Pencarian

Topeng Kedua 2

Gento Guyon 8 Topeng Kedua Bagian 2


Kagetlah Ambini mendengar ucapan Si
Tangan Sial. Dengan tegas gadis cantik jelita ini berkata. "Tangan Sial,
siapapun yang telah mem-peralatmu. Siapapun yang berdiri di belakangmu
hingga membuatmu lupa ingatan begini rupa aku
tak perduli. Tapi satu hal yang harus paman ke-
tahui, Kuil Neraka adalah tempat paling terlaknat di dunia persilatan ini. Aku
tak mau ikut ke tempat terkutuk itu!" teriak Ambini.
Si Tangan Sial sunggingkan seringai din-
gin. Matanya yang menerawang kosong meman-
dang ke arah si gadis beberapa saat lamanya. Me-
lihat pada wajah si gadis seakan timbul kesada-
ran si orang tua, tapi ada sesuatu yang membe-
rontak di tiga bagian tubuhnya, satu kekuatan
yang membuatnya selalu menderita rasa sakit he-
bat bahkan melenyapkan kesadaran orang tua itu
sendiri. "Aku akan membawamu, aku bisa memak-
samu!" Berkata begitu Si Tangan Sial langsung menyergap ke depan dengan gerakan
seperti orang yang hendak menangkap. Menyadari Si
Tangan Sial tidak bisa dibuat sadar, maka Ambini
segera berkelit dari sergapan lalu sambil merun-
duk dia berlari ke belakang ke arah mana si orang tua tadi menyerang. Si Tangan
Sial begitu menyadari lawan dapat meloloskan diri segera berbalik.
Laksana kilat tubuhnya berkelebat, dua tangan
terjulur, satu mencengkeram leher dan satunya
lagi mencekal tangan Ambini.
Gadis ini tidak tinggal diam, dia langsung
menghantamkan kedua tangan lepaskan dua pu-
kulan beruntun. Di udara Si Tangan Sial sempat
terdorong mundur, dengan tangan kiri yang me-
miliki kesaktian aneh sejak dirinya masih kecil
orang tua ini menyambut pukulan Ambini.
Wut! Wuut! Laksana tersedot serangan yang dilancar-
kan si gadis seolah amblas lenyap begitu saja. Si gadis jadi tercekat, dia
bantingkan tubuhnya, lalu
bergulingan ke samping. Sambil berguling-guling
dia meraup sesuatu dari dalam kantong perbeka-
lannya. "Kupu-kupu biru, lumpuhkan orang itu!"
Ambini keluarkan seruan keras bernada meme-
rintah, sedangkan tangan kanannya yang meraup
sesuatu dari dalam kantong yang dihiasi sulaman
kupu-kupu langsung dilontarkan ke udara. Ketika
tangan terkembang di udara bertaburan puluhan
kupu-kupu berwarna biru. Kupu-kupu langka
yang memiliki belalai dapat menyengat dan men-
gandung racun mematikan ini begitu mendapat
perintah seakan mengerti langsung menyerang Si
Tangan Setan. Seperti diketahui orang tua itu
memiliki kesaktian hebat hanya pada bagian ke-
dua tangannya saja, sedangkan bagian tubuhnya
yang lain tidak memiliki kekebalan.
Ketika Si Tangan Sial melihat serangan pu-
luhan kupu-kupu biru tanpa fikir panjang orang
tua ini langsung memutar kedua tangannya un-
tuk melindungi diri. Begitu kedua tangan diputar
membentuk perisai diri, maka angin pun mende-
ru. Belasan kupu-kupu bermentalan terhantam
tangan Si Tangan Sial. Sebagian diantaranya yang
berhasil hinggap dan menusukkan belalainya di
lengan orang tua itu sama sekali tidak menimbul-
kan akibat apa-apa. Binatang beracun ini lang-
sung diremas oleh Si Tangan Sial hingga hancur.
Ambini jadi tercengang melihat kehebatan
tangan laki-laki itu. Dia lalu melepaskan dua senjata anehnya berupa dua
lingkaran pipih yang
sangat tajam pada setiap sisinya. Senjata ini seca-ra berturut-turut disambitkan
ke arah Si Tangan
Sial. Terdengar suara berdesing disertai melesat-
nya kedua senjata itu membelah udara.
Si Tangan Sial tertawa terkekeh, dua tan-
gan langsung digerakkan menyambuti senjata la-
wannya. Ziiing! Tap! Tep! Senjata kena ditangkap oleh Si Tangan Si-
al. Tanpa terduga dua senjata disatukan, setelah
itu tangannya bergerak.
Kraak! Senjata itupun hancur berkeping-keping.
Sambil membuang senjata Si Tangan Sial melom-
pat ke depan. Ambini yang masih belum hilang
rasa kagetnya melihat senjata dihancurkan lawan
langsung lakukan gerakan berjumpalitan ke bela-
kang. Tapi walaupun gerakannya sangat cepat
luar biasa, kedua kakinya masih kena disambar
dan dicekal lawan. Begitu tercekal dia langsung
lancarkan totokan
"Tangan Sial! Apa yang hendak kau laku-
kan padaku"!" hardik Ambini yang sekujur tu-
buhnya telah berubah kaku dalam keadaan terto-
tok. Si Tangan Sial menyeringai dingin. Dia men-
gangkat si gadis dan meletakkannya di bahu kiri.
"Seperti yang sudah kukatakan, aku akan mem-
bawamu ke Kuil Setan!" sahut Si Tangan Sial akhirnya. Dia menyentakkan kantong
perbekalan milik Ambini, diatas kantong perbekalan itu, dia
guratkan sesuatu. Sebelum pergi dia gantungkan
kantong perbekalan itu di salah satu cabang po-
hon yang gampang terlihat.
"Tangan Sial, otakmu pasti sudah tergang-
gu, lepaskan aku!" teriak si gadis. Si Tangan Sial tertawa dingin sambil
tinggalkan tempat itu.
7 Beberapa hari ini Lambang Pambudi me-
mang kurang tidur. Hal ini terlihat dari wajahnya yang pucat, mata kemerahan
membayangkan ke-letihan luar biasa. Pagi itu adalah hari ke empat setelah
kematian kekasihnya. Dan sejak ditinggal
kekasihnya Lambang Pambudi memang sudah ti-
dak dapat lagi hidup tenteram. Fikirannya kacau,
hati dirundung duka dan kegelisahan. Dia me-
mang merasa amat kehilangan Lara Murti bahkan
mungkin akan terus berduka atas kematiannya.
Disayangkan diluar semua itu ada hal lain yang
amat menekan perasaannya.
Kini setelah jauh meninggalkan perguruan
Gunung Keramat, pemuda ini terus memacu ku-
danya ke arah selatan. Tak berselang lama dia
sampai di pinggir sebuah sungai. Kuda terus di-
pacu menyeberangi sungai. Namun setelah bera-
da di seberang Lambang Pambudi hentikan kuda
tunggangannya. Sepasang mata memandang ke
depan dengan penuh rasa heran. Saat itu di atas
ranting pohon rindang tergantung sebuah kan-
tong perbekalan yang tidak jelas entah milik sia-
pa. Kantong berwarna putih yang pada salah satu
sisinya terdapat sulaman bergambar kupu-kupu
berwarna biru dan putih. Si pemuda putar kepala
edarkan pandang. Tak terlihat tanda-tanda keha-
diran orang lain di tempat itu terkecuali dirinya sendiri. Dalam herannya
Lambang Pambudi bergerak mendekati. Kantong perbekalan itu kemu-
dian diambilnya. Selanjutnya kantong dibolak-
balik, Lambang Pambudi meneliti. Tiba-tiba sepa-
sang mata pemuda itu terbelalak karena kantong
perbekalan itu berisi pesan.
"Kantong ini berisi pesan. Siapa pemilik
kantong ini dan siapa pula yang telah meninggal-
kan pesan?" si pemuda jadi heran sendiri. Lambang Pambudi lalu membaca dua baris
kalimat yang tertera pada kantong tersebut.
Kepada Gento Guyon, murid kakek edan
Gentong Ketawa. Kehadiranmu kutunggu di Kuil
Setan. Jika pada waktu yang telah ditentukan kau tidak muncul gadis yang bernama
Ambini akan mati sia-sia. Setelah membaca pesan Lambang Pambudi
tersenyum. Inilah pertama kalinya Lambang
Pambudi tersenyum setelah ditinggal Lara
"Setan gila mana yang telah meninggalkan
pesan ini untuk sahabatku Gento. Akan ku apa-
kan kantong ini" Kemana aku harus mencari pe-
muda itu. Untuk mencari dimana beradanya pen-
dekar seperti dia tentu tidak mudah." kata Lam-
bang Pambudi. Lama pemuda itu tertegun diatas
kudanya. Dia jadi ingat dengan pertolongan yang
diberikan Gento di kebun bunga beberapa hari
yang lalu. Lambang Pambudi gelengkan kepala.
Selagi dia memutuskan untuk meletakkan kan-
tong perbekalan di tempat semula, pada waktu
bersamaan dia mendengar suara siulan yang dis-
ertai dengan berkelebatnya satu sosok tubuh ke
arah pemuda "Ha ha ha. Sudah lama kita tak bertemu.
Apa yang kau lakukan disini?" tanya satu suara.
Lambang Pambudi dengan cepat menoleh, me-
mandang ke arah datangnya suara. Dia jadi me-
lengak kaget ketika melihat seorang pemuda gon-
drong bertelanjang dada telah berdiri tegak diha-
dapannya sambil ulurkan tangan menyalami.
"Senang aku bertemu denganmu, Gento."
sahut Lambang Pambudi sambil menyambut ulu-
ran tangan Gento.
Sejenak mereka saling berpandangan. Gen-
to kernyitkan alisnya ketika melihat wajah saha-
batnya nampak pucat seperti tidak berdarah. Se-
mentara Lambang Pambudi alihkan perhatiannya
ke arah kantong perbekalan yang dipegangnya.
Gento sendiri akhirnya ikutan memandang ke
arah kantong perbekalan itu. Begitu mengenali
kantong dalam dekapan Lambang Pambudi dia
jadi kaget. Seakan mengerti pemuda di depannya
berkata. "Aku menemukan benda ini di ranting pohon. Ada pesan untukmu yang
agaknya ditulis
dengan tergesa-gesa." menerangkan si pemuda.
Dia lalu menyerahkan kantong perbekalan itu pa-
da Gento. Dengan hati diliputi tanda tanya Gento
menerimanya. "Ini milik sahabatku Ambini. Bagaimana
barang gadis itu bisa ketinggalan disini?" ujar Gento setengah bertanya.
"Aku tidak tahu bagaimana barang teman-
mu bisa ketinggalan. Seperti yang kukatakan ba-
rang tersangkut diatas pohon." jawab Lambang Pambudi menirukan cara pemuda itu
bicara. Gento tentu saja tak dapat menahan senyum. Tapi
kemudian perhatiannya tertuju pada kantong
bekal. Dia memeriksa salah satu sisinya. Setelah
membaca isi pesan ini wajah pemuda itu jadi be-
rubah pucat. "Celaka, Ambini berada dalam bahaya be-
sar. Tapi siapa orangnya yang berani melakukan
tindakan sepengecut itu. Dia mengundangku un-
tuk datang ke Kuil Setan. Sedangkan tempatnya
saja aku tak tahu." gumam Gento. Sejenak dia memandang ke arah Lambang Pambudi
dengan tatapan menyelidik. Dia lalu ajukan pertanyaan.
"Sahabatku, ketika kau sampai disini apakah tidak melihat seseorang."
Pemuda yang duduk di atas kuda geleng-
kan kepala. "Tak ada siapapun disini." jawab Lambang Pambudi tegas.
Jawaban itu membuat Gento mengusap
wajahnya. Dia merasa kini urusan semakin rumit
berbelit. Siapa yang menculik Ambini dia tidak
tahu. Padahal saat ini dia sedang mencari pem-
bunuh murid Guru Lanang Pamekasan dan juga
pembunuh Lara Murti.
"Apa yang kau pikirkan sahabatku." tanya Lambang Pambudi begitu melihat Gento
terdiam cukup lama. "Aku sedang memikirkan pembunuh keka-
sihmu." jawab Gento.
Lambang Pambudi melengak kaget. "Ba-
gaimana kau bisa mengetahui kekasihku Lara
Murti terbunuh?" tanya si pemuda heran.
"Rasanya hal itu tak perlu ku jelaskan. Ta-
pi terus-terang saat ini aku merasa seperti berada di dalam lingkaran setan.
Bukan setan benaran
tapi setan berupa manusia keji pengecut. Sean-
dainya saja aku mampu menemukan pembunuh
pengecut itu, kelak akan kuhadiahkan kepalanya
padamu." "Aku merasa berterima kasih kau mau
membantu, Gento. Terus-terang seandainya saja
aku memiliki ilmu serta kepandaian silat sehebat
dirimu aku pasti akan melakukan pembalasan
sampai seribu kali. Sayang aku hanya pemuda
lemah, tolol dan tak punya kebisaan apa-apa.
Saat kekasihku dibunuh orang, diperlakukan se-
cara keji aku juga tidak bisa melindungi dan
membalas kematiannya." ujar Lambang Pambudi
dengan suara tersendat. Sejenak pemuda itu seka
air matanya. Kemudian dia melanjutkan. "Menurut Dewa Angin Guntur beliau baru
saja membu- nuh Bayu Gendala. Pemuda tengik yang hampir
membuatku celaka waktu itu. Aku sendiri merasa
yakin pasti dia orangnya yang telah berlaku keji
kepada Lara Murti. Mungkin hanya dia yang da-
pat menghancurkan Lara Murti. Jahanam itu in-
gin sekali aku mencabik-cabik mayatnya yang
busuk sampai lumat!" kata pemuda ini sambil kepalkan kedua tinjunya.


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau percaya dia pembunuhnya?" Gento
Guyon ajukan pertanyaan.
"Mengapa tidak" Semua bukti sudah tak
kuragukan lagi." jawab Lambang Pambudi sengit.
Gento gelengkan kepala.
"Kau sendiri bagaimana?" Pemuda itu balik bertanya.
"Aku... aku tak dapat mengambil kesimpu-
lan secepat dirimu. Karena terkadang dalam hi-
dup ini aku melihat orang begitu pandai berpura-
pura. Bisa jadi seseorang yang terlihat baik se-
sungguhnya dia menyimpan kekejian dibalik ke-
baikannya itu. Tidak tertutup kemungkinan pula
seseorang yang terlihat jahat, sebenarnya dia
memiliki hati dan sifat mulia sebagai manusia.
Hidup ini sangat membingungkan, mereka yang
waras banyak bertingkah seperti orang gila. Cuma
kurasa kita tak usah merepotkan diri dengan iku-
tan menjadi gila. Bukankah begitu" Ha ha ha."
sahut murid si kakek gendut Gentong Ketawa di-
iringi derai tawa.
"Ah, tak kusangka wawasan mu begini
luas, sobat. Sayang hari sudah siang. Pertemuan
ini menimbulkan kesan tersendiri di hatiku. Tapi
aku tak bisa bicara lebih lama denganmu. Masih
banyak urusan yang harus kuselesaikan. Aku
mohon pamit, pergi dulu." Selesai bicara Lambang Pambudi menarik tali kekang
kuda. Namun belum lagi kudanya bergerak Gento berseru.
"Tunggu...!"
Lambang Pambudi urungkan niat dan
langsung menoleh. "Masih ada yang hendak kau tanyakan?"
"Kau hendak kemana?"
Lambang Pambudi tersenyum.
"Aku ini tidak jauh bedanya dengan seo-
rang budak. Bila majikan menyuruhku melaku-
kan sesuatu, biarpun tengah malam buta tugas
harus kulakukan. Saat ini aku hendak ke selatan
menghubungi kerabat Dewa Angin Guntur. Mere-
ka belum tahu tentang kabar duka ini."
Gento manggut-manggut, namun jauh di
dalam lubuk hatinya dia merasakan suatu pera-
saan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Se-
mentara itu tanpa menoleh lagi Lambang Pambu-
di langsung memacu kuda tunggangannya
Gento menarik nafas setelah meletakkan
kantong perbekalan milik Ambini dibelakang
punggungnya. Kini pikirannya terbagi dua. Ha-
ruskah dia menyusul Ambini ke Kuil Setan atau
meneruskan usahanya mencari pembunuh Lara
Murti" Bagi Gento keselamatan Ambini sangat
penting. Tapi mencari pembunuh Lara Murti yang
sebenarnya adalah suatu hal yang tak dapat di-
abaikan. Apalagi mengingat dia telah berjanji pa-
da nenek Selasih Jingga untuk membantu men-
jernihkan kemelut yang tengah melanda dirinya.
"Lambang Pambudi...!" Gento tepuk ke-
ningnya. "Dia mengaku tak pandai ilmu silat. Tapi kulihat dia sangat pintar
menunggang kuda. Dia
mengatakan hendak ke selatan. Kurasa alangkah
baik jika aku menyusulnya. Bukan mustahil
pembunuh itu menjadikannya sebagai korban be-
rikutnya!" fikir Gento. Tanpa menunggu lebih la-ma lagi pemuda ini segera
menyusul ke arah per-
ginya Lambang Pambudi.
8 Malam itu suasana gelap pekat. Tidak ter-
lihat cahaya bintang maupun rembulan. Langit
tertutup mendung tebal, walaupun tidak ada tan-
da-tanda hujan akan segera turun. Namun udara
saat itu terasa dingin menusuk. Seakan tidak
menghiraukan dinginnya udara, sosok nenek tua
berpakaian hitam itu duduk bersimpuh di depan
sebuah pelita yang nyaris padam.
Agaknya ada suatu beban batin yang amat
berat menjadi ganjalan dihati si nenek. Terbukti
sejak tadi dia terus meratap tiada henti. Sambil
meratap si nenek menyeka pipinya yang kempot.
Kedua matanya nampak memerah, bagian pelu-
puk mata membengkak dan nenek tua ini nam-
pak sangat kelelahan sekali. Tak lama suara isak
tangis si nenek berubah perlahan hingga kemu-
dian terhenti sama sekali. Wajah yang keriput ba-
sah oleh air mata mendongak ke langit, dua tan-
gan yang hanya tinggal berupa kulit pembalut tu-
lang diangkat, lalu bibirnya berucap.
"Gusti Allah, begini berat beban batin yang
harus ku tanggungkan. Aku tahu diriku manusia
berlumur dosa. Tapi Tuhan disepanjang sisa
usiaku, keampunan selalu kupohonkan kepada-
mu. Sekarang sudahkah semua dosaku telah kau
ampuni" Atau kau tidak pernah dapat memaaf-
kan aku" Aku percaya rahmat Mu selalu kau lim-
pahkan padaku. Tuhan... aku memohon kepada-
mu, jika kelanjutan hidupku ini hanya akan
membawa keburukan bagi diriku, aku minta kau
mencabut nyawaku sekarang juga. Tapi jika akhir
dari perjalanan hidup ini membawa kebaikan bagi
diriku juga orang lain ku mohon berilah aku pe-
tunjuk. Sebaik-baiknya petunjuk yang pernah
kau berikan pada umat mu yang terdahulu juga
yang terkemudian. Tuhan, berilah aku jalan, serta limpahkanlah ketenangan jiwa
dan kedamaian hati. Ya Tuhan tunjukkanlah jalan itu, satu jalan yang membuat aku ridho atas
segala cobaan yang
kau berikan kepadaku!" kata si nenek dengan suara tersendat-sendat.
Selagi diri si nenek dalam keadaan penuh
kepasrahan diri, tiba-tiba terdengar suara tawa
bergelak. Suara itu seakan datang dari jarak ra-
tusan mil. Belum lagi hilang rasa kaget si nenek, dibelakang orang tua itu
muncul seorang pemuda
berpakaian serba hitam memakai topeng kayu
menunggang seekor kuda. Dalam kagetnya si ne-
nek bangkit berdiri, memutar langkah. Hingga ki-
ni dia berhadap-hadapan dengan sosok penung-
gang kuda. "Topeng itu" Bukankah topeng yang dipakai orang ini sama persis
dengan topeng milik anakku?" batin si nenek semakin bertambah kaget. Belum lagi
sempat nenek itu ajukan perta-
nyaan, orang yang memakai topeng kayu datang
dengan menunggang kuda langsung bersenan-
dung. Terlalu lama memendam dendam, dalam ji-
waku bersemi rasa kebencian.
Sekarang aku berada di hadapanmu untuk
tunjukkan satu jalan
Jalan hitam dari kematian yang engkau
minta. Nenek tua....
Hari ini segalanya harus dibayar impas.
Agar semua dendam berkarat dapat terobat.
Engkau tidak punya pilihan lain
Di saat masa lalu telah kau jalani.
Semuanya mengingatkan pada nista dan
darah orang yang kau korbankan.
Korban telah banyak berjatuhan.
Genangan darah orang tak berdosa mem-
buahkan laknat bagimu.
Dulu begitu banyak Roh kau berangkatkan
sebelum masanya
Padahal sepasang tanganmu tidak punya
kuasa atas jiwa mereka.
Selasih Jingga!
Jari Perontok Nyawa adalah gelarmu
Aku tahu hidup tidak pernah mundur ke be-
lakang Tapi apa yang terjadi saat ini adalah bagian dari masa lalu mu
Sekarang.... Kepadamu akan ku lampiaskan dendam
Seandainya kau punya seribu nyawa,
Kau tidak akan pernah kubiarkan lolos dari
tanganku! Tengkuk si nenek mendadak berubah jadi
dingin mendengar senandung yang diucapkan
oleh orang yang duduk diatas kuda itu. Wajah
orang tua itu nampak pucat. Segala apa yang di-
katakan si pemuda mengingatkannya pada semua
yang telah dia lakukan di masa lalu. Walaupun
begitu si nenek tetap berlaku tenang. Dia ajukan
pertanyaan. "Orang yang datang di malam gelap.
Sembunyikan wajah di balik topeng curian. Siapa
dirimu ini yang sebenarnya?" tanya si nenek tegas namun suaranya bergetar.
Orang yang wajahnya tertutup topeng kayu
tidak menjawab, sebaliknya malah tertawa dingin.
Tawanya kemudian terhenti. Sepasang mata diba-
lik topeng memandang ke arah nenek Selasih
Jingga penuh kebencian.
"Tua bangka" Jika ku jelaskan kepadamu,
kurasa otakmu sudah sulit mengingat. Tapi tidak
mengapa, sekarang kau dengarlah baik-baik. Aku
datang ke hadapanmu ini adalah untuk menuntut
balas atas kematian orang tuaku!" tegas orang di-
atas kuda. Mendengar ucapan orang itu nenek Selasih
Jingga dengan tenang menjawab. "Memang kua-
kui di masa muda aku banyak melakukan kejaha-
tan. Korban yang jatuh di tanganku tak dapat lagi ku hitung. Sedang diantara
mereka yang tewas,
mungkin hanya sekedar mempertahankan diri.
Jadi harap kau mau menjelaskan siapa orang tu-
amu?" "Tua bangka keparat, kau pasti masih ingat dengan suami istri yang
bergelar Sepasang Harimau Terbang?"
Nenek Selasih Jingga berjingkrak mundur
mendengar nama yang disebutkan oleh pemuda
bertopeng. Sepasang Harimau Terbang, julukan
itu tentu tidak akan pernah lekang dari ingatan-
nya. Dua pendekar sakti yang telah membunuh
suaminya hingga anaknya kehilangan ayah untuk
selamanya. Nenek Selasih terdiam, wajahnya be-
rubah murung. Terbayang olehnya tentang segala
kejadian yang berlangsung lebih kurang dua pu-
luh tahun yang silam.
*** Pagi itu Selasih jingga datang ke sebuah
bangunan sederhana di puncak bukit Karang
Haur. Ketika dia sampai di tempat itu suasana
rumah yang dijambanginya dalam keadaan sunyi
Tidak menunggu lebih lama dan dengan si-
kap tak sabar perempuan berusia empat puluh
tahun itu langsung berteriak. "Sepasang Harimau Terbang. Aku Jari Perontok Nyawa
datang untuk menagih hutang nyawa suamiku. Cepat kau ke-
luar, atau kau ingin aku membakar rumahmu
ini?" Sunyi tak ada jawaban
"Sepasang Harimau Terbang, aku tidak
punya waktu untuk menunggu lebih lama. Jika
kau tidak mau keluar, aku yang masuk ke da-
lam!" teriak perempuan berpakaian serba hitam itu dengan suara lantang. Dia
menunggu sejenak
lamanya, sedangkan sepasang matanya yang
memancarkan amarah memandang tajam keba-
gian pintu depan yang tertutup. Kemudian pintu
terbuka, dua sosok tubuh berkelebat keluar, di-
lain kejab di depan Selasih Jingga berdiri tegak
seorang laki-laki gagah, usia kurang lebih tiga puluh lima tahun, wajah tampan
berpakaian loreng
terbuat dari kulit harimau. Sedangkan disamping
laki-laki itu berdiri seorang perempuan cantik,
berpakaian sama dengan rambut digelung ke
atas. Baik laki-laki itu maupun perempuan yang
bersama dikenal oleh Selasih Jingga sebagai Se-
pasang Harimau Terbang.
"Bagus, kau mau datang menemuiku.
Hemm... tidak kulihat anak kalian" Di manakah
dia?" tanya Selasih Jingga disertai seringai dingin.
"Bocah itu tidak tahu apa-apa. Jangan kau
berani mengusiknya. Urusanmu adalah dengan
kami, bukan dengan bocah itu!"
"Hem, begitu" Sonapati, mungkin ucapan-
mu ada benarnya. Tapi aku lebih suka membabat
rumput sampai ke akar-akarnya!" dengus Selasih Jingga geram.
"Kau pasti datang untuk menuntut balas
atas kematian suamimu, Pragola. Bukankah begi-
tu?" kata perempuan disebelah Sonapati. Perempuan itu adalah istri Sonapati
sendiri bernama
Seroja. "Kau tidak salah. Aku memang sengaja datang untuk menuntut balas atas
kematian Pragola
suamiku!" sahut Selasih Jingga dingin.
"Pragola mati karena ulahnya sendiri. Dia
kami ketahui telah menghancurkan perguruan
Kipas Merak. Padahal ketua perguruan Kipas Me-
rak masih terhitung adik kandungku!" ujar Sonapati. "Manusia keparat. Apapun
alasanmu, kau tidak layak menghukum Pragola. Segala kejahatannya menjadi
tanggungan ku karena dia adalah
suamiku. Aku yang pantas menentukan apakah
dia bersalah atau tidak!" teriak Selasih Jingga.
"Kau manusia biang racun, bagaimana bisa
menilai suamimu bersalah atau tidak!! Hidupmu
sendiri bergelimang dosa dan kami tidak yakin
kau tega menghukum Pragola!" sahut Seroja sengit. "Perempuan tengik. Berani kau
menghina-ku" Kubunuh kau!" teriak Selasih Jingga kalap.
Baru saja perempuan ini selesai berucap, tubuh-
nya berkelebat ke arah Seroja. Dua tangan meng-
hantam ke tubuh lawan hingga menimbulkan de-
ru angin disertai menebarnya hawa panas yang
langsung menyambar ke arah Seroja. Perempuan


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diserang maklum betapa berbahayanya se-
rangan yang dilancarkan oleh lawan. Sehingga ke-
tika merasakan adanya sambaran angin ke arah-
nya dia berkelebat, melompat ke atas dan menye-
rang kepala Selasih Jingga dengan sepuluh jari
terpentang siap menghantam bagian ubun-ubun.
Pukulan yang dilancarkan Selasih Jingga
menghantam tanah dibagian halaman disertai
dengan suara ledakan berdentum. Sebaliknya pe-
rempuan berpakaian serba hitam itu cepat me-
lompat mundur ke belakang selamatkan kepa-
lanya dari cakaran lawan.
Masing-masing serangan tidak mengenai
sasaran. Selasih Jingga kertakkan rahang. Dua
tangan dalam keadaan terkembang kemudian di-
putar sebat, hawa dingin menyebar, sinar hitam
dan biru berpijar. Sedangkan telapak tangan Se-
lasih Jingga saat itu telah berubah menghitam
sampai sebatas pangkal lengan. Melihat peruba-
han yang terjadi pada kedua tangan lawannya,
Sonapati berteriak ditujukan pada Seroja. "Istriku, hati-hatilah. Perempuan
keparat itu hendak
menggunakan ilmu Jari Perontok Nyawa!"
"Aku sudah tahu, kakang. Sudah lama aku
mendengar keganasan ilmunya. Sekarang aku in-
gin menjajal sampai dimana kehebatannya!" sahut Seroja.
"Pergunakan jurus Harimau Mengguncang
Bumi!" teriak Sonapati.
Tiba-tiba tubuh laki-laki itu berkelebat me-
lewati Selasih Jingga. Begitu dia jejakkan kaki,
posisinya kini telah berdampingan dengan is-
trinya. Pasangan suami istri ini kemudian secara
bersama-sama pentangkan kedua tangannya ke
depan. Dua kaki ditekuk. Tangan kiri diangkat
begitu rupa, sedangkan tangan kanan ditarik ke
belakang seperti gerakan seekor harimau yang
siap mencakar lawannya.
Setelah itu segalanya berlangsung dengan
sangat cepat. Sepasang Harimau Terbang kini
berputar. Sonapati melompat ke atas, sedangkan
istrinya berkelebat ke depan menyerang lawan-
nya. Selasih Jingga terkejut ketika melihat kenyataan kedua lawannya melakukan
serangan gencar
dari atas dan bawah. Serangan dari atas dilaku-
kan Sonapati, mengincar bagian dada dan kepala
perempuan itu. Sedangkan serangan dari bawah
dilancarkan oleh Seroja. Dua serangan hebat di-
lakukan dalam waktu bersamaan membuat Sela-
sih Jingga hanya dapat mengelak dan menangkis
kedua serangan itu tanpa sempat melepas puku-
lannya sendiri.
Wuuut! Breeet! Breeet!
"Ukkh!"
Selasih Jingga menjerit kesakitan bercam-
pur kaget ketika melihat bagaimana pakaian di-
bagian perut robek besar, tembus sampai keba-
gian kulit sampai ke daging, darah mengucur. Se-
lasih Jingga memaki panjang pendek. Dia melom-
pat mundur. Tapi belum lagi perempuan ini sem-
pat memperbaiki posisinya, kedua lawan telah
mencecarnya lagi dengan cakaran-cakaran ganas
yang sangat berbahaya.
"Hmm, bagus majulah lebih mendekat!" teriak Selasih Jingga geram. Empat tangan
me- nyambar ganas ke seluruh bagian tubuhnya siap
mencabik perempuan itu menjadi serpihan dag-
ing. Selasih Jingga mendengus, tubuh ditarik ke
belakang, sepuluh jari tangan laksana kilat dijentikkan kedua arah berturut-
turut. Zstttt! "Awas!" teriak Seroja memberi aba-aba
Sonapati melompat ke samping selamatkan
diri begitu melihat lima larik sinar merah meng-
hantam tubuhnya. Dia selamat, tapi justru is-
trinya hanya tidak sempat selamatkan diri dari
serangan Selasih Jingga, sungguhpun dia menco-
ba menangkis lima sinar maut yang melesat dari
jari lawannya. Seroja menjerit keras ketika tiga
sinar merah menghantam tubuhnya. Perempuan
itu terjengkang dengan dada dan perut berlumu-
ran darah. "Istriku!" teriak Sonapati begitu, melihat istrinya menjadi korban serangan
lawan. Dia me- lompat mendekati istrinya. Ketika laki-laki ini melihat Seroja tidak berkutik
lagi sadarlah dia bah-wa jiwa Seroja tak dapat diselamatkan lagi
"Hraaaak... manusia jahanam! Kau harus
menebus kematian istriku!" teriak Sonapati seperti orang kesurupan.
Selasih Jingga tersenyum mengejek.
"Simpanlah mimpimu, kurasa lebih baik
kau menyusul istrimu!" sahut perempuan itu sinis. "Keparat kurang ajar!" maki
Sonapati. Laksana kilat lalu tubuhnya melesat ke
udara, berkelebat cepat mendekati lawan tangan
dan kaki menyambar melepaskan serangan be-
runtun. Sejenak lamanya Selasih Jingga dibuat ter-
cekat. Dia sempat terdesak mundur. Tapi begitu
perempuan ini merubah jurus-jurus silatnya, kini
keadaan menjadi berbalik. Sonapati terpaksa me-
lompat menjauh dari lawannya. Justru kesempa-
tan ini dimanfaatkan oleh Selasih Jingga untuk
melepaskan pukulan Jari Perontok Nyawa. Meli-
hat sinar merah membersit lalu berkelebat me-
nyerang ke arahnya, Sonapati dalam kagetnya se-
gera melepaskan pukulan menangkis serangan
lawan. Tapi betapa terkejutnya laki-laki itu ketika melihat pukulan yang
dilepaskannya sama sekali
tak dapat menahan serangan lawan. Malah lima
sinar yang memancar dari ujung jemari lawannya
menembus benteng pertahanannya. Masih tak
percaya dengan kenyataan yang terjadi Sonapati
kembali menghantam ke arah sinar-sinar itu. Ha-
silnya sama saja.
Tak dapat dihindari lagi kelima sinar itu
menembus tubuh Sonapati. Jeritan keras laksana
merobek langit. Sonapati jatuh terpelanting sam-
bil mendekap tubuhnya yang terluka parah. Se-
rangan yang dilancarkan Selasih Jingga ternyata
tembus sampai kebagian punggung
"Hik hik hik! Ternyata jurus Harimau Ter-
bangmu sudah sangat usang. Kau boleh mencip-
takan jurus lainnya setelah berada di neraka!"
dengus Selasih Jingga sinis.
Sonapati mengerang lirih, mulutnya berge-
rak-gerak, tapi tak sepatah katapun yang terucap.
Tak lama kepala Sonapati pun terkulai, mata me-
lotot dan tewas penasaran.
"Ayah... ibu...!" satu suara terdengar. Selasih Jingga tersentak, dengan cepat
dia meman- dang ke rumah dimana suara bocah tadi terden-
gar. "Suara tadi, pasti anak Sepasang Harimau Terbang. Tak usah tanggung
bertindak. Akan kubereskan dia agar kelak tidak menjadi malapetaka
bagi diriku sendiri!" selesai berkata begitu Selasih Jingga segera berkelebat
menuju pintu depan.
Dengan tergesa-gesa dia memeriksa setiap kamar
yang ada. Tapi bocah yang dicarinya tidak terli-
hat, lenyap entah kemana.
"Tidak mungkin! Dia pasti masih berada di
rumah ini?" desis perempuan itu heran. Selagi matanya nyalang mencari kian
kemari. Maka pa-da saat itu dia mendengar suara pintu belakang
dibuka paksa. Selasih Jingga mengejar ke bela-
kang. Saat itu dia melihat satu sosok berkelebat
keluar sambil mendukung seorang bocah berusia
sekitar lima tahun.
"Bangsat penculik jangan lari!" teriak pe-
rempuan itu sambil mengejar. Orang yang dikejar
ternyata lenyap. Selasih Jingga menjadi sangat
geram sekali. "Bocah itu... siapa yang telah menyela-
matkannya?" batin Selasih Jingga dalam hati.
"Kemana aku harus mencari. Bagaimana pun dia harus kubunuh. Tapi kurasa orang
yang membawanya memiliki ilmu kepandaian tidak rendah.
Sayang sekali!"
Karena masih penasaran Selasih Jingga kemu-
dian mengejar orang yang telah melarikan putra
Sepasang Harimau Terbang.
9 Dalam kegelapan malam yang hanya dite-
rangi cahaya pelita perlahan si nenek dongakkan
wajahnya ke langit. Wajah itu nampak muram,
sedih penuh penyesalan. Dia kemudian meman-
dang ke arah pemuda yang duduk diatas pung-
gung kuda dengan tatapan kosong.
"Jadi kau merupakan keturunan dari Se-
pasang Harimau Terbang?" tanya si nenek.
"Bagus kalau kau dapat mengingat siapa
aku. Sekarang apakah kau siap menyerahkan
nyawamu?" tanya pemuda berpakaian hitam ber-
topeng kayu sinis. Nenek Selasih Jingga terse-
nyum tipis. "Hidup dan mati bagiku sama saja, anak muda. Tapi sebelum hal itu
terjadi padaku apakah aku boleh mengajukan beberapa perta-
nyaan kepadamu?"
Si pemuda bertopeng tertawa tergelak-
gelak. Suara tawanya yang dingin kemudian le-
nyap berganti dengan bentakan. "Kau hendak
bertanya apa" Aku pasti mengabulkan permin-
taan orang yang akan mati." kata si pemuda sinis.
Selasih Jingga menarik nafas, mencoba
menenangkan debaran jantungnya baru kemu-
dian, berkata. "Kulihat kau memakai topeng, sengaja sembunyikan wajah agar tidak
dikenali orang. Tapi aku tahu pasti topeng itu adalah milik anakku Bayu Gendala. Lalu kau
mencurinya kemudian kau menggunakan topeng saat berlaku
keji pada putri Dewa Angin Guntur setelah itu
kau membunuhnya dan meninggalkan topeng be-
rikut pedang. Hingga akhirnya Dewa Angin Gun-
tur menyangka anakku Bayu Gendala yang mem-
bunuh putrinya!"
"Ha ha ha! Ternyata walau sudah tua
otakmu, cukup cerdik Jari Perontok Nyawa. Aku
memang sudah mengatur kematian anakmu se-
demikian rupa. Agar kau dapat merasakan begi-
tulah pedihnya hatiku saat melihat kematian ke-
dua orang tuaku!"
"Hmm, aku tak akan heran. Aku dapat
memakluminya." kata si nenek dengan suara bergetar menahan sedih dan geram.
Perempuan itu kemudian melanjutkan ucapannya. "Sebelum di-
antara kita ada yang terbunuh di tempat ini mau-
kah kau mengatakan siapa namamu?"
"Kelak kau akan mengetahuinya setelah
rohmu meninggalkan ragamu, Ha ha ha." sahut pemuda itu sinis.
"Kau tak mau mengenalkan nama, apakah
aku boleh melihat wajahmu"!" geram si nenek
"Konon kau punya kepandaian selangit,
mengapa kau tidak berusaha melihatnya sendiri?"
kata pemuda bertopeng penuh tantangan.
Wajah nenek Selasih Jingga berubah kelam
membesi. Sepasang matanya berkilat memancar-
kan amarah. Dalam hati si nenek berkata. "Gusti Allah. Kurasa inilah batas
penantian akhir hidupku. Kau sudah memperlihatkan kebenaran
dan kuasa Mu. Kau sudah memperlihatkan segala
kesalahanku di masa lalu. Tapi aku juga tak mau
mati percuma di tangan pemuda itu. Aku tak in-
gin memasrahkan nyawa kepadanya. Karena hi-
dup dan mati ini sesungguhnya hanyalah kepu-
nyaan Mu!" ujar si nenek dengan perasaan terte-kan. Sekilas dia menatap pemuda
yang duduk di atas kuda. Lalu dia berkata dengan suara keras.
"Kau sudah tahu aku adalah pembunuh orang
tuamu. Mengapa sekarang kau tidak segera men-
gambil tindakan?" berkata begitu si nenek diam-diam salurkan tenaga dalamnya ke
arah kedua belah tangan. Di depan sana wajah di balik to-
peng menyeringai.
"Kecepatan seranganku tidak dapat kau
duga. Di selatan orang memberi ku julukan Setan
Penyambar Nyawa. Jika kau menghadapi aku
dengan ilmu rongsokan Jari Perontok Nyawa. Be-
rarti kematianmu datangnya lebih cepat dari per-
hitunganmu. Nenek keparat lihat serangan...!" Selesai berkata pemuda itu melesat
dari atas pung-
gung kudanya. Dengan kecepatan sulit diikuti ka-
sat mata dia berkelebat ke arah si nenek. Selasih Jingga terkesiap tak menyangka
gerak serangan lawan ternyata sangat cepat sekali. Si nenek cepat berkelit sambil liukkan
tubuhnya. Serangan lu-put, tapi sempat menyambar robek pakaian di ba-
gian perut orang tua itu. Robeknya pakaian itu
saja sudah membuat si nenek terkejut setengah
mati. Sementara itu gagalnya serangan membuat
pemuda bertopeng itu cepat balikkan tubuh, lalu
kembali lakukan serangan gencar yang mengarah
pada bagian kepala dan leher lawannya. Si nenek
huyungkan badannya ke kanan, lima jari tangan-
nya yang telah berubah menghitam cepat ditekuk
lalu dijentikkan ke arah lawannya.
Tees! Terdengar lima suara letupan berturut-


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turut. Lima larik sinar menderu di udara. Mele-
satnya lima larik sinar itu membuat udara diseki-
tarnya berubah dingin bukan main.
"Jari Perontok Nyawa!" seru si pemuda bertopeng. Menyadari dahsyat ilmu yang
pernah mencelakakan kedua orang tuanya itu, pemuda
bertopeng langsung batalkan serangan. Tubuhnya
melesat ke udara, berjumpalitan sebanyak dua
kali, kemudian meluncur deras di belakang la-
wannya. Lima sinar merah menghantam batu, ba-
tu besar yang menjadi sasaran meledak, amblas
lenyap tidak meninggalkan bekas. Si pemuda ber-
gidik ngeri. Tidak dapat dia bayangkan bagaimana
jika tubuhnya tadi yang menjadi sasaran seran-
gan. Si pemuda bertopeng tak sempat lagi me-
mikirkan semua itu. Setelah jejakkan kakinya di
belakang Selasih Jingga dengan cepat sekali tan-
gannya dihantamkan kebagian punggung si ne-
nek. Buuuk! Hantaman yang keras membuat si nenek
jatuh tersungkur. Melihat lawannya roboh dia
lanjutkan serangan dengan melepaskan tendan-
gan. Tapi disaat seperti itu si nenek yang jatuh
menelungkup, mendadak berbalik menelentang.
Tanpa menghiraukan wajahnya yang berlumuran
darah dia menghantam.
Wuuuut. Sinar merah laksana bara melesat dari
tangan si nenek, menebar hawa panas luar biasa
dan langsung menyambar kaki lawannya. Si pe-
muda walaupun sempat melompat selamatkan di-
ri tapi tidak sempat menarik kaki kanan yang di-
pergunakan untuk menendang. Ledakan dahsyat
menggelegar saat kaki pemuda bertopeng berben-
turan dengan pukulan lawannya.
Pemuda itu meraung hebat, tubuhnya
mencelat sejauh dua tombak tapi tidak mem-
buatnya terjatuh. Dia berdiri dengan kaki kiri, tubuhnya tergontai. Bagian kaki
celana sampai se-
batas lutut hangus mengepulkan asap hitam. Ka-
ki yang terkena hantaman bengkak menggem-
bung, hitam kemerahan.
Tanpa banyak fikir dia ludahi telapak tan-
gannya. Telapak tangan yang berlumur ludah dis-
apukan ke bagian kaki yang terluka. Hanya dalam
waktu singkat kaki yang bengkak telah kembali
seperti semula. Mulus tanpa meninggalkan cacat
sedikitpun. Si nenek yang terluka dibagian dalam
tercengang, dia mengusap matanya seakan tak
percaya dengan pandangan matanya sendiri.
"Sulit kupercaya. Pukulanku tak sanggup
membuat hancur kakinya" Padahal belum pernah
ada seorangpun yang sanggup menahan pukulan
Halilintar ku!" batin si nenek.
Sementara di depan sana pemuda berto-
peng yang sangat mendendam pada si nenek telah
memutar kedua tangannya dengan serangkaian
gerakan aneh yang sulit ditebak arahnya. Setelah
itu dengan cepat tangan kiri menyambar sesuatu
dibalik pinggangnya. Ketika tangan kiri digerak-
kan ke depan, maka berguling sinar putih menyi-
laukan mata yang ternyata bersumber dari pe-
dang di tangannya. Sekejap cahaya putih berta-
bur di udara disertai suara berdengung, seperti
sekumpulan lebah yang pindah sarang.
"Tua bangka pembunuh orang tuaku.
Mampuslah kau...!" teriak si pemuda. Dia berkelebat, pedang menyambar. Dalam
waktu sekejap tubuh si nenek sudah terkurung sinar putih me-
nyilaukan. Si nenek kerahkan seluruh kemam-
puan yang dia miliki. Dia menghindar sambil le-
paskan serangan dengan menggunakan sepuluh
jari tangannya. Beberapa kali serangan si nenek
nyaris menghantam lawannya.
Si pemuda bertopeng rupanya sadar betul
serangan jemari lawannya sangat berbahaya,
hingga dia lipat gandakan tenaga dalam sambil
memperhebat serangan.
Tusukan dan babatan bertubi-tubi dilan-
carkannya, tak lupa dia juga melepaskan tendan-
gan mautnya. Akibatnya si nenek jadi terdesak,
satu saat dia harus menghindari tendangan yang
mengarah ke pinggang. Tendangan ini sebenarnya
hanya tipuan saja, karena begitu si nenek meng-
hindar. Dengan cepat lawan menggunakan ke-
sempatan itu untuk menebaskan pedangnya ke
bagian lengan si nenek.
Mendapat serangan selicik itu si orang tua
terkesiap, dia coba selamatkan tangannya dari te-
basan pedang, namun terlambat. Tak pelak lagi
tangan si nenek putus terbabat pedang. Si nenek
menjerit keras, potongan tangan jatuh ke tanah,
menggelepar sebentar lalu diam. Darah meman-
car dari luka itu. Sambil menjerit kesakitan si nenek menotok jalan darah di
bagian pangkal len-
gannya. Ternyata lawan tidak memberinya kesem-
patan lagi, dia segera tusukkan pedangnya ke da-
da si nenek. Jresss! "Haakh...!" Nenek Selasih Jingga menjerit
tertahan, sambil mendekap pedangnya si nenek
melangkah mundur. Tapi satu tendangan mem-
buat dia jatuh terjengkang. Perempuan itu terka-
par tidak bergerak lagi. Pemuda bertopeng menye-
ringai dingin. Menyangka lawannya telah tewas
dia segera meninggalkan lawannya. Tak lama pe-
muda ini telah melompat ke atas punggung ku-
danya. "Ha ha ha. Masih ada satu manusia lagi yang harus kubereskan. Dewa Angin
Guntur tunggulah kedatanganku!" gumam si pemuda bertopeng perlahan. Dia lalu menggebrak
kudanya, kuda meringkik keras lalu mengambur lenyap da-
lam kegelapan. 10 Tidak berselang lama setelah lenyapnya
pemuda bertopeng yang datang dengan menung-
gang kuda itu. Di tempat itu muncul si gondrong
Gento Guyon. Dia yang mendengar suara teriakan
serta bentakan seperti orang berkelahi ketika be-
rada di kejauhan tadi kini menjadi heran.
"Aneh, tadi aku jelas mendengar seperti
ada orang yang berteriak kesakitan. Bagaimana
mungkin setelah berada di sini aku hanya men-
dapatkan sebuah pelita. Setahuku tidak ada peli-
ta yang dapat bicara. Tapi....eh aku mendengar
ada suara orang mengerang?" gumam Gento. Dia kemudian mencoba memastikan dari
mana datangnya suara erangan itu. Ternyata suara rintih
datang dari arah sebelah kirinya. Tanpa pikir
panjang pemuda ini melompat ke arah darimana
suara yang didengarnya itu berasal.
Walaupun suasana diliputi kegelapan ak-
hirnya Gento melihat sesosok tubuh dengan dada
ditembus pedang tergeletak tak berdaya di de-
pannya. Dalam gelap yang hanya diterangi cahaya
pelita juga bintang di langit Gento dapat melihat wajah sosok itu. Wajah seorang
nenek tua yang sangat dikenalnya. Gento jatuhkan diri berlutut
disamping si nenek. Melihat keadaan si nenek
dengan wajah tegang dan mulut bergetar Gento
berseru. "Nenek Selasih Jingga. Apa yang telah terjadi denganmu, nek. Maafkan
aku karena telah
datang terlambat. Aku, aku pasti menolongmu.
Katakan siapa yang telah berbuat begini keji ter-
hadapmu nek"!"
Mata yang terpejam dan penuh penderitaan
itu membuka. Dalam pandangan si nenek sosok
Gento hanya merupakan bayangan samar yang
tidak begitu jelas. Sepasang mata itu mengerjab,
bibir yang sepucat kafan menggerimit sedangkan
kepala digelengkan.
"Tak mungkin kau bisa menolongku Gento.
Sudah menjadi takdirku harus mati seperti ini."
kata si nenek dengan suara tersendat. Dalam se-
tiap tarikan nafasnya ada darah yang menyembur
dari hidungnya. "Aku sudah melihat malaikat datang menjemputku. Tapi aku merasa
bahagia ka- rena sudah tahu yang membunuh Lara Murti bu-
kan anakku. Bayu Gendala memang anak yang
tidak berarti, tapi dia masih darah dagingku sen-
diri...!" Mendengar pengakuan si nenek, Gento edarkan pandangannya. Tapi
ternyata di tempat
itu memang tidak ada siapapun terkecuali mereka
sendiri. Penasaran Gento bertanya. "Jadi siapa yang telah melakukan semua ini
nek?" "Seorang pemuda menunggang kuda coke-
lat. Aku tak dapat melihat wajah aku juga tak ta-
hu namanya. Karena dia memakai topeng kayu.
Topeng curian milik anakku."
"Kuda cokelat. Setahuku kuda itu milik
Lambang Pambudi. Mungkinkah dia orangnya"
Padahal selama ini aku tahu dia tak pandai ilmu
silat." Fikir Gento. Masih penasaran dia ajukan pertanyaan. "Kau tak dapat
melihat wajahnya, apakah kau dapat mengatakan bagaimana pakaiannya?"
Dengan bersusah payah nenek Selasih
Jingga menjawab. "Dia berpakaian hitam. Aku...
aku juga mendengar dia akan menjumpai Dewa
Angin Guntur."
Gento tersentak kaget. Semula dia mendu-
ga yang melukai si nenek adalah Lambang Pam-
budi. Tapi Lambang Pambudi tak pernah berpa-
kaian hitam. Pakaian pemuda itu berwarna putih.
Gento kemudian berfikir, masalah pakaian siapa-
pun bisa saja bertukar seribu kali. Dia tetap yakin pasti Lambang Pambudi yang
telah melakukan
kekejian itu pada si nenek. Kuda yang disebutkan
si nenek sama persis dengan kuda pemuda itu.
Lagi pula nenek itu mengatakan pemuda berto-
peng itu hendak menjumpai Dewa Angin Guntur.
Mungkin ada sesuatu yang hendak dilakukannya.
Tidak ada jalan lain Gento harus mengejar pemu-
da itu ke Perguruan Gunung Kramat.
Kini Gento memandang ke arah si nenek.
Perempuan itu nampaknya tidak akan dapat ber-
tahan lebih lama. Sambil memegang bahu nenek
Selasih Jingga dia berkata menghibur. "Nek ber-tahanlah, kau jangan mati. Aku
akan mengobati lukamu." Si nenek tersenyum, saat itu nafasnya ma-
kin melemah. "Kau... pemuda konyol yang pandai menghibur. Aku tak mungkin hidup.
Tapi kau menjadi saksi atas kebenaran, bukan anakku
yang membunuh Lara Murti. Tolong jelaskan ini
pada Dewa Angin Guntur, aku... akh...!" Si nenek tak dapat meneruskan ucapannya.
Nafas terputus, kepalanya terkulai.
"Nenek, oh... Gusti Allah, dia pergi tidak bi-lang padaku!" seru Gento dengan
mata terbelalak.
Tangan yang menempel dibahu si nenek di-
goyangkan tapi orang tua itu diam tak bergerak.
"Huk... huk.... Semoga Tuhan mengampunimu
nek." kata si pemuda sambil tundukkan kepala.
Selagi Gento dalam keadaan seperti itu. Ti-
ba-tiba saja terdengar suara orang bicara di belakangnya. "Perempuan tua itu
paling tidak telah memberikan satu petunjuk penting. Sekarang setelah dia mati
mengapa kau duduk di situ bukan
malah pergi ke perguruan Gunung Kramat?"
Karena merasa mengenali suara orang,
maka Gento cepat menoleh. Orang yang baru bi-
cara tadi tersenyum lebar. Gento pun mendam-
prat. "Gendut, kemana saja engkau selama ini"
Setelah puas bermesraan dengan Ambini, kau
tinggalkan anak orang begitu saja. Kini aku yang
jadi repot karena gadis itu diculik oleh seseorang."
Si tinggi besar berbadan gendut luar biasa
unjukkan wajah kaget. Si kakek terdiam cukup
lama, sedangkan matanya memandang mendelik
seakan tak percaya dengan ucapan muridnya.
"Gege, apakah kau sungguh-sungguh den-
gan ucapanmu itu?" tanya si gendut Gentong Ketawa. "Apakah kau lihat tampangku
seperti orang bergurau?" sahut Gento serius.
"Tampangmu tak bisa kujadikan ukuran.
Tapi benarkah apa yang kau ucapkan itu" Astaga!
Aku sama sekali tidak meninggalkan Ambini, tapi
dia yang meninggalkan aku. Mungkin karena aku
sudah tua, tak pantas lagi berpasangan dengan-
nya, sehingga dia berbuat begitu!" kata si kakek bersungut-sungut.
"Tentu saja. Cuma karena kau orang tua
yang tidak tahu malu. Selalu saja memaksakan
kehendak sendiri!"
Bukannya marah si gendut malah tergelak-
gelak. "Berhentilah menghina orang tua ini. Sekarang kau katakan padaku gadis
itu berada dima-
na?" "Mana aku tahu ndut. Aku hanya dititipi
pesan. Orang yang menulis pesan itu mengatakan
dia membawa Ambini ke Kuil Setan."
Si kakek gendut berjingkrak kaget. "Kuil
Setan" Itu tempat Jin membuang anak dan tem-
patnya roh jahat. Gege kurasa ini bukan urusan
remeh. Kau harus waspada. Siapapun yang telah


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menculik Ambini, dia pasti punya niat tidak baik
terhadapmu. Tapi... mengapa dia harus menculik
Ambini?" tanya si gendut heran.
Gento tersenyum, lalu berkata. "Mungkin
saja Ambini mengatakan pada penculik itu kalau
dia sudah punya kekasih. Si penculik merasa
terkesan, hingga dia mengundangku untuk dini-
kahkan di Kuil Setan!"
"Bocah edan. Persoalan itu tidak bisa dis-
epelekan. Ambini sekarang dalam bahaya besar.
Kita harus menolongnya!" kata si gendut tegas.
"Kau benar guru, tapi sebelum itu kita ha-
rus pergi ke perguruan gunung Keramat. Sesuai
keterangan nenek itu, aku yakin pemuda berto-
peng itu pasti Lambang Pambudi adanya." kata Gento kemudian. Kali ini dia nampak
serius sekali. "Aku sendiri tak berani menduga semudah
itu. Seperti katamu, sebaiknya kita memang pergi
ke perguruan Gunung Keramat. Jika kita berang-
kat sekarang besok pagi kita sudah sampai ke sa-
na." jawab Gentong Ketawa. Lalu dengan satu gerakan enteng si kakek berkelebat,
tubuhnya seke- jap saja sudah lenyap dalam kegelapan. Pendekar
Sakti Gento Guyon pun segera mengikuti tak jauh
di belakangnya.
*** Suasana duka masih menyelimuti pergu-
ruan Gunung Keramat. Bahkan pasangan suami
istri Dewa Angin Guntur dan Galuh Pitaloka lebih
banyak berdiam diri di depan rumahnya. Sedang-
kan para murid, sudah kembali pada tugas dan
kesibukan masing-masing.
Pagi itu Galuh Pitaloka sedang duduk di
depan rumahnya, ketika dia mendengar suara
langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya.
Dengan perasaan kaget perempuan setengah baya
namun masih tetap cantik ini memandang ke
arah datangnya suara kuda. Galuh Pitaloka ter-
cengang, kedua alis matanya terangkat naik keti-
ka melihat seorang pemuda berpakaian hitam
memakai topeng penutup wajah mengarahkan
kudanya ke arah perempuan itu. Melihat cara
orang menunggang kuda, sadarlah perempuan ini
orang yang berada diatas punggung kuda sengaja
hendak menabrakkan binatang tunggangannya ke
arah dirinya. Masih dalam keadaan heran juga
kaget Galuh Pitaloka melompat dari tempat du-
duknya, kemudian bergulingan hindari terjangan
kuda. Setelah bergulingan laksana kilat Galuh Pi-
taloka bangkit berdiri. Dia membalikkan tubuh-
nya, hingga kini Galuh Pitaloka dapat melihat ku-
da yang hampir menabraknya tadi.
Marah bercampur heran si perempuan
membentak. "Kurang ajar mencari mati. Siapa
kau" Bukankah kuda yang kau tunggangi itu
adalah milik Lambang Pambudi?"
Orang yang duduk di atas kuda tertawa
dingin. "Kau tidak salah. Kuda ini memang miliknya." sahut pemuda penunggang
kuda. Menden- gar nada suara pemuda itu Galuh Pitaloka ber-
jingkrak kaget.
"Kau... suaramu aku kenali. Mengapa kau
memakai topeng" Bukankah topeng itu adalah
milik Bayu Gendala?" tanya perempuan penuh
rasa heran. "Bibi Galuh Pitaloka, bagus jika kau men-
genali suaraku. Segala yang terjadi hari ini tentu diluar dugaanmu." kata si
pemuda. Dia kemudian tarik topengnya ke atas, hingga topeng itu sekarang
bertengger di atas keningnya. Begitu topeng
dibuka maka terlihatlah seraut wajah yang tak
asing lagi bagi Galuh Pitaloka. Hanya seraut wa-
jah tampan itu sekarang tidak lagi memperli-
hatkan keluguannya, wajah yang sangat dia kenal
itu sekarang berubah dingin bengis dan seperti
menyimpan dendam kesumat.
"Lambang Pambudi, sungguh bibi tak men-
gerti dengan semua yang kau lakukan ini?"
"Ha ha ha! Dasar perempuan tolol. Apakah
kau tidak ingat dengan seorang perempuan tua
yang telah kau buat cacat tangan dan kakinya.
Perempuan malang itu berjuluk Setan Sumpit!"
Mendengar penjelasan Lambang Pambudi,
Galuh Pitaloka jadi melengak. Dia terdiam, otak-
nya dipacu untuk mengingat. Perlahan terbayang
olehnya wajah angker seorang nenek tua. Wajah
keji yang selalu menebar kejahatan di delapan
penjuru angin. Nenek itu pernah datang ke pergu-
ruan Gunung Keramat sekitar delapan betas ta-
hun lalu. Dia mencoba membakar perguruan,
mencuri beberapa kitab penting berisi pelajaran
ilmu silat. Belasan murid perguruan Gunung Ke-
ramat dibunuhnya. Tapi kemudian dia dan sua-
minya dengan dibantu oleh beberapa tokoh sakti
yang masih terhitung sahabatnya, mampu menja-
tuhkan Setan Sumpit. Dewa Angin Guntur, ke-
mudian membuntungi masing-masing sebelah
tangan dan kaki Setan Sumpit di tempat tinggal-
nya di daerah Kali Anget.
"Jadi apa hubunganmu dengan nenek ke-
parat itu, Pambudi?" tanya Galuh Pitaloka,
"Setan Sumpit adalah guruku. Aku adalah
Setan Penyambar Nyawa, muridnya!" dengus
Lambang Pambudi.
Bagai melihat setan perempuan itu delik-
kan matanya. Dia sungguh tidak menyangka ka-
lau selama ini telah tertipu. Sejak pertama pemu-
da itu terkenal begitu santun, lugu dan mengaku
tidak pandai ilmu silat. Kenyataannya" Galuh Pi-
taloka gelengkan kepala. Apapun, tujuan pemuda
itu dia sudah dapat memperkirakan apa yang
hendak dilakukannya.
"Lambang Pambudi, kau pasti diutus oleh
gurumu untuk menuntut balas atas cacat badan
yang dia alami bukan?"
"Ternyata otakmu cukup cerdik bibi. Du-
gaanmu tidak keliru. Demi baktiku pada orang
yang telah mencurahkan segalanya kepadaku,
aku bahkan rela mengesampingkan perasaanku
sendiri!" "Jadi kau yang telah menodai putri ku?"
tanya Galuh Pitaloka.
Lambang Pambudi tertawa bergelak. Ta-
wanya lenyap mulut berucap. "Aku tidak me-
nyangkal tuduhan itu. Walaupun aku mencintai
Lara Murti. Tapi aku harus rela mengorbankan
nyawa dan kehormatannya. Terus-terang aku ju-
ga telah membunuh murid Guru Lanang Pameka-
san, bahkan orang tua itu juga kubunuh. Bukan
hanya itu saja, aku yang mengatur bagaimana
hingga pada akhirnya Bayu Gendala terbunuh di
tangan paman Dewa Angin Guntur."
"Manusia keji. Mengapa kau lakukan se-
mua itu?" hardik Galuh Pitaloka jadi sangat marah sekali.
"Ha ha ha. Bayu Gendala memang harus
mati, karena ibunya Selasih Jingga adalah orang
yang telah membunuh kedua orang tuaku." sahut Lambang Pambudi dingin.
"Lalu mengapa kau tega menodai anakku?"
tanya perempuan itu dengan suara bergetar. Dia
memang hampir tidak dapat mengendalikan ke-
marahannya. Namun rasa keingintahuan yang
begitu besar membuatnya harus menahan diri.
Di depannya Lambang Pambudi dongakkan
wajahnya ke langit. Terlihat ada kesedihan mem-
bersit di matanya. Hanya semua itu berlangsung
sesaat saja, karena detik kemudian wajah si pe-
muda berubah dingin.
Sejenak lamanya dia pandangi Galuh Pita-
loka, lalu berucap. "Aku tahu dia mencintai ku, aku juga begitu. Tapi ku rasakan
tugas yang di-bebankan guru kepadaku jauh lebih penting dari
urusan pribadiku sendiri. Aku diperintahkan un-
tuk melakukan pembalasan, kalau perlu sekeji-
kejinya. Jadi kau tak perlu menyesal karena se-
mua itu adalah kesalahanmu dan ketololan sua-
mimu sendiri!"
"Bocah keparat! Begitu caramu membalas
kebaikan orang" Aku telah mendengar semuanya.
Jika tidak kubunuh kau saat ini. Seumur hidup
aku tidak bisa tenteram!" satu suara berteriak disertai berkelebatnya satu sosok
tubuh dan me-lesatnya sinar putih ke arah Lambang Pambudi.
Si pemuda cepat menoleh, tapi tetap berlaku te-
nang ketika melihat kilatan pedang menerabas
lehernya. Sambil tertawa panjang dia gerakkan
tubuhnya. Tak terduga pemuda itu melesat ke
udara, berjumpalitan ke belakang sambil meng-
hantam punggung lawan yang baru keluar dari
rumah. Dessss! Buuuk! Hantaman keras membuat sosok yang me-
nyerang dengan pedang jatuh tersungkur. Sambil
menggerung dia bangkit berdiri. Ternyata orang
yang baru menyerang pemuda itu dengan pedang
bukan lain adalah Dewa Angin Guntur. Laki-laki
tua itu cepat balikkan badan. Di depan sana si
pemuda berdiri tegak dengan tangan disilangkan
ke depan dada. Melihat kehebatan serta tenaga dalam yang
dimiliki lawan Dewa Angin Guntur tercengang.
Pemuda itu bukan saja mampu menghindari se-
rangan pedangnya, tapi mampu pula menyarang-
kan pukulan ke bagian punggung selagi dirinya
sendiri berusaha menyelamatkan diri dari seran-
gan senjata Dewa Angin Guntur. Kenyataan ini
dianggap oleh orang tua itu sebagai sebuah ke-
nyataan yang sulit untuk dipercaya.
"Kau mengaku bodoh, tidak punya kepinta-
ran apapun. Tapi ternyata kau memiliki ilmu ser-
ta kesaktian tinggi. Pemuda keparat, kau sung-
guh manusia yang pandai berpura-pura." teriak Dewa Angin Guntur kalap.
"Ketua perguruan Gunung Keramat. Guru-
ku Setan Sumpit telah mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang dia miliki untuk menggembleng
diriku. Masa aku mau mempermalukan dirinya,
kalau cuma menghadapi dua manusia tolol seper-
ti kalian?" sahut Lambang Pambudi disertai seringai mengejek.
"Tak pernah kusangka selama ini kami te-
lah membesarkan anak macan" Kau telah menipu
kami dengan segala keluguan mu yang palsu!"
"Ha ha ha. Itulah sebabnya aku mengata-
kan kalian adalah manusia tolol yang tidak tahu
membaca gelagat!"
"Kakang... mengapa banyak bicara. Mari ki-
ta ringkus pemuda penipu ini! Rasanya tidak te-
nang hatiku jika aku belum dapat mencincang
tubuhnya!" teriak Galuh Pitaloka yang sangat berduka bila mengenang nasib buruk
yang menimpa anaknya.
"Kau benar! Menghadapi manusia seperti
dia tidak perlu banyak mulut! Kau menyingkirlah,
biar aku yang akan membunuhnya!" teriak Dewa Angin Guntur. Habis berteriak laki-
laki itu berkelebat ke arah lawan. Pedang di tangan kanan ber-
kelebat menyambar. Sedangkan tangan kiri mele-
paskan satu pukulan hebat.
Wuuut! Wuuus! Sinar putih berkiblat, hawa dingin pukulan
menyambar. Serangan itu masing-masing me-
nyambar dada dan mata si pemuda, Lambang
Pambudi makfum betapa ganasnya kedua seran-
gan itu. Sambil melompat mundur dia pukulkan
kedua tangannya ke depan. Satu gelombang an-
gin melabrak pedang dan pukulan Dewa Angin
Guntur, membuat orang tua itu terdorong mun-
dur, sedangkan tangan yang dipukulkan dan pe-
dang di tangannya bergetar hebat.
11 Dewa Angin Guntur terkejut bukan main.
Tapi dia adalah seorang tokoh yang sudah banyak
pengalaman dirimba persilatan. Karena itu begitu
hilang rasa kagetnya dia lipat gandakan tenaga
dalamnya ke bagian hulu pedang dan kaki. Sam-
bil merundukkan kepala Dewa Angin Guntur me-
lompat ke depan. Pedang di tangan laksana kilat
ditusukkan ke bagian leher lawannya. Serangan
yang dilakukannya ini hanya tipuan saja, karena
begitu lawan menghindar dengan menarik kepa-
lanya ke belakang, maka lawannya segera han-
tamkan tangan kirinya melepaskan pukulan Hali-
lintar. Cahaya putih menyambar melesat ke arah
Lambang Pambudi disertai memancarnya hawa
panas bukan kepalang. Pemuda itu dibuat terce-
kat, namun dia dengan cepat jatuhkan diri meng-
hindar dari pukulan lawannya. Begitu dia bergu-
lingan ke bawah, Dewa Angin Guntur sekali lagi
hantamkan pukulan mautnya.
"Keparat!" rutuk Lambang Pambudi. Pemu-
da ini walaupun masih berusaha menghindar tapi
tidak dapat selamatkan dirinya. Tidak pelak lagi
pukulan susulan yang dilepaskan lawannya
menghantam tubuh pemuda itu.
Lambang Pambudi jatuh terjengkang. Pa-
kaian di depan dada dan perut hangus. Dia men-


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jerit, sedangkan tangannya sibuk memadamkan
api yang berkobar membakar pakaiannya.
Di beberapa bagian tubuh pemuda itu me-
lepuh hitam, sakitnya bukan main. Sedangkan di
belakang pemuda itu terdengar suara ledakan ke-
ras menggelegar akibat pukulan Dewa Angin Gun-
tur sebagian menghantam pagar bambu di hala-
man rumah itu. "Bocah gila, kau tidak bakal lolos dari tan-
gan kami!" teriak orang tua itu. Seperti tadi dengan kecepatan laksana kilat
Dewa Angin Guntur
kembali lancarkan serangan gencar ke arah si
pemuda. Pedang di tangan diputar sebat hingga
kini yang terlihat hanya kilatan sinar putih me-
nyilaukan mata yang mengurung lawan dari sega-
la penjuru arah. Masih dengan mengandalkan ke-
cepatan geraknya Lambang Pambudi dengan mu-
dah dapat menyelamatkan diri dari tusukan
maupun babatan pedang lawan. Tiba-tiba dia me-
lompat mundur. Dewa Angin Guntur terus men-
gejarnya, pedang di tangan dihantamkan keba-
gian kepala lawannya. Tapi justru pada saat itu si pemuda mencabut pedang yang
terselip di pinggangnya.
Selarik sinar putih berkiblat, bergerak ce-
pat ke atas menangkis tebasan pedang lawannya.
Traaang! Tangkisan yang dilakukan Lambang Pam-
budi membuat lawannya terdorong mundur. Tan-
gan yang memegang pedang terasa nyeri bukan
main. Dewa Angin Guntur diam-diam terkejut tak
menyangka lawan memiliki tenaga dalam sehebat
itu juga sangat cepat dalam menggerakkan pe-
dangnya. Selagi orang tua ini dibuat tercengang
oleh kecepatan gerak pedang lawannya, Lambang
Pambudi memutar tubuhnya, sedangkan pedang
kini berkelebat menghantam tubuh Dewa Angin
Guntur. Laki-laki itu terkesiap, dari arah samping menderu sinar putih yang
memotong gerak senjata si pemuda.
Traang! Breeet! Terdengar suara jeritan orang tua itu keti-
ka ujung pedang lawan merobek pakaiannya juga
menggores di bagian dada. Lambang Pambudi
menoleh, ternyata orang yang membuat seran-
gannya meleset tadi bukan lain adalah Galuh Pi-
taloka. "Perempuan kurang ajar. Mengaku sebagai
golongan lurus tidak tahunya main keroyok!" ma-ki si pemuda.
"Menghadapi manusia sepertimu tak perlu
memakai segala peradatan!" sahut Galuh Pitalo-ka. Dia lalu berkata ditujukan
pada suaminya. "Kakang mari kita pesiangi pemuda keparat ini bersama-sama!"
"Kau benar, aku juga sudah tidak sabar
membalaskan kematian anak kita!" Sahut Dewa
Angin Guntur. Kedua suami istri ini kemudian
terlihat seolah berebut saling mendahului. Dua
sinar pedang bertabur di udara, bergerak cepat ke arah Lambang Pambudi dengan
serangan gencar,
hebat dan mematikan.
Beberapa saat lamanya pemuda itu nam-
pak terdesak hebat. Dia sama sekali tidak mampu
membalas serangan kedua lawannya terkecuali
menangkis serangan mereka. Nampaknya Lam-
bang Pambudi tak mungkin dapat meloloskan diri
dari kepungan sinar pedang lawan. Malah kini
beberapa bagian tubuhnya kena dilukai lawan.
Tapi secara aneh, Lambang Pambudi memutar
tubuhnya. Pedang bergerak menangkis.
Trang! Traang! Tiga pedang saling berbenturan membuat
Dewa Angin Guntur dan istrinya terdorong mun-
dur. Kesempatan ini dipergunakan Lambang
Pambudi untuk melesat ke atas. Begitu dia bera-
da di udara, laksana seekor elang yang menyam-
bar pedang di tangan diputar, dengan tubuh me-
nukik pedang dibabatkan ke dua arah sekaligus
Craas! Craas! Suami istri ketua perguruan Gunung Ke-
ramat sama-sama menjerit dan sama pula men-
dekap perutnya. Mereka jatuh berlutut dengan
mata mendelik mulut ternganga seolah tak per-
caya dengan kenyataan yang mereka hadapi. De-
wa Angin Guntur mengerang, dia memeriksa pe-
rutnya yang mengucurkan darah. Ternyata luka
itu tidak seberapa dalam. Selagi laki-laki itu dibuat tercengang. Dia mendengar
jeritan istrinya.
Dewa Angin Guntur cepat berpaling ke
arah Galuh Pitaloka. Ternyata perempuan itu ja-
tuh menelungkup, diam tidak berkutik.
"Galuh istriku!" pekik Dewa Angin Guntur.
Terhuyung-huyung dia hendak menghampiri is-
trinya. Tapi gerakannya tertahan karena Lambang
Pambudi telah menghalangi langkahnya.
"Kau lebih beruntung karena lukamu tidak
begitu parah. Namun kau tak perlu risau orang
tua, sekejap lagi aku akan mengantarkanmu pada
istri tercinta! Ha ha ha!" kata Lambang Pambudi sinis. Mendidihlah darah orang
tua ini. Dengan
mulut terkatup rapat dan pipi menggembung dia
mencoba menggerakkan pedangnya. Tapi tena-
ganya seakan lenyap. Dewa Angin Guntur terce-
kat. Di depan sana Lambang Pambudi tertawa
bergelak. "Pedangku mengandung racun ganas. Tapi
aku masih berbaik hati dengan mempercepat
proses kematianmu!" Selesai berucap Lambang
Pambudi gerakkan pedang di tangan ke depan.
Dewa Angin Guntur sedapat mungkin berusaha
menghindar. Tapi celakanya dia sama sekali tak
dapat menggerakkan tubuhnya. Jiwa ketua per-
guruan Gunung Keramat benar-benar dalam an-
caman bahaya besar saat itu. Akan tetapi pada
detik yang sangat kritis ini dua bayangan berkelebat. Satu dari dua sosok yang
datang bergerak
menyambar Dewa Angin Guntur. Sedangkan sa-
tunya lagi menangkis serangan pedang Lambang
Pambudi. Traang! Cahaya kuning dan pedang di tangan Lam-
bang Pambudi bentrok keras di udara, menim-
bulkan pijaran bunga api. Lambang Pambudi
sendiri menjerit keras pedang di tangan terpental lepas, sedangkan tangan pemuda
itu serasa lumpuh. Dalam kagetnya Lambang Pambudi me-
mandang ke depan. Di depannya sana telah ber-
diri tegak seorang pemuda gondrong bertelanjang
dada. Di tangan pemuda itu tergenggam sebuah
senjata berbentuk seperti gada berwarna kuning
mengkilat. Pemuda itu tersenyum sambil mengga-
ruk kepala. Tak jauh di sebelah kanan pemuda
itu seorang kakek berbadan gendut luar biasa
nampak sibuk menolong Dewa Angin Guntur
yang baru diselamatkannya dari luka di bagian
perut. "Kau..."!" desis Lambang Pambudi.
Suaranya tercekat, karena pemuda itu
sangat dikenalnya.
"Ha ha ha. Ya... aku, Gento. Masa kau lu-
pa" Sedangkan yang disana itu Gentong Ketawa!"
menerangkan pemuda itu sambil tertawa.
"Tidak pernah ku menyangka kau mau
mencampuri urusanku!" kata pemuda itu sengit.
Gento tentu saja lebih jengkel lagi. "Kau
sahabat penipu sialan. Berpura-pura menjadi
orang tolol. Tidak tahunya kau manusia licik. Kau fitnah orang lain untuk
kepentinganmu sendiri!"
teriak Gento marah.
"Ha ha ha! Ternyata kau juga seorang pen-
dekar tolol yang dapat ku kelabuhi! Menyingkir-
lah!" hardik Lambang Pambudi bengis.
"Gento... mengapa banyak mulut. Kau urus
pemuda sialan itu, biar aku mengurus orang tua
ini!" kata Gentong Ketawa.
"Kalian orang bodoh yang mencari mati!"
kata Lambang Pambudi. Laksana kilat pemuda
itu melompat meraih pedangnya yang rompal di-
bagian ujungnya akibat membentur senjata di
tangan Gento. "Bagus! Ternyata kau hendak melawan
tuan penolongmu!" ujar si pemuda sambil tersenyum sinis.
Tanpa bicara Lambang Pambudi menyerbu
ke arah Gento. Sadar Gento Guyon bukan manu-
sia yang dapat dianggap enteng. Lambang Pam-
budi pun mengerahkan jurus-jurus pedangnya
yang paling hebat. Gento memang sempat dibuat
tercekat melihat kehebatan serangan lawannya.
Siapapun tak menyangka Lambang Pambudi yang
terlihat lemah itu ternyata memiliki jurus-jurus
simpanan sehebat itu. Tapi Gento sama sekali ti-
dak dibuat keder. Dia yang merasa selama ini di-
tipu oleh pemuda itu mengerahkan tenaga dalam
penuh ke bagian hulu gada dalam genggamannya.
Senjata itu kini nampak semakin membesar dan
bertambah panjang pula. Di saat pedang di tan-
gan lawan menusuk dan membabat kaki dan pe-
rutnya, Gento gerakkan gada di tangannya.
Sinar kuning seperti kilauan emas berkib-
lat disertai suara bergelaksana bendungan yang
jebol. Kemudian dua senjata beradu keras hingga
menimbulkan suara ledakan menggelegar. Pedang
di tangan Lambang Pambudi hancur berkeping-
keping begitu membentur gada sakti, Penggada
Bumi. Akibatnya tidak hanya sampai disitu saja,
Lambang Pambudi jatuh terjengkang. Gento me-
lompat sambil lakukan beberapa gerakan. Dilain
kejab gada itu menderu menghantam kepala la-
wan. Lambang Pambudi tentu saja tidak mau ke-
palanya hancur dihantam gada. Dengan cepat
masih dalam keadaan menelentang pemuda ini
hantamkan kedua tangannya ke arah gada.
Segulung angin menderu, lalu menghan-
tam senjata di tangan pemuda itu. Gada hanya
bergetar, malah kini semakin bertambah panjang
dan makin bertambah besar pula. Kalang kabut
Lambang Pambudi mencoba bergulingan ke
samping. Sayang gerakannya kalah cepat dengan
gerakan lawannya.
Tak ayal lagi gada itu menghantam dada si
pemuda. Terdengar suara tulang rusuk berderak
disertai jeritan Lambang Pambudi. Darah me-
nyembur dari mulut pemuda itu sedangkan ma-
tanya melotot, mulut ternganga lidah terjulur.
Lambang Pambudi berkelojotan sebentar, lalu di-
am tak berkutik. Gento menarik nafas pendek,
tenaga yang disalurkan ke senjatanya ditarik
kembali, sehingga gada sakti yang dapat membe-
sar dan mengecil itu kembali ke bentuk asalnya.
Sambil memasukkan senjata dibalik pinggang ce-
lananya, Gento pandangi mayat Lambang Pam-
budi sejenak. "Pemuda ini lebih cerdik dari kancil," gumamnya dengan wajah cemberut. Dia lalu
meno- leh ke arah gurunya. Gento melihat gendut Gen-
tong ketawa sedang membalut luka di perut Dewa
Angin Guntur. "Guru... mari kita pergi!" kata pemuda itu
setelah datang menghampiri.
"Gento dan paman Gentong Ketawa, aku
merasa berhutang nyawa pada kalian. Maafkan
kekeliruan ku selama ini karena salah menduga."
kata Dewa Angin Guntur dengan suara perlahan.
Gento yang teringat pada nenek Selasih
Jingga berucap. "Paman sudah mendapatkan satu pelajaran. Orang yang baik belum
tentu baik hatinya. Harap pernah melakukan kejahatan tidak
selamanya tenggelam dalam kesesatan."
Dewa Angin Guntur segera duduk. "Kau
benar, Gento. Selama ini aku terlalu picik. Aku
berdosa pada Selasih Jingga terlebih-lebih pada
anaknya." sesal Dewa Angin Guntur.
"Bagus jika kau mau menyadarinya." Gen-
tong Ketawa menimpali. "Sekarang kami harus
pergi dari sini. Kau uruslah jenazah istrimu." ujar si kakek.
"Aku bersama murid-muridku akan men-
gurusnya." sahut Dewa Angin Guntur sambil
memandang ke arah sosok yang terbujur kaku di
depan sana dengan mata berkaca-kaca.
"Uruslah dengan baik paman, setelah em-
pat puluh hari kematiannya nanti kau harus ce-
pat cari pengganti agar tidak menjadi orang lin-
glung." celetuk Gento.
"Terlebih-lebih lagi supaya tidak kedingi-
nan! Ha ha ha!" timpal si gendut lalu tertawa tergelak-gelak.
"Gendut edan, sudah tua otak masih saja
ngaco!" dengus Gento, tapi dia sendiri sambil ber-
kelebat malah tertawa terbahak-bahak.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Menjenguk Cakrawala 5 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Pedang Kilat Membasmi Iblis 3
^