Pencarian

Bidadari Sungai Ular 1

Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular Bagian 1


BIDADARI SUNGAI ULAR
oleh Teguh S. Cetakan pertama, 1990
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
Izin tertulis dari penerblt Teguh S.
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Bidadari Sungai Ular
128 hal ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Deeemart86
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Seekor kuda putih tinggi kekar berlari bagai kilat menyusuri tepian sungai.
Bentuk sungai yang berliku-liku, seakan-akan bergerak bagai seekor ular naga
yang menyusuri lereng dan bukit-bukit di sekitarnya. Oleh karena bentuknya yang
mirip dengan ular naga, maka sungai itu dinamakan sungai ular.
Kuda itu ditunggangi seorang wanita cantik dengan pakaian serba biru. Wajahnya
basah oleh keringat. Sebilah pedang bertengger di pung-gungnya. Dia adalah Saka
Lintang, anak angkat Geti Ireng, ketua gerombolan Panjl Tengkorak.
Ditinggalkannya Lembah Tengkorak, setelah seorang pendekar muda yang berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti mengobrak-abrik partainya, Panji Tengkorak. (Baca:
Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah Tengkorak).
"Hooop...!" Saka Lintang menarik tali kekang kudanya kuat-kuat.
Kuda putih meringkik kencang lalu berhenti. Dengan gerakan ringan dan tangkas,
Saka Lintang melompat dari kudanya. Ketika kakinya sampai di tanah, segera
dijejakkan kakinya hingga tubuhnya melenting ke udara dan hinggap di pohon yang
cukup tinggi. Saka Lintang bertengger pada sebuah cabang pohon, seraya matanya mengawasi
bagian hulu sungai. Bibirnya tersenyum kctika sebuah perahu besar dengan layar
lebar mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar selembar bendera bergamhar
bunga melati yang dilingkari rantai.
Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau kapal layar itu milik
seorang saudagar kaya dari Kadipaten Balungan. Sebuah Kadipaten kecil di wilayah
Timur kerajaan Singasari yang berpenduduk cukup makmur.
"Suii t...!" Saka Lintang bersiul nyaring yang disertai tenaga dalam.
Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari
rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat buah perahu berukuran sedang,
dikayuh oleh beberapa orang. Saka Lintang segera terjun diiringi gerakan salto
beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.
Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu memacu ke arah perahu
gerombalannya yang makin dekat.
Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah menepi, Saka Lintang menarik
tali kekang kuda, dan tanpa berpikir banyak dia segera melompat ke udara. Perahu
yang telah siap menunggunya itu menerima tubuh Saka Lintang yang hinggap di
tengah-tengahnya
"Ayo, cepat! Kepung kapal layar itu!" teriak Saka Lintang.
Enam orang laki-laki bertubuh kekar segera mengayuh dayung. Perahu itu pun
meluncur deras mendekati kapal layar besar. Tiga perahu lain yang berwarna biru
pekat pula, bergerak menyerang. Sedangkan di kapal layar besar itu tengah
terjadi kesibukan. Beberapa orang telah siap dengan panah yang mengarah pada
gerombolan Saka
Lintang. "Awas, panah!" teriak Saka Lintang ketika melihat anak panah meluncur deras.
Saka Lintang pun mencabut pedangnya. Dengan cepat pedang itu telah berputar-
putar bagai baling-baling. Anak-anak panah yang meluncur cepat itu rontok
seketika tersapu oleh pedang. Layaknya sebuah payung yang melindungi dari
serangan hujan.
Empat perahu Saka Lintang makin dekat ke arah kapal layar. Sementara anak-anak
panah terus meluncur mencari mangsa. Namun anak buah Saka Lintang mudah saja
merontokkannya.
Saka Lintang tersenyum melihat keberhasilan anak buahnya itu.
"Serang...!" teriak Saka Lintang nyaring. Mendengar aba-aba itu serentak anak
buah Saka Lintang yang berseragam biru pekat berlompatan ke atas kapal layar.
Gerakan mereka sangat ringan dan cepat. Jelas mereka bukan orang-orang sembarangan.
Rata-rata mereka memiliki ilmu silat cukup tinggi. Sementara pertarungan kini
bergejolak di atas kapal layar. Saka Lintang mengamuk bagai banteng terluka.
Tubuh-tubuh mulai ambruk bergelimang darah menyusul suara jeritan hasil
kelebatan pedang Saka Lintang. Memang orang-orang di atas kapal bukan tandingan
Saka Lintang dan anak buahnya. Banyak sudah lawan yang telah
berjatuhan. Beberapa lawan malah menyelamatkan diri dengan
terjun ke sungai. Dan memang, Saka Lintang dan
pasukannya berhasil menguasai kapal layar. Dimasukkan pedangnya ke dalam sarung
di punggung. Matanya tajam mengawasi sekitar geladak kapal yang penuh oleh
darah. "Buang semua mayat ke sungai!" perintah Saka Lintang.
Anak buah Saka Lintang yang berjumlah kira-kira dua puluh orang itu segera
mengerjakan perintahnya. Diseret dan dilemparkan seluruh mayat ke sungai.
Sekejap saja permukaan sungai telah berubah warnanya menjadi merah oleh darah.
Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan
wajah ditumbuhi cambang mendekati Saka Lin?tang. Sebilah golok besar tergantung di
ping gangnya. Dibungkukkan badannya sedikit di de-pan Saka Lintang yang berdiri
angkuh. Kedua tangannya berada di atas pinggang.
"Ada apa, Codet?" tanya Saka Lintang datar.
"Hamba menemukan satu peti berisi perhiasan emas dan perak, Tuan Putri," sahut
laki-laki yang dipanggil Codet Memang di pipi kanannya terdapat guratan panjang
sehingga menambah seram wajahnya.
"Bagus, pindahkan semua barang berharga ke perahu kita!" perintah Saka Lintang.
"Hoi! Angkat semua yang berharga!" teriak Codet keras.
Kesibukan kembali terjadi. 'Tuan Putri ingin melihat-
lihat?" ujar Codet sambil membungkuk lagi.
Saka Lintang tidak menyahut. Dilangkahkan kakinya dengan angkuh melewati laki-
laki tegap dan kasar itu. Codet mengikuti dari belakang. Kapal layar ini tidak
terlalu besar. Hanya sebentar saja Saka Lintang telah menelusuri bagian-bagian kapal. Dia
sangat terkesan ketika masuk ke sebuah bilik dalam kapal.
Bilik itu memang cukup indah, bagaikan peraduan
seorang bangsawan. Saka Lintang menduga, kapal layar ini pasti milik seorang
bangsawan kaya. Rasanya tidak mungkin Kadipaten memiliki kapal seindah ini. Tapi
kenapa bendera kapal menunjukkan milik saudagar Gantar dari Kadipaten Balungan"
Atau mungkin kapal ini telah dijual oleh saudagar itu kepada bangsawan kerajaan"
"Ah! Masa bodoh. Kenapa harus dipiklrkan" Yang penting aku suka kapal ini!"
dengus Saka Lintang dalam hati.
"Codet!" panggil Saka Lintang.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Codet sambil membungkukkan badan.
"Turunkan bendera kapal, ganti dengan bendera kita!"
perintah Saka Lintang.
"Hamba siap menjalankan perintah."
"Kemudian kapal ini, bawa pulang!"
Codet berlalu setelah sebelumnya memberi hormat Saka Lintang melangkah memasuki
bilik kapal kembali. Mulutnya tak henti-hentinya berdecak kagum. Di dalam bilik
ini, Saka Lintang merasa bagai putri raja. Atau paling tidak putri bangsawan.
Dijatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan yang
berlapiskan kain sutra lembut. Sungguh nyaman berada di pembaringan ini. Saka
Lintang tersenyum-senyum sendiri.
Selama malang melintang menguasai sungai ular ini, baru sekarang dia mendapat
sebuah kapal layar yang
mengagumkan. Rasanya sayang kalau kapal ini mesti dibakar seperti yang sudah-
sudah. Dia ingin memiliki kapal
ini. Dengan kapal ini dia bisa lebih leluasa menjadi penguasa sungai Ular.
"Ha ha ha..., akulah ratu sungai Ular ini! Bidadari sungai Ular....Ha ha ha...!"
Saka Lintang tertawa sambil berteriak-teriak bagai orang glla.
Saka Lintang menari-nari berputar mengelilingi bilik kapal. Tawanya belum
berhenti. Dihampirinya sebuah meja terbuat dari batu pualam. Matanya
memperhatikan guci arak.
"Hm, arak buatan desa Cacah. Sungguh tinggi seleranya,"
gumam Saka Lintang sambil menuang arak ke dalam gelas perak.
Basah sudah tenggorokannya oleh arak. Kepalanya
terangguk-angguk beberapa kali. Arak desa Cacah memang telah terkenal
kenikmatannya. Arak ini memang pilihan kaum bangsawan. Harganya hanya terjangkau
oleh orang-orang kaya. Tanpa terasa, gelas peraknya telah kosong. Dia telah
menenggak habis arak itu. Saka Lintang menoleh ke pintu ketika diketuk dari
luar. "Masuk!" bentak Saka Lintang karena merasa terganggu kenikmatannya. Dia duduk di
kursi berukir di samping meja pualam itu.
Codet muncul setelah pintu terbuka. Dia membungkuk sedikit memberi hormat.
"Ada apa lagi?" tanya Saka Lintang kembali memasang sikap angkuh.
"Hamba menemukan seorang wanita bersembunyi di balik tumpukan peti," sahut
Codet. "Hm, siapa dia?" tanya Saka Lintang mengerutkan kening.
Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang laki-laki mengapit seorang
wanita muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Cantik dan berkulit kuning
langsat. Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya semua dari emas. Wajahnya menyimpan
rasa takut yang dalam.
Saka Lintang memberi isyarat agar anak buahnya keluar.
Codet menutup pintunya lagi. Saka Lintang kembali mengamati wanita muda itu.
Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar. "Siapa kau?" tanya Saka Lintang. Wanita muda
itu tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Ketika
matanya tertumbuk pada Saka Lintang, tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya
kian sangat. "Kau dengar pertanyaanku, kan" Siapa kau?" dengus Saka Lintang mulai kesal
karena wanita itu diam saja.
"Aku..., aku Intan Kemuning," jawab wanita muda itu tergagap, "Aku putri patih
kerajaan Galung."
"O, rupanya kau putri seorang patih" Tidak seharusnya putri seorang patih
kerajaan seperti tikus kena gebuk begitu!"
'Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan
mengatakan apa-apa pada ayahanda," rengek Intan Kemuning.
"Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak.
Intan Kemuning mulai terisak. Dia sungguh sangat menyesal ikut dengan kapal ini.
Padahal orang tuanya sudah melarang. Intan Kemuning telah dibujuk agar pulang
bersama-sama saja tewat jalan darat. Tapi Intan Kemuning ingin menikmati
perjalanan melalui sungai Ular bersama kapal yang baru dibeli ayahnya untuk
pesiar. Tidak diduga sama sekali, gerombolan perom-pak
membegal kapal itu. Pengawalnya yang berjumlah tidak kurang dari tiga puluh
orang tewas semuanya. Sedangkan awak kapalnya mencari selamat dengan terjun
sungai. Intan Kemuning yang sehari-harinya tinggal di tembok kebangsawanan,
tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tidak pernah belajar ilmu silat. Jadi wajar
saja kalau dia begitu ketakutan melihat para perompak mengganas di kapalnya.
*** Kapal mewah terus melaju menyusuri alur sungai Ular
diiringi empat perahu gerombolannya. Masing-masing perahu berisi barang- barang
berharga dan djkawal oleh empat orang. Sementara di dalam bilik kapal mewah,
Saka Lintang tengah berbaring tengkurap dengan punggung terbuka.
Punggung yang terbuka itu terasa nikmat setelah Intan Kemuning memijitinya. Dia
dengan terpaksa harus
mengikuti perintah Saka Lintang yang menjadi pemimpin perompak sungai Ular.
Perhiasan yang melekat di tubuhnya juga sudah ditanggalkan, Intan Kemuning hanya
bisa menerima nasib saja menjadi budak kepala perompak itu.
"Pijatanmu enak juga. Siapa yang mengajari?" tanya Saka Lintang.
"Bibi Emban. Katanya, biar suami betah di rumah, istri harus pintar memijat,"
sahut Intan Kemuning pelan.
Saka Lintang membalikkan badan dan merapikan
pakaiannya kembali. Matanya tajam menatap wajah Intan Kemuning yang tertunduk.
Saka Lintang yang hidup dari dibesarkan di lingkungan keras, sangat terkejut
mendengar kata-kata Intan Kemuning. Dalam kamus hidupnya, tidak ada istilah
perempuan harus tunduk pada kaum laki-laki.
"Kau bilang tadi bahwa kau anak patih. Apa kau tidak pernah belajar ilmu
kanuragan?" tanya Saka Lintang.
'Tidak, Ayahanda tidak mengijinkan aku belajar ilmu-ilmu keprajuritan. Beliau
menginginkan aku menjadi seorang wanita bangsawan sejati," polos sekali jawaban
Intan Kemuning.
"Apa enaknya" Kau akan dijajah laki-laki, tahu!" Saka Lintang jadi terhenyak
hatinya. Dia tidak terima kaumnya jadi bulan-bulanan kaum lelaki.
"Aku tidak bisa menentang keinginan Ayahanda."
"Bodoh! Itu artinya kau sudah dijajah laki-laki," dengus Saka Lintang gemas.
Intan Kemuning hanya tertunduk saja.
"Kalau kau tidak berbuat macam-macam dan menuruti
kata-kataku, aku akan mengajarimu ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian
lainnya. Supaya kau tidak jadi wanita yang lemah. Coba kau pikirkan! Baru lihat
anak buahku yang hanya bisa main gertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati.
Untung kau tidak digagahi!"
Intan Kemuning terlonjak kaget. Tubuhnya menggigl ketakutan.
"Mereka tidak akan mengganggumu! Dengan syarat, kau harus turuti kata-kataku!"
kata Saka Lintang.
Tidak ada pilihan lain bagi Intan Kemuning kecuali menyanggupi kemauan Saka
Lintang. Nasibnya sekarang berada di tangan pemimpin perompak ini. Pikirnya,
membangkang sedikit saja bisa-bisa mati konyol! Atau malah dijadikan pemuas
nafsu anak buah Saka Lintang..."
Intan Kemuning tidak sanggup membayangkannya.
"Aku hidup di lingkungan laki-laki kasar dan brutal. Tapi mereka semua tunduk
pada perintahku! Berani menentang dan kurang ajar. Nyawa taruhannya!" jelas Saka
Lintang. "Kau seorang pemimpin perompak, tapi mengapa kau baik padaku?" tanya Intan
Kemuning tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang.
Saka Lintang tertawa terbahak-bahak. Telinganya terasa dikilik, dirinya dianggap
"baik". Hidupnya penuh kekerasan.
Tangannya selalu dilumuri darah. Kenapa masih ada juga orang yang mengatakan
dirinya baik" Apa tidak salah pendengarannya" Masih adakah kebaikan di hatinya"
Dia sendiri tidak tahu mengapa tiba- tiba jadi iba melihat Intan Kemuning.
Lebih-lebih setelah mendengar penuturannya yang polos itu.
Saka Lintang merasa seolah-olah dialah yang diinjak-injak kaum lelaki setelah
mendengar per-jalanan hidup Intan Kemuning. Hatinya berontak dan dengan seketika
dia ingin segera nienjadikan Intan Kemuning seorang wanita yang kuat seperti
dirinya. Saka

Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lintang bangkit dari pembaringannya.
Dilangkahkan kakinya mendekati meja. Diraihnya guci arak, lalu dituangkan ke
dalam dua gelas pe-rak Satu gelas disodorkan pada Intan Kemuning, segelas lagi
buat dirinya. "Aku tidak biasa minum arak," tolak Intan Kemuning.
"Untuk jadi pengikutku, harus bisa minum arak!" paksa Saka Lintang.
Ragu-ragu Intan Kemuning menerima segelas arak yang disodorkan buatnya.
Tangannya gemetar memegang gelas itu. Sebab selama hidupnya, belum pernah dia
minum arak! Mencium baunya saja, kepalanya terasa pening.
"Ayo, minum!" paksa Saka Lintang lagi.
Intan Kemuning memejamkan matanya. Sambil menahan napas, diminumnya arak itu
sedikit. Saka Lintang tersenyum melihat cara Intan Kemuning minum arak. Tiba-
tiba Intan Kemuning terbatuk-batuk dan berdahak beberapa kali.
Wajahnya memerah dan matanya berair. Saka Lintang makin tertawa keras.
"Maaf, aku tidak bisa," ucap Intan Kemuning setelah reda batuknya.
"Lama-lama kau akan terbiasa," sahut Saka Lintang kalem.
'Tapi...."
"Di istanaku, semua minum arak! Tidak ada air minum, kecuali sanggup memasaknya
sendiri!" potong Saka Lintang.
Intan Kemuning terdiam. Menginjakkan kakinya ke dapur saja tidak pernah, apalagi
memasak. Hatinya hanya bisa mengeluh dan menyesali diri. Kenapa harus hidup
dengan orang dan lingkungan yang sama sekali asing" Intan Kemuning tidak dapat
membayangkan apakah dia bisa hidup dengan cara seperti ini,
Saka Lintang menoleh ke pintu setelah diketuk dari luar.
Intan Kemuning juga memandang ke arah pintu.
"Masuk!" teriak Saka Lintang.
Codet muncul. "Ada apa?" tanya Saka Lintang.
"Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri," iapor Codet.
"Hm, biar saja. Aku dan Intan tetap di sini Kalian bereskan semua barang-
barang." "Hamba laksanakan, Tuan Putri."
"Tunggu!" cegah Saka Lintang melihat Codet akan berbalik.
Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada semua anggota, kalau ada yang
berani mengganggu Intan Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik
angkatku!" ujar Saka Lintang keras.
"Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat.
Hatinya sedikit diliputi keraguan.
"Pergilah! Laksanakan tugasmu!" Codet membungkuk lagi, kemudian berbalik Pintu
kamar kembali tertutup rapat.
Saka Lintang memandang Intan Kemuning yang masih duduk di tepi pembaringan.
"Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar.
Nyalinya kecil," Saka Lintang menjentikkan jarinya.
Intan Kemuning hanya menelan ludah saja. Dia selalu ngeri jika lihat tampang
laki-laki yang kasar dan kejam. Dia tidak yakin apakah mampu seperti Saka
Lintang. Dari sini Intan Kemuning mulai bersimpati pada wanita yang usianya
tidak terpaut jauh dari dirinya itu. Saka Lintang, masih muda, cantik, tapi
mampu menguasai dan memerintah laki-laki bertampang kasar dan bengis. Intan
Kemuning yang polos, mudah sekali jatuh simpati pada sikap Saka Lintang.
Meski dia tadi sempat melihat bagaimana Saka Lintang membantai para pengawal
Kadipaten dengan kejam.
Namun bayangan kekejaman di wajah Saka Lintang makin sirna dalam pandangan Intan
Kemuning. Dia hanya melihat suatu kelembutan dan kebaikan hati dalam diri Saka
Lintang sebagai wanita yang tegar.
*** Seminggu rasanya belum cukup bagi Intan Kemuning untuk menyesuaikan diri di
lingkungan para perompak. Di sekelilingnya kecuali Saka Lintang, hanya laki-laki
berwajah kasar dan sc-ram. Dan selama seminggu itu Saka Lintang telah memberi
dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Cukup keras latihan yang
diberikan. Hampir-hampir Intan
Kemuning tidak sanggup menjalaninya.
Sejak itu pula, Saka Lintang tidak pernah lagi ikut merompak kapal yang lewat di
sungai Ular. Pemimpin perompak dipercayakan pada Codet. Hasilnya memang tidak
mengecewakan. Codet selalu pulang membawa hasil.
"Kau tidak keluar, Codet?" tanya Saka Lintang melihat Codet tengah bermalas-
malasan. "Hari ini tidak ada kapal yang lewat, Tuan Putri. Mereka takut terhadap Bidadari
Sungai Ular!" sahut Codet.
"Kau tidak berolok-olok padaku, Codet?"
"Mana berani hamba mengolok-olok Tuan Putri" Bisa-bisa kepala hamba pisah dari
badan." "Bagus kalau kau tahu!"
Codet melirik Intan Kemuning yang duduk di bangku bawah pohon. Agak jauh memang.
Sebuah buku bersampul hitam lusuh berada di tangannya.
"Maaf, Tuan Putri. Apa Tuan Putri tidak salah mengangkat dia jadi adik?" takut-
takut Codet bicara sambil ibu jari tangannya diarahkan pada Intan Kemuning.
"Maksudmu.... Intan?" jawab Saka Lintang.
"Benar, Dia itu seorang putri patih. Berbahaya sekali buat kita kalau...."
"Cukup!" sentak Saka Lintang memotong. "Kau tahu, apa akibatnya menentang
kehendakku?"
"Hamba, Tuan Putri," Codet cepat-cepat menghormat.
"Kau kupercaya untuk jadi wakilku. Bukan untuk mengaturku! Paham"!"
"Hamba mengerti," sahut Codet.
"Sekarang pergilah! Dan jangan coba-coba mengusik Intan Kemuning!"
Codet membungkuk lalu pergi. Matanya masih sempat melirik Intan Kemuning. Codet
yakin kalau buku itu berisi dasar-dasar ilmu pukulan tangan kosong dan latihan
pengerahan tenaga dalam. Dikhawatirkan Intan Kemuning akan jadi duri dalam
daging! Codet sendiri dulu adalah seorang begal sebelum dikalah kan Saka Lintang.
Kemudian dia berjanji untuk selalu setia dan mengabdi pada gadis itu. Sepuluh
anak buahnya pun ikut dalam gerombolan ini. Dan sekarang jumlah
gerombolan ini tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka semua bekas begal yang
biasa berkeliaran mencari mangsa di hutan-hutan atau merambah desa-desa.
Kehidupan seperti itu memang bukan hal yang asing bagi mereka. Tapi justru baru
kali ini mereka tunduk oleh seorang wanita!
Codet menghampiri tiga orang temannya yang duduk melingkar menghadapi rusa
panggang. Bau harum
menusuk hidung dan membangkitkan selera.
"Kalian ikut aku," kata Codet sambil mencomot sepotong daging rusa.
"Ke mana, Det?" tanya salah seorang.
"Ke desa," jawab Codet.
"Cari apa ke desa?" tanya yang lain.
"Cari hiburan!"
Ketiga orang Itu tertawa seketika. Mereka tahu kalau Codet mengincar Intan
Kemuning, tapi takut kepada Saka Lintang. Sebagai pelampiasan nafsunya, dia
sering pergi ke desa terdekat. Codet hanya menggerutu saja sambil membayangkan
wajah Intan Kemuning. Codet melangkah pergi.
Ketiga temannya mengikuti sambil tertawa-tawa. Tak ada orang yang tak tertarik
dengan Intan Kemuning. Semua laki-laki di tempat itu pasti berkhayal dapat
menikmati kemulusan tubuhnya. Tapi hanya sekedar berkhayal. Tidak
lebih. Mereka takut oleh aturan yang diberikan Saka Lintang.
Intan Kemuning memang selalu di bawah lindungan Saka Lintang. Hal inilah yang
selalu mengganggu pikiran Codet.
Pikirnya, oleh karena Intan Kemuning putri seorang patih, sudah tentu pihak
Kadipaten tidak akan ringgal diam.
Apalagi jika nanti Intan Kemuning berkhianat. Ini jelas menyulitkan mereka.
Codet menyayangkan pemimpinnya yang tidak menyadari kemungkinan yang akan
berakibat fatal!
*** 2 Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung duka. Sudah seminggu ini
Patih Giling Wesi memerintahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mencari kapal
layar yang membawa putrinya. Sampai saat ini mereka belum
memperoleh kabar berita sama sekali.
Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang kebingungan. Melangkah
hilir mudik dengan hati diselimuti kegelisahan. Tiba-tiba
langkahnya terhenti. Matanya
memandang ke depan Pendopo. Seorang tamtama berjalan tergopoh-gopoh menuju
Pendopo. "Tamtama, ada apa?" tanya Patih Giling Wesi setelah tamtama itu mendekat memberi
hormat. "Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi, Gusti Patih," jawab tamtama
itu. "Cepat laporkan!"
"Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari keterangan tentang Putri
Intan Kemuning, telah kembali pagi tadi. Dilaporkan bahwa kapal yang membawa
Putri Intan Kemuning dirampok gerombolan Bidadari Sungai Ular," tamtama itu
menuturkan dengan sikap hormat.
"Bedebah!" geram Patih Giling Wesi murka. Gerahamnya sampai bergemerutuk dengan
wajah merah padam.
"Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti Patih. Tidak peduli kapal
siapa yang akan jadi sasaran,"
lanjut tamtama itu lagi.
"Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang juga ke sungai Ular!"
perintah Patih Giling Wesi.
"Sendika, Gusti Patih," tamtama itu memberi hormat, lalu melangkah mundur.
Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya.
Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam. Dan betapa
terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika
suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi.
"Kang Mas...."
Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya, Rara Angken, berada di
kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak
sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya.
"Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada suaranya bergetar penuh
kecemasan. "Aku akan mencari Intan Kemuning," sahut Patih Giling Wesi.
'Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?"
"Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang membawa Intan Kemuning
dirampok oleh Gerombolan
Bidadari Sungai Ular."
"Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya. "Berdoalah pada Hyang Widi untuk
keselamatan anak kita," lembut suara Patih Giling Wesi.
"Intan, anakku...," Rara Angken tak kuasa lagi menahan air matanya.
"Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis.
Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang ganas, tapi firasatku
mengatakan bahwa Intan Kemuning masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji akan
membawa kembali anak kita," ujar Patih Giling Wesi sambil mengelus-elus kepala
dan bahu istrinya.
Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai di pipi.
"Aku pergi, Dinda," pamit Patih Giling Wesi setelah menarik napas panjang.
"Kang Mas...," lirih suara Rara Angken.
Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis.
Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar.
Sementara sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris
menunggunya di depan Pendopo.
Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi kekar ketika Patih Giling
Wesi tiba di depan Pendopo. Tanpa banyak basa-basi lagi, patih yang terkena!
pemberang itu segera melompat ke punggung kuda dengan gerakan yang lincah.
Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing.
Patih Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat diikuti oleh pasukannya.
Derap langkah kuda terdengar bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-
gulung. Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari benteng diiringi oleh mata
beberapa penjaga yang terkesima.
"Hiya...! Hiya...!" Patih Giling Wesi meng-geprak kudanya agar lebih kencang
lagi. Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari bagai anak panah melesat cepat
Kuda Patih Giling Wesi memang kuda pilihan. Tidak heran kalau para prajuritnya
tertinggal di bela-kang. Padahal mereka telah memacu kudanya secepat mungkin.
Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah penduduk, mereka lewati.
Semua orang yang berada di jalan segera menepi. Mereka terheran-heran melihat
banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya seperti akan perang.
Tiba kini sebuah kedai mereka lewati. Semua orang dalam kedai menoleh. Tetapi
yang terlihat hanya kepulan debu saja. Di antara pengunjung kedai, duduk tenang
seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi guci arak.
Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit kepatihan yang memacu kuda
dengan cepat itu. Padahal banyak orang dalam kedai bertanya-tanya dan menduga-
duga. Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang lusuh.
Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala burung
rajawali. Dia adalah Rangga,
Pendekar Rajawali Sakti.
"Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu," terdengar suara dari meja
tidak jauh dari tempat duduk Rangga.
Rangga melirik ke arah suara itu. Dua anak muda duduk menghadapi empat guci
arak. Dari pakaiannya dapat ditebak kalau mereka anak seorang bangsawan kaya.
Atau paling tidak anak saudagar.
'Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta. Pasti ada sesuatu yang gawat,"
sahut temannya.
"Mereka mencari putri Intan Kemuning!"
Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah
suara yang datang tiba-tiba itu. Ternyata seorang kakek tua mengenakan baju
compang-camping dengan tongkat merah menyangga tubuhnya. Kakek tua itu bersandar
pada tiang kedai. Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia adalah
Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tapi jarang yang tahu kalau nama sebenamya adalah
Aki Lungkur. Hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.
"Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!"
bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.
"He he he...," Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti Tongkat Merah itu hanya
terkekeh saja. Dia tahu siapa dua pemuda congkak itu. Mereka putra-putra para
punggawa kerajaan.
Yang memakai baju berwarna merah, bernama Hanggara. Sedangkan yang berpakaian warna hijau
bernama Rangkasa. Mereka hanya pemuda-pemuda yang besar mulut tanpa nyali
sedikit pun. Dan semua orang tahu siapa Intan Kemuning. Bunga Kepatihan yang
menjadi incaran dan impian putra-putra bangsawan dan punggawa kerajaan. Memang,
hilangnya Intan Kemuning belum tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.
"Kecongkakanmu
melebihi tingginya gunung, tapi matamu buta! Kau tidak bisa melihat kejadian di
sekelilingmu!" Aki Lungkur bergumam.
Merah padam wajah kedua pemuda itu. Jelas ucapan
Pengemis Sakti Tongkat Merah tertuju pada mereka.
'Tanyakan pada Gusti Rara Angken. Kalau kata-kataku salah, kalian boleh
memancung leherku. Tapi, kalau aku benar maka aku minta kalian membebaskan putri
Intan Kemuning dari sarang Bidadari Sungai Ular!"
Setelah selesai kata-katanya, Aki Lungkur dengan cepat melompat dan hilang dari
pandangan mata. Suara
menggumam terdengar bagai lebah ditepuk sarangnya.


Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanggara dan Rangkasa saling berpandangan. Kata-kata kakek tua tadi bisa jadi
ada benamya tetapi patut dipertanyakan pula.
Rasanya sulit dipercaya bila putri seorang patih yang terkenal dengan julukan
Singa Medan Laga bisa ditawan oleh gerombolan Bidadari Sungai Ular. Semua orang
tahu kalau hal itu benar-benar terjadi, maka gerombolan perompak itu bukan saja
berhadapan dengan para prajurit tetapi juga dengan tokoh-tokoh sakti dunia
persilatan. Patih Giling Wesi mempunyai banyak sahabat dari tokoh-tokoh rimba
persilatan. Maka kalau berita itu sampai tersebar luas, bukan tidak mungkin
mereka akan membantu Patih Giling Wesi.
Tanpa diketahui orang-orang di kedai, rupanya dua orang gerombolan Bidadari
Sungai Ular ada pula di kedai itu.
Mereka mendengar pembicaraan Aki Lungkur dan segera angkat kaki ketika kakek tua
itu menghilang.
"Kita harus laporkan segera pada Tuan Putri," bisik salah seorang.
"Benar, Kakang Badil," sahut temannya.
'Pacu kudamu dan kita ambil jalan pintas, Adi Gering!"
Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini keadaan kedai menjadi sunyi.
Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda
congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal Rangga sendirian masih
duduk menghadapi mejanya.
Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri.
'Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan.
"Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut Rangga.
Pak Tua itu duduk di depan Rangga.
*** Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda
berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur.
Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang dari gerombolan Bidadari
Sungai Ular. Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun
setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu.
Inilah markas gerombolan Bidadari Sungai Ular. Dengan tergesa-gesa Badil
menghampiri pintu dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka, kedua
tangan Saka Lintang telah berada di pinggang.
"Ada apa?" tanya Saka Lintang angkuh.
"Kami punya berita penting, Tuan Putri," kata Badil segera membungkukkan
badannya. "Katakan cepat!"
"Menyangkut..., Intan...," Badil setengah berbisik Matanya menerobos ke dalam.
Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia melangkah dua tindak'Tadi hamba berdua
minum-minum di kedai Pak Tua. Di situ hamba melihat serombongan prajurit berkuda
dipimpin langsung oleh Patih Giling Wesi," jelas Badil ketika Saka Lintang telah
berada di luar rumah.
"Lalu?" desak Saka Lintang sudah bisa menebak
"Di situ juga ada Pengemis Sakti Tongkat Merah. Si gembel Itu tahu kalau Intan
Kemuning ada di sini. Dia yang menyebar kabar itu, Tuan Putri," lanjut Badil.
"Kau takut?" cibir Saka Lintang.
"Tidak!" sahut Badil dan Gering bersamaan.
"Kalau begitu, siapkan semua yang ada. Sambut
kedatangan mereka!" perintah Saka Lintang tegas.
"Jumlah mereka banyak, Tuan Putri," kata Gering.
"Mereka hanya tikus!" bentak Saka Lintang. Dia mendengar nada cemas pada suara
Gering. "Hamba laksanakan, Tuan Putri," cepat-cepat Gering membungkuk. Dia tahu gelagat
kalau Saka Lintang sudah membentak keras.
Ketika kedua orang itu telah pergi, Saka Lintang bergegas masuk ke kamar
kembali. Dia menghampiri Intan Kemuning yang menunggu di balai tengah-tengah
ruangan. "Ada apa Kakak Lintang"' tanya Intan.
"Ada tikus yang mencoba masuk," jawab Saka Lintang lalu duduk di balai
berhadapan dengan Intan Kemuning.
'Tikus...?" Intan Kemuning belum mengerti.
"Yah..., tikus bodoh yang cari mampus!"
Intan Kemuning mulai mengerti. Yang dimaksud tikus tentulah orang. Bukan tikus
sebenarnya. Kadang-kadang dia harus berpikir lebih dulu untuk dapat mengerti.
Itulah Saka Lintang. Bukan hanya kata-katanya saja yang sulit dimengerti.
Sikapnya pun demikian. Kadang-kadang kasar, kadang-kadang lembut. Tapi di balik
kekasaran-nya, Intan Kemuning dapat melihat suatu pelampiasan kekesalan pada
Saka Lintang. Sebenarnya ingin sekali Intan bertanya. Tapi setiap kali akan bertanya, di saat
itu pula niatnya diurungkan. Dia takut Saka Lintang tersinggung. Intan Kemuning
harus bisa menjaga diri dan berbuat apa saja yang dikehendaki Saka Lintang.
"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Saka Lintang risih dipandangi terus.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Intan Kemuning tergagap.
"Aku..., aku heran saja."
"Apa yang kau herankan?" tanya Saka Lin?tang.
"Kakak Lintang," pelan suara Intan Kemuning.
"Aku..." Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak
Intan Kemuning makin bingung melihat Saka Lintang tertawa terbahak-bahak.
Padahal kata-katanya tidak ada yang lucu. Kenapa dia sampai tertawa gelak
seperti itu"
Namun dalam tawa itu, Intan Kemuning menangkap
semacam kegetiran yang ditutup-tutupi di wajah Saka Lintang.
"Sudahlah, tidak usah memikirkan aku! Yang penting, sekarang giatlah berlatih.
Aku lihat jurus-jurus pukulan tangan kosongmu sudah mantap. Perdalamlah lagi
agar lebih sempurna," ujar Saka Lintang setelah reda tawanya.
Intan Kemuning hanya mengangguk.
"Nah, berlatihlah sekarang!" perintah Saka Lintang.
"Kakak Lintang mau ke mana?" tanya Intan Kemuning ketika Saka Lintang turun dari
balai. "Ke luar! Aku akan kembali lagi jika kau sudah selesai berlatih," sahut Saka
Lintang. "Ingat, setelah kau selesai latihan tenaga dalam, bersemadilah!"
Intan Kemuning mengangguk kembali. Saka Lintang
melangkah dan menoleh sebentar pada Intan Kemuning.
Bibirnya tersungging melihat Intan Kemuning mulai berlatih.
Sebentar matanya mengawasi keadaan sebelum menutup pintu, lalu keluar.
Saka Lintang melenting tinggi lalu membuat gerakan berputar beberapa kali di
udara dan hinggap dengan manis di atap rumah. Pandangannya berkeliling. Bibirnya
tersenyum melihat anak buahnya telah siap menanti datangnya para prajurit
kepatihan. Mata Saka Lintang menatap lurus ke depan. Tampak sekitar sepuluh orang berjalan
menuju sungai Ular dipirhpin oleh Codet. Di belakang mereka, berjalan sepuluh
orang dipimpin oleh Badil dan sepuluh orang lagi dipimpin oleh Gering. Lima
belas orang berjaga-jaga di markas mereka.
Saka Lintang sedikit kagum pada Codet yang pandai mengatur anak buahnya.
Dengan gerakan indah, Saka Lintang melompat turun.
Saat kakinya mendarat di tanah, kembali dilentingkan tubuhnya dan hinggap di
atas punggung kudanya. Segera dia menggebrak kudanya lalu melesat cepat menuju
ke sungai Ular yang tidak jauh dari lereng bukit Guntur markas Saka Lintang
sekarang ini. Sungai Ular memang indah dipandang, namun menyimpan keganasan yang
luar biasa. Sebentar saja Saka Lintang telah sampai di sungai Ular mendahului anak buahnya.
Matanya yang bulat bening memandang sekitar sungai yang tenang. Setenang
sikapnya saat ini.
Codet menggerak-gerakkan tangannya ke atas ketika mereka telah sampai di sungai
itu. Dengan seketika anak buahnya berpencar masuk ke dalam semak-semak dan ke
balik bongkahan-bongkahan batu. Kini di tepi sungai tersisa empat orang. Mereka
semua memang terlatih baik dalam menguasai daerah sekitar sungai Ular. Maka
dalam sekejap saja tidak ada orang yang terlihat. Mereka bagaikan lenyap ditelan
bumi. Pandai menyamarkan diri dengan alam!
"Dengar...!" seru Saka Lintang tiba-tiba.
"Suara kuda," gumam Codet.
"Hm, siapa dia," gumam Saka Lintang.
*** Suara kaki kuda kuda makin jelas terdengar. Saka
Lintang mengerutkan keningnya. Dia hanya mendengar langkah dari satu ekor kuda
saja. Matanya langsung melirik Badil.
"Hamba akan menyongsong, Tuan Putri!" ujar Badil mengerti maksud lirikan Saka
Lintang. Badil dengan cepat melompat ke kudanya. Segera
digebahnya kuda itu. Dengan cepat kuda yang ditunggangi Badil sudah tidak
terlihat lagi. Lenyap di balik rimbunan pepohonan. Badil memacu kudanya menuju
arah datangnya suara kaki kuda.
Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya melontar tinggi.
Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan
seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda yang
ditunggangi seorang pemuda.
Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya.
"Kala Srenggi," desis Badil mengenali penunggang kuda itu.
Badil menunggu beberapa saat sampai Kala Srenggi mendekat. Kemudian dia meloncat
turun ketika Kala Srenggi tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Kala Srenggi
dengan tangkas melompat dari kudanya ketika merasakan ada penyerang gelap dari
atas. Pedang Badil segera membabat namun luput Dia
kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar
pedang. Yang didapati hanya tempat kosong saja,
"Licik!" dengus Kala Srenggi ketika kakinya menjejak di tanah.
"Kau juga lebih licik dariku, Kala Srenggi," balas Badil.
"Siapa kau"' tanya Kala Srenggi yang heran melihat penyerang gelapnya tahu
tentang dirinya.
"Aku Badil. Macan Gunung Sinai!" sahut Badil angkuh.
"Hm..., Macan Gunung Sinai sampai nyasar ke bukit Guntur," gumam Kala Srenggi
mencibir. "Ada urusan apa kau datang ke sini?" tanya Badil.
"Aku hanya lewat," jawab Kala Srenggi acuh.
"Tidak seorang pun diijinkan masuk ke bukit Guntur!"
"He! Sejak kapan aku...." Kala Srenggi belum menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Badil telah menyerang dengan cepat. Kala Srenggi agak kewalahan menghindari serangan-
serangan pedang Badil yang cepat dan berbahaya. Macan Gunung Sinai memang bukan
nama kosong, dan Kala Srenggi tahu itu. Dengan cepat dia bersalto di udara.
Tangannya segera menarik pedang
kembarnya. Sret! Traaang!
Dua pedang berbenturan di udara. Pijaran api akibat benturan
pedang berlompatan bersamaan dengan terpentalnya dua orang itu. Mereka memang bukan orang sembarangan. Tanpa
kesulitan apa-apa, kaki mereka telah menjejak di tanah dengan lincah.
Dua orang itu sama-sama kaget dan sama-sama
merasakan kesemutan setelah pedang mereka beradu. Kini mereka sama-sama
menyiapkan jurus-jurus selanjutnya.
Sambil berteriak nyaring, mereka kembali terlibat dalam pertarungan
sengit. Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Namun sampai lima jurus berlalu, belum ada yang terdesak. Memasuki
jurus selanjutnya masih tetap seimbang. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir
menemui sa-saran satu sama lain. Namun semuanya masih dapat dihindari.
Hingga pada suatu ketika, Kala Srenggi melompat
mundur sejauh dua tombak sambil memasukkan pedang kembar ke sarung di
punggungnya. Kini dikeluarkannya 'Aji Racun Merah". Melihat lawan tengah
mengerahkan ilmu andalan, Badil pun tak ketinggalan dengan ilmu andalannya pula.
Mereka sudah saling berhadapan siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.
"Hiya...!"
"Hiya...!"
Kedua orang itu melompat berbarengan. Kini kedua telapak tangan mereka bertemu
di udara. Ledakan keras terjadi, disusul dengan terpentalnya dua tubuh. Kala
Srenggi jatuh bergulingan di tanah beberapa depa.
Sedangkan Badil tidak kalah parah. Dari hidung dan mulutnya ke luar darah.
"Uhk!" Badil memuntahkan darah merah kehitaman.
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Badil berusaha bangkit. Tubuhnya
sempoyongan. Sementara Kala Srenggi juga berusaha berdiri. Dari sudut bibimya
mengalir darah segar. Tangan kirinya menghitam terkena ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan
Badil. "Setan! Salah satu di antara kita harus mampus!" geram Kala Srenggi.
"Huh!" Badil hanya mendengus.
Badil sadar kalau tubuhnya telah dialiri 'Racun Merah'
dan hidupnya tak akan bertahan lebih lama lagi. Kala Srenggi pun demikian. Dia
terluka parah. Mereka sama-sama kepalang basah. Kembali ajian masing-masing
mulai mengarah satu sama lain.
"Berhenti!" tiba-tiba suara bentakan melengking nyaring.
Namun terlambat! Kedua orang itu sudah kembali
melompat dan beradu di udara. Kala Srenggi lagi-lagi bergulingan di tanah. Dari
mulutnya menyembur darah kental kehitaman. Dia berusaha bangun, tetapi malah
jatuh dan tak bergerak sama sekali. Mati. Kedua tangannya seperti hangus
terbakar. Di pihak Badil, lebih mengerikan. Dia tergeletak dengan dada pecah. Darah
bersimbah membasahi tubuhnya. Badil tewas seketika setelah tubuhnya tenanting di
tanah. Sebuah bayangan biru berkelebat dan mendarat di
tengah-tengah arena pertarungan tadi. Dia adalah Saka Lintang, kemudian disusul
oleh Codet dan Gering. Kedua orang itu terkejut melihat Badil tewas dengan dada
pecah. Saka Lintang malah tenang-tenang saja.
"Hm, Kala Srenggi," gumam Saka Lintang.
Gadis itu mengayunkan langkahnya mendekati mayat Kala Srenggi. Sebentar diamati
dan dengan ujung kakinya dibalikkan tubuh Kala Srenggi. Tampak di bagian dadanya
hangus terbakar. Tidak ada luka di tubuhnya. Juga tidak ada tanda-tanda Kala
Srenggi masih hidup.
Saka Lintang mengambil ranting, lalu menekan dada Kala Srenggi dengan ranting.
Terkejut juga Saka Lintang ketika melihat dada Kala Srenggi yang mendadak ambrol
setelah tersentuh ranting. Bagai ditiup angin saja! Dada Itu
kini berlubang besar tembus sampai ke punggung. Sungguh dahsyat ajian 'Macan
Gunung' yang dilepaskan Badil.
"Bagaimana?" tanya Saka Lintang menoleh pada dua anak buahnya.
"Mati," sahut Codet.
"Kuburkan kedua mayat ini," perintah Saka Lintang.
'Tidak ada waktu, Tuan Putri. Sebentar lagi gelap," sahut Codet.
"Kalau begitu, tinggalkan saja di sini!"
Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan dua sosok mayat yang tergeletak di
tanah. Sungguh tragis nasib mayat-mayat
itu. Tak ada seorang pun

Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedia menguburkannya. Tetapi untungnya, Gering yang setiap hari selalu bersama-sama
dengan Badil merasa tidak tega juga terhadap mayat temannya itu. Dia kembali
lagi lantas menggali tanah.
Saka Lintang hanya melirik, kemudian melanjutkan langkahnya. Toh tadi dia juga
sudah memerintahkan untuk mengubur mayat itu. Kini malah Codet yang bimbang. Dia
hanya berdiri dengan pandangan berganti-ganti dari Saka Lintang ke arah Gering
yang tengah menggali dengan pedangnya.
'Tuan Putri...," agak bergetar suara Codet.
Saka Lintang membalikkan tubuhnya.
"Tidakkah...."
"Bantu dia!" potong Saka Lintang cepat sambil menunjuk pada Gering.
Tanpa menghiraukan Codet lagi, Saka Lintang melangkah cepat.
Codet bergegas mengham-\piri Gering dan membantu menguburkan mayat Badil.
'Terima kasih," ucap Gering.
'Tuan Putri yang memerintahku," sahut Codet.
Gering menatap Saka Lintang yang hanya terlihat
bayangan bajunya saja di antara pepohonan. Sampai selesai menguburkan Badil,
mereka belum bicara. Gering
menatap mayat Kala Srenggi.
"Biarkan saja dia jadi santapan anjing hutan!" kata Codet Gering mengangkat
bahunya. Mereka memang tidak
pernah mengurus mayat musuh. Kini dengan hati lega; mereka tinggalkan tempat
itu. Meninggalkan salah seorang teman yang kini terbaring di dalam tanah.
*** 3 Matahari baru saja menampakkan diri. Sinarnya
membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya
dengan lesu. Semalaman dia mencari di sekitar sungai Ular, tapi tidak sedikit
pun jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan.
"Rapaksa!"
"Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera mendekat.
"Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata Patih Giling Wesi.
"Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras.
Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing.
Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka
perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya lalu menghampiri
sebuah batu besar yang menjorok ke sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke
arah sungai yang berliku.
Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-tiba datang seorang
prajurit berlari-lari menghampirinya.
Didekatinya Patih Giling Wesi.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda
keprajuritan di pinggir sungai," kata prajurit itu sambil menyerahkan sebuah
kalung tanda keprajuritan.
Patih Giling Wesi lantas menyambar kalung itu. Matanya mengamati sebentar. Ada
noda darah melekat di kalung itu.
Berarti telah terjadi sesuatu pada kapal itu. Dan yang jelas kejadiannya di
sungai Ular ini!
"Rapaksa!" teriak Path Giling Wesi.
Rapaksa berlari menghampiri. Dia segera memberi
hormat setelah tiba di depan Path Giling Wesi.
"Siapkan prajurit!" perintah Patih Giling Wesi.
Rapaksa belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar
teriakan dan disusul dengan rubuhnya lima orang prajurit.
Dada mereka tertancap tombak. Serentak para prajurit yang lain bersiaga.
Patih Giling Wesi cepat melompat ke arah lima
prajuritnya yang tewas. Dia mencabut sebatang tombak dari salah seorang
prajuritnya yang sudah tidak bergerak itu.
Sebuah tombak berwarna biru dengan tangkai berukir huruf yang rapi dan indah.
"Bidadari Sungai Ular," desis Patih Giling Wesi
"Rupanya ada tamu agung berkenan mengunjungi wilayahku!"
Patih Giling Wesi dan para prajuritnya terkejut
mendengar suara yang tinggi menggema dibarengi
pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Rasa terkejut mereka belum juga hilang
ketika tiba-tiba muncul seorang wanita cantik mengenakan pakaian serba biru. Dia
tidak lain adalah Saka Lintang. Dengan angkuh dia berdiri di atas batu tempat
Patih Giling Wesi tadi beristirahat.
"Siapa kau"!" bentak Patih Giling Wesi.
"Bidadari Sungai Ular!" jawab Saka Lintang mantap.
"Setan! Kembalikan putriku!" geram Patih Giling Wesi.
"Ha ha ha..., tidak semudah itu patih yang gagah."
"Adya Bala!" teriak Patih Giling Wesi memberi aba-aba.
Begitu prajurit bersiap, seketika itu pula dari rimbunan semak dan dari balik
bongkahan batu, bermunculan orang-orang yang semuanya ber-seragam biru. Mereka
semua telah siap dengan senjata di tangan. Patih Giling Wesi makin geram
menyadari keadaannya telah terkepung.
Dua kelompok itu hampir seimbang jumlah-nya.
Kelihatannya prajurit Kepatihan lebih banyak. Tapi bukan berarti
mereka bisa dengan mudah mengalahkan
gerombolan ini. Mereka semua memiliki tingkat kepandaian rata-rata di atas para
prajurit pilihan sekali pun.
"Intan Kemuning akan kukembalikan pada saatnya nanti.
Percuma saja kau kerahkan seluruh prajurit! Mereka hanya
mengantar nyawa ke tempat ini!" ujar Saka Lintang pongah.
"Kalian perompak liar, dan harus dimusnahkan!" geram Patih Giling Wesi.
"Tidak semudah itu, Patih gagah," kata Saka Lintang meremehkan.
Sudah tak tertahankan lagi amarah Patih Giling Wesi.
Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan putrinya.
Segera diperintahkan prajuritnya untuk menyerang. Maka pertempuran pun
berlangsung sengit. Bunyi senjata beradu dan teriakan-teriakan pertempuran
terdengar membahana.
Patih Giling Wesi tak ketinggalan dengan cepat melompat menerjang Saka Lintang.
Tetapi belum sampai dekat Saka Lintang, sebuah bayangan berkelebat menghadang.
"Huh! Sontoloyo!" dengus Patih Giling Wesi. Gering berdiri dengan pedang
terhunus. Kalau saja bukan Patih Giling Wesi, mungkin kepalanya sudah terpisah
dari badan tersambar pedang Gering yang berkelebat cepat. Patih Giling Wesi
tidak membuang-buang waktu lagi. Dia menerjang dengan jurus-jurus mautnya. Namun
yang dihadapinya adalah Gering yang cukup tinggi ilmunya.
Tidak heran kalau Gering dapat mengimbangi permainan pedang Patih Giling Wesi.
Bahkan beberapa kali dia dapat membalas serangan itu. Sementara itu pertarungan
semakin sengit.
Beberapa prajurit telah banyak yang roboh. Sedang dari pihak Bidadari Sungai
Ular, belum ada satu pun yang tewas.
Jerit-jerit kematian makin sering terdengar menyayat dari pihak prajurit.
Patih Giling Wesi berteriak melengking dan merubah permainan pedangnya. Yang
terlihat kini hanya bayang-bayang pedang yang bergulung-gulung menyelimuti tubuh
Gering. Menyadari lawan telah menggunakan jurus yang ampuh, Gering pun segera
merubah jurusnya pula.
Pertarungan makin seru dan tak terlihat lagi oleh mata biasa. Tubuh mereka
seperti lenyap ditelan gulungan sinar
pedang yang menimbulkan suara bersiutan.
"Aaaakh...!" tiba-tiba Gering berteriak memekik.
Ketika tubuhnya keluar dari gulungan sinar pedang, dada telah basah oleh darah.
Rupanya ujung pedang Patih Giling Wesi telah mengenai sasarannya. Di saat yang
genting itu, tiba-tiba Codet menerjang masuk. Gering segera mundur sambil
menekap dadanya yang robek.
"Kau akan bernasib lebih buruk dari temanmu!" dengus Patih Giling Wesi.
"Sebaliknya kau akan kukirim ke neraka!" sembur Codet.
"Majulah, setan!" geram Patih Giling Wesi. Codet mencabut golok besarnya.
Kelihatannya, golok itu berat sekali. Namun ketika berada di tangan Codet
seperti ringan saja. Benda tajam itu berkelebat cepat dan mengarah ke bagian-
bagian tubuh Patih Giling Wesi.
Serangan-serangan yang dibangun Codet memang lebih dahsyat dan berbahaya
dibandirig Gering. Patih Giling Wesi harus lebih hati-hati lagi. Dia merasakan
angin sambaran golok lawannya menimbulkan hawa panas.
Di luar arena pertarungan, Saka Lintang hanya
mengamati saja sambil bibimya menyungging senyum.
Tampaknya prajurit-prajurit Kepatihan makin kewalahan dan terdesak. Jumlah
mereka makin berkurang. Sedang dari pihaknya, hanya dua yang tewas. Hanya Gering
yang kelihatan terluka parah dan kini dirawat oleh anak buah Saka Lintang. Gadis
ini cukup memaklumi keadaan Gering karena lawannya memang tangguh.
Kedudukan Codet pun kelihatan makin kewalahan. Saka Lintang sudah bisa menduga
kalau sebentar lagi Codet akan jatuh.
Gerakan-gerakan Codet makin ngawur. Sementara Patih Giling Wesi terus mendesak
dengan penuh nafsu. Hingga pada suatu kesempatan....
"Aaaakh.,.!" Codet menjerit keras. Tepat seperti dugaan Saka Lintang.
Pedang Patih Giling Wesi berhasil menembus dada
Codet. Darah segar segera muncrat ketika pedang itu ditarik ke luar. Codet
limbung sebentar, lalu ambruk tak berkutik.
Patih Giling Wesi dengan cepat melompat ke tengah-tengah prajurit-prajuritnya
yang sedang kewalahan menerima gempuran yang datang bagai air bah. Prajurit
Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya.
Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta.
Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah.
Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali
melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka.
Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang
singkat. Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat,
sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun
kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin.
Dia cepat membaca
gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan
dengan cepat mendahuluinya.
Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Saka
Lintang jadi geram. Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar
saja, dua puluh mayat sudah menggeletak.
'Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!" teriak Saka Lintang.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara dan menghadang serangan Patih
yang mengamuk. "Huh!"
Patih Giling Wesi mendengus sambil menyemburkan ludahnya.
Seketika pertempuran terhenti. Masing-masing kelompok melompat mundur. Mereka
seperti memberi peluang bagi masing-masing pemimpin untuk berlaga. Patih Giling
Wesi menatap tajam pada Saka Lintang yang sudah menghunus pedangnya.
"Serahkan anakku, atau kau harus mati di ujung pedangku!" dengus Patih Giling
Wesi. "Aku tidak akan membunuhmu, Patih Giling Wesi. Aku hanya ingin memberirnu
sedikit pelajaran agar kau tidak lagi pongah!" kalem dan tenang sekali suara
Saka Lintang. "Bocah setan!" geram Patih Giling Wesi merasa terhina.
"Ha ha ha..., putrimu yang cantik akan jadi ratu setan!"
dia langsung menyerang dengan jurus-jurus berbahaya.
Saka Lintang melayaninya sambil tertawa -tawa. Sejak tadi sudah diperhatikannya
jurus-jurus Patih Giling Wesi. Dia telah tahu kelebihan dan kelemahannya.
Saka Lintang sengaja tidak membalas serangan lawan.
Dia hanya menghindar dan menangkis dengan gerakan-gerakan indah memukau.
Patih Giling Wesi memang tangguh dalam olah
keprajuritan. Tetapi dalam menghadapi tokoh rimba persilatan seperti Saka
Lintang ini, dia harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Semua serangan-
serangannya, mentah dan rontok di tengah jalan oleh gadis ini. Patih Giling Wesi
mulai merasa sulit menghadapi.
Mengingat dirinya adalah seorang patih yang disegani, Patih Giling Wesi tidak
mau menyerah begitu saja.
Dirubahnya serangan dengan menggunakan jurus-jurus andalan. Dan memang, kali ini
Saka Lintang tidak main-main lagi. Jurus yang digunakan patih ini memang
dahsyat, penuh gerak tipu yang berbahaya. Sedikit saja lemah, akibatnya sangat
fatal. "Awas kepala!" teriak Saka Lintang tiba-tiba.
Patih Giling Wesi terkejut Cepat-cepat dia menggerakkan pedangnya melindungi
kepala. Tapi tak disangka-sangka, gerakan yang menyambar kepala hanya tipuan
belaka. Sedangkan sasaran sesungguhnya adalah perut. Dengan cepat pedang Saka Lintang
berputar mengarah ke perut yang lowong. Untung Patih Giling Wesi cepat menarik
pedangnya. Trang!
Dua pedang berbenturan tepat di depan perut Patih Giling Wesi. Terlambat sedikit
saja, perut itu pasti sobek.
Dalam hati, Saka Lintang mengakui kehebatan patih ini.
Tiga puluh jurus telah berlalu, tapi kelihatannya belum ada seorang pun yang
terdesak. Mereka masih seimbang meskipun telah mengeluarkan jurus-jurus pedang
tingkat tinggi.
*** Pertarungan antara Patih Giling Wesi dengan Saka
Lintang telah meningkat pada taraf yang genting. Seratus jurus telah berlalu
dengan cepat. Masing-masing belum ada yang terdesak. Semula Saka Lintang menduga
kalau kepandaian Patih Giling Wed berada jauh di bawahnya.
Kenyataannya sangat tak disangka sama sekali. Patih Giling Wesi belum
mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Saka Lintang kini meningkatkan permainan jurus-
jurusnya. Kombinasi antara ilmu pedang dengan jurus
'Pukulan Geledek' yang dikeluarkannya kini, sangat dahsyat.
Selain pedang yang menyambar-nyambar, pukulan tangan kiri Saka Lintang juga
mencari sasaran. Semua sama-sama dahsyat. Batu-batuan dan pohon-pohon yang
terkena pukulannya, langsung hancur berkeping-keping.
Sedangkan Patih Giling Wesi juga sudah mengeluarkan kesaktiannya. Dengan 'Ajian
Sayuti Angin', Patih Giling Wesi dapat bergerak melebihi kecepatan angin topan.
Tebasan dan tusukan pedangnya makin berbahaya dan menimbulkan tenaga dorongan yang dahsyat.
Batang-batang pohon segera tumbang terkena tebasan pedang Patih Giling Wesi.
Daun-daun segera berguguran terkena
sambaran angin kelebatan pedang yang menimbulkan suara gemuruh bagai angin puting beliung.
"Setan! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Saka Lintang dalam hati.
Setiap kali pedangnya membentur pedang Patih Giling Wesi, tangan Saka Lintang
selalu bergetar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Sedapat mungkin
dihindarinya benturan senjata. Tapi....
Trang! Trak!

Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saka Lintang melompat mundur dengan wajah terkejut.
Bagian ujung pedangnya sempal. Tangannya seperti dijalari jutaan semut yang
menggigit. Perih dan bergetar ke seluruh persendian tangannya. Buru-buru gadis
itu memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Dan kini dia telah siap dengan jurus
'Tarian Bidadari'.
Gerakan-gerakan tubuh Saka Lintang jadi berubah. Dia seperti menari. Meliuk-liuk
dengan indahnya dengan tangan bergerak-gerak lemah gemulai. Matanya mengerling
genit disertai gerak-gerak bibir yang mengundang birahi.
Sesaat Patih Giling Wesi terpana. Hatinya mendadak bergetar melihat tubuh indah
meliuk-liuk dan sikap yang mengundang birahi. Namun tiba-tiba, dengan cepat dan
tak terduga sama sekali, tangan kanan Saka Lintang melayang mengarah dadanya.
Patih itu terkejut bukan kepa-lang.
"Setan!" dengus Patih Giling Wesi dengan cepat melompat sambil membabatkan
pedangnya. "Ah!" Saka Lintang memekik manja.
Tangannya yang sudah terulur cepat, dengan lembut ditarik. Dan.... Sulit
dipercaya! Pedang yang sudah sedernikian dekat tangan Saka Lintang yang bergerak
lemah, tidak bisa membabat-nya putus. Bahkan lewat begitu saja. Padahal tebasan
pedang patih itu sangat cepat.
Tidak sebanding dengan gerakan tangan yang lemah itu!
Patih Giling Wesi segera menyadari kalau gerakan lemah gemulai yang mengundang
birahi itu sangat berbahaya dan dapat mematikan lawan. Patih itu berusaha untuk
tidak terpengaruh pada setiap gerakan tubuh yang indah itu.
"Mampus kau!" bentak Patih Giling Wesi kembali melancarkan serangan mautnya.
"Ouw!" Saka Lintang hanya mendesah manja sambil menggerakkan tubuh dengan indah.
Serangan Patih Giling Wesi yang bertubi-tubi mengarah pada bagian-bagian yang
mematikan. Tetapi serangan dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Saka
Lintang. Patih Giling Wesi memutar otak, mencari kelemahan jurus aneh yang
dimainkan lawannya itu.
Setiap kali pedangnya berkelebat dan dipastikan akan menebas lawan, namun dengan
manis Saka Lintang
berhasil mengelak. Ujung pedang patih itu hanya
menyerempet beberapa rambut saja. Itulah kelebihan dari jurus Tarian Bidadari
yang membuat lawan jadi frustasi karena mengira serangannya berhasil.
"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih Giling Wesi.
Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus menghadapi jurus aneh itu,
dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan
Saka Lintang begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak teratur karena
terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih Giling Wesi menekan nafsu birahinya
yang semakin berkobar-kobar.
"hey! Uts!"
Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus gemulai itu mendadak hampir
menepuk pundaknya. Untung saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan
sehingga tepukan tangan Saka Lintang berhasil dihindari.
Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya. Patih Giling Wesi
merasakan suatu hawa panas menyebar. Seketika dia tersentak kaget.
"Racun...!" desisnya.
Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa mumi ke seluruh tubuhnya. Belum dapat
dipastikan racun itu berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat
dirasa. Mendadak kepala Patih Giling Wesi terasa pening.
Secara tidak langsung, dia telah menghirup hawa racun yang disebar oleh telapak
tangan Saka Lintang.
Hawa murni itu telah menutup seluruh aliran darahnya.
Perlahan- lahan rasa pening di kepala berkurang. Tubuhnya jadi terasa hangat.
Patih Giling Wesi membuka lagi jalan darahnya setelah terasa racun yang terhisap
tadi telah keluar dari tubuhnya.
Patih Giling Wesi menatap Saka Lintang yang berdiri tenang dengan bibir
menyungging senyum memikat. Dalam hati Patih Giling Wesi mengatakan bahwa tidak
mungkin bertarung sambil menutup jalan darah dan mengerahkan hawa murni. Tetapi
kalau tidak begitu, racun bakal terhisap lagi! Untuk menutup jalan darah dan
mengerahkan hawa murni juga terlalu besar resikonya. Bisa-bisa malah mati karena
di dalam tubuh terjadi pertentangan dua hawa yang ber-lainan.
"Jalan satu-satunya harus menahan panas. Ya, menahan napas!" bisik hati Patih
Giling Wesi. Tapi apakah mampu menahan napas sambil bertarung"
Kalau hanya sepuluh jurus saja dia masih mampu. Tetapi lewat dari sepuluh,
rasanya tidak mungkin. Patih Giling Wesi seperti kehilangan akal dalam
menghadapi lawannya kali ini.
Sementara Saka Lintang telah mulai lagi dengan jurus
'Tarian Bidadari'. Di saat Patih Giling Wesi dalam kebingungan, mendadak sebuah
blsikan lembut terdengar di telinganya. Bisikan yang entah datang dari mana.
Sepertinya suara itu begitu dekat dan jelas. Patih Giling Wesi tidak dapat
berpikir lebih banyak lagi. Yang jelas bisikan itu mengatakan tentang kelemahan
jurus 'Tarian Bidadari'.
*** "Jangan hiraukan tangannya, tetapi pandanglah matanya.
Arahkan pedang pada pusarnya," jelas bisikan itu.
Tanpa ragu-ragu lagi, patih itu segera menatap mata Saka Lintang. Pedangnya
terhunus ke arah pusar.
"Ikuti setiap gerak kakinya," terdengar lagi bisikan itu.
Patih Giling Wesi segera bergerak mengikuti setiap gerakan kaki Saka Lintang.
Dan benar saja, baru dua petunjuk saja, kelihatan Saka Lintang mulai
kebingungan. Namun semuanya tertutupi oleh gerakan-gerakan lemah gemulainya.
"Pusatkan napas pada perut. Hembuskan melalui mulut,"
bisikan itu terdengar lagi.
Mudah dan sederhana sekali petunjuk yang diberikan sehingga Patih Giling Wesi
dengan cepat memahaminya.
Hatinya gembira. Semangat timbul lagi. Dia sudah mulai merasakan kalau Saka
Lintang menemui kesulitan.
Setiap gerakan Saka Lintang selalu dapat dibaca
olehnya. Saka Lintang mulai sulit menebarkan racun lewat pukulannya. Kian lama
gerakannya menjadi kacau, tidak beraturan. Bahkan beberapa kali ujung pedang
Patih Giling Wesi hampir menembus perutnya.
"Ih!" Saka Lintang terkejut ketika ujung pedang patih itu berhasil merobek baju
bagian perutnya.
Merah pada wajah gadis itu menahan malu. Cepat-cepat ditutupinya bagian yang
terbuka itu. Cukup besar sayatan menggores bajunya. Saka Lintang segera melompat
mundur. Dia jadi geram karena kelemahan jurus
andalannya terbaca lawan.
Patih Giling Wesi makin gembira karena merasa di atas angin. Rupanya gerakan-
gerakan lemah lembut Saka Lintang harus dihadapi pula dengan gerakan yang lemah
sedikit kaku. Untuk bisa melakukannya, digunakan pernapasan perut di samping
memandang mata lawan.
Sedangkan pada bagian perut yang terbuka, sering luput dari perhatian. Mungkin
karena lawan telah terpengaruh oleh gerakan-gerakan yang mengundang syahwat itu,
hingga jadi lupa terhadap daerah lowong itu. Dalam menghadapi Patih Giling Wesi,
Saka Lintang kali ini memang menelan pil pahit. Dia sama sekali tidak tahu kalau
patih itu mendapat petunjuk dari bisikan misterius yang hanya dapat didengar
oleh patih itu sendiri.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, biar lebih cepat kau kukirim ke neraka!" dengus
Patih Giling Wesi.
Saka Lintang hanya mendengus saja. Kini disiapkannya jurus andalannya yang
terakhir. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
"Huh! Ilmu setan mana lagi yang digunakannya"!" dengus Patih Giling Wesi.
Gerakan-gerakan yang diperlihatkan memang aneh.
Kadang lambat, tetapi segera berubah cepat. Sebentar dia melompat, kemudian
merayap cepat menyusur tanah.
Mulutnya mendesis bagai ular.
"He he he...!"
Suara terkekeh tiba-tiba terdengar menggema dari segala penjuru. Kemudian muncul
seorang kakek tua mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah di
tangannya. "Ular harus dilawan dengan tongkat!" kata kakek tua yang tidak lain adalah
Pengemis Sakti Tongkat Merah atau Aki Lungkur.
"Aki Lungkur...," desis Patih Giling Wesi. Seketika dia menduga kalau kakek tua
inilah yang membisikkannya tadi.
"Adi Patih Giling Wesi, mundurlah. Dia bukan lawanmu,"
kata Aki Lungkur tanpa mengecilkan kepandaian patih itu.
Patih Giling Wesi pun mundur dua tindak. Dia sudah tahu siapa kakek tua itu.
Tingkat kepandaiannya memang sulit diukur. Patih Giling Wesi sangat
menghormatinya meski dia hanya seorang yang lebih mirip pengemis.
"Selamatkan putrimu di bukit Guntur," kata Aki Lungkur lagi.
"Bedebah! Kakek busuk, jangan campuri urusanku!"
bentak Saka Lintang geram.
"Cepatlah berangkat! Jangan buang-buang waktu lagi,"
kata Aki Lungkur tanpa mempedulikan bentakan Saka Lintang.
"Baik, Aki. Hati-hatilah," sahut Patih Giling Wesi.
"He he he...," Aki Lungkur terkekeh lagi.
Tanpa mendapat peringatan pun, Aki Lungkur tahu siapa lawan yang dihadapinya
kini. Seorang gadis, anak angkat Geti Ireng. Tentulah kepandaiannya tidak bisa
dianggap enteng.
Terbukti Patih Giling Wesi tidak mampu menandinginya. Patih Giling Wesi segera berangkat. Bersama prajurit-prajuritnya dia menuju
bukit Guntur. Melihat keadaan yang tidak
menguntungkan itu, Saka Lintang segera memerintahkan anak buahnya menghalangi para prajurit Kepatihan itu. Tanpa
dikomando lagi, mereka langsung menyerang para prajurit yang belum pergi jauh
itu. *** Pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda berbaju
rompi putih berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil bersiul-siul. Dari
gagang pedang yang menempel di punggungnya dapat diketahui kalau pemuda itu
adalah Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Rangga terus melenggang.
Kepalanya tergeleng-geleng begitu mendengar suara berkeresek. Suara siulannya
berhenti. Bibirnya menyungging senyum.
"1..., 2..., 3.... Ah, hanya 15," gumam Rangga menghitung.
Rangga masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya telah memasuki daerah
markas Bidadari Sungai Ular.
Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah kaki tersembunyi. Dan kini
telah mengepung dirinya.
"Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali Rangga
bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya.
Rumah beratap rurnbia itu bertengger di kaki lereng yang cukup terjal. Tidak
terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan, mendadak dari rimbunan semak-semak
bermunculan orang-orang berpakaian serba biru dengan senjata terhunus.
"Berhenti!" bentak salah seorang dengan keras.
"Waduh, galak sekali," Rangga berlagak kaget.
"Siapa kau" Apa maksudmu datang ke sini?" tanya orang yang membentak tadi. Dia
salah seorang kepercayaan si Bidadari Sungai Ular. Namanya Jambak.
"Aku hanya pengembara dan kebetulan lewat sini," jawab Rangga kalem.
'Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan ini!" kata Jambak galak.
"Lho, kenapa?" Rangga berlagak dungu.
"Jangan banyak tanya. Ayo, kembali! Atau tubuhmu kujadikan dendeng!" ancam
Jambak. "Wuih! Sadis sekali."
"Pergi!" bentak Jambak keras.
Rangga hanya tersenyum saja. Diayunkan langkahnya.
Tanpa peduli Rangga meneruskan perjalanannya. Jambak jadi gusar karena kata-
katanya tidak digubris sama sekali.
Dia segera melompat dengan ilmu peringan tubuhnya.
Pedangnya terayun cepat mengarah kepala Rangga. Namun tebasan pedang itu hanya
mengenai angin.
"Teman-teman, serang keparat ini!" perintah Jambak.
Seketika empat belas orang temannya dengan cepat mengurung Rangga sambil
berteriak-teriak mengacungkan senjata. Rangga hanya tersenyun. Digenjot kakinya,
dan dengan cepat tubuhnya melenting di udara. Bagaikan terbang saja, Rangga
melayang menuju rumah kayu di tebing bukit.
Kelima belas orang itu hanya melongo. Jambak yang memiliki kepandaian cukup
tinggi, segera memerintahkan
teman-temannya mengejar. Dia sendiri berlompatan dengan bantuan ilmu peringan
tubuhnya. "Hm..., kalian hanya kronco!" dengus Rangga begitu kakinya menjejak tanah di
depan rumah kayu itu.
Jambak yang datang lebih dulu dari teman-temannya dengan cepat menyerang ganas.
Rangga hanya berkelit menghindari tebasan pedang yang datang bagai air bah itu.
Namun bagi Rang-ga, semua serangan Jambak hanya
dianggap main-main saja. Dia hanya meliuk-liukkan tubuhnya tanpa menggeser kaki
sedikit pun. Kaki Rangga baru bergerak jika datang serangan lain secara
keroyokan. Macam-macam bentuk senjata bertebaran mengepung
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai sejauh ini, belum ada satu pun
senjata yang berhasil menyentuh tubuhnya. Rangga bagai seekor belut. Licin dan
berkelit ke sana kemari menghindari segala bentuk serangan yang datang bertubi-
tubi. "Maaf, pinjam tombakmu!" kata Rangga kalem.
Selesai ucapannya, tangan Rangga bergerak cepat.
Sekejap saja seorang dari pengeroyoknya yang menggenggam tombak terhuyung ke belakang. Tombak itu telah berpindah tangan. Dan
kini orang itu telah ambruk tak berkutik.
Darah menguncur deras dari keningnya yang bolong.
Rupanya Rangga menggunakan satu jarinya untuk menotok kening orang itu. Sangat
keras totokannya, sehingga kening orang itu bolong! Kini dengan tombak di
tangan, Rangga tidak lagi kewalahan. Denting macam- macam senjata beradu dengan
tombak di tangan Rangga.
Dalam keadaan dikeroyok seperti itu, Rangga masih sempat melirik ke arah pintu
rumah yang terbuka. Dan tiba-tiba
muncul seorang wanita muda, cantik, dan menggiurkan, mengenakan pakaian merah muda dari
bahan sutra halus di depan pintu. Rangga sedikit terpana melihat kecantikan
wanita yang tidak lain adalah Intan
Kemuning. Namun dia tidak dapat memperhatikan lebih lama
lagi. Rangga kini sibuk menghadapi para

Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengeroyoknya yang semakin ganas.
Rangga menggerakkan tombaknya semakin cepat. Dua orang kini terhuyung sambil
menekap dada, lalu ambruk tidak berkutik lagi. Darah segar segera mengucur dari
dada yang robek itu. Belum lagi kering darah itu, menyusul dua orang terhuyung-
huyung lalu ambruk.
Pekik kematian kini terdengar saling susul. Tubuh-tubuh bermandikan darah mulai
bergelim-pangan. Sebentar saja sudah delapan orang yang telah mengantar nyawa.
Jambak merasakan lawannya bukan tandingan mereka semua.
Hatinya bergetar juga. Lebih-lebih setelah mendengar lagi suara jeritan panjang
melengking, disusul am-bruknya dua orang lagi.
"Cukup!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras melengking.
"Bayangan hitam...!" seru Jambak gembira melihat berkelebatnya sebuah bayangan.
Sebentar saja sesosok tubuh kurus tinggi berbalut baju hitam ketat telah berdiri
di tengah-tengah lapangan depan rumah kayu itu. Dari raut wajah yang panjang
kurus, dapat ditebak kalau orang itu wanita.
"Jambak, siapa tikus itu?" tanya Bayangan Hitam.
"Dia coba-coba menggerogoti lumbung."
"Huh! Lalu di mana Gusti Putrimu"'
"Menghadang perusuh di sungai Ular."
Si Bayangan Hitam mendongak seraya memonyongkan
bibir. Terdengarlah siulan yang panjang dan melengking tinggi. Siulan itu
menggema dipantulkan oleh bukit-bukit batu dan lembah.
Serentak dari balik-balik pepohonan muncul sekitar dua puluh orang berpakaian
serba hitam. Mereka semua menyandang pedang di punggung.
"Bagi dua!" teriak Bayangan Hitam.
Tanpa banyak omong, orang-orang yang baru bermunculan itu segera membentuk dua kelompok.
"Jambak, bawa satu kelompok orangku. Bantu Gusti Putrimu!" perintah Bayangan
Hitam. "Oh, terima kasih" Jambak membungkukkan tubuhnya.
Jambak cepat memberi isyarat pada salah satu kelompok Bayangan Hitam. Segera
mereka berlari menuruni lereng bukit menuju sungai Ular. Sisa empat orang teman-
teman Jambak masih terdiam di tempatnya. Secercah harapan muncul dan terbias di
wajah mereka melihat kehadiran Bayangan Hitam.
Pendekar Sadis 9 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Raden Banyak Sumba 1
^