Pencarian

Sang Penakluk 2

Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk Bagian 2


Dewayani jadi menggerinjang, lalu melompat keluar sambil menyambar pedang yang
tergantung di dinding.
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tapi tak seorang pun yang
dilihatnya. Bahkan pedati yang tadi
melintas di jalan itu pun sudah tidak
terlihat lagi. Rasanya tidak mungkin
sebuah pedati yang hanya ditarik seekor sapi bisa begitu cepat menghilang di
jalan. yang lurus tanpa belokan sama
sekali ini. Dewayani menarik napas
panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Dia kembali masuk ke dalam rumahnya. Tapi baru saja melewati ambang pintu,
kembali matanya terbeliak kaget
"Kau.... Mau apa kau ke sini?"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu
di dalam rumah itu sudah berdiri seorang laki-laki tua kurus kering berjubah
hitam sambil menggenggam tongkat yang berwarna
hitam pula. Dewayani menggenggam
pedangnya dengan kedua tangan erat-erat, namun belum menghunus nya. Pandangannya
begitu tajam menusuk langsung bola mata tua yang memerah agak cekung ke dalam.
"Aku hanya menyampaikan pesan, kalau kau ma-sih punya kesempatan, Dewayani.
Kembalilah dan jangan siksa dirimu
sendiri," kata laki-laki tua kurus kering yang tak lain Iblis Hitam itu.
"Aku tidak perlu nasihatmu! Pergi
kau!" bentak Dewayani sengit.
"Sayang sekali, kau begitu keras
kepala. Waktumu tinggal tiga hari lagi, Dewayani. Se-lepas itu, tak ada yang
bisa menolongmu. Bahkan dirimu sendiri tak
mampu. Camkan kata-kataku ini, Dewayani."
"Pergiii...!" jerit Dewayani.
"Aku akan pergi, tapi kau bo...."
"Pergi, keparat..!" bentak Dewayani memutus ucapan Iblis Hitam.
Iblis Hitam menggeleng-gelengkan
kepalanya, kemudian berbalik dan berjalan melalui pintu belakang. Gadis itu
memandangi sampai tubuh tua kurus kering itu lenyap di balik pintu. Dewayani
menghempaskan tubuhnya ke atas balai-
balai bambu. Napasnya memburu, dan
tubuhnya agak gemetar. Pada saat itu Nyi Jepun tergopoh-gopoh masuk menghampiri
Dewayani "Ada apa, Yani" Kenapa menjerit-
jerit?" Tanya Ny Jepun.
"Tidak apa-apa, Nyi Aku hanya
bermimpi," sahut Dewayani seraya menyeka keringat di wajah-nya.
"Makanya kalau siang-siang jangan
tidur. Banyak setan datang," kata Nyi Jepun lagi.
Dewayani hanya tersenyum saja, dan
masih merebahkan tubuhnya menelentang
memandang langit-langit rumah. Sementara Nyi Jepun meninggalkannya.
*** Sementara itu di rumah Kepala Desa
Seman-ding, Ki Jepun disambut secara
ramah dan penuh persaudaraan oleh Ki
Jarak. Namun kepala desa itu terkejut
juga begitu mendengar penuturan laki-laki tua itu mengenai tuduhan penduduk desa
terhadap Dewayani. Saat itu Rangga masih berada di rumah kepala desa, dan
mendengarkan semua penuturan Ki Jepun
penuh perhatian. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja, tidak memberikan
suara sedikit pun.
"Terus terang, aku belum mendengar
tuduhan itu, Ki
Jepun. Aku sendiri
terkejut mendengar keponakanmu dituduh
sebagai pembunuh," kata Ki Jarak dengan suara pelan seakan-akan menyesal-kan
sikap warganya yang menuduh sembarangan tanpa bukti.
"Itulah sebabnya, kenapa aku cepat-cepat datang ,ke sini," ujar Ki Jepun.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Ki Jarak bisa mengatakan pada semua penduduk kalau keponakanku tidak bersalah,
dan tidak ada hubungannya dengan kedua pembunuhan itu," tegas Ki Jepun.
"Rasanya tidak semudah itu, Ki. Maaf!
Bukan-nya menyepelekan laporanmu, tapi aku harus mencari bukti dulu
kebenarannya," kata Ki Jarak bijaksana.
"Kebenaran apa lagi, Ki" Sudah jelas keponakanku tidak tersangkut Mereka saja
yang usil dan dengki pada Dewayani!"
dengus Ki Jepun.
"Baiklah, Ki Jepun. Laporanmu
kuterima, tapi aku tidak ingin bertindak gegabah dan berat sebelah. Bagaimanapun
juga aku seorang kepala desa yang harus bertindak adil dan bijaksana. Kalau
memang benar Dewayani tidak ada
hubungannya dengan peristiwa berdarah
ini, aku atas nama seluruh penduduk Desa Semanding tidak segan-segan meminta
maaf padanya."
Kata-kata Ki Jarak rupanya sedikit
memberi kepuasan Ki Jepun. Laki-laki tua itu kemudian mohon diri dan
meninggalkan rumah kepala desa itu. Ki Jarak
memandangi hingga laki-laki tua renta itu jauh meninggalkan rumahnya. Ditarik-
nya napas panjang, lalu dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi
diam saja. "Kau dengar sendiri, Nak Rangga.
Sudah ku-duga kalau peristiwa ini pasti akan berbuntut panjang," ujar Ki Jarak
sedikit mendesah.
"Memang sulit diterima akal sehat
Hampir semua penduduk desa mengatakan
kalau kedua korban sebelumnya pernah
berbincang-bincang dengan Dewayani
sebelum mereka ditemukan tewas," gumam Rangga
"Sebelumnya tidak pernah terjadi hal ini,
Nak Rangga. Sejak kedatangan
Dewayani di desa ini, ada saja peristiwa yang terjadi. Pertama penduduk
diributkan dengan hilangnya hewan ternak, yang
kemudian ditemukan di pinggir hutan dalam keadaan mati. Leher terkoyak dan
sebagian darah terkuras. Dan kejadian selanjutnya ya, begini ini,"
"Hm...," Rangga bergumam pelan.
Dua pemuda yang jadi korban
pembunuhan misterius itu juga lehernya terkoyak lebar. Dan memang, korban
pertama darahnya hampir habis. Tapi
Rangga tidak pernah berpikir sejauh itu, karena banyak juga darah yang tergenang
di lantai. Sedangkan pada korban yang
kedua, ha-nya leher saja terkoyak tanpa sisa darah sedikit pun di tubuhnya.
"Aku jadi berpikir, jangan-jangan
desa ini kedatangan makhluk aneh haus
darah...," gumam Ki Jarak pelan seperti untuk dirinya sendiri.
Rangga memandangi laki-laki setengah
baya itu dalam-dalam. Selama dalam
pengembaraannya, belum pernah terdengar hal seperti ini. Sedangkan Ki Jarak
hanya menatap kosong ke depan. Untuk beberapa
saat mereka hanya diam membisu dengan
pikiran berkecamuk.
Di dalam hati, Rangga semakin
tertarik pada persoalan ini. Terlebih
lagi setelah mendengar dugaan Ki Jarak
yang tidak pernah terpikir-kan sebelum-
nya. Satu pemikiran yang dirasakan amat ganjil, tapi bukannya tidak mustahil hal
itu bisa terjadi. Masih banyak masyarakat yang mempercayai hal-hal seperti itu,
yang sukar diterima akal sehat. Apakah memang benar ada makhluk haus darah di
Desa Semanding ini"
*** 4 Dewayani merendam tubuhnya di dalam
sungai. Sebentar ditenggelamkan kepalanya, kemudian diangkat sambil dibasuh
wajahnya dengan air sungai itu. Sama
sekali tidak disadari kalau dari balik
semak di tepi sungai, sepasang mata
selalu memperhatikan. Gadis itu tetap
asyik mandi tanpa mengetahui ada yang
tengah merayapi tubuhnya.
Setelah puas berendam dalam sungai,
Dewayani keluar dari dalam sungai itu.
Dia berjalan ke tepi dan mengganti kain yang basah dengan pakaian kering
berwarna biru tua. Sementara sepasang mata dari
balik semak semakin tidak berkedip
menjilati tubuh Dewayani
yang tengah berganti pakaian. Sepasang mata itu terus memperhatikan sampai Dewayani
meninggalkan sungai dengan ayunan kaki pelahan-lahan.
Trek! Tiba-tiba terdengar suara ranting
patah terinjak. Dewayani langsung
berhenti melangkah. Ditatapnya sumber
suara tempat pemilik sepasang mata itu bersembunyi. Gadis itu memutar tubuhnya
sedikit, dan pandangan matanya tajam ke arah semak itu.
Tampak semak itu bergoyang-goyang.
Sebentar kemudian, muncul seorang pemuda bertubuh sedang dengan wajah polos,
tapi sinar matanya memancarkan sesuatu yang
sukar diterka. pemuda itu melangkah
mendekati Dewayani yang hanya diam
memperhatikan saja. dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah
lagi di depan gadis itu.
"Kang Odi.., aku kira siapa," desah Dewayani mengenali pemuda itu.
pemuda itu kelihatan kaku. namun
sinar mata-nya begitu tajam merayapi
wajah cantik di depannya. sedangkan
Dewayani memberi senyuman yang teramat manis, membuat jakun pemuda itu bergerak
turun naik. terasa kering seketika
tenggorokan Odi melihat senyum gadis
cantik ini. "siang-siang kok ada di sini, kang.
tidak ke ladang?" Tanya Dewayani, lembut dan halus.
"oh...! eh, tidak," sahut Odi tergagap.
Pikiran pemuda itu jadi melayang,
semula Odi hanya ingin mengintip saja,
tapi tidak disangka ketahuan juga. dia
tahu kalau hampir semua penduduk seakanakan menjauhi Dewayani dan menuduh gadis
ini biang keladi dari dua pembunuhan yang terjadi kemarin. Tetapi tetap saja
pemuda desa itu tidak peduli dan tetap berusaha mendekati
gadis ini secara sembunyi-
sembunyi, kecantikan Dewayani memang telah membuat dia tidak peduli akan
segala macam prasangka warga desa
Temanding. "Terus, mau apa kau di sini?" Tanya Dewayani bernada curiga.
"Aku..., Aku.... Eh, Anu...," Odi semakin tergagap.
Dewayani tersenyum manis sekali
sepasang matanya berbinar semakin indah dipandang.
Namun Odi malah kelihatan
bertambah gugup. Tubuhnya beberapa kali menggeletar seperti kedinginan. wajahnya
sebentar pucat dan sebentar kemudian
berubah merah. Dewayani memang cantik
sekali, sehingga tidak ada seorang pemuda pun yang sanggup berlama-lama bersama
gadis ini. rata-rata tidak ada yang tahan jika bertatapan mata. kharisma
Dewayani memang sungguh luar biasa. bukan saja
anak-anak muda. bahkan yang sudah punya anak istri saja bakal tidak berkedip
bila memandang gadis ini.
"seharusnya tidak perlu sembunyi-
sembunyi begitu, Odi. Aku sungguh senang jika ada yang sudi berteman denganku,"
ujar Dewayani semakin lembut suaranya.
"oh, benarkah...?" Odi seperti tidak percaya.
"tentu saja. di sini aku tidak punya
teman. malah sekarang seperti dimusuhi,"
agak memberengut wajah Dewayani.
"mereka memang bodoh, Dewayani. tapi aku sama sekali tidak percaya kalau kau
bisa membunuh orang. aku yakin, membunuh semut pun kau pasti tak mampu," Odi
mulai berani. Dewayani tertawa renyah. sungguh
merdu suara tawanya. Sampai-sampai Odi terpana memandangi baris-baris gigi yang
begitu rapi dan putih bersih. memang
kecantikan Dewayani sungguh sempurna.
seperti tidak mempunyai cela sedikit pun.
Beberapa kali Odi terpaksa harus menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering kerontang.
"Kita ngobrol di sana, yuk..?" ajak Dewayani sambil menunjuk batu-batu yang
bertumpuk dan tersebar di tepi sungai.
Gadis itu langsung saja menarik
tangan Odi, sehingga membuat pemuda itu bergetar bagai tersengat ribuan lebah
berbisa. Odi jadi ter-paku kaku. Malah
kakinya seperti terpantek, sukar untuk
digerakkan. Tangan Dewayani yang halus bagai
kapas men-cekal pergelangan tangan Odi.
"Ayuk...," ajak Dewayani seperti tidak mempedulikan keadaan pemuda itu.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Odi
menu-rut saja. Mereka berjalan mendekati tepian sungai yang berbatu. Tapi pemuda
itu semakin kelihatan kaku, dan beberapa kali tubuhnya menggeletar seperti
terserang demam. Dua orang itu kemudian duduk di atas sebongkah batu datar.
Mereka duduk hampir merapat,
membuat pemuda itu semakin tidak menentu
perasaannya. Namun tampaknya Dewayani
sama sekali tidak peduli. Bibirnya yang merah tersenyum-senyum dan beberapa kali
mengerlingkan mata pada pemuda itu.
"Kok gemetaran, Di?" tegur Dewayani diiringi senyuman.
"Dingin," sahut Odi seenaknya.
"Panas begini kok dingin sih" Terus terang saja. Kau tidak biasa berdekatan


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan perempuan, ya?"
Odi langsung membisu. Tepat sekali
tebakan Dewayanti.
Pemuda itu memang belum pernah berdekatan dengan seorang gadis mana pun juga. Apalagi gadis
secantik bidadari ini. Masih bisa
bernapas saja Odi sudah harus bersyukur.
Baginya hari ini adalah hari yang paling indah daripada hari-hari lainnya. Tidak
semua pemuda di Desa Semanding punya
kesempatan duduk berdua bersama gadis
ini. "Nanti malam kamu bisa keluar tidak, Di?"
Tanya Dewayani lembut sambil
meletakkan tangannya di punggung tangan pemuda itu.
Kembali tubuh Odi gemetar. Seketika
itu juga jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Lidahnya terasa kelu,
seperti tidak mampu menjawab pertanyaan Dewayani.
"Kalau tidak bisa, tidak apa-apa,"
kata Dewayani setengah merajuk.
"Bi..., bisa. Tentu saja bisa," buru-buru Odi membuka suara meskipun tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa menolongku dong," rajuk Dewayani.
"Menolong apa?" Tanya Odi.
Pemuda itu seperti merasakan punya
kesempatan untuk lebih mendekati gadis
ini. Dalam hatinya, Odi bertekad untuk menyanggupi apa saja yang diinginkan
Dewayani. Yang penting baginya bisa
berada berdua saja dengan gadis ini.
"Mengantarku ke sendang," sahut Dewayani.
"Malam-malam..."!" Odi terkejut.
"Bisa tidak...?" desak Dewayani.
"Bisa!" sahut Odi tanpa berpikir panjang lagi.
"Kalau begitu, aku tunggu di sini
ya?" "Di mana saja, Dewayani. Aku jemput ke rumahmu juga tidak apa-apa."
"Jangan, nanti Ki Jepun marah.
Soalnya sekarang
ini aku dilarang
bergaul. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
Padahal, tanpa bergaul pun aku sudah
dijauhi." agak menghiba nada suara Dewayani. "Jangan khawatir, Dewayani Pokoknya aku bersedia mendampingimu kapan saja,"
tegas Odi, langsung berbunga hatinya.
"Sungguh...?"
"Apa harus bersumpah?"
Dewayani tersenyum manis. Tiba-tiba
saja di-berikannya satu kecupan tapis di pipi pemuda itu. Seketika itu juga Odi
merasa jantungnya
berhenti berdetak.
Tubuhnya mengejang kaku, dan matanya
menatap kosong tidak percaya.
Sebelum Odi menyadari apa yang baru
saja didapat, Dewayani sudah mening-
galkannya sambil berlari-lari kecil.
Pemuda itu masih terpaku bagai sepotong area batu. Sungguh sulit dipercaya kalau
dirinya baru saja dicium seorang gadis
cantik yang menjadi buah bibir dan men-
jadi incaran setiap anak muda di Desa
Seman-ding. "Yihuii...!" tiba-tiba saja Odi terlonjak
melompat sambil berteriak
keras. Pemuda itu berjingkrak-jingkrakan
seperti baru saja mendapat lotre. Sambil berteriak-teriak, pemuda itu berlari-lari dan melonjak-lonjak
tidak karuan. Bahkan lebih dari itu, dipeluk dan diciuminya
sebatang pohon bertubi-tubi sambil
menyebut-nyebut nama Dewayani.
Kelakuan Odi sungguh menggelikan.
Sampai-sampai disadari kalau ada beberapa orang memperhatikan tingkahnya yang
memeluk pohon sambil menyebut nama
Dewayani. Pemuda itu benar-tidak
mempedulikan pandangan orang-orang yang keheranan. Dia berlari-lari dan
berjingkrakan bagai orang tidak waras.
"Ha ha ha..! Aku berhasil! Aku
berhasil..!" Teriak
Odi keras sambil
terus berjingkrakan.
*** Pagi-pagi sekali kegemparan kembali
terjadi di Desa Semanding. Orang-orang
yang hendak ke sungai dikejutkan dengan diketemukannya tubuh Odi yang tergeletak
tak bernyawa di tepi sungai. Pemuda itu tewas dengan cara mengerikan. Leher
terkoyak hampir buntung dan dada
berlubang besar hingga seluruh rongga
bagian dalam dadanya terlihat. Yang lebih mengejutkan lagi, tak ada setetes
darah pun terdapat di tubuh pemuda itu. Bahkan sekitarnya juga kelihatan bersih
tanpa ada sedikit bercak darah.
Kematian Odi membuat seluruh penduduk
Desa Semanding marah. Mereka beramai-
ramai mendatangi rumah Ki Jepun. Semua orang tahu kalau kemarin Odi seperti
orang gila, selalu me-nyebut-nyebut nama Dewayani sambil memeluk dan menciumi
pohon. Bahkan Odi sendiri cerita pada
teman-temannya kalau
dirinya dicium Dewayani di tepi sungai.
Tentu saja cerita Odi tidak ada yang
mempercayai. Terlebih lagi anak-anak muda yang se-cara diam-diam selalu bersaing
memperebutkan gadis itu. Namun tidak
demikian halnya gadis-gadis dan kaum
wanita di desa yang tampak be-gitu marah.
Bahkan orang-orang tua tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah mereka
mendatangi rumah Ki Jepun.
"Dewayani! Keluar kau...!"
"Bunuh saja perempuan setan itu!"
"Usir dia dari desa kita...!"
Macam-macam teriakan terdengar dari
mulut para wanita dan gadis-gadis muda
yang berkumpul di depan rumah Ki Jepun.
Sedangkan yang laki-laki, baik tua maupun muda, hanya diam saja mengawasi di
belakang mereka. Sementara jendela dan
pintu rumah Ki Jepun tertutup rapat. Di dalam rumah, Ki Jepun, istrinya, dan
Dewayani hanya diam saja mendengarkan
teriakan-teriakan yang menyakitkan
telinga. "Apa yang harus kita lakukan, Ki?"
Tanya Nyi Jepun dengan suara agak
bergetar. "Tenang saja, Nyi. Biarkan mereka
meluapkan kemarahannya sampai serak
suaranya," sahut Ki Je pun tenang.
Nyi Jepun memandangi Dewayani yang
hanya duduk saja di balai-balai bambu.
Gadis itu juga memandang perempuan tua
yang telah begitu baik padanya. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Jepun yang
berdiri dekat jendela mengintip ke luar.
"Biar kuhadapi
mereka, Ki," kata
Dewayani sambil turun dari balai-balai
bambu. "Jangan...!" cegah Nyi Jepun langsung me-narik tangan Dewayani, dan membawanya
duduk kembali. Ki Jepun memalingkan mukanya menatap
dalam-dalam gadis itu.
"Mereka semua bersenjata, Dewayani.
Kau akan dirajam kalau keluar," jelas Ki Jepun, terdengar tenang suaranya.
"Aku bisa menghadapi mereka, Ki,"
tegas Dewayani tidak tahan lagi mendengar kata-kata yang menyakitkan hatinya di
luar sana. "Lebih baik kau tutup saja telingamu, Dewayani. Sabarkan hatimu, dan jangan
lawan mereka dengan hati panas juga," Ki Jepun menasehati.
Dewayani diam saja, duduk di samping
Nyi Jepun. Kata-kata Ki Jepun barusan
memang benar. Para pen duduk itu sedang dilanda kemarahan sehingga hati mereka
menjadi buta. Jika di-lawan dengan hati panas juga, justru akan memperburuk
suasana. Saat mereka berdiam diri, terdengar ketukan di pintu beberapa kali.
Sejenak Ki Jepun memandang kedua wanita yang duduk berdampingan, kemudian
melangkah menghampiri pintu.
Ki Jarak dan Rangga serta beberapa
sesepuh des berdiri di depan pintu yang dibuka Ki Jepun. Setelah dipersilakan
masuk, mereka yang berjumlah lima orang,
masuk ke dalam rumah itu. Ki Jepun
menyambut mereka dengan ramah, lalu
mempersilakan duduk. Dua orang laki-laki tua berdiri saja di pintu yang tetap
dibiarkan terbuka. Sementara para wanita yang berkerumun di depan rumah Ki Jepun
terus berteriak-teriak menyuruh Dewayani keluar.
"Aku ke sini bukan hendak mengadili keponakanmu, Ki Jepun," jelas Ki Jarak
membuka suara. "Terus terang, Ki Jarak. Aku tidak mengerti, mengapa mereka menuduh
keponakanku yang membunuh Odi," keluh Ki Jepun.
"Itulah yang hendak kuselesaikan
sekarang, Ki," kata Ki Jarak lagi.
"Ki Jarak, kan aku sudah katakan.
Kalau memang Dewayani benar-benar ber-
salah, aku sendiri yang akan meng-
hukumnya. Nah, sekarang mana bukti-
buktinya kalau keponakanku bersalah?"
tantang Ki Jepun.
"Memang tidak ada bukti kuat, Ki,"
sahut Ki Jarak "Nah! Kenapa mereka tidak dibubarkan saja?" agak keras nada suara Ki Jepun.
Ki Jarak menarik napas panjang.
Dipandangi-nya, dua orang laki-laki tua yang menjaga di pintu. Ki Jarak meminta
agar orang-orang yang berkerumun di luar dibubarkan. Bukan hanya dua orang laki-
laki di pintu saja. Bahkan seorang yang usianya sebaya dengan Ki Jarak yang
duduk di samping kepala desa itu juga ikut
keluar. Hanya Rangga yang masih duduk di samping kiri Ki Jarak.
"Ki Jepun, kudengar Dewayani mem-
punyai ilmu olah kanuragan yang cukup
tinggi. Apa benar begitu?" Tanya Ki Jarak setelah sua-sana di luar sunyi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Jepun.
Ki Jarak memandang Dewayani yang
tetap duduk di pinggir balai-balai bambu bersama Nyi Jepun. Gadis itu membalas
tatapan kepala desa dengan sinar mata
lembut. Agak bergetar juga hati Ki Jarak menerima pandangan mata gadis itu.
Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak lebih kencang. Buru-buru Ki Jarak
mengalihkan pandangannya ke pintu yang masih terbuka lebar. Tak terlihat lagi
penduduk desa di depan rumah ini. Hanya ada beberapa laki-laki dan tiga orang
sesepuh desa yang
berada tidak jauh dari pintu.
Sementara itu pandangan Dewayani
sudah beralih pada Rangga. Gadis ini
tahu, kenapa Ki Jarak bertanya seperti itu. Rangga memang pernah melihat
Dewayani bertarung melawan se-orang tua berjubah hitam yang bernama Iblis Hitam
di tepi sungai. Maka Dewayani yakin betul kalau pemuda berbaju rompi putih
itulah yang mengatakan demikian pada kepala desa ini.
"Ilmu olah kanuragan yang kumiliki bukan untuk membunuh," tegas Dewayani tanpa
mengalihkan pandangannya dari wajah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak menuduh mu dalam peristiwa pembunuhan di sini, Dewayani," ujar Ki
Jarak. "Tapi pertanyaanmu bernada menuduhku, Ki,' dengus Dewayani dingin.
"Maaf kalau kau
tersinggung oleh
pertanyaanku," ucap Ki Jarak menghindari suasana tegang.
"Asal kalian tahu saja, semalaman aku tidak keluar kamar. Kuakui, aku memang
ngobrol dengan Odi kemarin. Tapi itu
bukan berarti aku sebagai pembunuhnya!"
tegas kata-kata Dewayani.
Ki Jarak memandang Rangga yang saat
itu juga menoleh padanya. Laki-laki
setengah baya itu seperti minta pendapat Pendekar Rajawali Sakti, tapi pemuda
itu malah mengangkat bahu saja. Rangga memang tidak punya alasan untuk
mencurigai Dewayani. Dan jalan pikiran Ki Jarak
sendiri seperti buntu. Dia jadi tidak
tahu, apa yang harus dikatakan lagi.
Sementara Dewayani terus menatap tajam Ki Jarak dan Rangga bergantian dengan
sinar mata dingin.
*** Hampir jauh malam Ki Jarak bam pulang
dari rumah Ki Jepun. Banyak yang dibicarakan setelah Dewayani masuk ke
dalam kamarnya. Sementara Ki Jepun bisa mengerti kalau kepala desa itu memang
hendak berbuat adil dan tidak berpihak
pada siapa pun. Ki Jepun menghargai sikap kepala desa itu. Dan dengan hati besar
diakui kesalahannya yang telah menduga
buruk terhadap Ki Jarak. Malam itu
suasana di Desa Semanding begitu men-
cekam. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin membekukan tulang. Ki
Jarak berjalan pelahan-lahan menuju ke
rumahnya. Sedangkan tetangga sudah sejak sore tadi pergi entah ke mana. Tak ada
seorang pun yang terlihat di luar rumah.
Kematian tiga anak muda yang begitu
tragis membuat hampir seluruh penduduk


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desa dicekam rasa takut.
Mendadak langkah kaki kepala desa itu
ter-henti. Tiba-tiba di depannya meng-
hadang seseorang berpakaian gelap
mengenakan sebuah tudung besar yang
menutupi sebagian wajahnya. Suasana malam yang hanya diterangi cahaya bulan,
membuat Ki Jarak kesulitan untuk
mengetahui orang yang menghadangnya di
tengah jalan itu, Melihat kilatan cahaya pedang di depan dada, Ki Jarak sudah
dapat menduga kalau orang itu pasti tidak bermaksud baik.
"Apa maksudmu menghadang di tengah jalan..?"
Tanya Ki Jarak yang tidak
mengetahui apakah orang itu laki-laki
atau perempuan.
Orang itu tidak menjawab sepatah kata
pun, tapi tiba-tiba saja melompat cepat tanpa menimbulkan suara. Ringan dan
bagaikan kilat lompatan orang itu,
sehingga membuat Ki Jarak agak terpukau sesaat. Namun begitu terlihat kelebatan
cahaya keperakan, secepat kilat Ki Jarak melompat mundur dua langkah.
Wutt! Ki Jarak terhuyung sedikit begitu
ujung pedang yang berkilatan itu lewat di depan dadanya. Sungguh luar biasa!
Angin tebasan itu demikian kuat, membuat
keseimbangan tubuh Ki Jarak tergoyah. Dan pada saat itu, orang berbaju gelap dan
bertudung itu kembali menyerang dengan
melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Tak ada lagi kesempatan bagi Ki Jarak
untuk menghindari pukulan itu. Dengan
cepat dikibas-kan tangannya untuk
menangkis pukulan orang tak dikenal itu.
Tak! "Ikh...!" Ki Jarak terpekik tertahan.
Buru-buru kepala desa itu melompat
mundur. Pergelangan tangan kanannya
terasa seperti remuk ketika membentur
tangan orang itu. Dan belum juga hilang rasa sakit pada pergelangan tangannya,
orang bertudung besar itu sudah kembali melompat sambil mengibaskan pedang ke
arah dada. "Uts!"
Ki Jarak menarik tubuhnya ke belakang
menghindari tebasan pedang itu. Secepat kilat di-lepaskan
satu pukulan keras
dengan tangan kiri begitu ujung pedang
itu lewat di depan dada-nya. Namun orang itu manis sekali mengegoskan tubuhnya,
sehingga pukulan Ki Jarak hanya menyambar tempat kosong.
Tiba-tiba saja orang itu cepat
menggeser kakinya ke samping. Dan dengan gerakan setengah memutar, secepat kilat
diberikan satu tendangan keras disusul
tusukan pedang ke arah perut. Ki Jarak
langsung meliukkan tubuhnya menghindari tendangan menggeledek itu, namun
terlambat menarik tubuhnya. Sehingga....
Crab! "Akh...!" Ki Jarak memekik keras.
Tusukan pedang orang itu berhasil
merobek lambung Ki Jarak. Darah langsung muncrat keluar begitu pedang ditarik
dari perut. Ki Jarak terhuyung-huyung
ke belakang sambil mendekap perutnya yang
sobek akibat tusukan pedang. Dan sebelum kepala desa itu mampu melakukan
sesuatu, orang bertudung besar itu kembali
melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher. Ki Jarak terbelalak. Buru-
buru ditarik kepalanya ke belakang. Dan tebasan pedang itu lewat sedikit saja di
depan tenggorokan Ki Jarak.
Namun sebelum pedang itu tertarik
pulang, orang bertudung sudah memberikan satu tendangan melingkar sambil memutar
tubuhnya pada kaki kiri. Begitu cepat
serangan berantai itu, sehingga membuat Ki Jarak tidak sempat lagi meng-
hindarinya. Des! Tendangan itu tepat menghantam dada
Ki Jarak, membuat kepala desa itu
terpental sejauh tiga batang tombak ke
belakang. Pada saat itu, secepat kilat orang bertudung besar melesat mengejar
sambil menghunus pedang lurus ke depan.
Dan bagaikan kilat dikibaskan pedangnya dua kali.
Bret! Cras! "Aaa...!" Ki Jarak menjerit tinggi.
Leher dan dadanya sobek terbabat
ujung pedang. Darah mengucur deras dari luka yang menganga lebar. Hanya sebentar
Ki Jarak mampu bertahan berdiri. Ketika satu tendangan keras menghantam dadanya,
tubuh laki-laki setengah baya itu kontan terjungkal keras menghantam tanah
berdebu. Ki Jarak kini menggelepar meregang nyawa. Darah semakin banyak keluar
dari tubuhnya. Sebentar kemudian, kepala desa itu mengejang kaku dan diam tak
bergerak-gerak lagi.
*** 5 Rangga berdiri tegak di samping
pusara Ki Jarak. Kematian Kepala Desa
Semanding itu membuat seluruh penduduk
gempar. Tuduhan terhadap Dewayani sebagai pelakunya semakin kuat. Tapi kini tak
ada seorang pun yang berani men-datangi rumah Ki Jepun. Mereka marah, tapi juga
takut bertindak. Sedangkan sesepuh desa sendiri tak mampu berbuat banyak.
Rangga mengangkat kepalanya ketika mendengar
suara langkah kaki dari arah depan.
Kening Pendekar Rajawali Sakti itu
berkerut saat melihat seorang wanita
berbaju hitam, tahu-tahu sudah berdiri
tidak jauh di depannya. Sebagian wajahnya tertutup kerudung tipis berwarna
hitam. Namun Rangga masih bisa mengenali kalau wanita itu adalah Dewayani. Pendekar
Rajawali Sakti itu menghampiri dan
berdiri sekitar tiga langkah di depan
gadis itu. Saat kerudung hitam tersibak dan
turun dari kepala, terlihat seraut wajah cantik bagai seorang bidadari kahyangan
turun ke bumi. Sesaat Rangga terpaku
memandangi wajah cantik di depannya,
namun perasaannya yang jadi tidak
menentu, cepat-cepat dikuasai. Dia lalu menoleh memandang pusara Ki Jarak,
kemudian berpaling lagi menatap Dewayani.
"Aku menyesal, orang sebaik Ki Jarak
ha-us ikut jadi korban," ucap Dewayani pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Banyak yang ingin kubicarakan
denganmu. Mudah-mudahan kau tidak
keberatan, Dewayani," kata Rangga tanpa mempedulikan ucapan penyesalan gadis
itu. Sebentar Dewayani memandangi pusara
Ki Jarak, kemudian menghampiri dan
meletakkan seikat bunga mawar yang
dibawa. Gadis itu kini kembali meng-
hampiri Rangga dan terus
berjalan pelahan. Rangga mengikuti
dan mense- jajarkan langkahnya di samping kanannya.
Mereka berjalan pelahan tanpa berbicara.
Sampai jauh meninggalkan tempat pema-
kaman, belum ada yang membuka suara.
Tanpa disadari mereka berjalan menuju ke hutan di sebelah Barat Desa Seman-ding.
"Terus terang, semalam aku mengawasi
rumah Ki Jepun," Rangga mulai membuka suara.
Semula Rangga mengira kalau Dewayani
akan terkejut mendengar kata-katanya.
Tapi, Kenyataannya gadis itu tampak biasa saja. Pandangannya tetap lurus ke
depan tak berkedip. Ayunan kakinya juga
teratur. Sedikit pun Dewayani tidak
berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti
itu. "Aku melihat seseorang keluar dari pintu belakang Cepat sekali, sehingga
sulit melihat jelas. Tapi arahnya menuju sungai.
Aku mengejar ke sana, dan
kehilangan jejak. Di situ aku mendengar jeritan Ki Jarak. Ternyata begitu aku
datang, dia sudah tewas," sambung Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu berbicara
sambil terus mengamati raut wajah gadis cantik di sampingnya. Untuk kedua
kalinya Rangga harus menelan ludah pahit.
Ternyata Dewayani tetap datar tanpa
sedikit pun ada perubahan pada wajahnya.
Bahkan sorot mata gadis itu demikian
kosong, bagai seorang gadis yang sudah
enggan-hidup di dunia lagi.
"Bukannya ingin menuduh mu, tapi aku hanya ingin tahu. Di mana kau malam itu?"
lanjut Rangga terus memperhatikan wajah di samping-nya.
"Di rumah," jawab Dewayani datar.
"Kau tidak ke luar rumah semalam?"
Tanya Rangga lagi.
"Tidak," singkat saja jawaban
Dewayani. "Kau tahu di mana Ki Jepun dan
istrinya malam itu?"
"Untuk apa kau bawa-bawa Ki Jepun?"
dengus Dewayani balik bertanya. "Pikiranmu sama piciknya dengan mereka...," agak
terputus suara Dewayani.
"Kau bisa memanggilku Rangga," Rangga memperkenalkan diri
"Siapa yang peduli dengan namamu"
Yang aku ingin tahu, untuk apa kau datang ke desa ini" Kau juga hanya pendatang,
bukan?" Rangga terhenyak mendengar pertanyaan
ketus itu. "Aku heran, kenapa mereka tidak
mencurigai-mu" Padahal kau juga hanya
pendatang. Malah kedatanganmu bertepatan dengan jatuhnya korban pertama. Kenapa
justru aku yang dituduh" Kenapa tidak
menuduh mu...?"
Untuk kesekian kalinya, Rangga
terpaksa harus menelan makian pahit.
Kata-kata Dewayani barusan jelas
memojokkan dirinya, di samping gadis itu mengelak dari tuduhan seluruh pen-duduk
Desa Semanding. Secara jujur, Rangga
memang mengakui kebenaran kata-kata gadis ini.
Sama sekali tidak dibantah
kebenarannya. "Sekarang kau ikut-ikutan menuduhku.
Justru itulah yang membuatku jadi curiga padamu!" dalam sekali nada suara
Dewayani. "Kau cerdas, Dewayani," puji Rangga tulus.
Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak tersinggung mendengar tuduhan Dewayani yang begitu langsung tanpa
tedeng aling-aling lagi. Dan kembali
Rangga mengagumi keberanian gadis ini.
Buktinya dia sendiri masih berbasa-basi dan berpikir agar tidak menyinggung
lawan bicaranya. Tapi justru gadis ini secara ter-buka mengeluarkan isi hatinya,
meskipun begitu pedas berbau tuduhan.
Namun hal itu justru membuat Rangga jadi berpikir lain, dan tidak tersinggung.
Apalagi marah. Pendekar Rajawali Sakti itu malah tersenyum.
"Kuakui kau memang benar, Dewayani,"
ujar Rangga terbuka. "Untuk itu aku ingin banyak bicara denganmu. Itu pun jika
tidak keberatan."
"Kau ingin mengorek tentang diriku?"
tebak Dewayani langsung.
"Tidak. Karena aku juga tidak suka
kalau ada orang yang coba-coba mengutak-atik kehidupan diriku," tegas Rangga.
"Bagus! Kalau begitu, sebaiknya
lupakan saja semua yang terjadi di sini Dan aku juga tidak akan lebih lama
tinggal di sini. Percuma saja, desa ini seperti neraka buatku."
"Itu bukan pemecahan yang terbaik, Dewayani."
Dewayani berhenti melangkah, tepat di
saat mereka tiba di sebuah kolam kecil
berair jernih. Pinggiran kolam itu
dihiasi batu-batu hitam berlumut yang
bertumpuk-tumpuk, seperti sengaja ditata.
Dewayani duduk di atas batu di pinggir
kolam itu. Tempat inilah yang disebut
penduduk Desa Semanding sebagai sendang.
Se-buah kolam kecil yang merupakan sumber mata air jernih. Letaknya tidak begitu
jauh di dalam hutan. Namun suasananya
begitu tenang dan sunyi.
*** Sementara itu di Desa Semanding, Ki
Jepun duduk mencangkung dengan satu kaki terangkat menopang dagu di beranda
depan rumahnya.
Sedangkan Nyi Jepun asyik
mengunyah sirih sambil menganyam tikar.
Sejak pagi tadi mereka tidak melihat
Dewayani. Sedangkan senja sudah merayap turun. Saat itu seorang wanita bertubuh
gemuk melintas di depan rumah. Disemburkan ludahnya dan terus berjalan
Cepat Ki Jepun ter dongak kaget.
"Biar saja, Ki.," kata Nyi Jepun
melihat suaminya sudah akan berdiri.
"Huh! Seumur hidup belum pernah aku dihina seperti ini!" dengus Ki Jepun sambil
memandangi perempuan gemuk yang sudah lenyap di tikungan jalan.
Sejak pagi tadi, sudah beberapa kali
Ki Jepun melihat penghinaan seperti itu.
Entah sudah berapa orang yang meludah
saat melintas di depan rumahnya. Kematian kepala desa benar-benar merupakan
pukulan berat bagi seluruh warga Desa Semanding.
Terutama, bagi Ki Jepun yang langsung
merasakan akibatnya. Semua pen-duduk jadi begitu benci, seperti melihat kotoran
busuk terhadap pasangan tua ini.
"Belum pernah hal ini terjadi...!"
rungut Ki Jepun menggerutu.
"Kau jangan menyalahkan Dewayani,
Ki!" sentak Nyi Jepun.
"Aku tidak menyalahkan anak itu. Tapi sejak dia datang ke sini.... Rasanya
kewibawaanku lenyap!"


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebelum Dewayani datang, mereka juga sudah tidak pernah memandang lata lagi,
Ki. Aku tidak senang kalau Dewayani
dijadikan alasan."
"Aku jadi heran, kau selalu saja
membela anak itu, Nyi," nada suara Ki Jepun mulai curiga.
"Anak itu baik, Ki, Dan kita sudah sepakat untuk mengangkatnya sebagai anak.
Justru sekarang aku yang heran, kenapa
tiba-tiba kau jadi berubah" Apa sudah
tidak sayang lagi pada Dewayani?" Nyi Jepun balik menyerang sengit.
"Terus terang, Nyi Kadang-kadang aku
suka ragu. Aku memang menyayanginya. Tapi sampai saat ini kita belum tahu, dari
mana asalnya" Dan lagi, kenapa tiba-tiba saja dia menyetujui begitu kita
mengutarakan hendak mengangkatnya anak"
Sejak itu..."
"Terjadi pembunuhan misterius!"
potong Nyi Jepun cepat
"Nyi..," Ki Jepun menggeser duduknya mendekati istrinya, "Apa tidak sebaiknya
nanti kita tanyakan asal-usulnya?" usul Ki Jepun, setengah berbisik.
"Apa kau ini sudah pikun, Ki..." Kau sendiri yang mengatakan kalau tidak akan
peduli siapa dan dari mana asal Dewayani.
Aku tidak setuju!"
"Hhhmm.!" Ki Jepun menghembuskan napas berat. Laki-laki tua itu memang
bisa memahami, betapa cintanya istrinya terhadap Dewayani. Kerinduannya terhadap
seorang anak begitu tertumpah penuh pada gadis itu. Sehingga membuat Nyi Jepun
tidak mempedulikan situasi yang
kini sedang dihadapi. Suasana yang tidak
mengenakkan sama sekali, dibenci semua
penduduk desa. Kehadiran Dewayani di
rumah ini memang sempat membuat semarak, tapi itu tidak berlangsung lama.
Sekarang suasananya begitu jauh terbalik. Mereka Selalu dihadapkan pada hal-hal
yang sukar di mengerti. Sejak pertama, sebenarnya Ki Jepun
hendak menanyakan asal-usul Dewayani.
Tapi begitu melihat gadis itu sangat
rajin, ringan tangan, dan selalu membuat keceriaan, pupus segala keingintahuan
nya mengenai diri gadis itu. Tapi sekarang
rasa ingin tahunya begitu tebal, bahkan bisa dikatakan kecurigaan, Ki Jepun jadi
ragu-ragu tentang diri gadis itu yang
sebenarnya. Pandangan Ki Jepun mendadak tertumbuk
ke ujung jalan. Terlihat Dewayani
berjalan bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih. Ki
Jepun tahu, siapa pemuda itu. Beberapa
penduduk yang melihat langsung mencibirkan bibirnya. Bahkan ada di antaranya
yang langsung menyemburkan ludah. Tapi nampak-nya Dewayani tidak peduli, dan
tetap berjalan tenang di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Jepun dan istrinya tetap saja
duduk di balai-balai bambu beranda depan rumahnya, meskipun Dewayani sudah
berada di halaman. Gadis itu langsung
menghenyakkan tubuhnya di samping Nyi
Jepun. Sedangkan Rangga hanya berdiri
saja, namun bersikap sopan.
"Silakan duduk, Den," Nyi Jepun mempersilakan.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk di kursi kayu di depan Ki Jepun.
Sedangkan Ki Jepun hanya memandang
dalam-dalam pemuda itu. Sukar ditebak
arti pandangan laki-laki tua itu. Rangga sendiri tidak mengerti, dan jadi merasa
tidak enak. "Aku hanya mengantarkan Dewayani
Sebaiknya aku permisi dulu," ucap Rangga seraya bangkit berdiri.
"Tunggu dulu, Anak Muda," cegah Ki Jepun.
Rangga kembali duduk.
"Aku ingin bicara denganmu," kata Ki Jepun seraya melirik istrinya.
Nyi Jepun bisa mengerti, lalu segera
bangkit berdiri dan mengajak Dewayani ke da-lam. Gadis itu berpamitan pada
Rangga, kemudian mengikuti perempuan tua itu yang sudah lebih dulu masuk ke
dalam rumah. "Kelihatannya penting sekali, Ki,"
ujar Rangga setelah Nyi Jepun dan
Dewayani tidak terlihat lagi.
"Tentang Dewayani," kata ki Jepun datar.
"O...," Rangga menyandarkan
punggungnya. "Ada apa dengan Dewayani, Ki?"
"Hhh...!" sebentar Ki Jepun mendesah pajang. "Aku tahu kau bukan penduduk desa
ini, Anak Muda. Aku juga yakin baru
beberapa hari kau kenal Ki Jarak."
"Aku memang pendatang, Ki," sahut Rangga terus terang.
"Itulah yang ingin kubicarakan
denganmu, Anak Muda."
Rangga mengerutkan keningnya hingga
alisnya hampir bertaut menjadi satu.
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi semakin ingin tahu melihat raut wajah Ki Jepun
yang kelihatan bersungguh-sungguh. Bahkan laki-laki tua ini tidak tersenyum
sedikit pun. Pandangan matanya begitu tajam,
seakan-akan hendak menembus relung hati pemuda di depannya.
"Anak Muda, jika kau sudi mendengar kata-kataku, sebaiknya tinggalkan saja
desa ini se-cepatnya," kata Ki Jepun, datar dan dalam nada suaranya.
Kening Rangga semakin berkerut dalam.
"Kenapa, Ki?" Tanya Rangga tidak mengerti.
"Demi kebaikanmu sendiri dan
mengurangi bebanku, Anak Muda. Kau dan aku sama-sama buta. Dan sebaiknya kau
menghindar sebelum telanjur," ujar Ki Jepun lagi.
"Ki, apakah ini ada hubungannya
dengan Dewayani?" Pelan sekali suara Rangga, hampir tidak terdengar.
"Aku tidak bisa mengatakannya, Anak Muda. Meskipun aku sendiri bingung, tapi
tidak bisa kukatakan padamu. Maaf," sahut Ki Jepun.
"Yaaah..., aku juga sebenarnya memang akan pergi dari desa ini Tapi sayang
sekali, aku menunggu seseorang. Dan yang kutunggu belum datang," kata Rangga
beralasan. Rangga langsung bangkit berdiri dan
berpamitan. Ki Jepun tidak bisa mencegah
lagi. Dipandanginya punggung pemuda itu.
Hembusan napas berat terdengar keluar
dari hidung laki-laki tua itu. Sementara Rangga semakin jauh berjalan, menuju
rumah Ki Jarak yang berada di ujung
jalan. Rumah yang kini kosong karena istri Ki Jarak telah lama meninggal.
Sedangkan anak-anaknya sudah tidak
tinggal lagi di desa ini. Ki Jarak tidak pernah cerita, di mana anak-anaknya
sekarang berada.
Sementara Ki Jepun masih memandangi
punggung Pendekar Rajawali Sakti itu.
Beberapa kali di-hembuskan napas panjang dan terasa berat. Entah kenapa,
penolakan Rangga yang begitu halus membuat dirinya jadi gelisah. Ki Jepun
sendiri tidak tahu, kenapa jadi mengkhawatirkan pemuda itu. Tiga anak muda yang tewas
sebelumnya per-nah ngobrol dengan Dewayani.
Dan barusan Rangga berjalan beriringan dengan gadis itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja tidak ada korban lagi," desah Ki Jepun dalam hati.
Rangga duduk bersila di beranda depan
rumah Ki Jarak. Tidak ada seorang pun di rumah besar ini. Semua pembantu Ki
Jarak langsung pergi begitu kepala desa itu
tewas secara tragis. Bahkan empat orang pengawalnya langsung menghilang. Mereka
semua merasa takut menjadi sasaran
pembunuh misterius yang sampai saat ini belum ketahuan siapa orangnya.
Sementara malam terus merayap semakin
larut. Udara dingin semakin terasa. Kabut pun semakin menebal di seluruh
permukaan bumi Desa Semanding kali ini. Tak ada
lagi terdengar suara, selain desir angin dan suara binatang-binatang malam.
Begitu sunyi suasana malam di desa itu.
"Hm...," tiba-tiba Rangga menggumam pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengang-
kat kepalanya sampai tegak. Telinganya
yang tajam, mendengar adanya suara halus yang hampir tidak terdengar. Dan
sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu mampu
berpikir lebih jauh, mendadak saja....
Wusss! Sebuah benda tiba-tiba meluncur deras
dari kegelapan malam yang berkabut. Benda itu mengarah kepada Rangga yang duduk
bersila di beranda depan rumah Ki Jarak.
Masih dalam posisi duduk bersila Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menggerakkan
tangannya, lalu menangkap benda sepanjang jengkal tangan itu dengan dua jari
tangannya. Sebentar Rangga melirik, ternyata hanya sebatang ranting kering yang
panjangnya sekitar satu jengkal.
"Hup...!"
Cepat Rangga melesat keluar dari
beranda, begitu melihat sesosok tubuh
berada di dalam gumpalan kabut. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti itu berputaran
di udara, lalu manis sekali mendarat di
depan sosok tubuh berbaju gelap mengenakan tudung lebar yang hampir menutupi
seluruh wajahnya. Jarak di antara mereka tepat sekitar lima langkah lagi.
"Siapa kau?" Tanya Rangga.
Orang itu tidak menjawab, namun tiba-
tiba saja menarik pedangnya keluar dari sarungnya di pinggang. Dan secepat itu
pula dia melompat menerjang, seraya
mengibaskan pedangnya tiga kali ke atas dan ke bawah.
"Uff! Hup..,!"
Bergegas Rangga mengegoskan tubuhnya,
lalu melenting ke belakang ketika ujung pedang itu meluruk menusuk ke arah dada.
Tapi orang itu terus mengejar. Tubuhnya meluruk, dan pedang-nya diarahkan lurus
ke depan. Dia seperti ter-bang dalam
posisi tubuh tegak. Dan Rangga tidak
punya pilihan lain lagi. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat dirapatkan
kedua tangannya di depan dada, tepat pada saat ujung pedang hampir menembus
dadanya. Tap! Pedang itu terkunci rapat di dalam
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti
yang menyatu rapat. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan, Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil melepaskan
pedang itu. Tubuh orang bertudung itu terlontar
deras ke belakang. Secepat kilat Rangga melesat mengejar sambil mengerahkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua
tangannya bergerak cepat mengarah ke
kepala lawan. Begitu cepatnya, sehingga orang
itu jadi kelabakan menghindari
serangan-serangannya.
Dan pada satu saat...
Prak! Kibasan tangan Rangga berhasil
menghancurkan tudung yang dikenakan orang itu. Namun belum juga Rangga sempat
melihat wajahnya, orang itu sudah lebih cepat melesat kabur.
"Hei..!" teriak Rangga.
Slap! Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat
mengejar. Sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, Rangga juga merapalkan aji 'Tatar Netra'. Keadaan ma-lam yang
begitu pekat dan berkabut memang
menyulitkan pandangan mata biasa, memaksa Pendekar Rajawali Sakti hams
menggunakan aji 'Tatar Netra' untuk mempertajam
penglihatannya. Dengan demikian orang itu dapat terlihat walaupun berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Hiyaaat..!"
Rangga melentingkan tubuhnya
ke udara. Tapi begitu hampir saja mengejar orang itu, mendadak sebuah bayangan
hitam menyambarnya. Buru-buru Rangga memutar tubuhnya di udara, dan mendarat
turun dengan manis sekali. Namun baru saja
kakinya menjejak tanah, kembali bayangan hitam berkelebat menyerang.
"Hup! Hiyaaa....'"
Rangga tetap berdiri tegak, dan
langsung menghentakkan kedua tangannya
menyambut bayangan hitam itu.
Dughk! Satu benturan keras terjadi. Pendekar
Raja-wali Sakti itu terdorong sejauh tiga langkah ke belakang. Sedangkan
bayangan hitam itu ter-lontar sejauh tiga batang tombak, lalu jatuh bergulingan
di tanah. Tapi cepat-cepat dia bangkit berdiri.
Saat itu Rangga sudah melompat sambil
memberikan dua pukulan beruntun.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Orang berbaju hitam longgar itu
segera melompat ke samping. Dan secepat itu pula di-kibaskan sebatang tongkat
yang tergenggam di tangan kanan, ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun
pemuda berbaju rompi putih itu lebih
tangkas lagi. Segera diangkat kakinya,
dan tanpa diduga sama sekali kaki
kanannya melayang deras ke arah dada.
Buk! "Akh...!" orang itu terpekik keras.
Tendangan Rangga memang tidak diduga
sama sekali, sehingga sukar lagi
dihindari. Kembali orang bertongkat itu terbanting keras ke tanah. Dan sebelum
dia sempat berdiri, Rangga sudah melom-
pat. Sambil mengerahkan tenaga dalam,
Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan kakinya ke arah dada orang itu. Tapi
orang itu cepat menggulirkan tubuhnya ke samping, sehingga pijakan kaki Rangga
hanya menghajar tanah. Begitu keras dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tanah bergetar bagai gempa akibat pijakan
kakinya. "Hiyaaa...!"
Sukar dipercaya! Gagal dengan pijakan
kaki, Rangga langsung memutar tubuhnya sambil melayangkan tendangan berputar.
Padahal, gerakan itu sangat
sukar dilakukan orang yang ilmunya cukup tinggi sekalipun. Dan orang bertongkat itu
jadi terkejut. Dia baru saja bisa berdiri, dan kini tidak ada kesempatan
menghindar lagi. Terpaksa dikebutkan tongkatnya


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memapak tendangan Pendekar Rajawali
Sakti. "Hap!"
Trak,..! "Heh..."!"
Orang itu terperanjat tidak percaya.
Tongkatnya terpental dan patah jadi dua bagian tersambar tendangan Rangga. Belum
lagi lenyap keterkejutannya, nendadak
saja satu pukulan keras bertenaga dalam penuh sudah cepat di-lepaskan Pendekar
Rajawali Sakti. Orang itu tidak bisa lagi mengelak, dan...
Des! "Aaakh...!" orang itu menjerit melengking tinggi.
Tubuh berjubah hitam itu terpental
deras ke belakang, dan baru berhenti
setelah menghantam sebatang pohon hingga tumbang.
Rangga tidak membuang-buang
waktu lagi, dan langsung melentingkan
tubuhnya mengejar. Dan begitu tangannya terangkat hendak menghantam kepala orang
itu, mendadak saja terdengar seruan keras dari arah belakang.
"Jangan...!"
Seketika Rangga menghentikan niatnya
untuk menghantamkan pukulan ke kepala
orang yang Sudah tidak berdaya itu. Dia kemudian melompat mundur dua langkah.
Sedangkan orang berjubah hitam itu masih tergeletak di antara kepingan kayu dari
pohon yang hancur terlanda tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh,
tapi.... Wut...! "Heh..."!" Rangga tersentak kaget.
Mendadak saja secercah cahaya merah
meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Secepat pula Rangga menarik
tubuhnya ke samping, maka sinar merah itu lewat di samping bahunya. Sinar merah
itu menghantam sebatang pohon di pinggir
jalan. Glarrr...! Ledakan keras terdengar bersamaan
dengan hancurnya pohon itu. Bunga api
memercik menyebar ke segala arah. Rangga benar-benar terkejut. Tapi belum juga
sempat menarik kembali posisi tubuhnya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
gelap. "Hup!"
Cepat Rangga melompat menghindari
terjangan itu. Namun sungguh tidak diduga sama sekali. Ternyata bayangan gelap
itu bukan hendak menyerangnya, tapi menyambar tubuh yang masih ter-geletak
dengan napas tersengal di tanah. Bagaikan kilat,
bayangan gelap itu berkelebat membawa
orang berjubah hitam.
"Hei...!" Rangga terkejut.
Secepat kilat pula Pendekar Rajawali
Sakti itu melompat mengejar. Namun pada saat itu hampir seluruh penduduk desa
keluar dari rumahnya. Mereka terkejut
mendengar ledakan keras barusan. Tapi
mereka tidak akan bisa me-lihat apa-apa.
Ternyata baik orang misterius itu maupun Rangga sudah lenyap entah ke mana.
*** 6 "Huh! Ke mana perginya...?" dengus Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu
kehilangan jejak buruannya. Dia berhenti berlari dan mengedar-kan pandangannya
ke sekeliling. Tapi yang tam-pak hanya
kegelapan dan pohon-pohon yang rapat
hitam kelam bagai tangan-tangan raksasa yang hendak merangkul dan melumatnya.
Rangga tertegun begitu mengenali
tempat ini karena pernah ke sini bersama Dewayani siang tadi. Sebuah kolam
berbatu berada dekat di depannya. Di tempat ini buruannya menghilang tak
berbekas. Keadaan yang begitu gelap, memang sulit mencari jejak. Terlebih lagi buruannya
memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai
meneliti setia jengkal sekitar sendang
ini tanpa mengenal
putus asa. Namun sampai begitu lama, buruannya tidak juga ditemukan. Andai dia menyadari kalau
yang dikejarnya tadi adalah orang yang selama ini membuat kekacauan di Desa
Semanding. Tapi siapa..." Yang jelas sudah terlihat dua orang. Dan salah satunya dapat
dikenali. Rangga tahu betul orang yang hampir tewas di tangannya adalah si Iblis
Hitam. Seorang laki-laki tua yang pernah bertarung melawan
Dewayani di tepi
sungai. "Rasanya jelas kalau Dewayani ada
hubungan-nya Dengan semua peristiwa yang terjadi di Desa Semanding. Tapi aku
sangsi kalau gadis itu yang membunuh
mereka," gumam Rangga sambil terus meneliti sekitar Sendang.
Sampai menjelang fajar, Pendekar
Rajawali Sakti itu belum juga menemukan tanda-tanda di mana buruannya berada.
Begitu terasa penat, segera dihenyakkan tubuhnya di tepi sendang berbatu.
Pandangannya beredar berkeliling. Sembu-rat cahaya matahari di ufuk timur
memper- jelas keadaan sekitar sendang ini.
"Hm, apakah ada tempat tersembunyi sekitar
sendang ini?" Gumam Rangga
bertanya-tanya di dalam hati.
Sudah seluruh pelosok sekitar sendang
ini dijelajahi semalaman, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda tempat
persembunyian. Sejak semalam Pendekar Rajawali Sakti memang sudah berpikir ke
arah situ. Tapi sampai pagi begini belum juga
ditemukan. Dan Rangga jadi ragu-ragu.
Mungkin juga orang itu hanya lewat saja di sini, dan mungkin juga.... Berbagai
macam kemungkinan memang bisa saja
terjadi, Dan Rangga tidak ingin semuanya serba mungkin. Pendekar Rajawali Sakti
itu mengangkat kepala-nya, ketika
mendengar suara langkah orang menuju
sendang ini, Sebentar pemuda berbaju
rompi putih itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian melesat ke
atas. Manis sekali kakinya hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi dan terlindung.
Matanya tajam tak berkedip memandang ke arah suara langkah yang didengarnya.
"Dewayani..."!" Desis Rangga dalam hati ke-tika melihat seorang gadis dari dalam
semak belukar. Gadis itu mengenakan baju berwarna
biru gelap dengan sebilah pedang
tergantung di pinggang. Dai atas pohon, Rangga terus memperhatikan gadis itu
yang menuju sendang. Tampaknya Dewayani tidak tahu kalau ada orang yang memper-
hatikannya. Langkahnya kemudian berhenti di tepi sendang.
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis itu
membuka pakaiannya. Dilemparkannya begitu saja pakaian itu ke atas batu di
samping kakinya. Sementara Rangga yang berada di atas pohon, langsung
memalingkan mukanya.
Rasanya tak sanggup memandang tubuh
Dewayani yang polos tanpa benang selembar pun melekat di tubuhnya. Gadis itu
melangkah masuk ke dalam sendang, lalu berenang membersihkan diri di dalam air
yang bening bagai kaca itu.
Sesekali Rangga memperhatikan. Tapi
setiap kali Dewayani menyembulkan tubuhnya keluar dari dalam air, buru-buru
Pendekar Rajawali Sakti itu memalingkan muka. Dalam persembunyiannya Rangga jadi
gelisah sendiri. Rasanya tidak mungkin
kalau harus pergi. Sedikit gerakan saja, akan mengejutkan gadis
situ. Rangga terpaksa bertahan walaupun jantungnya
berdetak kencang.
"Setan!" rutuk Rangga dalam hati ketika seekor
semut merah menggigit
punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti itu meringis.
Dan sialnya semut itu malah berpindah-
pindah tempat. Menggigit beberapa bagian kulit tubuh Pendekar Rajawali Sakti
itu. Namun gigitan itu masih bisa ditahan.
Tapi saat dirasakan semut itu mulai
merayapi leher, dia sudah tidak tahan
lagi. Terlebih saat merasakan semut itu
menuju telinga.
"Mati aku..." Dengus Rangga.
Tanpa dapat dicegah lagi, Rangga
menepak semut merah yang hampir saja
masuk ke dalam telinganya. dan apa yang dikhawatirkan pemuda itu terjadi! Tepa-
kannya terdengar Dewayani yang masih
asyik bermain-main di kolam. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya. Matanya
seketika membelalak tatkala melihat
Rangga nangkring di atas pohon, tidak
jauh dari sendang ini.
"He...! Apa yang kau lakukan di
situ?" bentak Dewayani seraya menenggelamkan tubuhnya. Tinggal
leher dan kepala saja yang berada di atas permukaan
"Semut sialan!" rutuk Rangga dalam hati.
Merasa sudah diketahui, Rangga
melompat turun dari atas pohon itu
walaupun dengan muka merah. Dengan sekali gerakannya, dan tanpa suara sedikit
pun kakinya menjejak tanah. Sementara
Dewayani masih merendam tubuhnya di dalam air hingga sebatas leher.
Tapi air sendang yang jernih tetap memperlihatkan bayang-bayang tubuhnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud...," ucap Rangga terputus.
"Berbalik ke sana!" bentak Dewayani.
Pendekar Rajawali Sakti itu
membalikkan tubuhnya. Dewayani buru-buru keluar dari dalam sendang Bergegas pula
dikenakan pakaiannya kembali. Sedangkan
Rangga masih memunggungi-nya. Ada rasa
penyesalan terselip di hatinya karena
telah melihat gadis itu dalam keadaan
tanpa busana. Tapi semua yang terjadi memang bukan kehendaknya, dan sudah
dicobanya untuk menghindar. Tapi gara-
gara seekor semut... Rangga memaki
binatang kecil itu dalam hati
*** "Kau pasti sengaja menungguku di
sini!" dengus Dewayani langsung menuduh.
"Tidak," sangkal Rangga seraya memutar tubuhnya, menghadap kembali pada gadis
itu. "Kalau begitu, untuk apa kau pagi-
pagi be-gini ada di sini"! Tingkahmu
pasti sama dengan anak-anak muda desa.
Selalu saja mencuri kesempatan!" dengus Dewayani memberungut.
"Terserahlah," Rangga mengangkat bahunya "Yang jelas sama sekali aku.
tidak tahu kalau setiap pagi kau mandi di sini. Biasanya semua warga Desa
Pendekar Super Sakti 12 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Pangeran Perkasa 3
^