Dendam Rara Anting 2
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Bagian 2
*** 5 Rangga melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang membelah lereng Bukit
Growong. Sudah dua hari ini Mintarsih tidak kelihatan lagi. Seorang gadis penuh
misteri, yang kini lenyap dibawa dua orang laki-laki dari rumah penginapan.
Sebenarnya Rangga tidak ingin memikirkan gadis itu. Tapi kalau mengingat cerita
Ki Rampat, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi penasaran juga. Apalagi sudah dua
kali Mintarsih dihadang tiga orang laki-laki.
Dan Rangga menduga kalau mereka tidak sekedar bermaksud buruk, tapi lebih dari
itu yang tidak diketahuinya.
Dan itulah yang membuat Rangga jadi semakin tertarik, ditambah lagi dengan
cerita Ki Rampat. Benak Pendekar Rajawali Sakti itu terus berputar, mencoba
mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk menghantuinya. Namun semua
tak ada yang terjawab pasti. Pertanyaan-
pertanyaan besar masih saja menguntitnya.
"Itu, dia orangnya, Nini Ayu...!"
Tiba-tiba Rangga dikejutkan suara keras dari arah samping kanan. Pendekar
Rajawali Sakti itu menoleh. Keningnya langsung berkerut begitu melihat tiga
orang laki-laki yang pernah ditemuinya saat mereka berniat mengganggu Mintarsih
sebanyak dua kali. Dan mereka kini ditemani seorang perempuan cantik berbaju
merah menyala. Wanita itulah yang dilihat Rangga kemarin.
"Hm..., tampan juga. Tapi sayang, dia mencari perkara denganku," gumam wanita
cantik itu mendesah.
Rangga hanya diam saja. Dirayapi wanita berbaju merah yang didampingi tiga laki-
laki berwajah kasar. Sama sekali Rangga tidak mengerti kata-kata gumaman itu,
tapi tidak ingin memperpanjang. Dia tidak kenal wanita itu. Hanya saja, ada satu
pikiran terlintas di benaknya.
Apakah wanita ini ada sangkut pautnya dengan Mintarsih"
"Kisanak, di mana kau sembunyikan Mintarsih?" tanya wanita itu langsung tanpa
basa-basi lagi.
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya kembali.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu benar. Wanita ini mencari Mintarsih. Tapi
memang belum bisa ditebak, untuk apa
wanita itu mencari Mintarsih" Rangga merayapi ketiga laki-laki yang berada di
belakang wanita cantik berbaju merah itu.
Tak ada senjata yang dibawa. Perhatiannya kembali tertuju pada wanita cantik
itu. Dari pakaiannya yang ringkas, Rangga sudah bisa menebak kalau wanita itu pasti
berkepandaian tinggi.
"Aku tahu kau bersama Mintarsih beberapa hari ini. Di mana dia sekarang?"
tanya wanita itu lagi.
"Nisanak, siapa kau ini" Dan mengapa mencari Mintarsih?" Rangga balik bertanya.
"Phuah! Jawab saja pertanyaanku, Kisanak!" sentak wanita itu mendelik.
"Maaf! Aku tidak bisa menjawab
sebelum tahu siapa dirimu dan apa tujuanmu mencari Mintarsih," tegas nada suara
Rangga. "Sombong!" rungut wanita itu.
"Dia memang keras kepala, Nini Ayu.
Hajar saja biar kapok!" salah seorang laki-laki brewok itu memanasi.
"Benar, Nini. Hajar saja," sambung yang lain.
Sedangkan Rangga hanya diam saja sambil memandangi mereka. Agak kesal juga
Pendekar Rajawali Sakti itu mendengar mereka memanas-manasi, tapi hal itu masih
bisa diredam. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu sudah menggeser kakinya
ke samping, lalu melangkah tiga tindak ke depan. Sorot matanya begitu tajam
menusuk, dan bibirnya terkatup rapat.
Gurat-gurat ketegangan terlihat jelas pada wajahnya.
Rangga tahu kalau wanita ini akan menggunakan kekerasan, dan dia sudah siap
menyambutnya. Pendekar Rajawali Sakti begitu yakin kalau wanita ini mencari
Mintarsih tentu dengan maksud buruk.
Apalagi jika menghubungkan perbuatan ketiga laki-laki kasar itu dengan
Mintarsih. Sepertinya mereka sudah bersekongkol dengan wanita ini.
"Sebenarnya aku tidak ingin berlaku keras padamu, Kisanak. Tapi rupanya kau
menghendaki lain," dingin sekali nada suara wanita itu.
"Mungkin bisa dihindari jika kau bersedia mengatakan untuk apa mencari
Mintarsih," sambut Rangga kalem.
"Itu bukan urusanmu!"
"Mungkin tidak, mungkin juga iya.
Karena Mintarsih sudah minta perlindungan padaku. Dan dia harus kulindungi,"
tegas Rangga tetap tenang.
"Phuih! Anak setan itu rupanya
menggunakan kecantikannya untuk menjeratmu, Kisanak!"
Merah padam wajah Rangga mendengar kata-kata itu. Meskipun diucapkan datar, tapi
sudah menyinggung perasaannya.
Mintarsih memang cantik, tapi tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk
mengharapkan lebih dari gadis itu. Rangga memang paling tidak suka dikatakan
demikian. "Kata-katamu sudah keterlaluan, Nisanak...!" desis Rangga menahan geram.
"Heh! Mana ada laki-laki suci di dunia ini..." Anak buahku saja
menginginkannya. Dan itulah mengapa mereka jadi tolol sepertimu!" ketus nada
suara wanita itu.
"Tutup mulutmu, Nisanak!" bentak Rangga gusar.
"Kau marah, Kisanak" Dan itu berarti kau memang suka pa...."
"Bedebah...!" gertak Rangga memutuskan ucapan wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti marah bukan main mendengar kata-kata yang tidak sedap
didengar itu. Walaupun banyak mengenal gadis-gadis, tapi dia belum pernah
menaruh hati pada seorang gadis selain Pandan Wangi. Tak ada nama lain di
hatinya, tak ada gadis lain yang bisa meruntuhkan tembok benteng hatinya. Dan
Rangga paling tidak suka jika ada orang yang mengatakan kalau hatinya mudah
terpikat pada kecantikan seorang gadis.
Darahnya langsung mendidih, amarahnya terbangun menggolak bagai gunung berapi
hendak memuntahkan lahar panas mendidih.
"Ha ha ha...!" wanita cantik itu malah tertawa melihat wajah Rangga memerah
bagai bara. "Huh!" Rangga mendengus keras.
Ingin sekali mulut wanita itu
ditamparnya. Tapi tindakan demikian akan meruntuhkan nama besarnya. Daripada
menghadapi manusia-manusia seperti ini, Rangga lebih baik meninggalkannya.
Sambil mendengus keras, Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan langsung
melangkah cepat meninggalkan mereka.
"Hei...!" seru wanita cantik itu mencoba mencegah kepergian Rangga.
Tapi Rangga tidak lagi peduli, dan terus saja melangkah dengan ayunan kaki
cepat. Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dan belum jauh berjalan, mendadak saja wanita berbaju merah itu
mengibaskan tangannya ke depan.
Sebuah benda merah meluncur deras dari telapak tangan wanita itu, langsung
meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Desiran angin benda itu membuat ayunan langkahnya terhenti seketika. Dan bagai
kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara.
"Hap!"
Wusss! Benda merah itu melesat lewat di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, lalu
menancap dalam di sebuah batang pohon yang cukup besar dan berdaun rimbun.
Sungguh luar biasa! Daun-daun pohon itu langsung kering dan berguguran. Kemudian
batang pohon itu juga jadi kering bagai kekurangan air di musim kemarau. Sesaat
kemudian pohon itu roboh menimbulkan suara gemuruh, membuat bumi bergetar bagai
diguncang gempa.
Rangga agak terpana menyaksikan kejadian itu, dan langsung memutar tubuhnya
begitu menjejak tanah. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu bertolak
pinggang sambil mengulas senyum tipis.
Ketiga laki-laki di belakangnya terkekeh-kekeh, bersikap mengejek Pendekar
Rajawali Sakti.
*** Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti itu bisa melakukan sesuatu, wanita cantik
berbaju merah itu kembali memberikan
serangan. Kedua tangannya bergerak cepat mengibas bergantian ke depan beberapa
kali. Seketika benda-benda merah menyala bagai terbakar, bertebaran ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga berlompatan menghindari benda-benda merah yang memancarkan hawa panas
luar biasa itu. Sungguh dahsyat sekali.
Apa saja yang terlanda oleh benda-benda merah berbentuk segitiga itu pasti
hancur berantakan! Ledakan-ledakan keras terdengar. Debu, pecahan pohon, dan
bebatuan membumbung tinggi ke angkasa. Rangga berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang datang. Tak ada kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk
menghentikan serangan itu. Jangankan memberi serangan balasan, bahkan
menghindari pun sudah cukup repot.
"Huh! Kalau begini terus, bisa habis semua tenagaku...!" dengus Rangga dalam
hati. Serangan-serangan yang dilancarkan wanita berbaju merah itu memang sangat
gencar, meskipun mereka tidak secara langsung bertarung. Rangga cukup sukar
untuk mendekati, karena wanita itu selalu berlompatan mengelilinginya sambil
terus melontarkan benda-benda merah berbentuk segitiga kecil. Belum lagi hawa
panas yang menyebar dari benda-benda itu semakin membuat pengap udara. Hal ini
menjadikan napas Rangga terasa sesak, dan sulit untuk mendesak.
"Aku harus keluar dari pertarungan edan ini!" dengus Rangga dalam hati.
Dan ketika mengelakkan satu benda yang mengarah ke kaki, Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung melentingkan tubuhnya ke udara sambil menotok benda itu dengan
jari telunjuk. Sambil meminjam tenaga lontaran lawan, Rangga mengayunkan
tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa. Saat itu juga dikerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'.
"Yeaaah...!"
Sambil merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, Rangga berputaran di
udara, kemudian meluruk deras dan langsung merubah jurus menjadi 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Sikap tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
berubah saat semakin mendekati wanita itu. Kakinya bergerak cepat, lurus ke
bawah mengincar kepala lawan. Seketika wanita itu terkesiap, dan berhenti
melontarkan benda-benda segitiga berwarna merah.
"Modar...!" teriak Rangga keras dan tiba-tiba.
"Uts!"
Bergegas wanita muda berbaju merah itu membanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Serangan Rangga luput dari sasaran. Sedangkan
sebongkah batu besar yang terkena jejakan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Debu
dan pecahan batu mengepul ke udara. Tubuh Rangga berputaran dua kali, kemudian
menjejakkan kakinya di tanah.
Pada saat itu, tiga orang laki-laki berwajah penuh brewok langsung berlompatan
sambil menghunus goloknya. Mereka berteriak keras, langsung menghujani Rangga
dengan bacokan-bacokan golok yang cukup besar dan berkilat.
"Hait! Hiyaaa...!"
Rangga segera berkelit, meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang dari tiga jurusan.
Serangan-serangan ketiga lawannya itu memang cepat, tapi bagi Rangga masih
terasa lambat. Sehingga....
"Lepas...! Hiyaaa...!" seru Rangga tiba-tiba.
Dengan satu gerakan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuh sambil
mengibaskan tangannya tiga kali. Satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata
biasa. Sehingga....
Plak! Slap! Trak...!
Tiga kali terdengar suara keras, kemudian disusul pekikan-pekikan keras yang
saling susul. Tampak tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah
kasar penuh brewok itu limbung terhuyung-huyung ke belakang. Golok-golok mereka
berpentalan di udara, dan masing-masing saling memegangi tangan kanannya.
Memang sungguh luar biasa akibatnya jika berbenturan tenaga dalam dengan
Pendekar Rajawali Sakti. Tulang
pergelangan tangan mereka patah, sehingga tak dapat digunakan lagi. Mereka
meringis merintih kesakitan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi peduli.
Batas kesabarannya sudah habis dan telah mencapai puncaknya. Dengan satu gerakan
cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih itu melesat sambil mengibaskan
kedua tangannya secara beruntun.
Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut. Tampak ketiga laki-
laki bertubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung sambil menekap dada.
Sukar diikuti pandangan mata biasa, karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu
sungguh cepat luar biasa. Tahu-tahu ketiga laki-laki itu ambruk dan menggelepar
di tanah dengan dada terbelah lebar berlumuran darah. Hanya sebentar mereka
mampu menggelepar meregang nyawa, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Tewas. Rangga memutar tubuhnya, tapi menjadi terkejut bukan main. Ternyata wanita
cantik berbaju merah itu sudah tidak ada lagi di tempat ini. Entah kapan dan ke
mana perginya, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tahu. Dia hanya bisa mengumpat,
namun juga bertanya-tanya dalam hati.
*** Baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan meninggalkan tempat itu, mendadak
terdengar suara langkah kaki kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Rangga
mengurungkan niatnya, dan hanya menunggu penunggang kuda itu. Dalam hati,
dihitungnya jumlah penunggang kuda yang semakin jelas terdengar suaranya.
"Hanya tiga...," gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengarahkan pandangannya lurus pada segumpal debu yang mengepul di udara.
Jelas sekali kalau kepulan debu itu semakin dekat ke arahnya. Rangga berdiri
tegak menunggu di tengah-tengah jalan.
Sebentar kemudian terlihat tiga ekor kuda dipacu cepat membelah jalan berdebu.
"Hooop...!" ketiga orang penunggang kuda itu menghentikan laju kudanya tepat di
depan Rangga. Tiga orang laki-laki. Yang berada paling depan sudah berusia sekitar enam puluh
tahun. Sedangkan dua orang lagi masih muda, dan mungkin sebaya dengan Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga mengamati ketiga orang itu. Mereka berlompatan dari
punggung kudanya masing-masing, langsung memandang pada tiga sosok mayat yang
tergeletak menghalangi jalan.
Dua orang pemuda bergegas
menghampiri, dan kontan terkejut begitu melihat wajah ketiga mayat itu. Mereka
saling berpandangan, kemudian bergegas menghampiri laki-laki setengah baya yang
menunggu di depan kuda-kuda mereka. Entah apa yang dibicarakan, Rangga tidak
ingin mendengar.
"Kisanak, apakah kau yang telah membunuh mereka?" tanya laki-laki setengah baya
itu sambil menunjuk tiga sosok mayat.
"Benar. Tapi itu keinginan mereka sendiri," sahut Rangga tegas.
"Hm.... Tidak ada seorang pun yang menginginkan mati terbunuh, Kisanak,"
gumam laki-laki setengah baya itu.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu kalau orang setengah baya itu tidak mempercayai
jawabannya. Rangga jadi bertanya-tanya, siapa mereka itu..."
Apakah mereka teman dari tiga mayat ini"
Mata Pendekar Rajawali Sakti itu merayapi dengan seksama tiga orang yang berada
di depannya. "Kisanak, namaku Citrasoma. Dan ini kedua muridku. Namanya Bantara dan Andira.
Aku hanya ingin tahu, mengapa kau membunuh ketiga orang itu?" laki-laki setengah
baya itu memperkenalkan diri dan bertanya bernada ringan.
"Rasanya jawabanku sudah jelas,"
sahut Rangga. "Apakah kalian teman-teman mereka?"
"Bukan. Tapi kami semua kenal
mereka," sahut Citrasoma sambil menunjuk mayat-mayat itu.
"Bagus! Kalau begitu, Paman pasti sudah tahu kenapa aku membunuh mereka,"
agak sinis nada suara Rangga.
Rupanya Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi kekesalan dan kemarahan di
dalam hati, sehingga sedikit melampiaskan pada ketiga orang yang berada di
depannya ini. Sama sekali Rangga tidak mengenal siapa mereka, meskipun sudah
memperkenalkan diri. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap waspada, apalagi
setelah Citrasoma mengakui kalau mengenal ketiga laki-laki itu.
"Kisanak, apakah kau dirampok" Atau mungkin dibegal...?" tanya Citrasoma.
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak," sahut Rangga tegas.
"Lalu?"
"Mereka menghadang jalanku bersama seorang wanita yang katanya adalah majikan
mereka sendiri. Aku tidak pernah tahu, siapa mereka dan wanita itu. Tapi mereka
telah membuat kemarahanku bangkit, dan tidak pernah menggunakan kesempatan untuk
berubah sikap. Sudah dua kali sikap mereka seperti itu, dan tetap saja tidak
berubah. Bahkan baru saja merampok kedai milik Nyai Lambat," jelas Rangga.
"Bisa kumengerti alasanmu, Kisanak.
Mereka memang berandalan dan sering membuat susah penduduk. Tapi yang kutahu,
mereka tidak memiliki seorang majikan pun. Kisanak.., kau tahu siapa wanita yang
kau maksudkan tadi?"
"Aku tidak tahu, tapi dia mencari seorang gadis yang bernama Mintarsih.
Sedangkan aku sendiri juga mencarinya."
Citrasoma dan kedua muridnya terkejut setengah mati saat Rangga menyebut nama
Mintarsih. Dan tampaknya keterkejutan mereka diketahui Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Kenapa Paman terkejut?" tanya
Rangga. "Kisanak, kau tadi menyebut seorang gadis bernama Mintarsih. Apakah kau
mengenalnya?" tanya Citrasoma ingin tahu.
"Untuk apa Paman tanyakan itu?"
Rangga balik bertanya.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja," sahut Citrasoma seraya melirik Bantara
dan Andira. "Hm.... Rupanya banyak juga yang menghendaki gadis itu. Ada apa pada diri
Mintarsih...?" gumam Rangga di dalam hati.
"Kisanak, sepertinya di antara kita belum pernah berjumpa sebelumnya. Dan aku
tidak tahu siapa dirimu. Tapi, mengapa kau juga ingin mencari Mintarsih" Apa
hubungannya antara kau dengan gadis itu?"
tanya Citrasoma menyelidik.
"Tidak ada hubungan apa-apa. Dia
hanya punya hutang denganku," jawab Rangga seenaknya.
"Hutang..." Hutang apa, Kisanak?"
desak Citrasoma.
"Hanya dia yang tahu. Dan kau, atau siapa saja tidak boleh mengetahuinya,"
tegas Rangga. Sedangkan Rangga sendiri tidak tahu, hutang apa yang harus dibayar Mintarsih
padanya. Pertanyaan tadi memang hanya dijawab seenaknya saja. Pendekar Rajawali
Sakti itu memang tidak ingin orang lain tahu, mengapa dia mencari gadis itu.
Karena, Rangga memang tidak punya alasan yang kuat, dan hanya didasari rasa
penasaran saja. Masalahnya begitu banyak orang yang menghendaki Mintarsih.
Sedangkan gadis itu belum mengatakan apa-apa sampai menghilang tak ketahuan
rimbanya. Tapi keisengan dan jawaban seenaknya itu justru membuat Rangga heran, karena
tiba-tiba saja Citrasoma mengegoskan kepalanya sedikit. Dua orang muridnya
seketika berlompatan ke samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Segera saja pemuda berbaju rompi putih itu waspada begitu melihat gelagat yang
kurang baik ini. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap tajam Citrasoma yang berada
di depannya. "Tidak kusangka, ternyata kau adalah
orangnya, Anak Muda," terasa dingin nada suara Citrasoma.
"Hm...," Rangga hanya bergumam dan berkerut keningnya.
"Semula dugaanku pelakunya adalah wanita. Tapi dugaanku meleset. Ternyata
pelakunya adalah anak muda gagah dan tampan. Sayang sekali, hatimu tidak lebih
busuk dari mereka!" Citrasoma menuding mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Heh..."!" Rangga terkejut mendengar kata-kata yang tidak dimengerti sama sekali
itu. "Aku peringatkan padamu, Anak Muda.
Jangan ganggu Mintarsih lagi. Dia sudah berada di tempat yang aman. Dia tidak
bersalah. Kau sudah menghancurkan hidupnya, membunuh ayah dan ibunya serta
saudara-saudaranya. Dengar, Anak Muda.
Jangan ganggu Mintarsih lagi, atau akan berhadapan denganku!" tegas kata-kata
Citrasoma. Rangga benar-benar terhenyak kali ini. Sama sekali tidak dimengerti perkataan
laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Citrasoma ini. Semula laki-laki
setengah baya itu ramah dan sopan, tapi mendadak saja beringas begitu mendengar
nama Mintarsih disebut Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Ini hanya peringatan saja, Anak Muda! Kau boleh saja membunuh keluarga
Mintarsih, tapi belum tentu dapat menandingiku!" ujar Citrasoma lagi.
Rangga benar-benar terpaku dan sampai ternganga tidak mampu mengeluarkan kata-
kata. Mulutnya serasa terkunci dan otaknya jadi beku. Sukar sekali berpikir
jernih. Kata-kata Citrasoma begitu tegas dan sangat menusuk, namun sukar
dimengerti. Pendekar Rajawali Sakti itu masih terpaku bengong saat Citrasoma
melompat naik ke punggung kudanya.
Dua pemuda muridnya bergegas melompat naik ke punggung kudanya masing-masing.
Gerakan mereka sungguh indah dan ringan sekali, pertanda memiliki kemampuan yang
cukup tinggi. Terutama Citrasoma.
Gerakannya tak menimbulkan suara sedikit pun. Tanpa menunggu banyak waktu lagi,
mereka menggebah kudanya meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
*** 6 Persoalan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti semakin bertambah rumit saja.
Dia sudah tidak ingin lagi memperpanjang pencariannya pada Mintarsih, tapi kini
malah seperti hewan buruan saja. Ke mana pun pergi, selalu saja ada yang
menghadang. Mereka selalu ingin
meminta Mintarsih. Bahkan Rangga tidak mungkin bisa menghindari kekerasan.
Selama tiga hari ini, siang dan malam Pendekar Rajawali Sakti tak dapat
beristirahat tenang.
Sepertinya setiap jengkal tanah yang dipijak memiliki mata. Entah sudah berapa
kali Pendekar Rajawali Sakti harus berhadapan dengan orang-orang tidak dikenal
yang menginginkan Mintarsih.
Bahkan mereka juga selalu mendesak agar Rangga menunjukkan letak Padepokan Arum.
Hal ini tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi kebingungan, tapi
juga penasaran.
"Phuih...! Apa sih sebenarnya yang ada pada Mintarsih...?" dengus Rangga seraya
menyeka keringat di leher.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti itu menyelesaikan satu pertarungan yang
melelahkan. Tidak kurang dari sepuluh orang berkemampuan cukup tinggi
mengeroyoknya. Seperti yang lain-lainnya, mereka juga menghendaki Mintarsih.
Bahkan mendesak Rangga untuk memberitahukan di mana letak Padepokan Arum.
Beberapa kali pula Rangga mengatakan kalau dia tidak tahu, tapi orang-orang itu
terus mendesak. Bahkan menggunakan kekerasan.
Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti benar-benar lenyap. Tapi dia tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Memang, bisa
saja Rangga pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi apakah itu akan
menyelesaikan semua persoalan" Tidak!
Rangga tidak akan meninggalkan daerah ini sebelum apa yang membuat dirinya
terpontang-panting seperti ini tuntas.
Tapi kapan..." Dari mana harus
memulainya..." Pertanyaan ini yang selalu menghantui Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu
memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Sebenarnya hatinya tak
tega bila menjatuhkan tangan, karena tidak mengenal mereka. Tapi itu harus
dilakukan demi keselamatan dirinya.
Mereka akan membunuh kalau tidak dibunuh.
Sungguh Rangga tidak menghendaki hal seperti ini terjadi. Tangannya berlumuran
darah orang-orang yang tidak dikenal sama sekali. Bahkan tidak mempunyai
persoalan dengannya.
"Aku harus mencari biang keladi dari semua ini!" desis Rangga datar. "Ya...,
harus! Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi berjatuhan. Aku tidak ingin
jadi pembunuh orang-orang yang tidak berdosa. Aku bukan pembunuh...!"
Hampir gila rasanya Rangga menghadapi kejadian seperti ini. Hal itu tidak
diinginkan, tapi harus dilakukan.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi desa yang tidak berapa jauh dari Lereng Bukit
Growong ini. Desa yang sampai kini tidak diketahui namanya, dan kelihatan
tenang. Sepertinya tidak pernah mendengar dan terpengaruh peristiwa ini.
"Hm..., mungkin harus kumulai dari Ki Rampat. Tampaknya dia mengetahui tentang
diri Mintarsih. Ya..., pemilik penginapan itu harus kutemui," desis Rangga
berbicara sendiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu sempurnanya ilmu yang dimiliki, sehingga seperti terbang saja di atas
tanah. Sepasang kakinya bergerak cepat bagai tidak menapak permukaan tanah.
Begitu cepatnya Rangga berlari, sehingga yang tampak hanya bayangan putih
berkelebat menuruni lereng Bukit Growong.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlari kencang menuju desa di kaki bukit ini.
*** Dalam waktu yang tidak begitu lama Rangga
sudah tiba di depan rumah
penginapan milik Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja menerobos
masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan memiliki lebih dari sepuluh kamar
sewaan. Ki Rampat yang sedang duduk di kursi goyang, sangat terkejut begitu
melihat Rangga tiba-tiba muncul seperti hantu saja. Laki-laki tua itu
menggerinjang bangkit berdiri.
"Duduk saja, Ki. Aku hanya sebentar di sini," kata Rangga.
Meskipun pemuda berbaju rompi putih itu baru saja berlari cepat dari lereng
Bukit Growong, tapi tak terlihat kalau merasa lelah. Bahkan setetes keringat pun
tidak tampak di wajahnya. Rangga menarik kursi rotan dan mendekatkannya pada
kursi goyang. Ki Rampat sudah duduk kembali di kursinya.
"Ada apa, Den" Kelihatannya penting sekali," ujar Ki Rampat seraya merayapi
wajah Rangga. Pemuda itu memang kelihatan tegang.
Mimik wajahnya begitu sungguh-sungguh, dengan sorot mata tajam menusuk. Ki
Rampat jadi jengah juga dipandangi sedemikian rupa.
"Ki Rampat masih ingat gadis yang kubawa ke sini?" tanya Rangga datar.
"Mintarsih maksud Raden?" Ki Rampat ingin menegaskan.
"Benar."
"Ada apa dengannya, Den?"
"Di mana dia sekarang, Ki?" Rangga balik bertanya. Namun suaranya dingin, tanpa
getaran sama sekali.
"Wah...! Mana aku tahu, Den," sahut Ki Rampat.
"Ki Rampat tahu, siapa yang membawa Mintarsih pergi?"
"Tidak, Den."
"Dengar, Ki. Aku akan berkata terus terang padamu, tapi kuminta kau juga jangan
menyembunyikan sesuatu padaku. Ini masalah serius, Ki. Menyangkut nyawa!"
mantap suara Rangga.
Ki Rampat terdiam membisu. Ditatapnya wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-
dalam. "Sejak Mintarsih pergi tanpa
diketahui, aku selalu dikejar-kejar orang-orang yang tidak kukenal sama sekali.
Mereka menyangka aku menyembunyikan Mintarsih, dan selalu mendesakku agar
menunjukkan letak Padepokan Arum.
Padahal semua itu aku tidak tahu, Ki,"
jelas Rangga bernada sungguh-sungguh.
Ki Rampat masih terdiam. Raut
wajahnya kelihatan menegang. Sorot matanya memancarkan sesuatu yang sukar
dilukiskan. Sedangkan Rangga menatap tajam laki-laki tua pemilik kedai ini.
"Aku ingat kau pernah bilang kenal dengan Mintarsih, juga keluarganya. Siapa
sebenarnya gadis itu, Ki" Kenapa begitu banyak orang mencari dan
menginginkannya?" desak Rangga.
"Yaaah..., aku memang mengetahui keluarga Mintarsih, tapi tidak seluruh-nya.
Terutama kehidupan ibunya. Tak ada
yang tahu, siapa wanita itu dan dari mana asalnya. Ayah Mintarsih membawa wanita
itu sepulang dan pengembaraannya yang panjang...," Ki Rampat berhenti.
"Teruskan, Ki," pinta Rangga ingin tahu.
"Ki Jara Botang bisa terpilih jadi kepala desa di sini, karena ayahnya juga dulu
kepala desa di sini. Jadi keluarga mereka memang sudah turun-temurun menjadi
kepala desa. Tapi Ki Jara Botang tidak begitu lama menjadi kepala desa.
Kedudukannya diserahkan pada penghulu, lalu seluruh keluarganya dibawa pergi.
Tidak ada yang tahu, kenapa dan ke mana perginya. Dan sejak itu tak ada kabar
beritanya lagi. Itu sebabnya aku terkejut saat melihat kau datang ke sini
bersama Mintarsih. Wajahnya tidak berubah banyak, meskipun waktu pergi masih
berusia lima belas tahun. Hanya saja sekarang ini dia kelihatan begitu cantik,"
kembali Ki Rampat menghentikan ceritanya.
"Ki, apakah Mintarsih punya saudara?"
tanya Rangga. "Ada. Ki Jara Botang punya adik bernama Citrasoma. Tapi tidak ada yang tahu, di
mana Citrasoma kini berada.
Sudah puluhan tahun, bahkan sebelum Ki Jara Botang datang ke desa ini, Citrasoma
sudah tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya."
"Citrasoma...," desis Rangga
bergumam. Pendekar Rajawali Sakti itu teringat akan pertemuannya dengan Citrasoma dan dua
orang pemuda yang kelihatan begitu patuh. Tapi, mengapa Citrasoma menuduh Rangga
membunuh seluruh keluarga Mintarsih" Apakah Mintarsih yang mengatakannya"
Rangga tidak percaya kalau gadis secantik Mintarsih bisa melakukan perbuatan
keji seperti itu. Pendekar Rajawali Sakti juga ingat kalau Citrasoma mengatakan
Mintarsih sudah berada di tempat aman.
Mungkinkah dua orang pemuda itu yang membawa Mintarsih dari penginapan ini..."
"Ki, apakah dua laki-laki yang
membawa Mintarsih masih muda...?" Rangga kemudian menyebutkan ciri-ciri dua
pemuda yang bersama Citrasoma.
"Wah! Benar itu, Den...!" sentak Ki Rampat. "Memang yang menjemput Mintarsih
masih muda, dan ciri-cirinya pun tepat, Den."
Rangga bergumam pelan. Kini barulah diketahui kalau Mintarsih sekarang berada
dalam lindungan pamannya. Kalau memang benar laki-laki itu bernama Citrasoma,
adik kandung ayah gadis itu. Tapi kelihatannya memang benar, karena dia begitu
marah saat Rangga menyebut nama Mintarsih dan mengatakan sedang mencarinya.
Laki-laki setengah baya itu
langsung menuduh Rangga membunuh seluruh keluarga Mintarsih, meskipun baru
ancaman saja yang dikeluarkan.
"Dari mana Raden tahu kalau mereka yang membawa Mintarsih?" tanya Ki Rampat
heran. "Aku sempat bertemu mereka, Ki.
Bahkan ada yang mengaku bernama Citrasoma," sahut Rangga terus-terang.
"Oh...," Ki Rampat mengangguk-
anggukkan kepalanya. "Jadi sekarang Mintarsih bersama pamannya...?"
"Dugaanku memang begitu, Ki. Hanya saja...."
"Kenapa, Den?"
"Aku tidak mengerti, mengapa mereka menuduh aku sebagai pembunuh seluruh
keluarga Mintarsih. Padahal...."
"Jagad Dewa Batara...!" desis Ki Rampat terkejut, sehingga memutuskan ucapan
Rangga. "Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Ternyata semua ini terjadi juga,"
desah Ki Rampat bergumam lirih.
Rangga jadi keheranan begitu melihat raut wajah Ki Rampat berubah mendung. Dan
laki-laki tua itu memandangi bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya.
Dengan tangan bergetar, Ki Rampat mengambil tangan Rangga dan menggenggam-nya
erat-erat. Bibirnya bergetar seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tapi tak
ada suara sedikit pun keluar dari bibirnya.
"Raden, dapatkah Raden menolong-ku...?" pinta Ki Rampat berharap.
"Apa yang harus kutolong, Ki?" tanya Rangga.
"Tolong hentikan semua partumpahan darah ini. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu.
Tolong, Den.... Aku percaya Raden mampu melakukannya," ratap Ki Rampat penuh
harap. Rangga benar-benar tidak mengerti sikap Ki Rampat yang mendadak jadi berubah
begini, tepat saat Rangga mengatakan kalau seluruh keluarga Mintarsih sudah
tewas terbunuh. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati dan semakin tidak
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti. Kepalanya berdenyut kencang, pening rasanya....
*** Rangga terbangun dari tidur ketika mendengar suara percakapan yang samar-samar.
Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, dan
menjadi tertegun. Ternyata suara itu datang dari depan kamarnya, yang berarti
adalah kamar Ki Rampat.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak turun dari pembaringan, lalu
melangkah ringan mendekati pintu.
Ditempelkan telinganya di daun pintu.
Dengan mempergunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti itu
dapat mendengar jelas pembicaraan di seberang kamarnya. Dan hatinya terkejut,
karena salah satu suara adalah milik Ki Rampat. Sedangkan satunya lagi suara
seorang wanita.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau masih juga belum bisa melupakannya, Rara
Anting?" terdengar suara Ki Rampat begitu pelan.
"Hidupku tidak akan tenang sebelum dendamku terbalas, Ayah," terdengar sahutan
suara wanita. "Tapi perbuatanmu ini sudah
keterlaluan, Rara Anting. Tidakkah kau sadari kalau semua itu akan membahayakan
dirimu sendiri" Berpikirlah sekali lagi, Anakku. Rasanya belum terlambat untuk
menghentikan semuanya...."
"Tidak! Aku
tidak akan berhenti
sebelum mereka semua mampus!" agak keras suara wanita itu.
"Dengar, Rara Anting. Perbuatanmu itu sudah membahayakan jiwa orang lain.
Bahkan telah meluas sampai mengorbankan orang-orang yang tidak tahu apa-apa."
"Memang itu yang kuharapkan, Ayah.
Aku akan membuat mereka berpikir seribu kali. Aku akan mengoyak jiwa mereka
sebelum akhirnya akan mengoyak jantung
mereka!" "Anting...!"
"Ayah tidak perlu cemas. Bersikaplah seperti biasa, pura-pura tidak tahu apa-
apa. Semua ini urusanku, Ayah. Aku tidak akan melibatkanmu, atau sanak keluarga
dan kerabat kita. Ini semua menjadi tanggung jawabku. Dan aku akan mati
tersenyum jika mereka semua sudah mampus."
"Setan sudah merasuk dalam jiwamu, Rara Anting."
"Aku tidak peduli apakah itu setan atau malaikat. Tekadku sudah bulat, dan tidak
akan tercabut sampai tetes darahku yang terakhir. Ayah tidak akan bisa
menghalangiku, juga siapa saja tidak akan bisa!"
"Oh..., Rara Anting. Kau tidak
berbeda dengan ibumu...."
"Jangan bawa-bawa mendiang ibu dalam urusan ini, Ayah. Ibu tidak tahu apa-apa,
dan sudah tenang di sisi Hyang Widi."
"Tapi ibumu akan kecewa atas
perbuatanmu, Rara Anting. Bahkan aku juga kecewa.... Kecewa sekali...."
"Tapi ingat, Ayah. Semua yang
kulakukan adalah untuk mengembalikan derajat dan martabat seluruh keluarga.
Aku tidak rela keluargaku terinjak-injak, terhina, dan terbuang bagai sampah
kotor menjijikkan!"
"Tidak ada yang melakukan itu padaku, Rara Anting. Tidak ada...."
"Mungkin sungkan pada Ayah! Tapi apakah mereka memandangmu saat...," suara
wanita itu terputus.
"Sudahlah, Rara Anting. Jangan kau ungkit-ungkit lagi masa lalu. Aku ingin kau
menghentikan semua ini. Sebelum terlambat, Rara Anting."
"Tidak, Ayah! Martabat, kehormatan, dan harga diri kita sudah tercabik. Dan aku
tidak akan diam begitu saja. Aku akan membalas, apa pun yang akan terjadi pada
diriku. Percayalah, Ayah. Semua yang kulakukan karena aku mencintaimu, mencintai
seluruh keluarga kita."
Tidak lagi terdengar suara Ki Rampat.
Juga tidak lagi terdengar suara wanita itu. Sementara Rangga terus mengerahkan
ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Pendekar Rajawali Sakti itu masih berada dekat
dengan pintu kamar yang disewanya ini.
Pembicaraan tadi sungguh menarik perhatiannya. Sungguh tidak diketahuinya kalau
Ki Rampat mempunyai seorang anak yang memiliki suara merdu, tapi juga amat tegas
kedengarannya. Lama juga Rangga menunggu, tapi tidak kunjung terdengar percakapan itu lagi.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai jenuh.
Tapi begitu ajiannya akan ditarik, mendadak terdengar suara langkah kaki,
disusul terdengarnya daun pintu berderit terbuka. Tak lama kemudian terdengar
suara daun pintu tertutup. Kembali terdengar suara langkah kaki yang semakin
menjauh. Rangga terus mendengarkan sampai suara langkah kaki itu hilang dari
pendengaran. *** Pagi-pagi sekali Rangga sudah keluar dari kamar penginapannya. Pada saat hendak
menutup pintu, Ki Rampat keluar dari kamarnya sendiri yang berada tepat di depan
kamar Pendekar Rajawali Sakti itu. Ki Rampat tampak terkejut, tapi buru-buru
tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Rangga membalas dengan anggukan
kepalanya juga.
"Akan pergi, Ki?" tegur Rangga
melihat Ki Rampat kelihatan begitu rapi.
"Akan mengunjungi kerabat," sahut Ki Rampat.
"Pagi-pagi begini...?"
"Rumahnya cukup jauh, agar tidak kesiangan. Aku harus pagi-pagi sekali agar
pulangnya tidak kemalaman di jalan.
Aku tidak menginap, kok."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu sempat
melihat kedua mata Ki Rampat memerah seperti tidak tidur semalaman.
Sedangkan Ki Rampat sudah melangkah meninggalkannya. Sejenak Rangga
memperhatikan punggung laki-laki tua itu, kemudian juga berjalan ke luar.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja berjalan menyusuri lorong yang tidak
begitu panjang, yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar sewaan yang
tertutup rapat. Keluar dari lorong itu, Rangga langsung masuk ke bagian ruangan
yang cukup besar dengan perabotan cukup indah tertata apik. Pemuda berbaju rompi
putih itu terus saja berjalan melintasi ruangan depan ini menuju pintu keluar.
Rangga sempat melihat Ki Rampat memacu cepat kudanya keluar dari halaman rumah
ini. Saat ini memang masih terlalu pagi, dan matahari baru saja menampakkan
cahayanya yang memerah jingga di ufuk timur. Belum ada seorang pun yang keluar
dari rumahnya. Kabut tebal menyebarkan udara dingin membuat seluruh penduduk
desa ini masih suka berada di
pembaringan. Rangga terus berjalan melintasi halaman yang tidak begitu luas ini. Embun masih
membasahi tanah berumput, terasa dingin menusuk kulit kaki. Namun Pendekar
Rajawali Sakti itu terus saja berjalan, menuju arah yang sama dengan arah
kepergian Ki Rampat. Tapi belum juga jauh meninggalkan rumah penginapan Ki
Rampat, mendadak saja matanya melihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat
bagaikan kilat. Bayangan merah itu bergerak menuju arah yang sama dengan kepergian Ki
Rampat. "Hm...," Rangga menggumam pelan.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar bayangan merah itu. Dalam keadaan
berkabut tebal begini, memang sukar bagi Rangga untuk bisa melihat jauh. Namun
karena mempergunakan aji
'Tatar Netra', Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengikuti gerakan bayangan
merah yang berkelebat cepat menyelinap di antara pepohonan. Bahkan Ki Rampat
masih bisa terlihat walaupun laki-laki tua itu terus memacu kudanya dengan
kecepatan tinggi.
"Hm..., tampaknya dia mengikuti Ki Rampat," gumam Rangga dalam hati.
Rangga semakin yakin kalau bayangan merah itu terus mengikuti ke mana Ki Rampat
pergi. Memang tampaknya bayangan itu menjaga jarak agar Ki Rampat tidak
mengetahui. Dan Rangga sendiri juga menjaga jarak dari bayangan merah itu.
Tapi, mendadak saja bayangan merah itu berhenti bergerak, dan tiba-tiba pula
berbalik. Wuk! "Heh...!"
Rangga terkejut bukan main, begitu
tiba-tiba sosok tubuh berbaju merah itu mengebutkan tangannya. Seketika secercah
sinar merah meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Begitu cepatnya
sehingga Rangga sampai terperangah. Namun bergegas dilentingkan tubuhnya
berputar menghindari terjangan sinar merah itu.
Dan saat kakinya menjejak tanah, Rangga jadi tertegun karena orang yang
dibuntuti sudah lenyap. Demikian pula Ki Rampat yang juga sudah tidak terlihat
lagi. Kabut demikian tebal. Hal ini menyulitkan Rangga untuk melihat lebih jauh
lagi, meskipun mengerahkan aji
'Tatar Netra'. Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, dan bukan main
terperanjatnya begitu melihat pohon di belakangnya hancur bagai terbakar. Pada
batangnya terlihat sebuah benda kecil berbentuk
segitiga berwarna merah
tertanam agak menyembul ke luar.
"Ki Rampat...!" sentak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi mencemaskan keselamatan Ki Rampat. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Rangga berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh. Sungguh luar biasa!
Hanya bayangan putih saja yang terlihat dan sulit ditangkap oleh pandangan mata
biasa. *** 7 Dalam waktu sebentar saja Rangga sudah kembali melihat bayangan merah itu yang
masih terus membuntuti Ki Rampat.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga agak heran karena Ki Rampat justru memutari
kaki Bukit Growong. Padahal di sekitar kaki bukit ini tidak ada desa lain.
Bahkan sebuah rumah pun tidak ada.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir lebih jauh lagi,
mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking. Pendekar Rajawali Sakti itu
sempat terkejut. Namun belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja dia
dihujani ratusan anak panah dari segala penjuru.
"Hiyaaa..!"
Terpaksa Rangga berjumpalitan di udara menghindari serbuan anak panah itu.
Luar biasa! Tak ada sebatang anak panah pun yang bisa menjamah kulit tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan Rangga memang luar biasa cepatnya.
Berjumpalitan di udara tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Mendadak hujan anak panah itu
berhenti, tapi sesaat kemudian terdengar teriakan-teriakan keras membahana.
Sebentar kemudian bermunculanlah orang-orang bersenjata berbagai macam. Mereka
langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras.
"Tahan...!" seru Rangga keras
menggelegar. Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak didengar sama sekali. Puluhan
orang bersenjata itu terus merangsek melancarkan serangan gencar. Rangga tak
punya pilihan lain lagi. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, langsung
direntangkan tangannya ke samping. Maka seketika itu juga dihentakkan tangannya
ke depan, lalu ditarik ke depan dada dengan telapak tangan tertutup merapat.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Hiyaaa...!"
teriak Rangga keras.
Begitu suara Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap, seketika terdengar suara angin
menggemuruh. Lalu entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di sekitar tempat
itu terjadi badai topan amat dahsyat. Orang-orang yang mengeroyok Rangga
langsung menjerit-jerit, dengan tubuh berpelantingan. Mereka terhempas tak mampu
menahan hembusan angin yang begitu kuat.
Orang-orang itu berhamburan,
beterbangan bagai daun-daun kering berguguran. Jerit dan pekik melengking
kesakitan terdengar meningkahi deru angin
dahsyat. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil merentangkan
kaki lebar-lebar dan tangan menyatu di depan dada.
"Hiyaaa...! Hap!"
Mendadak Rangga menghentakkan
tangannya ke samping. Seketika itu juga badai berhenti. Sekitar tempat itu jadi
porak-poranda bagai baru saja diamuk ratusan babi hutan. Tubuh-tubuh
bergelimpangan tertindih batu dan
pepohonan tumbang. Suasana jadi sunyi sepi. Rangga mengedarkan pandangannya ke
sekeliling, dan matanya kemudian tertumbuk pada sosok tubuh berjubah hitam agak
bungkuk yang berdiri di atas sebatang pohon tumbang.
Sosok tubuh berjubah hitam itu
seorang perempuan tua keriput, dan rambutnya sudah memutih semua. Tangannya
menggenggam sebatang tongkat berwarna merah yang bagian atasnya berbentuk
segitiga berujung runcing. Rangga menggeser kakinya ke samping saat perempuan
tua berjubah hitam itu melompat turun dari pohon yang tumbang. Dia melangkah
beberapa tindak, lalu berhenti setelah jaraknya sekitar lima langkah lagi di
depan Rangga. "Hebat...! Ternyata kau memiliki kepandaian yang tinggi juga, bocah!"
kering dan datar suara wanita tua itu.
"Nisanak, siapa kau" Kenapa
menghadang perjalananku?" tanya Rangga tegas.
"Hik hik hik..., orang-orang biasa memanggilku Dewi Maut. Kedatanganku ke sini
karena permintaan muridku yang merasa terganggu dengan adanya kau di sini,
bocah," sahut perempuan tua itu yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewi Maut.
"Aku tidak kenal siapa muridmu, dan juga tidak kenal denganmu, Dewi Maut,"
ujar Rangga dingin.
"Aku tidak peduli kau kenal atau tidak! Tapi adanya kau di sini telah membuat
muridku jadi tidak tenang. Dan kau telah merusak hampir semua
rencananya!" agak keras suara Dewi Maut.
"Aku semakin tidak bisa memahami kata-katamu, Dewi Maut," desis Rangga agak
bergumam. "Aku tidak peduli! Aku hanya minta, tinggalkan daerah ini, dan jangan kembali
lagi! Mengerti"!"
"Aneh..."! Kenapa aku harus pergi"
Aku bebas ke mana saja aku suka. Dan aku akan pergi dari sini juga sesuka
hatiku. Kau tidak perlu memerintahku, Dewi Maut,"
dingin sambutan Rangga.
"Beludak! Aku peringatkan sekali lagi padamu, bocah! Pergi dengan selamat, atau
hanya nyawamu yang pergi!" ancam Dewi
Maut. "Kau sudah main ancaman segala, Dewi Maut."
"Aku tidak main-main, bocah!"
"Aku juga tidak main-main. Aku akan pergi kapan saja aku suka. Tapi saat ini aku
belum akan pergi!"
"Monyet..! Rupanya kau memilih
mampus!" geram Dewi maut.
"Hidup dan matiku bukan kau yang menentukan. Dan aku tidak akan bisa mati
olehmu!" dingin suara Rangga.
"Setan...! Hiyaaa...!"
Dewi Maut tidak bisa menahan
amarahnya lagi mendapat tantangan terbuka seperti itu. Dengan satu gerakan cepat
luar biasa, dia melompat menerjang sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali.
Rangga bergegas melompat ke belakang, lalu meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
setiap tebasan tongkat berwarna merah itu.
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Serangan-serangan Dewi Maut sungguh
luar biasa dan sangat berbahaya. Hanya sebentar saja Rangga menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', karena Dewi Maut seperti mengetahui jurusnya. Hal ini
membuat Rangga cepat-cepat merubah jurusnya.
Semula Rangga ingin mengukur dulu, sampai di mana tingkat kepandaian Dewi
Maut. Tapi belum juga maksudnya terlaksana, Dewi Maut sudah menghujaninya dengan
serangan berbahaya dari jurus-jurus tingkat tinggi. Hal ini membuat Rangga
kewalahan. Sehingga....
"Hiyaaa...!"
Des! "Akh...!"
Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi tak dapat dihindari lagi. Pendekar
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rajawali Sakti terpekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Dadanya
seketika terasa sesak terkena pukulan Dewi Maut. Pendekar Rajawali Sakti jatuh
bergulingan di tanah. Dan belum sempat berdiri, Dewi Maut sudah melompat
menerjang sambil memukulkan kepala tongkatnya ke arah tubuh pemuda itu.
Terpaksa Rangga bergulingan menghina-dari hantaman tongkat yang bertubi-tubi
itu. Setiap tongkat itu menghantam tanah, maka tanah itu bergetar dan berlubang
cukup besar. Sambil menahan rasa sakit dan sesak pada dadanya, Rangga bergegas
melompat bangkit berdiri begitu berhasil mengelakkan satu pukulan tongkat
berbentuk segitiga pada ujungnya itu.
"Hih!"
Rangga segera mengempos hawa murni untuk mengusir rasa sakit dan sesak pada
dadanya. Untung saja Dewi Maut hanya mengerahkan tenaga dalam saja pada
pukulannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya merasakan nyeri dan sesak
pada dadanya. Tapi hanya dengan menyalurkan hawa murni, semua itu bisa cepat
dihilangkan. Dan Rangga kembali bersiap menerima serangan berikut dan kali ini
tidak ingin main-main lagi.
*** Kini Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi serangan berikut. Tapi Dewi
Maut hanya berdiri tenang saja sambil terkikik. Diputar-putar tongkatnya sampai
menimbulkan suara angin menderu.
Belum juga Rangga sempat berpikir, mendadak saja terdengar siulan nyaring
melengking tinggi. Irama siulan itu sungguh aneh dan menyakitkan telinga.
"Hih hik hik..., ternyata nyawamu masih terlindungi, bocah," kata Dewi Maut
diiringi tawa terkikiknya.
Rangga jadi tertegun.
"Tapi ini bukan berarti persoalan di antara kita sudah selesai," sambung Dewi
Maut. Setelah berkata demikian, Dewi Maut langsung melesat pergi. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan. Rangga tersentak
kaget, tapi tidak punya kesempatan lagi untuk mengejar. Bayangan wanita tua itu
sudah tidak terlihat lagi.
"Phuih! Edan...! Kenapa di sini begitu banyak orang tak waras..."!"
dengus Rangga sengit.
Rangga semakin sengit karena
buruannya sudah tidak ketahuan lagi.
Sambil bersungut-sungut kesal Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi.
Kakinya menyepak tubuh yang menghalangi jalannya. Sosok tubuh tanpa nyawa itu
terpental jauh menghantam pohon. Rangga terus berjalan dengan hati diliputi
kekesalan. Rangga tidak tahu lagi, arah mana yang harus dituju. Tak ada jalan di sini.
Sekelilingnya hanya hutan. Namun kekesalan hati Pendekar Rajawali Sakti itu
terobati ketika melihat jejak-jejak tapak kaki kuda tertera jelas di tanah.
Bergegas dia berjalan cepat mengikuti jejak-jejak kaki kuda. Jelas sekali
terlihat kalau jejak itu masih baru, dan Rangga yakin kalau itu jejak kaki kuda
Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga bisa bergerak cepat mengikuti jejak
yang tertera jelas di atas permukaan tanah. Terlebih lagi matahari sudah
bersinar penuh, dan kabut pun tak lagi menghalangi pandangan mata. Tapi mendadak
Rangga tersentak. Matanya membeliak lebar dengan mulut ternganga.
"Ki Rampat..!" seru Rangga terkejut.
Tampak Ki Rampat terbujur bersimbah darah, dan sebagian tubuhnya berada di dalam
semak. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri dan mengeluarkan laki-
laki tua itu dari dalam semak.
Seberkas cahaya harapan memancar di mata, Rangga begitu mengetahui Ki Rampat
masih bernapas.
"Ki..., Ki Rampat," panggil Rangga pelan.
"Ohhh...," Ki Rampat merintih lirih.
Perlahan mata laki-laki tua itu terbuka.
"Raden...," lemah sekali suara Ki Rampat.
"Iya, ini aku. Kenapa jadi begini, Ki" Siapa yang melakukan semua ini?"
tanya Rangga. "Raden..., tolonglah aku. Hentikan pertumpahan darah ini. Tolong Raden...,"
semakin lemah suara Ki Rampat.
"Aku akan membantumu, Ki. Tapi
katakan, siapa yang melakukan semua ini?"
"Aku orang tua yang gagal, Raden. Aku gagal.... Seluruh hidupku tidak luput dari
gelimang dosa. Aku tidak
mengharapkan semua ini terjadi, tidak kuasa mencegah. Aku hanya orang tua yang
gagal...," tersendat suara Ki Rampat.
"Tenang, Ki...," ujar Rangga.
"Memang sudah kuduga semua ini bakal
terjadi. Tapi aku sudah berusaha mencegah.... Oh Dewata Yang Agung, begitu besar
dosa yang kuperbuat sehingga kau hukum aku dengan siksaan begini berat..,"
rintih Ki Rampat. Air matanya menitik keluar.
Rangga tak bisa berkata apa-apa lagi, dan memang tidak tahu harus berkata apa.
Dia hanya mendengarkan saja, meskipun suara Ki Rampat sudah terbata-bata dan
begitu lemah. "Seandainya aku punya anak sepertimu, tentu hidupku akan bahagia sekali, Den.
Tapi rupanya Hyang Widi menghendaki lain.
Meskipun dia wanita, tapi hatinya sekeras batu. Aku tidak tahu, setan mana yang
membuatnya jadi buta...."
"Ki...."
"Aku menyayanginya, Den. Aku
mencintainya. Tapi balasan yang kuperoleh... Oh! Tidak.... Sungguh memalukan,
Den. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis yang tidak bisa lagi membedakan dan lupa
dari mana asalnya."
Rangga diam saja, dan langsung
teringat akan pembicaraan yang
didengarnya semalam.
"Ki, apakah anakmu yang melakukan semua ini?" tanya Rangga, agak tertahan
suaranya. "Aku mencintainya, Den. Tolong
sadarkan dia. Tolong bawa dia kembali ke
jalan yang benar. Singkirkan iblis yang bersemayam di hatinya. Tolong, Den...,"
rintih Ki Rampat lemah.
"Aku akan berusaha, Ki," sahut Rangga pelan.
"Terima kasih, Den. Aku senang
mendengarnya."
Ki Rampat tersenyum. Tapi senyum itu langsung memudar, dan matanya terpejam.
Kepala laki-laki tua itu terkulai. Rangga meletakkan tubuh Ki Rampat yang sudah
tidak bernyawa lagi. Sebentar dipandangi jasad laki-laki tua itu, kemudian
bangkit berdiri.
"Hhh.... Aku tidak yakin apakah aku mampu..." Sedangkan dia sudah begitu tega
membunuh ayahnya sendiri," desah Rangga dalam hati.
*** Rangga baru saja selesai menguburkan jasad Ki Rampat ketika mendengar jeritan
melengking tinggi, disusul teriakan-teriakan keras disertai denting senjata
beradu. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya, mencari
sumber suara itu. Jelas sekali suara-suara itu terdengar, dan sepertinya tidak
jauh dari tempat ini.
Rangga tertegun memandangi gundukan batu-batu besar yang menyembul keluar
dari puncak pepohonan. Suara-suara pertarungan itu berasal dari sana.
Sedangkan Rangga tahu kalau itu merupakan bukit batu kecil yang berada di lereng
Bukit Growong ini. Maka pemuda berbaju rompi putih itu tidak mau berpikir
panjang lagi, lalu bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
menuju arah suara pertarungan itu.
Jarak dari tempat Rangga menguburkan Ki Rampat dengan gundukan batu itu memang
tidak seberapa jauh lagi. Sehingga dalam waktu sebentar saja Pendekar Rajawali
Sakti sudah sampai di sana. Suara pertempuran itu memang jelas terdengar, dan
berasal dari tempat ini. Tapi....
"Edan...!" dengus Rangga sambil memandangi gundukan batu yang menjulang cukup
tinggi itu. Jelas sekali kalau suara pertarungan itu berasal dari situ. Dan Rangga hampir
saja tidak percaya kalau tidak melihat percikan bunga api membumbung tinggi ke
angkasa. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera naik ke puncak batu
itu. Hanya dua kali lompatan saja, Rangga sudah mencapai puncak batu. Dan
kembali hatinya tertegun. Ternyata batu ini bukan hanya sebuah bukit kecil di
lereng Bukit Growong, tapi merupakan tempat yang sangat tersembunyi.
Tumpukan-tumpukan batu ini membentuk lingkaran bagai sebuah cincin raksasa.
Dan di dalam lingkaran batu itu, terlihat sebuah pertarungan dahsyat. Sudah
tidak terhitung lagi berapa tubuh
bergelimpangan tak bernyawa. Angin yang berhembus menyebarkan bau anyir darah.
Rangga pasti tidak akan bisa mengetahui siapa yang sedang bertarung itu, kalau
saja tidak melihat Citrasoma. Di situ ada pula perempuan tua yang tadi bertarung
dengannya. Perempuan tua berjubah hitam yang mengaku sebagai Dewi Maut.
Kini Rangga tahu, ada dua kelompok yang bertarung. Dan perhatian Pendekar
Rajawali Sakti itu terpusat pada seorang gadis muda berwajah cukup cantik
mengenakan baju merah menyala. Dia bertarung bagai singa betina mengamuk karena
kehilangan anaknya. Dengan sebatang tongkat pendek yang ujung-ujungnya berbentuk
segitiga, gadis itu seperti malaikat maut pencabut nyawa.
"Mintarsih...," desis Rangga ketika mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
Tampak di balik sebatang pohon, Mintarsih berlindung memperhatikan jalannya
pertempuran. Wajah gadis itu kelihatan ketakutan dan tubuhnya bergemetar. Rangga
segera melentingkan tubuhnya, meluruk turun ke bawah.
Langsung didaratkan kakinya tepat di
belakang Mintarsih.
"Oh...!" Mintarsih terkejut.
Tapi begitu melihat Rangga yang muncul, gadis itu menarik napas panjang.
Langsung gadis itu menghambur memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja pemuda
berbaju rompi putih itu jadi kelabakan. Buru-buru dilepaskan pelukan Mintarsih.
Sementara itu pertarungan terus berlangsung sengit.
"Tolong, Kakang. Mereka hendak
menghancurkan Padepokan Paman," rintih Mintarsih berharap.
"Siapa mereka?" tanya Rangga.
"Mereka yang selalu mengejar-
ngejarku, Kakang. Mereka ingin menuntut balas, terutama Rara Anting. Mereka
sangat kejam, Kakang," agak terbata suara Mintarsih.
Rangga memandangi dalam-dalam gadis itu. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah
mendengar nama Rara Anting. Ya..., dia ingat! Rara Anting adalah putri Ki
Rampat. Hal itu diketahuinya ketika mendengar percakapan Ki Rampat dengan Rara
Anting semalam.
"Tarsih, apa sebenarnya yang
terjadi?" tanya Rangga meminta
penjelasan. "Nanti kujelaskan, Kakang. Sekarang tolonglah bantu Paman mengusir mereka,"
sahut Mintarsih sambil berharap.
"Aku tidak tahu, mana kelompok
pamanmu, dan mana musuh-musuhnya."
"Pokoknya yang memakai baju biru, itulah murid-murid Paman. Sedangkan yang
lainnya bukan," Mintarsih memberitahu.
Rangga mengalihkan perhatiannya pada pertarungan itu. Dan memang, tampaknya
orang-orang yang mengenakan baju biru sudah terdesak. Terlebih lagi Citrasoma
yang sudah kewalahan menghadapi Dewi Maut. Hanya saja Rangga masih ragu-ragu,
harus memihak kelompok yang mana.
Namun melihat orang-orang Padepokan Arum semakin terdesak, Pendekar Rajawali
Sakti akhirnya memutuskan untuk segera melompat masuk ke dalam kancah
pertarungan itu. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti rupanya membuat kedua
kelompok itu terkejut, karena mereka tidak ada yang mengenal. Hanya beberapa
orang saja yang mengetahuinya.
Tapi karena Rangga menghajar orang-orang yang tidak mengenakan baju biru, maka
kehadiran Pendekar Rajawali Sakti itu disambut gegap gempita oleh mereka yang
mengenakan baju biru. Terlebih lagi dalam waktu sebentar saja, Rangga sudah
menjatuhkan lebih dari sepuluh orang.
Namun kemunculan Rangga rupanya mendapat perhatian dari Dewi Maut juga.
Dan perempuan tua itu jadi geram bukan main. Sedangkan Citrasoma keheranan,
karena Rangga berpihak padanya dengan menggempur orang-orangnya Dewi Maut.
Meskipun diliputi perasaan heran dan tanda tanya, tapi melihat Rangga terus
menjatuhkan musuh-musuhnya, Citrasoma bangkit kembali semangatnya.
Dalam waktu sebentar saja, keadaan jadi terbalik. Kini anak buah Dewi Maut terus
terdesak. Dan mereka semakin terdesak hebat karena jumlahnya yang semakin
berkurang saja. Tak ada yang sanggup membendung amukan Rangga. Mereka yang
berani mendekat, tidak berumur panjang. Jeritan-jeritan melengking tinggi dan
menyayat kini lebih sering terdengar. Dan tubuh-tubuh terus berjatuhan
berlumuran darah.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Ganggala melompat menghampiri Mintarsih.
Putra Citrasoma itu keluar dari arena pertarungan, dan langsung menyeret
Mintarsih menjauh. Gadis itu menurut saja.
"Siapa laki-laki itu, Kak Tarsih?"
tanya Ganggala.
Rupanya pemuda itu sempat juga
melihat Rangga berbicara dengan Mintarsih sebelum terjun ke dalam pertempuran.
"Namanya Rangga. Dialah yang telah menolongku selama ini," sahut Mintarsih.
"Hm...," Ganggala bergumam.
Tatapan mata pemuda itu sangat dalam,
dan penuh arti yang sukar dilukiskan.
Tatapan mata itu langsung menusuk ke dalam bola mata Mintarsih. Tapi yang
ditatap malah terus memperhatikan Rangga yang sedang bertarung.
*** 8 Keadaan Dewi Maut dan orang-orangnya semakin tidak menguntungkan. Jumlah mereka
semakin berkurang banyak. Bahkan tidak sedikit yang sudah kabur melarikan diri.
Dan keadaan semakin memburuk lagi, saat Rangga sudah mengalihkan perhatiannya
pada Dewi Maut. Memang para pengikut perempuan tua itu sudah tidak berarti lagi
baginya. "Hup! Hiyaaa...!"
Dengan sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti menghadang Dewi Maut yang
mencoba menyingkir mendekati pintu gerbang Padepokan Arum ini. Dewi Maut
menggeram marah, lalu melintangkan tongkatnya di depan dada. Sedangkan Citrasoma bergerak menghampiri Rangga.
"Kita bertemu lagi, Dewi Maut," ujar Rangga dingin.
"Phuih!" Dewi Maut hanya menyemburkan ludahnya saja.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja,
Dewi Maut" tegas Rangga lagi lebih dingin suaranya.
"Bocah kurang ajar! Terimalah
seranganku ini...! Hiyaaa...!"
Dewi Maut rupanya tidak punya pilihan lain lagi, dan langsung saja menyerang
Rangga yang memang sudah siap sejak tadi.
Perempuan tua itu langsung mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali.
Sedangkan Citrasoma bergerak menyingkir, mendekati istri dan anaknya yang sudah
berada mendampingi Mintarsih.
Mereka kini hanya jadi penonton saja.
Sedangkan murid-murid Padepokan Arum sudah berhasil menghancurkan kekuatan para
penyerangnya. Kini pertarungan tinggal antara Rangga melawan Dewi Maut.
Tak ada yang memperhatikan kalau Rara Anting diam-diam sudah meninggalkan tempat
ini. Tapi itu tidak semua.
Ternyata Ganggala justru selalu memperhatikan gadis berbaju merah itu. Dan
begitu Rara Anting melesat keluar, Ganggala segera melompat mengejar. Tak ada
seorang pun yang mengetahui, karena perhatian mereka tertumpah pada pertarungan
antara Rangga melawan Dewi Maut.
Suatu pertarungan tingkat tinggi yang sangat dahsyat.
Tampak jelas sekali kalau Dewi Maut begitu bernafsu ingin cepat-cepat menyu-dahi
pertarungannya ini. Tapi rupanya
lawan yang dihadapi sekarang bukanlah lawan enteng. Meskipun masih muda, tapi
memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan sukar diukur tingkatannya. Sedangkan
Rangga bertarung dengan sikap tenang dan penuh perhitungan.
Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada tanda-tanda pertarungan akan
berakhir. Mereka masih sama-sama tangguh.
Serangan datang silih berganti tanpa henti. Semakin lama pertarungan semakin
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling
sambar dan menghindar. Hanya mereka yang memiliki kepandaian tinggi saja masih
bisa mengikuti jalannya pertarungan itu.
"Lepas..!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Dan seketika itu juga diegoskan tubuhnya ke kiri sambil melontarkan satu
tendangan menyamping. Dewi Maut segera menggeser kakinya menghindari tendangan
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, mendadak saja tangan kiri Rangga mengibas
cepat menghajar pergelangan tangan kanan perempuan tua itu.
Plak! "Akh!" Dewi Maut terpekik kaget Tapi belum hilang keterkejutannya, Rangga sudah
menghantamkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul satu tendangan bertenaga
dalam tinggi menghajar tangan kanan perempuan tua itu.
Kembali Dewi Maut terpekik keras dan tubuhnya terjajar ke belakang.
Perempuan tua itu mengumpat, karena tongkatnya terlepas dari tangan. Namun belum
juga habis mengumpat, Rangga sudah kembali melompat menerjangnya secara cepat.
Dewi Maut berusaha menghindar, tapi....
"Hiyaaa...!"
Des! "Aaakh...!" untuk kesekian kalinya Dewi Maut menjerit keras.
Sukar diikuti pandangan mata biasa, tiba-tiba satu pukulan bertenaga dalam
sempurna kembali mendarat di dada wanita tua berjubah hitam itu. Akibatnya tubuh
Dewi Maut terpental jauh ke belakang. Dan pada saat itu, Rangga melompat cepat
bagaikan kilat dengan kedua tangan mengembang lebar.
Wuk! Wut..! Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mengibas, dan tepat menghantam
bagian dada dan kepala Dewi Maut. Tak terdengar suara lagi dari mulut wanita tua
itu. Tubuhnya langsung membentur batu hingga bergetar seluruh batu yang
melingkari tempat ini. Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil melipat
tangan di depan dada.
Tubuh Dewi Maut melorot turun. Dari
dada dan kepalanya mengucurkan darah segar. Sungguh dahsyat serangan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tangan-tangan Rangga bagaikan sebilah pedang
yang sangat tajam. Apalagi tubuh manusia, sebongkah batu yang sangat keras
sekalipun akan hancur! Dan ini dialami Dewi Maut yang tewas seketika itu juga.
Rangga menarik napas panjang, lalu memutar tubuhnya saat mendengar suara-suara
langkah kaki menghampiri. Tampak Citrasoma, Dewi Wulan, Mintarsih, dan seluruh
murid Padepokan Arum menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
*** Rangga tidak bisa menolak ketika Citrasoma memintanya masuk ke dalam rumah. Dan
mereka kemudian duduk di bagian depan rumah yang besar dan cukup indah ini.
Hanya ada Citrasoma, istrinya, Mintarsih, Bantara dan Andira di situ.
Sedangkan murid-murid Padepokan Arum yang masih hidup langsung sibuk
menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Anak Muda, apakah kau akan menerima permintaan maafku?" ucap Citrasoma.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman. Bisa kumengerti kalau keadaannya memang
membuat kita semua saling mencurigai," ujar Rangga memaklumi sikap
Citrasoma padanya tempo hari.
"Aku waktu itu memang sedang tegang, sehingga tidak bisa membedakan mana kawan
dan mana lawan," kata Citrasoma mengakui.
"Aku mengerti, Paman," ujar Rangga.
"Yaaah.... Sebenarnya ini persoalan keluarga yang sudah bertahun-tahun dan
berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang pasti. Aku sendiri sudah mengalah,
dan mencari kehidupan tenang di sini.
Juga kakakku, atau ayahnya Mintarsih yang juga mengalah sehingga meletakkan
kedudukannya sebagai kepala desa. Dia bahkan menyingkir jauh untuk mencari
ketenangan, melupakan semua persoalan dan kemelut dalam keluarga," kata
Citrasoma. "Tadinya kami semua sudah bisa
melupakan, tapi yaaah.... Beginilah jadinya jika dendam tidak bisa dikubur jauh-
jauh di dasar hati," sambung Dewi Wulan.
"Kalau boleh tahu, apa persoalan yang sebenarnya, Paman?" tanya Rangga ingin
tahu. "Persoalan yang dibuat oleh orang-orang tua kami dulu. Tapi kami semua anak-
anaknya yang harus menanggung akibatnya. Meskipun sudah berusaha melupakan,
tetap saja ada segelintir yang tidak puas dan mencari-cari perkara dengan
mengkait-kaitkan persoalan lama,"
sahut Citrasoma setengah mendesah.
"Sebenarnya persoalannya berawal dari perebutan sumber mata air saja," sambung
Dewi Wulan. "Mata air...?" Rangga terhenyak.
"Benar. Di desa itu dulu hanya ada satu sumber mata air. Dan desa yang terdiri
dari dua keluarga itu yang akhirnya berkembang terus, tahun demi tahun. Dulu
pernah terjadi kemarau yang sangat panjang, sehingga kebutuhan air sangat
penting. Dari situlah awal malapetaka ini terjadi. Dua kelompok keluarga yang
semula hidup rukun, akhirnya pecah hanya karena memperebutkan sumber mata air
demi kepentingan masing-masing. Bahkan mereka saling bunuh,"
tutur Citrasoma.
"Oh...," Rangga mendesah.
"Tapi hal itu tidak berlangsung lama ketika turun hujan kembali, dan menjadikan
daerah ini subur. Bertahun-tahun pertengkaran itu terlupakan. Tapi kembali
timbul lagi saat musim kemarau tiba. Dan pertentangan itu kembali menghangat
sekitar sepuluh tahun lalu.
Kemarau datang begitu panjang, dan banyak sumber air kering. Hanya satu yang
masih bisa diharapkan, tapi tampaknya tidak akan cukup digunakan orang sedesa.
Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai timbul, yang akhirnya menjadi
besar. Kembali dua kelompok keluarga terpecah
menjadi dua, dan akhirnya baku hantam, saling berebut menguasai mata air yang
tinggal satu. Inilah awal permulaan baru yang sebenarnya sudah terjadi sejak
dulu. Dua kelompok itu terus bertentangan sampai sekarang, meskipun sekarang tidak
lagi terjadi kemarau panjang yang menyengsarakan."
"Kenapa bisa begitu, Paman?" tanya Rangga.
"Satu kelompok keluarga dipimpin kakeknya Rara Anting. Dan satu kelompok
keluarga lagi dipimpin kakeknya Mintarsih, yang juga ayahku. Entah karena apa,
suatu malam kakek Rara Anting tewas di dalam kamarnya. Dan yang membuat
pertentangan itu kembali timbul, di situ tergeletak sebilah keris milik ayahku.
Padahal malam itu kami semua sedang berkumpul hingga pagi. Dari situlah dimulai
perang kecil yang tidak akan berakhir sampai kapan pun, kecuali salah satu
kelompok keluarga lenyap."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kini mengerti sudah. Rupanya Rara
Anting termasuk penerus yang ingin memusnahkan musuh keluarganya. Dan
pertentangan ini rupanya dimanfaatkan orang-orang persilatan yang membenci
keluarga Citrasoma. Karena, keluarga ini adalah keturunan pendekar, dan sebagian
keluarganya hidup sebagai pengembara yang
berkelana menjelajahi rimba persilatan.
Tidak heran kalau kelompok keluarga ini selalu menang, karena kebanyakan dari
mereka adalah kaum pendekar yang memiliki kepandaian rata-rata cukup tinggi.
Saat mereka tengah berbincang-
bincang, mendadak seorang murid Padepokan Arum masuk tergesa-gesa. Dia
membungkuk memberi hormat pada gurunya.
"Ada apa?" tanya Citrasoma.
"Maaf, Guru. Ganggala tidak ada, dan beberapa teman mengatakan kalau Ganggala
mengejar Rara Anting."
"Apa..."!" Citrasoma tersentak.
*** "Anting...! Rara Anting...!"
Rara Anting yang berlari kencang meninggalkan Padepokan Arum, berhenti berlari
saat mendengar panggilan keras dari belakang. Gadis berbaju merah itu memutar
tubuhnya berbalik, dan menjadi terkejut begitu melihat Ganggala berlari-lari
menghampirinya. Pemuda itu baru berhenti berlari setelah jaraknya tinggal
beberapa langkah lagi di depan Rara Anting.
"Anting...," pelan suara Ganggala.
"Untuk apa kau mengejarku, Kakang?"
sentak Rara Anting ketus.
"Anting...," tercekat suara Ganggala.
Wajah yang menegang dan sorot mata tajam, perlahan memudar. Untuk beberapa saat
mereka hanya diam saling tatap.
"Anting, semua ini bisa kujelaskan pada Ayah. Aku yakin, Ayah akan mengerti,"
ujar Ganggala lembut.
"Percuma, Kakang. Aku telah gagal.
Sebaiknya kau kembali saja dan jangan mengingatku lagi," tegas Rara Anting
dengan suara lembut dan pelan.
"Tapi, itu bukan keinginanku kalau Mintarsih berada di sana. Ayahku yang
menginginkan begitu, Anting."
"Dan aku hampir menghancurkan
padepokan ayahmu, Kakang. Lupakan saja aku. Lupakan cinta yang sempat bersemi di
antara kita! Aku bukan gadis yang cocok untukmu. Aku sekarang sudah menjadi
musuhmu! Musuh besar seluruh keluargamu!
Dan aku tidak akan berhenti mencari cara untuk membunuh Mintarsih dan semua
keturunan Jara Botang. Tapi aku janji, tidak akan mengusik keluargamu lagi. Aku
janji, Kakang," jelas Rara Anting.
"Aku bisa memahami apa yang kau lakukan, Anting. Aku juga menyesali kejadian
ini." "Kau menyesali, tapi tidak melakukan tindakan apa-apa," agak sinis nada suara
Rara Anting. "Mana mungkin aku mengambil tindakan terhadap Paman Jara Botang...."
"Meskipun dia sudah membunuh
kakakku?" "Anting, bukan Paman Jara Botang yang membunuh kakakmu!"
"Sama saja! Laki-laki hidung belang seperti dia, sudah sepatutnya mati. Dan
seluruh keturunannya juga harus mampus!
Aku sudah bersumpah di depan pusara kakakku untuk membalas sakit hatinya.
Jara Botang telah menghancurkan hidup dan harapannya!"
Ganggala terdiam. Dia memang tahu peristiwa itu, ketika pamannya Jara Botang
mengadakan pesta panen. Ayah Mintarsih itu mabuk berat waktu itu, sehingga tidak
sadar telah menodai kakak Rara Anting. Suatu aib yang sangat besar.
Paman Jara Botang ingin mempertang-gungjawabkan perbuatannya, tapi kakak Rara
Anting sudah mengambil keputusan sendiri. Mati bunuh diri! Ganggala tidak tahu
kalau Rara Anting menyimpan dendam, dan beranggapan semua itu karena kesalahan
Jara Botang. "Aku pergi, Kakang. Aku akan kembali untuk membunuh Mintarsih, dan bersumpah
akan membuat Mintarsih merasakan seperti yang dialami kakakku!"
Setelah berkata demikian, Rara Anting langsung membalikkan tubuhnya dan berlari
cepat meninggalkan Ganggala.
"Anting...!" seru Ganggala memanggil.
Tapi Rara Anting terus berlari cepat.
Sedangkan Ganggala hanya berdiri saja memandangi kepergian gadis yang pernah
dicintainya. Mereka memadu kasih, dan berkeinginan untuk melebur semua
permusuhan yang terjadi antara keluarga mereka dengan ikatan tali perkawinan.
Tapi semuanya telah dirusak oleh perbuatan Jara Botang yang menodai kakak Rara
Anting, hingga gadis itu mengambil keputusan nekad.
"Anting, tunggu...!" teriak Ganggala.
Pemuda itu cepat berlari mengejar Rara Anting yang sudah jauh
meninggalkannya. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Ganggala berhasil
memperpendek jarak, dan terus mengejar sambil memanggil-manggil gadis itu. Tapi
Rara Anting tidak lagi peduli, dan terus mempercepat larinya.
"Anting! Kita tidak boleh berpisah hanya karena persoalan begini...!" teriak
Ganggala. "Lupakan aku, Kakang!" balas Rara Anting tanpa menghentikan larinya.
"Tidak! Sampai kapan pun aku tetap akan mengejarmu! Aku tidak peduli semua ini!
Aku mencintaimu, Anting...!"
Mendadak Rara Anting berhenti
berlari, dan cepat memutar tubuhnya berbalik. Tangan kanannya berkelebat cepat
bagai kilat. Seketika secercah
cahaya merah meluncur deras ke arah Ganggala.
"Anting...!" Ganggala tersentak kaget.
Buru-buru pemuda itu melentingkan tubuhnya menghindari terjangan benda kecil
berbentuk segitiga yang dilepaskan Rara Anting. Manis sekali gerakan Ganggala
menghindari serangan itu. Tapi hatinya menjadi terkejut karena benda merah kecil
itu mampu menghancurkan sebuah pohon yang berada di belakangnya.
"Anting...," tertahan suara Ganggala.
"Dengar, Kakang. Aku tidak akan berkedip membunuhmu jika kau tetap
menghalangiku. Sudah cukup banyak aku berkorban. Ayahku sudah tewas karena
mencoba menghalangi keinginanku. Dan aku tidak segan-segan membunuhmu, Kakang!"
dingin nada suara Rara Anting mengancam.
Tercekat tenggorokan Ganggala
mendengar ancaman itu. Kini baru nyata kalau Rara Anting yang sekarang bukanlah
Rara Anting yang dikenalnya dulu.
Meskipun mereka sudah lama memadu kasih, tapi masing-masing keluarga tidak ada
yang tahu. Bahkan Jara Botang dan Citrasoma sendiri tidak tahu siapa itu Rara
Anting, karena sejak kecil tinggal bersama bibinya, yaitu Dewi Maut.
"Kakang, pulanglah sebelum pikiranku berubah. Katakan pada Rangga, satu saat
nanti aku akan menantangnya bertarung!"
Kembali Rara Anting berbalik dan melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam
waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan Ganggala.
Beberapa saat lamanya Ganggala masih berdiri terpaku memandangi kepergian bekas
kekasihnya. Sungguh suatu perpisahan yang tidak mengenakkan.
Dengan hati pedih dan lesu, Ganggala membalikkan tubuhnya dan melangkah kembali
menuju Padepokan Arum. Langkahnya gontai dan kepalanya tertunduk.
Bagaimanapun juga Rara Anting sekarang ini, cintanya tetap pada gadis itu.
Bahkan penderitaan Rara Anting membuat cintanya semakin besar berkobar. Ganggala
bertekad dalam hati. Apa pun yang terjadi, gadis itu harus didapatkan!
Tapi..., apakah kedua orang tuanya akan menyetujui! Apakah ini tidak akan
membuat permasalahan baru"
Ganggala menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihembuskan napas panjang dan berat.
Perlahan-lahan kepala pemuda itu terang-kat, dan langsung tertegun begitu
melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri menghadang di depannya. Ganggala
menghentikan langkahnya.
"Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Sebaiknya kau berpikir lagi, Ganggala,"
Ujar Rangga memberi nasihat.
"Dia menantangmu," kata Ganggala pelan.
"Ya, aku tahu. Tapi aku berjanji untuk tidak menanggapi tantangannya."
Ganggala tidak peduli, lalu kembali melangkah. Rangga tidak mencegah pemuda itu
yang berjalan melewatinya. Hanya dipandangi saja ayunan kaki Ganggala yang pelan
dan tak bergairah lagi. Rangga hanya menarik napas panjang dan berat.
Memang bisa dirasakannya, apa yang kini dirasakan Ganggala.
"Hhh..., semoga saja kau mendapatkan gadis yang cocok, Ganggala," desah Rangga
dalam hati. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
DENDAM RARA ANTING
1 *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** ***
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 *** *** *** 6 *** *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Misteri Di Bukit Ular Emas 1 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Suramnya Bayang Bayang 38
*** 5 Rangga melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang membelah lereng Bukit
Growong. Sudah dua hari ini Mintarsih tidak kelihatan lagi. Seorang gadis penuh
misteri, yang kini lenyap dibawa dua orang laki-laki dari rumah penginapan.
Sebenarnya Rangga tidak ingin memikirkan gadis itu. Tapi kalau mengingat cerita
Ki Rampat, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi penasaran juga. Apalagi sudah dua
kali Mintarsih dihadang tiga orang laki-laki.
Dan Rangga menduga kalau mereka tidak sekedar bermaksud buruk, tapi lebih dari
itu yang tidak diketahuinya.
Dan itulah yang membuat Rangga jadi semakin tertarik, ditambah lagi dengan
cerita Ki Rampat. Benak Pendekar Rajawali Sakti itu terus berputar, mencoba
mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk menghantuinya. Namun semua
tak ada yang terjawab pasti. Pertanyaan-
pertanyaan besar masih saja menguntitnya.
"Itu, dia orangnya, Nini Ayu...!"
Tiba-tiba Rangga dikejutkan suara keras dari arah samping kanan. Pendekar
Rajawali Sakti itu menoleh. Keningnya langsung berkerut begitu melihat tiga
orang laki-laki yang pernah ditemuinya saat mereka berniat mengganggu Mintarsih
sebanyak dua kali. Dan mereka kini ditemani seorang perempuan cantik berbaju
merah menyala. Wanita itulah yang dilihat Rangga kemarin.
"Hm..., tampan juga. Tapi sayang, dia mencari perkara denganku," gumam wanita
cantik itu mendesah.
Rangga hanya diam saja. Dirayapi wanita berbaju merah yang didampingi tiga laki-
laki berwajah kasar. Sama sekali Rangga tidak mengerti kata-kata gumaman itu,
tapi tidak ingin memperpanjang. Dia tidak kenal wanita itu. Hanya saja, ada satu
pikiran terlintas di benaknya.
Apakah wanita ini ada sangkut pautnya dengan Mintarsih"
"Kisanak, di mana kau sembunyikan Mintarsih?" tanya wanita itu langsung tanpa
basa-basi lagi.
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya kembali.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu benar. Wanita ini mencari Mintarsih. Tapi
memang belum bisa ditebak, untuk apa
wanita itu mencari Mintarsih" Rangga merayapi ketiga laki-laki yang berada di
belakang wanita cantik berbaju merah itu.
Tak ada senjata yang dibawa. Perhatiannya kembali tertuju pada wanita cantik
itu. Dari pakaiannya yang ringkas, Rangga sudah bisa menebak kalau wanita itu pasti
berkepandaian tinggi.
"Aku tahu kau bersama Mintarsih beberapa hari ini. Di mana dia sekarang?"
tanya wanita itu lagi.
"Nisanak, siapa kau ini" Dan mengapa mencari Mintarsih?" Rangga balik bertanya.
"Phuah! Jawab saja pertanyaanku, Kisanak!" sentak wanita itu mendelik.
"Maaf! Aku tidak bisa menjawab
sebelum tahu siapa dirimu dan apa tujuanmu mencari Mintarsih," tegas nada suara
Rangga. "Sombong!" rungut wanita itu.
"Dia memang keras kepala, Nini Ayu.
Hajar saja biar kapok!" salah seorang laki-laki brewok itu memanasi.
"Benar, Nini. Hajar saja," sambung yang lain.
Sedangkan Rangga hanya diam saja sambil memandangi mereka. Agak kesal juga
Pendekar Rajawali Sakti itu mendengar mereka memanas-manasi, tapi hal itu masih
bisa diredam. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu sudah menggeser kakinya
ke samping, lalu melangkah tiga tindak ke depan. Sorot matanya begitu tajam
menusuk, dan bibirnya terkatup rapat.
Gurat-gurat ketegangan terlihat jelas pada wajahnya.
Rangga tahu kalau wanita ini akan menggunakan kekerasan, dan dia sudah siap
menyambutnya. Pendekar Rajawali Sakti begitu yakin kalau wanita ini mencari
Mintarsih tentu dengan maksud buruk.
Apalagi jika menghubungkan perbuatan ketiga laki-laki kasar itu dengan
Mintarsih. Sepertinya mereka sudah bersekongkol dengan wanita ini.
"Sebenarnya aku tidak ingin berlaku keras padamu, Kisanak. Tapi rupanya kau
menghendaki lain," dingin sekali nada suara wanita itu.
"Mungkin bisa dihindari jika kau bersedia mengatakan untuk apa mencari
Mintarsih," sambut Rangga kalem.
"Itu bukan urusanmu!"
"Mungkin tidak, mungkin juga iya.
Karena Mintarsih sudah minta perlindungan padaku. Dan dia harus kulindungi,"
tegas Rangga tetap tenang.
"Phuih! Anak setan itu rupanya
menggunakan kecantikannya untuk menjeratmu, Kisanak!"
Merah padam wajah Rangga mendengar kata-kata itu. Meskipun diucapkan datar, tapi
sudah menyinggung perasaannya.
Mintarsih memang cantik, tapi tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk
mengharapkan lebih dari gadis itu. Rangga memang paling tidak suka dikatakan
demikian. "Kata-katamu sudah keterlaluan, Nisanak...!" desis Rangga menahan geram.
"Heh! Mana ada laki-laki suci di dunia ini..." Anak buahku saja
menginginkannya. Dan itulah mengapa mereka jadi tolol sepertimu!" ketus nada
suara wanita itu.
"Tutup mulutmu, Nisanak!" bentak Rangga gusar.
"Kau marah, Kisanak" Dan itu berarti kau memang suka pa...."
"Bedebah...!" gertak Rangga memutuskan ucapan wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti marah bukan main mendengar kata-kata yang tidak sedap
didengar itu. Walaupun banyak mengenal gadis-gadis, tapi dia belum pernah
menaruh hati pada seorang gadis selain Pandan Wangi. Tak ada nama lain di
hatinya, tak ada gadis lain yang bisa meruntuhkan tembok benteng hatinya. Dan
Rangga paling tidak suka jika ada orang yang mengatakan kalau hatinya mudah
terpikat pada kecantikan seorang gadis.
Darahnya langsung mendidih, amarahnya terbangun menggolak bagai gunung berapi
hendak memuntahkan lahar panas mendidih.
"Ha ha ha...!" wanita cantik itu malah tertawa melihat wajah Rangga memerah
bagai bara. "Huh!" Rangga mendengus keras.
Ingin sekali mulut wanita itu
ditamparnya. Tapi tindakan demikian akan meruntuhkan nama besarnya. Daripada
menghadapi manusia-manusia seperti ini, Rangga lebih baik meninggalkannya.
Sambil mendengus keras, Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan langsung
melangkah cepat meninggalkan mereka.
"Hei...!" seru wanita cantik itu mencoba mencegah kepergian Rangga.
Tapi Rangga tidak lagi peduli, dan terus saja melangkah dengan ayunan kaki
cepat. Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dan belum jauh berjalan, mendadak saja wanita berbaju merah itu
mengibaskan tangannya ke depan.
Sebuah benda merah meluncur deras dari telapak tangan wanita itu, langsung
meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Desiran angin benda itu membuat ayunan langkahnya terhenti seketika. Dan bagai
kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara.
"Hap!"
Wusss! Benda merah itu melesat lewat di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, lalu
menancap dalam di sebuah batang pohon yang cukup besar dan berdaun rimbun.
Sungguh luar biasa! Daun-daun pohon itu langsung kering dan berguguran. Kemudian
batang pohon itu juga jadi kering bagai kekurangan air di musim kemarau. Sesaat
kemudian pohon itu roboh menimbulkan suara gemuruh, membuat bumi bergetar bagai
diguncang gempa.
Rangga agak terpana menyaksikan kejadian itu, dan langsung memutar tubuhnya
begitu menjejak tanah. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu bertolak
pinggang sambil mengulas senyum tipis.
Ketiga laki-laki di belakangnya terkekeh-kekeh, bersikap mengejek Pendekar
Rajawali Sakti.
*** Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti itu bisa melakukan sesuatu, wanita cantik
berbaju merah itu kembali memberikan
serangan. Kedua tangannya bergerak cepat mengibas bergantian ke depan beberapa
kali. Seketika benda-benda merah menyala bagai terbakar, bertebaran ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga berlompatan menghindari benda-benda merah yang memancarkan hawa panas
luar biasa itu. Sungguh dahsyat sekali.
Apa saja yang terlanda oleh benda-benda merah berbentuk segitiga itu pasti
hancur berantakan! Ledakan-ledakan keras terdengar. Debu, pecahan pohon, dan
bebatuan membumbung tinggi ke angkasa. Rangga berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang datang. Tak ada kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk
menghentikan serangan itu. Jangankan memberi serangan balasan, bahkan
menghindari pun sudah cukup repot.
"Huh! Kalau begini terus, bisa habis semua tenagaku...!" dengus Rangga dalam
hati. Serangan-serangan yang dilancarkan wanita berbaju merah itu memang sangat
gencar, meskipun mereka tidak secara langsung bertarung. Rangga cukup sukar
untuk mendekati, karena wanita itu selalu berlompatan mengelilinginya sambil
terus melontarkan benda-benda merah berbentuk segitiga kecil. Belum lagi hawa
panas yang menyebar dari benda-benda itu semakin membuat pengap udara. Hal ini
menjadikan napas Rangga terasa sesak, dan sulit untuk mendesak.
"Aku harus keluar dari pertarungan edan ini!" dengus Rangga dalam hati.
Dan ketika mengelakkan satu benda yang mengarah ke kaki, Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung melentingkan tubuhnya ke udara sambil menotok benda itu dengan
jari telunjuk. Sambil meminjam tenaga lontaran lawan, Rangga mengayunkan
tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa. Saat itu juga dikerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'.
"Yeaaah...!"
Sambil merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, Rangga berputaran di
udara, kemudian meluruk deras dan langsung merubah jurus menjadi 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Sikap tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
berubah saat semakin mendekati wanita itu. Kakinya bergerak cepat, lurus ke
bawah mengincar kepala lawan. Seketika wanita itu terkesiap, dan berhenti
melontarkan benda-benda segitiga berwarna merah.
"Modar...!" teriak Rangga keras dan tiba-tiba.
"Uts!"
Bergegas wanita muda berbaju merah itu membanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Serangan Rangga luput dari sasaran. Sedangkan
sebongkah batu besar yang terkena jejakan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Debu
dan pecahan batu mengepul ke udara. Tubuh Rangga berputaran dua kali, kemudian
menjejakkan kakinya di tanah.
Pada saat itu, tiga orang laki-laki berwajah penuh brewok langsung berlompatan
sambil menghunus goloknya. Mereka berteriak keras, langsung menghujani Rangga
dengan bacokan-bacokan golok yang cukup besar dan berkilat.
"Hait! Hiyaaa...!"
Rangga segera berkelit, meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang dari tiga jurusan.
Serangan-serangan ketiga lawannya itu memang cepat, tapi bagi Rangga masih
terasa lambat. Sehingga....
"Lepas...! Hiyaaa...!" seru Rangga tiba-tiba.
Dengan satu gerakan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuh sambil
mengibaskan tangannya tiga kali. Satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata
biasa. Sehingga....
Plak! Slap! Trak...!
Tiga kali terdengar suara keras, kemudian disusul pekikan-pekikan keras yang
saling susul. Tampak tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah
kasar penuh brewok itu limbung terhuyung-huyung ke belakang. Golok-golok mereka
berpentalan di udara, dan masing-masing saling memegangi tangan kanannya.
Memang sungguh luar biasa akibatnya jika berbenturan tenaga dalam dengan
Pendekar Rajawali Sakti. Tulang
pergelangan tangan mereka patah, sehingga tak dapat digunakan lagi. Mereka
meringis merintih kesakitan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi peduli.
Batas kesabarannya sudah habis dan telah mencapai puncaknya. Dengan satu gerakan
cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih itu melesat sambil mengibaskan
kedua tangannya secara beruntun.
Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut. Tampak ketiga laki-
laki bertubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung sambil menekap dada.
Sukar diikuti pandangan mata biasa, karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu
sungguh cepat luar biasa. Tahu-tahu ketiga laki-laki itu ambruk dan menggelepar
di tanah dengan dada terbelah lebar berlumuran darah. Hanya sebentar mereka
mampu menggelepar meregang nyawa, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Tewas. Rangga memutar tubuhnya, tapi menjadi terkejut bukan main. Ternyata wanita
cantik berbaju merah itu sudah tidak ada lagi di tempat ini. Entah kapan dan ke
mana perginya, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tahu. Dia hanya bisa mengumpat,
namun juga bertanya-tanya dalam hati.
*** Baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan meninggalkan tempat itu, mendadak
terdengar suara langkah kaki kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Rangga
mengurungkan niatnya, dan hanya menunggu penunggang kuda itu. Dalam hati,
dihitungnya jumlah penunggang kuda yang semakin jelas terdengar suaranya.
"Hanya tiga...," gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu
mengarahkan pandangannya lurus pada segumpal debu yang mengepul di udara.
Jelas sekali kalau kepulan debu itu semakin dekat ke arahnya. Rangga berdiri
tegak menunggu di tengah-tengah jalan.
Sebentar kemudian terlihat tiga ekor kuda dipacu cepat membelah jalan berdebu.
"Hooop...!" ketiga orang penunggang kuda itu menghentikan laju kudanya tepat di
depan Rangga. Tiga orang laki-laki. Yang berada paling depan sudah berusia sekitar enam puluh
tahun. Sedangkan dua orang lagi masih muda, dan mungkin sebaya dengan Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga mengamati ketiga orang itu. Mereka berlompatan dari
punggung kudanya masing-masing, langsung memandang pada tiga sosok mayat yang
tergeletak menghalangi jalan.
Dua orang pemuda bergegas
menghampiri, dan kontan terkejut begitu melihat wajah ketiga mayat itu. Mereka
saling berpandangan, kemudian bergegas menghampiri laki-laki setengah baya yang
menunggu di depan kuda-kuda mereka. Entah apa yang dibicarakan, Rangga tidak
ingin mendengar.
"Kisanak, apakah kau yang telah membunuh mereka?" tanya laki-laki setengah baya
itu sambil menunjuk tiga sosok mayat.
"Benar. Tapi itu keinginan mereka sendiri," sahut Rangga tegas.
"Hm.... Tidak ada seorang pun yang menginginkan mati terbunuh, Kisanak,"
gumam laki-laki setengah baya itu.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu kalau orang setengah baya itu tidak mempercayai
jawabannya. Rangga jadi bertanya-tanya, siapa mereka itu..."
Apakah mereka teman dari tiga mayat ini"
Mata Pendekar Rajawali Sakti itu merayapi dengan seksama tiga orang yang berada
di depannya. "Kisanak, namaku Citrasoma. Dan ini kedua muridku. Namanya Bantara dan Andira.
Aku hanya ingin tahu, mengapa kau membunuh ketiga orang itu?" laki-laki setengah
baya itu memperkenalkan diri dan bertanya bernada ringan.
"Rasanya jawabanku sudah jelas,"
sahut Rangga. "Apakah kalian teman-teman mereka?"
"Bukan. Tapi kami semua kenal
mereka," sahut Citrasoma sambil menunjuk mayat-mayat itu.
"Bagus! Kalau begitu, Paman pasti sudah tahu kenapa aku membunuh mereka,"
agak sinis nada suara Rangga.
Rupanya Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi kekesalan dan kemarahan di
dalam hati, sehingga sedikit melampiaskan pada ketiga orang yang berada di
depannya ini. Sama sekali Rangga tidak mengenal siapa mereka, meskipun sudah
memperkenalkan diri. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap waspada, apalagi
setelah Citrasoma mengakui kalau mengenal ketiga laki-laki itu.
"Kisanak, apakah kau dirampok" Atau mungkin dibegal...?" tanya Citrasoma.
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak," sahut Rangga tegas.
"Lalu?"
"Mereka menghadang jalanku bersama seorang wanita yang katanya adalah majikan
mereka sendiri. Aku tidak pernah tahu, siapa mereka dan wanita itu. Tapi mereka
telah membuat kemarahanku bangkit, dan tidak pernah menggunakan kesempatan untuk
berubah sikap. Sudah dua kali sikap mereka seperti itu, dan tetap saja tidak
berubah. Bahkan baru saja merampok kedai milik Nyai Lambat," jelas Rangga.
"Bisa kumengerti alasanmu, Kisanak.
Mereka memang berandalan dan sering membuat susah penduduk. Tapi yang kutahu,
mereka tidak memiliki seorang majikan pun. Kisanak.., kau tahu siapa wanita yang
kau maksudkan tadi?"
"Aku tidak tahu, tapi dia mencari seorang gadis yang bernama Mintarsih.
Sedangkan aku sendiri juga mencarinya."
Citrasoma dan kedua muridnya terkejut setengah mati saat Rangga menyebut nama
Mintarsih. Dan tampaknya keterkejutan mereka diketahui Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Kenapa Paman terkejut?" tanya
Rangga. "Kisanak, kau tadi menyebut seorang gadis bernama Mintarsih. Apakah kau
mengenalnya?" tanya Citrasoma ingin tahu.
"Untuk apa Paman tanyakan itu?"
Rangga balik bertanya.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja," sahut Citrasoma seraya melirik Bantara
dan Andira. "Hm.... Rupanya banyak juga yang menghendaki gadis itu. Ada apa pada diri
Mintarsih...?" gumam Rangga di dalam hati.
"Kisanak, sepertinya di antara kita belum pernah berjumpa sebelumnya. Dan aku
tidak tahu siapa dirimu. Tapi, mengapa kau juga ingin mencari Mintarsih" Apa
hubungannya antara kau dengan gadis itu?"
tanya Citrasoma menyelidik.
"Tidak ada hubungan apa-apa. Dia
hanya punya hutang denganku," jawab Rangga seenaknya.
"Hutang..." Hutang apa, Kisanak?"
desak Citrasoma.
"Hanya dia yang tahu. Dan kau, atau siapa saja tidak boleh mengetahuinya,"
tegas Rangga. Sedangkan Rangga sendiri tidak tahu, hutang apa yang harus dibayar Mintarsih
padanya. Pertanyaan tadi memang hanya dijawab seenaknya saja. Pendekar Rajawali
Sakti itu memang tidak ingin orang lain tahu, mengapa dia mencari gadis itu.
Karena, Rangga memang tidak punya alasan yang kuat, dan hanya didasari rasa
penasaran saja. Masalahnya begitu banyak orang yang menghendaki Mintarsih.
Sedangkan gadis itu belum mengatakan apa-apa sampai menghilang tak ketahuan
rimbanya. Tapi keisengan dan jawaban seenaknya itu justru membuat Rangga heran, karena
tiba-tiba saja Citrasoma mengegoskan kepalanya sedikit. Dua orang muridnya
seketika berlompatan ke samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Segera saja pemuda berbaju rompi putih itu waspada begitu melihat gelagat yang
kurang baik ini. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap tajam Citrasoma yang berada
di depannya. "Tidak kusangka, ternyata kau adalah
orangnya, Anak Muda," terasa dingin nada suara Citrasoma.
"Hm...," Rangga hanya bergumam dan berkerut keningnya.
"Semula dugaanku pelakunya adalah wanita. Tapi dugaanku meleset. Ternyata
pelakunya adalah anak muda gagah dan tampan. Sayang sekali, hatimu tidak lebih
busuk dari mereka!" Citrasoma menuding mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Heh..."!" Rangga terkejut mendengar kata-kata yang tidak dimengerti sama sekali
itu. "Aku peringatkan padamu, Anak Muda.
Jangan ganggu Mintarsih lagi. Dia sudah berada di tempat yang aman. Dia tidak
bersalah. Kau sudah menghancurkan hidupnya, membunuh ayah dan ibunya serta
saudara-saudaranya. Dengar, Anak Muda.
Jangan ganggu Mintarsih lagi, atau akan berhadapan denganku!" tegas kata-kata
Citrasoma. Rangga benar-benar terhenyak kali ini. Sama sekali tidak dimengerti perkataan
laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Citrasoma ini. Semula laki-laki
setengah baya itu ramah dan sopan, tapi mendadak saja beringas begitu mendengar
nama Mintarsih disebut Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Ini hanya peringatan saja, Anak Muda! Kau boleh saja membunuh keluarga
Mintarsih, tapi belum tentu dapat menandingiku!" ujar Citrasoma lagi.
Rangga benar-benar terpaku dan sampai ternganga tidak mampu mengeluarkan kata-
kata. Mulutnya serasa terkunci dan otaknya jadi beku. Sukar sekali berpikir
jernih. Kata-kata Citrasoma begitu tegas dan sangat menusuk, namun sukar
dimengerti. Pendekar Rajawali Sakti itu masih terpaku bengong saat Citrasoma
melompat naik ke punggung kudanya.
Dua pemuda muridnya bergegas melompat naik ke punggung kudanya masing-masing.
Gerakan mereka sungguh indah dan ringan sekali, pertanda memiliki kemampuan yang
cukup tinggi. Terutama Citrasoma.
Gerakannya tak menimbulkan suara sedikit pun. Tanpa menunggu banyak waktu lagi,
mereka menggebah kudanya meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
*** 6 Persoalan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti semakin bertambah rumit saja.
Dia sudah tidak ingin lagi memperpanjang pencariannya pada Mintarsih, tapi kini
malah seperti hewan buruan saja. Ke mana pun pergi, selalu saja ada yang
menghadang. Mereka selalu ingin
meminta Mintarsih. Bahkan Rangga tidak mungkin bisa menghindari kekerasan.
Selama tiga hari ini, siang dan malam Pendekar Rajawali Sakti tak dapat
beristirahat tenang.
Sepertinya setiap jengkal tanah yang dipijak memiliki mata. Entah sudah berapa
kali Pendekar Rajawali Sakti harus berhadapan dengan orang-orang tidak dikenal
yang menginginkan Mintarsih.
Bahkan mereka juga selalu mendesak agar Rangga menunjukkan letak Padepokan Arum.
Hal ini tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi kebingungan, tapi
juga penasaran.
"Phuih...! Apa sih sebenarnya yang ada pada Mintarsih...?" dengus Rangga seraya
menyeka keringat di leher.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti itu menyelesaikan satu pertarungan yang
melelahkan. Tidak kurang dari sepuluh orang berkemampuan cukup tinggi
mengeroyoknya. Seperti yang lain-lainnya, mereka juga menghendaki Mintarsih.
Bahkan mendesak Rangga untuk memberitahukan di mana letak Padepokan Arum.
Beberapa kali pula Rangga mengatakan kalau dia tidak tahu, tapi orang-orang itu
terus mendesak. Bahkan menggunakan kekerasan.
Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti benar-benar lenyap. Tapi dia tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Memang, bisa
saja Rangga pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi apakah itu akan
menyelesaikan semua persoalan" Tidak!
Rangga tidak akan meninggalkan daerah ini sebelum apa yang membuat dirinya
terpontang-panting seperti ini tuntas.
Tapi kapan..." Dari mana harus
memulainya..." Pertanyaan ini yang selalu menghantui Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu
memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Sebenarnya hatinya tak
tega bila menjatuhkan tangan, karena tidak mengenal mereka. Tapi itu harus
dilakukan demi keselamatan dirinya.
Mereka akan membunuh kalau tidak dibunuh.
Sungguh Rangga tidak menghendaki hal seperti ini terjadi. Tangannya berlumuran
darah orang-orang yang tidak dikenal sama sekali. Bahkan tidak mempunyai
persoalan dengannya.
"Aku harus mencari biang keladi dari semua ini!" desis Rangga datar. "Ya...,
harus! Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi berjatuhan. Aku tidak ingin
jadi pembunuh orang-orang yang tidak berdosa. Aku bukan pembunuh...!"
Hampir gila rasanya Rangga menghadapi kejadian seperti ini. Hal itu tidak
diinginkan, tapi harus dilakukan.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi desa yang tidak berapa jauh dari Lereng Bukit
Growong ini. Desa yang sampai kini tidak diketahui namanya, dan kelihatan
tenang. Sepertinya tidak pernah mendengar dan terpengaruh peristiwa ini.
"Hm..., mungkin harus kumulai dari Ki Rampat. Tampaknya dia mengetahui tentang
diri Mintarsih. Ya..., pemilik penginapan itu harus kutemui," desis Rangga
berbicara sendiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu sempurnanya ilmu yang dimiliki, sehingga seperti terbang saja di atas
tanah. Sepasang kakinya bergerak cepat bagai tidak menapak permukaan tanah.
Begitu cepatnya Rangga berlari, sehingga yang tampak hanya bayangan putih
berkelebat menuruni lereng Bukit Growong.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlari kencang menuju desa di kaki bukit ini.
*** Dalam waktu yang tidak begitu lama Rangga
sudah tiba di depan rumah
penginapan milik Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja menerobos
masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan memiliki lebih dari sepuluh kamar
sewaan. Ki Rampat yang sedang duduk di kursi goyang, sangat terkejut begitu
melihat Rangga tiba-tiba muncul seperti hantu saja. Laki-laki tua itu
menggerinjang bangkit berdiri.
"Duduk saja, Ki. Aku hanya sebentar di sini," kata Rangga.
Meskipun pemuda berbaju rompi putih itu baru saja berlari cepat dari lereng
Bukit Growong, tapi tak terlihat kalau merasa lelah. Bahkan setetes keringat pun
tidak tampak di wajahnya. Rangga menarik kursi rotan dan mendekatkannya pada
kursi goyang. Ki Rampat sudah duduk kembali di kursinya.
"Ada apa, Den" Kelihatannya penting sekali," ujar Ki Rampat seraya merayapi
wajah Rangga. Pemuda itu memang kelihatan tegang.
Mimik wajahnya begitu sungguh-sungguh, dengan sorot mata tajam menusuk. Ki
Rampat jadi jengah juga dipandangi sedemikian rupa.
"Ki Rampat masih ingat gadis yang kubawa ke sini?" tanya Rangga datar.
"Mintarsih maksud Raden?" Ki Rampat ingin menegaskan.
"Benar."
"Ada apa dengannya, Den?"
"Di mana dia sekarang, Ki?" Rangga balik bertanya. Namun suaranya dingin, tanpa
getaran sama sekali.
"Wah...! Mana aku tahu, Den," sahut Ki Rampat.
"Ki Rampat tahu, siapa yang membawa Mintarsih pergi?"
"Tidak, Den."
"Dengar, Ki. Aku akan berkata terus terang padamu, tapi kuminta kau juga jangan
menyembunyikan sesuatu padaku. Ini masalah serius, Ki. Menyangkut nyawa!"
mantap suara Rangga.
Ki Rampat terdiam membisu. Ditatapnya wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-
dalam. "Sejak Mintarsih pergi tanpa
diketahui, aku selalu dikejar-kejar orang-orang yang tidak kukenal sama sekali.
Mereka menyangka aku menyembunyikan Mintarsih, dan selalu mendesakku agar
menunjukkan letak Padepokan Arum.
Padahal semua itu aku tidak tahu, Ki,"
jelas Rangga bernada sungguh-sungguh.
Ki Rampat masih terdiam. Raut
wajahnya kelihatan menegang. Sorot matanya memancarkan sesuatu yang sukar
dilukiskan. Sedangkan Rangga menatap tajam laki-laki tua pemilik kedai ini.
"Aku ingat kau pernah bilang kenal dengan Mintarsih, juga keluarganya. Siapa
sebenarnya gadis itu, Ki" Kenapa begitu banyak orang mencari dan
menginginkannya?" desak Rangga.
"Yaaah..., aku memang mengetahui keluarga Mintarsih, tapi tidak seluruh-nya.
Terutama kehidupan ibunya. Tak ada
yang tahu, siapa wanita itu dan dari mana asalnya. Ayah Mintarsih membawa wanita
itu sepulang dan pengembaraannya yang panjang...," Ki Rampat berhenti.
"Teruskan, Ki," pinta Rangga ingin tahu.
"Ki Jara Botang bisa terpilih jadi kepala desa di sini, karena ayahnya juga dulu
kepala desa di sini. Jadi keluarga mereka memang sudah turun-temurun menjadi
kepala desa. Tapi Ki Jara Botang tidak begitu lama menjadi kepala desa.
Kedudukannya diserahkan pada penghulu, lalu seluruh keluarganya dibawa pergi.
Tidak ada yang tahu, kenapa dan ke mana perginya. Dan sejak itu tak ada kabar
beritanya lagi. Itu sebabnya aku terkejut saat melihat kau datang ke sini
bersama Mintarsih. Wajahnya tidak berubah banyak, meskipun waktu pergi masih
berusia lima belas tahun. Hanya saja sekarang ini dia kelihatan begitu cantik,"
kembali Ki Rampat menghentikan ceritanya.
"Ki, apakah Mintarsih punya saudara?"
tanya Rangga. "Ada. Ki Jara Botang punya adik bernama Citrasoma. Tapi tidak ada yang tahu, di
mana Citrasoma kini berada.
Sudah puluhan tahun, bahkan sebelum Ki Jara Botang datang ke desa ini, Citrasoma
sudah tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya."
"Citrasoma...," desis Rangga
bergumam. Pendekar Rajawali Sakti itu teringat akan pertemuannya dengan Citrasoma dan dua
orang pemuda yang kelihatan begitu patuh. Tapi, mengapa Citrasoma menuduh Rangga
membunuh seluruh keluarga Mintarsih" Apakah Mintarsih yang mengatakannya"
Rangga tidak percaya kalau gadis secantik Mintarsih bisa melakukan perbuatan
keji seperti itu. Pendekar Rajawali Sakti juga ingat kalau Citrasoma mengatakan
Mintarsih sudah berada di tempat aman.
Mungkinkah dua orang pemuda itu yang membawa Mintarsih dari penginapan ini..."
"Ki, apakah dua laki-laki yang
membawa Mintarsih masih muda...?" Rangga kemudian menyebutkan ciri-ciri dua
pemuda yang bersama Citrasoma.
"Wah! Benar itu, Den...!" sentak Ki Rampat. "Memang yang menjemput Mintarsih
masih muda, dan ciri-cirinya pun tepat, Den."
Rangga bergumam pelan. Kini barulah diketahui kalau Mintarsih sekarang berada
dalam lindungan pamannya. Kalau memang benar laki-laki itu bernama Citrasoma,
adik kandung ayah gadis itu. Tapi kelihatannya memang benar, karena dia begitu
marah saat Rangga menyebut nama Mintarsih dan mengatakan sedang mencarinya.
Laki-laki setengah baya itu
langsung menuduh Rangga membunuh seluruh keluarga Mintarsih, meskipun baru
ancaman saja yang dikeluarkan.
"Dari mana Raden tahu kalau mereka yang membawa Mintarsih?" tanya Ki Rampat
heran. "Aku sempat bertemu mereka, Ki.
Bahkan ada yang mengaku bernama Citrasoma," sahut Rangga terus-terang.
"Oh...," Ki Rampat mengangguk-
anggukkan kepalanya. "Jadi sekarang Mintarsih bersama pamannya...?"
"Dugaanku memang begitu, Ki. Hanya saja...."
"Kenapa, Den?"
"Aku tidak mengerti, mengapa mereka menuduh aku sebagai pembunuh seluruh
keluarga Mintarsih. Padahal...."
"Jagad Dewa Batara...!" desis Ki Rampat terkejut, sehingga memutuskan ucapan
Rangga. "Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Ternyata semua ini terjadi juga,"
desah Ki Rampat bergumam lirih.
Rangga jadi keheranan begitu melihat raut wajah Ki Rampat berubah mendung. Dan
laki-laki tua itu memandangi bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya.
Dengan tangan bergetar, Ki Rampat mengambil tangan Rangga dan menggenggam-nya
erat-erat. Bibirnya bergetar seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tapi tak
ada suara sedikit pun keluar dari bibirnya.
"Raden, dapatkah Raden menolong-ku...?" pinta Ki Rampat berharap.
"Apa yang harus kutolong, Ki?" tanya Rangga.
"Tolong hentikan semua partumpahan darah ini. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu.
Tolong, Den.... Aku percaya Raden mampu melakukannya," ratap Ki Rampat penuh
harap. Rangga benar-benar tidak mengerti sikap Ki Rampat yang mendadak jadi berubah
begini, tepat saat Rangga mengatakan kalau seluruh keluarga Mintarsih sudah
tewas terbunuh. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati dan semakin tidak
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti. Kepalanya berdenyut kencang, pening rasanya....
*** Rangga terbangun dari tidur ketika mendengar suara percakapan yang samar-samar.
Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, dan
menjadi tertegun. Ternyata suara itu datang dari depan kamarnya, yang berarti
adalah kamar Ki Rampat.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak turun dari pembaringan, lalu
melangkah ringan mendekati pintu.
Ditempelkan telinganya di daun pintu.
Dengan mempergunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti itu
dapat mendengar jelas pembicaraan di seberang kamarnya. Dan hatinya terkejut,
karena salah satu suara adalah milik Ki Rampat. Sedangkan satunya lagi suara
seorang wanita.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau masih juga belum bisa melupakannya, Rara
Anting?" terdengar suara Ki Rampat begitu pelan.
"Hidupku tidak akan tenang sebelum dendamku terbalas, Ayah," terdengar sahutan
suara wanita. "Tapi perbuatanmu ini sudah
keterlaluan, Rara Anting. Tidakkah kau sadari kalau semua itu akan membahayakan
dirimu sendiri" Berpikirlah sekali lagi, Anakku. Rasanya belum terlambat untuk
menghentikan semuanya...."
"Tidak! Aku
tidak akan berhenti
sebelum mereka semua mampus!" agak keras suara wanita itu.
"Dengar, Rara Anting. Perbuatanmu itu sudah membahayakan jiwa orang lain.
Bahkan telah meluas sampai mengorbankan orang-orang yang tidak tahu apa-apa."
"Memang itu yang kuharapkan, Ayah.
Aku akan membuat mereka berpikir seribu kali. Aku akan mengoyak jiwa mereka
sebelum akhirnya akan mengoyak jantung
mereka!" "Anting...!"
"Ayah tidak perlu cemas. Bersikaplah seperti biasa, pura-pura tidak tahu apa-
apa. Semua ini urusanku, Ayah. Aku tidak akan melibatkanmu, atau sanak keluarga
dan kerabat kita. Ini semua menjadi tanggung jawabku. Dan aku akan mati
tersenyum jika mereka semua sudah mampus."
"Setan sudah merasuk dalam jiwamu, Rara Anting."
"Aku tidak peduli apakah itu setan atau malaikat. Tekadku sudah bulat, dan tidak
akan tercabut sampai tetes darahku yang terakhir. Ayah tidak akan bisa
menghalangiku, juga siapa saja tidak akan bisa!"
"Oh..., Rara Anting. Kau tidak
berbeda dengan ibumu...."
"Jangan bawa-bawa mendiang ibu dalam urusan ini, Ayah. Ibu tidak tahu apa-apa,
dan sudah tenang di sisi Hyang Widi."
"Tapi ibumu akan kecewa atas
perbuatanmu, Rara Anting. Bahkan aku juga kecewa.... Kecewa sekali...."
"Tapi ingat, Ayah. Semua yang
kulakukan adalah untuk mengembalikan derajat dan martabat seluruh keluarga.
Aku tidak rela keluargaku terinjak-injak, terhina, dan terbuang bagai sampah
kotor menjijikkan!"
"Tidak ada yang melakukan itu padaku, Rara Anting. Tidak ada...."
"Mungkin sungkan pada Ayah! Tapi apakah mereka memandangmu saat...," suara
wanita itu terputus.
"Sudahlah, Rara Anting. Jangan kau ungkit-ungkit lagi masa lalu. Aku ingin kau
menghentikan semua ini. Sebelum terlambat, Rara Anting."
"Tidak, Ayah! Martabat, kehormatan, dan harga diri kita sudah tercabik. Dan aku
tidak akan diam begitu saja. Aku akan membalas, apa pun yang akan terjadi pada
diriku. Percayalah, Ayah. Semua yang kulakukan karena aku mencintaimu, mencintai
seluruh keluarga kita."
Tidak lagi terdengar suara Ki Rampat.
Juga tidak lagi terdengar suara wanita itu. Sementara Rangga terus mengerahkan
ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Pendekar Rajawali Sakti itu masih berada dekat
dengan pintu kamar yang disewanya ini.
Pembicaraan tadi sungguh menarik perhatiannya. Sungguh tidak diketahuinya kalau
Ki Rampat mempunyai seorang anak yang memiliki suara merdu, tapi juga amat tegas
kedengarannya. Lama juga Rangga menunggu, tapi tidak kunjung terdengar percakapan itu lagi.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai jenuh.
Tapi begitu ajiannya akan ditarik, mendadak terdengar suara langkah kaki,
disusul terdengarnya daun pintu berderit terbuka. Tak lama kemudian terdengar
suara daun pintu tertutup. Kembali terdengar suara langkah kaki yang semakin
menjauh. Rangga terus mendengarkan sampai suara langkah kaki itu hilang dari
pendengaran. *** Pagi-pagi sekali Rangga sudah keluar dari kamar penginapannya. Pada saat hendak
menutup pintu, Ki Rampat keluar dari kamarnya sendiri yang berada tepat di depan
kamar Pendekar Rajawali Sakti itu. Ki Rampat tampak terkejut, tapi buru-buru
tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Rangga membalas dengan anggukan
kepalanya juga.
"Akan pergi, Ki?" tegur Rangga
melihat Ki Rampat kelihatan begitu rapi.
"Akan mengunjungi kerabat," sahut Ki Rampat.
"Pagi-pagi begini...?"
"Rumahnya cukup jauh, agar tidak kesiangan. Aku harus pagi-pagi sekali agar
pulangnya tidak kemalaman di jalan.
Aku tidak menginap, kok."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu sempat
melihat kedua mata Ki Rampat memerah seperti tidak tidur semalaman.
Sedangkan Ki Rampat sudah melangkah meninggalkannya. Sejenak Rangga
memperhatikan punggung laki-laki tua itu, kemudian juga berjalan ke luar.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja berjalan menyusuri lorong yang tidak
begitu panjang, yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar sewaan yang
tertutup rapat. Keluar dari lorong itu, Rangga langsung masuk ke bagian ruangan
yang cukup besar dengan perabotan cukup indah tertata apik. Pemuda berbaju rompi
putih itu terus saja berjalan melintasi ruangan depan ini menuju pintu keluar.
Rangga sempat melihat Ki Rampat memacu cepat kudanya keluar dari halaman rumah
ini. Saat ini memang masih terlalu pagi, dan matahari baru saja menampakkan
cahayanya yang memerah jingga di ufuk timur. Belum ada seorang pun yang keluar
dari rumahnya. Kabut tebal menyebarkan udara dingin membuat seluruh penduduk
desa ini masih suka berada di
pembaringan. Rangga terus berjalan melintasi halaman yang tidak begitu luas ini. Embun masih
membasahi tanah berumput, terasa dingin menusuk kulit kaki. Namun Pendekar
Rajawali Sakti itu terus saja berjalan, menuju arah yang sama dengan arah
kepergian Ki Rampat. Tapi belum juga jauh meninggalkan rumah penginapan Ki
Rampat, mendadak saja matanya melihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat
bagaikan kilat. Bayangan merah itu bergerak menuju arah yang sama dengan kepergian Ki
Rampat. "Hm...," Rangga menggumam pelan.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar bayangan merah itu. Dalam keadaan
berkabut tebal begini, memang sukar bagi Rangga untuk bisa melihat jauh. Namun
karena mempergunakan aji
'Tatar Netra', Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengikuti gerakan bayangan
merah yang berkelebat cepat menyelinap di antara pepohonan. Bahkan Ki Rampat
masih bisa terlihat walaupun laki-laki tua itu terus memacu kudanya dengan
kecepatan tinggi.
"Hm..., tampaknya dia mengikuti Ki Rampat," gumam Rangga dalam hati.
Rangga semakin yakin kalau bayangan merah itu terus mengikuti ke mana Ki Rampat
pergi. Memang tampaknya bayangan itu menjaga jarak agar Ki Rampat tidak
mengetahui. Dan Rangga sendiri juga menjaga jarak dari bayangan merah itu.
Tapi, mendadak saja bayangan merah itu berhenti bergerak, dan tiba-tiba pula
berbalik. Wuk! "Heh...!"
Rangga terkejut bukan main, begitu
tiba-tiba sosok tubuh berbaju merah itu mengebutkan tangannya. Seketika secercah
sinar merah meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Begitu cepatnya
sehingga Rangga sampai terperangah. Namun bergegas dilentingkan tubuhnya
berputar menghindari terjangan sinar merah itu.
Dan saat kakinya menjejak tanah, Rangga jadi tertegun karena orang yang
dibuntuti sudah lenyap. Demikian pula Ki Rampat yang juga sudah tidak terlihat
lagi. Kabut demikian tebal. Hal ini menyulitkan Rangga untuk melihat lebih jauh
lagi, meskipun mengerahkan aji
'Tatar Netra'. Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, dan bukan main
terperanjatnya begitu melihat pohon di belakangnya hancur bagai terbakar. Pada
batangnya terlihat sebuah benda kecil berbentuk
segitiga berwarna merah
tertanam agak menyembul ke luar.
"Ki Rampat...!" sentak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi mencemaskan keselamatan Ki Rampat. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Rangga berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh. Sungguh luar biasa!
Hanya bayangan putih saja yang terlihat dan sulit ditangkap oleh pandangan mata
biasa. *** 7 Dalam waktu sebentar saja Rangga sudah kembali melihat bayangan merah itu yang
masih terus membuntuti Ki Rampat.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga agak heran karena Ki Rampat justru memutari
kaki Bukit Growong. Padahal di sekitar kaki bukit ini tidak ada desa lain.
Bahkan sebuah rumah pun tidak ada.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir lebih jauh lagi,
mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking. Pendekar Rajawali Sakti itu
sempat terkejut. Namun belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja dia
dihujani ratusan anak panah dari segala penjuru.
"Hiyaaa..!"
Terpaksa Rangga berjumpalitan di udara menghindari serbuan anak panah itu.
Luar biasa! Tak ada sebatang anak panah pun yang bisa menjamah kulit tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan Rangga memang luar biasa cepatnya.
Berjumpalitan di udara tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Mendadak hujan anak panah itu
berhenti, tapi sesaat kemudian terdengar teriakan-teriakan keras membahana.
Sebentar kemudian bermunculanlah orang-orang bersenjata berbagai macam. Mereka
langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras.
"Tahan...!" seru Rangga keras
menggelegar. Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak didengar sama sekali. Puluhan
orang bersenjata itu terus merangsek melancarkan serangan gencar. Rangga tak
punya pilihan lain lagi. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, langsung
direntangkan tangannya ke samping. Maka seketika itu juga dihentakkan tangannya
ke depan, lalu ditarik ke depan dada dengan telapak tangan tertutup merapat.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Hiyaaa...!"
teriak Rangga keras.
Begitu suara Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap, seketika terdengar suara angin
menggemuruh. Lalu entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di sekitar tempat
itu terjadi badai topan amat dahsyat. Orang-orang yang mengeroyok Rangga
langsung menjerit-jerit, dengan tubuh berpelantingan. Mereka terhempas tak mampu
menahan hembusan angin yang begitu kuat.
Orang-orang itu berhamburan,
beterbangan bagai daun-daun kering berguguran. Jerit dan pekik melengking
kesakitan terdengar meningkahi deru angin
dahsyat. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil merentangkan
kaki lebar-lebar dan tangan menyatu di depan dada.
"Hiyaaa...! Hap!"
Mendadak Rangga menghentakkan
tangannya ke samping. Seketika itu juga badai berhenti. Sekitar tempat itu jadi
porak-poranda bagai baru saja diamuk ratusan babi hutan. Tubuh-tubuh
bergelimpangan tertindih batu dan
pepohonan tumbang. Suasana jadi sunyi sepi. Rangga mengedarkan pandangannya ke
sekeliling, dan matanya kemudian tertumbuk pada sosok tubuh berjubah hitam agak
bungkuk yang berdiri di atas sebatang pohon tumbang.
Sosok tubuh berjubah hitam itu
seorang perempuan tua keriput, dan rambutnya sudah memutih semua. Tangannya
menggenggam sebatang tongkat berwarna merah yang bagian atasnya berbentuk
segitiga berujung runcing. Rangga menggeser kakinya ke samping saat perempuan
tua berjubah hitam itu melompat turun dari pohon yang tumbang. Dia melangkah
beberapa tindak, lalu berhenti setelah jaraknya sekitar lima langkah lagi di
depan Rangga. "Hebat...! Ternyata kau memiliki kepandaian yang tinggi juga, bocah!"
kering dan datar suara wanita tua itu.
"Nisanak, siapa kau" Kenapa
menghadang perjalananku?" tanya Rangga tegas.
"Hik hik hik..., orang-orang biasa memanggilku Dewi Maut. Kedatanganku ke sini
karena permintaan muridku yang merasa terganggu dengan adanya kau di sini,
bocah," sahut perempuan tua itu yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewi Maut.
"Aku tidak kenal siapa muridmu, dan juga tidak kenal denganmu, Dewi Maut,"
ujar Rangga dingin.
"Aku tidak peduli kau kenal atau tidak! Tapi adanya kau di sini telah membuat
muridku jadi tidak tenang. Dan kau telah merusak hampir semua
rencananya!" agak keras suara Dewi Maut.
"Aku semakin tidak bisa memahami kata-katamu, Dewi Maut," desis Rangga agak
bergumam. "Aku tidak peduli! Aku hanya minta, tinggalkan daerah ini, dan jangan kembali
lagi! Mengerti"!"
"Aneh..."! Kenapa aku harus pergi"
Aku bebas ke mana saja aku suka. Dan aku akan pergi dari sini juga sesuka
hatiku. Kau tidak perlu memerintahku, Dewi Maut,"
dingin sambutan Rangga.
"Beludak! Aku peringatkan sekali lagi padamu, bocah! Pergi dengan selamat, atau
hanya nyawamu yang pergi!" ancam Dewi
Maut. "Kau sudah main ancaman segala, Dewi Maut."
"Aku tidak main-main, bocah!"
"Aku juga tidak main-main. Aku akan pergi kapan saja aku suka. Tapi saat ini aku
belum akan pergi!"
"Monyet..! Rupanya kau memilih
mampus!" geram Dewi maut.
"Hidup dan matiku bukan kau yang menentukan. Dan aku tidak akan bisa mati
olehmu!" dingin suara Rangga.
"Setan...! Hiyaaa...!"
Dewi Maut tidak bisa menahan
amarahnya lagi mendapat tantangan terbuka seperti itu. Dengan satu gerakan cepat
luar biasa, dia melompat menerjang sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali.
Rangga bergegas melompat ke belakang, lalu meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
setiap tebasan tongkat berwarna merah itu.
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Serangan-serangan Dewi Maut sungguh
luar biasa dan sangat berbahaya. Hanya sebentar saja Rangga menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', karena Dewi Maut seperti mengetahui jurusnya. Hal ini
membuat Rangga cepat-cepat merubah jurusnya.
Semula Rangga ingin mengukur dulu, sampai di mana tingkat kepandaian Dewi
Maut. Tapi belum juga maksudnya terlaksana, Dewi Maut sudah menghujaninya dengan
serangan berbahaya dari jurus-jurus tingkat tinggi. Hal ini membuat Rangga
kewalahan. Sehingga....
"Hiyaaa...!"
Des! "Akh...!"
Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi tak dapat dihindari lagi. Pendekar
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rajawali Sakti terpekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Dadanya
seketika terasa sesak terkena pukulan Dewi Maut. Pendekar Rajawali Sakti jatuh
bergulingan di tanah. Dan belum sempat berdiri, Dewi Maut sudah melompat
menerjang sambil memukulkan kepala tongkatnya ke arah tubuh pemuda itu.
Terpaksa Rangga bergulingan menghina-dari hantaman tongkat yang bertubi-tubi
itu. Setiap tongkat itu menghantam tanah, maka tanah itu bergetar dan berlubang
cukup besar. Sambil menahan rasa sakit dan sesak pada dadanya, Rangga bergegas
melompat bangkit berdiri begitu berhasil mengelakkan satu pukulan tongkat
berbentuk segitiga pada ujungnya itu.
"Hih!"
Rangga segera mengempos hawa murni untuk mengusir rasa sakit dan sesak pada
dadanya. Untung saja Dewi Maut hanya mengerahkan tenaga dalam saja pada
pukulannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya merasakan nyeri dan sesak
pada dadanya. Tapi hanya dengan menyalurkan hawa murni, semua itu bisa cepat
dihilangkan. Dan Rangga kembali bersiap menerima serangan berikut dan kali ini
tidak ingin main-main lagi.
*** Kini Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi serangan berikut. Tapi Dewi
Maut hanya berdiri tenang saja sambil terkikik. Diputar-putar tongkatnya sampai
menimbulkan suara angin menderu.
Belum juga Rangga sempat berpikir, mendadak saja terdengar siulan nyaring
melengking tinggi. Irama siulan itu sungguh aneh dan menyakitkan telinga.
"Hih hik hik..., ternyata nyawamu masih terlindungi, bocah," kata Dewi Maut
diiringi tawa terkikiknya.
Rangga jadi tertegun.
"Tapi ini bukan berarti persoalan di antara kita sudah selesai," sambung Dewi
Maut. Setelah berkata demikian, Dewi Maut langsung melesat pergi. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan. Rangga tersentak
kaget, tapi tidak punya kesempatan lagi untuk mengejar. Bayangan wanita tua itu
sudah tidak terlihat lagi.
"Phuih! Edan...! Kenapa di sini begitu banyak orang tak waras..."!"
dengus Rangga sengit.
Rangga semakin sengit karena
buruannya sudah tidak ketahuan lagi.
Sambil bersungut-sungut kesal Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi.
Kakinya menyepak tubuh yang menghalangi jalannya. Sosok tubuh tanpa nyawa itu
terpental jauh menghantam pohon. Rangga terus berjalan dengan hati diliputi
kekesalan. Rangga tidak tahu lagi, arah mana yang harus dituju. Tak ada jalan di sini.
Sekelilingnya hanya hutan. Namun kekesalan hati Pendekar Rajawali Sakti itu
terobati ketika melihat jejak-jejak tapak kaki kuda tertera jelas di tanah.
Bergegas dia berjalan cepat mengikuti jejak-jejak kaki kuda. Jelas sekali
terlihat kalau jejak itu masih baru, dan Rangga yakin kalau itu jejak kaki kuda
Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga bisa bergerak cepat mengikuti jejak
yang tertera jelas di atas permukaan tanah. Terlebih lagi matahari sudah
bersinar penuh, dan kabut pun tak lagi menghalangi pandangan mata. Tapi mendadak
Rangga tersentak. Matanya membeliak lebar dengan mulut ternganga.
"Ki Rampat..!" seru Rangga terkejut.
Tampak Ki Rampat terbujur bersimbah darah, dan sebagian tubuhnya berada di dalam
semak. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri dan mengeluarkan laki-
laki tua itu dari dalam semak.
Seberkas cahaya harapan memancar di mata, Rangga begitu mengetahui Ki Rampat
masih bernapas.
"Ki..., Ki Rampat," panggil Rangga pelan.
"Ohhh...," Ki Rampat merintih lirih.
Perlahan mata laki-laki tua itu terbuka.
"Raden...," lemah sekali suara Ki Rampat.
"Iya, ini aku. Kenapa jadi begini, Ki" Siapa yang melakukan semua ini?"
tanya Rangga. "Raden..., tolonglah aku. Hentikan pertumpahan darah ini. Tolong Raden...,"
semakin lemah suara Ki Rampat.
"Aku akan membantumu, Ki. Tapi
katakan, siapa yang melakukan semua ini?"
"Aku orang tua yang gagal, Raden. Aku gagal.... Seluruh hidupku tidak luput dari
gelimang dosa. Aku tidak
mengharapkan semua ini terjadi, tidak kuasa mencegah. Aku hanya orang tua yang
gagal...," tersendat suara Ki Rampat.
"Tenang, Ki...," ujar Rangga.
"Memang sudah kuduga semua ini bakal
terjadi. Tapi aku sudah berusaha mencegah.... Oh Dewata Yang Agung, begitu besar
dosa yang kuperbuat sehingga kau hukum aku dengan siksaan begini berat..,"
rintih Ki Rampat. Air matanya menitik keluar.
Rangga tak bisa berkata apa-apa lagi, dan memang tidak tahu harus berkata apa.
Dia hanya mendengarkan saja, meskipun suara Ki Rampat sudah terbata-bata dan
begitu lemah. "Seandainya aku punya anak sepertimu, tentu hidupku akan bahagia sekali, Den.
Tapi rupanya Hyang Widi menghendaki lain.
Meskipun dia wanita, tapi hatinya sekeras batu. Aku tidak tahu, setan mana yang
membuatnya jadi buta...."
"Ki...."
"Aku menyayanginya, Den. Aku
mencintainya. Tapi balasan yang kuperoleh... Oh! Tidak.... Sungguh memalukan,
Den. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis yang tidak bisa lagi membedakan dan lupa
dari mana asalnya."
Rangga diam saja, dan langsung
teringat akan pembicaraan yang
didengarnya semalam.
"Ki, apakah anakmu yang melakukan semua ini?" tanya Rangga, agak tertahan
suaranya. "Aku mencintainya, Den. Tolong
sadarkan dia. Tolong bawa dia kembali ke
jalan yang benar. Singkirkan iblis yang bersemayam di hatinya. Tolong, Den...,"
rintih Ki Rampat lemah.
"Aku akan berusaha, Ki," sahut Rangga pelan.
"Terima kasih, Den. Aku senang
mendengarnya."
Ki Rampat tersenyum. Tapi senyum itu langsung memudar, dan matanya terpejam.
Kepala laki-laki tua itu terkulai. Rangga meletakkan tubuh Ki Rampat yang sudah
tidak bernyawa lagi. Sebentar dipandangi jasad laki-laki tua itu, kemudian
bangkit berdiri.
"Hhh.... Aku tidak yakin apakah aku mampu..." Sedangkan dia sudah begitu tega
membunuh ayahnya sendiri," desah Rangga dalam hati.
*** Rangga baru saja selesai menguburkan jasad Ki Rampat ketika mendengar jeritan
melengking tinggi, disusul teriakan-teriakan keras disertai denting senjata
beradu. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya, mencari
sumber suara itu. Jelas sekali suara-suara itu terdengar, dan sepertinya tidak
jauh dari tempat ini.
Rangga tertegun memandangi gundukan batu-batu besar yang menyembul keluar
dari puncak pepohonan. Suara-suara pertarungan itu berasal dari sana.
Sedangkan Rangga tahu kalau itu merupakan bukit batu kecil yang berada di lereng
Bukit Growong ini. Maka pemuda berbaju rompi putih itu tidak mau berpikir
panjang lagi, lalu bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
menuju arah suara pertarungan itu.
Jarak dari tempat Rangga menguburkan Ki Rampat dengan gundukan batu itu memang
tidak seberapa jauh lagi. Sehingga dalam waktu sebentar saja Pendekar Rajawali
Sakti sudah sampai di sana. Suara pertempuran itu memang jelas terdengar, dan
berasal dari tempat ini. Tapi....
"Edan...!" dengus Rangga sambil memandangi gundukan batu yang menjulang cukup
tinggi itu. Jelas sekali kalau suara pertarungan itu berasal dari situ. Dan Rangga hampir
saja tidak percaya kalau tidak melihat percikan bunga api membumbung tinggi ke
angkasa. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera naik ke puncak batu
itu. Hanya dua kali lompatan saja, Rangga sudah mencapai puncak batu. Dan
kembali hatinya tertegun. Ternyata batu ini bukan hanya sebuah bukit kecil di
lereng Bukit Growong, tapi merupakan tempat yang sangat tersembunyi.
Tumpukan-tumpukan batu ini membentuk lingkaran bagai sebuah cincin raksasa.
Dan di dalam lingkaran batu itu, terlihat sebuah pertarungan dahsyat. Sudah
tidak terhitung lagi berapa tubuh
bergelimpangan tak bernyawa. Angin yang berhembus menyebarkan bau anyir darah.
Rangga pasti tidak akan bisa mengetahui siapa yang sedang bertarung itu, kalau
saja tidak melihat Citrasoma. Di situ ada pula perempuan tua yang tadi bertarung
dengannya. Perempuan tua berjubah hitam yang mengaku sebagai Dewi Maut.
Kini Rangga tahu, ada dua kelompok yang bertarung. Dan perhatian Pendekar
Rajawali Sakti itu terpusat pada seorang gadis muda berwajah cukup cantik
mengenakan baju merah menyala. Dia bertarung bagai singa betina mengamuk karena
kehilangan anaknya. Dengan sebatang tongkat pendek yang ujung-ujungnya berbentuk
segitiga, gadis itu seperti malaikat maut pencabut nyawa.
"Mintarsih...," desis Rangga ketika mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
Tampak di balik sebatang pohon, Mintarsih berlindung memperhatikan jalannya
pertempuran. Wajah gadis itu kelihatan ketakutan dan tubuhnya bergemetar. Rangga
segera melentingkan tubuhnya, meluruk turun ke bawah.
Langsung didaratkan kakinya tepat di
belakang Mintarsih.
"Oh...!" Mintarsih terkejut.
Tapi begitu melihat Rangga yang muncul, gadis itu menarik napas panjang.
Langsung gadis itu menghambur memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja pemuda
berbaju rompi putih itu jadi kelabakan. Buru-buru dilepaskan pelukan Mintarsih.
Sementara itu pertarungan terus berlangsung sengit.
"Tolong, Kakang. Mereka hendak
menghancurkan Padepokan Paman," rintih Mintarsih berharap.
"Siapa mereka?" tanya Rangga.
"Mereka yang selalu mengejar-
ngejarku, Kakang. Mereka ingin menuntut balas, terutama Rara Anting. Mereka
sangat kejam, Kakang," agak terbata suara Mintarsih.
Rangga memandangi dalam-dalam gadis itu. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah
mendengar nama Rara Anting. Ya..., dia ingat! Rara Anting adalah putri Ki
Rampat. Hal itu diketahuinya ketika mendengar percakapan Ki Rampat dengan Rara
Anting semalam.
"Tarsih, apa sebenarnya yang
terjadi?" tanya Rangga meminta
penjelasan. "Nanti kujelaskan, Kakang. Sekarang tolonglah bantu Paman mengusir mereka,"
sahut Mintarsih sambil berharap.
"Aku tidak tahu, mana kelompok
pamanmu, dan mana musuh-musuhnya."
"Pokoknya yang memakai baju biru, itulah murid-murid Paman. Sedangkan yang
lainnya bukan," Mintarsih memberitahu.
Rangga mengalihkan perhatiannya pada pertarungan itu. Dan memang, tampaknya
orang-orang yang mengenakan baju biru sudah terdesak. Terlebih lagi Citrasoma
yang sudah kewalahan menghadapi Dewi Maut. Hanya saja Rangga masih ragu-ragu,
harus memihak kelompok yang mana.
Namun melihat orang-orang Padepokan Arum semakin terdesak, Pendekar Rajawali
Sakti akhirnya memutuskan untuk segera melompat masuk ke dalam kancah
pertarungan itu. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti rupanya membuat kedua
kelompok itu terkejut, karena mereka tidak ada yang mengenal. Hanya beberapa
orang saja yang mengetahuinya.
Tapi karena Rangga menghajar orang-orang yang tidak mengenakan baju biru, maka
kehadiran Pendekar Rajawali Sakti itu disambut gegap gempita oleh mereka yang
mengenakan baju biru. Terlebih lagi dalam waktu sebentar saja, Rangga sudah
menjatuhkan lebih dari sepuluh orang.
Namun kemunculan Rangga rupanya mendapat perhatian dari Dewi Maut juga.
Dan perempuan tua itu jadi geram bukan main. Sedangkan Citrasoma keheranan,
karena Rangga berpihak padanya dengan menggempur orang-orangnya Dewi Maut.
Meskipun diliputi perasaan heran dan tanda tanya, tapi melihat Rangga terus
menjatuhkan musuh-musuhnya, Citrasoma bangkit kembali semangatnya.
Dalam waktu sebentar saja, keadaan jadi terbalik. Kini anak buah Dewi Maut terus
terdesak. Dan mereka semakin terdesak hebat karena jumlahnya yang semakin
berkurang saja. Tak ada yang sanggup membendung amukan Rangga. Mereka yang
berani mendekat, tidak berumur panjang. Jeritan-jeritan melengking tinggi dan
menyayat kini lebih sering terdengar. Dan tubuh-tubuh terus berjatuhan
berlumuran darah.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Ganggala melompat menghampiri Mintarsih.
Putra Citrasoma itu keluar dari arena pertarungan, dan langsung menyeret
Mintarsih menjauh. Gadis itu menurut saja.
"Siapa laki-laki itu, Kak Tarsih?"
tanya Ganggala.
Rupanya pemuda itu sempat juga
melihat Rangga berbicara dengan Mintarsih sebelum terjun ke dalam pertempuran.
"Namanya Rangga. Dialah yang telah menolongku selama ini," sahut Mintarsih.
"Hm...," Ganggala bergumam.
Tatapan mata pemuda itu sangat dalam,
dan penuh arti yang sukar dilukiskan.
Tatapan mata itu langsung menusuk ke dalam bola mata Mintarsih. Tapi yang
ditatap malah terus memperhatikan Rangga yang sedang bertarung.
*** 8 Keadaan Dewi Maut dan orang-orangnya semakin tidak menguntungkan. Jumlah mereka
semakin berkurang banyak. Bahkan tidak sedikit yang sudah kabur melarikan diri.
Dan keadaan semakin memburuk lagi, saat Rangga sudah mengalihkan perhatiannya
pada Dewi Maut. Memang para pengikut perempuan tua itu sudah tidak berarti lagi
baginya. "Hup! Hiyaaa...!"
Dengan sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti menghadang Dewi Maut yang
mencoba menyingkir mendekati pintu gerbang Padepokan Arum ini. Dewi Maut
menggeram marah, lalu melintangkan tongkatnya di depan dada. Sedangkan Citrasoma bergerak menghampiri Rangga.
"Kita bertemu lagi, Dewi Maut," ujar Rangga dingin.
"Phuih!" Dewi Maut hanya menyemburkan ludahnya saja.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja,
Dewi Maut" tegas Rangga lagi lebih dingin suaranya.
"Bocah kurang ajar! Terimalah
seranganku ini...! Hiyaaa...!"
Dewi Maut rupanya tidak punya pilihan lain lagi, dan langsung saja menyerang
Rangga yang memang sudah siap sejak tadi.
Perempuan tua itu langsung mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali.
Sedangkan Citrasoma bergerak menyingkir, mendekati istri dan anaknya yang sudah
berada mendampingi Mintarsih.
Mereka kini hanya jadi penonton saja.
Sedangkan murid-murid Padepokan Arum sudah berhasil menghancurkan kekuatan para
penyerangnya. Kini pertarungan tinggal antara Rangga melawan Dewi Maut.
Tak ada yang memperhatikan kalau Rara Anting diam-diam sudah meninggalkan tempat
ini. Tapi itu tidak semua.
Ternyata Ganggala justru selalu memperhatikan gadis berbaju merah itu. Dan
begitu Rara Anting melesat keluar, Ganggala segera melompat mengejar. Tak ada
seorang pun yang mengetahui, karena perhatian mereka tertumpah pada pertarungan
antara Rangga melawan Dewi Maut.
Suatu pertarungan tingkat tinggi yang sangat dahsyat.
Tampak jelas sekali kalau Dewi Maut begitu bernafsu ingin cepat-cepat menyu-dahi
pertarungannya ini. Tapi rupanya
lawan yang dihadapi sekarang bukanlah lawan enteng. Meskipun masih muda, tapi
memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan sukar diukur tingkatannya. Sedangkan
Rangga bertarung dengan sikap tenang dan penuh perhitungan.
Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada tanda-tanda pertarungan akan
berakhir. Mereka masih sama-sama tangguh.
Serangan datang silih berganti tanpa henti. Semakin lama pertarungan semakin
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling
sambar dan menghindar. Hanya mereka yang memiliki kepandaian tinggi saja masih
bisa mengikuti jalannya pertarungan itu.
"Lepas..!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Dan seketika itu juga diegoskan tubuhnya ke kiri sambil melontarkan satu
tendangan menyamping. Dewi Maut segera menggeser kakinya menghindari tendangan
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, mendadak saja tangan kiri Rangga mengibas
cepat menghajar pergelangan tangan kanan perempuan tua itu.
Plak! "Akh!" Dewi Maut terpekik kaget Tapi belum hilang keterkejutannya, Rangga sudah
menghantamkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul satu tendangan bertenaga
dalam tinggi menghajar tangan kanan perempuan tua itu.
Kembali Dewi Maut terpekik keras dan tubuhnya terjajar ke belakang.
Perempuan tua itu mengumpat, karena tongkatnya terlepas dari tangan. Namun belum
juga habis mengumpat, Rangga sudah kembali melompat menerjangnya secara cepat.
Dewi Maut berusaha menghindar, tapi....
"Hiyaaa...!"
Des! "Aaakh...!" untuk kesekian kalinya Dewi Maut menjerit keras.
Sukar diikuti pandangan mata biasa, tiba-tiba satu pukulan bertenaga dalam
sempurna kembali mendarat di dada wanita tua berjubah hitam itu. Akibatnya tubuh
Dewi Maut terpental jauh ke belakang. Dan pada saat itu, Rangga melompat cepat
bagaikan kilat dengan kedua tangan mengembang lebar.
Wuk! Wut..! Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mengibas, dan tepat menghantam
bagian dada dan kepala Dewi Maut. Tak terdengar suara lagi dari mulut wanita tua
itu. Tubuhnya langsung membentur batu hingga bergetar seluruh batu yang
melingkari tempat ini. Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil melipat
tangan di depan dada.
Tubuh Dewi Maut melorot turun. Dari
dada dan kepalanya mengucurkan darah segar. Sungguh dahsyat serangan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tangan-tangan Rangga bagaikan sebilah pedang
yang sangat tajam. Apalagi tubuh manusia, sebongkah batu yang sangat keras
sekalipun akan hancur! Dan ini dialami Dewi Maut yang tewas seketika itu juga.
Rangga menarik napas panjang, lalu memutar tubuhnya saat mendengar suara-suara
langkah kaki menghampiri. Tampak Citrasoma, Dewi Wulan, Mintarsih, dan seluruh
murid Padepokan Arum menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
*** Rangga tidak bisa menolak ketika Citrasoma memintanya masuk ke dalam rumah. Dan
mereka kemudian duduk di bagian depan rumah yang besar dan cukup indah ini.
Hanya ada Citrasoma, istrinya, Mintarsih, Bantara dan Andira di situ.
Sedangkan murid-murid Padepokan Arum yang masih hidup langsung sibuk
menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Anak Muda, apakah kau akan menerima permintaan maafku?" ucap Citrasoma.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman. Bisa kumengerti kalau keadaannya memang
membuat kita semua saling mencurigai," ujar Rangga memaklumi sikap
Citrasoma padanya tempo hari.
"Aku waktu itu memang sedang tegang, sehingga tidak bisa membedakan mana kawan
dan mana lawan," kata Citrasoma mengakui.
"Aku mengerti, Paman," ujar Rangga.
"Yaaah.... Sebenarnya ini persoalan keluarga yang sudah bertahun-tahun dan
berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang pasti. Aku sendiri sudah mengalah,
dan mencari kehidupan tenang di sini.
Juga kakakku, atau ayahnya Mintarsih yang juga mengalah sehingga meletakkan
kedudukannya sebagai kepala desa. Dia bahkan menyingkir jauh untuk mencari
ketenangan, melupakan semua persoalan dan kemelut dalam keluarga," kata
Citrasoma. "Tadinya kami semua sudah bisa
melupakan, tapi yaaah.... Beginilah jadinya jika dendam tidak bisa dikubur jauh-
jauh di dasar hati," sambung Dewi Wulan.
"Kalau boleh tahu, apa persoalan yang sebenarnya, Paman?" tanya Rangga ingin
tahu. "Persoalan yang dibuat oleh orang-orang tua kami dulu. Tapi kami semua anak-
anaknya yang harus menanggung akibatnya. Meskipun sudah berusaha melupakan,
tetap saja ada segelintir yang tidak puas dan mencari-cari perkara dengan
mengkait-kaitkan persoalan lama,"
sahut Citrasoma setengah mendesah.
"Sebenarnya persoalannya berawal dari perebutan sumber mata air saja," sambung
Dewi Wulan. "Mata air...?" Rangga terhenyak.
"Benar. Di desa itu dulu hanya ada satu sumber mata air. Dan desa yang terdiri
dari dua keluarga itu yang akhirnya berkembang terus, tahun demi tahun. Dulu
pernah terjadi kemarau yang sangat panjang, sehingga kebutuhan air sangat
penting. Dari situlah awal malapetaka ini terjadi. Dua kelompok keluarga yang
semula hidup rukun, akhirnya pecah hanya karena memperebutkan sumber mata air
demi kepentingan masing-masing. Bahkan mereka saling bunuh,"
tutur Citrasoma.
"Oh...," Rangga mendesah.
"Tapi hal itu tidak berlangsung lama ketika turun hujan kembali, dan menjadikan
daerah ini subur. Bertahun-tahun pertengkaran itu terlupakan. Tapi kembali
timbul lagi saat musim kemarau tiba. Dan pertentangan itu kembali menghangat
sekitar sepuluh tahun lalu.
Kemarau datang begitu panjang, dan banyak sumber air kering. Hanya satu yang
masih bisa diharapkan, tapi tampaknya tidak akan cukup digunakan orang sedesa.
Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai timbul, yang akhirnya menjadi
besar. Kembali dua kelompok keluarga terpecah
menjadi dua, dan akhirnya baku hantam, saling berebut menguasai mata air yang
tinggal satu. Inilah awal permulaan baru yang sebenarnya sudah terjadi sejak
dulu. Dua kelompok itu terus bertentangan sampai sekarang, meskipun sekarang tidak
lagi terjadi kemarau panjang yang menyengsarakan."
"Kenapa bisa begitu, Paman?" tanya Rangga.
"Satu kelompok keluarga dipimpin kakeknya Rara Anting. Dan satu kelompok
keluarga lagi dipimpin kakeknya Mintarsih, yang juga ayahku. Entah karena apa,
suatu malam kakek Rara Anting tewas di dalam kamarnya. Dan yang membuat
pertentangan itu kembali timbul, di situ tergeletak sebilah keris milik ayahku.
Padahal malam itu kami semua sedang berkumpul hingga pagi. Dari situlah dimulai
perang kecil yang tidak akan berakhir sampai kapan pun, kecuali salah satu
kelompok keluarga lenyap."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kini mengerti sudah. Rupanya Rara
Anting termasuk penerus yang ingin memusnahkan musuh keluarganya. Dan
pertentangan ini rupanya dimanfaatkan orang-orang persilatan yang membenci
keluarga Citrasoma. Karena, keluarga ini adalah keturunan pendekar, dan sebagian
keluarganya hidup sebagai pengembara yang
berkelana menjelajahi rimba persilatan.
Tidak heran kalau kelompok keluarga ini selalu menang, karena kebanyakan dari
mereka adalah kaum pendekar yang memiliki kepandaian rata-rata cukup tinggi.
Saat mereka tengah berbincang-
bincang, mendadak seorang murid Padepokan Arum masuk tergesa-gesa. Dia
membungkuk memberi hormat pada gurunya.
"Ada apa?" tanya Citrasoma.
"Maaf, Guru. Ganggala tidak ada, dan beberapa teman mengatakan kalau Ganggala
mengejar Rara Anting."
"Apa..."!" Citrasoma tersentak.
*** "Anting...! Rara Anting...!"
Rara Anting yang berlari kencang meninggalkan Padepokan Arum, berhenti berlari
saat mendengar panggilan keras dari belakang. Gadis berbaju merah itu memutar
tubuhnya berbalik, dan menjadi terkejut begitu melihat Ganggala berlari-lari
menghampirinya. Pemuda itu baru berhenti berlari setelah jaraknya tinggal
beberapa langkah lagi di depan Rara Anting.
"Anting...," pelan suara Ganggala.
"Untuk apa kau mengejarku, Kakang?"
sentak Rara Anting ketus.
"Anting...," tercekat suara Ganggala.
Wajah yang menegang dan sorot mata tajam, perlahan memudar. Untuk beberapa saat
mereka hanya diam saling tatap.
"Anting, semua ini bisa kujelaskan pada Ayah. Aku yakin, Ayah akan mengerti,"
ujar Ganggala lembut.
"Percuma, Kakang. Aku telah gagal.
Sebaiknya kau kembali saja dan jangan mengingatku lagi," tegas Rara Anting
dengan suara lembut dan pelan.
"Tapi, itu bukan keinginanku kalau Mintarsih berada di sana. Ayahku yang
menginginkan begitu, Anting."
"Dan aku hampir menghancurkan
padepokan ayahmu, Kakang. Lupakan saja aku. Lupakan cinta yang sempat bersemi di
antara kita! Aku bukan gadis yang cocok untukmu. Aku sekarang sudah menjadi
musuhmu! Musuh besar seluruh keluargamu!
Dan aku tidak akan berhenti mencari cara untuk membunuh Mintarsih dan semua
keturunan Jara Botang. Tapi aku janji, tidak akan mengusik keluargamu lagi. Aku
janji, Kakang," jelas Rara Anting.
"Aku bisa memahami apa yang kau lakukan, Anting. Aku juga menyesali kejadian
ini." "Kau menyesali, tapi tidak melakukan tindakan apa-apa," agak sinis nada suara
Rara Anting. "Mana mungkin aku mengambil tindakan terhadap Paman Jara Botang...."
"Meskipun dia sudah membunuh
kakakku?" "Anting, bukan Paman Jara Botang yang membunuh kakakmu!"
"Sama saja! Laki-laki hidung belang seperti dia, sudah sepatutnya mati. Dan
seluruh keturunannya juga harus mampus!
Aku sudah bersumpah di depan pusara kakakku untuk membalas sakit hatinya.
Jara Botang telah menghancurkan hidup dan harapannya!"
Ganggala terdiam. Dia memang tahu peristiwa itu, ketika pamannya Jara Botang
mengadakan pesta panen. Ayah Mintarsih itu mabuk berat waktu itu, sehingga tidak
sadar telah menodai kakak Rara Anting. Suatu aib yang sangat besar.
Paman Jara Botang ingin mempertang-gungjawabkan perbuatannya, tapi kakak Rara
Anting sudah mengambil keputusan sendiri. Mati bunuh diri! Ganggala tidak tahu
kalau Rara Anting menyimpan dendam, dan beranggapan semua itu karena kesalahan
Jara Botang. "Aku pergi, Kakang. Aku akan kembali untuk membunuh Mintarsih, dan bersumpah
akan membuat Mintarsih merasakan seperti yang dialami kakakku!"
Setelah berkata demikian, Rara Anting langsung membalikkan tubuhnya dan berlari
cepat meninggalkan Ganggala.
"Anting...!" seru Ganggala memanggil.
Tapi Rara Anting terus berlari cepat.
Sedangkan Ganggala hanya berdiri saja memandangi kepergian gadis yang pernah
dicintainya. Mereka memadu kasih, dan berkeinginan untuk melebur semua
permusuhan yang terjadi antara keluarga mereka dengan ikatan tali perkawinan.
Tapi semuanya telah dirusak oleh perbuatan Jara Botang yang menodai kakak Rara
Anting, hingga gadis itu mengambil keputusan nekad.
"Anting, tunggu...!" teriak Ganggala.
Pemuda itu cepat berlari mengejar Rara Anting yang sudah jauh
meninggalkannya. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Ganggala berhasil
memperpendek jarak, dan terus mengejar sambil memanggil-manggil gadis itu. Tapi
Rara Anting tidak lagi peduli, dan terus mempercepat larinya.
"Anting! Kita tidak boleh berpisah hanya karena persoalan begini...!" teriak
Ganggala. "Lupakan aku, Kakang!" balas Rara Anting tanpa menghentikan larinya.
"Tidak! Sampai kapan pun aku tetap akan mengejarmu! Aku tidak peduli semua ini!
Aku mencintaimu, Anting...!"
Mendadak Rara Anting berhenti
berlari, dan cepat memutar tubuhnya berbalik. Tangan kanannya berkelebat cepat
bagai kilat. Seketika secercah
cahaya merah meluncur deras ke arah Ganggala.
"Anting...!" Ganggala tersentak kaget.
Buru-buru pemuda itu melentingkan tubuhnya menghindari terjangan benda kecil
berbentuk segitiga yang dilepaskan Rara Anting. Manis sekali gerakan Ganggala
menghindari serangan itu. Tapi hatinya menjadi terkejut karena benda merah kecil
itu mampu menghancurkan sebuah pohon yang berada di belakangnya.
"Anting...," tertahan suara Ganggala.
"Dengar, Kakang. Aku tidak akan berkedip membunuhmu jika kau tetap
menghalangiku. Sudah cukup banyak aku berkorban. Ayahku sudah tewas karena
mencoba menghalangi keinginanku. Dan aku tidak segan-segan membunuhmu, Kakang!"
dingin nada suara Rara Anting mengancam.
Tercekat tenggorokan Ganggala
mendengar ancaman itu. Kini baru nyata kalau Rara Anting yang sekarang bukanlah
Rara Anting yang dikenalnya dulu.
Meskipun mereka sudah lama memadu kasih, tapi masing-masing keluarga tidak ada
yang tahu. Bahkan Jara Botang dan Citrasoma sendiri tidak tahu siapa itu Rara
Anting, karena sejak kecil tinggal bersama bibinya, yaitu Dewi Maut.
"Kakang, pulanglah sebelum pikiranku berubah. Katakan pada Rangga, satu saat
nanti aku akan menantangnya bertarung!"
Kembali Rara Anting berbalik dan melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam
waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan Ganggala.
Beberapa saat lamanya Ganggala masih berdiri terpaku memandangi kepergian bekas
kekasihnya. Sungguh suatu perpisahan yang tidak mengenakkan.
Dengan hati pedih dan lesu, Ganggala membalikkan tubuhnya dan melangkah kembali
menuju Padepokan Arum. Langkahnya gontai dan kepalanya tertunduk.
Bagaimanapun juga Rara Anting sekarang ini, cintanya tetap pada gadis itu.
Bahkan penderitaan Rara Anting membuat cintanya semakin besar berkobar. Ganggala
bertekad dalam hati. Apa pun yang terjadi, gadis itu harus didapatkan!
Tapi..., apakah kedua orang tuanya akan menyetujui! Apakah ini tidak akan
membuat permasalahan baru"
Ganggala menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihembuskan napas panjang dan berat.
Perlahan-lahan kepala pemuda itu terang-kat, dan langsung tertegun begitu
melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri menghadang di depannya. Ganggala
menghentikan langkahnya.
"Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Sebaiknya kau berpikir lagi, Ganggala,"
Ujar Rangga memberi nasihat.
"Dia menantangmu," kata Ganggala pelan.
"Ya, aku tahu. Tapi aku berjanji untuk tidak menanggapi tantangannya."
Ganggala tidak peduli, lalu kembali melangkah. Rangga tidak mencegah pemuda itu
yang berjalan melewatinya. Hanya dipandangi saja ayunan kaki Ganggala yang pelan
dan tak bergairah lagi. Rangga hanya menarik napas panjang dan berat.
Memang bisa dirasakannya, apa yang kini dirasakan Ganggala.
"Hhh..., semoga saja kau mendapatkan gadis yang cocok, Ganggala," desah Rangga
dalam hati. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
DENDAM RARA ANTING
1 *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** ***
Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 *** *** *** 6 *** *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Misteri Di Bukit Ular Emas 1 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Suramnya Bayang Bayang 38