Macan Gunung Sumbing 1
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing Bagian 1
MACAN GUNUNG SUMBING Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
1 "Auuum...!"
Suatu auman keras telah memecah keheningan
malam. Siapa saja yang mendengar pasti jantungnya
bergetar serasa akan copot. Belum lagi hilang suara mengaum itu, mendadak....
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking yang menyayat hati.
Sesaat kemudian, suasana malam menjadi sunyi sepi.
Tak terdengar satu suara, kecuali desiran angin malam yang mengusik, membawa
embun. Udara malam ini
terasa begitu dingin membekukan. Sedangkan suara-
suara tadi terdengar bagaikan alunan mimpi buruk
yang mengerikan. Hanya sesaat, tapi mampu mence-
kam seluruh penduduk Desa Weru.
Malam itu terasa begitu lambat berjalan. Fajar
seakan-akan enggan menyingsing. Kesunyian
menyelimuti seluruh sudut desa yang dipenuhi rumah-
rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan
beratapkan daun-daun rumbia. Pelita-pelita kecil tak sanggup menghalau gelapnya
sang malam. Apinya
yang redup seperti menari-nari tertiup angin, seakanakan hendak padam.
Namun kesunyian itu tidaklah menghalangi
langkah dua orang berkerudung kain pekat yang
melintasi jalan berdebu membelah desa itu. Mereka
berjalan cepat-cepat, seperti tengah memburu sesuatu.
Namun sesekali mereka menoleh ke belakang. Tampak
raut wajah yang pucat terlindung kain yang menutupi kepala dan tubuhnya.
Mereka baru berhenti melangkah setelah tiba di
depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun
memiliki halaman luas yang dihiasi rumput dan
pepohonan tertata apik. Sesaat mereka saling
berpandangan, tapi tidak juga meneruskan
langkahnya. Perlahan-lahan dibukanya kain yang
menyelubungi kepala mereka.
Dalam keremangan cahaya pelita dan bulan,
terlihat wajah agak tua, namun memiliki tatapan mata tajam memancarkan
kewibawaan. Sedangkan seorang
lagi masih tampak muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh lima tahun. Gagang
golok menyembul keluar
dari balik kain yang belum tersingkap penuh.
"Kau yakin suara itu terdengar dari rumah ini,
Argayuda?" tanya laki-laki yang lebih tua. Tatapan
matanya tak berkedip ke arah rumah di depannya
yang tampak sepi.
"Tidak salah, Ki. Rumahku di sebelah sana...,"
laki-laki muda yang dipanggil Argayuda menunjuk
rumah kecil tidak jauh dari sini. "Bahkan kulihat,
harimau itu keluar dari rumah ini. Tak lama
kemudian, seseorang juga melompat keluar sambil
membawa buntalan," jelas Argayuda.
"Baiklah, kau tunggu di sini saja. Aku akan lihat
ke dalam," kata laki-laki tua itu seraya melangkah.
"Ki...."
Argayuda bergegas mengikuti. Laki-laki tua itu
terus saja melangkah, tidak menghiraukan panggilan
Argayuda. Terpaksa pemuda itu mengikuti dari
belakang. Mereka berhenti kembali setelah sampai di depan pintu rumah yang
tertutup tak sempurna. Ada
sedikit rongga yang cukup untuk mengintip ke dalam.
Laki-laki tua itu mendekati pintu, kemudian mendo-
rongnya perlahan-lahan. Derit daun pintu terdengar
saat terkuak. "Akh...!" tiba-tiba saja Argayuda memekik
perlahan. "Dewata Yang Agung...," desis laki-laki tua itu se-
raya memalingkan wajahnya ke arah lain.
Apa yang mereka lihat di dalam rumah itu
sungguh mengerikan. Tampak seonggok mayat
tergeletak di lantai dengan kepala remuk dan tubuh
tercabik. Tidak jauh dari mayat itu, terlihat satu mayat lagi yang tergantung
seutas tambang ijuk. Tangan dan kakinya buntung. Darah segar masih menetes ke
lantai. Tampak di atas dipan kayu, juga masih terdapat
satu mayat lagi. Mayat seorang anak perempuan ber-
usia sekitar sembilan tahun. Lebih mengerikan lagi, tubuh mayat itu hampir
setengahnya hilang. Tinggal
bagian dada ke atas saja yang tersisa.
"Ki..., Ki Gedag...," suara Argayuda terdengar
bergetar. "Pukul kentongan! Beri tanda kematian," perintah
Ki Gedag, agak bergetar nada suaranya.
"Bb... baik..., baik, Ki," sahut Argayuda gugup.
Bergegas anak muda itu berlari menuju kentongan
yang ada di bagian kanan depan rumah itu. Sesaat
kemudian, terdengar kentongan dipukul bertalu-talu
yang memiliki nada tersendiri. Suara kentongan itu
terdengar menyelusup sampai ke sudut-sudut Desa
Weru. Tidak lama kemudian terdengar suara kento-
ngan balasan, yang semakin lama semakin banyak
terdengar dari segala penjuru.
Rumah-rumah yang semula remang-remang, kini
terang benderang. Dan beberapa orang mulai
bermunculan dari dalam rumahnya. Mereka setengah
berlari menuju ke rumah yang tertimpa musibah.
Terdengar suara langkah-langkah kaki mendekati
rumah itu. Begitu tiba, mereka langsung memekik
penuh kengerian saat melihat ke dalam. Sementara
Argayuda jadi terpaku memegangi kentongan bambu
yang tergantung di beranda samping rumah itu.
*** Wajah mendung terlihat dari orang-orang yang
melangkah perlahan meninggalkan areal pekuburan di
luar perbatasan Desa Weru. Tampak Ki Gedag masih
berdiri di samping gundukan tanah merah. Di sam-
pingnya berdiri Argayuda. Kepala mereka tertunduk
dalam. Tidak sedikit pun menghiraukan penduduk
Desa Weru lainnya yang sudah meninggalkan pusara
itu. Empat pusara baru berjajar di depan kedua laki-laki itu.
"Aku tak percaya kalau Macan Gunung Sumbing
sampai ke sini," desah Ki Gedag pelan bernada
mengeluh. "Aku juga tidak percaya, Ki. Tapi benar-benar
harimau itu kulihat keluar dari rumah Paman Waku,"
tegas Argayuda seraya mengangkat kepalanya. "Hhh..., kasihan Paman Waku. Kalau
saja dia tahu keluarganya terbantai begini...."
Ki Gedag menepuk pundak anak muda itu,
kemudian mengajaknya berjalan meninggalkan
pemakaman. Mereka berjalan perlahan-lahan
berdampingan. Sesekali Argayuda menoleh ke
belakang, melihat empat pusara yang baru terbentuk
sekaligus hari ini.
Kedua laki-laki itu terus berjalan berdampingan
tanpa bicara lagi. Langkah mereka pelan tanpa me-
noleh sedikit pun, sehingga sampai tidak menyadari
ada seorang pemuda duduk di bawah pohon yang
sejak tadi memperhatikan mereka ketika keluar dari
areal kuburan itu. Seekor kuda hitam pekat dan
bertubuh tinggi tegap, terlihat merumput tenang tidak jauh dari pemuda itu.
"Ki...," agak ragu-ragu nada suara Argayuda.
"Hm...," gumam Ki Gedag seraya menghentikan
langkahnya. Dia menoleh sedikit memandang pemuda
yang berjalan di sampingnya itu.
Argayuda ikut berhenti setelah lewat dua langkah
di depan Ki Gedag. Pemuda itu berbalik, menghadap
pada laki-laki tua dengan gagang golok menyembul di pinggang.
"Ada apa?" tanya Ki Gedag melihat Argayuda
nampak ragu-ragu untuk berkata.
"Apa ini tidak ada hubungannya dengan kejadian
di Desa Ilir...?" tanya Argayuda ragu-ragu.
"Maksudmu?" Ki Gedag malah balik bertanya.
"Pembunuhan beruntun itu, Ki."
Ki Gedag terdiam. Tatapan matanya tajam ke arah
pemuda itu. Memang bisa dimengerti maksud
pembicaraan Argayuda. Sebab, sebulan yang lalu,
pernah terjadi peristiwa mengerikan di Desa Ilir. Desa itu memang tidak seberapa
jauh letaknya dari Desa
Weru ini. Peristiwa yang sangat menggemparkan, dan
hampir tidak bisa dipercaya kebenarannya. Beberapa
keluarga terbunuh dalam keadaan mengerikan. Tubuh
mereka terpotong, tercabik, bahkan banyak yang
sudah tidak berbentuk lagi.
Ki Gedag juga tahu kalau mereka yang tewas
masih satu darah. Tidak kurang dari dua belas orang tewas. Tidak peduli apakah
orang tua, anak muda,
atau anak-anak kecil. Bahkan bayi berusia enam
bulan pun ikut menjadi korban. Ki Gedag tahu betul
dengan keluarga yang terbantai itu.
"Ciri-cirinya sama persis, Ki," kata Argayuda
pelan. "Terus terang, Argayuda. Aku juga sudah berpikir
ke situ. Tapi rasanya tidak ada hubungan keluarga
antara Paman Waku dengan mereka yang terbunuh di
Desa Ilir. Aku juga belum yakin kalau ini perbuatan si Macan Gunung Sumbing...,"
kata-kata Ki Gedag
terdengar ragu-ragu.
"Kalau ternyata benar, Ki...?" bergetar juga suara
Argayuda. "Mudah-mudahan saja tidak," desah Ki Gedag.
"Ayo...!"
Kedua laki-laki itu kembali berjalan tanpa bicara
lagi. Namun dari kepala yang tertunduk, dapat ditebak kalau mereka masih
memikirkan semua yang telah
terjadi pada keluarga Paman Waku semalam. Suatu
peristiwa yang mengerikan. Pembantaian satu
keluarga, tanpa seorang pun dibiarkan hidup.
Sementara itu, di bawah pohon yang cukup
rindang, pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi
putih masih menatap kedua laki-laki yang kini sudah jauh. Kening pemuda itu
nampak berkerut dalam dan
matanya agak menyipit. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri, dan tangannya menyangga di batang pohon.
Pandangannya masih tertuju pada Desa Weru.
"Macan Gunung Sumbing...," desisnya perlahan.
*** Suasana duka menyelimuti seluruh Desa Weru.
Tidak tergambar wajah-wajah cerah. Kematian satu
keluarga Paman Waku membuat hati seluruh
penduduk terasa teriris. Terlebih lagi melihat cara
kematian yang begitu mengerikan. Hati siapa tidak
akan tergiris melihat tubuh terpotong, kepala pecah, darah berceceran di mana-
mana. Pembantaian malam
itu benar-benar mengguncang seluruh Desa Weru yang
selama ini selalu damai dan tentram.
Di setiap sudut, wajah-wajah mendung selalu
terlihat nyata. Demikian juga di sebuah kedai yang
tidak begitu besar. Tidak banyak orang datang ke situ.
Meskipun pemilik kedai selalu tersenyum menyambut
tamu, tapi tidak bisa menghilangkan kemurungan
wajahnya. Laki-laki tua pemilik kedai itu tersenyum manis menyambut seorang
pemuda tampan memakai
baju rompi putih yang masuk ke kedainya.
"Pesan apa, Den?" tanya pemilik kedai itu.
"Tuak, dan makanan kecil," sahut pemuda itu
seraya duduk di bangku yang langsung menghadap ke
luar lewat jendela.
"Sebentar, Den."
Laki-laki tua pemilik kedai itu bergegas pergi saat datang lagi seorang laki-
laki berwajah aneh dan
bertubuh tinggi tegap. Dia langsung duduk di sudut
yang agak terlindung. Sempat diliriknya pemuda yang memakai baju rompi putih.
Terdengar dengusan
pendek. Sementara pemilik kedai sibuk melayani tamu-
tamunya, pemuda berbaju rompi putih itu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Perhatiannya langsung terpaku pada salah satu meja
di sudut, tempat laki-laki berwajah penuh brewok tebal dengan mata bulat merah
duduk di sana. Pada saat
yang sama, laki-laki itu juga menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Mereka
saling pandang beberapa saat, kemudian perhatiannya beralih pada seorang wanita
berbaju putih yang bersenjata pedang di punggung.
Wanita itu baru saja masuk, dan langsung duduk di
tengah-tengah kedai. Dipesannya arak dan beberapa
macam makanan. Pemuda berbaju rompi putih yang duduk dekat
jendela, menggapaikan tangannya memanggil pemilik
kedai. Laki-laki tua dengan tangan membawa baki,
bergegas menghampiri. Tubuhnya setengah
membungkuk begitu sampai di depan pemuda itu.
Disorongkan tubuhnya lebih ke depan begitu jari
telunjuk pemuda berbaju rompi itu bergerak.
"Ada apa, Den?" tanya laki-laki tua pemilik kedai
itu "Apakah mereka penduduk desa ini?" pemuda
berbaju rompi putih itu bertanya.
"Siapa?"
"Yang di sudut dan di tengah-tengah itu."
Pemilik kedai itu menolehkan kepalanya sedikit,
kemudian menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Mereka juga pendatang seperti Raden," kata pe-
milik kedai. "Terima kasih," ucap pemuda itu seraya bangkit
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri. Pemuda itu meletakkan beberapa keping uang
untuk membayar pesanannya, kemudian melangkah
ke luar. Matanya sempat melirik dua orang yang sejak tadi diperhatikannya. Laki-
laki berwajah penuh brewok dan bermata bulat merah seperti mata kucing itu
membalas tajam tatapan pemuda itu. Bibirnya yang
hampir tertutup brewok, menyunggingkan senyuman
tipis. Pemuda berbaju rompi putih itu langsung
melompat ke atas punggung kuda hitamnya yang
tinggi tegap. Otot-otot kuda itu bersembulan,
mencerminkan kegagahan dan kejantanan. Suara
decakan terdengar, maka kuda hitam itu melangkah
perlahan-lahan meninggalkan kedai. Beberapa
penduduk yang terlewati sempat memperhatikannya.
Namun pemuda itu tetap mengendarai kudanya
perlahan-lahan.
Kuda hitam itu berhenti tepat di depan rumah
yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas dan
ditumbuhi rerumputan. Pemuda berbaju rompi putih
itu memandang ke arah rumah yang tampak sepi.
Pintu depannya terbuka lebar. Pada bagian atas palang pintu terdapat hiasan dari
daun kelapa muda. Tidak
jauh dari situ terdapat bangunan batu berbentuk puri kecil yang diselubungi kain
hitam dan dihiasi
rangkaian bunga.
"Ada yang menarik, Den?" tiba-tiba terdengar
teguran ramah. "Oh!" pemuda itu terkejut, dan langsung
berpaling. Seorang laki-laki tua tahu-tahu sudah berdiri di
depannya. Di sampingnya tampak seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gagang golok
tersembul di pinggang mereka. Pemuda berbaju rompi
putih itu turun dari kudanya.
"Baru ada musibah di rumah itu rupanya...," ujar
pemuda itu setengah bergumam.
"Benar," sahut laki-laki tua yang ternyata adalah
Ki Gedag. "Hm... kalau tidak salah, kau yang berada di dekat
kuburan tadi. Benar...?" celetuk pemuda di samping Ki Gedag. Dia tidak lain dari
Argayuda. "Betul sekali. Aku juga sempat melihat upacara
pemakaman tadi," sahut pemuda itu. "Apakah pemilik
rumah itu yang meninggal?"
"Benar," sahut Argayuda. "Kenapa kau tanyakan
itu?" Pemuda berbaju rompi putih menatap Argayuda.
Jelas suara Argayuda bernada kecurigaan. Kasarnya,
nada itu bersifat menuduh. Tapi pemuda berbaju rom-
pi putih itu malah tersenyum.
"Permisi," ucap pemuda itu seraya melangkah me-
nuntun kudanya.
Ki Gedag bergeser ke samping memberi jalan.
Sedangkan Argayuda tetap berdiri dengan tatapan
mata penuh kecurigaan. Kedua laki-laki itu memutar
tubuhnya, dan sama-sama memandangi pemuda
berbaju rompi putih yang pedangnya tersampir di
punggung. Argayuda menggeser kakinya mendekati Ki
Gedag. "Aku jadi curiga, Ki," bisik Argayuda hampir tidak
terdengar. Ki Gedag tidak menyahut, namun pandangannya
tetap tertuju pada pemuda yang berjalan semakin jauh menuntun kudanya. Perlahan
dia menoleh memandang Argayuda.
"Jangan cepat menaruh kecurigaan, Argayuda,"
ujar Ki Gedag. "Kecurigaanku beralasan, Ki," sergah Argayuda.
"Hm...," Ki Gedag hanya menggumam tidak jelas.
"Pertama dia ada di kuburan. Sekarang ada di
sini, lalu menanyakan rumah itu. Apa maksud
pertanyaannya tentang orang yang tertimpa musibah
ini" Bukankah itu sangat mencurigakan, Ki. Jangan-
jangan...," kata-kata Argayuda terputus.
"Kau sudah mulai menuduh, Argayuda. Tidak baik
menuduh orang tanpa bukti," celetuk Ki Gedag
memperingatkan.
"Bukan menuduh, Ki. Tapi kita perlu menyelidiki
siapa dia, dan apa keperluannya datang ke Desa Weru
ini. Aku merasakan ada sesuatu yang lain, Ki," kata-kata Argayuda seperti untuk
dirinya sendiri.
"Ah! Sudahlah, Argayuda. Sebaiknya kita cepat ke
rumah Eyang Ganjur. Paman Waku sudah ada di
sana," sergah Ki Gedag seraya berbalik dan terus melangkah.
Argayuda mengangkat bahunya sedikit, kemudian
ikut memutar tubuhnya dan berjalan di samping Ki
Gedag. Mereka sempat menoleh ketika tiba di depan
kedai. Tampak seorang wanita muda berparas cantik
dan memakai baju putih keluar dari dalam kedai itu.
Tidak lama kemudian seorang laki-laki berwajah
penuh brewok menyusul ke luar. Tapi arah mereka
berlawanan. Ki Gedag dan Argayuda terus saja
berjalan tanpa berbicara lagi.
*** 2 Malam mulai menyelimuti seluruh Desa Weru.
Bulan bersinar penuh. Namun awan hitam yang
menggantung lebat di langit telah menghalangi cahaya bulan untuk menerangi
mayapada ini. Angin bertiup
sedikit keras membawa hawa
dingin yang menggigilkan. Desa Weru sudah tenggelam terselimut
kabut yang semakin menebal. Tak terlihat ada orang di luar rumah, kecuali dua
laki-laki yang tengah duduk di beranda.
Mereka adalah Eyang Ganjur bersama cucunya
yang bernama Paman Waku. Laki-laki berusia lima
puluh tahun itu baru saja tertimpa musibah di saat
dirinya sedang melaksanakan tugas ke Bukit Opak
membawa pesan kakeknya ini. Walaupun tidak muda
lagi, namun masih terlihat gagah dan tegap.
Rambutnya memang mulai berwarna dua. Sedangkan
Eyang Ganjur sudah demikian lanjut. Usianya
mungkin sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih.
Tapi laki-laki tua itu masih tetap terlihat gagah
meskipun tubuhnya kurus tertutup jubah panjang
berwarna putih bersih.
"Rasanya aku tidak pernah punya musuh selama
dua puluh tahun ini, Eyang. Tapi mengapa ada orang
yang begitu tega membantai keluargaku...?" desah
Paman Waku lirih.
"Mungkin saja salah seorang lawanmu dulu yang
masih menyimpan dendam, Waku," ujar Eyang Ganjur
lembut. "Ya..., mungkin juga. Tapi siapa...?"
"Memang terlalu mudah untuk menuduh si
pelaku, tapi sukar untuk membuktikannya. Masa
mudamu kau habiskan dalam dunia persilatan. Tak
sedikit orang yang menyimpan dendam di hatinya. Kau tidak akan mampu
mengingatnya satu persatu," kata
Eyang Ganjur bijaksana.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya
Paman Waku meminta pendapat.
"Diam," sahut Eyang Ganjur mantap.
"Diam..."!" Paman Waku terkejut juga mendengar
jawaban itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua
yang duduk di seberang meja bundar beralaskan batu
pualam putih itu.
Sedangkan yang ditatap hanya diam saja. Panda-
ngannya malah lurus ke depan. Dagunya ditopangkan
ke punggung tangan yang menggenggam tongkat ber-
kepala ular. "Apa yang akan kau lakukan, Waku" Mencari
pembunuh keluargamu" Mengumbar amarah dan
dendam buta tanpa petunjuk sedikit pun" Kau sudah
tidak muda lagi, Waku. Sadarilah keadaan dirimu
sendiri," lembut namun terdengar tegas kata-kata
Eyang Ganjur. Paman Waku hanya diam saja. Dia sendiri tidak
tahu, apa yang akan dilakukannya sekarang ini.
Sampai saat ini memang belum jelas, siapa pembunuh
keluarganya. Meskipun siang tadi Ki Gedag dan
Argayuda sudah menceritakan secara jelas, tapi masih belum bisa diyakini kalau
yang melakukan semua itu
adalah si Macan Gunung Sumbing.
Paman Waku memang pernah bentrok dengan
seorang tokoh yang berjuluk Macan Gunung Sumbing.
Tokoh itu memang berhasil dikalahkannya. Pertaru-
ngan waktu itu memang cukup adil dan disaksikan
Eyang Ganjur, kakeknya sendiri yang kini menjadi
ketua sebuah padepokan di Bukit Opak. Bahkan
istrinya yang saat itu baru dinikahinya ikut
menyaksikan, ditambah beberapa tokoh lain yang sulit untuk diingat lagi.
Permasalahannya sangat sepele. Waktu itu Paman
Waku menikahi seorang gadis yang juga diinginkan
Macan Gunung Sumbing. Macan Gunung Sumbing
tidak rela, dan mengajak bertarung sampai salah satu ada yang mati. Tapi Paman
Waku tidak berusaha
menewaskannya, meskipun saat itu Macan Gunung
Sumbing sudah pasrah saat dikalahkan. Paman Waku
membiarkannya pergi, hingga sampai sekarang tidak
pernah terdengar lagi beritanya.
Dan baru kali ini didengarnya nama Macan
Gunung Sumbing disebut, malah kebetulan pula
bersamaan dengan terjadinya musibah besar ini.
Benarkah yang dilihat Argayuda saat terjadinya
pembantaian malam itu" Pertanyaan ini yang selalu
mengganggu benak Paman Waku.
"Mungkin yang dikatakan Argayuda benar, Eyang.
Rasanya tidak ada lagi yang...," ucapan Paman Waku
terputus. "Mustahil!" sentak Eyang Ganjur cepat. "Macan
Gunung Sumbing tidak memelihara seekor harimau.
Itu hanya sekedar julukan saja. Tidak ingatkah kau
sewaktu bertarung dengannya?"
"Tidak akan kulupakan, Eyang."
"Nah! Apa mungkin Macan Gunung Sumbing me-
miliki seekor harimau" Bodoh sekali kalau kau
termakan omongan bocah kemarin sore itu!" agak
keras suara Eyang Ganjur.
"Mungkin hal itu tidak akan kupikirkan kalau saja
tidak ada peristiwa serupa sebulan lalu di Desa Ilir, Eyang. Aku kenal betul
dengan keluarga yang
terbantai habis tanpa sisa itu. Mereka adalah teman-teman baikku, yang juga
pernah berurusan dengan si
Macan Gunung Sumbing. Demikian pula peristiwa
pembantaian yang hampir sama di Gunung Anjar, di
Kampung Bulam dan di tempat-tempat lain.
Pembantaian satu keluarga. Bahkan sanak familinya
pun ikut terbantai dengan cara mengerikan. Dari
semua itu Macan Gunung Sumbing selalu disebut-
sebut sebagai pelakunya, meskipun sampai saat ini
belum terbukti sama sekali," ujar Paman Waku
panjang lebar. Eyang Ganjur terdiam. Memang benar apa yang
dikatakan cucunya barusan. Semua peristiwa itu
hampir serupa bentuknya. Brutal dan mengerikan.
Dan yang terpenting, korbannya adalah anggota
keluarga yang pernah punya urusan dengan si Macan
Gunung Sumbing. Kini satu keluarga telah terbantai.
Apakah peristiwa-peristiwa itu akan terulang kembali"
Kalau memang benar, tidak sedikit yang akan menjadi korban. Masalahnya, hampir
semua penduduk Desa
Weru ini bertalian darah.
"Aku akan mengirim utusan ke Bukit Opak
secepatnya, Eyang," kata Paman Waku.
"Untuk apa?" tanya Eyang Ganjur.
"Mengabarkan hal ini pada Kakang Bakor. Mereka
semua harus waspada sebelum telanjur, Eyang."
"Belum perlu, Waku. Kita belum bisa mengambil
kesimpulan secepat itu."
"Meskipun Eyang tidak setuju, aku tetap akan
memberitahu seluruh sanak keluarga agar waspada.
Aku yakin persoalan ini bukan persoalan sepele, Eyang.
Ini menyangkut nyawa orang banyak," tegas kata-kata Paman Waku.
"Pikirkan dulu, Waku," saran Eyang Ganjur.
"Sudah!" sahut Paman Waku mantap.
"Hhh...!" Eyang Ganjur menarik napas panjang.
*** Malam terus merayap semakin larut. Udara pun
semakin dingin menusuk kulit. Di dalam sebuah ka-
mar berdinding bilik bambu, terlihat sepasang insan tengah mereguk kenikmatan.
Tak ada yang terdengar
selain dengus napas memburu disertai erangan lirih
mengusik telinga. Mereka adalah pasangan muda yang
baru melangsungkan pernikahan beberapa hari.
"Oh! Kakang...!" terdengar pekikan lirih tertahan.
"Ahhh...!" disusul satu desahan panjang.
Satu tubuh menggelimpang ke samping
bermandikan keringat yang mengucur deras, berkilat
tertimpa cahaya pelita yang menempel di dinding.
Sebuah kepala dengan rambut terurai kusut
menyembul terangkat naik. Terdengar bunyi suara
gemerisik dari kain yang dililitkan ke tubuh ramping berkulit kuning langsat.
"Mau ke mana?" sapa laki-laki muda yang masih
menggeletak bersimbah keringat. Tangannya menjulur
memeluk pinggang istrinya.
"Ambil air," sahut wanita itu seraya mengecup pipi
suaminya. "Jangan lama-lama, di luar gelap."
"He-eh."
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu beranjak turun dari pembaringan.
Terdengar bunyi bergerik. Sebentar wanita itu menoleh dan memberikan senyum
menawan, kemudian jalan
melenggang. Tubuhnya hanya dililit selembar kain. Dia melangkah keluar dari
kamar, dan terus melintasi satu ruangan.
Tangannya yang kecil dan halus, mengangkat pa-
lang pintu. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan,
namun masih juga terdengar suara bergerit. Angin
malam yang dingin langsung menerpa kulit wajahnya.
Wanita itu membungkuk mengambil tempayan air dari
tanah liat. Dan pada saat berdiri tegak....
"Akh...!" wanita itu memekik kaget agak tertahan.
Seketika wajahnya pucat pasi, dan matanya mem-
beliak lebar. Tubuhnya bergetar hebat, sehingga tempayan itu jatuh dan pecah di
ujung kakinya. Belum
lagi wanita itu bisa bersuara, mendadak satu baya-
ngan besar berkelebat disertai auman keras
menggetarkan. "Aaaum...!"
"Aaa...!"
Satu jeritan melengking terdengar. Tubuh wanita
itu terguling ke lantai. Hanya sesaat jeritan melengking itu terdengar, kemudian
tidak terdengar lagi suara dari bibir wanita itu.
"Senah...!"
Jeritan melengking itu membuat laki-laki yang
berada di dalam kamar kontan memburu keluar.
Betapa terkesiap hatinya begitu melihat pemandangan yang mengerikan sekali.
Tubuhnya gemetar hebat dan
wajahnya pucat pasi seketika. Tapi segera
disambarnya golok yang menggantung di dinding di
sampingnya. Sret! Baru saja dicabut goloknya, mendadak satu baya-
ngan berkelebat cepat mengarah padanya. Sejenak dia terkesiap, dan buru-buru
melompat ke samping sambil menjatuhkan tubuhnya bergulingan di lantai. Tapi
mendadak saja bayangan itu berbalik dan langsung
menerjangnya demikian kuat.
"Akh!" laki-laki muda itu memekik tertahan.
Dan belum lagi menyadari apa yang terjadi, tiba-
tiba terasa ada beberapa tusukan benda kecil mengo-
yak dadanya. Itu pun masih disusul suatu hentakan
keras pada kepalanya ke lantai.
"Aaa...!" laki-laki itu menjerit melengking tinggi.
Jeritan yang begitu keras menyayat, membelah
keheningan malam yang dingin ini. Sesaat kemudian
keadaan menjadi sunyi sepi kembali, namun masih
tampak dua bayangan berkelebat cepat keluar dari
bagian belakang rumah itu. Mereka meninggalkan dua
sosok tubuh yang koyak tak berbentuk lagi. Kepala
laki-laki muda itu hancur. Leher dan dadanya
berlubang besar. Sedangkan yang wanita lebih
mengerikan lagi. Sebagian besar tubuhnya hilang.
Yang ada tinggal kepala, sebagian dada, sebelah
tangan, dan potongan perut yang tercecer. Darah
menggenangi lantai.
"Grauuugh...!" terdengar raungan panjang yang
semakin lama semakin mengecil, lalu hilang sama
sekali. Sementara malam terus merambat semakin larut.
Tak ada seorang pun yang menyaksikan peristiwa
memerikan itu. Memang begitu cepat terjadi, dan
sukar sekali dipahami.
*** "Biadab...!" geram Paman Waku menyaksikan dua
mayat dalam keadaan mengerikan di dalam rumah.
Paman Waku tidak sanggup lagi melihat, dan
langsung melangkah keluar. Wajahnya merah padam
menahan geram. Betapa tidak" Wanita yang tewas
bersama suaminya itu adalah keponakannya yang
baru beberapa hari melangsungkan pernikahan.
Rumah yang kecil dengan halaman tidak seberapa
besar itu kini dipadati penduduk yang berdatangan
ingin melihat. Semua orang yang melihat pasti akan mendesis
kengerian. Hanya murid-murid Eyang Ganjur yang
mampu bertahan lama. Itu pun terpaksa karena
mendapat perintah gurunya untuk mengurus mayat-
mayat itu. Sementara Paman Waku sendiri tidak
sanggup lagi menyaksikannya. Eyang Ganjur yang
semula berada di dalam mengawasi muridnya yang
berjumlah empat orang, melangkah ke luar begitu
melihat cucunya ke luar dengan wajah merah padam
menahan geram. "Waku...," panggil Eyang Ganjur begitu berada di
samping cucunya.
"Eyang masih juga berdiam diri"!" dengus Paman
Waku langsung menyelak.
"Tahan amarahmu, Waku. Bisa kurasakan apa
yang kau rasakan sekarang. Kau pikir aku...," Eyang Ganjur mendesah panjang
seraya mengangkat
kepalanya sedikit ke atas. "Hhh...! Tidak seharusnya aku kasar padamu, Waku."
"Maafkan aku, Eyang. Aku terbawa kata hatiku,"
ucap Paman Waku perlahan.
"Ah, sudahlah."
Kakek dan cucu itu terdiam. Saat itu Ki Gedag
dan Argayuda muncul dan langsung menghampiri.
Mereka baru saja keluar dari dalam rumah duka.
Eyang Ganjur menoleh pada kedua orang itu. Sesaat
mereka hanya berdiam diri saja dengan sinar mata
yang sulit diartikan.
"Eyang, bukannya aku hendak menambah keruh
suasana. Tapi sejak tadi kuperhatikan ada tiga orang yang...."
"Di mana?" sentak Paman Waku langsung
memotong ucapan Argayuda.
"Mereka sendiri-sendiri. Yang dua orang memang
sudah tidak terlihat. Tapi yang seorang masih ada di bawah pohon kenanga. Itu,
di samping kuda
hitamnya," sahut Argayuda menunjuk dengan ekor
matanya. Paman Waku dan Eyang Ganjur langsung
mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk
Argayuda. Di bawah pohon kenanga memang terlihat
seorang pemuda berwajah tampan memakai baju
rompi putih. Sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung, tersembul dari balik
punggungnya. Seekor
kuda tegap berwarna hitam pekat tengah merumput di
sampingnya. "Waku...," Eyang Ganjur menangkap tangan cucu-
nya yang hendak melangkah menghampiri pemuda itu.
Paman Waku menatap kakeknya tajam.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Eyang
Ganjur. "Hanya ingin bertanya saja, Eyang," sahut Paman
Waku. "Hatimu sedang panas! Biar aku saja," ujar Eyang
Ganjur. Semula Paman Waku akan membantah, tapi
Eyang Ganjur sudah melangkah begitu melepaskan
cekalannya. Ki Gedag menghampiri Paman Waku dan
berdiri di samping kanannya. Mereka memperhatikan
Eyang Ganjur yang menghampiri pemuda berbaju
rompi putih itu.
Eyang Ganjur memberi salam ramah begitu
sampai di depan pemuda itu, yang kemudian langsung
disambut ramah pula. Sejenak Eyang Ganjur
memperhatikan pemuda itu dari ujung rambut hingga
ke ujung kaki "Maaf, boleh aku tahu siapa Kisanak ini?" tanya
Eyang Ganjur ramah.
"Apakah kehadiranku mengganggu, Eyang?"
pemuda itu malah balik bertanya. Dia langsung
memanggil Eyang karena melihat laki-laki itu usianya sudah lanjut dan memakai
jubah putih bagai seorang
pertapa. "Oh, bukan begitu maksudku. Hanya saja, aku
harus tahu setiap orang asing yang berada di desa ini,"
sahut Eyang Ganjur.
"Namaku Rangga. Aku memang sedang singgah di
sini dalam perjalananku," jelas pemuda itu
memperkenalkan diri.
"Kau seorang pengembara?" tanya Eyang Ganjur
lagi. "Benar, Eyang."
"Hm.... Begini Kisanak. Bukannya aku tidak suka
akan kehadiranmu di sini. Tapi demi kebaikanmu,
sebaiknya segeralah pergi setelah istirahatmu selesai,"
lembut dan sopan kata-kata Eyang Ganjur, namun
bernada tegas penuh kewibawaan.
"Oh...! Kenapa?" tanya Rangga agak terkejut juga.
"Sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Yang jelas,
terlalu berbahaya bagimu berada di sini terlalu lama.
Bukan hanya dirimu, tapi juga bagi semua orang asing.
Desa ini terpaksa kututup dari kunjungan orang luar.
Kuharap, kau bisa memakluminya, Kisanak," kata E-
yang Ganjur tetap ramah.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang," kata Rangga
mengalah. "Aku ucapkan terima kasih atas pengertianmu, Ki-
sanak," ucap Eyang Ganjur.
"Tidak mengapa, Eyang. Aku bisa mengerti."
Rangga berbalik dan melangkah pergi seraya me-
nuntun kudanya. Eyang Ganjur masih berdiri
memandang kepergian pemuda yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Eyang Ganjur
masih menatap kepergian Rangga, sehingga tidak
menyadari kalau Paman Waku, Ki Gedag, dan
Argayuda sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki tua itu menarik napas panjang
setelah mengetahui
kehadiran ketiga orang itu.
"Apa yang Eyang katakan padanya?" tanya Paman
Waku seraya menatap punggung Rangga yang semakin
jauh berjalan. "Hanya meminta pengertiannya," sahut Eyang
Ganjur tanpa berpaling. "Hhh...! Pemuda yang sopan."
"Eyang tidak menanyakan maksud kedatangannya
ke sini?" desak Paman Waku.
"Dia hanya singgah sebentar. Ah! Sudahlah,
Waku. Tidak pantas mencurigai orang yang begitu
sopan dan bersedia mengerti tanpa harus dijelaskan
lebih banyak."
"Eyang, sejak kemarin dia ada di sini," celetuk
Argayuda. "Argayuda!" sentak Ki Gedag.
Tapi Paman Waku sudah menanggapinya dengan
serius. "Menginap di mana dia, Argayuda?" tanya Paman
Waku. "Aku tidak tahu. Tapi, dia selalu muncul setiap
ada korban jatuh," sahut Argayuda tidak
menghiraukan delikan mata Ki Gedag. "Bahkan juga
muncul di kuburan, menatap rumah Paman, dan
menanyakan...."
"Argayuda!" sentak Ki Gedag memotong ucapan
pemuda itu. "Jangan tanggapi kata-kata cucuku,
Paman Waku. Argayuda sendiri sedang tegang,"
sambung Ki Gedag melihat tatapan tajam Paman
Waku. Paman Waku semakin tajam menatap laki-laki se-
tengah baya itu. Sedangkan Argayuda jadi kikuk.
Argayuda tidak menolak ketika Ki Gedag menariknya
dan membawanya pergi. Sedangkan Paman Waku
kelihatan tidak puas terhadap sikap Ki Gedag.
"Keterlaluan kau, Argayuda!" rungut Ki Gedag
setelah cukup jauh.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Ki," bela
Argayuda. "Itu namanya membuat keruh suasana. Berapa
kali kukatakan, jangan banyak bicara di depan Paman
Waku. Kalau terjadi apa-apa, kau bersedia
bertanggung jawab" Bisa-bisa malah kau sendiri yang dicurigai kalau ternyata
pemuda itu tidak bersalah!"
dengus Ki Gedag menggerutu menyesali kecerobohan
cucunya itu. "Tapi, Ki...."
"Sudah!" bentak Ki Gedag.
Argayuda langsung diam. Mereka terus melangkah
pergi tanpa bicara lagi. Ki Gedag benar-benar
menyesali kelancangan cucunya ini. Dia tahu persis
watak Paman Waku yang mudah bangkit amarahnya.
Terlebih lagi, pada saat-saat seperti ini. Argayuda memang masih terlalu muda
dan tidak bisa berpikir
panjang. Darah muda yang selalu menuruti kata hati
tanpa mengenal kompromi.
*** 3 Kuda hitam pekat itu melangkah perlahan.
Ayunan kakinya begitu teratur seperti tahu keinginan majikannya. Di punggungnya
duduk seorang pemuda
berwajah tampan dan berkulit kuning langsat. Baju
rompi putih yang bagian dadanya terbuka lebar,
meriap dipermainkan angin senja. Rambutnya hitam
panjang tergelung ke atas. Sebagian meriap melambai-lambai mengikuti irama derap
langkah kaki kuda itu.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Belum lagi hilang suara bentakan itu, mendadak
di depan muncul seorang gadis cantik. Bajunya putih ketat, dan pedangnya
tersampir di punggung. Gadis itu
berdiri bertolak pinggang sambil menatap tajam.
Pemuda di atas punggung kuda hitam itu langsung
menghentikan langkah kudanya, dan tetap duduk
dengan sikap tenang.
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nisanak, apa maksudmu menghalangi jalanku?"
tanya pemuda itu sopan dan lembut.
"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti!
Apa maksudmu datang ke Desa Weru!" dengus wanita
itu ketus. "He...! Kau tahu namaku..."!" pemuda yang berada
di punggung kuda hitam itu terkejut, karena wanita itu tahu nama julukannya.
Pemuda itu memang Pendekar
Rajawali Sakti yang bernama asli Rangga.
"Hhh! Hanya orang bodoh saja yang tidak tahu
siapa dirimu!" kembali wanita itu mendengus.
"Nisanak, aku tidak kenal dirimu. Dan rasanya di
antara kita tidak pernah ada persoalan apa-apa.
Kenapa kau menghadang jalanku dengan sikap permu-
suhan?" Rangga mencoba lembut.
"Di antara kita memang belum pernah punya
persoalan. Aku hanya ingin memberi peringatan saja
padamu, Pendekar Rajawali Sakti!" tetap ketus nada
suara wanita itu.
"Peringatan" Peringatan apa, Nisanak" Hm...,
kalau boleh tahu, siapa namamu?" Rangga masih tetap lembut meskipun wanita itu
tetap ketus. "Mungkin kau sudah mendengar julukan Bidadari
Pencabut Nyawa! Itulah diriku. Dewi Tanjung atau si Bidadari Pencabut Nyawa.
Jelas...!?"
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sama sekali
belum pernah didengar nama wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari
punggung kudanya. Dilangkahkan kakinya dua tindak
ke depan, dan dibiarkan kuda hitamnya melenggang
ke tepi, mendekati segerumbul rumput hijau yang
subur di bawah pohon kamboja.
"Kuperingatkan sekali lagi, Pendekar Rajawali
Sakti. Tinggalkan segera Desa Weru, atau kau
berhadapan denganku!" dingin nada suara Dewi
Tanjung. "Ha ha ha...!" Rangga tidak dapat lagi menahan
tawanya. Seketika itu juga tawanya meledak
mendengar peringatan wanita yang mengaku bernama
Dewi Tanjung atau berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa.
Memang satu hari ini sudah dua orang
memperingatkannya untuk pergi dari Desa Weru.
Hatinya benar-benar terasa tergelitik, sehingga tidak bisa menahan tawanya.
"Diam! Tidak lucu...!" merah padam wajah Dewi
Tanjung. Rangga langsung diam, tapi bibirnya tetap me-
nyunggingkan senyum menahan tawa. Sedangkan De-
wi Tanjung semakin merah wajahnya. Dirasakan kalau
Rangga telah meremehkan peringatannya.
"Aku tidak main-main, Pendekar Rajawali Sakti!
Aku tidak ingin melihat mukamu lagi di desa ini!" tegas kata-kata Dewi Tanjung.
"Baik, aku akan pergi secepatnya. Tapi tolong
jelaskan, mengapa kau menginginkan aku pergi dari
Desa Weru?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak!" dengus Dewi
Tanjung ketus. "Kalau aku mencari tahu sendiri?"
"Heh..."!" Dewi Tanjung terkejut setengah mati.
Rangga mengangkat bahunya, kemudian
melangkah ringan mendekati kudanya. Ditepuk-
tepuknya leher kuda hitam yang bernama Dewa Bayu
itu. Kemudian dia duduk di atas akar pohon yang
menyembul dari dalam tanah. Sebatang rumput
dicabut, kemudian diselipkan di sudut bibirnya.
Dewi Tanjung semakin geram melihat sikap Pen-
dekar Rajawali Sakti itu. Dengan ujung jari kakinya dikutiknya sebatang ranting
kering, lalu disentilnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Sentilan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam itu sungguh luar
biasa. Ranting kering itu meluruk deras bagai sebatang anak panah lepas dari
busur. "Uts!"
Rangga mengegoskan kepalanya sedikit ke
samping. Ranting kering yang rapuh itu menancap
sampai setengahnya di batang pohon di belakang
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berdecak kagum
melihat tenaga dalam yang dimiliki gadis itu. Memang boleh juga. Ranting kering
yang rapuh itu bagai
sebatang baja kuat, dan sanggup menembus batang
kayu yang cukup besar dan kokoh.
"Sudahlah, Nini Dewi. Aku tidak ada waktu
bermain-main denganmu," ujar Rangga sengit.
"Aku tidak minta kau bermain denganku, yang
kuminta, enyahlah dari sini!" dengus Dewi Tanjung.
Rangga bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya gadis
berbaju putih itu. Meskipun masih kesal, tapi dia melompat juga ke punggung
kudanya. Rangga benar-
benar tidak ingin berurusan dengan gadis yang begitu galak. Dia berdecak dan
menghentakkan tali kekang
kudanya. Dewa Bayu segera melenggang setelah me-
ringkik satu kali.
Dewi Tanjung memandangi kepergian Rangga.
Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis karena
berhasil mengusir Pendekar Rajawali Sakti. Bidadari Pencabut Nyawa itu masih
berdiri tegak meskipun
Rangga sudah jauh, dan menghilang di dalam hutan,
tubuhnya baru berbalik setelah bayangan Pendekar
Rajawali Sakti itu tidak terlihat lagi. Namun baru saja berbalik, mendadak
sebuah bayangan melesat.
"Kau...!?" Dewi Tanjung terkesiap begitu melihat
jelas bayangan itu.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, bayangan
itu sudah kembali melesat menerjangnya. Dewi
Tanjung langsung melentingkan tubuhnya ke
belakang, dan berputaran beberapa kali di udara.
Namun sosok bayangan itu terus mencecarnya, dan
tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk
bernapas. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Dewi Tanjung
melentingkan tubuhnya ke atas. Dengan manis sekali
kakinya hinggap di atas dahan pohon yang cukup
tinggi. Sepasang bola matanya yang bulat bening,
membeliak mendapati sesosok tubuh menyeramkan
berdiri di bawah pohon itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa
menggelegar. "Huh!" Dewi Tanjung mendengus berat.
Dewi Tanjung meluruk turun. Begitu kakinya
menjejak tanah, muncul seorang laki-laki tinggi tegap penuh brewok. Laki-laki
itu menghampiri seekor
harimau sebesar anak kerbau yang tadi sempat
menyerang Dewi Tanjung. Binatang buas itu mendekam
sambil menggerung-gerung perlahan.
"He he he...! Hebat...! Hebat, kau bisa mengusir
Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengadu tenaga. He he he...!" laki-laki itu memuji
sambil terkekeh.
"Aku tidak perlu pujianmu, Macan Gunung Sum-
bing! Aku datang ke sini untuk membuat perhitungan
denganmu!" dengus Dewi Tanjung ketus.
"Perhitungan..." Ha ha ha...!" Laki-laki yang
wajahnya penuh brewok itu tertawa terbahak-bahak.
Perutnya yang sedikit buncit terguncang-guncang.
Dewi Tanjung menggeram melihat tingkah
manusia seperti harimau itu. Wajahnya memang
hampir menyerupai harimau peliharaannya itu.
Matanya bulat merah, dan seluruh mukanya hampir
tertutup brewok lebat. Kuku jari-jari tangannya
runcing dan berwarna hitam. Lengannya kokoh dan
dihiasi bulu tebal. Perawakan Macan Gunung Sumbing
memang sungguh menyeramkan, membuat siapa saja
yang melihatnya bakal merinding ketakutan!
"Ghraugh...!" harimau itu menggerung seraya
membuka mulutnya lebar-lebar.
Tampak barisan giginya yang tajam bertaring.
Seluruh mulutnya berwarna merah darah. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk ke arah Bidadari
Pencabut Nyawa. Tapi dia tetap mendekam di samping
si Macan Gunung Sumbing.
"Telah lama kutunggu kesempatan ini, Macan Gu-
nung Sumbing! Sekarang saatnya menagih hutang
padamu!" dingin sekali nada suara Dewi Tanjung.
"Dewi Tanjung! Apakah kau sudah punya nyawa
rangkap sehingga berani menantangku, heh"! Dengar,
bocah! Aku tidak pernah punya hutang nyawa pada
siapa pun juga. Kalau aku membunuh, itu karena me-
reka patut dibunuh!" keras suara Macan Gunung Sum-
bing. "Dan aku akan membunuhmu, karena kau juga
patut dibunuh!" sambut Dewi Tanjung dingin.
"Bocah setan! Rupanya kau benar-benar cari
mampus, heh"!" geram Macan Gunung Sumbing.
"Kita lihat, siapa di antara kita yang lebih dahulu ke neraka!" tantang Dewi
Tanjung tegas. "Phuih! Baru kali ini aku ditantang bocah
ingusan!" dengus Macan Gunung Sumbing sinis.
"Tantanganku yang akan mengirimmu ke neraka,
Macan Gunung Sumbing!"
"Bocah gendeng! Kupatahkan batang lehermu.
Hiyaaat...!" Mendapat tantangan terbuka itu, Macan
Gunung Sumbing tidak bisa lagi menahan luapan
amarahnya. Cepat sekali tubuhnya melompat sambil
menjulurkan tangannya ke depan. Kuku-kukunya yang
hitam runcing, mengembang siap mengoyak tubuh indah Bidadari Pencabut Nyawa.
Namun terjangan yang cepat itu manis sekali dielakkan wanita itu. Dewi Tanjung
menggeser kakinya ke kanan sambil memiringkan
tubuhnya sedikit. Dan dengan kecepatan kilat,
dilayangkan tendangan ke arah perut Macan Gunung
Sumbing. "Phuah!"
Macan Gunung Sumbing menyumpah serapah.
Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang, sehingga
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi itu luput dari sasaran. Laki-laki
berwajah mirip harimau itu kembali menyerang ganas. Kedua tangannya selalu
merentang dan jari-jarinya terbuka lebar. Kebutan tangannya
begitu cepat dan kuat. Angin kebutannya mengandung
hawa panas yang menyengat.
Dewi Tanjung menyadari betul kalau saat tengah
berhadapan dengan tokoh sakti yang berkepandaian
tinggi dan sukar dicari tandingannya. Wanita itu
berkelit dan berlompatan menghindari setiap serangan yang datang sambil sesekali
mengirimkan serangan
balasan. Bidadari Pencabut Nyawa itu juga tidak
tanggung-tanggung lagi, langsung dipergunakanlah
jurus-jurus yang dahsyat dan diandalkan.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Ma-
sing-masing berusaha untuk merobohkan lawannya.
Tidak terasa, mereka sudah mengeluarkan sepuluh
jurus. Namun pertarungan nampaknya masih terus
berlangsung. Tempat di sekitar pertarungan itu sudah tidak karuan lagi. Porak-
poranda bagai diterjang amukan dua manusia raksasa. Pohon-pohon besar dan kecil
bertumbangan. Batu-batu pecah berantakan. Debu
mengepul di udara, menambah pekatnya suasana.
Namun pertarungan masih saja berlangsung. Bahkan
semakin sengit.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Macan Gunung Sumbing berteriak
keras. Dan tahu-tahu tubuhnya sudah berputar cepat
mengelilingi Dewi Tanjung. Sesaat Bidadari Pencabut Nyawa itu jadi kelabakan,
karena tidak tahu lagi di mana lawannya berada. Yang terlihat hanya bayangan
berkelebat cepat mengelilingi tubuhnya. Dan belum
lagi gadis itu menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu Macan Gunung Sumbing
melepaskan satu pukulan
keras yang tidak terduga sama sekali.
"Akh...!" Dewi Tanjung memekik keras tertahan.
Tubuhnya limbung terhuyung-huyung. Satu
pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi berhasil mendarat di punggungnya.
Dan selagi tubuhnya
terhuyung, kembali Macan Gunung Sumbing
melepaskan satu pukulan disertai teriakan
menggelegar. "Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
Pukulan itu tidak bisa dielakkan lagi. Dewi
Tanjung memekik keras, dan tubuhnya terlontar
sejauh beberapa tombak. Dua batang pohon langsung
hancur berantakan terlanda tubuh ramping gadis itu.
Namun Dewi Tanjung masih berusaha bangkit berdiri.
Pukulan Macan Gunung Sumbing yang telah
menghantam dadanya, membuatnya jadi sukar
bernapas. Dan selagi mencoba bangkit berdiri, darah segar termuntahkan dari
mulutnya. "Ha ha ha...!" Macan Gunung Sumbing tertawa
terbahak-bahak.
"Setan...!" dengus Dewi Tanjung menggeram.
Cepat Bidadari Pencabut Nyawa itu menggerak-ge-
rakkan tangannya di depan dada, kemudian mencabut
pedangnya. Sret...! Pedang berwarna hitam pekat itu telah tergenggam erat di
tangan kanan, melintang di depan dada. Disekanya darah yang masih tersisa di
mulut dengan punggung tangan kiri. Sepasang bola
matanya menatap tajam penuh kemarahan.
"Ghraugh...!" tiba-tiba harimau yang sejak tadi
mendekam diam, bangkit berdiri sambil menggerung
keras. "He he he.... Rupanya kau ingin mendapat bagian
juga, Belang. Baiklah! Aku serahkan dia untukmu,"
ujar Macan Gunung Sumbing terkekeh.
"Phuih!" Dewi Tanjung menyemburkan ludahnya.
Bidadari Pencabut Nyawa itu menggeser kakinya
ke samping beberapa langkah. Sedangkan Macan
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gunung Sumbing melangkah mundur, memberi
kesempatan harimau peliharaannya untuk maju. Dari
bibirnya yang tipis tertutup brewok, masih terdengar tawa terkekeh. Sementara
Dewi Tanjung kembali
menggeser kakinya. Pandangannya tajam tertuju pada
binatang buas sebesar anak kerbau itu.
"Auuum...!" Harimau itu mengaum keras.
Dan belum lagi hilang suara aumannya, binatang
buas itu sudah melompat cepat menerkam. Dewi
Tanjung melompat ke samping sambil membabatkan
pedangnya ke tubuh binatang mengerikan itu. Tapi
sungguh di luar dugaan, ternyata binatang itu mampu berkelit dengan memutar
tubuhnya di udara. Tebasan
Dewi Tanjung hanya mengenai angin. Dan secepat itu
pula, harimau belang itu berbalik. Langsung
diterkamnya kembali tubuh ramping itu dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata biasa.
"Haaait..!"
Dewi Tanjung melompat ke belakang seraya
mengibaskan pedangnya. Tapi harimau itu tetap maju
menerjang, dan....
Dug! "Heh...!"
"Ha ha ha...!"
Dewi Tanjung terkejut bukan main begitu pedang-
nya membabat bagian perut harimau sebesar anak
kerbau itu. Rasanya seperti menghantam sekarung
kapuk saja. Pedangnya terpental balik, sedangkan
harimau itu tidak mengalami luka sedikit pun. Dewi
Tanjung bergegas melompat mundur. Diperiksa mata
pedangnya, ternyata tak ada yang gompal. Kemudian,
dipandangi tajam-tajam harimau yang menggerung-
gerung memamerkan taringnya.
"Gila! Binatang apa ini...?" dengus Dewi Tanjung.
"Graugh...!" harimau itu menggeram.
Binatang itu merendahkan tubuhnya sedikit, dan
tiba-tiba melompat hendak menerkam Dewi Tanjung.
Sesaat, Bidadari Pencabut Nyawa itu terperangah,
sehingga tidak sempat lagi menghindar. Namun pada
saat yang sangat kritis, mendadak sebuah bayangan
putih berkelebat menghajar harimau itu.
"Grrraaaugh...!" harimau itu meraung keras.
Tubuh binatang itu terpental cukup jauh ke bela-
kang, menghantam sebongkah batu hingga hancur
berantakan. Sebelum ada yang sempat menyadari,
bayangan putih itu sudah berkelebat lagi. Langsung
saja disambarnya tubuh Dewi Tanjung, dan seketika
itu juga lenyap tak berbekas.
"Setan keparat....!" geram Macan Gunung
Sumbing begitu tersadar.
Tapi Dewi Tanjung sudah lenyap, bersama
lenyapnya bayangan putih itu. Macan Gunung Sumbing
menggerutu dan memaki-maki geram. Sedangkan
harimau belang yang sangat besar itu menggerung-
gerung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
melangkah menghampiri si Macan Gunung Sumbing,
lalu mendekam di depan laki-laki berwajah kasar
penuh brewok itu. Geramannya terdengar lirih, dan
kepalanya terkulai rata dengan tanah.
"Bukan hanya kau yang kecewa, Belang. Huh!
Siapa pun orangnya yang berani usil, akan kurobek-
robek tubuhnya!" dengus Macan Gunung Sumbing
geram. "Grrr...!" Harimau itu menggerung pelan, seakan
menyetujui ucapan majikannya.
"Ayo, Belang. Masih banyak yang harus
dikerjakan," ajak Macan Gunung Sumbing.
Harimau itu bangkit berdiri dan melangkah
lenggang mengikuti Macan Gunung Sumbing.
Sepertinya mereka melangkah biasa saja, tapi
kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga.
Bahkan sebentar saja sudah lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar
perbatasan utara Desa Weru.
Saat itu, tidak berapa jauh dari tempat
pertarungan tadi, tampak Dewi Tanjung bergulir jatuh bergelimpangan di tanah.
Tidak jauh darinya berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Baju rompi
putihnya berkibar-kibar tertiup angin. Dewi Tanjung
bergegas bangkit berdiri. Dikibaskan debu yang
melekat di bajunya, kemudian dimasukkan pedangnya
kembali ke dalam sarungnya di punggung. Tatapannya
langsung tertuju pada pemuda tampan yang
menolongnya dari maut.
"Huh! Kau lagi...!" rungut Dewi Tanjung begitu
mengenali pemuda itu. Memang dewa penolongnya itu
tidak lain dari Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kau sampai bentrok dengan Macan Gu-
nung Sumbing?" tanya Rangga tidak menghiraukan
gerutuan gadis itu.
"Bukan urusanmu!" dengus Dewi Tanjung seraya
melangkah ingin pergi.
"Hey...! Tunggu...!" Rangga melompat, dan tahu-
tahu sudah berdiri menghadang.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Dewi
Tanjung ketus. "Bukan itu yang kuinginkan," kata Rangga.
"O..., jadi kau meminta imbalan?" sinis sekali
nada suara Dewi Tanjung.
Rangga mendengus kesal juga terhadap sikap
ketus gadis ini, tapi masih bisa ditahan kekesalannya.
Dia hanya ingin tahu, kenapa gadis ini bisa bentrok dengan Macan Gunung Sumbing.
Sementara hampir
seluruh penduduk Desa Weru sedang dicekam
perasaan takut. Dan tidak jarang mereka menyebut-
nyebut nama Macan Gunung Sumbing sebagai pelaku
utama pembantaian di Desa Weru.
Bukannya ingin tahu urusan orang lain, tapi Rangga
merasa perlu ikut campur. Apalagi dia pernah bentrok dengan Macan Gunung
Sumbing. Rangga tahu betul
kalau tokoh sakti itu sukar ditandingi. Terutama binatang peliharaannya yang
sangat kebal dan kuat luar
biasa. Sepertinya memang bukan harimau sungguhan.
Rangga juga sempat mendengar beberapa
pembicaraan yang membuatnya harus berpikir keras
mencari kebenaran. Kalau saja apa yang didengar dari beberapa penduduk Desa Weru
itu benar, sudah
menjadi kewajibannya untuk menghentikan sepak
terjang Macan Gunung Sumbing. Dan tadi, Macan
Gunung Sumbing hampir menewaskan seorang gadis
yang ketus, angkuh, dan keras kepala.
"Tunggu apa lagi" Imbalan apa yang kau
inginkan?" sinis nada suara Dewi Tanjung.
"Pergilah!" dengus Rangga jadi muak.
"Ha ha ha...!" Dewi Tanjung tertawa terbahak-
bahak melihat wajah Pendekar Rajawali Sakti itu jadi bersemu merah.
Gadis itu memang sengaja membuka sedikit
bagian atas dadanya, sehingga tampak sedikit dua
bukit kembar yang putih dan mulus. Sambil
memperdengarkan suara tawanya, gadis itu cepat
melangkah pergi.
Rangga bersungut-sungut sendirian.
"Dasar...!"
*** 4 Dewi Tanjung tampak gelisah. Beberapa kali
tubuhnya menggelimpang di atas pembaringan kamar
penginapan ini. Sebentar bangkit duduk, kemudian
menghenyakkan lagi tubuhnya. Sementara malam
terus beranjak semakin larut. Keheningan menyelimuti seluruh Desa Weru ini.
Desahan panjang terdengar
diiringi bangkitnya tubuh ramping dari pembaringan.
"Huh! Kenapa dia tidak mau hilang dari bayangan-
ku...?" gerutu Dewi Tanjung.
Gadis itu melangkah menghampiri jendela yang
masih terbuka lebar. Sebentar memandang ke luar,
tapi hanya kegelapan yang terlihat. Perlahan
tangannya menutup jendela itu, lalu berbalik seraya menghembuskan napas panjang.
Terasa berat hembusan napasnya. Kembali kakinya terayun
menghampiri pembaringan yang beralas kain merah
muda, lalu duduk di tepinya.
"Rangga.... Hhh...!" Dewi Tanjung mendesah pelan
menyebut nama Pendekar Rajawali Sakti.
Sejak peristiwa siang tadi, Dewi Tanjung menjadi
gelisah. Entah kenapa, bayang-bayang wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti selalu menghantui pelupuk
matanya. Sukar sekali untuk mengenyahkannya. Mes-
kipun pertemuan yang tidak bersuasana baik, tapi
ketampanan dan kegagahan Pendekar Rajawali Sakti
sempat juga menggetarkan hati gadis itu.
Dan Dewi Tanjung tidak mampu mengelaknya
meskipun sudah berusaha keras mengusir bayang-
bayang itu dari pelupuk matanya. Terbayang kembali
ketika Rangga memeluk, dan membawanya kabur dari
hadapan harimau besar peliharaan Macan Gunung
Sumbing. Entah kenapa, saat itu Dewi Tanjung tidak
berusaha berontak. Bahkan hatinya begitu kesal saat Rangga melepaskannya,
sehingga tubuhnya jatuh
bergulingan di tanah. Ada perasaan tentram ketika
tubuhnya dipeluk pemuda pendekar itu.
"Huh! Kenapa aku memikirkannya" Apa sih
kelebihannya" Banyak pemuda yang lebih tampan dan
lebih gagah darinya...!" Dewi Tanjung menggumam
sendiri membantah segala bayangan di dalam hatinya.
Dewi Tanjung jadi tersenyum begitu
membayangkan wajah Rangga bersemu merah ketika
bagian atas dadanya terbuka sedikit. Dan Pendekar
Rajawali Sakti langsung menyuruhnya pergi.
Senyum di bibir mungil yang selalu merah
menantang itu, mendadak sirna. Dewi Tanjung
mendongakkan kepalanya ke atas. Telinganya yang
setajam mata pisau mendengar suara halus di atas
atap kamar penginapannya. Walaupun suara itu
langsung menghilang, tapi Dewi Tanjung masih juga
mendengar tarikan napas yang demikian halus, dan
hampir tidak terdengar.
"Hm.. Ada tamu rupanya...," gumam Dewi Tanjung
dalam hati. Dewi Tanjung melompat ke sudut dekat jendela
ketika atap kamarnya perlahan-lahan terbuka. Gadis
itu melirik pembaringan yang kosong, kemudian
menatap atap yang semakin terbuka lebar. Lalu....
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat kilat gadis itu melentingkan tubuhnya ke
atas, menembus atap yang sudah cukup lebar terbuka, tubuh ramping itu langsung
menerobos keluar, dan
tahu-tahu sudah hinggap di atas atap. Tampak
seorang laki-laki muda di atas atap terkejut setengah mati. Buru-buru laki-laki
itu melompat turun. Tapi
Dewi Tanjung lebih cepat lagi bertindak. Dia langsung melesat, lalu mengirimkan
satu pukulan bertenaga
dalam penuh. Dug! "Ughk...!" laki-laki itu mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terjerembab ke tanah, namun
masih mampu bangkit berdiri. Seleret cahaya
keperakan terlihat begitu tangannya bergerak.
Ternyata laki-laki muda yang hanya terlihat wajahnya itu mencabut sebilah golok.
Dewi Tanjung tersenyum
sinis, berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
"Maling kecil, ingin berlagak di depanku. Phuih!"
dengus Dewi Tanjung mengejek.
"Aku bukan maling, perusuh keparat!" bentak
laki-laki muda yang ternyata adalah Argayuda.
"Perusuh..." Kau bilang aku perusuh" Ha ha
ha...!" Dewi Tanjung tertawa tergelak.
"Orang lain boleh tidak peduli dan takut padamu.
Tapi aku tidak akan membiarkanmu membantai
seluruh penduduk Desa Weru seenak udel!" geram
Argayuda. Dewi Tanjung terkejut. Tawanya berhenti seketika.
Ditatapnya tajam-tajam wajah Argayuda yang sudah
menggeser kakinya dengan golok melintang di depan
dada. "Dengar, bocah edan! Aku tak pernah membantai
orang-orang di sini. Jelas ini perbuatan Macan Gunung Sumbing! Sebagian besar
penduduk di sini bisa
mampus di tangannya! Kau terlalu gegabah menuduh
sembarangan tanpa bukti!" tegas kata-kata Dewi
Tanjung. "Heh! Tidak semudah itu mengelabuiku, iblis
betina! Kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu yang
keji itu" Kau kulihat keluar dari rumah korban, lalu kuikuti sampai ke sini!"
dengus Argayuda dingin.
"Korban..."!" Dewi Tanjung kelihatan terkejut.
"Jangan berlagak bodoh, iblis! Kau baru saja
membantai satu keluarga. Hm..., mana binatang
peliharaanmu itu" Keluarkan sekalian, biar kukirim ke neraka bersamamu!"
Jelas raut wajah Dewi Tanjung terlihat sangat
terkejut. Ternyata malam ini kembali terjadi
pembantaian serupa pada satu keluarga. Dan
Argayuda melihat, dan mengikutinya sampai ke sini.
Apakah orang yang melakukan semua itu benar-benar
Dewi Tanjung" Atau ada orang lain yang juga
menginap di rumah penginapan ini"
Dan belum lagi rasa terkejut Dewi Tanjung hilang,
Argayuda sudah melompat cepat sambil mengibaskan
goloknya ke arah leher.
"Mampus kau, Iblis! Hiyaaa...!"
"Uts!"
Dewi Tanjung cepat merundukkan kepalanya.
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu desingan keras terdengar melewati atas kepala
gadis itu. Dan kembali Argayuda memutar goloknya
menyimpang turun mengarah dada. Dewi Tanjung
bergegas melompat mundur, tapi Argayuda tidak
memberi kesempatan lagi. Dicecarnya wanita itu
dengan kebutan golok ke kiri dan ke kanan. Dewi
Tanjung terpaksa berjumpalitan berputaran
menghindari kibasan golok yang beruntun itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Dewi Tanjung
melentingkan tubuhnya ke atas ketika satu babatan
golok mengarah ke kakinya. Dua kali tubuhnya
berputar di udara, lalu cepat meluruk turun, tepat di belakang Argayuda. Dewi
Tanjung mengibaskan
tangannya, langsung menghantam punggung pemuda
itu. "Akh...!" Argayuda terpekik tertahan.
Pemuda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Dan
belum lagi mampu berdiri, Dewi Tanjung sudah
melompat cepat. Kakinya menyambar pergelangan
tangan yang memegang golok. Kembali Argayuda
memekik keras. Goloknya terlempar jauh, dan
menancap di pohon. Sebelah kaki Dewi Tanjung
langsung menginjak dada pemuda itu.
"Ugh!" Argayuda mengeluh seraya meringis
menahan sakit pada dadanya.
Injakan kaki Bidadari Pencabut Nyawa itu
demikian keras, sehingga membuat Argayuda jadi
tersengal napasnya. Dadanya juga terasa nyeri, seolah-olah tulang-tulang dadanya
remuk. Bahkan Dewi
Tanjung semakin menekan kuat saat Argayuda
mencoba menggelinjang berusaha melepaskan diri.
"Punya kepandaian mentah saja coba-coba
menantangku, hih!" dengus Dewi Tanjung seraya
mendupak tubuh Argayuda.
Pemuda itu bergelimpangan beberapa tombak
jauhnya. Dia berusaha bangkit, tapi dadanya terasa
sesak sekali. Argayuda hanya mampu duduk dan
bernapas tersengal, namun sinar matanya bersorot
tajam penuh kebencian pada gadis cantik yang
mempecundanginya. Sedangkan Dewi Tanjung hanya
berdiri tegak, lalu berbalik. Gadis itu melesat cepat ke atas atap, dan
menghilang di sana.
*** Ki Gedag begitu terkejut saat melihat Argayuda
pulang. Tubuhnya limbung, kotor, dan mulut
berdarah. Buru-buru laki-laki tua itu menyongsong.
Dipapahnya pemuda itu dan dibawanya masuk ke
dalam. Argayuda menurut saja saat didudukkan di
kursi. Ki Gedag segera membersihkan darah di mulut
Argayuda dengan kain basah.
"Ada apa" Apa yang terjadi denganmu, Argayuda?"
tanya Ki Gedag seraya memeriksa tubuh cucunya ini.
"Dia menyerangku, Ki," sahut Argayuda sambil
meringis. "Dia.... Dia siapa?" desak Ki Gedag.
"Iblis pembantai itu."
Ki Gedag terhenyak mendengar jawaban yang
tidak diduga-duganya itu. Dipandanginya Argayuda
dalam-dalam, seakan-akan hendak mencari kebenaran
pada jawaban yang mengejutkan itu. Ki Gedag
menoleh ketika mendengar langkah kaki memasuki
ruangan depan rumahnya. Tampak Paman Waku dan
Eyang Ganjur mendekati. Mereka datang dari ruangan
dalam. Argayuda terkejut karena tidak menyangka
kalau ada tamu di rumah kakeknya ini.
"Bagaimana kejadiannya, Argayuda?" tanya
Paman Waku langsung.
Argayuda memandang Ki Gedag yang hanya meng-
angguk saja. Rupanya Paman Waku dan Eyang Ganjur
sudah mendengar pembicaraan mereka tadi dari da-
lam. Argayuda menarik napas panjang, lalu segera
menceritakan pengalamannya malam ini. Kejadiannya
memang berawal dari rasa penasarannya. Kebetulan
saat itu dia berada di depan rumah salah satu
keluarga Paman Waku. Dari situ terdengar raungan
keras yang disusul jeritan melengking saling susul.
Argayuda menunggu beberapa saat, kemudian melihat
dua bayangan berkelebat keluar dari dalam rumah itu.
Paman Waku diam tertunduk. Eyang Ganjur me-
narik kursi dan duduk di sebelah Argayuda.
Sedangkan Ki Gedag hanya diam dengan kepala
tertunduk. Argayuda kembali melanjutkan ceritanya.
Waktu itu dibuntutinya kedua makhluk tadi sampai
hilang di penginapan Ki Raga. Dia mengintai
penginapan itu sesaat, lalu melihat salah satu kamar penginapan masih terang.
Dicobanya masuk dari atap, tapi pemilik penginapan itu mengetahuinya. Maka
terjadilah pertarungan. Argayuda menghentikan
ceritanya. Dipandangi wajah-wajah yang tampak
menegang penuh keseriusan.
"Maafkan aku, Paman. Aku hanya ingin...," ucap
Argayuda di akhir ceritanya.
"Sudahlah, Argayuda. Kuhargai keberanianmu.
Tapi aku minta jangan diulangi lagi. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri,"
tegas Paman Waku pelan.
"Argayuda, kau lihat jelas wajahnya?" tanya Eyang
Ganjur. "Tentu. Dia seorang wanita yang masih muda dan
cantik. Memakai baju putih, dan pedangnya tersampir di punggung," sahut
Argayuda. "Wanita...," desis Paman Waku lirih.
Eyang Ganjur menatap cucunya itu, kemudian
beralih pada Argayuda. Pemuda ini nampak
kebingungan melihat perubahan wajah Paman Waku
saat mendengar ciri-ciri orang yang tadi bertarung
dengannya, dan dicurigai sebagai pelaku pembantaian sadis di desa itu. Tampak
kepala Paman Waku
menggeleng-geleng beberapa kali. Terdengar tarikan
napas panjang dan berat.
"Ada apa, Paman?" tanya Argayuda kebingungan.
"Hhh...!" Paman Waku menarik napas panjang.
"Benarkah dia seorang wanita, Argayuda?" Paman
Waku malah bertanya.
"Benar, Paman," sahut Argayuda mantap.
Kepala Paman Waku menggeleng-geleng beberapa
kali. Kakinya melangkah mendekati jendela. Sambil ber-topang di sana, matanya
memandang lurus ke depan.
Tubuhnya lalu berbalik seraya menghembuskan napas
panjang. "Dugaan kita selama ini ternyata keliru, Eyang,"
ujar Paman Waku disertai desahan napas panjang.
"Kau tahu siapa wanita itu, Waku?" tanya Eyang
Ganjur. "Entahlah! Aku memang tidak mengenalnya. Tapi
apa maksudnya membantai keluarga kita...?" Paman
Waku seperti bertanya pada dirinya sendiri
Tidak ada yang membuka suara sedikit pun. Ma-
sing-masing sibuk dengan pikirannya. Pertanyaan
Paman Waku masih menggantung. Di samping itu,
mereka jadi khawatir karena sudah tiga keluarga yang terbantai sampai malam itu.
Tidak ada yang hidup dari ketiga keluarga itu. Semuanya tewas mengerikan. Tubuh
terpotong, atau tercabik. Bahkan ada beberapa
yang hilang sebagian tubuhnya. Mungkinkah ini
perbuatan Macan Gunung Sumbing atau si Bidadari
Pencabut Nyawa"
*** Desa Weru semakin dicekam perasaan takut. Me-
reka kembali digemparkan oleh terbantainya satu
keluarga semalam. Tak ada lagi yang berkomentar.
Semuanya diliputi perasaan cemas dan kekhawatiran
yang dalam. Setiap malam satu keluarga terbantai
tanpa ada sisa seorang pun. Segala bentuk dugaan
dan cerita-cerita mengerikan bergema dari setiap
mulut. Namun semua itu terlukiskan dari perasaan
takut yang amat sangat.
Jauh di perbatasan Desa Weru sebelah barat,
tampak Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk
bersimpuh menyatukan jiwa dan raga pada alam
semesta. Tidak jauh di sampingnya, seekor kuda hitam asyik merumput. Seakan-akan
tidak peduli terhadap
majikannya yang sedang bersemadi. Tampak seorang
wanita berbaju putih berlari cepat menembus semak
belukar. "Hup...!"
Rangga bergegas melompat, langsung
menghadang gadis yang ternyata adalah Dewi Tanjung.
Gadis itu terkejut, dan langsung berlindung di balik punggung Pendekar Rajawali
Sakti. Napasnya
tersengal tidak teratur. Bajunya tampak kusut dan
koyak di beberapa bagian perut dan punggung. Dari
sudut bibirnya mengalir darah.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Mereka..., mereka hendak membunuhku. Mereka
masih mengejarku...," sahut Dewi Tanjung masih
terengah. Rangga memalingkan mukanya ke arah datangnya
Dewi Tanjung tadi. Terdengar suara-suara kaki yang
berian cepat dalam jumlah banyak, disertai suara
hiruk-pikuk. Sebentar Rangga memandang berkeliling, kemudian menarik tangan Dewi
Tanjung. Seketika
tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke udara
sambil menarik tangan Dewi Tanjung. Kaki mereka
hinggap di atas dahan pohon yang cukup tinggi dan
rimbun. Rangga berdecak perlahan yang disertai pe-
ngerahan tenaga dalam, dan disalurkan melalui suara.
Kuda hitam yang sedang merumput itu meringkik
keras, lalu berlari menjauh.
Tidak berapa lama kemudian muncul beberapa
orang dari dalam semak belukar. Mereka terus
bergerak memasuki hutan. Tampak di antara sekitar
tiga puluh orang bersenjata golok dan tombak itu
terlihat Eyang Ganjur, Argayuda, Ki Gedag, dan Paman Waku. Ternyata, di situ
juga ada seorang laki-laki
setengah baya yang mengenakan jubah hijau tua.
Tangannya menggenggam tombak bermata yang
memiliki keluk tiga seperti keris. Mereka terus
bergerak menjauh, tapi tidak berapa lama kemudian
kembali lagi. Dari atas pohon, Rangga mengamati semua itu.
Tubuhnya baru meluruk turun setelah orang-orang
tadi tidak terlihat lagi, sudah jauh kembali ke Desa Weru. Pendekar Rajawali
Sakti itu segera melepaskan cekalannya pada tangan Dewi Tanjung begitu kakinya
mendarat di tanah. Sedangkan kuda hitam itu kembali muncul, dan langsung
menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti. "Kenapa mereka mengejarmu?" tanya Rangga.
Dewi Tanjung tidak langsung menjawab. Dibersih-
kan debu dan darah yang melekat di tubuhnya.
Bajunya yang sobek segera dibenahi, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan
sebagian kulit tubuhnya yang
putih mulus. "Kau tanya apa tadi...?" Dewi Tanjung baru
membuka suara setelah dirasa dirinya sedikit rapi.
"Kadal!" rungut Rangga seraya menghampiri Dewa
Bayu, lalu menepuk-nepuk leher kuda hitam itu.
"Jangan marah dulu, Kakang...," rajuk Dewi
Tanjung seraya memberikan senyuman yang termanis
dimiliki. "Kakang..."!" Rangga tersentak kaget. Seketika
wajahnya bersemu merah mendengar sebutan itu.
"Tidak bolehkah aku memanggilmu begitu?" Dewi
Tanjung malah semakin melebarkan senyumnya. "Ka-
lau tidak boleh, ya tidak apa-apa. Tapi..., terima kasih kau telah menolongku.
Sudah dua kali, ya...?"
"Kampret! Masih bisa bercanda juga...!" rungut
Rangga dalam hati.
Tapi di balik itu, Rangga juga heran akan
perubahan sikap Dewi Tanjung. Kemarin begitu ketus, galak, dan keras kepala.
Tapi sekarang sungguh jauh berbeda! Bahkan dalam keadaan nyawa terancam
masih juga bisa bergurau.
"Hhh.... Rupanya kau masih marah tentang keja-
dian kemarin. Aku minta maaf," ujar Dewi Tanjung
melihat Rangga memberengut saja tidak segera bicara.
"Untuk apa?" pelan suara Rangga, seakan enggan
berbicara. "Mungkin aku terlalu angkuh, keras kepala, dan
cepat menuduh buruk pada setiap orang. Aku sadar
kalau tidak bisa hidup sendiri di dunia yang kejam ini.
Aku perlu seseorang yang bisa mengatasi segala kesu-litanku...," Dewi Tanjung
mengangkat bahunya. "Yah....Saat kesadaran itu muncul, mereka malah hendak
membunuhku, mengeroyokku, bahkan tidak memberi
kesempatan padaku untuk menjelaskan persoalan
sebenarnya. Aku dituduh telah membantai beberapa
keluarga secara keji. Padahal aku tahu siapa yang
berbuat semua itu."
"Siapa?" tanya Rangga cepat
"Macan Gunung Sumbing," sahut Dewi Tanjung.
"Dialah yang menjadi biang keladinya. Bukan hanya di Desa Weru ini, tapi juga di
desa-desa lain sebelumnya.
Tidak terhitung lagi, berapa orang yang menjadi
korban kebiadabannya."
"Dan kau memburunya untuk menghentikan per-
buatannya?"
"Bukan hanya itu."
"O..., lantas?"
Dewi Tanjung diam sesaat. Ditariknya napas
panjang-panjang. Wajahnya berubah mendung
seketika. Rangga mendekati gadis itu dan memegang
pundaknya. Dibawanya Dewi Tanjung duduk di bawah
pohon agar terlindung dari sengatan matahari. Raut
wajah gadis itu masih terlihat mendung, seperti ada satu kenangan pahit yang
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba melintas dalam
benaknya. "Maaf, seharusnya aku tidak menyinggung
masalah pribadimu," ujar Rangga pelan.
"Tidak apa-apa. Kau memang harus tahu
masalahnya. Aku sadar betul kalau kemampuanku
belum apa-apa untuk menghadapi Macan Gunung
Sumbing. Modalku hanya nekad. Tapi kematian orang
tua dan saudara-saudaraku harus dibalas," sebentar
Dewi Tanjung terdiam. Kembali ditarik napas panjang, seakan-akan ingin
dilonggarkan rongga dadanya.
"Peristiwa itu terjadi kira-kira sebulan yang lalu.
Waktu itu aku masih berada di padepokan milik
kakekku. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kulakukan selain dendam dan ingin membunuh si
keparat Macan Gunung Sumbing itu!"
Rangga diam sambil terangguk-angguk. Baru
dimengerti, mengapa gadis ini bersikap aneh, keras
kepala, dan angkuh. Rupanya di dalam hatinya
menyimpan bara api dendam yang luar biasa. Dendam
yang sulit dipadamkan sampai kapan pun, sebelum
terlaksana niatnya!
Tapi sekarang persoalannya menjadi semakin
rumit. Semua orang sudah menuduh, Dewi Tanjung-
lah yang melakukan semua pembantaian keji itu.
Memang tidak mudah untuk menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya, kecuali Macan Gunung
Sumbing sendiri yang mengakui. Itu pun kalau bisa
bertemu, atau paling tidak memergokinya saat beraksi.
Tapi tidak mudah untuk melaksanakannya.
Sedangkan Rangga sendiri tidak tahu, apa maksud
sebenarnya Macan Gunung Sumbing melakukan
pembantaian keji itu. Dan lagi memang tidak ada yang tahu, siapa korban-korban
berikutnya. "Aku akan membantumu, Dewi Tanjung. Bukan
karena aku punya persoalan dengan Macan Gunung
Sumbing. Tapi yang jelas, aku tidak bisa melihat
kekejaman berlangsung di depan mataku," kata
Rangga berjanji.
"Aku percaya, Kakang. Eyang Guru sering
bercerita tentang dirimu. Itu sebabnya kau langsung kukenali saat pertama kali
bertemu. Juga ketika di
kedai itu. Aku pun sudah bisa mengenalimu. Bahkan
si keparat itu juga ada di sana," sahut Dewi Tanjung mulai cerah kembali
wajahnya. Gadis ini memang
selalu periang, meski dalam keadaan yang teramat
sulit sekalipun.
"Kenapa waktu itu tidak bertindak?" tanya Rangga
ingin tahu. "Aku tidak ingin membuat keributan. Yang ku-
inginkan hanya pertarungan yang adil antara aku de-
ngan dia saja."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam hatinya dikagumi juga keberanian dan sifat
Dewi Tanjung yang satria itu. Tapi sayangnya, semua itu tidak didukung oleh
kemampuan ilmu olah
kanuragan. Dan Rangga sendiri belum yakin, apakah
mampu mengatasi semuanya itu. Dia memang sudah
pernah bentrok satu kali dengan si Macan Gunung
Sumbing itu. Waktu itu Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah bisa mengukur, sampai di mana
tingkat kepandaiannya.
*** 5 Malam itu udara terasa pekat sekali. Awan hitam
bergulung-gulung di angkasa. Udara dingin terbawa
angin yang berhembus kencang terasa begitu me-
nusuk. Namun tidak ada tanda-tanda kalau malam itu
akan terguyur hujan. Desa Weru tampak sunyi senyap.
Dan malam itu tidak seperti pada malam-malam
sebelumnya. Di beberapa tempat terlihat sekelompok
orang bersenjata golok berjaga-jaga. Mereka adalah
murid Padepokan Gunung Opak.
Paman Waku memang sudah mengirim utusan ke
Gunung Opak. Dalam suratnya, diceritakan semua
kejadian di desa itu pada kakaknya. Bakor sendiri
langsung datang bersama tiga puluh orang murid
utamanya, karena tahu siapa yang bakal dihadapi.
Seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tangguh
dan sukar dicari tandingannya! Tokoh yang berhati
iblis, dan tidak segan-segan melenyapkan nyawa
lawan, atau siapa saja yang dikehendaki.
Tapi di tempat lain, tepatnya tidak jauh dari
rumah penginapan milik Ki Raga, terlihat Pendekar
Rajawali Sakti dan Bidadari Pencabut Nyawa tengah
mengawasi rumah penginapan itu dari tempat yang
cukup tersembunyi. Di rumah itu Bidadari Pencabut
Nyawa menginap beberapa hari. Dan di situ pula
nyawanya hampir melayang akibat kesalahpahaman.
"Aku ragu-ragu dengan dugaanmu, Dewi
Tanjung," kata Rangga setengah berbisik.
"Mungkin bisa juga salah, Kakang. Tapi aku yakin
betul kalau Macan Gunung Sumbing menginap di situ
juga," sahut Dewi Tanjung.
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Tidak ada rumah penginapan lain di desa ini,
selain rumah itu."
"Kau pernah melihat dia di sana?"
"Belum. Tapi dari kejadian siang tadi,
keyakinanku semakin bertambah. Mana mungkin
mereka langsung menuduhku sebagai pelaku, dan tahu
kalau aku menginap di sana" Sedangkan malamnya
ada seseorang yang hendak membunuhku secara
licik." Rangga terdiam. Pandangannya tidak berkedip ke
arah rumah penginapan di depan itu. Keningnya agak
sedikit berkerut, pertanda tengah berpikir keras.
"Kau tunggu saja di sini," kata Rangga seraya
beringsut ke luar dari tempat persembunyiannya.
"Mau ke mana?" tanya Dewi Tanjung.
"Sebentar aku kembali. Kau jangan ke mana-
mana," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat
ke arah hutan. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu singkat
saja sudah jauh di luar perbatasan Desa Weru. Rangga berdiri tegak di tengah-
tengah padang rumput yang
cukup terbuka lebar.
"Suiiit...!"
Rangga bersiul nyaring dan panjang dengan nada
aneh tanpa irama yang pasti. Siulan itu menggema,
terpantul oleh bukit dan gunung, terbawa angin, me-
rambat sampai jauh. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menunggu, kemudian
bersiul kembali lebih
panjang. Agak lama juga Rangga menatap langit yang
kelam. Tapi sesaat kemudian bibirnya menyung-
gingkan senyuman. Jauh di angkasa, tampak sebuah
titik hitam keperakan. Titik itu semakin lama semakin
membesar, dan terlihat jelas bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali, ke sini...!" seru Rangga keras.
Titik yang ternyata adalah burung rajawali
raksasa, langsung menukik dan mendarat tepat di
depan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga langsung
melompat naik ke punggung rajawali raksasa itu.
Sebentar ditepuk-tepuknya leher burung itu.
"Khraghk...!"
"Aku mencari seseorang, Rajawali Putih. Tapi aku
tidak tahu, di mana dia sekarang. Tapi yang jelas
masih berada di Desa Weru. Kita terbang rendah di
atas desa itu, tapi jangan sampai mengejutkan
penduduk," perintah Rangga.
"Khraghkkk...!"
"Iya, kau juga jangan bersuara."
"Khraghk...!"
Rajawali Putih langsung melesat membumbung ke
angkasa. Sebentar saja sudah melayang cukup rendah
di atas puncak pepohonan. Burung raksasa itu terus
menuju Desa Weru yang ditunjuk Rangga. Malam yang
pekat ini memang membantu Rajawali Putih untuk
tidak terlihat penduduk, meskipun terbang cukup
rendah. Dia berputar-putar begitu sampai di Desa
Weru. Dari atas, Rangga dapat melihat lebih jelas.
Peristiwa Merah Salju 4 Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Telapak Emas Beracun 4
MACAN GUNUNG SUMBING Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
1 "Auuum...!"
Suatu auman keras telah memecah keheningan
malam. Siapa saja yang mendengar pasti jantungnya
bergetar serasa akan copot. Belum lagi hilang suara mengaum itu, mendadak....
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking yang menyayat hati.
Sesaat kemudian, suasana malam menjadi sunyi sepi.
Tak terdengar satu suara, kecuali desiran angin malam yang mengusik, membawa
embun. Udara malam ini
terasa begitu dingin membekukan. Sedangkan suara-
suara tadi terdengar bagaikan alunan mimpi buruk
yang mengerikan. Hanya sesaat, tapi mampu mence-
kam seluruh penduduk Desa Weru.
Malam itu terasa begitu lambat berjalan. Fajar
seakan-akan enggan menyingsing. Kesunyian
menyelimuti seluruh sudut desa yang dipenuhi rumah-
rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan
beratapkan daun-daun rumbia. Pelita-pelita kecil tak sanggup menghalau gelapnya
sang malam. Apinya
yang redup seperti menari-nari tertiup angin, seakanakan hendak padam.
Namun kesunyian itu tidaklah menghalangi
langkah dua orang berkerudung kain pekat yang
melintasi jalan berdebu membelah desa itu. Mereka
berjalan cepat-cepat, seperti tengah memburu sesuatu.
Namun sesekali mereka menoleh ke belakang. Tampak
raut wajah yang pucat terlindung kain yang menutupi kepala dan tubuhnya.
Mereka baru berhenti melangkah setelah tiba di
depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun
memiliki halaman luas yang dihiasi rumput dan
pepohonan tertata apik. Sesaat mereka saling
berpandangan, tapi tidak juga meneruskan
langkahnya. Perlahan-lahan dibukanya kain yang
menyelubungi kepala mereka.
Dalam keremangan cahaya pelita dan bulan,
terlihat wajah agak tua, namun memiliki tatapan mata tajam memancarkan
kewibawaan. Sedangkan seorang
lagi masih tampak muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh lima tahun. Gagang
golok menyembul keluar
dari balik kain yang belum tersingkap penuh.
"Kau yakin suara itu terdengar dari rumah ini,
Argayuda?" tanya laki-laki yang lebih tua. Tatapan
matanya tak berkedip ke arah rumah di depannya
yang tampak sepi.
"Tidak salah, Ki. Rumahku di sebelah sana...,"
laki-laki muda yang dipanggil Argayuda menunjuk
rumah kecil tidak jauh dari sini. "Bahkan kulihat,
harimau itu keluar dari rumah ini. Tak lama
kemudian, seseorang juga melompat keluar sambil
membawa buntalan," jelas Argayuda.
"Baiklah, kau tunggu di sini saja. Aku akan lihat
ke dalam," kata laki-laki tua itu seraya melangkah.
"Ki...."
Argayuda bergegas mengikuti. Laki-laki tua itu
terus saja melangkah, tidak menghiraukan panggilan
Argayuda. Terpaksa pemuda itu mengikuti dari
belakang. Mereka berhenti kembali setelah sampai di depan pintu rumah yang
tertutup tak sempurna. Ada
sedikit rongga yang cukup untuk mengintip ke dalam.
Laki-laki tua itu mendekati pintu, kemudian mendo-
rongnya perlahan-lahan. Derit daun pintu terdengar
saat terkuak. "Akh...!" tiba-tiba saja Argayuda memekik
perlahan. "Dewata Yang Agung...," desis laki-laki tua itu se-
raya memalingkan wajahnya ke arah lain.
Apa yang mereka lihat di dalam rumah itu
sungguh mengerikan. Tampak seonggok mayat
tergeletak di lantai dengan kepala remuk dan tubuh
tercabik. Tidak jauh dari mayat itu, terlihat satu mayat lagi yang tergantung
seutas tambang ijuk. Tangan dan kakinya buntung. Darah segar masih menetes ke
lantai. Tampak di atas dipan kayu, juga masih terdapat
satu mayat lagi. Mayat seorang anak perempuan ber-
usia sekitar sembilan tahun. Lebih mengerikan lagi, tubuh mayat itu hampir
setengahnya hilang. Tinggal
bagian dada ke atas saja yang tersisa.
"Ki..., Ki Gedag...," suara Argayuda terdengar
bergetar. "Pukul kentongan! Beri tanda kematian," perintah
Ki Gedag, agak bergetar nada suaranya.
"Bb... baik..., baik, Ki," sahut Argayuda gugup.
Bergegas anak muda itu berlari menuju kentongan
yang ada di bagian kanan depan rumah itu. Sesaat
kemudian, terdengar kentongan dipukul bertalu-talu
yang memiliki nada tersendiri. Suara kentongan itu
terdengar menyelusup sampai ke sudut-sudut Desa
Weru. Tidak lama kemudian terdengar suara kento-
ngan balasan, yang semakin lama semakin banyak
terdengar dari segala penjuru.
Rumah-rumah yang semula remang-remang, kini
terang benderang. Dan beberapa orang mulai
bermunculan dari dalam rumahnya. Mereka setengah
berlari menuju ke rumah yang tertimpa musibah.
Terdengar suara langkah-langkah kaki mendekati
rumah itu. Begitu tiba, mereka langsung memekik
penuh kengerian saat melihat ke dalam. Sementara
Argayuda jadi terpaku memegangi kentongan bambu
yang tergantung di beranda samping rumah itu.
*** Wajah mendung terlihat dari orang-orang yang
melangkah perlahan meninggalkan areal pekuburan di
luar perbatasan Desa Weru. Tampak Ki Gedag masih
berdiri di samping gundukan tanah merah. Di sam-
pingnya berdiri Argayuda. Kepala mereka tertunduk
dalam. Tidak sedikit pun menghiraukan penduduk
Desa Weru lainnya yang sudah meninggalkan pusara
itu. Empat pusara baru berjajar di depan kedua laki-laki itu.
"Aku tak percaya kalau Macan Gunung Sumbing
sampai ke sini," desah Ki Gedag pelan bernada
mengeluh. "Aku juga tidak percaya, Ki. Tapi benar-benar
harimau itu kulihat keluar dari rumah Paman Waku,"
tegas Argayuda seraya mengangkat kepalanya. "Hhh..., kasihan Paman Waku. Kalau
saja dia tahu keluarganya terbantai begini...."
Ki Gedag menepuk pundak anak muda itu,
kemudian mengajaknya berjalan meninggalkan
pemakaman. Mereka berjalan perlahan-lahan
berdampingan. Sesekali Argayuda menoleh ke
belakang, melihat empat pusara yang baru terbentuk
sekaligus hari ini.
Kedua laki-laki itu terus berjalan berdampingan
tanpa bicara lagi. Langkah mereka pelan tanpa me-
noleh sedikit pun, sehingga sampai tidak menyadari
ada seorang pemuda duduk di bawah pohon yang
sejak tadi memperhatikan mereka ketika keluar dari
areal kuburan itu. Seekor kuda hitam pekat dan
bertubuh tinggi tegap, terlihat merumput tenang tidak jauh dari pemuda itu.
"Ki...," agak ragu-ragu nada suara Argayuda.
"Hm...," gumam Ki Gedag seraya menghentikan
langkahnya. Dia menoleh sedikit memandang pemuda
yang berjalan di sampingnya itu.
Argayuda ikut berhenti setelah lewat dua langkah
di depan Ki Gedag. Pemuda itu berbalik, menghadap
pada laki-laki tua dengan gagang golok menyembul di pinggang.
"Ada apa?" tanya Ki Gedag melihat Argayuda
nampak ragu-ragu untuk berkata.
"Apa ini tidak ada hubungannya dengan kejadian
di Desa Ilir...?" tanya Argayuda ragu-ragu.
"Maksudmu?" Ki Gedag malah balik bertanya.
"Pembunuhan beruntun itu, Ki."
Ki Gedag terdiam. Tatapan matanya tajam ke arah
pemuda itu. Memang bisa dimengerti maksud
pembicaraan Argayuda. Sebab, sebulan yang lalu,
pernah terjadi peristiwa mengerikan di Desa Ilir. Desa itu memang tidak seberapa
jauh letaknya dari Desa
Weru ini. Peristiwa yang sangat menggemparkan, dan
hampir tidak bisa dipercaya kebenarannya. Beberapa
keluarga terbunuh dalam keadaan mengerikan. Tubuh
mereka terpotong, tercabik, bahkan banyak yang
sudah tidak berbentuk lagi.
Ki Gedag juga tahu kalau mereka yang tewas
masih satu darah. Tidak kurang dari dua belas orang tewas. Tidak peduli apakah
orang tua, anak muda,
atau anak-anak kecil. Bahkan bayi berusia enam
bulan pun ikut menjadi korban. Ki Gedag tahu betul
dengan keluarga yang terbantai itu.
"Ciri-cirinya sama persis, Ki," kata Argayuda
pelan. "Terus terang, Argayuda. Aku juga sudah berpikir
ke situ. Tapi rasanya tidak ada hubungan keluarga
antara Paman Waku dengan mereka yang terbunuh di
Desa Ilir. Aku juga belum yakin kalau ini perbuatan si Macan Gunung Sumbing...,"
kata-kata Ki Gedag
terdengar ragu-ragu.
"Kalau ternyata benar, Ki...?" bergetar juga suara
Argayuda. "Mudah-mudahan saja tidak," desah Ki Gedag.
"Ayo...!"
Kedua laki-laki itu kembali berjalan tanpa bicara
lagi. Namun dari kepala yang tertunduk, dapat ditebak kalau mereka masih
memikirkan semua yang telah
terjadi pada keluarga Paman Waku semalam. Suatu
peristiwa yang mengerikan. Pembantaian satu
keluarga, tanpa seorang pun dibiarkan hidup.
Sementara itu, di bawah pohon yang cukup
rindang, pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi
putih masih menatap kedua laki-laki yang kini sudah jauh. Kening pemuda itu
nampak berkerut dalam dan
matanya agak menyipit. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri, dan tangannya menyangga di batang pohon.
Pandangannya masih tertuju pada Desa Weru.
"Macan Gunung Sumbing...," desisnya perlahan.
*** Suasana duka menyelimuti seluruh Desa Weru.
Tidak tergambar wajah-wajah cerah. Kematian satu
keluarga Paman Waku membuat hati seluruh
penduduk terasa teriris. Terlebih lagi melihat cara
kematian yang begitu mengerikan. Hati siapa tidak
akan tergiris melihat tubuh terpotong, kepala pecah, darah berceceran di mana-
mana. Pembantaian malam
itu benar-benar mengguncang seluruh Desa Weru yang
selama ini selalu damai dan tentram.
Di setiap sudut, wajah-wajah mendung selalu
terlihat nyata. Demikian juga di sebuah kedai yang
tidak begitu besar. Tidak banyak orang datang ke situ.
Meskipun pemilik kedai selalu tersenyum menyambut
tamu, tapi tidak bisa menghilangkan kemurungan
wajahnya. Laki-laki tua pemilik kedai itu tersenyum manis menyambut seorang
pemuda tampan memakai
baju rompi putih yang masuk ke kedainya.
"Pesan apa, Den?" tanya pemilik kedai itu.
"Tuak, dan makanan kecil," sahut pemuda itu
seraya duduk di bangku yang langsung menghadap ke
luar lewat jendela.
"Sebentar, Den."
Laki-laki tua pemilik kedai itu bergegas pergi saat datang lagi seorang laki-
laki berwajah aneh dan
bertubuh tinggi tegap. Dia langsung duduk di sudut
yang agak terlindung. Sempat diliriknya pemuda yang memakai baju rompi putih.
Terdengar dengusan
pendek. Sementara pemilik kedai sibuk melayani tamu-
tamunya, pemuda berbaju rompi putih itu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Perhatiannya langsung terpaku pada salah satu meja
di sudut, tempat laki-laki berwajah penuh brewok tebal dengan mata bulat merah
duduk di sana. Pada saat
yang sama, laki-laki itu juga menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Mereka
saling pandang beberapa saat, kemudian perhatiannya beralih pada seorang wanita
berbaju putih yang bersenjata pedang di punggung.
Wanita itu baru saja masuk, dan langsung duduk di
tengah-tengah kedai. Dipesannya arak dan beberapa
macam makanan. Pemuda berbaju rompi putih yang duduk dekat
jendela, menggapaikan tangannya memanggil pemilik
kedai. Laki-laki tua dengan tangan membawa baki,
bergegas menghampiri. Tubuhnya setengah
membungkuk begitu sampai di depan pemuda itu.
Disorongkan tubuhnya lebih ke depan begitu jari
telunjuk pemuda berbaju rompi itu bergerak.
"Ada apa, Den?" tanya laki-laki tua pemilik kedai
itu "Apakah mereka penduduk desa ini?" pemuda
berbaju rompi putih itu bertanya.
"Siapa?"
"Yang di sudut dan di tengah-tengah itu."
Pemilik kedai itu menolehkan kepalanya sedikit,
kemudian menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Mereka juga pendatang seperti Raden," kata pe-
milik kedai. "Terima kasih," ucap pemuda itu seraya bangkit
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri. Pemuda itu meletakkan beberapa keping uang
untuk membayar pesanannya, kemudian melangkah
ke luar. Matanya sempat melirik dua orang yang sejak tadi diperhatikannya. Laki-
laki berwajah penuh brewok dan bermata bulat merah seperti mata kucing itu
membalas tajam tatapan pemuda itu. Bibirnya yang
hampir tertutup brewok, menyunggingkan senyuman
tipis. Pemuda berbaju rompi putih itu langsung
melompat ke atas punggung kuda hitamnya yang
tinggi tegap. Otot-otot kuda itu bersembulan,
mencerminkan kegagahan dan kejantanan. Suara
decakan terdengar, maka kuda hitam itu melangkah
perlahan-lahan meninggalkan kedai. Beberapa
penduduk yang terlewati sempat memperhatikannya.
Namun pemuda itu tetap mengendarai kudanya
perlahan-lahan.
Kuda hitam itu berhenti tepat di depan rumah
yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas dan
ditumbuhi rerumputan. Pemuda berbaju rompi putih
itu memandang ke arah rumah yang tampak sepi.
Pintu depannya terbuka lebar. Pada bagian atas palang pintu terdapat hiasan dari
daun kelapa muda. Tidak
jauh dari situ terdapat bangunan batu berbentuk puri kecil yang diselubungi kain
hitam dan dihiasi
rangkaian bunga.
"Ada yang menarik, Den?" tiba-tiba terdengar
teguran ramah. "Oh!" pemuda itu terkejut, dan langsung
berpaling. Seorang laki-laki tua tahu-tahu sudah berdiri di
depannya. Di sampingnya tampak seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gagang golok
tersembul di pinggang mereka. Pemuda berbaju rompi
putih itu turun dari kudanya.
"Baru ada musibah di rumah itu rupanya...," ujar
pemuda itu setengah bergumam.
"Benar," sahut laki-laki tua yang ternyata adalah
Ki Gedag. "Hm... kalau tidak salah, kau yang berada di dekat
kuburan tadi. Benar...?" celetuk pemuda di samping Ki Gedag. Dia tidak lain dari
Argayuda. "Betul sekali. Aku juga sempat melihat upacara
pemakaman tadi," sahut pemuda itu. "Apakah pemilik
rumah itu yang meninggal?"
"Benar," sahut Argayuda. "Kenapa kau tanyakan
itu?" Pemuda berbaju rompi putih menatap Argayuda.
Jelas suara Argayuda bernada kecurigaan. Kasarnya,
nada itu bersifat menuduh. Tapi pemuda berbaju rom-
pi putih itu malah tersenyum.
"Permisi," ucap pemuda itu seraya melangkah me-
nuntun kudanya.
Ki Gedag bergeser ke samping memberi jalan.
Sedangkan Argayuda tetap berdiri dengan tatapan
mata penuh kecurigaan. Kedua laki-laki itu memutar
tubuhnya, dan sama-sama memandangi pemuda
berbaju rompi putih yang pedangnya tersampir di
punggung. Argayuda menggeser kakinya mendekati Ki
Gedag. "Aku jadi curiga, Ki," bisik Argayuda hampir tidak
terdengar. Ki Gedag tidak menyahut, namun pandangannya
tetap tertuju pada pemuda yang berjalan semakin jauh menuntun kudanya. Perlahan
dia menoleh memandang Argayuda.
"Jangan cepat menaruh kecurigaan, Argayuda,"
ujar Ki Gedag. "Kecurigaanku beralasan, Ki," sergah Argayuda.
"Hm...," Ki Gedag hanya menggumam tidak jelas.
"Pertama dia ada di kuburan. Sekarang ada di
sini, lalu menanyakan rumah itu. Apa maksud
pertanyaannya tentang orang yang tertimpa musibah
ini" Bukankah itu sangat mencurigakan, Ki. Jangan-
jangan...," kata-kata Argayuda terputus.
"Kau sudah mulai menuduh, Argayuda. Tidak baik
menuduh orang tanpa bukti," celetuk Ki Gedag
memperingatkan.
"Bukan menuduh, Ki. Tapi kita perlu menyelidiki
siapa dia, dan apa keperluannya datang ke Desa Weru
ini. Aku merasakan ada sesuatu yang lain, Ki," kata-kata Argayuda seperti untuk
dirinya sendiri.
"Ah! Sudahlah, Argayuda. Sebaiknya kita cepat ke
rumah Eyang Ganjur. Paman Waku sudah ada di
sana," sergah Ki Gedag seraya berbalik dan terus melangkah.
Argayuda mengangkat bahunya sedikit, kemudian
ikut memutar tubuhnya dan berjalan di samping Ki
Gedag. Mereka sempat menoleh ketika tiba di depan
kedai. Tampak seorang wanita muda berparas cantik
dan memakai baju putih keluar dari dalam kedai itu.
Tidak lama kemudian seorang laki-laki berwajah
penuh brewok menyusul ke luar. Tapi arah mereka
berlawanan. Ki Gedag dan Argayuda terus saja
berjalan tanpa berbicara lagi.
*** 2 Malam mulai menyelimuti seluruh Desa Weru.
Bulan bersinar penuh. Namun awan hitam yang
menggantung lebat di langit telah menghalangi cahaya bulan untuk menerangi
mayapada ini. Angin bertiup
sedikit keras membawa hawa
dingin yang menggigilkan. Desa Weru sudah tenggelam terselimut
kabut yang semakin menebal. Tak terlihat ada orang di luar rumah, kecuali dua
laki-laki yang tengah duduk di beranda.
Mereka adalah Eyang Ganjur bersama cucunya
yang bernama Paman Waku. Laki-laki berusia lima
puluh tahun itu baru saja tertimpa musibah di saat
dirinya sedang melaksanakan tugas ke Bukit Opak
membawa pesan kakeknya ini. Walaupun tidak muda
lagi, namun masih terlihat gagah dan tegap.
Rambutnya memang mulai berwarna dua. Sedangkan
Eyang Ganjur sudah demikian lanjut. Usianya
mungkin sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih.
Tapi laki-laki tua itu masih tetap terlihat gagah
meskipun tubuhnya kurus tertutup jubah panjang
berwarna putih bersih.
"Rasanya aku tidak pernah punya musuh selama
dua puluh tahun ini, Eyang. Tapi mengapa ada orang
yang begitu tega membantai keluargaku...?" desah
Paman Waku lirih.
"Mungkin saja salah seorang lawanmu dulu yang
masih menyimpan dendam, Waku," ujar Eyang Ganjur
lembut. "Ya..., mungkin juga. Tapi siapa...?"
"Memang terlalu mudah untuk menuduh si
pelaku, tapi sukar untuk membuktikannya. Masa
mudamu kau habiskan dalam dunia persilatan. Tak
sedikit orang yang menyimpan dendam di hatinya. Kau tidak akan mampu
mengingatnya satu persatu," kata
Eyang Ganjur bijaksana.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya
Paman Waku meminta pendapat.
"Diam," sahut Eyang Ganjur mantap.
"Diam..."!" Paman Waku terkejut juga mendengar
jawaban itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua
yang duduk di seberang meja bundar beralaskan batu
pualam putih itu.
Sedangkan yang ditatap hanya diam saja. Panda-
ngannya malah lurus ke depan. Dagunya ditopangkan
ke punggung tangan yang menggenggam tongkat ber-
kepala ular. "Apa yang akan kau lakukan, Waku" Mencari
pembunuh keluargamu" Mengumbar amarah dan
dendam buta tanpa petunjuk sedikit pun" Kau sudah
tidak muda lagi, Waku. Sadarilah keadaan dirimu
sendiri," lembut namun terdengar tegas kata-kata
Eyang Ganjur. Paman Waku hanya diam saja. Dia sendiri tidak
tahu, apa yang akan dilakukannya sekarang ini.
Sampai saat ini memang belum jelas, siapa pembunuh
keluarganya. Meskipun siang tadi Ki Gedag dan
Argayuda sudah menceritakan secara jelas, tapi masih belum bisa diyakini kalau
yang melakukan semua itu
adalah si Macan Gunung Sumbing.
Paman Waku memang pernah bentrok dengan
seorang tokoh yang berjuluk Macan Gunung Sumbing.
Tokoh itu memang berhasil dikalahkannya. Pertaru-
ngan waktu itu memang cukup adil dan disaksikan
Eyang Ganjur, kakeknya sendiri yang kini menjadi
ketua sebuah padepokan di Bukit Opak. Bahkan
istrinya yang saat itu baru dinikahinya ikut
menyaksikan, ditambah beberapa tokoh lain yang sulit untuk diingat lagi.
Permasalahannya sangat sepele. Waktu itu Paman
Waku menikahi seorang gadis yang juga diinginkan
Macan Gunung Sumbing. Macan Gunung Sumbing
tidak rela, dan mengajak bertarung sampai salah satu ada yang mati. Tapi Paman
Waku tidak berusaha
menewaskannya, meskipun saat itu Macan Gunung
Sumbing sudah pasrah saat dikalahkan. Paman Waku
membiarkannya pergi, hingga sampai sekarang tidak
pernah terdengar lagi beritanya.
Dan baru kali ini didengarnya nama Macan
Gunung Sumbing disebut, malah kebetulan pula
bersamaan dengan terjadinya musibah besar ini.
Benarkah yang dilihat Argayuda saat terjadinya
pembantaian malam itu" Pertanyaan ini yang selalu
mengganggu benak Paman Waku.
"Mungkin yang dikatakan Argayuda benar, Eyang.
Rasanya tidak ada lagi yang...," ucapan Paman Waku
terputus. "Mustahil!" sentak Eyang Ganjur cepat. "Macan
Gunung Sumbing tidak memelihara seekor harimau.
Itu hanya sekedar julukan saja. Tidak ingatkah kau
sewaktu bertarung dengannya?"
"Tidak akan kulupakan, Eyang."
"Nah! Apa mungkin Macan Gunung Sumbing me-
miliki seekor harimau" Bodoh sekali kalau kau
termakan omongan bocah kemarin sore itu!" agak
keras suara Eyang Ganjur.
"Mungkin hal itu tidak akan kupikirkan kalau saja
tidak ada peristiwa serupa sebulan lalu di Desa Ilir, Eyang. Aku kenal betul
dengan keluarga yang
terbantai habis tanpa sisa itu. Mereka adalah teman-teman baikku, yang juga
pernah berurusan dengan si
Macan Gunung Sumbing. Demikian pula peristiwa
pembantaian yang hampir sama di Gunung Anjar, di
Kampung Bulam dan di tempat-tempat lain.
Pembantaian satu keluarga. Bahkan sanak familinya
pun ikut terbantai dengan cara mengerikan. Dari
semua itu Macan Gunung Sumbing selalu disebut-
sebut sebagai pelakunya, meskipun sampai saat ini
belum terbukti sama sekali," ujar Paman Waku
panjang lebar. Eyang Ganjur terdiam. Memang benar apa yang
dikatakan cucunya barusan. Semua peristiwa itu
hampir serupa bentuknya. Brutal dan mengerikan.
Dan yang terpenting, korbannya adalah anggota
keluarga yang pernah punya urusan dengan si Macan
Gunung Sumbing. Kini satu keluarga telah terbantai.
Apakah peristiwa-peristiwa itu akan terulang kembali"
Kalau memang benar, tidak sedikit yang akan menjadi korban. Masalahnya, hampir
semua penduduk Desa
Weru ini bertalian darah.
"Aku akan mengirim utusan ke Bukit Opak
secepatnya, Eyang," kata Paman Waku.
"Untuk apa?" tanya Eyang Ganjur.
"Mengabarkan hal ini pada Kakang Bakor. Mereka
semua harus waspada sebelum telanjur, Eyang."
"Belum perlu, Waku. Kita belum bisa mengambil
kesimpulan secepat itu."
"Meskipun Eyang tidak setuju, aku tetap akan
memberitahu seluruh sanak keluarga agar waspada.
Aku yakin persoalan ini bukan persoalan sepele, Eyang.
Ini menyangkut nyawa orang banyak," tegas kata-kata Paman Waku.
"Pikirkan dulu, Waku," saran Eyang Ganjur.
"Sudah!" sahut Paman Waku mantap.
"Hhh...!" Eyang Ganjur menarik napas panjang.
*** Malam terus merayap semakin larut. Udara pun
semakin dingin menusuk kulit. Di dalam sebuah ka-
mar berdinding bilik bambu, terlihat sepasang insan tengah mereguk kenikmatan.
Tak ada yang terdengar
selain dengus napas memburu disertai erangan lirih
mengusik telinga. Mereka adalah pasangan muda yang
baru melangsungkan pernikahan beberapa hari.
"Oh! Kakang...!" terdengar pekikan lirih tertahan.
"Ahhh...!" disusul satu desahan panjang.
Satu tubuh menggelimpang ke samping
bermandikan keringat yang mengucur deras, berkilat
tertimpa cahaya pelita yang menempel di dinding.
Sebuah kepala dengan rambut terurai kusut
menyembul terangkat naik. Terdengar bunyi suara
gemerisik dari kain yang dililitkan ke tubuh ramping berkulit kuning langsat.
"Mau ke mana?" sapa laki-laki muda yang masih
menggeletak bersimbah keringat. Tangannya menjulur
memeluk pinggang istrinya.
"Ambil air," sahut wanita itu seraya mengecup pipi
suaminya. "Jangan lama-lama, di luar gelap."
"He-eh."
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu beranjak turun dari pembaringan.
Terdengar bunyi bergerik. Sebentar wanita itu menoleh dan memberikan senyum
menawan, kemudian jalan
melenggang. Tubuhnya hanya dililit selembar kain. Dia melangkah keluar dari
kamar, dan terus melintasi satu ruangan.
Tangannya yang kecil dan halus, mengangkat pa-
lang pintu. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan,
namun masih juga terdengar suara bergerit. Angin
malam yang dingin langsung menerpa kulit wajahnya.
Wanita itu membungkuk mengambil tempayan air dari
tanah liat. Dan pada saat berdiri tegak....
"Akh...!" wanita itu memekik kaget agak tertahan.
Seketika wajahnya pucat pasi, dan matanya mem-
beliak lebar. Tubuhnya bergetar hebat, sehingga tempayan itu jatuh dan pecah di
ujung kakinya. Belum
lagi wanita itu bisa bersuara, mendadak satu baya-
ngan besar berkelebat disertai auman keras
menggetarkan. "Aaaum...!"
"Aaa...!"
Satu jeritan melengking terdengar. Tubuh wanita
itu terguling ke lantai. Hanya sesaat jeritan melengking itu terdengar, kemudian
tidak terdengar lagi suara dari bibir wanita itu.
"Senah...!"
Jeritan melengking itu membuat laki-laki yang
berada di dalam kamar kontan memburu keluar.
Betapa terkesiap hatinya begitu melihat pemandangan yang mengerikan sekali.
Tubuhnya gemetar hebat dan
wajahnya pucat pasi seketika. Tapi segera
disambarnya golok yang menggantung di dinding di
sampingnya. Sret! Baru saja dicabut goloknya, mendadak satu baya-
ngan berkelebat cepat mengarah padanya. Sejenak dia terkesiap, dan buru-buru
melompat ke samping sambil menjatuhkan tubuhnya bergulingan di lantai. Tapi
mendadak saja bayangan itu berbalik dan langsung
menerjangnya demikian kuat.
"Akh!" laki-laki muda itu memekik tertahan.
Dan belum lagi menyadari apa yang terjadi, tiba-
tiba terasa ada beberapa tusukan benda kecil mengo-
yak dadanya. Itu pun masih disusul suatu hentakan
keras pada kepalanya ke lantai.
"Aaa...!" laki-laki itu menjerit melengking tinggi.
Jeritan yang begitu keras menyayat, membelah
keheningan malam yang dingin ini. Sesaat kemudian
keadaan menjadi sunyi sepi kembali, namun masih
tampak dua bayangan berkelebat cepat keluar dari
bagian belakang rumah itu. Mereka meninggalkan dua
sosok tubuh yang koyak tak berbentuk lagi. Kepala
laki-laki muda itu hancur. Leher dan dadanya
berlubang besar. Sedangkan yang wanita lebih
mengerikan lagi. Sebagian besar tubuhnya hilang.
Yang ada tinggal kepala, sebagian dada, sebelah
tangan, dan potongan perut yang tercecer. Darah
menggenangi lantai.
"Grauuugh...!" terdengar raungan panjang yang
semakin lama semakin mengecil, lalu hilang sama
sekali. Sementara malam terus merambat semakin larut.
Tak ada seorang pun yang menyaksikan peristiwa
memerikan itu. Memang begitu cepat terjadi, dan
sukar sekali dipahami.
*** "Biadab...!" geram Paman Waku menyaksikan dua
mayat dalam keadaan mengerikan di dalam rumah.
Paman Waku tidak sanggup lagi melihat, dan
langsung melangkah keluar. Wajahnya merah padam
menahan geram. Betapa tidak" Wanita yang tewas
bersama suaminya itu adalah keponakannya yang
baru beberapa hari melangsungkan pernikahan.
Rumah yang kecil dengan halaman tidak seberapa
besar itu kini dipadati penduduk yang berdatangan
ingin melihat. Semua orang yang melihat pasti akan mendesis
kengerian. Hanya murid-murid Eyang Ganjur yang
mampu bertahan lama. Itu pun terpaksa karena
mendapat perintah gurunya untuk mengurus mayat-
mayat itu. Sementara Paman Waku sendiri tidak
sanggup lagi menyaksikannya. Eyang Ganjur yang
semula berada di dalam mengawasi muridnya yang
berjumlah empat orang, melangkah ke luar begitu
melihat cucunya ke luar dengan wajah merah padam
menahan geram. "Waku...," panggil Eyang Ganjur begitu berada di
samping cucunya.
"Eyang masih juga berdiam diri"!" dengus Paman
Waku langsung menyelak.
"Tahan amarahmu, Waku. Bisa kurasakan apa
yang kau rasakan sekarang. Kau pikir aku...," Eyang Ganjur mendesah panjang
seraya mengangkat
kepalanya sedikit ke atas. "Hhh...! Tidak seharusnya aku kasar padamu, Waku."
"Maafkan aku, Eyang. Aku terbawa kata hatiku,"
ucap Paman Waku perlahan.
"Ah, sudahlah."
Kakek dan cucu itu terdiam. Saat itu Ki Gedag
dan Argayuda muncul dan langsung menghampiri.
Mereka baru saja keluar dari dalam rumah duka.
Eyang Ganjur menoleh pada kedua orang itu. Sesaat
mereka hanya berdiam diri saja dengan sinar mata
yang sulit diartikan.
"Eyang, bukannya aku hendak menambah keruh
suasana. Tapi sejak tadi kuperhatikan ada tiga orang yang...."
"Di mana?" sentak Paman Waku langsung
memotong ucapan Argayuda.
"Mereka sendiri-sendiri. Yang dua orang memang
sudah tidak terlihat. Tapi yang seorang masih ada di bawah pohon kenanga. Itu,
di samping kuda
hitamnya," sahut Argayuda menunjuk dengan ekor
matanya. Paman Waku dan Eyang Ganjur langsung
mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk
Argayuda. Di bawah pohon kenanga memang terlihat
seorang pemuda berwajah tampan memakai baju
rompi putih. Sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung, tersembul dari balik
punggungnya. Seekor
kuda tegap berwarna hitam pekat tengah merumput di
sampingnya. "Waku...," Eyang Ganjur menangkap tangan cucu-
nya yang hendak melangkah menghampiri pemuda itu.
Paman Waku menatap kakeknya tajam.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Eyang
Ganjur. "Hanya ingin bertanya saja, Eyang," sahut Paman
Waku. "Hatimu sedang panas! Biar aku saja," ujar Eyang
Ganjur. Semula Paman Waku akan membantah, tapi
Eyang Ganjur sudah melangkah begitu melepaskan
cekalannya. Ki Gedag menghampiri Paman Waku dan
berdiri di samping kanannya. Mereka memperhatikan
Eyang Ganjur yang menghampiri pemuda berbaju
rompi putih itu.
Eyang Ganjur memberi salam ramah begitu
sampai di depan pemuda itu, yang kemudian langsung
disambut ramah pula. Sejenak Eyang Ganjur
memperhatikan pemuda itu dari ujung rambut hingga
ke ujung kaki "Maaf, boleh aku tahu siapa Kisanak ini?" tanya
Eyang Ganjur ramah.
"Apakah kehadiranku mengganggu, Eyang?"
pemuda itu malah balik bertanya. Dia langsung
memanggil Eyang karena melihat laki-laki itu usianya sudah lanjut dan memakai
jubah putih bagai seorang
pertapa. "Oh, bukan begitu maksudku. Hanya saja, aku
harus tahu setiap orang asing yang berada di desa ini,"
sahut Eyang Ganjur.
"Namaku Rangga. Aku memang sedang singgah di
sini dalam perjalananku," jelas pemuda itu
memperkenalkan diri.
"Kau seorang pengembara?" tanya Eyang Ganjur
lagi. "Benar, Eyang."
"Hm.... Begini Kisanak. Bukannya aku tidak suka
akan kehadiranmu di sini. Tapi demi kebaikanmu,
sebaiknya segeralah pergi setelah istirahatmu selesai,"
lembut dan sopan kata-kata Eyang Ganjur, namun
bernada tegas penuh kewibawaan.
"Oh...! Kenapa?" tanya Rangga agak terkejut juga.
"Sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Yang jelas,
terlalu berbahaya bagimu berada di sini terlalu lama.
Bukan hanya dirimu, tapi juga bagi semua orang asing.
Desa ini terpaksa kututup dari kunjungan orang luar.
Kuharap, kau bisa memakluminya, Kisanak," kata E-
yang Ganjur tetap ramah.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang," kata Rangga
mengalah. "Aku ucapkan terima kasih atas pengertianmu, Ki-
sanak," ucap Eyang Ganjur.
"Tidak mengapa, Eyang. Aku bisa mengerti."
Rangga berbalik dan melangkah pergi seraya me-
nuntun kudanya. Eyang Ganjur masih berdiri
memandang kepergian pemuda yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Eyang Ganjur
masih menatap kepergian Rangga, sehingga tidak
menyadari kalau Paman Waku, Ki Gedag, dan
Argayuda sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki tua itu menarik napas panjang
setelah mengetahui
kehadiran ketiga orang itu.
"Apa yang Eyang katakan padanya?" tanya Paman
Waku seraya menatap punggung Rangga yang semakin
jauh berjalan. "Hanya meminta pengertiannya," sahut Eyang
Ganjur tanpa berpaling. "Hhh...! Pemuda yang sopan."
"Eyang tidak menanyakan maksud kedatangannya
ke sini?" desak Paman Waku.
"Dia hanya singgah sebentar. Ah! Sudahlah,
Waku. Tidak pantas mencurigai orang yang begitu
sopan dan bersedia mengerti tanpa harus dijelaskan
lebih banyak."
"Eyang, sejak kemarin dia ada di sini," celetuk
Argayuda. "Argayuda!" sentak Ki Gedag.
Tapi Paman Waku sudah menanggapinya dengan
serius. "Menginap di mana dia, Argayuda?" tanya Paman
Waku. "Aku tidak tahu. Tapi, dia selalu muncul setiap
ada korban jatuh," sahut Argayuda tidak
menghiraukan delikan mata Ki Gedag. "Bahkan juga
muncul di kuburan, menatap rumah Paman, dan
menanyakan...."
"Argayuda!" sentak Ki Gedag memotong ucapan
pemuda itu. "Jangan tanggapi kata-kata cucuku,
Paman Waku. Argayuda sendiri sedang tegang,"
sambung Ki Gedag melihat tatapan tajam Paman
Waku. Paman Waku semakin tajam menatap laki-laki se-
tengah baya itu. Sedangkan Argayuda jadi kikuk.
Argayuda tidak menolak ketika Ki Gedag menariknya
dan membawanya pergi. Sedangkan Paman Waku
kelihatan tidak puas terhadap sikap Ki Gedag.
"Keterlaluan kau, Argayuda!" rungut Ki Gedag
setelah cukup jauh.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Ki," bela
Argayuda. "Itu namanya membuat keruh suasana. Berapa
kali kukatakan, jangan banyak bicara di depan Paman
Waku. Kalau terjadi apa-apa, kau bersedia
bertanggung jawab" Bisa-bisa malah kau sendiri yang dicurigai kalau ternyata
pemuda itu tidak bersalah!"
dengus Ki Gedag menggerutu menyesali kecerobohan
cucunya itu. "Tapi, Ki...."
"Sudah!" bentak Ki Gedag.
Argayuda langsung diam. Mereka terus melangkah
pergi tanpa bicara lagi. Ki Gedag benar-benar
menyesali kelancangan cucunya ini. Dia tahu persis
watak Paman Waku yang mudah bangkit amarahnya.
Terlebih lagi, pada saat-saat seperti ini. Argayuda memang masih terlalu muda
dan tidak bisa berpikir
panjang. Darah muda yang selalu menuruti kata hati
tanpa mengenal kompromi.
*** 3 Kuda hitam pekat itu melangkah perlahan.
Ayunan kakinya begitu teratur seperti tahu keinginan majikannya. Di punggungnya
duduk seorang pemuda
berwajah tampan dan berkulit kuning langsat. Baju
rompi putih yang bagian dadanya terbuka lebar,
meriap dipermainkan angin senja. Rambutnya hitam
panjang tergelung ke atas. Sebagian meriap melambai-lambai mengikuti irama derap
langkah kaki kuda itu.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Belum lagi hilang suara bentakan itu, mendadak
di depan muncul seorang gadis cantik. Bajunya putih ketat, dan pedangnya
tersampir di punggung. Gadis itu
berdiri bertolak pinggang sambil menatap tajam.
Pemuda di atas punggung kuda hitam itu langsung
menghentikan langkah kudanya, dan tetap duduk
dengan sikap tenang.
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nisanak, apa maksudmu menghalangi jalanku?"
tanya pemuda itu sopan dan lembut.
"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti!
Apa maksudmu datang ke Desa Weru!" dengus wanita
itu ketus. "He...! Kau tahu namaku..."!" pemuda yang berada
di punggung kuda hitam itu terkejut, karena wanita itu tahu nama julukannya.
Pemuda itu memang Pendekar
Rajawali Sakti yang bernama asli Rangga.
"Hhh! Hanya orang bodoh saja yang tidak tahu
siapa dirimu!" kembali wanita itu mendengus.
"Nisanak, aku tidak kenal dirimu. Dan rasanya di
antara kita tidak pernah ada persoalan apa-apa.
Kenapa kau menghadang jalanku dengan sikap permu-
suhan?" Rangga mencoba lembut.
"Di antara kita memang belum pernah punya
persoalan. Aku hanya ingin memberi peringatan saja
padamu, Pendekar Rajawali Sakti!" tetap ketus nada
suara wanita itu.
"Peringatan" Peringatan apa, Nisanak" Hm...,
kalau boleh tahu, siapa namamu?" Rangga masih tetap lembut meskipun wanita itu
tetap ketus. "Mungkin kau sudah mendengar julukan Bidadari
Pencabut Nyawa! Itulah diriku. Dewi Tanjung atau si Bidadari Pencabut Nyawa.
Jelas...!?"
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sama sekali
belum pernah didengar nama wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari
punggung kudanya. Dilangkahkan kakinya dua tindak
ke depan, dan dibiarkan kuda hitamnya melenggang
ke tepi, mendekati segerumbul rumput hijau yang
subur di bawah pohon kamboja.
"Kuperingatkan sekali lagi, Pendekar Rajawali
Sakti. Tinggalkan segera Desa Weru, atau kau
berhadapan denganku!" dingin nada suara Dewi
Tanjung. "Ha ha ha...!" Rangga tidak dapat lagi menahan
tawanya. Seketika itu juga tawanya meledak
mendengar peringatan wanita yang mengaku bernama
Dewi Tanjung atau berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa.
Memang satu hari ini sudah dua orang
memperingatkannya untuk pergi dari Desa Weru.
Hatinya benar-benar terasa tergelitik, sehingga tidak bisa menahan tawanya.
"Diam! Tidak lucu...!" merah padam wajah Dewi
Tanjung. Rangga langsung diam, tapi bibirnya tetap me-
nyunggingkan senyum menahan tawa. Sedangkan De-
wi Tanjung semakin merah wajahnya. Dirasakan kalau
Rangga telah meremehkan peringatannya.
"Aku tidak main-main, Pendekar Rajawali Sakti!
Aku tidak ingin melihat mukamu lagi di desa ini!" tegas kata-kata Dewi Tanjung.
"Baik, aku akan pergi secepatnya. Tapi tolong
jelaskan, mengapa kau menginginkan aku pergi dari
Desa Weru?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak!" dengus Dewi
Tanjung ketus. "Kalau aku mencari tahu sendiri?"
"Heh..."!" Dewi Tanjung terkejut setengah mati.
Rangga mengangkat bahunya, kemudian
melangkah ringan mendekati kudanya. Ditepuk-
tepuknya leher kuda hitam yang bernama Dewa Bayu
itu. Kemudian dia duduk di atas akar pohon yang
menyembul dari dalam tanah. Sebatang rumput
dicabut, kemudian diselipkan di sudut bibirnya.
Dewi Tanjung semakin geram melihat sikap Pen-
dekar Rajawali Sakti itu. Dengan ujung jari kakinya dikutiknya sebatang ranting
kering, lalu disentilnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Sentilan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam itu sungguh luar
biasa. Ranting kering itu meluruk deras bagai sebatang anak panah lepas dari
busur. "Uts!"
Rangga mengegoskan kepalanya sedikit ke
samping. Ranting kering yang rapuh itu menancap
sampai setengahnya di batang pohon di belakang
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berdecak kagum
melihat tenaga dalam yang dimiliki gadis itu. Memang boleh juga. Ranting kering
yang rapuh itu bagai
sebatang baja kuat, dan sanggup menembus batang
kayu yang cukup besar dan kokoh.
"Sudahlah, Nini Dewi. Aku tidak ada waktu
bermain-main denganmu," ujar Rangga sengit.
"Aku tidak minta kau bermain denganku, yang
kuminta, enyahlah dari sini!" dengus Dewi Tanjung.
Rangga bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya gadis
berbaju putih itu. Meskipun masih kesal, tapi dia melompat juga ke punggung
kudanya. Rangga benar-
benar tidak ingin berurusan dengan gadis yang begitu galak. Dia berdecak dan
menghentakkan tali kekang
kudanya. Dewa Bayu segera melenggang setelah me-
ringkik satu kali.
Dewi Tanjung memandangi kepergian Rangga.
Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis karena
berhasil mengusir Pendekar Rajawali Sakti. Bidadari Pencabut Nyawa itu masih
berdiri tegak meskipun
Rangga sudah jauh, dan menghilang di dalam hutan,
tubuhnya baru berbalik setelah bayangan Pendekar
Rajawali Sakti itu tidak terlihat lagi. Namun baru saja berbalik, mendadak
sebuah bayangan melesat.
"Kau...!?" Dewi Tanjung terkesiap begitu melihat
jelas bayangan itu.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, bayangan
itu sudah kembali melesat menerjangnya. Dewi
Tanjung langsung melentingkan tubuhnya ke
belakang, dan berputaran beberapa kali di udara.
Namun sosok bayangan itu terus mencecarnya, dan
tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk
bernapas. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Dewi Tanjung
melentingkan tubuhnya ke atas. Dengan manis sekali
kakinya hinggap di atas dahan pohon yang cukup
tinggi. Sepasang bola matanya yang bulat bening,
membeliak mendapati sesosok tubuh menyeramkan
berdiri di bawah pohon itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa
menggelegar. "Huh!" Dewi Tanjung mendengus berat.
Dewi Tanjung meluruk turun. Begitu kakinya
menjejak tanah, muncul seorang laki-laki tinggi tegap penuh brewok. Laki-laki
itu menghampiri seekor
harimau sebesar anak kerbau yang tadi sempat
menyerang Dewi Tanjung. Binatang buas itu mendekam
sambil menggerung-gerung perlahan.
"He he he...! Hebat...! Hebat, kau bisa mengusir
Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengadu tenaga. He he he...!" laki-laki itu memuji
sambil terkekeh.
"Aku tidak perlu pujianmu, Macan Gunung Sum-
bing! Aku datang ke sini untuk membuat perhitungan
denganmu!" dengus Dewi Tanjung ketus.
"Perhitungan..." Ha ha ha...!" Laki-laki yang
wajahnya penuh brewok itu tertawa terbahak-bahak.
Perutnya yang sedikit buncit terguncang-guncang.
Dewi Tanjung menggeram melihat tingkah
manusia seperti harimau itu. Wajahnya memang
hampir menyerupai harimau peliharaannya itu.
Matanya bulat merah, dan seluruh mukanya hampir
tertutup brewok lebat. Kuku jari-jari tangannya
runcing dan berwarna hitam. Lengannya kokoh dan
dihiasi bulu tebal. Perawakan Macan Gunung Sumbing
memang sungguh menyeramkan, membuat siapa saja
yang melihatnya bakal merinding ketakutan!
"Ghraugh...!" harimau itu menggerung seraya
membuka mulutnya lebar-lebar.
Tampak barisan giginya yang tajam bertaring.
Seluruh mulutnya berwarna merah darah. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk ke arah Bidadari
Pencabut Nyawa. Tapi dia tetap mendekam di samping
si Macan Gunung Sumbing.
"Telah lama kutunggu kesempatan ini, Macan Gu-
nung Sumbing! Sekarang saatnya menagih hutang
padamu!" dingin sekali nada suara Dewi Tanjung.
"Dewi Tanjung! Apakah kau sudah punya nyawa
rangkap sehingga berani menantangku, heh"! Dengar,
bocah! Aku tidak pernah punya hutang nyawa pada
siapa pun juga. Kalau aku membunuh, itu karena me-
reka patut dibunuh!" keras suara Macan Gunung Sum-
bing. "Dan aku akan membunuhmu, karena kau juga
patut dibunuh!" sambut Dewi Tanjung dingin.
"Bocah setan! Rupanya kau benar-benar cari
mampus, heh"!" geram Macan Gunung Sumbing.
"Kita lihat, siapa di antara kita yang lebih dahulu ke neraka!" tantang Dewi
Tanjung tegas. "Phuih! Baru kali ini aku ditantang bocah
ingusan!" dengus Macan Gunung Sumbing sinis.
"Tantanganku yang akan mengirimmu ke neraka,
Macan Gunung Sumbing!"
"Bocah gendeng! Kupatahkan batang lehermu.
Hiyaaat...!" Mendapat tantangan terbuka itu, Macan
Gunung Sumbing tidak bisa lagi menahan luapan
amarahnya. Cepat sekali tubuhnya melompat sambil
menjulurkan tangannya ke depan. Kuku-kukunya yang
hitam runcing, mengembang siap mengoyak tubuh indah Bidadari Pencabut Nyawa.
Namun terjangan yang cepat itu manis sekali dielakkan wanita itu. Dewi Tanjung
menggeser kakinya ke kanan sambil memiringkan
tubuhnya sedikit. Dan dengan kecepatan kilat,
dilayangkan tendangan ke arah perut Macan Gunung
Sumbing. "Phuah!"
Macan Gunung Sumbing menyumpah serapah.
Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang, sehingga
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi itu luput dari sasaran. Laki-laki
berwajah mirip harimau itu kembali menyerang ganas. Kedua tangannya selalu
merentang dan jari-jarinya terbuka lebar. Kebutan tangannya
begitu cepat dan kuat. Angin kebutannya mengandung
hawa panas yang menyengat.
Dewi Tanjung menyadari betul kalau saat tengah
berhadapan dengan tokoh sakti yang berkepandaian
tinggi dan sukar dicari tandingannya. Wanita itu
berkelit dan berlompatan menghindari setiap serangan yang datang sambil sesekali
mengirimkan serangan
balasan. Bidadari Pencabut Nyawa itu juga tidak
tanggung-tanggung lagi, langsung dipergunakanlah
jurus-jurus yang dahsyat dan diandalkan.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Ma-
sing-masing berusaha untuk merobohkan lawannya.
Tidak terasa, mereka sudah mengeluarkan sepuluh
jurus. Namun pertarungan nampaknya masih terus
berlangsung. Tempat di sekitar pertarungan itu sudah tidak karuan lagi. Porak-
poranda bagai diterjang amukan dua manusia raksasa. Pohon-pohon besar dan kecil
bertumbangan. Batu-batu pecah berantakan. Debu
mengepul di udara, menambah pekatnya suasana.
Namun pertarungan masih saja berlangsung. Bahkan
semakin sengit.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Macan Gunung Sumbing berteriak
keras. Dan tahu-tahu tubuhnya sudah berputar cepat
mengelilingi Dewi Tanjung. Sesaat Bidadari Pencabut Nyawa itu jadi kelabakan,
karena tidak tahu lagi di mana lawannya berada. Yang terlihat hanya bayangan
berkelebat cepat mengelilingi tubuhnya. Dan belum
lagi gadis itu menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu Macan Gunung Sumbing
melepaskan satu pukulan
keras yang tidak terduga sama sekali.
"Akh...!" Dewi Tanjung memekik keras tertahan.
Tubuhnya limbung terhuyung-huyung. Satu
pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi berhasil mendarat di punggungnya.
Dan selagi tubuhnya
terhuyung, kembali Macan Gunung Sumbing
melepaskan satu pukulan disertai teriakan
menggelegar. "Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
Pukulan itu tidak bisa dielakkan lagi. Dewi
Tanjung memekik keras, dan tubuhnya terlontar
sejauh beberapa tombak. Dua batang pohon langsung
hancur berantakan terlanda tubuh ramping gadis itu.
Namun Dewi Tanjung masih berusaha bangkit berdiri.
Pukulan Macan Gunung Sumbing yang telah
menghantam dadanya, membuatnya jadi sukar
bernapas. Dan selagi mencoba bangkit berdiri, darah segar termuntahkan dari
mulutnya. "Ha ha ha...!" Macan Gunung Sumbing tertawa
terbahak-bahak.
"Setan...!" dengus Dewi Tanjung menggeram.
Cepat Bidadari Pencabut Nyawa itu menggerak-ge-
rakkan tangannya di depan dada, kemudian mencabut
pedangnya. Sret...! Pedang berwarna hitam pekat itu telah tergenggam erat di
tangan kanan, melintang di depan dada. Disekanya darah yang masih tersisa di
mulut dengan punggung tangan kiri. Sepasang bola
matanya menatap tajam penuh kemarahan.
"Ghraugh...!" tiba-tiba harimau yang sejak tadi
mendekam diam, bangkit berdiri sambil menggerung
keras. "He he he.... Rupanya kau ingin mendapat bagian
juga, Belang. Baiklah! Aku serahkan dia untukmu,"
ujar Macan Gunung Sumbing terkekeh.
"Phuih!" Dewi Tanjung menyemburkan ludahnya.
Bidadari Pencabut Nyawa itu menggeser kakinya
ke samping beberapa langkah. Sedangkan Macan
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gunung Sumbing melangkah mundur, memberi
kesempatan harimau peliharaannya untuk maju. Dari
bibirnya yang tipis tertutup brewok, masih terdengar tawa terkekeh. Sementara
Dewi Tanjung kembali
menggeser kakinya. Pandangannya tajam tertuju pada
binatang buas sebesar anak kerbau itu.
"Auuum...!" Harimau itu mengaum keras.
Dan belum lagi hilang suara aumannya, binatang
buas itu sudah melompat cepat menerkam. Dewi
Tanjung melompat ke samping sambil membabatkan
pedangnya ke tubuh binatang mengerikan itu. Tapi
sungguh di luar dugaan, ternyata binatang itu mampu berkelit dengan memutar
tubuhnya di udara. Tebasan
Dewi Tanjung hanya mengenai angin. Dan secepat itu
pula, harimau belang itu berbalik. Langsung
diterkamnya kembali tubuh ramping itu dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata biasa.
"Haaait..!"
Dewi Tanjung melompat ke belakang seraya
mengibaskan pedangnya. Tapi harimau itu tetap maju
menerjang, dan....
Dug! "Heh...!"
"Ha ha ha...!"
Dewi Tanjung terkejut bukan main begitu pedang-
nya membabat bagian perut harimau sebesar anak
kerbau itu. Rasanya seperti menghantam sekarung
kapuk saja. Pedangnya terpental balik, sedangkan
harimau itu tidak mengalami luka sedikit pun. Dewi
Tanjung bergegas melompat mundur. Diperiksa mata
pedangnya, ternyata tak ada yang gompal. Kemudian,
dipandangi tajam-tajam harimau yang menggerung-
gerung memamerkan taringnya.
"Gila! Binatang apa ini...?" dengus Dewi Tanjung.
"Graugh...!" harimau itu menggeram.
Binatang itu merendahkan tubuhnya sedikit, dan
tiba-tiba melompat hendak menerkam Dewi Tanjung.
Sesaat, Bidadari Pencabut Nyawa itu terperangah,
sehingga tidak sempat lagi menghindar. Namun pada
saat yang sangat kritis, mendadak sebuah bayangan
putih berkelebat menghajar harimau itu.
"Grrraaaugh...!" harimau itu meraung keras.
Tubuh binatang itu terpental cukup jauh ke bela-
kang, menghantam sebongkah batu hingga hancur
berantakan. Sebelum ada yang sempat menyadari,
bayangan putih itu sudah berkelebat lagi. Langsung
saja disambarnya tubuh Dewi Tanjung, dan seketika
itu juga lenyap tak berbekas.
"Setan keparat....!" geram Macan Gunung
Sumbing begitu tersadar.
Tapi Dewi Tanjung sudah lenyap, bersama
lenyapnya bayangan putih itu. Macan Gunung Sumbing
menggerutu dan memaki-maki geram. Sedangkan
harimau belang yang sangat besar itu menggerung-
gerung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
melangkah menghampiri si Macan Gunung Sumbing,
lalu mendekam di depan laki-laki berwajah kasar
penuh brewok itu. Geramannya terdengar lirih, dan
kepalanya terkulai rata dengan tanah.
"Bukan hanya kau yang kecewa, Belang. Huh!
Siapa pun orangnya yang berani usil, akan kurobek-
robek tubuhnya!" dengus Macan Gunung Sumbing
geram. "Grrr...!" Harimau itu menggerung pelan, seakan
menyetujui ucapan majikannya.
"Ayo, Belang. Masih banyak yang harus
dikerjakan," ajak Macan Gunung Sumbing.
Harimau itu bangkit berdiri dan melangkah
lenggang mengikuti Macan Gunung Sumbing.
Sepertinya mereka melangkah biasa saja, tapi
kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga.
Bahkan sebentar saja sudah lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar
perbatasan utara Desa Weru.
Saat itu, tidak berapa jauh dari tempat
pertarungan tadi, tampak Dewi Tanjung bergulir jatuh bergelimpangan di tanah.
Tidak jauh darinya berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Baju rompi
putihnya berkibar-kibar tertiup angin. Dewi Tanjung
bergegas bangkit berdiri. Dikibaskan debu yang
melekat di bajunya, kemudian dimasukkan pedangnya
kembali ke dalam sarungnya di punggung. Tatapannya
langsung tertuju pada pemuda tampan yang
menolongnya dari maut.
"Huh! Kau lagi...!" rungut Dewi Tanjung begitu
mengenali pemuda itu. Memang dewa penolongnya itu
tidak lain dari Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kau sampai bentrok dengan Macan Gu-
nung Sumbing?" tanya Rangga tidak menghiraukan
gerutuan gadis itu.
"Bukan urusanmu!" dengus Dewi Tanjung seraya
melangkah ingin pergi.
"Hey...! Tunggu...!" Rangga melompat, dan tahu-
tahu sudah berdiri menghadang.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Dewi
Tanjung ketus. "Bukan itu yang kuinginkan," kata Rangga.
"O..., jadi kau meminta imbalan?" sinis sekali
nada suara Dewi Tanjung.
Rangga mendengus kesal juga terhadap sikap
ketus gadis ini, tapi masih bisa ditahan kekesalannya.
Dia hanya ingin tahu, kenapa gadis ini bisa bentrok dengan Macan Gunung Sumbing.
Sementara hampir
seluruh penduduk Desa Weru sedang dicekam
perasaan takut. Dan tidak jarang mereka menyebut-
nyebut nama Macan Gunung Sumbing sebagai pelaku
utama pembantaian di Desa Weru.
Bukannya ingin tahu urusan orang lain, tapi Rangga
merasa perlu ikut campur. Apalagi dia pernah bentrok dengan Macan Gunung
Sumbing. Rangga tahu betul
kalau tokoh sakti itu sukar ditandingi. Terutama binatang peliharaannya yang
sangat kebal dan kuat luar
biasa. Sepertinya memang bukan harimau sungguhan.
Rangga juga sempat mendengar beberapa
pembicaraan yang membuatnya harus berpikir keras
mencari kebenaran. Kalau saja apa yang didengar dari beberapa penduduk Desa Weru
itu benar, sudah
menjadi kewajibannya untuk menghentikan sepak
terjang Macan Gunung Sumbing. Dan tadi, Macan
Gunung Sumbing hampir menewaskan seorang gadis
yang ketus, angkuh, dan keras kepala.
"Tunggu apa lagi" Imbalan apa yang kau
inginkan?" sinis nada suara Dewi Tanjung.
"Pergilah!" dengus Rangga jadi muak.
"Ha ha ha...!" Dewi Tanjung tertawa terbahak-
bahak melihat wajah Pendekar Rajawali Sakti itu jadi bersemu merah.
Gadis itu memang sengaja membuka sedikit
bagian atas dadanya, sehingga tampak sedikit dua
bukit kembar yang putih dan mulus. Sambil
memperdengarkan suara tawanya, gadis itu cepat
melangkah pergi.
Rangga bersungut-sungut sendirian.
"Dasar...!"
*** 4 Dewi Tanjung tampak gelisah. Beberapa kali
tubuhnya menggelimpang di atas pembaringan kamar
penginapan ini. Sebentar bangkit duduk, kemudian
menghenyakkan lagi tubuhnya. Sementara malam
terus beranjak semakin larut. Keheningan menyelimuti seluruh Desa Weru ini.
Desahan panjang terdengar
diiringi bangkitnya tubuh ramping dari pembaringan.
"Huh! Kenapa dia tidak mau hilang dari bayangan-
ku...?" gerutu Dewi Tanjung.
Gadis itu melangkah menghampiri jendela yang
masih terbuka lebar. Sebentar memandang ke luar,
tapi hanya kegelapan yang terlihat. Perlahan
tangannya menutup jendela itu, lalu berbalik seraya menghembuskan napas panjang.
Terasa berat hembusan napasnya. Kembali kakinya terayun
menghampiri pembaringan yang beralas kain merah
muda, lalu duduk di tepinya.
"Rangga.... Hhh...!" Dewi Tanjung mendesah pelan
menyebut nama Pendekar Rajawali Sakti.
Sejak peristiwa siang tadi, Dewi Tanjung menjadi
gelisah. Entah kenapa, bayang-bayang wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti selalu menghantui pelupuk
matanya. Sukar sekali untuk mengenyahkannya. Mes-
kipun pertemuan yang tidak bersuasana baik, tapi
ketampanan dan kegagahan Pendekar Rajawali Sakti
sempat juga menggetarkan hati gadis itu.
Dan Dewi Tanjung tidak mampu mengelaknya
meskipun sudah berusaha keras mengusir bayang-
bayang itu dari pelupuk matanya. Terbayang kembali
ketika Rangga memeluk, dan membawanya kabur dari
hadapan harimau besar peliharaan Macan Gunung
Sumbing. Entah kenapa, saat itu Dewi Tanjung tidak
berusaha berontak. Bahkan hatinya begitu kesal saat Rangga melepaskannya,
sehingga tubuhnya jatuh
bergulingan di tanah. Ada perasaan tentram ketika
tubuhnya dipeluk pemuda pendekar itu.
"Huh! Kenapa aku memikirkannya" Apa sih
kelebihannya" Banyak pemuda yang lebih tampan dan
lebih gagah darinya...!" Dewi Tanjung menggumam
sendiri membantah segala bayangan di dalam hatinya.
Dewi Tanjung jadi tersenyum begitu
membayangkan wajah Rangga bersemu merah ketika
bagian atas dadanya terbuka sedikit. Dan Pendekar
Rajawali Sakti langsung menyuruhnya pergi.
Senyum di bibir mungil yang selalu merah
menantang itu, mendadak sirna. Dewi Tanjung
mendongakkan kepalanya ke atas. Telinganya yang
setajam mata pisau mendengar suara halus di atas
atap kamar penginapannya. Walaupun suara itu
langsung menghilang, tapi Dewi Tanjung masih juga
mendengar tarikan napas yang demikian halus, dan
hampir tidak terdengar.
"Hm.. Ada tamu rupanya...," gumam Dewi Tanjung
dalam hati. Dewi Tanjung melompat ke sudut dekat jendela
ketika atap kamarnya perlahan-lahan terbuka. Gadis
itu melirik pembaringan yang kosong, kemudian
menatap atap yang semakin terbuka lebar. Lalu....
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat kilat gadis itu melentingkan tubuhnya ke
atas, menembus atap yang sudah cukup lebar terbuka, tubuh ramping itu langsung
menerobos keluar, dan
tahu-tahu sudah hinggap di atas atap. Tampak
seorang laki-laki muda di atas atap terkejut setengah mati. Buru-buru laki-laki
itu melompat turun. Tapi
Dewi Tanjung lebih cepat lagi bertindak. Dia langsung melesat, lalu mengirimkan
satu pukulan bertenaga
dalam penuh. Dug! "Ughk...!" laki-laki itu mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terjerembab ke tanah, namun
masih mampu bangkit berdiri. Seleret cahaya
keperakan terlihat begitu tangannya bergerak.
Ternyata laki-laki muda yang hanya terlihat wajahnya itu mencabut sebilah golok.
Dewi Tanjung tersenyum
sinis, berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
"Maling kecil, ingin berlagak di depanku. Phuih!"
dengus Dewi Tanjung mengejek.
"Aku bukan maling, perusuh keparat!" bentak
laki-laki muda yang ternyata adalah Argayuda.
"Perusuh..." Kau bilang aku perusuh" Ha ha
ha...!" Dewi Tanjung tertawa tergelak.
"Orang lain boleh tidak peduli dan takut padamu.
Tapi aku tidak akan membiarkanmu membantai
seluruh penduduk Desa Weru seenak udel!" geram
Argayuda. Dewi Tanjung terkejut. Tawanya berhenti seketika.
Ditatapnya tajam-tajam wajah Argayuda yang sudah
menggeser kakinya dengan golok melintang di depan
dada. "Dengar, bocah edan! Aku tak pernah membantai
orang-orang di sini. Jelas ini perbuatan Macan Gunung Sumbing! Sebagian besar
penduduk di sini bisa
mampus di tangannya! Kau terlalu gegabah menuduh
sembarangan tanpa bukti!" tegas kata-kata Dewi
Tanjung. "Heh! Tidak semudah itu mengelabuiku, iblis
betina! Kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu yang
keji itu" Kau kulihat keluar dari rumah korban, lalu kuikuti sampai ke sini!"
dengus Argayuda dingin.
"Korban..."!" Dewi Tanjung kelihatan terkejut.
"Jangan berlagak bodoh, iblis! Kau baru saja
membantai satu keluarga. Hm..., mana binatang
peliharaanmu itu" Keluarkan sekalian, biar kukirim ke neraka bersamamu!"
Jelas raut wajah Dewi Tanjung terlihat sangat
terkejut. Ternyata malam ini kembali terjadi
pembantaian serupa pada satu keluarga. Dan
Argayuda melihat, dan mengikutinya sampai ke sini.
Apakah orang yang melakukan semua itu benar-benar
Dewi Tanjung" Atau ada orang lain yang juga
menginap di rumah penginapan ini"
Dan belum lagi rasa terkejut Dewi Tanjung hilang,
Argayuda sudah melompat cepat sambil mengibaskan
goloknya ke arah leher.
"Mampus kau, Iblis! Hiyaaa...!"
"Uts!"
Dewi Tanjung cepat merundukkan kepalanya.
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu desingan keras terdengar melewati atas kepala
gadis itu. Dan kembali Argayuda memutar goloknya
menyimpang turun mengarah dada. Dewi Tanjung
bergegas melompat mundur, tapi Argayuda tidak
memberi kesempatan lagi. Dicecarnya wanita itu
dengan kebutan golok ke kiri dan ke kanan. Dewi
Tanjung terpaksa berjumpalitan berputaran
menghindari kibasan golok yang beruntun itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Dewi Tanjung
melentingkan tubuhnya ke atas ketika satu babatan
golok mengarah ke kakinya. Dua kali tubuhnya
berputar di udara, lalu cepat meluruk turun, tepat di belakang Argayuda. Dewi
Tanjung mengibaskan
tangannya, langsung menghantam punggung pemuda
itu. "Akh...!" Argayuda terpekik tertahan.
Pemuda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Dan
belum lagi mampu berdiri, Dewi Tanjung sudah
melompat cepat. Kakinya menyambar pergelangan
tangan yang memegang golok. Kembali Argayuda
memekik keras. Goloknya terlempar jauh, dan
menancap di pohon. Sebelah kaki Dewi Tanjung
langsung menginjak dada pemuda itu.
"Ugh!" Argayuda mengeluh seraya meringis
menahan sakit pada dadanya.
Injakan kaki Bidadari Pencabut Nyawa itu
demikian keras, sehingga membuat Argayuda jadi
tersengal napasnya. Dadanya juga terasa nyeri, seolah-olah tulang-tulang dadanya
remuk. Bahkan Dewi
Tanjung semakin menekan kuat saat Argayuda
mencoba menggelinjang berusaha melepaskan diri.
"Punya kepandaian mentah saja coba-coba
menantangku, hih!" dengus Dewi Tanjung seraya
mendupak tubuh Argayuda.
Pemuda itu bergelimpangan beberapa tombak
jauhnya. Dia berusaha bangkit, tapi dadanya terasa
sesak sekali. Argayuda hanya mampu duduk dan
bernapas tersengal, namun sinar matanya bersorot
tajam penuh kebencian pada gadis cantik yang
mempecundanginya. Sedangkan Dewi Tanjung hanya
berdiri tegak, lalu berbalik. Gadis itu melesat cepat ke atas atap, dan
menghilang di sana.
*** Ki Gedag begitu terkejut saat melihat Argayuda
pulang. Tubuhnya limbung, kotor, dan mulut
berdarah. Buru-buru laki-laki tua itu menyongsong.
Dipapahnya pemuda itu dan dibawanya masuk ke
dalam. Argayuda menurut saja saat didudukkan di
kursi. Ki Gedag segera membersihkan darah di mulut
Argayuda dengan kain basah.
"Ada apa" Apa yang terjadi denganmu, Argayuda?"
tanya Ki Gedag seraya memeriksa tubuh cucunya ini.
"Dia menyerangku, Ki," sahut Argayuda sambil
meringis. "Dia.... Dia siapa?" desak Ki Gedag.
"Iblis pembantai itu."
Ki Gedag terhenyak mendengar jawaban yang
tidak diduga-duganya itu. Dipandanginya Argayuda
dalam-dalam, seakan-akan hendak mencari kebenaran
pada jawaban yang mengejutkan itu. Ki Gedag
menoleh ketika mendengar langkah kaki memasuki
ruangan depan rumahnya. Tampak Paman Waku dan
Eyang Ganjur mendekati. Mereka datang dari ruangan
dalam. Argayuda terkejut karena tidak menyangka
kalau ada tamu di rumah kakeknya ini.
"Bagaimana kejadiannya, Argayuda?" tanya
Paman Waku langsung.
Argayuda memandang Ki Gedag yang hanya meng-
angguk saja. Rupanya Paman Waku dan Eyang Ganjur
sudah mendengar pembicaraan mereka tadi dari da-
lam. Argayuda menarik napas panjang, lalu segera
menceritakan pengalamannya malam ini. Kejadiannya
memang berawal dari rasa penasarannya. Kebetulan
saat itu dia berada di depan rumah salah satu
keluarga Paman Waku. Dari situ terdengar raungan
keras yang disusul jeritan melengking saling susul.
Argayuda menunggu beberapa saat, kemudian melihat
dua bayangan berkelebat keluar dari dalam rumah itu.
Paman Waku diam tertunduk. Eyang Ganjur me-
narik kursi dan duduk di sebelah Argayuda.
Sedangkan Ki Gedag hanya diam dengan kepala
tertunduk. Argayuda kembali melanjutkan ceritanya.
Waktu itu dibuntutinya kedua makhluk tadi sampai
hilang di penginapan Ki Raga. Dia mengintai
penginapan itu sesaat, lalu melihat salah satu kamar penginapan masih terang.
Dicobanya masuk dari atap, tapi pemilik penginapan itu mengetahuinya. Maka
terjadilah pertarungan. Argayuda menghentikan
ceritanya. Dipandangi wajah-wajah yang tampak
menegang penuh keseriusan.
"Maafkan aku, Paman. Aku hanya ingin...," ucap
Argayuda di akhir ceritanya.
"Sudahlah, Argayuda. Kuhargai keberanianmu.
Tapi aku minta jangan diulangi lagi. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri,"
tegas Paman Waku pelan.
"Argayuda, kau lihat jelas wajahnya?" tanya Eyang
Ganjur. "Tentu. Dia seorang wanita yang masih muda dan
cantik. Memakai baju putih, dan pedangnya tersampir di punggung," sahut
Argayuda. "Wanita...," desis Paman Waku lirih.
Eyang Ganjur menatap cucunya itu, kemudian
beralih pada Argayuda. Pemuda ini nampak
kebingungan melihat perubahan wajah Paman Waku
saat mendengar ciri-ciri orang yang tadi bertarung
dengannya, dan dicurigai sebagai pelaku pembantaian sadis di desa itu. Tampak
kepala Paman Waku
menggeleng-geleng beberapa kali. Terdengar tarikan
napas panjang dan berat.
"Ada apa, Paman?" tanya Argayuda kebingungan.
"Hhh...!" Paman Waku menarik napas panjang.
"Benarkah dia seorang wanita, Argayuda?" Paman
Waku malah bertanya.
"Benar, Paman," sahut Argayuda mantap.
Kepala Paman Waku menggeleng-geleng beberapa
kali. Kakinya melangkah mendekati jendela. Sambil ber-topang di sana, matanya
memandang lurus ke depan.
Tubuhnya lalu berbalik seraya menghembuskan napas
panjang. "Dugaan kita selama ini ternyata keliru, Eyang,"
ujar Paman Waku disertai desahan napas panjang.
"Kau tahu siapa wanita itu, Waku?" tanya Eyang
Ganjur. "Entahlah! Aku memang tidak mengenalnya. Tapi
apa maksudnya membantai keluarga kita...?" Paman
Waku seperti bertanya pada dirinya sendiri
Tidak ada yang membuka suara sedikit pun. Ma-
sing-masing sibuk dengan pikirannya. Pertanyaan
Paman Waku masih menggantung. Di samping itu,
mereka jadi khawatir karena sudah tiga keluarga yang terbantai sampai malam itu.
Tidak ada yang hidup dari ketiga keluarga itu. Semuanya tewas mengerikan. Tubuh
terpotong, atau tercabik. Bahkan ada beberapa
yang hilang sebagian tubuhnya. Mungkinkah ini
perbuatan Macan Gunung Sumbing atau si Bidadari
Pencabut Nyawa"
*** Desa Weru semakin dicekam perasaan takut. Me-
reka kembali digemparkan oleh terbantainya satu
keluarga semalam. Tak ada lagi yang berkomentar.
Semuanya diliputi perasaan cemas dan kekhawatiran
yang dalam. Setiap malam satu keluarga terbantai
tanpa ada sisa seorang pun. Segala bentuk dugaan
dan cerita-cerita mengerikan bergema dari setiap
mulut. Namun semua itu terlukiskan dari perasaan
takut yang amat sangat.
Jauh di perbatasan Desa Weru sebelah barat,
tampak Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk
bersimpuh menyatukan jiwa dan raga pada alam
semesta. Tidak jauh di sampingnya, seekor kuda hitam asyik merumput. Seakan-akan
tidak peduli terhadap
majikannya yang sedang bersemadi. Tampak seorang
wanita berbaju putih berlari cepat menembus semak
belukar. "Hup...!"
Rangga bergegas melompat, langsung
menghadang gadis yang ternyata adalah Dewi Tanjung.
Gadis itu terkejut, dan langsung berlindung di balik punggung Pendekar Rajawali
Sakti. Napasnya
tersengal tidak teratur. Bajunya tampak kusut dan
koyak di beberapa bagian perut dan punggung. Dari
sudut bibirnya mengalir darah.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Mereka..., mereka hendak membunuhku. Mereka
masih mengejarku...," sahut Dewi Tanjung masih
terengah. Rangga memalingkan mukanya ke arah datangnya
Dewi Tanjung tadi. Terdengar suara-suara kaki yang
berian cepat dalam jumlah banyak, disertai suara
hiruk-pikuk. Sebentar Rangga memandang berkeliling, kemudian menarik tangan Dewi
Tanjung. Seketika
tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke udara
sambil menarik tangan Dewi Tanjung. Kaki mereka
hinggap di atas dahan pohon yang cukup tinggi dan
rimbun. Rangga berdecak perlahan yang disertai pe-
ngerahan tenaga dalam, dan disalurkan melalui suara.
Kuda hitam yang sedang merumput itu meringkik
keras, lalu berlari menjauh.
Tidak berapa lama kemudian muncul beberapa
orang dari dalam semak belukar. Mereka terus
bergerak memasuki hutan. Tampak di antara sekitar
tiga puluh orang bersenjata golok dan tombak itu
terlihat Eyang Ganjur, Argayuda, Ki Gedag, dan Paman Waku. Ternyata, di situ
juga ada seorang laki-laki
setengah baya yang mengenakan jubah hijau tua.
Tangannya menggenggam tombak bermata yang
memiliki keluk tiga seperti keris. Mereka terus
bergerak menjauh, tapi tidak berapa lama kemudian
kembali lagi. Dari atas pohon, Rangga mengamati semua itu.
Tubuhnya baru meluruk turun setelah orang-orang
tadi tidak terlihat lagi, sudah jauh kembali ke Desa Weru. Pendekar Rajawali
Sakti itu segera melepaskan cekalannya pada tangan Dewi Tanjung begitu kakinya
mendarat di tanah. Sedangkan kuda hitam itu kembali muncul, dan langsung
menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti. "Kenapa mereka mengejarmu?" tanya Rangga.
Dewi Tanjung tidak langsung menjawab. Dibersih-
kan debu dan darah yang melekat di tubuhnya.
Bajunya yang sobek segera dibenahi, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan
sebagian kulit tubuhnya yang
putih mulus. "Kau tanya apa tadi...?" Dewi Tanjung baru
membuka suara setelah dirasa dirinya sedikit rapi.
"Kadal!" rungut Rangga seraya menghampiri Dewa
Bayu, lalu menepuk-nepuk leher kuda hitam itu.
"Jangan marah dulu, Kakang...," rajuk Dewi
Tanjung seraya memberikan senyuman yang termanis
dimiliki. "Kakang..."!" Rangga tersentak kaget. Seketika
wajahnya bersemu merah mendengar sebutan itu.
"Tidak bolehkah aku memanggilmu begitu?" Dewi
Tanjung malah semakin melebarkan senyumnya. "Ka-
lau tidak boleh, ya tidak apa-apa. Tapi..., terima kasih kau telah menolongku.
Sudah dua kali, ya...?"
"Kampret! Masih bisa bercanda juga...!" rungut
Rangga dalam hati.
Tapi di balik itu, Rangga juga heran akan
perubahan sikap Dewi Tanjung. Kemarin begitu ketus, galak, dan keras kepala.
Tapi sekarang sungguh jauh berbeda! Bahkan dalam keadaan nyawa terancam
masih juga bisa bergurau.
"Hhh.... Rupanya kau masih marah tentang keja-
dian kemarin. Aku minta maaf," ujar Dewi Tanjung
melihat Rangga memberengut saja tidak segera bicara.
"Untuk apa?" pelan suara Rangga, seakan enggan
berbicara. "Mungkin aku terlalu angkuh, keras kepala, dan
cepat menuduh buruk pada setiap orang. Aku sadar
kalau tidak bisa hidup sendiri di dunia yang kejam ini.
Aku perlu seseorang yang bisa mengatasi segala kesu-litanku...," Dewi Tanjung
mengangkat bahunya. "Yah....Saat kesadaran itu muncul, mereka malah hendak
membunuhku, mengeroyokku, bahkan tidak memberi
kesempatan padaku untuk menjelaskan persoalan
sebenarnya. Aku dituduh telah membantai beberapa
keluarga secara keji. Padahal aku tahu siapa yang
berbuat semua itu."
"Siapa?" tanya Rangga cepat
"Macan Gunung Sumbing," sahut Dewi Tanjung.
"Dialah yang menjadi biang keladinya. Bukan hanya di Desa Weru ini, tapi juga di
desa-desa lain sebelumnya.
Tidak terhitung lagi, berapa orang yang menjadi
korban kebiadabannya."
"Dan kau memburunya untuk menghentikan per-
buatannya?"
"Bukan hanya itu."
"O..., lantas?"
Dewi Tanjung diam sesaat. Ditariknya napas
panjang-panjang. Wajahnya berubah mendung
seketika. Rangga mendekati gadis itu dan memegang
pundaknya. Dibawanya Dewi Tanjung duduk di bawah
pohon agar terlindung dari sengatan matahari. Raut
wajah gadis itu masih terlihat mendung, seperti ada satu kenangan pahit yang
Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba melintas dalam
benaknya. "Maaf, seharusnya aku tidak menyinggung
masalah pribadimu," ujar Rangga pelan.
"Tidak apa-apa. Kau memang harus tahu
masalahnya. Aku sadar betul kalau kemampuanku
belum apa-apa untuk menghadapi Macan Gunung
Sumbing. Modalku hanya nekad. Tapi kematian orang
tua dan saudara-saudaraku harus dibalas," sebentar
Dewi Tanjung terdiam. Kembali ditarik napas panjang, seakan-akan ingin
dilonggarkan rongga dadanya.
"Peristiwa itu terjadi kira-kira sebulan yang lalu.
Waktu itu aku masih berada di padepokan milik
kakekku. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus
kulakukan selain dendam dan ingin membunuh si
keparat Macan Gunung Sumbing itu!"
Rangga diam sambil terangguk-angguk. Baru
dimengerti, mengapa gadis ini bersikap aneh, keras
kepala, dan angkuh. Rupanya di dalam hatinya
menyimpan bara api dendam yang luar biasa. Dendam
yang sulit dipadamkan sampai kapan pun, sebelum
terlaksana niatnya!
Tapi sekarang persoalannya menjadi semakin
rumit. Semua orang sudah menuduh, Dewi Tanjung-
lah yang melakukan semua pembantaian keji itu.
Memang tidak mudah untuk menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya, kecuali Macan Gunung
Sumbing sendiri yang mengakui. Itu pun kalau bisa
bertemu, atau paling tidak memergokinya saat beraksi.
Tapi tidak mudah untuk melaksanakannya.
Sedangkan Rangga sendiri tidak tahu, apa maksud
sebenarnya Macan Gunung Sumbing melakukan
pembantaian keji itu. Dan lagi memang tidak ada yang tahu, siapa korban-korban
berikutnya. "Aku akan membantumu, Dewi Tanjung. Bukan
karena aku punya persoalan dengan Macan Gunung
Sumbing. Tapi yang jelas, aku tidak bisa melihat
kekejaman berlangsung di depan mataku," kata
Rangga berjanji.
"Aku percaya, Kakang. Eyang Guru sering
bercerita tentang dirimu. Itu sebabnya kau langsung kukenali saat pertama kali
bertemu. Juga ketika di
kedai itu. Aku pun sudah bisa mengenalimu. Bahkan
si keparat itu juga ada di sana," sahut Dewi Tanjung mulai cerah kembali
wajahnya. Gadis ini memang
selalu periang, meski dalam keadaan yang teramat
sulit sekalipun.
"Kenapa waktu itu tidak bertindak?" tanya Rangga
ingin tahu. "Aku tidak ingin membuat keributan. Yang ku-
inginkan hanya pertarungan yang adil antara aku de-
ngan dia saja."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam hatinya dikagumi juga keberanian dan sifat
Dewi Tanjung yang satria itu. Tapi sayangnya, semua itu tidak didukung oleh
kemampuan ilmu olah
kanuragan. Dan Rangga sendiri belum yakin, apakah
mampu mengatasi semuanya itu. Dia memang sudah
pernah bentrok satu kali dengan si Macan Gunung
Sumbing itu. Waktu itu Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah bisa mengukur, sampai di mana
tingkat kepandaiannya.
*** 5 Malam itu udara terasa pekat sekali. Awan hitam
bergulung-gulung di angkasa. Udara dingin terbawa
angin yang berhembus kencang terasa begitu me-
nusuk. Namun tidak ada tanda-tanda kalau malam itu
akan terguyur hujan. Desa Weru tampak sunyi senyap.
Dan malam itu tidak seperti pada malam-malam
sebelumnya. Di beberapa tempat terlihat sekelompok
orang bersenjata golok berjaga-jaga. Mereka adalah
murid Padepokan Gunung Opak.
Paman Waku memang sudah mengirim utusan ke
Gunung Opak. Dalam suratnya, diceritakan semua
kejadian di desa itu pada kakaknya. Bakor sendiri
langsung datang bersama tiga puluh orang murid
utamanya, karena tahu siapa yang bakal dihadapi.
Seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tangguh
dan sukar dicari tandingannya! Tokoh yang berhati
iblis, dan tidak segan-segan melenyapkan nyawa
lawan, atau siapa saja yang dikehendaki.
Tapi di tempat lain, tepatnya tidak jauh dari
rumah penginapan milik Ki Raga, terlihat Pendekar
Rajawali Sakti dan Bidadari Pencabut Nyawa tengah
mengawasi rumah penginapan itu dari tempat yang
cukup tersembunyi. Di rumah itu Bidadari Pencabut
Nyawa menginap beberapa hari. Dan di situ pula
nyawanya hampir melayang akibat kesalahpahaman.
"Aku ragu-ragu dengan dugaanmu, Dewi
Tanjung," kata Rangga setengah berbisik.
"Mungkin bisa juga salah, Kakang. Tapi aku yakin
betul kalau Macan Gunung Sumbing menginap di situ
juga," sahut Dewi Tanjung.
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Tidak ada rumah penginapan lain di desa ini,
selain rumah itu."
"Kau pernah melihat dia di sana?"
"Belum. Tapi dari kejadian siang tadi,
keyakinanku semakin bertambah. Mana mungkin
mereka langsung menuduhku sebagai pelaku, dan tahu
kalau aku menginap di sana" Sedangkan malamnya
ada seseorang yang hendak membunuhku secara
licik." Rangga terdiam. Pandangannya tidak berkedip ke
arah rumah penginapan di depan itu. Keningnya agak
sedikit berkerut, pertanda tengah berpikir keras.
"Kau tunggu saja di sini," kata Rangga seraya
beringsut ke luar dari tempat persembunyiannya.
"Mau ke mana?" tanya Dewi Tanjung.
"Sebentar aku kembali. Kau jangan ke mana-
mana," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat
ke arah hutan. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu singkat
saja sudah jauh di luar perbatasan Desa Weru. Rangga berdiri tegak di tengah-
tengah padang rumput yang
cukup terbuka lebar.
"Suiiit...!"
Rangga bersiul nyaring dan panjang dengan nada
aneh tanpa irama yang pasti. Siulan itu menggema,
terpantul oleh bukit dan gunung, terbawa angin, me-
rambat sampai jauh. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menunggu, kemudian
bersiul kembali lebih
panjang. Agak lama juga Rangga menatap langit yang
kelam. Tapi sesaat kemudian bibirnya menyung-
gingkan senyuman. Jauh di angkasa, tampak sebuah
titik hitam keperakan. Titik itu semakin lama semakin
membesar, dan terlihat jelas bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali, ke sini...!" seru Rangga keras.
Titik yang ternyata adalah burung rajawali
raksasa, langsung menukik dan mendarat tepat di
depan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga langsung
melompat naik ke punggung rajawali raksasa itu.
Sebentar ditepuk-tepuknya leher burung itu.
"Khraghk...!"
"Aku mencari seseorang, Rajawali Putih. Tapi aku
tidak tahu, di mana dia sekarang. Tapi yang jelas
masih berada di Desa Weru. Kita terbang rendah di
atas desa itu, tapi jangan sampai mengejutkan
penduduk," perintah Rangga.
"Khraghkkk...!"
"Iya, kau juga jangan bersuara."
"Khraghk...!"
Rajawali Putih langsung melesat membumbung ke
angkasa. Sebentar saja sudah melayang cukup rendah
di atas puncak pepohonan. Burung raksasa itu terus
menuju Desa Weru yang ditunjuk Rangga. Malam yang
pekat ini memang membantu Rajawali Putih untuk
tidak terlihat penduduk, meskipun terbang cukup
rendah. Dia berputar-putar begitu sampai di Desa
Weru. Dari atas, Rangga dapat melihat lebih jelas.
Peristiwa Merah Salju 4 Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Telapak Emas Beracun 4