Pencarian

Macan Gunung Sumbing 2

Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing Bagian 2


Bahkan bibirnya tersenyum begitu mendapati Dewi
Tanjung masih berada di tempatnya semula, tanpa
bergerak sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti itu juga bisa mengetahui tempat-
tempat yang dijaga murid-murid Padepokan Gunung Opak.
"Hhh...! Jangan-jangan dia tahu kalau malam ini
ada penjagaan yang cukup ketat juga," gumam Rangga
dalam hati. Sudah cukup lama juga Rangga berada di angkasa
bersama Rajawali Putih, tapi tidak ada tanda-tanda
sedikit pun kalau Macan Gunung Sumbing bakal
keluar malam ini. Akhirnya Rangga memutuskan
untuk menghentikan saja usahanya malam ini. Dia
yakin kalau Macan Gunung Sumbing tidak bodoh,
nekad ke luar dari persembunyian dalam suasana
tidak menguntungkan bagi dirinya ini.
Pendekar Rajawali Sakti meminta Rajawali Putih
untuk kembali ke hutan. Burung itu langsung melesat tepat ke arah semula, dan
mendarat mulus di tanah
berumput tebal. Rangga berpesan agar Rajawali Putih tidak pergi jauh-jauh,
karena masih dibutuhkan kelak.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti langsung kembali
menemui Dewi Tanjung yang masih berada di tempat
persembunyiannya.
*** Tiga malam berturut-turut Rangga memutari Desa
Weru bersama Rajawali Putih. Tapi selama itu tidak
terlihat Macan Gunung Sumbing keluar dari
persembunyiannya. Juga tidak ada lagi korban yang
jatuh. Lain yang dilakukan Rangga, lain pula yang
terjadi pada Paman Waku. Kakaknya yang bernama
Bakor merasa kalau Macan Gunung Sumbing tidak
akan muncul lagi. Makanya dia kini kembali ke
padepokannya di Gunung Opak.
Tapi Paman Waku tetap yakin kalau Macan
Gunung Sumbing masih berada di sekitar Desa Weru
ini. Sedangkan lain lagi yang ada di benak Eyang
Ganjur. Orang tua ini malah tidak percaya kalau itu perbuatan Macan Gunung
Sumbing. Dugaannya,
semua itu adalah perbuatan seorang wanita yang
berhasil lolos saat digerebek. Lolosnya wanita itu
waktunya bersamaan dengan ketidakmunculan Macan
Gunung Sumbing lagi. Bukan hanya Eyang Ganjur
yang menduga seperti itu, Ki Gedag dan Argayuda pun juga yakin wanita yang
menginap di rumah
penginapan Ki Raga adalah pelaku dari semua
pembantaian keji ini.
Ini adalah malam keempat, pelaku pembantaian
keji itu belum menampakkan diri lagi. Sedangkan
Bakor dan murid-muridnya sudah kembali ke Gunung
Opak. Desa Weru kembali terselimut kesunyian dan
kecemasan akan munculnya pembunuh berdarah
dingin itu. Malam juga demikian larut, tapi Paman
Waku belum juga bisa memejamkan matanya. Dia
masih memikirkan pelaku pembantaian keji yang
sekarang menghilang entah ke mana.
"Hhh...! Tidak ada yang bisa kulakukan di kamar
ini. Aku harus mencari keterangan, siapa sebenarnya pelaku berdarah dingin itu.
Apakah Macan Gunung
Sumbing, atau orang lain" Hhh! Keluargaku bisa habis kalau didiamkan terus
begini," bisik kata hati Paman Waku.
"Aummm...!"
"Heh...!"
Tiba-tiba Paman Waku tersentak kaget ketika
mendengar auman harimau. Dia langsung melompat
bangkit dari pembaringannya. Auman itu demikian
jelas terdengar, seakan-akan begitu dekat berada di dalam rumah ini.
"Aaakh...!"
Belum lagi Paman Waku bisa berpikir, terdengar
jeritan panjang melengking disusul suara geraman
harimau. "Eyang...!"
Paman Waku langsung melompat menerjang pintu
hingga hancur berantakan, dan terus berlari menuju
kamar kakeknya. Hampir-hampir tidak dipercaya de-
ngan apa yang dilihatnya, begitu sampai di kamar itu keadaannya sudah berantakan
seperti baru saja terjadi pertempuran. Paman Waku tersentak. Telinganya
mendengar suara-suara ribut di bagian belakang rumah
ini. Dia langsung memburu cepat ke arah suara yang
didengarnya. "Eyang...!" pekik Paman Waku begitu sampai di
depan pintu halaman belakang rumah.
Tampaklah di situ, Eyang Ganjur tengah
bertarung melawan seekor harimau sebesar anak
kerbau! Paman Waku langsung melompat hendak
membantu, tapi pada saat itu satu sampokan cakar
harimau merobek leher Eyang Ganjur.
"Aaakh...!" Eyang Ganjur memekik keras.
Tubuhnya langsung limbung. Sekujur tubuhnya telah
berlumuran darah, dan bajunya cabik-cabik tercakar
binatang buas itu. Paman Waku cepat
menghantamkan kakinya ke tubuh harimau yang
tengah mengangkangi Eyang Ganjur.
Duk! Satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi, membuat harimau itu terpental. Namun
begitu kakinya menyentuh tanah, binatang itu
langsung melompat menerkam Paman Waku.
"Hait..!"
Paman Waku berkelit mengegoskan tubuhnya ke
samping, dan cepat mengirimkan satu pukulan keras
bertenaga dalam penuh. Pukulan itu menghunjam
tepat di bagian perut binatang buas itu. Namun Paman Waku jadi terperanjat,
karena dirasakan seperti
memukul segumpal kapuk yang membal. Pukulannya
terpental dan berbalik
Paman Waku langsung melompat mundur, dan
masih sempat melirik Eyang Ganjur yang menggeletak
tidak bergerak. Seluruh tubuh laki-laki tua itu sudah tercabik dan berlumuran
darah. Sementara harimau
besar itu sudah menerkam kembali sambil mengaum
keras. "Hup! Hiya...! Hiyaaa...!"
Laki-laki setengah baya itu cepat melentingkan
tubuhnya ke udara, dan langsung menukik
menghantamkan tiga kali pukulan beruntun ke tubuh
harimau itu. Satu pun pukulannya tidak ada yang
meleset, tapi harimau itu malah semakin liar dan
ganas. Binatang itu cepat berbalik begitu menyentuh tanah, dan kembali menyerang
lebih ganas lagi. Paman Waku terpaksa berjumpalitan menghindari serangan
yang cepat dan tidak kenal menyerah itu. Beberapa
pukulan dan tendangan bersarang di tubuh harimau
itu, tapi tak ada satu pun yang berarti.
Memang hampir tidak dapat dipercaya. Bahkan
Paman Waku sendiri sampai tidak habis pikir terhadap binatang itu. Padahal sudah
dikerahkan seluruh
tenaga dalamnya setiap kali memukul atau
menendang. Tapi harimau itu sama sekali tidak
menderita luka, bahkan semakin bertambah ganas
saja. "Graugh...!"
Sambil meraung keras, harimau itu melompat se-
raya mengibaskan kaki depannya. Paman Waku ber-
usaha menghindar dengan membanting tubuhnya ke
tanah. Tapi kibasan cakar harimau itu masih sempat
menyambar bahu kirinya.
"Akh!" Paman Waku terpekik tertahan.
Sambil melompat bangkit, laki-laki setengah baya
itu memegangi pundak kirinya. Darah merembes se-
perti anak sungai. Luka cakaran itu cukup dalam dan terasa pedih. Belum lagi
Paman Waku bisa
menghilangkan rasa perih pada bahu kirinya, harimau itu kembali menerjang ganas.
"Uh, mati aku...!" dengus Paman Waku dalam
hati. Dan pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat
cepat memapak terjangan
harimau itu. Satu raungan keras terdengar, dan
harimau itu terpental balik ke belakang. Tubuhnya
menghantam tembok hingga hancur berantakan.
Hebatnya, harimau itu masih juga mampu bangkit dan
menggerung-gerung marah. Matanya merah menatap
tajam pemuda tampan berbaju rompi putih yang tahu-
tahu sudah berdiri di depan Paman Waku.
"Auuummm...!"
Tiba-tiba terdengar suara mengaum yang keras.
Kelihatannya binatang buas itu akan membalas. Tiba-
tiba dia meloncat tinggi hingga melewati kepala
pemuda itu dan Paman Waku. Lompatannya begitu
cepat, sehingga lenyap seketika di balik pagar tembok yang cukup tinggi di
bagian belakang. Paman Waku
langsung berlari menghampiri Eyang Ganjur.
"Eyang...," lirih suara Paman Waku.
Tapi Eyang Ganjur tidak bisa bergerak lagi. Luka-
luka akibat cakaran harimau membuat nyawanya
melayang. Darah menggenang di sekitar tubuhnya. Pa-
man Waku tidak bisa lagi berbuat banyak. Dia hanya
mampu berdiri sambil menahan kesedihan dan rasa
amarahnya. Diangkat kepalanya, maka terlihatlah se-
raut wajah tampan yang tahu-tahu sudah berada di
depannya. Entah kapan pemuda itu berpindah tempat.
*** Paman Waku masih berdiri mematung di samping
pusara Eyang Ganjur. Sebagian besar orang yang
mengantar ke pemakaman segera pulang ke rumahnya
masing-masing begitu pemakaman selesai. Di situ
tinggal Paman Waku, Ki Gedag, Argayuda, dan Rangga
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Paman Waku baru mengangkat kepalanya begitu dira-
sakan tepukan halus pada bahu kanannya. Balutan
merah bernoda darah masih melekat di bahu kirinya.
"Ayo, kita pulang," ajak Ki Gedag pelan.
"Hhh...!" Paman Waku menarik napas panjang.
Laki-laki setengah baya itu menatap Rangga yang
berada tepat di depannya. Kakinya melangkah
memutari pusara itu, dan segera menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya pemuda itu dan diulurkan tangannya.
Rangga menerimanya
dengan bibir menyunggingkan senyuman.
"Maaf, aku telah menduga buruk padamu," ucap
Paman Waku lirih.
"Lupakan," sahut Rangga.
Paman Waku melangkah pergi diiringi Pendekar
Rajawali Sakti yang mensejajarkan langkahnya di samping kanan laki-laki tua itu.
Di belakang mereka
berjalan Ki Gedag dan Argayuda. Mereka tidak ada
yang berbicara sampai memasuki Desa Weru yang kini
semakin terasa sunyi senyap.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku tengah dise-
rang semalam?" tanya Paman Waku setelah sekian
lama membisu. "Hanya kebetulan saja aku lewat," sahut Rangga.
Tentu saja tidak mungkin dikatakan yang sebenarnya.
Padahal semalam Rangga berada di udara bersama
Rajawali Putih. Tiap malam dia memang meronda di
atas Desa Weru, dan baru semalam bisa bertemu
binatang peliharaan Macan Gunung Sumbing. Itu pun
kedatangannya sudah terlambat, sehingga nyawa
Eyang Ganjur tidak bisa tertolong lagi.
"Sulit kupercaya kalau dia masih menyimpan
dendam," desah Paman Waku lirih.
"Maaf. Dendam apa, Paman?" tanya Rangga ingin
tahu. "Dulu antara aku dan Macan Gunung Sumbing
pernah bertarung. Dia berhasil kukalahkan. Hhh...,
waktu memang bisa merubah segalanya. Begitu cepat
dan pesatnya kemajuan yang dimiliki. Dan harimau
itu.... Padahal dulu belum memilikinya, atau mungkin sudah. Aku sendiri tidak
mengerti."
"Kapan itu terjadi?" tanya Rangga.
"Dua puluh tahun yang lalu."
"Dua puluh tahun..., waktu yang cukup panjang
untuk meningkatkan ilmu," gumam Rangga.
"Kudengar, kau juga pernah bentrok dengannya.
Benar?" tanya Paman Waku.
"Ya, beberapa purnama yang lalu," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang sudah
menceritakan pengalaman dirinya yang pernah bentrok dengan Macan Gunung Sumbing
pada Ki Gedag (Baca:
Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah "Kemelut Pusaka Leluhur"). Dan
mungkin Ki Gedag sudah
bercerita kembali pada Paman Waku.
"Bagaimana kau bisa mengalahkannya?" tanya
Paman Waku lagi ingin tahu.
"Aku tidak mengalahkannya. Hanya bentrokan
kecil saja," sahut Rangga jujur.
"Hhh...! Sepertinya dia tidak ingin bentrok lagi denganmu, Pendekar Rajawali
Sakti." "Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga. Dia
memang lebih senang dipanggil namanya saja,
daripada dipanggil julukannya.
Paman Waku tersenyum. Kakinya berhenti
melangkah dan berbalik menghadap pada Ki Gedag
dan Argayuda yang ikut berhenti melangkah. Rangga
juga ikut berhenti. Sesaat tidak ada yang bicara lagi.
"Ki Gedag, bagaimana dengan pengungsian
keluargaku yang lain?" tanya Paman Waku.
"Semua berjalan lancar, dan sekarang sudah ada
di Padepokan Gunung Opak," sahut Ki Gedag.
"Mudah-mudahan Macan Gunung Sumbing tidak
sampai ke sana," desah Paman Waku.
"Sebaiknya kau juga segera ke sana, Waku," usul
Ki Gedag menyarankan.


Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Ki. Aku harus tetap di sini. Apa pun yang
terjadi, akan kuhadapi. Macan Gunung Sumbing ha-
nya memerlukan diriku, bukan yang lain. Dia
membantai sanak saudaraku hanya untuk membuat
jiwaku goncang dan melemahkan semangatku. Hm,
rencana yang keji!"
"Kau akan menghadapinya?" tanya Ki Gedag
bernada khawatir.
"Tentu! Akan kutantang dia seperti dua puluh
tahun yang lalu," sahut Paman Waku tegas.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras
menggelegar. Dan belum lagi hilang suara tawa itu,
muncul sesosok tubuh tinggi tegap berwajah penuh
brewok. Di sampingnya, berdiri tegak seekor harimau besar.
Paman Waku, Ki Gedag, dan Argayuda terkejut
bukan main. Tapi Rangga kelihatan tenang, bahkan
malah mendongak ke atas sedikit. Bibirnya tersenyum
melihat Rajawali Putih masih melayang di angkasa
hampir tertutup awan.
"Macan Gunung Sumbing...," desis Paman Waku.
"Kau masih mengenalku, Waku?" sinis nada suara
Macan Gunung Sumbing.
"Perbuatanmu sudah kelewat batas, Macan
Gunung Sumbing!" dengus Paman Waku menggeram.
"Ha ha ha...! Tidakkah kau ingat sumpahku,
Waku" Atau sengaja melupakannya" Bukan hanya
padamu, tapi seluruh lawan-lawanku. Dan sebagian
sudah binasa!"
"Kejam...!" desis Paman Waku.
Tentu saja laki-laki setengah baya itu tidak bisa
melupakan sumpah Macan Gunung Sumbing, sesaat
setelah dikalahkan dua puluh tahun yang lalu. Macan Gunung Sumbing bersumpah
akan datang lagi menun-tut kekalahannya. Bukan saja pada mereka yang
pernah berurusan dengannya, tapi seluruh keluarga,
dan sanak saudara harus mati. Dan sumpah itu
diucapkan juga pada lawan-lawannya yang pernah
mengalahkannya dalam pertarungan.
"Dan kau juga, Pendekar Rajawali Sakti," Macan
Gunung Sumbing menuding Rangga dengan jari
telunjuknya yang berkuku hitam dan runcing.
"Pertarungan kita belum selesai, dan tunggulah
giliranmu. Tapi karena kau sudah berada di sini, maka nyawamu sudah sampai di
tenggorokan!"
"Kita lihat, siapa yang lebih dahulu terbang ke ne-
raka!" tantang Rangga dingin.
"Ha ha ha...! Bagus...! Aku senang mendengar
tantangan itu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
tunggulah, akan datang saatnya untukmu!" sambut
Macan Gunung Sumbing. "Hm..., mana satu lagi"!
Gadis sombong yang coba-coba ingin menantangku!"
"Tidak perlu kau tanyakan! Aku sanggup mewakili
semuanya!" ujar Rangga tegas.
"Grrr...! Kau terlalu angkuh, Pendekar Rajawali
Sakti. Baiklah, aku ingin lihat, sampai di mana ke-
sombonganmu itu!"
Setelah berkata demikian, Macan Gunung
Sumbing langsung melompat cepat bagaikan kilat. Dan tahu-tahu sudah lenyap dari
pandangan mata.
Harimau belang itu juga langsung melesat cepat.
Rangga menarik napas panjang. Sedangkan Paman
Waku, Ki Gedag, dan Argayuda, berpaling memandang
ke arahnya. *** 6 Hari-hari terus berlalu seirama peredaran
matahari dan bulan. Setiap malam selalu terjadi
pembantaian di Desa Weru. Bukan saja keluarga dan
sanak saudara Paman Waku. Bahkan juga penduduk
yang tidak ada sangkut pautnya dalam urusan ini.
Tindakan Macan Gunung Sumbing seperti hantu saja.
Datang menyebar bencana, dan pergi tanpa diketahui
jejaknya. Tidak mudah untuk mencari tahu di mana
Macan Gunung Sumbing bersembunyi pada siang hari.
Sementara itu saat matahari bersinar penuh,
Rangga tengah melayang di angkasa bersama Rajawali
Putih. Sudah tiga kali Desa Weru dikitari, tapi tidak ditemukan tanda-tanda yang
mencurigakan. Siang dan
malam Pendekar Rajawali Sakti itu meronda ke
seluruh pelosok desa dari angkasa, tapi tetap saja
kecolongan. "Kira-kira di mana dia bersembunyi, Rajawali
Putih?" tanya Rangga bernada agak putus asa.
"Khrrr...!" Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Ya, dia memang seperti hantu saja."
"Khraghk...!" tiba-tiba Rajawali Putih berseru nya-
ring. Seketika itu juga burung itu meluruk deras ke arah utara Desa Weru. Rangga
langsung mengarahkan
pandangannya ke sana. Tampak Dewi Tanjung tengah
bertarung sengit melawan seekor harimau besar. Tidak jauh dari tempat
pertarungan itu, terlihat Macan Gunung Sumbing tengah tertawa terbahak-bahak.
"Khraghk...!"
"Hiyaaa...!"
Rangga segera melompat turun sebelum Rajawali
Putih sampai ke tanah, dan langsung terjun ke kancah pertempuran. Satu tendangan
keras bertenaga dalam
sempurna dilepaskan, dan telak menghantam bagian
perut harimau. "Ghraaaugh...!" harimau itu menggerung keras.
Tubuhnya terlontar jauh sekitar dua batang tombak.
Belum juga harimau itu bisa bangkit berdiri,
Rangga sudah melompat lagi. Langsung saja
dikirimkan dua pukulan beruntun dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat
terakhir. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merah bagai terbakar.
Kembali harimau itu terpelanting terhantam pukulan
maut secara beruntun itu. Dan Rangga memang sudah
menduga kalau harimau itu kebal, tidak terpengaruh
pukulannya. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali
menerjang dahsyat. Tapi pada terjangannya kali ini, pukulannya tertahan karena
sebuah bayangan melesat
cepat menyampok serangannya pada harimau itu.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, dan
manis sekali mendaratkan kakinya di tanah. Tampak
Macan Gunung Sumbing sudah berdiri tegak
membelakangi harimaunya yang menggerung-gerung
dengan kaki depan menggaruk-garuk tanah.
Sementara Rangga menggeser kakinya mendekati Dewi
Tanjung. "Kau tidak apa-apa, Dewi?" tanya Rangga setelah
dekat. "Tidak, untung kau cepat datang," jawab Dewi
Tanjung. Napasnya sedikit tersengal.
"Kau terluka...?"
"Hanya sedikit cakaran di punggung."
Rangga melirik punggung Dewi Tanjung. Tampak
darah merembes keluar dari luka gores yang cukup
dalam. Jelas, itu berasal dari goresan cakar harimau.
Ada tiga goresan yang cukup panjang. Rangga meng-
alihkan perhatiannya kembali pada Macan Gunung
Sumbing dan binatang peliharaannya yang mulai
bergerak mendekati. Macan itu menggerung-gerung
sambil menatap liar penuh hawa nafsu membunuh.
"Menyingkirlah, Dewi. Biar aku yang menghadapi-
nya," perintah Rangga setengah berbisik.
"Hati-hati, Kakang."
Dewi Tanjung menggeser kakinya menyingkir.
Sedangkan Rangga mengayunkan kakinya dua tindak
ke depan. Nampaknya memang sudah bersiap-siap
menghadapi serangan Macan Gunung Sumbing dan
binatang peliharaannya itu. Rangga sempat melirik ke atas, tampak Rajawali Putih
masih melayang-layang
cukup tinggi. "Suiiit...!" Rangga bersiul nyaring.
"Khraghk...!"
Dewi Tanjung dan Macan Gunung Sumbing
terkejut, dan sama-sama mendongak ke atas. Tampak
seekor burung rajawali raksasa menukik deras, dan
langsung hinggap di tanah di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Bukan main besarnya burung itu.
Seperti bukit saja layaknya. Tegar, besar, dan
menyeramkan! "Rajawali! Buat harimau itu kapok untuk tinggal
di dunia," perintah Rangga seraya menepuk-nepuk
leher Rajawali Putih.
"Khraghk...!"
"Ayo, Macan Gunung Sumbing! Kita selesaikan
urusan kita!" tantang Rangga keras.
Macan Gunung Sumbing tidak menjawab.
Matanya menatap lurus pada rajawali raksasa yang
berada di samping Rangga. Sedangkan harimaunya
hanya menggerung-gerung sambil menggaruk-garuk
tanah. "Bagaimana, Macan Gunung Sumbing?" sinis
nada suara Rangga.
"Phuih!" Macan Gunung Sumbing menyemburkan
ludahnya. Laki-laki berwajah penuh brewok itu menggeser
kakinya ke samping. Dan Rangga pun mengikuti
sambil menatap tajam tanpa berkedip. Tapi tiba-tiba saja harimau belang sebesar
anak kerbau itu
menggerung keras, dan langsung melompat ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Cakar mengembang
mengancam tubuhnya! Cepat Rangga melompat ke
samping menghindari terjangan itu. Tapi belum juga
tubuhnya bisa menyentuh tanah, Macan Gunung
Sumbing sudah melompat cepat bagai kilat sambil
mengirimkan dua pukulan dahsyat secara beruntun.
"Curang!" maki Rangga seraya melentingkan
tubuhnya berputaran di udara menghindari serangan
yang mendadak itu.
"Khraghk...!"
Saat itu Rajawali Putih melesat ke angkasa.
Langsung saja ditangkapnya tubuh Rangga yang
kewalahan, berpelantingan di udara menghindari
serangan-serangan beruntun Macan Gunung Sumbing
dan binatang peliharaannya. Rajawali Putih
menurunkan Rangga di tempat yang tidak berapa
jauh, dan kembali membumbung ke angkasa. Kini
burung itu menukik deras ke arah harimau belang
sebesar anak kerbau itu!
Pada saat yang sama, Rangga kembali melompat
menerjang Macan Gunung Sumbing. Kali ini laki-laki
penuh brewok itu terpaksa bertarung sendirian
melawan Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata harimau
peliharaannya tengah sibuk menghalau gempuran
rajawali raksasa yang bertarung cepat tanpa
menyentuh tanah sedikit pun.
Harimau belang itu kelihatan geram menghadapi
lawan yang selalu berada di udara. Memang, pola se-
rangan Rajawali Putih sangat aneh. Melambung tinggi ke angkasa, lalu menukik
deras dengan sambaran
keras dan mematikan. Hal ini membuat harimau itu
kelabakan dan tidak mampu membalas. Beberapa kali
sabetan sayap Rajawali Putih membuat harimau itu
berpelantingan sambil menggerung marah. Tapi
harimau itu memang cukup alot, dan gerakannya
lincah luar biasa. Tidak mudah bagi Rajawali Putih
untuk menghunjamkan cakar atau memukul dengan
paruhnya yang lebih tajam daripada senjata apa pun
di dunia ini! Sementara di tempat lain, Rangga dan Macan Gu-
nung Sumbing juga bertarung tidak kalah sengitnya.
Masing-masing berusaha untuk saling menjatuhkan.
Kini tempat pertarungan itu sudah sulit dikenali lagi.
Pohon-pohon bertumbangan. Batu-batu pecah
berantakan. Tanah berlubang, debu mengepul
menambah kepekatan udara. Hanya dua orang tokoh
sakti dan dua binatang bertarung, tapi keadaan
sekitarnya seperti diamuk ratusan ekor gajah.
Sementara tidak jauh dari pertarungan itu, Dewi
Tanjung tetap memperhatikan tanpa berkedip. Dia ber-harap Rangga memenangkan
pertarungan ini. Sama
sekali tidak diinginkan kalau Rangga kalah. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti
sampai kalah, apa jadinya
dunia ini" Tidak ada seorang pendekar pun yang mam-
pu membendung kekuatan Macan Gunung Sumbing!
Pertarungan masih terus berlangsung sengit.
Entah sudah berapa jurus terlampui. Masing-masing
sudah mengeluarkan jurus andalannya. Bahkan
Rangga sendiri sudah sampai pada jurus-jurus yang
didapatkan dari Satria Naga Emas, salah seorang
pendekar yang hidup seratus tahun lalu, dan menjadi sahabat karib Pendekar
Rajawali, guru Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi sampai sejauh ini Macan Gunung Sumbing masih mampu
melayaninya. Pertarungan meningkat menjadi adu kesaktian.
Udara bukan saja dipenuhi debu, tapi juga suara-
suara ledakan dahsyat menggemuruh, disertai
percikan bunga api dan sinar-sinar yang berkilatan.
Tapi kedua tokoh sakti itu tampaknya masih sama-
sama tangguh. Belum ada tanda-tanda bakal ada yang
terdesak. "Ha ha ha...! Keluarkan semua kesaktianmu, Pen-
dekar Rajawali Sakti!" Macan Gunung Sumbing
tertawa terbahak-bahak.
"Hm..., tinggal satu lagi ajian yang belum
kukeluarkan," gumam Rangga dalam hati.
Sesaat mereka saling berdiam diri dan berdiri
tegak menatap tajam. Jarak antara mereka hanya


Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar satu batang tombak saja. Perlahan-lahan
Rangga mencabut pedangnya. Seketika itu juga cahaya biru menyemburat menerangi
sekitarnya. Rangga
mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepala, lalu perlahan-lahan turun ke
bawah sampai mencapai
dada. Kemudian, disilangkan pedang itu di depan
dada. Dengan tangan kirinya, digosoknya pedang itu
dari ujung ke pangkalnya.
Pada saat yang sama, Macan Gunung Sumbing
juga sudah mempersiapkan satu ajiannya. Dia berdiri dengan kaki terpentang lebar
ke samping. Kedua
lututnya agak tertekuk. Dengan cepat digerakkan
tangannya di depan dada. Dari bibirnya terdengar suara menggerung kecil yang
semakin lama semakin
terdengar keras bagai raungan harimau. Kedua telapak tangannya terbuka
mengembang, dan menyorong ke
depan. "Hait...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
"Yaaah...!"
"Yeaaah...!"
Kedua tokoh sakti itu sama-sama melompat ke
depan. Dan pada satu titik tengah, mereka bertemu.
Satu ledakan keras terdengar menggelegar membuat
telinga jadi tuli. Bunga api memercik ke segala arah, bercampur cahaya biru yang
memancar menyelubungi
sekitarnya. Telapak tangan Macan Gunung Sumbing
menempel erat pada mata pedang Pendekar Rajawali
Sakti yang tergenggam antara pangkal dan ujungnya.
Tampak keduanya tengah mengadu tenaga
kesaktian. Masing-masing wajah sudah memerah, dan
titik-titik keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
Mereka saling berdiri berhadapan dengan tangan
menyatu pada pedang yang memancarkan cahaya biru
membentuk bulatan seperti bola.
"Ukh! Ini tidak bisa didiamkan! Tenagaku
tersedot!" dengus Macan Gunung Sumbing, langsung
merasakan akibat dari aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sedangkan yang dirasakan Rangga lain lagi. Saat
itu dia sedikit mengeluh, karena penyaluran ajiannya terasa mengalami hambatan.
Ajian yang dimiliki Macan Gunung Sumbing sungguh luar biasa, sehingga
mampu menghambat aliran tenaga aji 'Cakra Buana
Sukma'. Bulatan biru yang terbentuk dari pedang di
tangan Rangga, berubah-ubah. Sebentar mengecil,
sebentar kemudian membesar. Bahkan cahayanya
kadangkala redup dan kembali berubah jadi terang
menyilaukan. "Hup...! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Macan Gunung Sumbing berteriak
keras. Dan seketika itu juga didorongkan tubuhnya ke depan sedikit, lalu
ditariknya kuat-kuat ke belakang.
Tepat pada saat tangannya terlepas dari pedang Rang-ga, kakinya mendupak cepat
ke dada Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga terkejut setengah mati, dan
berubah melentingkan tubuhnya ke belakang. Tapi
hantaman kaki Macan Gunung Sumbing tidak
mungkin dihindari lagi.
"Akh...!" Rangga memekik keras.
Dan sebelum tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu
terlontar ke belakang, pedangnya sempat berkelebat
cepat membabat perut Macan Gunung Sumbing. Satu
raungan keras terdengar. Kedua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke belakang,
dan jatuh bergulingan di tanah. Tapi masing-masing masih mampu bangkit
berdiri meskipun tubuhnya limbung.
Tampak darah mengucur deras dari perut Macan
Gunung Sumbing yang koyak terbabat ujung pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan mulut Rangga
juga mengeluarkan darah. Pemuda berbaju rompi
putih itu berusaha mengatur jalan napasnya yang te-
rasa sesak seketika. Sepertinya tulang-tulang dadanya remuk.
"Graugh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara raungan keras dari
arah lain. Tampak harimau belang sebesar anak
kerbau, terjungkal bergulingan di tanah. Sedangkan
Rajawali Putih terhempas membentur sebatang pohon
yang sangat besar hingga hancur berantakan! Namun
Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke udara, dan segera menukik deras
menyambar tubuh harimau itu
yang baru saja bisa bangkit berdiri.
"Khraghk...!" Rajawali Putih memekik keras.
"Grauuughk...!"
Sungguh sukar diikuti mata biasa. Begitu
cepatnya Rajawali Putih menukik, tahu-tahu cakarnya sudah menyambar harimau
besar itu. Harimau itu
menggerung keras, menggeliat berusaha melepaskan
diri. Tapi Rajawali Putih sudah lebih dahulu melesat terbang. Dan pada saat yang
baik, Macan Gunung
Sumbing mengibaskan tangannya ke arah burung
raksasa itu. Sebuah pisau kecil melesat terbang dengan
kecepatan bagai kilat ke arah Rajawali Putih.
Sedangkan di cakarnya menggantung harimau besar
yang meronta-ronta mencoba melepaskan diri sambil
menggerung-gerung.
"Rajawali, awas...!" teriak Rangga memperi-
ngatkan. "Khraghk...!"
Rajawali Putih melepaskan harimau itu, dan
langsung berputar di udara. Untunglah lontaran pisau kecil Macan Gunung Sumbing
luput dari sasaran.
Sementara itu harimau sebesar anak kerbau itu
meluncur deras ke bawah. Binatang itu menggerung-
gerung keras dengan kaki bergerak-gerak. Dan saat
yang hampir bersamaan, Macan Gunung Sumbing
melompat cepat bagaikan kilat. Langsung ditopangnya tubuh harimau belang itu,
dan dibawanya turun
dengan lunak. "Khraghk!"
Rajawali Putih menukik deras hendak menyambar
harimau itu kembali. Tapi belum juga maksudnya ter-
sampaikan, Macan Gunung Sumbing sudah melompat
naik ke punggung harimau itu, dan langsung berlari
cepat bagaikan kilat. Cakar Rajawali Putih hanya menyambar tanah berumput hingga
bergetar dan berlubang cukup besar. Rajawali Putih berkaokan
marah, karena lawannya berhasil kabur dengan cepat.
Sementara itu Rangga sudah duduk bersila, bersikap
semadi. Rajawali Putih menghampiri sambil mengkirik perlahan.
Hanya sebentar Rangga bersemadi untuk
memulihkan keadaan tubuhnya, kemudian bangkit
berdiri dan memeluk kepala burung raksasa itu.
Pedangnya sudah sejak tadi tersimpan di dalam
warangka di balik punggung. Rangga melepaskan
pelukannya pada leher burung itu ketika menangkap
sosok tubuh ramping yang berdiri agak jauh di bawah pohon.
"Dewi Tanjung...," desah Rangga.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Dewi Tanjung
seraya berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga.
Dewi Tanjung menatap burung rajawali raksasa
yang berada di belakang Rangga. Dan Pendekar
Rajawali Sakti itu tersenyum, lalu memperkenalkan
Dewi Tanjung pada Rajawali Putih. Burung raksasa itu mengkirik perlahan sambil
mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dewi Tanjung kembali menatap Rangga
yang keadaannya tampak kusut, kotor, dan berdebu,
tapi sesekali masih juga dilirik burung raksasa itu.
Seumur hidupnya, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu.
"Bagaimana lukamu?" tanya Rangga.
"Darahnya sudah berhenti mengalir. Hanya luka
biasa," sahut Dewi Tanjung.
"Hm.... Bagaimana dia bisa tahu tempat ini,
Dewi?" tanya Rangga lagi.
"Entahlah. Tahu-tahu dia muncul dan langsung
menyerangku," sahut Dewi Tanjung pelan.
"Sebaiknya kau ke Desa Weru lagi," usul Rangga.
"Mau apa ke sana" Apa kau suka kalau aku dike-
royok, lalu dibunuh mereka?" Dewi Tanjung mendelik
berang. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
menyunggingkan senyum tipis. Wanita itu memang
belum diberitahu perubahan di Desa Weru. Sekarang
tidak ada lagi yang menuduh Dewi Tanjung sebagai
pelaku pembantaian keji selama ini. Mereka semua
sudah tahu kalau Macan Gunung Sumbing-lah pelaku
utamanya. Tidak heran kalau Dewi Tanjung begitu
berang mendengar usul Rangga tadi.
"Tidak ada yang menuduhmu lagi, Dewi. Mereka
semua sudah tahu, kalau bukan kau yang melakukan
semua pembantaian itu," bujuk Rangga lembut
"Huh! Sudah terlambat!" dengus Dewi Tanjung
memberengut. "Tidak ada yang terlambat, Dewi."
"Jangan paksa aku, Kakang!" sentak Dewi
Tanjung cepat. Rangga mengangkat bahunya sedikit. Gadis ini
memang keras, dan tidak mudah melunakkan hatinya.
Rangga bisa memahami kalau Dewi Tanjung masih
kesal terhadap perbuatan penduduk Desa Weru yang
main tuduh tanpa diselidiki dulu kebenarannya.
Sementara itu hari telah senja. Matahari sudah
condong ke arah barat, sehingga sinarnya tidak lagi terik. Angin pun terasa
sejuk membelai kulit. Rangga mengumpulkan ranting kering, dan menumpuknya di
bawah pohon. Sementara Dewi Tanjung hanya duduk
saja bersandar di pohon lain. Tidak jauh dari gadis itu, Rajawali Putih mendekam
dengan kepala hampir menyentuh tanah. Sesekali Dewi Tanjung melirik burung
rajawali raksasa itu. Meskipun sudah kenal, tapi
masih juga ada perasaan takut. Betapa tidak"
Meskipun Rajawali Putih hanya seekor burung, tapi
perawakannya yang tinggi dan besar sungguh
menakutkan orang yang baru melihatnya. Tidak
terkecuali Dewi Tanjung yang baru kali ini melihat ada seekor burung raksasa
sebesar itu. "Khrrr...," Rajawali Putih mengkirik perlahan
sambil menyorongkan kepalanya pada Dewi Tanjung.
"Eh...!" Dewi Tanjung terpekik kaget, dan
langsung melompat.
Rangga yang melihat kejadian itu jadi tertawa ter-
pingkal-pingkal. Rajawali Putih mengangguk-angguk-
kan kepalanya dengan suara mengkirik perlahan. Pen-
dekar Rajawali Sakti itu menghampiri Rajawali Putih, lalu memeluk mesra
lehernya. Dewi Tanjung
memperhatikan, namun wajahnya sedikit pucat.
"Rajawali Putih ingin lebih kenal denganmu,
Dewi," jelas Rangga lembut. "Bukankah begitu, Rajawali Putih?"
"Khrrrk...!" Rajawali Putih menganggukkan kepa-
lanya. Rangga menghampiri Dewi Tanjung, dan
menggamit lengan gadis itu. Dengan diliputi perasaan takut dan ragu-ragu, Dewi
Tanjung mengikuti Rangga
yang membawanya mendekati Rajawali Putih. Gadis
itu masih takut-takut juga ketika kepala burung
raksasa itu menyorong ke arahnya, dan mendesak-
desak tubuhnya.
Perlahan-lahan perasaan takut di hati Dewi
Tanjung memudar. Dibelai-belainya kepala burung itu meskipun masih bersikap
ragu-ragu. Tapi sebentar
kemudian sudah terdengar tawanya yang mengikik
lembut. Rangga memperhatikan sambil tersenyum.
Memang tidak mudah untuk mengakrabkan diri
dengan Rajawali Putih. Dan biasanya, Rajawali Putih enggan untuk bercanda dengan
orang lain selain
Rangga. Tapi dengan Dewi Tanjung, Rajawali Putih
menjadi cepat akrab. Hal ini membuat Rangga heran
juga. Tapi hal itu tidak ingin dipikirkan lebih jauh lagi.
Sementara malam mulai merayap dan diliputi
kegelapan. Rangga menyalakan api dari ranting-
ranting kering yang dikumpulkannya. Dewi Tanjung
duduk bersandar pada tubuh Rajawali Putih,
sedangkan Rangga membalik-balik kelinci panggang
yang telah ditangkapnya. Ada enam ekor kelinci, dan yang dua sudah masuk ke
perut Rajawali Putih.
"Khraghk...!" Rajawali Putih berkaokan, dan
berdiri. Dewi Tanjung menggeser duduknya. Rajawali
Putih itu menggaruk paruhnya ke tanah, kemudian
membumbung tinggi ke atas. Dewi Tanjung
memperhatikan sebentar, sedangkan Rangga tetap
asyik dengan kelinci-kelinci panggangnya. Gadis itu segera menggeser mendekati
Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Mau ke mana dia?" tanya Dewi Tanjung setengah berbisik.
"Meronda," sahut Rangga kalem.
"Meronda...?"
"Iya. Kalau terjadi apa-apa di Desa Weru, dia pasti ke sini memberitahu."
Dewi Tanjung terdiam. Diambilnya satu kelinci
panggang yang sudah matang, dan disantapnya
dengan nikmat. Tapi sebentar kemudian kembali
ditatapnya Rangga yang juga mulai menikmati
santapannya. Santapan yang sudah tidak asing lagi,
dan selalu dinikmati di setiap pengembaraannya.
Rangga memang suka sekali daging kelinci. Makanya
selalu diburunya binatang itu untuk dijadikan
santapan. "Kau beruntung punya piaraan rajawali," kata
Dewi Tanjung. "Rajawali Putih bukan peliharaanku. Dia adalah
guruku, orang tuaku, teman sekaligus saudaraku,"
Rangga menjelaskan tanpa ada perasaan tersinggung.
Rajawali Putih memang tidak pernah dianggap hanya
sebagai seekor binatang.


Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah berapa lama kau bersamanya?"
"Sejak kecil. Dialah yang membimbingku dan
memberiku ilmu-ilmu kepandaian. Yaaah..., memang
terlalu banyak yang diberikannya padaku. Dan aku
sendiri tidak akan bisa berpisah dengannya. Bagiku, Rajawali Putih adalah
segala-galanya. Bahkan lebih
berharga daripada nyawaku sendiri."
"Aku kagum padamu, Kakang," puji Dewi Tanjung
tulus. "Simpan saja rasa kagummu itu. Dewi," desah
Rangga pelan. Mereka tidak bicara lagi, dan terus menikmati
santapan kelinci panggang. Rangga memang lebih
senang diam, tapi otaknya terus bekerja mencari jalan untuk dapat melenyapkan
Macan Gunung Sumbing.
Masalahnya, dunia akan hancur kalau tokoh hitam itu lebih lama lagi hidup di
dunia. Saat ini, mungkin
hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang mampu
menandingi kepandaiannya. Dan itu pun kelihatannya
seimbang. Rangga sendiri tidak bisa meramalkan,
apakah mampu membinasakan manusia iblis itu atau
malah dirinya sendiri yang akan binasa"
*** 7 Malam terus merambat semakin larut. Di sebuah
tempat yang tidak berapa jauh dari Desa Weru,
tampak Macan Gunung Sumbing duduk bersila
bersikap semadi di atas sebongkah batu besar yang
pipih. Di sampingnya mendekam harimau belang yang
luar biasa besarnya. Luka di perut Macan Gunung
Sumbing masih membekas, meskipun tidak lagi
mengeluarkan darah.
Perlahan-lahan kelopak mata Macan Gunung
Sumbing terbuka, dan langsung menoleh ke arah
sepasang mata merah di sampingnya. Harimau itu
menjulurkan kepala, dan menjilati wajah majikannya.
Macan Gunung Sumbing menepuk-nepuk leher
binatang itu, kemudian memandang lurus ke arah
Desa Weru. Dari tempat yang cukup tinggi ini, bisa
terlihat jelas desa itu.
"Malam ini kita bantai semua penduduk Desa
Weru! Jangan ada yang tersisakan satu pun juga.
Setelah itu kita cepat ke Gunung Opak. Hm..., Ki Raga harus mampus setelah
adiknya. Setelah itu baru kita hadapi kembali si Jahanam Rajawali Sakti!" gumam
Macan Gunung Sumbing menggeram.
"Grrrh...!" harimau belang itu menggerung
perlahan, seakan menyetujui rencana majikannya.
"Kita akan menguasai dunia persilatan, Belang.
Kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah mampus, tidak
ada lagi yang bisa menghalangiku. Huh! Hanya dia
satu-satunya penghalangku, dan harus mampus
secepatnya. Bagaimana, Belang?"
"Grrrh...!" harimau yang dipanggil Belang itu
hanya menggerung saja.
"Ya! Memang dialah satu-satunya penghalang kita.
Kau punya saran, Belang?"
Harimau belang itu diam dan pandangannya
luruh ke depan. Sepasang bola matanya menyala.
Terdengar gerungan yang perlahan dan panjang.
Macan Gunung Sumbing melompat turun dari batu
yang didudukinya. Diarahkan pandangannya ke arah
yang sama dengan pandangan si Belang.
"Ayo, Belang. Kita hancurkan seluruh penduduk
Desa Weru," ajak Macan Gunung Sumbing. "Malam ini,
Desa Weru harus musnah!"
"Grauuugh...!"
"Ha ha ha...! Ayo kita berlomba membantai
mereka, Belang!"
"Aaauuum...!"
Macan Gunung Sumbing langsung melompat ke
punggung harimau belang itu. Seketika itu juga
binatang itu langsung melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya melompat,
sehingga dalam waktu sebentar
saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tujuan
mereka jelas, Desa Weru yang saat ini dicekam
ketakutan. Desa yang kini bagaikan desa mati tanpa
penduduk. Tidak ada yang tahu kalau Macan Gunung
Sumbing akan menghancurkan desa itu. Bahkan tidak
ada yang tahu kalau di angkasa, Rajawali Putih
melayang-layang mengawasi keadaan. Pandangan
mata Rajawali Putih langsung tertuju ke arah selatan.
Di situ terlihat satu bayangan bergerak cepat menuju ke arah Desa Weru. Bayangan
yang tidak lain dari si Belang yang ditunggangi Macan Gunung Sumbing.
"Khraaaghk...!"
Rajawali Putih langsung melesat ke arah utara.
Cepat sekali melesat, bagaikan kilat saja. Sebentar saja burung itu sudah tiba
di tempat Rangga dan Dewi
Tanjung berada. Rajawali Putih langsung menukik
turun sambil memperdengarkan suaranya yang serak
dan keras. Rangga menggerinjang bangkit berdiri.
Diikuti Dewi Tanjung. Mereka langsung menghampiri
Rajawali Putih yang sudah mendarat di tanah.
"Ada apa, Rajawali?" tanya Rangga.
"Khraghk...!" Rajawali Putih mengepakkan
sayapnya, dan kepalanya menoleh ke arah Desa Weru.
"Dewi! Matikan api, dan kita langsung ke Desa
Weru," kata Rangga.
Belum lagi Dewi Tanjung sempat bertanya, Rangga
sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
Dan seketika itu juga....
"Khraghk...!"
Rajawali Putih langsung melesat membumbung
tinggi ke angkasa. Begitu cepat lesatannya, tahu-tahu sudah lenyap dari
pandangan. Dewi Tanjung masih
terpaku sesaat, kemudian bergegas mematikan api,
dan segera menuju ke Desa Weru.
*** Saat itu Macan Gunung Sumbing sudah tiba di
Desa Weru. Langsung dipilihnya rumah yang kelihatan gelap. Hanya sebuah pelita
kecil yang menyala di
bagian ruangan depan rumah itu. Cahayanya yang
redup menyemburat melalui lubang-lubang di atas
pintu dan jendela. Macan Gunung Sumbing melompat
turun dari punggung harimaunya. Perlahan-lahan
kakinya melangkah mendekati rumah itu. Harimau
besar perlahan-lahan mengikuti dari belakang.
Langkah kaki mereka begitu ringan, sehingga tidak
menimbulkan suara sedikit pun.
Macan Gunung Sumbing menghentakkan tangan-
nya secara tiba-tiba ke depan. Satu angin dorongan
yang kuat mendobrak pintu rumah itu. Seketika
terdengar jeritan dari dalam rumah yang saling susul.
Macan Gunung Sumbing langsung lompat masuk ke
dalam rumah, disusul harimau peliharaannya.
"Ghrauuugh...!"
"Aaa...!"
"Ha ha ha...!"
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
Jari-jari tangannya mengembang kaku, dan bergerak
cepat mencabik-cabik penghuni rumah. Harimau be-
lang juga tidak ketinggalan. Dia berpesta mengoyak
tubuh-tubuh yang tidak berdaya. Jeritan-jeritan me-
lengking semakin sering terdengar.
Tidak lama peristiwa itu berlangsung. Sebentar
saja telah senyap kembali. Yang terdengar kini hanya raungan harimau disertai
tawa terbahak-bahak. Suara itu membuat rumah-rumah di sekitarnya langsung
menyalakan lampu. Dan pada saat itu, Macan Gunung
Sumbing melompat keluar dari dalam rumah, disusul
si Belang. Mereka terus menerobos sebuah rumah lagi yang berada tidak jauh dari
situ. Kembali terdengar jeritan-jeritan melengking me-
nyayat hati, bercampur baur suara tawa bergelak dan raungan harimau. Macan
Gunung Sumbing benar-benar melaksanakan niatnya, membantai habis
seluruh penduduk Desa Weru. Dendamnya pada
Paman Waku dilampiaskan pada orang-orang tidak
bersalah dan tidak tahu apa-apa. Pelampiasan
dendamnya benar-benar brutal. Dan semua itu terjadi karena mendapat hambatan
dari Pendekar Rajawali
Sakti. Suatu kemarahan berlumur dendam yang tidak
terbendung lagi. Jerit-jerit menyayat terus terdengar dari rumah ke rumah. Dalam
waktu yang tidak lama,
sudah lima rumah didatangi Macan Gunung Sumbing.
Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup.
Semuanya tewas dengan tubuh tercabik cakar-cakar
harimau. "He he he...!" Macan Gunung Sumbing terkekeh
melihat korban pada rumah yang keenam.
"Graughk...!"
Sekali lagi Macan Gunung Sumbing memandangi
mayat-mayat yang tergeletak dengan tubuh hancur
tercabik, kemudian tertawa terkekeh. Dengan langkah tenang, dia berjalan keluar
dari rumah itu. Tapi
mendadak suara tawanya terhenti. Di depan rumah itu ternyata sudah berdiri
puluhan orang yang membawa
senjata seadanya. Mereka adalah penduduk Desa We-
ru. Tampak di depan berdiri Paman Waku yang
bersenjatakan golok panjang terhunus.
Tempat sekitarnya sudah terang benderang oleh
obor yang dipancangkan di beberapa sudut. Beberapa
penduduk juga ada yang membawa obor dari bambu.
Paman Waku melangkah beberapa tindak, didampingi
Bakor yang memimpin Padepokan Gunung Opak. Ka-
kak dari Paman Waku itu menimbang-nimang senja-
tanya yang berbentuk tombak dengan mata berkeluk
seperti keris. "Lihat, Belang. Mereka sudah siap menjemput
ajal. He he he...," ujar Macan Gunung Sumbing
kembali terkekeh.
"Bukan mereka, tapi kau!" bentak Paman Waku.
"Ha ha ha...!" Macan Gunung Sumbing tertawa
terbahak-bahak.
"Aku tahu, kau dendam padaku. Tapi mengapa
kau bantai mereka yang tidak tahu apa-apa"!
Perbuatanmu sungguh keji! Dewata akan
mengutukmu, Macan Gunung Sumbing!" geram Paman
Waku. "Sebenarnya aku enggan mengotori tangan dengan
darah mereka. Tapi, bukankah kau sendiri yang meng-
inginkan demikian, Waku?" dingin nada suara Macan
Gunung Sumbing.
"Jangan banyak omong! Ayo, kita selesaikan
persoalan ini! Kau atau aku yang mampus!" bentak
Paman Waku seraya menyilangkan goloknya di depan
dada. "He he he...," Macan Gunung Sumbing terkekeh.
Ditepuk-tepuknya harimau yang berdiri di
sampingnya. Si Belang menggeram perlahan. Dia bergerak maju
seperti binatang malas karena kekenyangan. Namun
tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke
bola mata Paman Waku. Laki-laki setengah baya itu
menggeser kakinya selangkah ke samping kanan.
Sedangkan si Belang mendekam.
"Auuummm...!"
Tiba-tiba saja si Belang mengaum keras, dan
langsung melompat cepat bagaikan kilat. Kedua kaki
depannya terentang lurus ke depan. Kuku-kuku yang
tajam berkilat siap merobek tubuh Paman Waku.
Untuk sesaat, Paman Waku terkesiap. Namun, dengan
cepat dibanting dirinya ke samping, dan bergulingan beberapa kali.
Gagal serangan pertama, si Belang langsung
berbalik dan kembali melompat menerjang. Saat itu
Paman Waku baru saja bisa berdiri. Buru-buru
dikibaskan goloknya yang panjang sambil melompat ke kanan. Kibasan golok itu
tepat menghantam perut si Belang. Namun harimau itu hanya menggerung kecil.
"Gila...!" dengus Paman Waku.
"Ha ha ha...!" Macan Gunung Sumbing tertawa
terbahak-bahak.
Harimau itu berdiri tegak di atas keempat
kakinya. Sedikit pun tidak terdapat luka di tubuhnya.
Padahal, jelas sekali kalau golok Paman Waku
menghantam perut binatang itu.
"Kau tidak akan mampu mengalahkannya, Waku!
Temanku ini kebal," kata Macan Gunung Sumbing di-
iringi suara tawanya.
Paman Waku mendengus berat. Kakinya bergerak
perlahan menggeser menyusur tanah. Tatapannya
tidak berkedip pada binatang buas itu.
"Dua puluh tahun lalu kau boleh bangga karena
dapat mengalahkanku, Waku. Memang itu semua
kesalahanku, tidak membawa sahabat saktiku ini. Tapi sekarang, jangan harap kau
dapat mengalahkanku.
Aku bukan lagi yang dulu. Kau akan mati, Waku! Ha
ha ha...!" Macan Gunung Sumbing terus mengejek.
"Persetan! Hiyaaa...!"
Paman Waku geram bukan main. Telinganya
panas mendengar ejekan itu. Dia langsung melompat
ke arah Macan Gunung Sumbing yang masih terkekeh.
Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu bisa
mengibaskan goloknya, si Belang sudah lebih dulu
melompat cepat menerjangnya.
"Graugh!"
"Akh...!"
Paman Waku terhuyung-huyung sambil mendekap
lambung kanannya. Kuku-kuku si Belang telah me-
robek cukup dalam dan panjang pada lambung kanan-
nya. Darah mengucur deras tak tertahankan lagi. Dan pada saat Paman Waku
limbung, si Belang sudah melompat lagi hendak menerkam.
"Aaauuum...!"


Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mati aku...!" desah Paman Waku dalam hati.
Tapi sebelum harimau itu mencapai tubuh Paman
Waku, tiba-tiba Bakor melemparkan tombaknya ke
arah harimau itu. Ujung tombak yang berbentuk se-
perti keris itu tepat menghunjam dada si Belang. Tapi sungguh menakjubkan,
tombak itu malah terpental
balik tanpa melukai harimau itu sedikit pun.
Bakor melompat menangkap tombaknya yang
terpental kembali, dan langsung mendarat di depan
adiknya yang terluka di bagian lambungnya. Macan
Gunung Sumbing menggeram marah melihat musuh
bebuyutannya masih terlindungi. Dia tahu betul siapa orang yang kini berdiri di
depan Paman Waku.
"Aku paling benci melihat kelicikan. Membunuh
orang yang sudah tidak berdaya!" dingin, kata-kata
Bakor. "Menyingkirlah, Bakor! Giliranmu nanti!" dengus
Macan Gunung Sumbing. Sementara si Belang men-
dekam kembali di sampingnya.
"Nanti atau sekarang sama saja! Sengaja aku da-
tang agar kau tidak mengotori tempat suciku!" sahut Bakor semakin dingin.
"Akulah lawanmu, iblis!"
Setelah berkata demikian, Bakor langsung
melompat seraya menusukkan tombaknya ke arah
dada Macan Gunung Sumbing. Tapi serangan yang
cepat disertai pengerahan tenaga dalam itu, manis
sekali dielakkan Macan Gunung Sumbing. Bahkan
laki-laki yang wajahnya sudah mirip harimau itu
mampu memberikan serangan balasan yang juga luput
dari sasaran. Sementara Paman Waku bergerak mundur. Darah
semakin banyak keluar dari lukanya. Dan pertarungan antara Bakor melawan Macan
Gunung Sumbing tidak
dapat dihentikan lagi. Harimau belang itu juga me-
nyingkir. Tapi tatapannya tertuju pada pertarungan itu.
Tidak jauh dari tempat itu, terlihat Argayuda dan
Ki Gedag. Mereka juga tampaknya sudah siap
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Macan
Gunung Sumbing memang tokoh hitam yang sangat
tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak mudah
menaklukkan laki-laki berwajah seperti harimau itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pertarungan antar Bakor melawan Macan Gunung
Sumbing sudah mencapai tingkat yang tinggi. Mulai
kelihatan kalau Bakor sudah terdesak. Beberapa kali pukulan dan tendangan Macan
Gunung Sumbing mendarat di tubuhnya. Tapi Bakor masih juga mampu
melawan. "Jebol dadamu! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Macan Gunung Sumbing
melompat cepat, dan tangan kanannya menggedor
dada Bakor. "Aaakh...!" Bakor menjerit keras.
Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Dan
belum lagi mencapai tanah, Macan Gunung Sumbing
kembali menerjang seraya mengibaskan tangan kanan-
nya. Tak pelak lagi, jari yang berkuku hitam dan runcing itu merobek dada Bakor.
Kembali laki-laki setengah baya itu menjerit keras. Darah langsung me-
nyembur keluar dari dada yang sobek panjang!
Dan belum sempat ada yang menyadari, kembali
Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangan kanan-
nya. Kali ini sasarannya adalah bagian leher. Bakor yang sudah tidak berdaya,
tidak mampu berkelit lagi.
Tanpa bersuara sedikit pun, tubuh laki-laki setengah baya itu ambruk ke tanah
dengan leher terpenggal!
"Iblis...!" geram Paman Waku menyaksikan
kematian kakaknya yang sangat tragis.
"Ha ha ha...!" Macan Gunung Sumbing tertawa
terbahak-bahak penuh kemenangan.
"Kubunuh kau, keparat!" geram Paman Waku.
Tanpa menghiraukan luka di tubuhnya, Paman
Waku segera melompat menyerang sambil
mengibaskan goloknya yang panjang. Tapi pada saat
itu, si Belang juga sudah lebih cepat melompat.
Cakarnya pun menyampok cepat bagaikan kilat.
Paman Waku terperanjat, namun tidak bisa
menghindar lagi.
"Akh...!" Paman Waku memekik tertahan.
Sampokan cakar harimau itu merobek wajahnya.
Darah langsung menyembur. Paman Waku terhuyung-
huyung sambil menutupi wajahnya dengan tangan
kiri. Pada saat itu, harimau besar peliharaan Macan Gunung Sumbing sudah kembali
melompat hendak
menerjangnya. "Ghraaaughk...!"
"Hiyaaa...!"
Dug! *** 8 Tepat pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba
sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagaikan
kilat, dan langsung menyambar tubuh si Belang.
Harimau besar itu meraung keras, lalu terpelanting ke tanah. Tampak seorang
gadis muda dan cantik tahu-tahu sudah berdiri tegak melindungi Paman Waku.
"Dewi Tanjung...!" desis Macan Gunung Sumbing
geram saat mengenali gadis cantik berbaju putih yang sedikit koyak itu.
"Hm.... Saatnya kau terbang ke neraka. Macan
Iblis!" dengus Dewi Tanjung dingin.
Saat itu dua orang penduduk menghampiri Paman
Waku dan membawanya menyingkir. Darah masih me-
ngucur di tubuh dan wajah laki-laki tua itu. Dewi
Tanjung sempat melirik Paman Waku yang sudah
berada di tempat aman bersama beberapa penduduk
yang merawat luka-lukanya.
Pada saat itu Ki Gedag dan Argayuda melompat
mendekati Dewi Tanjung. Kedua laki-laki itu langsung menghunus senjatanya. Macan
Gunung Sumbing ter-
senyum sinis melihat ketiga orang penantangnya,
kemudian tertawa terbahak-bahak sambil
mengegoskan tangannya ke depan.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras, si Belang langsung
melompat menerjang ketiga orang itu. Ki Gedag dan
Argayuda berlompatan ke samping, sedangkan Dewi
Tanjung malah diam berdiri tegak. Dan begitu harimau sebesar anak kerbau itu
berada dalam jangkauan,
dengan cepat dikibaskan pedangnya.
Harimau itu hanya meraung kecil begitu pedang
Dewi Tanjung menghantam tubuhnya. Binatang itu
terjajar sedikit, lalu kembali menerjang lebih ganas.
Dewi Tanjung berlompatan menghindari terjangan
binatang buas itu. Beberapa kali pedangnya
dihantamkan ke tubuh si Belang, tapi harimau itu
tidak terluka sedikit pun. Kulitnya sungguh kebal,
tidak mempan senjata apa pun juga!
Sementara Argayuda dan Ki Gedag sudah
bertarung mengeroyok Macan Gunung Sumbing. Golok
mereka berkelebatan cepat mengurung tubuh Macan
Gunung Sumbing, tapi tokoh sakti itu tidak mudah
didesak. Bahkan satu ketika dia berhasil
menyarangkan cakarnya pada dada Ki Gedag, sehingga
laki-laki tua itu menjerit keras terhuyung-huyung ke belakang. Darah mengucur
deras dari dadanya yang
koyak. "Ki...!" seru Argayuda cemas.
Keterkejutan Argayuda tidak berlangsung lama,
karena tiba-tiba saja telah menjerit melengking. Macan Gunung Sumbing telah
menyampok kepalanya,
sehingga pemuda itu terpental jauh. Tubuhnya terus
meluncur, lalu menabrak dinding rumah hingga jebol
berantakan. Namun Argayuda bergegas bangkit dan
melompat menerjang manusia berwajah harimau itu.
"Nekad...!" dengus Macan Gunung Sumbing.
Cepat sekali Macan Gunung Sumbing
mengibaskan tangannya, langsung mengoyak leher
Argayuda hingga hampir buntung. Argayuda memekik
melengking tinggi. Sebentar tubuhnya bergetar, lalu ambruk berkelojotan di
tanah. Darah mengucur deras
membasahi tanah. Tidak berapa lama berkelojotan,
sebentar kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi!
"Setan keparat! Kubunuh kau!" geram Ki Gedag.
"He he he.... Orang tua bodoh! Sebaiknya
kupercepat kematianmu. Hih...!"
Macan Gunung Sumbing melompat ke atas, lalu
menukik keras menuju ke kepala Ki Gedag. Hanya
sekali Ki Gedag mampu mengibaskan pedangnya ke
atas. Namun, saat-saat berikut, tubuhnya sudah
terangkat, dan kembali jatuh dengan kepala terpisah.
Tubuh tanpa kepala itu bergerak-gerak sebentar, lalu diam tanpa nyawa lagi.
Macan Gunung Sumbing
mendarat manis sambil menenteng kepala Ki Gedag.
Dilemparkannya kepala itu seperti kelapa busuk yang tidak berguna ke arah
penduduk Desa Weru.
Melihat tetua-tetua desa bergelimpangan jadi
mayat, para penduduk itu berlarian menyelamatkan
diri. Tapi Macan Gunung Sumbing tidak membiarkan
begitu saja. Dia memang sudah terlalu membenci
mereka yang berusaha mengeroyoknya. Dengan cepat
tubuhnya melesat sambil mengibaskan tangannya. Dua
orang penduduk menjerit melengking, lalu ambruk
bersimbah darah.
"Jangan lari kalian! Hiyaaat...!"
Macan Gunung Sumbing melompat mengejar
penduduk yang berlarian tak tentu arah sambil
berteriak-teriak minta tolong. Dan pada saat
tangannya hampir menjangkau salah seorang
penduduk, mendadak dari angkasa meluruk deras
sebuah bayangan besar. Bayangan itu langsung
menyampok Macan Gunung Sumbing hingga
terpelanting bergulingan di tanah.
"Keparat! Monyet buduk...!" Macan Gunung Sum-
bing menyumpah serapah seraya bangkit berdiri.
"Tidak ada gunanya kau membantai mereka,
Macan Gunung Sumbing!" terdengar suara dingin dan
datar. "Pendekar Rajawali Sakti.... Phuih!" Macan
Gunung Sumbing mendesis geram.
Sementara itu di tempat lain, Dewi Tanjung masih
berusaha menghadapi harimau yang besar dan kebal.
Gadis itu nampak kewalahan, tapi terus berusaha
keras mempertahankan nyawanya. Rangga sempat me-
lirik ke arah pertarungan ganjil dan tidak seimbang itu. Dewi Tanjung memang
sudah jatuh bangun dan
tubuhnya berlumuran darah. Entah sudah berapa kali
kulitnya tersayat cakaran binatang buas itu.
"Dewi Tanjung, mundur...!" seru Rangga keras.
Tepat ketika Dewi Tanjung melompat mundur,
dari angkasa meluruk seekor burung rajawali raksasa berbulu putih agak
keperakan. Cakar rajawali itu
langsung menyambar harimau belang yang terus
menggeram. Namun harimau itu dengan gesit
mengelak, lalu mengaum keras sambil menggaruk-
garuk tanah di depannya.
"Rajawali, hadapi dia! Kau lebih tahu caranya!"
seru Rangga keras.
"Khraghk...!"
Sementara itu Macan Gunung Sumbing
mengumpat, menyumpah serapah atas munculnya
Pendekar Rajawali Sakti bersama burung raksasa
tunggangannya. "Phuih! Orang lain boleh takut padamu, Pendekar
Rajawali Sakti."
Sambil terus menyumpah, Macan Gunung
Sumbing langsung menyerang. Dia memang baru dua
kali bentrok dengan pendekar yang selalu memakai
baju rompi putih itu. Makanya, kini dia tidak mau
tanggung-tanggung lagi. Laki-laki yang wajahnya
penuh brewok itu melompat sambil mengerahkan
jurus andalannya.
Dan Rangga yang juga sudah mengukur
kepandaian lawannya, langsung mencabut Pedang
Rajawali Sakti. Seketika malam yang hanya diterangi beberapa obor, menjadi
terang benderang begitu
Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
Secepat Macan Gunung Sumbing menerjang,
secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti melompat
dibarengi pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Gerakan pedangnya sungguh cepat luar biasa,
sehingga sulit diikuti pandangan mata. Dan sabetan
pedang itu hampir saja memenggal leher Macan
Gunung Sumbing, kalau tidak cepat-cepat
membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
menjauh. "Keparat!" geram Macan Gunung Sumbing seraya
bangkit berdiri.
Sedangkan Rangga berdiri tegak, dan pedangnya
tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk dengan bibir
terkatup rapat.
"Hhh! Rupanya kau takut mati juga, macan
ompong!" ejek Rangga sinis.
"Phuih!" Macan Gunung Sumbing menyemburkan
ludahnya. Wajahnya merah padam menahan amarah
mendengar ejekan yang membuat panas telinganya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Macan Gu-
nung Sumbing mempersiapkan ajian pamungkasnya.
Dan Rangga yang melihat lawannya tidak main-main
lagi, segera mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Kedua ajian itu pernah dikeluarkan beberapa hari yang lalu. Saat itu kekuatan
ajian mereka seimbang. Tapi entah untuk kali ini. Hanya merekalah yang bisa
menentukan dari pertarungan antara hidup dan mati!


Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat mereka saling berdiri dengan tatapan ko-
song, seakan tengah mengukur ajian yang tinggal dilepaskan saja. Cahaya biru
sudah mulai menggulung di
ujung pedang, sedangkan kedua telapak tangan Macan
Gunung Sumbing sudah merah membara bagai
terbakar. Hawa panas menyebar dari telapak tangan
yang memerah itu.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti!"
dingin nada suara Macan Gunung Sumbing.
"Bertobatlah sebelum terbang ke neraka, macan
ompong!" sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Hih! Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Macan Gunung Sumbing berlari kencang dengan
kedua tangan menjulur ke depan. Sedangkan Rangga
menyilangkan pedangnya, dan telapak tangan kiri di-
tempelkan pada ujung pedangnya. Sedikit pun dia
tidak bergerak. Memang aji 'Cakra Buana Sukma'
bersifat menyerang, tapi menunggu untuk diserang.
Suatu benturan keras tak dapat dihindari lagi,
sehingga menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat!
Itu pun masih disertai percikan bunga api yang dipadu dengan menggumpalnya dua
sinar yang menjadi satu.
"Ukh!"
Meskipun sudah pernah bertarung sebelumnya,
tapi Macan Gunung Sumbing masih terperanjat juga
ketika kedua telapak tangannya menempel erat pada
mata pedang Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pedang itu tidak digenggamnya.
Macan Gunung Sumbing berusaha melepaskan tangannya, tapi dirasakan adanya
satu kekuatan yang menyedot tenaganya. Semakin
kuat dikerahkan tenaganya, semakin kuat pula aliran itu menguasai dirinya.
"Hih! Hiyaaa...!"
Macan Gunung Sumbing meliukkan tubuhnya,
dan kakinya melayang deras disertai pengerahan
tenaga dalam penuh ke arah perut Pendekar Rajawali
Sakti. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga
menyentakkan tangannya cepat-cepat. Seketika tubuh
Macan Gunung Sumbing terlontar jauh, sehingga
tendangannya hanya sia-sia saja.
Dan selagi tubuh laki-laki berwajah penuh brewok
itu terlontar, dengan cepat Rangga melompat
memburunya. Langsung saja dikerahkan jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'. Pedang bercahaya biru itu
dikibaskan dengan cepat ke arah leher Macan Gunung
Sumbing. "Hiyaaat...!"
"Uts!"
Macan Gunung Sumbing buru-buru melentingkan
tubuhnya berputar di udara, sehingga tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti tidak mencapai sasaran.
Namun pada saat yang sama, Rangga telah lebih cepat menghunjamkan satu pukulan
tangan kiri disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna.
Dug! Pukulan itu tidak terbendung lagi, dan telak
menghantam bagian lambung Macan Gunung
Sumbing. "Ughk..!" keluh Macan Gunung Sumbing.
Keras sekali tubuhnya mencelat menghantam
sebatang pohon beringin hingga tumbang. Tapi
hebatnya, Macan Gunung Sumbing langsung bangkit
berdiri meskipun bibirnya meringis merasakan sakit
pada lambung. "Saatmu sudah tiba, Macan Gunung Sumbing!"
desis Rangga dingin.
Seketika itu juga Rangga menghentakkan tangan
kirinya. Maka secercah cahaya biru meluncur deras
dari telapak tangan kiri yang terbuka. Begitu cepatnya cahaya itu meluruk,
sehingga Macan Gunung Sumbing
yang baru saja mampu berdiri, tidak dapat mengelak
lagi. Tubuhnya langsung terselubung cahaya biru
berkilauan itu.
Laki-laki mirip harimau itu menggeliat-geliat
sambil berteriak-teriak keras. Dan pada suatu ketika, teriakannya berubah
menjadi raungan dahsyat bagai
raungan harimau. Tampak dalam selubung cahaya
biru itu, tubuh Macan Gunung Sumbing berkelojotan.
Sesaat kemudian seluruh tubuhnya tumbuh bulu
kuning belang hitam kecoklatan. Kedua bola matanya
membulat dan berwarna merah bagai sepasang bola
api. "Ghraaagh...!"
Sambil meraung keras, Macan Gunung Sumbing
menghentakkan tangannya ke atas. Seketika itu juga
cahaya biru yang menyelubungi tubuhnya, lenyap di-
sertai ledakan dahsyat menggelegar. Rangga melompat mundur begitu melihat Macan
Gunung Sumbing berubah jadi manusia setengah harimau!
"Ghraaaghk...!" Macan Gunung Sumbing meraung
dahsyat sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala.
Kemudian tangannya memukul-mukul dadanya
sendiri yang ditumbuhi bulu lebat, bagai bulu
harimau. Seluruh tenaga, kaki, wajah dan tubuhnya
telah berbulu. Macan Gunung Sumbing benar-benar
telah berubah menjadi makhluk setengah harimau!
Pada saat itu, dalam waktu yang bersamaan, ke-
anehan juga terjadi pada harimau yang tengah
bertarung melawan Rajawali Putih. Harimau besar itu meraung keras, kemudian
langsung melompat
mendekati Macan Gunung Sumbing. Sungguh sukar
dipercaya! Harimau itu mengangkat kedua kaki
depannya, dan perlahan-lahan tubuhnya menyatu
dengan tubuh Macan Gunung Sumbing. Harimau itu
lenyap. Dan kini Macan Gunung Sumbing benar-benar
berubah menjadi seekor harimau yang sangat besar
luar biasa! Meskipun tidak berdiri dengan empat
kakinya, tapi bentuk tubuhnya benar-benar berubah
menjadi harimau. Hanya bagian tangannya saja yang
masih berbentuk tangan manusia, meskipun berbulu
lebat. "Gila! Ilmu apa yang dipakainya...!?" desis Rangga
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Ghraughk...! Kau harus mampus, Pendekar Raja-
wali Sakti! Tidak ada yang mampu menandingi ilmu
'Siluman Harimau'ku!" suara Macan Gunung Sumbing
terdengar serak dan agak parau.
Sambil menggerung dahsyat, Macan Gunung
Sumbing yang sudah berubah ujud itu langsung
melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak Rangga masih terpana
setengah tidak percaya, tapi
buru-buru melompat ke samping menghindari
terjangan itu. Namun tanpa diduga sama sekali,
Macan Gunung Sumbing mampu berputar meskipun
dalam keadaan tubuh di udara, dan langsung
menerjang Rangga.
"Akh!" Rangga memekik tertahan.
Terjangan Macan Gunung Sumbing tidak dapat
dielakkan lagi. Tangannya yang berbulu lebat, dahsyat sekali menyampok tubuh
Rangga. Akibatnya, Pendekar
Rajawali Sakti itu mental, melayang tinggi ke angkasa.
Dan pada saat itu, Rajawali Putih melesat mengejar.
Dengan manisnya Rangga hinggap di punggung
Rajawali Putih itu.
"Khraghk...!"
"Aku tidak apa-apa, hanya sedikit sesak," jelas
Rangga seraya mengebutkan pedangnya tiga kali di
depan wajahnya.
Rajawali Putih menukik deras ke arah Macan Gu-
nung Sumbing yang menggerung-gerung dahsyat. De-
ngan sayapnya, burung itu menyampok tubuh
berwujud harimau itu. Kibasan yang cepat dan
bertenaga luar biasa itu membuat Macan Gunung
Sumbing terpental ke belakang. Dan pada saat
tubuhnya menghantam tembok batu, Rangga
melompat bagaikan kilat seraya mengibaskan pedang
pusakanya. "Hiyaaat...!"
"Graughk...!"
Tebasan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna itu tidak dapat dihindari lagi. Mata pedang yang berwarna biru
menghantam dada Macan Gunung
Sumbing. Suara raungan keras terdengar menggelegar.
Dan tubuh Macan Gunung Sumbing kembali terpental
ke belakang hingga menghantam rumah. Rumah itu
hancur berantakan mengubur manusia harimau itu!
"Aaarghk...!"
"Gila...!"
Rangga terkesiap melihat Macan Gunung Sumbing
kembali bangkit menyibakkan reruntuhan rumah yang
menimbunnya. Tidak ada luka sedikit pun pada tu-
buhnya. Padahal tadi jelas terlihat kalau pedang Pendekar Rajawali Sakti yang
terkenal dahsyat telah menghantam dadanya.
"Hhh! Aku tidak tahu lagi, bagaimana harus me-
ngalahkannya," desah Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser kakinya ke
kanan dua tindak. Dan Macan Gunung Sumbing pun
sudah melangkah menghampiri sambil menggerung-
gerung menahan marah. Sepasang bola matanya me-
rah menyala bagai bola api.
"Ayo! Maju kau, iblis!" dengus Rangga seraya
menggerak-gerakkan pedangnya.
"Ghraughk...!"
Macan Gunung Sumbing menggerung dahsyat,
dan tiba-tiba saja menerjang cepat bagaikan kilat ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga yang sudah siap sejak tadi, langsung melompat ke atas melewati
kepala manusia harimau itu. Dengan cepat dibabatkan pedangnya ke kepala manusia
harimau itu. Tebasan itu tepat menghantam kepala Macan Gu-
nung Sumbing, tapi tidak mencederai sedikit pun.
Bahkan dalam keadaan masih di udara, Macan Gu-
nung Sumbing berbalik, dan langsung menyerang
kembali. Buru-buru Rangga meluruk turun disertai
kibasan pedangnya. Kali ini dibabatkannya ke arah
kaki, tapi juga tidak membawa hasil.
Dua kali Rangga bergulingan di tanah, dan
bergegas bangkit berdiri. Pada saat itu Macan Gunung Sumbing sudah menyerang
kembali lebih ganas.
Rangga berdiri tegak, dan segera memasukkan Pedang
Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Rasanya memang tidak ada gunanya lagi
menggunakan pedang itu. Kini ditunggunya serangan
harimau itu. Semua orang yang melihat, pasti akan menduga
kalau Rangga sudah pasrah menerima kematiannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bergeming sedikit pun. Padahal si Macan Gunung
Sumbing sudah demikian dekat, dan sesaat lagi pasti akan
menerkamnya. "Ghrauk!"
"Hiyaaat..!"
Tepat ketika jangkauan tangan Macan Gunung
Sumbing hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba saja
Rangga melompat ke udara. Seketika tubuhnya cepat
meluruk turun sambil mengirimkan satu pukulan
keras bertenaga dalam penuh dan sempurna.
Duk! Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat
menghantam ubun-ubun manusia harimau itu.
"Aaarghk...!" Macan Gunung Sumbing meraung
keras. Dan belum lagi manusia harimau itu mampu
melakukan sesuatu, cepat-cepat Rangga menghu-
njamkan dua jarinya ke bola mata Macan Gunung
Sumbing. Kembali manusia setengah harimau itu
meraung keras. Ditutupi mukanya dengan kedua
tangannya. "Rajawali! Bawa dia ke atas...!" seru Rangga keras
seraya menjejakkan kakinya di tanah.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih yang sejak tadi melayang-layang di
angkasa, langsung meluruk turun. Disambarnya ke-
pala Macan Gunung Sumbing dengan cakarnya, dan
langsung dibawanya ke angkasa. Pada saat itu, Rangga melesat tinggi dan kemudian
hinggap di punggung
Rajawali Putih.
Sret! Cahaya biru kembali berpijar begitu Rangga
mencabut pedang pusakanya. Tepat pada ketinggian
tertentu, Rangga nekad melompat turun, dan langsung menghunjamkan pedangnya ke
mulut Macan Gunung
Sumbing. Dan begitu pedangnya ditarik, Rangga
kembali menghunjamkan ke arah jantung.
"Lepaskan, Rajawali...!" teriak Rangga yang saat
itu keseimbangan tubuhnya mulai kendur.
Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya,
sehingga Macan Gunung Sumbing meluruk jatuh ke
bawah tanpa dapat dicegah lagi. Dan Rajawali Putih
segera menukik menghampiri Rangga yang saat itu
juga sudah turun deras. Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh tepat di punggung
Rajawali Putih.
Tampak Macan Gunung Sumbing terjatuh keras
menghantam tanah. Pada saat yang sama, Rajawali
Putih menukik turun dan cakarnya langsung menyam-
bar tubuh manusia harimau itu. Kembali tubuh Macan
Gunung Sumbing dibawa tinggi ke angkasa, lalu
dijatuhkan lagi. Tiga kali Rajawali Putih melakukan hal itu, sehingga Macan
Gunung Sumbing tidak berdaya
lagi. Pada jatuhnya yang ketiga kali, tubuh Macan Gunung Sumbing menggelepar
sambil menggerung-gerung
kesakitan. Rangga cepat melompat, dan segera
membabatkan pedangnya ke leher si manusia harimau
itu. Cras! "Aaargh...!" Macan Gunung Sumbing meraung


Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras. Leher Macan Gunung Sumbing langsung putus
terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
segera melompat mundur, dan menyarungkan
pedangnya kembali di balik punggung. Hanya sebentar
Macan Gunung Sumbing mampu bergerak, sesaat
kemudian tidak berkutik lagi. Darah mengucur deras
dari kepala yang buntung.
Kembali perubahan terjadi. Tubuh yang tadinya
penuh bulu itu, perlahan-lahan kembali berubah
menjadi manusia, menjadi si Macan Gunung Sumbing
yang kini tanpa kepala. Rangga menarik napas
panjang, kemudian menoleh saat mendengar suara-
suara langkah kaki mendekati. Tampak Dewi Tanjung
dan Paman Waku serta beberapa penduduk
menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" nada suara Dewi
Tanjung terdengar cemas, namun juga gembira.
"Tidak," sahut Rangga pelan.
"Rangga, bagaimana kau mengetahui kelemahan-
nya?" tanya Paman Waku.
"Otak," sahut Rangga singkat.
"Otak..."!"
Rangga hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk
pundak Paman Waku. Pendekar Rajawali Sakti itu
kemudian menatap Dewi Tanjung lekat-lekat, lalu me-
lompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dewi
Tanjung berlari menghampiri.
"Kau akan pergi juga, Kakang?" tanya Dewi
Tanjung agak tersendat.
"Ya," sahut Rangga mendesah, namun terdengar
mantap. "Kembalilah ke padepokanmu. Kau belum
siap untuk terjun dalam dunia persilatan. Masih
banyak yang harus dipelajari, terutama
menyempurnakan ilmu yang sudah kau miliki."
"Kita akan bertemu lagi, Kakang?"
"Ya, kita akan bertemu lagi jika kau sudah menyem-
purnakan ilmu yang kau miliki," jawab Rangga sambil tersenyum. Lalu dia segera
memerintahkan Rajawali
Putih untuk pergi. Burung rajawali raksasa itu berkaokan, seakan-akan
mengucapkan selamat tinggal.
Sebentar kemudian burung itu sudah membumbung
tinggi ke angkasa. Sementara saat itu matahari mulai menampakkan sinarnya di
ufuk timur. Paman Waku
menghampiri Dewi Tanjung, lalu menepuk pundak gadis itu. "Maafkan. Seharusnya
aku tahu bahwa kau putri sahabatku," ucap Paman Waku pelan. "Sungguh aku
tidak tahu kalau si Raja Obat punya putri yang
tangguh dan cantik."
"Dari mana Paman tahu?" tanya Dewi Tanjung ter-
kejut. "Jurus 'Bidadari Penyebar Maut' yang kau
mainkan tadi."
"Ohhh...," Dewi Tanjung menarik napas panjang.
Dewi Tanjung tidak mampu menolak tawaran Pa-
man Waku untuk singgah di rumahnya. Mereka
berjalan menuju ke rumah Paman Waku, sementara
para penduduk Desa Weru mulai sibuk mengurus
mayat yang bergelimpangan akibat pertarungan
sepanjang malam tadi.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** 7 *** *** 8 SELESAI Ratu Peri Selat Sunda 2 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Budak Nafsu Terkutuk 2
^