Pencarian

Sang Penakluk 1

Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk Bagian 1


SANG PENAKLUK Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
Dalam, episode:
Sang Penakluk 128 hal; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Malam ini bulan bersinar penuh.
Langit cerah tanpa sedikit pun awan
menggantung. Bintang-bintang gemerlapan, menambah keindahan angkasa raya.
sepertinya keindahan malam ini tidak
dinikmati seluruh penduduk Desa Seman-
ding. Pintu dan jendela rumah mereka
tertutup rapat, tak ada seorang pun yang terlihat di luar. Hanya binatang-
binatang malam saja yang mereguk keindahan malam.
Namun di sebuah rumah yang terletak
agak menyendiri dari rumah-rumah lain,
terlihat sepasang suami istri yang telah berumur tengah duduk-duduk beranda.
Mereka hidup tanpa pernah mengecap
indahnya menimang anak dan merdunya suara tangisan
seorang bayi. Hingga usia
menggerogoti, tak seorang anak pun
menghiasi kehidupan mereka.
"Sepi sekali ya, Nyi...?" gumam lelaki tua yang duduk bersandar pada
tiang rumahnya.
Laki-laki itu sering dipanggil orang
Ki Jepun. Sedangkan istrinya yang tengah menikmati kinang sirih, hanya diam saja
memandang cahaya rembulan. Sesekali
disemburkan ludahnya yang berwarna merah ke dalam cawan kuningan. Sementara Ki
Jepun tentu menikmati asap daun tembakau.
"Sepi atau ramai bagiku sama saja, Ki," Dengus Nyi Jepun tak peduli.
"Yaaah....
Seakan-akan kesunyian
telah menyatu dalam kehidupan kita,"
desah Ki Jepun pelan. Hampir tidak
terdengar suaranya.
"Bikin saja keributan biar ramai,
Ki," Celetuk Nyi Jepun seenaknya.
Ki Jepun terbatuk mendengar olok-olok
istri-nya. Sedangkan Nyi Jepun tertawa
terkikik. Meskipun sudah berusia lanjut, namun kemesraan selalu
menyemaraki kehidupan mereka. Tak ada waktu bagi
mereka untuk berbicara serius. Kalau
tidak Nyi Jepun yang memulai, tentu Ki
Jepun yang mendahului dengan gurauan.
Pasangan suami-istri tua itu tiba-
tiba terdiam ketika mendengar langkah
kaki kuda dari kejauhan. Sesaat mereka saling pandang. Di malam sunyi seperti
ini, suara sekecil apa pun akan terdengar jelas. Dan suara langkah kaki kuda itu
semakin jelas terdengar. Ki Jepun
mengarahkan pandangannya ke ujung jalan, tempat suara kaki kuda itu berasal.
"Siapa malam-malam begini berkuda, ya..?" gumam Ki Jepun seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Aaah.... Barangkali orang kesasar, Ki," sahut istrinya tidak peduli.
Ki Jepun terus mengamati ke ujung
jalan. Dari balik kabut tampak seekor
kuda berjalan pelahan melintasi jalan
desa yang tidak begitu besar dan berdebu dipenuhi kerikil. Suara langkah kaki
kuda itu semakin jelas terdengar. Ki Jepun
berusaha memperjelas penglihatannya dalam
kegelapan. Namun mata
tuanya memang terlalu sukar melihat dalam jarak yang
cukup jauh. Rasanya tak mungkin Ki Jepun mengenali penunggang kuda itu.
"Ada apa, Ki...?" tanya Nyi Jepun melihat
suaminya terus memperhatikan
penunggang kuda itu.
"Kelihatannya dia mencari sesuatu, Nyi," sahut Ki Jepun.
"Paling juga mencari penginapan. Biar
saja, Ki. Kalau dia mau menginap di sini, bisa menempati kamar belakang. Lumayan
kan, Ki...," ujar Nyi Jepun ringan.
Ki Jepun diam saja, dan terus saja
memperhatikan penunggang kuda itu.
Semakin dekat, semakin jelas kalau
penunggang kuda coklat tua itu seorang
wanita muda berwajah cukup cantik
mengenakan baju biru gelap. Kepalanya
tertutup caping cukup lebar, sehingga
hampir menyembunyikan sebagian wajahnya.
Penunggang kuda itu berhenti tepat di
depan rumah Ki Jepun. Sebentar
diperhatikannya pasangan suami istri tua itu, penunggang kuda itu kemudian turun
dari punggung kudanya. Setelah
menambatkan kudanya di pagar bambu,
dilangkah-kan kakinya menghampiri beran-da, ke arah Ki Jepun dan istrinya duduk.
"Malam, Ki...," sapa orang itu dengan suara ramah, sopan, dan lembut sekali.
"Oh, malam...," sahut Ki Jepun. "Ada yang bisa kami bantu?"
"Aku mencari tempat penginapan, Ki.
Tapi tampaknya desa ini tidak ada rumah penginapan," sahut wanita itu tetap
bersuara lembut.
Dibukanya caping bambu yang
dikenakannya. Semakin jelas terlihat raut wajah yang cantik berkeringat.
Bukan hanya Ki Jepun yang ter-pana, bahkan
istrinya sampai terlongong melihat
kecantikan wanita ini. Mereka seperti
tengah berhadapan dengan seorang dewi
yang baru turun dari kahyangan! Begitu
cantiknya bagai tak memiliki cacat
sedikit pun. "Maaf, Ki. Di manakah kiranya aku
bisa menemukan tempat untuk bermalam?"
ujar wanita itu masih dengan suara yang halus lembut.
"Oh...!" Ki Jepun tersentak, bagai baru ter-bangun dari mimpi indah.
Laki-laki tua renta itu memandang
istrinya. Nyi Jepun bergegas bangkit dan menghampiri wanita cantik itu.
"Ni sanak bisa tinggal di sini. Desa ini memang tidak ada rumah penginapan,"
jelas Nyi Jepun ramah.
"Terima kasih, Nyi," sahut wanita itu di-iringi senyum menawan.
"Mari masuk, biar kudamu Ki Jepun yang me-ngurus," ajak Nyi Jepun.
"Ah, biar saja kudaku di Sana. Jangan terlalu merepotkan, Nyi."
"Tidak apa-apa. Masuklah."
Wanita muda berwajah cantik bagai
bidadari itu melangkah masuk mengikuti
Nyi Jepun. Sedangkan Ki Jepun hanya
memandanginya saja sampai lenyap di balik pintu.
Kepala laki-laki tua itu
menggeleng-geleng beberapa kali, kemudian bergegas menghampiri kuda tamunya, dan
membawanya ke belakang. Sementara malam terus beranjak semakin larut Udara
dingin terasa, saat kabut semakin menebal.
Kesunyian semakin terasa menyelimuti
seluruh Desa Semanding.
*** Kehadiran wanita muda yang mengaku
bernama Dewayani di rumah Ki Jepun,
membuat suasana rumah itu jauh berbeda.
Bahkan Ki Jepun sudah mengakui Dewayani sebagai keponakannya yang datang dari
jauh. Setiap orang yang menanyakan
tentang gadis itu, selalu dijawab begitu.
Semula Nyi Jepun tidak menyukai suaminya mengakui wanita itu sebagai keponakan,
tapi akhirnya diam saja. Bahkan kini ikut senang. Kini me-reka menumpahkan kasih
sayang pada gadis itu. Segala kerinduan nya terhadap seorang anak kan-dung
seperti tertumpah semua terhadap
Dewayani. Sudah lebih satu pekan Dewayani
tinggal di rumah pasangan tua itu. Dan
kelihatannya gadis itu juga menyukai,
terlebih lagi pasangan tua itu selalu
memperhatikan dan menyayanginya seperti anak sendiri. Namun kehadiran Dewayani
juga membuat Ki Jepun jadi pusing.
Pemuda-pemuda desa mulai berkasak-kusuk ingin mendekati gadis cantik itu. Hal
ini membuat laki-laki tua itu jadi kewalahan menghadapinya.
"Ki, ajak-ajaklah keponakanmu main ke rumah," kata seorang tetangganya ketika Ki
Jepun baru saja pulang dari ladang.
"Nantilah jika sempat," sahut Ki Jepun ramah.
Sapaan seperti itu memang sering
diterima-nya sejak kedatangan Dewayani.
Dan Ki Jepun masih menyambut baik,
meskipun tidak pernah mengajak Dewayani pergi bertandang ke rumah-rumah
tetangganya. Bahkan sapaan-sapaan yang
bernada berani sering juga didapat.
Terutama dari kalangan anak-anak muda.
Namun Ki Jepun hanya menanggapinya dengan senyum, walaupun hatinya menggerutu
dongkol. "Kopinya, Ki..."
"Oh...!" Ki Jepun tersentak. Seketika lamunannya buyar.
Laki-laki tua itu tersenyum melihat
Dewayani membawa segelas kopi yang masih mengepulkan asap. Diletakkan kopi di
atas meja, kemudian gadis itu duduk di balai-balai bambu di depan Ki Jepun.
Sedangkan laki-laki tua itu hanya memandangi saja.
"Ada apa, Ki?" tegur Dewayani lembut.
"Sudah lebih dari satu pekan kau
tinggal di sini, Yani," desah Ki Jepun.
"Apakah aku selalu merepotkanmu, Ki?"
"Tidak. Bahkan aku senang kau berada di sini. Tapi..."
"Tapi, kenapa?"
"Mereka...," desah Ki Jepun pelan.
Dewayani tersenyum. Sudah bisa
ditebak, apa yang hendak diutarakan laki-laki tua itu. Gadis itu memang sering
digoda pemuda-pemuda iseng. Bahkan yang kurang ajar pun sering didapatkan.
Kehadirannya di desa ini memang sudah
membuat suatu perubahan besar, terutama buat kalangan anak-anak muda. Sebaliknya
tidak jarang didapatkan cibiran sinis
dari para gadis yang merasa tersaing.
"Biarkan saja mereka, Ki. Toh aku tidak lama berada di sini. Jika Aki
kehendaki, sekarang juga aku bisa pergi,"
tegas Dewayani tetap lembut.
"Tidak, Yani. Aku senang kau berada di sini.
Bahkan istriku juga
menyayangimu. Kedatangan-mu ke sini telah merubah kehidupan kami. Semua orang di
desa ini jadi memperhatikan aku, yang
sebelumnya tidak pernah kudapatkan.
Hampir setiap saat sekarang mereka
menyapa dan menghormatiku. Padahal sebelumnya tak ada seorang pun yang suka
bertegur sapa denganku," nada suara Ki Jepun seperti mengeluh menumpahkan isi
hatinya. "Aku tidak menyangka akan seperti itu jadi-nya, Ki," ujar Dewayani.
"Biarkan saja mulut orang. Toh, nanti berhenti sendiri!" tiba-tiba Nyi Jepun
muncul. Perempuan tua itu langsung
menempatkan diri di samping Dewayani.
Diambilnya kotak sirih, dan mulailah
diracik ramuan sirih, lalu di-masukkan ke dalam mulutnya. Seperti seekor sapi
yang sedang memamah biak, mulutnya tidak
berhenti bergerak mengunyah sirih.
"Yang penting sekarang, kau adalah anak kami. Aku tidak peduli sikap seluruh
warga desa ini. Kalau ada maunya saja
mereka ramah, tapi
kalau tidak..."
Bertemu muka pun mereka enggan!" Agak jengkel nada suara Nyi Jepun.
"Memangnya kenapa, Nyi?" Tanya Dewayani.
"Mereka menganggap kami ini pembawa bencana, sehingga Hyang Widi tidak
memberiku anak!" Dengus Nyi Jepun.
"Jangan berkata seperti itu, Nyi...,"
selak Ki Jepun.
"Biar saja! Untuk apa ditutup-tutupi"
Memang kenyataannya begitu, kok!" Rungut Nyi Jepun.
Dewayani memandangi Nyi Jepun dan
suaminya bergantian. Kening gadis itu
sedikit berkerut mendengar keluhan yang baru kali ini didengar-nya. Sejak berada
di rumah ini, Dewayani selalu melihat Nyi Jepun, perempuan tua periang dan
senang bergurau. Tapi pagi ini sungguh lain,
seakan-akan apa yang sudah lama ter-
pendam dalam hatinya tertumpah.
Sedangkan Ki Jepun hanya diam tidak
berkata apa-apa.
Laki-laki tua itu
mengarahkan pandangannya ke jalan.
Setelah menghirup habis kopinya, kemudian laki-laki tua itu bangkit berdiri dan
mengambil cangkul. Ki Jepun mengenakan
caping bambu. Sebentar wajahnya menoleh pada Dewayani dan istrinya.
"Aku pulang siang nanti, tidak perlu bawa makanan ke ladang," pesan Ki Jepun.
"Iya, lihat ladang sana. Nanti pepaya kita ada yang mencuri lagi!" Rungut
istrinya. Ki Jepun melangkah ke luar memanggul
cangkul. Dewayani memandangi punggung
laki-laki tua itu sampai lenyap dari
pandangannya. Kemudian dialihkan tatapannya pada perempuan tua di sampingnya.
Sedangkan Nyi Jepun masih asyik mengunyah sirih.
"Suamiku itu orangnya memang lemah.
Padahal dulu waktu muda gagah, dan semua orang menyeganinya," jelas Nyi Jepun.
Dewayani hanya diam saja men-
dengarkan. "Dulu tidak ada orang yang berbuat macam-macam. Tapi sekarang.... Setelah kami


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua renta dan tidak punya daya lagi, tak ada seorang pun yang memandang lagi.
Hidup ini memang memuakkan, Yani. Mumpung masih muda cantik, aku hanya berpesan
agar kau jangan mudah terpancing omongan manis laki-laki. Demikian pula pada
gadis-gadis yang pasti
tidak akan menyukai keberadaanmu di sini," sambung
Nyi Jepun lagi.
"Ah! Aku belum berpikir ke situ,
Nyi," ujar Dewayani.
"Bagus kalau begitu. Asal tahu saja, jangan sampai terpikat pada anak-anak
muda di sini."
"Kenapa?"
"Mereka cuma melihat kecantikan
dirimu saja. Kalau kau sudah tidak cantik lagi, dengan se-enaknya mereka akan
mendepakmu, lalu mencari wanita lain yang lebih cantik dan segar."
"Ah masa begitu ah, Nyi?"
"Aku ini orang asli di sini, Yani.
Jadi, tahu betul perbuatan orang-orang di sini."
'Tapi, Ki Jepun kan setia."
"Suamiku itu bukan orang sini.
Tadinya seorang pengembara, lalu terpikat padaku dan menetap di sini. Dulu aku
ini kembang desa yang selalu menjadi rebutan, Yani"
Dewayani memandangi wanita itu dalam-
dalam. Memang, meskipun sudah berusia
lanjut, tapi masih terlihat garis-garis kecantikan pada wajahnya. Gadis itu juga
pernah mendengar cerita kalau dulu Nyi
Jepun adalah Kembang Desa Semanding. Dan yang beruntung menyunting-nya adalah Ki
Jepun, hingga mereka hidup rukun sampai tua renta seperti ini
"Ki Jepun dulunya seorang pendekar ya, Nyi?" Tanya Dewayani iseng.
"Benar," sahut Nyi Jepun. Ada nada
bangga pada suaranya.
"Pantas saja bisa menyunting bunga desa...," olok Dewayani.
"Kau ini ada-ada saja, Yani," Nyi Jepun tersipu.
'Tapi benar kan, Nyi?"
"Aku memang tidak bisa menyangkal.
Waktu me-nikah dengannya, banyak cobaan datang. Terutama dari laki-laki yang
merasa kecewa. Mereka jadi tidak menyukai suamiku. Tapi suamiku memang laki-laki
hebat Semuanya bisa diatasi. Bahkan
mereka yang membenci jadi takut, tidak
berani lagi mencari gara-gara.
"Wah! Hebat..!" puji Dewayani.
"Ah, sudahlah. Jadi melantur.
Pekerjaanku masih banyak di belakang!"
ujar Nyi Jepun seraya bangkit dari balai-balai bambu itu.
*** Dewayani duduk mencangkung di pinggir
sungai. Batu yang didudukinya menjorok masuk ke sungai sehingga sebagian kakinya
terendam di dalam air Jernih
yang mengalir tenang. Gadis itu mendongakkan kepalanya ketika mendengar langkah kaki
dari belakang dan sedikit pun tidak
menoleh. Suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar menghampiri, kemudian
berhenti. "Rupanya kau berada di sini,
Dewayani," terdengar suara kering dan
berat. Dewayani tersentak kaget, langsung
melompat berdiri dan memutar tubuhnya.
Kedua matanya membeliak melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering
mengenakan jubah hitam panjang, tahu-tahu sudah di dekatnya. Sebatang tongkat
hitam menyangga tubuhnya berdiri.
Dewayani menggeser kakinya ke
samping. Keranjang cucian yang terbalik tidak dipedulikan lagi, ketika gadis itu
melompat terkejut. Beberapa potong
pakaian hanyut terbawa arus sungai.
Pandangan gadis itu tidak berkedip
merayapi laki-laki tua kurus kering yang hanya berdiri saja sambil tersenyum
tipis. "Mau apa kau ke sini, Iblis Hitam?"
dengus Dewayani.
"Seharusnya kau bisa menjawab sendiri pertanyaanmu, Dewayani," sahut laki-laki
tua kurus kering itu yang dipanggil Iblis Hitam oleh Dewayani.
"Aku minta kau pergi dan jangan
ganggu aku lagi!" Bentak Dewayani.
"Sayang sekali, Dewayani. Aku harus membawa-mu pulang ke daerah Selatan,"
datar dan kering sekali
suara Iblis Hitam. "Pulang ke Selatan..." Kau pikir aku
ini apamu, heh"!"
"Kau memang berhak untuk menolak,
tapi.." "Tutup mulutmu!" bentak Dewayani
memutus kata-kata Iblis Hitam.
"Apa pun yang kau lakukan, ke mana pun kau pergi, semua tak ada gunanya
bagimu. Apa yang sudah ditetapkan harus terlaksana di mana pun kau berada.
Ingat-ingatlah itu, Dewayani!" Dingin nada suara Iblis Hitam.
"Huh!" Dewayani mendengus.
"Baiklah. Kau kuberikan kesempatan untuk berpikir," Iblis Hitam mengalah.
Dewayani diam saja tanpa memberi
tanggapan apa pun. Dan Iblis Hitam
membalikkan tubuhnya. Ditinggalkannya
gadis itu dengan ayunan kaki ringan bagai tidak menapak tanah. Dewayani masih
berdiri memandangi sampai laki-laki tua kurus kering itu lenyap dari pandangan.
Buru-buru gadis itu mengambil
keranjang cucian, dan bergegas mening-
galkan sungai itu. Langkahnya lebar dan tergesa-gesa. Hampir saja dia
bertabrakan dengan seorang pemuda yang hendak menuju sungai. Untung saja pemuda
itu buru-buru menghentikan langkahnya, hanya saja
keranjang cucian yang dibawa Dewayani
sempat membentur tangan pemuda itu hingga jatuh.
"Oh, maaf!" ucap pemuda itu buru-buru mengambil keranjang cucian yang terjatuh
tadi. Dewayani hanya diam saja memandangi
seraut wajah tampan. Bahkan sampai tak sadar kalau pemuda itu menyodorkan
keranjang cuciannya. Gadis itu
cepat tersentak dari keterkejutannya, dan buru-buru menerima keranjang dari tangan
pemuda berwajah tampan dengan tubuh tegap terbalut kulit kuning langsat.
Sebentar Dewayani memandangi, kemudian bergegas
pergi. "Eh, tunggu...!" seru pemuda itu.
Dewayani berhenti, namun tidak
membalikkan tubuhnya. Sedangkan pemuda
itu segera menghampiri dan berdiri di
depannya. Kembali mereka saling tatap.
"Kau tidak menerima maafku, Ni
sanak?" ujar pemuda itu, penuh
penyesalan. Dewayani hanya diam saja. Dialihkan
pandangannya ke arah lain. Entah kenapa, tiba-tiba saja jantungnya jadi berdetak
keras saat menerima tatapan pemuda itu.
"Aku tadi terburu-buru, jadi...."
"Sudahlah.
Aku juga buru-buru,"
Dewayani cepat memutus kata-kata pemuda tampan itu.
"Jadi kau sudi menerima maafku?"
"Iya," sahut Dewayani.
Gadis itu segera melangkah pergi.
Sedangkan pemuda itu masih memandanginya.
Diangkat bahunya sedikit ke atas,
kemudian dilanjutkan jalannya menuju ke sungai. Sementara Dewayani terus
berjalan tergesa-gesa, tapi sebentar kemudian
berhenti dan menoleh ke belakang. Tak
terlihat lagi pemuda itu di sana.
Dewayani menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat Kembali
dilanjutkan perjalanannya, tapi kali ini langkahnya tidak terburu-buru karena
sudah memasuki jalan menuju desa.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya menganggukkan kepala dan menyapa ramah.
Dewayani membalasnya dengan anggukan
kepala dan tersenyum manis.
Dewayani terus berjalan menuju
rumahnya, namun sebentar-sebentar ber-
lari-lari kecil. Napasnya sudah tersengal memburu. Gadis itu tak mempedulikan
pandangan beberapa orang yang merasa
keheranan melihatnya seperti terburu-
buru. Dewayani memang jadi tergesa-gesa kembali begitu teringat Iblis Hitam.
Gadis itu langsung menerobos masuk ke
dalam rumah Ki Jepun. Kebetulan laki-laki tua itu ada di dalam sedang menikmati
teh hangat bersama istrinya. Ki Jepun dan
istrinya terkejut melihat
Dewayani seperti dikejar setan. Gadis itu langsung meletakkan keranjang cuciannya, dan
menghenyakkan tubuh di balai-balai bambu.
Napasnya mendengus tidak teratur.
"Ada apa, Yani" Ada yang menggang-
gumu?" Tanya Ki Jepun.
"Tidak apa-apa, Ki," sahut Dewayani seraya mengatur jalan napasnya.
"Tapi, kau seperti dikejar setan
saja." "Aku memang tadi dikejar-kejar, Ki."
"Heh...! Siapa yang
berani mengejarmu?" sentak Ki Jepun.
"Bukan orang, tapi anjing yang
mengejarku, sahut Dewayani berbohong.
"Ooo...," Ki Jepun menarik napas panjang.
Sedangkan Nyi Jepun hanya tertawa
terkikik. Dihampirinya Dewayani yang
masih sibuk mengatur jalan nafasnya.
Perempuan tua itu mengambil kain dan
menghapus keringat yang membanjiri pundak Dewayani.
Gadis itu memang ha-nya
mengenakan kain
membelit tubuhnya,
sehingga bagian bahu dan sebagian dadanya terbuka. Putih dan mulus sekali,
sampai-sampai Ki Jepun mengalihkan pandangannya.
"Ganti bajumu dulu, sana," perintah Nyi Jepun. Dewayani mengangguk, kemudian
masuk ke dalam kamarnya. Nyi Jepun
kembali duduk di samping
suaminya. Diangkatnya cawan dari kuningan, dan
diludahkan liur sirih ke dalam cawan itu.
Mulutnya terus bergoyang mengunyah sirih.
Sesekali dibersihkan bibir
keriputnya dengan potongan daun tembakau, kemudian meludah lagi ke dalam cawan.
"Rasanya tidak ada anjing di desa ini
yang suka mengejar-ngejar orang," gumam Ki Jepun.
"Barangkali anjing itu suka melihat Dewayani, Ki."
"Iya, anjing berkepala hitam!" rungut Ki Jepun.
Nyi Jepun jadi tertawa mengikik.
Ditepuk pundak suaminya. Tapi Ki Jepun malah
memberengut. Saat
itu Dewayani keluar dari kamarnya, dan sudah
mengenakan baju yang cukup ketat berwarna kuning muda. Sungguh serasi dengan
warna kulitnya yang putih. Cantik sekali gadis itu, sampai-sampai Nyi Jepun dan
suaminya ter-pana. Sering mereka terpana begitu bila melihat penampilan Dewayani
yang sudah rapi mengenakan pakaian bersih
begitu. "Yani. Kalau ada yang kurang ajar
padamu, bilang saja," pancing Ki Jepun.
"Kenapa jadi kamu yang sewot sih,
Ki!" Dengus Nyi Jepun sebelum Dewayani menjawab.
"Aku tidak suka tingkah mereka!"
"Lho...! Kemarin kau sendiri yang
melarangku berkata begitu. Kok sekarang lain...?"
"Ah, sudahlah!" sentak Ki Jepun memutus ucapan istrinya.
Nyi Jepun mengangkat bahunya seraya
tersenyum-senyum memandang wajah suaminya yang memberengut Sejak pagi tadi wajah
Ki Jepun kelihatan masam dan tidak ada
senyum. Pasti ada sesuatu yang membuat
laki-laki tua ini bersikap demikian,
namun Nyi Jepun tidak ambil peduli. Dia malah senang suaminya sudah berubah
sikap memandang Dewayani. Sedangkan Dewayani
sendiri hanya diam saja. Tidak ada yang tahu kalau
pikiran gadis ini sedang
kalut. Dia masih teringat kata-kata Iblis Hitam di sungai tadi.
*** 2 Malam ini suasana di Desa Semanding
tidak seperti biasanya. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin
menggigilkan. Langit tampak kelam,
terselimut awan hitam tebal. Kepekatan
benar-benar menyelimuti seluruh permukaan Desa Semanding. Suasana malam ini
begitu mencekam ditambah lolongan anjing yang panjang, seakan-akan memberi tanda
akan terjadi sesuatu.
Malam yang begitu sunyi dan mencekam,
mendadak saja dipecahkan oleh jeritan
panjang melengking tinggi, yang seakanakan sedang meregang nyawa. Jeritan itu
mengejutkan seluruh penduduk Desa
Semanding. Begitu jelas dan mengejutkan, membuat
hampir seluruh penduduk yang
tengah terlelap jadi terbangun.
Rumah-rumah yang semula gelap,
mendadak saja terang benderang. Seketika beberapa pintu rumah terbuka, disusul
keluarnya penghuni rumah-rumah itu.
Beberapa saat kemudian seluruh pen-duduk desa kembali dikejutkan suara teriakan
minta tolong. "Tolooong...! Tolooong...!"
Jelas sekali kalau suara itu
terdengar dan datang dari sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah Ki Jepun.
Semua orang yang sudah keluar rumah,


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung terkejut begitu melihat seorang
wanita bertubuh gemuk tengah berlari ke luar rumah sambil menjerit-jerit minta
tolong. Perempuan gemuk yang dikenal
seluruh penduduk Desa Semanding bernama Nyai Lantak itu jatuh tersuruk di depan
rumahnya. Seperti semut melihat gula, para
penduduk desa itu berhamburan
menghampiri. Sementara wanita gemuk itu menangis dan melolong-lolong seperti
kehilangan ingatan. Seluruh penduduk
desa, baik laki-laki, perempuan, tua, dan muda menjadi sibuk. Mereka tidak
mengerti apa yang terjadi. Beberapa pertanyaan
terlontar, namun Nyai Lantak malah
semakin menjerit histeris tak karuan.
"Minggir! Ada apa ini...?" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Orang-orang yang sedang mengerumuni
Nyai Lantak langsung menyingkir. Tampak seorang laki-laki bertubuh kekar yang
usianya sekitar empat puluh tahun,
melangkah menyibak kerumunan orang itu.
Semua yang berkerumun tahu betul, siapa laki-laki kekar dan berkumis tebal itu.
Dia adalah Ki Jarak, Kepala Desa Seman-
ding ini. Laki-laki itu langsung
menghampiri Nyai Lantak yang masih
terduduk di tanah, tidak mempedulikan
pakaiannya yang acak-acakan.
"Aduh, Ki.... Tolong anakku, Ki...,"
Nyai Lantak langsung memeluk kaki kepala desa itu.
"Tenang, Nyai. Ada apa dengan
anakmu?" Tanya Ki Jarak.
"Anakku, Ki.... Anakkuuu,..," kembali Nyai Lantak menangis melolong dan
meratap. Ki Jarak jadi kebingungan. Dilepaskan
pelukan wanita gemuk itu pada kakinya,
kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri rumah Nyai Lantak yang pintunya
terbuka lebar. Namun begitu baru saja sampai di ambang pintu, mendadak hatinya
tertegun dan matanya membeliak le-bar. Orang-orang yang berkerumun jadi
keheranan. Mereka
menghampiri, dan....
"Ah...!"
"Hihhh...!"
Orang-orang itu langsung berhamburan
menjauh. Tapi Ki Jarak malah melangkah
masuk. Matanya tidak berkedip memandangi sosok tubuh pemuda berusia sekitar dua
puluh tahun yang tergolek dengan leher
koyak. Darah telah menggenang di lantai, dan mengucur dari leher yang koyak
lebar itu. Sebentar Ki Jarak memandangi pemuda
yang dikenalnya betul. Laki-laki tua itu berbalik dan melangkah keluar dengan
kepala tertunduk, dan berhenti di ambang pintu. Dipandanginya orang-orang yang
berkerumun dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran. Kemudian pandangannya
beralih, dan langsung tertuju pada Nyai Lantak
yang masih menangis senggukan dalam
pelukan seorang wanita tua.
Sunyi, tak ada seorang pun yang
membuka suara. Mereka hanya memandang Ki Jarak yang juga membisu, berwajah lesu.
Mereka semua tahu, apa yang ada di dalam rumah itu. Selama bertahun-tahun desa
ini belum pernah mengalami kejadian seperti ini. Tak heran jika Ki Jarak sendiri
seperti kehilangan akal, tidak mampu
mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya berdiri bengong di ambang pintu
memandangi warganya yang berkerumun.
Pada saat itu, dari kerumunan
penduduk Desa Semanding, berjalan seorang pemuda tampan dan berambut panjang
sedikit tergelung ke atas. Dia mengenakan baju rompi dan ikat kepala putih. Dada
yang bidang dibiarkan terbuka lebar.
Pemuda Itu tidak mempedulikan tatapan
mata penduduk, dan terus berjalan
menghampiri Ki Jarak.
"Maaf. Kalau boleh aku tahu, ada apa di dalam?" tanya pemuda itu sopan.
Ki Jarak tidak menjawab. Sebentar
dipandangi pemuda itu, kemudian digeser tubuhnya memberi jalan. Pemuda itu
menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian melangkah melewati
kepala desa itu.
Sejenak pemuda itu tertegun begitu mencapai ambang pintu, tapi kakinya kemudian
kembali terayun masuk. Matanya agak
menyipit melihat seorang pemuda ter-
geletak berlumuran darah dengan leher
terkoyak. Dia berlutut di samping mayat itu, lalu memeriksa luka di leher yang
koyak. "Hm...!" pemuda itu bergumam, seraya bangkit berdiri.
Ditolehkan kepalanya ketika mendengar
suara langkah menghampiri. Ki Jarak
berhenti tidak berapa jauh di ambang
pintu. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian beralih pada sosok mayat di
lantai rumah. Pandangannya berganti-ganti seakan-akan ingin mengatakan sesuatu.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu
menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian
tangannya menjulur mengambil selembar
kain lusuh. Ditutupi mayat itu dengan
kain. Segera dihampiri-nya Ki Jarak.
"Kita harus mengubur mayat ini
sebagaimana layaknya," kata pemuda itu bernada sopan.
"Oh, iya.... Iya," sahut Ki Jarak tergagap, seperti baru saja terjaga dari mimpi
buruk. Pemuda itu melangkah hendak ke luar.
"Tunggu, Kisanak," cegah Ki Jarak.
Ayunan langkah pemuda berbaju putih
tanpa lengan itu terhenti. Diputar
tubuhnya menghadap kembali pada Ki Jarak.
"Tampaknya Kisanak bukan penduduk
desa ini. Siapa Kisanak sebenarnya?" ada nada kecurigaan pada suara Ki Jarak.
"Hanya kebetulan lewat saja. Aku
seorang pengembara," sahut pemuda itu seraya tersenyum
Ki jarak ingin bertanya lagi, tapi
tidak jadi. "Sebaiknya kita urus dulu jasad itu,"
usul pemuda itu sopan.
Ki Jarak hanya diam saja, tapi
menyetujui usul pemuda itu untuk mengurus mayat anak Nyai Lantak. Ki Jarak
bergegas ke luar. Sedangkan pemuda itu kembali mendekati mayat pemuda yang
terkoyak lehernya, Entah apa yang dikatakan kepala desa itu di luar, tapi tidak lama
kemudian empat orang laki-laki masuk ke dalam rumah itu. Mereka sebentar
memandangi pemuda yang tengah membenahi mayat itu.
"Apakah akan dikubur sekarang atau menunggu besok?" Tanya pemuda itu tanpa
mempedulikan empat orang yang hanya diam saja. Sedangkan Ki Jarak hanya berdiri
saja di ambang pintu.
"Dia sudah tidak punya ayah lagi. Dan ibunya sekarang...," salah seorang
menyahuti tapi terputus suaranya.
"Kalau begitu, tunggu ibunya saja,"
kata pemuda itu memutuskan.
Tak ada yang membantah. Bahkan Ki
Jarak sendiri hanya diam saja tanpa
membuka mulut sedikit pun. Kejadian ini memang membuat mereka semua jadi seperti
orang dungu. Tak ada yang mampu
mengemukakan pendapat. Bahkan bertindak saja seperti tidak berani. Bertahun-
tahun ke-jadian seperti ini tidak pernah lagi dialami. Mereka benar-benar tidak
siap untuk menghadapinya.
*** Tidak banyak yang mengantarkan anak
Nyai Lantak ke kubur. Hanya beberapa
orang saja, dan itu pun Ki Jarak yang
memerintahkan. Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan jadi sibuk sendiri.
Dia menggali dan menguburkan mayat pemuda malang yang mati tanpa di-ketahui
sebab-sebabnya. Begitu tragis sehingga membuat seluruh penduduk desa jadi
dicekam rasa takut yang amat sangat.
Selesai penguburan, semua yang ikut
langsung pergi tanpa berkata-kata sedikit pun. Hanya seorang perempuan tua yang
ikut. Itu pun dia selalu mendampingi Nyai Lantak yang kelihatan begitu lemah dan
terpukul sekali kehilangan anak satu-
satunya. Sedangkan suaminya entah berada di mana. Meninggalkan begitu saja sejak
anaknya masih berusia sekitar tiga tahun.
"Kenapa mereka begitu ketakutan...?"
Tanya pemuda itu seperti untuk dirinya
sendiri. "Entahlah," sahut Ki Jarak seraya mengayunkan kakinya pelahan-lahan.
Sedangkan pemuda berwajah tampan itu
ikut melangkah di samping Kepala Desa
Semanding ini. Mereka berjalan pelahan-
lahan dengan pikiran masing-masing.
"Bertahun-tahun tidak pernah ada
kejadian seperti
ini Desa Semanding
memang aman, tentram. Bahkan keributan kecil saja jarang terjadi. Apalagi
sampai..., ah!" Ki Jarak tidak
melanjutkan. "Apakah ibunya telah menceritakan apa sebenarnya yang terjadi?" tanya pemuda
itu. "Dia tidak tahu apa-apa. Dia
terbangun begitu
mendengar jeritan
anaknya," sahut Ki Jarak seraya berhenti melangkah.
Kepala Desa Semanding itu memandangi
pemuda yang berada di sampingnya.
Sedangkan yang di-pandangi hanya membalas datar. Beberapa saat mereka
terdiam membisu. "Anak Muda. Sejak semalam aku belum kenal namamu, dan mengapa kau membantu
hingga sampai ke saat penguburan?" Tanya Ki Jarak.
"Ah, maaf. Aku lupa sampai tidak
memperkenalkan diri," ujar pemuda itu.
"Namaku Rangga, dan hanya kebetulan lewat di desa ini"
"Hm.... Belum pernah ada orang yang suka bersusah payah untuk orang lain yang
tidak dikenal sama sekali," gumam Ki Jarak
"Tapi apa salahnya kita menolong
tanpa diminta. Bagiku pekerjaan seperti ini belum seberapa bila dibanding dosa
yang telah kita perbuat selama hidup."
Ki Jarak tertegun mendengar kata-kata
pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga atau lebih dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kata-katanya
begitu lembut namun sangat menyentuh
kalbu. "Siapa sebenarnya kau ini, Anak Muda"
Apakah kau seorang utusan" Atau titisan Dewata yang ingin menyadarkan manusia
dari segala tindak dan kebodohannya?"
"Aku manusia biasa, Paman. Aku bukan utusan dari
mana-mana, apalagi dari
kahyangan," jelas Rangga yang kini memanggil Ki Jarak dengan sebutan paman.
Memang dia ingin lebih mengakrabkan diri dengan laki-laki itu.
"Siapa pun kau sebenarnya, aku patut mengucapkan terima kasih atas bantuanmu.
Kalau tidak ada dirimu, tentu tak ada
seorang pun yang sudi menguburkan anak
itu," kata Ki Jarak.
"Tidak sepatutnya mereka berbuat
seperti itu, Paman. Mereka toh pasti akan meninggalkan dunia ini.
Sebab-sebab seseorang meninggal tidak akan sama,"
jelas Rangga. "Yaaah.... Itulah yang menyulitkan aku men-jadi kepala desa di sini, Anak
Muda. Mereka sudah terbiasa hidup damai dan tentram. Apa saja tersedia di sini,
sehingga mereka jadi malas bekerja, dan mementingkan diri sendiri Hanya ber-
senang-senang saja yang mereka piker-kan.
Tapi tak mampu menghadapi kenyataan pahit Terus terang, aku sendiri sebenarnya
takut." "Rasa takut selalu ada pada setiap orang, Paman. Aku juga kadang-kadang
merasa ketakutan. Tapi
jangan sampai diperbudak perasaan yang akan merugikan diri sendiri."
"Kau benar, Anak Muda. Ahhh..., tutur katamu seperti seorang cendekia. Sungguh
jauh dan dalam sekali pandangan hidupmu.
Terasa kecil diriku berada di depanmu, Anak Muda," ungkap Ki Jarak tulus, keluar
dari lubuk hatinya.
Rangga hanya tersenyum saja. Ditepuk-
tepuk-nya bahu Ki Jarak seraya mengajak berjalan kembali. Mereka terus berjalan
sambil bertukar pikiran mengenai makna-makna kehidupan. Semakin banyak mereka
berbicara, semakin terasa kan oleh Ki
Jarak bahwa dirinya begitu kerdil di
depan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dengan jiwa besar, Ki Jarak mengakui kalau
dirinya tidaklah berarti apa-apa. Dan
Rangga mengagumi kebesaran jiwa yang
dimiliki kepala desa ini. Memang sukar menemukan seseorang berjiwa besar dan
suka mengakui kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Biasanya orang selalu
bercermin dan menyorot sekelilingnya,
tanpa peduli pada dirinya sendiri.
Rangga menghentikan langkahnya ketika
melihat seorang gadis berwajah cantik
yang hanya mengenakan kain melilit
tubuhnya. Rupanya gadis itu juga melihat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Buru-
buru ditutupi dadanya yang terbuka dengan kain lusuh, lalu bergegas berjalan
menuju sungai sambil menjinjing keranjang cucian dari anyaman bambu.
"Gadis itu keponakannya Ki Jepun,"
kata Ki Jarak yang sejak tadi
memperhatikan Rangga.
"Hm...," Rangga tersenyum dan kembali melangkah.
Rangga memang pernah bertemu gadis
itu sekali, dan hampir bertabrakan di
dekat sungai. Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menghilang-kan bayangan gadis
itu dari benaknya.
"Belum ada satu bulan dia tinggal di sini. Aku sendiri tidak tahu kalau Ki
Jepun punya keponakan seorang gadis
cantik seperti itu," jelas Ki Jarak lagi.
"Siapa itu Ki Jepun?" tanya Rangga.
"Seorang tua yang selalu menyendiri dan tidak pernah bergaul dengan sesama warga
desa. Dia sendiri sebenarnya bukan berasal dari desa ini. Tapi istrinya,


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asli kelahiran desa ini," jelas Ki Jarak.
Rangga hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja.
"Rupanya kau tertarik pada gadis itu, Kisanak," gurau Ki Jarak.
"Ah...," Rangga hanya mendesah saja.
*** Hanya sebentar saja Rangga singgah di
rumah kepala desa. Pemuda itu bermaksud melanjutkan perjalanannya, mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Entah kenapa,
Pendekar Rajawali Sakti ini justru menuju ke sungai dan sepertinya ada yang
menuntutnya ke sana. Sama sekali pemuda berbaju rompi putih itu tidak menyadari,
dan terus saja berjalan pelahan-lahan
menapaki jalan berkerikil.
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti
terhenti begitu sampai di tepi sungai
yang tidak begitu besar dan berair
jernih, hingga dasarnya ter-lihat jelas.
Hanya ada seorang gadis di sungai itu,
dan kelihatan terkejut begitu melihat
Rangga. Gadis yang ternyata adalah
Dewayani itu buru-buru membenahi kain
yang dikenakan-nya. Ditutupinya bahu dan dadanya dengan selembar kain lain.
Rangga tersenyum dan menganggukkan
kepala-nya sedikit Dewayani hanya Diam, tapi membalas dengan senyuman pula.
Pendekar Rajawali Sakti itu membasuh
wajah dan tangannya dengan air sungai
yang sejuk menyegarkan, kemudian berdiri, tepat saat Dewayani beranjak keluar
dari dalam sungai. Gadis itu menjinjing
keranjang bambu pada ketiaknya.
"Ah...!"
Tiba-tiba saja Dewayani terpeleset,
hampir jatuh ke dalam sungai. Untung saja Rangga segera melompat menangkap
tangan gadis itu. Sesaat mereka saling pandang, namun sebentar kemudian Dewayani
buru-buru melepaskan pegangan tangan Rangga.
Bergegas gadis itu melangkah. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba
saja.... "He he he...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu
di de-pan gadis itu sudah menghadang
seorang laki-laki tua kurus kering
membawa tongkat hitam untuk menyangga
tubuhnya. Dewayani terperanjat, dan
melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara Rangga yang berada di belakang gadis itu mengamati laki-laki tua kurus
kering yang wajahnya begitu pucat tanpa senyum sedikit pun menghiasi bibirnya.
Meskipun terkekeh, tapi bibirnya terkatup rapat
"Batas waktumu sudah habis,
Dewayani," kering dan datar sekali suara laki-laki tua kurus kering yang
ternyata si Iblis Hitam.
"Huh! Aku tidak ada urusan lagi
denganmu!" dengus Dewayani sengit.
"Siapa bilang, Dewayani" Batas
waktumu sudah habis. Kau harus kembali ke Selatan bersamaku. Percayalah, kau
akan sengsara jika berada di sini. Tidak ada tempat yang sudi menerima dirimu,
Dewayani. Sang Penakluk pasti mencari-
mu." "Pergi kau!" bentak Dewayani berang.
"Pulanglah, Dewayani. Tidak ada
gunanya membangkang. Kau hams ingat,
siapa dirimu, dan apa yang mengalir dalam darahmu.
Jangan menyengsarakan dirimu
sendiri, Dewayani."
"Aku tidak peduli! Pergiii...!" jerit Dewayani.
"Ini peringatanku yang terakhir,
Dewayani...!"
"Iblis keparat! Kubunuh kau...!
Hiyaaat..!"
Dewayani tidak mampu lagi membendung
luapan amarahnya. Tanpa menghiraukan
kalau di tempat ini ada orang lain yang selalu memperhatikan, gadis itu melem-
parkan keranjang cuciannya ke arah Iblis Hitam Keranjang yang cukup besar dan
kelihatan berat itu melayang deras bagai dilemparkan tangan raksasa.
"Uts!"
Iblis Hitam memiringkan tubuhnya ke
kiri menghindari lemparan itu. Sungguh di luar dugaan sama sekali, keranjang itu
hancur berkeping-keping begitu menghantam pohon yang berada tepat di belakang
Iblis Hitam. Rangga yang menyaksikan itu sampai terkejut. Sungguh tidak disangka
kalau seorang gadis cantik yang kelihatan lemah lembut ini ternyata
mempunyai tenaga
begitu besar. "Hiyaaat...!"
Dewayani yang sudah dirasuki luapan
amarah langsung melompat sambil
mengangkat sedikit kain yang dikena-
kannya. Ternyata di balik kain lusuh itu terdapat celana pangsi sebatas betis.
Dan yang membuat Rangga terpana, di balik
kain itu juga menyembul sebilah pedang
yang sarungnya berwarna kuning keemasan.
Sementara itu Dewayani sudah me-
nyerang si Iblis Hitam dengan gerakan-
gerakan cepat. Laki-laki kurus kering itu
agak kewalahan juga menghindari serangan-serangan lawan. Namun se-bentar saja
hal itu berlalu. Jurus-jurus berikutnya, si Iblis Hitam mampu mendikte Dewayani.
"Hih! Hiyaaa...!"
Hingga pada satu saat, sambil
berteriak ke-ras si Iblis Hitam
melontarkan satu pukulan keras dengan
tangan kiri. Pada saat yang sama,
Dewayani juga melepaskan pukulan tangan kanan, sehingga pertemuan tangan mereka
tak dapat dihindari lagi.
Bughk! "Akh...!" Dewayani memekik kecil.
Gadis itu terlontar ke belakang
sejauh dua batang tombak.
"Ughk...!" Iblis Hitam juga mengeluh pendek.
Tapi laki-laki tua kurus kering itu
hanya tiga langkah saja terdorong ke
belakang. Sementara Dewayani mendengus-
dengus bagai kuda betina yang sedang
marah. Digerak-gerakkan tangannya sambil meliuk-liukkan tubuhnya, membuat
gerakan indah. Sementara si Iblis Hitam menggeser kakinya ke samping kanan.
Diputar-putarkan tongkatnya pelahan-lahan di
depan dada. "Kau akan menyesal, Dewayani!" Dengus Iblis Hitam dingin.
"Phuih! Yiaaat..!"
Dewayani kembali melompat sambil
mencabut pedang yang tersembunyi di balik kainnya.
Sret! "Hait..!"
Secepat Dewayani mengibaskan pedang-
nya, secepat itu pula si Iblis Hitam
mengebutkan tongkatnya. Dan....
Trang! Benturan dua senjata itu menimbulkan
percikan bunga api yang menyebar ke
segala penjuru. tampak sekali kalau
tangan Dewayani bergetar, dan pedangnya hampir terpental dari genggaman. Namun
rupanya gadis itu masih bisa menguasai.
Bahkan dengan gerakan sangat indah, di-
putar pedangnya ke bawah sambil meliukkan tubuhnya.
"Eh! Uts...!"
Iblis Hitam tampak terperanjat Buru-
buru di-kibaskan tongkatnya menyamping ke bawah. Namun tanpa diduga sama sekali,
Dewayani cepat menarik pedangnya, dan
secepat itu pula menusukkannya ke arah
perut. "Setan alas..!" sentak Iblis Hitam terperanjat.
Secepat kilat laki-laki tua kurus
kering itu melentingkan tubuhnya ke
belakang, menghindari tusukan
pedang Dewayani yang datang bagaikan gelombang samudra. Namun rupanya Dewayani benar-
benar tak ingin memberi kesempatan pada lawannya. Gadis itu melompat menerjang
kembali. Pedangnya berkelebatan cepat
mengurung gerak tubuh si Iblis Hitam.
Trang! Trak...!
Beberapa kali senjata mereka beradu.
Dan sekali beradu senjata, tampak tangan Dewayani bergetar. Tapi gadis itu mampu
menutupi kelemahan tenaga dalamnya yang masih di bawah si Iblis Hitam. Kelemahan
itu bisa ditutupi dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu lentur dan indah
sekali. Hasilnya, Iblis Hitam merasa
kesulitan setiap kali punya peluang
setelah membenturkan tongkatnya ke pedang gadis itu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Iblis Hitam melentingkan
tubuhnya ke udara, dan berputaran
beberapa kali. Manis sekali Si laki-laki tua kurus kering itu hinggap di atas
dahan pohon yang cukup tinggi. Sedangkan Dewayani berdiri tegak sambil menghunus
pedang melintang di depan dada. Gadis itu mendongak menatap berang pada
lawannya. "Turun kau, iblis keparat!" bentak Dewayani berang.
"Sayang sekali, aku tidak boleh
melukaimu, Dewayani. Tapi tunggulah. Kau akan menyesal, gadis bodoh!" dengus
Iblis Hitam dingin.
Setelah berkata demikian, si Iblis
Hitam me-lesat pergi cepat bagai kilat.
Dalam sekejap saja, bayangan tubuh laki-laki tua kurus kering itu lenyap dari
pandangan mata. Dewayani mengumpat dan
memaki habis-habisan. Dimasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Kemudian
membenahi kain yang melilit tubuhnya.
Gadis itu berpaling ke arah Rangga,
kemudian terus berlari cepat meninggalkan tempat ini.
"Hey, tunggu...!" seru Rangga
langsung melesat mengejar.
Tapi Dewayani terus berlari, bahkan
memper-gunakan ilmu meringankan tubuh.
Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa saja mengejar. Tapi gadis itu sudah keburu sampai di jalan Desa Semanding.
Rangga berhenti berlari, dan hanya dapat memandangi Dewayani yang kini sudah
berjalan biasa di antara para penduduk
desa yang sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Hm, gadis yang aneh," gumam Rangga pelan.
*** 3 Hampir seharian Dewayani duduk saja
di samping rumahnya. Sedangkan Ki Jepun dan istrinya berada di ladang. Gadis itu
tidak tahu kalau sejak tadi selalu
diperhatikan sepasang mata. Dia baru tahu setelah mendengar langkah kaki
menghampiri. Seorang laki-laki muda bertubuh agak kurus mengenakan baju biru dan
ikat kepala hitam, tengah menghampiri sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Sendiri saja,
Dewayani?" tegur
pemuda itu ramah.
"Oh! iya nih, Kang Aji," sahut
Dewayani berusaha ramah.
"Kok sepi, ya...?"
"He eh. Ki Jepun dan Nyi Jepun sedang ke ladang. Aku disuruh tunggu rumah,"
sahut Dewayani.
"Kalau begitu...," suara Aji
terputus. "Ingin menemani" Boleh saja kok,
Kang," celetuk Dewayani bisa mengetahui maksud pemuda desa itu.
"Waduh...! Mimpi apa aku semalam...?"
Desah Aji dalam hati.
Pemuda itu kemudian duduk di samping
Dewayani, setelah gadis itu menggeser
memberi tempat. Sikap Aji begitu kaku,
dan hanya menggosok-gosok tangannya
sambil senyum-senyum. Sesekali diliriknya wajah cantik di samping-nya. Tidak
banyak kesempatan untuk bisa ngobrol
berdua bersama gadis ini. Hampir seluruh pemuda di desa ini berlomba-lomba mencari
kesempatan untuk hanya sekadar bisa
berbicara saja. Tapi mereka memang hanya berani memandang dari jauh.
Sedangkan Dewayani hanya tersenyum
geli dalam hati melihat tingkah pemuda
lugu ini. Hanya saja gadis itu tidak
memperlihatkannya. Dia hanya diam saja
sambil memandang ke depan. Lama juga
mereka hanya diam saja. Sedangkan
beberapa kali Aji hendak berbicara. Tapi begitu mulutnya terbuka, suaranya
serasa tertangsal di tenggorokan.
"Dewayani Yani..," agak bergetar
suara Aji. "Apa?" tanya Dewayani tanpa
berpaling. "Ng..., boleh tidak aku sering-sering ngobrol bersamamu?" tanya Aji polos.
Sebenarnya Dewayani ingin tertawa,
tapi hanya tersenyum saja di dalam hati.
Pemuda itu benar-benar polos dan lugu, seperti layaknya pemuda-pemuda lain di
desa ini. Tapi Dewayani memuji juga
keberaniannya hingga datang ke sini dan berbicara dengannya. Tidak
seperti pemuda-pemuda lainnya, yang hanya bisa
mencuri pandang dari jauh. Kalaupun
menegur, saat kebetulan berpapasan saja.
Itu pun dengan sikap kaku,
seperti dipaksakan. "Boleh tidak, Yani...?" harap Aji.
"Kenapa tidak" Kau boleh datang ke
sini ka-pan saja."
"Sungguh..?" berbinar mata Aji Dewayani tersenyum dan mengangguk "Oh....
Betapa bahagia-nya hati ini..," desah Aji dalam hati.


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebentar ya, tuh Ki Jepun sudah
pulang," kata Dewayani menunjuk Ki Jepun dan istrinya yang berjalan menuju rumah
ini "Eh! Aku pamit saja dulu, Yani," Aji buru-buru bangkit
"Nanti saja, Ji. Kenapa sih buru-
buru?" cegah Dewayani
"Besok aku ke sini lagi deh. Aku
pergi dulu, Yani "
Tanpa menunggu jawaban lagi, Aji
bergegas pergi melalui jalan samping
rumah, terus menuju belakang dan memutari rumah tetangga. Pemuda itu menghilang
di balik rumah tetangga. Dewayani tersenyum geli melihat tingkah laku pemuda
itu. Bibirnya masih tersenyum meskipun Ki
Jepun dan istrinya sudah sampai.
"Siapa pemuda itu tadi, Dewayani?"
tanya Ki Jepun sambil meletakkan cangkul di bawah balai-balai bambu yang
diduduki Dewayani.
"Aji," sahut Dewayani pendek.
"Ada apa dia ke sini?" dengus Nyi Jepun bernada tidak senang.
"Hanya ngobrol saja, Nyi," sahut Dewayani. "Tapi..."
'Tapi kenapa, Yani?" potong Ki Jepun.
"Lucu, seperti anak kecil saja. Masa dia kabur begitu melihat Aki pulang."
"Ha ha ha...!" Ki Jepun tertawa terbahak-bahak. "Dasar anak muda
sekarang, mentalnya lembek!"
"Ah sudahlah, Yani. Jangan layani
anak seperti itu. Kau harus bisa
mendapatkan pemuda gagah dan tampan
seperti Aki waktu muda dulu," kata Nyi Jepun.
"Mana ada pemuda seperti itu di sini, Nyi. Berani taruhan, sepuluh orang saja
masih sanggup kuhadapi!" Ki Jepun
menyombongkan diri.
"Ingat, Ki. Kau ini sudah tua, sudah
loyo.." "Biar tua, pentilanku masih mampu
menjungkalkan mereka!"
Dewayani hanya tersenyum geli saja
mendengar celotehan pasangan tua itu.
Keceriaan memang selalu terjadi. Apalagi Dewayani memang pandai memancing
suasana ceria seperti itu. Meskipun tubuh penat dan kepala pening, masih juga
me-reka bisa berkelakar kalau Dewayani sudah memulai lebih dahulu. Dan biasanya gadis
itu selalu tersenyum. Bahkan kadang-
kadang tawanya lepas tak terkendali lagi.
Kalau sudah begitu, lenyap sudah rasa
letih dan penat pasangan tua itu.
Dewayani memang pandai dalam segala hal, dan ini membuat Ki Jepun dan istrinya
semakin menyayangi gadis itu.
Malam baru saja merayap turun
menyelimuti seluruh Desa Semanding. Tiga orang anak muda berjalan pelahan sambil
bercanda. Di antara mereka terlihat Aji yang banyak bercerita, membanggakan
dirinya karena bisa berbicara dengan
Dewayani yang menjadi kembang desa ini.
Dan itu membuat kedua temannya menjadi
iri. Mereka tidak percaya, tapi banyak
juga yang memang melihat Aji duduk berdua bersama gadis cantik itu.
"Kalian tahu, besok aku ada janji
dengan Dewayani," tutur Aji semakin membuat.
"Ke mana, Ji?" tanya temannya yang berjalan di kanan.
"Ke sendang," sahut Aji
Kedua temannya sating berpandangan.
Mereka tahu kalau sendang yang dimaksud Aji letaknya di tengah hutan. Jarang
orang yang datang ke
sana. Selain jalannya sulit, juga tak ada se-suatu
yang bisa dilihat. Tapi tempat itu memang disukai anak-anak muda yang tengah
kasmaran. "Aku duluan, ya .?"
Aji melangkah cepat menuju rumahnya
yang memang lebih dekat daripada kedua
temannya. Sedangkan kedua temannya itu
hanya memandangi, diliputi perasaan iri.
Sebenarnya Aji bukanlah pemuda tampan.
Tubuhnya saja bisa dikatakan kurus. Tapi kenapa begitu beruntung..." Pertanyaan
itu yang selalu ada di benak pemuda-pemuda lain di desa itu.
Kedua anak muda itu masih saja
berdiri memandangi Aji yang membuka pintu rumahnya.
Tapi mendadak saja, begitu
pintu terbuka lebar, Aji menjerit keras melengking.
"Aaa...!"
Tubuh pemuda itu terpental jauh ke
belakang dan ambruk keras ke tanah. Kedua temannya ter-peranjat kaget, dan jadi
terpaku dengan mata membeliak lebar dan mulut ternganga. Seketika wajah mereka
pucat past, dan tubuh gemetar melihat Aji menggelepar dengan leher koyak
mengucurkan darah segar.
"Tolooong...!"
Kedua pemuda itu jadi kalang kabut.
Mereka ingin berlari tapi seperti terpaku dan berat untuk menggerakkan kaki. Dua
pemuda itu hanya bisa berteriak-teriak
minta tolong. Sebentar saja, tempat itu sudah dipenuhi orang yang kaget dan
berhamburan keluar rumah mendengar
teriakan kedua anak muda itu. Namun
mereka langsung terpaku begitu melihat
tubuh Aji yang sudah diam kaku berlumuran darah.
*** Kematian Aji yang begitu tragis
membuat penduduk Desa Semanding diliputi perasaan takut yang amat sangat. Dua
pemuda sudah tewas dalam waktu yang tidak begitu lama, dan dengan cara yang
sama. Leher terkoyak lebar, hampir putus. Tapi yang menjadi tanda tanya, kedua pemuda
yang tewas itu sebelumnya pernah ngobrol bersama Dewayani. Gadis cantik yang
diakui Ki Jepun adalah keponakannya.
Kasak-kusuk mulai terdengar. Para
penduduk menghubung-hubungkan kedua
peristiwa mengerikan itu dengan kehadiran Dewayani didesa ini. Tapi tak ada
seorang pun yang berani berterus terang, apalagi melakukan sesuatu. Kecurigaan
penduduk semakin menebal begitu mendengar cerita kedua teman Aji yang melihat kejadian
itu. Mereka memang baru saja mendengar
cerita Aji yang katanya sudah berhasil
mendekati Dewayani, gadis cantik yang
menjadi buah bibir di Desa Semanding ini.
"Huh! Mereka bisanya hanya kasak-
kusuk tanpa bukti!" dengus Ki Jepun yang mendengar juga selentingan kabar burung
itu. "Kenapa hams dipusingkan, Ki. Biar saja, memang sudah begitu adat mereka,"
timpal istri-nya tak peduli.
"Kau enak! Aku ini yang mendengar...!
Rasa-nya kuping ini panas mendengar
Dewayani dituduh sebagai penyebab
kematian anak-anak tolol itu!" rungut Ki Jepun.
Sedangkan Dewayani hanya diam saja,
duduk mencangkung sambil memeluk lutut di balai-balai bambu di samping Nyi
Jepun. Pandangannya kosong lurus ke depan,
mengamati jalan yang tampak sepi lengang.
Para penduduk Desa Seman-ding ini seperti sengaja menghindari depan rumah ini.
"Mau ke mana, Ki?" tegur Nyi Jepun begitu melihat Ki Jepun berjalan ke luar.
"Ke rumah Kepala Desa," sahut Ki Jepun terus saja melangkah ke luar rumah.
"Mau apa kau ke sana?"
Tapi Ki Jepun tidak menyahut, dan
terus saja berjalan cepat Nyi Jepun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
Dia tahu betul watak suaminya yang keras,
tapi lembut dan penyabar. Perempuan tua itu berpaling memandangi Dewayani yang
diam saja, memandang kosong ke depan.
"Sudahlah, Yani Jangan terlalu
dipikirkan. Aku percaya kau tidak mungkin melakukan itu," bujuk Nyi Jepun
mencoba menghibur.
"Aku menyesal, Nyi. Kenapa mereka
menuduhku demikian..." Aku jadi
merepotkanmu saja," keluh Dewayani
"Penduduk di sini memang manja. Biar
mereka belajar dari peristiwa ini. Dulu, suamiku per-nah menganjurkan agar
pemuda-pemuda di sini berlatih ilmu olah
kanuragan, tapi malah melecehkan. Seka-
rang baru tahu rasa, bagaimana kalau
tidak memiliki kepandaian sama sekali!"
agak ketus nada suara Nyi Jepun.
Dewayani mengangkat kepalanya,
berpaling memandang perempuan tua di
sampingnya. "Kau percaya aku yang melakukan semua itu, Nyi?" tanya Dewayani
"Kalau aku percaya, sama tololnya
dengan mereka!" sahut Nyi Jepun
mendengus. "Kalau ternyata memang aku?"
"Jangan mengada-ada, Yani. Aku tahu kau bisa ilmu olah kanuragan. Tapi untuk apa
melakukan itu" Aku tidak melihat
adanya kegarangan pada dirimu. Bahkan kau seperti seorang putri raja, atau
paling tidak putri bangsawan," sanggah Nyi
Jepun. Dewayani tersenyum. Nyi Jepun juga
memberi senyum semanis mungkin. Sesaat
mereka terdiam saling berpandangan. Nyi Jepun memang tidak percaya jika Dewayani
yang melakukan kedua pembunuhan itu.
Mereka yang tewas memang pernah ngobrol dengan Dewayani sebelumnya, tapi bukan
berarti gadis itu yang membunuh. Mereka hanya bicara, tidak lebih dari itu. Yang
pertama berbicara sambil berjalan pulang dari sungai. Sedangkan yang kedua di
samping rumah ini. Banyak yang melihat
kalau mereka hanya ngobrol saja. Tapi
penduduk desa sudah menuduh Dewayani
penyebab semua peristiwa mengerikan itu.
"Aku mau ke kebun belakang dulu. Kau ingin ikut, Yani?" kata Nyi Jepun seraya
bangkit berdiri.
"Nanti aku menyusul, Nyi," sahut Dewayani.
Nyi Jepun menepuk punggung tangan
gadis itu, kemudian berjalan ke belakang.
Dewayani masih saja duduk memeluk lutut yang tertekuk. Kepalanya disandarkan ke
lutut. Sedangkan pandangannya kembali
kosong ke depan. Tapi men-dadak saja
kedua matanya terbeliak, lalu gadis itu menggerinjang melompat berdiri. Tatapan
matanya begitu tajam, lurus ke depan.
Tampak di bawah pohon seberang jalan
rumah ini berdiri seorang laki-laki
berwajah tampan. Pakaiannya indah dari
bahan sutra halus bersulamkan benang-
benang emas. Pemuda itu meme-gang kipas yang terbuka lebar di depan dada.
Dewayani berdiri mematung memandangi
laki-laki berwajah tampan itu.
"Dewayani! Kau telah menyia-nyiakan
kesempatan yang kuberikan. Kini rasakan sendiri akibatnya. Tidak ada tempat yang
bisa menampung-mu. Tidak ada orang yang akan menolongmu. Seumur hidup kau akan
tersiksa," terdengar suara halus di telinga Dewayani.
"Heh...!" gadis itu tersentak kaget.
Jelas sekali suara itu mendengung di
telinga Dewayani, Hanya sekejap saja
gadis itu berpaling. Dan begitu memandang ke pohon di seberang jalan, laki-laki
muda itu sudah tidak terlihat lagi, tepat ketika sebuah pedati melintasinya.
Gerombolan Singa Gurun 2 Dewi Ular 76 Tamu Dari Alam Gaib Bara Naga 7
^