Pencarian

Kemelut Pusaka Leluhur 1

Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur Bagian 1


Ser i al Pe ndeka r Raj awal i Sak t i Epi s ode Kemelut Pusaka Leluhur
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Syaugy
Convert & Editor : Raynold
(www.tagtag.com/tamanbacaan)
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
1 Suatu rombongan berjumlah sebelas orang berkuda
berpacu cepat meninggalkan debu yang mengepul di udara.
Dilihat dari seragam yang dikenakan, sebelas orang berkuda
itu bisa dikenali asalnya. Mereka adalah prajurit dan seorang
Panglima Kerajaan Karang Setra. Tampak penunggang kuda
paling depan adalah Panglima Bayan Sudira. Salah seorang
prajurit yang berkuda di belakang Panglima Bayan Sudira,
menuntun seekor kuda hitam legam.
Rombongan prajurit Karang Setra itu jelas menuju Kerajaan
Jiwanala yang terletak di pesisir pantai sebelah Timur.
Tampaknya mereka telah menempuh perjalanan begitu jauh.
Ini terlihat dari wajah-wajah yang letih dan pakaian berdebu.
Kuda yang mereka tunggangi pun mendengus-dengus
kelelahan. "Hooop... !" Panglima Bayan Sudira tiba-tiba mengangkat
tangan sambil menghentikan laju kudanya.
Sepuluh orang prajurit yang mengikutinya serentak
berhenti. Pandangan Panglima Bayan Sudira tidak lepas ke
arah jalan di depannya. Tampak sebuah pohon yang cukup
besar roboh melintang menghalangi jalan.
"Hm...," gumam Panglima Bayan Sudira pelan.
Pohon besar itu seperti baru saja tumbang. Daun-daunnya
masih lebat dan hijau. Walaupun tampaknya masih begitu
kokoh, tapi tumbangnya sampai ke akar. Pohon sebesar itu
memang bisa saja roboh kalau terjadi badai yang sangat
dahsyat. Tapi sekitarnya tampak tenang, dan tidak ada tanda-
tanda bekas terlanda badai. Pohon-pohon lain di sekitarnya
tampak masih kokoh berdiri.
Panglima Bayan Sudira jadi curiga melihat keadaan yang
ganjil ini. Diisyaratkan pada prajuritnya untuk waspada.
Panglima Karang Setra itu segera melompat turun dari
punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan,
tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan
dihampiri pohon yang tumbang menghadang jalan itu.
Belum juga sampai ke pohon itu, mendadak sebatang
tombak meluncur deras ke arahnya. Panglima Bayan Sudira
melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga tombak itu
hanya menancap tanah Padahal dia tadi berdiri di situ. Belum
lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar memekakkan telinga,
seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin Jelas kalau
suara itu dibarengi penyaluran tenaga dalam yang cukup
tinggi Semakin lama suara itu semakin menyakitkan telinga.
Para prajurit yang berjumlah sepuluh orang, mulai merasakan
akibatnya. "Hih! "
Panglima Bayan Sudira menggerak-gerakkan tangannya di
depan dada. Pada saat yang sama, tiga prajurit yang berada
di belakangnya sudah menggelepar sambil berteriak-teriak
Dari mulut, hidung, dan telinga mereka keluar darah.
Pengaruh suara tawa itu sangat luar biasa.
"Yaaah.. . !"
Tiba-tiba saja Panglima Bayan Sudira memekik keras sambil
memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya direntangkan ke
samping. Suara teriakannya demikian keras dan menggelegar.
Bersamaan dengan itu bertiup angin kencang bagai terjadi
badai topan. Panglima Bayan Sudira mengerahkan aji 'Bayu
Badai' satu ajian yang sangat dahsyat.
Ajian itu memang sangat ampuh dan dahsyat. Buktinya
suara tawa itu mendadak berhenti. Seketika Panglima Bayan
Sudira juga menghentikan ajiannya. Dia tidak ingin para
prajuritnya terlempar akibat hempasan badai yang diciptakannya. Para prajurit Karang Setra yang tadi bergelimpangan, mulai
dapat bangkit kembali. Napas mereka tersengal dengan tubuh
lunglai dan darah masih mengucur dari hidung. Panglima
Bayan Sudira berdiri tegak sambil memasang mata tajam
untuk mengawasi sekitarnya. Pendengarannya dipasang
tajam. Tapi suasana begitu hening, bahkan angin pun seolah-
olah enggan bertiup
"Waspadalah kalian," ujar Panglima Bayan Sudira
memperingatkan.
Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu mencabut
pedangnya masing-masing. Mereka bergerak mendekati
panglimanya, dan berhenti di belakang laki-laki setengah baya
itu. "Siapa kau" Keluar...!" teriak Panglima Bayan Sudira keras.
Sepi. Tak terdengar suara sedikit pun. Panglima Bayan
Sudira memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil
kuda. Dua orang prajurit bergegas menghampiri kuda mereka
yang tetap tenang merumput, seperti tidak menghiraukan
kejadian yang tengah berlangsung terhadap majikannya.
"Awas...!" seru Panglima Bayan Sudira tiba-tiba.
Saat itu dua batang tombak melesat cepat bagai kilat ke
arah dua prajurit yang tengah menghampiri kuda-kudanya.
Dua orang prajurit itu terperangah sesaat. Kemudian, dengan
gerakan cepat, dikibaskan pedangnya untuk menangkis
tombak itu. Trang! Trang! "Akh...! "
Dua orang prajurit itu terpekik hampir bersamaan. Pedang
mereka terlempar jauh begitu menangkis lemparan tombak
tadi. Panglima Bayan Sudira segera melompat ke depan
prajurit yang terhuyung ke belakang beberapa langkah seraya
memegangi tangannya.
"Gusti...," salah seorang prajurit merintih lirih.
"Kenapa tanganmu?" tanya Panglima Bayan Sudira.
"Orang itu berilmu sangat tinggi. Tangan hamba seperti
mati," sahut prajurit itu.
"Hm...," Panglima Bayan Sudira mengerutkan alisnya.
Sebentar diperiksanya tangan kedua prajurit itu. Tidak ada
yang terluka, hanya aliran darahnya terasa begitu cepat. Itu
pertanda kalau baru saja menerima hentakan tenaga dalam
yang cukup tinggi tingkatannya. Seorang prajurit lain
menghampiri. Diserahkan pedang temannya yang tadi
terlempar. Panglima Bayan Sudira memberi isyarat pada para
prajuritnya untuk naik ke punggung kudanya masing-masing.
Prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu bergegas melompat
naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja berada di atas
punggung kuda, tiba-tiba terdengar kembali suara tawa
terbahak-bahak. Bahkan kini disusul dengan munculnya
seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pemuda itu berdiri tegak di atas pohon yang tumbang
menghalangi jalan. Di tangannya tergenggam sebatang
tombak panjang berwarna merah, sama dengan warna
pakaian yang dikenakannya Ujung atas tombak itu berbentuk
bulan sabit berwarna kuning keemasan. Sungguh berbeda
dengan tombak-tombak pada umumnya.
"Masih ingat denganku, Bayan Sudira?" dingin dan datar
suara pemuda itu.
"Kumbang Merah...," desis Panglima Bayan Sudira.
"Ha ha ha...!"
Oo-dw-ray-oO "Hebat! Kau sekarang jadi panglima, Bayan Sudira. Tapi
sayang. prajuritmu kurang tangguh untuk sebuah kerajaan
besar seperti Karang Setra," kata Kumbang Merah sinis.
"Terima kasih. Tapi mereka sudah mampu menangkis
seranganmu," jawab panglima Bayan Sudira tidak kalah
sinisnya. "Ha ha ha...! Kalau aku mau. hanya sekedipan mata saja
mereka sudah mati!"
Panglima Bayan Sudira merentangkan tangannya mencegah prajuritnya yang tak tahan mendengar ejekan itu.
Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu tidak jadi bergerak.
Meskipun mereka sudah turun kembali dari punggung
kudanya, tapi belum ada yang menarik pedangnya kembali
keluar. "Kumbang Merah, apa maksudmu menghadang perjalananku?" tanya Panglima Bayan Sudira lantang.
"Aku hanya ingin memperingatkanmu, Bayan Sudira
Perjalananmu ke Jiwanala hanya sia-sia saja. Kau tidak akan
mendapatkan apa-apa di sana!" sahut Kumbang Merah juga
lantang. "Bukan urusanmu, Kumbang Merah!"
"Urusanku juga jika kau bersikeras tetap ingin ke Jiwanala."
"He...! Kenapa kau melarangku ke sana?"
Kumbang Merah tidak menjawab, tapi hanya melompat
turun dari pohon tumbang yang dipijaknya. Gerakannya
sungguh ringan dan indah. Sepasang kakinya menjejak tanah
tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas kalau tingkat
kepandaiannya sukar diukur.
"Hebat! Rupanya kau mengalami kemajuan yang sangat
pesat, Kumbang Merah," puji Panglima Bayan Sudira.
"Sepuluh tahun aku mempersiapkan diri. Dan semua itu
hanya untukmu, Bayan Sudira! "
Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melompat cepat
bagaikan seekor macan menerkam mangsanya. Begitu cepat
terjangannya, sehingga membuat Panglima Bayan Sudira
sempat terperangah.
Namun dengan cepat pula Panglima Karang Setra itu
menggeser kakinya ke kanan sambil mengirimkan satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hait! "
Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya menyampok
tangan Panglima Bayan Sudira, namun luput. Ternyata
Panglima Bayan Sudira lebih cepat menarik tangannya
kembali. Dan belum lagi Kumbang Merah bisa menarik pulang
tombaknya, Panglima Bayan Sudira telah lebih dulu
mengirimkan satu tendangan kilat menggunakan kaki
kanannya. "Hegh. . . ! "
Tendangan cepat dan tidak terduga itu mendarat tepat di
pinggang Kumbang Merah, dan membuatnya mengeluh
pendek. Kumbang Merah bergegas menarik kakinya mundur
beberapa langkah. Bibirnya meringis menahan sakit, akibat
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Dan pada saat itu,
Panglima Bayan Sudira sudah kembali mengirimkan pukulan
beberapa kali dengan cepat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
"Hap! Yaaat...!"
Kumbang Merah berkelit mengegoskan tubuhnya ke kiri
dan ke kanan, menghindari pukulan beruntun yang dilepaskan
laki-laki pemimpin seluruh prajurit Karang Setra itu Pada saat
pukulan panglima itu terhenti sebentar, dengan cepat
ditusukkan tombaknya.
Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan Kumbang Merah
untuk balas menyerang.
Namun Panglima Bayan Sudira bukanlah hanya sebuah
nama kosong. Tusukan tombak berujung bulan sabit
keemasan itu dengan mudah dapat dihindarkan. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan, lalu tangan kanannya disodokkan ke
arah dada lawan.
"Hait. . . ! "
Kumbang Merah buru-buru menarik tongkatnya pulang,
dan cepat melompat mundur. Dihentakkan ujung tombaknya
ke tanah kuat-kuat Pandangan matanya tajam menusuk ke
bola mata Panglima Bayan Sudira yang sudah merendahkan
tubuh, dengan kedua tangannya menyilang di depan dada
Sedangkan Kumbang Merah hanya berdiri tegak, dan
tombaknya tegak lurus di samping.
"Sayang sekali. Saat ini aku tidak punya waktu banyak
untukmu. Tapi aku tetap akan mencarimu. Bayan Sudira, "
jelas Kumbang Merah, datar nada suaranya.
"Hm...," Panglima Bayan Sudira hanya bergumam kecil,
sambil berdiri tegak.
"Sekali lagi kuperingatkan padamu! Jangan coba-coba
memasuki wilayah Kerajaan Jiwanala!"
Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melesat cepat
dan hilang seketika. Panglima Bayan Sudira tidak sempat lagi
berkata-kata. Dia pun berbalik dan melangkah menghampiri
kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Tanpa berkata


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit pun, Panglima Bayan Sudira melompat naik ke
punggung kudanya.
Sepuluh orang prajurit segera naik ke punggung kuda
masing-masing setelah menyarungkan kembali pedangnya,
tapi belum juga menggebahnya.
"Gusti Panglima.. .," salah seorang prajurit yang berada di
samping kanannya menegur.
"Kita tetap ke Kerajaan Jiwanala, " kata Panglima Bayan
Sudira tegas. "Baik, Gusti Panglima!" jawab sepuluh prajurit itu
serempak. Rombongan kecil Kerajaan Karang Setra itu bergerak
menuju ke Kerajaan Jiwanala. Mereka melompati pohon besar
yang menghalangi jalan tembus ke kerajaan itu. Mereka
memang menggunakan kuda-kuda pilihan, sehingga tidak
mengalami kesukaran melompati rintangan itu. Rombongan
kecil ini memang juga terdiri dari prajurit pilihan yang
mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan tidak rendah.
Mereka terus menggebah kudanya agar berpacu lebih
kencang. Saat itu hari sudah menjelang senja. Matahari sudah
condong ke arah Barat. Udara di sekitarnya semakin terasa
dingin. Namun Panglima Bayan Sudira dan sepuluh prajuritnya
tetap bergerak cepat tanpa menghiraukan kabut yang mulai
merayap turun menyelimuti permukaan bumi ini.
Oo-dw-ray-oO Sementara itu di Istana Jiwanala, Prabu Duta Nitiyasa
tengah dihadapi pembesar-pembesarnya, patih, dan para
panglima. Keadaan Kerajaan Jiwanala sudah kembali tentram
seperti sediakala, setelah mengalami suatu kemelut yang
menelan banyak korban nyawa, baik dari kalangan prajurit
maupun rakyat. Pertemuan di Balai Sema Agung itu
membicarakan sekitar pemulihan keadaan kerajaan dan
perbaikan istana yang rusak akibat terjarah orang-orang dari
Daratan Mongol (Baca; Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam
kisah, "Jago Dari Nongol").
Sejak pertemuan tadi, wajah Prabu Duta Nitiyasa terlihat
murung dan tidak bergairah sama sekali. Meskipun sesekali
mengulas senyum, namun terasa hambar dan amat
dipaksakan. Semua orang yang berada di Balai Sema Agung
ini bisa merasakan kemurungan itu. Tapi tidak ada seorang
pun yang berani menanyakannya.
"Gusti Prabu...," Patih Raksajunta membuka suara setelah
terjadi kebisuan cukup lama.
Prabu Duta Nitiyasa mengangkat kepalanya. Dipandanginya
Patih Raksajunta yang duduk bersila di sebelah kanannya.
Patih itu memberi hormat dengan merapatkan tangannya di
depan hidung. "Ada apa, Paman Patih?" tanya Prabu Duta Nitiyasa pelan.
"Ampu Gusti Prabu. Dalam dua hari ini, Gusti Prabu
kelihatan murung...," jelas sekali kalau suara Patih Raksajunta
bernada ragu-ragu.
Prabu Duta Nitiyasa tersenyum. Patih Raksajunta kembali
memberikan sembah. Raja Jiwanala
itu mengangkat tangannya sedikit. Semua orang yang berada di ruangan itu
memberi sembah, kemudian beranjak pergi. Tinggal Patih
Raksajunta yang masih berada dalam ruangan itu bersama
Prabu Duta Nitiyasa. Bahkan Prabu Duta Nitiyasa juga
memerintahkan pengawalnya untuk meninggalkan ruangan
ini. "Paman Patih, aku memang menunggu adanya pertanyaan
seperti itu," ungkap Prabu Duta Nitiyasa. "Kemarilah, lebih
mendekat."
Patih Raksajunta memberi sembah, kemudian menggeser
duduknya lebih dekat lagi.
"Ketahuilah, Paman. Aku sebenarnya gembira bisa berada
di istana ini kembali. Apalagi seluruh rakyat juga sudah tenang
kembali, meskipun masih banyak kerusakan yang belum bisa
diperbaiki Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku,
Paman," jelas Prabu Duta Nitiyasa bertutur rapi.
"Hamba bersedia mendengarkan, Gusti Prabu," ucap Patih
Raksajunta "Paman Patih. Kau mengabdi di Jiwanala ini sejak ayahku
masih hidup. Sebenarnya, tidak pantas kalau aku memberimu
kedudukan sebagai patih. Kau seharusnya lebih cocok menjadi
penasehatku. Hanya kaulah satu-satunya yang
bisa menampung segala keluh kesahku.... "
"Hamba cukup senang menerima jabatan patih, Gusti. "
Prabu Duta Nitiyasa bangkit dari singgasananya. Segera
dilangkahkan kakinya beberapa tindak, dan berhenti tepat di
depan Patih Raksajunta. Tangan kanannya menepuk pundak
patihnya itu, dan memintanya untuk berdiri. Patih Raksajunta
menyembah sekali lagi sebelum bangkit berdiri. Prabu Duta
Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan
Balai Sema Agung ini, diikuti oleh Patih Raksajunta di samping
kanannya. Mereka terus berjalan tanpa ada kata yang terucap sampai
tiba di T aman Kaputren yang tampak sepi.
Biasanya taman ini menjadi tempat kesenangan Permaisuri
Dita Wardhani. Tapi sekarang ini beliau masih berada di
Padepokan Arang Watu milik ayahnya.
Mereka terus melangkah menyusuri jalan kecil di dalam
taman itu. "Selama dua hari ini aku memang tidak bisa tenang, Paman
Patih. Pikiranku selalu gelisah, seakan-akan pertanda kalau
bencana belum lagi berakhir menimpa negeri ini, " tutur Prabu
Duta Nitiyasa memulai membuka hatinya.
"Apa yang membuat hati Gusti resah?" tanya Patih
Raksajunta. "Rangga, " sahut Prabu Duta Nitiyasa singkat.
"Rangga..."!" Patih Raksajunta bergumam pelan, seolah-
olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Aku merasakan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti ke sini
bukan secara kebetulan, tapi memang memiliki suatu tujuan
sehingga datang ke kerajaan ini. Rangga... Nama itu
mengingatkanku pada putra Adipati Arya Permadi Seandainya
waktu itu tidak terjadi musibah, pastilah putra Kakang Adipati
sudah sebesar Pendekar Rajawali Sakti," nada suara Prabu
Duta Nitiyasa setengah bergumam.
"Gusti, peristiwa itu sudah dua puluh tahun lebih berlalu.
Bahkan mungkin semua orang sudah melupakannya,
meskipun hamba sendiri tidak bisa melupakannya sampai
kapan pun. Sepertinya Gusti Adipati masih hidup sampai kini,"
kata Patih Raksajunta mengingatkan.
"Itulah yang membuat pikiranku tidak tenang selama ini,
Paman." "Maksud, Gusti?" Patih Raksajunta tidak mengerti.
"Selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui,
apakah putra Kakang Adipati masih hidup atau sudah tewas
dalam musibah itu. Sedangkan sejak itu kita memutuskan
hubungan dengan Kadipaten Karang Setra, sudah dua puluh
tahun lebih tidak pernah lagi berhubungan Dan selama itu kita
tidak tahu, bagaimana perkembangan di Karang Setra."
"Gusti, hamba rasa itu satu keputusan yang sangat
bijaksana. Tidak ada gunanya berhubungan dengan adipati
murtad, meskipun masih ada hubungan darah dengan Gusti
Prabu. Ampun, Gusti. Bukannya hamba ingin memutuskan tali
persaudaraan...," cepat-cepat Patih Raksajunta memberikan
sembah. "Aku tidak menyesal, Paman. Itu memang sudah keputusan
Ayahanda Prabu, dan aku tinggal meneruskannya saja Tapi
yang sekarang mengganjal pikiranku adalah kehadiran
seorang pendekar yang namanya begitu sama dengan nama
putra Kakang Adipati," Prabu Duta Nitiyasa meneruskan pokok
pembicaraannya ini.
"Nama bisa saja sama, Gusti."
"Kau benar, Paman. Nama memang bisa saja sama. Tapi,
raut wajah, sorot mata, serta jalinan ikatan batin.... Ini yang
membuat hatiku selalu gelisah."
"Hamba tidak mengerti, Gusti."
Prabu Duta Nitiyasa tersenyum tipis, lalu duduk di kursi
panjang yang berada di bawah naungan atap kecil di tengah-
tengah taman. Sebuah bangsal kecil yang memang dibuat
untuk beristirahat dan berteduh dari sengatan sinar matahari.
Patih Raksajunta duduk bersila di lantai, dekat kaki kanan
Prabu Duta Nitiyasa.
Belum lagi mereka berbicara kembali, seorang prajurit
penjaga pintu Taman Kaputren ini berlari-lari kecil
menghampiri. Prajurit itu langsung membungkuk memberi
hormat begitu sampai di depan Prabu Duta Nitiyasa.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Ampun, Gusti Prabu. Ada beberapa orang berkuda yang
mengenakan seragam prajurit menuju istana. Dari laporan
prajurit penjaga perbatasan, mereka datang dari Karang
Setra," lapor prajurit itu.
"Karang Setra...," desis Prabu Duta Nitiyasa.
Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Duta Nitiyasa bergegas
bangkit dari kursinya dan melangkah tergesa-gesa. Patih
Raksajunta mengikuti dari belakang disusul prajurit pengawal
pintu kaputren ini
Oo-dw-ray-oO 2 Hati Prabu Duta Nitiyasa diliputi berbagai macam tanda
tanya ketika menerima Panglima Bayan Sudira.
Namun dia masih bisa tersenyum cerah. Diterimanya
tamunya itu di ruangan Bangsal Pendopo Agung. Sebuah
ruangan yang cukup besar, dengan hiasan dinding indah dan
berlantaikan batu pualam putih yang berkilat. Tampak sedap
dipandang mata.
"Apakah maksud Tuan Panglima datang mengunjungi
kerajaan kecil ini?" tanya Prabu Duta Nitiyasa ramah.
"Ampun, Gusti Prabu. Kedatangan hamba memang
sengaja, karena mendapat berita kalau raja hamba berada di
kerajaan ini," sahut Panglima Bayan Sudira penuh hormat.
"Rajamu..."!" Prabu Duta Nitiyasa terperanjat
"Benar, Gusti," Panglima Bayan Sudira meyakinkan.
Prabu Duta Nitiyasa menatap Patih Raksajunta yang
menemaninya di ruangan ini. Sungguh tidak diduga kalau
Karang Setra kini sudah menjadi sebuah kerajaan. Tapi yang
membuatnya lebih terkejut adalah berita tentang Raja Karang
Setra yang kini berada di Kerajaan Jiwanala. Padahal tidak ada
seorang raja pun yang menjadi tamu di sini.
"Siapa nama Raja Karang Setra?" tanya Prabu Duta Nitiyasa
setelah hilang rasa terkejutnya.
"Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," jawab Panglima Bayan
Sudira. "Rangga. ..," desis Prabu Duta Nitiyasa hampir tidak
percaya dengan pendengarannya. Padahal dia baru saja
membicarakan tentang putra kakaknya yang menjadi adipati
di Karang Setra dua puluh tahun silam. Dan kini didengar
keterangan kalau putra adipati itu masih hidup, bahkan
menjadi raja di tanah kelahirannya. Sungguh suatu kabar yang
sangat mengejutkan, di samping menggembirakan.
Dua puluh tahun lebih Prabu Duta Nitiyasa tidak pernah lagi
mendengar kabar tentang Karang Setra, tempatnya dilahirkan.
Dan sekarang datang seorang panglima dari Kerajaan Karang
Setra yang dulu hanya sebuah kadipaten. Pikiran Prabu Duta
Nitiyasa jadi berputar kembali, karena beberapa hari yang lalu
memang ada seorang pemuda yang mengaku bernama
Rangga. Tapi pemuda itu dari kalangan rimba persilatan yang
bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini Panglima Bayan
Sudira datang untuk mencari rajanya yang juga bernama
Rangga. "Tuan Panglima, bagaimana ceritanya sampai rajamu pergi
tanpa kabar berita yang pasti?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Prabu Rangga meninggalkan istana karena ada kepentingan yang tidak hamba ketahui dengan pasti, Gusti
Prabu. Memang sudah dipesan agar tidak perlu mencarinya.
Tapi sudah lama beliau tidak kembali, dan terakhir kami
mendapat berita kalau Gusti Prabu Rangga berada di kerajaan
ini," Panglima Bayan Sudira mencoba menjelaskan dengan
singkat "Apakah Gusti Prabu Rangga itu seorang pendekar?" tanya
Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Paman Patih. Gusti Prabu Rangga juga dikenal
dengan nama Pendekar Rajawali Sakti "
Bagaikan mendengar guntur di siang bolong, Prabu Duta
Nitiyasa dan Patih Raksajunta terlonjak kaget. Mereka
menatap tajam Panglima Bayan Sudira yang juga terperanjat,
karena tidak mengerti akan sikap tuan rumah ini.
Untuk beberapa saat lamanya suasana jadi hening.
Prabu Duta Nitiyasa bangkit berdiri, lalu melangkah menuju
ke jendela besar yang terbuka lebar. Saat itu sudah menjelang
malam. Di luar sana, kegelapan menyelimuti sekitarnya. Kabar
berita yang dibawa Panglima Bayan Sudira benar-benar
membuatnya terkejut setengah mati. Perasaan batin yang
selama ini mengganggu pikirannya ternyata terbukti. Tapi
tidak diduga kalau akan sampai sejauh itu.
"Tuan Panglima, tentunya perjalanan jauhmu sangat
melelahkan. Sebaiknya beristirahatlah dahulu," ujar Prabu
Duta Nitiyasa tetap memandang ke luar melalui jendela
"Hamba, Gusti Prabu, " sahut Panglima Bayan Sudira.
Dengan diantar Patih Raksajunta, Panglima Bayan Sudira
meninggalkan ruangan Bangsal Pendopo Agung Ini.
Sementara Prabu Duta Nitiyasa masih berdiri memandang
langit kelam tanpa satu bintang pun terlihat menggantung.
Angin malam yang dingin begitu keras menerpa wajahnya.
Tapi Prabu Duta Nitiyasa tidak memperdulikannya. Pikirannya
semakin tidak menentu saat ini.
Cukup lama juga Prabu Duta Nitiyasa berdiri mematung di


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan jendela Bangsal Pendopo Agung ini. Sampai-sampai
tidak tahu kalau Patih Raksajunta sudah berada di
belakangnya. Ragu-ragu laki-laki tua itu menegur, tapi
akhirnya memberanikan diri juga untuk menegur. Prabu Duta
Nitiyasa membalikkan tubuhnya. Patih Raksajunta membungkuk memberi hormat.
"Perkataan batinku benar, Paman, " tegas Prabu Duta
Nitiyasa pelan.
"Hamba kira ini bukan ma lapetaka, Gusti," kata Patih
Raksajunta. "Mudah-mudahan demikian," desah Prabu Duta Nitiyasa
pelan. Prabu Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan besar itu. Sedangkan Patih Raksajunta
masih tetap berdiri, meskipun junjungannya itu sudah tidak
terlihat lagi Laki-laki tua itu kelihatan resah, entah apa yang
ada dalam pikirannya saat ini.
"Hhh...," Patih Raksajunta menarik napas panjang
kemudian berjalan perlahan meninggalkan ruangan ini.
Dua orang prajurit penjaga menghampiri jendela sete lah
Patih Raksajunta menghilang di balik pintu, lalu menutupnya
rapat-rapat Saat itu seorang wanita bertubuh gemuk masuk.
Dibereskan meja dan kursi yang tadi diduduki Prabu Duta
Nitiyasa, Patih Raksajunta, dan Panglima Bayan Sudira. Tidak
ada kata-kata yang terucapkan, semuanya bekerja tanpa
membuka mulut. Seakan-akan keresahan hati Prabu Duta Nitiyasa sudah
merambat pada semua orang di lingkungan istana ini.
Oo-dw-ray-oO Panglima Bayan Sudira terkejut ketika tiba-tiba Patih
Raksajunta menepuk pundaknya. Panglima itu menggeser
duduknya memberi tempat pada Patih Raksajunta. Mereka
duduk berdampingan di bangku taman belakang istana.
Sesaat tidak ada yang membuka suara. Pandangan mereka
sama-sama tertuju pada langit-langit yang hitam kelam. Angin
yang berhembus kencang membawa titik-titik air, pertanda
sebentar lagi akan diwarnai turunnya hujan
"Dingin sekali malam ini...," desah Patih Raksajunta
membuka suara. "Ya, tampaknya akan hujan," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Hhh...! Sudah berapa lama ya, kita berpisah?"
Patih Raksajunta seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mungkin dua puluh tahun," sahut Panglima Bayan Sudira
mendesah. "Cukup lama juga. Selama itu aku sepertinya tidak memiliki
saudara. Hm..., bagaimana keadaan saudara-saudara kita
yang lain?" suara Patih Raksajunta terdengar setengah
bergumam. "Tidak terlalu buruk. Hanya saja...," jawaban Panglima
Bayan Sudira terputus.
"Hanya apa?" desak Patih Raksajunta.
"Istri dan anakmu. Sampai sekarang tidak kuketahui di
mana mereka," pelan suara Panglima Bayan Sudira.
"Mereka ada di sini," sahut Patih Raksajunta tersenyum.
"Oh, syukurlah."
Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Titik-titik air mulai terasa menyentuh kulit.
Seberkas cahaya kilat menyambar di angkasa, disusul
gelegar guruh. Langit semakin terlihat kelam, angin pun
semakin terasa dingin berhembus. Namun dua orang
pembesar dari kerajaan yang berbeda itu masih tetap tenang
duduk di taman belakang istana.
"Tadinya aku sudah berniat untuk menetap di sini
bersamamu, Kakang. Tapi mendadak saja perubahan besar
terjadi di Karang Setra. Putra Gusti Adipati yang hilang dua
puluh tahun lamanya kembali dan menggulingkan kekuasaan
adik tirinya. Bahkan kini Karang Setra telah menjadi sebuah
kerajaan yang cukup besar," jelas Panglima Bayan Sudira
menceritakan keadaan Karang Setra tanpa diminta.
"Lalu, bagaimana caranya kau bisa jadi panglima?" tanya
Patih Raksajunta.
"Aku bergabung dengan Gusti Rangga mendirikan kerajaan
di Karang Setra. Banyak teman kita yang dulu terpencar sudah
kembali berkumpul di istana. Gusti Rangga menyerahkan
pembagian jabatan pada Kakang Lintuk. Kau masih ingat
dengan saingan beratmu itu, Kakang?"
"Ya. Tapi bukan saingan dalam arti musuh. Aku dan Kakang
Lintuk memang selalu bersaing, tapi secara sehat," jelas Patih
Raksajunta. "Kakang Lintuk memang adil. dan bijaksana sekali. Dia
tidak langsung menunjuk, tapi menanyakan terlebih dahulu
jabatan yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Semua
dilakukan secara rembukan, dan semuanya puas, tidak ada
yang mengeluh."
"Kakang Lintuk memang orang yang bijaksana. Aku yakin.
Karang Setra kini lebih maju dari yang dulu."
"Benar, Kakang. Kemajuannya pesat sekali, meskipun
singgasana selalu kosong."
"Kosong...!?" Patih Raksajunta mengangkat alisnya
"Gusti Prabu Rangga berjiwa pendekar. Dan selama dua
puluh tahun selalu mengembara di dalam rimba persilatan.
Bahkan sekarang pun tidak ada di Istana."
"Hm.., jadi kau ke sini mencari raja pendekar itu?"
"Betul"
"Untuk membawa pulang kembali?"
"Bukan."
"Lho..."! lalu, untuk apa kau mencarinya?"
"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya Gusti
Prabu Rangga-lah yang boleh mengetahuinya."
"Aku mengerti. Tapi... kau yakin kalau Prabu Rangga ada di
sini?" "Begitulah yang kudengar. Mudah-mudahan aku tidak
terlambat."
"Sayang sekali...," gumam Patih Raksajunta.
"Kenapa Kakang...?" tanya Panglima Bayan Sudra.
"Aku tidak tau pasti, apakah yang kau cari memang dia
orangnya atau bukan," kata Patih Raksajunta setengah
bergumam. "Maksud Kakang?" Panglima Bayan Sudra tidak mengerti.
Patih Raksajunta tidak langsung menjelaskan, tapi malah
bangkit berdiri dan melangkah menuju ke bangunan belakang
istana. Saat itu hujan sudah mulai turun dengan derasnya.
Panglima Bayan Sudra juga ikut bangkit dan melangkah
meninggalkan bangku taman itu. Hatinya masih diliputi
pertanyaan yang belum terjawab.
Oo-dw-ray-oO Panglima Bayan Sudra menyesal keterlambatannya,
sehingga tidak bisa menemui rajanya. Tapi kekecewaannya
sedikit terhalau karena masih bisa bertemu dengan saudara-
saudaranya di kerjaan ini. Terutama Patih Raksajunta, yang
masih terhitung kakak sepupunya.
Tapi yang lebih kecewa lagi adalah Prabu Duta Nitiyasa. Dia
baru tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang raja
besar, yang ternyata juga keponakannya. Hanya selama ini dia
belum bisa menyambut pendekar itu dengan baik, bahkan
sekarang sudah tidak jelas lagi berada di mana. Memang
sukar untuk mencari seorang pendekar, meskipun seorang
raja besar sekalipun. Apalagi Rangga hanya seorang diri.
Yang tanpa tujuan pasti.
Hari ini Panglima Bayan Sudira sudah bersiap-siap untuk
meninggalkan Istana Jiwanala. Sepuluh orang prajuritnya juga
sudah siap di samping kudanya masing-masing. Prabu. Duta
Nitiyasa mengantarkannya sampai ke ujung tangga istana,
didampingi Patih Raksajunta.
"Beritahukan arah tujuan yang kau tempuh, Panglima.
Seandainya Rangga masih berada di sini, aku bisa cepat
mengirim utusan untuk memberitahukanmu," kata Prabu Duta
Nitiyasa meminta.
"Hamba selalu menuju ke arah Timur, Gusti Prabu," sahut
Panglima Bayan Sudira.
"Baiklah. Kuharap kau bisa menemukannya di jalan."
"Hamba mohon diri, Gusti."
"Ya. "
Panglima Bayan Sudira membungkuk memberi hormat
kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kudanya yang
dipegangi seorang prajurit. Setelah Panglima Bayan Sudira
berada di punggung kuda, sepuluh orang prajurit yang
menyertainya segera melompat punggung kudanya masing-
masing. Salah seorang memegangi tali kendali seekor kuda
hitam yang tinggi dan tegap. Kuda hitam itu sudah berpelana
lengkap tapi tak ada penunggangnya.
"Hiya, hiya...!"
Panglima Bayan Sudira menggebah kudanya dengan cepat
keluar dari alun-alun istana Sepuluh orang prajuritnya
mengikuti dari belakang. Dua belas ekor kuda berpacu cepat
melintasi pintu gerbang istana yang dijaga empat orang
prajurit bersenjata tombak. Kuda-kuda itu terus berpacu cepat
meninggalkan debu yang mengepul di udara.
Panglima Bayan Sudira memang mengarahkan tujuannya
ke Timur. Sedikit pun tidak dikendurkan laju kudanya Hingga
sampai di perbatasan, mereka baru melarikan kudanya
perlahan-lahan. Panglima Bayan Sudira menatap hutan lebat
yang menghadang di depannya. Gerbang perbatasan sudah
tertinggal jauh di belakang.
"Hooop...!"
Panglima Bayan Sudira menghentikan lari kudanya begitu
akan memasuki hutan. Sepuluh orang prajuritnya ikut
berhenti. Salah seorang prajurit menghampiri.
"Kenapa berhenti, Gusti?" tanya prajurit itu.
"Aku yakin sekali kalau Gusti Prabu masih ada di Kerajaan
Jiwanala, " sahut Panglima Bayan Sudira setengah bergumam.
"Tapi Gusti Prabu Duta Nitiyasa sudah memaskan kalau
Gusti Prabu Rangga sudah pergi," bantah prajurit itu.
"Kau ingat orang yang mencegat kita kemarin?"
Panglima Bayan Sudira memberikan pertanyaan Prajurit itu
mengangguk. "Dia bernama Kumbang Merah. Hm..., aku jadi heran,
kenapa dia melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala " Aku jadi
curiga," kembali nada suara Panglima Bayan Sudira bernada
bergumam. "Benar, Gusti. Pasti ada sesuatu," celetuk prajurit itu.
"Yang aku heran, Kumbang Merah tahu betul apa yang
kucari Padahal tidak ada seorang pun yang tahu kecuali aku
dan Kakang Lintuk. Aneh...! Dari mana dia tahu" Kenapa dia
melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala?" Macam-macam
pertanyaan bergumam dari mulut Panglima Bayan Sudira.
Tak ada seorang prajuritnya yang bisa menjawab
pertanyaan itu. Mereka pun jadi heran dan bertanya-tanya.
Hanya satu hari berada di Kerajaan Jiwanala, tapi sudah
membuat seribu macam pertanyaan yang sukar untuk
dipecahkan. Bukan hanya si Kumbang Merah saja yang
mencegat mereka masuk ke Kerajaan Jiwanala. Sepanjang
jalan, sudah terjadi empat kali pencegatan. Dan semuanya
tidak menginginkan Panglima Bayan Sudira masuk ke kerajaan
itu. Selain si Kumbang Merah, ada juga si Iblis Mawar Jingga,
Kakek Pesolek Pemetik Bunga, dan si Macan Gunung Sumbing.
Mereka semua sepertinya sudah tahu, apa yang sedang
diemban Panglima Bayan Sudira. Bahkan tahu pula setiap arah
tujuan yang ditempuh. Bukan hanya sekali atau dua kali
mereka mencegat, tapi beberapa kali. Hanya anehnya, mereka
tidak menyakiti, meskipun sempat melakukan pertarungan.
Namun tidak ada satu korban pun yang jatuh. Apa sebenarnya
maksud mereka" Pertanyaan itu yang selalu menghantui
Panglima Bayan Sudira dan prajurit-prajuritnya.
"He he he...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara terkekeh. Dan belum lagi
suara tawa itu hilang, menyusul terdengar suara siulan
nyaring melengking tinggi. Suara-suara itu seolah-olah datang
dari segala penjuru, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam cukup tinggi. Tapi tidak menimbulkan gejala
apa-apa. Hanya saja cukup membuat bingung Panglima Bayan
Sudira dan kesepuluh prajuritnya.
"Hm..., siapa lagi ini?" gumam Panglima Bayan Sudira
bertanya-tanya.
Belum lagi pertanyaan itu bisa terjawab. Muncul dua orang
laki-laki dan perempuan. Mereka semua masih muda-muda,
gagah, dan cantik. Kedua orang itu mengenakan baju ketat
berwarna kuning gading. Di punggung mereka terpasang
sebilah pedang yang bergagang hitam seperti tanduk kerbau.
Panglima Bayan Sudira mengenali mereka, yang dikenal
berjuluk Sepasang Naga Hitam. Yang laki-laki sebenarnya
bernama Andika, dan yang perempuan bernama Andini.
Langkah mereka ringan menghampiri Panglima Bayan
Sudira yang sudah siaga. Tangan kanannya pun sudah berada
di atas gagang pedangnya di pinggang. Panglima Bayan
Sudira tahu kalau sepasang muda-mudi ini adalah tokoh sakti
beraliran hitam. Dan sudah diduga, apa yang diinginkan
Sepasang Naga Hitam itu.
"Aku turut sedih atas kemalanganmu, Panglima Bayan
Sudira," ucap Andika. Bibirnya yang tipis tersenyum sinis.
"Terima kasih, tapi aku tidak sedih," sahut Panglima Bayan
Sudira datar. "O...!" Andika seperti terkejut. "Lihat, Adik Andini. Dia tidak sedih!
Mengagumkan sekali...."
"Memang mengagumkan. Tapi sayang sudah tua. Tapi...,
masih boleh juga! Kegagahannya masih tampak, dan cukup
tampan," sahut Andini tersenyum-senyum menggoda.
Panglima Bayan Sudira menggerutu dalam hati. Dia tahu
betul tabiat Sepasang Naga Hitam Itu. Mereka adalah anak
muda yang selalu mengumbar nafsu dan kesenangan duniawi.
Mereka tidak lagi mempedulikan tata krama kehidupan, dan


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu menyanjung kebebasan dalam segala hal Kemunculannya memang selalu berpasangan, tapi anehnya
tidak mempedulikan satu sama lain dalam mencari kepuasan
pribadi. "Rajanya lebih tampan lagi, Andini, " kata Andika.
"Oh, ya" Aku jadi ingin cepat-cepat bertemu," bola mata
Andini berbinar.
"Phuih! Kau tidak akan dapat bertemu dengan Gusti
Prabu!" bentak Panglima Bayan Sudira geram mendengar
ocehan yang menyakitkan telinga itu.
"Hi hi hi.... Dia mencoba menghalangi ku, Kakang," Andini
terkikik meremehkan.
"Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi kita, Andini.
Percayalah pada ku, " sahut Andika.
"Aku percaya, Kakang. Tapi jangan lukai panglima itu. Aku
suka padanya," Andini me lirik genit pada Panglima Bayan
Sudira. Panglima Bayan SudIra benar-benar muak melihat Andini
yang bertingkah laku genit padanya. Tapi panglima itu masih
menahan kesabarannya, karena tahu kalau Sepasang Naga
Hitam itu bukan tandingannya. Lebih-lebih untuk sepuluh
prajuritnya. Bukannya takut, tapi tugas yang diembannya
belum lagi selesai. Bahkan sampai saat Ini dia belum bisa
bertemu dengan Rangga.
"Aku harap kalian tidak membuat kesulitan!" tegas
Panglima Bayan Sudira dingin
"Ah.... Aku suka sekali ancamannya, Kakang, " desah
Andini genit "Setan! Perempuan cabul!" Panglima Bayan Sudira tidak
bisa lagi menahan amarahnya.
"Hi hi hi...!" Andini malah tertawa terkikik.
Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Betapa muaknya melihat tingkah wanita itu. Andini memang
cantik. Tapi, tingkah lakunya yang terlalu bebas dan kejam,
membuat siapa saja tidak pernah menyukainya. Setiap laki-laki
yang disukainya selalu dibunuh, setelah puas bermain cinta
dengannya. Tidak terhitung lagi laki-laki yang tewas di tangan
perempuan cabul itu.
Sret! Panglima Bayan Sudira menghunus pedangnya. Ujung
pedang berkilat keperakan itu ditujukan ke arah Andini.
Namun wanita Itu malah tersenyum mempermainkan kelopak
matanya dengan genit Tentu saja hal ini makin membuat
Panglima Bayan Sudira muak.
"Aku tidak segan-segan membunuh, jika kalian tidak segera
angkat kaki dari hadapanku!" ancam Panglima Bayan Sudira
geram. "Bagus...! Aku suka sekali tantanganmu," sambut Andini
tersenyum lebar. "Kakang, jangan ganggu acara menarikku. "
"Tentu saja, adikku manis. Bersenang-senanglah," sahut
Andika tersenyum mengerti.
"Iblis...!" geram Panglima Bayan Sudira keras. "Hiyaaa. .. !"
Panglima Bayan Sudira yang benar-benar tidak bisa lagi
mengendalikan amarahnya, segera melompat cepat seraya
menusukkan ujung pedang ke arah dada Andini. Tapi dengan
manis wanita itu mengegoskan tubuhnya ke kanan, sehingga
pedang Panglima Bayan Sudira lewat di sampingnya.
Sementara pertarungan Panglima Bayan Sudira melawan
Andini berlangsung, Andika menghadang sepuluh prajurit yang
bergerak hendak membantu panglimanya. Andika menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir berdecak.
Sepuluh prajurit yang tahu siapa Sepasang Naga Hitam itu,
kontan bergerak mundur. Mereka tidak jadi menarik senjata.
Sementara pertarungan antara Panglima Bayan Sudira
melawan Andini semakin sengit
Oo-dw-ray-oO 3 Sudah lebih sepuluh jurus, tapi pertarungan Panglima
Bayan Sudira lawan Andini masih juga berlangsung. Meskipun
menggunakan pedang, tapi Panglima Bayan Sudira belum
mampu menjatuhkan wanita itu. Bahkan sudah beberapa kali
pukulan dan tendangan Andini mendarat di tubuhnya. Sejak
pertama, memang telah dapat diketahui kalau tingkat
kepandaian Panglima Bayan Sudira di bawah Andini.
Tidak heran kalau pertempuran benar-benar dikuasa i
wanita cantik itu. Sebenarnya Panglima Bayan Sudira sadar,
kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Andini.
Tapi, mati adalah pilihannya daripada jatuh ke tangan wanita
cabul itu. Panglima Bayan Sudira tahu, apa yang akan terjadi
nanti pada dirinya jika sampai jatuh ke tangan Andini dalam
keadaan hidup. Dan ini yang tidak diinginkan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba saja Andini berteriak keras seraya mengibaskan
tangannya ketika Panglima Bayan Sudira membabatkan
pedangnya ke arah pinggang. Sampokan tangan kiri Andini
demikian cepat, dan tepat menghantam pergelangan tangan
kanan Panglima Bayan Sudira
"Akh!" Panglima Bayan Sudira memekik tertahan.
Seketika itu juga pedang dalam genggamannya terlempar.
Belum lagi dapat menguasai keadaan dirinya, satu tendangan
keras mendarat di perut Panglima Bayan Sudira. Panglima itu
mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk menahan rasa
mual akibat tendangan itu. Kembali satu pukulan keras
menghantam tengkuknya, dan membuatnya jatuh tersuruk
mencium tanah. "Bangun, Panglima!" bentak Andini bertolak pinggang di
depan Panglima Bayan Sudira.
Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu mengangkat
kepalanya. Dari mulutnya keluar darah segar. Sepasang kaki
indah berada tepat di depan hidungnya. Panglima Bayan
Sudira menggeleng-gelengkan
kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerang kepalanya. Dan
begitu rasa pening berkurang, dengan cepat disampoknya
sepasang kaki itu.
"Hait..!"
Namun Andini yang rupanya sudah menyadari akan
datangnya serangan itu, dengan cepat melompat sambil
mengirimkan satu tendangan keras ke wajah Panglima Bayan
Sudira. "Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.
Seketika itu juga kepalanya terdongak ke belakang, dan
tubuhnya bergulingan beberapa kali. Belum lagi tubuhnya
berhenti bergulingan, kembali dirasakan satu hantaman keras
mendarat di punggung. Hantaman itu membuat Panglima
Bayan Sudira merasakan tulang punggungnya patah, dan
hanya mampu memekik keras melengking.
Panglima dari Kerajaan Karang Setra itu benar-benar tidak
berdaya lagi. Darah semakin banyak keluar
dari mulut dan pelipisnya. Sukar sekali
untuk menggerakkan tubuhnya kembali. Tulang-tulangnya terasa
remuk, hancur berantakan. Andini berdiri tegak, tepat di
depan wajah Panglima
Bayan Sudira yang menelentang tanpa daya
lagi. "Bunuhlah aku, keparat! " geram Panglima Bayan Sudira
sambil menyemburkan ludahnya. Tapi yang keluar berupa gumpalan
darah. "Kau terlalu keras kepala, Panglima. Tapi aku suka laki-laki
keras sepertimu," ujar Andini seraya tersenyum.
"Phuih!" lagi-lagi Panglima Bayan Sudira menyemburkan
ludahnya Andini ma lah semakin lebar tersenyum. Sebentar diliriknya
Andika yang berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit.
Wanita itu kemudian berlutut di samping laki-laki yang sudah
tidak berdaya lagi. Dengan lembut disekanya darah yang
mengotori sekitar mulut Panglima Bayan Sudira. Tapi panglima
itu memalingkan mukanya.
"Kasihan sekali. Kalau saja hatimu lunak sedikit saja, tidak
akan sampai begini," ucap Andini berdecak.
"Aku tidak perlu belas kasihanmu!" rungut Panglima Bayan
Sudira. Andini tertawa mengikik. Dia menoleh pada kakaknya yang
masih berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit Karang
Setra Saat itu Andika juga menoleh ke arahnya.
"Untuk siapa mereka, Kakang?" tanya Andini.
"Untukmu," sahut Andika seraya tertawa lebar.
"Sial! Aku sudah cukup dengan pemimpinnya saja!" rungut
Andini memberengut manja.
"Tidak kurang" Mereka masih muda-muda Andini."
"Aku tidak peduli!"
"Baiklah kalau itu keinginanmu," kata Andika yang mengerti
maksud adiknya.
Setelah berkata demikian, Andika berteriak keras.
Tubuhnya seketika melesat cepat sambil mencabut pedangnya
yang bergagang hitam berbentuk tanduk kerbau. Mata pedang
itu juga hitam legam, dan berkeluk-keluk bagai ular.
Terjangan Andika demikian cepat dan tak terduga sama sekali,
sehingga membuat sepuluh orang prajurit itu terperangah.
Belum sempat mereka menyadari apa yang bakal terjadi, tiba-
tiba saja terdengar jeritan menyayat saling susul.
Kemudian, beberapa tubuh ambruk bergelimpangan
dengan tubuh berlumur darah!
Beberapa prajurit yang masih hidup. langsung melompat ke
belakang dan segera mencabut pedangnya. Tapi serangan
Andika sungguh luar biasa. Dengan sekali tebas saja, pedang-
pedang mereka terpenggal.
Dan belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, Andika sudah
kembali mengibaskan pedangnya sambil berteriak keras.
"Aaa... !"
Jeritan melengking kembali terdengar menyayat. Ternyata
tiga orang prajurit telah menggelepar dengan leher hampir
buntung. Pada saat yang tepat, dua orang prajurit berhasil
melompat ke punggung kuda, dan bergegas menggebahnya.
Kuda itu meringkik, lalu me lompat cepat dan terus berlari
kencang. "Setan... !" rutuk Andika melihat dua orang prajurit itu
lolos. "Tidak perlu dikejar, Kakang!" seru Andini mencegah
kakaknya yang akan mengejar.
Andika tidak jadi mengejar kedua prajurit yang lolos itu. Dia
berbalik menatap adiknya yang tetap duduk seenaknya di
samping tubuh Panglima Bayan Sudira. Laki-laki hampir
separuh baya itu hanya mampu mengumpat. Dia memang
sudah tidak berdaya lagi karena jalan darahnya sudah
tertotok. Tubuhnya sukar untuk digerakkan kecuali bagian
leher saja yang masih bisa digerakkan.
"Iblis! Kalian benar-benar iblis!" geram Panglima Bayan
Sudira mengumpat.
"Ha ha ha...!" Andini hanya tertawa saja.
Andika melangkah menghampiri adiknya. Sebentar dipandangi wajah Panglima Bayan Sudira. Sisa-sisa darah
masih melekat di sekitar wajah laki-laki dari Karang Setra itu
Tatapan matanya tajam penuh kebencian.
"Kau bisa bersenang-senang, Andini," ledek Andika seraya
menatap adiknya.
"Kau juga bisa kalau mau, Kakang," sahut Andini kalem.
"Kerajaan Jiwanala tidak jauh lagi dari sini. Tidak sampai
setengah hari perjalanan Gadis-gadisnya terkenal cantik-
cantik, Kakang."
"Tapi kita ke sana bukan karena itu, Andini."
"Memang. Tapi, apa salahnya sedikit bersenang-senang"
Kau akan menyesal jika tidak menikmati kesempatan yang
baik ini, Kakang. Carilah gadis. Jiwanala yang tercantik. Kau
akan kutunggu di sini. Percayalah, kita akan bersenang-
senang bersama. Aku akan sabar menunggumu," bujuk Andini
lembut "Baiklah. Hanya untuk sekali ini saja, Andini. Ingat pesan Ki


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sapta Bayu. Kita harus mendapatkan benda itu."
"Aku tahu, Kakang. Cepatlah sebelum aku kehilangan
gairah." "He he he...!" Andika terkekeh.
Andini menyambit pemuda itu dengan segenggam rumput
yang dicabutnya. Tapi Andika sudah keburu melompat dan
berlari cepat ke arah Kerajaan Jiwanala.
Andini tersenyum dan menoleh memandang Panglima
Bayan Sudira. "Hanya sebentar, Panglima. Kakang Andika sangat pandai
memilih pasangannya," ucap Andini lembut.
"Huh!" dengus Panglima Bayan Sudira muak.
Andini tertawa kecil. Direbahkan tubuhnya di samping laki-
laki itu. Tangannya merentang ke dada dan memeluknya
penuh gairah. Wanita itu tidak sabar lagi. Diciuminya wajah
dan leher Panglima Bayan Sudira. Kalau saja tubuh Panglima
Bayan Sudira tidak tertotok, Ingin rasanya merobek dan
mencincang tubuh wanita ini. Perutnya jadi mual mendapatkan ciuman yang begitu beruntun.
Napas Andini mulai tersengat Gejolak gairahnya kontan
timbul tak tertahankan lagi. Jari-jari tangannya yang lentik dan
halus, mulai menggerayangi tubuh laki-laki itu. Panglima
Bayan Sudira berusaha menggeliat memberontak, tapi hanya
mengumpat dalam hati. Seluruh tubuhnya sukar untuk
digerakkan lagi.
Sementara Andini semakin liar saja. Napasnya memburu
hangat menerpa wajah Panglima Bayan Sudira.
"Iblis! Kubunuh kau, Andini! " bentak Panglima Bayan
Sudira geram "Diam lah, Panglima. Hanya sebentar, tidak enak lho,
menunggu tanpa berbuat sesuatu! Tenanglah..., kau akan
senang," desah Andini dengan napas tersengal.
"Setan! Iblis...! Keparat...!" Panglima Bayan Sudira memaki-
maki melampiaskan kemarahan dan kejijikannya.
Tapi Andini tidak peduli dengan makian itu, bahkan ma lah
semakin bergairah saja. Dilepaskan totokan pada tubuh
Panglima Bayan Sudira. Kecuali kedua tangan dan kakinya
yang tetap lumpuh. Andini memang pandai dalam memilih
jalan darah, sehingga bisa leluasa melumpuhkan bagian-
bagian tubuh seseorang yang diinginkannya.
Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliatkan tubuhnya.
Tapi setiap kali digerakkan tubuhnya, malah membuat Andini
semakin bergairah. Kemarahan Panglima Bayan Sudira tidak
bisa lagi ditakar. Dia benar-benar marah dengan kecerdikan
wanita cabul ini.
Panglima Bayan Sudira tidak kuasa lagi menggerakkan
tubuhnya, dan hanya diam saja dengan kepala menengadah
ke belakang. "Setan... !" desis Panglima Bayan Sudira menggeram
marah. "Hi hi hi...!" Andini malah tertawa mengikik.
Sukar bagi Panglima Bayan Sudira untuk mencegah Andini
mengumbar nafsunya Wanita itu sudah seperti binatang saja.
Dia tidak lagi peduli akan makian yang dilontarkan Panglima
Bayan Sudira Gairahnya sudah tidak dapat terbendung lagi.
Sementara Panglima Bayan Sudira hanya bisa memaki penuh
kebencian. Pada saat keputusasaan menghinggapi diri panglima itu,
tiba-tiba saja Andini memekik keras dan tubuhnya terpental
jauh. Panglima Bayan Sudira segera membuka matanya.
Matanya terbeliak begitu melihat seorang pemuda tampan
berbaju rompi putih sudah berdiri tegak di dekatnya. Pemuda
itu sedikit membungkuk dan membebaskan beberapa totokan
di tubuh Panglima Bayan Sudira.
"Keparat. .. !" umpat Andini yang sudah bisa bangkit
Tiba-tiba wajah berangnya mendadak pudar begitu melihat
ketampanan pemuda yang baru saja menghalangi maksudnya.
Andini jadi tersenyum manis, lalu melenggang ringan
menghampiri pemuda itu. Tapi belum juga sampai, Panglima
Bayan Sudira sudah bangkit dan langsung menerjangnya.
"Mampus kau, perempuan edan...!" teriak Panglima Bayan
Sudira geram. "Hait... ! "
Andini melompat ke samping sambil mengirimkan satu
pukulan keras ke wajah Panglima Bayan Sudira.
Pukulan balasan itu tak terhindarkan lagi, karena saat itu
Panglima Bayan Sudira terlalu dihinggapi perasaan marah dan
malu yang luar biasa.
"Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.
Di saat kepalanya terdongak ke atas, Andini kembali
melayangkan pukulan tangan kanannya. Tapi pukulan itu
terhenti di tengah jalan, karena pemuda tampan itu
menangkap kepalan tangan Andini. Sesaat mereka saling
pandang. Kelengahan itu pun dimanfaatkan Panglima Bayan
Sudira. Dengan cepat disodokkan tangannya ke dada wanita
itu "Akh! Kurang ajar...!" pekik Andini keras.
Rasa sesak menghinggapi dada Andini. Tapi sesak itu
bukan karena pukulan Panglima Bayan Sudira, melainkan rasa
kecolongan. Saat itu dia tengah terpana akan ketampanan
pemuda yang menahan pukulannya tadi. Genggaman yang
sedang dinikmatinya itu dirusak oleh sodokan keras dari
Panglima Bayan Sudtra.
"Tua bangka! Kau pikir aku suka padamu. heh!?" dengus
Andinl berang. "Perempuan jalang! Iblis! Kau tidak bisa bersandiwara di
depan Gusti Prabu!" bentak Panglima Bayan Sudira.
"Gusti Prabu..."!" Andini terlongong seraya menatap
pemuda tampan yang berdiri di samping Panglima Bayan
Sudira. "Ampunkan hamba, Gusti. Hamba...."
Pemuda itu mengangkat tangannya, sehingga kata-kata
Panglima Bayan Sudira terhenti di tengah jalan. Pemuda itu
melangkah dua tindak ke depan.
Tatapan matanya tidak lepas ke arah wanita cantik di
depannya. Saat itu Andini juga tengah merayapi wajah
tampan itu. "Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Nisanak?" tanya
pemuda itu lembut
"Andini," sahut Andini menyebutkan namanya.
"Mungkin kedatanganku mengganggu kesenanganmu. Tapi
aku ada perlu dengan orang ini. Maaf...."
Setelah berkata demikian, pemuda tampan berbaju rompi
putih itu melesat pergi sambil menyambar tubuh Panglima
Bayan Sudira. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam waktu
sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Andini jadi
terlongong seperti orang kebingungan, tapi cepat tersadar dan
menghentakkan kakinya kesal.
"Setan belang! Sialan...!" makinya kesal.
Andini memaki-maki sambil menghentak-hentakkan
kakinya, seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangan.
Tidak lama kemudian dia sudah tenang, dan duduk menekur
di atas akar yang menonjol keluar dari dalam tanah.
Pandangannya tidak lepas ke arah pemuda tampan yang pergi
membawa Panglima Bayan Sudira tadi.
"Ah..., pemuda itu tampan sekali. Siapa dia ya...?" gumam
Andini pelan, bertanya pada dirinya sendiri.
Andini menyesal tidak sempat menanyakan nama pemuda
tampan itu. Dia begitu tertarik dengan ketampanan dan
kegagahannya, apalagi ketika merasakan genggaman tangan
pemuda itu. Meskipun bukan genggaman mesra, tapi Andini
dapat merasakan kehangatannya. Hatinya terkesan, tapi
penasaran. Siapa dia..." Lagi-lagi Andini bertanya sendiri
dalam hati. Oo-dw-ray-oO Panglima Bayan Sudira duduk bersila, sambil tertunduk
dalam tidak berapa jauh di depannya duduk seorang pemuda
tampan memakai baju rompi putih. Pedangnya yang
bergagang kepala burung tersembul di balik punggung.
Tatapan pemuda itu tidak lepas dari Panglima Bayan Sudira.
"Pandang aku, Paman," dingin nada suara pemuda itu.
"Ampunkan hamba, Gusti...," lirih suara Panglima Bayan
Sudira. Dicobanya untuk mengangkat kepala, tapi tak sanggup
untuk memandang mata pemuda yang ternyata adalah
Rangga. "Aku tahu, bukan kau yang menghendakinya. Hanya yang
ingin kutahu, kenapa kau tinggalkan istana?" Suara Rangga
terdengar bernada penyesalan.
"Hamba mendapat titah dari Maha Patih Lintuk, Gusti.
Hamba meninggalkan istana dengan sepuluh orang prajurit.
Tapi...," Panglima Bayan Sudira menghentikan kata-katanya.
"Hanya ada delapan prajurit yang tewas."
"Dua prajurit lagi sempat melarikan diri, Gusti."
"Lari..."! "
"Ampunkan hamba, Gusti."
"Ah, sudahlah. Sekarang katakan, apa yang diperintahkan
Patih Lintuk padamu?"
"Hamba diperintahkan untuk mencari Pusaka Keraton
Karang Setra. Di samping itu, hamba juga diperintahkan untuk
mencari Gusti untuk melaporkan kalau Pusaka Keraton Karang
Setra telah hilang."
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang dan dalam.
Dia tahu apa yang dimaksudkan Panglima Bayan Sudira.
Pusaka Itu merupakan lambang Kerajaan Karang Setra yang
dikeramatkan. Benda itu memang amat berharga bagi seluruh
rakyat Karang Setra. Rangga tidak mengerti, bagaimana
pusaka itu bisa hilang" Padahal pusaka itu selalu berada di
dinding di atas singgasana, dan selalu dijaga ketat oleh para
prajurit. Tidak ada seorang pun yang berani menyentuhnya.
Apalagi mengambilnya.
Sebenarnya pusaka itu hanya berbentuk lambang Kerajaan
Karang Setra, yang berbentuk segitiga. Ukurannya tidak begitu
besar dengan beberapa buah lingkaran di dalamnya. Pusaka
itu sudah ada sejak Kadipaten Karang Setra berdiri. Selama ini
tidak ada yang tahu siapa pembuatnya, dan apa keistimewaan
yang terkandung di dalam benda itu.
Rangga sendiri belum tahu secara jelas. Hanya saja seluruh
rakyat Karang Setra begitu mengeramatkannya. Memang
banyak cerita tentang benda pusaka itu. Tapi bagi Rangga,
semua cerita yang didengarnya terlalu dilebih-lebihkan. Sama
sekali tidak dipercaya kalau benda itu memiliki kekuatan yang
dapat membuat seseorang menjadi sakti dan kebal terhadap
segala jenis senjata beracun. Bahkan konon kabarnya, senjata
pusaka itu dapat membuat seseorang tidak akan terpengaruh
terhadap segala macam bentuk ajian kesaktian, bagaimana
pun tinggi dan dahsyatnya ajian kesaktian itu.
Tapi, hilangnya pusaka leluhur Karang Setra itu membuat
Rangga jadi berpikir juga. Dia memang sempat terkejut,
karena benda itu merupakan lambang kerajaan yang
dikeramatkan. Suatu lambang kejayaan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Karang Setra.
Seseorang yang berusaha melenyapkannya, bisa dianggap
penjahat kelas satu yang akan menghancurkan seluruh Karang
Setra. Bahkan orang itu harus mendapatkan hukuman mati!
Memang tidak tertulis, tapi peraturan itu sudah demikian
melekat di hati seluruh rakyat di Karang Setra.
"Paman, apakah benta ini sudah menyebar ke luar
lingkungan Istana?" tanya Rangga pelan.
"Hamba kira sudah, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Ampun, Gusti Prabu. Kami semua tidak mampu mencegah
bocornya berita itu. Seluruh rakyat kini gelisah dan marah."
"Kapan itu terjadi?" tanya Rangga datar.
"Lebih kurang tiga purnama yang lalu."
"Sudah tiga purnama..."!" Rangga terkejut setengah mati.
"Ampun, Gusti. Bukannya hamba dan yang lainnya tidak
mau mengabarkan cepat-cepat. Tapi kami semua tidak tahu,
di mana adanya Gusti. Kami sudah berusaha mencari, tapi
tidak juga diketemukan," jelas Panglima Bayan Sudira.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-
dalam. Memang, tidak perlu dicari kambing hitamnya. Dalam
pengembaraannya, memang sudah didengar kalau orang-
orang ribut membicarakan tentang pencarian benda pusaka
keramat dari Karang Setra. Rangga sendiri sebenarnya ingin
segera kembali ke Istana, tapi niatnya terhalang. Ternyata
didapat berita kalau pusaka itu ada di Kerajaan Jiwanala ini.
Dan sampai bertemu dengan Panglima Bayan Sudira ini, dia
belum menduga kalau benda yang diributkan banyak orang itu
adalah benda pusaka keramat, Lambang Kerajaan Karang
Setra. Memang di dalam ruang penyimpanan benda pusaka
istana, banyak terdapat pusaka-pusaka yang dikeramatkan.
Semula, Rangga mengira kalau salah satu dari pusaka yang
berada di dalam ruang penyimpanan itulah yang hilang.
Ternyata dugaannya salah besar. Bahkan mengejutkannya!
Kalau sampai lambang kerajaan hilang, itu bukan lagi
persoalan enteng! Ini menyangkut keutuhan dan kewibawaannya sebagai seorang raja besar.
"Paman, ceritakan bagaimana kejadiannya sampai pusaka
itu hilang," pinta Rangga.
"Baik, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira hormat
Oo-dw-ray-oO 4 "Sebenarnya ini bukan kesalahan siapa-siapa, Gusti Tapi
kesalahan hamba. Malam itu hamba terpaksa memerintahkan
beberapa prajurit penjaga Balai Sema Agung untuk meronda
keliling istana. Hanya tinggal empat orang prajurit saja yang


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersisa di Balai Sema Agung. Hamba memang mengurangi
penjagaan di sekitar istana, karena selama ini keadaan selalu
aman tanpa adanya gangguan sedikit pun...," Panglima Bayan
Sudira menghentikan ceritanya.
"Teruskan," pinta Rangga.
"Kebijaksanaan ini hamba keluarkan karena sebagian
prajurit sedang dikirim ke Kadipaten Sindang Lawu. Hamba
berpendapat, keamanan istana sudah cukup. Dengan
demikian penjagaan hamba kurangi, dan dipusatkan pada
tapal batas yang berhubungan langsung dengan Kadipaten
Sindang Lawu," lanjut Panglima Bayan Sudira.
"Hm.... Apa yang terjadi di Kadipaten Sindang Lawu?"
tanya Rangga. "Hanya kekacauan kecil saja, Gusti," sahut Panglima Bayan
Sudira. "Kekacauan kecil" Dan kau kirim sebagian prajurit ke sana
sehingga mengurangi penjagaan di istana! Itu yang
dinamakan kekacauan kecil..."!" Rangga menggeleng-
gelengkan kepalanya
tidak mengerti terhadap sikap
panglimanya ini.
"Ampun, Gusti. Sebenarnya kekacauan itu tidaklah berat
untuk ditangani kalau saja...."
"Apa?" desak Rangga.
"Kalau saja tidak ditunggangi dua orang yang berilmu
sangat tinggi," lanjut Panglima Bayan Sudira.
"Siapa mereka?"
"Sepasang Naga Hitam."
"Sepasang Naga Hitam...," gumam Rangga pelan.
"Gusti sudah bertemu dengan salah seorang dari mereka."
Rangga menatap tajam pada Panglima Bayan Sudira.
"Wanita yang bernama Andini dan hampir mempermalukan
hamba tadi adalah salah seorang dari Sepasang Naga Hitam,"
jelas Panglima Bayan Sudira.
"O...!" Rangga agak terkejut juga mendengarnya.
"Para pengikutnya berhasil ditumpas. Hamba tidak
menyangka kalau mereka mengikuti ke mana hamba pergi.
Hanya tinggal mereka berdua saja, tapi...," lagi-lagi Panglima
Bayan Sudira berhenti sebelum kalimatnya selesai.
"Tapi kenapa?" desak Rangga.
"Mereka ternyata mengetahui tentang pusaka itu, dan
menginginkannya, Gusti."
"Ahhh...!" kembali Rangga terkejut dan mendesah panjang.
"Bukan hanya mereka, bahkan beberapa tokoh hitam juga
sudah mendengarnya. Mereka kini berusaha untuk mendapatkan pusaka itu. Hamba tidak tahu, dari mana
mereka dengar, dan untuk apa menginginkan pusaka itu,
Gusti." Rangga terdiam dan mendesah panjang beberapa kali. Kini
persoalannya memang menjadi semakin serius. Pusaka leluhur
Karang Setra tidak boleh jatuh ke tangan orang yang sesat.
Jelas, hal itu bisa membuat kehancuran bagt seluruh rakyat
Karang Setra, bahkan bisa meluas lebih jauh lagi. Orang yang
menguasai pusaka itu akan memanfaatkannya untuk
kepentingan pribadi dan menguasai seluruh dunia persilatan.
Itu pun kalau memang benar pusaka leluhur Karang Setra
memiliki kesaktian yang luar biasa. Sedangkan selama ini
belum terbukti kesaktian itu.
Rangga bangkit berdiri dan melangkah menuju ke sebuah
sungai kecil yang tidak jauh dari tempat itu. Sungai tersebut
berair jernih dan tidak begitu dalam, sehingga bagian
dasarnya jelas terlihat Rangga jongkok di tepi sungai dan
membasuh wajahnya dengan air yang sejuk itu.
Sebentar dipandangi wajahnya di permukaan air sungai itu,
kemudian bangkit berdiri dan berbalik.
Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila di
tempatnya. Rangga melangkah
menghampirinya,
dan menepuk pundak panglima itu.
"Berdirilah," ucap Rangga lembut.
"Hamba, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira seraya
memberi sembah, lalu bangkit berdiri.
"Kau tentu membawa kuda," kata Rangga.
"Benar, Gusti. Tapi kuda-kuda itu mungkin masih berada di
tepi hutan," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Hm..," Rangga bergumam dan melangkah perlahan-lahan.
Panglima Bayan Sudira mengikutnya dari belakang. T angan
Rangga memberi isyarat agar Panglima Bayan Sudira berjalan
di sampingnya. Laki-laki hampir setengah baya itu
mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Kau bawa pakaian ganti, Paman?" tanya Rangga sambil
tetap melangkah.
"Bawa, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Tapi semuanya ada di punggung kuda. Bahkan hamba
juga membawa kuda Dewa Bayu."
"Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kabur dan kau bisa
mengganti pakaian dengan yang biasa. Rasanya pakaianmu
terlalu menyolok."
"Hamba, Gusti."
"Satu lagi. Sebaiknya kau tidak memanggilku Gusti. Panggil
saja aku Rangga, " pinta Rangga.
"Gusti... !" Panglima Bayan Sudira terkejut.
"Gerakan kita tidak akan bebas kalau kau tetap
memanggilku seperti itu. Dan lagi pakaianmu terlalu menyolok
kalau kau seorang panglima perang Kerajaan Karang Setra."
"Hamba, Gusti," ucap Panglima Bayan Sudira mengerti.
"Aku tetap akan memanggilmu paman. Dan kau harus
memanggilku Rangga saja, tanpa ada sebutan lain."
"Baik, Gusti..., eh, Rangga. "
"Bagus! Sebaiknya kita cepat-cepat ke tepi hutan. Mudah-
mudahan kuda-kudamu masih ada di sana.
"Baik, Rangga , " Panglima Bayan Sudira mulai
membiasakan diri memanggil junjungannya dengan nama kecil
saja. Rangga tersenyum senang. T api di balik semua itu hatinya
tidak tenteram. Apa yang telah dikatakan panglimanya itu
membuat kepalanya terasa akan pecah. Kini perhatiannya
harus dikhususkan pada pusaka Karang Setra yang hilang.
Dan sementara itu sudah banyak tokoh rimba persilatan yang
mengetahuinya. Pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan orang
lain. Dan ini memang tidak boleh terjadi!
Oo-dw-ray-oO Untungnya kuda-kuda yang ditinggalkan masih ada, dan
tengah merumput dengan tenang. Panglima Bayan Sudira
mengganti pakaiannya dengan yang biasa dipakai orang
kebanyakan. Dia juga mengenakan topi anyaman daun
pandan yang cukup lebar, sehingga hampir menutupi.
wajahnya. Sementara itu Rangga memandangi mayat-mayat prajuritnya yang terbujur tak tentu arah. Keadaan mereka
memang sangat menyedihkan! Bahkan sebagian tengah
dikeroyok burung pemakan bangkai!
Burung-burung seperti itu memang selalu cepat datang bila
mencium bau darah. Rangga tidak tahan me lihatnya,
meskipun sering melihat pemandangan seperti itu. T api kali ini
sungguh lain. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, lalu
menghampiri seekor kuda hitam berkilat yang tinggi dan
tegap. Kuda itu berjingkrak dan meringkik melihat majikannya
menghampiri. "Kita bersama lagi, Hitam," ucap Rangga seraya menepuk-
nepuk leher kuda itu.
Kuda hitam itu meringkik dan mengangguk-anggukkan
kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang dikatakan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Rangga memeluk kepala kuda itu, dan
memegang tali kekangnya.
Dengan satu lompatan yang indah, dia naik ke
punggungnya. Kembali kuda itu meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya.
"Kita berangkat sekarang, Paman," kata Rangga seraya
melirik Pada Paman Bayan Sudira yang sudah berada di atas
punggung kudanya.
"Ke mana arahnya?" tanya Bayan Sudira.
"Ke Kerajaan Jiwanala,"
jawab Rangga seraya menghentakkan tali kekang kuda nya.
Kuda hitam itu melangkah perlahan-lahan. Paman Bayan
Sudira Juga menghentakkan tali kekang kudanya, dan
mensejajarkannya di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan menuju ke Kerajaan
Jiwanaia. "Kenapa harus ke Jiwanala, Rangga?" tanya Bayan Sudira
yang sudah terbiasa mengucapkan nama itu.
"Tadi kau katakan, si Kumbang Merah mencegat dan
melarangmu ke sana. Bukan begitu, Paman?"
"Benar."
"Nah, aku rasa dari sanalah kita harus memulainya. Hm...,
aku sendiri pernah mendengar kalau pusaka itu berada di
Jiwanala. "
"Kau pernah mendengar juga" Jadi...!" Paman Bayan
Sudira terperanjat.
"Ya! Aku memang sudah mendengar adanya pusaka yang
hilang dari Karang Setra. Tapi tidak kusangka kalau lambang
kerajaan yang hilang."
"Sebenarnya aku juga sudah mendengar kalau pusaka itu
ada di sana. Dan Gus..., eh, kau juga ada di sana," Paman
Bayan Sudira hampir terselip lidahnya.
"Ingat, Paman. Kita sedang berada di luar istana," Rangga
mengingatkan. "Maaf," ucap Bayan Sudira.
"Aku memang sudah lama berada di sana," kata Rangga
memberitahu. "Benar Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah mengatakan
demikian."
"Jadi, kau sudah menemui Prabu Duta Nitiyasa?"
Rangga terkejut.
"Maaf, ham..., eh aku tidak punya pilihan lain. Aku
menceritakan semuanya tentang diri...."
"Ah, sudahlah," potong Rangga cepat. "Lidahmu bisa
terselip terus nanti."
Bayan Sudira tersenyum tipis, tapi cukup senang karena
Rangga tidak marah dan bisa memakluminya.
Mereka terus mengendarai kuda perlahan-lahan dan tidak
terburu-buru. Sepanjang perjalanan ada saja yang dibicarakan. Tapi kebanyakan Rangga yang bertanya. Sesekali,
Paman Bayan Sudira masih salah memanggil. Namun lama
kelamaan terbiasa juga, meskipun setiap kali menyebut nama
Rangga selalu terselip perasaan tidak enak di dalam hatinya.
Betapa tidak" Dia harus memanggil nama asli junjungannya
tanpa ada panggilan kehormatan!
Paman Bayan Sudira jadi teringat ketika pertama kali
bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia juga
memanggil Rangga dengan nama saja. Tapi saat itu dia tidak
tahu, siapa Rangga sebenarnya yang muncul dengan nama
Pendekar Rajawali Sakti. Memang menyenangkan saat itu.
Tapi kali ini terasa kaku, meskipun Rangga selalu bersikap
biasa saja. Hanya perasaan Paman Bayan Sudira saja yang
tidak enak. "Kenapa diam...?" tegur Rangga.
"Ah, tidak.... Aku jadi ingat ketika pertama kali bertemu,"
sahut Paman Bayan Sudira.
"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak. "Ya, saat
itu kau gugup sekali begitu mengetahui diriku sesungguhnya,
Paman. Padahal aku sendiri tidak ingin semua orang tahu
tentang diriku. "
"Tapi kemunculanmu membawa perubahan besar bagi
seluruh rakyat Karang Setra."
"Ah! Itu masa lalu, Paman," Rangga ingin membuang
kenang-kenangan itu.
"Masa lalu yang indah dan menyenangkan."
Rangga tersenyum getir. Dia jadi teringat akan seorang
gadis yang pertama dicintai dan membuka pintu hatinya,
namun cepat-cepat dienyahkan kenangan itu. Rasanya tidak
ingin lagi larut dalam kenangan. Baginya masa lalu bukan
untuk dikenang, tapi untuk dilupakan. Karena masa lalu itulah
singgasananya harus ditinggalkan untuk mengembara dari
satu desa ke desa lain. Keluar masuk hutan tanpa tujuan yang
pasti. Satu perjalanan panjang dan melelahkan.
"Maaf, kalau aku membuatmu murung," ucap Paman Bayan
Sudira. "Ah...!" Rangga hanya mendesah panjang.
"Apa yang akan kita lakukan di Jiwanala?" tanya Paman
Bayan Sudira mengembalikan pada pokok persoalannya.
"Yang jelas, hindarilah pertemuan dengan Prabu Duta
Nitiyasa, " sahut Ra ngga.
"Kenapa?" tanya Paman Bayan Sudira.
"Sebab bisa membatasi ruang gerak kita, Paman. Jika kita
berhubungan dengan orang-orang istana, pasti akan
menyulitkan. Terus terang, aku selalu menghindari hubungan
dengan orang pemerintahan jika menyelesaikan suatu


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah. Kau akan mengerti nanti, Paman," Rangga mencoba
menjelaskan. "Aku mengerti, Rangga."
"Aku punya tempat yang lumayan. Orangnya baik dan bisa
dipercaya. Selama berada di sini aku tinggal di rumahnya,"
jelas Rangga. "Rumah penginapan?" tebak Paman Bayan Sudira.
"Ya. Tapi cukup tenang dan nyaman. Tidak terlalu banyak
yang datang ke sana."
Paman Bayan Sudira mengangguk-anggukkan kepalanya.
Di mana pun mereka menetap sementara, pasti akan dituruti.
Sementara itu kuda mereka sudah memasuki pintu gerbang
perbatasan. Dua orang prajurit penjaga perbatasan hanya
memperhatikan saja tanpa menegur sama sekali. Dua ekor
kuda itu terus berjalan perlahan-lahan. Tidak ada yang
memperhatikan. Dan memang, kedua orang itu sama sekali
tidak meyolok. Mereka seperti layaknya para pendatang lain
yang hanya singgah sebentar, atau menetap beberapa hari.
Kerajaan di pesisir pantai ini memang sering didatangi
pendatang. Dan itu sangat memudahkan Rangga dan Paman
Bayan Sudira. Oo-dw-ray-oO Rangga dan Paman Bayan Sudira yang baru saja
menambatkan kudanya di bawah pohon kenanga menjadi
terkejut, karena Ki Jantar berlari-lari kecil menghampirinya.
Kedai laki-laki tua itu kelihatan ramai dikunjungi orang.
Bahkan rumah penginapan yang berada di samping kedai itu
dipenuhi pendatang. Rangga tersenyum menyambut laki-laki
tua itu. "Celaka, Den.... Aduh celaka...," ujar Ki Jantar dengan
mimik wajahnya tampak cemas.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Baru saja mereka pergi. Mereka mencari Raden," jelas Ki
Jantar. "Mereka siapa?" tanya Paman Bayan Sudira.
Ki Jantar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap
Paman Bayan Sudira penuh curiga. Rangga tahu itu maka
ditepuknya pundak Paman Bayan Sudira seraya tersenyum.
"Ini pamanku, Ki," kata Rangga memperkenalkan.
"Oh...," Ki Jantar mendesah lega.
"Siapa mereka, Ki?" Rangga mengulangi pertanyaan Paman
Bayan Sudira. "Aku tidak tahu namanya. Mereka dua orang, Den. Masih
muda-muda. Tapi galaknya minta ampun."
"Iya siapa mereka?" Paman Bayan Sudira tidak sabaran.
"Seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan. Baju
mereka kuning gading dan membawa pedang bergagang
seperti tanduk kerbau. Mereka mencari Raden...," jelas Ki
Jantar. "Sepasang Naga Hitam...," desis Paman Bayan Sudira
pelan. Begitu pelannya sampai tidak terdengar.
"Mereka membuat keributan, Ki?" tanya Rangga.
"Tidak. Tapi sempat mengancam dan akan datang
kembali," sahut Ki Jantar.
"Bagaimana, Rangga?" tanya Paman Bayan Sudira.
"Sebaiknya kita tunggu di sini," sahut Rangga.
"Den.., " suara Ki Jantar bergetar.
"Tenang saja, Ki. Aku tidak akan membuat keributan.
Kalaupun terpaksa, bukan di sini tempatnya," janji Rangga.
"Aku takut, Raden akan celaka."
Rangga tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua itu,
kemudian diajaknya Paman Bayan Sudira.
Rangga juga meminta kamar satu lagi yang bersebelahan
dengan kamarnya. Ki Jantar menyanggupi, dan bergegas ke
rumah penginapannya. Sementara Rangga dan Paman Bayan
Sudira menuju ke kedai.
Semua pelayan di kedai itu sudah mengenal Pendekar
Rajawali Sakti, dan langsung menyediakan makanan dan
minuman tanpa dipesan lagi. Rangga sengaja memilih tempat
dekat jendela yang langsung menghadap ke luar. Sambil
makan, matanya selalu memandangi orang-orang yang berada
di dalam kedai itu. Hal yang sama juga dilakukan Paman
Bayan Sudira. "Mereka sepertinya
dari...," Paman Bayan Sudira
menghentikan kalimatnya ketika melihat seorang laki-laki tua
yang duduk di sudut kedai agak jauh darinya.
"Ada apa, Paman?" tanya Rangga seraya mengarahkan
pandangan yang sama.
Di sudut, tampak seorang laki-laki tua berpakaian rapi,
bersih dan berwarna biru. Dilihat dari cara berpakaian,
sepertinya seorang bangsawan. Wajahnya pun kelihatan
ramah, dan selalu menyunggingkan senyum. Semua orang
pasti akan menduga kalau kakek itu adalah seorang
bangsawan, atau paling tidak pemimpin sebuah padepokan
besar. "Kau mengenalnya, Paman?" tanya Rangga seraya menoleh
pada Paman Bayan Sudira.
"Orang itulah yang dijuluki Kakek Pesolek Pemetik Bunga,"
sahut Paman Bayan Sudira pelan setengah berbisik.
Hampir saja Rangga tertawa mendengar julukan orang tua
itu. Memang, kakek itu berpakaian cukup rapi, dan rambutnya
tertata apik. Cukup pantas kalau disebut pesolek. Tapi, kata
pemetik bunga itulah yang membuat Ranga harus menahan
gelitik di tenggorokannya.
"Aku tidak melihatnya membawa bunga, Paman," kata
Rangga sambil menahan tawanya.
"Memang tidak ada bunga, itu hanya perlambang saja.
Bunga diartikan gadis muda."
"Oh...!" Rangga tersentak kaget. Kembali dipandangi wajah
kakek tua yang masih tetap duduk tenang di sudut kedai.
Belum juga sempat Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir
jauh, mendadak sebuah benda melesat cepat ke arahnya dan
menancap di tengah-tengah meja kayu. Rangga dan Paman
Bayan Sudira tersentak kaget. dan hampir bangkit dari tempat
duduknya. Tatapan mereka langsung tertuju pada sebatang mata
tombak yang tertancap di meja mereka. Segulung daun lontar
terikat pada mata tombak itu.
Paman Bayan Sudira mengambil benda itu dan membuka
gulungan daun lontarnya. Sebentar dibaca tulisan yang tertera
di daun lontar itu, kemudian diserahkannya pada Rangga.
Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu terbeliak begitu
membaca tulisan yang tertera pada daun lontar. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Sementara itu
Paman Bayan Sudira mengamati mata tombak di dalam
genggaman tangannya.
"Macan Gunung Sumbing..., " desis Paman Bayan Sudira.
"Siapa dia, Paman?" tanya Rangga menatap pada
panglimanya. "Sebaiknya kita keluar dari sini. Hm..., rupanya mereka
sudah berada di sini semuanya," kata Paman Bayan Sudira
setengah bergumam.
Rangga ingin bertanya lagi, tapi Paman Bayan Sudira sudah
bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar. Pendekar
Rajawali Sakti itu meletakkan beberapa keping uang logam,
lalu ikut melangkah keluar dari dalam kedai ini.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita tua yang
memakai baju warna jingga juga melangkah ke luar, diikuti
Kakek Pesolek Pemetik Bunga Kemudian beberapa orang lagi
mengikuti ke luar. Sementara Ki Jantar yang memperhatikan
semua itu dari balik mejanya, hanya bisa bengong tidak
mengerti. Sebentar saja kedainya jadi sepi kembali. Tinggal
beberapa orang saja yang masih menikmati hidangannya. Itu
pun hanya penduduk di sekitar kedai itu. Semua pendatang
dari luar kerajaan, sudah meninggalkan kedai tanpa berkata-
kata sedikit pun.
O0-dw-ray-oO 5 Rangga memandangi dataran rumput luas yang membentang di depannya. Padang rumput ini dikelilingi bukit
yang menjulang tersaput awan. Kembali dipandangi daun
lontar yang masih berada dalam genggamannya. Dari tulisan
yang tertera pada daun lontar itu, mengatakan kalau dirinya
ditunggu di padang rumput ini.
"Pintar sekali dia memilih tempat...," gumam Paman Bayan
Sudira, seolah-olah berbicara untuk dirinya sendiri.
Rangga menatap dalam-dalam wajah Paman Bayan Sudira.
Yang ditatap buru-buru membungkukkan tubuhnya memberi
hormat Rangga kembali mengalihkan pandangannya pada
padang rumput di depannya.
"Apa maksud kata-katamu, Paman?" tanya Rangga tanpa
menoleh. Belum sempat Paman Bayan Sudira menjawab, tiba-tiba
terdengar suara mengaum yang sangat keras menggetarkan.
Paman Bayan Sudira menggeser kakinya mendekati Pendekar
Rajawali Sakti. Sudah bisa diketahui, siapa yang bakal datang
menemui mereka.
Sementara Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Auman itu demikian keras dan mengejutkan.
Namun sukar diduga, dari mana datangnya.
Belum lagi Rangga bisa menentukan arah datangnya suara
tadi, mendadak saja beberapa mata tombak hitam meluncur
deras ke arahnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga
membuat Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Bayan Sudira
Sepasang Naga Penakluk Iblis 9 Dewi Ular Lorong Tembus Kubur Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15
^