Prahara Gadis Tumbal 2
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal Bagian 2
menyayat, orang itu terjungkal dengan dada terbelah lebar. Sebentar dia me-
regang nyawa di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. "
Bersamaan dengan itu, sinar biru lenyap. Lalu disusul dengan munculnya sosok
tubuh berpakaian rompi berdiri dekat mayat terakhir. Darah hangat masih keluar
dari dada mayat yang terbelah hampir purus itu.
"Pendekar Rajawali Sakti..." desah Ki Gandara. Bergegas guru besar Padepokan
Pasir Batang itu menghampiri, diikuti Sangkala dari belakang. Tangan kanan
Sangkala menekap luka di pundak kiri. Darah kembali keluar, karena totokan yang
sifatnya hanya sementara sudah tidak bekerja lagi.
"Bagaimana lukamu, Sangkala?" tanya Rangga seraya memperhatikan luka di pundak
kiri Sangkala. "Hanya luka luar," sahut Sangkala. Rangga alias Pendekar Rajawali
Sakti menghampiri. Tangannya terulur dan menekap pundak yang terluka itu. Lalu
bibirnya tersenyum sambil menarik tangannya lagi
"Hanya luka biasa," kata Rangga.
"Terima kasih," ucap Sangkala. "Kalau kau tidak cepat menolong, mungkin aku
hanya tinggal nama."
Rangga hanya tersenyum. Lalu dihampirinya salah satu mayat yang berpakaian serba
hitam. Dia jongkok, lalu tangannya merenggut kain potong yang menutupi seluruh
wajah orang itu. Tampak seraut wajah cantik lagi putih terpampang Wajah seorang
wanita. Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Dihampirinya mayat yang kedua, dan
direnggut topengnya.
Kembali terlihat wajah seorang wanita cantik dengan rambut tergulung rapih. Ki
Gandara yang juga merasa penasaran, ikut membuka topeng-topeng hitam lainnya.
Jelas, enam orang berpakaian serba hitam ini, semuanya adalah wanita.
"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut
dan herannya. Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang Raja Dewa Angkara adalah wanita
berparas cantik
Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu orang saja, kini benar
benar terkesima. Sungguh tak diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh
seorang wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam Sangkala tiba-
tiba tersentak Padahal dia sempat
mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak bisa membedakan suara
laki-laki dengan suara
perempuan. Tapi..., yang didengamya tadi memang suara laki-laki. Bukan suara
halus seorang perempuan. Apakah wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara"
"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara.
"Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka,"
kata Rangga. "Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka mati," sahut Ki Gandara.
Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya
untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam keadaan letih, tidak ada yang
membantah perintah itu.
Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih tersisa, melaksanakan
perintah guru besarnya. Ki Gandara mengajak Rangga ke pendopo, sementara
Sangkala minta ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di depan
pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung menatap ke arah puncak Gunung
Balakambang. Ki
Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga mengarah ke puncak gunung yang
selalu diselimuti kabut tebal itu. "Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun
istana-nya," kata Ki Gandara setengah bergumam.
"Sudah ada yang pemah ke sana?" tanya Rangga.
"Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada beberapa pendekar mencoba ke
sana, tapi mereka selalu tewas sebelum mencapai tujuan."
"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas.
"Raja Dewa Angkara memiliki orang-orang yang berkepandaian lumayan tinggi.
Gunung itu selalu dijaga ketat Tidak ada seorang pun bisa kembali setelah
mencoba ke sana," Ki Gandara menjelaskan.
"Aku akan coba ke sana," kata Rangga.
"Sebaiknya. jangan. Terlalu berbahaya bagimu," Ki Gandara mencoba mencegah.
"Untuk menumpas suatu kejahatan, harus sampai ke akar-akarnya, Ki. Aku tidak
bisa hanya menunggu di sini, menanti cacing-cacing tak berguna."
"Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi hendaknya berpikirlah matang matang
untuk pergi ke sana."
Rangga tersenyum tipis. Dirasakan ada nada lain dalam kata kata Ki Gandara.
Bagaimana pun juga orang tua ini merasa bertanggung jawab atas keselamatan
seluruh penduduk Desa Pasir batang. Rangga dapat menangkap maksud kata kata itu.
Memang, dalam saat saat seperti ini tidak mungkin Rangga meninggalkan Desa Pasir
Batang. Sewaktu-waktu orang-orang Raja Dewa Angkara dapat menghancurkan seluruh desa.
Kapan waktunya, memang belum bisa diduga.
Pelan-pelan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terayun menuju pintu gerbang
padepokan. Dia terus berjalan melewati pintu yang terbuka lebar. Pikirannya
dipenuhi oleh persoalan yang tengah dihadapi seluruh penduduk Desa Pasir Batang
ini. Persoalan yang tidak mudah dihadapi begitu saja. Di luar padepokan, Rangga
melangkah menuju jalan utama desa ini. Padepokan Pasir Batang memang berada di
tengah tengah desa. Tidak jauh dari sini, teriihat rumah kepala desa yang selalu
dijaga oleh beberapa murid padepokan. Rangga merayapi keadaan sekitarnya yang
tampak sepi. Mendadak matanya menangkap sekelebat bayangan
menyelusup di antara rumah-rumah penduduk dan
pepohonan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil
mengerahkan ilmu peringan tubuh
mengejar bayangan itu. Matanya yang setajam mata rajawali, masih bisa melihat
bayangan itu menghilang di balik sebuah rumah.
Sementara senja terus merayap makin jauh. Keadaan sekeliling sudah remang-remang
Malam sebentar lagi menjelang. Tubuh Rangga melayang ringan ke atas atap rumah
tempat bayangan tadi menghilang. Begitu ringannya sehingga tidak ada sedikit pun
suara terdengar ketika kakinya hinggap di atap rumah itu.
"Hm... dia menuju kedai makan," Rangga bergumam dalam hati.
Matanya masih sempat menangkap bayangan itu.
Segera dia melesat dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Begitu
cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti dalam sekejap saja telah bertengger
di atas atap kedai makan. Sedangkan bayangan yang tersusul itu masih berkelebat
menuju ke arah Rangga yang tengah bersembunyi.
"Wratama...," gumam Rangga lagi dalam hati.
Di dalam kegelapan yang bagaimana pun juga,
Pendekar Rajawali Sakti sangat mampu mengenali
bayangan yang sejak tadi diikutinya. Bayangan itu memang milk Wratama.
Gerakannya cukup ringan dan cepat
Sepertinya dia memiliki ilmu peringan tubuh yang lumayan tinggi.
Rangga masih bertengger di atas atap meskipun
Wratama sudah masuk dalam kedai makan ini. Rangga segera mengerahkan ilmu
'Pembilah Suara' yang diarahkan langsung ke dalam kedai makan. Kedai ini rupanya
sekahgus dijadikan rumah penginapan satu-satunya yang ada di Desa Pasir Batang
ini. Apa yang dapat didengar Rangga"
*** 4 Wratama mengedarkan pandangan ke seluruh sudut
ruangan kedai makan. Sepi. Tidak ada seorang pun yang ada di tempat ini. Kakinya
terus melangkah masuk Di dalam juga sepi. Bagian dalam merupakan sebuah lorong
yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewa untuk menginap. Semua pintu nya
tertutup rapat Wratama baru berhenti melangkah setelah sampai pada ujung lorong.
Matanya kembali beredar mengamati keadaan. Pelan pelan dia mulai mengetuk pintu
kamar di depannya. Tidak terdengar sahutan. Kembali diketuknya agak keras dari
pada semula. Matanya tetap mengamati sekehhngnya
"Masuk..." terdengar suara dari dalam kamar.
Wratama membuka pintu kamar. Cepat-cepat dia
melangkah masuk, lalu bergegas ditutup kembali pintunya.
Hanya ada satu pelita kecil yang menerangi, sehingga keadaan kamar menjadi
remang-remang. Mata Wratama langsung mengarah ke pembaringan tempat sesosok
tubuh ramping tergolek di atasnya.
"Tidak ada yang melihatmu ke sini, Wratama?" tanya sosok tubuh ramping itu.
Suaranya halus lembut bagai butuh perindu.
"Tidak," sahut Wratama sambil mendekat Sosok tubuh ramping itu pun duduk ketika
Wratama duduk di tepi pembaringan. Tampak wajahnya yang cantik dengan bibir
merah merekah menyunggingkan senyum.
Rambutnya panjang, hitam, dan lebat dibiarkan terurai melewati bahu. Kain sutra
halus berwarna merah muda melilit di tubuhnya
Wratama menelan rudah saat bola matanya me-
nangkap dua bukit putih mulus, menyembul seolah-olah hendak berontak keluar dari
balik kainnya. Seperti sengaja, wanita itu menggerakkan tubuhnya, sehingga
belahan kain yang melilit agak tersingkap. Terlihatlah dua paha yang terbungkus
kulit putih itu, Mata Wratama tidak berkedip memandanginya
"Tunggu dulu, Wratama," wanita itu mendorong dada Wratama yang akan memeluknya.
"Kenapa" Kenapa kau menolak?" Wratama terus saja ingin memeluk.
"Kau belum mengatakan apa-apa padaku," kata wanita itu. "Keadaan di Padepokan
Pasir Batang, maksudmu?"
Wanita itu hanya tertawa mengikik. Irama tawanya dipenuhi nafsu birahi, sehingga
Wratama hanya menelan ludah untuk yang sekian kalinya. Tangannya sejak tadi
telah bermain-main di paha yang putih terbuka
"Separuh lebih murid Ki Gandara tewas, sedangkan hanya enam dari Raja Dewa
Angkara," kata Wratama.
"Kenapa bisa begitu?" suara wanita itu terdengar terkejut mendengar enam orang
dari Raja Dewa Angkara tewas.
"Ada seorang pendekar sakti yang membantu."
"Siapa dia?"
"Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh tiga orang Raja Dewa Angkara di
halaman rumah kepala desa."
Sesaat suasana hening.
"Bagaimana orangnya?" tanya wanita itu.
"Masih muda, tampan, dan berilmu tinggi. Senjatanya sebuah pedang yang bisa
memancarkan sinar biru."
Kembali tak terdengar suara.
"Ah, sudahlah. Kau datang ke sini bukan untuk membicarakan hal itu, kan?"
Wratama sudah tidak sabaran lagi. Wanita itu tidak dapat menolak lagi. Wratama
sudah memeluknya ketat. Ciuman dan kecupannya membuat
wanita itu mengerang, dan membalas dengan gejolak yang menggelegak dalam dada.
Kini di kamar itu hanya terdengar desah nafas memburu disertai erangan dan
rintihan yang membangkitkan gairah.
Sementara itu di atap, tepat di atas kamar yang
dipenuhi hawa nafsu birahi, Rangga menahan nafas. Suara suara yang didengarnya
terakhir membuat gelisah dirinya sendiri. Bergegas dia melompat menuju pohon
yang berada tepat di depan jendela kamar itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menahan nafas dengan mata sedikit
membelalak. Jelas sekali dari tempatnya bertengger, teriihat dua tubuh menyatu
rapat di atas ranjang. Jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan, memang
terlalu renggang susunannya. Sehingga apa yang terjadi di dalam kamar dapat
terlihat jelas meski hanya diterangi oleh sebuah pelita kecil.
"Siapa wanita itu" Apakah salah seorang dari Raja Dewa Angkara?" Rangga
bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu belum dapat menduga-
duga lebih jauh. Dipalingkan mukanya, karena tidak sanggup untuk melihat terus
ke dalam kamar. Hanya sesekali saja matanya melirik ke sana. Dan setiap kali
melihat dua manusia berlainan jenis itu tengah dimabuk birahi, dadanya seketika
berdetak lebih keras dari biasanya. Sungguh pemandangan yang membuat Rangga jadi
berkeringat Agak lama juga Rangga tersiksa sendiri di atas pohon.
Rasa penasarannya pada wanita itu, membuatnya bertahan dalam ketersiksaannya.
Padahal sejak tadi dia ingin pergi. Saat matanya kembali melirik dalam kamar,
ternyata Wratama telah tergolek dengan dada bergerak cepat.
Sedang wanita itu duduk di sampingnya.
Wanita itu beringsut turun dari pembaringan. Terlihat jelas kalau dia tidak
mengenakan selembar kain pun pada tubuhnya. Kembali Rangga menahan nafas melihat
lekuk-lekuk tubuh indah dan menggairahkan. Wanita itu
mengenakan kembali pakaiannya. Wratama masih tergolek tak berdaya.
"Dia keluar," bisik Rangga dalam hati.
Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali berada di
atas atap lagi. Sebentar dia menunggu, dan terlihatlah wanita itu telah
mengenakan pakaian serba hitam. Dia melesat cepat ke luar kedai makan yang
sekaligus tempat penginapan. Gerakannya lincah dan ringan, sulit diikuti oleh
mata biasa. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, hal itu bukanlah persoalan.
Sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti
terus mengikuti ke mana wanita itu pergi. Wanita itu tidak menyadari kalau sejak
semula telah dibuntuti karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti sangat ringan dan
tidak menimbulkan suara sedikit pun. "Mau ke mana dia?" Rangga bertanya dalam
hati. Kening Rangga berkerut makin dalam setelah tahu
kalau wanita itu menuju ke Gunung Balakambang. Kini tubuh wanita itu sebentar
menghilang, sebentar kemudian terlihat. Pohon-pohon dan semak yang makin rapat
membuat Rangga makin berhati-hati mengikutinya. Dia yakin kalau wanita itu salah
seorang dari Raja Dewa Angkara.
"Hm, Wratama..., apa hubungannya dia dengan Raja Dewa Angkara?" lagi-lagi Rangga
bertanya dalam hati.
Namun belum lag! sempat mendapat jawaban,
mendadak... "Uts!"
Rangga melompat sambil bersalto cepat ketika sebuah tombak hitam meluncur deras
ke arah tubuhnya. Belum lagi dia sempat turun, kembali sebatang tombak mengarah
deras kepadanya. Berikutnya disusul tombak tombak lain dari segala penjuru mata
angin. "Setan!" dengus Rangga sambil bersalto di udara menghindari serangan gelap yang
datang bagai hujan.
Ternyata bukan hanya tombak yang mengincar
nyawanya, tetapi juga serbuan anak-anak panah yang kini meluncur dari segala
arah. Pendekar Rajawali Sakti dibuat sedikit kewalahan. Tidak diberi kesempatan
untuk menarik napas sedikit pun! Bahkan untuk menjejakkan kaki di tanah saja,
tidak ada peluang sama sekali. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak sedang
mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', mungkin sudah sejak tadi tubuhnya tercincang.
*** Keadaan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak
memungkinkan untuk lolos. Serangan gelap itu semakin gencar datangnya. Beberapa
kali ujung tombak hampir mengenai tubuhnya. Rangga jadi sengit. Sambil berteriak
melengking, dia melompat lebih tinggi seraya mencabut pedangnya.
Sret, Cring! Seketika keadaan di dalam hutam lereng Gunung
Balakambang jadi terang benderang oleh sinar pedang yang biru kemilauan. Dengan
senjata pusaka, itu. Rangga mengamuk bagai banteng luka. Sinar biru bergulung-
gulung menyelimuti tubuhnya. Beberapa batang tombak dan anak panah rontok
berhamburan sebelum mencapai sasaran.
"Ke luar kalian!" teriak Rangga. Suaranya menggelegar karena disertai pengerahan
tenaga dalam yang luar biasa.
Begitu hebatnya suara Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga daun-daun
berguguran. Batu-batu kerikil berlompatan terkena getaran suaranya. Dan lebih
hebat lagi, pengaruh tenakan itu membuat serangan tombak dan anak panah berhenti
mendadak Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar di udara dua kali, sambil
memasukkan kembali pedang pusaka ke dalam sarungnya di punggung. Dia hinggap
dengan manis di atas sebuah dahan pohon yang cukup tinggi. Bagaikan mata
rajawali, matanya merayapi sekitarnya. Terlihatlah tubuh-tubuh berseragam kain
hitam bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak
"Harus diberi pelajaran manusia-manusia iblis ini!"
dengus Rangga dalam hati.
Tangannya bergerak cepat merampas daun-daun
pohon di sekitamya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, dilemparkannya daun-daun
itu ke arah orang-orang yang berpakaian serba hitam. Daun-daun yang semula lemas
tak berguna, kini bagaikan senjata rahasia ampuh yang meluncur deras melebihi
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya.
Seketika terdengar suara jerit kesakitan saling susul.
Kemudian tidak kurang dari enam orang berpakaian serba hitam bertumbangan. Daun-
daun yang dilontarkan
Pendekar Rajawali Sakti bagaikan terbuat dari logam keras, menancap di dada
mereka. "Mampus kau, iblis-iblis keparat!" desis Rangga dengan nada geram.
Kembali tangannya merampas daun-daun, lalu di-
lemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat Dan terdengarlah jeritan
menyayat disusul tumbangnya beberapa tubuh berpakaian serba hitam.
Desisan Rangga rupanya terdengar oleh mereka. Maka sebatang tombak pun meluncur
deras ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya cepat menangkap tombak itu.
Tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya meluruk cepat ke arah si pelempar tadi.
"Akh!" pelempar tombak itu terkejut
Segera digulingkan tubuhnya ke samping Kaki
Pendekar Rajawali Sakti hanya menjejak tanah kosong.
Namun belum sempat bergerak, tiba-tiba seseorang mem-bokong dengan tombak
terhunus ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ih!" Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan tombak yang ada di tangannya.
Trak! Dua tombak hitam beradu keras. Tanpa membuang
waktu lagi, kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun keras, dan..., Buk! Telapak
kakinya tepat mendarat di dada penyerangnya. Orang itu terjengkang beberapa
langkah ke belakang.
Pendekar Rajawali Sakti melemparkan tombak di
tangannya. Tombak itu meluncur deras, dan tepat menghujam di dada pembokong
tadi. Jerit menyayat terdengar bersamaan dengan ambruknya orang itu Belum lagi
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik nafas, mendadak datang dua serangan
dari arah samping kanan dari jarinya Hanya dengan menggeser selangkah ke
belakang, dua ujung tombak mengenai sasaran kosong Sambil menarik badan ke
belakang, Pendekar Rajawali Sakti menangkap dua tombak itu, lalu mengangkatnya
ke atas. Dua tubuh melayang deras dan... Trak! Kepala dua orang itu beradu
keras. Tanpa mengeluarkan suara lagi, dua orang berpakaian serba hitam itu ambruk
dengan kepala pecah. Rangga menoleh pada orang yang kini tidak bersenjata. Orang
yang pertama menyerangnya ketika di atas pohon. Tampak orang itu mundur dengan
bola mata jelalatan ke kanan dan ke kiri.
Rangga membuang tombak yang ada di tangan
kanannya. Kemudian dia menghunus satu tombak lainnya dengan tangan kiri. Kakinya
bergerak perlahan mendekati satu orang itu.
"Huh! Ayo kita bertarung tanpa senjata!" dengus Rangga. Tangan kirinya membuang
tombak ke samping.
Rangga berdin tegak dengan sikap menantang. Orang yang seluruh tubuhnya terbalut
kain hitam, berhenti mundur. Dia seperti menyadari kalau dia sendiri yang masih
hidup. Lalu dengan satu teriakan melengking, tubuhnya mencelat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti
Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya,
maka serangan itu lewat di depannya. Secepat kilat tangan Rangga menjulur, dan
menotok pundak orang itu. Namun tidak diduga sama sekali, totokannya dapat
dihindari dengan manis. Orang itu menjatuhkan tubuhnya sambil mengayunkan
kakinya. Dengan cepat Rangga menurunkan tangannya. Dan
kaki lawanpun membentur tangan Rangga yang teraliri kekuatan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Rangga menduga kaki itu akan patah namun kenyataannya.... Orang
itu malah memutar tubuhnya setengah miring, lalu kakinya kembali terayun
mengarah ke iga.
"Hebat," gumam Rangga memuji tenaga dalam lawan yang mampu mengim ngj tenaga
dalamnya. Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, dan kaki itu lewat beberapa helai
rambut di samping iganya. Rangga kembali mengulurkan tangan kanannya ke arah
pundak lawan. Dia sengaja mengincar bagian tubuh dengan totokan saja. Dia ingin
orang ini hidup tanpa terluka.
Gerakan Rangga yang cepat, kali ini sulit dihindari.
Dengan rasa terpaksa, orang itu menangkis tangan Rangga. Namun cepat pula Rangga
memutar tangannya.
Dan.... "Ah!" orang itu mendesah kaget
Mendadak tangan kirinya lemas lunglai. Belum lagi hilang rasa terkejutnya. Jari
tangan Rangga sudah kembali bergerak cepat Kini bagian bahu dan dada orang itu
kena totokan yang membuat seluruh tubuhnya lemas. Tanpa dapat dihindari lagi,
tubuh yang mengenakan pakaian serba hitam itu jatuh lunglai.
"Hup...!" Rangga cepat-cepat menyangga tubuh yang lemas tak bertenaga itu.
Tanpa membuang uang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung memanggulnya.
Sebentar diedarkan
pandangan berkeliling, lalu mengempos tubuhnya. Sekejap mata saja tubuh Rangga
sudah mencelat ke angkasa.
Dengan kaki menjejak pada ujung ujung dahan pohon, Pendekar Rajawali Sakti bagai
terbang meninggalkan tempat itu.
*** Rangga melemparkan kayu ke atas api unggun. Cahaya
api jadi bertambah terang dan menghangatkan sekitar goa.
Dua kali Rangga menambahkan kayu, kemudian dihampirinya tubuh ramping terbalut
kain hitam yang menggeletak di atas daun-daun kering Rangga merenggut topeng
dari kain hitam yang menutupi seluruh kepala orang Itu.
Tampak seraut wajah cantik dengan bola mata bulat indah terbias oleh cahaya api.
Rambutnya tergulung ke atas cukup rapi. Bibimya bergerak-gerak seolah hendak
mengatakan sesuatu, namun tidak ada sedikit pun suara yang ke luar. Hanya bola
matanya saja yang liar membelalak lebar menatap tajam wajah Pendekar Rajawali
Sakti. "Melati..." desis Sawung Bulu yang berada di belakang Rangga.
"Kau kenal dia?" tanya Rangga seraya menoleh.
Sawung Bulu menggeser, matanya merayapi wajah
cantik yang tergolek lemah.
"Tidak salah, dia Melati. Aku masih ingat betul!" seru Sawung Bulu mengenali
wajah wanita itu.
Sawung Bulu menjulurkan tangannya dan membalikkan kepala wanita itu. Disibakkan
rambut yang menjuntai di samping kepala wanita itu. Tampak pada belakang
telinganya, terdapat bulatan hitam sebesar kuku jari.
Sawung Bulu kembali membalikkan kepala itu, matanya merayapi wajah yang putih
kemerahan. "Dia..., dia Melati!" seru Sawung Bulu pasti.
Rangga menatap Sawung Bulu dan wanita itu ber-
gantian. "Dia anak Kepala Desa Karang Sewu. Letaknya di sebelah Barat Desa Pasir Batang
Tiga tahun lalu Melati dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara,"
Sawung Bulu menjelaskan.
Rangga menggerakkan jari-jarinya menotok dua kali pada bagian leher wanita yang
dikenal Sawung Bulu bernama Melati. Sebentar wanita itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu bola matanya menatap tajam pada Rangga dan Sawung Bulu
bergantian. "Bebaskan aku. Kita bertarung sampai mati!" dengus wanita itu dingin.
Rangga meraba dada wanita itu.
"Setan! Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak wanita itu geram. Dia berusaha
menggeliatkan tubuhnya, tapi pengaruh totokan Pendekar RajawaB Sakti sangat kuat
"Dalam tubuhnya mengalir sejenis racun yang bisa mempengaruhi jiwanya," Rangga
bergumam. "Apakah bisa disembuhkan?" tanya Sawung Bulu.
"Entahlah. Aku harus tahu dulu racun jerus apa yang bersarang di tubuhnya. Yang
jelas dia sekarang tidak tahu lagi siapa dirinya," sahut Rangga.
Rangga kembali menggerakkan jari-jari tangan untuk menotok leher wanita itu.
Seketika wanita itu diam lemas.
Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti menghenyakkan tubuhnya
bersandar ke dinding goa. Sementara Sawung Bulu duduk di samping wanita itu.
"Apakah racun itu mematikan, Rangga?" tanya Sawung Bulu.
"Tidak," sahut Rangga. "Racun itu hanya mempengaruhi jiwa dan pikiran. Hmm...
apakah dia punya ilmu sflat?"
Sawung Bulu menggeleng
"Setahuku, Melati tidak pernah belajar ilmu silat."
"Aneh, kepandaiannya cukup tinggi. Mustahil dalam waktu tiga tahun saja, bisa
memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi." gumam Rangga.
"Aku rasa karena pengaruh racun itu," Sawung Bulu menduga-duga
"Mungkin," desah Rangga.
Sawung Bulu terdiam sejenak dicoba untuk mereka-
reka hal yang tengah dialaminya kini. Memang sulit dipercaya kalau korban-korban
persembahan untuk Raja Dewa Angkara dijadikan semacam laskar wanita. Dalam waktu
singkat saja, wanita-wanita yang selama hidupnya buta terhadap ilmu olah
kanuragan, tiba-tiba menjadi orang yang tangguh.
Sedangkan di benak Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir tentang jenis ramuan
yang digunakan oleh Raja Dewa Angkara itu Banyak diketahuinya tentang jenis-
jenis racun dan ilmu ilmu pengobatan. Tapi untuk racun jenis ini.
rasanya belum pernah dipelajarinya. Atau mungkin ia lupa"
Rangga terus mencoba membuka ingatannya tentang
segala jenis racun dan ramuan ramuan yang didapatnya dari buku-buku warisan
Pendekar Rajawali Sakti (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis
Lembah Tengkorak)
Rangga menggeser duduknya mendekati wanita yang
masih tergolek lemas itu. Sawung Bulu menggeser duduknya memberi tempat Kembali
jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak membebaskan totokan pada
leher wanita itu.
"Nyawamu ada di tanganku. Aku bisa membunuhmu semudah aku membalikkan tangan,"
suara Rangga dibuat dingin
"Huh! Kau kira aku takut mendengar ancaman mu?"
wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati ini tersenyum mengejek
'Terserah kau ingin bilang apa. Yang jelas kau sendiri tidak kenal lagi siapa
dirimu yang sebenamya," suara Rangga terdengar tenang "Siapa namanya tadi?"
lanjut Rangga diarahkan pada Sawung Bulu
"Melati," sahut Sawung Bulu.
"Dengar, Melati. Jiwamu sedang dipengaruhi oleh kekuatan iblis! Aku ingin
membebaskanmu dari pengaruh itu. Berbuatlah wajar dan b'dak melakukan hal hal
yang dapat merugikan dirimu sendiri. Pengaruh ibhs itu tak akan lenyap tanpa kau
sendiri yang bersedia melepaskannya."
Melati hanya mencibir penuh ejekan
"Bantu aku, Sawung," kata Rangga.
Rangga mengangkat tubuh Melati dibantu Sawung
Bulu. Mereka mendudukkannya dekat api. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar
Rajawali Sakti membuka pakaian atas Melati.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" sentak Melati geram.
Seketika wajah Melati merah padam menahan malu
dan geram. Sawung Bulu sampai tak berkedip memandang bagian dada Melati yang
membulat indah dan terbuka lebar. Sangat jelas teriihat karena dia berada tepat
di depannya. Tangannya yang memegangi pundak Melati, jadi berkeringat gemetaran.
Beberapa kali Sawung Bulu menelan hidah membasahi teng gorokan yang mendadak
kering. Rangga tidak mempeduhkan makian Melati. Terus
dibukanya bagian belakang tubuh wanita itu, kemudian duduk bersila. Kedua
tangannya terbuka dan diletakkan di punggung yang putih mulus. Sedikit Rangga
bergetar begitu merasakan halusnya kulit punggung Melati. Secepatnya Pendekar
Rajawali Sakti itu menekan perasaannya yang mendadak bergejolak
Kelopak mata Rangga terpejam. Dikerahkan hawa
murni dalam tubuhnya, dan disalurkannya ke telapak tangan yang menempel erat di
punggung Melab "Lepaskan tanganmu, Sawung," kata Rangga sambil membuka matanya.
Sawung Bulu melepaskan tangannya dari pundak
Melati. Dia benngsut ke samping agak menjauh. Namun matanya tidak mau lepas
menatap bukit indah yang terbuka.
Ketika hawa mumi yang tersalur dalam telapak tangan Rangga menyentuh kulit
punggung Melati, tiba-tiba wanita itu mengejang kaku. Semakin lama tubuh Rangga
semakin kuat bergetar. Asap putih mengepul tipis dari punggung Melati. Dan saat
Rangga mendengus keras, Melati
berdahak "Hoek!"
Dari mututnya ke luar cairan kuning kehijauan yang kental. Dua kali Melati
berdahak, dua kali pula cairan itu meluncur dari mulutnya. Rangga masih
menyalurkan hawa murni ke tubuh wanita itu. Kini keringat telah menganak sungai
di wajah dan di tubuh Rangga.
"Aaa...!" tiba-tiba Melati menjerit keras.
Rangga menarik tangannya bersamaan dengan ter-
kulainya wanita itu ke pelukan Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menarik
napas panjang lalu ditutupinya lagi tubuh yang polos terbuka. Tangannya agak
bergetar ketika memakaikan baju Melati kembali.
Masih sedikit gemetar, jari-jari tangan Rangga menyeka darah yang merembes ke
luar dari sudut bibir Melati. Dia menggeser tubuhnya, dan dibiarkan wanita itu
tergolek di tangan lembab dalam goa. Melati tergolek dengan dada bergerak
teratur. Baju hitamnya sudah kembali rapih seperti semula membungkus tubuh yang
ramping indah. "Bagaimana?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat.
"Masih perlu waktu. Pengaruh iblis terlalu kuat ter-tanam pada aliran darahnya,"
jawab Rangga sambil me-mindahkan tubuh Melati kembali ke atas tumpukan daun-daun
kering. Rangga menghenyakkan tubuhnya kembali dan ber-
sandar di dinding goa. Matanya tetap memandang pada wanita yang kini tergolek
bagai tidur pulas. Kepala Rangga menggeleng-geleng dengan kening agak ber kerut
"Berbahaya sekali...," gumam Rangga pelan. "Apanya yang berbahaya?" tanya Sawung
Bulu sambil mendekat.
Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak bisa membantunya dengan menyalurkan hawa murni," sahut Rangga pelan
"Lalu...?"
"Satu-satunya jalan hanya Raja Dewa Angkara yang bisa memulihkan."
"Maksudmu, obat pemunahnya hanya pada Raja Dewa Angkara?"
"Ya, hanya dia yang tahu jenisnya. Hanya dia pula yang bisa menyembuhkannya. Aku
tidak tahu, apakah berbentuk pil atau cairan. Atau mungkin dan kekuatan bathin."
Sawung Bulu mendesah panjang. Dia sudah bisa
paham maksud kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Satu-satunya cara adalah melenyapkan Raja Dewa
Angkara. Susahnya, iblis itu mempengaruhi wanita-wanita yang diserahkan untuk
korban persembahan melalui kekuatan gaib dan kebathinan. Jika hanya ramuan saja,
masih bisa dicari jenis ramuan pemunahnya.
Sedangkan, sepertinya Pendekar Rajawali Sakti sendiri sudah mengetahul penyebab
gangguan jiwa pada wanita ini. Hanya saja dia tidak ingin menyebutkannya. Sawung
Bulu bisa menangkap rahasia yang tersembunyi dari cahaya mata Pendekar Rajawali
Sakti. *** 5 Rangga terbangun ketika mendengar suara langkah kaki mendekati mulut goa.
Bergegas dia melompat mendekati mulut goa. Tangannya menyingkapkan sedikit semak
belukar yang menutupi mulut goa kecil ini.
"Sawung Bulu. Huh, kukira siapa?" dengus Rangga.
Sawung Bulu menyibakkan semak lalu melangkah
masuk Dia kaget juga melihat Rangga berdiri di balik dinding mulut goa.
Dilemparkannya dua ekor kelinci ke dekat api unggun yang masih menyala kecil.
"Pagi-pagi sudah dapat kelinci," kata Rangga agak bergumam.
"Aku rasa cukup untuk makan kita bertiga," sahut Sawung Bulu terus melangkah.
Rangga menoleh pada Melati yang tampaknya sudah
bangun. Wanita itu masih tetap tergolek, hanya bagian leher ke atas saja yang
bisa digerakkan. Pengaruh totokan Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat, sehingga
tidak bisa lepas kalau tidak ditolong orang lain.
Di dekat api unggun, Sawung Bulu kini sibuk menguliti kelinci-kelinci buruannya,
dan memanggangnya di atas api Bau harum daging kelinci panggang mulai tercium,
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat perut minta segera diisi. Rangga melangkah mendekati Melati, lalu duduk
di samping wanita itu.
"Aku yakin perutmu pasti lapar," kata Rangga.
"Huh!" Melati hanya mendengus mencibir.
Rangga hanya tersenyum, laki bangkit mendekati
Sawung Bulu. Bau harum daging kelinci panggang membuat perutnya jadi tidak
sabaran. Rangga mencomot daging yang sudah matang. Sawung Bulu membawanya kepada
Melati. "Dari semalam perutmu belum diisi. Nih...," Sawung Bulu menyodorkan sepotong
daging yang sudah matang.
Tetapi Melati hanya mendelik saja. Mana mungkin bisa makan dalam keadaan
tertotok seperti itu" Perutnya memang lapar sekali, tapi pengaruh iblis yang
menguasai jiwanya lebih memilih lapar daripada menerima kebaikan Sawung Bulu.
Sawung Bulu menoleh pada Rangga yang tengah
menikmati makan paginya. Sinar matanya menyiratkan agar Rangga mau membebaskan
totokan pada tubuh
Melati. "Sudahlah, dia tidak akan mati jika hanya dua tiga hari tidak makan," kata
Rangga seperti mengetahui arti tatapan Sawung Bulu
Sawung Buhl mencuil sedikit daging kelinci, lalu disuapkannya ke mulut Melati.
Tetapi wanita itu malah membuang mukanya ke samping. Sinar matanya memancarkan
kebencian yang amat sangat. Sawung Bulu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
saja. Bahunya terangkat sedikit Kemudian dimakannya sendiri daging panggang itu
Sebenarnya Sawung Bulu merasa kasihan melihat
Melati tersiksa seperti itu. Tapi dia tidak berani melepaskan totokan di
tubuhnya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Melati sangat berbahaya bila
terlepas dari pengaruh totokan.
"Kau pasti kenal betul dengan Wratama," kata Rangga yang tiba-tiba ingat dengan
kejadian semalam di kedai makan sekaligus tempat penginapan itu.
"Wratama..." Tentu saja aku kenal. Ada apa dengannya?" tanya Sawung Bulu.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu kedudukannya di Desa Pasir Batang."
"Wratama orang kepercayaan Ki Brajananta.
Kedudukannya tidak beda dengan wakil kepala desa,"
Sawung Bulu menjelaskan
"Dia juga murid Padepokan Pasir Batang?"
"Bukan. Wratama pernah jadi punggawa kerajaan.
Entah kenapa dia keluar, lalu belajar ilmu kesaktian pada seorang pertapa di
Gunung Kidul. Dia datang ke Desa Pasir Batang sekitar sebelas tahun lalu."
"Ada keluarganya di sana?"
"Wratama masih keponakan Ki Brajananta. Ayahnya adik sepupu Ki Brajananta yang
dulu juga menjabat Kepala Desa Pasir Batang."
"Hm, kau tahu nama pertapa itu?" tanya Rangga.
"Kalau tidak salah namanya Eyang Parang Jati. Beliau sudah mangkat sehari
setelah Wratama meninggalkannya.
Khabarnya dia mangkat setelah menurunkan seluruh llmunya pada Wratama yang jadi
pewaris tunggal."
"Kau tahu, sampai di mana tingkat kepandaiannya?"
tanya Rangga lagi. Dia semakin tertarik untuk mengetahui latar belakang
kehidupan Wratama.
"Sayang sekali, aku belum perah melihat Wratama menggunakan ilmunya. Dia seperti
tidak memiliki satu kepandaian pun."
Rangga tercenung sejenak. Memang kelihatannya
Wratama hanya seperti orang biasa yang awam terhadap ilmu olah kanuragan atau
ilmu-ilmu kesaktian. Sikap dan pembawaannya tenang, dan tidak banyak bicara.
Wratama ibarat pemuda lemah yang biasa hidup bagai seorang pangeran manja
dikelilingi puluhan pengawaL Penampilan-nya pun rapih dan perlente.
Memang tidak ada yang bisa menduga kalau Wratama memiliki ilmu olah kanuragan
dan kesaktian. Setiap orang pasti menyangka dia seorang pemuda lemah. Rangga
sendiri semula menduga begitu Tapi semuanya pupus setelah dilihatnya langsung
Wratama tengah mengerahkan ilmu peringan tubuh. Yang menjadi pertanyaaan
sekarang, apa hubungannya Wratama dengan Raja Dewa Angkara"
"Aku akan ke luar sebentar," kata Rangga seraya bangkit berdiri. "Kau di sini
saja, ingat jangan coba-coba membebaskan dia dari totokanku."
Sawung Bulu hanya mengangguk Dia sudah percaya
penuh pada kemampuan Pendekar Rajawali Sakti ini Sedikit pun tidak ada lagi
keraguan di hatinya.
*** Rangga menyebnap dari balik tembok rumah ke
tembok rumah lainnya. Gerakannya cepat dan ringan tanpa suara sedikit pun.
Sebentar saja sudah terlihat berada di balik tembok rumah Wratama.
Matanya tajam mengawasi sekelilingnya. Keadaan
sekitar tampak sepi. Sementara matahari sudah tenggelam di belahan bumi bagian
barat. Bulan yang menggantikan-nya hanya mengintip sedikit di balik awan hitam.
Rangga melenting ke angkasa. Dua kali salto, kemudian meluruk menuju atap.
"Uts!"
Rangga kembali melenting ke udara ketika ujung kakinya akan menapak atap.
Seberkas sinar keperakan
meluncur deras menerjang atap. Saat Rangga masih berada di udara, kembah sinar
keperakan meluncur deras mengancam dirinya
Lima kilatan sinar keperakan meluncur deras beruntun Rangga berjumpalitan di
udara menghindari sinar-sinar keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya
berkelebat cepat menangkap satu sinar, lalu dengan cepat meluruk ke atas atap.
"Ruyung perak..," desis Rangga begitu mengetahui sebuah ruyung kecil berada di
genggamannya. Ternyata ruyung perak itu adalah senjata rahasia.
Rangga bersalto di udara menghindari sinar-sinar keperakan di sekitar tubuhnya.
Tangannya berkelebat cepat menangkap salah satu sinar.
"Ruyung perak!" desis Rangga begitu tahu sebuah ruyung kecil berada di
genggamannya dari perak murni.
Rangga mengedarkan penglihatan ke sekelilingnya.
Merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Sekilas dilihatnya sesosok tubuh
berpakaian warna gelap berkelebat di antara pepohonan.
Dengan cepat Rangga melompat meluruk ke arah
sosok tubuh yang berkelebat. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti meluruk,
tahu-tahu sudah ada di depan orang itu.
"Wratama!" sentak Rangga.
Orang berpakaian gelap itu memang benar Wratama.
Dia tampak terkejut ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
menghadang. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat, dan dua buah sinar keperakan
berkelebat meluncur ke arah Rangga
Tap! Tap! Rangga menggerakkan tangannya dengan cepat. Dua
sinar keperakan kembali meluncur berbalik ke arah si pemiliknya. Wratama
melompat menghindari senjatanya sendiri. Dua ruyung perak itu meluruk melewati
ujung bawah kakinya, dan menancap ke pohon di belakangnya.
Lemparan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan tenaga dalam maha dahsyat
membuat pohon yang tertancap ruyung terbelah dua Suara gemuruh terdengar dari
pohon yang terbelah bagai terbelah oleh kampak. Pohon pun tumbang Wratama yang
tidak menyangka akan se-hebat itu serangan balik Pendekar Rajawab Sakti, hanya
terkesiap saja.
"Hm, rupanya nama besar Pendekar Rajawali Sakti hanya nama kosong!" sinis suara
Wratama penuh nada ejekan.
"Kau pantas jadi orang panggung, Wratama. Hebat sekali permainan sandiwaramu,"
Rangga balas mengejek
"He he he...!" Wratama tertawa terbahak-bahak
"Tertawalah sepuasmu. Malam ini kedok busukmu tak akan berguna lagi kau
pamerkan!" terasa dingin suara Rangga.
"Hebat..! Ancamanmu sungguh hebat untuk menakut-nakuti bocah ingusan. Tidak
kusangka gelandangan hina rendah berani memakai nama pendekar besar. He he
he.... Kau pikir dengan memakai nama Pendekar Rajawali Sakti aku akan gentar" Seribu
Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini, aku tidak akan mundur satu langkah pun!"
"Sombong!" dengus Rangga muak
Sret! Tiba-tiba Wratama mengeluarkan sebatang tombak
kecil dari ballk bajunya. Sebatang tombak berwarna hitam pekat dengan ujung
runcing berwarna merah. Dari ujung tombak itu memancar sinar bagai api yang slap
berkobar-kobar membakar apa saja yang terkena.
Rangga menggeser kakinya ke belakang satu langkah.
Dalam Jarak sekitar tiga batang tombak saja sudah terasa pamor tombak itu. Pamor
itu memancarkan hawa panas menyengat kulit hingga menembus langsung ke tulang.
"Hh, melihat pamor senjataku saja kau sudah ngeri, pendekar edan!" dengus
Wratama mengejek
Rangga hanya tersenyum saja. Segera dikerahkan jurus pembukaan 'Cakar Rajawali'.
Seketika saja jari-jari tangannya mengembang keras dan kaku. Bersamaan dengan
itu, Rangga pun mengerahkan hawa murni yang disalurkan ke seluruh tubuhnya. Hawa
panas dari pamor tombak itu demikian hebat sehingga Rangga harus mengerahkan
hawa murni untuk mengimbanginya.
"Keluarkan senjatamu, pendekar edan!" sentak Wratama.
"Hm...," Rangga hanya tersenyum tipis.
"Baik! Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa senjata!"
"Tidak pantas kau bersikap ksatria. Keluarkan seluruh akal busukmu yang bcik!"
dengus Rangga. "Setan!" geram Wratama.
Dengan cepat Wratama melompat seraya mengeluar-
kan teriakan keras. Ujung tombak pendeknya berkelebat cepat sehingga yang
terlihat hanya kilatan cahaya merah saja. Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke
kiri ketika ujung tombak yang berwarna merah menusuk ke arah dadanya.
Sinar merah membara berkelebat di depan dada
Rangga. Hawa panas terasa menerpa. Rangga mengangkat tangan kanannya dan
menyentil ujung tombak itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Wratama menggunakan
tenaga sentilan Itu untuk memutar tombaknya. Cepat sekali gerakan tombak itu
berputar. Rangga sampai terkelap matanya, lalu dengan cepat dilentingkan
tubuhnya berputar ke belakang. Ujung tombak yang memancarkan sinar merah panas
itu berkelebat di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang berputaran ke
belakang. Menyadari lawannya tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali Sakti
jadi geram. Ujung jari tangannya menotok ujung tombak yang datang mengarah dada.
Ketika ujung tombak sedikit goyang, secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya
sejauh dua batang
tombak, lalu dengan manis mendarat kembali di tanah.
Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Rupanya Wratama mengetahui kelemahan jurus
Cakar Rajawali, sehingga tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Rangga untuk
membalas. "He... he... he...," Wratama terkekeh melihat lawannya seperti kebingungan.
Dalam beberapa gebrak saja, Wratama sudah dapat
melihat keunggulan dan kelemahan jurus 'Cakar Rajawali'.
Dilihatnya bagian dada Rangga selalu kosong. Maka dengan cepat dada itu
diincamya, sementara dibiarkan ujung tombaknya dijadikan sasaran jari-jari yang
kaku mengeras bagai baja. Tidak sedikit pun Wratama memberi kesempatan pada
Rangga untuk memainkan jari-jari tangannya yang sangat berbahaya
"Hanya jurus mainan bocah kau pamerkan padaku,"
ejek Wratama. "Hmmm...," Rangga bergumam.
Matanya tetap tajam menatap lawannya. Kedua
tangannya direntangkan ke samping. Dia telah siap dengan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Jurus andalan yang kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Cepat sekali kedua tangan Rangga bergerak mengibas, bagai sepasang sayap seekor
rajawali. Dan kini kaki Rangga tidak lagi menapak tanah.
"He... he... he..., permainan sihir yang buruk!" ejek Wratama.
Belum lagi Wratama selesai berkata, mendadak
Rangga telah menyerangnya dengan cepat. Wratama pun tidak kalah cepat. Digerak-
gerakkan tombaknya ke kanan dan ke kiri menangkis setiap sabetan tangan Rangga.
Beberapa kali tombak pendeknya membentur tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi sedikit pun tak berpengaruh apa-apa. Bahkan
beberapa kali Wratama berhasil membalas serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pendekar Rajawali Sakti merungkatkan serangannya.
Kali ini tubuhnya bagai terbang mencelat ke segala arah sambil mengibaskan kedua
tangannya mengincar bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Wratama masih
kelihatan tersenyum mengimbangi. Jurus Pendekar
Rajawali Sakti. Tampaknya dia dapat membaca dan
mengetahui ke mana arah serangan yang dilancarkan Rangga, sehingga serangan-se-
rangan itu dapat dlpatahkan di tengah Jalan
"Edan! Benar benar hebat dia!" dengus Rangga dalam hati. Menyadan kalau jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' tidak bisa diandalkan, Rangga segera mencelat
tinggi ke udara. Secepat kilat dirubahnya jurus menjadi Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Gerakan Rangga makin cepat, kaki kakinya lincah bergerak
meluruk mengincar kepala lawan.
Kali ini Wratama kelihatan mulai kerepotan. Beberapa kali harus jatuh bangun
menghindari terjangan kaki Rangga yang bagaikan geledek mengincar kepala.
Desiran angin tendangan begitu kuat, sehingga Wratama terpaksa mengerahkan
tenaga dalam untuk mengimbangi agar
tubuhnya tidak goyah.
Di sekitar tempat pertarungan itu bagai terjadi badai topan. Beberapa pohon
sudah bertumbangan terkena sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan daun-
daun berguguran hanya terkena desiran angin sambaran kaki pendekar muda itu.
Pendekar Rajawali Sakti bagai bertarung dari segala arah. Sebentar di bawah,
sebentar menyerang dari atas.
Hal ini membuat Wratama kebingungan menghadapi
serangan itu. Sampai saat ini Wratama belum mendapat-kan celah kosong kelemahan
jurus itu. "Mampus kau...!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Akh!" Wratama terkejut
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke udara, dan meluruk kembali
dengan kaki mengarah ke bawah. Kedua kakinya bergerak cepat sehingga yang
teriihat hanya bayangannya saja. Wratama sangat terkejut Cepat-cepat diangkat
senjata tombak pendek itu.
Wut! Wut! Wut! Wratama mengebutkan tombaknya berputar me-
lindungi kepala. Dugaannya, Rangga pasti mengincar kepala. Tapi temyata meleset.
Sulit dilihat dengan mata biasa, tiba tiba saja Rangga sudah berdiri di
depannya, dan bagai kilat kaki kanannya menghantam.
"Aaakh...!" Wratama menjerit tinggi. Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti telak
men darat di dada Wratama.
Tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'
disertai pengerahan tenaga dalam yang hebat membuat tubuh Wratama teriontar
deras ke belakang. Tubuh itu terus meluncur menghantam pohon besar hingga hancur
berkeping-keping Tidak berhenti sampai di situ, tubuh Wratama terus meluncur
menumbangkan pohon-pohon
lainnya. Tubuh Wratama baru berhenti setelah menghantam
sebuah baru besar yang menimbulkan suara gemuruh.
Belum lagi tubuh Wratama menyentuh bumi, tiba-tiba Rangga meluruk deras, dan....
"Aaa...!" kembali Wratama menjerit melengking. Tangan Rangga mengibas, bagaikan
sebilah pedang, membabat buntung tangan kiri Wratama. Darah muncrat deras dari
pangkal lengan yang buntung. Rangga segera merampas tombak dari tangan kanan
Wratama, lalu ditekannya dada Wratama dengan lututnya. Ujung tombak menempel
ketat di leher Wratama.
"Setan! Bunuh aku!" sentak Wratama berang. Dia tidak lagi peduli dengan rasa
nyeri pada pangkal lengannya yang buntung itu.
Rangga hanya tersenyum tipis. Tetapi dalam hati
Rangga mengakui kehebatan tenaga dalam Wratama.
Seharusnya tubuh tadi akan hancur berkeping-keping terkena tendangan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikeluarkan secara penuh oleh Rangga.
Rangga sendiri menduga demikian. Pada kenyataannya, Wratama masih hidup.
Wratama mencoba menggeliatkan tubuhnya, tapi hanya mampu meringis. Dadanya
terasa remuk dan nyeri.
Terlebih lutut Rangga semakin kuat menekan dadanya.
Ujung tombak mulai menggores kulit lehernya. Darah mulai merembes ke luar dari
leher Wratama. "Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Wratama tertawa terbahak-bahak
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga kaget bercampur heran melihat Wratama tertawa tergelak, padahal keadaan
jiwanya terancam maut
"Setan!" dengus Rangga begitu melihat bagian leher yang tergores membiru.
Cepat-cepat Rangga membuang tombak pendek hitam
yang ujungnya berwarna merah menyala. Dengan cepat ditotoknya beberapa bagian di
sekitar leher Wratama yang sudah membiru. Warna biru itu seketika berhenti
menjalar. "Percuma saja. Sebentar lagi aku akan mati! Totokan-mu tidak akan berpengaruh
apa apa pada racun tombak-ku." kata Wratama seraya terkekeh
"Kau memang akan mati, bangsat! Tapi kau harus diadili seluruh penduduk Desa
Pasir Batang dulu!" dengus Rangga.
"He he he..., aku akan mati, tapi kau akan menerima akibatnya dari Raja Dewa
Angkara!" "Huh! Rupanya kau hanya anjing iblis itu!" rungut Rangga.
"Sebentar lagi Desa Pasir Batang akan hancur! Tidak ada seorang pun yang bisa
menghalangi Raja Dewa
Angkara!" Rangga kian geram. Warna biru dari racun tombak
hitam itu terus menjalar ke seluruh tubuh Wratama.
Rangga segera berdiri dan membiarkan Wratama
mengoceh di akhir hidupnya
"Dengar, pendekar bodoh! Kehadiranmu di desa ini hanya sia sia saja. Raja Dewa
Angkara tak dapat dihalangi.
Mati pun aku akan tersenyum. Sudah lama aku menginginkan kehancuran desa ini!
Aku puas dapat membalas sakit hati ayahku. Aku puas..., ha ha ha...!" Wratama
terus mengoceh seperti orang gila.
"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.
"Dia raja dari segala raja dewa-dewa di Kahyangan. Dia yang menguasai seluruh
manusia di bumi ini!" makin tidak karuan ocehan Wratama.
Rangga akan bertanya lagi, tetapi Wratama telah
kejang-kejang Seluruh tubuhnya sudah berwarna biru.
Setelah memuntahkan darah kental kehitaman, Wratama diam tak bergerak Mati
Rangga mendesah berat
Ocehan-ocehan Wratama yang kelihatannya ngawur,
membuat Pendekar Rajawali Sakti bertanya-tanya. Sepuluh tahun Raja Dewa Angkara
merajalela mencengkeram desa-desa di sekitar lereng Gunung Balakambang. Tentu
ada maksud tertentu selain menyebarkan pengaruh iblis dengan menghancurkan desa-
desa satu persatu
Maksud yang tersehibung dari segala tindakan iblis Raja Dewa Angkara yang
diwujudkan lewat teror! Rangga bergumam beberapa kali. Dicemanya kembali semua
kata kata Wratama tadi. Kata-kata yang kedengarannya tidak beraturan tapi
mengandung arti yang dalam meski masih diliputi tanda tanya besar. Kesimpulan
Rangga, kejadian yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun ini berlatar
belakang dendam masa lalu.
"Hm..., Sawung Bulu pemah cerita kalau Wratama itu anak bekas kepala desa. Dan
dia juga perah jadi punggawa kerajaan. Sedangkan tadi dalam ocehannya, Wratama
sempat berkata kalau dia puas telah bisa membalas sakit hati ayahnya. Ada apa di
balik semua ini?" Rangga bertanya tanya dalam hati.
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak, lalu secepat kilat melompat
meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak
terlihat lagi ditelan kegelapan malam.
*** 6 Brak! Keras sekali Rawusangkan menggebrak meja yang terbuat dari kayu jati tebal
itu sehingga retak bagian tengahnya. Bagaspati dan Paralaya terdongak kaget.
Berita kematian Wratama yang dibawa Bagaspati membuat
merah padam muka Rawusangkan. Dua bola matanya
menyala nyala membelalak ke luar seperti akan copot Dua orang gadis cantik yang
sejak tadi duduk di
sampingnya, segera minggat. Rawusangkan tajam menatap Bagaspati dan Paralaya.
Kedua orang itu hanya tertunduk dengan gemetar memendam rasa takut Mereka bisa
memakluml kalau Rawusangkan begitu marah mendengar Wratama tewas, sebab dia
adalah adik satu-satunya.
"Bagaimana kejadiannya sampai adikku tewas?" tanya Rawusangkan.
"Rara Inten yang tahu, Kakang," kata Bagaspati.
Rawusangkan segera menatap seorang wanita cantik yang duduk di samping Paralaya.
Wanita yang dilihat Rangga berada dalam kamar penginapan bersama
Wratama itu malah tenang tenang saja. Bibirnya tersenyum merekah.
"Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya," kata Rara Inten dengan suara halus
lembut "Katakan, apa yang kau ketahui?" desak Rawu sangkan. Dia terkejut juga manakala
Rara lnten menyebutkan orang yang membunuh adiknya.
"Aku hanya melihat Kakang Wratama sudah tewas, sementara Pendekar Rajawali Sakti
berdiri di dekatnya.
Hanya itu saja yang aku tahu," jawab Rara lnten.
Rawusangkan berdiri berjalan mondar-mandir. Tampak sekali kalau sedang gelisah
karena Wratama bisa tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bukan itu saja.
Rahasia Raja Dewa Angkara bakal terbongkar! Malah tidak mustahil akan gagal
rencana yang dibangunnya selama sepuluh tahun ini.
Rawusangkan berhenti melangkah di depan jendela
yang terbuka lebar. Angin malam langsung menerpa tubuhnya. Matanya tajam
memandang lurus ke arah lereng Gunung Balakambang. Sepuluh tahun Rawusangkan me-
niupkan Raja Dewa Angkara sebagai suatu momok yang menakutkan bagj semua
penduduk desa-desa di sekitar lereng Gunung Balakambang.
"Malam ini juga kalian harus ke Desa Pasir Batang.
Hancurkan desa itu! Bunuh siapa saja yang berani melawan!" tegas suara
Rawusangkan yang memerintah tanpa membalikkan badannya.
"Tapi, Kakang. Bukankah bulan purnama masih dua hari lagi" Tidak mungkin Desa
Pashr Batang dihancurkan sebelum waktunya," Bagaspati mengingatkan.
Rawusangkan berbalfk, matanya .yang merah menyala memandang Bagaspati. Rahangnya
terkatup rapat dengan gigi bergemeletuk menahan geram.
"Ini perintahku! Perintah Raja Dewa Angkara pantang ditentang!" keras suara
Rawusangkan. Bagaspati bungkam, tidak berani membantah lagl
Membantah perintah Rawusangkan alias Raja Dewa
Angkara berarti maut Bagj Rawusangkan, mencabut nyawa tidak sesulit membalikkan
telapak tangan. Begitu mudah, tanpa menghiraukan nyawa siapa yang akan
dicabutnya. "Tunggu apa lagi" Laksanakan perintahku, cepat!"
bentak Rawusangkan.
Bagaspati menoleh pada Paralaya, lalu dua orang itu beranjak pergi. Rawusangkan
memandang Rara lnten yang masih duduk di tempatnya. Dihampirinya wanita cantik
yang masih menggairahkan ini.
"Kau pun harus segera berangkat, Rara lnten," kata Rawusangkan.
Rara lnten hanya tersenyum, lalu berdiri tapi tidak berlalu dari situ. Bibirnya
bak delima merekah, terus menyunggingkan senyum penuh menggoda. Rara lnten
memutari meja, dihampirinya Rawusangkan. Dengan
Hina Kelana 28 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bonek Candi Sewu 2
menyayat, orang itu terjungkal dengan dada terbelah lebar. Sebentar dia me-
regang nyawa di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. "
Bersamaan dengan itu, sinar biru lenyap. Lalu disusul dengan munculnya sosok
tubuh berpakaian rompi berdiri dekat mayat terakhir. Darah hangat masih keluar
dari dada mayat yang terbelah hampir purus itu.
"Pendekar Rajawali Sakti..." desah Ki Gandara. Bergegas guru besar Padepokan
Pasir Batang itu menghampiri, diikuti Sangkala dari belakang. Tangan kanan
Sangkala menekap luka di pundak kiri. Darah kembali keluar, karena totokan yang
sifatnya hanya sementara sudah tidak bekerja lagi.
"Bagaimana lukamu, Sangkala?" tanya Rangga seraya memperhatikan luka di pundak
kiri Sangkala. "Hanya luka luar," sahut Sangkala. Rangga alias Pendekar Rajawali
Sakti menghampiri. Tangannya terulur dan menekap pundak yang terluka itu. Lalu
bibirnya tersenyum sambil menarik tangannya lagi
"Hanya luka biasa," kata Rangga.
"Terima kasih," ucap Sangkala. "Kalau kau tidak cepat menolong, mungkin aku
hanya tinggal nama."
Rangga hanya tersenyum. Lalu dihampirinya salah satu mayat yang berpakaian serba
hitam. Dia jongkok, lalu tangannya merenggut kain potong yang menutupi seluruh
wajah orang itu. Tampak seraut wajah cantik lagi putih terpampang Wajah seorang
wanita. Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Dihampirinya mayat yang kedua, dan
direnggut topengnya.
Kembali terlihat wajah seorang wanita cantik dengan rambut tergulung rapih. Ki
Gandara yang juga merasa penasaran, ikut membuka topeng-topeng hitam lainnya.
Jelas, enam orang berpakaian serba hitam ini, semuanya adalah wanita.
"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut
dan herannya. Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang Raja Dewa Angkara adalah wanita
berparas cantik
Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu orang saja, kini benar
benar terkesima. Sungguh tak diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh
seorang wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam Sangkala tiba-
tiba tersentak Padahal dia sempat
mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak bisa membedakan suara
laki-laki dengan suara
perempuan. Tapi..., yang didengamya tadi memang suara laki-laki. Bukan suara
halus seorang perempuan. Apakah wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara"
"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara.
"Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka,"
kata Rangga. "Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka mati," sahut Ki Gandara.
Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya
untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam keadaan letih, tidak ada yang
membantah perintah itu.
Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih tersisa, melaksanakan
perintah guru besarnya. Ki Gandara mengajak Rangga ke pendopo, sementara
Sangkala minta ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di depan
pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung menatap ke arah puncak Gunung
Balakambang. Ki
Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga mengarah ke puncak gunung yang
selalu diselimuti kabut tebal itu. "Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun
istana-nya," kata Ki Gandara setengah bergumam.
"Sudah ada yang pemah ke sana?" tanya Rangga.
"Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada beberapa pendekar mencoba ke
sana, tapi mereka selalu tewas sebelum mencapai tujuan."
"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas.
"Raja Dewa Angkara memiliki orang-orang yang berkepandaian lumayan tinggi.
Gunung itu selalu dijaga ketat Tidak ada seorang pun bisa kembali setelah
mencoba ke sana," Ki Gandara menjelaskan.
"Aku akan coba ke sana," kata Rangga.
"Sebaiknya. jangan. Terlalu berbahaya bagimu," Ki Gandara mencoba mencegah.
"Untuk menumpas suatu kejahatan, harus sampai ke akar-akarnya, Ki. Aku tidak
bisa hanya menunggu di sini, menanti cacing-cacing tak berguna."
"Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi hendaknya berpikirlah matang matang
untuk pergi ke sana."
Rangga tersenyum tipis. Dirasakan ada nada lain dalam kata kata Ki Gandara.
Bagaimana pun juga orang tua ini merasa bertanggung jawab atas keselamatan
seluruh penduduk Desa Pasir batang. Rangga dapat menangkap maksud kata kata itu.
Memang, dalam saat saat seperti ini tidak mungkin Rangga meninggalkan Desa Pasir
Batang. Sewaktu-waktu orang-orang Raja Dewa Angkara dapat menghancurkan seluruh desa.
Kapan waktunya, memang belum bisa diduga.
Pelan-pelan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terayun menuju pintu gerbang
padepokan. Dia terus berjalan melewati pintu yang terbuka lebar. Pikirannya
dipenuhi oleh persoalan yang tengah dihadapi seluruh penduduk Desa Pasir Batang
ini. Persoalan yang tidak mudah dihadapi begitu saja. Di luar padepokan, Rangga
melangkah menuju jalan utama desa ini. Padepokan Pasir Batang memang berada di
tengah tengah desa. Tidak jauh dari sini, teriihat rumah kepala desa yang selalu
dijaga oleh beberapa murid padepokan. Rangga merayapi keadaan sekitarnya yang
tampak sepi. Mendadak matanya menangkap sekelebat bayangan
menyelusup di antara rumah-rumah penduduk dan
pepohonan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil
mengerahkan ilmu peringan tubuh
mengejar bayangan itu. Matanya yang setajam mata rajawali, masih bisa melihat
bayangan itu menghilang di balik sebuah rumah.
Sementara senja terus merayap makin jauh. Keadaan sekeliling sudah remang-remang
Malam sebentar lagi menjelang. Tubuh Rangga melayang ringan ke atas atap rumah
tempat bayangan tadi menghilang. Begitu ringannya sehingga tidak ada sedikit pun
suara terdengar ketika kakinya hinggap di atap rumah itu.
"Hm... dia menuju kedai makan," Rangga bergumam dalam hati.
Matanya masih sempat menangkap bayangan itu.
Segera dia melesat dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Begitu
cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti dalam sekejap saja telah bertengger
di atas atap kedai makan. Sedangkan bayangan yang tersusul itu masih berkelebat
menuju ke arah Rangga yang tengah bersembunyi.
"Wratama...," gumam Rangga lagi dalam hati.
Di dalam kegelapan yang bagaimana pun juga,
Pendekar Rajawali Sakti sangat mampu mengenali
bayangan yang sejak tadi diikutinya. Bayangan itu memang milk Wratama.
Gerakannya cukup ringan dan cepat
Sepertinya dia memiliki ilmu peringan tubuh yang lumayan tinggi.
Rangga masih bertengger di atas atap meskipun
Wratama sudah masuk dalam kedai makan ini. Rangga segera mengerahkan ilmu
'Pembilah Suara' yang diarahkan langsung ke dalam kedai makan. Kedai ini rupanya
sekahgus dijadikan rumah penginapan satu-satunya yang ada di Desa Pasir Batang
ini. Apa yang dapat didengar Rangga"
*** 4 Wratama mengedarkan pandangan ke seluruh sudut
ruangan kedai makan. Sepi. Tidak ada seorang pun yang ada di tempat ini. Kakinya
terus melangkah masuk Di dalam juga sepi. Bagian dalam merupakan sebuah lorong
yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewa untuk menginap. Semua pintu nya
tertutup rapat Wratama baru berhenti melangkah setelah sampai pada ujung lorong.
Matanya kembali beredar mengamati keadaan. Pelan pelan dia mulai mengetuk pintu
kamar di depannya. Tidak terdengar sahutan. Kembali diketuknya agak keras dari
pada semula. Matanya tetap mengamati sekehhngnya
"Masuk..." terdengar suara dari dalam kamar.
Wratama membuka pintu kamar. Cepat-cepat dia
melangkah masuk, lalu bergegas ditutup kembali pintunya.
Hanya ada satu pelita kecil yang menerangi, sehingga keadaan kamar menjadi
remang-remang. Mata Wratama langsung mengarah ke pembaringan tempat sesosok
tubuh ramping tergolek di atasnya.
"Tidak ada yang melihatmu ke sini, Wratama?" tanya sosok tubuh ramping itu.
Suaranya halus lembut bagai butuh perindu.
"Tidak," sahut Wratama sambil mendekat Sosok tubuh ramping itu pun duduk ketika
Wratama duduk di tepi pembaringan. Tampak wajahnya yang cantik dengan bibir
merah merekah menyunggingkan senyum.
Rambutnya panjang, hitam, dan lebat dibiarkan terurai melewati bahu. Kain sutra
halus berwarna merah muda melilit di tubuhnya
Wratama menelan rudah saat bola matanya me-
nangkap dua bukit putih mulus, menyembul seolah-olah hendak berontak keluar dari
balik kainnya. Seperti sengaja, wanita itu menggerakkan tubuhnya, sehingga
belahan kain yang melilit agak tersingkap. Terlihatlah dua paha yang terbungkus
kulit putih itu, Mata Wratama tidak berkedip memandanginya
"Tunggu dulu, Wratama," wanita itu mendorong dada Wratama yang akan memeluknya.
"Kenapa" Kenapa kau menolak?" Wratama terus saja ingin memeluk.
"Kau belum mengatakan apa-apa padaku," kata wanita itu. "Keadaan di Padepokan
Pasir Batang, maksudmu?"
Wanita itu hanya tertawa mengikik. Irama tawanya dipenuhi nafsu birahi, sehingga
Wratama hanya menelan ludah untuk yang sekian kalinya. Tangannya sejak tadi
telah bermain-main di paha yang putih terbuka
"Separuh lebih murid Ki Gandara tewas, sedangkan hanya enam dari Raja Dewa
Angkara," kata Wratama.
"Kenapa bisa begitu?" suara wanita itu terdengar terkejut mendengar enam orang
dari Raja Dewa Angkara tewas.
"Ada seorang pendekar sakti yang membantu."
"Siapa dia?"
"Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh tiga orang Raja Dewa Angkara di
halaman rumah kepala desa."
Sesaat suasana hening.
"Bagaimana orangnya?" tanya wanita itu.
"Masih muda, tampan, dan berilmu tinggi. Senjatanya sebuah pedang yang bisa
memancarkan sinar biru."
Kembali tak terdengar suara.
"Ah, sudahlah. Kau datang ke sini bukan untuk membicarakan hal itu, kan?"
Wratama sudah tidak sabaran lagi. Wanita itu tidak dapat menolak lagi. Wratama
sudah memeluknya ketat. Ciuman dan kecupannya membuat
wanita itu mengerang, dan membalas dengan gejolak yang menggelegak dalam dada.
Kini di kamar itu hanya terdengar desah nafas memburu disertai erangan dan
rintihan yang membangkitkan gairah.
Sementara itu di atap, tepat di atas kamar yang
dipenuhi hawa nafsu birahi, Rangga menahan nafas. Suara suara yang didengarnya
terakhir membuat gelisah dirinya sendiri. Bergegas dia melompat menuju pohon
yang berada tepat di depan jendela kamar itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menahan nafas dengan mata sedikit
membelalak. Jelas sekali dari tempatnya bertengger, teriihat dua tubuh menyatu
rapat di atas ranjang. Jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan, memang
terlalu renggang susunannya. Sehingga apa yang terjadi di dalam kamar dapat
terlihat jelas meski hanya diterangi oleh sebuah pelita kecil.
"Siapa wanita itu" Apakah salah seorang dari Raja Dewa Angkara?" Rangga
bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu belum dapat menduga-
duga lebih jauh. Dipalingkan mukanya, karena tidak sanggup untuk melihat terus
ke dalam kamar. Hanya sesekali saja matanya melirik ke sana. Dan setiap kali
melihat dua manusia berlainan jenis itu tengah dimabuk birahi, dadanya seketika
berdetak lebih keras dari biasanya. Sungguh pemandangan yang membuat Rangga jadi
berkeringat Agak lama juga Rangga tersiksa sendiri di atas pohon.
Rasa penasarannya pada wanita itu, membuatnya bertahan dalam ketersiksaannya.
Padahal sejak tadi dia ingin pergi. Saat matanya kembali melirik dalam kamar,
ternyata Wratama telah tergolek dengan dada bergerak cepat.
Sedang wanita itu duduk di sampingnya.
Wanita itu beringsut turun dari pembaringan. Terlihat jelas kalau dia tidak
mengenakan selembar kain pun pada tubuhnya. Kembali Rangga menahan nafas melihat
lekuk-lekuk tubuh indah dan menggairahkan. Wanita itu
mengenakan kembali pakaiannya. Wratama masih tergolek tak berdaya.
"Dia keluar," bisik Rangga dalam hati.
Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali berada di
atas atap lagi. Sebentar dia menunggu, dan terlihatlah wanita itu telah
mengenakan pakaian serba hitam. Dia melesat cepat ke luar kedai makan yang
sekaligus tempat penginapan. Gerakannya lincah dan ringan, sulit diikuti oleh
mata biasa. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, hal itu bukanlah persoalan.
Sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti
terus mengikuti ke mana wanita itu pergi. Wanita itu tidak menyadari kalau sejak
semula telah dibuntuti karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti sangat ringan dan
tidak menimbulkan suara sedikit pun. "Mau ke mana dia?" Rangga bertanya dalam
hati. Kening Rangga berkerut makin dalam setelah tahu
kalau wanita itu menuju ke Gunung Balakambang. Kini tubuh wanita itu sebentar
menghilang, sebentar kemudian terlihat. Pohon-pohon dan semak yang makin rapat
membuat Rangga makin berhati-hati mengikutinya. Dia yakin kalau wanita itu salah
seorang dari Raja Dewa Angkara.
"Hm, Wratama..., apa hubungannya dia dengan Raja Dewa Angkara?" lagi-lagi Rangga
bertanya dalam hati.
Namun belum lag! sempat mendapat jawaban,
mendadak... "Uts!"
Rangga melompat sambil bersalto cepat ketika sebuah tombak hitam meluncur deras
ke arah tubuhnya. Belum lagi dia sempat turun, kembali sebatang tombak mengarah
deras kepadanya. Berikutnya disusul tombak tombak lain dari segala penjuru mata
angin. "Setan!" dengus Rangga sambil bersalto di udara menghindari serangan gelap yang
datang bagai hujan.
Ternyata bukan hanya tombak yang mengincar
nyawanya, tetapi juga serbuan anak-anak panah yang kini meluncur dari segala
arah. Pendekar Rajawali Sakti dibuat sedikit kewalahan. Tidak diberi kesempatan
untuk menarik napas sedikit pun! Bahkan untuk menjejakkan kaki di tanah saja,
tidak ada peluang sama sekali. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak sedang
mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', mungkin sudah sejak tadi tubuhnya tercincang.
*** Keadaan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak
memungkinkan untuk lolos. Serangan gelap itu semakin gencar datangnya. Beberapa
kali ujung tombak hampir mengenai tubuhnya. Rangga jadi sengit. Sambil berteriak
melengking, dia melompat lebih tinggi seraya mencabut pedangnya.
Sret, Cring! Seketika keadaan di dalam hutam lereng Gunung
Balakambang jadi terang benderang oleh sinar pedang yang biru kemilauan. Dengan
senjata pusaka, itu. Rangga mengamuk bagai banteng luka. Sinar biru bergulung-
gulung menyelimuti tubuhnya. Beberapa batang tombak dan anak panah rontok
berhamburan sebelum mencapai sasaran.
"Ke luar kalian!" teriak Rangga. Suaranya menggelegar karena disertai pengerahan
tenaga dalam yang luar biasa.
Begitu hebatnya suara Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga daun-daun
berguguran. Batu-batu kerikil berlompatan terkena getaran suaranya. Dan lebih
hebat lagi, pengaruh tenakan itu membuat serangan tombak dan anak panah berhenti
mendadak Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar di udara dua kali, sambil
memasukkan kembali pedang pusaka ke dalam sarungnya di punggung. Dia hinggap
dengan manis di atas sebuah dahan pohon yang cukup tinggi. Bagaikan mata
rajawali, matanya merayapi sekitarnya. Terlihatlah tubuh-tubuh berseragam kain
hitam bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak
"Harus diberi pelajaran manusia-manusia iblis ini!"
dengus Rangga dalam hati.
Tangannya bergerak cepat merampas daun-daun
pohon di sekitamya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, dilemparkannya daun-daun
itu ke arah orang-orang yang berpakaian serba hitam. Daun-daun yang semula lemas
tak berguna, kini bagaikan senjata rahasia ampuh yang meluncur deras melebihi
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya.
Seketika terdengar suara jerit kesakitan saling susul.
Kemudian tidak kurang dari enam orang berpakaian serba hitam bertumbangan. Daun-
daun yang dilontarkan
Pendekar Rajawali Sakti bagaikan terbuat dari logam keras, menancap di dada
mereka. "Mampus kau, iblis-iblis keparat!" desis Rangga dengan nada geram.
Kembali tangannya merampas daun-daun, lalu di-
lemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat Dan terdengarlah jeritan
menyayat disusul tumbangnya beberapa tubuh berpakaian serba hitam.
Desisan Rangga rupanya terdengar oleh mereka. Maka sebatang tombak pun meluncur
deras ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya cepat menangkap tombak itu.
Tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya meluruk cepat ke arah si pelempar tadi.
"Akh!" pelempar tombak itu terkejut
Segera digulingkan tubuhnya ke samping Kaki
Pendekar Rajawali Sakti hanya menjejak tanah kosong.
Namun belum sempat bergerak, tiba-tiba seseorang mem-bokong dengan tombak
terhunus ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ih!" Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan tombak yang ada di tangannya.
Trak! Dua tombak hitam beradu keras. Tanpa membuang
waktu lagi, kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun keras, dan..., Buk! Telapak
kakinya tepat mendarat di dada penyerangnya. Orang itu terjengkang beberapa
langkah ke belakang.
Pendekar Rajawali Sakti melemparkan tombak di
tangannya. Tombak itu meluncur deras, dan tepat menghujam di dada pembokong
tadi. Jerit menyayat terdengar bersamaan dengan ambruknya orang itu Belum lagi
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik nafas, mendadak datang dua serangan
dari arah samping kanan dari jarinya Hanya dengan menggeser selangkah ke
belakang, dua ujung tombak mengenai sasaran kosong Sambil menarik badan ke
belakang, Pendekar Rajawali Sakti menangkap dua tombak itu, lalu mengangkatnya
ke atas. Dua tubuh melayang deras dan... Trak! Kepala dua orang itu beradu
keras. Tanpa mengeluarkan suara lagi, dua orang berpakaian serba hitam itu ambruk
dengan kepala pecah. Rangga menoleh pada orang yang kini tidak bersenjata. Orang
yang pertama menyerangnya ketika di atas pohon. Tampak orang itu mundur dengan
bola mata jelalatan ke kanan dan ke kiri.
Rangga membuang tombak yang ada di tangan
kanannya. Kemudian dia menghunus satu tombak lainnya dengan tangan kiri. Kakinya
bergerak perlahan mendekati satu orang itu.
"Huh! Ayo kita bertarung tanpa senjata!" dengus Rangga. Tangan kirinya membuang
tombak ke samping.
Rangga berdin tegak dengan sikap menantang. Orang yang seluruh tubuhnya terbalut
kain hitam, berhenti mundur. Dia seperti menyadari kalau dia sendiri yang masih
hidup. Lalu dengan satu teriakan melengking, tubuhnya mencelat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti
Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya,
maka serangan itu lewat di depannya. Secepat kilat tangan Rangga menjulur, dan
menotok pundak orang itu. Namun tidak diduga sama sekali, totokannya dapat
dihindari dengan manis. Orang itu menjatuhkan tubuhnya sambil mengayunkan
kakinya. Dengan cepat Rangga menurunkan tangannya. Dan
kaki lawanpun membentur tangan Rangga yang teraliri kekuatan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Rangga menduga kaki itu akan patah namun kenyataannya.... Orang
itu malah memutar tubuhnya setengah miring, lalu kakinya kembali terayun
mengarah ke iga.
"Hebat," gumam Rangga memuji tenaga dalam lawan yang mampu mengim ngj tenaga
dalamnya. Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, dan kaki itu lewat beberapa helai
rambut di samping iganya. Rangga kembali mengulurkan tangan kanannya ke arah
pundak lawan. Dia sengaja mengincar bagian tubuh dengan totokan saja. Dia ingin
orang ini hidup tanpa terluka.
Gerakan Rangga yang cepat, kali ini sulit dihindari.
Dengan rasa terpaksa, orang itu menangkis tangan Rangga. Namun cepat pula Rangga
memutar tangannya.
Dan.... "Ah!" orang itu mendesah kaget
Mendadak tangan kirinya lemas lunglai. Belum lagi hilang rasa terkejutnya. Jari
tangan Rangga sudah kembali bergerak cepat Kini bagian bahu dan dada orang itu
kena totokan yang membuat seluruh tubuhnya lemas. Tanpa dapat dihindari lagi,
tubuh yang mengenakan pakaian serba hitam itu jatuh lunglai.
"Hup...!" Rangga cepat-cepat menyangga tubuh yang lemas tak bertenaga itu.
Tanpa membuang uang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung memanggulnya.
Sebentar diedarkan
pandangan berkeliling, lalu mengempos tubuhnya. Sekejap mata saja tubuh Rangga
sudah mencelat ke angkasa.
Dengan kaki menjejak pada ujung ujung dahan pohon, Pendekar Rajawali Sakti bagai
terbang meninggalkan tempat itu.
*** Rangga melemparkan kayu ke atas api unggun. Cahaya
api jadi bertambah terang dan menghangatkan sekitar goa.
Dua kali Rangga menambahkan kayu, kemudian dihampirinya tubuh ramping terbalut
kain hitam yang menggeletak di atas daun-daun kering Rangga merenggut topeng
dari kain hitam yang menutupi seluruh kepala orang Itu.
Tampak seraut wajah cantik dengan bola mata bulat indah terbias oleh cahaya api.
Rambutnya tergulung ke atas cukup rapi. Bibimya bergerak-gerak seolah hendak
mengatakan sesuatu, namun tidak ada sedikit pun suara yang ke luar. Hanya bola
matanya saja yang liar membelalak lebar menatap tajam wajah Pendekar Rajawali
Sakti. "Melati..." desis Sawung Bulu yang berada di belakang Rangga.
"Kau kenal dia?" tanya Rangga seraya menoleh.
Sawung Bulu menggeser, matanya merayapi wajah
cantik yang tergolek lemah.
"Tidak salah, dia Melati. Aku masih ingat betul!" seru Sawung Bulu mengenali
wajah wanita itu.
Sawung Bulu menjulurkan tangannya dan membalikkan kepala wanita itu. Disibakkan
rambut yang menjuntai di samping kepala wanita itu. Tampak pada belakang
telinganya, terdapat bulatan hitam sebesar kuku jari.
Sawung Bulu kembali membalikkan kepala itu, matanya merayapi wajah yang putih
kemerahan. "Dia..., dia Melati!" seru Sawung Bulu pasti.
Rangga menatap Sawung Bulu dan wanita itu ber-
gantian. "Dia anak Kepala Desa Karang Sewu. Letaknya di sebelah Barat Desa Pasir Batang
Tiga tahun lalu Melati dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara,"
Sawung Bulu menjelaskan.
Rangga menggerakkan jari-jarinya menotok dua kali pada bagian leher wanita yang
dikenal Sawung Bulu bernama Melati. Sebentar wanita itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu bola matanya menatap tajam pada Rangga dan Sawung Bulu
bergantian. "Bebaskan aku. Kita bertarung sampai mati!" dengus wanita itu dingin.
Rangga meraba dada wanita itu.
"Setan! Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak wanita itu geram. Dia berusaha
menggeliatkan tubuhnya, tapi pengaruh totokan Pendekar RajawaB Sakti sangat kuat
"Dalam tubuhnya mengalir sejenis racun yang bisa mempengaruhi jiwanya," Rangga
bergumam. "Apakah bisa disembuhkan?" tanya Sawung Bulu.
"Entahlah. Aku harus tahu dulu racun jerus apa yang bersarang di tubuhnya. Yang
jelas dia sekarang tidak tahu lagi siapa dirinya," sahut Rangga.
Rangga kembali menggerakkan jari-jari tangan untuk menotok leher wanita itu.
Seketika wanita itu diam lemas.
Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti menghenyakkan tubuhnya
bersandar ke dinding goa. Sementara Sawung Bulu duduk di samping wanita itu.
"Apakah racun itu mematikan, Rangga?" tanya Sawung Bulu.
"Tidak," sahut Rangga. "Racun itu hanya mempengaruhi jiwa dan pikiran. Hmm...
apakah dia punya ilmu sflat?"
Sawung Bulu menggeleng
"Setahuku, Melati tidak pernah belajar ilmu silat."
"Aneh, kepandaiannya cukup tinggi. Mustahil dalam waktu tiga tahun saja, bisa
memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi." gumam Rangga.
"Aku rasa karena pengaruh racun itu," Sawung Bulu menduga-duga
"Mungkin," desah Rangga.
Sawung Bulu terdiam sejenak dicoba untuk mereka-
reka hal yang tengah dialaminya kini. Memang sulit dipercaya kalau korban-korban
persembahan untuk Raja Dewa Angkara dijadikan semacam laskar wanita. Dalam waktu
singkat saja, wanita-wanita yang selama hidupnya buta terhadap ilmu olah
kanuragan, tiba-tiba menjadi orang yang tangguh.
Sedangkan di benak Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir tentang jenis ramuan
yang digunakan oleh Raja Dewa Angkara itu Banyak diketahuinya tentang jenis-
jenis racun dan ilmu ilmu pengobatan. Tapi untuk racun jenis ini.
rasanya belum pernah dipelajarinya. Atau mungkin ia lupa"
Rangga terus mencoba membuka ingatannya tentang
segala jenis racun dan ramuan ramuan yang didapatnya dari buku-buku warisan
Pendekar Rajawali Sakti (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis
Lembah Tengkorak)
Rangga menggeser duduknya mendekati wanita yang
masih tergolek lemas itu. Sawung Bulu menggeser duduknya memberi tempat Kembali
jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak membebaskan totokan pada
leher wanita itu.
"Nyawamu ada di tanganku. Aku bisa membunuhmu semudah aku membalikkan tangan,"
suara Rangga dibuat dingin
"Huh! Kau kira aku takut mendengar ancaman mu?"
wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati ini tersenyum mengejek
'Terserah kau ingin bilang apa. Yang jelas kau sendiri tidak kenal lagi siapa
dirimu yang sebenamya," suara Rangga terdengar tenang "Siapa namanya tadi?"
lanjut Rangga diarahkan pada Sawung Bulu
"Melati," sahut Sawung Bulu.
"Dengar, Melati. Jiwamu sedang dipengaruhi oleh kekuatan iblis! Aku ingin
membebaskanmu dari pengaruh itu. Berbuatlah wajar dan b'dak melakukan hal hal
yang dapat merugikan dirimu sendiri. Pengaruh ibhs itu tak akan lenyap tanpa kau
sendiri yang bersedia melepaskannya."
Melati hanya mencibir penuh ejekan
"Bantu aku, Sawung," kata Rangga.
Rangga mengangkat tubuh Melati dibantu Sawung
Bulu. Mereka mendudukkannya dekat api. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar
Rajawali Sakti membuka pakaian atas Melati.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" sentak Melati geram.
Seketika wajah Melati merah padam menahan malu
dan geram. Sawung Bulu sampai tak berkedip memandang bagian dada Melati yang
membulat indah dan terbuka lebar. Sangat jelas teriihat karena dia berada tepat
di depannya. Tangannya yang memegangi pundak Melati, jadi berkeringat gemetaran.
Beberapa kali Sawung Bulu menelan hidah membasahi teng gorokan yang mendadak
kering. Rangga tidak mempeduhkan makian Melati. Terus
dibukanya bagian belakang tubuh wanita itu, kemudian duduk bersila. Kedua
tangannya terbuka dan diletakkan di punggung yang putih mulus. Sedikit Rangga
bergetar begitu merasakan halusnya kulit punggung Melati. Secepatnya Pendekar
Rajawali Sakti itu menekan perasaannya yang mendadak bergejolak
Kelopak mata Rangga terpejam. Dikerahkan hawa
murni dalam tubuhnya, dan disalurkannya ke telapak tangan yang menempel erat di
punggung Melab "Lepaskan tanganmu, Sawung," kata Rangga sambil membuka matanya.
Sawung Bulu melepaskan tangannya dari pundak
Melati. Dia benngsut ke samping agak menjauh. Namun matanya tidak mau lepas
menatap bukit indah yang terbuka.
Ketika hawa mumi yang tersalur dalam telapak tangan Rangga menyentuh kulit
punggung Melati, tiba-tiba wanita itu mengejang kaku. Semakin lama tubuh Rangga
semakin kuat bergetar. Asap putih mengepul tipis dari punggung Melati. Dan saat
Rangga mendengus keras, Melati
berdahak "Hoek!"
Dari mututnya ke luar cairan kuning kehijauan yang kental. Dua kali Melati
berdahak, dua kali pula cairan itu meluncur dari mulutnya. Rangga masih
menyalurkan hawa murni ke tubuh wanita itu. Kini keringat telah menganak sungai
di wajah dan di tubuh Rangga.
"Aaa...!" tiba-tiba Melati menjerit keras.
Rangga menarik tangannya bersamaan dengan ter-
kulainya wanita itu ke pelukan Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menarik
napas panjang lalu ditutupinya lagi tubuh yang polos terbuka. Tangannya agak
bergetar ketika memakaikan baju Melati kembali.
Masih sedikit gemetar, jari-jari tangan Rangga menyeka darah yang merembes ke
luar dari sudut bibir Melati. Dia menggeser tubuhnya, dan dibiarkan wanita itu
tergolek di tangan lembab dalam goa. Melati tergolek dengan dada bergerak
teratur. Baju hitamnya sudah kembali rapih seperti semula membungkus tubuh yang
ramping indah. "Bagaimana?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat.
"Masih perlu waktu. Pengaruh iblis terlalu kuat ter-tanam pada aliran darahnya,"
jawab Rangga sambil me-mindahkan tubuh Melati kembali ke atas tumpukan daun-daun
kering. Rangga menghenyakkan tubuhnya kembali dan ber-
sandar di dinding goa. Matanya tetap memandang pada wanita yang kini tergolek
bagai tidur pulas. Kepala Rangga menggeleng-geleng dengan kening agak ber kerut
"Berbahaya sekali...," gumam Rangga pelan. "Apanya yang berbahaya?" tanya Sawung
Bulu sambil mendekat.
Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak bisa membantunya dengan menyalurkan hawa murni," sahut Rangga pelan
"Lalu...?"
"Satu-satunya jalan hanya Raja Dewa Angkara yang bisa memulihkan."
"Maksudmu, obat pemunahnya hanya pada Raja Dewa Angkara?"
"Ya, hanya dia yang tahu jenisnya. Hanya dia pula yang bisa menyembuhkannya. Aku
tidak tahu, apakah berbentuk pil atau cairan. Atau mungkin dan kekuatan bathin."
Sawung Bulu mendesah panjang. Dia sudah bisa
paham maksud kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Satu-satunya cara adalah melenyapkan Raja Dewa
Angkara. Susahnya, iblis itu mempengaruhi wanita-wanita yang diserahkan untuk
korban persembahan melalui kekuatan gaib dan kebathinan. Jika hanya ramuan saja,
masih bisa dicari jenis ramuan pemunahnya.
Sedangkan, sepertinya Pendekar Rajawali Sakti sendiri sudah mengetahul penyebab
gangguan jiwa pada wanita ini. Hanya saja dia tidak ingin menyebutkannya. Sawung
Bulu bisa menangkap rahasia yang tersembunyi dari cahaya mata Pendekar Rajawali
Sakti. *** 5 Rangga terbangun ketika mendengar suara langkah kaki mendekati mulut goa.
Bergegas dia melompat mendekati mulut goa. Tangannya menyingkapkan sedikit semak
belukar yang menutupi mulut goa kecil ini.
"Sawung Bulu. Huh, kukira siapa?" dengus Rangga.
Sawung Bulu menyibakkan semak lalu melangkah
masuk Dia kaget juga melihat Rangga berdiri di balik dinding mulut goa.
Dilemparkannya dua ekor kelinci ke dekat api unggun yang masih menyala kecil.
"Pagi-pagi sudah dapat kelinci," kata Rangga agak bergumam.
"Aku rasa cukup untuk makan kita bertiga," sahut Sawung Bulu terus melangkah.
Rangga menoleh pada Melati yang tampaknya sudah
bangun. Wanita itu masih tetap tergolek, hanya bagian leher ke atas saja yang
bisa digerakkan. Pengaruh totokan Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat, sehingga
tidak bisa lepas kalau tidak ditolong orang lain.
Di dekat api unggun, Sawung Bulu kini sibuk menguliti kelinci-kelinci buruannya,
dan memanggangnya di atas api Bau harum daging kelinci panggang mulai tercium,
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat perut minta segera diisi. Rangga melangkah mendekati Melati, lalu duduk
di samping wanita itu.
"Aku yakin perutmu pasti lapar," kata Rangga.
"Huh!" Melati hanya mendengus mencibir.
Rangga hanya tersenyum, laki bangkit mendekati
Sawung Bulu. Bau harum daging kelinci panggang membuat perutnya jadi tidak
sabaran. Rangga mencomot daging yang sudah matang. Sawung Bulu membawanya kepada
Melati. "Dari semalam perutmu belum diisi. Nih...," Sawung Bulu menyodorkan sepotong
daging yang sudah matang.
Tetapi Melati hanya mendelik saja. Mana mungkin bisa makan dalam keadaan
tertotok seperti itu" Perutnya memang lapar sekali, tapi pengaruh iblis yang
menguasai jiwanya lebih memilih lapar daripada menerima kebaikan Sawung Bulu.
Sawung Bulu menoleh pada Rangga yang tengah
menikmati makan paginya. Sinar matanya menyiratkan agar Rangga mau membebaskan
totokan pada tubuh
Melati. "Sudahlah, dia tidak akan mati jika hanya dua tiga hari tidak makan," kata
Rangga seperti mengetahui arti tatapan Sawung Bulu
Sawung Buhl mencuil sedikit daging kelinci, lalu disuapkannya ke mulut Melati.
Tetapi wanita itu malah membuang mukanya ke samping. Sinar matanya memancarkan
kebencian yang amat sangat. Sawung Bulu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
saja. Bahunya terangkat sedikit Kemudian dimakannya sendiri daging panggang itu
Sebenarnya Sawung Bulu merasa kasihan melihat
Melati tersiksa seperti itu. Tapi dia tidak berani melepaskan totokan di
tubuhnya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Melati sangat berbahaya bila
terlepas dari pengaruh totokan.
"Kau pasti kenal betul dengan Wratama," kata Rangga yang tiba-tiba ingat dengan
kejadian semalam di kedai makan sekaligus tempat penginapan itu.
"Wratama..." Tentu saja aku kenal. Ada apa dengannya?" tanya Sawung Bulu.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu kedudukannya di Desa Pasir Batang."
"Wratama orang kepercayaan Ki Brajananta.
Kedudukannya tidak beda dengan wakil kepala desa,"
Sawung Bulu menjelaskan
"Dia juga murid Padepokan Pasir Batang?"
"Bukan. Wratama pernah jadi punggawa kerajaan.
Entah kenapa dia keluar, lalu belajar ilmu kesaktian pada seorang pertapa di
Gunung Kidul. Dia datang ke Desa Pasir Batang sekitar sebelas tahun lalu."
"Ada keluarganya di sana?"
"Wratama masih keponakan Ki Brajananta. Ayahnya adik sepupu Ki Brajananta yang
dulu juga menjabat Kepala Desa Pasir Batang."
"Hm, kau tahu nama pertapa itu?" tanya Rangga.
"Kalau tidak salah namanya Eyang Parang Jati. Beliau sudah mangkat sehari
setelah Wratama meninggalkannya.
Khabarnya dia mangkat setelah menurunkan seluruh llmunya pada Wratama yang jadi
pewaris tunggal."
"Kau tahu, sampai di mana tingkat kepandaiannya?"
tanya Rangga lagi. Dia semakin tertarik untuk mengetahui latar belakang
kehidupan Wratama.
"Sayang sekali, aku belum perah melihat Wratama menggunakan ilmunya. Dia seperti
tidak memiliki satu kepandaian pun."
Rangga tercenung sejenak. Memang kelihatannya
Wratama hanya seperti orang biasa yang awam terhadap ilmu olah kanuragan atau
ilmu-ilmu kesaktian. Sikap dan pembawaannya tenang, dan tidak banyak bicara.
Wratama ibarat pemuda lemah yang biasa hidup bagai seorang pangeran manja
dikelilingi puluhan pengawaL Penampilan-nya pun rapih dan perlente.
Memang tidak ada yang bisa menduga kalau Wratama memiliki ilmu olah kanuragan
dan kesaktian. Setiap orang pasti menyangka dia seorang pemuda lemah. Rangga
sendiri semula menduga begitu Tapi semuanya pupus setelah dilihatnya langsung
Wratama tengah mengerahkan ilmu peringan tubuh. Yang menjadi pertanyaaan
sekarang, apa hubungannya Wratama dengan Raja Dewa Angkara"
"Aku akan ke luar sebentar," kata Rangga seraya bangkit berdiri. "Kau di sini
saja, ingat jangan coba-coba membebaskan dia dari totokanku."
Sawung Bulu hanya mengangguk Dia sudah percaya
penuh pada kemampuan Pendekar Rajawali Sakti ini Sedikit pun tidak ada lagi
keraguan di hatinya.
*** Rangga menyebnap dari balik tembok rumah ke
tembok rumah lainnya. Gerakannya cepat dan ringan tanpa suara sedikit pun.
Sebentar saja sudah terlihat berada di balik tembok rumah Wratama.
Matanya tajam mengawasi sekelilingnya. Keadaan
sekitar tampak sepi. Sementara matahari sudah tenggelam di belahan bumi bagian
barat. Bulan yang menggantikan-nya hanya mengintip sedikit di balik awan hitam.
Rangga melenting ke angkasa. Dua kali salto, kemudian meluruk menuju atap.
"Uts!"
Rangga kembali melenting ke udara ketika ujung kakinya akan menapak atap.
Seberkas sinar keperakan
meluncur deras menerjang atap. Saat Rangga masih berada di udara, kembah sinar
keperakan meluncur deras mengancam dirinya
Lima kilatan sinar keperakan meluncur deras beruntun Rangga berjumpalitan di
udara menghindari sinar-sinar keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya
berkelebat cepat menangkap satu sinar, lalu dengan cepat meluruk ke atas atap.
"Ruyung perak..," desis Rangga begitu mengetahui sebuah ruyung kecil berada di
genggamannya. Ternyata ruyung perak itu adalah senjata rahasia.
Rangga bersalto di udara menghindari sinar-sinar keperakan di sekitar tubuhnya.
Tangannya berkelebat cepat menangkap salah satu sinar.
"Ruyung perak!" desis Rangga begitu tahu sebuah ruyung kecil berada di
genggamannya dari perak murni.
Rangga mengedarkan penglihatan ke sekelilingnya.
Merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Sekilas dilihatnya sesosok tubuh
berpakaian warna gelap berkelebat di antara pepohonan.
Dengan cepat Rangga melompat meluruk ke arah
sosok tubuh yang berkelebat. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti meluruk,
tahu-tahu sudah ada di depan orang itu.
"Wratama!" sentak Rangga.
Orang berpakaian gelap itu memang benar Wratama.
Dia tampak terkejut ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
menghadang. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat, dan dua buah sinar keperakan
berkelebat meluncur ke arah Rangga
Tap! Tap! Rangga menggerakkan tangannya dengan cepat. Dua
sinar keperakan kembali meluncur berbalik ke arah si pemiliknya. Wratama
melompat menghindari senjatanya sendiri. Dua ruyung perak itu meluruk melewati
ujung bawah kakinya, dan menancap ke pohon di belakangnya.
Lemparan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan tenaga dalam maha dahsyat
membuat pohon yang tertancap ruyung terbelah dua Suara gemuruh terdengar dari
pohon yang terbelah bagai terbelah oleh kampak. Pohon pun tumbang Wratama yang
tidak menyangka akan se-hebat itu serangan balik Pendekar Rajawab Sakti, hanya
terkesiap saja.
"Hm, rupanya nama besar Pendekar Rajawali Sakti hanya nama kosong!" sinis suara
Wratama penuh nada ejekan.
"Kau pantas jadi orang panggung, Wratama. Hebat sekali permainan sandiwaramu,"
Rangga balas mengejek
"He he he...!" Wratama tertawa terbahak-bahak
"Tertawalah sepuasmu. Malam ini kedok busukmu tak akan berguna lagi kau
pamerkan!" terasa dingin suara Rangga.
"Hebat..! Ancamanmu sungguh hebat untuk menakut-nakuti bocah ingusan. Tidak
kusangka gelandangan hina rendah berani memakai nama pendekar besar. He he
he.... Kau pikir dengan memakai nama Pendekar Rajawali Sakti aku akan gentar" Seribu
Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini, aku tidak akan mundur satu langkah pun!"
"Sombong!" dengus Rangga muak
Sret! Tiba-tiba Wratama mengeluarkan sebatang tombak
kecil dari ballk bajunya. Sebatang tombak berwarna hitam pekat dengan ujung
runcing berwarna merah. Dari ujung tombak itu memancar sinar bagai api yang slap
berkobar-kobar membakar apa saja yang terkena.
Rangga menggeser kakinya ke belakang satu langkah.
Dalam Jarak sekitar tiga batang tombak saja sudah terasa pamor tombak itu. Pamor
itu memancarkan hawa panas menyengat kulit hingga menembus langsung ke tulang.
"Hh, melihat pamor senjataku saja kau sudah ngeri, pendekar edan!" dengus
Wratama mengejek
Rangga hanya tersenyum saja. Segera dikerahkan jurus pembukaan 'Cakar Rajawali'.
Seketika saja jari-jari tangannya mengembang keras dan kaku. Bersamaan dengan
itu, Rangga pun mengerahkan hawa murni yang disalurkan ke seluruh tubuhnya. Hawa
panas dari pamor tombak itu demikian hebat sehingga Rangga harus mengerahkan
hawa murni untuk mengimbanginya.
"Keluarkan senjatamu, pendekar edan!" sentak Wratama.
"Hm...," Rangga hanya tersenyum tipis.
"Baik! Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa senjata!"
"Tidak pantas kau bersikap ksatria. Keluarkan seluruh akal busukmu yang bcik!"
dengus Rangga. "Setan!" geram Wratama.
Dengan cepat Wratama melompat seraya mengeluar-
kan teriakan keras. Ujung tombak pendeknya berkelebat cepat sehingga yang
terlihat hanya kilatan cahaya merah saja. Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke
kiri ketika ujung tombak yang berwarna merah menusuk ke arah dadanya.
Sinar merah membara berkelebat di depan dada
Rangga. Hawa panas terasa menerpa. Rangga mengangkat tangan kanannya dan
menyentil ujung tombak itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Wratama menggunakan
tenaga sentilan Itu untuk memutar tombaknya. Cepat sekali gerakan tombak itu
berputar. Rangga sampai terkelap matanya, lalu dengan cepat dilentingkan
tubuhnya berputar ke belakang. Ujung tombak yang memancarkan sinar merah panas
itu berkelebat di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang berputaran ke
belakang. Menyadari lawannya tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali Sakti
jadi geram. Ujung jari tangannya menotok ujung tombak yang datang mengarah dada.
Ketika ujung tombak sedikit goyang, secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya
sejauh dua batang
tombak, lalu dengan manis mendarat kembali di tanah.
Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Rupanya Wratama mengetahui kelemahan jurus
Cakar Rajawali, sehingga tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Rangga untuk
membalas. "He... he... he...," Wratama terkekeh melihat lawannya seperti kebingungan.
Dalam beberapa gebrak saja, Wratama sudah dapat
melihat keunggulan dan kelemahan jurus 'Cakar Rajawali'.
Dilihatnya bagian dada Rangga selalu kosong. Maka dengan cepat dada itu
diincamya, sementara dibiarkan ujung tombaknya dijadikan sasaran jari-jari yang
kaku mengeras bagai baja. Tidak sedikit pun Wratama memberi kesempatan pada
Rangga untuk memainkan jari-jari tangannya yang sangat berbahaya
"Hanya jurus mainan bocah kau pamerkan padaku,"
ejek Wratama. "Hmmm...," Rangga bergumam.
Matanya tetap tajam menatap lawannya. Kedua
tangannya direntangkan ke samping. Dia telah siap dengan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Jurus andalan yang kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Cepat sekali kedua tangan Rangga bergerak mengibas, bagai sepasang sayap seekor
rajawali. Dan kini kaki Rangga tidak lagi menapak tanah.
"He... he... he..., permainan sihir yang buruk!" ejek Wratama.
Belum lagi Wratama selesai berkata, mendadak
Rangga telah menyerangnya dengan cepat. Wratama pun tidak kalah cepat. Digerak-
gerakkan tombaknya ke kanan dan ke kiri menangkis setiap sabetan tangan Rangga.
Beberapa kali tombak pendeknya membentur tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi sedikit pun tak berpengaruh apa-apa. Bahkan
beberapa kali Wratama berhasil membalas serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pendekar Rajawali Sakti merungkatkan serangannya.
Kali ini tubuhnya bagai terbang mencelat ke segala arah sambil mengibaskan kedua
tangannya mengincar bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Wratama masih
kelihatan tersenyum mengimbangi. Jurus Pendekar
Rajawali Sakti. Tampaknya dia dapat membaca dan
mengetahui ke mana arah serangan yang dilancarkan Rangga, sehingga serangan-se-
rangan itu dapat dlpatahkan di tengah Jalan
"Edan! Benar benar hebat dia!" dengus Rangga dalam hati. Menyadan kalau jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' tidak bisa diandalkan, Rangga segera mencelat
tinggi ke udara. Secepat kilat dirubahnya jurus menjadi Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Gerakan Rangga makin cepat, kaki kakinya lincah bergerak
meluruk mengincar kepala lawan.
Kali ini Wratama kelihatan mulai kerepotan. Beberapa kali harus jatuh bangun
menghindari terjangan kaki Rangga yang bagaikan geledek mengincar kepala.
Desiran angin tendangan begitu kuat, sehingga Wratama terpaksa mengerahkan
tenaga dalam untuk mengimbangi agar
tubuhnya tidak goyah.
Di sekitar tempat pertarungan itu bagai terjadi badai topan. Beberapa pohon
sudah bertumbangan terkena sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan daun-
daun berguguran hanya terkena desiran angin sambaran kaki pendekar muda itu.
Pendekar Rajawali Sakti bagai bertarung dari segala arah. Sebentar di bawah,
sebentar menyerang dari atas.
Hal ini membuat Wratama kebingungan menghadapi
serangan itu. Sampai saat ini Wratama belum mendapat-kan celah kosong kelemahan
jurus itu. "Mampus kau...!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Akh!" Wratama terkejut
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke udara, dan meluruk kembali
dengan kaki mengarah ke bawah. Kedua kakinya bergerak cepat sehingga yang
teriihat hanya bayangannya saja. Wratama sangat terkejut Cepat-cepat diangkat
senjata tombak pendek itu.
Wut! Wut! Wut! Wratama mengebutkan tombaknya berputar me-
lindungi kepala. Dugaannya, Rangga pasti mengincar kepala. Tapi temyata meleset.
Sulit dilihat dengan mata biasa, tiba tiba saja Rangga sudah berdiri di
depannya, dan bagai kilat kaki kanannya menghantam.
"Aaakh...!" Wratama menjerit tinggi. Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti telak
men darat di dada Wratama.
Tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'
disertai pengerahan tenaga dalam yang hebat membuat tubuh Wratama teriontar
deras ke belakang. Tubuh itu terus meluncur menghantam pohon besar hingga hancur
berkeping-keping Tidak berhenti sampai di situ, tubuh Wratama terus meluncur
menumbangkan pohon-pohon
lainnya. Tubuh Wratama baru berhenti setelah menghantam
sebuah baru besar yang menimbulkan suara gemuruh.
Belum lagi tubuh Wratama menyentuh bumi, tiba-tiba Rangga meluruk deras, dan....
"Aaa...!" kembali Wratama menjerit melengking. Tangan Rangga mengibas, bagaikan
sebilah pedang, membabat buntung tangan kiri Wratama. Darah muncrat deras dari
pangkal lengan yang buntung. Rangga segera merampas tombak dari tangan kanan
Wratama, lalu ditekannya dada Wratama dengan lututnya. Ujung tombak menempel
ketat di leher Wratama.
"Setan! Bunuh aku!" sentak Wratama berang. Dia tidak lagi peduli dengan rasa
nyeri pada pangkal lengannya yang buntung itu.
Rangga hanya tersenyum tipis. Tetapi dalam hati
Rangga mengakui kehebatan tenaga dalam Wratama.
Seharusnya tubuh tadi akan hancur berkeping-keping terkena tendangan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikeluarkan secara penuh oleh Rangga.
Rangga sendiri menduga demikian. Pada kenyataannya, Wratama masih hidup.
Wratama mencoba menggeliatkan tubuhnya, tapi hanya mampu meringis. Dadanya
terasa remuk dan nyeri.
Terlebih lutut Rangga semakin kuat menekan dadanya.
Ujung tombak mulai menggores kulit lehernya. Darah mulai merembes ke luar dari
leher Wratama. "Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Wratama tertawa terbahak-bahak
Pendekar Rajawali Sakti 6 Prahara Gadis Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga kaget bercampur heran melihat Wratama tertawa tergelak, padahal keadaan
jiwanya terancam maut
"Setan!" dengus Rangga begitu melihat bagian leher yang tergores membiru.
Cepat-cepat Rangga membuang tombak pendek hitam
yang ujungnya berwarna merah menyala. Dengan cepat ditotoknya beberapa bagian di
sekitar leher Wratama yang sudah membiru. Warna biru itu seketika berhenti
menjalar. "Percuma saja. Sebentar lagi aku akan mati! Totokan-mu tidak akan berpengaruh
apa apa pada racun tombak-ku." kata Wratama seraya terkekeh
"Kau memang akan mati, bangsat! Tapi kau harus diadili seluruh penduduk Desa
Pasir Batang dulu!" dengus Rangga.
"He he he..., aku akan mati, tapi kau akan menerima akibatnya dari Raja Dewa
Angkara!" "Huh! Rupanya kau hanya anjing iblis itu!" rungut Rangga.
"Sebentar lagi Desa Pasir Batang akan hancur! Tidak ada seorang pun yang bisa
menghalangi Raja Dewa
Angkara!" Rangga kian geram. Warna biru dari racun tombak
hitam itu terus menjalar ke seluruh tubuh Wratama.
Rangga segera berdiri dan membiarkan Wratama
mengoceh di akhir hidupnya
"Dengar, pendekar bodoh! Kehadiranmu di desa ini hanya sia sia saja. Raja Dewa
Angkara tak dapat dihalangi.
Mati pun aku akan tersenyum. Sudah lama aku menginginkan kehancuran desa ini!
Aku puas dapat membalas sakit hati ayahku. Aku puas..., ha ha ha...!" Wratama
terus mengoceh seperti orang gila.
"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.
"Dia raja dari segala raja dewa-dewa di Kahyangan. Dia yang menguasai seluruh
manusia di bumi ini!" makin tidak karuan ocehan Wratama.
Rangga akan bertanya lagi, tetapi Wratama telah
kejang-kejang Seluruh tubuhnya sudah berwarna biru.
Setelah memuntahkan darah kental kehitaman, Wratama diam tak bergerak Mati
Rangga mendesah berat
Ocehan-ocehan Wratama yang kelihatannya ngawur,
membuat Pendekar Rajawali Sakti bertanya-tanya. Sepuluh tahun Raja Dewa Angkara
merajalela mencengkeram desa-desa di sekitar lereng Gunung Balakambang. Tentu
ada maksud tertentu selain menyebarkan pengaruh iblis dengan menghancurkan desa-
desa satu persatu
Maksud yang tersehibung dari segala tindakan iblis Raja Dewa Angkara yang
diwujudkan lewat teror! Rangga bergumam beberapa kali. Dicemanya kembali semua
kata kata Wratama tadi. Kata-kata yang kedengarannya tidak beraturan tapi
mengandung arti yang dalam meski masih diliputi tanda tanya besar. Kesimpulan
Rangga, kejadian yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun ini berlatar
belakang dendam masa lalu.
"Hm..., Sawung Bulu pemah cerita kalau Wratama itu anak bekas kepala desa. Dan
dia juga perah jadi punggawa kerajaan. Sedangkan tadi dalam ocehannya, Wratama
sempat berkata kalau dia puas telah bisa membalas sakit hati ayahnya. Ada apa di
balik semua ini?" Rangga bertanya tanya dalam hati.
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak, lalu secepat kilat melompat
meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak
terlihat lagi ditelan kegelapan malam.
*** 6 Brak! Keras sekali Rawusangkan menggebrak meja yang terbuat dari kayu jati tebal
itu sehingga retak bagian tengahnya. Bagaspati dan Paralaya terdongak kaget.
Berita kematian Wratama yang dibawa Bagaspati membuat
merah padam muka Rawusangkan. Dua bola matanya
menyala nyala membelalak ke luar seperti akan copot Dua orang gadis cantik yang
sejak tadi duduk di
sampingnya, segera minggat. Rawusangkan tajam menatap Bagaspati dan Paralaya.
Kedua orang itu hanya tertunduk dengan gemetar memendam rasa takut Mereka bisa
memakluml kalau Rawusangkan begitu marah mendengar Wratama tewas, sebab dia
adalah adik satu-satunya.
"Bagaimana kejadiannya sampai adikku tewas?" tanya Rawusangkan.
"Rara Inten yang tahu, Kakang," kata Bagaspati.
Rawusangkan segera menatap seorang wanita cantik yang duduk di samping Paralaya.
Wanita yang dilihat Rangga berada dalam kamar penginapan bersama
Wratama itu malah tenang tenang saja. Bibirnya tersenyum merekah.
"Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya," kata Rara Inten dengan suara halus
lembut "Katakan, apa yang kau ketahui?" desak Rawu sangkan. Dia terkejut juga manakala
Rara lnten menyebutkan orang yang membunuh adiknya.
"Aku hanya melihat Kakang Wratama sudah tewas, sementara Pendekar Rajawali Sakti
berdiri di dekatnya.
Hanya itu saja yang aku tahu," jawab Rara lnten.
Rawusangkan berdiri berjalan mondar-mandir. Tampak sekali kalau sedang gelisah
karena Wratama bisa tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bukan itu saja.
Rahasia Raja Dewa Angkara bakal terbongkar! Malah tidak mustahil akan gagal
rencana yang dibangunnya selama sepuluh tahun ini.
Rawusangkan berhenti melangkah di depan jendela
yang terbuka lebar. Angin malam langsung menerpa tubuhnya. Matanya tajam
memandang lurus ke arah lereng Gunung Balakambang. Sepuluh tahun Rawusangkan me-
niupkan Raja Dewa Angkara sebagai suatu momok yang menakutkan bagj semua
penduduk desa-desa di sekitar lereng Gunung Balakambang.
"Malam ini juga kalian harus ke Desa Pasir Batang.
Hancurkan desa itu! Bunuh siapa saja yang berani melawan!" tegas suara
Rawusangkan yang memerintah tanpa membalikkan badannya.
"Tapi, Kakang. Bukankah bulan purnama masih dua hari lagi" Tidak mungkin Desa
Pashr Batang dihancurkan sebelum waktunya," Bagaspati mengingatkan.
Rawusangkan berbalfk, matanya .yang merah menyala memandang Bagaspati. Rahangnya
terkatup rapat dengan gigi bergemeletuk menahan geram.
"Ini perintahku! Perintah Raja Dewa Angkara pantang ditentang!" keras suara
Rawusangkan. Bagaspati bungkam, tidak berani membantah lagl
Membantah perintah Rawusangkan alias Raja Dewa
Angkara berarti maut Bagj Rawusangkan, mencabut nyawa tidak sesulit membalikkan
telapak tangan. Begitu mudah, tanpa menghiraukan nyawa siapa yang akan
dicabutnya. "Tunggu apa lagi" Laksanakan perintahku, cepat!"
bentak Rawusangkan.
Bagaspati menoleh pada Paralaya, lalu dua orang itu beranjak pergi. Rawusangkan
memandang Rara lnten yang masih duduk di tempatnya. Dihampirinya wanita cantik
yang masih menggairahkan ini.
"Kau pun harus segera berangkat, Rara lnten," kata Rawusangkan.
Rara lnten hanya tersenyum, lalu berdiri tapi tidak berlalu dari situ. Bibirnya
bak delima merekah, terus menyunggingkan senyum penuh menggoda. Rara lnten
memutari meja, dihampirinya Rawusangkan. Dengan
Hina Kelana 28 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Bonek Candi Sewu 2