Pencarian

Pewaris Mustika Api 2

Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api Bagian 2


berpijak. Di sana-sini semburan api mengurung-
nya. Sekujur tubuhnya sudah terasa tersiram air
mendidih. Telapak kakinya yang beberapa kali
menginjak tanah pun mulai melepuh.
"Tanpa pukulan 'Salju Merah', tak mungkin
aku dapat bertahan...," pikir Suropati.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini lalu mengempos tubuhnya ke atas seraya
menghimpun seluruh kekuatan tenaga dalam. Da-
lam keadaan masih melayang di udara, dia meme-
kik nyaring. Telapak tangannya yang sudah dilam-
bari kekuatan ilmu pukulan 'Salju Merah' diki-
baskan ke depan.
Pada saat yang sama, satu titik cahaya ke-
biruan telah meluncur dari ujung jari pemuda be-
rambut awut-awutan. Dan tiba-tiba saja menem-
bus telapak tangan Suropati. Akibatnya...
"Arghhh...!"
Suropati menjerit keras, merobek angkasa.
Sekujur tubuhnya kontan terasa panas membara
seperti dijalari api neraka. Dia kontan terjatuh ke tanah yang telah menjadi
lautan api. Namun begitu, dia mampu menjaga keseimbangan tubuhnya,
hingga jatuhnya kaki lebih dulu.
"Hei! Mau lari ke mana kau"!" hardik Arya Wirapaksi saat melihat Suropati
seketika mengambil langkah seribu.
Dalam keadaan terluka, rupanya Pengemis
Binal tak mampu meladeni amukan pemuda be-
rambut awut-awutan. Dia tak mungkin melukai
pemuda yang dikenalnya sebagai Arya Wirapaksi,
putra mahkota Kerajaan Anggarapura. Lagi pula,
yang lebih penting adalah menyelamatkan jiwa
Adipati Barasangga lebih dulu. Soal urusan den-
gan pemuda itu, bisa dilanjutkan kapan saja.
Saat pemuda bertubuh tinggi tegap ini hen-
dak mengejar ke mana Suropati berlari, tiba-tiba....
"Aaah...!"
Arya Wirapaksi menjerit. Langkahnya ter-
henti. Kedua tangannya menekan kepala. Lalu, se-
perti orang gila dia menggedor-gedor dadanya sen-
diri. "Ya, Tuhan...! Apa yang telah kulakukan?"
jerit si pemuda. "Aku telah melukai orang. Aku telah membunuh orang. Eyang...!
Maafkan aku, Eyang...!"
Arya Wirapaksi langsung menangis mengge-
rung-gerung. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh
menggelosor ke tanah. Didekapnya lagi kepalanya
dengan kedua tangan. Dia menggembor seraya me-
loncat hendak bangkit, namun mendadak tubuh-
nya terkulai jatuh ke tanah lagi! Pandangan ma-
tanya kini gelap. Kepalanya terasa amat berat. Dirinya seperti terbawa pusaran
air dahsyat yang
sama sekali tak mampu dilawannya.
Hutan Wonokeling kini terselimuti sunyi.
Hanya desau angin yang terdengar ditimpali kicau
burung. Api kebiruan yang menyembur dari dalam
tanah telah padam. Hangatnya sinar mentari yang
berkuasa mengelus mayapada. Tubuh Arya Wira-
paksi terbaring telentang, tergolek lemah seperti selembar kain tiada berharga.
Ingatannya lenyap
karena telah pingsan.
*** Di tepi sungai yang baru ditemukannya, In-
tan Melati jadi bingung. Ditatapnya tubuh Adipati Barasangga yang telah
diturunkannya di tanah.
Haruskah pakaian pembesar kadipaten itu ditang-
galkan" Atau tubuhnya disiram saja"
Intan Melati menempelkan punggung tela-
pak tangannya ke kening sang adipati. Terasa be-
tul kalau suhu badan lelaki ini amat tinggi.
"Ah, aku harus cepat memberi pertolongan,"
pikir Intan Melati. "Aku tak perlu memandikannya.
Kusiram saja tubuhnya dengan air."
Niat Intan Melati untuk mengambil air sun-
gai urung, karena Adipati Barasangga tampak
menggeliat sadar dari pingsannya.
"Uh! Panas sekali...," keluh sang adipati sambil berusaha bangun, tapi tak
mampu. Kedua kakinya memang masih terkena pengaruh totokan.
"Tuan hendak bangun" Tuan butuh air?"
tanya Intan Melati.
Gadis ini masih menampakkan kebingun-
gannya. Memang, baru kali ini dia menghadapi
orang yang membutuhkan pertolongan.
"Kau siapa?" tanya sang adipati, setelah melihat sosok Intan Melati.
"Aku Intan Melati, Tuan. Aku teman Suro-
pati." Adipati Barasangga diam. Ingatannya melayang pada peristiwa yang baru
dialami. Pada saat inilah suhu tubuhnya terasa meninggi. Dia hendak
berjongkok untuk membebaskan pengaruh toto-
kan di kakinya, namun tak mampu. Karena, tena-
ganya telah terkuras.
"Kau bisa memulihkan jalan darah di kaki-
ku?" tanya sang adipati, setengah memohon.
"Akan ku coba, Tuan...."
Memang, Intan Melati adalah putri seorang
pendekar yang cukup ternama pada masanya. Tak
heran kalau dia mengerti tentang ilmu totokan.
Maka bergegas gadis ini memeriksa pergelangan
kaki sang adipati. Didapatinya lingkaran kecil berwarna biru di kedua paha
lelaki itu. Dengan men-
gurut beberapa lama, jalan darah di kaki sang adipati dapat dilancarkannya
kembali. "Terima kasih, Anak Manis...," ucap Adipati Barasangga seraya menggerak-gerakkan
pergelangan kakinya yang kaku.
Tahu dirinya berada di tepi sungai, lelaki ini
segera mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan tu-
run ke tepi sungai. Dengan berendam beberapa
lama di aliran sungai, rasa panas yang merejam
tubuhnya berangsur-angsur lenyap.
"Suropati...!"
Intan Melati berteriak girang ketika melihat
sebuah bayangan di kejauhan.
Namun, betapa kecewanya gadis ini ketika
menyadari kalau sosok yang hadir ternyata bukan
Suropati. Orang itu masih muda. Umurnya sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya tampan. Alis tebal
tampak menambah kegagahannya. Rambut pan-
jang, diikat sehelai kain sutera merah. Pakaiannya yang berwarna putih-kuning
terbuat dari bahan
mahal. "Kau... kau siapa?" tanya Intan Melati gelagapan, karena si pemuda terus
memandang wa- jahnya. "Aku Jaka Pamulang, Nona...," sahut pemuda beralis tebal, memperkenalkan
diri. "Kenapa kau kemari?" tanya Intan Melati la-gi. Kali ini disertai rasa curiga.
"Jangan berprasangka buruk terhadapku,
Nona...," ujar pemuda bernama Jaka Pamidang sambil membungkuk hormat. "Aku hanya
kebetulan lewat sini. Pada mulanya, aku hendak melihat
apa yang mengepul di tengah hutan sebelah sana.
Tapi, kini asap itu sudah tidak ada lagi. Kiranya dugaanku meleset. Hutan
Wonokeling tidak terbakar. Mungkin ada orang yang membuat pera-
pian...." "He, Jaka Pamulang!" teriak Adipati Barasangga seraya keluar dari air sungai.
Intan Melati jadi jengah dan malu, karena
secara tak sengaja melihat tubuh sang adipati
yang setengah telanjang. Sementara, kening pe-
muda yang bernama Jaka Pamulang tampak ber-
kerut. Matanya tak lepas memandang sang adipati
yang sedang mengenakan pakaiannya yang tak la-
gi utuh. "Kenapa Gusti Adipati berada di sini?" tanya si pemuda saat sang adipati telah
berada di dekatnya. "Aku mengalami musibah, Jaka. Seluruh
pengawalku mati. Untunglah, aku sendiri masih
selamat...," tutur Adipati Barasangga, bernada sedih. "Bagaimana itu bisa
terjadi?" "Seorang pemuda berilmu luar biasa telah
menjatuhkan tangan mautnya. Aku ditolong Suro-
pati dan temannya ini...," jelas sang adipati menunjuk Intan Melati.
"O, jadi Nona teman Suropati. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. Maaf-
kan bila sikapku tadi tak sopan, Nona...," ucap Ja-ka Pamulang sambil membungkuk
dalam. Mengin- gat kebesaran nama Suropati, agaknya pemuda ini
merasa perlu menaruh hormat terhadap Intan Me-
lati. Mendapat penghormatan yang berlebihan,
Intan Melati jadi salah tingkah. Adipati Barasangga yang telah terbebas dari
siksaan rasa panas tampak tersenyum.
"Terimalah penghormatan Jaka Pamulang,
Anak Manis. Dia adalah putra Demang Bulak Ka-
rang yang terletak di Kadipaten Tanah Loh," ujar sang adipati.
"Eh, ya... ya...."
Melihat Intan Melati semakin salah tingkah,
Adipati Barasangga tersenyum lagi.
"Sekarang, kenalkan dirimu kepadanya...."
Intan Melati menunduk malu. Pikirannya
jadi tak menentu. Tapi setelah sadar kalau tengah berhadapan dengan orang-orang
terhormat, rasa
canggung diusirnya.
"Namaku Intan Melati...," ujar Intan Melati kemudian.
"Hmm.... Sebuah nama indah...," puji Jaka Pamulang. "Melihat pedang di
punggungmu, kau tentu putri seorang pendekar. Atau paling tidak,
murid seorang tokoh yang ahli memainkan senjata
pedang." Intan Melati diam. Rasa canggung masih
menggeluti dirinya. Apalagi, Jaka Pamulang selalu melempar senyum ke arahnya.
Pikir Intan Melati,
pemuda itu tentu punya sifat mata keranjang.
"Di mana Suropati, Intan?" tanya Adipati Barasangga dengan suara lembut. "Apakah
dia masih berhadapan dengan pemuda sakti di tengah
hutan sana?"
"Hamba tak tahu, Tuan. Tapi, hamba akan
menunggunya di sini...," jelas Intan Melati.
Adipati Barasangga menatap langit. Mata-
hari telah jauh condong ke barat. Berarti, petang akan segera datang.
"Sebaiknya kau ikut aku ke kota Kadipaten
Bumiraksa, Intan. Karena, aku tidak bisa mene-
manimu di sini."
"Tapi, hamba mesti menunggu Suropati...,"
tolak Intan Melati, halus.
"Bagaimana kalau dia tidak segera datang"
Sedang kau bisa melihat sendiri bila hari hampir
petang. Tak baik gadis cantik sepertimu berada di kegelapan. Apalagi, di tengah
hutan seperti ini...."
Intan Melati diam merasakan kebenaran
ucapan Adipati Barasangga. Tapi teringat sosok
Suropati yang mengajaknya pergi ke kota Kadipa-
ten Tanah Loh, hatinya jadi bingung. Walau sering berlaku konyol saat menggoda,
namun sesung-guhnya Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu sudah mencuri hatinya. Intan Melati be-
lum ingin berpisah dengannya.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Intan?" lanjut sang adipati. "Setelah sampai di
Pendapa Kadipaten Bumiraksa, aku akan meminta Adipati Danu-
braja, menantuku agar mengirim beberapa tokoh
sakti untuk menghentikan kebrutalan pemuda be-
rambut awut-awutan itu. Tapi, mudah-mudahan
saja Suropati telah berhasil mengatasinya. Oleh
karena itu, sebaiknya kau ikut denganku, Intan.
Kalau Suropati tidak menemukanmu di tempat ini,
dia pasti akan mencari ke kota Kadipaten Bumi-
raksa. Karena, dia sering berada di sana. Ada gadis cantik yang menjadi
kekasihnya...."
Kontan Intan Melati terkesiap mendengar
penjelasan Adipati Barasangga.
"Kekasih" Suropati punya kekasih?" ujarnya, gelagapan.
Melihat air muka Intan Melati yang berubah
keruh, kening Adipati Barasangga berkerut. Tapi
sebagai orang tua yang sudah matang pengala-
man, lelaki ini segera tahu apa yang ada di hati Intan Melati.
"Apakah Nona Intan Melati mengenal Suro-
pati belum lama?" tanya Jaka Pamulang. "Semua orang di kota Kadipaten Bumiraksa
telah tahu kalau Suropati adalah kekasih Dewi Ikata."
"Oh...," Intan Melati mendekap mulutnya.
Hatinya seketika terasa pedih bak tersayat sembi-
lu. "Benarkah Suropati punya kekasih yang
bernama Dewi Ikata" Kalau benar, lalu apa mak-
sud pendekar muda itu memberi begitu banyak
perhatian" Apakah aku sendiri yang salah menaf-
sirkan kebaikannya?" tanyanya kepada diri sendiri.
Tanpa terasa, butiran mutiara bening ber-
gulir dari sudut mata si gadis. Intan Melati tak dapat menipu diri sendiri. Dia
mencintai Suropati.
Tapi, akankah dia berebut cinta dengan Dewi Ika-
ta" "Dewi Ikata adalah putri Adipati Danubraja,
yang juga cucu Gusti Adipati Barasangga ini...,"
lanjut Jaka Pamulang. Pemuda ini seperti tak mau
tahu, apa yang terjadi pada diri Intan Melati.
Adipati Barasangga menatap wajah Jaka
Pamulang dalam-dalam. Ada rasa tidak suka yang
terpancar di sorot matanya. Sementara, si pemuda
tampaknya tak menyadari kesalahannya.
"Aku tadi kelepasan bicara. Kenapa kau ma-
lah melanjutkannya, Jaka?" desis sang adipati seraya mendekatkan mulutnya di
telinga Jaka Pa-
mulang. "Maafkan hamba, Gusti Adipati...," ucap Ja-
ka Pamulang kemudian. Walau badannya mem-
bungkuk ke arah Adipati Barasangga, tapi ma-
tanya melirik Intan Melati yang masih menunduk.


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak harus meminta maaf padaku.
Kau tahu, siapa yang kau sakiti hatinya."
"Maafkan aku, Nona.... Eh...," pemuda ini terkejut saat Intan Melati
memandangnya dengan
mata berkaca-kaca.
Adipati Barasangga turut terkejut, ketika ti-
ba-tiba Intan Melati meloncat, dan berlari meninggalkan tempat.
"Hei, Intan! Tunggu...!" teriaknya. Tapi, si gadis tak mempedulikan lagi. Dia
terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
4 Tersiram cahaya rembulan, tubuh Arya Wi-
rapaksi tergolek telentang tanpa daya. Kedua tan-
gannya terpentang dengan kaki kanan menekuk.
Wajahnya yang kotor membersitkan sebuah pen-
deritaan mendalam. Rambutnya begitu awut-
awutan, sehingga sama sekali tak menunjukkan
kalau dia adalah seorang putra mahkota. Apalagi,
pakaian kebesarannya telah penuh debu yang
lengket dengan keringat
Walau malam berhias wajah rembulan kee-
masan dan bertabur bintang gemerlapan, tapi Hu-
tan Wonokeling tetap terasa sunyi mencekam. Su-
ara burung hantu terdengar lamat-lamat disahuti
lolongan serigala. Sekejap kemudian, lolongan se-
rigala tak lagi terdengar. Hanya suara jangkrik
yang menggantikannya. Justru dari sinilah awal
dari peristiwa mengerikan.
Di bawah keremangan cahaya rembulan,
belasan ekor serigala mengendus-endus. Langkah
binatang-binatang buas itu menuju ke tubuh Arya
Wirapaksi yang masih terbaring di tanah. Salah
satunya tampak mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Mulutnya memperdengarkan lolongan keras. Se-
dang yang lain bergerak mengitari tubuh si pemu-
da. Mata mereka berkilat-kilat dengan mulut ter-
buka. Lidah yang terjulur membuat air liur me-
netes-netes. Tampak kemudian, salah satu dari hewan
liar itu mendengus, lalu menjilati telapak tangan Arya Wirapaksi. Merasa tak ada
sambutan dari si
pemuda, serigala itu melolong tinggi. Kemudian,
cepat sekali moncongnya bergerak.
Krasss! Darah mengucur membasahi tanah saat
pergelangan tangan kanan Arya Wirapaksi digigit.
Tapi sebelum sebagian dagingnya terkoyak, men-
dadak tubuh Arya Wirapaksi menggeliat. Perlahan
kelopak matanya terbuka. Begitu kesadarannya
kembali, rasa pedih di pergelangan tangannya se-
gera terasa. "Hup!"
Tanpa sadar, Arya Wirapaksi meloncat,
membuat gigitan serigala melepas. Tapi, dia mesti merelakan sebagian dagingnya
terkoyak. Darah
mengucur semakin deras disertai rasa pedih bu-
kan main. Arya Wirapaksi menggembor keras, melihat
dirinya telah dikepung belasan serigala. Bukan takut yang ada dalam hatinya,
melainkan amarah
meluap. Namun ketika tubuhnya hendak digerak-
kan untuk menghalau hewan-hewan itu, kepa-
lanya terasa pening. Pandangannya berkunang-
kunang, membuat berdirinya tak lagi sempurna.
Kedua kakinya menekuk seperti terlalu berat me-
nyangga beban. Sekejap mata kemudian, tubuh Arya Wira-
paka jatuh berdebam ke tanah. Pada saat yang
sama, seekor serigala yang paling besar mener-
kamnya. Maka kini, sunyi malam terpecah oleh
suara hiruk-pikuk para serigala yang melolong-
lolong seperti terbawa oleh luapan rasa gembira.
Arya Wirapaksi berkutat melawan maut.
Taring serigala yang seruncing ujung pedang siap
mencabik-cabik tubuhnya!
Tubuh Arya Wirapaksi terbanting ke sana-
sini. Pakaiannya mulai ternoda cairan darah segar.
Pergelangan tangan kirinya turut terluka. Namun
ketika tiba-tiba pening di kepalanya lenyap....
"Heaaa...!"
Si pemuda memekik nyaring. Dan menda-
dak tubuh serigala besar yang menggelutinya me-
layang deras, membentur tebing. Terdengar lolon-
gan panjang yang amat menggidikkan. Serigala itu
mati dengan tubuh remuk!
Cepat sekali Arya Wirapaksi bangkit. Di-
pandanginya belasan serigala yang masih menge-
pungnya. Kemudian, sambil menggembor keras
pemuda itu bergerak memutar amat cepat.
"Hauungngng...!"
Terdengar lolongan panjang saling sahut.
Tubuh belasan serigala kontan terlontar jauh, dan jatuh berdebam di atas tanah.
Mereka melolong-lolong terus seraya mengambil langkah seribu.
Begitu lolongan serigala lenyap tertelan ke-
sunyian malam, Arya Wirapaksi jatuh terduduk
seketika. Dahinya dibentur-benturkan ke tanah.
Seperti orang kehilangan ingatan, dia lalu menan-
gis mengguguk. Bahunya naik turun. Air mata
mengalir deras menganak sungai.
"Ya, Tuhan..,," sebut Arya Wirapaksi. "Dosa apa yang telah kuperbuat, sehingga
Kau menjatuhkan kutuk seperti ini...?"
Pemuda ini kembali membentur-benturkan
lagi dahinya ke tanah.
"Aku telah melukai orang.... Aku telah
membunuh orang...." lanjutnya, merintih-rintih.
Arya Wirapaksi menatap kedua tangannya
dengan penuh linangan air mata.
"Akan kupotong tangan terkutuk ini! Akan
kupotong tangan terkutuk ini...!" jeritnya, keras.
Seperti orang kesetanan, Arya Wirapaksi
berlari mendekati tebing. Lalu dia meloncat masuk ke gua. Begitu di dalam,
tubuhnya bergetar laksana terserang demam ganas. Matanya nanar me-
mandang setiap jengkal lantai dan dinding gua
yang bersinar terang. Ketika tatapannya tertuju
pada sebuah lorong sempit tempat berpendarnya
cahaya yang menerangi gua, tubuh si pemuda
menjadi lemas seketika. Kakinya menekuk, lalu ja-
tuh terduduk. Air matanya mengalir lagi. Bahunya
naik turun terbawa isakan tangisnya. Ditatapnya
lekat kedua telapak tangannya, yang ternyata biru kemerahan.
"Akan kupotong tangan terkutuk ini...!" desis Arya Wirapaksi.
Kini pandangan si pemuda beredar lagi. Ta-
pi, hanya kekecewaan yang didapatkan. Apa yang
dicarinya ternyata tak ditemukan. Tiba-tiba, bola matanya yang semerah darah
membersitkan cahaya aneh. Bertepatan dengan mulutnya yang
memekik, kedua tangannya dihantamkan ke lantai
gua yang berupa batu keras!
Blammm...! Ruangan gua kontan berguncang laksana
terjadi gempa. Bagian atas gua runtuh. Sementara
dinding di kanan-kirinya penuh retakan. Sedang
batu-batu yang berserakan di lantai berpentalan, menimbulkan suara gemuruh
dahsyat. Saat guncangan telah reda, tubuh Arya Wi-
rapaksi telah tertimbun bebatuan. Pemuda ini me-
narik napas panjang, lalu menghentakkan tubuh-
nya. Sekali lagi, timbul suara gemuruh. Batu-batu yang menimbun tubuhnya pun
ambyar! Dengan sinar mata merah berkilat-kilat,
Arya Wirapaksi menatap kedua telapak tangannya
yang tetap seperti semula. Berwarna biru kemera-
han! "Eyang...," desahnya. "Tolonglah aku, Eyang. Aku tak mau menjadi pembunuh
kejam. Tangan ini tangan terkutuk! Aku harus memo-
tongnya...!"
Arya Wirapaksi meloncat ke sudut gua. Dis-
ingkirkannya bebatuan yang bertumpuk. Lalu, di-
angkatnya sebuah peti perak. Peti itu didekapnya
beberapa lama. Kemudian tutupnya dibuka. Peti
perak berisi sebuah kitab, dan secarik kertas ku-
sam berwarna kekuningan. Arya Wirapaksi men-
gambil kertasnya. Dengan mata berlelehan air ma-
ta dibacanya tulisan yang tertera. Bunyinya :
Untuk yang berjodoh. Cuci tanganmu setiap
selesai membaca kitab ini. Jangan sebarkan hal ini kepada siapa pun!
"Eyang...," sebut Arya Wirapaksi. "Aku lupa menuruti perintahmu. Aku lupa
mencuci tangan setiap selesai membaca kitab warisanmu. Aku tak
tahu bila kitab warisanmu mengandung racun,
yang kini telah mempengaruhi kerja otakku. Mes-
tinya, aku mati. Tapi karena aku begitu cepat
menguasai ilmu 'Mustika Api', kematian itu tidak
segera menjemputku. Hal inilah yang membuatku
menderita, Eyang...."
Air mata Arya Wirapaksi kian menganak
sungai lagi. "Setiap racun itu bekerja, aku berubah
menjadi makhluk kejam yang haus darah. Aku lu-
pa segala-galanya! Aku menjadi iblis yang pantas
dijebloskan ke dasar neraka!"
Beberapa kali Arya Wirapaka membaca tuli-
san di kertas yang digenggamnya. Kemudian, ker-
tas itu dimasukkan kembali ke peti. Lalu dari da-
lam peti dikeluarkannya kitab bersampul putih
yang bertuliskan 'Kitab Pemecahan Lukisan Mus-
tika Api.' Sedang di bagian bawahnya berderet hu-
ruf-huruf yang lebih kecil. Bunyinya :
Ciptaan Arya Balambang Jenar pendiri Di-
nasti Anggarapura. Untuk diwariskan kepada yang berjodoh.
"Eyang Balambang Jenar...," sebut Arya Wirapaksi. "Tidakkah kau lihat cucu
buyutmu yang menderita ini" Bunuh saja aku, Eyang! Aku tidak
mau menjadi pembunuh. Aku telah melalaikan pe-
rintahmu. Atau, potong saja kedua tanganku ini!"
Arya Wirapaksi meluruskan kedua tangan-
nya ke depan, membuat 'Kitab Pemecahan Lukisan
Mustika Api' terjatuh. Pemuda ini menunggu bebe-
rapa lama. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang datang untuk memotong
tangannya. "Kenapa kau tidak segera membunuhku
atau memotong saja kedua tanganku ini,
Eyang..."!" teriak Arya Wirapaksi. Suaranya memantul di dinding gua, menciptakan
gema pan- jang. Karena tak ada yang menyahuti ucapannya,
Arya Wirapaksi menggeram marah. Dipungutnya
'Kitab Pemecahan Lukisan Mustika Api'. Ditatap-
nya kitab itu sebentar, lalu dilemparkan ke atas.
Sebelum kitab itu jatuh ke lantai gua, ke-
dua tangan Arya Wirapaksi berkelebat, menepuk
kitab yang tengah melayang.
Bed! Blarrr...! Seketika terdengar suara menggelegar. Per-
cikan api menebar ke segala arah. 'Kitab Pemeca-
han Lukisan Mustika Api' pun hancur menjadi de-
bu! "Eyang...!" pekik Arya Wirapaksi. "Aku telah menghancurkan kitab warisanmu. Itu
berarti aku telah menghinamu. Tidakkah sekarang kau mur-
ka"! Bunuh saja aku! Bunuh aku, Eyang...!"
Arya Wirapaksi terus berteriak-teriak seperti
orang gila. Tapi rasa kecewa semakin menggeluti
jiwanya. Ditendangnya peti perak tempat kitab wa-
risan Arya Balambang Jenar, hingga hancur be-
rantakan. "Bunuh aku, Eyang...! Bunuh aku,
Eyang...!"
Dengan pandangan berkilat, Arya Wirapaksi
menatap lorong gua yang memancarkan cahaya te-
rang. "Bunuh saja aku, Eyang...! Atau, aku akan menghancurkan 'Gua Api' ini!"
teriaknya lagi.
Arya Wirapaksi diam beberapa lama. Dan
mendadak, tubuhnya bergetar. Rahangnya meng-
gembung, hingga membentuk balok persegi empat
Giginya bertaut rapat memperdengarkan bunyi
gemeletuk. Matanya yang merah semakin meme-
rah, membersitkan cahaya berkilau.
"Gua ini benar-benar akan kuhancurkan,
Eyang...!"
Belum hilang gema suaranya, Arya Wiija-
paksi menggembor begitu keras, membuat ruan-
gan gua berguncang. Batu-batu yang berserakan
di lantai tampak berpentalan. Lalu, pemuda ini
memutar tubuh amat cepat, hingga berubah men-
jadi bayangan putih yang kemudian memancarkan
cahaya gemerlap amat menyilaukan mata!
Blammm...! Ledakan dahsyat membahana di angkasa.
Bagian atas gua benar-benar runtuh. Dinding-
dinding yang telah retak kontan jebol menjadi pe-
cahan-pecahan kecil. Akibatnya, tubuh Arya Wira-
paksi tertimbun bebatuan.
Di luar gua, binatang-binatang malam
memperdengarkan suara gaduh. Burung-burung
hantu terbang ke angkasa mencari tempat yang le-
bih tenang. Binatang lain pun tak urung terkejut, langsung melarikan diri.
Perlahan-lahan kesunyian kembali men-
cengkeram Hutan Wonokeling. Dingin terasa me-
nusuk tulang sumsum saat udara dipenuhi kabut.
Gelap malam hanya tersamar oleh cahaya keema-
san Sang Candra.


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Gua Api' yang telah runtuh menampakkan
gerakan aneh. Sedikit demi sedikit, bebatuan ter-
guling ke bawah tebing. Di antara batu yang berserakan, menyembul pergelangan
tangan. Disusul
kemudian, sesosok tubuh bangkit berdiri. Pakaian
yang dikenakannya telah compang-camping kotor
berdebu. Rambutnya yang panjang tampak lengket
kusam dan awut-awutan. Raut wajah dan sorot
matanya mengandung ancaman kematian!
Untuk beberapa lama, sosok tubuh itu ber-
diri tegak di tempatnya. Ditatapnya wajah rembu-
lan dan bintang-gemintang di langit. Ditatapnya
ranting-ranting pohon yang meliuk-liuk tertiup angin. Lalu, dia memekik nyaring
seraya berkelebat,
menembus kegelapan malam. Dia adalah Arya Wi-
rapaksi! *** Gelap yang menyelimuti bumi terusir tatka-
la Sang Baskara menyembul di bentangan kaki
langit timur. Kehangatan sinarnya seolah mem-
buat hati seorang kakek yang tengah berjalan den-
gan siulan panjang menjadi riang. Pakaiannya
yang berwarna putih-kuning tampak kedodoran
membungkus tubuh kurusnya. Rambut putihnya
melambai-lambai ke mana arah angin meniupnya.
Tapi, sungguh aneh. Ternyata, wajah kakek ini
berwarna merah seperti buah tomat matang!
Begitu tiba di sebuah aliran sungai, kakek
ini menghentikan langkah. Dia lantas berjongkok,
langsung membasuh muka dengan air sungai. Di-
usap-usapnya beberapa kali. Namun, tetap saja
warna merah pada wajahnya tak mau hilang. Dan
itu sama sekali tidak dipedulikannya.
Setelah puas membasuh muka, kakek ini
lalu melanjutkan langkah kakinya. Bukan siulan
yang diperdengarkan kali ini, melainkan lantunan
sebuah tembang.
Semua kejadian tak lain dari kehendak ke-
kuasaan Gusti Whujud Howo Yang Maha Suci.
Aku adalah abdi ciptaan Gusti Whujud Howo
Yang Maha Suci.
Aku pasrah terhadap kekuasaan Gusti Whu-
jud Howo Yang Maha Suci, kesempurnaan lahir ba-
tin. Tuhan tempat menyembah : "Hamengku Tri Bawono" / "Bawono Pranoto" - Hyang
Whys-noe Murti. Junjunganku : Ayah dan Bunda.
Penguasa diri : Rahso(sesuatu yang lebih lembut dari kalbu dan lebih peka dari
rasa) Succi Diri Pribadi'.
Mendadak si kakek menghentikan tetem-
bangannya. Pendengarannya langsung ditajamkan.
Daun telinga kirinya tampak bergerak-gerak. Ma-
tanya menyipit. Tanpa sadar langkahnya terhenti.
"Hmmm.... Sekitar lima puluh tombak dari
tempatku berdiri, terbaring sesosok tubuh tanpa
daya. Dia tengah merasakan penderitaan hebat.
Berdosa aku bila tak segera menolongnya...."
Berpikir demikian, si kakek lalu mengempos
seluruh tenaganya. Ringan sekali tubuhnya me-
layang. Dan hanya dengan menjejak tanah bebe-
rapa kali, dia telah sampai di tempat yang dituju.
"Suropati...!" desis si kakek begitu melihat seorang remaja berpakaian putih
penuh tambalan tergeletak pingsan di tepi sungai.
Kening kakek ini berkerut ketika memeriksa
detak jantung si remaja yang memang Suropati.
Usai memeriksa aliran darah Pengemis Binal, si
kakek mendesah panjang. Kerut di keningnya ma-
kin kentara. Raut wajahnya mencerminkan kek-
hawatiran amat sangat.
"Kasihan sekali kau, Suro...," desah si kakek. "Saat ini kau menderita rasa
sakit yang hebat.
Tapi untuk menghilangkan rasa sakit itu, kau ju-
stru harus mengalami penderitaan yang lebih he-
bat. Mudah-mudahan kau dapat bertahan...."
Kakek berpakaian putih-kuning kedodoran
ini terkejut melihat darah menggumpal di telapak
tangan kanan Suropati. Segera diperiksanya kea-
daan Pengemis Binal.
"Astaga...!" pekiknya.
Telapak tangan kanan Suropati ternyata lu-
ka berlubang seperti tertembus sesuatu yang amat
tajam. "Semoga Tuhan memberimu kekuatan, Su-
ro...." Usai mengucap doa, kakek ini melepas ikat pinggangnya yang terbuat dan
kain kuning. Lalu
dengan ikat pinggang itu diikatnya kedua kaki Su-
ropati. Terlihat kemudian, tubuh Suropati digan-
tung di dahan pohon dengan kaki di atas dan ke-
pala di bawah, berjarak dua jengkal dari permu-
kaan tanah. Si kakek menatapnya sambil terus
mendesah-desah. Mendadak...
Buk! Buk! Plak! Plak!
Beberapa bagian tubuh Suropati dipukul
dan ditampar berulang kali. Kontan Pengemis Bi-
nal siuman. Dan begitu merasakan tubuhnya tera-
sa sakit hebat, dia menjerit-jerit.
Tapi, si kakek tampaknya tak mau ambil
peduli. Tubuh Suropati dipukuli terus, membuat
jerit kesakitan pun membahana berkepanjangan.
Agaknya, pukulan si kakek dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi. Kalau tidak demikian, bagaimana
mungkin Suropati bisa menderita kesakitan begitu
hebat" Siksaan si kakek baru berhenti ketika Su-
ropati jatuh pingsan lagi. Anehnya, dari sekujur
tubuh Suropati yang lebam-lebam tampak menge-
pul asap putih. Dan setelah asap lenyap, si kakek memberikan beberapa totokan.
Lalu, dipandan-ginya tubuh Pengemis Binal yang terayun-ayun.
"Kau memang bocah ajaib yang mempunyai
daya tahan luar biasa, Suro...," puji si kakek tulus.
*** Perlahan namun pasti, Sang Baskara men-
gikuti putaran sang waktu. Kehangatan sinarnya
berubah panas menyengat. Kini, Suropati mengge-
liat siuman. Begitu kelopak matanya membuka,
Pengemis Binal terkejut. Apa yang dilihatnya serba terbalik. Dicobanya
menjejakkan kaki. Dan dia
pun terkesiap merasakan tubuhnya terayun cepat.
Sadarlah Pengemis Binal kalau saat ini sedang di-
gantung terbalik
"Aduh! Setan alas! Kuntilanak bunting!"
maid Pengemis Binal seraya meronta-ronta. Kedua
tangannya yang terikat dihentak-hentakkan. Ter-
nyata, kain pengikatnya amat kuat Sehingga tena-
ga luar saja tak mampu membuatnya putus.
"Heaaah...!"
Tas! Dengan mengerahkan tenaga dalam, baru-
lah Suropati dapat memutuskan tali pengikat tan-
gannya. Dan tubuhnya segera ditekuk untuk me-
lepas ikatan pada kakinya.
"Ohh...!"
Keluhan pendek keluar dari mulut remaja
tampan ini. Jemari tangan kanannya sulit dige-
rakkan, karena tepat di tengah telapaknya ada lu-
ka. Namun, dia memaksakan diri untuk dapat le-
pas dari tali yang menggantungnya. Dan....
Tas! "Hup!"
Begitu menginjak tanah, Suropati mengeluh
lagi. Bibirnya meringis menahan sakit. Kedua telapak kakinya yang melepuh
membuatnya tak mampu berdiri tegak.
"Aneh...," pikir Pengemis Binal sambil
menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Walau telapak tangan dan kaki terasa pedih,
tapi kenapa se-
kujur tubuhku terasa dingin dan segar" Apakah
aku telah terbebas dari pengaruh ilmu 'Mustika
Api'?" tanya remaja tampan tapi konyol ini seraya garuk-garuk kepala. "Pasti ada
orang yang menolongku! Aku yakin itu dilakukannya selagi aku
pingsan. Namun, kenapa aku digantung terbalik?"
Sambil cengar-cengir remaja konyol ini
mengedarkan pandangan. Bola matanya kontan
membesar, ketika melihat seorang kakek tengah
duduk menekuk lutut bersandar pada batang po-
hon. Wajahnya tak terlihat, karena masuk di sela
kedua pahanya. Suropati memperhatikan seksama kakek
berpakaian putih-kuning itu. Mendengar dengus
napasnya yang teratur, tahulah pemuda ini kalau
si kakek tengah tidur. Maka dengan berjingkat-
jingkat sambil menahan sakit, Suropati berjalan
menghampiri. Ditatapnya dari dekat wujud si ka-
kek beberapa lama.
"Kek...," panggil Pengemis Binal. Tak ada sahutan. Si kakek tetap terlelap dalam
tidurnya. "Kek...," ulang Suropati, memperkeras
panggilannya. Tetap tak ada sahutan. Malah kakek berpa-
kaian putih-kuning memperdengarkan suara ngo-
rok keras. Pengemis Binal jadi gemas. Didekatkan mu-
lutnya ke telinga si kakek. Lalu....
"Kek..!" teriak Pengemis Binal, lantang.
Aneh! Teriakan Suropati yang sudah cukup
mampu untuk memecahkan gendang telinga, sama
sekali tak dapat membangunkan si kakek. Malah,
terdengar dengkuran keras, membuat Suropati
mendelik karena penasaran.
"Hmm.... Mau main-main dengan Pengemis
Binal. Baiklah! Aku layani kau, Kakek Bengal!"
Melihat aliran sungai yang tak jauh dari
tempatnya berdiri, Suropati bersorak girang dalam hati. "Akan kuceburkan kakek
ini ke sungai itu...," gumamnya mencerminkan niat konyol.
Pengemis Binal mengerahkan seluruh tena-
ganya untuk dapat mengangkat tubuh si kakek
yang masih saja tidur mendengkur sambil mene-
kuk lutut. Tapi hingga keringat membasahi seku-
jur tubuhnya, tubuh si kakek kurus itu tak mam-
pu diangkatnya.
"Setan alas!" maki Pengemis Binal.
Dicobanya sekali lagi untuk dapat men-
gangkat tubuh kakek berpakaian putih-kuning.
Kali ini, tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi, men-
dadak si kakek menggeliat Lalu....
Brrot..! Thit..!
Si kakek kentut! Malang bagi Suropati. Ka-
rena berjongkok dengan kepala menempel di ping-
gang si kakek, membuat udara 'beracun' itu cepat
terhirup hidungnya.
"Uh! Angsat au, Aek Sableng! Ua-ua unya
ulah acam-acam. Awas au...!" gerutu Pengemis Binal, sambil memencet batang
hidungnya. Namun lagi-lagi Suropati dibuat terkejut Ke-
tika melihat bagian bawah tubuhnya, matanya
kontan mendelik dan mulutnya menceracau tak
karuan. Ternyata celananya melorot dengan kolor
telah putus! Pantas remaja konyol ini tadi merasa isis. Mendidih darah Pengemis
Binal dipermain-kan sedemikian rupa. Setelah menyambung kem-
bali koloran celananya yang putus, matanya mena-
tap tajam sosok kakek berpakaian putih-kuning.
Karena orang yang dilihatnya masih tidur men-
dengkur, Pengemis Binal jadi celingukan. Pandan-
gannya kontan beredar ke berbagai penjuru.
"Benarkah kakek ini yang telah memu-
tuskan koloran celanaku?" tanyanya dalam hati.
"Kalau bukan dia, lalu siapa lagi"! Tapi, kenapa dia masih tidur mendengkur
seperti itu?"
Tanpa sadar, Suropati menggaruk-garuk
kepala. Lupa sudah remaja konyol ini pada rasa
pedih di telapak tangan dan kakinya. Lalu diamati
wajah si kakek. Tapi, dia tak dapat mengenali ka-
rena wajah si kakek tersembunyi di sela kedua pa-
hanya. Mendadak, Pengemis Binal melonjak girang.
"Aku dapat akal sekarang! Aku dapat akal
sekarang!" soraknya.
Bergegas Suropati menyambung kembali ta-
li ikat pinggang yang barusan digunakan untuk
mengikat tangan dan kakinya. Tali itu lantas diikat pada celana si kakek.
Sedang, ujung yang satunya
diikat pada batang pohon. Kemudian sambil cen-
gar-cengir digelitiknya telinga si kakek dengan
bunga rumput. Suropati tersenyum-senyum melihat si ka-
kek menggeliat-geliat kegelian. "Uh!" keluh si kakek Melihat kakek berpakaian
putih-kuning menggeliat hendak bangun, Suropati menepuk ba-
hunya. "Haya...!" bentaknya.
Si kakek terkejut, dan kontan meloncat ber-
diri. Brettt! "Heh"!"
Mata si kakek kontan mendelik dengan mu-
lut terkatup rapat menahan geram. Celananya ro-
bek lebar pada bagian pantat karena diikat pada
batang pohon. "Ha ha ha...!"
Pengemis Binal tertawa bergelak. Tapi rema-
ja konyol ini jadi tergagap-gagap waktu si kakek
menatap tajam ke arahnya.
"Eh...! Kau... kau bukankah Kakek Wajah
Merah...?"
"Bocah gendeng! Berani benar kau mem-


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permainkan orang tua!" tegur si kakek, yang memang si Wajah Merah. Dia adalah
seorang tabib pandai yang sudah cukup ternama di rimba persi-
latan. Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala.
"Aku hanya berbuat timbal balik," kilahnya.
"Bukankah kau tadi juga memutuskan koloran celanaku, Kek?"
Si Wajah Merah tak menjawab. Matanya
mendelik. Mulutnya terkatup rapat. Dengan wajah
berwarna merah seperti buah tomat matang, tam-
pangnya malah tampak lucu walau sebenarnya in-
gin marah. "Tak usah mungkirlah, Kek... Aku tahu per-
buatanmu!"
"Iya! Tapi, kau mengganggu tidurku!"
"Iya! Tapi, kau telah menggantung aku!"
sentak Suropati, menirukan nada bicara si kakek.
"Aku menggantungmu karena aku meno-
longmu!" sahut si Wajah Merah, tak kalah garang.
"Masa menolong orang dengan cara disiksa
seperti itu"!"
"Karena itulah cara satu-satunya untuk me-
lepas hawa panas yang bersemayam di tubuhmu!
Tolol!" "Iya. Tapi, kau telah menyakitiku!"
"Tidak! Kalau aku menyakitimu, tentu kau
sudah mati sekarang!"
Dua anak manusia yang sama-sama punya
sifat keras kepala ini terlibat perdebatan sengit.
Tapi, mereka segera menyadari keadaan. Pengemis
Binal cepat tahu diri. Apalagi si Wajah Merah adalah salah satu tokoh yang
pernah beberapa kali
menyelamatkan jiwanya. Maka, pemuda ini mera-
sa tak pada tempatnya bila melanjutkan kekonyo-
lannya. "Eh, kau pergi dari Bukit Rawangun tentu ada urusan penting, Kek?" tanya
Pengemis Binal kemudian. Kali ini suaranya terdengar lembut dan
merendah. "Aku mencari Raka Maruta."
Mendengar jawaban si Wajah Merah, inga-
tan Pengemis Binal langsung tertuju pada seraut
wajah lembut milik pemuda gagah bergelar Pende-
kar Kipas Terbang. Dia adalah salah seorang sa-
habat baiknya, yang telah diangkat murid oleh si
Wajah Merah. "Kau tahu di mana dia, Suro?" tanya si Wajah Merah melihat Pengemis Binal
termenung. "Dia telah menikah."
"Menikah" Dengan siapa?"
"Anggraini Sulistya, kakakku."
Mendengar jawaban pendek Pengemis Binal,
si Wajah Merah mengangguk-angguk.
"Syukurlah kalau dia menikah dengan gadis
yang sangat dicintainya. Tentunya dia berbahagia
kini. Dia telah menjadi menantu seorang raja,"
gumam kakek ini seraya menatap wajah Pengemis
Binal. "Sebenarnya aku hendak menurunkan beberapa ilmu ketabiban lagi kepadanya.
Mungkin Raka Maruta lupa pada janjinya untuk datang ke
Bukit Rawangun."
"Raka Maruta tak mungkin lupa pada jan-
jinya. Aku tahu benar siapa dia," sahut Suropati.
"Kemungkinan besar dia belum punya waktu, karena Ayahanda Prabu Singgalang
Manjunjung Langit meminta bantuannya untuk mengurusi
pemerintahan."
"Jadi, kau telah berjumpa ayahmu itu, Su-
ro?" Pengemis Binal mengangguk (Kisah Suropa-ti dan Prabu Singgalang Manjunjung
Langit Raja Pasir Luhur, bisa dibaca pada episode : "Sengketa Orang-orang Berkerudung").
Mendadak, dalam benak Suropati berkele-
bat bayangan Intan Melati.
"Hmm.... Di mana putri Rama Ludira itu se-
karang?" tanya batinnya. "Aku harus segera mencarinya. Aku khawatir ada apa-apa
dengan diri Adipati Barasangga yang harus ditolongnya."
Berpikir demikian, Suropati lalu menatap
wajah kakek yang berdiri di hadapannya.
"Sekarang kau hendak ke mana, Kek" Aku
ada beberapa urusan yang harus segera diselesai-
kan. Tahukah kau, Kek. Ternyata kini ilmu Arya
Wirapaksi telah berlipat ganda. Namun sayang, dia berubah jadi orang jahat..."
"Arya Wirapaksi" Putra mahkota Kerajaan
Anggarapura ini?" sentak si Wajah Merah. "Bagaimana kau bisa berkata seperti
itu, sedang ku tahu Arya Wirapaksi amat jarang keluar dari istana?"
Pengemis Binal mengedarkan pandangan
sebentar. "Di tengah hutan ini. Tepatnya di depan gua
tebing sebelah sana, aku telah bentrok dengan
pemuda ini. Dia hendak membunuh Adipati Bara-
sangga!" "Hah"! Sampai begitu gawatkah keadaan
Arya Wirapaksi" Jangan-jangan, dia terkena pen-
garuh kekuatan jahat yang membuatnya jadi lupa
diri...." "Aku juga menduga begitu. Sebaiknya, tun-dalah dulu usahamu untuk
menemui Raka Maru-
ta, Kek..," usul Suropati. "Kau harus turut menyadarkan Arya Wirapaksi. Baginda
Prabu Arya De- wantara tentu berduka bila mengetahui putranya
berubah jadi orang jahat."
Si Wajah Merah mengangguk. Suropati lalu
mengajak tabib pandai itu menyusuri aliran sungai untuk mencari Intan Melati
terlebih dahulu.
"Arya Wirapaksi tentu telah menghancurkan
gua itu sebelum pergi. Dengan ilmunya yang luar
biasa, hal itu mudah saja baginya...," pikir Pengemis Binal sambil melangkah.
"Kalau dia pergi ke tempat keramaian.... Ah! Jangan-jangan dia akan
menyebar maut..."
Terbawa pikiran di benaknya, Pengemis Bi-
nal mengajak si Wajah Merah pergi ke kota Kadi-
paten Bumiraksa. Karena, kota itulah tempat ke-
ramaian terdekat dengan Hutan Wonokeling. Pen-
gemis Binal menduga, Arya Wirapaksi telah berada
di sana. 5 Intan Melati tak tahu ke mana mesti me-
langkah. Hatinya yang terpukul membuat pikiran-
nya jadi kacau. Kecewa dan amarah bercampur
aduk dalam batinnya. Tapi, dia tak tahu kepada
siapa kekecewaan dan kemarahan itu ditumpah-
kan. Kepada Suropati" Dewi Ikata" Adipati Bara-
sangga" Atau kepada Jaka Pamulang"
Berulang kali gadis ini mendesah panjang.
Hembusan napasnya berat. Pandangannya kosong
seperti telah kehilangan harapan. Langkah ka-
kinya terseok-seok. Semangatnya memang telah
lenyap entah ke mana. Sejak di Hutan Wonokeling
hingga sampai di pinggir kota Kadipaten Bumirak-
sa ini, tak secuil pun makanan masuk ke perut-
nya. Bila teringat ucapan Jaka Pamulang, pedih
rasa hati Intan Melati. Pedihnya melebihi sayatan selaksa pedang tajam!
"Semua orang di kota Kadipaten Bumiraksa
telah tahu kalau Suropati adalah kekasih Dewi
Ikata...."
Pandangan Intan Melati jadi tak jelas, kare-
na tertutup tirai air mata. Kepalanya menggeleng-
geleng. Dia ingin kata-kata Jaka Pamulang lepas
dari benaknya. Tapi, semakin berusaha melupa-
kan, semakin kuat kata-kata itu mengiang di telin-ganya. "Ya, Tuhan...," sebut
Intan Melati kemudian.
"Kenapa aku mesti bersedih pilu" Kenapa
aku mesti menangisi sesuatu yang sebenarnya tak
pantas untuk ditangisi?" tanya hati gadis ini. "Aku tak berhak apa-apa atas diri
Suropati. Kenapa aku mesti menangis ketika tahu dia telah menjadi kekasih gadis
lain" Aku harus tahu diri! Aku ini apa"
Bagai bumi dan langit bila dibanding Dewi Ikata,
yang katanya adalah putri seorang adipati...."
"Intan...! Intan...!"
Mendadak terdengar suara panggilan,
membuat Intan Melati terkesiap. Dan dia melihat
sesosok bayangan berkelebat di hadapannya. Begi-
tu tahu siapa yang datang, Intan Melati segera
mengusap air matanya. Lalu dia berjalan tanpa
memberi perhatian.
"Intan...," panggil pemuda berpakaian putih-kuning yang tak lain Jaka Pamulang.
"Kenapa kau menyusulku, Jaka Pamu-
lang"!" sentak Intan Melati dengan suara garang dan bibir memberengut tak
bersahabat. "Aku telah mengantarkan Gusti Adipati Ba-
rasangga ke Pendapa Kadipaten Bumiraksa. Beliau
mengundangmu ke pendapa. Kau akan dikenalkan
dengan Dewi Ikata, Intan...."
"Apa untungnya berkenalan dengan gadis
itu"!" Mendengar ucapan Intan Melati yang makin ketus, kening Jaka Pamulang
berkerut. "Gadis ini agaknya kecewa kepada Suropati.
Aku harus dapat memanfaatkan kesempatan
ini...," kata si pemuda, dalam hati.
"Minggir kau! Jangan halangi langkahku!"
usir Intan Melati melihat Jaka Pamulang terme-
nung di tempatnya.
"Kau hendak ke mana, Intan?" tanya Jaka Pamulang sembari mundur beberapa
langkah, karena Intan Melati hendak menerobos jalan.
"Apa pedulimu menanyakan tujuanku"! Aku
tidak punya urusan denganmu!"
"Maafkan aku, Intan. Kata-kataku di Hutan
Wonokeling itu mungkin sangat menyinggung pe-
rasaanmu...."
'Tidak ada yang perlu dimaafkan! Dan bila
kau mengikutiku terus, berarti kau telah membuat
kesalahan!"
Jaka Pamulang menatap wajah Intan Melati
lekat-lekat. Yang ditatap jadi jengah hingga mema-lingkan muka.
"Kau cantik sekali, Intan...," gumam Jaka Pamulang.
"Apa kau bilang"!" bentak Intan Melati.
Rupanya, gadis ini mendengar gumaman
pemuda yang berdiri di hadapannya.
Mengelam paras Jaka Pamulang mendengar
bentakan kasar Intan Melati. Tapi demi maksud
yang tersembunyi di benaknya, dia jadi nekat
"Tahukah kau, Intan. Kau sedang menuju
ke mana?" tanya Jaka Pamulang kemudian dengan mata tak pernah bosan menjilati
wajah cantik Intan Melati. Sikap kurang ajar jelas terpancar pada sorot matanya.
"Sudah kubilang, aku tak suka kau men-
campuri urusanku!"
"Iya. Tapi, bila kau berjalan ke arah sana,
kau akan sampai di kota Kadipaten Bumiraksa."
Terkejut Intan Melati mendengar pemberi-
tahuan Jaka Pamulang. Karena terlalu lama ting-
gal di Pulau Karang yang terpencil, gadis ini jadi tak seberapa tahu dunia luar.
Untuk apa dia ke
kota Kadipaten Bumiraksa, sedang tujuannya ti-
dak ke sana" Jangan-jangan, dia nanti malah ber-
jumpa Dewi Ikata yang akan menambah sakit ha-
tinya saja. Walau belum kenal, tapi siapa tahu malah berjumpa tanpa sengaja.
Mengikuti pikiran di benaknya, Intan Melati
lalu berbalik dan melangkah kembali. Jaka Pamu-
lang menatap punggung si gadis dengan mata ber-
sinar-sinar. Dia senang, karena Intan Melati tak
jadi memasuki keramaian kota. Itu berarti, memu-
dahkan rencana yang telah tersusun di benaknya!
"Tunggu, Intan...!" teriak Jaka Pamulang seraya mengejar.
Mendadak, Intan Melati menghunus pedang
yang terselip di punggungnya.
"Kalau kau tidak mau pergi, jangan salah-
kan bila pedang ini mencabut nyawamu!"
Mendengar ancaman Intan Melati, Jaka
Pamulang pura-pura takut. Kakinya langsung ber-
gerak mundur dua langkah.
"Jangan main-main dengan senjata tajam,
Intan...," ucapnya dengan suara bergetar.
"Aku tidak main-main! Aku benar-benar
akan membunuhmu bila kau terus menguntit
langkahku!"
'Ya, ya... baiklah. Aku akan pergi."
Di ujung kalimatnya, Jaka Pamulang berba-
lik. Gerakannya seperti hendak berlalu meninggal-
kan Intan Melati. Tapi....
"Hup!"
Tiba-tiba Jaka Pamulang menjejak tanah.
Tubuhnya melayang cepat sekali dengan tangan
kanan terangkat sambil berjumpalitan, dida-
ratkannya totokan ke punggung Intan Melati yang
sama sekali tak pernah menyangka.
Tuk! Tuk! "Ohh...!"
Intan Melati memang masih sempat menge-
gos ke kiri, tapi terlambat. Dua totokan Jaka Pa-
mulang terlalu cepat untuk dapat dimentahkan.
Sekejap mata kemudian, dia mengeluh pendek.
Pedangnya jatuh ke tanah, karena tiba-tiba tu-
buhnya jadi amat lemas.
Sebelum tubuh Intan Melati jatuh ke tanah,
bergegas Jaka Pamulang mengambil tindakan.
Disambarnya tubuh gadis yang sudah tiada daya
itu! Seketika napas Jaka Pamulang terdengar
memburu. Bukan karena beban yang berada da-
lam pondongannya, tapi karena dorongan nafsu
menggelegak dalam jiwanya. Akibat luapan keingi-
nan yang begitu besar, Jaka Pamulang memperce-
pat langkah kakinya. Dikerahkannya seluruh ke-
mampuan lari cepatnya.


Pengemis Binal 19 Pewaris Mustika Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matahari yang telah condong ke barat,
membuat panas tak lagi menyengat. Kesejukan
angin yang berhembus pun mengelus rasa. Rant-
ing-ranting pohon meliuk gemulai bagai tarian pu-
tri jelita. Burung-burung tak bosan menggoda,
memperdengarkan nyanyian alam.
Kini Jaka Pamulang menurunkan tubuh In-
tan Melati di tebalnya rumput yang bernaung di
bawah rindang pohon besar. Nun jauh di sana, ter-
lihat puncak Bukit Pangalasan yang mulai terseli-
muti kabut "Jahanam! Apa yang hendak kau perbuat"!"
bentak Intan Melati dengan kemarahan meluap-
luap. Gadis ini mencoba menggerakkan beberapa
anggota tubuhnya, tapi tak mampu. Agaknya toto-
kan Jaka Pamulang cukup kuat untuk dipunah-
kan. "Hmm.... Apa yang akan kuperbuat"!" ulang Jaka Pamulang dengan bola mata
membesar. "Tidakkah kau sadar kalau dirimu amat menarik In-
tan" Kau cantik. Tubuhmu sintal. Siapa yang tak
akan tergiur memandangmu" Ha ha ha...!"
Tatapan Intan Melati jadi nyalang menyada-
ri apa yang akan diperbuat Jaka Pamulang terha-
dap dirinya. "Bunuh saja aku!" pekiknya dengan air ma-ta mulai berlinang.
"Kau minta dibunuh" Oh! Jangan, Intan!
Kau terlalu cantik untuk mati. Aku memintamu
agar kau bersedia menjadi istriku, Intan...," sahut Jaka Pamulang penuh
kemenangan. "Tidak! Aku tak sudi menjadi istri lelaki busuk macam kau!"
"Heh! Apa katamu"! Aku ini putra seorang
demang, Intan. Ayahku orang terpandang. Kukira,
aku pun cukup tampan. Alangkah bodohnya bila
kau menolak permintaanku...."
"Tidak! Kau bunuh saja aku!"
Menggeram Jaka Pamulang mendengar to-
lakan Intan Melati. Lalu, ditamparnya wajah gadis cantik itu!
Plak! Intan Melati menjerit. Tapi, Jaka Pamulang
tak ambil peduli. Malah dijambaknya rambut si
gadis. "Aku bisa memaksamu agar kau sudi menjadi istriku, Intan! Kau pikirkan
itu! Menerima baik-baik, atau kau akan kusiksa terlebih dahu-
lu"!" "Jahanam! Siapa takut kau siksa"! Lebih baik mati daripada menjadi istri
orang yang tak kucintai!" tegas Intan Melati dengan garang. Dia berusaha menepis rasa takut
yang ada di hatinya.
"Ha ha ha...!" Jaka Pamulang tertawa bergelak. "Cinta" Kau katakan cinta, Intan"
Tidakkah kau tahu, lelaki yang kau cintai adalah penjahat
yang suka mempermainkan gadis-gadis. Jangan
mimpi untuk bisa mendapatkan cinta Suropati, In-
tan! Dia hanya ingin mempermainkan dirimu. Se-
telah puas, dia akan pergi! Lain dengan diriku, Intan.... Aku tidak sedang main-
main! Aku benar-
benar ingin menjadikan dirimu untuk jadi istri-
ku...." "Tidak! Aku tidak cinta kepada siapa-siapa!"
"Jangan menipu diri sendiri, Intan. Bukan-
kah kau kecewa setelah tahu Suropati adalah ke-
kasih Dewi Ikata?"
Kali ini Intan Melati tak dapat menimpali
ucapan Jaka Pamulang. Si gadis kontan menangis
dengan mata terpejam. Dia ingat pada semua ke-
baikan Suropati. Tapi, dia jadi ragu setelah men-
dengar ucapan Jaka Pamulang. Benarkah Suropati
suka mempermainkan gadis-gadis" Benarkah di-
rinya akan dicampakkan setelah Suropati puas
mendapatkan apa yang diinginkan" Tidak! Hati
kecil Intan Melati menolak semua itu. Suropati tak mungkin berbuat sekejam itu.
Suropati adalah
seorang pendekar besar. Jadi, mana mungkin dia
menodai nama baiknya sendiri"!
"Kau sedang memikirkan permintaanku, In-
tan?" tanya Jaka Pamulang dengan suara lembut.
Pemuda ini telah rebah di sisi Intan Melati.
Tangan kanannya membelai rambut Intan Melati
yang tergerai karena ikatannya lepas.
Intan Melati membuka matanya. Melihat
Jaka Pamulang rebah di sisinya, dia jadi bergidik ngeri. "Kita akan menikmati
malam pertama kita di tempat ini, Intan. Kita akan segera menikah...,"
bujuk Jaka Pamulang.
"Tidak, Jaka.... Aku mohon, jangan lakukan
itu...," pinta Intan Melati dengan sinar mata ketakutan, saat Jaka Pamulang
membelai-belai wajah
dan rambutnya. "Aku tidak akan melakukannya sekarang,
asal kau menyanggupi permintaanku untuk men-
jadi istriku..."
"Tidak, Jaka.... Aku tidak mau menjadi istri siapa-siapa. Aku... aku...."
"Jangan teruskan bicaramu, Intan!" potong Jaka Pamulang. Matanya berkilat dan
napasnya memburu. "Aku katakan sekali lagi, bersediakah kau jadi istriku?"
Intan Melati diam, dan hanya memperden-
garkan suara tangisnya. Jaka Pamulang menatap
wajahnya berlama-lama.
"Bagaimana, Intan" Kau sudah membuat
keputusan?" desak si pemuda.
"Maafkan aku, Jaka. Aku...."
"Heh! Kalau begitu, terpaksa aku memak-
samu!" sela Jaka Pamulang seraya menggerakkan tangan kirinya. Dan....
Brettt! "Auuuww...!"
Intan Melati menjerit ngeri ketika bajunya
koyak pada bagian dada setelah direnggut paksa
oleh Jaka Pamulang. Pemuda ini menatap tanpa
berkedip ke arah dua gundukan sekal yang terlihat sebagian yang terpampang di
hadapannya. Sementara, air mata Intan Melati semakin
mengucur deras. Dalam pengaruh totokan, dia
sama sekali tak akan mampu mempertahankan
kehormatannya. Dengan mata terpejam, bibirnya
bergetar menyebut asma Tuhan berulang kali.
Jaka Pamulang yang sudah dirasuki nafsu
setan semakin mengumbar keinginannya. Dijelaja-
hinya setiap lekuk-liku tubuh Intan Melati dengan pandangan buas. Lalu,
direnggutnya kembali kain
berenda di dada Intan Melati.
Brettt! Jeritan Intan Melati sama sekali tak dipedu-
likan. Mata Jaka Pamulang makin terbeliak lebar
menatap dua bukit kembar yang kini terlihat selu-
ruhnya. Jakunnya naik turun karena berulang kali
menelan ludah. Dengan napas menderu-deru, Ja-
ka Pamulang lalu membenamkan wajahnya di da-
da sekal Intan Melati yang terasa kenyal.
"Jangan, Jaka! Jangan...!" jerit Intan Melati.
Tapi, mana mungkin jeritan Intan Melati didengar-
kan Jaka Pamulang yang sudah hilang rasa ma-
nusiawinya. Di tempat sepi itu, si pemuda telah
berubah menjadi binatang.
Saat Intan Melati menjerit lebih keras, Jaka
Pamulang menggeram marah. Lalu, ditamparnya
gadis itu hingga pingsan!
"Sungguh kau amat cantik, Intan...," desis Jaka Pamulang. "Hanya sayang, kau tak
bersedia menjadi istriku. Tapi tak apa. Bersedia atau tidak, kau tetap akan
menjadi istriku...."
Jaka Pamulang mendaratkan ciuman di
kening, kedua mata, kedua pipi Intan Melati. Lalu dilumatinya bibir gadis itu
dengan penuh nafsu.
Kemudian, wajahnya dibenamkan ke dada Intan
Melati. Burung-burung yang bertengger di dahan
pohon menceracau keras. Mereka seperti mengu-
tuk perbuatan Jaka Pamulang yang bejat. Ditim-
pali desau angin, ceracau burung laksana umpa-
tan dan cacian memekakkan gendang telinga. Ta-
pi, Jaka Pamulang mana mau peduli" Gelegak naf-
sunya yang menghentak-hentak diumbarnya tanpa
mempedulikan keadaan sekelilingnya. Padahal...
"Biadab!"
Mendadak terdengar sebuah bentakan ke-
ras. Dan tahu-tahu seorang gadis cantik berpa-
kaian biru laut sudah muncul di tempat itu.
Dengan tatapan jijik, gadis berambut dis-
anggul ke atas ini lalu berkelebat. Sekejap mata
kemudian.... Desss! Brakkk! "Aaah...!"
Terdengar pekik kesakitan saat tubuh Jaka
Pamulang melayang deras dan membentur batang
pohon. Terdengar suara gemeretak keras yang dis-
usul daun-daun yang berguguran.
Gadis yang baru saja melontarkan tubuh
Jaka ini cepat menanggalkan baju luarnya. Den-
gan baju itu ditutupinya tubuh Intan Melati yang
setengah polos.
Susah-payah Jaka Pamulang bangkit berdi-
ri. Kalau saja pemuda ini tidak mempunyai ilmu
cukup tinggi, tulang punggungnya tentu telah re-
muk saat membentur batang pohon tadi. Namun
begitu tahu siapa yang telah menggagalkan ruat
busuknya, matanya kontan mendelik. Bukan ge-
ram kemarahan yang ditunjukkan, tapi sinar mata
ketakutan! "Pendekar Wanita Gila...!" desis Jaka Pamulang seraya meloncat untuk mengambil
langkah seribu. "Jahanam! Mau lari ke mana kau"!" bentak gadis itu seraya melesat amat
cepat Jaka Pamulang terkejut setengah mati keti-
ka tahu-tahu langkahnya telah terhalang. Gadis
bersanggul itu ternyata mampu bergerak cepat se-
kali. Dalam satu loncatan saja, tubuhnya dapat
melayang sejauh lima tombak dengan kecepatan
laksana setan. "Kau harus menebus dosa yang telah kau
perbuat, Keparat!" desis gadis bersanggul yang dipanggil Pendekar Wanita Gila
sambil berkacak
pinggang. Keremangan petang masih dapat me-
nunjukkan wajahnya yang ketus-galak, menyim-
pan amarah meluap.
Terbawa rasa takutnya, Jaka Pamulang
berbuat nekat. Tiba-tiba kepalan tangan kanannya
dihentakkan ke depan untuk menggedor dada si
gadis. Tapi.....
Plak..! Tanpa dapat ditangkap mata gadis bersang-
gul menggerakkan tangannya. Dan tahu-tahu si
pemuda telah merasakan tubuhnya terpeluntir ke
kanan, lalu jatuh berdebam di tanah. Sinar mata
pemuda ini jadi amat nyalang, terbawa rasa takut-
nya. Disadari kalau dirinya tak akan mampu me-
lawan gadis bersanggul.
"Ampunkah aku, Pendekar...," ratap Jaka Pamulang sembari berlutut di depan kaki
gadis bersanggul. "Ha ha ha...!" mendadak si gadis tertawa bergelak. Suaranya membahana di angkasa
untuk beberapa lama. "Rupanya kau takut mati di tangan Pendekar Wanita Gila! Ha ha
ha...! Kau tak perlu
khawatir, Bangsat! Aku tak akan membunuhmu.
Aku hanya akan mematahkan sebelah tanganmu!"
Gadis bergelar Pendekar Wanita Gila men-
cengkeram leher baju Jaka Pamulang. Jerit kesaki-
tan terdengar lagi. Untuk kedua kalinya, tubuh
Jaka Pamulang melayang deras, langsung mem-
bentur batang pohon. Daun-daun berguguran di-
iringi suara gemeretak kayu yang pecah.
Pendekar Wanita Gila melangkah pelan
mendekati Jaka Pamulang yang masih mengaduh
kesakitan. Tapi tanpa diduga, si pemuda meraup
butiran kerikil, lalu dilontarkan ke arah Pendekar Wanita Gila!
Srattt...! Gadis bersanggul ini menggeram. Kaki ka-
nannya cepat menjejak tanah seraya membusung-
kan dadanya. Aneh! Puluhan butir kerikil yang terlontar tampak berhenti di
udara, lalu berjatuhan
ke tanah. Kontan mendelik mata Jaka Pamulang me-
Bloon Cari Jodoh 21 Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Anak Rajawali 7
^