Pencarian

Iblis Lembah Tengkorak 3

Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak Bagian 3


tubuhnya ke samping. Sinar merah itu menghantam
lantai kedai makan. Suara menggelegar terdengar
disertai berlubangnya lantai yang keras itu.
"Mati aku!" dengus Pragola. Dia tahu kalau Dewi Asmara Dara mengeluarkan ilmu
'Seribu Mata Dewi'. Ilmu andalan yang sangat jarang digunakan Dewi Asmara Dara. Kemarahan
yang memuncak karena selendang andalannya putus memancingnya
untuk mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'.
"Jangan panik!" terdengar lagi bisikan halus di telinga Pragola. "Hindari
tatapan matanya. Gunakan ilmu peringan tubuh, putari tubuhnya."
Pragola segera bangkit dan berlari-lari memutari tubuh Dewi Asmara Dara dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh. Tentu saja Dewi Asmara Dara jadi kelabakan. Sinar-sinar
merah yang dilontarkan selalu mengenai tempat kosong. Beberapa orang
yang masih berada di kedai itu segera menyingkir, menghindari sinar merah yang
tidak mustahil nyasar ke tubuh mereka.
"Gunakan senjata kecil, arahkan ke kaki," bisikan halus kembali terdengar.
Pragola kebingungan. Dia tidak memiliki senjata
rahasia satu pun juga. Gurunya tak pemah
membekali senjata rahasia. Menurut gurunya,
senjata rahasia hanya digunakan oleh orang-orang berhati telengas dan licik
Mereka tidak pantas
disebut pendekar.
Di saat otaknya berpikir keras, mendadak
matanya menangkap reruntuhan meja dan kursi.
Bibirnya segera tersenyum. Sambil terus mengarahkan tenaga dalam dan ilmu peringan
tubuh, Pragola meraih beberapa potongan kayu.
Diremasnya potongan kayu itu hingga menjadi
serpihan. Sementara itu Dewi Asmara Dara makin geram
karena setiap serangannya selalu luput. Setiap kali dia memaksa Pragola untuk
menatap matanya,
pemuda itu selalu memalingkan mukanya. Dewi
Asmara Dara semakin sulit karena pengaruh ilmu
'Seribu Mata Dewi' tidak mempengaruhi Pragola.
"Awas kaki!" teriak Pragola tiba-tiba. Dewi Asmara
Dara terkejut. Kayu-kayu kecil berterbangan mengarah kakinya.
"Setan belang! Monyet buduk!" Dewi Asmara Dara mengumpat habis-habisan.
Kayu-kayu kecil yang dilemparkan Pragola
dengan pengerahan tenaga dalam membuat wanita
itu sibuk berlompatan ke sana kemari. Lebih-lebih Pragola melemparkannya sambil
berlarian mengitari tubuhnya.
Konsentrasi Dewi Asmara Dara terpecah. Pada saat Dewi Asmara Dara tengah repot
dengan serangan itu, tiba-tiba meluncur sebuah
bayangan merah menahan arah lari Pragola.
Seketika kayu-kayu kecil yang terlontar ke kaki
Dewi Asmara Dara terhenti bersamaan dengan
terhentinya lari Pragola. Di depan anak muda itu sudah berdiri seorang kakek tua
berjubah merah.
"Kakek Merah Mata Elang!" bentak Pragola gusar. "Kau melanggar aturan!"
"He he he...! Tidak ada aturan dalam rimba
persilatan," Kakek Merah Bermata Elang terkekeh menyeringai. Matanya yang merah
bagai mata elang menatap tajam Pragola.
"Biar aku yang menghadapi orang tua tidak tahu diri ini, Kakang!"
Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke tengah-
tengah arena pertempuran. Seorang anak muda
berkulit putih dan bertubuh ramping. Garis-garis kejantanan tergambar jelas pada
raut wajah yang
halus dan tampan itu.
"Hati-hati Adik Barada, orang ini sangat kejam dan sakti," Pragola mengingatkan.
Barada hanya tersenyum. Dilangkahkan kakinya
dua tindak ke depan. Dia sudah tahu kehebatan
Kakek Merah Bermata Elang. Makanya dia harus
beriindak hati-hati dan penuh perhitungan. Dalam perkumpulan Teratai Putih,
Barada hanya satu
tingkat di bawah Pragola. Jadi dia juga tak bisa dianggap remeh.
"Majulah, Kakek tua!" seru Barada lantang dan tenang. Setenang sikapnya.
"He he he.... Anak kemarin sore ingin
menantangku. Apakah Teratai Putih tidak memiliki jago-jago andalan sehingga
mengutus anak bau
kencur ke sini?"
Kakek Merah Bermata Elang mengejek.
'Teratai Putih tidak perlu mengeluarkan jago-
jagonya untuk membasmi Panji Tengkorak!" tenang dan lembut suara Barada,namun
menyakitkan di telinga. "Bocah sombong! Jangan menyesal kalau aku
memberi pelajaran padamu!" geram Kakek Merah Bermata Bang.
"Silakan kalau kau mampu!"
"Setan! Mampus kau!"
Pertempuran antara Kakek Merah Bermata
Elang dengan Barada berlangsung sengit. Masing-
masing menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Pragola pun sudah sibuk lagi melayani Dewi Asmara Dara. Di lain pihak, Kala
Srenggi, dan Dewi
Jerangkong juga telah menghajar orang-orang
Teratai Putih lainnya.
Kedai makan bembah menjadi ajang pertempuran. Memang kelihatannya tidak seimbang.
Dua puluh dari Teratai Putih melawan empat orang dari Panji Tengkorak. Namun
keempat orang-orang
itu bukanlah orang-orang sembarangan. Malah kini terlihat dua orang anggota
Teratai Putih sudah
terjungkal. Kepalanya remuk terhajar tongkat Dewi Jerangkong.
Seorang lagi roboh di tangan Kala Srenggi. Lalu
menyusul satu demi satu.... Pragola yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat
apa-apa. Dia sendiri sibuk menahan gempuran Dewi Asmara Dara.
Wanita itu sangat bernafsu ingin cepat membunuh
lawannya. Dia merasa sudah dipermalukan oleh
Pragola di muka umum.
'Tahan!" Tiba-tiba suara menggeledek terdengar bagai
petir di slang bolong. Seketika pertempuran itu
terhenti. Anggota Teratai Putih tinggal enam orang saja. Mayat-mayat
bergelimpangan di mana-mana.
Darah berceceran menyebarkan bau amis menusuk
hidung. Semua mata segera terarah pada Rangga yang
duduk tenang di pojok. Tangannya memain-mainkan
kendi arak. Lagaknya acuh dengan suasana kedai
makan yang berantakan akibat pertamngan dua
kelom-pok itu. "Orang asing! Berani benar kau campuri urusan kami!" bentak Dewi Asmara Dara
gusar. Seperti orang tolol, Rangga celingukan mencari
cari sesuatu. Pelan-pelan dia bangkit dan berjalan melangkahi mayat-mayat yang
bergelimpangan.
Kepalanya menggeleng-geleng
dengan mulut berdecak-decak seperti keheranan.
"Ck ck ck..., kasihan sekali. Nyawa satu-satunya dibuang percuma," gumam Rangga.
Rangga berhenti melangkah ketika di depannya
berdiri menghadang Kakek Merah Bermata Elang.
Rangga mengamati jari-jari tangan kakek tua itu
yang penuh darah.
"Kenapa tangan Kakek" Luka?" tanya Rangga seperti anak kecil.
"Luka tanganku bisa diobati oleh darahmu!"
dengus Kalingga atau Kakek Merah Bermata Elang
geram. "Wah, hebat!" seru Rangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kisanak, apakah kau yang memberiku petunjuk tadi?" tanya Pragola sopan dan
lembut. Dia merasa yakin kalau bisikan-bisikan halus datang dari
pemuda ini. "Ah, aku hanya bicara sendiri tadi," sahut Rangga merendah.
"Setan! Jadi kau yang membantu bocah edan ini!"
dengus Dewi Asmara Dara geram. Giginya
gemelutuk dan tangannya mengepal erat.
"Siapa yang membantu" Sejak tadi aku duduk di sana," sahut Rangga kalem.
"Kau harus mampus!" geram Dewi Asmara Dara.
Setelah berkata demikian Dewi Asmara Dara
segera melompat menerjang dengan jurus andalannya. Rangga hanya berkelit sedikit dengan meliukkan tubuhnya. Serangan
Dewi Asmara Dara
hanya mengenai angin kosong.
Kala Srenggi yang mengenai jurus-jurus Dewi
Asmara Dara, terkesima melihat cara Rangga
menghindari serangan. Merasa
lawan hanya menghindar tanpa melangkah sedikit pun, Dewi
Asmara Dara berang bercampur maiu.
"Terima aji pamungkasku!" teriak Dewi Asmara Dara.
Seketika seluruh tangan Dewi Asmara Dara
mengeluarkan asap kekuningan, lalu secepat kilat menyerang Rangga. Semua mata
yang memandang menahan napas menyaksikan Rangga hanya tenang-
tenang saja. "Hiyaaa...!" Dewi Asmara Dara melengking keras dengan kedua tangan menjulur ke
depan. Saat jari-jari tangan Dewi Asmara Dara yang
mengepulkan asap tepat di depan mata Rangga,
anak muda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Dengan menggunakan jurus 'Cakar Rajawali'
dipapaknya punggung Dewi Asmara Dara.
"Akh!" Dewi Asmara Dara memekik tertahan.
Tubuhnya limbung sebentar lalu ambruk tidak
bangun lagi. Semua mata terbelalak lebar seakan tidak
percaya. Hanya satu jurus. saja Dewi Asmara Dara telah ambruk tak bernyawa!
Sulit diukur tingginya ilmu anak muda ini.
"Bocah setan! Sebutkan namamu sebelum
kukirim kau ke neraka!" bentak Kakek Merah
Bermata Elang dengan geram.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" jawab Rangga.
Suaranya tenang namun menggema ke seluruh
ruangan. 'Tidak mungkin!" sentak Dewi Jerangkong sambil melompat ke depan.
Semua mata menatap nenek tua yang berdiri
dengan tongkat saktinya.
"Jangan coba-coba menggertak kami dengan
menyebut nama tokoh seratus tahun lalu!" dengus Dewi Jerangkong.
"Kalau tidak percaya, lihat saja dia!" Rangga menunjuk mayat Dewi Asmara yang
tengkurap kaku. Dewi Jerangkong mendelik. Punggung Dewi
Asmara Dara hangus! Ada goresan hitarn di
punggung yang membentuk cakar burung rajawali.
Jelas, itu adalah salah satu hantaman jurus 'Cakar Rajawali'. Dan kini jurus
maut itu dimiliki seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali
Sakti! "Bagaimana, Nenek tua" Percaya?" kalem dan tenang suara Rangga.
"Mustahil...," gumam Dewi Jerangkong seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bukan hanya Dewi Jerangkong yang tidak
percaya. Kakek Merah Bermata Elang pun
demikian. Dua tokoh tua ini pemah mendengar
sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti meski pada saat itu mereka belum
dilahirkan. Kehebatan dan
kesaktian Pendekar Rajawali Sakti pernah menjadi buah bibir di mana-mana. Semua
orang selalu mengharapkan kemunculannya jika terjadi kerusuhan dan kejahatan.
Kini Pendekar Rajawali Sakti muncul kembali di
tengah dunia persilatan yang goncang. Apakah ini pertanda Panji Tengkorak akan
menghadapi sandungan"
"Dewi Jerangkong, mart kita hadapi bocah
dungu ini!" seru Kakek Merah Bermata Elang atau Kalingga.
Setelah selesai kata-katanya, Kalingga segera
menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya,
diikuti oleh Dewi Jerangkong dengan jurus-jurus
andalannya. Nyali Rangga tak gentar sama sekali dikeroyok
oleh dua tokoh sakti itu. Dia kelihatan tenang-
tenang saja berkelit menghindari serangan-serangan dahsyat dan beruntun.
Gerakan-gerakan Rangga
memang cepat dan luar biasa

Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga membingungkan lawan. Serangan-serangan dua
tokoh sakti itu selalu menemui tempat kosong.
"Maaf!" ucap Rangga kalem.
Bersamaan dengan itu, tangan Rangga berkelebat cepat dan tepat mendarat di dada Dewi Jerangkong dan Kalingga.
"Akh!" Dewi Jerangkong hanya mengeluh pelan.
"Ugh!" Kakek Merah Bermata Elang pun
melenguh hampir bersamaan.
Secara bersamaan pula dua tubuh tokoh itu
ambruk dan tak berkutik lagi. Di dada mereka
tergambar sebuah cakar berwarna hitam. Cakar
seekor burung rajawali. Sekali lagi Rangga berhasil merobohkan dua tokoh sakti
sekaligus hanya dalam satu jurus saja.
Kala Srenggi yang sejak tadi hatinya sudah ciut, diam-diam kabur ketika melihat
dua tokoh sakti itu limbung hanya dalam satu jurus saja. Saka Lintang pun tak
nampak batang hidungnya lagi. Entah sejak kapan dia minggat.
'Terima kasih, Tuan Pendekar telah menolong
kami," Pragola segera menghormat diikuti Barada dan empat anggota Teratai Putih
yang tersisa. Rangga hanya tersenyum lalu menepuk pundak
Pragola. 'Tuan Pendekar sangat hebat Panji Tengkorak
pasti bisa ditumpas," ujar Barada penuh harapan.
"Boleh saya tahu, siapakah saudara-saudara
semua?" tanya Rangga yang telah berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami murid-murid perguruan Teratai Putih.
Kami ditugaskan untuk membendung gerakan liar
Panji Tengkorak," sahut Pragola menjelaskan.
"Siapa Panji Tengkorak?" tanya Rangga lagi.
"Gerombolan liar dan jahat. Mereka membunuh siapa saja yang menentangnya. Sudah
banyak tokoh aliran hitam yang bergabung dengan mereka. Saat
ini Panji Tengkorak boleh dikatakan hampir
menguasai rimba persilatan," jelas Pragola rinci.
Sejak tadi dia telah kagum dengan kehebatan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Pemimpinnya seorang tokoh sakti yang sulit dicari
tandingannya,"
Barada menambahkan. "Pemimpinnya bernama Geti Ireng yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Lembah
Tengkorak."
"Iblis Lembah Tengkorak..," gumam Rangga pelan.
Seketika itu pula teriintas dalam benaknya
peristiwa dua puluh tahun lalu. Peristiwa yang
menyakitkan hati. Rangga juga masih ingat ketika ayahnya menyebut orang itu
Iblis Lembah Tengkorak Orang itukah yang membunuh kedua
orang tuanya"
"Geti Ireng tinggal di Lembah Tengkorak
bersama gerombolannya," Pragola menambahkan.
"Apakah orang itu bersenjata tongkat berkepala tengkorak?" tanya Rangga
memastikan. "Benar, Tuan Pendekar," sahut Barada cepat.
Rangga tersenyum. Matanya berbinar-binar. Dia
telah digodok selama dua puluh tahun di Lembah
Bangkai, ditambah bersemedi dan berpuasa selama
tujuh hari tujuh malam di Gunung Kapur. Dengan
demikian seluruh jiwanya sudah bersih dari rasa
dendam dan angkara murka.
Telah nyata bahwa Iblis Lembah Tengkorak atau
Geti Ireng yang membunuh orang tuanya, tetapi
hati Rangga sedikit pun tidak terbakar api dendam.
Jiwanya sudah bersih dari nafsu duniawi. Ingin
disatroninya Lembah Tengkorak, tetapi tidak untuk balas dendam. Niatnya semata-
mata hanya untuk
membasmi segala bentuk kejahatan.
"Tuan Pendekar...," Pragola mencegah langkah Rangga.
Rangga menghentikan langkahnya yang telah
sampai pada pintu keluar kedai. Dia menoleh seraya tersenyum melihat Pragola
menghampirinya.
"Kami merasa mendapat kehormatan bila Tuan
Pendekar berkenan singgah di Perguruan Teratai
Putih," ajak Pragola ramah.
Rangga berpikir sebentar.
"Eyang Guru Begawan Pasopati pasti gembira
jika Tuan Pendekar berkenan mengunjunginya. Dari beliau nanti, Tuan Pendekar
dapat mengetahui
lebih banyak tentang Iblis Lembah Tengkorak," kata Pragola setengah membujuk.
"Benarkah?" tanya Rangga dengan polos tanpa pemah curiga terhadap siapa pun.
Dalam hati sebenarnya Rangga senang memenuhi undangan itu
yang tentu segalanya terjamin.
"Eyang Begawan Pasopati seorang yang bijak.
Beliau pasti senang jika penolong kami berkenan
singgah barang sebentar."
"Baiklah, aku pun senang mendapat sahabat."
Betapa gembiranya Pragola karena pendekar
yang dikaguminya berkenan menerima undangannya.
Segera diperintahkan adik-adik seperguruannya
menyiap-kan kuda. Sebentar kemudian tujuh ekor
kuda sudah dipacu meninggalkan kedai, menembus
kegelapan malam. Rangga yang tidak pemah
menunggang kuda, sedikit grogi. Namun ketika agak jauh meninggalkan kedai, dia
sudah mulai terbiasa.
Bibir Rangga tersenyum-senyum. Pragola selalu
memacu kudanya di samping kiri Rangga, dan
Barada di samping kanannya. Rangga bagai
pembesar saja diapit kiri kanan. Empat kuda lain mengiringi dari belakang.
Rangga cerdas. Sebentar saja dia telah mampu menunggang kuda dengan
baik. Pada akhirnya dirasakannya bahwa menunggang kuda hampir tidak ada bedanya dengan
menunggang burung rajawali putih.
"Masih jauh?" tanya Rangga.
"Menjelang pagi baru sampai," sahut Pragola.
Rangga mengeluh dalam hati. Sebabnya dia harus
menunggang kuda semalaman. Namun keluhan itu
tidak ditampakkannya. Dia tetap saja tersenyum
sambil bertanya macam-macam. Banyak yang
ditanyakannya terutama tentang seluk beluk dunia persilatan yang masih asing
baginya. Pragola dengan senang hati menjawab. Dijelaskannya
setiap pertanyaan Rangga dengan lemah lembut. Sesekali
Barada menambahkan jika penjelasan
kakak seperguruannya dirasakan belum lengkap. Semakin
banyak Rangga bertanya, semakin banyak yang
diketahui tentang gambaran rimba persilatan
sekarang ini. Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir ke
dunia. Dia masih perlu belajar banyak mengenai
dunia bertualang sambil bertanya pada siapa saja yang berbaik hati memberi
keterangan kepadanya
seperti layaknya murid-murid Perguruan Teratai
Putih. *** 8 Dalam pengembaraannya
mencari sarang gerombolan Panji Tengkorak, Rangga beberapa kali harus bentrok dengan tokoh-
tokoh berilmu tinggi
anggota gerombolan itu. Nama Pendekar Rajawali
Sakti makin dikenal. Di samping itu dia juga jadi momok yang menakutkan bagi
orang-orang rimba
persilatan beraliran hitam. Kini Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sebuah pelita
yang menerangi tokoh-tokoh aliran putih.
Dalam waktu singkat, nama Pendekar Rajawali
Sakti sudah terpatri erat di hati semua orang.
Bahkan Saka Lintang sendiri tidak pemah
melupakan pendekar tampan itu. Dalam pandangan
pertamanya, dia merasa sedikit kasmaran. Makanya setiap kali Pendekar Rajawali
Sakti bentrok dengan orang-orang Panji Tengkorak, dia tidak ingin
melibatkan diri. Dia seperti menghindar dari
kemungkinan bentrok.
Rangga menarik tali kekang kudanya ketika
melewati pinggir hutan Dadakan. Telinganya yang
tajam tiba-tiba mendengar denting senjata beradu.
Nyata bahwa suara itu berasal dari suatu
pertarungan. Rangga segera melompat dari kudanya. Dengan menggunakan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat pertama,
tubuhnya telah melayang di udara menuju arah datangnya suara
pertempuran. Bagai rajawali mengintai mangsa, Rangga dari
atas telah melihat seorang wanita dikeroyok tiga laki-laki bersenjata tongkat.
Rangga bergegas turun dan berdiri di pinggir arena pertarungan. Segera
dikenalinya wanita itu yang ternyata adalah Saka Lintang.
Tapi, siapakah tiga laki-laki yang mengeroyoknya"
Melihat kedatangan Rangga, Saka Lintang cepat
melompat ke luar arena pertandingan. Dihampirinya Rangga, dan berlindung di
belakang tubuh pemuda
itu."Tolong, mereka dari Panjj Tengkorak," kata Saka Lintang dengan suara dibuat
memelas. Mendengar ketiga orang
itu dari Panji Tengkorak, Rangga segera menerjang ketiga orang
itu yang masih bingung tidak mengerti. Mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Sekejap saja ketiga
orang itu telah bergelimpangan akibat jurus 'Cakar Rajawali'.
'Terima kasih, kau telah menolongku," kata Saka Lintang langsung menghampiri.
"Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" tanya Rangga.
"Aku merasa tertipu masuk gerombolan Panji
Tengkorak! Aku ingin keluar, tapi mereka malah
ingin membunuhku!"
cerita Saka Lintang bersandiwara. Dalam hatinya tersenyum karena
rencananya berjalan mulus.
Terpaksa dikorbankannya tiga anggota Panji
Tengkorak demi mencapai keinginan merebut hati
pendekar tampan ini. Setiap hari dia selalu
terbayang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti
ini. Hati Saka Lintang makin hari makin tersiksa bila Kala Srenggi selalu
mencari muka di depan ayahnya untuk mendapatkan dirinya.
"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Rangga.
"Mereka Tiga Pendekar Toya dari Utara. Tadi mereka mencoba memperkosaku," Saka
Lintang makin menjejali Rangga dengan cerita kosong.
"Binatang!" geram Rangga.
"Untung kau cepat datang, kalau tidak....
Mungkin aku sudah mati.
"Hm, kau akan ke mana sekarang?"
Aku tidak tahu. Sejak kecil aku hidup
sendirian."
Rangga menarik napas panjang. Dirasakan ada persamaan nasib dengan gadis ini.
Namun Rangga tidak menyadari kalau dia tengah
masuk dalam perangkap yang dibuat Saka Lintang.
Bukan perangkap nyawa, tapi perangkap asmara.
Rangga memang polos. Dia memang belum banyak
mengalami liku-liku kehidupan yang mungkin dapat menjeratnya. Apa lagi Saka
Lintang memang cantik.
"Aku ikut kamu, ya?" Saka Lintang memohon sambil menggayut-gayutkan tangannya
dengan manja ke lengan Rangga.
"Eh, jangan!" Rangga gugup. Matanya jelalatan.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia disentuh wanita.
Seketika jantungnya berdetak keras.
"Kenapa?" tanya Saka Lintang semakin manja.
Dia bahkan sudah melingkarkan tangannya ke leher Rangga.
"Aku...,aku...," Rangga benar-benar gugup.
Saka Lintang yang berpengalaman menghadapi
laki-laki, segera memanfaatkan kegugupan Rangga.
Dengan cepat dipagutnya bibir Rangga. Tentu saja pemuda ini gelagapan. Keringat
dingin mengucur
deras. Inilah rasa takutnya yang pertama. Cepat-
cepat dilepaskan pelukan Saka Lintang, dan. lompat dua tindak ke belakang. Saka
Lintang memandang
dengan senyum menggoda.
"Kau pendekar gagah dan tampan. Aku tertarik saat pertama kali melihatmu," Saka
Lintang tidak malu-malu lagi.
"Kau memang cantik. Aku juga suka, tapi...,"
Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
"Kenapa kita tidak bercinta?"
"Bercinta..."!" Rangga meneguk ludahnya sendiri.
Mendadak tenggorokannya terasa kering.


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saka Lintang tersenyum melihat kegugupan
Rangga. Diletakkannya pedang yang bertengger di
punggungnya. Dengan gerakan yang indah, tangannya melolosi pakaian satu persatu. Rangga
kian tidak menentu perasaannya.
"Celaka!" sentak Rangga tiba-tiba. Tercecer sudah seluruh pakaian Saka Lintang
di rerumputan. Tubuh indah dan putih mulus itu kini terbuka
tanpa sehelai benang pun menutupi! Kakinya
terayun mendekati Rangga. Namun mendadak
pemuda itu mencelat ke belakang, lalu beriari
sekencang-kencangnya menggunakan ilmu peringan
tubuh. "Hey, tunggu!" teriak Saka Lintang terkejut.
Rangga telah lebih cepat menghilang di balik
rimbunan pohon. Saka Lintang menghentakkan
kakinya dengan kesal. Bergegas dikenakan kembali pakaiannya, lalu beriari cepat
ke arah Rangga pergi.
*** Di bangsal mmah yang paling besar di Lembah
Bangkai, Saka Lintang tengah hanyut oleh perasaan malu dan marah. Dia benar-
benar kecewa dengan
sikap Rangga. Namun rasa cintanya yang menggebu
dapat mengalahkan amarah dan rasa malunya.
Dalam hati dia bertekad akan memiliki Rangga
sepenuhnya. Ketampanan dan kegagahan Rangga membuat
Saka Lintang mabuk kepayang. Dia tidak peduli lagi dengan kedudukannya sebagai
orang kedua di Panji Tengkorak. Pikirannya selalu tertuju pada pendekar tampan
yang telah menancapkan panah cinta di
hatinya. "Lintang...."
Saka Lintang menoleh setelah mendengar suara
panggilan dari belakang. Kala Srenggi sudah berdiri di balik punggungnya. Saka
Lintang menjauh dan
ber-balik. "Mau apa kau ke sini?" tanya Saka Lintang ketus.
Dia tahu kalau Kala Srenggi selalu berusaha men-
dekatinya. "Aku ingin bicara padamu," sahut Kala Srenggi memasang senyum yang menawan.
"Tentang apa?"
"Tentang kita."
Saka Lintang mengemtkan keningnya. Bagi Saka
Lintang, senyum Kala Srenggi seperti seringai
serigala liar kelaparan. Sedang bagi Kala Srenggi, melihat Saka Lintang bagai
melihat bidadari turun dari kahyangan. Bukan rasa cinta yang ada di hati, tetapi
nafsu birahi yang berkobar-kobar.
"Sejak pertama aku melihatmu, rasanya aku tidak bisa hidup tanpa kau, Lintang,"
Kala Srenggi mengobral rayuannya.
"O..., apakah kau pantas denganku?" cibir Saka Lintang.
"Kenapa tidak" Aku toh tidak terlalu jelek
untukmu. "Tapi kau tidak bisa menandingiku!"
"Lintang!" merah padam wajah Kala Srenggi.
"Kalahkan aku dulu, baru kau boleh berkata
begitu padaku!"
Kala Srenggi menelan ludahnya. Terasa pahit.
Mana mungkin Saka Lintang dapat dikalahkannya.
Ilmu silatnya di bawah gadis ini. Kala Srenggi
pernah merasakan jurus 'Tarian Bidadari' dan dia tak ingin merasakannya lagL
"Bukankah cinta tidak mengenal tingkat kepandaian, Lintang," kata Kala Srenggi lagi.
"Siapa bilang" Bagiku, laki-laki yang ingin memilikiku, tingkat kepandaiannya
harus lebih daripada aku!" tetap ketus suara Saka Lintang.
"Seperti Pendekar Rajawali Sakti itu"!" Kala Srenggi mendongkol.
Saka Lintang terkejut. Dia tidak menyangka
kalau Kala Srenggi tahu dirinya tengah kasmaran.
Nada suara Kala Srenggi memberi isyarat kalau dia tengah cemburu.
'Pendekar Rajawali Sakti musuh ayahmu, musuh
Panji Tengkorak. Berarti juga musuhmu, Lintang.
Bagaimana mungkin kau bisa mengharapkan dia!"
Kala Srenggi coba beri pengertian.
"Dia bukan musjuhku. Aku tidak pernah
bermusuhan dengan Pendekar Rajawali Sakti!"
dengus Saka Lintang.
"Mana mungkin dia bukan musuhmu, sedang kau putri ketua Panji Tengkorak."
"Apa urusanmu?"
"Jelas ada urusannya denganku. Geti Ireng
mengijinkan aku untuk menikahimu. Dan aku tidak
rela jika Pendekar Rajawali Sakti merebutmu dari tanganku!"
"Gila! Siapa sudi menikah denganmu" Kau boleh merangkak di bawah kakiku, tapi
jangan harap aku dapat jadi milikmu!"
Kala Srenggi makin merah mukanya. Kata-kata
Saka Lintang telah menghina dan merendahkan
dirinya. Sungguh panas telinga Kala Srenggi
mendengar ucapan Saka Lintang itu. Darahnya
segera mendidih, bergolak penuh kemarahan.
"Dengar, Saka Lintang. Penghinaanmu tidak
akan kulupakan. Sekarang kedudukanmu masih
kuat. Tapi nanti, setelah kau lepas dari Geti
Ireng.... Kau akan menyesal!" Kala Srenggi
mengancam penuh kemarahan.
"Heh, main ancam segala rupanya," cibir Saka Lintang mengejek.
"Huh! Dasar anak pungut tidak tahu diri!"
dengus Kala Srenggi geram.
Setelah berkata demikian, Kala Srenggi melompat ke luar dari bangsal rumah besar.
"Hey!" Saka Lintang terkejut setengah mati mendengar kata-kata terakhir Kala
Srenggi. Saka Lintang segera melompat ke luar, namun
Kala Srenggi sudah tak terlihat lagi. Saka Lintang celingukan, lalu melompat ke
atap. Matanya yang
tajam memandang ke sekeliling, namun Kala Srenggi benar-benar tidak terlihat
lagi. "Anak pungut...," gumamSaka Lintang berulang-ulang.
Benarkah dia anak pungut" Anak pungut Geti
Ireng" Lalu siapa orang tuanya yang sebenarnya"
*** Setelah didesak, Emban Girika akhirnya menceritakan asal usul Saka Lintang. Wanita gemuk itulah yang mengurus Saka Lintang sejak kecil.
"Saya diperintah merawat Nini Lintang ketika masih berusia satu tahun. Waktu itu
Panji Tengkorak masih partai kecil. Gusti Geti Ireng
masih mencari pengaruh dan kekuatan. Dia
mengembara dari satu dusun ke dusun yang lain.
Beliau tidak bisa mengurus Nini Lintang, maka
sayalah yang diperintah merawat Nini di lembah ini,"
kata Emban Girika.
"Lalu siapa orang tua saya sebenarnya?" tanya Saka Lintang tidak sabar.
"Sabar dulu, Nini. Saya akan ceritakan dari awalnya," Emban Girika menarik napas
panjang sebentar." "Ketika itu Gusti Geti Ireng memasuki desa Kali Anget. Di
desa itu beliau mendapat
perlawanan sengit dari Kepala Desa. Namun Kepala Desa itu akhirnya terbunuh
bersama istri dan anak-anaknya. Hanya satu yang selamat, seorang bocah
perempuan berumur satu tahun."
"Anak perempuan itu saya 'kan, Bi?" celetuk Saka Lintang makin tidak sabar.
"Benar. Gusti Geti Ireng membawa anak
perempuan itu, karena kedua istrinya tidak
mempunyai anak sampai meninggal!"
"Apakah dibunuh ayah juga?"
"Ya, kedua istri Gusti Geti Ireng ingin melarikan diri. Mereka tidak tahan
melihat Gusti Geti Ireng begitu kejam membunuh siapa saja yang berani
menentangnya."
Saka Lintang gemetar seluruh tubuhnya.
Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Dia
tidak tahu, apakah harus marah, kecewa, atau
berterima kasih pada ayah angkatnya yang telah
merawat dan mendidiknya hingga menjadi seorang
wanita yang berilmu.
Tetapi laki-laki itu juga yang membunuh selumh
keluarganya. Saka Lintang tidak tahu apakah dia
harus membalas kematian orang tua dan saudara-
saudaranya" Apakah akan dilupakan saja kejadian
itu" Orang yang selama ini dianggap ayahnya
sekaligus pelindung yang menyayangi dan dihormatinya itu, ternyata pembunuh keluarganya.
Haruskah dia tinggal diam"
Saka Lintang merasa menyesal, kenapa dia harus
mengetahui semua ini. Seharusnya dia tidak perlu tahu, sehingga tidak dituntut
untuk berbakti kepada orang tuanya. Bakti seorang anak yang
orang tuanya dibunuh laki-laki yang kini jadi ayah angkatnya. Haruskah menuntut
balas" "Tidaaak...!" Saka Lintang menjerit sekuat-kuatnya.
"Nini..., Nini Lintang...," Emban Girika jadi ketakutan
melihat Saka Lintang mengamuk memporak-porandakan kamamya.
"Tidak! Dia bukan pembunuh orang tuaku!
Tidak...!" jerit Saka Lintang sambil meloloskan pedangnya.
Dengan sekali tebas saja, tiang tempat tidur
patah jadi dua. Pembaringan yang beralaskan kain surra halus itu pun ambruk
disertai suara gemuruh.
Belum juga puas, Saka Lintang membabatkan
pedangnya ke sana kemari seperti kesetanan. Lalu dia jatuh terduduk, menunduk
lemas. Isaknya terdengar memilukan.
Batin gadis itu tergoncang hebat. Sulit baginya
menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Saka
Lintang merasa hidupnya tiada berguna lagi. Semua orang akan mengejek dan
menertawakan dirinya.
"Gusti Yang Agung, betapa berat cobaan yang kau berikan padaku!" Saka Lintang
menangis terisak menyesali hidupnya. "Mengapa aku tidak sekalian dibunuh saja,
Bi. Kenapa Geti Ireng mengambilku
sebagai anak" Kenapa, Bi...?"
'Tabahlah, Nini. Semua ini sudah kehendak Sang
Hyang Widi. Nini harus menerima kenyataan ini
dengan hati lapang," kata Emban Girika juga tidak kuasa menahan air matanya.
"Percuma saya hidup, Bi." "Nini jangan berkata begitu. Gusti Geti Ireng memang
telah membunuh orang tua dan saudara-saudaramu. Tapi Gusti Geti Ireng juga telah
merawat, mendidik, dan membesarkan Nini sampai
menjadi wanita berilmu sekarang ini. Bagaimanapun juga Nini berhutang budi
padanya." 'Tapi dia membunuh keluargaku, Bi!"
"Memang kewajiban seorang anak menjunjung
tinggi martabat orang tuanya. Hanya masalahnya
sekarang, pembunuhnya justru ayah angkat Nini
sendiri." "Katakanlah, Bi. Apa yang harus saya lakukan?"
Saka Lintang kelihatan putus asa.
Emban Girika tidak menjawab. Memang serba
sulit untuk menjawabnya, Dia bersedia tinggal di lembah ini karena merasa
kasihan melihat Saka
Lintang kecil yang masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia juga membencl
Geti Ireng yang
telah membunuh seluruh keluarganya.
Kedudukan Emban Girika di lembah ini tidak
ubahnya seperti tawanan. Bisa dikatakan dia adalah budak. Emban Girika hanya
bisa menerima nasib.
Dia tidak mungkin mampu mengalahkan Geti Ireng
yang sakti. Dia sadar tak mampu melawan karena
hanya seorang wanita desa yang lemah tidak
mengerti ilmu silat dan kesaki an apa pun.
Pada saat mereka terdiam, di luar terdengar
suara-suara ribut. Suara senjata beradu dan jeritan meiengking,
saling menyusul. Saka Lintang terdongak, lalu melompat keluar menembus dinding yang terbuat dari potongan kayu
papan. "Nini Lintang..,!" Emban Girika bergegas ke luar.
Apa sebenarnya yang terjadi"
*** Suasana di Lembah Tengkorak seperti medan
pertempuran. Orang-orang dari partai Teratai
Putih bertarung gigih dibantu partai-partai
golongan putih lainnya melawan orang-orang Panji Tengkorak.
Penyerbuan yang mendadak dan tak terduga ini
membuat orang-orang Panji Tengkorak kelabakan.
Namun mereka semua bukanlah orang-orang sern-
barangan. "Pradya Dagma! Mana Kala Srenggi?" suara Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak
menggelegar di tengah-tengah suara pertempuran.


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia kabur!" sahut Pradya Dagma sambil terns mengebutkan tasbih mutiara
saktinya. "Pengecut! Kupecahkan kepalanya nanti!" geram Geti Ireng.
Pertempuran terns berlangsung. Korban dari
kedua belah pihak mulai berjatuhan. Darah
mengalir membasahi Lembah Tengkorak ini. Mayat-
mayat bergelimpangan tak tentu arah. Sebentar saja pemandangan lembah ini kian
mengerikan. Bau anyir darah menyebar terbawa angin.
"Geti Ireng!"
Geti Ireng menoleh. Tiba-tiba saja seorang tokoh tua berjubah putih melompat ke
depan. Tokoh tua
Ini adalah Begawan Pasopati, guru besar dari partai Teratai Putih. Tongkat
galian asam dengan cincin emas berbentuk kepala naga diacungkan ke depan.
Matanya tajam menatap Geti Ireng yang tegak
menggenggam tongkat berkepala tengkorak.
"Hm, Begawan Pasopati. Rupanya kau ikut ambil bagian juga dalam kerusuhan ini,"
gumam Geti Ireng dingin.
"Kerusuhan terakhir dari sepak terjangmu!" balas Begawan Pasopati tidak kalah
dinginnya. "Ha ha ha...! Akan kulihat, sampai di mana nama kosongmu!" ejek Geti Ireng.
'Tahan seranganku!" pekik Begawan Pasopati
segera melompat menyerang.
Geti Ireng mengernyitkan keningnya sedikit
Rupanya Begawan tua ini langsung mengeluarkan
jums 'Naga Menggempur Gunung'. Geti Ireng tahu
kehebatan jurus ini. Makanya dia tak sungkan lagi meladeninya. Dikeluarkannya
jurus 'Tongkat Maut'
yang menjadi andalannya dibarengi dengan 'Aji
Sangkala Bayu'. Dengan ajian ini tubuh Geti Ireng bergerak seringan kapas.
Gerakannya semakin cepat dan lincah.
Menyadari lawan telah menggunakan ajiannya,
Begawan Pasopati segera merapal aji pamungkasnya.
'Aji Batara Karang'. Sekejap saja selumh tubuh
Begawan ini bercahaya menyilaukan mata.
"Setan! Kau licik, Begawan Pasopati!" dengus Geti Ireng. Cahaya menyilaukan yang
terpancar dari tubuh Begawan itu membuat mata jadi perih. Geti
Ireng tidak dapat melihat jelas di mana Begawan
Pasopati berada.
Merasa keadaannya tidak menguntungkan. Geti
Ireng segera melompat tinggi sambil memekik
nyaring. Lalu dengan cepat dia meluncur ke bawah dengan ujung tongkatnya terarah
ke kepala Begawan itu. "Awas, Eyang...!"
Begawan Pasopati menjatuhkan tubuhnya sambil
mengebutkan tongkat ke udara. Serangan Geti
Ireng luput. Hampir saja tongkat Geti Ireng
mengenai Bega?wan itu kalau tidak cepat-cepat
berkelit di udara.
"Saka Lintang! Lancang kau!" dengus Geti Ireng mengetahui peringatan itu datang
dari putrinya sendiri. "Hentikan semua kekejamanmu, Geti Ireng!"
keras sekali suara Saka Lintang.
"He! Sejak kapan kau berani membentak
ayahmu"!" Geti Ireng terkejut heran.
"Sejak aku tahu, kau bukan ayahku!"
Geti Ireng terlonjak kaget sampai melompat dua
tombak. "Dari mana kau tahu?" tanya Geti Ireng menahan napas.
"Kala Srenggi!"
"Setan alas! Bocah itu harus mampus!" jerit Geti Ireng kalap.
Setelah berkata demikian, Geti Ireng segera
melompat tinggi ke udara.
"Geti Ireng, jangan lari kau!" teriak Begawan Pasopati seraya menggenjot
tubuhnya ke udara.
Namun baru saja dia melesat, tiba-tiba Geti
Ireng melempar jarum-jarum beracunnya. Begawan
Pasopati tersentak. Dengan cepat diputar-putar
tongkatnya bagai baling-baling untuk menangkis
serangan gelap itu.
Jarum-jarum berpentalan terkena sambaran
tongkat. Malangnya, jarum-jarum itu menyambar
orang?orang yang tengah bertempur di bawah. Jerit kesakitan terdengar dari
beberapa orang yang
terkena. Senjata rahasia jarum beracun itu sangat ampuh. Dalam sekejap orang
yang terkena akan
mati. Tubuhnya membiru dan kaku.
"Kejam! Semua dewa mengutukmu, Geti Ireng!"
geram Begawan Pasopati. Giginya gemerutuk
menahan amarah. Tidak sedikit murid-muridnya
yang terkena sambaran jarum-jarum beracun itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Begawan
Pasopati!" seru Geti Ireng, kembali melenting dengan meminjam landasan daun yang
melayang dihembus angin.
Ketika tubuh Geti Ireng meluncur satu tombak,
tiba-tiba sebuah bayangan cepat menghadangnya.
Geti Ireng tersentak kaget. Dengan cepat dia
meluncur ke bawah sambil berlompatan beberapa
kali di udara. Baru saja kakinya menjejak tanah, bayangan itu
kembali menyerang. Gerakannya sangat cepat
sehingga sulit diikuti mata. Geti Ireng kewalahan hingga jatuh bangun
menghindari serangan cepat
yang beruntun. "Demit busuk! Siapa kau?" teriak Geti Ireng kesal.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, tiba-
tiba di hadapan Geti Ireng telah berdiri seorang pemuda tampan dengan pedang
bergagang kepala
burung rajawali. Begawan Pasopati tersenyum
melihat kedatangan pendekar muda itu. Dia sudah
pernah bertemu ketika pendekar itu berkunjung di kediamannya.
Saka Lintang yang melihat kemunculan pendekar
itu menjadi berseri-seri. Dia berharap pendekar itu tahu kalau dirinya benar-
benar membenci Panji
Tengkorak. Saka Lintang berusaha menarik simpati Pendekar Rajawali Sakti dengan
membanru tokoh-tokoh aliran putih membasmi Panji Tengkorak. Dia memekik keras
membabati orang-orang Panji
Tengkorak. Tentu saja perbuatan Saka Lintang sangat
mengejutkan semua anggota Panji Tengkorak.
Mereka tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang
yang tiba- tiba memusuhi mereka. Tapi sikap Saka Lintang mendapat sambutan
hangat dari tokoh-tokoh golongan putih. Mereka tahu sepak terjang
gadis itu liar dan kejam.
"Minggir semua! Biar kuhabisi mereka!" teriak Saka Lintang.
"Minggir!" perintah Begawan Pasopati memberi kesempatan pada Saka Lintang. Dia
sudah mengerti duduk persoalannya. Sebab Begawan Pasopati tadi
telah mendengar sedikit pembicaraan Saka Lintang dengan Geti Ireng.
Mendengar perintah dari Begawan Pasopati,
seluruh murid-murid Te ratai Putih dengan cepat
berlompatan ke luar arena. Tidak ketinggalan
tokoh-tokoh golongan putih lain bersama murid-
muridnya mengikuti petunjuk Begawan Pasopati.
"Lintang! Sudah gila, kau!" bentak Geti Ireng.
"Arwah ayah ibuku akan mengutuk kalau Panji Tengkorak belum musnah di tanganku!"
sahut Saka Lintang keras dan lantang.
"Lintang, aku ayahmu. Aku yang membesarkanmu!"
"Tidak! Kau bukan ayahku, kau pembunuh ayah ibuku! Aku memang berhutang budi
padamu, tapi kau juga berhutang nyawa padaku. Bahkan, seluruh nyawa anggota Panji Tengkorak
belum cukup menebus nyawa keluargaku!"
Merah padam muka Geti Ireng. Rahasia yang
selama ini ditutup-tutupinya, akhirnya terbongkar juga. Rahasia ini bocor karena
ulah Kala Srenggi.
Geti Ireng benar-benar murka. Dia belum puas
kalau belum mematahkan batang leher Kala Srenggi dan menghirup darahnya.
"Demi balas budiku, aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya ingin melenyapkan
seluruh anggota Panji Tengkorak," kata Saka Lintang lagi.
Semua anggota Panji Tengkorak yang terdiri dari
tokoh-tokoh golongan hitam terkejut bergetar.
Mereka semua tahu siapa Saka Lintang. Apalagi
rata-rata mereka sudah pemah merasakan kehebatan gadis ini.
"Bersiaplah kalian semua menghadapi ajal!"
dengus Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang berteriak nyaring. Tanpa basa-basi lagi, pedangnya berkelebat cepat mencari
mangsa. Saka Lintang
segera mengeluarkan jurus pedang andalannya yang dibarengi dengan jurus 'Pukulan
Geledek' yang sangat dahsyat. Beberapa tokoh anggota Panji
Tengkorak bemsaha membendung serangan Saka
Lintang, namun hanya beberapa gebrak saja, tiga
orang tersungkur mandi darah.
'Lintang, berhenti!" teriak Geti Ireng.
' Tidak, sebelum semua anggota Panji Tengkorak
musnah!" sahut Saka Lintang terus mengamuk.
"Bocah gila! Kubunuh kau!" geram Geti Ireng murka.
Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, Geti
Ireng menggenjot tubuhnya menuju ke arah Saka
Lintang yang tengah merubah jurusnya dengan
'Tarian Bidadari'. Namun belum sempat Geti Ireng sampai, sebuah bayangan kembali
menahannya. Terpaksa Geti Ireng bersalto di udara dan turun
lagi ke tanah. "Kau masih punya persoalan denganku, Geti
Ireng," kata Rangga tegas.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Minggir!"
sentak Geti Ireng.
"Urusan lama belum terselesaikan!" dingin suara Rangga.
"Siapa kau"' tanya Geti Ireng.
"Aku Rangga, bocah kecil yang kau lemparkan ke dalam jurang Lembah Bangkai!"
Lagi-lagi Geti Ireng tersentak kaget. Sungguh di luar dugaan, hari ini dia
menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi karena peristiwa puluhan
tahun yang lalu. Persoalan-persoalan yang telah
teriupakan. Bocah kecil yang dilempamya ke jurang dulu, kini tiba-tiba datang
untuk menuntut balas atas kematian kedua orang tuanya. Padahal
pikirnya, bocah itu telah mati dilumat oleh batu cadas dasar jurang Lembah
Bangkai! "Ha ha ha...!" Geti Ireng tertawa terbahak-bahak. Tawanya sangat keras karena
dibarengi oleh penyaluran tenaga dalam yang sempurna.,
Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki
Geti Ireng hingga membuat gendang telinga sakit
karena tawanya itu.
Beberapa orang yang kemampuan ilmunya masih rendah, kesakitan sambil memegang kedua telinga. Dari
mata dan telinga,
darah segar mengaiir. Mereka berguling-guling di tanah menahan rasa sakit.
Tokoh-tokoh yang
berilmu tinggi pun harus mengerahkan tenaga
dalamnya untuk meredam suara tawa itu.
Saka Lintang yang tengah kalap, segera
menghentikan pertarungannya.
Cepat-cepat disalurkan hawa mumi ke bagian telinganya.
Dirapalkannya 'Aji Pemecah Suara'. Ajian ini telah diajarkan oleh Geti Ireng
sendiri untuk menangkal lawan yang bisa mengeluarkan suara keras. Terbukti suara
Geti Ireng hanya terdengar biasa di telinga Saka Lintang. Memang ampuh ajian
ini. Kesempatan ini tidak disia-siakan. Gadis itu
dengan cepat mengayunkan pedangnya menyerbu
ang-gota Panji Tengkorak yang sibuk menahan
serangan suara tawa Geti Ireng.
*** Melihat korban telah cukup banyak, Rangga
meng-geram menahan amarahnya. Tiba-tiba dia
membentak dengan pengerahan tenaga dalam yang
luar biasa. Betapa hebat akibat bentakan Rangga. Di
Lembah Tengkorak bagaikan terjadi gempa. Batu-
batu ber-jatuhan dan pohon-pohon bertumbangan.
Orang-orang yang berada di sekitar situ sampai
terlompat beberapa tombak.
"Setan!" umpat Geti Ireng yang terlonjat sampai dua tombak ke belakang.
"Tidak pantas kau mengumbar ilmu iblis di depan ku, Geti Ireng!" dengus Rangga.
"Kurobek mulutmu, bocah setan!" geram Geti Ireng.
Setelah selesai kata-katanya, Geti Ireng segera
berteriak nyaring, dan tak tanggung-tanggung, dikeluarkannya jurus 'Tongkat Maut
Mencabut Nyawa'.
Rangga menghadapinya tanpa mengeluarkan jurus
andalan. Dia hanya berkelit menghindari setiap
serangan lawan, sehingga membuat Geti Ireng makin marah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semua
orang yang menyaksikan tertahan napasnya. Rangga seperti mempermainkan Geti
Ireng saja. Setiap kali ujung tongkat nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga


Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelit Beberapa kali Geti Ireng merasa tertipu oleh gerakan Rangga yang tak
terduga itu. "Kena!" teriak Rangga tiba-tiba.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu kaki
Rangga berhasil menyepak punggung Geti Ireng
yang lowong. Geti Ireng bergulingan di tanah.
Dengan cepat dia bangkit kembali. Di saat yang
bersamaan, Saka Lintang memekik tertahan.
Hatinya terkesiap melihat ayah angkatnya terguling kena tendangan Pendekar
Rajawali Sakti.
Geti Ireng membuka serangan kembali. Hatinya
penasaran bercampur malu. Sudah tiga jurus
dimainkan, tapi belum juga dapat menjatuhkan
lawan nya. Malah kaki lawan telah mampir di
punggungnya. Memang tidak berbahaya. Tapi
menyebabkan Geti Ireng kehilangan muka. Pendekar muda itu telah mempermainkannya di
depan orang banyak.
Rangga mendorong kedua tangannya ke depan.
Kesepuluh jari tangannya mengembang bagai
sepasang cakar. Rangga mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'.
"Hiya...!"
Dengan suatu teriakan geledek, Rangga men-
dahului menyerang. Gerakannya sangat cepat,
sehing?ga tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya
terlihat ba-yangannya saja. Geti Ireng makin
kewalahan mengha-dapi jums pendekar muda ini.
Hingga tiba saatnya....
"Akh!" pekik Geti Ireng tertahan.
Tubuh Geti Ireng terdorong ke belakang sejauh
dua tombak. Tangannya mendekap dada. Dari
mulut menyembur darah kental kehitaman. Cepat-
cepat disi-langkan tongkamya ke depan dada. Dan
darah kental kehitaman kembali menyembur ke luar.
"Ayah...!" pekik Saka Lintang.
Gadis yang juga membenci ayah angkatnya ini,
ternyata mengkhawatirkan keadaannya. Batinnya
terus berkecamuk antara benci dan rasa hutang
budi. Bagaimanapun juga laki-laki itu telah
merawat, membesarkan, dan mendidiknya sampai
dia dewasa. Figur seorang ayah pada Geti Ireng
sulit dilupakannya.
"Lintang, jangan!" sentak Geti Ireng yang melihat Saka Lintang sudah
mengeluarkan gabungan dari
jums 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
Namun gadis itu sudah tidak mendengar lagi
peringatan ayahnya. Dengan cepat Saka Lintang
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-
gerakan Saka Lintang segera berubah gemulai
setelah berada di depan pendekar muda itu.
"Ah, indah sekali tarianmu,"
Rangga memperhatikannya dengan senyum tersungging.
"Hati-hati, Pendekar Rajawali Sakti. Jurus itu sangat
berbahaya!"
Begawan Pasopati mengingatkan. "Dia hanya menari, Eyang Begawan," sahut Rangga sambil merentangkan kedua
tangannya. Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak-gerak
gemulai. Seperti sepasang sayap yang terkembang
akan terbang. Itulah jurus 'Rajawali Pentang Sayap'.
Suatu jurus yang sebenarnya bukan jurus andalan.
Jurus ini dikeluarkan karena Rangga menganggap
jurus yang dikeluarkan Saka Lintang tidak
berbahaya. Dan lagi Rangga tidak ingin gadis itu celaka. Hanya satu yang ingin
dicabut nyawanya
yakni, Geti Ireng!
Semua orang yang menyaksikan, menahan napas
ketika gerakan gemulai dari jurus 'Tarian Bidadari'
berubah menjadi cepat dan masuk ke beberapa
bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun
pendekar muda itu hanya mengepak ngepakkan
kedua tangannya saja sambil berlompatan kian
kemari menghindari setiap totokan dan pukulan
maut Saka Lintang.
"Gila! Ilmu setan apa yang dimilikinya"!" dengus Geti Ireng keheranan.
Racun yang menyebar dari setiap gerakan Saka
Lintang tidak berarti apa-apa pada Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan setiap kali tangan mereka beradu, pendekar itu tidak
terpengaruh sama
sekali. Padahal seluruh tubuh Saka Lintang kini
tengah menyebarkan racun yang sangat dahsyat dan mematikan.
"Akh...!" tiba-tiba Saka Lintang terpekik.
Punggungnya terkena tepukan tangan kanan
Rangga. Gadis itu jatuh bergulingan di tanah. Dia bergegas bangkit lagi dan
bersiap-siap menyerang kembali. Niat itu tiba-tiba terhenti ketika
mendadak saja Geti Ireng menggantikannya dengan
jurus-jurus maut
Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', jurus
andalan kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Dengan jurus ini, kaki Rangga bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah. Kedua
tangannya selalu
mengembang bergerak-gerak cepat mengikuti irama
gerak tubuhnya yang meliuk-liuk lentur.
Geti Ireng makin kebingungan melihat gerakan-
gerakan yang aneh dari pendekar muda ini. Setiap serangannya selalu kandas
mengenai tempat kosong, Dalam keputusasaannya itu, tiba-tiba kaki Rangga
berhasil mendarat di dada Geti Ireng.
"Ukh!" Geti Ireng kembali memuntahkah darah kental kehitamaa
Belum sempurna posisi Geti Ireng, tiba-tiba
tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti menyampok
pinggang Geti Ireng. Tak ayal lagi, tubuh Iblis
Lembah Tengkorak ini melayang ke angkasa.
Dengan tetap menggunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega', Rangga mengejamya.
Sukar untuk dibayangkan. Tubuh Rangga
meluncur cepat mengejar Geti Ireng yang terlontar ke udara. Tiba-tiba tubuh yang
melayang itu terhajar oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayah...,!" pekik Saka Lintang keras, melihat tubuh Geti Ireng terpotong-potong
di angkasa. Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti melem-
parkan setiap potongan tubuh ke tanah. Dan
sungguh hebat! Setiap potongan yang jatuh ke
tanah, tersusun kembali seperti semula. Namun
darah telah meng-genang di sekitarnya. Pendekar
Rajawali Sakti turun kembali dengan manis di
tanah. *** Melihat pemimpinnya tewas dengan tubuh
terpotong-potong, tokoh- tokoh hitam yang
tergabung di bawah Panji Tengkorak, segera
mengambil langkah seribu.
"Pendeta Murtad! Berhenti kau!" teriak Pragola yang melihat Pradya Dagma
melarikan diri dengan
mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.
"Pragola, jangan!" teriak Begawan Pasopati.
Pragola tidak mendengarkannya lagi. Dia telah
lebih dulu mencelat mengejar pendeta murtad itu.
Tokoh-tokoh lain dari golongan putih pun segera
berlompatan mengejar anggota-anggota
Panji Tengkorak yang telah kabur. Begawan Pasopati pun segera mencelat mengejar
Pragola. Dia khawatir
karena murid kesayangannya itu mengejar lawan
yang bukan tandingannya.
Dalam sekejap saja di Lembah Tengkorak tinggal
Pendekar Rajawali Sakti dengan Saka Lintang.
Secara bergantian, Saka Lintang menatap tubuh
Iblis Lembah i Tengkorak dan Pendekar Rajawali
Sakti. Batinnya terus berperang antara percaya dan tidak, antara kenyataan dan
khayalan. Dia ingin
menangis, marah, mtmbenci, tapi tidak tahu kepada siapa semua dilim-pakkannya.
"Dia ayahmu?" tanya Rangga dengan suara pelan dan hati-hati.
Saka Lintang hanya menatap saja tanpa berkedip
pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga tengah
menatapnya. Dada gadis itu bergemuruh, tidak
tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Eiitah terdorong rasa apa, tanpa diminta lagi
Saka Lintang menceritakan semua yang diketahui
tentang dirinya berdasarkan cerita Emban Girika.
Rangga mendergarkan tanpa memotong sedikit pun.
Sampai Saka Lintang selesai bercerita, Rangga
masih tetap berdiam diri.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku...." "Maaf, Lintang. Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan," potong Rangga
cepat. Saka Lintang terdongak.
"Selamat tinggal!" seru Rangga.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya sudah melesat
ke udara, meluncur cepat menembus hutan dan
meng-hilang dari pandangan mata.
"Rangga....!" Saka Lintang menjerit sekuat-kuatnya.
Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan
kesal. Dalam kesempatan yang sempit tadi, dia
sudah berusaha menarik simpati pendekar tampan
itu. Namun kini Rangga meninggalkannya sendirian.
Saka Lintang sungguh kecewa. Cintanya yang
berkotar-kobar tidak terbalaskan.
Dari cinta yang tak terbalaskan itu, membuat
Saka Lintang membenci Pendekar Rajawali Sakti.
Wajalnya seketika berubah tegang memerah. Rasa
cinta dan benci bercampur jadi satu. Sikap Rangga terasa sangat merendahkan
harga dirinya. "Satu saat nanti, kau akan bertekuk lutut di bawah kakiku!" desis Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang melangkahkan kakinya meninggalkan markas Panji
Tengkorak, tempat dia dibesarkan. Tempat yang
penuh kenangan manis dan pahit. Kakinya terayun
dengan satu tujuan, mencari dan ingin menaklukkan pendekar tampan yang telah
merobek-robek hatinya. Mampukah Saka Lintang menaklukkan
Pendekar Rajawali Sakti"
Nah, bagi paia pembaca yang mau tahu
petualangan selanjutnya dari Saka Lintang, silakan ikuti kisah berikutnya dalam
'Bidadari Sungai Ular'.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Anak Harimau 3 Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang Matahari Esok Pagi 1
^