Pencarian

Jago Dari Mongol 2

Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol Bagian 2


"Hey...!"
Prabu Duta Nitiyasa terperanjat begitu tiba-tiba pemuda berbaju rompi putih itu
menyergap, lalu menotok tubuhnya. Akibatnya Prabu Duta Nitiyasa lemas seketika.
Sebelum kesadarannya hilang, Raja Jiwanala itu masih sempat melihat kalau pemuda
itu membawanya keluar dari dalam penjara khusus ini. Dan selanjutnya tidak ingat
lagi. Kesadarannya langsung lenyap bersamaan dengan melesatnya tubuh pemuda itu
melewati pagar tembok benteng sebelah barat.
*** 5 "Gusti Prabu...!" Patih Raksajun-ta terperanjat begitu melihat Prabu Duta
Nitiyasa tiba-tiba berada di depannya.
Di samping Prabu Duta Nitiyasa
berdiri seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih. Gagang pedang
berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Patih Raksajunta
langsung menjatuhkan diri berlutut.
Dua orang wanita yang diselamatkan dari Istana Jiwanala turut berlutut memberi
sembah. "Bangunlah kalian," kata Prabu
Duta Nitiyasa berwibawa.
"Ampun, Gusti," ucap Patih Raksajunta.
Patih Raksajunta bangkit berdiri diikuti dua orang wanita di belakangnya. Prabu
Duta Nitiyasa menoleh pada pemuda di sampingnya. Ditepuknya pundak pemuda itu
disertai senyuman.
"Kisanak, kuucapkan banyak terima kasih. Kau telah menyelamatkanku,"
ucap Prabu Duta Nitiyasa.
"Ah. Ini semua berkat Paman Pa-
tih, Gusti," sahut pemuda itu merendah.
"Hm...," Prabu Duta Nitiyasa memandang Patih Raksajunta.
"Ampun, Gusti. Pemuda ini bernama Rangga, seorang pendekar kelana yang juga
menyelamatkan nyawa hamba. Dia bergelar Pendekar Rajawali Sakti,"
ujar Patih Raksajunta seraya memberi hormat.
"Ah..., tidak kusangka. Pendekar besar dan digdaya ternyata masih begitu muda,"
ungkap Prabu Duta Nitiyasa.
"Gusti, sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Rasanya masih
kurang aman dan terlalu dekat dengan istana," Rangga membelokkan arah
pembicaraan. Baru saja Rangga berkata demi-
kian, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut, disusul munculnya beberapa orang
prajurit Mongol.
"Cepat, tinggalkan tempat ini!"
seru Rangga seraya melompat.
"Mari, Gusti," ajak Patih Raksajunta.
"Tunggu sebentar! Kita tidak bisa meninggalkan dia sendirian."
"Gusti, Rangga pasti bisa menghadapi mereka sendirian. Mari tinggalkan tempat
ini," bujuk Patih Raksajunta.
Sebentar Prabu Duta Nitiyasa ber-pikir, kemudian melangkah meninggalkan tempat
ini. Sementara orang-orang Mongol yang muncul sudah dihadang Pendekar Rajawali
Sakti. Pendekar muda itu memancing perhatian orang-orang asing itu agar
tertumpah padanya. Tapi sempat juga diperhatikan Prabu Duta Nitiyasa, Patih
Raksajunta, dan dua orang dayang yang telah meninggalkan tempat ini.
Rangga tidak bisa lagi menghinda-ri pertempuran. Orang-orang dari Daratan Mongol
itu langsung menyerang ganas. Mereka bagaikan binatang liar yang menemukan
mangsa di tengah pa-dang. Sepuluh orang itu menyerang tanpa memberi kesempatan
bernapas sedikit pun pada Rangga.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatannya memang sengaja memperlam-bat
pertempuran. Tidak satu pun dilon-tarkan pukulan balasan. Rangga hanya
menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Jurus ini memang mengandalkan
kecepatan gerak kaki dan kelenturan tubuh untuk menghindari setiap serangan yang
datang. Jadi tidak heran jika setiap serangan orang Mongol itu sulit untuk
menyentuh tubuhnya sedikit pun.
"Hm..., mereka sudah jauh. Aku
harus menyelesaikan pertarungan menje-mukan ini," gumam Rangga dalam hati.
Seketika itu juga dirubah jurusnya. Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Dengan jurus itu kedua tangannya bagaikan sepasang palu godam yang
siap menghancurkan apa saja. Satu persatu orang Mongol itu dibuat ambruk tidak
berkutik lagi. Setiap pukulannya mengandung hawa panas yang membuat lawan merasa sesak dan
tidak mampu lagi menghindar.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti itu berlompatan cepat sambil
mengirimkan beberapa pukulan mautnya. Dan orang-orang Mongol itu memang tidak
bisa lagi berbuat banyak. Mereka menjerit dan bergelimpangan. Tubuh orang-orang
Mongol itu remuk bagaikan tertimpa bongkahan batu
cadas yang besar dan tajam. Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun yang
bergerak lagi. "Hhh...!" Rangga mendengus berat.
Saat itu dia mendengar langkah-
langkah kaki menuju ke arahnya. Sebentar ditolehkan kepalanya ke kiri dan ke
kanan, lalu dilentingkan tubuhnya ke atas. Begitu kakinya menjejak dahan pohon,
kembali digenjot tubuhnya ke arah Prabu Duta Nitiyasa pergi bersama Patih
Raksajunta dan dua orang dayang.
Pada saat bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti lenyap, dari arah Istana
Jiwanala muncul dua puluh orang prajurit Mongol yang dipimpin langsung Panglima
Ogodai Leng. Mereka begitu terkejut begitu melihat teman-temannya terbujur tak
karuan jadi mayat. Panglima Ogodai Leng menghentak-hentakkan kakinya. Gerahamnya
bergemeletuk menahan amarah. Dia berbicara keras pada pengawalnya yang bernama
Temujin dengan bahasa yang sukar dimengerti.
Temujin membungkuk, kemudian memberikan isyarat tangannya. Dengan membawa lima
belas orang prajuritnya, dia bergerak menelusuri hutan itu.
Sedangkan Panglima Ogodai Leng kembali ke istana bersama sisa prajuritnya.
Sementara malam terus merayap semakin tinggi. Udara di sekitarnya pun bertambah
dingin menggigilkan. Namun Temujin dan lima belas prajuritnya
terus bergerak menyusuri hutan mencari orang yang telah membunuh banyak
prajuritnya, dan yang telah membebaskan tawanan pentingnya.
*** Sementara itu Prabu Duta Nitiyasa dan Panglima Raksajunta serta dua orang dayang
telah jauh meninggalkan perbatasan hutan yang masih termasuk wilayah Kerajaan
Jiwanala. Mereka terus berjalan cepat tanpa berhenti sejenak pun. Saat itu fajar
sudah mulai menyingsing. Cahaya merah jingga menyemburat dari ufuk timur. Mereka
baru berhenti setelah tiba di tepi sebuah sungai yang cukup besar dan deras
arusnya. "Rangga...," desis Patih Raksa-
junta begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih duduk di atas batu di
tepi sungai. Pemuda yang memang adalah Rangga itu menoleh dan tersenyum menyambut kedatangan
rombongan kecil itu. Tidak jauh darinya terdapat seonggok api unggun kecil yang
di atasnya terdapat seekor kijang panggang. Bau harum daging kijang panggang itu
menggugah selera empat orang yang baru tiba.
"Silakan. Maaf aku sudah mendahu-lui," kata Rangga mempersilakan.
Dua orang dayang menghampiri ki-
jang panggang itu. Dengan selembar daun waru, salah seorang mengambil sekerat
dan memberikannya pada Prabu Duta Nitiyasa yang sudah duduk di bawah pohon
rindang. Dayang itu memberikannya sambil bersikap hormat. Prabu Duta Nitiyasa
menerimanya disertai senyuman di bibir.
"Aku kagum padamu, Kisanak. Kau bisa lebih cepat sampai ke sini," kata Prabu
Duta Nitiyasa. "Ah, tadi aku memotong jalan,"
sahut Rangga merendah.
"Rangga, bagaimana dengan orang-orang Mongol itu?" tanya Patih Raksajunta.
"Masih mengejar. Tapi aku yakin mereka tidak akan sampai ke sini dalam waktu
singkat." Mereka kemudian menikmati kijang panggang tanpa bicara lagi. Tapi Prabu Duta
Nitiyasa sesekali bertanya juga tentang diri Pendekar Rajawali Sakti.
Tentu saja Rangga menjawabnya tidak berterus terang. Ditutupi jati dirinya yang
sebenarnya. Bahkan ketika Prabu Duta Nitiyasa menanyakan pertemuannya dengan
Patih Raksajunta, bukan Rangga yang menjawab. Tapi patih itu sendiri yang
menjawabnya. Mereka saling mengenal diri masing-masing dalam suasana yang akrab.
Meskipun Patih Raksajunta dan kedua dayang itu selalu bersikap hormat,
tapi Prabu Duta Nitiyasa memperlaku-kannya seperti sahabat. Dan ini sangat
menarik simpati Pendekar Rajawali Sakti. Seorang raja yang tidak angkuh dan bisa
menyadari keadaan dirinya.
"Oh, ya. Apa rencana selanjut-
nya?" tanya Rangga setelah lama terdiam.
"Aku tidak tahu. Hanya yang pas-ti, aku akan menyusun kekuatan untuk merebut
kembali istanaku," ujar Prabu Duta Nitiyasa.
"Tentu saja, Gusti. Hamba akan
mengumpulkan prajurit yang tercecer secepat mungkin. Mudah-mudahan dalam waktu
singkat kita dapat mengusir mereka untuk selamanya," sambut Patih Raksajunta.
"Memang harus cepat, sebelum mereka mengirim utusan ke negerinya dan membentuk
kekuatan di sini."
"Tapi, Gusti. Kita harus punya
tempat yang aman untuk menyusun kekuatan," usul Patih Raksajunta.
"Hm.... Bagaimana menurutmu, Anak Muda?" Prabu Duta Nitiyasa meminta pendapat
Rangga yang diam saja.
"Sayang sekali, aku tidak punya pendapat. Mungkin aku hanya bisa membantu jika
diperlukan," sahut Rangga tetap merendah.
"Kisanak, namamu begitu masyhur.
Aku percaya kau punya kemampuan lebih daripada orang biasa. Terus terang,
kami butuh bantuan pikiran dan tenaga-mu untuk mengusir orang asing itu dari
tanah ini," kata Prabu Duta Nitiyasa.
"Ah, Gusti Prabu melebih-
lebihkan," Rangga masih merendah.
"Tidak! Sering kudengar nama dan sepak terjangmu dalam menumpas keang-
karamurkaan. Meskipun bukan berasal dari negeri ini, tapi aku percaya kau
bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiranmu," kata Prabu Duta Nitiyasa penuh
wibawa. "Rangga, kami yakin dengan ban-
tuanmu mereka bisa cepat terusir sebelum keadaan lebih parah lagi," sambung
Patih Raksajunta mendesak.
Rangga terdiam beberapa saat. Sebenarnya dia tidak ingin mencampuri urusan
pemerintahan suatu negara. Tapi melihat kebrutalan dan kekejaman orang-orang
Mongol itu, jiwa kepende-karannya tidak mungkin diam saja.
Tugas pentingnya sebagai seorang pendekar beraliran lurus memang harus menumpas
segala jenis keangkaramur-kaan.
"Baiklah," ucap Rangga akhirnya.
"Tapi bantuanku ini jangan diartikan lebih. Bantuanku hanya sekedar mengusir
mereka dari negeri ini, tidak lebih!"
"Aku mengerti, Rangga. Dan untuk ini, kuucapkan banyak terima kasih,"
ucap Prabu Duta Nitiyasa.
"Matahari semakin tinggi. Sebaiknya, jangan terlalu lama berada di sini," kata
Rangga mengingatkan.
"Gusti, apa tidak sebaiknya kita pergi ke Padepokan Arang Watu" Hamba yakin,
Gusti Resi Kamuka bersedia membantu untuk mengirimkan murid-muridnya," usul
Patih Raksajunta.
"Terus terang, semula aku enggan meminta bantuan ayah mertuaku itu.
Tapi..., yah! Mungkin memang harus kulakukan. Aku yakin Dinda Dita Wardhani juga
sudah menceritakan hal ini pada ayahnya," sahut Prabu Duta Nitiyasa.
"Jadi..., Gusti Permaisuri sudah berada di sana?" ada kegembiraan pada nada
suara Patih Raksajunta.
"Kalau tidak ada halangan, mudah-mudahan sudah tiba dengan selamat."
"Oh, syukurlah kalau begitu. Sebelumnya hamba sangat cemas, Gusti."
"Paman Patih, sebaiknya kita berangkat segera," ajak Prabu Duta Nitiyasa seraya
beranjak berdiri.
"Baik, Gusti," sahut Patih Raksajunta juga bangkit berdiri.
"Untuk lebih cepat, bagaimana kalau kita menunggang kuda," kata Rangga yang
sudah bangkit lebih dahulu.
"Kuda..."!" Prabu Duta Nitiyasa memandang pendekar muda itu dalam-dalam. "Dari
mana kita akan menda-patkannya" "
"Tidak terlalu sulit," sahut
Rangga. Setelah berkata demikian, Rangga bersiul tiga kali. Dan tidak berapa lama
kemudian, dari balik hutan muncul seorang punggawa dan tiga puluh orang prajurit
berkuda. Mereka juga membawa kuda-kuda kosong tanpa penunggang.
Prabu Duta Nitiyasa dan Patih Raksajunta hanya memandang setengah tidak percaya.
"Punggawa Parian...," desis Prabu Duta Nitiyasa.
"Gusti Prabu, terimalah salam dan rasa hormat hamba," ucap Punggawa Parian
begitu turun dari kudanya seraya berlutut memberi sembah.
"Bangunlah, Punggawa," ujar Prabu Duta Nitiyasa.
Punggawa Parian bangkit berdiri setelah menyembah sekali lagi. Tiga puluh orang
prajurit yang juga telah turun dari kuda dan memberi sembah, ikut bangkit
berdiri. Prabu Duta Nitiyasa memandangi dengan mata berbi-nar-binar.
"Rangga, bagaimana kau bisa kumpulkan mereka?" tanya Prabu Duta Nitiyasa seraya
berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Bukan aku, Gusti Prabu. Mereka memang sudah berada di sini sejak semalam. Maaf,
aku memang sengaja meminta mereka untuk sembunyi beberapa
saat," sahut Rangga kalem.
"Punggawa...," Prabu Duta Nitiya-sa mengalihkan pandangannya kembali pada
Punggawa Parian.
"Hamba, Gusti Prabu," Punggawa
Parian memberi hormat.
"Kalau tidak salah, kau ikut bersama Panglima Sembada. Bagaimana kalian semua
bisa berpencar?" tanya Prabu Duta Nitiyasa ingin tahu.
"Ampun, Gusti Prabu, Hamba memang bersama-sama
Panglima Sembada dan
prajurit lainnya. Hamba dan Gusti Panglima sempat membakar perahu orang Mongol
itu dan membunuhi awak kapalnya. Tapi malang, Gusti. Pada saat kembali ke
istana, kami diserang mereka. Sungguh kami tidak tahu kalau mereka telah
menguasai istana. Panglima Sembada bersama beberapa punggawa dan puluhan
prajurit tewas dalam pertempuran. Sedangkan hamba dan tiga puluh prajurit
berhasil meloloskan diri dan sampai di sini," jelas Punggawa Parian secara rinci
dan singkat. "Hm..., kalian bertemu prajurit-prajurit lainnya?" tanya Patih Raksajunta.
"Tidak, Gusti Patih. Hamba hanya bertemu Tuan Pendekar ini. Kalau tidak ada Tuan
Pendekar ini, mungkin hamba juga sudah tewas," Punggawa Parian menunjuk Rangga
dengan ibu jarinya.
"Bagaimana kejadiannya?"
tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Semalam hamba dan prajurit bermaksud menyerang istana. Tapi sebelum sampai di
istana, kami telah diserang mereka. Kami berusaha bertahan, tapi mereka terlalu
tangguh, Gusti. Akhirnya kami terdesak sampai ke hutan.
Untung saja Tuan Pendekar ini membantu dan memukul mundur mereka. Kemudian hamba
mencari prajurit lain yang masih bertebaran di dalam hutan dan berhasil
dikumpulkan kembali di tempat ini."
"Kau hebat, Rangga. Padahal semalam kau ke istana menyelamatkanku.
Hm.... Sukar bagiku untuk mengerti, bagaimana caranya kau bisa melakukan begitu
banyak pekerjaan dalam satu malam saja," ujar Prabu Duta Nitiyasa memuji tulus.
"Ah. Itu hanya kebetulan saja,
Gusti Prabu," sahut Rangga tetap merendah.
"Apa pun yang kau lakukan dan kau katakan, aku tetap kagum padamu."
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian mempersilakan Prabu Duta Nitiyasa untuk
naik ke punggung kuda.
Patih Raksajunta dan dua dayang juga naik ke punggung kuda yang memang sudah
disiapkan. Punggawa Parian dan tiga puluh orang prajurit yang tersisa, bergegas
melompat naik ke punggung kudanya masing-masing. Tinggal empat ekor kuda yang
belum ada penunggang-


Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya, tapi mereka berangkat juga meninggalkan tepian sungai di dalam hutan itu.
Sepanjang perjalanan, Prabu Duta Nitiyasa selalu meminta Rangga untuk berada di
sampingnya. Raja Jiwanala itu terus menanyakan tentang kejadian yang dialami
Pendekar Rajawali Sakti semalam. Hanya saja semua itu dijawab Rangga secara
merendah, bahkan tidak diceritakan secara persis. Dia tidak ingin membanggakan
diri meskipun Prabu Duta Nitiyasa secara jujur mengagu-minya. Raja Jiwanala itu
semakin kagum akan kerendahan hati Pendekar Rajawali Sakti.
*** Perjalanan ke Gunung Waja dengan berkuda memang tidak begitu lama. Saat matahari
condong ke barat, mereka sudah tiba. Resi Kamuka tidak lagi terkejut menerima
kedatangan menantunya yang diiringi tiga puluh prajurit, seorang punggawa, dan
seorang patih. Bahkan laki-laki tua renta berjubah putih itu gembira manakala
diberitahu kalau pemuda tampan yang menyertai menantunya adalah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Sudah kudengar banyak tentang
dirimu, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Resi Kamuka saat punya kesempatan
berbincang-bincang berdua di balai latihan.
"Rangga.... Panggil saja aku
Rangga, Resi," ucap Rangga meminta.
"Baiklah. Rupanya kau lebih suka dipanggil namamu sendiri. Tidak seperti
kebanyakan orang rimba persilatan yang lebih suka menyembunyikan namanya dan
selalu memamerkan julukannya,"
sahut Resi Kamuka.
"Malah sebaliknya, Resi. Nama
pemberian orang tua patut dijunjung tinggi."
"Ha ha ha...!" Resi Kamuka terta-wa terbahak-bahak.
Rangga jadi terdiam. Dia heran
juga, mengapa Resi Kamuka tertawa"
Apakah ada yang salah pada perkataan-nya! Rangga mengingat-ingat apa yang
diucapkannya tadi. Rasanya tidak ada yang salah! Ucapannya seadanya, tidak
dilebih-lebihkan.
"Rasanya sukar mencari pendekar digdaya sepertimu, Rangga," kata Resi Kamuka
setelah berhenti tertawa.
"Tidak, Resi. Masih banyak pendekar yang lebih tangguh dan memiliki kepandaian
yang sukar diukur tingka-tannya. Aku hanya segelintir saja dari mereka," Rangga
merendah. Saat itu Prabu Duta Nitiyasa masuk ke dalam balai latihan ini. Pakaiannya telah
berganti dengan yang bersih. Meskipun terbuat dari bahan
yang tidak mahal, tapi cukup enak dipandang. Memang, Prabu Duta Nitiyasa sudah
tidak bisa dikatakan muda lagi.
Tapi bentuk tubuh dan wajahnya masih terlihat tampan dan gagah. Dengan
mengenakan baju kependekaran berwarna biru langit, Prabu Duta Nitiyasa tampak
lebih gagah! Bahkan pamornya sebagai raja agung tidak pudar sama sekali.
Kewibawaannya semakin bertambah saja.
"Ayahanda Resi, ananda mohon pa-mit," ucap Prabu Duta Nitiyasa.
"Eee...! Mau ke mana, Nanda Pra-bu?" Resi Kamuka terkejut. "Belum ada satu hari
kau datang, sekarang akan pergi lagi. Apa tidak salah pendenga-ranku?"
"Tidak, Ayahanda Resi."
"Ke mana kau akan pergi?"
"Mengusir orang-orang asing itu,"
tegas jawaban Prabu Duta Nitiyasa.
"Ck ck ck...!" Resi Kamuka menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak bagai
cicak. Sementara Rangga yang berada di samping Resi Kamuka, hanya diam. Ba-ginya tidak
baik mencampuri urusan keluarga ini jika tidak diminta terle-bih dahulu. Lagi
pula, bantuannya sudah cukup banyak. Bahkan masih ada satu lagi yang harus
dikerjakannya. Dia sudah berjanji untuk membantu mengusir orang-orang Mongol itu sampai
tuntas. "Ananda Prabu, bukannya aku hendak mencampuri urusan pemerintahanmu.
Tapi, tidakkah keberangkatanmu terlalu terburu-buru" Niatmu itu membutuhkan
waktu dan persiapan yang tidak pendek.
Mereka telah menguasai istanamu, dan mereka lebih kuat dari prajuritmu.
Pikirkanlah itu, Ananda Prabu," Resi Kamuka memberikan pertimbangan.
"Ayahanda Resi, semua ini sudah ananda pikirkan masak-masak. Dalam perjalanan
nanti, ananda akan mengumpulkan sisa-sisa prajurit yang ada. Lagi pula, dengan
bantuan Pendekar Rajawali Sakti, mereka pasti dapat dikalahkan," sahut Prabu
Duta Nitiyasa. "Memang tidak kuragukan kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau jangan hanya
mengandalkannya saja. Aku rasa jumlah mereka tidak sedikit, bahkan sudah
terkenal kehebatannya dalam bertempur di negeri orang. Mereka juga memiliki ilmu
keprajuritan yang tangguh. Kusarankan, sebaiknya pertimbangkanlah lebih dahulu
barang dua atau tiga hari lagi. Kasihan anak dan istrimu. Mereka pasti masih
merin-dukanmu untuk beberapa hari ini,"
bujuk Resi Kamuka.
Prabu Duta Nitiyasa diam membisu.
Dalam hatinya, dibenarkan juga bapak mertuanya ini. Memang tidak bisa gega-
bah menghadapi orang-orang Mongol itu yang sudah bisa dilihat ketangguhan dan
kekejamannya. Perlu satu pasukan terlatih untuk menghadapi dan mengu-sirnya dari
tanah ini. Dan itu tidak dimilikinya sekarang. Prajurit yang tersisa kini tidak
lebih dari lima puluh orang jumlahnya. Itu pun bukan prajurit terlatih dan
pilihan. "Sebaiknya Ananda beristirahat
dulu. Keletihan belum lagi hilang.
Jangan paksakan diri meskipun niatmu suci," kata Resi Kamuka bijaksana.
"Baiklah, Ayahanda Resi," ucap
Prabu Duta Nitiyasa menurut.
Resi Kamuka tersenyum dan men-
ganggukkan kepalanya. Prabu Duta Nitiyasa berbalik dan melangkah pergi.
Tinggal Resi Kamuka dan Rangga yang masih diam di bangsal latihan ini.
Kemudian Resi Kamuka mengajak Rangga untuk melihat-lihat sekitar padepokan-nya,
lalu memperkenalkannya pada murid-muridnya. Dia merasa bangga dan gembira karena
padepokan terpencil ini telah kedatangan seorang pendekar besar yang sudah
ternama dalam rimba persilatan. Resi Kamuka merasa seperti mendapat anugrah
besar dengan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti ini.
*** 6 Tiga hari Rangga berada di ling-kungan Padepokan Arang Watu. Dan selama itu pula
dia tidak bisa menolak keinginan Resi Kamuka untuk memberikan sedikit ilmu yang
dimiliki pada murid-murid padepokan itu. Rangga juga tidak bisa menolak ketika
diminta untuk melatih prajurit-prajurit Jiwanala yang semakin hari semakin
bertambah banyak jumlahnya.
Waktu tiga hari memang tidak bisa berharap banyak dalam peningkatan kemampuan
tempur para prajurit itu.
Tapi Prabu Duta Nitiyasa sudah cukup senang melihat ikut sertanya Pendekar
Rajawali Sakti menempa prajurit-prajuritnya. Dan apa yang dilakukan Rangga hanya
sekedar untuk membantu.
Sama sekali tidak punya niatan untuk menyombongkan diri. Memang hanya itulah
yang bisa dilakukannya untuk membantu rakyat Kerajaan Jiwanala yang saat ini
tengah tertekan oleh kekuasaan orang-orang dari Daratan Mongol.
"Sepertinya dia datang memang di-utus Dewata...," Resi Kamuka bergumam pelan,
seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri. Tatapan matanya tidak lepas ke arah
Rangga yang tengah memberikan beberapa jurus ilmu olah kanu-ragan pada para
prajurit yang kini semakin membengkak saja jumlahnya.
"Maksud Ayahanda Resi?" tanya
Prabu Duta Nitiyasa.
"Apa tidak bisa kau lihat cara
dia datang, Ananda Prabu" Juga kebera-daannya di sini, seperti sudah ditun-
jukkan oleh Hyang Widi untuk membebaskan rakyatmu dari tekanan orang asing."
"Dia seorang pengembara, Ayahanda Resi. Tidak aneh kalau tiba-tiba muncul dan
membantu perjuangan ini,"
bantah Prabu Duta Nitiyasa tidak se-pendapat.
"Hm.... Apa pun yang kau katakan, aku merasa ada sesuatu yang lain pada diri
anak muda itu. Baik sikap, caranya bertutur, dan kerendahan hatinya.... Aku
tidak pernah menemukan pribadi seperti itu pada diri orang lain. Aku merasakan
ada sesuatu yang lain pada dirinya. Entah apa namanya...," kata Resi Kamuka
setengah bergumam.
Saat itu Rangga berlari-lari kecil menghampiri Resi Kamuka yang berdiri
memperhatikan latihan itu bersama Prabu Duta Nitiyasa. Rangga membungkuk sedikit
memberi hormat setelah tiba di depan dua orang terkemuka di Kerajaan Jiwanala
ini. "Ah. Kau terlalu merendahkan di-ri, anakku Rangga," ucap Resi Kamuka yang
menganggap Rangga adalah pu-tranya. Memang sejak Rangga berada di
padepokan ini, Resi Kamuka sudah tertarik dan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Keinginannya ini memang dikemuka-kan langsung pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dan betapa gembiranya dia begitu melihat Rangga menyambut kein-ginannya dengan
tangan terbuka. Memu-puk tali persaudaraan memang tidak mudah. Lain halnya jika
mencari musuh, yang dalam waktu singkat saja bisa didapat. Rangga selalu
menyambut baik jika ada seseorang yang menginginkan persaudaraan dengannya.
"Gusti Prabu, Resi, rasanya ke-
mampuan para prajurit sudah lebih maju. Jumlahnya pun semakin bertambah.
Banyak pemuda yang bergabung dengan sukarela," Rangga memberitahukan per-
kembangan kemajuan para prajurit yang ditempanya.
"Hm..., apakah itu berarti sudah waktunya merebut kembali Kerajaan Jiwanala?"
gumam Resi Kamuka.
Rangga tidak menjawab, tapi hanya memandang Prabu Duta Nitiyasa. Sedangkan yang
ditatap malah memandang pada ayah mertuanya.
"Sebaiknya kita tunggu dulu laporan dari telik sandi," kata Prabu Duta Nitiyasa
bijaksana. "Itu lebih baik," sambut Resi Kamuka.
Mereka hampir berbarengan menoleh
ketika Punggawa Narayama datang menghampiri. Punggawa itu melangkah tergo-poh-
gopoh. Napasnya tersengal ketika memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya di
depan Prabu Duta Nitiyasa.
"Ada apa, Punggawa" Apakah ada
seorang telik sandi yang datang?"
tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Benar, Gusti Prabu. Seorang telik sandi melaporkan kalau suasana di sekitar
kerajaan sedang kacau," lapor Punggawa Narayama.
"Kacau...!" Apa yang terjadi?"
tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Maksud hamba, bukan kekacauan
antar mereka sendiri. Tapi tindakan mereka yang semakin brutal, tidak lagi
mengindahkan peri kemanusiaan. Banyak rakyat yang tewas terbunuh. Tidak sedikit
gadis-gadis yang dijadikan permainan. Mereka memperlakukan rakyat seperti hewan
buruan," lapor Punggawa Narayama lagi.
"Biadab!" desis Prabu Duta Ni-
tiyasa menggeram.
"Kendalikan dirimu, Ananda Pra-
bu," Resi Kamuka mencoba mendinginkan hati Prabu Duta Nitiyasa yang mendidih
seketika. "Tidak, Ayahanda Resi. Kekejaman ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mereka
harus enyah, atau mati di sini!" tegas Prabu Duta Nitiyasa.
"Tapi kekuatan yang kau miliki
belum cukup."
"Jumlah mereka hanya sepertiganya saja, Ayahanda Resi. Mereka pasti bisa
dikalahkan!"
Resi Kamuka merasa sukar untuk
meredakan amarah anak menantunya ini.
Dia menoleh ke arah Rangga tadi berdiri, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
tidak terlihat lagi. Resi Kamuka melayangkan pandangannya ke sekeliling. Tetap
saja Pendekar Rajawali Sakti itu tak nampak.
"Heh...! Ke mana dia...?" seru
Resi Kamuka tetap mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Siapa?" tanya Prabu Duta Nitiya-sa belum menyadari.
"Rangga...."
Prabu Duta Nitiyasa terperanjat begitu menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti
tidak ada lagi. Dia juga melayangkan pandangannya ke sekeliling. Tapi sepanjang
mata memandang, yang terlihat hanya para prajurit dan murid-murid padepokan ini.
"Dia pasti sudah ke sana, Ayahan-da Resi," kata Prabu Duta Nitiyasa setengah
bergumam. "Mustahil!" bantah Resi Kamuka.
"Punggawa! Siapkan seluruh prajurit! Sekarang juga kita berangkat ke Jiwanala!"
perintah Prabu Duta Nitiyasa.
"Tunggu!" cegah Resi Kamuka.
"Tidak ada waktu lagi, Ayahanda Resi!" sergah Prabu Duta Nitiyasa cepat.
Prabu Duta Nitiyasa bergegas meninggalkan balai latihan itu. Punggawa Narayama
pun bergegas menghubungi punggawa lain, untuk mempersiapkan para prajurit. Tidak
ada lagi panglima di sini. Semua panglima telah tewas dalam pertempuran.
Sedangkan para patih tidak sedikit yang gugur. Ada juga yang melarikan diri
begitu Istana Jiwanala terenggut. Prajurit yang kembali bergabung juga belum
seluruh-nya. Masih banyak yang belum jelas nasibnya.
Resi Kamuka tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Maka dipanggillah semua muridnya yang berjumlah hampir lima puluh
orang. Seluruh muridnya diminta untuk bersiap-siap membantu Prabu Duta Nitiyasa
merebut kembali kejayaan kerajaannya dari tangan orang asing.
Bagaimanapun juga anak menantunya harus dibela. Apalagi dalam perjuangan yang
suci merebut negeri dari jajahan orang asing.
*** Sementara seluruh prajurit Jiwanala tengah bersiap-siap di Padepokan Arang Watu,
saat yang sama Rangga yang diam-diam meninggalkan padepokan itu
sudah tiba di depan Istana Jiwanala.
Saat itu keadaan istana tampak sepi tenang. Terlihat beberapa prajurit Mongol
berjaga-jaga di depan pintu gerbang istana. Beberapa prajurit lainnya terlihat
di atas benteng yang mengelilingi istana ini.
Rangga mengawasi sekitarnya dari balik pohon yang cukup rindang untuk melindungi
dirinya dari penglihatan para prajurit Mongol itu. Tidak ada seorang penduduk
kota yang terlihat.
Rumah-rumah kelihatan begitu sepi, bahkan beberapa di antaranya hancur
berantakan. Ada juga yang hangus bekas terbakar. Tidak sedikit bangkai binatang
bercampur dengan mayat manusia yang bergelimpangan di jalan-jalan atau emperan
rumah. Bau busuk terasa mengganggu pernapasan.
"Hei! Siapa itu...?"
Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras. Rangga terkejut juga, namun segera
dapat menarik napas panjang begitu melihat seorang laki-laki tua terbungkuk-
bungkuk melintasi jalan yang sepi. Dua orang prajurit Mongol yang menjaga pintu
gerbang menghampi-rinya. Laki-laki tua berpakaian kumal itu tetap melangkah
tertatih-tatih dibantu sebatang tongkat yang kelihatan rapuh.
"Berhenti...!" bentak salah seorang prajurit Mongol itu.
"Oh..., ada apakah, Tuan?" tanya kakek tua yang kelihatan seperti pengemis itu.
"Mau ke mana kau?" tanya prajurit itu yang tadi membentak.
"Hanya lewat," sahut kakek tua
itu. "Kau tahu, ini daerah terlarang!
Siapa saja yang berani lewat sini harus bayar upeti!"
"Upeti..."! Oh, maaf. Aku tidak tahu kalau ada peraturan baru di sini.
Maaf, Tuan. Aku tidak punya uang barang sepeser pun. Maklumlah, hanya seorang
pengemis tua yang mencari hidup dari belas kasihan orang."
"Phuih!"
Rangga yang menyaksikan kejadian itu dari tempat persembunyiannya jadi terkejut
ketika tiba-tiba salah seorang prajurit mengayunkan tangannya ke wajah laki-laki
tua itu. Tamparan yang cukup keras itu membuat laki-laki tua berpakaian kumal
itu terpental ke tanah.
Belum lagi kakek tua itu sempat bangun, satu tendangan keras mendarat di
tubuhnya yang kurus renta. Tidak pelak lagi, laki-laki tua itu mengge-limpang
beberapa depa jauhnya. Dua orang prajurit itu tertawa terbahak-bahak. Mereka
menghampiri kakek tua itu, dan kembali mendaratkan tendangan keras. Tampak
beberapa prajurit lain
yang berada di atas benteng menyaksikan sambil tertawa-tawa. Seperti tengah
melihat satu tontonan menarik yang menggelitik tenggorokan.


Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biadab...!" desis Rangga dari
tempat persembunyiannya.
Rangga hampir-hampir tidak bisa menahan diri lagi. Tapi tiba-tiba saja satu
kejadian yang mengejutkan terlihat. Hampir tidak dipercaya dengan apa yang baru
saja terjadi, dua orang prajurit Mongol itu tiba-tiba saja menjerit keras, lalu
menggelepar di tanah. Tampak dada mereka sobek, men-gucurkan darah segar. Suara
tawa yang semula terdengar, mendadak saja hilang.
Sementara, laki-laki tua renta
berbaju kumal itu bangkit berdiri dengan bantuan tongkatnya. Sebentar dipandangi
dua orang prajurit yang tadi menyiksanya. Sangat jelas terlihat kalau kakek tua
renta itu tidak kekurangan satu apa pun. Padahal tubuhnya telah menerima pukulan
dan tendangan yang sangat keras dari dua orang prajurit itu.
"Hhh! Kalian bisa seenaknya di
negeri sendiri. Tapi di sini...,"
laki-laki tua renta itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kata-katanya begitu
sinis. Saat itu, tiba-tiba saja puluhan anak panah meluncur deras bagai hujan
ke arah laki-laki tua itu. Rangga yang berada di tempat persembunyiannya sempat
menarik napas dalam-dalam.
Namun yang terjadi di luar dugaannya sama sekali. Kakek tua renta itu dengan
sigap memutar tongkatnya yang kelihatan rapuh. Putaran yang begitu cepat mampu
memayungi dirinya dari hujan anak panah.
"Yeaaah...!"
*** Puluhan, bahkan ratusan anak panah yang meluncur bagai hujan itu rontok terkena
sapuan tongkat yang berputar cepat bagai baling-baling.
Bahkan kakek tua renta itu melangkah perlahan-lahan mendekati pintu gerbang
istana. Hujan anak panah itu tidak juga berhenti, meskipun tidak satu pun yang
berhasil menemui sasaran.
"Ya, ya, yaaah...!"
Sambil berteriak keras, kakek tua renta itu melompat dan langsung hendak
menerobos gerbang yang terbuka lebar itu. Tapi belum juga sampai, mendadak
datang serbuan tombak yang begitu gencar.
"Haaait...!"
Laki-laki tua kumal itu cepat melentingkan tubuhnya berputaran di udara seraya
mengibaskan tongkatnya dengan cepat. Sungguh luar biasa!
Tongkat yang kelihatan rapuh itu mampu membabat
hancur tombak-tombak yang
mengancam nyawanya! Dan begitu serbuan tombak berakhir, disusul dengan munculnya
sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit Mongol.
Sepuluh orang Mongol itu serentak menyerang dengan ganas. Mereka semua
menggunakan senjata golok besar dan panjang. Tangkai golok hampir menyamai
panjang golok itu sendiri. Namun kelihatannya kakek tua itu mudah saja
menghadapi mereka. Tongkatnya berkelebatan cepat diimbangi gerakan tubuh dan
kaki yang lincah. Tongkat yang kelihatan rapuh itu ternyata mampu menahan
gempuran senjata lawan yang berkilat tajam.
"Hiyat..!"
Trak! Ting! Hebat! Dua golok terpotong jadi dua bagian begitu berbenturan dengan tongkat
kakek tua itu. Dan belum lagi pemiliknya menyadari apa yang terjadi, kakek tua
itu mengibaskan tongkatnya tepat ke arah dada. Dua suara jeritan panjang
terdengar melengking, disusul robohnya dua tubuh bersimbah darah.
Dada mereka sobek sangat lebar dan dalam.
Tapi belum juga dua orang Mongol itu menyentuh tanah, mendadak satu bayangan
berkelebat cepat menyambar punggung kakek tua itu. Sambaran yang
begitu cepat dan tidak terduga, membuat kakek tua itu jatuh terguling-guling.
Punggungnya terasa nyeri, seolah-olah tulang punggungnya patah.
"Phuih! Kunyuk busuk...!" umpat kakek tua itu geram.
"He he he...!" seorang laki-laki Mongol tahu-tahu sudah berdiri bertolak
pinggang. Dia tidak lain dari Temujin, salah seorang pengawal pribadi Panglima
Ogodai Leng. Delapan orang prajurit yang tersisa, bergegas mengundurkan diri. Tapi mereka
tetap bersiaga penuh menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sedangkan Temujin melangkah mendekati laki-laki tua itu.
"Kau punya nyali besar juga, Kakek Tua!" ketus kata-kata Temujin.
"Siapa pun akan berbuat yang sama denganku untuk mengenyahkan kalian!"
dengus kakek tua itu tidak kalah ke-tusnya.
"Rupanya kau sudah tidak sabar
lagi menanti kematian, Kakek Tua!"
"Kematian yang terhormat, bukan sebagai anjing busuk sepertimu!"
"Setan...!"
Temujin tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dengan cepat dicabut pedangnya,
dan langsung dirangsek laki-laki tua renta itu. Namun terjan-gan yang cepat itu
dengan manis dapat dielakkan. Hal ini membuat Temujin
semakin geram, dan terus mencecar dengan serangan-serangan yang dahsyat.
*** Sementara itu, Rangga yang berada di tempat persembunyiannya serius
memperhatikan jalannya pertarungan.
Sepasang matanya tidak berkedip mengamati setiap gerakan yang dilakukan dua
orang itu. Dalam hatinya diakui kehebatan kakek tua yang mampu menandingi
Temujin sampai dua puluh jurus.
"Hm..., orang Mongol itu tangguh juga. Jurus-jurusnya aneh," gumam Rangga dalam
hati. Pendekar Rajawali Sakti itu juga menebak-nebak sambil tidak lepas memperhatikan
pertarungan itu. Dan dugaannya hampir mendekati kenyataan.
Temujin tampaknya dapat menguasai jalannya pertarungan. Memasuki jurus yang ke
tiga puluh, sudah kelihatan kalau kakek tua itu mulai kehabisan napas. Usianya
yang sudah lanjut tidak memungkinkan lagi untuk bertarung dalam jangka waktu
lama. Meskipun gerakan-gerakannya masih cepat dan lincah, namun tidak lagi seampuh
semula. Kesalahan terlalu sering dilakukan, sehingga membahaya-kan dirinya
sendiri. Kalau saja tidak ditunjang dengan gerakan kaki yang lincah, mungkin
sudah sejak tadi Temu-
jin dapat menghentikan perlawanan kakek tua itu. Dugaan Rangga semakin tepat
saat memasuki jurus ke empat puluh.
"Akh...!"
Satu tendangan keras mendarat telak di dada laki-laki tua itu. Sehingga membuat
tubuhnya terjengkang ke belakang beberapa langkah. Belum lagi sempat menguasai
tubuhnya, Temujin sudah melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher.
"Awas...!" Rangga berteriak keras tiba-tiba.
Dan secepat itu pula, tubuhnya
melesat bagai kilat menyampok pedang Temujin dengan sentilan ujung jarinya.
Tring! "Heh...!" Temujin terperanjat.
Sentilan jari Pendekar Rajawali Sakti itu demikian hebat karena disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna.
Akibatnya, jari-jari tangan Temujin kesemutan. Buru-buru ditarik pulang
pedangnya sambil melompat mundur.
Sedangkan Rangga membantu kakek tua itu berdiri.
"Terima kasih, Anak Muda," ucap kakek tua itu.
"Siapa Kakek ini?" tanya Rangga.
"Orang-orang memanggilku Kakek
Pengemis dari Utara," kakek tua itu memperkenalkan diri.
"Aku...."
"Tidak perlu kau perkenalkan di-ri. Aku sudah tahu siapa dirimu,"
potong Kakek Pengemis dari Utara cepat.
"O...!" Rangga agak terperanjat juga.
Rupanya nama Pendekar Rajawali
Sakti sudah begitu terkenal di daerah pesisir timur ini. Sepertinya hampir semua
orang sudah bisa mengenali, meskipun dia sendiri belum pernah bertemu. Mungkin
ciri-cirinya yang begitu khas, sehingga orang bisa cepat mengenalinya. Rangga
memang selalu mengenakan baju rompi putih dalam setiap pengembaraannya. Dan baju
itulah yang menjadi ciri khasnya, di samping pedang pusaka yang bergagang kepala
burung rajawali.
"Awas...!" tiba-tiba Kakek Pengemis dari Utara berteriak keras.
"Eits...!"
Rangga menoleh seraya memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat itu Temujin
menusukkan pedangnya ke punggung Pendekar Rajawali Sakti. Tusukan itu melesat di
samping tubuh Rangga. Pada saat yang hampir bersamaan, kaki Rangga mendupak ke
belakang, dan tepat menghantam perut lawan.
"Hugh!" Temujin mengeluh pendek.
Tubuhnya tersuruk ke belakang beberapa langkah. Cepat sekali Rangga memutar
tubuhnya bertumpu pada kaki
kiri, sedangkan kaki kanannya melayang cepat ke atas. Temujin yang masih sedikit
membungkuk, tidak bisa lagi menghindar sepakan kaki itu. Dia memekik keras
sambil memegangi kepalanya.
Darah mengucur deras dari sela-
sela jari tangan Temujin. Tendangan menyilang milik Pendekar Rajawali Sakti itu
demikian keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Akibatnya
kepala pengawal khusus Panglima Mongol itu pecah.
Selagi Temujin meraung memegangi kepalanya, Rangga sudah melompat cepat bagaikan
kilat mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tangan kanannya berkelebat cepat ke arah kepala
orang Mongol itu. Tak pelak lagi, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti
menghajar kepala yang memang sudah pecah.
"Aaakh...!" Temujin memekik ke-
ras. Hanya sebentar ia mampu bertahan dengan kedua kakinya, kemudian tubuhnya limbung
dan ambruk menggelepar di tanah. Darah bercucuran dari kepala yang pecah.
Delapan orang prajurit Mongol yang menyaksikan kematian Temujin hanya bengong
dengan mulut tern-ganga lebar.
"Kalian juga harus menyusul!
Hiyaaa...!" seru Kakek Pengemis dari Utara keras menggelegar.
Bagaikan seekor kijang, laki-laki tua itu melompat sambil mengibaskan tongkatnya
ke arah delapan orang itu.
Serangan Kakek Pengemis dari Utara yang tiba-tiba dan cepat tidak dapat
dihindarkan lagi. Tongkatnya bagaikan sebuah parang yang tengah menebas jajaran
batang pisang. Jerit dan pekik terdengar membahana mengiringi kematian delapan
orang prajurit Mongol itu.
Belum lagi kedua tokoh sakti itu menarik napas, ratusan anak panah tiba-tiba
meluncur deras menghujani mereka. Rangga berseru nyaring, lalu melompat menjauh
seraya menyambar tangan Kakek Pengemis dari Utara itu.
Hujan anak panah terus mencecar mereka. Namun, lesatan Pendekar Rajawali Sakti
demikian sempurna, sehingga dalam beberapa kali lompatan saja, sudah jauh dari
benteng istana itu.
"Huh!" Kakek Pengemis dari Utara menyentakkan cekalan tangan Rangga sambil
memberengut. "Maaf," ucap Rangga.
Mereka kini sudah berada jauh da-ri jangkauan anak panah. Kakek Pengemis dari
Utara bersungut-sungut tidak jelas. Kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. Rangga
tahu kalau laki-laki tua itu kesal karena dia dibawa paksa menyingkir dari
benteng istana. Tapi kalau tidak menyingkir, jelas mereka
akan tercincang dihujani anak panah.
Setangguh-tangguhnya seseorang, tidak akan mampu menghindari gempuran anak panah
yang tiada habis-habisnya itu.
*** 7 "Sudah lama kutunggu kesempatan ini, tapi semuanya kau buat berantakan!" rungut
Kakek Pengemis dari Utara.
"Maaf, aku tidak bermaksud begi-tu," ucap Rangga menyesal.
"Tidak perlu! Kau lihat, mereka sudah keluar!"
Rangga mengalihkan perhatiannya ke istana itu. Memang benar, para prajurit
Mongol bermunculan dari dalam benteng istana. Mereka semua menunggang kuda.
Terlihat paling depan adalah Panglima Ogodai Leng. Di sampingnya yang menunggang
kuda coklat adalah Hulagu Leng. Rupanya adik kandung Panglima Mongol itu sudah
kembali bebas dari tawanan.
Cukup banyak juga jumlah mereka.
Seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang. Bahkan mungkin bisa lebih. Mereka
berkuda tidak tergesa-gesa. Ini membuat Pendekar Rajawali Sakti maupun Kakek
Pengemis dari Utara keheranan. Mereka tentu melihat dua
orang tokoh sakti itu, tapi tampaknya tidak mempedulikan.
Rangga sengaja menampakkan diri berdiri di pinggir jalan yang bakal dilalui
rombongan orang Mongol itu.
Kakek Pengemis dari Utara ikut melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti
itu. Mereka berdiri berdampingan dengan pandangan tidak berkedip pada rombongan
berkuda itu. Panglima Ogodai Leng rupanya melihat juga. Maka diangkat tangannya tinggi-
tinggi. Para prajurit berkuda di belakangnya menghentikan langkah kudanya.
Panglima Ogodai Leng turun dari kuda, diikuti Hulagu Leng. Mereka berdua
melangkah menghampiri dua orang yang telah membunuh banyak orang Mongol. Bahkan
pengawal pribadi Panglima Mongol itu pun tewas terbunuh.
"Kalian orang-orang yang pembera-ni," kata Ogodai Leng setelah jaraknya tinggal
beberapa langkah lagi.
"Kalian juga lebih berani lagi.
Menjarah negeri orang dan membuat kekacauan," sahut Kakek Pengemis dari Utara
ketus. "Kalau saja raja kalian berhati lunak, tentu tidak akan seperti ini,"
kata Ogodai Leng kalem.
"Apa pun maksud kalian datang ke sini, kami semua tidak menghendaki.
Dan sebaiknya tuan-tuan segera meninggalkan negeri ini, sebelum kami
buat kuburan bagi tuan-tuan semua!"
kata-kata Kakek Pengemis dari Utara jelas bernada ancaman.
"Kakak Ogodai Leng, memang se-
baiknya kita tinggalkan negeri ini,"
celetuk Hulagu Leng yang sejak tadi diam saja.
"Diam kau, Hulagu Leng!" bentak Panglima Ogodai Leng.
"Kakak, ingatlah dengan amanat
yang dibawa utusan Yang Mulia Jengis Khan!" sentak Hulagu Leng agak keras
suaranya. "Ini urusanku! Kalau kau ingin
kembali ke Mongol, silakan! Aku tidak akan ingin melihatmu seumur hidupku!"
"Kak..!"
Panglima Ogodai Leng mendorong
adiknya ke belakang. Hulagu Leng berusaha mencegah, tapi kakaknya itu malah
memukul keras wajahnya. Hulagu Leng pun terjajar beberapa langkah. Dari sudut
bibirnya mengucur darah segar.
"Kak, dengarlah dulu! Utusan itu sudah menunggu di kapal. Yang Mulia membutuhkan
kita saat ini!" Hulagu Leng terus mendesak kakaknya.
"Diam...!" bentak Panglima Ogodai Leng sambil menahan kemarahannya.
"Baiklah. Jika Kakak ingin tetap di sini, aku akan ke kapal penjemput bersama
seluruh prajurit!" kata Hulagu Leng keras.
"Silakan! Cepat kau pergi, tapi
jangan coba-coba membawa satu prajurit pun!"
Hulagu Leng melompat naik ke
punggung kudanya. Dipandangi prajurit-prajurit yang berjumlah lebih dari lima
puluh orang itu. Tampaknya mereka bimbang. Tapi begitu melihat tatapan mata
panglimanya, mereka tidak ada yang berani ikut bersama Hulagu Leng.
Dan tetap berada di punggung kudanya masing-masing.
"Kalian akan menyesal! Di sini
bukan tempat kalian!" kata Hulagu Leng keras.
"Cepat kau pergi, Hulagu Leng!"
bentak Ogodai Leng
"Ingat kata-kataku! Menjarah negeri orang tidak akan membawa kebaikan. Yang
Mulia juga tidak akan menerima tindakan kalian di sini! Dengar itu...!" keras
nada suara Hulagu Leng.
Setelah berkata demikian Hulagu Leng segera memacu kudanya menuju ke pelabuhan.
Tampak sebuah kapal penjemput yang sangat besar berlabuh di dermaga. Sementara
Ogodai Leng memandangi prajurit-prajuritnya yang tengah diliputi kebimbangan.
Beberapa prajurit mulai bergerak memisahkan diri, kemudian memacu kudanya dengan
cepat menuju ke pelabuhan.


Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembali kalian!" seru Panglima Ogodai Leng geram.
Tapi prajurit-prajurit yang me-
ninggalkan pemimpinnya itu tidak lagi peduli. Mereka terus memacu kudanya
menyusul Hulagu Leng. Hal ini membuat Panglima Mongol itu jadi geram. Ama-rahnya
meluap! Dia berteriak keras seraya menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Secercah sinar merah melesat dari kedua telapak tangan Panglima Mongol itu.
Sinar merah itu meluruk cepat bagai kilat melanda separuh prajurit yang
meninggalkannya. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sahut begitu sinar
merah itu menerpa tubuh mereka.
"Lihat...! Siapa yang berani mem-bangkang perintahku, maka akan berna-sib sama
dengan mereka!" seru Ogodai Leng pongah.
*** "Biadab...!" Rangga menggeram
muak melihat kekejaman Panglima Mongol itu.
Lebih dari dua puluh orang tewas dalam seketika terhantam pukulan jarak jauh
Panglima Ogodai Leng. Mereka adalah prajurit-prajuritnya sendiri.
Sisa prajurit yang masih berada di punggung kudanya tidak berani lagi coba-coba
mengkhianati panglimanya.
Tapi lima orang yang mungkin sudah tidak tahan akan kekejaman pangli-
manya itu, tidak mengindahkan peringa-tan tadi. Mereka menggebah kudanya agar
berlari cepat menuju ke pelabuhan.
"Keparat...!" geram Panglima Ogodai Leng gusar. "Hiyaaa...!"
Ogodai Leng menghentakkan tangannya ke depan, maka sinar merah kembali meluncur
cepat bagai kilat dari telapak tangannya. Melihat nyawa lima orang yang
kelihatannya terancam, Rangga tidak bisa tinggal diam lagi.
Cepat-cepat dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Hiyaaat...!"
Rangga menghentakkan tangannya ke depan, menghadang cahaya merah yang melesat ke
arah lima orang penunggang kuda itu. Dari telapak tangannya melesat cahaya biru
menggumpal bagai bola sebesar kepala. Cahaya biru itu langsung menghantam cahaya
merah. Glarrr...! Ledakan dahsyat terdengar bagai letusan gunung berapi. Tampak Panglima Ogodai
Leng terpental sejauh lima batang tombak. Begitu pula Pendekar Rajawali Sakti.
Punggungnya sampai menghantam dinding sebuah rumah hingga jebol. Dua jenis
kesaktian yang bertemu, memang menimbulkan suatu kekuatan dahsyat. Ledakan itu
juga menimbulkan pijaran bunga api ke segala arah, sehingga membakar beberapa
rumah di sekitar tempat itu.
Rangga melompat keluar dari dalam rumah yang terlanda tubuhnya. Rumah itu sudah
terbakar sebagian atapnya.
Saat yang sama, Panglima Ogodai Leng pun sudah bisa bangkit berdiri. Mereka
berdiri saling berhadapan. Ogodai Leng menggeram marah melihat lima orang
prajuritnya telah mencapai dermaga.
Bahkan sepuluh orang lagi memacu cepat kudanya memasuki pelabuhan. Tinggal
sekitar dua puluh orang lagi yang tersisa.
"Setan! Berani kau menghalangiku, Anak Muda!" geram Ogodai Leng.
"Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!" sahut Rangga
ketus. "Kalau begitu, kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian, Ogodai Leng segera mencabut senjatanya yang berupa
golok besar dan panjang, bergagang sepanjang mata goloknya. Kelihatan berat
sekali senjata itu. Tapi di tangan Ogodai Leng, golok itu seperti terbuat dari
karet saja. Kini diputar-putar senjatanya dengan cepat, sehingga menimbulkan
angin menderu-deru.
Siapa saja yang mendengarnya pasti menjadi ciut hatinya.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang saja. Dia masih berdiri tegak
dengan mata tajam mengamati setiap gerakan yang dilakukan Panglima
Mongol itu. Sekecil apa pun gerakannya, menjadi perhatian Rangga.
"Hiyaaat...!" Ogodai Leng berteriak keras menggelegar.
Dia berlari kencang sambil men-
gangkat senjatanya tinggi-tinggi di atas kepala. Kedua tangannya menggenggam
gagang golok yang panjang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak tidak
bergeming sedikit pun. Semua orang yang melihatnya hanya menahan napas. Demikian
pula Kakek Pengemis dari Utara.
"Edan! Apa dia mau bunuh di-
ri..."!" dengus Kakek Pengemis dari Utara.
Panglima Ogodai Leng mengayunkan goloknya dengan keras dan bertenaga penuh.
Ayunan golok itu menimbulkan suara menderu disertai desiran angin yang dahsyat.
Namun Rangga masih tetap diam tidak bergeming, meskipun golok itu mengancam ke
arahnya. Tapi ketika golok itu dekat...
"Yap...!"
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik kakinya ke belakang, lalu
tubuhnya melenting ke udara.
Hanya sekali berputar di udara, tiba-tiba kakinya mendupak keras ke arah kepala
Ogodai Leng. Saat itu Ogodai Leng masih terpusat pada ayunan goloknya yang
menghantam tanah, sehingga begitu terperangah setelah merasakan
desiran halus di atas kepalanya. Buru-buru dirundukkan kepalanya, maka ayunan
kaki Rangga lewat di atas kepala Panglima Mongol itu.
"Yaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Ogodai Leng memutar tubuhnya sambil mengibaskan
goloknya. Saat itu Rangga tengah meluruk turun dan tidak sempat lagi menghindar.
Dengan manis sekali ujung jari kakinya menotok ujung golok Panglima Ogodai Leng.
Dengan meminjam tenaga panglima itu, Rangga melentingkan tubuhnya kembali ke
udara. "Awas kepala...!" teriak Rangga keras.
"Ikh...!" Ogodai Leng terpekik
kaget. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Rangga bisa cepat berbalik arah, bahkan
kini menyerangnya dengan tangan kanan mengibas ke arah kepala. Ogodai Leng buru-
buru melompat mundur seraya mengibaskan goloknya ke depan.
"Hap!"
Tangkas sekali Rangga menangkap golok lawannya ini. Tapi rupanya Ogodai Leng
memiliki tenaga dalam yang tinggi juga. Dengan sekali sentak saja goloknya sudah
terlepas dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagus!" seru Panglima Ogodai
Leng tiba-tiba. Dia kini berdiri tegak dengan senjata tersandang di pundak.
Rangga yang sudah menjejakkan kakinya di tanah, juga berdiri tegak dengan tangan
melipat di depan dada.
Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata Panglima Mongol itu.
Bibirnya terkatup rapat.
"Jauh-jauh aku mengelilingi dunia hanya untuk mencari orang tangguh!
Ternyata di sinilah aku mendapatkannya. Bagus, Anak Muda! Yang kuinginkan
pertarungan yang sungguh-sungguh sampai salah satu di antara kita ada yang
mati!" kata Panglima Ogodai Leng, wajahnya tampak berseri-seri.
"Hm...," Rangga bergumam pelan.
Tidak diduga sama sekali, ternya-ta Panglima Ogodai Leng datang ke sini hanya
untuk mencari seseorang yang bisa menandinginya. Mengelilingi dunia hanya untuk
mencari lawan! Namun tindakannya yang kasar dan brutal memberikan kesan buruk
padanya. Dan citra buruk Panglima Mongol itu tidak dapat lagi dihilangkan dari
hati siapa pun, termasuk pendekar muda itu.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Panglima Ogodai Leng.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Ingat kata-kataku, Rangga. Jangan menyesal kalau memandangku rendah.
Aku tidak segan-segan membunuhmu!"
kata Panglima Ogodai Leng tegas dan lantang.
"Majulah!" tantang Rangga.
"He he he...! Kau tidak bersenja-ta, Rangga," Panglima Ogodai Leng terkekeh.
"Rasanya belum perlu mengeluarkan senjata," sahut Rangga tenang.
"O.... Begitu" Baiklah. Jangan
menyesal kalau kau mampus tanpa senjata. Kau sudah kuperingatkan, Anak Muda."
Setelah berkata demikian, Pangli-ma Ogodai Leng melompat menyerang menggunakan
jurusnya yang dahsyat.
Rangga menarik kakinya ke belakang seraya mengegoskan tubuhnya ke kiri.
Terjangan senjata Ogodai Leng hanya lewat di samping tubuhnya. Dan dengan cepat,
kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti itu melayang ke arah iga. Tapi manis sekali
berhasil dielakkan Panglima Mongol itu.
*** 8 Sementara Rangga bertarung melawan Panglima Ogodai Leng, Kakek Pengemis dari
Utara terus mengawasi prajurit-prajurit Mongol yang masih berada di punggung
kudanya masing-masing.
Kakek tua renta itu berjaga-jaga sean-dainya salah seorang dari mereka melakukan
kecurangan. Pertarungan Pendekar Rajawali Sakti dengan Panglima Ogodai
Leng adalah suatu pertarungan dua orang jantan sejati.
Pada saat pertarungan mencapai
taraf yang sangat tinggi, dari arah selatan muncul Prabu Duta Nitiyasa yang
didampingi Resi Kamuka. Di belakang mereka berbaris para prajurit dan murid-
murid Padepokan Arang Watu. Pada saat yang sama, dari arah pelabuhan juga datang
Hulagu Leng. Resi Kamuka memberi aba-aba lewat tangannya agar prajurit-prajurit lain tidak
ikut campur dalam pertarungan ksatria itu. Dia turun dari kudanya diikuti Prabu
Duta Nitiyasa. Resi Kamuka mendekati Kakek Pengemis dari Utara. Laki-laki tua
kumal itu hanya melirik sedikit. Sepertinya tidak ingin kenikmatannya terganggu
sedikit pun dalam menyaksikan pertarungan yang dahsyat dan menarik ini.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
tanya Resi Kamuka.
"Kejantanan," sahut Kakek Pengemis dari Utara singkat.
"Lalu mereka?" Resi Kamuka melirik para prajurit Mongol yang menonton di atas
punggung kudanya masing-masing.
"Mereka akan pergi kalau panglimanya kalah," sahut Kakek Pengemis dari Utara
tidak menoleh sedikit pun.
Kakek Pengemis dari Utara tidak mempedulikan para prajurit Mongol
lagi. Perhatiannya terus tertuang pada pertarungan dua satria itu, karena merasa
yakin ada orang lain lagi yang mengawasi para prajurit itu. Dan ini satu
kesempatan yang tidak disia-siakannya. Masalahnya, jarang bisa menyaksikan dua
orang berilmu tinggi bertarung.
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Panglima Ogodai
Leng sudah mencapai taraf yang tinggi. Masing-masing mengeluarkan jurus
andalannya. Bahkan kini Rangga mengeluarkan senjata pusakanya, Pedang Rajawali
Sakti. Cahaya biru langsung menyemburat menerangi sekitarnya, membuat mata
silau. Tampak Panglima Ogodai Leng ter-kesiap juga melihat pamor pedang di tangan
lawannya yang begitu dahsyat.
Ada sedikit kegentaran di hatinya, namun cepat-cepat dibuang perasaan itu.
Dengan tangan kosong saja Rangga mampu menandingi sampai lebih dari lima puluh
jurus, apalagi kini dia memegang senjata yang memiliki pamor demikian dahsyat!
Sesaat pertarungan terhenti. Dua orang itu saling berhadapan dalam jarak yang
tidak begitu jauh. Mereka saling menatap tajam, seolah-olah tengah mengukur
tingkat kepandaian lawan.
"Kakak Ogodai Leng...," terdengar
suara Hulagu Leng yang sudah kembali berada di tempat itu.
"Jangan ikut campur, Hulagu Leng.
Pergilah! Bawa seluruh prajurit kembali ke Mongol!" kata Ogodai Leng tanpa
memalingkan mukanya.
"Kak, mengapa kau masih juga mencari lawan" Bertahun-tahun mengelilingi dunia
hanya untuk memuaskan ambisi-mu untuk menjadi orang terkuat di dunia. Sadarlah,
Kak! Itu tidak akan terjadi. Tidak sedikit orang kuat dan tangguh di dunia ini.
Kau tidak akan bisa menandingi mereka semuanya,"
Hulagu Leng masih mencoba menyadarkan kakaknya.
"Pergi kataku, Hulagu Leng!" dengus Ogodai Leng geram.
"Kak...."
"Pergi...! Hiyaaa...!"
Ogodai Leng tidak mendengar lagi kata-kata adiknya. Dan segera diter-jangnya
Rangga dengan golok terangkat ke atas. Pada saat itu, Rangga sudah siap dengan
jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Jurus yang sangat diandalkan jika menggunakan
Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Trang! Rangga sengaja menghantamkan pedangnya ke senjata Panglima Ogodai Leng. Bunga
api memercik begitu dua senjata beradu keras. Pada saat yang sama, kaki Pendekar
Rajawali Sakti melayang ke arah perut. Tendangan yang tidak terduga itu tak terhindarkan lagi.
"Hug...!" Panglima Ogodai Leng
mengeluh pendek.
Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Belum lagi sempat mengatur
napasnya yang mendadak sesak, Rangga sudah melompat sambil mengayunkan pedangnya
ke arah kepala. Ogodai Leng cepat-cepat mengangkat goloknya melindungi kepalanya
dari tebasan pedang itu.
Tring! "Akh...!" Panglima Ogodai Leng
memekik tertahan.
Semua orang yang berada di situ jadi terbeliak melihat senjata Panglima Ogodai
Leng terpenggal jadi dua bagian. Dan belum lagi rasa heran itu hilang, tiba-tiba
saja Rangga berteriak keras. Tubuhnya melesat sambil mengibaskan pedangnya
beberapa kali ke beberapa bagian tubuh Ogodai Leng.
"Aaa...!" Panglima Ogodai Leng
menjerit keras.
Meskipun sudah berusaha menghindari serangan itu, namun satu tebasan pedang
berwarna biru itu berhasil membuntungkan tangan kiri Ogodai Leng sebatas pangkal
lengan. Dan ketika tubuhnya limbung, Rangga kembali mengibaskan pedangnya ke
arah leher. Kali ini Panglima Ogodai Leng tidak bisa
bersuara lagi. Sebentar tubuhnya masih mampu
berdiri tegak, kemudian limbung dan ambruk ke tanah. Lehernya putus terba-bat
pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Darah mengucur deras dari pangkal lengan dan leher yang buntung.
"Kak..!" pekik Hulagu Leng histeris.
Hulagu Leng berlari menubruk
mayat kakaknya yang menggeletak tidak bergerak-gerak lagi. Pemuda berwajah
tampan bagai wanita itu meratapi kematian kakaknya. Disesali sikap kakaknya yang
begitu keras dan merasa terhebat di jagad ini. Sudah tidak terhitung berapa
negeri yang dimasukinya, berapa nyawa melayang di tangannya. Hari ini dia
menemui kematiannya di tangan seorang pendekar muda yang tangguh.
Rangga berdiri tegak memandangi Hulagu Leng yang meratapi dan menyesa-li
kematian kakaknya. Dimasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya
di balik punggung. Seketika keheningan mencekam sekitar tempat ini. Hanya
ratapan Hulagu Leng saja yang terdengar lirih. Kata-kata yang diucapkannya
sangat sukar untuk dimengerti. Hanya mereka yang dari Mongol saja bisa memahami.
Hulagu Leng bangkit berdiri perlahan-lahan, dan langsung menatap pada Pendekar
Rajawali Sakti yang masih
berdiri di tempatnya. Sesaat mereka hanya saling tatap tanpa berkata-kata.
Entah apa yang ada dalam hati masing-masing.
"Aku tidak akan dendam padamu.
Memang inilah yang diinginkan kakakku.
Mati di tangan seorang yang tangguh dan sakti melebihi kemampuannya," kata
Hulagu Leng agak tersendat.
"Maafkan aku," ucap Rangga pelan.
"Tidak. Kau tidak perlu meminta maaf. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan
sepak terjang kakakku.
Seandainya kau tadi kalah, entah berapa nyawa lagi akan melayang melalui
tangannya. Terus terang, aku sendiri tidak setuju dengan segala tindakannya.
Yang Mulia Jengis Khan sengaja menempatkan aku pada pasukan ini untuk mengontrol
tindakan kakakku. Tapi Kak Ogodai Leng memang keras dan sulit untuk
menghentikannya...," semakin lirih suara Hulagu Leng.
Semua orang terdiam. Hati mereka tersentuh dengan kata-kata yang diucapkan adik
panglima itu. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya dia sangat
menyesal telah mene-waskan Ogodai Leng. Kalau saja dia tahu, mungkin hanya
membuatnya kalah tanpa harus membunuhnya. Ternyata selama ini segala tindakan
Ogodai Leng dan prajurit-prajuritnya memang disengaja untuk memancing keluarnya
tokoh-

Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh sakti agar bisa bertarung dengannya. Itulah yang menjadi tujuan utamanya.
Tapi jika Rangga tidak mene-
waskannya, Ogodai Leng akan tertekan sepanjang hidupnya. Bahkan mungkin akan
menyimpan dendam yang semakin berkobar. Tindakannya pun akan bertambah brutal
lagi. Memang hanya kematian sajalah yang dapat menghentikan ambi-sinya itu,
seperti yang dikatakan adiknya, Hulagu Leng.
*** Hulagu Leng memerintahkan para
prajurit yang masih ada di tempat itu untuk mengangkat mayat panglima mereka dan
meletakkannya di punggung kuda.
Hulagu Leng menghampiri Rangga dan menyodorkan tangannya. Sebentar Rangga
menatap, lalu menerima uluran tangan itu.
"Kuharap kita bisa bertemu lagi.
Bukan sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat," ucap Hulagu Leng.
"Mudah-mudahan," sahut Rangga
terharu akan kebesaran jiwa orang Mongol ini.
Hulagu Leng menghampiri Prabu Du-ta Nitiyasa.
"Aku berharap Tuan rela memaafkan atas segala kerusakan dan penderitaan yang
terjadi selama kami berada di
sini," ucap Hulagu Leng seraya menjabat tangan Prabu Duta Nitiyasa.
"Yah...," hanya itu yang bisa keluar dari mulut Prabu Duta Nitiyasa.
Dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Semuanya sudah terjadi.
Hulagu Leng memerintahkan prajuritnya menuju ke pelabuhan. Sedangkan dia sendiri
masih berdiri menghadap Prabu Duta Nitiyasa. Para Prajurit Mongol itu sudah
bergerak membawa mayat panglimanya.
"Terima kasih atas kebaikan hati Tuan dan seluruh rakyat di sini," ucap Hulagu
Leng. Prabu Duta Nitiyasa mengangkat
bahunya, sepertinya masih sulit untuk mengucapkan kata-kata.
"Aku berharap Tuan sudi datang ke Kerajaan Mongol. Tuan bisa melihat bahwa
sebenarnya bangsa kami cinta damai. Dan antara bangsa Tuan dan bangsa kami bisa
saling mengikat tali persahabatan," kata Hulagu Leng lagi.
"Dengan senang hati kuterima undangan ini," sahut Prabu Nitiyasa.
"Terima kasih."
Hulagu Leng menjabat tangan Prabu Duta Nitiyasa sekali lagi, kemudian
menghampiri kudanya dan melompat naik.
Sebentar dipandangi semua orang yang berada di tempat ini, kemudian menggebah
kudanya meninggalkan tempat itu.
Prabu Duta Nitiyasa melangkah
perlahan-lahan menuju ke pelabuhan.
Resi Kamuka, Kakek Pengemis dari Utara, dan beberapa prajurit mengikuti dari
belakang. Sementara itu orang-orang Mongol yang sudah berada di atas kapal,
datang menjemput Hulagu Leng dan prajurit lain. Saat semuanya sudah berada di
atas kapal, Prabu Duta Nitiyasa dan yang lainnya sudah sampai di dermaga.
Kini, perlahan-lahan kapal besar itu bergerak meninggalkan dermaga.
Tampak di anjungan, Hulagu Leng melam-bai-lambaikan tangannya. Prabu Duta
Nitiyasa membalas dengan lambaian tangan juga. Kapal itu terus bergerak ke
tengah laut lepas. Semakin lama semakin jauh menuju cakrawala. Saat itu senja
mulai merayap turun. Kere-mangan pelahan menyelimuti sekitarnya.
Prabu Duta Nitiyasa masih berdiri di dermaga memandang ke laut lepas.
"Hhh..., ternyata masih ada orang Mongol yang berbudi luhur," desah Prabu Duta
Nitiyasa. "Di mana pun tempatnya, pasti ada yang baik dan ada yang buruk," jelas Resi
Kamuka. "Ya..., ini satu pelajaran untuk kita semua," desah Prabu Duta Nitiyasa kembali.
"Marilah, Ananda Prabu. Hari semakin gelap," ajak Resi Kamuka.
"Tunggu dulu, Ayahanda Resi...!"
sentak Prabu Duta Nitiyasa tiba-tiba, lalu berbalik.
Raja Jiwanala itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Resi Kamuka tahu apa yang dicari anak menantunya
ini. Ditepuknya bahu Prabu Duta Nitiyasa sambil tersenyum dikulum.
"Dia sudah pergi," kata Resi Kamuka.
"Pergi...!" Ke mana?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Untuk apa kau tanyakan itu,
Ananda Prabu?" Resi Kamuka balik bertanya.
Prabu Duta Nitiyasa bungkam.
Ya..., untuk apa bertanya begitu"
Bukankah Rangga seorang pendekar kelana yang tidak pernah menetap dan tidak
tentu tujuannya" Tapi Prabu Duta Nitiyasa tidak peduli. Dia begitu mengagumi
Pendekar Rajawali Sakti itu, dan ingin mengundangnya tinggal di istana barang
beberapa hari. Rasanya tidak pantas kalau tidak memberi kesan apa-apa, setelah
Rangga mempertaruhkan nyawanya untuk memulihkan kembali Kerajaan Jiwanala.
"Ananda Prabu, mau ke mana...?"
seru Resi Kamuka melihat Prabu Duta Nitiyasa berlari cepat dan melompat ke
punggung kudanya yang dipegangi salah seorang punggawa.
Prabu Duta Nitiyasa tidak menjawab, tapi langsung menggebah kudanya
dengan cepat. Resi Kamuka bergegas menghampiri kudanya. Kuda itu belum digebah
meskipun laki-laki tua itu sudah naik ke punggung kuda. Dipandangi para prajurit
dan murid-muridnya.
"Hm..., ayo kembali ke istana!"
ajak Resi Kamuka.
*** Ke mana sebenarnya Rangga pergi"
Pendekar Rajawali Sakti itu me-
mang belum meninggalkan Kerajaan Jiwanala. Dia berada di kedai milik Ki Jantar.
Kedai itu memang tidak pernah tutup. Meskipun orang-orang Mongol menguasai
istana kerajaan, Ki Jantar tidak berniat untuk mengungsi. Laki-laki tua pemilik
kedai itu gembira sekali melihat kedatangan Rangga.
"He he he.... Den Rangga memang hebat!" puji Ki Jantar menyambut kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hebat bagaimana, Ki?" tanya
Rangga pura-pura bodoh.
"Aku tahu apa yang Den Rangga lakukan. Wah..., kalau saja tidak ada Den Rangga,
apa jadinya kerajaan ini..." Untung Raden bisa mengalahkan Panglima Mongol itu,"
Ki Jantar mengo-ceh.
"Minta araknya, Ki," sela Rangga mengalihkan ocehan itu.
"Tidak perlu dibayar, Den," kata
Ki Jantar sambil menyediakan arak yang diminta Rangga. Bahkan juga disediakan
makanan istimewa.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Jasa Raden tidak akan terbayar hanya dengan seguci arak dan makanan ini," sahut
Ki Jantar. "Ah! Sudahlah, Ki. Aku hanya melakukan semampuku saja. Selebihnya..., aku angkat
bahu saja," kata Rangga tidak ingin membicarakan hal itu lagi.
"Pendekar sejati memang begitu, selalu merendahkan diri! Seperti padi, semakin
berisi semakin merunduk. He he he...," Ki Jantar terkekeh.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar celoteh itu. Dituang araknya ke dalam
gelas, dan diteguknya hingga tandas. Pertarungannya melawan Panglima Ogodai Leng
sangat menguras tena-ganya. Baru kali ini didapatkan lawan yang begitu tangguh,
hingga semua kemampuannya hampir terkuras.
Tapi dalam hati diakui jiwa ksatria yang dimiliki Panglima Ogodai Leng meskipun
tindakannya salah. Dan yang membuat hatinya merasa tersentuh adalah sikap Hulagu
Leng. Meskipun kakak kandungnya terbunuh, tapi tidak mendendam. Bahkan
memintakan maaf untuk kakaknya yang telah bertindak keliru selama ini. Sungguh
besar ji-wanya!
"Kok melamun, Den...?" tegur Ki
Jantar yang masih duduk di depan Rangga.
"Ah, tidak...," desah Rangga ter-bangun dari lamunannya.
Rangga menatap laki-laki tua pemilik kedai ini. Selama berada di Kerajaan
Jiwanala ini, banyak yang dapat didengar dan diketahuinya. Kerajaan ini boleh
dikatakan seumur ja-gung! Tidak lebih tua dari usia Rangga sendiri sekarang. Dan
lagi kebanyakan penduduknya berasal dari Karang Setra, tempat kelahiran Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan Prabu Duta Nitiyasa sendiri masih saudara sepupu Adipati
Arya Permadi, ketika Karang Setra masih berupa kadipaten. Jelas dia masih ada
ikatan darah dengan Rangga.
Jadi, Rangga harus memanggil Prabu Duta Nitiyasa dengan sebutan paman.
"Ada apa, Den?" tanya Ki Jantar merasa jengah dipandangi terus.
"Ada yang ingin kutanyakan pada-mu, Ki," kata Rangga.
"Tentang apa?"
"Ki Jantar berasal dari Karang
Setra, bukan?" tanya Rangga ingin membuktikan kebenaran cerita yang didapatnya.
"Benar," sahut Ki Jantar, agak
heran juga dengan pertanyaan itu.
"Kapan Ki Jantar meninggalkan Karang Setra?"
"Kira-kira lima belas atau dua
puluh tahun yang lalu. Tepatnya ketika Gusti Adipati mendapat musibah," sahut Ki
Jantar. "Ki Jantar tahu, apa yang terjadi terhadap keluarga Adipati Karang Setra?"
"Wah, tidak Den. Tapi kalau Raden ingin tahu, bisa tanyakan pada Gusti Prabu
Duta Nitiyasa. Soalnya beliau masih sepupu Gusti Adipati Karang Setra. Malah
kalau Raden ingin tahu lebih jauh, ada bekas pembesar kadipaten yang tinggal di
sini. Sekarang pun jadi pembesar di istana, Den."
"Siapa namanya, Ki?"
"Patih Raksajunta."
Rangga tersentak. Tidak diduga
kalau Patih Raksajunta dulunya juga seorang pembesar Karang Setra. Rangga memang
sengaja datang ke kerajaan ini untuk maksud tertentu. Memang sudah banyak
didengarnya kalau rakyat Kerajaan Jiwanala di pesisir pantai ini kebanyakan
berasal dari Karang Setra.
Mereka yang datang ke sini karena tidak suka dengan kepemimpinan Adipati Wira
Permadi yang menggantikan Adipati Arya Permadi, ayahnya Rangga.
"Hm..., apakah bisa kudapatkan di sini?" Rangga bertanya dalam hati.
Apa sebenarnya yang dicari Pendekar Rajawali Sakti itu" Bagaimana sikap Prabu
Duta Nitiyasa jika mengetahui Pendekar Rajawali Sakti adalah
keponakannya" Untuk mengetahui jawa-bannya, ikutilah serial Pendekar Rajawali
Sakti selanjutnya dalam episode
"KEMELUT PUSAKA LELUHUR".
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Nya.Ber
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Document Outline
JAGO DARI MONGOL
1 *** *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** *** 7 *** *** 8 *** *** SELESAI Tujuh Pembunuh 1 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Sepercik Darah 7
^