Pencarian

Rahasia Siluman Raga Kaca 2

Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Kaca Bagian 2


dan Anggraini Sulistya segera mengikuti.
Namun baru saja Sona Laftgit
berjalan dua tombak, tiba-tiba satwa bertaring runcing ini menoleh ke
belakang. Setelah menatap Raka Maruta dan Anggraini Sulistya, dia gerakkan
kepalanya ke depan lagi.
"Anjing itu menginginkan kita agar tetap mengikutinya Kanda," ujar Putri Cahaya
Sakti. Pendekar Kipas Terbang mengangguk.
Mendadak, Sona Langit menjejak
tanah kuat-kuat. Di lain kejap, tubuh satwa piaraan Putri Impian ini
berkelebat cepat ke utara. Lesatan tubuhnya amat cepat. Berlipat dua kali bila
dibanding dengan kecepatan lari kuda!
"Mari kita ikuti, Kanda!"
Sambil berseru, Anggraini Sulistya turut menjejak tanah. Tubuh putri Prabu
Singgalang Maniunjung Langit ini
berkeiebat tak kalah cepat berubah menjadi bayangan putih yang hampir tak
terlihat Raka Maruta pun mengempos tenaga,
berlari dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Maka seekor anjing dan dua anak manusia itu seperti tengah
terlibat dalam pertunjukan ilmu
meringankan tubuh.
*** "Astaga...!"
Raka Maruta dan Anggraini Sulistya memekik bersamaan. Di bagian lain tanah luas
berbatu-batu itu, mereka melihat Sona Langit menghentikan kelebatan tubuhnya di
depan lempengan batu sebesar uang logam hijau. Tertimpa cahaya
mentari, lempengan batu yang tergeletak di tanah itu memancarkan cahaya hijau.
Anehnya, di tengah cahaya hijau itu sarhar-samar terlihat gambar dua ekor
merpati putih yang saling patuk.
"Huffing... !"
Sona Langit mendengking seraya
menberi isyarat kepada Raka Maruta agar memungut lempengan batu yang tergeletak
di hadapannya. Pendekar Kipas Terbang menarik
napas panjang berusaha menenangkan
hatinya yang berdebar-debar tak karuan.
Dengan mata tak berkedip, pemuda yang berasal dari Negeri Saloka Medang ini
melangkah lima tindak. Sejenak, dia ragu untuk memuncrat lempengan batu yang
memancarkan cahaya hijau.
"Hmmm.... Jelas sekali-bila
lempengan batu yang tergeletak di
hadapanku ini bukanlah batu sembarangan.
Pasti sebuah batu mustika yang memiliki suatu kekuatan...," pikir Raka Maruta.
"Tapi jika aku menyentuhnya, apakah kekuatan batu ini tidak akan membuatku
celaka?" Selagi Pendekar Kipas Terbang
tampak berpikir-pikir, hati Anggraini Sulistya turut berdebar-debar. Pikiran
yang ada di benaknya sama persis dengan pikiran yang ada di benak Raka Maruta.
Apakah lempengan batu mustika yang ditunjukkan oleh Sona Langit itu tidak
mengandung kekuatan jahat"
"Huuungngng,..!"
Tiba-tiba, Sona Langit melolong
panjang. Ketika Raka Maruta menoleh ke arahnya, dia bersujud lagi. Jidatnya pun
dibentur-benturkan ke permukaan tanah.
"Sepertinya, anjing itu tengah memberitahukan bahwa dia sama sekali tak
bermaksud buruk. Jika memang demikian, berarti lempengan batu mustika ini tidak
mengandung kekuatan jahat...," pikir Pendekar Kipas Terbang.
Walau masih sedikit ragu, akhirnya Raka Maruta memberanikan diri untuk memungut
lempengan batu mustika yang tergeletak di tanah. Raka Maruta pun jadi heran.
Cahaya hijau yang di tengahnya terdapat gambar sepasang merpati putih tiba-tiba
lenyap ketika lempengan batu mustika itu tersentuh tangannya.
"Batu ini terasa dingin dan
tampaknya memang tak mengandung kekuatan jahat..," guman Raka Maruta. Lempengan
batu mustika telah berada di telapak tangannya.
Terbawa rasa ingin tahunya,
Anggraini Sulistya meloncat, lalu
mengambil batu mustika yang berada di telapak tangan suaminya.
Sampai beberapa saat, Anggraini
Sulistya tampak mengamat-amati. Di tengah lempengan batu sebesar uang logam
hijau itu terdapat gambar sepasang merpati. Kening Anggraini Sulistya berkerut
rapat, seperti sedang
mengingat-ingat sesuatu.
Sementara, Pendekar Kipas Terbang
menatap wajah istrinya dengan sejuta tanda tanya. Beberapa kali Sona Langit
mendengking sambil mengibas-ngjbaskan ekornya. Sepertinya, dia merasa lega
setelah mengetahui lempengan batu
mustika tidak keburu diambil orang jahat, dan kini berada ditangan
Anggraini Sulistya. . '
"Ya. Ya, aku ingat sekarang....
Kalau tidak salah lempengan batu ini bernama Mustika Batu Merpati," ujar Putri
Cahaya Sakti lirih, seperti
menggumam. "Aku pernah mendengar riwayat dan ceritanya dari Paman Lembu Tal."
Anggraini Sulistya menyebut nama
salah seorang punggawa Pasir Luhur yang mempunyai, kedudukan sebagai penasihat
raja. Lembu Tal adalah seorang pertapa yang turun gunung. Karena dia memiliki
wawasan luas dan cukup arif bijaksana, maka Prabu Singgalang Manjunjung Langit
yang telah lama mendengar kebesaran namanya, berkenan mengangkatnya sebagai
penasihat raja. Pengangkatan itu baru saja dilakukan beberapa pumama yang lalu,
setelah api pemberontakan yang disulut oleh I Halu Rakryan Subandria dari
Tumenggung Sangga Percona dapat dipadamkan.
"Kau mengatakan apa, Dinda?" tanya Raka Maruta yang tak jelas mendengar ucapan
istrinya. "Paman Lembu Tal pernah bercerita kepadaku tentarig adanya sebuah batu mustika
yang memiliki kekuatan gaib luar biasa. Batu itu bernama" Mustika Batu Merpati,"
jelas Putri Cahaya Sakti.
"Kau pikir inikah Mustika Batu Merpati itu?"
"Menilik ciri-cirinya, kukira memang demikian."
Di ujung kalimat Putri Cahaya Sakti, mendadak timbul hembusan angin bersiut.
Sesosok bayangan berkelebat dibarengi dengan kata-kata.... .
"Serahkan batu mustika itu
kepadaku!"
*** 5 Hati si Pengemis Binal Suropati
benar-benar mendongkol karena dirinya berkali-kali disebut sebagai 'bocah
geblek'. Bahkan, si kakek bertampang buruk mengucapkan sebutan itu dengan nada
yang sangat menghina. Maka tak dapat lagi Pengemis Binal menahan diri. Dengan
mengalirkan kekuatan tenaga dalam
sedemikian rupa ke kaki kanan, dia menggedruk lantai gua!
Blammm...! Terdengar sebuah ledakan dahsyat
Permukaan gua terguncang keras.
Batu-batu kapur yang berserakan
terangkat, lalu berhamburan ke arah kakek berkaki pendek. Bukan hanya itu,
bongkahan-bongkahan batu kapur yang menempel di langit-langit gua turut
menyerbu! Namun.... ,
"Ha ha ha...!" Mengetahui dirinya terancam bahaya, kakek ber-kaki pendek malah
tertawa bergelak. Tapi gelombang suara tawanya benar-benar memiliki kekuatan
maha dahsyat! Suropati terbelalak karena terkejut Bongkahan-bongkahan batu kapur saat masih
melayang di udara tiba-tiba hancur lebur menjadi debu putih yang memenuhi
ruangan gua! Sampai dua kejap mata, debu putih
itu tetap melayang di udara. Namun ketika kakek berkaki pendek menghentikan
tawanya debu yang berasal dari pecahan batu kapur itu bergerak ke satu tempat.
Terhisap dan masuk ke mulut kakek berkaki pendek!
"Astaga...!"
Pengemis Binal berseru kaget.
"Nyam! Nyam! Nyam!"
Kakek berkaki pendek tampak
menjilati bibimya seperti habis makan sesuatu yang lezat. Anehnya, walau
mulutnya baru saja menghisap begitu banyak debu kapur, tapi perutnya tak
terlihat membesar tetapi kempes seperti masih kosong, tak berisi apa-apa!
"Kau..., kau manusia atau
siluman...?" desis Pengemis Binal, tergagap. "Bagaimana kau bisa makan debu
pecahan batu kapur...?"
"Aku manusiaatau siluman" Ha ha ha...! Aku sendiri tak tahu! Tapi kau jangan
heran. Makananku memang batu kapur. Ha ha ha...!" kakek berkala pendek tertawa
bergelak. Sikapnya sama sekali tak menunjukkan dia tengah marah walau baru
diserang oleh Suropati.
"Kalau tak tahu kau itu manusia atau siluman, lalu kau lahir dari rahim siapa?"
tanya Pengemis Binal, sedikit konyol.
"Tentu saja dari rahim ibuku, Geblek! Tapi kalau kau bertanya siapa ibuku, aku
tak bisa menjawabnya!"
"Kenapa?"
"Ha ha ha...!"
"Kenapa?" "
"Ha ha ha..!"
"Dasar edan!" maki Pengemis Binal dalam hati. "Ditanya dua kali, dijawab dengan
tawa panjang dua kali pula!
"Hei! Kalau kau mengerutkan kening seperti itu, wajahmu tampak lucu! Ha ha
ha...!" seru kakek berkaki pendek, tertawa. "Melihat tampangmu, sebenarnya kau
tak pantas menjadi pewaris takhta Pasir Luhur!"
"Heh"!" Suropati terperangah. ."Apa yang kau katakan tadi, Kek?"
"Huh! Selain geblek, rupanya kau pun budek!"
Mendelik mata Pengemis Binal
mendengar dirinya dikatakan 'geblek' dan
'budek'. Budek artinya tuli. Tapi karena terbawa rasa penasaran, dia lupakan
sejenak hatinya yang mendongkol.
"Aku tadi mengatakan bahwa kau sebenarnya tak pantas menjadi pewaris takhta
Pasir Luhur!" seru kakek berkaki pendek, mendahului Pengemis Binal yang hendak
bertanya lagi. "Apa?"
"Budek!"
"Aku tak main-main, Kek! Jelaskan apa maksud ucapanmu!"
"Ha ha ha...! Sudah geblek, masih mau berlagak, pura-pura tak tahu.
Bukankah sudah kukatakan di depan, aku tahu riwayat hidupmu dari bayi sampai kau
jadi pemuda remaja seperti yang kulihat sekarang ini" Walau kau punya sifat
konyol, urakan, dan amat ugal-ugalan, tapi kau sesungguhnya putra Prabu
Singgalang Marijunjung Langit...."
Berkerut kening Suropati mendengar ucapan sikakek yang berkali-kali dapat
menuturkan riwayat hidupnya dengan tepat. Berarti orang di luar istana Pasir
Luhur yang tahu dirinya putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit telah bertambah
satu orang lagi. Orang pertama adalah Putri Impian. Dan, orang kedua adalah
kakek berkaki pendek yang
memiliki kesaktian luar biasa itu.
"Namun... meskipun kau punya darah keturunan raja, kau sama sekali tak pantas
untuk mewarisi tahta sebuah kerajaan. Kalau hanya menjadi pemimpin para pengemis
dan gelandangan,
bolehlah...," lanjut kakek berkaki pendek.
"Dengan alasan apa kau mengatakan aku tak pantas menjadi raja"!" selidik
Suropati, dongkol. Walau remaja tampan ini tak pernah bercita-cita menjadi raja,
tapi bila direndahkan sedemikian rupa, kesal juga hatinya.
"Dengan alasan apa" Ha ha ha...!
Sungguhkah kau tak merasa?" sahut kakek berkaki pendek. "Selain kau berotak
geblek, bukankah sifat konyol dan
urakanmu tak pantas dimiliki oleh
seorang raja?"
"Kata-katamu memanaskan telingaku, Kek!" seru Suropati. "Jangan hanya dapat
mengolok-olok orang! Kalau kau punya nama, katakan siapa namamu! Aku tahu diriku
memang tak sepandai dirimu, tapi.
tak seharusnya kau mengucapkan kata-kata yang begitu menghina. Sadarkah kau bila
yang bermulut ceriwis itu sebenarnya kau sendiri!"
"Hmmm.... Rupanya, otakmu bisa diajak berpikir pula. Kau katakan aku bermulut
ceriwis, aku tak bisa mengelak Karena, orang-orang di Negeri Pasir Luhur ini
biasa menyebutku sebagai Setan Ceriwis."
"Setan Ceriwis?"
"Ya. Tapi, banyak pula orang yang menyebutku sebagai Setan Tanah karena aku
senang tinggal di gua bawah tanah.
Dan, ada juga yang menyebutku sebagai Setan Kapur. Mereka tahu kalau kulit
tubuhku putih seperti kapur, lagi pula aku suka makan batu kapur! Ha ha ha...!"
"Setan Ceriwis?" Setan Tanah" Setan Kapur?" desis Pengemis Binal, "Kenapa semua
julukanmu memakai kata 'setan'"
Apakah kau memang setan, hantu, iblis, atau makhluk halus sebangsa itu?"
"Ha ha ha...!"
"Jawab pertanyaanku!"
"Ha ha ha...!"
"Gila!"
"Kaulah yang gila!"
Suropati garuk-garuk kepala.
Setan Ceriwis nyengir kuda.
"Hmmm.... Terus terang, aku sangat penasaran kepadamu, Kek!" ujar Pengemis Binal
kemudian. "Terus terang pula, walau kau terlihat begitu geblek dan konyol, tapi aku suka
kepadamu," sahut Setan Ceriwis.
"Aneh! Baru saja kau mencaci maki aku, kenapa sekarang kau berkata suka
kepadaku"!"
"Ha ha ha..! Aku suka kepadamu karena kau telah terlibat urusan dengan Siluman
Ragakaca, Kau bisa mewakili aku untuk menumpas siluman keparat itu!"
"Kalau aku tak mau bagaimana?"
"Geblek! Bukankah sudah kukatakan di depan, aku bermaksud menurunkan beberapa
ilmu kesaktian kepadamu!"
"Untuk apa?"
"Walah! Walah! Rupanya, kau
benar-benar bocah geblek! Dengan ilmu kesaktian yang sekarang kau miliki,
mustahil kau dapat menumpas Siluman Ragakaca! Melawan salah seorang
kepercayaannya saja, kau pasti mati kutu. Kemarin, kalau Peramal Buntung tak
punya gagasan cemerlang, kau pasti sudah mati di tangan Hakim Neraka! Tahukah
kau bila kakek kate itu adalah salah seorang kepercayaan Siluman Ragakaca yang
menjabat sebagai Duta Utara?"
Mendengar nama Hakim Neraka
disebut, ingatan Pengemis Binal melayang ke sebuah tanah luas berbatu-batu.
Tempo hari, dia memang hampir saja mati oleh gempuran gelombang suara genderang
maut Hakim Neraka. Tahulah dia kini, kenapa Hakim Neraka bermaksud membunuhnya.
Rupanya, kakek kate itu adalah urusan Siluman Ragakaca.
"Hei! Kenapa bengong saja"!" bentak Setan Ceriwis atau Setan Tanah alias Setan
Kapur. "Eh!"
"Cepat ambil sikap semadi!"
Suropati yang masih belum percaya
benar kepada Setan Ceriwis cuma berdiri terpaku, tak segera menuruti perintah
kakek berkulit putih seperti kapur itu.
"Geblek! Rupanya, aku harus
memaksamu!"
Usai mengeluarkan bentakan keras,


Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Kaca di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan Ceriwis , meluruskan telunjuk jari tangan kanannya, mengarah pada dahi
Pengemis Binal. Ssmentara, Pengemis Binal pun cepat memasang kuda-kuda karena
menyangka dirinya akan diserang.
Namun hingga dua tarikan napas,
Pengemis Binal tak melihat suatu bentuk serangan yang sengaja ditujukan kepada
dirinya. Hanya saja, ujung telunjuk jari kanan Setan Ceriwis tetap tertuju ke
dahinya. "Ambil sikap semadi...!"
Telinga Suropati menangkap sebuah
suara dingin yang keluar dari mulut Setan Ceriwis. Cepat Suropati mengerahkan
kekuatan batinnya untuk melawan
se-bentuk tenaga gaib yang memaksanya untuk menuruti suara perintah itu.
Suropati tahu bila Setan Ceriwis
berusaha menyihirnya. Tapi walau remaja tampan ini telah mengeluarkan kekuatan
gaib penolak ilmu sihir yang pernah dipelajarinya dari Periang Bertangan Lembut,
suara perintah Setan Ceriwis mengiang terus di telinganya. Perlahan namun pasti,
otaknya pun mulai Jinglung.
Tak seberapa lama kemudian, sinar mata Suropati meredup. Dan di lain kejap,
pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini telah bertekuk lutut di bawah
perintah Setan Ceriwis. Duduk bersila dengan mata terpejam rapat dan tangan
bersedekap! Lalu, lamat-lamat telinga Suropati menangkap suara Setan Ceriwis yang tengah
bertutur,... "Di dunia ini terdapat satu alam lain yang sulit dijamah oleh manusia biasa.
Keberadaannya tak pernah
terjangkau akal pikiran manusia. Bahkan, sebagian manusia menganggapnya sebagai
bualan kosong belaka. Namun apabila manusia mau membuka diri untuk dapat
menyadari dan memahami ciptaan sang Pencipta, maka akan timbul pikiran bahwa
alam lain itu benar-benar ada. Dan ketahuilah kau, Suropati, disanalah Siluman
Ragakaca menyusun kekuatan. Dia hendak menghancurkan peradaban manusia di bumi.
Dan mendirikan peradaban baru di bawah kekuasaannya!
Dengan ilmu kesaktiannya, Siluman Ragakaca berhasil menciptakan sebuah lembah luas yang
sangat subur. Manusia yang tinggal di lembah itu tidak akan mengenal dengan apa
yang dinamakan perubahan hawa, karena iklimnya tetap tak berubah sampai akhir
zaman. Yang lebih hebat lagi, di sana tidak pula mengenal putaran waktu.
Sehingga siapa pun manusia yang
menempatinya seakan telah menemukan kekekalan hidup. Dengan kata lain, Siluman
Ragakaca telah berhasil
menciptakan sebuah tempat yang tak mengenal kematian. Dan untuk mewujudkan cita-
citanya menghancurkan peradaban manusia di bumi, Siluman Ragakaca telah
memperalat beberapa tokoh sakti di Negeri Pasir Luhur ini. Tugas mereka adalah
menumpas para penguasa atau raja, termasuk para tokoh sakti yang dianggap
sebagai batu penghalang bagi cita-cita Siluman Ragakaca. Oleh karena manusia
memiliki derajat lebih tinggi dari siluman dan makhluk halus lain
sejenisnya, maka manusia tidak boleh bertekuk lutut di bawah makhluk yang
berderajat lebih rendah itu. Terlebih lagi, apabila Siluman Ragakaca dapat
mewujudkan cita-citanya, maka seluruh permukaan bumi akan digenangi darah
manusia. Air laut akan berwarna merah darah. Hewan dan tumbuhan akan musnah.
Dan, hanya sebagian manusia yang dapat lolos dari maut. Namun, lolos dari maut
bukan berarti mereka telah menemukan keselamatan. Justru, hidup mereka akan
dirundung penderitaan sepanjang akhir jaman. Hidup mereka akan selalu di bawah
tekanan Siluman Ragakaca!"
"Nah, kau tahu kini, Suropati..., betapa jahat dan berbahayanya Siluman Ragakaca
itu. Sebagai seorang pendekar sejati, jiwamu tentu terpanggil jika melihat
keangkaramurkaan merajalela.
Menumpas kejahatan adalah tugas
orang-orang gagah sepertimu. Tak perlu banyak-banyak yang kututurkan lagi.
Sekarang, coba kau pusatkan seluruh perhatianmu pada satu titik. Aku akan segera
menurunkan beberapa ilmu
kesaktian kepadamu."
Sampai di sini, telinga Suropati tak dapat menangkap suara apa-apa lagi, Namun
karena ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya, hati kecil remaja tampan
ini bertanya....
"Kenapa Kakek Setan Ceriwis hendak menurunkan ilmu kesaktian kepadaku"
Kenapa pula Kakek hendak menjadikan aku sebagai wakil Kakek untuk menumpas
Siluman Ragakaca?"
Setan Ceriwis yang dapat membaca
pikiran orang, mampu mendengar
pertanyaan di hati kecil Suropati.
"Hmmm.... Untuk menjawab
pertanyaanmu itu, terpaksa aku
mengatakan siapa diriku ini sebenarnya.
Tapi tak apa, aku percaya benar kepadamu.
Dengan jiwa pendekar dan darah raja yang mengalir di tubuhmu, kau akan dapat
menyelamatkan peradaban manusia di bumi ini...."
*** 6 Sesosok bayangan ini ternyata
seorang lelaki berpakaian ketat hijau yang tengah membopong seorang wanita
cantik berpakaian kuning merah. Menilik raut wajah mereka, siapa lagi kalau
bukan Dewa Cinta dan Dewi Asmara yang lebih dikenal dengan sebutan Dewa-Dewi
Kayangan! "Serahkan batu mustika itu
kepadaku!" Dewa cinta mengulang perintahnya.
Ketika Dewa Cinta berbicara, Dewi
Asmara mencium mesra pipi kekasihnya itu, lalu melorot turun dari bopongan.
Namun, kepalanya tetap disandarkan di dada Dewa Cinta.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Bola matanya memancarkan sinar merah
menyala-nyala. Sikapnya seperti hendak menyerang Dewa-Dewi Kayangan.
"Tenanglah...!" seru Raka Maruta sambil
meng-ngkat tangan kanannya.
"Tetaplah ditempatmu! Mereka biar kuurus!"
Tampaknya, Sona Langit dapat
mengerti makna ucapan Pendekar Kipas Terbang. Sinar matanya kembali meredup.
Kepalanya mengangguk-angguk
Raka Maruta yang sudah mengenal
siapa sebenarnya Dewa-Dewi Kayangan, melangkah satu tindak seraya berkata,
"Kau datang hendak meminta Mustika Batu Merpati. Apakah batu mustika itu
milikmu?" "Ya!" jawab Dewa Cinta,cepat.
"Huiiing...!" Sona Langit mendengking seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Mengetahui makna dengkingan Sona
Langit, cepat Putri Cahaya Sakti
menyimpan Mustika Batu Merpati kelipatan bajunya yang tersembunyi. Semula,
Mustika Batu Merpati digunakan Bidadari Pulau Penyu untuk menghindari bentrokan
dengan Putri Impian. Kekuatan gaib batu mustika itu mampu membawa Bidadari Pulau
Penyu berpindah tempat Sona Langit yang berhasil menerkam tubuhnya turut
berpindah tempat. Dan pada saat
bergumul, Mustika Batu Merpati terlempar keluar dari mulut Bidadari Pulau Penyu.
Batu itu melesat jauh karena dilontarkan gelombang suara Genderang Maut Hakim
Neraka. Sementara begitu terbebas dari timbunan batu, dengan mudah Sona Langit
dapat menemukannya, karena anjing itu memiliki indera dan penciuman yang sangat
tajam. "Hei! Serahkan batu mustika itu!"
seru Dewi Asmara, menuding Anggraini Sulistya.
Anggraini Sulistya yang juga sudah mengenal Dewa-Dewi Kayangan sebagai dua tokoh
jahat yang suka mengumbar nafsu pribadi, tersenyum sinis. Dibalasnya tatapan
tajam Dewi Asmara.
"Hmmm.... Aku tahu kau putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit. Tapi, aku
datang tidak untuk mengaturkan sembah kepadamu. Justru aku akan memecahkan batok
kepalamu seandainya kau tidak bersedia menyerarhkan batu mustika yang telah
tersimpan di balik bajumu itu!"
ancam Dewi Asmara sungguh-sungguh.
"Tidak kelirukah apa yang kau katakan itu?" cibir Putri Cahaya Sakti.
"Telah lama aku mendengar sepak terjangmu yang jahat dan kejam. Kau dan
kekasihmu itu juga telah berkali-kali menyusahkan orang-orang istana. Jika kini
kau datang ke hadapanku, sama artinya dengan seekor ular yang datang untuk minta
digebuk!" "Mulutmu terlalu nyinyir!"
Tiba-tiba, Dewi Asmara meloncat
sebat. Telapak tangan kanannya
berkelebat cepat untuk menampar Putri Cahaya Sakti!
"Hiahhh...!"
Wuttt...! Mudah saja Anggraini menghindari
tamparan itu. Hanya dengan menggerakkan kepalanya ke belakang, telapak tangan
Dewi Asmara lewat begitu saja tanpa memperoleh hasil apa-apa.
Mengetahui serangan kekasihnya
gagal, mendadak Dewa Cinta memekik nyaring. Telunjuk jari tangan kanannya
diluruskan ke depan. Timbul selarik sinar kuriing menggidikkan. Melesat ganas
mengarah ulu hati Putri Cahaya Sakti!
Wusss...!' Blarrr...! Sebuah Iedakan dahsyat membahana di angkasa. Selarik sinar kuning yang melesat
dari telunjuk jari Dewa Cinta membentur seberkas cahaya putih
berkeredepan. Rupanya, dengan kipas baja putihnya, Pendekar Kipas Terbang
berhasil menyelamatkan nyawa Anggraini Sulistya.
"Penjahat culas! Biarkan mereka bertempur! Kau hadapi aku!" tantang Raka Maruta.
"Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa bergelak. "Telah lama aku mendengar nama besar
Pendekar Kipas Terbang! Sungguh satu kesempatan yang jarang ada jika kini kau
bermaksud menantangku! Boleh!
Bolehlah, kulayani kau!"
Secepat kilat, Dewa Cinta melepas
sapu tangan merah yang mengikat kunciran rambutnya. Sapu tangan itu
dipilin-pilinnya sejenak. Dan, Raka Maruta pun terkesiap. Sapu tangan Dewa Cinta
tiba-tiba memanjang, lalu berubah menjadi seutas tali mirip cambuk!
"Hhh...!"
Dewa Cinta mendengus seraya
mengalirkan tenaga dalam ke cambuk anehnya. Di lain kejap, cambuk yang berasal
dari sapu tangan itu
membersitkan cahaya merah yang amat menyilaukan mata!
"Cambuk Api Darah!" pekik Dewa Cinta seraya menyabetkan cambuknya ke angkasa.
Jderrr..;! Dari sabetan itu muncul garis-garis sinar merah yang menyerbu ke arah
Pendekar Kipas Terbang. Cepat Pendekar Kipas Terbang mengatasi
keterke-utannya. Kipas baja putih yang telah dialiri tenaga dalam, dia kibaskan
ke atas! Terdengar suara berdentang keras
seperti dentangan balok besi yang
dipukul berkali-kali. Garis-garis sinar merah yang muncul dari sabetan Cambuk
Api Darah di tangan Dewa Cinta tampak
terbabat putus di udara. Dan seberkas cahaya putih yang melesat dari senjata
andalan Raka Maruta, terus meluncur ke depan. Hendak menggulung tubuh Dewa
Cinta! "Setan Alas!"
Dewa Cinta memaki seraya membuang
tubuh jauh ke samping kanan. Sebelum kakinya menginjak tanah. dia sabetkan lagi
Cambuk Api Darahnya. Kembali
garis-garis sinar merah menyerbu ke arah Pendekar Kipas Terbang. Dan...,
pertempuran seru pun tak bisa dihindari lagi.
Sementara itu, Anggraini Sulistya
dan Dewi Asmara telah saling terjang pula. Tangan kanan Anggraini Sulistya
tampak memegang sebatang seruling yang terbuat dari emas berkilauan. Sedangkan
Dewi Asmara merangsek ganas dengan sepasang pedang lentur yang bisa
memanjang ataupun memendek.
Sambaran dua pedang lentur di tangan Dewi Asmara tampak sangat berbahaya.
Beberapa kali Anggraini Sulistya dibuat terkejut setengah mati. Ketika dia
mengnindari tusukan salah satu pedang lawan, tiba-tiba batang pedang itu molor
panjang, mampu mengejar lompatan hingga dua tombak Dan selagi seruling Anggraini
Sulistya berkelebat menangkis, secara cepat luar biasa pedang yang satunya lagi
menyusul, mengirim serangan yang lebih mematikan, sama-sama dapat molor
sepanjang dua tombak!
"Hmmm.... Menyesal aku tak membawa Kecapi Mautku...," kata hati Putri
Cahaya,Sakti. "Jika aku membawa Kecapi Maut, sampai di mana pun kehebatan pedang
perempuan keji itu, tentu akan dapat kuredam dari jarak jauh...,"
Memang, senjata andalan Anggraini
Sulistya sebenarnya adalah sebuah alat musik berupa kecapi. Karena Anggraini
Sulistya tidak menyangka akan terlibat dalam pertempuran, maka senjata
andalannya itu dia tinggal di istana.
(Tentang kehebatan Kecapi Maut milik Anggraini Sulistya, bisa disimak pada
serial Pengemis Binal dalam episode:
"Cinta Bernoda Darah").
Namun karena tak mau dipecundangi
lawan, Putri Cahaya Sakti tak
segan-segan lagi mengeluarkan se-luruh kemampuannya. Beberapa saat kemudian,
tubuh putri raja Pasir Luhur ini tampak membiaskan cahaya putih bening.
Trang! "Heh"!"
Terkejut luar biasa Dewi Asmara.
Cahaya putih bening yang menyelubungi tubuh Anggraini Sulistya temyata dapat
menjadi tameng yang kebal terhadap senjata tajam. Batang pedang Dewi Asmara
tampak melengkung kemudian menggeletar ke atas ketika menusuk dada Anggraini
Sulistya. "Kulihat wajahmu pucat. Lebih baik kau menyerah saja untuk segera
kuhadapkan Ayahanda Prabu," cibir Putri Cahaya Sakti.
"Bedebah! Setelah kucincang
tubuhmu, justru aku akan memenggal kepala orang tua buruk rupa itu!" balas Dewi
Asmara. Di ujung kalimatnya, Dewi Asmara
menyabetkan kedua pedangnya bergantian.
Kedua pedang lentur itu mengeluarkan suara. berdesing tajam, mengarah leher dan
pinggang Anggraini Sulistya!
Sing! Sing! "Hiahhh...!"
*** Peramal Buntung menggerigap bangun manakala merasakan sentakan-sentakan aneh di
kaki kirinya. Lama-lama terasa pedih seperti ada jarum yang
menusuk-nusuk. Dan, mendeliklah mata Peramal Buntung. Ternyata, jari-jari kaki
kirinya sedang digigit dan
ditarik-tarik tiga ekor tikus!
"Mati kau!" hardik Peramal Buntung.
Kakinya mengibas cepat. Terdengar
suara berdebuk keras yang disusul dengan suara mencicit pendek. Tampak kemudian,
tubuh tiga ekor tikus yang tadi menggigit jari-jari kaki Peramal Buntung telah
tergeletak di lantai tanpa nyawa. Tubuh ketiga hewan pengerat itu hampir hancur
karena membentur dinding ruangan yang keras.
"Aduh! Hik.. hik... hik..., Tega benar kau membunuh saudara
saudaraku...." "
Peramal Buntung melonjak kaget.
Telinganya menangkap suara dingin
bernada sedih. Lebih kaget lagi Peramal Buntung saat menoleh ke belakang. Walau
samar-samar, matanya dapat melihat sebentuk kepala manusia yang tergeletak di
lantai ruangan. Kepala itu ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam
kekuningan, menyebar rata sampai ke wajah. Wajah itu pun tampak lucu karena
bagian mulutnya monyong panjang seperti moncong tikus. Terdapat kumis yang
panjang kaku pula! Sementara, matanya yang bulat kecil terlihat meneteskan air


Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Kaca di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bening! "Ya, Tuhan...," sebut Peramal Buntung. "Kenapa ada kepala tanpa badan bisa
bicara dan menangis...?"
"Hik.. hik... hik... Kini tak ada lagi yang menemani di tempat sepi ini.
Hik... hik.. hik... Kau telah membunuh mereka. Aku sedih. Aku sedih. Hik...
hik...hik..."
"Kepala tanpa badan terus berucap sambil menangis tersedu-sedu.
Sementara, Peramal Buntung menatapnya dengan mata terbeliak lebar.
"Si... siapa kau" Kenapa wujudmu hanya berupa kepala tanpa badan?"
"Hik.. hik.,. hik... Kau telah membunuh ketiga saudaraku. Kau tak patut bertanya
lagi kepadaku. Hik... hik...
hik..." Peramal Buntung mengerutkan kening.
Ditajamkannya penglihatan. Karena
kepala yang dilihatnya tanpa badan terus menangis, dia tak hendak mengajak
bicara lagi. Namun, dia tak bisa menyembunyikan keheranannya. Peramal Buntung
mengucak-ucak matanya terus. Tak percaya pada penglihatannya sendiri.
"Kau... kau siapa" Kenapa wajahmu hanya berupa kepala?" tanya Peramal Buntung
lagi "Hik... hik... hik... Setelah kupikir-pikir, biarlah ketiga saudaraku mati. Kau
bisa menjadi gantinya...,"
ujar sebentuk kepala yang mirip kepala tikus. "Karena kita akan segera menjadi
dua orang saudara yang bernasib sama, boleh aku mengenalkan diri. Aku Dewa
Tikus.... Kau jangan salah lihat Wujudku bukan hanya berupa kepala. Aku juga
punya badan, sepasang tangan, dan kaki...."
Mendengar penjelasan itu, Peramal
Buntung memberanikan diri untuk
melangkah mendekat. Dia perhatikan dengan seksama.
"Yah.... Aku tahu sekarang.
Rupanya, tubuhmu terbenam dalam lantai ruangan ini," ujar Peramal Buntung
kemudian. "Tepat sekali apa yang kau katakan,"
tegas Dewa Tikus. "Sedih... sungguh sedih hatiku kini. Malang... sungguh malang
nasibku ini. Aku tak tahu apa salahku. Aku tak tahu apa dosaku. Kenapa tiba-tiba
orang jahat itu menangkapku, kemudian memenjarakanku di tempat ini.
Hik.. hik... hik..."
Peramal Buntung menatap iba Dewa
Tikus yang meneteskan air mata lagi.
Mendengar kata-kata sosok makhluk yang hanya tampak kepalanya itu, Peramal
Buntung berusaha mengingat-ingat
kejadian yang baru dialaminya.
"Aku ingat... aku ingat.,," gumam Peramal Buntung. "Bersama Tuan Muda Suropati,
aku berusaha meredam kemarahan Raja Angin Barat Tapi tiba-tiba tubuhku jadi
lemas. Seseorang pasti telah
menotok, kemudian membawa tubuhku
ketempat ini...."
Peramal Buntung menatap sekilas
Dewa Tikus yang masih menangis
tersedu-sedu. Namun karena memikirkan keadaan dirinya yang tengah disekap,
Peramal Buntung mengedarkan pandangan untuk mencari jalan keluar. Dengan
menggunakan jari-jari kakinya, dia memeriksa keadaan ruangan. Kiranya, dia
berada di sebuah ruangan persegi empat yang terletak di bawah tanah. Keempat
sisi dinding, lantai, dan atap ruangan berupa tanah padat namun terasa lembek
Sementara, di salah satu sudutnya
terdapat pelita kecil yang terus
menyala, berasal dari semburan gas alani.
"Hmmm... ruangan ini tertutup rapat. Bagaimana mungkin penculik itu bisa
menempatkan tubuhku di sini?" tanya Peramal Buntung kepada dirinya sendiri.
"Hei! Kenapa kau bengong
terlongong-longong"!" sentak Dewa Tikus tiba-tiba, tangisnya telah terhenti.
Peramal Buntung menatap dengan
kening berkerut. "Aku sedang memikirkan cara untuk dapat keluar dari tempat
pengap ini!" ujarnya.
"Mencari jalan keluar" Ha ha ha...!"
"Gila!" rutuk Peramal Buntung dalam hati. "Kenapa makhluk yang mengaku bernama
Dewa Tikus itu tertawa-tawa, padahal tadi dia begitu larut dalam tangis?"
"Ha ha ha...! Kau mencari jalan keluar" Ha ha ha,..!" Dewa Tikus tertawa lebih
panjang. "Boleh! Boleh kau cbba!"
Peramal Buntung tak mempedulikan
lagi Dewa Tikus yang tampak melempar ejekan. Dengan jari-jari kakinya, dia
periksa sekali lagi seluruh permukaan dinding ruangan.
"Hmmm.... Benar-benar tak ada jalan keluar," pikir Peramal Buntung. "Tapi,
bagaimana kalau salah satu dinding ini kuhancurkan" barangkali setelah itu, aku
bisa menemukan jalan yang bisa membawaku keluar dari tempat ini..."
Mengikuti pikiran di benaknya,
bergegas Peramal Buntung menghimpun kekuatan tenaga dalam seraya dialirkan ke
kaki kanannya. Dia bermaksud
menendang jebol salah satu dinding ruangan. Tapi....
"Hei! Apa yang kau lakukan"!" bentak Dewa Tikus dengan mata mendelik marah.
"Siapa yang sudi disekap di tempat pengap seperti ini!" sahut Peramal Buntung.
"Kau hendak menjebol dinding di hadapanmu itu?"
"Terpaksa!"
"Jangan berlaku bodohl" "Kenapa?"
"Begitu kau tendang dinding itu, atap ruangan ini akan runtuh! Bukan jalan
menuju kebebasan yang kau dapatkan!
Justru, jalan kematian".
Peramal Buntung mendongak.
Dilihatnya atap ruangan yang berupa tanah padat. Karena tak begitu percaya pada
ucapan Dewa Tikus, Peramal Buntung ingin menguji. Pelan saja dia benturkan
jempol kakinya ke dinding.
Duk! Brolll...! Terkejut Peramal Buntung. Atap
ruangan tiba-tiba ambrol. Cepat dia meloncat ke samping kiri karena tak mau
tubuhnya terrimbun tanah.
"Ha ha ha! Kini, kau percaya, bukan?" cibir Dewa Tikus. Kepalanya digerak-
gerakkan untuk menghalau
gumpalan tanah yang hendak menerpa.
Peramal Buntung mendesah.
"Mati aku!"
*** 7 "Kami lahir dari rahim seorang wanita yang mempunyai keturunan
siluman...."
"Sebentar, Kek!" sela hati kecil si Pengemis Binal yang ingin bertanya. "Kau
menyebut dirimu sebagai 'kami' apakah kau mempunyai hubungan darah dengan
Siluman Ragakaca?"
"Ya. Aku dan Siluman Ragakaca adalah saudara sekandung. Siluman Ragakaca lahir
sebagai kakak tertua. Sementara, aku masih punya seorang adik bernama Dewa
Tikus.,.."
"Dewa Tikus...?"
"Adikku itu memang pantas disebut demikian karena dia suka bermain-main dengan
tikus. Ke mana pun dia pergi, selalu ada tikus yang menemaninya.
Hebatnya, tikus jenis apa pun kalau bertemu dengan adikku itu akan menjadi jinak
dan menuruti segala kemauannya.
Terlebih lagi, tubuh Dewa Tikus dipenuhi bulu halus dan berwajah persis seperti
tikus, hingga tak keliru kalau dia diberi nama Dewa.Tikus. Namun..., sebagian
tokoh golongan atas di negeri ini lebih suka menyebutnya sebagai Dewa Tangis.
Karena, dia mudah bersedih hati, lalu menangis tersedu-sedu walau tanpa alasan
yang pasti. Dan, sebagian tokoh lagi menyebutnya dengan Dewa Gila...."
"Tapi, dia tidak gila, bukan?"
"Ya. Hanya tingkah lakunya saja yang mirip orang gila. Usai menangis
tersedu-sedu, dia bisa tertawa panjang sepuas hati. Meski sebenarnya tidak ada
yang pantas untuk ditertawakan..."
"Kalau begitu, tahu aku sekarang kenapa kau hendak menjadikan aku sebagai
wakilmu untuk menghentikan
keangkaramurkaan Siluman Ragakaca.
Karena, siluman itu saudara sekandung denganmu
hingga kau tak mungkin
bertempur dengannya. Apalagi
membunuhnya. Bukan begitu, Kek?"
"Nah! Nah! Sekarang, kau sudah mampu berpikir dengan baik. Rupanya, kau tidak
segeblek yang kukira...," ujar Setan Ceriwis. "Setelah kau tahu siapa sebenarnya
aku, kuharap kau mau menerima dengan senang hati beberapa ilmu
kesaktian yang akan kutu-runkan
kepadamu. Setelah itu, kau harus
mewakili aku untuk menumpas Siluman Ragakaca dan seluruh pengikut
jahatnya...."
"Sebentar, Kek..."
"Ada apa lagi"'.'
"Mendengar ceritamu tentang Siluman Ragakaca, sebenarnya tanpa kau pinta pun,
aku pasti akan menumpas siluman itu walau aku mesti mempertaruhkan nyawa.
Tapi, masih ada pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu?"
"Apa itu?"
"Siapa nama ibumu" Bagaimana dia bisa melahirkan makhluk-makhluk aneh dan sakti
macam Siluman Ragakaca, dirimu Setan Ceriwis, dan Dewa Tikus?"
"Ha ha ha...! Ini sebuah pertanyaan lucu. Tapi, bolehlah kujawab karena kalau
menjawab,pun aku tak akan rugi,"
ujar Setan Ceriwis diiringi derai
tawanya. "Ibuku bernama Rara Gandari. Dia cantik luar biasa. Dan, suaminya pun setampan
Dewa Kamajaya. Bernama Raka Samba. Hanya sayangnya, ibuku mempunyai darah
siluman yang mengalir dari darah bapaknya, Siluman Baka. Sehingga, ibuku mesti
melahirkan tiga orang bocah yang dua di antaranya berwujud sangat buruk, aku dan
adikku Dewa Tikus! Sementara, Siluman Ragakaca sebagai saudara tertua memiliki
bentuk tubuh bagus dan wajah tampan. Namun sayang, ketampanannya berada di balik
jiwa iblis.... Perlu juga kau ketahui, Suropati..., Siluman
Ragakaca tak mau mengakui aku dan Dewa Tikus sebagai adik-adik-nya. Yah, karena
kami memang amat buruk rupa.... Terlebih jahat lagi, Siluman Ragakaca selalu
berusaha membunuh kami, aku dan Dewa Tikus. Sementara, kami tak pernah
melawan karena aku dan Dewa Tikus pernah mengangkat sumpah di hadapan Ibunda
Rara Gandari. Sampai dunia kiamat, aku dan Dewa Tikus tak boleh mendendam dan
sakit hati terhadap Siluman
Ragakaca. Apalagi, membunuh saudara tuaku itu....
Aku dan Dewa Tikus terpaksa mengangkat sumpah demi menuruti kemauan Ibunda
Gandari. Beliau amat sayang kepada Siluman Ragakaca, sehingga beliau tak ingin
melihat aku dan Dewa Tikus
menyakitinya. Dengan kata lain, mencubit pun tak diperkenankan.... Tapi setelah
aku melihat bagaimana kekejaman Siluman Ragakaca yang hendak mewujudkan
cita-cita gilanya, tercetus keinginan dalam benakku untuk menghentikan segala
kegilaan ini...."
Beberapa kata di akhir kalimat Setan Ceriwis diucapkan dengan suara bergetar.
Setan Ceriwis terbawa dalam suasana.
Tanpa terasa, air bening mulai
mengambang di pelupuk matanya. Namun, cepat Setan Ceriwis menghalau perasaan
yang tak mengenakkan ini. Bagaimanapun, kejahatan mesti diberantas, kebatilan
mesti ditindas. Kebenaran dan keadilan mesti dijunjurig dan ditegakkan. Tak
peduli siapa pelaku kejahatan dan
kebatilan itu! Tapi, tidak takutkah Setan Ceriwis termakan tuah sumpahnya
sendiri apabila dia berkehendak menumpas Siluman Ragakaca walau hanya dengan
cara meminjam tangan orang lain"
"Sebagai makhluk yang punya. akal pikiran, sebenarnya aku juga punya rasa takut
akan tuah sumpah yang pernah mangkat bersama Dewa Tikus itu. Tapi, apa boleh
buat. Biarlah bumi menelanku.
Biarlah langit runtuh menimbunku. Kalau pengorbananku ini ada gunanya, siksa itu
akan kuterima dengan dada lapang...,"
lanjut Setan Ceriwis, meriegaskan
keyakinannya. "Tapi... karena aku
benar-benar punya pantang-n membunuh.
kau harus bersedia mewakili aku untuk menumpas Siluman Ragakaca dan seluruh
pengikut jahatnya. Dan, kuharap kau pun tak salah menjatuhkan tangan maut,
Suropati. Yang harus kau tumpas hanya Siluman Ragakaca bersama para pengikut
jahatnya. Beberapa pengikut Siluman Ragakaca yang tak jahat harus kau
lepaskan.,.."
"Heran aku. Kenapa ada orang
baik-baik bisa menjadi pengikut siluman itu?"
"Mereka hanya terpaksa. Raja Angin Barat adalah satu contoh di antaranya."
"Yang lain lagi, siapa?" , .
"Kalau kau pandai menggunakan otak untuk berpikir dan menimbang, pada saatnya
nanti kau pasti akan tahu
siapa-siapa yang tak boleh kau bunuh itu.... Nah, sekarang kosongkan
pikiranmu. Pusatkan seluruh perhatian dan daya batinmu ke satu titik. Aku akan
segera menurunkan beberapa ilmu
kesaktian kepadamu...."
Hati kecil Pengemis Binal tak
berkata-kata lagi. Jiwa dan pikirannya sudah mantap untuk menerima apa yang akan
diberikan Setan Ceriwis. Sebuah tugas maha berat telah menunggu. Dan, tugas itu
membutuhkan kesiapan lahir batin. Tak keliru apabaila Setan Ceriwis hendak
menurunkan beberapa ilmu kesaktian kepada Pengemis Binal.
Untuk beberapa saat, Setan Ceriwis menatap lekat wajah Suropati yang tengah
duduk dalam sikap semadi. Kemudian, bibir kakek berkulit putih seperti kapur ini
kemak-kemik. Dan di dalam semadinya, Suropati mendengar banyak sekali
petunjuk yang memang sengaja ditujukan kepada dirinya.
Di lain kejap, kedua mata Setan
Ceriwis memancarkan cahaya hijau,
menerpa lalu membungkus sekujur tubuh Pengemis Binal.
Tampak kemudian, tubuh Pengemis
Binal bergetar. Sekujur tubuhnya terasa panas bagai dibakar api. Tak ayal lagi,
butiran keringat memercik ke sana-sini.
Kepala Pengemis Binal pun terasa pening, bahkan teramat pening. Tulang
belulangnya pun terasa bagai
dijepit-jepit balok baja yang amat kuat Seluruh urat-urat darahnya terasa
ditarik-tarik, seperti hendak putus bersamaan....
Suropati menguatkan hati untuk
bertahan, dan terus bertahan. Tapi..., siksaan itu terus merejam dan semakin
menyakitkan! "Kini, kau telah berada pada
saat-saat gawat, Suro...," ujar Setan Ceriwis, kedua matanya terus memancarkan
cahaya hijau yang membungkus tubuh Suropati. "Jangan menghimpun tenaga dalam
untuk melawan. Kalau itu kau lakukan, tubuhmu akan langsung meledak
hancur...."
Pengemis Binal mencoba bertahan,
tapi rasa sakit itu semakin
menjadi-jadi....
Beberapa saat kemudian, Setan
Ceriwis menepukkan kedua telapak
tangannya di atas kepala. Bersamaan dengan munculnya ledakan keras, dua larik
sinar merah melesat dalam bentuk lengkungan..., menerpa telinga
Suropati! "Wuahhh...!"
Tanpa sadar Suropati memekik parau.
Datang rasa sakit yang lebih hebat Namun, Suropati tak hendak rnemberi
perlawanan. Suropati tak hendak membuyarkan
semadinya. Remaja tampan ini sudah percaya benar kepada Setan Ceriwis.
Tapi... di lain saat, Suropati
merasakan telinganya jadi pekak. Pikiran bawah sadarnya mengatakan bahwa


Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Kaca di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telinganya telah tuli! Di lain saat lagi, urat-urat darahnya terasa bergeletar.
Akibatnya, aliran darah jadi kacau.
Tubuh Suropati pun terasa sangat lemah dan tanpa tenaga sedikit pun!
Menilik penderitaan Pengemis Binal yang begitu hebat, maka perlu
disanksikan niat baik Setan Ceriwis!
Benarkah adik kandung Siluman Ragakaca itu hendak menurunkan ilmu kesaktian"
Apakah dia tidak berniat untuk membuat tuli
telinga Suropati, kemudian
melumpuhkan seluruh ilmu kesaktiannya"
"Argh...!"
Pengemis Binal memekik kesakitan!
Tubuhnya jatuh terkapar di lantai gua!
*** "Hei! Hei! Kau jangan berjalan mondar-mandir seperti itu!" tegur Dewa Tikus atau
Dewa Tangis alias Dewa Gila,
"Kenapa"!"
Peramal Buntung
membentak jengkel.
"Kau duduk sajalah!".
"Kalau aku berjalan mondar-mandir, rugikah kau"! Kau terlalu mengurusi kemauan
orang! Pikirkan saja keadaan tubuhmu yang terjepit tanah itu."
"Hei! Hei! Kenapa kau marah" Tak tahukah kau bila aku bermaksud baik?"
"Bermaksud baik apa"!" Peramal Buntung membentak lebih keras. Karena terbawa
rasa bingung dan kalut kakek cacat ini jadi mudah naik darah.
Bagaimana Peramal Buntung tidak bingung dan kalut, jalan keluar untuk dapat
lolos dari ruang penyekapan ini tak dapat dia temukan!
"Hmmm.... Umurmu sudah lewat kepala enam, tapi otakmu masih belum mampu berpikir
dewasa...," cibir Dewa Tikus.
"Apa"!" geram Peramal Buntung d?ngan muka merah padam.
"Bila kau tak segera menutup mulutmu yang nyinyir itu, terpaksa aku akan
membungkammu dengan segumpal tanah!"
"Ha ha ha...!" Dewa Tikus malah tertawa. "Lucu sekali ancamanmu itu, Orang
Buntung! Tidakkah terpikir di benakmu... bila aku mati, kau pun akan mati"! Kau
pikir, udara yang mengisi paru-parumu itu berasal dari mana?"
Kening Peramal Buntung berkerut
mendengar ucapan Dewa Tikus. Dia
mengedarkan pandangan sejenak. Ruang bawah tanah tempat dirinya didekap ini
tertutup rapat Tak ada jalan masuk ataupun keluar. Tak juga untuk peredaran
hawa! ?"Kini, sudah tahukah kau berasal dari mana udara yang kau hirup di tempat
pengap dan tertutup rapat ini?" ujar Dewa Tikus, kali ini terdengar penuh
kesungguhan. Peramal Buntung diam.
Dewa Tikus menyeringai, lalu
menangis. "Hik... hik... hik.... Kasihan sekali kau, Orang Buntung, Sebenarnya,
hidup pun kau sudah tiada berguna lagi.
Hik... hik... hik.... Jika kau ingin mati, marilah
kita mati bersama-sama...."
"Tidak! Aku belum ingin mati! Masih banyak tugas yang harus kukerjakan!"
seru Peramal Buntung.
"Tapi kalau aku mati, kau pun akan mati.... Hik... hik.... hik... Kalau aku
mati, tidak ada lagi yang memberimu udara untuk bernapas. Kalau aku mati, hawa
di ruangan ini akan sangat pengap dan panas.
Kau akan mati karena. kehabisan udara untuk bernapas. Hik... hik... hik..,,"
"Apa maksud ucapanmu itu, Orang Aneh" Benarkah udara yang kuhirup ini
pemberianmu?" tanya Peramal Buntung, khawatir.
"Begitulah. Aku punya ilmu bernama
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia'.
Hik... hik... hik...."
Terkejut Peramal Buntung mendengar ucapan Dewa Tikus. Dia memang pernah
mendengar suatu ilmu pernapasan bernama
'Mengolah Udara Memperpanjahg Usia'.
Seseorang yang mempunyai ilmu itu mampu bertahan hidup berbulan-bulan walau
disekap di sebuah tempat yang tertutup rapat Bahkan, di sebuah tabung besi yang
kedap udara sekalipun. Dengan ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia', seseorang dapat mengolah udara di
paru-parunya sedemikian rupa, sehingga dapat dikeluarkan untuk kemudian dihirup
lagi. Pendek kata, seseorang yang
memiliki ilmu 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia' dapat bertahan hidup walau dengan menghirup udara yang
sangat sedikit.
"Hmmm.... Kau jangan membual Orang Aneh!" sentak Peramal Buntung untuk menutupi
keterkejutannya. "Ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia'
hanya ada di masa dua ratus tahun yang silam! Bagaimana kau dapat mengatakan
bahwa kau memiliki ilmu itu"!"
"Ha ha ha...!" mendadak Dewa Tikus mengubah tangisnya menjadi tawa
bergelak-gelak "Kau menyebutku sebagai
'orang aneh', tapi sesungguhnya kaulah yang aneh! Tidakkah kau tahu bila umurku
telah lebih dari dua ratus tahun?"
"Hah"! Benarkah itu?"
"Ha ha ha...! Kau tidak percaya, boleh. Tapi.. tapi..., kau harus percaya bahwa
kalau ku mati, kau pun akan ikut mati. Hik... hik... hik....'
Dewa Tikus menangis lagi.
Peramal Buntung menatap heran.
"Jika sekarang aku harus membagi udara denganmu, maka jalan kematianku sudah
begitu dekat Hik... hik...
hik...," ujar Dewa Tikus di sela-sela tangisnya. "Sebenarnya.., sebenarnya, aku
tak tega jika kau turut mati. Hik...
hik... hik...."
Merasakan kesungguhan ucapan Dewa
Tikus, Peramal Buntung bertambah kalut dan bingung. Mati! Mati! Mati! Kata-kata
mengerikan itu terus mengiang di
telinganya. Bagi Peramal Buntung, mati di ajang pertempuran adalah jauh lebih
baik daripada mati kehabisan napas di dalam sebuah ruang penyekapan.
"Be... benarkah tidak ada jalan keluar untuk dapat pergi dari tempat terkutuk
ini?" tanya Peramal Buntung, tergagap.
"Tidak ada. Hik... hik... hik..:,"
jawab Dewa Tikus, terus meneteskan air mata.
"Sungguh malang nasib kita, Orang Aneh.... Kau tentu sangat tersiksa karena
tubuhmu dibenamkan ke dalam tanah seperti itu. Melihat wajahmu yang kotor penuh
debu itu, kau tentu telah lama disekap di tempat ini...."
"Benar katamu. Hik... hik... hik...
Walau aku tak dapat lagi membedakan siang ataupun malam, walau aku tak dapat
lagi menghitung hari, tapi aku tahu bahwa diriku disekap di tempat ini telah
lebih dari dua pekan. Hik... hik... hik...
Sekarang aku harus membagi udara
denganmu. Hik... hik... hik... Beberapa saat lagi, kita akan mati bersama-sama.
Hik.. hik... hik..."
Mengelam paras Peramal Buntung
mendengar ucapan Dewa Tikus. "Sungguh kejam orang yang telah menyekap kita di
tempat ini...," ujarnya lirih seperti menggumam.
"Kau kenal dengan orang itu?" tanya Dewa Tikus tangisnya terhenti mendadak.
Peramal Buntung menggeleng. "Aku tak tahu. Di sebuah tanah luas
berbatu-batu, tiba-tiba tubuhku terasa lemas. Aku pingsan. Dan ketika siuman,
aku telah berada di tempat ini...."
"Seseorang telah menotokmu dengan ilmu totokan jarak jauh bemama 'Sabetan Jari
Pelumpuh Naga'.,.."
"Dari mana kau tahu?"
"Apa yang kau alami, kualami juga."
"Kalau begitu, kau pasti tahu siapa orang yang telah menyekap kita itu...."
"Aku memang tahu, Tapi.',
kuberitahukan pun percuma karena... kita akan segera mati!"
"Hmmm..... Jahat benar orang itu!"
geram Peramal Buntung. "Apa sebenarnya salahku kepadanya" Kenapa dia berniat
membunuhku?"
"Pertanyaanmu
itu sama persis
dengan pertanyaan yang ada di benakku,"
sahut Dewa Tikus.
"Dan, kau pun tak mampu
menjawabnya?"
"Begitulah...."
Peramal Buntung mendesah. Kakek
berompi kuning ini geleng-geleng kepala ketika melihat Dewa Tikus menangis lagi.
"Dewa Tikus...," gumam Peramal Buntung. "Dewa Tikus. Sebuah nama atau julukan
yang tepat bagi makhluk berwajah mirip tikus itu. Hmmm.... Mungkinkah dia punya
kemampuan menggerong tanah seperti tikus?"
Terbawa pikiran dibenaknya, Peramal Buntung menatap lekat wajah Dewa Tikus, lalu
bertanya, "Orang aneh..., kau tadi mengenalkan dirimu sebagai Dewa Tikus.
Aku yang cacat dan bergelar Peramal Buntung ini hendak bertanya kepadamu.
Apakah kau punya kemampuan menggerong tanah?"
"Kalau aku punya, kau mau apa?" Dewa Tikus balik bertanya.
Peramal Buntung diam sejenak.
Keningnya berkerut rapat Lalu dengan suara berat dan penuh kesungguhan, dia
berkafa, "Firasatku mengatakan bahwa kita tak akan mati di tempat ini. Pasti ada
sebuah cara untuk dapat lepas dari kungkungan ini. Dan kupikir, kalau kau punya
semacam ilmu mirip tikus yang mampu, menggerong tanah, kita berdua pasti akan
selamat..."
"Aku memang punya ilmu 'Menembus Tanah Membuat Liang'. Tapi..., ilmuku itu tak
lagi berguna kini. Tidak tahukah kau, mengeluarkan tubuhku dari jepitan tanah
lembek ini saja aku tak mampu?"
"Kenapa?".
"Kedua tangan dan kakiku diikat."
"Hmmm.... Kalau hanya membuka ikatan saja, aku bisa membantumu...."
Kepala Dewa Tikus menggeleng lemah.
Peramal Buntung tak begitu
memperhatikan. Dengan semangat yang tiba-tiba muncul dan menyala-nyala, kakek
berompi kuning ini mulai menggali tanah untuk dapat mengeluarkan tubuh Dewa
Tikus. Walau hanya menggunakan telapak kaki, Peramal Buntung tak banyak mendapat
kesulitan. "Sudahlah! Sudahlah! Percuma saja!"
seru Dewa Tikus.
"Aku bermaksud mengeluarkan
tubuhmu, kemudian melepas ikatan di kedua tangan dan kakirnu!" sahut Peramal
Buntung. "Ah! Kubilang, percuma saja!
Jangan-jangan perbuatanmu ini hanya akan mempercepat kematian kita. Atap ruangan
ini akan runtuh! Kita akan tertimbun hidup-hidup!"
"Kau jangan terlalu meremehkan kemampuanku!" sentak Peramal Buntung.
"Aku akan berhati-hati, agar atap tanah itu tidak runtuh!"
Di ujung kalimatnya, Peramal
Buntung mulai menggali lagi. Sedikit demi sedikit, dan terkesan amat
berhati-hati. Sementara, Dewa Tikus mendesah terus. Mulutnya nyerocos
panjang pendek. Namun, Peramal Buntung tak memperhatikan sama sekali.
Sepeminum teh kemudian, tubuh Dewa Tikus telah berhasil diangkat dari kubangan
tanah. Tubuh Dewa Tikus
ternyata benar-benar mirip tikus.
Seluruh permukaan kulitnya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam
kekuningan. Perutnya pun terlihat buncit dan menggantung. Dan hanya selembar
cawat hitam yang menempel di tubuhnya.
Sekadar menutupi barang istimewanya!
"Sudah kubilang, percuma saja...!"
seru Dewa Tikus seraya menggulingkan tubuhnya.
Dalam keadaan duduk
berselonjor, Dewa Tikus memperlihatkan ikatan di kedua tangan dan kakinya.
"Astaga!"
Peramal Buntung berseru kaget. Tali yang mengikat tangan dan kaki Dewa Tikus
ternyata berupa garis-garis sinar
berwarna kuning!
"Orang jahat itu mengikatku dengan ilmu 'Sabetan Jari Penjerat Naga'...,"
beri tahu Dewa Tikus, "Kalau saja aku dapat memutuskan ikatan ini, tak bakalan
kau menjumpai aku di tempat pengap ini...."
"Bagaimana kalau aku mencoba
memutuskan ikatan itu?" tawar Peramal Buntung.
"Percuma saja."
"Kau benar-benar meremehkan
kemampuanku, Orang Aneh!" sentak Peramal Buntung.
"Tidak. Tapi kalau kau penasaran, bolehlah kau tunjukkan ilmu
kepandaianmu."
Tanpa pikir panjang lagi, Peramal
Buntung beringsut. Jari-jari kakinya menjepit garis-garis sinar yang mengikat
kedua tangan Dewa TikUs. Dikerahkannya tenaga dalam untuk dapat memutuskan
garis-garis sinar yang menyerupai tali itu. Namun hingga keringat bercucuran dan
tenaga dalam Peramal Buntung nyaris terkuras habis, ikatan Dewa Tikus tak juga
dapat dilepaskan.
"Kini, kau baru percaya...," ujar Dewa Tikus. Air bening mulai mengambang di
pelupuk matanya. "Hik... hik...
hik... Kita akan mati di sini. Kecuali, Setan Ceriwis mau menolong...."
"Setan Ceriwis" Siapa itu?" tany"
Peramal Buntung, terkejut.
"Dia kakakku," jawab Dewa Tikus.
"Dia juga punya nama Setan Tanah atau Setan Kapur. Hik.. hik.. hik... Kalau dia
mau menolong, kita pasti selamat. Tapi kalau tidak, hik... hik... hik... Kita
akan mati...."
"Andai kakakmu itu bersedia, dengan cara apa dia akan menolong kita?" tanya
Peramal Buntung,. semangat hidupnya mulai membara lagi.
"Dia punya ilmu, 'Pelacak Jejak'.
Dia tahu kalau aku disekap di tempat ini.
Dia juga punya ilmu yang lebih hebat dari ilmu 'Menembus Tanah Membuat Liang'
milikku. Dia bisa membelah tanah lalu menutupnya sesuka hatinya. Dia punya ilmu
'Pemisah Tanah Penyatu Bumi'.
Tapi.,., hik... hik... hik... kalau dia tak mau menolong, kita tetap akan mati.
Hik.. hik... hik..."
"Namun kalau dia bersedia menolong, kita pasti selamat, bukan?"
"Ya! Ya! Tapi kau harus tahu, Orang Buntung..., kalau kakakku itu telah berhasil
dibunuh kakakku yang satunya lagi, harapan kita hanya akan tinggal harapan. Kita
pasti mati! Hik...'hik..
hik..." "Kau bilang bahwa kau masih punya kakak lagi. Siapa dia?" tanya Peramal Buntung,
terbawa rasa ingin tahunya.
"Siluman Ragakaca."
Melonjak kaget Peramal Buntung.
Dengan mata mendelik, kakek cacat ini hendak bertanya lagi, tapi suaranya
tersekat di tenggorokan. Tiba-tiba, napasnya jadi sesak!
"Kita akan segera mati! Udara segar di ruangan ini hampir habis. Uh! Hk!
Napasku sesak! Kau juga rupanya! Hik...
hik,, hik... Matilah kita sekarang..."
Dewa Tikus menutup kalimatnya
dengan menghirup udara sebanyak mungkin.
Peramal Buntung berbuat serupa.
Namun..., maut akan menjemput!
*** 8 Sona Langit melolong panjang Cada
henti melihat pertempuran seru yang tengah berlangsung di hadapannya. Anjing
yang tubuhnya nyaris sebesar kuda ini melompat ke sana sini, tak kuasa
membendung hasrat hatinya untuk membantu Raka Maruta ataupun Anggraini Sulistya.
Namun, Raka Maruta berkali-kali


Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Kaca di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneriakinya agar tetap tenang.
"Huuungngng...!"
"Tenanglah! Jangan bertindak
gegabah!" seru Pendekar Kipas Terbang ketika melihat Sona Langit meloncat
kedekatnya. Raka Maruta tahu maksud Sona Langit yang ingin membantunya. Tapi, Raka Maruta
jusiru tak mau melihat Sona Langit celaka. Karena, sambaran Cambuk Api Darah di
tangan Dewa Cinta yang menjadi lawannya sangatlah berbahaya. Sambaran sinar
merahnya saja sudah mampu
menghancurkan sebongkah batu besar!
"Huuungngng...!" Sona Langit melolong lagi. Anjing besar berbulu hitam ini
berbuat nekat, menerjang Dewa Cinta.
Sementara Pendekar Kipas Terbang
mendelik kaget, Dewa Cinta tersenyum senang. Dewa Cinta tahu bila Sona Langit
adalah satwa piaraan Putri Impian yang menjabat sebagai Ratu Istana Dalam di
Istana Langit. Oleh karena itulah Sona Langit pun dianggapnya sebagai musuh yang
layak dienyahkan!
"Mati kau!"
Cewa Cinta menggembor keras seraya menyabet-kan Cambuk Api Darahnya. Dengan
cambuk aneh yang semula berwujud sapu tangan itu, Dewa Cinta hendak membelah
tubuh Sona Langit yang tengah melayang di udara!
Srattt...! Jderrr...! "Huffing...!" '
Melihat bahaya yang mengancam Sona Langit, Raka Maruta melemparkan kipas baja
putihnya. Terbentur tenaga lontaran yang amat kuat, arah sabetan Cambuk Api
Darah melenceng. Namun tak urung, tubuh sebelah kiri Sona Langit terserempet!
Akibatnya, tubuh besar Sona Langit terpelanting lalu terbanting ke tanah.
Sona Langit mendengking kesakitan. Darah mengucur dari bagian tubuhnya yang
terluka. Namun dengan semangat tempur yang menyala-nyala, dan tak peduli akan
luka di tubuhnya, Sona Langit bangkit.
Hendak diterjangnya lagi Dewa Cinta!
"Jangan...!" cegah Pendekar Kipas Terbang. Sambil berteriak keras, pemuda
berwajah lembut ini menyambar kipas baja putih yang melesat balik ke arahnya.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Bola matanya yang berkilat-kilat menatap tajam
wajah Raka Maruta. Melihat
kesungguhan pemuda yang telah
membebaskannya dari timbunan batu ini, Sona Langit menganggukkan kepala walau
hatinya masih diliputi hawa amarah dan rasa penasaran.
"Kau mmggirlah! Percayalah
kepadaku!" ujar Pendekar Kipas Terbang untuk menenangkan hati Sona Langit.
Dan tampaknya, Sona Langit pun mau menuruti kemauan Raka Maruta. Sekali lagi,
dia menganggukkan kepalanya, lalu melangkah mundur.
"Hmmm.... Rupanya, menantu Prabu Singgalang Manjunjung Langit adalah seorang
penjinak anjing...," cibir Dewa Cinta. "Tapi, tubuh anjing itu tetap akan
kubelah dua setelah aku meremukkan tubuhmu dulu, Maruta!"
"Kalau kau mampu, silakan kau wujudkan keinginanmu itu!" balas Pendekar Kipas
Terbang. "Jangan menyesal andai aku yang lebih dulu memenggal kepalamu!"
"Bangsat! Kita buktikan saja, siapa yang lebih unggul di antara kita"!"
Di ujung kalimat Dewa Ginta, Cambuk Api Darah meliuk ke atas. Setelah
mengeluarkan suara ledakan keras, tali cambuk itu meluncur sebat ke arah Raka
Maruta. Sementara, garis-garis sinar merah turut menyerbu ganas, membarengi
luncuran Cambuk Api Darah!
"Heaaa...!"
Srattt...! Sambil memekik nyaring, Raka Maruta melemparkan kipas baja putihnya. Timbul
seberkas cahaya putih berkeredepan, menelan garis-garis sinar merah yang muncul
dari sabetan tali Cambuk Api Darah!
Tas...! "Ih...!"
Tatkala tali cambuk di tangannya
terbentur kipas baja putih, Dewa Cinta memekik kaget. Jari-jari tangan kanannya
terasa kesemutan. Dan, bagian tubuh sebelah kanannya pun terasa lumpuh.
Kontan bola mata Dewa Cinta melotot besar!
Setelah membentur tali cambuk api, kipas baja putih Raka Maruta mencelat tinggi.
Anehnya senjata itu dapat melesat ke kiri lalu berputar ganas hendak menebas
leher Dewa Cinta!
Cepat Dewa Cinta mengatasi
kegugupannya. Dengan menjatuhkan diri ke tanah, lelaki berpakaian ketat hijau
ini berhasil menyelamatkan diri. Namun, Dewa Cinta terkejut luar biasa. Kipas
baja putih terus mengejarnya ke mana pun dia berkelit!
Agaknya, Raka. Maruta telah
mengeluarkan jurus terhebatnya 'Kipas Terbang Membelah Angin' yang sudah
sempurna dikuasainya atas petunjuk si Kipas Sakti, gurunya.
Dengan menggunakan tenaga dalam
tingkat tinggi yang mampu dipakai untuk menarik dan melontarkan sebuah benda
dari jarak jauh, Raka Maruta memainkan jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin' nya
yang dahsyat luar biasa. Hanya dengan menggerak-gerak-kan kedua telapak
tangannya dari jarak jauh, Raka Maruta mampu mengirim serangan-serangan
memati-an. Kipas baja putihnya
menyambar-nyambar bagai seekor elang memburu mangsa. Sementara, biasan cahaya
putih yang muncul dari sambaran kipas membuat udara di sekitarnya jadi panas
seperti ada api besar yang tengah
berkobar-kobar!
Dewa Cinta mendengus gusar
berkali-kali. Tubuhnya benar-benar terkurung oleh sambaran senjata andalan
Pendekar Kipas Terbang. Cambuk Api Darah pun tak lagi dapat memperlihatkan
kehebatannya. Terdesak hebatlah Dewa Cinta!
*** Di bagian lain, wajah Dewi Asmara
tampak pucat pasi. Rasa kalut dan bingung mulai menggeluti hatinya. Sepasang
pedang lentur di tangannya tak berdaya sama sekali menghadapi ilmu 'Cahaya Sakti
Bentengi Jiwa' yang tengah
diterapkan oleh Anggraini Sulistya.
Cahaya putih yang menyelubungi
tubuh Anggraini Sulistya membuat tubuh putri raja Pasir Luhur ini kebal senjata
tajam. Tak takut lagi dia menadahi sabetan dan tusukan pedang lentur Dewi
Asmara. Sementara Dewi Asmara harus berjuang sekuat tenaga untuk dapat
menghindari totokan-totokan berbahaya sending emas di tangan Anggraini
Sulistya. "Kau datang hendak meminta batu mustika yang bukan milikmu. Jelas kau seorang
durjana. Menyerahlah!" ujar Putri Cahaya Sakti sambil terus mengirim totokan.
"Aku akan menyerah kalau kau
menyerahkan kepalamu lebih dulu!" sahut Dewi Asmara. Salah satu pedang lenturnya
disabetkan ke depan untuk menangkis totokan sending Anggraini Sulistya.
Trang! Namun tiba-tiba, tubuh Putri Cahaya Sakti melenting amat cepat. Sambil
berjumpalitan, dia mengirim totokan maut yang mengarah jalan darah di punggung
Dewi Asmara. Wuttt...! Dewi Asmara yang sudah terdesak
hebat, membuang tubuhnya jauh-jauh kekiri. Dan Anggraini Sulistya pun tersenyum
senang. Pancingannya
berhasil. Dengan tubuh masih melayang di udara, kakinya terjulur cepat. Di lain
kejap, terdengar suara berdebuk. Pinggang kanan Dewi Asmara berhasil
ditendangnya. Walau Anggraini Sulistya tak
berniat. membunuh lawan, tapi
tendangannya sudah cukup kuat untuk dapat melontarkan tubuh Dewi Asmara. Dan
selagi Dewi Asmara jatuh bergulingan di tanah, terdengar pekik kesakitan dari
mulut Dewa Cinta!
"Argh...!"
Tubuh Dewa Cinta juga jatuh
bergulingan ke arah yang sama dengan gulingan tubuh Dewi Asmara. Ketika bangkit,
bahu kiri Dewa Cinta
mengucurkan darah segar.. Rupanya, kipas baja putih Raka Maruta telah berhasil
melukainya. Sementara tendangan keras Raka Maruta juga sempat menghajar
punggungnya. "Kalian adalah dua orang durjana yang layak dijebloskan ke penjara bawah tanah!"
seru Anggraini Sulistya, kakinya melangkah untuk mengiringi Dewa-Dewi Kayangan
ke istana. "Kaulah yang harus dijebloskan ke neraka!" hardik Dewa Cinta tiba-tiba.
Telapak tangan kirihya mengibas. Dewi Asmara pun berbuat serupa.
"Awas...!" teriak Pendekar Kipas Terbang,
memberi peringatan kepada
istrinya. Bergegas Putri Cahaya Sakti
meloncat jauh saat melihat gelombang angin pukulan menyerbu ganas ke arahnya.
Timbul suara gemuruh keras manakala batu-batu berpentalan. Untuk beberapa lama,
gumpalan tanah berdebu menutupi pandangan mata.
"Bedebah!" maki Putri Cahaya Sakti.
Ketika pandangan menjadi terang
lagi, ternyata sosok Dewa-Dewi Kayangan sudah tak tampak. Dan mengiang di
telinga Putri Cahaya Sakti sebuah kalimat yang dikirim dengan ilmu memindahkan
suara. "Tunggu pembalasan Siluman
Ragakaca!" ujar suara itu.
Anggraini Sulistya tahu bila
ancaman yang didengarnya adalah suara Dewi Asmara. Kontan hatinya menjadi panas.
Dia ingin mengejar, tapi Pendekar Kipas Terbang telah menyentuh bahunya seraya
berkata, "Sudahlah. Kita harus kembali ke istana. Ayahanda Prabu menunggu kita."
"Huuungngng...!"
Terdengar lolongan panjang Sona
Langit. Anggraini Sulistya dan Raka Maruta menoleh bersamaan. Sona Langit tampak
berdiri terhuyung-huyung. Darah segar masih mengucur dari luka di
tubuhnya. "Walau menyeramkan, anjing itu tidak jahat. Kita bawa dia ke istana untuk
mendapat pengobatan." cetus Pendekar Kipas Terbang.
*** "Hmmm.... Rupanya, tubuhmu tak sekuat yang kukira...," ujar Setan Ceriwis,
bemada penyesalan.
Sinar hijau yang memancar dari kedua bola matanya tiba-tiba lenyap. Sebagai
gantinya, memancar sinar putih bening yang langsung menerpa tubuh Pengemis
Binal! Wusss...! Luar biasa! Sinar putih bening itu mampu mengangkat tubuh Pengemis Binal yang
tengah terbaring telentang. Bahkan, sinar yang memancar dari bola mata Setan
Ceriwis itu mampu menekuk tubuh Pengemis Binal, lalu memaksanya untuk duduk
bersila lagi! "Bertahanlah untuk tetap sadar!
Kalau pingsan kau akan menyesal seumur hidup! Beberapa urat darahmu akan pecah.
dan kau akan lumpuh seumur hidup!"
Antara sadar dan tidak, lamat-lamat Suropati mendengar kata-kata Setan Ceriwis
yang ditujukan kepada dirinya.
Tak mau mendapat celaka, Pengemis Binal berusaha sekuat tenaga agar kesadarannya
tak hilang Semakin lama, kata-kata Setan
Ceriwis terdengar makin keras. Suropati berseru girang dalam hati. "Itu berarti
telinganya tidak jadi tuli!"
Perlahan-lahan sinar putih bening
yang memancar dari bola mata Setan Ceriwis berubah hijau lagi. Kembali rasa
sakit menyiksa sekujur tubuh Suropati.
Namun tidak seberapa lama kemudian, Suropati merasakan tubuhnya sangat
ringan..., dan terus bertambah ringan.
Alam pikirannya pun terasa amat lapang.
Lalu, hawa murni yang berputar di sekitar pusamya terasa menyentak-nyentak,
namun tubuhnya malah terasa sangat segar, hingga membuatnya terlena....
"Hei! Bangun! Bangun!"
Pengemis Binal terkesiap mendengar teriakan keras Setan Ceriwis. Namun karena
takut akan terjadi sesuatu yang bisa membuat celaka, Pengemis Binal tak mau
menutup semadinya.
"Bangun, Bocah Geblek!" seru Setan Ceriwis lebih keras. Tak ada lagi sinar yang
memancar dari bola matanya. "Kau ini tidak sedang bersemadi! Kau ketiduran!
Hayo! Bangun!"
Karena teriakan Setan Ceriwis
terdengar keras menggekgar, Pengemis Binal menggerigap kaget. Kelopak matanya
kontan membuka. Melihat Setan Ceriwis yang tampak marah-marah, Pengemis Binal
garuk-garuk kepala seraya nyengir kuda.
"Aku boleh bangun, Kek?" tanyanya ketolol-tololan.
"Memang itu yang ku mau, Geblek!"
maki Setan Ceriwis. "Kau boleh pergi sekarang!"
"Pergi?" ujar Suropati, tak mengerti. "Bukankah Kakek hendak memberiku beberapa
ilmu kesaktian?"
"Huh! Dasar geblek! Apa kau tak merasa"!" bentak Setan Ceriwis.
"Merasa bagaimana?"
"Aku telah menepati janjiku,
Tolol!" "Menurunkan ilmu kesaktian
kepadaku?"
'Ya," sahut Setan Ceriwis, setengah membentak.
"Kini kau memiliki ilmu 'Pelacak Jejak', 'Mengolah Udara Memperpanjang Usia',
dan tenaga dalammu telah kulipat gandakan Sehingga, kau pun dapat
menguasai ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi' serta sebuah ilmu pukulan maha
dahsyat bernama 'Pengguncang Jagat'."
"Ck... ck... ck..," Pengemis Binal geleng-geleng kepala. "Kedengarannya hebat
sekali keempat ilmu yang kau turunkan kepadaku itu, Kek Kalau ilmu
'Pelacak Jejak', aku tahu kegunaannya karena ada sahabatku yang juga mempunyai
ilmu itu," ujar remaja tampan ini. Yang disebut sebagai 'sahabat' adalah Saka
Purdianta atau Dewa Guntur. "Tapi ketiga ilmu lainnya masih sangat asing bagiku.
Apa kehebatan ilmu-ilmu itu, Kek?"
"Hmmm.... Bolehlah aku jelaskan sedikit saja. Tapi setelah ini, kau harus segera
pergi...," sahut Setan Ceriwis.
"Dengan ilmu 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia', kau dapat mengolah udara sedemikian rupa, sehingga kau akan
dapat bertahan hidup walau kau disekap di sebuah ruangan kedap udara...."
"Caranya?"
"Kau akan tahu sendiri nanti. Dan dengan ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi', kau
dapat membuka tanah lalu menutupnya lagi sekehendak hatimu. Bila digabungkan
dengan ilmu 'Mengolah Udara Memperpanjang Usia', kau dapat hidup di dalam tanah
seperti yang tengah kujalani sekarang ini."
"Lalu, apa keistimewaan
ilmu pukulan 'Pengguncang Jagat'?"
"Itu tak perlu kujelaskan, Kau akan tahu keistimewaannya jika kau gunakan ilmu
pukulan itu untuk menumpas Siluman Ragakaca.... Sekarang, kau harus cepat pergi
dari tempat ini. Balikkan badanmu!
Gunakan Ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi'! Berjalanlah lurus! Jangan turun
ataupun naik! Cepat...!"
"Tapi, Kek...," Suropati hendak bertanya lagi. Tapi, remaja berpakaian putih
penuh tambalan ini mengurungkan niatnya karena Setan Ceriwis menatapnya dengan
mata mendelik! "Cepat balikkan badanmu! Pergi dari sini!"
Mendengar bentakan keras Setan
Ceriwis, bergegas Pengemis Binal bangkit seraya membalikan badan. Namun Pengemis
Binal cuma dapat menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bagaimana dia harus
berjalan bila di hadapannya terbentang dinding batu kapur yang amat keras"


Pengemis Binal 28 Rahasia Siluman Raga Kaca di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gunakan ilmu 'Pemisah Tanah
Penyatu Bumi', Geblek!" maki Setan Ceriwis. "Alirkan separo tenaga dalam ke
kedua telapak tanganmu. Lalu, yang kiri kau luruskan ke depan dan yang kanan kau
tengadahkan!".
Walau belum mengerti benar apa
maksud kata-kata Setan Ceriwis, Pengemis Binal mengalirkan juga separo tenaga
dalamnya ke kedua telapak tangannya.
Dan, terkejutlah remaja tampan ini. Dia melihat kedua pergelangan tangannya
bergetar kencang.
"Hmmm.... Kakek Ceriwis itu
benar-benar telah melipat
gandakan tenaga dalamku," kata hati Suropati.
"Hei! Kenapa diam saja"! Segera melangkah maju!"
"Ya. Ya!"
Tanpa pikir panjang lagi, Suropati segera menururi perintah Setan Ceriwis.
Kakinya melangkah perlahan.
Setindak..., dua tindak.... Mendadak, dinding batu kapur di hadapan Suropati
runtuh! Tak mau tubuhnya terkena
reruntuhan, Pengemis Binal menggerakkan telapak tangan kanannya yang
ditengadahkan. Aneh! Reruntuhan batu kapur menyembur ke belakang. Hingga,
Pengemis Binal dapat terus melangkah maju. Dinding-dinding batu kapur di
hadapannya terus runtuh. Telapak tangan kiri Pengemis Binal laksana dapat
mengebor dari jarak jauh. Sementara, telapak tangan kanannya digerak-gerakkan
sedemikian rupa untuk menghalau reruntuhan batu kapur ke belakang!
"Bagus! Terus melangkah maju!
Lurus! Jangan berbelok! Jangan turun ataupun naik! Ha ha ha.... Terus! Bagus!
Ha ha ha...!"
Pengemis Binal mendengar tawa
panjang Setan Ceriwis. Namun seiring langkah kaki Pengemis Binal yang terus
maju, suara tawa Setan Ceriwis lenyap perlahan-lahan...
Beberapa saat kemudian, dada
Suropati menjadi sesak. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti sulit bernapas. Dia memang berada di bawah
tanah yang tak memungkinkan ada udara segar masuk.
"Akan kucoba menggunakan ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia'..."
kata Suropati kepada dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat, Suropati
bingung. Dia tak tahu cara menggunakan ilmu pernapasan yang baru didapat dari
Setan Ceriwis itu. Tapi setelah memutar otak, Suropati mengalirkan sebagian
tenaga dalam ke rongga dadanya. Untuk menghemat udara, dia bernapas dengan
menghirup udara yang telah dikeluarkan lewat mulut. Luar biasa! Dada Suropati
tak sesak lagi. Bahkan, dia pun dapat bernapas dengan leluasa!
Dengan mengerahkan ilmu 'Pemisah
Tanah Penyatu Bumi' dan 'Mengolah Udara Memperpanjang Usia', Suropati terus
melangkah lurus ke depan. Tidak turun ataupun naik, menururi petunjuk yang
diberikan Setan Ceriwis.
Kini yang menghalang di depan
Suropati tak lagi berupa dinding keras yang berupa batu kapur, melainkan tanah
lembek dan sedikit berair. Dengan
menggunakan ilmu 'Mata Awas' ajaran Mendiang Periang Bertangan Lembut, Suropati
berusaha melihat ke depan. Dan, terkejutlah remaja tampan
ini. Samar-samar dilihatnya dua sosok tubuh yang tengah tergeletak di dalam ruangan
bawah tanah. "Hmmm.... Agaknya, kedua orang itu tengah disekap. Aku harus menolong mereka.
Kemungkinan besar memang inilah maksud Setan Ceriwis yang menyuruhku untuk
berjalan lurus menembus tanah...."
*** Peramal Buntung dan Dewa Tikus yang sudah berada di ambang pintu maut, terhantam
keterkejutan. Kaget tiada terkira mereka ketika melihat salah satu. dinding
ruangan tiba-tiba jebol, lalu masuk seorang remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan,
"Tu.... Tuan Mu... da...!" seru Peramal Buntung tergagap karena
kesulitan bernapas.
"Hei! Bukankah kau Kakek Peramal Buntung?" kejut sosok remaja yang baru muncul.
Si Pengemis Binal Suropati.
"Wa... walau aku tak mengenalmu, tapi aku tahu... kau pasti disuruh Setan
Ceriwis...," Dewa Tikus turut bicara.
"Aku adik orang yang menyuruhmu itu.
Cepat... tolong...!"
Pengemis Binal terkejut melihat
wujud Dewa Tikus yang benar-benar mirip seekor tikus. Namun melihat kesengsaraan
makhluk itu berikut Peramal Buntung yang suljt bernapas, cepat Pengemis Binal
berjalan ke depan lagi. Kali ini, kakinya melangkah naik untuk membuat jalan
menuju dunia bebas....
SELESAI Tukang Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Edit : mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Memburu Iblis 16 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Jembel 2
^