Rahasia Kalung Keramat 1
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat Bagian 1
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
RAHASIA KALUNG KERAMAT Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Teguh S.
Serial Pendekar Rajawali Sakri
dalam episode: Rahasia Kalung Keramat
128 hal. ; 12 x 18 cm
Juru Edit: lovelypeace
1 Glarrr...! Tiba-tiba saja sebongkah batu
sebesar kerbau hancur berantakan!
Suaranya yang keras bergemuruh dan menggema ke segala arah, membuat suasana pagi
yang sunyi dan tenang itu menjadi ribut. Tampak debu-debu di sekitarnya segera
mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa.
Sementara keping-keping batu yang berloncatan ke sana kemari, langsung mengusir
burung-burung yang sedang berkicau menyambut pagi.
Beberapa saat kemudian, begitu
kabut debu itu mulai menipis,
tampaklah seorang pemuda tampan yang berdiri tegak sambil memandang
reruntuhan batu cadas tadi. Pemuda yang mengenakan baju warna hitam dan ketat
itu segera tersenyum lebar penuh kepuasan. Dia begitu bangga, karena apa yang
telah diajarkan oleh gurunya selama ini, telah mendapatkan hasil yang cemerlang.
Sejenak ia masih tertegun memandangi reruntuhan batu itu sambil menata kembali
rambutnya yang digelung di atas kepalanya.
Tampak keringatnya bercucuran
membasahi kulitnya yang putih bersih bagaikan kulit wanita.
"Bagus..!" puji suara kecil
kering terdengar. Pemuda tampan itu segera menoleh dan berlutut di hadapan
seorang kakek berbaju putih yang berdiri di dekatnya. Laki-laki yang berambut
putih itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan senyum yang
hampir tertutup kumis dan
jenggot. "Mohon petunjuk bila ada
kekurangan, Eyang Resi Wanapati," kata pemuda itu sopan, sikapnya masih tetap
berlutut. "Berdirilah Angger Danupaksi,"
kata Eyang Resi Wanapati sambil
memegang pundak pemuda itu.
Pemuda yang bernama Danupaksi itu segera bangkit. Tubuhnya masih tetap
membungkuk dengan tangan bersilang di atas lututnya.
"Semua ilmu yang ada padaku telah kau kuasai semua dengan baik, Angger
Danupaksi," kata Eyang Resi Wanapati.
"Tadi aku lihat kau telah
mempergunakan aji 'Pukulan Karang Baja'. Sungguh dahsyat, hampir
menyamai dengan apa yang aku miliki."
"Maaf, Eyang Resi. Tadi aku hanya ingin mempraktekkan saja," kata Danupaksi
merendah. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Angger. Aku sangat senang kau sudah bisa
menguasai aji 'Pukulan Karang Baja' dengan sempuma sekali. Perlu kau ketahui,
bahwa tidak sembarang orang
bias menguasai ajian tersebut. Aku sangat bangga padamu, Angger
Danupaksi."
"Terima kasih, Eyang Resi."
*** Resi Wanapati tampak sedang duduk bersila dialas rerumputan tebal di bawah pohon
rindang. Di bibirnya tersungging senyuman khasnya yang selalu membawa kedamaian
bagi siapa saja yang melihatnya. Sementara di depannya tampak Danupaksi duduk
dengan kepala tertunduk. Lama mereka masih saling terdiam. Di hati Resi Wanapati
masih ada keraguan untuk mengatakan sesuatu hal yang ia rahasiakan selama ini.
Sementara di benak Danupaksi diliputi pertanyaan, ada apa gerangan Eyang Resi
memanggilnya dengan begitu resmi, hingga mereka harus berhadap-hadapan seperti
sekarang ini. "Ada sesuatu hal yang ingin aku katakan padamu, Angger," kata Resi Wanapati
menguatkan hatinya.
"Apakah ada hubungannya dengan diriku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar," Resi Wanapati mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Katakanlah, Eyang Resi."
"Sebenarnya aku berat untuk
mengatakannya, Angger Danupaksi. Tapi aku sudah berjanji, bahwa aku akan membuka
semuanya setelah kau berhasil menguasai seluruh ilmu yang aku
miliki. Dan aku merasa, sekarang telah tiba saatnya yang tepat," kata Resi
Wanapati pelan.
Danupaksi segera mengangguk-
anggukkan kepalanya dan menunggu dengan sabar kelanjutannya. Dia sama sekali
tidak tahu, kalau selama ini Eyang Resi menyimpan rahasia tentang dirinya.
"Dua puluh tahun yang lalu, aku telah menolong seorang laki-laki yang berseragam
seorang punggawa kadipaten.
Laki-laki itu dalam keadaan terluka parah, dan dia kemudian berpesan agar aku
harus menyelamatkan seorang bayi laki-laki di istana Kadipaten Karang Setra.
Tapi sesudah dia menyebutkan nama bayi laki-laki itu, dia langsung me-ninggal,"
lanjut Eyang Resi Wanapati sendu. Tampak di wajahnya bahwa ia masih menyimpan
sesuatu rahasia yang sulit untuk
diungkapkannya pada Danupaksi.
"Bayi laki-laki itu adalah aku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar, Angger. Bayi itu adalah kau...," Resi Wanapati mengamati Danupaksi yang
kini telah menjadi seorang pendekar muda dan tampan.
Danupaksi menggeleng-gelengkan
kepalanya seolah-olah ia tidak percaya dengan pendengarannya.
"Lalu punggawa itu siapa
namanya?" tanya Danupaksi ingin mengetahui semuanya.
"Sayang sekali, dia tidak sempat menyebutkan namanya," jawab Resi Wanapati
menyesalkan. Danupaksi segera merenung. Dia
memang tidak tahu, siapa dirinya sebenarnya, juga siapa dan di mana orang
tuanya. Selama ini dia hanya hidup bersama seorang laki-laki tua yang bernama
Eyang Resi Wanapati. Dan dia telah menganggap bahwa laki-Iaki tua itu adalah
orang tuanya sendiri.
Meskipun kadang-kadang selalu timbul hasrat untuk menanyakan pada Resi Wanapati,
namun selalu diurungkan. Dia tidak ingin melukai hati orang tua yang telah
mengasuhnya sejak bayi dan juga telah mendidiknya sehingga ia kini memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi.
Tapi kini semua telah dibuka
sendiri oleh Eyang Resi Wanapati. Dan kata-kata gurunya itu dicerna kembali
dalam benak Danupaksi. Dia kemudian mencoba untuk memahami, siapa dirinya
sebenarnya" Kalau dia masih mempunyai keluarga, dia harus mengetahui, siapa dan
di mana keluarganya berada kini"
"Satu-satunya tanda yang ada padamu, hanya ini," kata Resi Wanapati
sambil menunjukkan seuntai kalung yang berbentuk segitiga dengan beberapa
lingkaran di tengah-tengahnya.
Danupaksi segera menerima kalung itu. Sebuah kalung dari emas murni.
Sejenak kedua matanya sedikit
menyipit, begitu melihat ada tulisan di bagian belakang kalung itu.
"Aku mendapatkan kalung itu dari punggawa yang tidak sempat kuketahui namanya
itu, Angger Danupaksi. Sebelum ia meninggal dunia ia berpesan bahwa aku harus
memberikan kalung itu
kepadamu. Setelah melihat kalung itu, aku yakin, kalau kau adalah salah seorang
putra Adipati Karang Setra, yang kini kadipaten itu telah menjadi sebuah
kerajaan," sambung Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa Raja Karang Setra
sekarang?" tanya Danupaksi sambil melingkarkan kalung itu di lehernya.
"Dari kabar yang aku dapat, rajanya bernama Gusti Prabu Rangga Pati Permadi.
Beliau juga pernah hilang selama dua puluh tahun," sahut Resi Wanapati lagi.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Danupaksi keheranan.
"Dua puluh tahun yang lalu, Adipati Karang Setra yang bernama Gusti Adipati Arya
Permadi pergi untuk mengunjungi mertuanya bersama keluarga dan beberapa punggawa
serta dikawal satu pasukan prajurit.
Di tengah perjalanan, tepatnya di Danau Cubung dekat Lembah Bangkai, rombongan itu
mendapat musibah. Semuanya tewas, kecuali Gusti Prabu Rangga Pati
Permadi dan seorang punggawa. Aku yakin, punggawa yang menjadi tanda tanya itu,
adalah yang dulu telah kutemukan dalam keadaan teriuka parah, Angger Danupaksi,"
panjang lebar Resi Wanapati menceritakan.
"Tapi kenapa kalung ini diberikan padaku melalui punggawa itu, Eyang?"
tanya Danupaksi penasaran.
"Itulah yang aku tidak mengerti.
Setahuku, Gusti Arya Permadi hanya memiliki seorang putra yang berusia lima
tahun yang kini menjadi Raja Kerajaan Karang Setra. yaitu Gusti Prabu Rangga
Pati Permadi."
"Jadi, siapa aku sebenarnya?"
"Itu yang harus kau ketahui, Ngger."
"Setelah dua puluh tahun..."
Mustahil, Eyang!" suara Danupaksi agak keras.
"Tidak ada sesuatu yang mustahil.
Semua yang terjadi di mayapada ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Dan apa yang
akan terjadi, juga sudah menjadi kehendakNya pula. Itulah yang dinamakan takdir,
'Ngger. Manusia tidak bisa menolak, apa yang sudah digariskanNya."
Danupaksi hanya diam merenung.
Dia sudah bisa menebak, ke arah mana pembicaraan itu dimaksudkan. Berat rasanya
jika dia harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah
ditinggali selama dua puluh tahun lamanya. Dan yang paling utama sekali, dia
tidak akan tega meninggalkan Eyang Resi Wanapati seorang diri.
"Besok pagi kau harus berangkat,
'Ngger," kata Eyang Resi Wanapati lagi.
"Eyang...," mata Danupaksi membelalak penuh tanda tanya.
"Jangan membantah!" sergah Resi Wanapati berwibawa.
"Baiklah," desah Danupaksi mengangguk berat.
"Nah, sekarang istirahatlah dulu.
Aku akan menyuruh Pangkeng untuk segera menyiapkan segala keperluan
perjalananmu. Dia juga akan kusuruh untuk menyertaimu," kata Eyang Wanapati.
"Aku tidak tahu, apa yang harus aku katakan, Eyang," Danupaksi matanya memerah
berkaca-kaca. "Aku akan sangat senang kalau kau berhasil menemukan keluargamu lagi.
Hanya itu yang aku harapkan sebagai balas jasamu," Eyang Resi Wanapati memberi
semangat. "Eyang...."
*** Pagi-pagi sekali, Di saat
matahari belum menampakkan dirinya, tampak dua ekor kuda berjalan pelan menembus
kabut tebal dan menuruni tebing Gunung Puting. Penunggang kuda itu tak lain
adalah Danupaksi dan Pangkeng, seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala
gundul licin dan mengenakan baju rompi dari bahan bujal kasar.
Danupaksi kelihatan makin gagah dengan mengenakan baju putih putih ketat, dengan
ikat kepala yang berwarna putih juga dan bersenjata pedang yang bergagang gading di
punggung. Sedangkan kuda yang
ditungganginya adalah juga seekor kuda putih yang tinggi dan gagah.
"Pangkeng...," panggil Danupaksi.
"Ya, Den," sahut Pangkeng sambil mendekatkan kudanya ke samping kuda Danupaksi.
"Apakah nama desa yang ada di depan itu?" tanya Danupaksi.
"O..., itu namanya Desa Salapan, Den. Aku sudah sering ke desa itu kalau disuruh
membeli bahan makanan atau keperluan lain oleh Eyang Resi Wanapati," sahut
Pangkeng menjelaskan.
"Apa masih ada desa lain di sekitar Gunung Puting ini?"
"Ada, Den. Tapi jauh, harus
memutar ke arah Selatan dulu. Itu pun masih
harus melewati sungai dan melintasi padang rumput yang luas."
"Tampaknya kau hapal sekali daerah ini, Pangkeng," puji Danupakasi.
"Iya, Den. Soalnya sering disuruh sih. Lha, Den sendiri kenapa justru tidak
tahu?" "Aku tidak pernah ke luar dari padepokan, Pangkeng. Baru kali ini aku pergi."
"O..., terus tujuan kita sekarang ini ke mana. Den?"
"Kerajaan Karang Setra "
"Wah!" Pangkeng agak terkejut juga
"Kenapa, Pangkeng?"
"Kerajaan Karang Setra cukup jauh dari sini, Den. Itu kan kerajaan yang baru
berdiri, sebelumnya hanya sebuah kadipaten kecil," Pangkeng
menjelaskan. "Rupanya kau tahu betul, ya,"
puji Danupaksi untuk kesekian kalinya.
"Yaaah..., soalnya dulu kan aku pernah tinggal di sana. Walaupun tidak lama,
kira-kira tiga bulanlah,"
Pangkeng cengar-cengir.
"Hm...," Danupaksi mengangguk-angguk
"Dan waktu itu masih berbentuk kadipaten. Dan Adipati yang memerintah di sana
waktu itu sangat kejam!"
Pangkeng agak sendu mengingat masa lalunya.
"Kejam...?" tanya Danupaksi langsung menoleh ke arah Pangkeng.
"Pokoknya tidak bisa dibilang, Den. Tapi setelah berubah jadi
kerajaan, barulah yang memerintah diganti seorang raja yang sangat adil dan
selalu dekat dengan rakyat. Raja itu seorang pendekar yang berilmu tinggi,
hingga kini tidak ada yang bisa menandingi kesaktiannya."
"Apakah kau pernah bertemu dengan raja itu?" tanya Danupaksi penasaran.
"Belum, Den. Tapi menurut cerita orang-orang, Gusti Prabu Rangga sangat dicintai
rakyatnya, meskipun beliau sering bepergian mengembara.
Maklum sifat-sifat pendekar
memang begitu. Tidak betah terus-terusan di istana," ujar Pangkeng sok tahu.
Tampak Danupaksi tersenyum saja
mendengar ucapan Pangkeng itu. Memang tidak ada ruginya pergi bersama
Pangkeng. Selain punya ilmu yang cukup tinggi, dia juga mempunyai pengetahuan
yang cukup luas. Dan Danupaksi bisa bertanya apa saja yang belum
diketahuinya, terutama tentang
Kerajaan Karang Setra yang kini
menjadi tujuannya.
Danupaksi sendiri sebenarnya
masih ragu dengan tujuannya itu. Dia
belum yakin benar, kalau masih
mempunyai keluarga di Kerajaan Karang Setra itu. Tapi dia juga harus
mengetahui tentang kalung segitiga yang menjadi identitas keluarga
Adipati Karang Setra.
"Kita istirahat sebentar di desa itu, Pangkeng," ajak Danupaksi begitu mereka
memasuki perbatasan desa.
"lya, Den. Perut saya juga sudah minta diisi, nih!" sambut Pangkeng gembira.
Kembali Danupaksi tersenyum
mendengar keluhan temannya yang konyol ini.
*** Kedai yang dipilih Danupaksi
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah sebuah kedai yang tidak terlalu besar,
tapi kelihatan bersih
dan nyaman. Kedai itu nampak sepi dari pengunjung, di dalamnya hanya ada empat tamu
selain mereka. Itu pun kelihatannya mereka juga pendatang yang kebetulan singgah
di desa itu. Kalau dilihat dari pakaian serta senjata yang tersandang, mereka adalah orang-
orang rimba persilatan.
Tampak mereka sedang begitu asyik menikmati hidangan yang tersedia di
hadapannya. Beberapa saat kemudian, tampak satu orang pergi setelah
selesai makan, lalu disusul dengan
yang satu lagi. Dan yang terakhir, dua orang yang masih tertinggal segera
menyusul bersama.
"Siapa mereka, ya..., tampaknya kok misterius sekali?" gumam Danupaksi seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Mereka orang-orang rimba
persilatan, Den," celetuk laki-laki tua pemilik kedai sambil membereskan meja
bekas orang-orang itu tadi makan.
Danupaksi segera menoleh ke arah suara yang menyahutinya tadi. Sedang Ki
Sarumpit, pemilik kedai itu, segera menghampiri tamunya yang tampak
penasaran. Kemudian ia duduk di
samping Pangkeng.
"Kenapa mereka pergi satu-satu, padahal arah tujuannya sama. Apakah ada sesuatu
yang sedang terjadi di Utara sana?" tanya Danupaksi terlanjur.
"Memang mereka mau ke Utara, Den.
Di sana ada sayembara yang diadakan oleh Padepokan Baja Hitam," sahut Ki
Sarumpit menjelaskan.
"Sayembara...?" Danupaksi mengerutkan kening.
"Memangnya Aden ini tidak tahu?"
heran juga pemilik kedai itu, melihat tamunya yang bertampang seorang
pendekar tapi tidak tahu tentang sayembara itu.
Sedangkan Danupaksi hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketua Padepokan Baja Hitam mengadakan sayembara besar. Siapa saja boleh ikut,
asal mempunyai ilmu olah kanuragan. Tampaknya sayembara itu akan ramai, karena
hadiahnya bikin penasaran orang-orang berilmu tinggi dari rimba persilatan,"
jelas Ki Sarumpit.
"Hadiahnya apa, Ki?" celetuk Pangkeng yang sejak tadi hanya
mendengarkan saja pembicaraan itu.
"Kalau yang memenangkan sayembara itu seorang laki-laki, maka hadiahnya adalah
putri ketua Padepokan Baja Hitam, tapi kalau perempuan yang memenangkan, akan
memperoleh hadiah besar di samping diangkat sebagai anak oleh Resi Balung
Gading, ketua padepokan itu. Dan juga masih banyak hadiah-hadiah lain yang.... Pokoknya
menarik untuk diikuti!" lanjut Ki Sarumpit.
"Siapa nama putri ketua padepokan itu, Ki?" tanya Pangkeng lagi seolah-olah
dialah yang akan memboyong putri itu.
"Dewi Cempaka! Orangnya cantik bagai bidadari, juga ilmu olah
kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya. Konon, Dewi Cempaka
menginginkan seorang calon suami yang ilmunya lebih tinggi dari dirinya. Dia tak
peduli, apakah orang itu miskin atau kaya, jelek atau
tampan, pokoknya harus bisa
mengalahkannya, itu syarat utamanya!"
"Syarat lainnya lagi?" desak Pangkeng tambah sok jago.
Tampak Danupaksi yang duduk di
samping kanannya, kembali tersenyum melihat tingkah Pangkeng itu.
"Juga harus mengalahkan ayahnya, Ketua Padepokan Baja Hitam," Ki Sarumpit agak
kesal juga menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi dari Pangkeng itu.
"Edan!" dengus Pangkeng. "Mana ada yang mampu menandingi Resi Balung Gading
selain dari Eyang Resi
Wanapati" Itu pun paling-paling juga seimbang."
"Benar, Den. Semua orang juga bilang begitu. Tapi anehnya, ada saja yang datang
untuk mengadu nasib, walaupun sudah banyak peserta yang gagal!"
"Gimana, Den...?" Pangkeng
mencolek pinggang Danupaksi.
"Malas, ah!" desah Danupaksi.
"Wah..., Den Paksi ini gimana sih" Itu kan kesempatan baik buat men...."
Danupaksi segera menginjak kaki
Pangkeng, sehingga laki-laki gemuk dan botak itu meringis dan tidak jadi
melanjutkan kalimatnya. Sementara itu Ki Sarumpit segera bangkit dan
melangkah masuk ke belakang.
"Kalau ngomong dijaga tuh mulut!"
gerutu Danupaksi.
"Maaf, Den. Hampir saja...,"
Pangkeng cengar-cengir.
"Ayo, kita jalan lagi!" ajak Danupaksi tanpa mempedulikan Pangkeng yang masih
saja cengar-cengir.
Pangkeng segera memanggil pemilik kedai dan membayar semua yang mereka makan.
Beberapa saat kemudian mereka segera menggebah kudanya dan pergi meninggalkan
kedai itu. *** "Sebaiknya kita ke Padepokan Baja Hitam dulu, Den," usul Pangkeng ragu-ragu.
"Mau apa kita ke sana?" Danupaksi malah ogah-ogahan.
"Siapa tahu nasib kita mujur, Den. Kalau Den Paksi tidak mau sama putrinya, buat
aku saja. Pasti tidak akan kutolak," tambah Pangkeng sambil tertawa kecil.
"Gundulmu!" umpat Danupaksi sambil tertawa
"He he he..., jadi mau ke sana, Den?"
Danupaksi tidak menjawab. Tapi
tanpa disadarinya, dia mengarahkan kudanya menuju ke Utara.
Pangkeng yang tahu hal itu hanya senyum-senyum saja, bahkan dia
bersiul-siul dengan irama tak
beraturan. Sedangkan Danupaksi baru menyadari kalau dia menuju ke Utara setelah
sampai di perbatasan desa bagian Utara. Danupaksi segera
menghentikan langkah kudanya. Tampak di hadap-an mereka terhampar sebuah padang
rumput yang luas dan
dikelilingi oleh pohon cempaka yang tumbuh rapat. Sedangkan di tengah-tengah
padang rumput itu, tampak berdiri beberapa bangunan yang
dikelilingi oleh pagar kayu yang tinggi dan runcing-runcing ujungnya.
Pandangan Danupaksi segera beralih ke sebuah bendera yang terpancang dan
berkibar di atap rumah yang paling besar. Bendera itu berwarna kuning gading
dengan gambar lingkaran rantai yang berwarna hitam dan di tengah-tengahnya
terdapat gambar dua pedang bersilang.
"Itu dia Padepokan Baja Hitam, Den!" seru Pangkeng memberitahu tanpa diminta.
"Bagaimana kau tahu?" Danupaksi keheranan.
"Ketua Padepokan Baja Hitam dan Eyang Resi Wanapati bersahabat karib.
Tapi mereka saling merahasiakan murid-muridnya."
"Kenapa?" Danupaksi makin keheranan.
"Aku tidak tahu, Den. Mungkin
perjanjiannya memang sudah begitu."
"Pantas saja aku tidak pernah tahu, kalau di lereng Gunung Puting ini masih ada
padepokan lain selain milik Eyang Resi," gumam Danupaksi sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Bukan Den Paksi saja, semua murid Eyang Resi Wanapati juga tidak ada yang
tahu," sahut Pangkeng.
"Aneh...," desah Danupaksi.
"Tidak aneh, Den. Orang-orang rimba persilatan memang kadang-kadang berbuat
sesuatu yang sulit
dimengerti."
"Hm...," Danupaksi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
pelahan. "Jadi kita ke sana, Den?"
Pangkeng mulai memancing lagi.
"Baiklah, tapi kau jangan
mengatakan kalau kita murid Eyang Resi Wanapati!" Danupaksi mengajukan syarat.
"Walaupun kita tidak bilang, mereka juga pasti akan tahu, Den.
Apalagi Ki Balung Gading, pasti dia segera mengenali jurus-jurus Aden nanti."
"Kalau mereka tahu sendiri sih, tidak apa-apa. Asal kau jangan ngomong dulu!"
"Beres, Den. Tapi kalau menang, hadiahnya bagi-bagi, ya?"
"Hadiah yang mana?"
"Tentu saja bukan hadiah
utamanya, he..."
"Kunyuk!"
*** 2 Di depan pintu gerbang Padepokan Baja Hitam, dua orang yang bersenjata tombak
panjang langsung menghadang Danupaksi dan Pangkeng. Tidak lama kemudian, setelah
pintu gerbang terbuka, muncullah seorang pemuda berkulit sawo matang yang
bersenjatakan pedang panjang di
pinggangnya. Pemuda itu berdiri di ambang pintu gerbang dan dikawal oleh dua
orang yang menggenggam tombak runcing di ujungnya.
"Ada keperluan apa Kisanak datang ke Padepokan Baja Hitam?" tanya pemuda itu
sopan. "Ah, ah..., kami mendengar bahwa padepokan ini mengadakan sayembara.
Apa betul?" Pangkeng yang menyahut lebih dulu.
"Benar," pemuda itu menjawab dengan singkat dan tegas.
"Junjunganku ini ingin mencoba mengikuti sayembara itu," kata Pangkeng lagi
sambil melirik Danupaksi yang berada di sampingnya.
Pemuda itu segera mengamati
Danupaksi sebentar, lalu menjentikkan dua ujung jarinya. Seketika itu juga, dua
orang bersenjata tombak yang menghadang tadi langsung menerjang sambil
mengibaskan tombaknya ke arah Danupaksi. Mendapat serangan yang begitu mendadak,
Danupaksi buru-buru menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanannya. Kemudian
tangannya berkelebat cepat menyambar salah satu tombak yang mengarah ke tubuhnya.
"Tahan...!" bentak Danupaksi ketika pemuda itu menjentikkan jarinya lagi, dan
dua orang pengawalnya
melompat maju. Mendengar bentakan itu, dua orang yang sudah melompat maju langsung mengurungkan
niatnya untuk menyerang Danupaksi kembali.
"Kenapa kalian menyerangku?"
tanya Danupaksi keras.
"Jangan hiraukan omongan dia, ayo serang!" sergah pemuda itu.
Danupaksi teipaksa harus melayani empat orang yang langsung menerjangnya dengan
tombak, walaupun masih berada di atas kudanya. Tapi empat orang yang
menyerangnya itu bukanlah lawannya, hingga hanya dalam beberapa saat saja,
keempat orang itu dibikin tak
berkutik, bahkan tombak-tombak mereka pun dibikin patah-patah jadi tiga bagian.
"Bagus!" seru pemuda itu. "Namaku
Parahan. Kau sudah lulus dari ujianku.
Silakan masuk."
Pemuda yang mengaku bernama
Parahan itu segera menggeser tubuhnya ke samping untuk memberi jalan.
"Mari, aku antarkan Tuan menemui Resi Balung Gading," sambut Parahan
mempersilakan. "Terima kasih," ucap Danupaksi seraya melangkah memasuki pintu
gerbang. Danupaksi segera mengedarkan
pandangannya begitu berada di dalam lingkungan Padepokan Baja Hitam.
Tampak suasananya sepi dan lengang, tidak seperti sedang diadakan suatu
sayembara besar. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang duduk-duduk menikmati
semilirnya angin di bawah pohon rindang.
Parahan membawa tamunya ke salah satu rumah yang cukup besar dan kokoh.
Rumah itu terdiri dari kayu yang dihiasi dengan ukir-ukiran yang halus dan
indah. Setelah mencapai depan pintu, Parahan mempersilakan tamunya untuk
menunggu sebentar. Kemudian dia langsung masuk ke dalam untuk melapor.
Tak berapa lama dia sudah kembali lagi dengan didampingi seorang laki-laki tua,
namun masih kelihatan gagah.
Danupaksi langsung menjura
diikuti oleh Pangkeng. Sementara laki-laki tua yang mengenakan baju kuning
gading berhiaskan sulaman gambar rantai hitam dan dua pedang bersilang itu,
segera membalas penghormatan Danupaksi dan Pangkeng.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya laki-laki tua yang bernama Balung Gading itu.
Suaranya lembut namun terdengar penuh wibawa.
"Danupaksi, Resi. Dan ini
temanku, Pangkeng," Danupaksi memperkenaikan din.
"Ah, saya cuma pembantunya, Resi," celetuk Pangkeng cengar-cengir.
"Lalu, apa maksud kalian datang ke sini?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Kami mendengar bahwa padepokan ini mengadakan sayembara, dan temanku ini
menyarankan agar
aku ikut mencobanya," sahut Danupaksi tersipu malu.
"Kau tahu apa syaratnya?" tanya Resi Balung Gading sambil
mengernyitkan keningnya.
Danupaksi hanya mengangguk saja.
"Dengar, Anak Muda. Aku tidak bermaksud meremehkan siapa saja untuk mencoba
sayembara ini. Hanya perlu kau ketahui, sudah puluhan pendekar yang mencoba,
tapi semuanya gagal. Bahkan baru saja ada empat orang yang mengadu nasib, tapi
semuanya tidak ada yang berhasil," Resi Balung Gading memberikan keterangan.
Danupaksi tidak segera menjawab.
Dia lalu menoleh ke arah Pangkeng seolah ingin minta pertimbangan teman
seperjalanannya itu.
"Parahan, tunjukkan tempat
peristirahatan tamu kita ini,"
perintah Resi Balung Gading kepada Parahan yang sejak tadi berdiri di
sampingnya. "Baik, Resi," sahut Parahan menjura hormat.
"Anak muda, aku menunggu
jawabanmu setelah kau cukup
beristirahat," kata Resi Balung Gading seraya berbalik dan melangkah masuk
kembali. "Mari," ajak Parahan ramah.
Danupaksi dan Pangkeng segera
mengikuti ke mana Parahan akan
membawanya. Tak berapa lama kemudian, Parahan membuka pintu salah satu ruangan
dan mempersilakan tamunya untuk beristirahat.
"Terima kasih," ucap Danupaksi seraya masuk ke dalam ruangan itu.
Parahan hanya mengangguk dan
berlalu. Danupaksi dan Pangkeng langsung saja merebahkan dirinya di dipan.
"Sebaiknya kita urungkan saja niat kita ini, Pangkeng," kata Danupaksi setengah
bergumam. "Sudah tanggung, Den," sahut Pangkeng santai.
"Bukan masalah tanggungnya!"
rungut Danu paksi.
"Lantas, apa" Syaratnya terlalu berat?"
"Bukan itu."
"Den...."
"Dengar, Pangkeng. Aku baru saja turun gunung, dan aku belum pernah sekali pun
bertarung secara sungguh-sungguh. Aku sama sekali tidak tahu, ilmu apa yang akan
mereka gunakan nanti Di samping itu, aku tidak ingin mereka tahu, darimana kita
berasal!" "Jangan pikirkan itu, Den. Nanti Aden juga bisa tahu sendiri, jurus mana yang
akan mereka gunakan. Nah, kalau masalah Resi Balung Gading nanti akan tahu asal
kita, itu sih persoalan kecil," Pangkeng menenangkan.
Kau selalu menganggap enteng
persoalan, Pangkeng," Danupaksi belum yakin.
"Den, ini kan kesempatan untuk mengukur kemampuan ilmu yang Aden peroleh selama
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Yah..., itung-itung buat pengalaman
pertamalah,"
enteng sekali Pangkeng berkata.
'Terserah kaulah," desah
Danupaksi menyerah.
"Memang seharusnya begitu, Den,"
sambut Pangkeng tersenyum cerah, merasa bujukannya berhasil.
"Kapan kita akan menemui Resi Balung Gading kembali?" tanya
Danupaksi. "Sekarang sudah sore, Den.
Sebaiknya besok pagi saja," sahut Pangkeng.
Beberapa saat kemudian, tampak
kedua pemuda itu sudah memejamkan matanya. Hanya saja kalau Danupaksi tidak
tidur, tapi dia hanya
beristirahat dengan cara bersemadi.
Jadi kesadarannya masih penuh total.
Danupaksi tidak menyangka sama
sekali, kalau yang mengikuti sayembara untuk hari ini bukan dia sendiri.
Tampak masih ada empat orang laki-laki dan dua orang perempuan lagi. Dan yang
menarik perhatiannya adalah seorang peserta yang mengenakan baju rompi dan
bersenjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung rajawali di
punggungnya. Pemuda tampan yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu
kelihatan tidak menonjol, bahkan terkesan pendiam.
"Tuan-tuan dan Nona-nona
sekalian, kami persilakan siapa yang ingin tampil lebih dulu!" kata Resi Balung
Gading mempersilakan. Ketua Padepokan Baja Hitam itu duduk di kursi dengan
didampingi seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian
pendekar. Gadis itu tak lain adalah Dewi
Cempaka. Dia benar-benar tampil
bagaikan seorang bidadari yang turun
dari kahyangan. Semua mata para
peserta, tak terkecuali Danupaksi sendiri, sampai tak berkedip memandang
penampilan gadis cantik jelita itu.
Apa lagi Pangkeng yang berdiri di deretan para penonton.
"Aku yang tampil lebih dulu!"
seru seorang laki-laki yang kelihatan agak tua.
"Siapa nama atau julukan Tuan?"
tanya Resi Balung Gading.
"Namaku tak perlu kau ketahui, Resi. Sedangkan julukanku adalah Jalak Putih! Aku
datang kesini untuk membawa putrimu, Resi Balung Gading!" sahut Jalak Putih
pongah. "Perlu kau ketahui, Jalak Putih.
Sebelum kau bertanding melawan
putriku, kau harus bisa mengalahkan salah satu muridku dulu. Dan apabila kau
berhasil mengalahkan putriku, maka kau harus ber-hadapan denganku. Itu syarat
mutlak untuk memboyong
putriku!" kata Resi Balung Gading lagi.
"He he he..., siapa muridmu"
Cepat hadapkan padaku!" sahut Jalak Putih sambil memasang kuda-kuda.
"Resi, ijinkan aku mengusir manusia yang pongah ini," kata salah seorang murid
yang berdiri di samping Resi Balung Gading.'
"Silahkan," sahut Resi Balung Gading.
Laki-laki berkulit hitam itu
langsung melompat ke depan. Tampak senjatanya yang berupa tongkat kecil terselip
di pinggangnya.
"Siapa namamu, Anak Muda" Kalau belum kawin kuharap kau segera
mundur!" Jalak Putih setelah pemuda itu berdiri di hadapannya.
"Aku Sarmapala. Aku ingin mohon sedikit pelajaran darimu, Jalak
Putih," sahut Sarmapala te-nang.
"He he he..., ayo! Serang aku, Bocah!" kata Jalak Putih yang menganggap enteng
lawannya yang masih muda itu.
"Tamu dipersilakan menyerang lebih dulu."
"Hm..., kalau begitu, baiklah.
Tahanlah seranganku ini, hiyaaa...!"
Jalak Putih langsung melompat
sambil mengebutkan kedua tangannya dengan cepat secara bergantian.
Sementara Sarmapala segera
mengimbanginya dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang cepat dan lincah.
Dalam waktu yang tidak berapa lama kedua orang itu sudah terlibat dalam
pertempuran yang cepat dan rapat. Begitu cepatnya pertarungan itu berlangsung,
sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari
sepuluh jurus. Jalak Putih tampak mendengus
kesal, karena sudah sepuluh jurus
terlewati dia belum juga bisa
menjatuhkan lawan. Wajahnya sudah merah-padam menahan gemas dan malu.
Sementara suara-suara ejekan dan cemoohan sudah terdengar saling sambut dari
murid-murid Padepokan Baja Hitam lainnya.
"Setan!" dengus Jalak Putih ketika satu pukulan telak Sarmapala berhasil
bersarang di pundaknya, hingga membuat dia terjajar ke
belakang dan jatuh tersuruk di tanah.
Sorak-sorai makin riuh saja
mengejek Jalak Putih. Tapi tak berapa lama kemudian Jalak Putih segera bangkit
lagi. Sementara Sarmapala masih berdiri saja dan tidak
melancarkan serangan, dia sengaja memberi kesempatan pada lawannya untuk bersiap
kembali. "Bagaimana, Tuan" Apa bisa
dilanjutkan?" Sarmapala memberi pilihan. Sama sekali tidak ada nada sombong
dalam suaranya.
"Phuih...!"
Jalak Putih menyemburkan ludahnya.
Sret! Tiba-tiba saja Jalak Putih
mengeluarkan senjatanya berupa
sepasang trisula dari balik ikat pinggangnya. Dengan segera dia
menerjang lawannya tanpa memberi kesempatan untuk mengeluarkan
senjatanya. Tapi meskipun murid
Padepokan Baja Hitam itu tidak
menggunakan senjata, dia masih bisa mengimbangi jurus-jurus Jalak Putih, bahkan
tiba-tiba satu tendangan
telaknya berhasil bersarang di perut lawan yang pongah itu.
"Ughk!" keluh Jalak Putih pendek.
Belum lagi dia dapat menguasai
dirinya, mendadak...
"Lepas...!" bentak Sarmapala keras.
Seketika itu juga senjata Jalak
Putih langsung terpental! Dan bagaikan seekor burung, Sarmapala segera
menangkap senjata yang masih berada di udara itu. Kemudian dia kembali
menukik dan men-jejakkan kakinya tepat di depan Jalak Putih. Dan Jalak Putih
makin merah saja mukanya, karena Sarmapala menempelkan senjatanya yang terpental
tadi ke lehernya.
"Cukup!" seru Resi Balung Gading.
Sarmapala segera meiangkah mundur dan me-lemparkan senjata itu ke depan kaki
Jalak Putih. Pemuda itu segera menjura hormat dan kembali ke
tempatnya. Sementara Jalak Putih, dengan perasaan malu yang amat sangat langsung
memungut senjatanya dan melompat pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sorak-sorai
langsung terdengar menyambut kemenangan Sarmapala.
*** "Silakan, siapa yang berikutnya"
seru Resi Balung Gading.
"Aku...!"
Tiba-tiba seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun langsung melompat ke tengah-tengah arena.
Laki-laki itu mengenakan baju biru dan celana hitam. Sedangkan di pinggangnya
tampak ter-gantung sebilah pedang panjang sampai melewati
lututnya. Dia berdiri tegak dengan tatapan mata lurus ke arah Dewi
Cempaka yang duduk di samping ayahnya.
"Siapa namamu, Tuan," tanya Resi Balung Gading ramah.
"Orang-orang biasa memanggilku si Pedang Maut," sahut laki-laki itu
memperkenalkan diri.
"Apakah kau sudah siap?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku minta putrimu sendiri yang langsung menghadapiku!" sahut laki-laki itu tak
kalah pongahnya dengan yang pertama tadi.
"Sayang sekali, kau harus
melewati tahap yang pertama dulu,"
tolak Resi Balung Gading tetap ramah.
"Kau merendahkan si Pedang Maut, Resi!" serunya sinis.
"Sama sekali tidak, soalnya itu memang sudah menjadi ketentuan
sayembara ini," sahut Resi Balung
Gading tetap kalem.
"Baiklah! Suruh semua muridmu maju!" seru si Pedang Maut dengan pongahnya.
"Resi...!" salah seorang murid padepokan bangkit.
"Silakan, Ramapati," kata Resi Balung Gading mempersilakan muridnya itu untuk
menghadapi si Pedang Maut.
Laki-laki yang bernama Ramapati
itu langsung melompat ke depan setelah memberi hormat terlebih dahulu kepada
Resi Balung Gading.
"Mundurlah, Bocah. Aku tidak sampai hati menjatuhkanmu di depan gurumu sendiri,"
kata si Pedang Maut meremehkan, calon lawannya yang masih muda sekali.
"Jika Tuan berkenan, ijinkan aku menerima sedikit pelajaran darimu,"
kata Ramapati sopan.
"Kau akan menyesal, Anak Muda."
"Tidak ada yang perlu
disesalkan." jawab Ramapati masih tetap sopan.
"Baiklah, cabut senjatamu."
Tapi Ramapati tidak akan mencabut senjatanya sebelum lawannya
menggunakan senjata terlebih dahulu.
Hal itu dianggap penghinaan oleh si Pedang Maut. Maka dengan menggeram hebat, si
Pedang Maut langsung
melompat dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang dahsyat.
Tidak diduga sama sekali olehnya, kalau Ramapati sanggup mengimbanginya dengan
manis sekali. Semakin geram saja dia menghadapi anak muda yang dianggapnya masih
bau kencur itu.
"Cabut pedangmu, Bocah!" geram si Pedang Maut tak sabar.
"Silakan Tuan lebih dahulu,"
sambut Rarnapati tersenyum ramah.
"Setan! Kutebas lehermu!" geram si Pedang Maut makin menjadi-jadi.
Sret! Tanpa mempedulikan rasa malu
lagi, si Pedang Maut langsung mencabut senjatanya. Seketika itu juga dia
langsung merangsek Ramapati dengan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan
mematikan. Sedangkan Ramapati yang tidak sempat mencabut pedangnya, hanya
melayaninya dengan tangan kosong. Tapi karena dia terus terdesak, maka pada
suatu kesempatan, dia segera mencabut senjatanya juga.
Tring! Satu benturan keras terjadi, dan si Pedang Maut langsung memerah
wajahnya. Dia merasakan tangannya jadi kesemutan begitu pedangnya beradu dengan
pedang Ramapati. Lain halnya dengan Ramapati, dia kelihatan tenang dan tidak
terpengaruh sedikit pun, bahkan dia membalas dengan serangan balik yang gencar
dan berbahaya. Hingga beberapa kali si Pedang Maut
harus berjumpalitan jatuh bangun nienghindari serangannya. Pada suatu
kesempatan.... "Hiya.... Lepas!" bentak Ramapati tiba-tiba.
Seketika itu juga pedang Ramapati berkelebat cepat dan langsung
menyampok mata pedang lawannya.
Sungguh di luar dugaannya sama sekali, begitu dua pedang beradu, Ramapati telah
meng-hantam pergelangan tangan Pedang Maut dengan kakinya.
"Akh!" si Pedang Maut memekik tertahan.
Bersamaan dengan itu senjatanya
terlontar ke udara. Melihat keadaan itu, Ramapati segera
memburu dan menyambar pedang lawannya sebelum Pedang Maut menyadarinya. Dan tiba-tiba saja
Ramapati sudah berdiri lagi dengan senjata lawan di tangan.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Ramapati sambil melemparkan pedang lawannya pada
pemiliknya "Phuih!" si Pedang Maut menyemburkan ludahnya. Jelas sekali wajahnya merah padam
menahan rasa malu yang amat sangat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, si
Pedang Maut langsung meloncat ke luar arena setelah mengambil senjatanya
kembali. Sedangkan Ramapati segera menjura hormat pada Resi Balung
Gading, sebelum kembali ke tempatnya.
Sementara suara sorak-sorai masih terdengar bergemuruh menyambut
kemenangan Ramapati.
"Silakan, siapa berikutnya," kata Resi Balung Gading memberikan
kesempatan. Dan siang itu pun di halaman
Padepokan Baja Hitam sangat ramai oleh beberapa pertarungan, untuk
memenangkan sayembara yang berhadiah sangat menarik itu. Dan dan beberapa kali
pertarungan itu, yang berhasil lolos dari rintangan pertama hanya dua orang
saja. Itu pun mereka langsung kalah lagi setelah menghadapi
rintangan kedua dengan menghadapi Dewi Cempaka.
Sementara itu matahari terus
bergulir dan makin condong ke arah Barat. Dan para peserta sayembara kini hanya
tinggal Danupaksi dan Rangga alias Pendekar
Rajawali Sakti.
Sedangkan peserta
lainnya sudah meninggalkan Padepokan Baja Hitam dengan membawa sejuta malu, tanpa memperoleh
apa-apa. Sejenak Danupaksi memandang ke arah Rangga yang duduk tidak begitu jauh
darinya. Dan pada saat yang bersamaan, Rangga
juga mengarahkan pandangannya ke arah Danupaksi. Tapi tiba tiba tampak Pendekar
Rajawali Sakti itu terkejut melihat kalung yang dipakai Danupaksi.
Dia segera bangkit dari duduknya.
Sedangkan tatapannya tetap saja pada kalung yang dipakai Danupaksi.
Kemudian seperti ada yang mengomandoi saja, kedua pemuda itu langsung
melangkah bersamaan ke tengah lapangan arena pertarungan. Sedangkan pandangan
mereka tertuju ke satu titik. Titik yang ada pada bola mata mereka masing-
masing. "Sebentar, Tuan-tuan tidak boleh maju dengan bersamaan," kata Resi Balung Gading
begitu melihat peserta yang terakhir maju bersamaan.
Rangga dan Danupaksi langsung
menolehkan kepalanya dan menatap ke arah Resi Balung Gading.
"Salah satu dari Tuan harus bisa bersabar," kata Resi Balung Gading sambil
mengangkat tangannya.
"Aku yang mengalah."
"Aku yang belakangan."
Resi Balung Gading terkejut
mendengar kata-kata kedua pemuda di depannya serara bersamaan. Tadinya dia
mengira, bahwa mereka ingin saling mendahului. Keterkejutan itu juga
menghinggapi Rangga dan Danupaksi.
Mereka langsung saling pandang
kembali. Entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi pada batin
mereka masing-masing.
"Ayah...," Dewi Cempaka berbisik.
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Resi Balung Gading segera mendekatkan kepalanya pada putrinya.
"Sudah sore, Ayah. Sebaiknya sayembara ini dilanjutkan besok pagi saja," kata
Dewi Cempaka berbisik.
"Baiklah," sahut Resi Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu dua pemuda yang
tengah menanti di arena pertarungan masih saling bertatapan dengan
berbagai perasaan yang berkecamuk didalam dada.
"Putriku meminta, agar
pertarungan ini dilanjutkan besok pagi. Untuk itu, Tuan-tuan kami
persilakan beristirahat dulu,
silakan," kata Resi Balung Gading kemudian.
Lalu Resi Balung Gading segera
bangkit dan melangkah masuk diikuti Dewi Cempaka. Sedangkan Danupaksi dan Rangga
pun segera melangkah bersamaan menuju kamar yang telah disediakan untuk
beristirahat. *** 3 Sebenarnya Pendekar Rajawali
Sakti tidak tertarik sedikit pun pada sayembara itu. Dia datang ke Padepokan
Baja Hitam dalam rangka ingin mengetahui, apakah Pandan Wangi ada di padepokan
itu atau tidak" Masalahnya
sayembara itu tersebar luas dan
berlaku untuk siapa saja, tak
terkecuali laki-laki atau perempuan.
Dan siapa tahu Pandan Wangi ada di Padepokan Baja Hitam" Tapi ternyata
harapannya sia-sia.
Malahan yang didapatkan justru
sesuatu yang membuat dirinya jadi semakin gelisah. Ya.... Kalung itu amat
dikenalnya. Sebuah kalung
segitiga dengan lingkaran di dalamnya dan merupakan perlambang bahwa
pemiliknya masih keturunan Adipati Karang Setra. Sejenak Rangga kembali
memperhatikan kalung kepunyaannya.
"Miliknya benar-benar persis dengan kalung ini. Siapa dia
sebenarnya...?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Beberapa saat dia tercenung
mengamati kalung itu. Tapi tiba-tiba dia tersentak ketika matanya menangkap
kelebatan seseorang yang mengintip dari balik jendela. Buru-buru dia memasukkan
kembali kalung itu ke dalam kantung celananya. Dan dengan gerakan yang cepat,
dia langsung melompat ke luar kamar.
"Hey...!" seru Rangga begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke arah
rumah yang paling besar.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung mencelat dan mengejar bayangan
itu. Hanya dengan dua kali
lompatan saja, dia sudah dapat
melewati bayangan itu dan mencegatnya.
Betapa terkejutnya Rangga begitu mengetahui bahwa bayangan itu adalah Dewi
Cempaka, putri ketua Padepokan Baja Hitam.
"Oh, maaf. Aku tidak tahu
kalau...,'' Rangga buru-buru meminta
maaf dengan tersipu-sipu.
"Hm..., ilmu meringankan tubuhmu hebat sekali. Belum pernah aku
dikalahkan dalam ilmu meringankan tubuh, kecuali olehmu barusan," puji Dewi
Cempaka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ah, maaf. Kenapa Tuan Putri tadi mengintaiku?" tanya Rangga tidak peduli dengan
pujian tersebut.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Dewi Cempaka tanpa menghiraukan
pertanyaan Rangga.
"Aku cuma seorang pengembara miskin yang ingin mengadu nasib,"
jawab Rangga sambil menundukkan
kepala. "Sikap dan tutur katamu
mencerminkan kalau kau bukan seorang pengembara biasa," kata Dewi Cempaka
meraba-raba dengan dugaan.
Rangga hanya diam. Dalam hatinya terbersit rasa kagum dengan wawasan gadis
cantik ini, hingga dapat menilai seseorang tanpa menyelidiki lebih dulu.
"Baiklah kalau kau tak mau
berterus terang. Tapi aku yakin, kalau kau datang ke sini bukan untuk
sayembara ini," tebak Dewi Cempaka menyempurnakan dugaannya.
"Apa sebenarnya maksudmu, Tuan Putri?" tanya Rangga sedikit terkejut.
"Anda tidak pantas menyebutku demikian, Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," kata
Dewi Cempaka kalem.
"Kau.... Kau tahu siapa aku...?"
Rangga semakin terkejut saja. Dia benar-benar kaget kalau Dewi Cempaka
mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Sejak pertama kau datang kemari, aku sudah tahu siapa kau sebenarnya, meskipun
kau merahasiakannya. Maaf, kalau penyambutan kami kurang berkenan di hati Gusti
Prabu," kata Dewi Cempaka sambil menjura hormat.
"Hey...!" Rangga jadi serba salah melihat gadis itu berlutut dengan kedua tangan
merapat di depan hidung.
Pendekar Rajawali Sakti itu buru-buru menghampiri dan membangunkan Dewi Cempaka,
namun gadis itu tetap
menunduk penuh hormat. Pendekar
Rajawali Sakti jadi semakin tidak enak saja perasaannya.
"Apakah sebenarnya yang Gusti Prabu cari di padepokan hina ini?"
tanya Dewi Cempaka hormat.
"Tunggu dulu, Dewi Cempaka.
Apakah kau yakin kalau diriku seorang
raja?" tanya Rangga tidak menjawab pertanyaan Dewi Cempaka.
"Semua orang di sekitar lereng Gunung Puting ini sudah tahu, siapa sebenarnya
Gusti Prabu," jawab Dewi Cempaka.
"Siapa yang mengatakan begitu padamu?" tanya Rangga penasaran.
"Seorang murid Padepokan Baja Hitam yang sering berkelana di rimba persilatan "
"Lalu, apa
hubungannya dengan
pengintaianmu tadi?" tanya Rangga
lagi. Ia masih penasaran dengan
tindakan gadis itu yang mengintainya malam-malam begini.
"Terus terang, hamba hanya ingin memastikan dugaan hamba. Dan sekarang hamba
sudah yakin, setelah tadi hamba melihat Gusti Prabu sedang mengamati kalung itu.
Sekali lagi hamba mohon ampun," Dewi Cempaka menjelaskan.
Rangga terdiam beberapa saat. Dia jadi teringat dengan Danupaksi yang juga
memiliki kalung yang sama persis dengan yang ia miliki. Kalau Dewi Cempaka
mengetahui hal itu, dia tentu juga memperhatikan kalung yang
dikenakan Danupaksi.
"Kalung seperti ini juga dimiliki oleh Danupaksi, apakah kau melihatnya juga?"
tanya Rangga penasaran.
"Benar, Gusti. Tapi ada
perbedaannya. Dan hamba yakin, kalung
Gusti Prabu-lah yang asli," jelas Dewi Cempaka lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Kalung yang asli lingkarannya dapat menyala pada malam hari, dan itu sudah
hamba lihat waktu Gusti Prabu mengeluarkannya di kamar."
"Hm..., jadi kau mengintai setiap peserta sayembara?" Rangga menduga.
"Benar, tapi itu hamba lakukan hanya untuk mengetahui kelemahan calon lawan
hamba. Lain tidak"
"Jadi, kau sudah tahu
kelemahanku, begitu?"
"Maaf, Gusti. Hamba belum bisa mengetahuinya."
"Ah, sudahlah. Aku mau istirahat.
Besok pagi aku harus meneruskan
perjalanan," kata Rangga seraya berbalik.
"Maaf, Gusti. Ayahanda sudah menyiapkan kamar khusus untuk Gusti Prabu tempati
malam ini," cegah Dewi Cempaka.
Rangga sampai berhenti melangkah mendengarnya. Belum lagi dia sempat mengatakan
sesuatu, tampak beberapa murid padepokan datang menghampiri.
Ternyata mereka mengawal Resi Balung Gading. Begitu mereka sampai di depan
Rangga, serentak semuanya menjura hormat, tak terkecuali Resi Balung Gading
sendiri. Rangga jadi salah
lingkah. Dia juga tidak dapat menolak lagi, ketika Resi Balung Gading
mengundangnya untuk makan malam.
*** "Kami semua mohon maaf atas kelancangan dan penyambutan yang tidak berkenan di
hati Gusti Prabu," kata Resi Balung Gading setelah mereka menikmati santapan
malam. "Sudahlah, tidak perlu Resi bersikap begitu padaku," kata Rangga merendah.
"Maaf, Gusti Prabu. Ada maksud apa sebenarnya hingga Gusti Prabu berkenan
mengunjungi padepokan hamba ini?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku cuma kebetulan lewat," sahut Rangga kalem.
"Kalau Gusti Prabu memang berniat mengikuti sayembara ini, hamba akan segera
menutupnya, dan dengan senang hati hamba akan menyerahkan Dewi Cempaka untuk
diboyong ke istana Karang Setra," kata Resi Balung Gading lagi.
Sementara itu Dewi Cempaka yang duduk di samping ayahnya hanya
terduduk tersipu. Tentu saja Rangga dapat melihat paras cantik yang
bersemu kemerahan itu. Dewi Cempaka memang cantik, tapi bukan itu tujuan Rangga
datang ke Padepokan Baja Hitam.
Bagaimanapun juga, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa melupakan cinta
pertamanya pada Pandan Wangi, yang kini entah berada di mana.
"Masih ada satu peserta lagi, Resi," Rangga mengingatkan.
"Ah, hamba yakin. Kalau Gusti pasti mampu membuatnya angkat kaki dari sini,"
jawab Resi Balung Gading sopan.
"Maaf, Resi. Hamba sudah
memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan besok pagi," kata Rangga.
"Oh...," Resi Balung Gading melongo.
Sedangkan Dewi Cempaka langsung
mengangkat kepalanya. Dia seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
Gadis itu memang sudah tertarik dengan Rangga sejak pertama kali melihat, dan
dia sudah merencanakan untuk mengalah dalam pertarungan nanti. Tapi kini
rencananya langsung lenyap setelah mendengar kata-kata Rangga barusan.
Harapannya yang telah timbul, langsung sirna seketika.
"Gusti, apakah putri hamba
terlalu hina untuk..."
'Tidak, Resi," cepat-cepat Rangga memotong. "Dewi Cempaka sangat cantik, pandai
dan sangat tinggi ilmunya. Aku senang dapat berkenalan dengan
putrimu, Resi."
"Tapi..., kenapa Gusti me...."
"Aku tidak menolak. Sebenarnya aku datang ke sini ada maksud yang sangat pribadi
sifatnya. Maaf, mungkin aku telah mengecewakan Resi dan Dewi Cempaka."
"Oh, tidak.... Tidak, sama sekali tidak mengecewakan. Bahkan kami merasa
mendapat kehormatan dengan kunjungan Gusti ke sini," buru-buru Resi Balung
Gading menyahuti.
"Kalau begitu lanjutkan saja sayembara
ini, aku ingin melihat
peserta yang sudah menunggu sejak kemarin," kata Rangga.
"Baiklah, Gusti. Hamba akan melanjutkan sayembara ini," sahut Resi Balung
Gading. Setelah berbasa-basi sebentar,
Rangga segera mohon diri untuk
istirahat. Sedangkan Resi Balung Gading memerintahkan pada salah
seorang muridnya untuk menunjukkan kamar Rangga. Kamar khusus yang
disediakan untuk tamu kehormatan.
"Ayah...," bisik Dewi Cempaka setelah Rangga tidak ada lagi di ruangan itu.
"Ada yang ingin kau katakan, Anakku?" sahut Resi Balung Gading.
"Bagaimana kalau Danupaksi yang memenangkan sayembara ini?" ada nada
kekhawatiran pada suara Dewi Cempaka.
"Siapa saja yang memenangkan sayembara ini, pantas menjadi
suamimu," jawab Resi Balung Gading tegas.
"Tapi, Ayah...."
"Danupaksi tidaklah jelek. Dia pemuda tampan dan kelihatannya tidak sombong dan
angkuh. Ayah yakin, kalau Danupaksi seorang pendekar beraliran putih. Kita lihat
saja besok."
"Kalau aku berhasil mengalahkan Danupaksi, mau kan Ayah meminta Gusti Prabu
untuk mengikuti sayembara ini?"
pinta Dewi Cempaka ragu-ragu.
"Ha ha ha..., rupanya kau
sudah...," tebak Resi Balung Gading. "Ayah!"
"Baik, baiklah. Semoga saja Gusti Prabu berkenan. Tapi aku juga harus
menyarankanmu, jangan bersikap
mengalah. Itu bukan sikap seorang pendekar. Ayah yakin, kalau kau
bersikap mengalah, Gusti Prabu tidak akan mau menerimamu, mengerti?"
"Aku usahakan, Ayah."
"Tidurlah, kau harus mempersiap-kan diri untuk besok."
"Selamat malam, Ayah." "Ya."
Pagi-pagi sekali, di depan rumah besar tempat kediaman Resi Balung Gading, sudah
berkumpul murid-murid Padepokan Baja Hitam. Mereka semua menunggu dimulainya
lagi sayembara yang sangat menarik itu. Tampak di tengah-tengah arena, Danupaksi
berdiri tegak dengan tatapan lurus ke arah
tempat duduk Resi Balung Gading.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah mengundurkan diri dari sayembara itu
setelah penyamarannya diketahui oleh seluruh penghuni padepokan.
"Kau adalah satu-satunya peserta sayembara untuk hari ini, Tuan
Danupaksi. Untuk itulah aku memberimu kelonggaran. Kau bisa langsung
berhadapan dengan putriku tanpa
melewati rintangan pertama dulu," kata Resi Balung Gading.
"Maaf, Resi. Sebaiknya gunakan saja peraturan yang sudah ada," tolak Danupaksi
merendah. "Maaf, aku memang sengaja
merubah, karena sudah lelah menghadapi sayembara ini," kata Resi Balung Gading
lagi. "Baiklah, kalau itu keinginanmu, Resi," kata Danupaksi akhirnya.
"Nah, mulailah!"
Dewi Cempaka langsung melompat ke tengah tengah arena dengan gerakan yang
ringan. "Aku persilakan kau menyerang dulu, Tuan Danupaksi," kata Dewi Cempaka datar
suaranya. "Baiklah," Danupaksi segera memasang kuda kuda untuk menyerang walaupun agak
ragu-ragu. "Tidak perlu sungkan, ayo serang aku!'
Danupaksi segera melompat seraya
mengirimkan pukulan yang cepat dan beruntun.
"Hait...!"
Des.... Des! Dua tangan langsung beradu dengan keras beberapa kali. Sejenak Danupaksi
melompat mundur tiga langkah untuk memasang jurus berikutnya. Sedangkan Dewi
Cempaka masih tetap berdiri tegak dengan pandangan mata yang tajam.
Danupaksi tak menduga sama sekali kalau tangannya sampai bergetar begitu beradu
dengan tangan Dewi Cempaka.
Rupanya kabar tentang gadis itu bukan omong kosong belaka. Terbukti dari tenaga
dalamnya cukup tinggi, bahkan hampir mencapai taraf kesempurnaan.
Danupaksi tak bisa menganggap
remeh gadis itu. Maka dia segera menyerang kembali dengan jurus-jurus tangan
kosong yang pendek dan cepat.
Sedangkan Dewi Cempaka pun langsung mengimbanginya dengan cepat dan tepat.
Pertarungan terus berlangsung dengan seru dan sengit, walau sudah tampak
kecenderungan kalau Danupaksi
terdesak. Pada suatu saat yang tepat, Dewi Cempaka berhasil menyarangkan pukulan telaknya
ke dada Danupaksi.
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ugh"!" keluh Danupaksi pendek.
Tubuhnya langsung tersuruk ke
tanah dengan keras. Tapi tak berapa lama dia bangkit lagi seraya menyeka
darah yang ke luar dari bibirnya.
"Bagaimana, Tuan Danupaksi. Apa masih bisa dilanjutkan?" kata Dewi Cempaka.
"Sudah, sudah cukup," sahut Danupaksi pelan.
"Den...!" seru Pangkeng terkejut mendengar keputusan Danupaksi.
"Tunggu dulu!" sentak Resi Balung Gading begitu melihat Danupaksi mau pergi.
"Maaf, Resi. Aku mengaku kalah dan tidak berhak mendapat hadiah darimu," kata
Danupaksi me-rendah.
"Kau belum kalah, aku tahu kau sengaja mengalah. Kenapa?" Resi Balung Gading
tidak mengerti.
"Putrimu jauh lebih tinggi
ilmunya dariku," sahut Danupaksi.
"Sungguh tidak kusangka, seorang pendekar sepertimu begitu lemah dan kerdil
jiwanya!" gumam Resi Galung Gading.
Kata-kata yang pelan itu sangat
menusuk hati Danupaksi. Seketika mukanya merah menahan marah.
"Resi, kuakui. Aku memang sengaja mengalah. Karena aku mempunyai
persoalan yang lebih penting daripada persoalan sepele ini!" geram Danupaksi.
Kau sudah mengikuti sayembaraku, maka kau harus mematuhi syaratnya!"
tegas kata-kata Resi Balung Gading
karena kesal melihat Danupaksi
mengalah. "Aku sudah mengikuti syarat-syaratmu, Resi dan aku kalah. Bila kau belum puas,
aku akan datang lagi setelah urusanku selesai!"
Setelah berkata begitu, Danupaksi segera melompat ke punggung kudanya yang
tertambat di pohon. Sedangkan Pangkeng langsung mengikuti dari belakang.
Kemudian dua kuda itu
langsung melesat cepat meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Sementara Resi Balung
Gading masih terhenyak
memandang kepergian anak muda itu. Dia begitu terpukul mendengar kata-katanya
tadi. Tapi yang lebih terpukul lagi
adalah Dewi Cempaka. Kata-kata itu seperti merendahkan harga dirinya sebagai
seorang wanita. Bagaimana tidak, Danupaksi telah mengatakan bahwa dia sengaja
mengalah. Bukankah hal itu bisa diartikan bahwa dia tidak butuh hadiah pertama"
Sementara Dewi Cempaka dengan rela dijadikan hadiah pertama.
"Cempaka...!" seru Resi Balung Gading terkejut.
Tapi Dewi Cempaka terus berlari
dan tidak menghiraukan lagi panggilan ayahnya. Mendadak saja dia jadi malu,
tidak sanggup lagi bertemu muka dengan para murid padepokan. Dia baru
menyadari bahwa sikap mereka yang begitu menghormatinya mungkin hanya di luarnya
saja, karena dirinya putri guru
mereka. Pantas saja Rangga
menolak mentah-mentah tanpa memberikan alasan yang tepat. Sungguh memalukan!
*** "Cempaka..., Cempaka...!" panggil Resi Balung Gading seraya mengetuk-ngetuk
pintu kamar putrinya.
Tidak ada sahutan dari dalam.
Pintu kamar itu tetap saja tertutup rapat. Dia kembali mengetuk dan
memanggil. Tapi tetap saja tidak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Tidak sabar
dan penasaran oleh keadaan itu, Resi Balung Gading segera mencoba membuka pintu.
Ternyata pintu itu tidak terkunci! Maka dengan pelan-lahan dia mendorongnya...,
segera tampak Dewi Cempaka menelungkupkan diri di atas pembaringan.
"Cempaka...," panggil Resi Balung Gading berbisik.
"Untuk apa Ayah kemari! Mau membujukku?" sentak Dewi Cempaka seraya membalikkan
tubuhnya. Tampak di kedua matanya yang merah, telah
dipenuhi dengan air bening.
"Kau menangis, Anakku" Kau
menangis...?" Resi Balung Gading bagai tak percaya melihat putrinya menangis.
Entah kenapa, Dewi Cempaka segera menghentikan tangisnya begitu Resi Balung
Gading memeluk tubuhnya.
Sungguh Resi Balung Gading begitu gembiranya melihat putrinya menangis.
Tidak pernah selama ini dia melihat putrinya menangis. Begitu bahagianya dia,
sampai-sampai tak menyadari kalau ada setitik air bening yang bergulir di
pipinya. "Ayah.... Ayah menangis...?" Dewi Cempaka terheran-heran melihat ayahnya
menangis begitu dia melepaskan
pelukannya. "Ayah begitu bahagia, Anakku...,"
tersendat suara Resi Balung Gading.
"Ayah gembira melihat aku
kehilangan muka?" Dewi Cempaka makin tidak mengerti.
"Bukan..., bukan itu, Cempaka.
Ayah gembira karena kau benar-benar seorang wanita."
"Jadi, selama ini Ayah
menganggapku apa?"
"Sembilan belas tahun aku belum pernah melihatmu menangis. Aku
gembira, Anakku. Bahagia melihatmu bisa menangis."
Betapa terharunya Dewi Cempaka.
Dia langsung memeluk ayahnya kembali.
"Kalau saja ibumu masih
hidup...," suara Resi Balung Gading masih tersendat setelah melepaskan
pelukannya. "Ayah...," Dewi Cempaka segera memutuskan kata-kata ayahnya.
"Kau sangat mirip dengan ibumu, Anakku. Bedanya dia tidak memiliki kekuatan apa
pun. Seandainya dia sepertimu, mungkin nasibnya tidak akan seburuk itu. Kalau
saja tidak ada Wanapati, mungkin kau juga akan binasa di tangan mereka.
Wanapati.... Heh!"
tiba-tiba Resi Balung Gading
tersentak. "Ada apa, Ayah?" Dewi Cempaka terkejut.
"Danupaksi...," gumam Resi Balung Gading.
"Ayah...," Dewi Cempaka makin tak mengerti.
"Ya, Danupaksi itu adalah
muridnya Wanapati. Aku kenal betul dengan jurus-jurusnya," Resi Balung Gading
tidak mengindahkan keheranan putrinya.
Dewi Cempaka geleng-geleng
kepala. Dia jadi tidak mengerti dengan sikap ayahnya itu. Dan ayahnya pun tidak
memberikan penjelasan....
Tiba-tiba dia teringat dengan
kalung segitiga yang dipakai
Danupaksi. Sebuah kalung yang sama persis dengan milik Rangga, Raja Karang
Setra. "Mustahil kalau Wanapati mengutus muridnya untuk mengikuti sayembara.
Ini tidak mungkin terjadi!" gumam Resi
Balung Gading masih belum menyadari kalau gumamannya didengar putrinya.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" Dewi Cempaka makin penasaran.
"Danupaksi..., mengapa dia sampai ikut sayembara?"
"Ayah, bukankah itu sudah
berlalu" Danupaksi sudah pergi dan aku...."
Resi Balung Gading langsung
menatap putrinya dalam-dalam.
"Aku harus menyelidikinya, Ayah,"
kata Dewi Cempaka.
"Cempaka, apa maksudmu?" Resi Balung Gading agak kaget juga.
"Danupaksi mempunyai tanda
Kerajaan Karang Setra!"
"Tanda...!" Maksudmu?"
"Dia memiliki kalung yang sama persis dengan milik Gusti Prabu
Rangga. Bukankah Ayah pernah
menceritakan tentang keluarga Adipati Karang Setra, sebelum menjadi
kerajaan?"
Resi Balung Gading mengangguk-
angguk. "Kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya hanya ada satu."
"Benar."
"Tapi mengapa Danupaksi juga memilikinya?"
"Dewi Cempaka! Dari mana kau tahu semua itu?" Resi Balung Gading tersentak.
"Aku melihatnya sendiri,
Danupaksi memang memakai kalung
seperti itu!"
"Astaga...!!!" Resi Balung Gading menepuk keningnya sendiri.
"Di mana Gusti Rangga sekarang?"
tanya Dewi Cempaka.
"Dia sudah pergi," sahut Resi Balung Gading. "Cempaka, aku akan pergi ke Gunung
Puting. Kau jangan ke mana-mana sampai aku kembali!"
"Aku ikut!"
"Jangan! Kau harus tetap di sini sebelum aku kembali!"
Dewi Cempaka jadi diam. Dia tahu kalau ayahnya memang terikat janji aneh dengan
Resi Wanapati di Gunung Puting. Meskipun dia tidak mengerti isinya.
Kini dia hanya diam merenungkan
sejuta pertanyaan yang berkecamuk di benaknya!
*** 4 Resi Wanapati sangat terkejut
ketika melihat kedatangan Resi Balung Gading. Dengan kepala yang masih diliputi
berbagai macam pertanyaan, dia segera menyambut juga kedatangan sahabatnya itu.
Melihat sikap dan sorot mata Resi Balung Gading Gading,
Resi Wanapati sudah bisa menduga kalau ada persoalan berat di benaknya.
"Ada apa gerangan, sehingga kau menyempatkan datang sendiri ke
tempatku, Balung Gading?" tanya Resi Wanapati ramah.
"Apakah kau telah mengirim
muridmu mengikuti sayembaraku,
Wanapati?" tanya Resi. Balung Gading langsung pada pokok persoalannya.
Tentu saja Resi Wanapati terkejut bukan main dengan pertanyaan itu! Dia sama
sekali tidak mengirimkan muridnya seorang pun!
"Dia memang tidak menyebutkan berasal dari mana, tapi aku sangat hapal dengan
jurus jurus yang
digunakannya," kata Resi Balung Gading lagi.
"Siapa namanya?" tanya Resi Wanapati ingin tahu.
"Danupaksi! Dan dia datang
bersama pembantunya yang bernama Pangkeng. Apa benar ada muridmu yang bernama
Danupaksi?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Benar," sahut Resi Wanapati pelan. Dia sangat menyesali tindakan muridnya yang
dianggapnya begitu lancang.
"Wanapati!
Sudah lupakah kau
dengan perjanjian kita?" sentak Resi Balung Gading marah.
"Tenang dulu, Balung Gading. Akan
aku jelaskan dulu persoalannya," kata Resi Wanapati tidak terpancing emosi.
"Danupaksi memang muridku, bahkan lebih dari itu, dia sudah kuanggap sebagai
anakku sendiri. Dan dia baru saja turun gunung setelah
menyelesaikan pelajaran terakhir yang kuberikan. Tapi aku sama sekali tidak
pernah menyuruhnya untuk ke
padepokanmu, apalagi mengikuti sayembara," ujar Resi Wanapati berusaha
menjelaskan. "Sebenarnya ke mana tujuannya?"
tanya Resi Balung Gading, sedikit reda amarahnya.
"Kerajaan Karang Setra," jawab Resi Wanapati singkat.
"Sudah kuduga...," gumam Resi Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Balung Gading, aku terpaksa menceritakan apa yang hanya menjadi dugaanku.
Soalnya aku sendiri belum mengetahui dengan jelas. Aku hanya mengatakan, mungkin
dia berasal dari Karang Setra dan. "
"Kau berikan kalung itu?" Resi Balung Gading memotong cepat.
"Dia sudah berumur dua puluh tahun. Aku rasa, kau masih ingat butir-butir
perjanjian kita, Balung Gading."
"Tapi kau terlalu cepat,
Wanapati. Huh...! Kalau saja kemarin
sampai terjadi..., entah kutukan apa yang akan menimpa kita," keluh Resi Balung
Gading. "Danupaksi berhasil mengalahkan putrimu?" tanya Resi Wanapati.
"Dia mengalah."
"Maksudmu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Bahkan semula aku telah mengira, bahwa kau sengaja
mengutusnya mengikuti
sayembara untuk menghinaku," kata Resi Balung Gading jujur.
"Ha ha ha..., ada-ada saja kau ini, Balung Gading," Resi Wanapati menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Maafkan aku, Wanapati. Aku terlalu dibawa emosi," sesal Resi Balung Gading.
"Ah, sudahlah. Yang penting semuanya sudah terhindar. Bagaimana dengan Dewi
Cempaka?" "Dia merasa terhina. Lebih-lebih setelah Resi Balung Gading tidak melanjutkan
kata-katanya. "Boleh aku tahu?" Resi Wanapati penasaran.
"Gusti Prabu Rangga! Dia juga datang ke padepokanku," ujar Resi Balung Gading
terus terang. "Apakah kau tidak salah lihat?"
Resi Wanapati sedikit ragu.
"Dewi Cempaka sendiri yang
melihat tandanya," Resi Balung Gading tetap kalem.
"Maksudmu?" tanya Resi Wanapati tak sabaran.
"Ia mengenakan kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di
tengahnya," jawab Resi Balung Gading.
"Apa...?" Resi Wanapati terlonjak dari duduknya.
"Itulah persoalannya. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa kalung itu bisa ada
dua!" "Apa sekarang Gusti Prabu Rangga masih ada di padepokanmu?" tanya Resi Wanapati.
"Tidak, dia sudah pergi."
Resi Wanapati tampak mengerutkan keningnya dalam dalam. Apa yang selama ini
mereka khawatirkan, akhirnya akan terjadi juga. Dua puluh tahun mereka selalu
mentaati janji, tidak saling berkunjung dan tidak saling
mengenalkan muridnya masing-masing.
Tapi semua jadi berantakan dengan datangnya Danupaksi ke Padepokan Baja Hitam.
Dan dia tidak menyalahkan Danupaksi secara total. Semua itu juga akibat dari
ketertutupan mereka.
"Mungkin sudah saatnya kita saling membuka diri, Wanapati," kata Resi Balung
Gading pelan. "Ya, aku juga sedang berpikir demikian," sahut Resi Wanapati.
"Dan kita harus membuka rahasia ini pada Gusti Prabu Rangga dan
Danupaksi."
"Juga Dewi
Cempaka," usul
Wanapati. "Yah.... Itu memang satu-satunya jalan. Bagaimanapun juga, akhirnya kita memang
harus kehilangan orang-orang yang kita cintai," keluh Resi Balung Gading.
"Kau menyesal?"
"Buat apa" Kehidupan kan memang begitu!"
*** Dewi Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Dia sangat tidak
percaya dengan apa yang
didengarnya. Bagaimana mungkin dia mau percaya" Selama ini yang dia tahu Resi
Balung Gading adalah ayahnya,
sedangkan ibunya telah meninggal waktu dia masih bayi. Tapi mengapa tiba-tiba
justru ayahnya yang mengatakan bahwa dia sebenarnya bukan anaknya" Bahkan kata-
kata ayahnya diperkuat oleh Resi Wanapati, seorang yang tahu betul riwayat
hidupnya Bukankah hal itu memaksa dia harus percaya, bahwa dia memang bukan anak
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Resi Balung Gading"
Sungguh! Dewi Cempaka benar-benar
bingung menghadapi dilema macam itu!
"Tidak...! Tidak mungkin," Dewi Cempaka kembali menggeleng-gelengkan kepalanya
untuk kesekian kalinya.
"Aku mengatakan yang sebenarnya,
Dewi Cempaka. Maafkan kalau selama ini aku telah mendustaimu dengan cerita-
cerita kosong tentang ibumu. Tapi percayalah, Cempaka. Itu semua aku lakukan
demi kebaikan kita semua,"
kata Resi Balung Gading bergetar suaranya.
"Tidak, Ayah. Tidak... Katakan kalau Ayah berdusta. Katakan kalau itu tidak
benar!" rintih Dewi Cempaka.
"Dewi Cempaka, hadapilah semua kenyataan ini dengar. hati lapang.
Semua yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa," kata Resi
Wanapati lembut.
"Tapi mengapa baru sekarang menceritakannya" Kenapa?" tinggi suara Dewi Cempaka.
Tangis-nya tidak bisa dibendung lagi.
Kedua laki-laki tua itu tidak
mampu menjawabnya. Mereka hanya saling pandang dan tertegun saja. Mereka benar-
benar baru menyadari, kalau tindakannya selama ini adalah salah.
Tapi, apa yang mereka alami dulu benar-benar telah memaksa mereka untuk
melakukan hal seperti itu. Kini, untuk membuktikan semuanya juga tidak mudah.
Tidak ada lagi saksi yang hidup! Semua telah tewas dalam peristiwa tersebut.
Peristiwa yang terjadi di dekat Danau Cubung.
"Siapa orang tuaku sebenarnya, Ayah. Katakan, siapa?" desak Dewi
Cempaka masih bercucuran air mata.
"Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu," sahut Resi Balung Gading pelan. Dia
ikut terbawa emosi-nya dalam keharuan itu.
"Bohong! Ayah pasti tahu, siapa orang tuaku!" makin keras saja suara tangis Dewi
Cempaka. "Benar, Cempaka. Kami benar-benar tidak tahu, siapa sebenarnya orang tua
kalian," sambung Resi Wanapati.
"Kalian...?" Dewi Cempaka langsung menoleh ke arah Resi Wanapati Dia benar-benar
terkejut dan ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi selama ini.
'Ya, kau dan Danupaksi," lanjut Resi Wanapati menguatkan diri.
"Jadi...?" rasa kebahagiaan dan kekecewaan bercampur jadi satu di dada Dewi
Cempaka. "Kami tidak tahu, apakah kau bersaudara dengan Danupaksi atau tidak. Yang jelas,
pada saat itu kami telah menolong seorang bocah laki-laki yang ibunya telah
meninggal dan seorang wanita yang sedang hamil tua.
Hal itu kami lakukan karena mendapat amanat dari seorang laki-laki yang kemudian
meninggal dunia karena luka-lukanya yang parah," Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa laki-laki tersebut?" Dewi Cempaka agak susut air matanya.
"Sayang aku tidak kenal namanya.
Tapi aku kenal pakaiannya. Dia seorang punggawa dari Kadipaten Karang Setra."
Dewi Cempaka tampak terdiam beberapa saat. "Aku harus menyusul Danupaksi!"
kata Dewi Cempaka tiba-tiba.
"Cempaka...!" sentak Resi Balung Gading.
Tapi Dewi Cempaka sudah keburu
lari ke luar. Sedangkan Resi Balung Gading yang ingin mengejarnya,
langsung dicegah oleh Resi Wanapati.
"Biarkan dia pergi, Balung
Gading," bujuk Resi Wanapati.
"Tapi...."
"Ingat kesepakatan kita, Balung Gading," Resi Wanapati mengingatkan.
Resi Balung Gading kembali
terduduk lesu. *** Sementara itu tampak Dewi Cempaka sedang memacu kudanya dengan cepat
meninggalkan Padepokan Baja Hitam.
Jiwanya benar-benar guncang menghadapi kenyataan yang tidak pernah
diimpikannya selama ini. Dan dia harus pergi! Harus membuktikan kata-kita kedua
orang tua itu! "Hoooh...!" Dewi Cempaka tiba-tiba menghentikan lari kudanya.
Rahasia Golok Cindar Buana 2 Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti Topeng Kedua 2
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
RAHASIA KALUNG KERAMAT Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Teguh S.
Serial Pendekar Rajawali Sakri
dalam episode: Rahasia Kalung Keramat
128 hal. ; 12 x 18 cm
Juru Edit: lovelypeace
1 Glarrr...! Tiba-tiba saja sebongkah batu
sebesar kerbau hancur berantakan!
Suaranya yang keras bergemuruh dan menggema ke segala arah, membuat suasana pagi
yang sunyi dan tenang itu menjadi ribut. Tampak debu-debu di sekitarnya segera
mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa.
Sementara keping-keping batu yang berloncatan ke sana kemari, langsung mengusir
burung-burung yang sedang berkicau menyambut pagi.
Beberapa saat kemudian, begitu
kabut debu itu mulai menipis,
tampaklah seorang pemuda tampan yang berdiri tegak sambil memandang
reruntuhan batu cadas tadi. Pemuda yang mengenakan baju warna hitam dan ketat
itu segera tersenyum lebar penuh kepuasan. Dia begitu bangga, karena apa yang
telah diajarkan oleh gurunya selama ini, telah mendapatkan hasil yang cemerlang.
Sejenak ia masih tertegun memandangi reruntuhan batu itu sambil menata kembali
rambutnya yang digelung di atas kepalanya.
Tampak keringatnya bercucuran
membasahi kulitnya yang putih bersih bagaikan kulit wanita.
"Bagus..!" puji suara kecil
kering terdengar. Pemuda tampan itu segera menoleh dan berlutut di hadapan
seorang kakek berbaju putih yang berdiri di dekatnya. Laki-laki yang berambut
putih itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan senyum yang
hampir tertutup kumis dan
jenggot. "Mohon petunjuk bila ada
kekurangan, Eyang Resi Wanapati," kata pemuda itu sopan, sikapnya masih tetap
berlutut. "Berdirilah Angger Danupaksi,"
kata Eyang Resi Wanapati sambil
memegang pundak pemuda itu.
Pemuda yang bernama Danupaksi itu segera bangkit. Tubuhnya masih tetap
membungkuk dengan tangan bersilang di atas lututnya.
"Semua ilmu yang ada padaku telah kau kuasai semua dengan baik, Angger
Danupaksi," kata Eyang Resi Wanapati.
"Tadi aku lihat kau telah
mempergunakan aji 'Pukulan Karang Baja'. Sungguh dahsyat, hampir
menyamai dengan apa yang aku miliki."
"Maaf, Eyang Resi. Tadi aku hanya ingin mempraktekkan saja," kata Danupaksi
merendah. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Angger. Aku sangat senang kau sudah bisa
menguasai aji 'Pukulan Karang Baja' dengan sempuma sekali. Perlu kau ketahui,
bahwa tidak sembarang orang
bias menguasai ajian tersebut. Aku sangat bangga padamu, Angger
Danupaksi."
"Terima kasih, Eyang Resi."
*** Resi Wanapati tampak sedang duduk bersila dialas rerumputan tebal di bawah pohon
rindang. Di bibirnya tersungging senyuman khasnya yang selalu membawa kedamaian
bagi siapa saja yang melihatnya. Sementara di depannya tampak Danupaksi duduk
dengan kepala tertunduk. Lama mereka masih saling terdiam. Di hati Resi Wanapati
masih ada keraguan untuk mengatakan sesuatu hal yang ia rahasiakan selama ini.
Sementara di benak Danupaksi diliputi pertanyaan, ada apa gerangan Eyang Resi
memanggilnya dengan begitu resmi, hingga mereka harus berhadap-hadapan seperti
sekarang ini. "Ada sesuatu hal yang ingin aku katakan padamu, Angger," kata Resi Wanapati
menguatkan hatinya.
"Apakah ada hubungannya dengan diriku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar," Resi Wanapati mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Katakanlah, Eyang Resi."
"Sebenarnya aku berat untuk
mengatakannya, Angger Danupaksi. Tapi aku sudah berjanji, bahwa aku akan membuka
semuanya setelah kau berhasil menguasai seluruh ilmu yang aku
miliki. Dan aku merasa, sekarang telah tiba saatnya yang tepat," kata Resi
Wanapati pelan.
Danupaksi segera mengangguk-
anggukkan kepalanya dan menunggu dengan sabar kelanjutannya. Dia sama sekali
tidak tahu, kalau selama ini Eyang Resi menyimpan rahasia tentang dirinya.
"Dua puluh tahun yang lalu, aku telah menolong seorang laki-laki yang berseragam
seorang punggawa kadipaten.
Laki-laki itu dalam keadaan terluka parah, dan dia kemudian berpesan agar aku
harus menyelamatkan seorang bayi laki-laki di istana Kadipaten Karang Setra.
Tapi sesudah dia menyebutkan nama bayi laki-laki itu, dia langsung me-ninggal,"
lanjut Eyang Resi Wanapati sendu. Tampak di wajahnya bahwa ia masih menyimpan
sesuatu rahasia yang sulit untuk
diungkapkannya pada Danupaksi.
"Bayi laki-laki itu adalah aku, Eyang Resi?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar, Angger. Bayi itu adalah kau...," Resi Wanapati mengamati Danupaksi yang
kini telah menjadi seorang pendekar muda dan tampan.
Danupaksi menggeleng-gelengkan
kepalanya seolah-olah ia tidak percaya dengan pendengarannya.
"Lalu punggawa itu siapa
namanya?" tanya Danupaksi ingin mengetahui semuanya.
"Sayang sekali, dia tidak sempat menyebutkan namanya," jawab Resi Wanapati
menyesalkan. Danupaksi segera merenung. Dia
memang tidak tahu, siapa dirinya sebenarnya, juga siapa dan di mana orang
tuanya. Selama ini dia hanya hidup bersama seorang laki-laki tua yang bernama
Eyang Resi Wanapati. Dan dia telah menganggap bahwa laki-Iaki tua itu adalah
orang tuanya sendiri.
Meskipun kadang-kadang selalu timbul hasrat untuk menanyakan pada Resi Wanapati,
namun selalu diurungkan. Dia tidak ingin melukai hati orang tua yang telah
mengasuhnya sejak bayi dan juga telah mendidiknya sehingga ia kini memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi.
Tapi kini semua telah dibuka
sendiri oleh Eyang Resi Wanapati. Dan kata-kata gurunya itu dicerna kembali
dalam benak Danupaksi. Dia kemudian mencoba untuk memahami, siapa dirinya
sebenarnya" Kalau dia masih mempunyai keluarga, dia harus mengetahui, siapa dan
di mana keluarganya berada kini"
"Satu-satunya tanda yang ada padamu, hanya ini," kata Resi Wanapati
sambil menunjukkan seuntai kalung yang berbentuk segitiga dengan beberapa
lingkaran di tengah-tengahnya.
Danupaksi segera menerima kalung itu. Sebuah kalung dari emas murni.
Sejenak kedua matanya sedikit
menyipit, begitu melihat ada tulisan di bagian belakang kalung itu.
"Aku mendapatkan kalung itu dari punggawa yang tidak sempat kuketahui namanya
itu, Angger Danupaksi. Sebelum ia meninggal dunia ia berpesan bahwa aku harus
memberikan kalung itu
kepadamu. Setelah melihat kalung itu, aku yakin, kalau kau adalah salah seorang
putra Adipati Karang Setra, yang kini kadipaten itu telah menjadi sebuah
kerajaan," sambung Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa Raja Karang Setra
sekarang?" tanya Danupaksi sambil melingkarkan kalung itu di lehernya.
"Dari kabar yang aku dapat, rajanya bernama Gusti Prabu Rangga Pati Permadi.
Beliau juga pernah hilang selama dua puluh tahun," sahut Resi Wanapati lagi.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Danupaksi keheranan.
"Dua puluh tahun yang lalu, Adipati Karang Setra yang bernama Gusti Adipati Arya
Permadi pergi untuk mengunjungi mertuanya bersama keluarga dan beberapa punggawa
serta dikawal satu pasukan prajurit.
Di tengah perjalanan, tepatnya di Danau Cubung dekat Lembah Bangkai, rombongan itu
mendapat musibah. Semuanya tewas, kecuali Gusti Prabu Rangga Pati
Permadi dan seorang punggawa. Aku yakin, punggawa yang menjadi tanda tanya itu,
adalah yang dulu telah kutemukan dalam keadaan teriuka parah, Angger Danupaksi,"
panjang lebar Resi Wanapati menceritakan.
"Tapi kenapa kalung ini diberikan padaku melalui punggawa itu, Eyang?"
tanya Danupaksi penasaran.
"Itulah yang aku tidak mengerti.
Setahuku, Gusti Arya Permadi hanya memiliki seorang putra yang berusia lima
tahun yang kini menjadi Raja Kerajaan Karang Setra. yaitu Gusti Prabu Rangga
Pati Permadi."
"Jadi, siapa aku sebenarnya?"
"Itu yang harus kau ketahui, Ngger."
"Setelah dua puluh tahun..."
Mustahil, Eyang!" suara Danupaksi agak keras.
"Tidak ada sesuatu yang mustahil.
Semua yang terjadi di mayapada ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Dan apa yang
akan terjadi, juga sudah menjadi kehendakNya pula. Itulah yang dinamakan takdir,
'Ngger. Manusia tidak bisa menolak, apa yang sudah digariskanNya."
Danupaksi hanya diam merenung.
Dia sudah bisa menebak, ke arah mana pembicaraan itu dimaksudkan. Berat rasanya
jika dia harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah
ditinggali selama dua puluh tahun lamanya. Dan yang paling utama sekali, dia
tidak akan tega meninggalkan Eyang Resi Wanapati seorang diri.
"Besok pagi kau harus berangkat,
'Ngger," kata Eyang Resi Wanapati lagi.
"Eyang...," mata Danupaksi membelalak penuh tanda tanya.
"Jangan membantah!" sergah Resi Wanapati berwibawa.
"Baiklah," desah Danupaksi mengangguk berat.
"Nah, sekarang istirahatlah dulu.
Aku akan menyuruh Pangkeng untuk segera menyiapkan segala keperluan
perjalananmu. Dia juga akan kusuruh untuk menyertaimu," kata Eyang Wanapati.
"Aku tidak tahu, apa yang harus aku katakan, Eyang," Danupaksi matanya memerah
berkaca-kaca. "Aku akan sangat senang kalau kau berhasil menemukan keluargamu lagi.
Hanya itu yang aku harapkan sebagai balas jasamu," Eyang Resi Wanapati memberi
semangat. "Eyang...."
*** Pagi-pagi sekali, Di saat
matahari belum menampakkan dirinya, tampak dua ekor kuda berjalan pelan menembus
kabut tebal dan menuruni tebing Gunung Puting. Penunggang kuda itu tak lain
adalah Danupaksi dan Pangkeng, seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala
gundul licin dan mengenakan baju rompi dari bahan bujal kasar.
Danupaksi kelihatan makin gagah dengan mengenakan baju putih putih ketat, dengan
ikat kepala yang berwarna putih juga dan bersenjata pedang yang bergagang gading di
punggung. Sedangkan kuda yang
ditungganginya adalah juga seekor kuda putih yang tinggi dan gagah.
"Pangkeng...," panggil Danupaksi.
"Ya, Den," sahut Pangkeng sambil mendekatkan kudanya ke samping kuda Danupaksi.
"Apakah nama desa yang ada di depan itu?" tanya Danupaksi.
"O..., itu namanya Desa Salapan, Den. Aku sudah sering ke desa itu kalau disuruh
membeli bahan makanan atau keperluan lain oleh Eyang Resi Wanapati," sahut
Pangkeng menjelaskan.
"Apa masih ada desa lain di sekitar Gunung Puting ini?"
"Ada, Den. Tapi jauh, harus
memutar ke arah Selatan dulu. Itu pun masih
harus melewati sungai dan melintasi padang rumput yang luas."
"Tampaknya kau hapal sekali daerah ini, Pangkeng," puji Danupakasi.
"Iya, Den. Soalnya sering disuruh sih. Lha, Den sendiri kenapa justru tidak
tahu?" "Aku tidak pernah ke luar dari padepokan, Pangkeng. Baru kali ini aku pergi."
"O..., terus tujuan kita sekarang ini ke mana. Den?"
"Kerajaan Karang Setra "
"Wah!" Pangkeng agak terkejut juga
"Kenapa, Pangkeng?"
"Kerajaan Karang Setra cukup jauh dari sini, Den. Itu kan kerajaan yang baru
berdiri, sebelumnya hanya sebuah kadipaten kecil," Pangkeng
menjelaskan. "Rupanya kau tahu betul, ya,"
puji Danupaksi untuk kesekian kalinya.
"Yaaah..., soalnya dulu kan aku pernah tinggal di sana. Walaupun tidak lama,
kira-kira tiga bulanlah,"
Pangkeng cengar-cengir.
"Hm...," Danupaksi mengangguk-angguk
"Dan waktu itu masih berbentuk kadipaten. Dan Adipati yang memerintah di sana
waktu itu sangat kejam!"
Pangkeng agak sendu mengingat masa lalunya.
"Kejam...?" tanya Danupaksi langsung menoleh ke arah Pangkeng.
"Pokoknya tidak bisa dibilang, Den. Tapi setelah berubah jadi
kerajaan, barulah yang memerintah diganti seorang raja yang sangat adil dan
selalu dekat dengan rakyat. Raja itu seorang pendekar yang berilmu tinggi,
hingga kini tidak ada yang bisa menandingi kesaktiannya."
"Apakah kau pernah bertemu dengan raja itu?" tanya Danupaksi penasaran.
"Belum, Den. Tapi menurut cerita orang-orang, Gusti Prabu Rangga sangat dicintai
rakyatnya, meskipun beliau sering bepergian mengembara.
Maklum sifat-sifat pendekar
memang begitu. Tidak betah terus-terusan di istana," ujar Pangkeng sok tahu.
Tampak Danupaksi tersenyum saja
mendengar ucapan Pangkeng itu. Memang tidak ada ruginya pergi bersama
Pangkeng. Selain punya ilmu yang cukup tinggi, dia juga mempunyai pengetahuan
yang cukup luas. Dan Danupaksi bisa bertanya apa saja yang belum
diketahuinya, terutama tentang
Kerajaan Karang Setra yang kini
menjadi tujuannya.
Danupaksi sendiri sebenarnya
masih ragu dengan tujuannya itu. Dia
belum yakin benar, kalau masih
mempunyai keluarga di Kerajaan Karang Setra itu. Tapi dia juga harus
mengetahui tentang kalung segitiga yang menjadi identitas keluarga
Adipati Karang Setra.
"Kita istirahat sebentar di desa itu, Pangkeng," ajak Danupaksi begitu mereka
memasuki perbatasan desa.
"lya, Den. Perut saya juga sudah minta diisi, nih!" sambut Pangkeng gembira.
Kembali Danupaksi tersenyum
mendengar keluhan temannya yang konyol ini.
*** Kedai yang dipilih Danupaksi
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah sebuah kedai yang tidak terlalu besar,
tapi kelihatan bersih
dan nyaman. Kedai itu nampak sepi dari pengunjung, di dalamnya hanya ada empat tamu
selain mereka. Itu pun kelihatannya mereka juga pendatang yang kebetulan singgah
di desa itu. Kalau dilihat dari pakaian serta senjata yang tersandang, mereka adalah orang-
orang rimba persilatan.
Tampak mereka sedang begitu asyik menikmati hidangan yang tersedia di
hadapannya. Beberapa saat kemudian, tampak satu orang pergi setelah
selesai makan, lalu disusul dengan
yang satu lagi. Dan yang terakhir, dua orang yang masih tertinggal segera
menyusul bersama.
"Siapa mereka, ya..., tampaknya kok misterius sekali?" gumam Danupaksi seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Mereka orang-orang rimba
persilatan, Den," celetuk laki-laki tua pemilik kedai sambil membereskan meja
bekas orang-orang itu tadi makan.
Danupaksi segera menoleh ke arah suara yang menyahutinya tadi. Sedang Ki
Sarumpit, pemilik kedai itu, segera menghampiri tamunya yang tampak
penasaran. Kemudian ia duduk di
samping Pangkeng.
"Kenapa mereka pergi satu-satu, padahal arah tujuannya sama. Apakah ada sesuatu
yang sedang terjadi di Utara sana?" tanya Danupaksi terlanjur.
"Memang mereka mau ke Utara, Den.
Di sana ada sayembara yang diadakan oleh Padepokan Baja Hitam," sahut Ki
Sarumpit menjelaskan.
"Sayembara...?" Danupaksi mengerutkan kening.
"Memangnya Aden ini tidak tahu?"
heran juga pemilik kedai itu, melihat tamunya yang bertampang seorang
pendekar tapi tidak tahu tentang sayembara itu.
Sedangkan Danupaksi hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketua Padepokan Baja Hitam mengadakan sayembara besar. Siapa saja boleh ikut,
asal mempunyai ilmu olah kanuragan. Tampaknya sayembara itu akan ramai, karena
hadiahnya bikin penasaran orang-orang berilmu tinggi dari rimba persilatan,"
jelas Ki Sarumpit.
"Hadiahnya apa, Ki?" celetuk Pangkeng yang sejak tadi hanya
mendengarkan saja pembicaraan itu.
"Kalau yang memenangkan sayembara itu seorang laki-laki, maka hadiahnya adalah
putri ketua Padepokan Baja Hitam, tapi kalau perempuan yang memenangkan, akan
memperoleh hadiah besar di samping diangkat sebagai anak oleh Resi Balung
Gading, ketua padepokan itu. Dan juga masih banyak hadiah-hadiah lain yang.... Pokoknya
menarik untuk diikuti!" lanjut Ki Sarumpit.
"Siapa nama putri ketua padepokan itu, Ki?" tanya Pangkeng lagi seolah-olah
dialah yang akan memboyong putri itu.
"Dewi Cempaka! Orangnya cantik bagai bidadari, juga ilmu olah
kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya. Konon, Dewi Cempaka
menginginkan seorang calon suami yang ilmunya lebih tinggi dari dirinya. Dia tak
peduli, apakah orang itu miskin atau kaya, jelek atau
tampan, pokoknya harus bisa
mengalahkannya, itu syarat utamanya!"
"Syarat lainnya lagi?" desak Pangkeng tambah sok jago.
Tampak Danupaksi yang duduk di
samping kanannya, kembali tersenyum melihat tingkah Pangkeng itu.
"Juga harus mengalahkan ayahnya, Ketua Padepokan Baja Hitam," Ki Sarumpit agak
kesal juga menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi dari Pangkeng itu.
"Edan!" dengus Pangkeng. "Mana ada yang mampu menandingi Resi Balung Gading
selain dari Eyang Resi
Wanapati" Itu pun paling-paling juga seimbang."
"Benar, Den. Semua orang juga bilang begitu. Tapi anehnya, ada saja yang datang
untuk mengadu nasib, walaupun sudah banyak peserta yang gagal!"
"Gimana, Den...?" Pangkeng
mencolek pinggang Danupaksi.
"Malas, ah!" desah Danupaksi.
"Wah..., Den Paksi ini gimana sih" Itu kan kesempatan baik buat men...."
Danupaksi segera menginjak kaki
Pangkeng, sehingga laki-laki gemuk dan botak itu meringis dan tidak jadi
melanjutkan kalimatnya. Sementara itu Ki Sarumpit segera bangkit dan
melangkah masuk ke belakang.
"Kalau ngomong dijaga tuh mulut!"
gerutu Danupaksi.
"Maaf, Den. Hampir saja...,"
Pangkeng cengar-cengir.
"Ayo, kita jalan lagi!" ajak Danupaksi tanpa mempedulikan Pangkeng yang masih
saja cengar-cengir.
Pangkeng segera memanggil pemilik kedai dan membayar semua yang mereka makan.
Beberapa saat kemudian mereka segera menggebah kudanya dan pergi meninggalkan
kedai itu. *** "Sebaiknya kita ke Padepokan Baja Hitam dulu, Den," usul Pangkeng ragu-ragu.
"Mau apa kita ke sana?" Danupaksi malah ogah-ogahan.
"Siapa tahu nasib kita mujur, Den. Kalau Den Paksi tidak mau sama putrinya, buat
aku saja. Pasti tidak akan kutolak," tambah Pangkeng sambil tertawa kecil.
"Gundulmu!" umpat Danupaksi sambil tertawa
"He he he..., jadi mau ke sana, Den?"
Danupaksi tidak menjawab. Tapi
tanpa disadarinya, dia mengarahkan kudanya menuju ke Utara.
Pangkeng yang tahu hal itu hanya senyum-senyum saja, bahkan dia
bersiul-siul dengan irama tak
beraturan. Sedangkan Danupaksi baru menyadari kalau dia menuju ke Utara setelah
sampai di perbatasan desa bagian Utara. Danupaksi segera
menghentikan langkah kudanya. Tampak di hadap-an mereka terhampar sebuah padang
rumput yang luas dan
dikelilingi oleh pohon cempaka yang tumbuh rapat. Sedangkan di tengah-tengah
padang rumput itu, tampak berdiri beberapa bangunan yang
dikelilingi oleh pagar kayu yang tinggi dan runcing-runcing ujungnya.
Pandangan Danupaksi segera beralih ke sebuah bendera yang terpancang dan
berkibar di atap rumah yang paling besar. Bendera itu berwarna kuning gading
dengan gambar lingkaran rantai yang berwarna hitam dan di tengah-tengahnya
terdapat gambar dua pedang bersilang.
"Itu dia Padepokan Baja Hitam, Den!" seru Pangkeng memberitahu tanpa diminta.
"Bagaimana kau tahu?" Danupaksi keheranan.
"Ketua Padepokan Baja Hitam dan Eyang Resi Wanapati bersahabat karib.
Tapi mereka saling merahasiakan murid-muridnya."
"Kenapa?" Danupaksi makin keheranan.
"Aku tidak tahu, Den. Mungkin
perjanjiannya memang sudah begitu."
"Pantas saja aku tidak pernah tahu, kalau di lereng Gunung Puting ini masih ada
padepokan lain selain milik Eyang Resi," gumam Danupaksi sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Bukan Den Paksi saja, semua murid Eyang Resi Wanapati juga tidak ada yang
tahu," sahut Pangkeng.
"Aneh...," desah Danupaksi.
"Tidak aneh, Den. Orang-orang rimba persilatan memang kadang-kadang berbuat
sesuatu yang sulit
dimengerti."
"Hm...," Danupaksi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
pelahan. "Jadi kita ke sana, Den?"
Pangkeng mulai memancing lagi.
"Baiklah, tapi kau jangan
mengatakan kalau kita murid Eyang Resi Wanapati!" Danupaksi mengajukan syarat.
"Walaupun kita tidak bilang, mereka juga pasti akan tahu, Den.
Apalagi Ki Balung Gading, pasti dia segera mengenali jurus-jurus Aden nanti."
"Kalau mereka tahu sendiri sih, tidak apa-apa. Asal kau jangan ngomong dulu!"
"Beres, Den. Tapi kalau menang, hadiahnya bagi-bagi, ya?"
"Hadiah yang mana?"
"Tentu saja bukan hadiah
utamanya, he..."
"Kunyuk!"
*** 2 Di depan pintu gerbang Padepokan Baja Hitam, dua orang yang bersenjata tombak
panjang langsung menghadang Danupaksi dan Pangkeng. Tidak lama kemudian, setelah
pintu gerbang terbuka, muncullah seorang pemuda berkulit sawo matang yang
bersenjatakan pedang panjang di
pinggangnya. Pemuda itu berdiri di ambang pintu gerbang dan dikawal oleh dua
orang yang menggenggam tombak runcing di ujungnya.
"Ada keperluan apa Kisanak datang ke Padepokan Baja Hitam?" tanya pemuda itu
sopan. "Ah, ah..., kami mendengar bahwa padepokan ini mengadakan sayembara.
Apa betul?" Pangkeng yang menyahut lebih dulu.
"Benar," pemuda itu menjawab dengan singkat dan tegas.
"Junjunganku ini ingin mencoba mengikuti sayembara itu," kata Pangkeng lagi
sambil melirik Danupaksi yang berada di sampingnya.
Pemuda itu segera mengamati
Danupaksi sebentar, lalu menjentikkan dua ujung jarinya. Seketika itu juga, dua
orang bersenjata tombak yang menghadang tadi langsung menerjang sambil
mengibaskan tombaknya ke arah Danupaksi. Mendapat serangan yang begitu mendadak,
Danupaksi buru-buru menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanannya. Kemudian
tangannya berkelebat cepat menyambar salah satu tombak yang mengarah ke tubuhnya.
"Tahan...!" bentak Danupaksi ketika pemuda itu menjentikkan jarinya lagi, dan
dua orang pengawalnya
melompat maju. Mendengar bentakan itu, dua orang yang sudah melompat maju langsung mengurungkan
niatnya untuk menyerang Danupaksi kembali.
"Kenapa kalian menyerangku?"
tanya Danupaksi keras.
"Jangan hiraukan omongan dia, ayo serang!" sergah pemuda itu.
Danupaksi teipaksa harus melayani empat orang yang langsung menerjangnya dengan
tombak, walaupun masih berada di atas kudanya. Tapi empat orang yang
menyerangnya itu bukanlah lawannya, hingga hanya dalam beberapa saat saja,
keempat orang itu dibikin tak
berkutik, bahkan tombak-tombak mereka pun dibikin patah-patah jadi tiga bagian.
"Bagus!" seru pemuda itu. "Namaku
Parahan. Kau sudah lulus dari ujianku.
Silakan masuk."
Pemuda yang mengaku bernama
Parahan itu segera menggeser tubuhnya ke samping untuk memberi jalan.
"Mari, aku antarkan Tuan menemui Resi Balung Gading," sambut Parahan
mempersilakan. "Terima kasih," ucap Danupaksi seraya melangkah memasuki pintu
gerbang. Danupaksi segera mengedarkan
pandangannya begitu berada di dalam lingkungan Padepokan Baja Hitam.
Tampak suasananya sepi dan lengang, tidak seperti sedang diadakan suatu
sayembara besar. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang duduk-duduk menikmati
semilirnya angin di bawah pohon rindang.
Parahan membawa tamunya ke salah satu rumah yang cukup besar dan kokoh.
Rumah itu terdiri dari kayu yang dihiasi dengan ukir-ukiran yang halus dan
indah. Setelah mencapai depan pintu, Parahan mempersilakan tamunya untuk
menunggu sebentar. Kemudian dia langsung masuk ke dalam untuk melapor.
Tak berapa lama dia sudah kembali lagi dengan didampingi seorang laki-laki tua,
namun masih kelihatan gagah.
Danupaksi langsung menjura
diikuti oleh Pangkeng. Sementara laki-laki tua yang mengenakan baju kuning
gading berhiaskan sulaman gambar rantai hitam dan dua pedang bersilang itu,
segera membalas penghormatan Danupaksi dan Pangkeng.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya laki-laki tua yang bernama Balung Gading itu.
Suaranya lembut namun terdengar penuh wibawa.
"Danupaksi, Resi. Dan ini
temanku, Pangkeng," Danupaksi memperkenaikan din.
"Ah, saya cuma pembantunya, Resi," celetuk Pangkeng cengar-cengir.
"Lalu, apa maksud kalian datang ke sini?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Kami mendengar bahwa padepokan ini mengadakan sayembara, dan temanku ini
menyarankan agar
aku ikut mencobanya," sahut Danupaksi tersipu malu.
"Kau tahu apa syaratnya?" tanya Resi Balung Gading sambil
mengernyitkan keningnya.
Danupaksi hanya mengangguk saja.
"Dengar, Anak Muda. Aku tidak bermaksud meremehkan siapa saja untuk mencoba
sayembara ini. Hanya perlu kau ketahui, sudah puluhan pendekar yang mencoba,
tapi semuanya gagal. Bahkan baru saja ada empat orang yang mengadu nasib, tapi
semuanya tidak ada yang berhasil," Resi Balung Gading memberikan keterangan.
Danupaksi tidak segera menjawab.
Dia lalu menoleh ke arah Pangkeng seolah ingin minta pertimbangan teman
seperjalanannya itu.
"Parahan, tunjukkan tempat
peristirahatan tamu kita ini,"
perintah Resi Balung Gading kepada Parahan yang sejak tadi berdiri di
sampingnya. "Baik, Resi," sahut Parahan menjura hormat.
"Anak muda, aku menunggu
jawabanmu setelah kau cukup
beristirahat," kata Resi Balung Gading seraya berbalik dan melangkah masuk
kembali. "Mari," ajak Parahan ramah.
Danupaksi dan Pangkeng segera
mengikuti ke mana Parahan akan
membawanya. Tak berapa lama kemudian, Parahan membuka pintu salah satu ruangan
dan mempersilakan tamunya untuk beristirahat.
"Terima kasih," ucap Danupaksi seraya masuk ke dalam ruangan itu.
Parahan hanya mengangguk dan
berlalu. Danupaksi dan Pangkeng langsung saja merebahkan dirinya di dipan.
"Sebaiknya kita urungkan saja niat kita ini, Pangkeng," kata Danupaksi setengah
bergumam. "Sudah tanggung, Den," sahut Pangkeng santai.
"Bukan masalah tanggungnya!"
rungut Danu paksi.
"Lantas, apa" Syaratnya terlalu berat?"
"Bukan itu."
"Den...."
"Dengar, Pangkeng. Aku baru saja turun gunung, dan aku belum pernah sekali pun
bertarung secara sungguh-sungguh. Aku sama sekali tidak tahu, ilmu apa yang akan
mereka gunakan nanti Di samping itu, aku tidak ingin mereka tahu, darimana kita
berasal!" "Jangan pikirkan itu, Den. Nanti Aden juga bisa tahu sendiri, jurus mana yang
akan mereka gunakan. Nah, kalau masalah Resi Balung Gading nanti akan tahu asal
kita, itu sih persoalan kecil," Pangkeng menenangkan.
Kau selalu menganggap enteng
persoalan, Pangkeng," Danupaksi belum yakin.
"Den, ini kan kesempatan untuk mengukur kemampuan ilmu yang Aden peroleh selama
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini. Yah..., itung-itung buat pengalaman
pertamalah,"
enteng sekali Pangkeng berkata.
'Terserah kaulah," desah
Danupaksi menyerah.
"Memang seharusnya begitu, Den,"
sambut Pangkeng tersenyum cerah, merasa bujukannya berhasil.
"Kapan kita akan menemui Resi Balung Gading kembali?" tanya
Danupaksi. "Sekarang sudah sore, Den.
Sebaiknya besok pagi saja," sahut Pangkeng.
Beberapa saat kemudian, tampak
kedua pemuda itu sudah memejamkan matanya. Hanya saja kalau Danupaksi tidak
tidur, tapi dia hanya
beristirahat dengan cara bersemadi.
Jadi kesadarannya masih penuh total.
Danupaksi tidak menyangka sama
sekali, kalau yang mengikuti sayembara untuk hari ini bukan dia sendiri.
Tampak masih ada empat orang laki-laki dan dua orang perempuan lagi. Dan yang
menarik perhatiannya adalah seorang peserta yang mengenakan baju rompi dan
bersenjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung rajawali di
punggungnya. Pemuda tampan yang tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti itu
kelihatan tidak menonjol, bahkan terkesan pendiam.
"Tuan-tuan dan Nona-nona
sekalian, kami persilakan siapa yang ingin tampil lebih dulu!" kata Resi Balung
Gading mempersilakan. Ketua Padepokan Baja Hitam itu duduk di kursi dengan
didampingi seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian
pendekar. Gadis itu tak lain adalah Dewi
Cempaka. Dia benar-benar tampil
bagaikan seorang bidadari yang turun
dari kahyangan. Semua mata para
peserta, tak terkecuali Danupaksi sendiri, sampai tak berkedip memandang
penampilan gadis cantik jelita itu.
Apa lagi Pangkeng yang berdiri di deretan para penonton.
"Aku yang tampil lebih dulu!"
seru seorang laki-laki yang kelihatan agak tua.
"Siapa nama atau julukan Tuan?"
tanya Resi Balung Gading.
"Namaku tak perlu kau ketahui, Resi. Sedangkan julukanku adalah Jalak Putih! Aku
datang kesini untuk membawa putrimu, Resi Balung Gading!" sahut Jalak Putih
pongah. "Perlu kau ketahui, Jalak Putih.
Sebelum kau bertanding melawan
putriku, kau harus bisa mengalahkan salah satu muridku dulu. Dan apabila kau
berhasil mengalahkan putriku, maka kau harus ber-hadapan denganku. Itu syarat
mutlak untuk memboyong
putriku!" kata Resi Balung Gading lagi.
"He he he..., siapa muridmu"
Cepat hadapkan padaku!" sahut Jalak Putih sambil memasang kuda-kuda.
"Resi, ijinkan aku mengusir manusia yang pongah ini," kata salah seorang murid
yang berdiri di samping Resi Balung Gading.'
"Silahkan," sahut Resi Balung Gading.
Laki-laki berkulit hitam itu
langsung melompat ke depan. Tampak senjatanya yang berupa tongkat kecil terselip
di pinggangnya.
"Siapa namamu, Anak Muda" Kalau belum kawin kuharap kau segera
mundur!" Jalak Putih setelah pemuda itu berdiri di hadapannya.
"Aku Sarmapala. Aku ingin mohon sedikit pelajaran darimu, Jalak
Putih," sahut Sarmapala te-nang.
"He he he..., ayo! Serang aku, Bocah!" kata Jalak Putih yang menganggap enteng
lawannya yang masih muda itu.
"Tamu dipersilakan menyerang lebih dulu."
"Hm..., kalau begitu, baiklah.
Tahanlah seranganku ini, hiyaaa...!"
Jalak Putih langsung melompat
sambil mengebutkan kedua tangannya dengan cepat secara bergantian.
Sementara Sarmapala segera
mengimbanginya dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang cepat dan lincah.
Dalam waktu yang tidak berapa lama kedua orang itu sudah terlibat dalam
pertempuran yang cepat dan rapat. Begitu cepatnya pertarungan itu berlangsung,
sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari
sepuluh jurus. Jalak Putih tampak mendengus
kesal, karena sudah sepuluh jurus
terlewati dia belum juga bisa
menjatuhkan lawan. Wajahnya sudah merah-padam menahan gemas dan malu.
Sementara suara-suara ejekan dan cemoohan sudah terdengar saling sambut dari
murid-murid Padepokan Baja Hitam lainnya.
"Setan!" dengus Jalak Putih ketika satu pukulan telak Sarmapala berhasil
bersarang di pundaknya, hingga membuat dia terjajar ke
belakang dan jatuh tersuruk di tanah.
Sorak-sorai makin riuh saja
mengejek Jalak Putih. Tapi tak berapa lama kemudian Jalak Putih segera bangkit
lagi. Sementara Sarmapala masih berdiri saja dan tidak
melancarkan serangan, dia sengaja memberi kesempatan pada lawannya untuk bersiap
kembali. "Bagaimana, Tuan" Apa bisa
dilanjutkan?" Sarmapala memberi pilihan. Sama sekali tidak ada nada sombong
dalam suaranya.
"Phuih...!"
Jalak Putih menyemburkan ludahnya.
Sret! Tiba-tiba saja Jalak Putih
mengeluarkan senjatanya berupa
sepasang trisula dari balik ikat pinggangnya. Dengan segera dia
menerjang lawannya tanpa memberi kesempatan untuk mengeluarkan
senjatanya. Tapi meskipun murid
Padepokan Baja Hitam itu tidak
menggunakan senjata, dia masih bisa mengimbangi jurus-jurus Jalak Putih, bahkan
tiba-tiba satu tendangan
telaknya berhasil bersarang di perut lawan yang pongah itu.
"Ughk!" keluh Jalak Putih pendek.
Belum lagi dia dapat menguasai
dirinya, mendadak...
"Lepas...!" bentak Sarmapala keras.
Seketika itu juga senjata Jalak
Putih langsung terpental! Dan bagaikan seekor burung, Sarmapala segera
menangkap senjata yang masih berada di udara itu. Kemudian dia kembali
menukik dan men-jejakkan kakinya tepat di depan Jalak Putih. Dan Jalak Putih
makin merah saja mukanya, karena Sarmapala menempelkan senjatanya yang terpental
tadi ke lehernya.
"Cukup!" seru Resi Balung Gading.
Sarmapala segera meiangkah mundur dan me-lemparkan senjata itu ke depan kaki
Jalak Putih. Pemuda itu segera menjura hormat dan kembali ke
tempatnya. Sementara Jalak Putih, dengan perasaan malu yang amat sangat langsung
memungut senjatanya dan melompat pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sorak-sorai
langsung terdengar menyambut kemenangan Sarmapala.
*** "Silakan, siapa yang berikutnya"
seru Resi Balung Gading.
"Aku...!"
Tiba-tiba seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun langsung melompat ke tengah-tengah arena.
Laki-laki itu mengenakan baju biru dan celana hitam. Sedangkan di pinggangnya
tampak ter-gantung sebilah pedang panjang sampai melewati
lututnya. Dia berdiri tegak dengan tatapan mata lurus ke arah Dewi
Cempaka yang duduk di samping ayahnya.
"Siapa namamu, Tuan," tanya Resi Balung Gading ramah.
"Orang-orang biasa memanggilku si Pedang Maut," sahut laki-laki itu
memperkenalkan diri.
"Apakah kau sudah siap?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku minta putrimu sendiri yang langsung menghadapiku!" sahut laki-laki itu tak
kalah pongahnya dengan yang pertama tadi.
"Sayang sekali, kau harus
melewati tahap yang pertama dulu,"
tolak Resi Balung Gading tetap ramah.
"Kau merendahkan si Pedang Maut, Resi!" serunya sinis.
"Sama sekali tidak, soalnya itu memang sudah menjadi ketentuan
sayembara ini," sahut Resi Balung
Gading tetap kalem.
"Baiklah! Suruh semua muridmu maju!" seru si Pedang Maut dengan pongahnya.
"Resi...!" salah seorang murid padepokan bangkit.
"Silakan, Ramapati," kata Resi Balung Gading mempersilakan muridnya itu untuk
menghadapi si Pedang Maut.
Laki-laki yang bernama Ramapati
itu langsung melompat ke depan setelah memberi hormat terlebih dahulu kepada
Resi Balung Gading.
"Mundurlah, Bocah. Aku tidak sampai hati menjatuhkanmu di depan gurumu sendiri,"
kata si Pedang Maut meremehkan, calon lawannya yang masih muda sekali.
"Jika Tuan berkenan, ijinkan aku menerima sedikit pelajaran darimu,"
kata Ramapati sopan.
"Kau akan menyesal, Anak Muda."
"Tidak ada yang perlu
disesalkan." jawab Ramapati masih tetap sopan.
"Baiklah, cabut senjatamu."
Tapi Ramapati tidak akan mencabut senjatanya sebelum lawannya
menggunakan senjata terlebih dahulu.
Hal itu dianggap penghinaan oleh si Pedang Maut. Maka dengan menggeram hebat, si
Pedang Maut langsung
melompat dengan jurus-jurus pendek tangan kosong yang dahsyat.
Tidak diduga sama sekali olehnya, kalau Ramapati sanggup mengimbanginya dengan
manis sekali. Semakin geram saja dia menghadapi anak muda yang dianggapnya masih
bau kencur itu.
"Cabut pedangmu, Bocah!" geram si Pedang Maut tak sabar.
"Silakan Tuan lebih dahulu,"
sambut Rarnapati tersenyum ramah.
"Setan! Kutebas lehermu!" geram si Pedang Maut makin menjadi-jadi.
Sret! Tanpa mempedulikan rasa malu
lagi, si Pedang Maut langsung mencabut senjatanya. Seketika itu juga dia
langsung merangsek Ramapati dengan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan
mematikan. Sedangkan Ramapati yang tidak sempat mencabut pedangnya, hanya
melayaninya dengan tangan kosong. Tapi karena dia terus terdesak, maka pada
suatu kesempatan, dia segera mencabut senjatanya juga.
Tring! Satu benturan keras terjadi, dan si Pedang Maut langsung memerah
wajahnya. Dia merasakan tangannya jadi kesemutan begitu pedangnya beradu dengan
pedang Ramapati. Lain halnya dengan Ramapati, dia kelihatan tenang dan tidak
terpengaruh sedikit pun, bahkan dia membalas dengan serangan balik yang gencar
dan berbahaya. Hingga beberapa kali si Pedang Maut
harus berjumpalitan jatuh bangun nienghindari serangannya. Pada suatu
kesempatan.... "Hiya.... Lepas!" bentak Ramapati tiba-tiba.
Seketika itu juga pedang Ramapati berkelebat cepat dan langsung
menyampok mata pedang lawannya.
Sungguh di luar dugaannya sama sekali, begitu dua pedang beradu, Ramapati telah
meng-hantam pergelangan tangan Pedang Maut dengan kakinya.
"Akh!" si Pedang Maut memekik tertahan.
Bersamaan dengan itu senjatanya
terlontar ke udara. Melihat keadaan itu, Ramapati segera
memburu dan menyambar pedang lawannya sebelum Pedang Maut menyadarinya. Dan tiba-tiba saja
Ramapati sudah berdiri lagi dengan senjata lawan di tangan.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Ramapati sambil melemparkan pedang lawannya pada
pemiliknya "Phuih!" si Pedang Maut menyemburkan ludahnya. Jelas sekali wajahnya merah padam
menahan rasa malu yang amat sangat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, si
Pedang Maut langsung meloncat ke luar arena setelah mengambil senjatanya
kembali. Sedangkan Ramapati segera menjura hormat pada Resi Balung
Gading, sebelum kembali ke tempatnya.
Sementara suara sorak-sorai masih terdengar bergemuruh menyambut
kemenangan Ramapati.
"Silakan, siapa berikutnya," kata Resi Balung Gading memberikan
kesempatan. Dan siang itu pun di halaman
Padepokan Baja Hitam sangat ramai oleh beberapa pertarungan, untuk
memenangkan sayembara yang berhadiah sangat menarik itu. Dan dan beberapa kali
pertarungan itu, yang berhasil lolos dari rintangan pertama hanya dua orang
saja. Itu pun mereka langsung kalah lagi setelah menghadapi
rintangan kedua dengan menghadapi Dewi Cempaka.
Sementara itu matahari terus
bergulir dan makin condong ke arah Barat. Dan para peserta sayembara kini hanya
tinggal Danupaksi dan Rangga alias Pendekar
Rajawali Sakti.
Sedangkan peserta
lainnya sudah meninggalkan Padepokan Baja Hitam dengan membawa sejuta malu, tanpa memperoleh
apa-apa. Sejenak Danupaksi memandang ke arah Rangga yang duduk tidak begitu jauh
darinya. Dan pada saat yang bersamaan, Rangga
juga mengarahkan pandangannya ke arah Danupaksi. Tapi tiba tiba tampak Pendekar
Rajawali Sakti itu terkejut melihat kalung yang dipakai Danupaksi.
Dia segera bangkit dari duduknya.
Sedangkan tatapannya tetap saja pada kalung yang dipakai Danupaksi.
Kemudian seperti ada yang mengomandoi saja, kedua pemuda itu langsung
melangkah bersamaan ke tengah lapangan arena pertarungan. Sedangkan pandangan
mereka tertuju ke satu titik. Titik yang ada pada bola mata mereka masing-
masing. "Sebentar, Tuan-tuan tidak boleh maju dengan bersamaan," kata Resi Balung Gading
begitu melihat peserta yang terakhir maju bersamaan.
Rangga dan Danupaksi langsung
menolehkan kepalanya dan menatap ke arah Resi Balung Gading.
"Salah satu dari Tuan harus bisa bersabar," kata Resi Balung Gading sambil
mengangkat tangannya.
"Aku yang mengalah."
"Aku yang belakangan."
Resi Balung Gading terkejut
mendengar kata-kata kedua pemuda di depannya serara bersamaan. Tadinya dia
mengira, bahwa mereka ingin saling mendahului. Keterkejutan itu juga
menghinggapi Rangga dan Danupaksi.
Mereka langsung saling pandang
kembali. Entah kenapa sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi pada batin
mereka masing-masing.
"Ayah...," Dewi Cempaka berbisik.
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Resi Balung Gading segera mendekatkan kepalanya pada putrinya.
"Sudah sore, Ayah. Sebaiknya sayembara ini dilanjutkan besok pagi saja," kata
Dewi Cempaka berbisik.
"Baiklah," sahut Resi Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu dua pemuda yang
tengah menanti di arena pertarungan masih saling bertatapan dengan
berbagai perasaan yang berkecamuk didalam dada.
"Putriku meminta, agar
pertarungan ini dilanjutkan besok pagi. Untuk itu, Tuan-tuan kami
persilakan beristirahat dulu,
silakan," kata Resi Balung Gading kemudian.
Lalu Resi Balung Gading segera
bangkit dan melangkah masuk diikuti Dewi Cempaka. Sedangkan Danupaksi dan Rangga
pun segera melangkah bersamaan menuju kamar yang telah disediakan untuk
beristirahat. *** 3 Sebenarnya Pendekar Rajawali
Sakti tidak tertarik sedikit pun pada sayembara itu. Dia datang ke Padepokan
Baja Hitam dalam rangka ingin mengetahui, apakah Pandan Wangi ada di padepokan
itu atau tidak" Masalahnya
sayembara itu tersebar luas dan
berlaku untuk siapa saja, tak
terkecuali laki-laki atau perempuan.
Dan siapa tahu Pandan Wangi ada di Padepokan Baja Hitam" Tapi ternyata
harapannya sia-sia.
Malahan yang didapatkan justru
sesuatu yang membuat dirinya jadi semakin gelisah. Ya.... Kalung itu amat
dikenalnya. Sebuah kalung
segitiga dengan lingkaran di dalamnya dan merupakan perlambang bahwa
pemiliknya masih keturunan Adipati Karang Setra. Sejenak Rangga kembali
memperhatikan kalung kepunyaannya.
"Miliknya benar-benar persis dengan kalung ini. Siapa dia
sebenarnya...?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Beberapa saat dia tercenung
mengamati kalung itu. Tapi tiba-tiba dia tersentak ketika matanya menangkap
kelebatan seseorang yang mengintip dari balik jendela. Buru-buru dia memasukkan
kembali kalung itu ke dalam kantung celananya. Dan dengan gerakan yang cepat,
dia langsung melompat ke luar kamar.
"Hey...!" seru Rangga begitu melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke arah
rumah yang paling besar.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung mencelat dan mengejar bayangan
itu. Hanya dengan dua kali
lompatan saja, dia sudah dapat
melewati bayangan itu dan mencegatnya.
Betapa terkejutnya Rangga begitu mengetahui bahwa bayangan itu adalah Dewi
Cempaka, putri ketua Padepokan Baja Hitam.
"Oh, maaf. Aku tidak tahu
kalau...,'' Rangga buru-buru meminta
maaf dengan tersipu-sipu.
"Hm..., ilmu meringankan tubuhmu hebat sekali. Belum pernah aku
dikalahkan dalam ilmu meringankan tubuh, kecuali olehmu barusan," puji Dewi
Cempaka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ah, maaf. Kenapa Tuan Putri tadi mengintaiku?" tanya Rangga tidak peduli dengan
pujian tersebut.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Dewi Cempaka tanpa menghiraukan
pertanyaan Rangga.
"Aku cuma seorang pengembara miskin yang ingin mengadu nasib,"
jawab Rangga sambil menundukkan
kepala. "Sikap dan tutur katamu
mencerminkan kalau kau bukan seorang pengembara biasa," kata Dewi Cempaka
meraba-raba dengan dugaan.
Rangga hanya diam. Dalam hatinya terbersit rasa kagum dengan wawasan gadis
cantik ini, hingga dapat menilai seseorang tanpa menyelidiki lebih dulu.
"Baiklah kalau kau tak mau
berterus terang. Tapi aku yakin, kalau kau datang ke sini bukan untuk
sayembara ini," tebak Dewi Cempaka menyempurnakan dugaannya.
"Apa sebenarnya maksudmu, Tuan Putri?" tanya Rangga sedikit terkejut.
"Anda tidak pantas menyebutku demikian, Gusti Prabu Rangga Pati Permadi," kata
Dewi Cempaka kalem.
"Kau.... Kau tahu siapa aku...?"
Rangga semakin terkejut saja. Dia benar-benar kaget kalau Dewi Cempaka
mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Sejak pertama kau datang kemari, aku sudah tahu siapa kau sebenarnya, meskipun
kau merahasiakannya. Maaf, kalau penyambutan kami kurang berkenan di hati Gusti
Prabu," kata Dewi Cempaka sambil menjura hormat.
"Hey...!" Rangga jadi serba salah melihat gadis itu berlutut dengan kedua tangan
merapat di depan hidung.
Pendekar Rajawali Sakti itu buru-buru menghampiri dan membangunkan Dewi Cempaka,
namun gadis itu tetap
menunduk penuh hormat. Pendekar
Rajawali Sakti jadi semakin tidak enak saja perasaannya.
"Apakah sebenarnya yang Gusti Prabu cari di padepokan hina ini?"
tanya Dewi Cempaka hormat.
"Tunggu dulu, Dewi Cempaka.
Apakah kau yakin kalau diriku seorang
raja?" tanya Rangga tidak menjawab pertanyaan Dewi Cempaka.
"Semua orang di sekitar lereng Gunung Puting ini sudah tahu, siapa sebenarnya
Gusti Prabu," jawab Dewi Cempaka.
"Siapa yang mengatakan begitu padamu?" tanya Rangga penasaran.
"Seorang murid Padepokan Baja Hitam yang sering berkelana di rimba persilatan "
"Lalu, apa
hubungannya dengan
pengintaianmu tadi?" tanya Rangga
lagi. Ia masih penasaran dengan
tindakan gadis itu yang mengintainya malam-malam begini.
"Terus terang, hamba hanya ingin memastikan dugaan hamba. Dan sekarang hamba
sudah yakin, setelah tadi hamba melihat Gusti Prabu sedang mengamati kalung itu.
Sekali lagi hamba mohon ampun," Dewi Cempaka menjelaskan.
Rangga terdiam beberapa saat. Dia jadi teringat dengan Danupaksi yang juga
memiliki kalung yang sama persis dengan yang ia miliki. Kalau Dewi Cempaka
mengetahui hal itu, dia tentu juga memperhatikan kalung yang
dikenakan Danupaksi.
"Kalung seperti ini juga dimiliki oleh Danupaksi, apakah kau melihatnya juga?"
tanya Rangga penasaran.
"Benar, Gusti. Tapi ada
perbedaannya. Dan hamba yakin, kalung
Gusti Prabu-lah yang asli," jelas Dewi Cempaka lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Kalung yang asli lingkarannya dapat menyala pada malam hari, dan itu sudah
hamba lihat waktu Gusti Prabu mengeluarkannya di kamar."
"Hm..., jadi kau mengintai setiap peserta sayembara?" Rangga menduga.
"Benar, tapi itu hamba lakukan hanya untuk mengetahui kelemahan calon lawan
hamba. Lain tidak"
"Jadi, kau sudah tahu
kelemahanku, begitu?"
"Maaf, Gusti. Hamba belum bisa mengetahuinya."
"Ah, sudahlah. Aku mau istirahat.
Besok pagi aku harus meneruskan
perjalanan," kata Rangga seraya berbalik.
"Maaf, Gusti. Ayahanda sudah menyiapkan kamar khusus untuk Gusti Prabu tempati
malam ini," cegah Dewi Cempaka.
Rangga sampai berhenti melangkah mendengarnya. Belum lagi dia sempat mengatakan
sesuatu, tampak beberapa murid padepokan datang menghampiri.
Ternyata mereka mengawal Resi Balung Gading. Begitu mereka sampai di depan
Rangga, serentak semuanya menjura hormat, tak terkecuali Resi Balung Gading
sendiri. Rangga jadi salah
lingkah. Dia juga tidak dapat menolak lagi, ketika Resi Balung Gading
mengundangnya untuk makan malam.
*** "Kami semua mohon maaf atas kelancangan dan penyambutan yang tidak berkenan di
hati Gusti Prabu," kata Resi Balung Gading setelah mereka menikmati santapan
malam. "Sudahlah, tidak perlu Resi bersikap begitu padaku," kata Rangga merendah.
"Maaf, Gusti Prabu. Ada maksud apa sebenarnya hingga Gusti Prabu berkenan
mengunjungi padepokan hamba ini?" tanya Resi Balung Gading.
"Aku cuma kebetulan lewat," sahut Rangga kalem.
"Kalau Gusti Prabu memang berniat mengikuti sayembara ini, hamba akan segera
menutupnya, dan dengan senang hati hamba akan menyerahkan Dewi Cempaka untuk
diboyong ke istana Karang Setra," kata Resi Balung Gading lagi.
Sementara itu Dewi Cempaka yang duduk di samping ayahnya hanya
terduduk tersipu. Tentu saja Rangga dapat melihat paras cantik yang
bersemu kemerahan itu. Dewi Cempaka memang cantik, tapi bukan itu tujuan Rangga
datang ke Padepokan Baja Hitam.
Bagaimanapun juga, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa melupakan cinta
pertamanya pada Pandan Wangi, yang kini entah berada di mana.
"Masih ada satu peserta lagi, Resi," Rangga mengingatkan.
"Ah, hamba yakin. Kalau Gusti pasti mampu membuatnya angkat kaki dari sini,"
jawab Resi Balung Gading sopan.
"Maaf, Resi. Hamba sudah
memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan besok pagi," kata Rangga.
"Oh...," Resi Balung Gading melongo.
Sedangkan Dewi Cempaka langsung
mengangkat kepalanya. Dia seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
Gadis itu memang sudah tertarik dengan Rangga sejak pertama kali melihat, dan
dia sudah merencanakan untuk mengalah dalam pertarungan nanti. Tapi kini
rencananya langsung lenyap setelah mendengar kata-kata Rangga barusan.
Harapannya yang telah timbul, langsung sirna seketika.
"Gusti, apakah putri hamba
terlalu hina untuk..."
'Tidak, Resi," cepat-cepat Rangga memotong. "Dewi Cempaka sangat cantik, pandai
dan sangat tinggi ilmunya. Aku senang dapat berkenalan dengan
putrimu, Resi."
"Tapi..., kenapa Gusti me...."
"Aku tidak menolak. Sebenarnya aku datang ke sini ada maksud yang sangat pribadi
sifatnya. Maaf, mungkin aku telah mengecewakan Resi dan Dewi Cempaka."
"Oh, tidak.... Tidak, sama sekali tidak mengecewakan. Bahkan kami merasa
mendapat kehormatan dengan kunjungan Gusti ke sini," buru-buru Resi Balung
Gading menyahuti.
"Kalau begitu lanjutkan saja sayembara
ini, aku ingin melihat
peserta yang sudah menunggu sejak kemarin," kata Rangga.
"Baiklah, Gusti. Hamba akan melanjutkan sayembara ini," sahut Resi Balung
Gading. Setelah berbasa-basi sebentar,
Rangga segera mohon diri untuk
istirahat. Sedangkan Resi Balung Gading memerintahkan pada salah
seorang muridnya untuk menunjukkan kamar Rangga. Kamar khusus yang
disediakan untuk tamu kehormatan.
"Ayah...," bisik Dewi Cempaka setelah Rangga tidak ada lagi di ruangan itu.
"Ada yang ingin kau katakan, Anakku?" sahut Resi Balung Gading.
"Bagaimana kalau Danupaksi yang memenangkan sayembara ini?" ada nada
kekhawatiran pada suara Dewi Cempaka.
"Siapa saja yang memenangkan sayembara ini, pantas menjadi
suamimu," jawab Resi Balung Gading tegas.
"Tapi, Ayah...."
"Danupaksi tidaklah jelek. Dia pemuda tampan dan kelihatannya tidak sombong dan
angkuh. Ayah yakin, kalau Danupaksi seorang pendekar beraliran putih. Kita lihat
saja besok."
"Kalau aku berhasil mengalahkan Danupaksi, mau kan Ayah meminta Gusti Prabu
untuk mengikuti sayembara ini?"
pinta Dewi Cempaka ragu-ragu.
"Ha ha ha..., rupanya kau
sudah...," tebak Resi Balung Gading. "Ayah!"
"Baik, baiklah. Semoga saja Gusti Prabu berkenan. Tapi aku juga harus
menyarankanmu, jangan bersikap
mengalah. Itu bukan sikap seorang pendekar. Ayah yakin, kalau kau
bersikap mengalah, Gusti Prabu tidak akan mau menerimamu, mengerti?"
"Aku usahakan, Ayah."
"Tidurlah, kau harus mempersiap-kan diri untuk besok."
"Selamat malam, Ayah." "Ya."
Pagi-pagi sekali, di depan rumah besar tempat kediaman Resi Balung Gading, sudah
berkumpul murid-murid Padepokan Baja Hitam. Mereka semua menunggu dimulainya
lagi sayembara yang sangat menarik itu. Tampak di tengah-tengah arena, Danupaksi
berdiri tegak dengan tatapan lurus ke arah
tempat duduk Resi Balung Gading.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah mengundurkan diri dari sayembara itu
setelah penyamarannya diketahui oleh seluruh penghuni padepokan.
"Kau adalah satu-satunya peserta sayembara untuk hari ini, Tuan
Danupaksi. Untuk itulah aku memberimu kelonggaran. Kau bisa langsung
berhadapan dengan putriku tanpa
melewati rintangan pertama dulu," kata Resi Balung Gading.
"Maaf, Resi. Sebaiknya gunakan saja peraturan yang sudah ada," tolak Danupaksi
merendah. "Maaf, aku memang sengaja
merubah, karena sudah lelah menghadapi sayembara ini," kata Resi Balung Gading
lagi. "Baiklah, kalau itu keinginanmu, Resi," kata Danupaksi akhirnya.
"Nah, mulailah!"
Dewi Cempaka langsung melompat ke tengah tengah arena dengan gerakan yang
ringan. "Aku persilakan kau menyerang dulu, Tuan Danupaksi," kata Dewi Cempaka datar
suaranya. "Baiklah," Danupaksi segera memasang kuda kuda untuk menyerang walaupun agak
ragu-ragu. "Tidak perlu sungkan, ayo serang aku!'
Danupaksi segera melompat seraya
mengirimkan pukulan yang cepat dan beruntun.
"Hait...!"
Des.... Des! Dua tangan langsung beradu dengan keras beberapa kali. Sejenak Danupaksi
melompat mundur tiga langkah untuk memasang jurus berikutnya. Sedangkan Dewi
Cempaka masih tetap berdiri tegak dengan pandangan mata yang tajam.
Danupaksi tak menduga sama sekali kalau tangannya sampai bergetar begitu beradu
dengan tangan Dewi Cempaka.
Rupanya kabar tentang gadis itu bukan omong kosong belaka. Terbukti dari tenaga
dalamnya cukup tinggi, bahkan hampir mencapai taraf kesempurnaan.
Danupaksi tak bisa menganggap
remeh gadis itu. Maka dia segera menyerang kembali dengan jurus-jurus tangan
kosong yang pendek dan cepat.
Sedangkan Dewi Cempaka pun langsung mengimbanginya dengan cepat dan tepat.
Pertarungan terus berlangsung dengan seru dan sengit, walau sudah tampak
kecenderungan kalau Danupaksi
terdesak. Pada suatu saat yang tepat, Dewi Cempaka berhasil menyarangkan pukulan telaknya
ke dada Danupaksi.
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ugh"!" keluh Danupaksi pendek.
Tubuhnya langsung tersuruk ke
tanah dengan keras. Tapi tak berapa lama dia bangkit lagi seraya menyeka
darah yang ke luar dari bibirnya.
"Bagaimana, Tuan Danupaksi. Apa masih bisa dilanjutkan?" kata Dewi Cempaka.
"Sudah, sudah cukup," sahut Danupaksi pelan.
"Den...!" seru Pangkeng terkejut mendengar keputusan Danupaksi.
"Tunggu dulu!" sentak Resi Balung Gading begitu melihat Danupaksi mau pergi.
"Maaf, Resi. Aku mengaku kalah dan tidak berhak mendapat hadiah darimu," kata
Danupaksi me-rendah.
"Kau belum kalah, aku tahu kau sengaja mengalah. Kenapa?" Resi Balung Gading
tidak mengerti.
"Putrimu jauh lebih tinggi
ilmunya dariku," sahut Danupaksi.
"Sungguh tidak kusangka, seorang pendekar sepertimu begitu lemah dan kerdil
jiwanya!" gumam Resi Galung Gading.
Kata-kata yang pelan itu sangat
menusuk hati Danupaksi. Seketika mukanya merah menahan marah.
"Resi, kuakui. Aku memang sengaja mengalah. Karena aku mempunyai
persoalan yang lebih penting daripada persoalan sepele ini!" geram Danupaksi.
Kau sudah mengikuti sayembaraku, maka kau harus mematuhi syaratnya!"
tegas kata-kata Resi Balung Gading
karena kesal melihat Danupaksi
mengalah. "Aku sudah mengikuti syarat-syaratmu, Resi dan aku kalah. Bila kau belum puas,
aku akan datang lagi setelah urusanku selesai!"
Setelah berkata begitu, Danupaksi segera melompat ke punggung kudanya yang
tertambat di pohon. Sedangkan Pangkeng langsung mengikuti dari belakang.
Kemudian dua kuda itu
langsung melesat cepat meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Sementara Resi Balung
Gading masih terhenyak
memandang kepergian anak muda itu. Dia begitu terpukul mendengar kata-katanya
tadi. Tapi yang lebih terpukul lagi
adalah Dewi Cempaka. Kata-kata itu seperti merendahkan harga dirinya sebagai
seorang wanita. Bagaimana tidak, Danupaksi telah mengatakan bahwa dia sengaja
mengalah. Bukankah hal itu bisa diartikan bahwa dia tidak butuh hadiah pertama"
Sementara Dewi Cempaka dengan rela dijadikan hadiah pertama.
"Cempaka...!" seru Resi Balung Gading terkejut.
Tapi Dewi Cempaka terus berlari
dan tidak menghiraukan lagi panggilan ayahnya. Mendadak saja dia jadi malu,
tidak sanggup lagi bertemu muka dengan para murid padepokan. Dia baru
menyadari bahwa sikap mereka yang begitu menghormatinya mungkin hanya di luarnya
saja, karena dirinya putri guru
mereka. Pantas saja Rangga
menolak mentah-mentah tanpa memberikan alasan yang tepat. Sungguh memalukan!
*** "Cempaka..., Cempaka...!" panggil Resi Balung Gading seraya mengetuk-ngetuk
pintu kamar putrinya.
Tidak ada sahutan dari dalam.
Pintu kamar itu tetap saja tertutup rapat. Dia kembali mengetuk dan
memanggil. Tapi tetap saja tidak ada jawaban sedikit pun dari dalam. Tidak sabar
dan penasaran oleh keadaan itu, Resi Balung Gading segera mencoba membuka pintu.
Ternyata pintu itu tidak terkunci! Maka dengan pelan-lahan dia mendorongnya...,
segera tampak Dewi Cempaka menelungkupkan diri di atas pembaringan.
"Cempaka...," panggil Resi Balung Gading berbisik.
"Untuk apa Ayah kemari! Mau membujukku?" sentak Dewi Cempaka seraya membalikkan
tubuhnya. Tampak di kedua matanya yang merah, telah
dipenuhi dengan air bening.
"Kau menangis, Anakku" Kau
menangis...?" Resi Balung Gading bagai tak percaya melihat putrinya menangis.
Entah kenapa, Dewi Cempaka segera menghentikan tangisnya begitu Resi Balung
Gading memeluk tubuhnya.
Sungguh Resi Balung Gading begitu gembiranya melihat putrinya menangis.
Tidak pernah selama ini dia melihat putrinya menangis. Begitu bahagianya dia,
sampai-sampai tak menyadari kalau ada setitik air bening yang bergulir di
pipinya. "Ayah.... Ayah menangis...?" Dewi Cempaka terheran-heran melihat ayahnya
menangis begitu dia melepaskan
pelukannya. "Ayah begitu bahagia, Anakku...,"
tersendat suara Resi Balung Gading.
"Ayah gembira melihat aku
kehilangan muka?" Dewi Cempaka makin tidak mengerti.
"Bukan..., bukan itu, Cempaka.
Ayah gembira karena kau benar-benar seorang wanita."
"Jadi, selama ini Ayah
menganggapku apa?"
"Sembilan belas tahun aku belum pernah melihatmu menangis. Aku
gembira, Anakku. Bahagia melihatmu bisa menangis."
Betapa terharunya Dewi Cempaka.
Dia langsung memeluk ayahnya kembali.
"Kalau saja ibumu masih
hidup...," suara Resi Balung Gading masih tersendat setelah melepaskan
pelukannya. "Ayah...," Dewi Cempaka segera memutuskan kata-kata ayahnya.
"Kau sangat mirip dengan ibumu, Anakku. Bedanya dia tidak memiliki kekuatan apa
pun. Seandainya dia sepertimu, mungkin nasibnya tidak akan seburuk itu. Kalau
saja tidak ada Wanapati, mungkin kau juga akan binasa di tangan mereka.
Wanapati.... Heh!"
tiba-tiba Resi Balung Gading
tersentak. "Ada apa, Ayah?" Dewi Cempaka terkejut.
"Danupaksi...," gumam Resi Balung Gading.
"Ayah...," Dewi Cempaka makin tak mengerti.
"Ya, Danupaksi itu adalah
muridnya Wanapati. Aku kenal betul dengan jurus-jurusnya," Resi Balung Gading
tidak mengindahkan keheranan putrinya.
Dewi Cempaka geleng-geleng
kepala. Dia jadi tidak mengerti dengan sikap ayahnya itu. Dan ayahnya pun tidak
memberikan penjelasan....
Tiba-tiba dia teringat dengan
kalung segitiga yang dipakai
Danupaksi. Sebuah kalung yang sama persis dengan milik Rangga, Raja Karang
Setra. "Mustahil kalau Wanapati mengutus muridnya untuk mengikuti sayembara.
Ini tidak mungkin terjadi!" gumam Resi
Balung Gading masih belum menyadari kalau gumamannya didengar putrinya.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" Dewi Cempaka makin penasaran.
"Danupaksi..., mengapa dia sampai ikut sayembara?"
"Ayah, bukankah itu sudah
berlalu" Danupaksi sudah pergi dan aku...."
Resi Balung Gading langsung
menatap putrinya dalam-dalam.
"Aku harus menyelidikinya, Ayah,"
kata Dewi Cempaka.
"Cempaka, apa maksudmu?" Resi Balung Gading agak kaget juga.
"Danupaksi mempunyai tanda
Kerajaan Karang Setra!"
"Tanda...!" Maksudmu?"
"Dia memiliki kalung yang sama persis dengan milik Gusti Prabu
Rangga. Bukankah Ayah pernah
menceritakan tentang keluarga Adipati Karang Setra, sebelum menjadi
kerajaan?"
Resi Balung Gading mengangguk-
angguk. "Kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di dalamnya hanya ada satu."
"Benar."
"Tapi mengapa Danupaksi juga memilikinya?"
"Dewi Cempaka! Dari mana kau tahu semua itu?" Resi Balung Gading tersentak.
"Aku melihatnya sendiri,
Danupaksi memang memakai kalung
seperti itu!"
"Astaga...!!!" Resi Balung Gading menepuk keningnya sendiri.
"Di mana Gusti Rangga sekarang?"
tanya Dewi Cempaka.
"Dia sudah pergi," sahut Resi Balung Gading. "Cempaka, aku akan pergi ke Gunung
Puting. Kau jangan ke mana-mana sampai aku kembali!"
"Aku ikut!"
"Jangan! Kau harus tetap di sini sebelum aku kembali!"
Dewi Cempaka jadi diam. Dia tahu kalau ayahnya memang terikat janji aneh dengan
Resi Wanapati di Gunung Puting. Meskipun dia tidak mengerti isinya.
Kini dia hanya diam merenungkan
sejuta pertanyaan yang berkecamuk di benaknya!
*** 4 Resi Wanapati sangat terkejut
ketika melihat kedatangan Resi Balung Gading. Dengan kepala yang masih diliputi
berbagai macam pertanyaan, dia segera menyambut juga kedatangan sahabatnya itu.
Melihat sikap dan sorot mata Resi Balung Gading Gading,
Resi Wanapati sudah bisa menduga kalau ada persoalan berat di benaknya.
"Ada apa gerangan, sehingga kau menyempatkan datang sendiri ke
tempatku, Balung Gading?" tanya Resi Wanapati ramah.
"Apakah kau telah mengirim
muridmu mengikuti sayembaraku,
Wanapati?" tanya Resi. Balung Gading langsung pada pokok persoalannya.
Tentu saja Resi Wanapati terkejut bukan main dengan pertanyaan itu! Dia sama
sekali tidak mengirimkan muridnya seorang pun!
"Dia memang tidak menyebutkan berasal dari mana, tapi aku sangat hapal dengan
jurus jurus yang
digunakannya," kata Resi Balung Gading lagi.
"Siapa namanya?" tanya Resi Wanapati ingin tahu.
"Danupaksi! Dan dia datang
bersama pembantunya yang bernama Pangkeng. Apa benar ada muridmu yang bernama
Danupaksi?" tanya Resi Balung Gading lagi.
"Benar," sahut Resi Wanapati pelan. Dia sangat menyesali tindakan muridnya yang
dianggapnya begitu lancang.
"Wanapati!
Sudah lupakah kau
dengan perjanjian kita?" sentak Resi Balung Gading marah.
"Tenang dulu, Balung Gading. Akan
aku jelaskan dulu persoalannya," kata Resi Wanapati tidak terpancing emosi.
"Danupaksi memang muridku, bahkan lebih dari itu, dia sudah kuanggap sebagai
anakku sendiri. Dan dia baru saja turun gunung setelah
menyelesaikan pelajaran terakhir yang kuberikan. Tapi aku sama sekali tidak
pernah menyuruhnya untuk ke
padepokanmu, apalagi mengikuti sayembara," ujar Resi Wanapati berusaha
menjelaskan. "Sebenarnya ke mana tujuannya?"
tanya Resi Balung Gading, sedikit reda amarahnya.
"Kerajaan Karang Setra," jawab Resi Wanapati singkat.
"Sudah kuduga...," gumam Resi Balung Gading sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Balung Gading, aku terpaksa menceritakan apa yang hanya menjadi dugaanku.
Soalnya aku sendiri belum mengetahui dengan jelas. Aku hanya mengatakan, mungkin
dia berasal dari Karang Setra dan. "
"Kau berikan kalung itu?" Resi Balung Gading memotong cepat.
"Dia sudah berumur dua puluh tahun. Aku rasa, kau masih ingat butir-butir
perjanjian kita, Balung Gading."
"Tapi kau terlalu cepat,
Wanapati. Huh...! Kalau saja kemarin
sampai terjadi..., entah kutukan apa yang akan menimpa kita," keluh Resi Balung
Gading. "Danupaksi berhasil mengalahkan putrimu?" tanya Resi Wanapati.
"Dia mengalah."
"Maksudmu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Bahkan semula aku telah mengira, bahwa kau sengaja
mengutusnya mengikuti
sayembara untuk menghinaku," kata Resi Balung Gading jujur.
"Ha ha ha..., ada-ada saja kau ini, Balung Gading," Resi Wanapati menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Maafkan aku, Wanapati. Aku terlalu dibawa emosi," sesal Resi Balung Gading.
"Ah, sudahlah. Yang penting semuanya sudah terhindar. Bagaimana dengan Dewi
Cempaka?" "Dia merasa terhina. Lebih-lebih setelah Resi Balung Gading tidak melanjutkan
kata-katanya. "Boleh aku tahu?" Resi Wanapati penasaran.
"Gusti Prabu Rangga! Dia juga datang ke padepokanku," ujar Resi Balung Gading
terus terang. "Apakah kau tidak salah lihat?"
Resi Wanapati sedikit ragu.
"Dewi Cempaka sendiri yang
melihat tandanya," Resi Balung Gading tetap kalem.
"Maksudmu?" tanya Resi Wanapati tak sabaran.
"Ia mengenakan kalung segitiga dengan beberapa lingkaran di
tengahnya," jawab Resi Balung Gading.
"Apa...?" Resi Wanapati terlonjak dari duduknya.
"Itulah persoalannya. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa kalung itu bisa ada
dua!" "Apa sekarang Gusti Prabu Rangga masih ada di padepokanmu?" tanya Resi Wanapati.
"Tidak, dia sudah pergi."
Resi Wanapati tampak mengerutkan keningnya dalam dalam. Apa yang selama ini
mereka khawatirkan, akhirnya akan terjadi juga. Dua puluh tahun mereka selalu
mentaati janji, tidak saling berkunjung dan tidak saling
mengenalkan muridnya masing-masing.
Tapi semua jadi berantakan dengan datangnya Danupaksi ke Padepokan Baja Hitam.
Dan dia tidak menyalahkan Danupaksi secara total. Semua itu juga akibat dari
ketertutupan mereka.
"Mungkin sudah saatnya kita saling membuka diri, Wanapati," kata Resi Balung
Gading pelan. "Ya, aku juga sedang berpikir demikian," sahut Resi Wanapati.
"Dan kita harus membuka rahasia ini pada Gusti Prabu Rangga dan
Danupaksi."
"Juga Dewi
Cempaka," usul
Wanapati. "Yah.... Itu memang satu-satunya jalan. Bagaimanapun juga, akhirnya kita memang
harus kehilangan orang-orang yang kita cintai," keluh Resi Balung Gading.
"Kau menyesal?"
"Buat apa" Kehidupan kan memang begitu!"
*** Dewi Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Dia sangat tidak
percaya dengan apa yang
didengarnya. Bagaimana mungkin dia mau percaya" Selama ini yang dia tahu Resi
Balung Gading adalah ayahnya,
sedangkan ibunya telah meninggal waktu dia masih bayi. Tapi mengapa tiba-tiba
justru ayahnya yang mengatakan bahwa dia sebenarnya bukan anaknya" Bahkan kata-
kata ayahnya diperkuat oleh Resi Wanapati, seorang yang tahu betul riwayat
hidupnya Bukankah hal itu memaksa dia harus percaya, bahwa dia memang bukan anak
Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Resi Balung Gading"
Sungguh! Dewi Cempaka benar-benar
bingung menghadapi dilema macam itu!
"Tidak...! Tidak mungkin," Dewi Cempaka kembali menggeleng-gelengkan kepalanya
untuk kesekian kalinya.
"Aku mengatakan yang sebenarnya,
Dewi Cempaka. Maafkan kalau selama ini aku telah mendustaimu dengan cerita-
cerita kosong tentang ibumu. Tapi percayalah, Cempaka. Itu semua aku lakukan
demi kebaikan kita semua,"
kata Resi Balung Gading bergetar suaranya.
"Tidak, Ayah. Tidak... Katakan kalau Ayah berdusta. Katakan kalau itu tidak
benar!" rintih Dewi Cempaka.
"Dewi Cempaka, hadapilah semua kenyataan ini dengar. hati lapang.
Semua yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa," kata Resi
Wanapati lembut.
"Tapi mengapa baru sekarang menceritakannya" Kenapa?" tinggi suara Dewi Cempaka.
Tangis-nya tidak bisa dibendung lagi.
Kedua laki-laki tua itu tidak
mampu menjawabnya. Mereka hanya saling pandang dan tertegun saja. Mereka benar-
benar baru menyadari, kalau tindakannya selama ini adalah salah.
Tapi, apa yang mereka alami dulu benar-benar telah memaksa mereka untuk
melakukan hal seperti itu. Kini, untuk membuktikan semuanya juga tidak mudah.
Tidak ada lagi saksi yang hidup! Semua telah tewas dalam peristiwa tersebut.
Peristiwa yang terjadi di dekat Danau Cubung.
"Siapa orang tuaku sebenarnya, Ayah. Katakan, siapa?" desak Dewi
Cempaka masih bercucuran air mata.
"Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu," sahut Resi Balung Gading pelan. Dia
ikut terbawa emosi-nya dalam keharuan itu.
"Bohong! Ayah pasti tahu, siapa orang tuaku!" makin keras saja suara tangis Dewi
Cempaka. "Benar, Cempaka. Kami benar-benar tidak tahu, siapa sebenarnya orang tua
kalian," sambung Resi Wanapati.
"Kalian...?" Dewi Cempaka langsung menoleh ke arah Resi Wanapati Dia benar-benar
terkejut dan ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi selama ini.
'Ya, kau dan Danupaksi," lanjut Resi Wanapati menguatkan diri.
"Jadi...?" rasa kebahagiaan dan kekecewaan bercampur jadi satu di dada Dewi
Cempaka. "Kami tidak tahu, apakah kau bersaudara dengan Danupaksi atau tidak. Yang jelas,
pada saat itu kami telah menolong seorang bocah laki-laki yang ibunya telah
meninggal dan seorang wanita yang sedang hamil tua.
Hal itu kami lakukan karena mendapat amanat dari seorang laki-laki yang kemudian
meninggal dunia karena luka-lukanya yang parah," Resi Wanapati menjelaskan.
"Siapa laki-laki tersebut?" Dewi Cempaka agak susut air matanya.
"Sayang aku tidak kenal namanya.
Tapi aku kenal pakaiannya. Dia seorang punggawa dari Kadipaten Karang Setra."
Dewi Cempaka tampak terdiam beberapa saat. "Aku harus menyusul Danupaksi!"
kata Dewi Cempaka tiba-tiba.
"Cempaka...!" sentak Resi Balung Gading.
Tapi Dewi Cempaka sudah keburu
lari ke luar. Sedangkan Resi Balung Gading yang ingin mengejarnya,
langsung dicegah oleh Resi Wanapati.
"Biarkan dia pergi, Balung
Gading," bujuk Resi Wanapati.
"Tapi...."
"Ingat kesepakatan kita, Balung Gading," Resi Wanapati mengingatkan.
Resi Balung Gading kembali
terduduk lesu. *** Sementara itu tampak Dewi Cempaka sedang memacu kudanya dengan cepat
meninggalkan Padepokan Baja Hitam.
Jiwanya benar-benar guncang menghadapi kenyataan yang tidak pernah
diimpikannya selama ini. Dan dia harus pergi! Harus membuktikan kata-kita kedua
orang tua itu! "Hoooh...!" Dewi Cempaka tiba-tiba menghentikan lari kudanya.
Rahasia Golok Cindar Buana 2 Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti Topeng Kedua 2