Pencarian

Iblis Lembah Tengkorak 1

Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak Bagian 1


IBLIS LEMBAH TENGKORAK
oleh Teguh S. Cetakan pertama, 1990
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Iblis Lembah Tengkorak
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Di kaki bukit Cubung, membentang sebuah
danau yang indah pada senja hari. Danau Cubung.
Permukaan airnya tenang. Bias cahaya matahari
sore dari ufuk Barat, memantulkan warna
keperakan. Hanya ada satu jalan menuju danau itu.
Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau,
terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama
Lembah Bangkai.
Pemandangannya memang indah, namun jika
malam telah menjelang, tak seorang pun yang berani melintasi kawasan itu. Selain
bau bangkai yang
selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu
seakan-akan menyimpan misteri yang sulit diungkapkan. Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor
kuda putih, meluncur di bawah siraman matahari
sore membelah jalan di antara danau dan jurang. Di belakangnya, menyusul pasukan
berseragam di atas kuda yang berjumlah sekitar dua puluh ekor itu.
Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa
mereka adalah rombongan Kadipaten Karang Setra.
Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra dan
seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang tengah mernangku bocah laki-
laki berusia sekitar lima tahun.
"Sudah hampir malam, Kang Mas," Tunjung Melur bergumam. Matanya menatap lurus
kearah danau. Tangannya yang putih halus memeluk putra
tunggalnya. "Ya. Sebentar lagi tempat ini terlewati," sahut Adipari Karang Setra. Matanya
menatap iba pada
istrinya itu. "Adakah jalan lain selain jalan ini?" tanya Tunjung Melur.
"Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling tidak, bisa memakan waktu satu
minggu perjalanan."
Tunjung Melur mendesah pelan. Matanya
menatap Rangga Pati, anaknya. Hatinya merasa
gelisah. Keangkeran kaki bukit Cubung dengan
lembah Bangkainya, menghantui pikirannya. Telah
banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini,
namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.
Senja terus merayap rnenjelang malam. Matahari
mengintip takut-takut di antara pepohonan di kaki bukit. Sinar keemasan itu
mulai redup, memberi
kesempatan pada embun dan kabut untuk
menampakkan diri. Rombongan Kadipaten Karang
Setra terus memacu menuju arah terbenamnya
matahari. "Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui Ayahanda
Prabu," Tunjung Melur sedikit bergumam. "Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu
dengan cucu pertamanya."
Kembali Tunjung Melur mendesah. Dia tahu
bukan Ayahanda Prabu yang rindu pada cucunya,
tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya.
Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai
seorang putra, tak pernah sekali pun mengunjungi orang tua Adipari Karang Setra
ini. Seorang penunggang kuda hitam yaing semula
berada di depan, menghampiri kereta.
Di seragamnya terdapat sulaman bunga karang
berjumlah lima. Tingkat dan kedudukan prajurit
Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari
sulaman macam itu yang ada di bagian dada. Makin banyak jumlah sulaman, makin
tinggi tingkat dan
kedudukannya. Penunggang kuda itu membungkukkan badan dan menoleh ke dalam
kereta. Adipati Karang Setra menjulurkan kepalanya. "Ada apa, Gagak Lodra?" tanya Adipari Karang Setra.
"Jalan kita terhalang, Gusti Adipati," sahut Gagak Lodra.
"Maksudmu?" Adipati belum menangkap makna nya.Gagak Lodra belum sempat menjawab,
tiba-tiba saja kereta terhenti. Adipati Karang Setra
melongokkan kepalanya menatap ke depan. Dia
mendapatkan sebuah pohon besar tumbang
menghalangi jalan mereka.
Adipari Karang Setra ke luar dari kereta.
Dengan langkah ringan, dihampirinya pohon
tumbang itu. Gagak Lodra melompat dari kudanya,
diikuti prajurit-prajurit lain. Dihampirinya Adipari Karang Setra yang ternyata
sudah didampingi Gajah Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga
karang. Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat
itu, namun tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur tiga langkah. Kepalanya agak
dimiringkan sedikit Wajahnya tegang. Pohon besar yang merintangi
jalan, jelas suatu kesengajaan. Meski tumbang
berikut akar-akar-nya, tetapi terasa ada keganjilan.
Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon
lain di sekitarnya pasti ikut rusak. Tapi mengapa hanya pohon besar itu saja
yang rusak"
"Hmmm..., ada tamu tak diundang," gumam Adipari
'Tampaknya jumlah mereka cukup banyak,
Gusti," sahut Gagak Lodra yang juga menangkap suara-suara kecil yang
mencurigakan di sekitarnya
"Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti,"
sambung Gajah Rimang.
"Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan.
Napas dan gerakannya terlatih sempurna," kata Adipati. Matanya tak lepas menatap
sekelilingnya. Suasana jadi hening.
"Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!"
sambung Adipati Karang Setra seketika.
"Siap, Gusti!" seru Gajah Rimang seraya melompat menghampiri para prajurit yang
juga sudah bersiaga.
'Dan kau...," Adipati Karang Setra belum lagi meneruskan perintahnya, mendadak
dari rimbunan semak dan pohon-pohon bermunculan segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan senjata terhunus. Gajah Rimang
yang baru saja memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.
Dalam sekejap gerombolan itu mengepung.
Adipati Karang Setra menatap satu persatu para
pengepungnya. Harinya terkesiap ketika matanya
tertumbuk pada Seorang laki-laki tinggi tegap
berkulit kuning. Wajahnya kasar penuh brewok
sambil memegang tongkat btrkepala tengkorak
manusia. Adipari tahu siapa laki-lakl Itu.
"Iblis Lembah Tengkorak...," desis Adipari Karang Setra bergetar.
Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula
mendengar desisan Adipari Karang Setra. Mereka
tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah
seorang tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari tandingannya. 'Ilmu Tongkat
Samber Nyawa' yang
dimilikinya, sangat dahsyat. Belum lagi ilmu
andalannya, yakni 'Bayangan Setan Neraka' benar-
benar tak tertandingi. Banyak tokoh aliran putih yang tewas di tangan iblis ini.
Dan kini, dia muncul dengan tiba-tiba!
"He he he...," Iblis itu terkekeh. Tawanya disertai tenaga dalam yang sempurna
hingga menggema ke seluruh penjuru. Seketika itu juga
seluruh prajurit Karang Setra bergetar harinya.
"Tak kusangka, Adipari Karang Setra mengantarkan upeti hari ini," sambung Iblis Lembah Tengkorak. Suaranya
menggelegar meski diucapkan
dengan tenang. "Hhhh...!" Adipari Karang Setra mendesah panjang, coba menenangkan diri.
Meskipun dia seorang Adipari dan memiliki kepandaian cukup
tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila dibandingkan dengan Iblis berwajah kasar
itu. Sepuluh orang yang memiliki kepandaian setingkat dengannya, belum
tentu mampu mengalahkannya.
*** Di dalam kereta, wajah cantik Tunjung Melur
berubah pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Tangannya
makin erat memeluk Rangga Pari. Tunjung Melur
memang belum pernah mendengar nama Iblis
Lembah Tengkorak. Tapi nalurinya mengatakan
bahwa gerombolan itu tidak bermaksud baik.
"lbu...," Rangga memandang wajah ibunya Sepertinya dia menangkap kegelisahan
ibunya. Sinar mata polos yang memandangi Tunjung
Melur itu hanya membuat hatinya gelisah. Dia
hanya mampu memeluk dan memohon keselamatan
pada Yang Kuasa. Tunjung Melur hanyalah seorang
wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kaum bangsawan, yang tak
mengerti dunia kependekaran. "Serang...!" tiba-tiba suara itu menyentak hati Tunjung Melur. Disusul suara
teriakan-teriakan
dan dentingan senjata beradu.
"Oh!" pekik Tunjung Melur ketika para prajurit yang mengawalnya sudah terlibat
pertempuran sengit dengan gerombolan itu.
' Gagak Lodra! Bawa istri dan anakku pergi!"
teriak Adipari Karang Setra.
Adipari telah sibuk melayani lima orang yang
mengeroyoknya dengan ganas. Terpaksa dikeluarkan pedangnya. Dengan mengerahkan
Ilmu Bayu Mega',
diputar-putarnya pedang itu dengan gerakan yang
sangat cepat Dengan ilmu andalan itu, pedangnya
hanya terlihat berkelebat bagai titik-titik air jatuh dari awan.
Gagak Lodra bergegas menghampiri kereta
ketika mendengar perintah junjungannya itu.
Namun ketika sampai di atas kereta, dia disambut oleh sebuah kelebatan bayangan
hitam. Dengan tangkas, Gagak Lodra berkelit menjatuhkan diri ke tanah. Bayangan hitam itu
terus menyerang Gagak Lodra walau dia masih
bergulingan di tanah. Dan betapa terkejutnya
Gagak Lodra ketika tahu si penyerang adalah Iblis Lembah Tengkorak.
"Uts!" Gagak Lodra berkelit dan melompat bangkit.
Tongkat berkepala tengkorak itu menyambar
bagian kosong di sisi Gagak Lodra. Iblis itu
terkekeh ketika serangannya dapat terelakkan.
Kembali Gagak Lodra bersiap dengan pedang
menyilang di dada. Matanya tajam memandang Iblis Lembah Tengkorak yang tegak di
depannya. "Trak!" benturan senjata tajam terjadi lagi. Iblis Lembah Tengkorak dengan
tenang menangkis
serangan pedang yang begitu cepat dari Gagak
Lodra. Seketika Gagak Lodra melompat mundur
sejauh dua tombak. Tangannya seperti kesemutan
saat pedangnya berbenturan dengan tongkat
berkepala tengkorak.
Dan alangkah terkejutnya Gagak Lodra ketika
melihat pedangnya telah patah menjadi dua. Rasa
terkejutnya belum lagi hilang, tiba-tiba ujung
tongkat iblis itu meluruk deras ke arah lehernya.
Gagak Lodra berusaha berkelit dengan menarik
kepalanya ke be-lakang. Namun....


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaaakh...!"
Kebutan yang tiba-tiba itu tak sempat terhindari. Ujung tongkat yang seperti bernyawa itu menebas leher Gagak Lodra.
Hanya sebentar Gagak
Lodra mampu berdiri, selanjutnya ambruk ke tanah.
Darah dengan segera menyembur dari leher yang
telah buntung itu.
ltulah keistimewaan tongkat Iblis Lembah
Tengkorak. Meskipun bentuknya bulat, namun
keampuhan untuk memenggal kepala manusia tak
kalah dengan mata pedang yang tajam.
"He he he...!" kembali Iblis Lembah Tengkorak terkekeh.
Adipari Karang Setra yang sibuk menghadapi
serangan-serangan anak
buah Iblis Lembah Tengkorak, masih sempat mendengar jeritan Gagak
Lodra. Betapa terkejutnya Adipati ketika melirik Gagak Lodra telah membujur kaku
bersimbah darah dengan kepala terpisah.
Pertempuran terus berlangsung. Banyak prajurit
Karang Setra yang terjungkal mandi darah.
Kemampuan ilmu silat orang-orang Iblis Lembah
Tengkorak memang jauh di atas prajurit-prajurit
Karang Setra. Hanya Gagak Lodra, Gajah Rimang,
dan Adipati sendiri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Adipari Karang Setra menggenjot tubuhnya, dan
dalam sekejap telah melayang di udara, lalu meluruk ke arah Iblis Lembah
Tengkorak. Dengan ringan
dijejakkan kakinya di depan pemimpin gerombolan
yang sudah dekat dengan kereta.
"Ayah...!" teriak Rangga ketika melihat ayahnya sudah berdiri di samping kereta.
Bocah kecil itu segera melompat ke luar dari
jendela dan berdiri di samping ayahnya. Meskipun masih bocah, gerakannya lincah
dan ringan menandakan dirinya telah dilatih dengan baik dasar-dasar ilmu kanuragan dan ilmu
meringankan tubuh.
Betapa terkejutnya Tunjung Melur melihat
tingkah anaknya. Dengan cepat dia keluar dari
dalam kereta. Dengan wajah yang diliputi rasa
ketakutan, Tunjung Melur menghampiri putranya.
Ditarik tangan bocah itu dan digendongnya.
Bergegas dia menjauhi tempat itu.
"He he he.... Rupanya ada bidadari di sini," Iblis Lembah Tengkorak terkekeh.
Matanya liar menatap
Tunjung Melur yang ketakutan.
Gajah Rimang yang melihat keadaan junjungannya tak menguntungkan, segera melompat
ke arah Adipati Karang Setra. Tiga orang yang
mencoba menghadangnya, dengan cepat dibabat
oleh pedangnya. Ambruklah orang-orang itu dengan perut terbelah.
"Bawa istri dan anakku pergi!" perintah Adipari Karang Setra kepada Gajah
Rimang. Pandangannya
tetap pada iblis itu. "Tapi, Gusti...."
'Tak ada waktu lagi, Gajah Rimang. Selamatkan
mereka!" sentak Adipari cepat memotong.
Belum sempat Gajah Rimang bicara kembali,
Adipati Karang Setra telah lebih dulu melompat
dan menyerang Iblis Lembah Tengkorak. Meski
disadari bahwa lawannya jauh di atas kepandaiannya, Adipari Karang Setra tak peduli
lagi. Harapannya, Gajah Rimang secepatnya membawa Tunjung Melur dan Rangga Pati
menyingkir dari tempat ini.
Belum sempat Gajah Rimang melaksanakan
perintah junjungannya, dia sudah disibukkan
dengan lima orang yang menyerang dengan ganas.
Adipati mendengus geram. Prajuritnya mulai kocar-kacir. Keadaannya sendiri sudah
sangat kewalahan menghadapi Iblis itu.
Dua puluh mayat prajurit Karang Setra telah
bergelimpangan. Mereka kini tinggal sepuluh orang termasuk
Gajah Rimang. Sementara dari gerombolan Iblis Lembah Tengkorak hanya tujuh
orang saja yang tergeletak tak bernyawa.
"Aaaakh...!"
Tiba-tiba Gajah Rimang memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung
dengan darah mengucur dari tangannya yang telah buntung.
Belum sempat Gajah Rimang menyadari apa yang
terjadi, tiba-tiba saja seorang dari pengeroyoknya menghunus pedang dengan
kecepatan yang luar
biasa, dan tepat menembus jantung Gajah Rimang.
Prajurit Karang Setra ini men jerit keras. Hanya sebentar dia mampu berdiri.
Ketika pedang itu
ditarik, tubuhnya segera ambruk tak ber kutik.
"Keparat!" dengus Adipati saat mengetahui Gajah Rimang tewas.
Adipati menjadi lengah. Dan kelengahan itu
tidak disia-siakan Iblis Lembah Tengkorak yang
berakibat fatal buat Adipati. Lalu....
"Akh!"
"Kakang...!" jerit Tunjung Melur memilukan.
Adipati Karang Setra terhuyung-huyung sambil
mendekap dadanya yang koyak berlumuran darah.
Men tang, begitu cepat serangan itu sehingga sulit bagi Adipati menghindari
ujung tongkat Iblis
Lembah Tengkorak. Perhatiannya memang terpecah
saat itu. "Dinda, lari...!" teriak Adipati yang teringat akan keselamatan anak istrinya.
"Kakang..., kau terluka," bergetar suara Tunjung Melur.
"Jangan hiraukah aku! Cepatlah lari. Selamatkan anak kita!" perintah Adipati
Karang Setra. Tunjung Melur belum sempat berbuat apa-apa,
ketika tiba-tiba Iblis Lembah Tengkorak melompat ke arahnya. Melihat keselamatan
istrinya terancam, Adipati
dengan sisa-sisa tenaga menggenjot
tubuhnya menghalangi Iblis Lembah Tengkorak.
Benturan di udara tak terhindarkan lagi.
Bersamaan dengan terdengarnya jeritan yang
menyayat, tubuh Adipati Karang Setra ambruk ke
tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak bergerak dengan leher yang
koyak, hampir putus.
Dada dan perutnya berlubang besar mengeluarkan
darah segar. "Kakang...!" Tunjung Melur histeris.
Sambil menggendong putranya, dia berlari
menghambur ke arah suaminya yang sudah tak
bernyawa lagi Namun langkahnya tiba-tiba terhenti karena dengan cepat Iblis
Lembah Tengkorak
sudah menghadang di depannya. Bibir Iblis itu
menyeringai dengan mata liar penuh nafsu menatap keelokan tubuh Tunjung Melur.
"He he he.... Cantik, cantik sekali...," bibir Iblis Lembah Tengkorak makin
menyeringai lebar.
Liurnya tertahan.
"Oh...!" Tunjung Melur tersentak. Wajahnya makin pucat.
Perlahan Tunjung Melur melangkah mundur.
Tangannya kian erat memeluk putranya. Anehnya,
Rangga Pati sedikit pun tak menangis. Dia malah
menatap tajam pada laki-laki kasar berpakaian serba hitam yang ada di depannya
itu. Nalurinya mengatakan bahwa laki-laki itu bukan orang baik-
baik. Menyadari gelagat yang tak menguntungkan itu,
Tunjung Melur segera berbalik dan berlari sekuat-kuat-nya. Iblis Lembah
Tengkorak terkekeh sambil berjalan dengan mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya. Meski Tunjung Melur sudah beriari
sekuat tenaga, tapi jarak antara dia dengan iblis itu kian dekat saja.
Tunjung Melur terus beriari menerobos semak
dan pepohonan. Dia justru tak menyadari kalau
arah larinya Itu mendekati jurang. Iblis Lembah
Tengkorak tersenyum menang, karena dia kenal
betul daerah ini seperti dia mengenal dirinya
sendiri. "Oh!" Tunjung Melur terkejut setelah menyadari di depannya terdapat jurang yang
menganga lebar, siap untuk menerkam. Begitu dalamnya sehingga
dasar jurang tidak terlihat.
"He he he...," kembali Iblis itu terkekeh. "Mau ke mana, Cah Ayu?"
"Oh, tolooong...!" jerit Tunjung Melur sekuat-kuatnya.
"Tak seorang pun yang dapat menolongmu, Cah Ayu," Iblis Lembah Tengkorak makin
lebar menyeringai. Sengaja Iblis Lembah Tengkorak mendekat
perlahan agar Tunjung Melur makin ketakutan.
Tanpa disadarinya, Tunjung Melur melangkah
mundur. Padahal... satu langkah lagi saja tubuhnya akan terjerumuske dalam
jurang! Saat kaki Tunjung Melur akan melangkah
mundur, dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak
melompat sambil mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya meraih pinggang Tunjung Melur. Wanita
itu terkejut luar biasa. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh terguling
menjauhi bibir jurang.
Rangga yang berada digendong-annya terlepas, dan jatuh mendekati bibir jurang.
"Rangga...!" jerit Tunjung Melur saat melihat putranya terguling mendekati
jurang. Tubuh kecil itu terus berguling, dan untunglah sebuah pohon
besar yang tumbuh di bibir jurang menahannya.
Dengan sekuat tenaga, Tunjung Melur berontak
lalu berlari mengejar anaknya. Tetapi dengan
sigapnya, Iblis Lembah Tengkorak menarik kain
wanita itu. "Auw...!" Tunjung Melur memekik tertahan. Kain penutup tubuhnya sobek terjambret
Tangan Tunjung Melur segera menutupi tubuhnya yang
terbuka itu. "He he he...!" Iblis Lembah Tengkorak terkekeh melihat tubuh putih mulus di
depannya. Seketika gairah nafsunya bergejolak. Tanpa
membuang waktu lagi, Iblis Lembah Tengkorak
memburu Tunjung Melur yang telah sampai di
dekat Rangga. "Akh, lepaskan!" pekik Tunjung Melur ketika tangan
Iblis Lembah Tengkorak memeluk pinggangnya. Sekali lagi mereka bergulingan. Tampaknya kali
ini Iblis itu tak akan melepaskannya lagi. Nafsunya kian tak terkendalikan.
Dengan buas direjang dan diciuminya tubuh Tunjung Melur. Rangga yang
menyaksikan hal itu segera bangkit dari jatuhnya.
Tanpa menghiraukan tubuhnya yang kecil dan
sakit yang sangat, Rangga menubruk sambil memekik tinggi. Tangannya yang kecil
dihantamkan ke punggung laki-laki yang tengah merejang ibunya.
Hantaman itu memang tidak berarti apa-apa bagi
Iblis Lembah Tengkorak, namun cukup merepotkan.
"Bocah setan!" dengus Iblis itu kesal karena merasa terganggu.
Iblis Lembah Tengkorak menyentakkan tangannya. Dengan seketika tubuh kecil itu
melayang deras dan menghantam pohon di pinggir
jurang. "Rangga...!" jerit Tunjung Melur. Ingin rasanya Tunjung Melur menghambur
dan memeluk putranya, tapi tangan Iblis Lembah Tengkorak
terlampau kuat memeluknya.
Tunjung Melur terus meronta-ronta sambil
menjerit-jerit berusaha melepaskan diri. Semaldn kuat dia meronta, Iblis itu
makin bergairah.
Rontaan itu dianggap sebagai geliatan yang
menggairahkan. Jeritannya terdengar bagai rintihan kenikmatan.
Tak ada yang menolong. Tak ada yang
menyaksikan kecuali sepasang mata bulat bocah
kecil itu. Tatapannya penuh perasaan. Walau tak
mengerti apa yang dilakukan oleh Iblis itu terhadap ibunya, namun nalurinya
mengatakan bahwa ibunya
menjadi korban manusia berhati binatang.
"Ibu...," rintih Rangga sambil berusaha bangun.
Dicobanya untuk berdiri, tapi tubuhnya terasa
lemas. Hentakan tangan Iblis itu seakan-akan
meremukkan tulang-tulangnya. Untungnya dengan
ilmu kanuragan yang dimilikinya, benturan keras


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pohon besar itu secara reflek dapat sedikit tertahan.
Sementara itu Tunjung Melur sudah tak berdaya
lagi. Dia hanya dapat menangis dan merintih akibat digagahi oleh Iblis Lembah
Tengkorak. "He he he...!" tawa Iblis Lembah Tengkorak penuh kemenangan.
Tubuh putih mulus itu tergolek di rerumputan.
Titik-titik air mata mengalir membentuk anak sungai di pipinya. Hati Tunjung
Melur kian hancur karena telah ternoda. Sementara itu Rangga berusaha
merayap mendekati ibunya yang kini tanpa benang
sehelai pun di tubuhnya.
"Ibu...," rintih Rangga. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraih ibunya.
"Huh! Anak ini bisa jadi duri!" dengus Iblis Lembah Tengkorak.
"Jangan...!" pekik Tunjung Melur ketika melihat Iblis itu menggerakkan
tongkatnya. Dengan sisa-sisa tenaganya, Tunjung Melur
berusaha menghalangi tongkat yang terarah kepada anaknya itu. Dan betapa
malangnya nasib Tunjung
Melur ketika dengan cepat tongkat berkepala
tengkorak itu menghantam kepalanya. Dia tewas
seketika. Rangga terbelalak. Matanya tajam
mengarah pada laki-laki yang telah membunuh
kedua orang tuanya.
"Setan cilik!" dengus Iblis Lembah Tengkorak merasa mendapat tantangan dari
sorot mata yang
tajam penuh kebencian.
Dengan kemarahan yang memuncak, ditendangnya tubuh Rangga dengan kuat. Tendangan yang disalurkan dengan tenaga dalam
itu, membuat tubuh kecil itu meluncur deras masuk ke dalam jurang. Tanpa
teriakan dan tanpa
terhindari lagi.
Iblis Lembah Tengkorak memang pantas geram,
karena niatnya untuk memiliki wanita cantik itu
gagal total. Kematian Tunjung Melur diluar
dugaannya sama sekali.
Iblis Lembah Tengkorak melompat bagai kilat
meninggalkan tempat yang kini berubah menjadi sepi dan seolah-olah tak pernah
terjadi apa-apa.
*** 2 Jurang Lembah Bangkai memang angker. Iblis
Lembah Tengkorak yang berasal dari daerah itu
sendiri sama sekali tak tahu seberapa dalamnya
jurang itu. Yang jelas, kecil kemungkinan untuk
selamat jika terjerumus ke dalam jurang Lembah
Bangkai yang kini menganga lebar siap melumat
tubuh Rangga. Tubuh kecil itu meluncur deras hampir
menyentuh dasar. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba seekor rajawali raksasa
berwarna putih menyambar tubuh Rangga dengan cakarnya yang tajam dan
kuat. "Khraaaghk...!" suaranya nyaring sambil membawa tubuh Rangga dan meletakkannya
di atas tumpukan
ranting kering dan rerumputan yang ditata
menyerupai sebuah sarang
Rangga tergolek pingsan. Burung rajawali itu
memperhatikan dengan matanya yang merah, bulat.
Kepalanya terangguk-angguk.
Sarang yang terletak dalam sebuah goa yang
besar dan lembab itu, selalu terselimuti kabut. Ini membuat udara di sekitar
situ menjadi dingin.
Rajawali putih meraih beberapa daun lebar dengan paruh, lalu ditutupinya tubuh
Rangga. Dia mendekam di samping bocah kecil itu sambil
menutupi tubuh Rangga dengan sayapnya yang
lebar, seolah-olah ingin memberi kehangatan.
Setelah lama tak sadarkan diri, tiba-tiba mulut
Rangga mengerang. Kepalanya bergerak lemah.
Burung rajawali memandanginya dengan mata yang
berbinar-binar. Disingkirkannya daun-daun yang
menutupi tubuh Rangga.
"Ibu...!" bocah itu memekik keras ketika matanya terbuka memandang
sekelilingnya. Dia terkejut
ketika matanya tertumbuk pada rajawali putih
raksasa yang ada di dekatnya. Rangga berusaha
bangkit, namun tubuhnya sangat lemas tak
bertenaga. Hanya matanya saja yang terbelalak lebar memancarkan ketakutan.
Burung rajawali putih mengangguk-anggukkan
kepalanya, seolah-olah mengerti perasaan yang
meng-hinggapi bocah itu. Pelan-pelan dijulurkan
kepalanya seraya mematuk beberapa bagian tubuh
rangga dengan paruh yang kekar itu.
Rangga merasakan tubuhnya berangsur-angsur
segar seketika. Rasa nyeri dan sakit dengan sekejap hilang. Burung itu memang
telah menotok jalan
darah di bagian-bagian tertentu tubuh Rangga.
Sepertinya burung itu ingin mengatakan kalau
Rangga tak perlu takut.
Dasar bocah! Rasa takut Rangga hilang
seketika. Kini Rangga malah tertawa keras karena kegelian. Rajawali putih
berkoak-koak seperti
gembira melihat Rangga tertawa gelak. Rangga kini malah membalas canda rajawali
dengan menarik-narik paruhnya yang sebesar kepalanya itu.
Sebentar saja kedua makhluk yang berlainan
kodrat itu kian akrab. Bahkan kini burung rajawali itu seakan-akan siap melayani
segala kebutuhan
Rangga baik, makan, minum, maupun tidur. Jika
Rangga mengantuk, maka sayap yang lebar itulah
yang menyelimutinya. Pada saat Rangga melamun
teringat ayah dan ibunya, maka burung itulah yang selalu menghiburnya.
Mengajaknya bermain dan
bercanda. Komunikasi yang berlainan, tak menghalangi kedua makhluk itu untuk saling
mengerti dan memahami setiap kata yang terucap.
*** Waktu terus berganti, hingga tak terasa telah
setahun Rangga hidup di dasar lembah Bangkai
bersama rajawali putih raksasa. Sepertinya mereka memang telah ditakdirkan untuk
bertemu di Lembah Bangkai.
Selama setahun itu, Rangga dengan cepat
memahami dan mengikurj gerak-gerik burung
rajawali raksasa itu. Tanpa disadarinya, gerak-gerik itu adalah dasar dari
jurus-jurus silat Rajawali Sakti, tokoh yang hidup dan tak ada tandingannya
seratus tahun yang lalu.
Rangga yang memang cerdas ditambah dasar-
dasar ilmu silat yang telah diperoleh dari mendiang ayah dan paman-pamannya,
membuat gerakan-gerakan yang diperliharkan burung itu cepat
dipahaminya. Sore ini, Rangga tengah berlompat-Iompatan dari
satu batu ke batu yang lain di luar goa, mengikuti gerakan rajawali putih.
Rangga tak sadar kalau
burung itu tengah mengajarkan dasar-dasar jurus
andalan yang pertama yakni,'Sayap Rajawali Membelah Mega' Jika gerakan jurus itu dibarengi
dengan ilmu peringan tubuh dan penyaluran tenaga dalam yang sempurna, maka tubuh
Rangga dapat bergerak ringan seperti kapas. Seorang yang berilmu tinggi sekalipun, akan sulit
meraba dan melihat
gerakan-gerakan itu. Keistimewaan lainnya, kaki
Rangga dapat bergerak cepat bagai tak menyentuh
tanah. Kibasan tangannya, bagaikan sepasang sayap yang siap menghancurkan batu
karang yang keras
sekalipun. Jari-jari tangannya bagai mata pedang tajam yang siap membabat seba-
tang pohon besar
hingga tumbang.
"Khraaaghk...!" rajawali putih berseru gembira melihat Rangga berhasil melintasi
batu terakhir dengan mulus. Satu kali lompatan, Rangga telah berada di
depan burung raksasa itu. Rajawali putih menundukkan kepalanya. Rangga memeluk seraya
tangannya yang kecil itu mengusap bulu-bulu halus yang memenuhi kepala burung
itu. "Aku haus, lapar...," kata Rangga pelan.
Rajawali putih mengangguk-anggukkan
kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang diucapkan Rangga. Dikepakkan kedua
sayapnya, dan dalam
sekejap saja burung itu telah mengangkasa. Rangga memperhatikan dengan mata
bocahnya, sambil
menunggu di tempat itu.
Ketika burung raksasa itu telah kembali,
diparuhnya telah bergelayut dua butir kelapa.
Cakarnya mencengkeram beberapa jamur besar.
Rangga sama sekali tak tahu kalau jamur itu
mempunyai khasiat penawar segala macam racun
yang dahsyat sekalipun. Itulah santapan sehari-hari Rangga.
'Terima kasih, kau baik sekali," Rangga menerima kelapa dan jamur-jamur itu.
"Khraaaghk...!" Rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Habis sudah jamur-jamur itu dimakan Rangga.
Dibelahnya kelapa yang kini berada di tangannya.
Hebat! Sekali kepruk saja, kelapa terbelah dua!
Rajawali putih terlihat gembira ketika Rangga
berhasil membelah kelapa dengan sekali pukul.
Itulah salah satu khasiat yang ada pada jamur itu yang telah nampak dalam
kekuatan Rangga.
Jamur yang dimakan Rangga, ternyata juga
membentuk hawa murni secara alami. Tenaga dalam
yang tersalur lewat hawa murni ini dapat menjadi kekuatan yang luar biasa bagi
Rangga. Jika Rangga benar-benar melatih tenaga dalamnya, tak mustahil dalam
waktu singkat dia akan menjadi seorang
tokoh silat yang sulit dicari tandingannya.
Rangga tanpa sadar telah berlatih jurus-jurus
silat Rajawali Sakti sepertinya ia adalah pewaris tunggal ilmu-ilmu Rajawali
Sakti, yang seratus tahun lalu sempat menggegerkan dunia persilatan. Tak ada
seorang tokoh pun yang sanggup menandinginya.
Baik dari golongan hitam maupun putih.
Lama jurus-jurus Rajawali Sakti menghilang
begitu saja bersamaan dengan lenyapnya tokoh sakti yang selalu menunggang seekor
rajawali raksasa.
Rajawali itu kini bersama Rangga. Lalu, di manakah tokoh sakti itu"
3 Dunia persilatan saat ini goncang. Gerombolan
yang dipimpin Iblis Lembah Tengkorak makin
merajalela. Banyak tokoh sakti golongan putih yang mencoba mengakhiri sepak
terjang gerombolan itu, tewas di ujung tongkat berkepala tengkorak milik iblis
itu. Banyak pula tokoh sakti aliran hitam yan9 ber
gabung dengan Iblis Lembah Tengkorak. Tentu saja hal ini membuat cemas tokoh-
tokoh aliran putih.
Karena tak mustahil kekuatan Iblis Lembah
Tengkorak akan menguasai dunia persilatan.
Lembah Tengkorak merupakan tempat Iblis
Lembah Tengkorak yang sebenarnya bernama Geti
Ireng, tinggal. Di sanalah markas Geti Ireng dengan gerom-bolannya yang bernama
Panji Tengkorak.
Tak seperti biasanya, hari ini Lembah Tengkorak
tampak ramai, Atas undangan Geti Ireng, banyak
tokoh sakti aliran hitam yang hadir di kediamannya.
Mereka hadir untuk turut menyaksikan takluknya
seorang tokoh sakti aliran hitam bernama Kala
Srenggi. Dia dikenal sebagai Si Samber Nyawa.
Kala Srenggi cukup memiliki ilmu yang tinggi, tapi jika dibandingkan dengan Geti
Ireng tak berarti
apa-apa. Kulitnya putih dengan tubuh yang tegap
berisi. Wajahnya muda dan tampan namun
menyimpan garis-garis kekejaman. Senjata andalannya adalah pedang kembar yang bertengger
menyilang di punggungnya. Ajiannya yang bernama
'Tapak Beracun' dapat membuat orang hanya
bertahan hidup selama sepuluh hari.
Bersama dengan murid-muridnya, Kala Srenggi
menyatakan takluk karena seminggu yang lalu Geti Ireng berhasil mengalahkannya.
Dengan demikian
Lembah Tengkorak makin ramai dengan bergabungnya Kala Srenggi bersama murid-muridnya yang berjumlah separuh dari
jumlah anggota Panji Tengkorak.
"Saya datang memenuhi janji," kata Kala Srenggi setelah berhadapan dengan Geti
Ireng di ruang pertemuan markas itu.
Ruangan itu adalah sebuah pendopo yang


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terletak di tengah-tengah lembah. Pendopo itu
biasa digunakan Geti Ireng untuk menerima tamu
yang sealiran dengannya. Di samping Geti Ireng,
seorang gadis cantik berusia sekitar tujuh belas tahun duduk sambil menatap
sinis Kala Srenggi. Dia bernama Saka Lintang. Saat mata Kala Srenggi
beradu pandang dengannya, harj Kala Srenggi
bergetar. Geti Ireng paham jika Kala Srenggi terpesona
dengan kecantikan putrinya itu. Untuk tidak
merusak suasana, Geti Ireng tak menegur tamunya
itu. Dan lagi, toh Saka Lintang tak mengacuhkan
pandangan Kala Srenggi.
"Kiranya yang mulia Geti Ireng sudi menerima seluruh murid-murid saya bernaung
di bawah Panji Tengkorak," lanjut Kala Srenggi.
"Bagus, bagus!" Geti Ireng tersenyum senang.
"Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang
mulia," ujar Kala Srenggi lagi sambil melirik Saka Lintang.
"Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?"
pancing Geti Ireng.
Kala Srenggi terdongak. Geti Ireng memang
bermaksud menyindir. Kala Srenggi menangkap
maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya.
Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu.
Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Geti Ireng.
"Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!"
suara Saka Lintang terdengar lembut dan halus,
namun nadanya menyimpan kebengisan dan kekejaman. "Kau dengar permintaan putriku, Kala Srenggi?"
Geti Ireng menatap tajam pada Kala Srenggi.
Kala Srenggi mengangkat kepalanya. Kembali
harinya bergetar saat menatap kecantikan Saka
Lintang. Harinya tak dapat dibohongi lagi kalau dia jatuh hati kepada Saka
Lintang. "Apa keinginan Nini Dewi yang cantik?" Kala Srenggi
menantang. Matanya tak berkedip mengakui kecantikan gadis itu, Kepalang basah
Dengus Kala Srenggi dalam hati.
"Kalahkan aku!" Saka Lintang tegas.
"Ha ha ha...!" Geti Ireng terbahak-bahak. Kala Srenggi makin tajam menatap wajah
Saka Lintang. Agak sungkan Kala Srenggi menerima tantangan
itu. Biar bagaimana pun, tak sampai hati rasanya melepaskan pukulan pada gadis
yang telah menghanyutkan harinya.
"Bukan saya menolak, tapi saya tak pernah
melepaskan pukulan pada kaum wanita," suara Kala Srenggi halus.
"Kau meremehkan anakku, Kala Srenggi!" bentak Geti Ireng. Dia merasa tersinggung
sekali dengan penolakan itu meski diucapkan dengan halus.
"Saya tak bermaksud merendahkan Nini Dewi.
Tapi, rasanya saya tak dapat beriaku kasar
terhadap wanita," lanjut Kala Srenggi masih dengan nada halus.
"Jika demikian, kau tak pantas bernaung di
bawah Panji Tengkorak!" dengus Saka Lintang sengit.
Kala Srenggi terkejut Tak disangkanya kalau
gadis cantik ini dapat sekasar itu. Hatinya makin terkejut saat melihat Geti
Ireng mengangguk tanda setuju. Jantungnya terasa copot.
Geti Ireng tahu benar kemampuan Kala Srenggi.
Meski Saka Lintang sedikit di bawah Kala Srenggi, namun tak mudah bagi Kala
Srenggi untuk menjatuhkannya walau dalam tiga puluh jurus
sekalipun. Bahkan tidak mungkin Kala Srenggi
tewas jika Saka Lintang telah mengeluarkan ilmu
andalannya,'Ular Berbisa Menyebar Racun' atau
mungkin dengan jurus 'Tarian Bidadari' digabungkan, maka seorang tokoh sakti sekalipun
tak mampu menandinginya dalam waktu lama.
"Hanya ada dua pilihan, Kala Srenggi," kata Geti Ireng datar dan dingin
suaranya. "Memenuhi
permintaan putriku, atau kau tak akan melihat
matahari lagi!"
Kala Srenggi terdiam. Sulit menerima pilihan itu.
Dia bukan gentar tapi sungkan menandingi gadis
remaja yang belum diketahui di mana kehebatannya.
Untuk mati sia-sia dia pun tak mau.
"Bagaimana, Kala Srenggi?" desak Geti Ireng.
Kala Srenggi melirik Saka Lintang yang mencibir
mengejek. "Baiklah, aku terima tantanganmu!"
*** Saka Lintang segera menggenjot tubuhnya, dan
meluruk cepat ke pelataran. Gerakannya gesit dan ringan. Ilmu ringan tubuhnya
sangat sempurna.
Jejakan ke tanah bagai seekor burung.
Baru saja Saka Lintang mendarat, tiba-tiba saja
Kala Srenggi telah dihadapannya. Jarak di antara mereka hanya sekitar satu
tombak. Mereka berhadapan dengan mata tajam saling menilai
kemampuan. Saka Lintang bergeser ke kiri satu
langkah. "Bersiaplah, Kala Srenggi!" bentak Saka Lintang keras.
Tiba-tiba tubuh Saka Lintang telah melesat
menyerang Kala Srenggi dengan pukulan yang dialiri tenaga dalam. Begitu dahsyat
pukulan itu, sehingga angin yang dihasilkannya telah terasa sebelum
pukulan itu sampai.
Kala Srenggi yang telah siap sejak tadi, hanya
berkelit sedikit menghindari pukulan itu. Sejenak dia terkejut ketika sambaran
angin lewat di samping kepalanya. Hawa pukulan itu panas sekali. Dengan cepat
Kala Srenggi melompat ke samping ketika
tangan kiri Saka Lintang bergerak ke arah dadanya.
Pukulan yang pertama itu memang sebuah tipuan.
"Bagus! Kau berhasil elakan pukulan geledekku!"
dengus Saka Lintang seraya bersiap kembali untuk menyerang dengan jurus lain.
"Jurus tangan kosongmu sangat hebat, Saka
Lintang," puji Kala Srenggi tulus.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" segera Saka Lintang meliuk liukkan tubuhnya dengan
indah dan gemulai.
Seperti sedang menari. Kala Srenggi terpesona
dibuatnya, hingga lupa kalau Saka Lintang tengah mengeluarkan jurus maut,'Tarian
Bidadari' Kala Srenggi kian terpesona, dan tanpa diduga
sama sekali gerakan Saka Lintang berubah cepat.
Dalam sekejap saja tangannya telah mengarah ke
leher Kala Srenggi.
"Akh...!" Kala Srenggi terkejut sekali tak sempat menghlndar.
Terpaksa Kala Srenggi menyambutnya dengan
mengangkat tangan melindungi lehernya yang
terancam. Benturan keras terjadi. Tubuh Kala
Srenggi terhuyung mundur dua tindak. Dirasakan
pergelangan tangannya seperti terbakar. Panas dan nyeri. Dia meringis sambil
memegangi pergelangan tangan kanannya yang menghitam.
Belum sempat Kala Srenggi menyadari yang baru
saja terjadi, Saka Lintang telah mulai dengan jurus maut lainnya. Jurus 'Ular
Berbisa Menyebar Racun'
yang sangat berbahaya dan sulit dihindari Lebih-
lebih pada saat lawannya telah terkena hajaran
jurus 'Tarian Bidadari'. Keadaan Kala Srenggi
memang tidak menguntungkan.
"Cukup!"
Suara bentakan keras disertai tenaga dalam yang
tinggi, membuat Saka Lintang mengurungkan
niatnya mengeluarkan jurus maut itu. Tiba-tiba Geti Ireng telah berada di
tengah-tengah arena. Memang dialah yang mengeluarkan suara itu.
"Cukup, Saka Lintang. Kau tak perlu menurunkan maut pada Kala Srenggi," sambung Geti Ireng.
"Huh!" Saka Lintang mendengus. Dia tak mungkin menentang kehendak ayahnya.
"Kala Srenggi, bagaimana tanganmu?" tanya Geti Ireng.
"Tidak apa-apa," sahut Kala Srenggi namun sambil meringis.
"Pukulan Tarian Bidadari' sangat berbahaya, Kala Srenggi. Kau tak akan bertahan
lebih dari sepuluh hari," kata Geti Ireng datar.
Kala Srenggi terperanjat mendengar hal itu. Dia
tak menyangka sama sekali kalau Saka Lintang telah mengeluarkan jurus Tarian
Bidadari'. Kala Srenggi memang pemah mendengar nama jurus itu namun
baru kali inilah dia merasakan. Begitu cepat dan tak terduga sama sekali.
Racun 'Tarian Bidadari' memang bekerja lambat
Tapi cukup mematikan karena langsung menusuk
jalan darah. Betapa berbahayanya, sehingga orang yang terkena tak akan sanggup
bertahan lebih dari sepuluh hari.
"Saka Lintang, berikan obat penawar racunmu!"
kata Geti Ireng.
"Dia harus mengakui kekalahannya terlebih dulu, Ayah!" jawab Saka Lintang
pongah. "Kau dengar, Kala Srenggi?" Geti Ireng menatap Kala Srenggi yang masih meringis
memegangi pergelangan tangan kanan yang makin meluas warna hitamnya. Tak ada jalan lain
bagi Kala Srenggi
kecuali mengangguk. Dalam dunia hitam, martabat
dan nama besar bukan halangan untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Tanpa malu-malu, Kala Srenggi mengakui
kekalahannya, "Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi sepenuhnya demi Panji
Tengkorak!"
Saka Lintang tertawa senang.
"Berikan penawar racunmu, Saka Lintang," kata Geti Ireng sekali lagi.
Saka Lintang merogoh saku bajunya dan
menyentil sebutir pil berwarna merah. Dengan
cepat Geti Ireng menangkapnya dan menyodorkan
kepada Kala Srenggi. Tanpa sungkan lagi, Kala
Srenggi segera menelan pil merah itu.
Seketika tubuhnya terasa terbakar. Keringat
deras mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah
tegang. Segera dirapatkan kedua teiapak tangannya ke depan dada.
"Jangan berlaku bodoh!" bentak Saka Lintang.
Hawa murni akan mempercepat kemarjanmu!"
Kala Srenggi tersentak. Cepat-cepat dilepaskan
kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu menjalari tubuhnya. Sungguh
tak tertahankan.
Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya, tapi
peringatan tadi mengurungkan niat itu.
"Hoek!"
Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut
Kala Srenggi. Kental sekali. Kala Srenggi terkulai lemas. Hawa panas di
tubuhnya, berangsur-angsur
lenyap. Warna hitam di tangan kanannya sedikit
demi sedikit memudar.
"Pulihkan kekuatanmu dengan bersemedi selama tiga hari," kata Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang melompat meninggalkan arena pertarungan tadi.
Dalam sekejap mata tubuh Saka Lintang telah
hilang, masuk ke dalam rumah yang besar.
Sungguh di luar dugaan jika Samber Nyawa atau
Kala Srenggi dapat dikalahkan hanya dalam tiga
jurus saja. Terlebih bagi Geti Ireng. Semula dia menduga Kala Srenggi akan
melayani Saka Lintang
dengan alot. Nyatanya, hanya sekejap saja. Benar-benar kemajuan yang luar biasa
bagi Saka Lintang.
Tak percuma Geti Ireng mendidik dan menurunkan
ilmunya kepada anak gadisnya itu.
Saka Lintang tidak saja menguasai ilmu-ilmu
maut itu. Bahkan telah disempurnakannya. Bukan
tak mungkin melebihi kepandaian ayahnya sendiri.
Hal ini membuat Geti Ireng bangga dan gembira.
Saka Lintang sudah dapat mewakilinya di dunia
persilatan. *** Kekuatan Panji Tengkorak kian bertambah saja.
Tiap hari banyak tokoh persilatan dari aliran hitam berdatangan untuk menyatakan
takluk. Saka Lintang lah yang selalu menjajal kemampuan tokoh-tokoh itu. Dari sekian banyak
tokoh, hanya dua
orang saja yang mampu menandingi jurus 'Tarian
Bidadari' dan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Tapi harus diakui, jurus ketiga yang merupakan
gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan jurus
'Ular Berbisa Menyebar Racun' memang tak
tertandingi. Kedua orang itu sudah terkenal di rimba
persilatan. Yang pertama biasa dijuluki Kakek
Merah Bermata Elang. Jubahnya yang merah dan
matanya yang bulat seperti elang itu memungkinkan kakek itu bergelar demikian.
Kehebatan kakek ini terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya yang menyerupai
cakar seekor elang. Sebongkah batu
cadas besar yang keras pun dapat ditembus oleh


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jari-jarinya. Seorang lagi bertubuh pendek, berkepala gundul
mengenakan jubah kuning. Dia seorang pendeta
dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan.
Senjatanya tasbih yang terbuat dari untaian
mutiara. Kedua tokoh itu akhirnya mengakui kehebatan
Saka Lintang, terbukfi mereka tak sanggup
menandingi. Dalam hati para tokoh itu berkata
'Putrinya saja tak bisa dikalahkan, apalagi ayahnya!"
Sungguh sulit diukur setinggi apa ilmu silat Iblis Lembah Tengkorak.
Pada akhirnya, seluruh tokoh-tokoh silat yang
tergabung dalam Panji Tengkorak sepakat untuk
menjuluki Saka Lintang dengan Kembang Lembah
Tengkorak! "Aku tak menyangka, perkumpulan Panji Tengkorak yang baru seumur jagung mampu
mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran hitam,"-
gumam Pendeta Murtad dari Selatan sesaat setelah dia dikalahkan oleh Saka
Lintang. Pendeta itu
sebenarnya bernama Pradya Dagma.
'Tak mengherankan kalau Iblis Lembah Tengkorak akan membuat Panji Tengkorak menjadi
yang terbesar di kalangan rimba persilatan," sahut Kakek Merah Bermata Elang.
Nama aslinya adalah
Kalingga. "Ya, anak gadisnya saja sudah sehebat itu."
"Dua hari yang lalu aku juga merasakan hal yang sama," jelas Kalingga.
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari
Selatan menatap tajam pada kakek berjubah merah
itu. Dia tak menyangka kalau Saka Lintang dapat
mempecundangi Kalingga.
"Seluruh ilmu yang kumiliki dan kuperdalam
bertahun-tahun, tak berarti apa-apa di depan gadis cantik itu," ada kemurungan
pada suara Kakek berjubah merah itu.
"Kau menyesal, Kakek tua?" tanya Rradya Dag?ma.
"Sedikit," desah Kalingga pelan.
"Penasaran?"
"He he he...," Kalingga hanya tertawa.
Pradya Dagma melihat sorot mata yang lain.
Mata bulat merah itu tidak lagi menyala seperti
semula. Ada keredupan di situ. Meski tak
diucapkan, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek
tua itu merasa genfar jika berhadapan dengan Saka Lintang sekali lagi.
Lawan yang mereka hadapi memang tangguh.
Pradya Dagma sendiri berpikir seribu kali jika harus berhadapan lagi dengan Saka
Lintang. Jurusnya
yang dipadu dengan gerakan lembut disertai
penyaluran tenaga dalam, dikenal sebagai jurus
'Bidadari Penyebar Maut'. Setiap gerakannya
mengandung hawa panas dan racun yang mematikan. Itulah jurus gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular
Berbisa Menyebar Racun'.
Kehebatan jurus itu telah dirasakan oleh kedua
tokoh sakti itu. Dengan menghirup hawa racunnya
saja, kepala mereka menjadi pening. Tak berlebihan jika gelar Kembang Lembah
Tengkorak kini disandang Saka Lintang. Memang, hanya gadis
inilah yang tercantik dan terkejam di Lembah
Tengkorak. *** 4 Lima belas tahun sudah Rangga tinggal di dasar
Lembah Bangkai. Selama itu pula tanpa sadar
Rangga telah digembleng dengan jurus-jurus
Rajawali Sakti. Di usianya yang kini menginjak dua puluh itulah Rangga mulai
sadar kalau gerakan
burung rajawali raksasa itu merupakan gerakan-
gerakan silat tingkat tinggi.
'Tak kuduga, kau bukan rajawali biasa," gumam Rangga setelah menyelesaikan jurus
ketiga dari rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti.
Burung raksasa itu mengangguk-anggukkan
kepala sambil merentangkan kedua sayapnya.
Rangga paham kalau burung itu tengah menyatakan
kegembiraannya. Diraihnya leher rajawali itu seraya dipeluknya dengan penuh
kasih sayang. Dalam usia dua puluh tahun itu, Rangga telah
menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Tubuhnya
tegap berisi Otot-otot menonjol di seluruh
tubuhnya yang terbalut kulit putih bersih.
Selama lima belas tahun itu, Rangga telah
menguasai tiga jurus andalan dari rangkaian jurus Rajawali Sakti. Jurus yang
pertama adalah 'Cakar Rajawali'. Jurus ini mengandalkan kekuatan jari-jari
tangan yang dapat berubah menjadi keras dan
tajam, setajam mata pedang. Jurus yang kedua
adalah 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan
jurus ini Rangga dapat bertarung di udara tanpa
sedikit pun menyentuh bumi. Jurus ini mengandalkan kecepatan gerak kedua tangan yang
dibarengi kekuatan tenaga dalam yang baik.
Jurus yang ketiga yakni, 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Dan kini Rangga tengah
mempelajari jurus keempat, 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Jurus ini sangat berbahaya karena penuh tipuan. Sasarannya adalah
jalan darah lawan.
Sebenarnya jurus keempat ini hanya bisa didapat
oleh orang yang memiliki tenaga dalam yang
sempurna. Tetapi berkat selama lima belas tahun
Rangga telah menyantap jamur ajaib, maka dia tak perlu lagi melatih tenaga
dalamnya. Jamur-jamur
yang telah menyebar di seluruh jaringan syaraf-
syarafnya dapat membangkitkan hawa murni yang
secara alami ada dalam tubuh manusia.
"Hey! Mau kemana?" teriak Rangga ketika rajawali putih itu mengepakkan sayapnya,
terbang. Rangga segera mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' dan dengan seketika tubuhnya
menjadi ringan, Salu mengangkasa. Sedemikian
cepatnya, hingga dalam sekejap saja dia telah
berada di atas punggung rajawali.
"Khraagh...!" rajawali putih terus mengepakkan sayapnya. Kecepatan terbangnya
melebihi lesatan
anak panah. Sebentar saja mereka telah sampai di suatu
tempat yang masih di sekitar Lembah Bangkai.
Rangga belum pernah ke tempat ini.
"Tempat apa ini?" tanya Rangga setelah melompat dari punggung burung raksasa
itu. "Kraghk!" rajawali menjulurkan kepalanya ke depan.
Pandangan Rangga mengikuri juluran kepala
rajawali. Matanya agak menyipit mendapatkan
sebuah goa di depannya. Tidak jauh di sisi mulut goa sebelah kanan, terdapat
semacam gubuk terbuat dari ranting-ranting kayu. Goa itu sangat kecil, sehingga rajawali tak
mungkin dapat masuk kecuali kepalanya saja. Tapi, gubuk siapakah itu"
Rajawali putih mendorong punggung Rangga
dengan sayapnya. Agak ragu-ragu Rangga melangkah menghampiri gubuk rusak itu.
Dia tersentak ketika melihat di bawah atap rumbia gubuk terdapat
makam. Sungguh aneh, keadaan makam itu terawat
rapi meski gubuk yang menaunginya telah reyot.
Walaupun Rangga tidak tahu itu makam siapa,
namun tetap berlutut hormat. Seketika dia teringat kedua orang tuanya yang
terbunuh lima belas tahun silam. Rangga sendiri tak tahu di mana makam
kedua orang tuanya sendiri. Agak lama dia berlutut dan tepekur di samping makam.
"Krhaghk!"
Rangga menoieh ke belakang. Rajawali yang
masih di belakangnya tertunduk mengangguk-
anggukkan kepalanya. Sepertinya ikut sedih melihat makam ini. Rangga menghampiri
dan memeluk leher
burung raksasa itu. Seakan ingin berbagi perasaan dengan rajawali itu.
"Makam siapa itu?" Rangga berbisik. Rajawali putih
menggoyang-goyangkan
kepala lalu menjulurkan ke arah goa. Rangga paham kalau dia
dimohon masuk dalam goa itu.
Tanpa ragu-ragu kaki Rangga melangkah ke
dalam goa. Dia tertegun sejenak saat berada dalam goa. Keadaan ruangan tak
begitu besar namun
banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti layaknya tempat tinggal. Pada
salah satu dinding, terdapat rak yang penuh dengan buku-buku. Di
samping kirinya terdapat bermacam-macam senjata.
Ada pedang, golok, tombak, hingga senjata yang
aneh-aneh bentuknya.
Goa ini ternyata juga sebagai tempat penyimpanan jamur-jamur yang biasa dimakan
Rangga. Anehnya, jamur berwarna putih sebesar
kepalan tangan itu hanya tumbuh pada satu dinding dekat tempayan air. Tepatnya
dinding sebelah
kanan menuju lobang ke luar goa.
"Kau juga ingin melihat?"
Rangga menggeser tubuhnya memberi kesempatan pada kepala rajawali untuk menyelinap masuk.
"Khraghk!"
"Ada apa dengan buku-buku itu?" tanya Rangga.
Rajawali putih itu mematuk-matuk paruhnya ke
lantai goa yang berpasir. Rangga cerdik. Dia dapat menangkap maksud burung
rajawali ini. Bergegas
didekatinya rak buku, dan diambilnya salah satu
buku yang berada paling ujung sebelah kiri.
"Khraghk!"
Rangga menoleh. Dilihatnya kepala burung
rajawali itu menggeleng-geleng beberapa kali.
Diletakkan kembali buku itu di tempatnya. Dia
berpindah mengambil buku paling ujung sebelah
kanan. Kepala burung itu mengangguk-angguk, dan
mematuk-matuk lantai goa lagi.
Rangga tahu kalau dia harus membaca buku itu.
Dan memang benar, buku itu temyata berisi
gambar-gambar jurus silat. Beberapa di antaranya telah di kuasai. Namun
kecerdikannya menangkap
kalau dia harus memperdalam lagi melalui buku itu.
"Punya siapa buku-buku ini?" tanya Rangga.
Kepala rajawali putih menengok ke belakang.
"Jadi pemilik buku dan semua yang ada di sini, telah meninggal" Siapa dia
sebenarnya?"
Paruh rajawali putih mematuk-matuk dinding
goa."Sebelah mana?"
Dengan paruhnya rajawali itu menunjuk ke arah
kanan. Rangga mengikuti arah yang ditunjukkan.
Dia hanya mendapatkan sebuah dinding batu tebal
dan berlumut "Khraghk"
rajawali putih memutar-mutar kepalanya beberapa kali.
Rangga menoleh. Dia melihat rajawali masih
terus memutar-mutar kepalanya. Rangga berpikir
sejenak dengan dahi sedikit berkerut serta mata
agak menyipit, lalu mengangguk. Dengan langkah
mantap didekatinya dinding itu. Tangan kanannya
mendorong, tapi dinding batu itu tak bergeser
sedikit pun. "Krhaghk!"
"Baiklah, aku sekarang mengerti," sahut Rangga.
Rangga mundur dua tindak. Dipusatkan perhatiannya pada dinding batu itu. Dengan cepat kedua teiapak tangannya yang
terbuka mendorong
ke depan. Seketika itu juga terdengar suara
ledakan yang dahsyat, disusiil getaran seluruh
dinding goa. Dengan mata terbelalak, Rangga menyaksikan
dinding batu di depannya itu bergeser ke samping.
Suara geseran batu itu menimbulkan gemuruh,
seakan-akan seluruh dinding goa akan runtuh.
Matanya makin terbelalak setelah dinding batu itu terbuka lebar.
Sebuah ruangan yang agak lebar nampak,
bersamaan dengan berhenrinya suara gemuruh itu,
Seberkas cahaya terang memancar dari api yang
berasal dari tengah lubang sebuah batu. Tidak ada apa-apa di ruangan itu kecuali


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah batu yang
menyerupai altar. Benda itu terletak di tengah-
tengah ruangan. Sebuah buku kumal tergeletak di
atasnya. Rangga melangkah masuk. Didekatinya batu
altar yang hitam pekat. Tangannya meraih buku
kumal dan membuka halaman pertama buku itu.
Berkerut kening Rangga ketika membaca halaman
pertamanya.... *** Rangga kini tahu siapa yang sebenamya
menempati goa ini sebelumnya. Dia adalah seorang tokoh yang tak tertandingi
selama kurun waktu
seratus tahun lalu. Seorang tokoh yang bergelar
Rajawali Sakti yang bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan. Sampai akhirnya
tokoh itu mengasingkan diri di dasar Lembah
Bangkai. Buku kumal yang diambil Rangga dari atas altar
itu memang dapat bercerita banyak. Hingga pada
akhirnya dia tahu bahwa goa besar yang telah jadi tempat tinggalnya selama lima
belas tahun adalah tempat tinggal burung rajawali raksasa tunggangan Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan buku itu juga
menceritakan tentang sepak terjang pendekar itu
selama berkelana di dunia persilatan.
Selama dalam pengasingan diri itu, temyata
Pendekar Rajawali Sakti telah menuliskan seluruh ilmunya ke dalam buku. Hal
inilah yang membuat
Rangga kian gembira karena juga ditemuinya buku
yang berisi jurus-jurus silat Pendekar Rajawali
Sakti. Belum lagi puas rasa kagumnya, Rangga kembali
terkagum dengan sebuah peninggalan Pendekar
Rajawali Sakti. Sebuah pedang pusaka yang sangat ampuh.
Pedang itu memancarkan sinar biru kemilauan,
dengan gagang berbentuk kepala rajawali yang
terbuat dari emas murni. Pengaruh pedang itu
memang dahsyat Seluruh aliran darah Rangga
terasa bergetar ketika mencabut pedang itu dari
sarungnya. Kekaguman Rangga tak terhenti sampai
di situ. Dicobanya pedang telanjang itu pada
sebuah batu sebesar kerbau. Dan hanya sekali
tebas saja, batu hancur berkeping-keping!
"Khraaaghk...!"
Rangga menoleh ke arah Rajawali yang sejak tadi
mengawasi dari mulut goa. Dia segera memasukkan
pedang itu ke dalam sarungnya. Kepala burung
raksasa terangguk-angguk sambil mengeluarkan
suara yang memekakkan telinga. Rangga tersenyum.
Dia tahu kalau burung itu menyatakan kegembiraannya.
Rajawali putih gembira karena Rangga tidak
mendapat pengaruh yang berarti sewaktu memegang dan menebaskan pedang pusaka itu.
Sebab tak sembarang orang dapat meiakukannya.
Kalau bukan jodohnya dapat ambruk muntah darah
meski belum mencabut dari sarungnya.
"Ya, ya...! Mudah-mudahan aku bisa mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti,"
kata Rangga menya-huti gerak-gerak kepala burung itu.
"Khraaaghk..!" burung
rajawali seakan-akan
menyambut gembira ucapan Rangga itu.
Dilampiaskan kegembiraannya itu dengan mengepak-ngepakkan sayap dan terbang berputar-
putar. Suaranya memekakkan telinga.
"Rajawali, sudah! Aku juga gembira!" teriak Rangga yang sudah berada di luar
goa. Burung itu segera menukik turun di depan
Rangga. Kepalanya mendesak-desak wajah Rangga.
Rangga memeluk penuh kasih sayang. Dia berjanji
dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu
Pendekar Rajawali Sakti sekaligus menyempurnakannya.
Tiba-tiba Rangga teringat akan ayah ibunya yang
telah terbunuh. Hatinya mendadak panas terbakar
dendam. Dia bertekad akan mencari pembunuh
orang tuanya setelah menguasai seluruh ilmu
Pendekar Rajawali
Sakti. Kemurungan
yang tergambar di wajah Rangga terlihat oleh burung
rajawali. Mata bulat merah menatap lurus ke wajah Rangga. Sepertinya ikut
merasakan kepedihan yang melanda hati anak muda ini.
"Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih," ucap Rangga pelan.
Kepala burung rajawali menggeleng-geleng pelan.
Sinar matanya redup. Seolah ingin mengatakan agar Rangga mengeluarkan seluruh
isi hati kepadanya.
"Aku harus membalas kematian ayah dan ibu,"
ucap Rangga sedikit geram.
"Khraghk!" burung rajawali putih mengangguk-angguk seperti menyetujui ucapan
Rangga. "Ya..., ya. Aku juga harus membasmi segala
bentuk kejahatan di atas bumi ini.
Rajawali berseru nyaring. Kata-kata Rangga
membuat hatinya senang. Dulu majikannya juga
seorang pendekar yang selalu membasmi kejahatan
dan membantu yang lemah. Kini Rangga yang
Iblis Dan Bidadari 2 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Pendekar Bloon 13
^