuh si Wa-
jah Merah yang meninggi, sinar mata Suropati jadi nyalang.
"Kau tak boleh mati, Kek!" ujarnya ketolol-tololan. "Kalau kau mati, siapa nanti
yang akan membebaskan pengaruh jahat dalam diri Arya Wirapaksi"!"
"Aku tidak akan mati, Goblok! Ini hanya lu-
ka dalam ringan!" jelas si Wajah Merah sambil mendekap dadanya yang sesak. Pada
saat yang sama.... "Aaakh...!"
Dua anak manusia yang usianya jauh ber-
beda itu jadi terkejut ketika mendengar suara jeritan. Terlihat di sana, baju
Intan Melati tampak terjilat api! Gadis itu meloncat-loncat kepanasan. Ta-pi,
kakinya justru menginjak api kebiruan yang
menyembur dari dalam tanah!
"Intan...!" pekik Suropati dengan suara serak parau.
7 Tanpa mempedulikan telapak kakinya yang
melepuh, Pengemis Binal menjejak tanah keras-
keras. Karena mengerahkan seluruh kemampuan-
nya saat tubuh remaja konyol ini melesat, berubah menjadi bayangan putih yang
hampir tak dapat ditangkap indera penglihatan.
Wesss...! Saat yang sama, beberapa bola api kecil me-
luncur deras hendak memapaki gerakan Suropati.
Seketika Pengemis Binal mengalirkan kekuatan
tenaga dalam ke kedua kakinya. Dengan mengan-
dalkan ilmu pukulan 'Salju Merah' yang diperoleh
dari Nyai Catur Asta, ditendangnya bola-bola api
yang mengancam jiwanya. Bahkan salah satunya
dipergunakannya sebagai pijakan untuk dapat me-
lenting. Begitu berada di udara, Suropati mengi-
baskan telapak tangan kirinya yang juga dilambari ilmu pukulan 'Salju Merah'.
Maka lidah api yang
menjilati pakaian Intan Melati kontan padam. Tapi bersamaan dengan itu, Intan
Melati mengeluh
pendek. Lalu, tubuhnya terkulai lemas. Pingsan!
Suropati yang tengah menukik turun sece-
pat kilat menyambar tubuh Intan Melati. Kalau ti-
dak, tubuh gadis itu akan jatuh ke tanah yang di-
penuhi semburan api kebiruan. Secepat kilat pula, Pengemis Binal membawa Intan
Melati ke tempat
aman. "Periksalah keadaan gadis ini, Kek..," pinta Suropati setelah meletakkan
tubuh Intan Melati di dekat si Wajah Merah.
Si Wajah Merah mengerutkan kening meli-
hat tubuh Intan Melati yang terbungkus salju tipis berwarna merah. Segera
diperiksanya detak jantung dan aliran darah si gadis.
"Bagaimana, Kek?" tanya Suropati, me-
nyimpan kekhawatiran.
"Dia tak apa-apa. Hanya telapak kaki dan
sebagian kulit punggungnya terluka bakar," jelas si Wajah Merah.
"Aku titip keselamatan Intan Melati kepa-
damu, Kek. Aku akan menghentikan keganasan
Arya Wirapaksi."
Tanpa menunggu jawaban, Pengemis Binal
segera meloncat. "Bertahanlah, Ika! Berusahalah mendekati dia!" teriak Pengemis
Binal di antara suara gemuruh.
Mendengar teriakan itu, Dewi Ikata yang
dari tadi memang telah berusaha mendekati Arya
Wirapaksi tampak menatap galak pada Suropati.
"Rupanya Intan Melati itu kekasihmu yang
baru, Suro"!" hardiknya sambil meloncat-loncat menghindari bola-bola api yang datang seperti tak ada habisnya.
"Lupakan dulu rasa cemburumu, Ika!" tu-
kas Suropati. "Turuti saja ucapanku. Dekati Arya Wirapaksi!"
"Tanpa kau suruh, aku sudah berusaha se-
dari tadi, Bodoh!"
"Eh"! Kau katakan aku bodoh, Ika"! Ya,
memang aku bodoh. Tapi, aku cukup pintar untuk
berbuat seperti ini...."
Sambil menghindari beberapa bola api yang
meluncur ke arahnya, Pengemis Binal meloncat
mendekati Dewi Ikata. Dan tanpa diduga, Suropati
merengkuh pinggang gadis cantik yang suka me-
makai gelar Pendekar Wanita Gila ini. Lalu, diba-
wanya Dewi Ikata melesat, mendekati Arya Wira-
paksi yang masih mengibas-ngibaskan kedua tela-
pak tangannya untuk menggerakkan bola-bola api
ciptaannya. Setelah berhasil menjatuhkan belasan bola
api ke tanah, Pengemis Binal melontarkan tubuh
Dewi Ikata sekuat tenaga. Tentu saja Dewi Ikata
terkejut setengah mati. Sudah gilakah Suropati"
Masakan dia melontarkan tubuh Dewi Ikata ke
arah Arya Wirapaksi" Bukankah itu sama saja
dengan membunuh si gadis"
Tidak! Suropati tidak gila! Dia ingin mem-
buktikan kalau dirinya juga tidak bodoh seperti
yang dikatakan Dewi Ikata. Dia paham benar akan
ketinggian ilmu putri tunggal Adipati Danubraja
itu. Perbuatan yang kelihatannya konyol tadi su-
dah diperhitungkannya!
Dan memang tepat perhitungan Suropati.
Karena tak mau terluka dalam jika terbentur ke-
kuatan kasat mata yang melindungi tubuh Arya
Wirapaksi, Pendekar Wanita Gila melenting dan
melesat di atas kepala Arya Wirapaksi mengguna-
kan gerakan 'Ikan Terbang Membelah Laut' ajaran
guru keduanya yang bergelar si Perangai Gila.
Selagi perhatian Arya Wirapaksi terpecah
karena bola matanya menatap lesatan tubuh Dewi
Ikata, Pengemis Binal menggembor keras. Menda-
dak, dari sekujur tubuh remaja konyol ini meman-
car cahaya kebiru-biruan. Lalu....
Blarrr...! Cahaya kebiru-biruan merupakan wujud
dari ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' seketika
membentur kekuatan kasat mata yang melindungi
tubuh Arya Wirapaksi.
Karena Suropati hanya mengerahkan seten-
gah bagian ilmu hasil wejangan Bayangan Putih
Dari Selatan, akibatnya sungguh membuat terke-
jut Dewi Ikata, si Wajah Merah, dan enam anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang me-
nyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Tubuh Pen-
gemis Binal tampak terlontar balik laksana dilem-
parkan tangan raksasa. Kalau saja tidak memben-
tur batang pohon, tubuhnya tentu melesat pulu-
han tombak jauhnya.
Brakkk! "Aaahh...!"
Pekik kesakitan Suropati tersamar oleh sua-
ra gemeretak batang pohon yang retak. Sebentar
kemudian, batang pohon sebesar dua rangkulan
manusia dewasa itu tumbang, memperdengarkan
suara gemuruh keras hingga membuat bumi ber-
getar! Namun, tindakan Suropati membuahkan
hasil. Arya Wirapaksi tampak terjajar lima langkah ke belakang. Kibasan
tangannya kontan berhenti.
Dan itu berarti, kekuatan kasat mata yang melin-
dungi tubuhnya telah lenyap.
Melihat kesempatan bagus, Pendekar Wani-
ta Gila meloncat hendak melancarkan totokan. Ta-
pi, loncatannya terhenti oleh pekik keras Arya Wirapaksi yang mengandung
kekuatan dahsyat.
Brukkk! Tubuh Pendekar Wanita Gila kontan jatuh
berdebam ke tanah. Sementara, Arya Wirapaksi
tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah
mengeluarkan jeritan panjang, dia meloncat jauh,
lalu lenyap dalam kegelapan malam.
*** Suasana sunyi yang menyelimuti tanah da-
tar yang terletak di ujung utara kota Kadipaten
Bumiraksa. Hanya desau angin yang terdengar la-
mat-lamat disahuti rintih kesakitan Pengemis Bi-
nal. "Ika...! Tolong aku, Ika...!" teriak Suropati dengan suara memelas.
Dewi Ikata berjalan mendekati. Kening gadis
cantik ini berkerut melihat Suropati yang terus
merintih-rintih.
"Kau terluka dalam parah, Suro?" tanyanya, menunjukkan kekhawatiran.
"Punggungku sakit sekali, Ika. Mungkin tu-
lang belakangku patah. Cobalah periksa...."
Dewi Ikata berjongkok di belakang Suropati
yang tengah menanggalkan bajunya. Lewat cahaya
rembulan, Dewi Ikata memeriksa keadaan pung-
gung si remaja konyol.
"Tulang belakangmu masih utuh, Suro. Di
punggungmu hanya ada luka memar. Kukira ini
tidak berbahaya," jelas Pendekar Wanita Gila.
"Uh! Jangan dilihat saja. Tapi, rabalah...,"
pinta Pengemis Binal sambil menampakkan ringis
kesakitan. Sementara Dewi Ikata meraba-raba, Suro-
pati tersenyum senang. Matanya meram-melek,
merasakan kenikmatan.
"Tidak, Suro! Kau tidak terluka apa-apa.
Hanya luka memar saja," beri tahu Dewi Ikata lagi.
"Uh! Kau kurang teliti memeriksanya. Ganti
rabaanmu dengan pijitan!"
Karena terbawa rasa khawatirnya, Dewi Ika-
ta menuruti permintaan Suropati. Remaja konyol
ini pun menikmati pijitan jari-jari lembut milik
Dewi Ikata. "Ah.... Nikmat sekali...," desis Pengemis Binal tanpa sadar.
"Apa kau bilang"!" kejut Pendekar Wanita Gila. Sadarlah gadis cantik ini kalau
dirinya telah termakan kekonyolan Suropati.
"Aku rindu sekali padamu, Ika...," bisik Pengemis Binal.
Mendengar rayuan itu, Pendekar Wanita Gi-
la bukannya senang, tapi malah merengut marah.
Matanya mendelik. Hendak ditamparnya wajah
Pengemis Binal.
"Eit! Jangan marah begitu!" ujar Suropati seraya meloncat bangkit.
Suropati tak dapat meneruskan maksud-
nya, karena si Wajah Merah keburu datang. Me-
nyusul kemudian, enam anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Rupanya, pengaruh toto-
kan di tubuh mereka telah dilepas oleh si Wajah
Merah. "Di mana Intan Melati?" tanya Pengemis Binal. Si Wajah Merah menuding.
Intan Melati tam-
pak duduk bersimpuh tak seberapa jauh dari tem-
pat si Wajah Merah berdiri.
"Kasihan dia. Untuk beberapa hari, dia tak
dapat berjalan. Telapak kakinya terluka bakar cu-
kup parah," tutur si Wajah Merah.
"Tapi bisa sembuh seperti sedia kala, bu-
kan?" sahut Pengemis Binal.
Si Wajah Merah mengangguk. "Dia akan
sembuh seperti sedia kala. Tak akan ada bekas lu-
ka di kulitnya. Hanya saja, itu membutuhkan wak-
tu beberapa pekan. Aku telah membantunya den-
gan memborehkan ramuan obat yang selalu kuba-
wa." "Syukurlah kalau begitu. Intan Melati tak akan kehilangan kemulusan
kulitnya," ucap Suropati sambil mengenakan bajunya.
"Kemulusan kulitnya?" sahut Dewi Ikata.
"Berarti, kau pernah meraba-rabanya, Suro"!"
Melihat Pendekar Wanita Gila merengut ma-
rah, Suropati malah tertawa terkekeh-kekeh. "Bukankah kau tadi juga meraba-raba
punggungku, Ika?" godanya.
Remaja konyol ini memang tak menderita
luka dalam, walau punggungnya telah membentur
batang pohon besar hingga tumbang.
"Tapi, aku.... Bukankah aku kekasihmu,
Suro?" "Siapa yang bilang bila kau kekasihku?"
sergah Pengemis Binal.
"Kau... kau lupa pada janjimu, Suro...?"
ucap Dewi Ikata kaget. Pipi gadis cantik ini merona merah dengan mata terbelalak
lebar. "Janji" Janji apa?" tukas Pengemis Binal dengan wajah dibuat sungguh-sungguh,
seperti telah lupa pada janji yang pernah diucapkannya di
taman keputren Kadipaten Bumiraksa.
Termakan kekonyolan Pengemis Binal,
mendadak Dewi Ikata melelehkan air mata. Ingin
sekali gadis ini menghajar Pengemis Binal yang
bersifat mata bongsang. Tapi, itu tak dilakukannya karena malu dilihat orang.
Entah bila di tempat itu tak ada orang lain. Barangkali Pengemis Binal
akan diserangnya habis-habisan.
"He he he...," Suropati malah tertawa terkekeh. "Kau menangis, Ika. Berarti kau
takut kehilangan diriku. Aku senang, Ika. Aku tadi kan
hanya bercanda."
Sementara itu, Intan Melati yang mendengar
ucapan Suropati langsung menundukkan kepala.
Rasa sedih memukul hatinya lagi. Ternyata, benar
apa yang dikatakan Jaka Pamulang. Suropati ada-
lah kekasih Dewi Ikata.
Dalam kesedihan itu, di benaknya ter-
bayang wajah Rama Ludira, ayahnya. Tiba-tiba ga-
dis ini merindukan orang yang sangat mengasi-


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hinya itu. "Ayah...," desah Intan Melati. "Maafkan Intan, Ayah. Intan telah pergi tanpa
izin...." Sementara Intan Melati membayangkan
masa-masa indah bersama ayahnya, Suropati
tampak menggaruk-garuk kepalanya yang tak gat-
al. Remaja konyol ini tahu, apa yang berkecamuk
di hati Intan Melati. Tapi, dia bingung mesti berbuat apa. Yang bisa
dilakukannya hanya garuk-
garuk kepala yang merupakan kebiasaan sangat
menyebalkan! "Telah kau pikirkan bagaimana mengatasi
keadaan Arya Wirapaksi, Suro?"
Mendengar pertanyaan si Wajah Merah,
Pengemis Binal cengar-cengir. Ditatapnya wajah
Dewi Ikata. "Bagaimana menurut pendapatmu, Ika?"
tanyanya untuk meredakan kekesalan hati Dewi
Ikata. "Aku tak tahu!"
Suropati mendesah panjang mendengar na-
da ketus bicara Pendekar Wanita Gila.
"Malam makin larut Bagaimana kalau kita
beristirahat dulu di rumahmu, Ika" Kau tak ber-
keberatan, bukan" Dalam keadaan lelah seperti
ini, kita semua tak mungkin dapat berpikir jernih."
Dewi Ikata tak menjawab. Tapi, itu diartikan
sebagai persetujuan oleh Suropati. Remaja konyol
ini melangkah untuk membopong Intan Melati
yang tak bisa jalan sendiri. Namun, langkahnya
terhenti karena....
"Bunuh saja aku, Eyang! Bunuh saja aku,
Eyang!" Terdengar teriakan keras yang muncul dari
kegelapan. Suara itu kemudian terdengar lamat-
lamat "Tolonglah aku.... Tolonglah aku...."
Begitu kembali terdengar teriakan keras,
mendadak muncul sesosok tubuh berjalan sem-
poyongan sambil mendekap kepala.
"Arya Wirapaksi...!" desis semua orang yang ada di tempat itu.
"Ya. Aku memang Arya Wirapaksi...," sahut pemuda yang baru datang. "Tolonglah
aku.... Aku telah terkena racun jahat. Racun itu merubah diriku jadi manusia
kejam yang penuh nafsu mem-
bunuh. Tolonglah aku...."
Arya Wirapaksi tak dapat melanjutkan ka-
limatnya. Mendadak saja suaranya tercekat di
tenggorokan karena pening di kepalanya menghe-
bat. Tubuh putra mahkota ini kemudian jatuh ter-
kulai di tanah dalam keadaan pingsan!
Semua yang melihat saling pandang.
"Kau harus cepat menolongnya, Kek!" ujar Pengemis Binal.
Si Wajah Merah cepat meloncat ke arah
Arya Wirapaksi. Dan kakek ini pun terkesiap keti-
ka memeriksa keadaan putra mahkota itu. Suhu
badan pemuda itu amat tinggi seperti habis keluar dari tungku pembakaran.
"Mendekatlah kemari, Suro...."
Bergegas Pengemis Binal menuruti permin-
taan si Wajah Merah. Dewi Ikata dan enam anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti turut
mendekat. Hanya Intan Melati yang masih duduk
bersimpuh di tempatnya.
"Aku tidak bisa menyentuhnya, Suro. Suhu
badannya panas sekali," jelas si Wajah Merah.
"Bantulah aku dengan ilmu pukulan 'Salju Merah'-
mu." Serta-merta Suropati menarik napas panjang. Bersama udara yang keluar dari
lubang hi- dung, dialirkannya tenaga dalam ke telapak tan-
gan kiri. Dengan ilmu pukulan 'Salju Merah', Pen-
gemis Binal membuat selubung salju tipis di tubuh Arya Wirapaksi.
Cepat sekali si Wajah Merah membuat be-
berapa totokan. Diperiksanya detak jantung dan
aliran darahnya.
"Celaka...!" desah si Wajah Merah dengan peluh membanjir di seputar dahinya.
"Ada apa, Kek?" tanya Pengemis Binal, khawatir. "Aku tak sanggup mengeluarkan
racun dalam tubuh pemuda ini...."
"Kenapa?"
"Racunnya telah masuk ke otak dan mem-
pengaruhi jaringan sarafnya."
"Apakah itu berarti Arya Wirapaksi akan
menjadi orang jahat sepanjang hidupnya?" buru Pengemis Binal.
Si Wajah Merah mengangkat bahu. "Aku tak
tahu. Tapi yang pasti, nyawanya tak akan lebih da-ri dua pekan bersemayam dalam
raganya." "Kau harus berusaha menolongnya, Kek!
Dia putra mahkota! Kelak, dialah yang memimpin
Kerajaan Anggarapura! Dia tidak boleh mati!" pinta Pengemis Binal terbawa
kekalutannya. Bagaimanapun juga, Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti ini mempunyai hu-
bungan baik dengan Prabu Arya Dewantara. Maka,
pantas saja bila menunjukkan rasa khawatirnya
atas keadaan putra mahkota itu.
"Aku bisa saja memperpanjang usia Arya
Wirapaksi dengan memberikan beberapa ramuan
obat. Tapi, racun jahat dalam tubuhnya masih
akan tetap bekerja. Bila ini kulakukan, sama saja menyiksa jiwa Arya Wirapaksi.
Dia akan hidup dengan otak setengah gila. Bila kumat, dia akan
lupa pada diri sendiri. Dan benaknya dipenuhi
keinginan untuk membunuh," jelas si Wajah Me-
rah. Mengelam paras Pengemis Binal mendengar
penuturan si Wajah Merah. Tapi, setitik sinar te-
rang terbesit di hati remaja konyol ini.
"Putri Racun...!" desisnya. "Putri Racun pasti bisa melepaskan racun yang
menyerang Arya Wirapaksi!"
"Mungkin saja dia mampu. Tapi, kita hanya
punya waktu dua pekan untuk mencarinya," kata si Wajah Merah.
"Aku akan menyebar seluruh anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Mudah-
mudahan berhasil...."
"Sebaiknya kita bawa Arya Wirapaksi ke
Pendapa Kadipaten," cetus Dewi Ikata kemudian.
"Ya. Itu usul yang bagus!" sahut Pengemis Binal. "Kau bopong tubuh Arya
Wirapaksi, Kek.
Aku akan membopong Intan Melati."
Mendelik mata Dewi Ikata mendengar uca-
pan Suropati. Ketika Pengemis Binal hendak me-
langkah, Dewi Ikata mendahului. Disambarnya In-
tan Melati, lalu dibawa berlari cepat.
"Cepat ikuti aku!" teriak Dewi Ikata dari kejauhan.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala
dengan senyum getir.
"Ayo, Suro! Tunggu apa lagi?" ujar si Wajah Merah sambil membopong tubuh Arya
Wirapaksi untuk dibawa berlari mengikuti Dewi Ikata.
"Kalian tak perlu ikut...," cegah Pengemis Binal saat melihat enam anak buahnya
hendak berlalu dari tempatnya.
"Siapa yang mau ke Pendapa Kadipaten"
Lebih enak tidur di Kuil Saloka!" cibir Ganda, seraya mengempos tubuhnya. Pemuda
itu cepat ber- lari meninggalkan tempat ini diikuti kelima temannya. Suropati garuk-garuk
kepala sebentar, lalu
turut berkelebat menembus kegelapan malam.
Dapatkah Arya Wirapaksi terbebas dari ra-
cun ganas yang membuatnya lupa diri"
SELESAI Segera terbit!!!
Serial Pengemis Binal dalam episode:
ASMARA PUTRI RACUN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dalam Pelukan Musuh 1 Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Pendekar Muka Buruk 13
^