Pencarian

Sepasang Walet Merah 2

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah Bagian 2


prajurit Kerajaan Pasirwatu. Mendadak dibuangnya busur, dan dengan
gerakan lincah, kedua tangannya mencabut tombak pendek bermata tiga
yang terselip di pinggang. Dialah Rakawigirang. Rakawigirang membantai habis prajurit Pasirwatu memang ada alasannya.
Lima tahun lalu putri Kerajaan Pasirwatu
pernah disayembarakan. Ternyata pemuda
bernama Rakawigirang ini ikut pula dalam
sayembara itu. Tapi dia dapat dikalahkan
oleh putri yang disayembarakan itu.
Memang putri itu seorang yang digdaya.
Rupanya dari peristiwa itu Rakawigirang
memendam dendam.
"Siapa yang akan membela anjing-
anjing Pasirwatu" Tunjukkan muka!"
teriak Rakawigirang pongah menantang.
"Rakawigirang, tingkahmu sungguh
menjijikan!"
suara balasan terdengar
menggeram, disusul munculnya seorang
laki-laki muda berpakaian ketat serba
putih."O, rupanya masih ada juga tikus busuk
Pasirwatu,"
Rakawigirang tersenyum sinis melihat Sarmapala muncul. Sarmapala, salah seorang abdi utama
dengan jabatan kepala pasukan prajurit
Kerajaan Pasirwatu. Hatinya murka melihat pembantaian brutal yang di-
lakukan Rakawigirang. Lebih-lebih kata-
kata yang terlontar dari mulut Rakawigirang sangat menyakitkan telinga.
"Kurobek mulutmu, Rakawigirang!"
geram Sarmapala.
"Majulah! Keluarkan senjatamu!"
tantang Rakawigirang.
"Menghadapimu
tidak perlu menggunakan senjata!"
Rakawigirang segera menyelipkan
kembali dua tombak bermata tiga ke
pinggangnya, lalu melesat ke udara dan
bersalto dua kali. Dengan manis kakinya
menjejak tanah sejauh lima langkah di
depan Sarmapala.
"Kau datang ke sini tentu ingin
mencari Cupu Manik Tunjung Biru,
bukan" Nah, sebelum itu hadapi aku
dulu!" kata Rakawigirang pongah.
"Bersiaplah!"
dengus Sarmapala enggan bertele-tele.
Bibirnya belum lagi kering mengucapkan kata-kata itu, Sarmapala
langsung membuka jurus-jurus tangan
kosong. Sedangkan Rakawigirang tampak
berdiri tenang dengan mata tajam mengawasi setiap kembangan jurus tangan kosong Sarmapala. Bibirnya ter-
sungging senyuman tipis. Dia sudah tidak
aneh lagi menghadapi jurus-jurus itu,
karena telah pernah berhadapan sewaktu
melawan putri Rasmala dari Kerajaan
Pasirwatu lima tahun lalu. Tentu saja
Sarmapala juga mendapatkan sumber
yang sama. Seandainya putri sombong itu ada di
sini, belum tentu dapat mengalahkan
Rakawigirang lagi. Selama lima tahun
Rakawigirang memperdalam ilmu- ilmunya. Apalagi kini dia mempelajari
ilmu baru yang lebih dahsyat dan dapat
diandalkan. "Tahan serangan!" teriak Sarmapala tiba-tiba.
Bersamaan dengan itu, kaki Sarmapala bergerak cepat melompat
menerjang Rakawigirang Masih dalam
posisi di atas tanah, digerakkan kakinya
dengan cepat ke arah bagian-bagian tubuh
lawan. Rakawigirang yang sudah mengetahui gerakan-gerakan
itu sebelumnya, hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri dan ke kanan
menghindari sabetan kaki lawan yang
beruntun. Tidak sedikit pun digeser ka-
kinya.Serangan pertama Sarmapala gagal
total. Segera dibukanya serangan baru
dengan jurus kedua. Kali ini tubuh
Sarmapala dimiringkan ke kanan. Sebelah
kakinya menekuk. Dengan cepat, tangan
kanannya menyambar kepala lawan.
Pembahan serangan yang cepat dan
mendadak itu tidak diduga sebelumnya
oleh Rakawigirang. Dia kaget, lalu cepat-
cepat menundukkan kepala. Tapi tanpa
diduga sama sekali, kaki kanan Sarmapala
yang tertekuk bergerak cepat menendang
ke depan. "Setan!" dengus Rakawigirang sengit.
Jarak mereka begitu dekat dan tidak
mungkin Rakawigirang mengelak. Terpaksa diayunkan tangannya memapak
tendangan itu. Buk! Benturan keras terjadi antara tangan
dan kaki. Seketika itu juga Rakawigirang
melompat dua kali ke belakang. Bibirnya
meringis menahan sakit yang amat sangat
pada tangannya.
"Babi buntung, keluarkan senjatamu!"
umpat Rakawigirang sambil meringis.
Untung tulang tangannya tidak patah.
Hanya memar sedikit.
"Sudah kubilang, menghadapimu
tidak perlu menggunakan senjata," sahut Sarmapala dingin.
"Setan! Jangan menyesal kalau kau
mati di ujung senjataku!"
geram Rakawigirang sambil mencabut tongkat
pendek berujung tiga dari pinggangnya.
"Ha ha ha. ., anak kecil pun tidak
akan gentar melihat mainanmu!" ejek
Sarmapala. "Hiyaaa...!" Rakawigirang tidak lagi bisa menahan amarahnya. Langsung saja
dia melompat dengan dua senjata di
tangan terhunus ke depan.
Sarmapala melesat tinggi ke udara
menghindari terjangan yang bagai banteng
mengamuk itu. Ujung senjata Rakawigirang meleset beberapa rambut di
bawah kaki Sarmapala. Dua kali dia
bersalto di udara, lalu mendarat di
belakang Rakawigirang.
"Mampus kau!" bentak Rakawigirang.
Dengan cepat tubuhnya berputar.
Satu ujung tombak itu mengancam perut
sedangkan tombak lainnya mengarah ke
leher. Sarmapala yang baru saja mendarat
ke tanah, segera melenting ke belakang
beberapa tombak menghindari serangan
yang begitu cepat
"Setan!" dengus Sarmapala. "Lima tahun begitu pesat kemajuannya."
Belum lagi Sarmapala bernapas
sedikit, telah datang lagi
serangan selanjutnya. Sarmapala hanya bisa berkelit dan melompat menghindari setiap
serangan lawan. Namun sampai lewat lima jurus,
Rakawigirang belum menyentuhkan ujung
senjatanya ke tubuh Sarmapala. Gerakan
Sarmapala benar-benar cepat berkelit
menghindari setiap serangan beruntun
lagi berbahaya.
Namun setelah lewat sepuluh jurus,
kelihatan Sarmapala
mulai terdesak. Beberapa kali harus jatuh bangun menghindari senjata lawan yang nyaris
menikam tubuhnya. Rakawigirang benar-
benar tidak memberi kesempatan pada
lawan untuk bernapas. Dia mendesak
terus dengan jurus-jurus mautnya.
Bret! Tiba-tiba saja ujung senjata Rakawigirang berhasil merobek baju
Sarmapala. Bukan main terkejutnya pemuda itu. Cepat-cepat dia melompat
tinggi ke udara, dan menarik pedangnya.
"Bagus! Aku sungkan membunuh
lawan tanpa memegang senjata!" seru
Rakawigirang. Sebenarnya Sarmapala enggan menggunakan senjata. Tetapi karena
serangan-serangan
lawan sangat

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbahaya, terpaksa dikeluarkan juga
senjatanya. Mau tidak mau dia harus
menahan malu karena telah meremehkan
lawan tadi. Kini pertarungan mulai berjalan
seimbang. Sarmapala tidak lagi harus jatuh bangun menghindari serangan. Bahkan
kini serangan-serangannya
kelihatan mengganas. Sebentar saja telah dua puluh
jurus terlewati. Namun sejauh ini belum
ada yang kelihatan terdesak.
"Awas kepala!" teriak Sarmapala tiba-tiba. Dengan cepat disabetkan pedangnya
ke arah kepala lawan. Begitu cepatnya
sabetan pedang Sarmapala membuat
Rakawigirang tidak punya pilihan lain.
Dengan cepat pula diangkatnya satu
senjatanya untuk melindungi kepala.
Trang! Dua senjata beradu keras sehingga
menimbulkan pijaran bunga api. Tangan
Rakawigirang pun sampai-sampai bergetar hebat. Belum lagi hilang rasa
kagetnya, tiba-tiba saja Sarmapala memutar pedangnya dan.. .
Bret! "Akh!"
Rakawigirang memekik tertahan. Darah mengucur dari perut yang
sobek tergores ujung pedang Sarmapala.
Cepat-cepat Rakawigirang melompat dua
depa ke belakang. Dia meringis menahan
perih yang menyayat perutnya. Darah
terus merembes membasahi bajunya.
"Setan!" geram Rakawigirang sengit.
"Melawan Gusti Putri saja kau tak
mampu, apalagi melawan aku. .?" Sarmapala mengejek.
Rakawigirang mendengus geram.
Setelah menotok beberapa jalan darah
sekitar perutnya, dia kembali menyerang
dengan ganas. Sarmapala kini tidak
sungkan-sungkan
lagi. Ditandinginya Rakawigirang dengan jurus-jurus pedang
mautnya. Pertarungan kembali berlangsung seru.
Tepat pada jurus yang kelima puluh,
Sarmapala merubah jurusnya. Ditarik
pedangnya ke samping, seakan-akan
memberikan kebebasan lawan untuk
menikam tubuhnya yang kosong. Hal ini
dimanfaatkan oleh Rakawigirang yang
sudah kalap dibalut amarah.
Dengan cepat ditusukan kedua senjatanya ke arah perut dan dada. Semua
orang melihat pasti akan menyangka
Sarmapala sengaja bunuh diri dengan
membuka jurus pertahanannya. Namun
apa yang terjadi selanjutnya"
Trang! Trang! Tepat pada saat ujung-ujung senjata
Rakawigirang hampir mencapai sasaran,
mendadak Sarmapala mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Dalam keadaan
doyong ke belakang itu, tangan Sarmapala
yang semula terentang, riba-riba bergerak
cepat mengarahkan pedangnya dari bawah ke atas. "Akh" pekik Rakawigirang terkejut Rakawigirang
tidak mungkin menarik senjatanya lagi. Dengan bebas
Sarmapala memapak Dua senjata tombak
pendek bermata cabang tiga itu pun
terpental ke udara. Belum lagi hilang rasa kagetnya,
secepat kilat Sarmapala membuat setengah putaran pada pedangnya. Dan....
"Aaaa...!"
Rakawigirang menjerit melengking Ujung pedang Sarmapala berhasil
menembus tepat dada Rakawigirang
hingga tembus ke punggung. Sambil
mendengus, Sarmapala mengayunkan kakinya menendang tubuh lawan yang
telah tertembus pedang. Rakawigirang
pun terlontar ke belakang bersamaan
dengan tertariknya pedang keluar dari
tubuhnya. Darah segar menyembur dari
tubuh Rakawigirang.
Rakawigirang menggeletak tidak bernyawa lagi. Sarmapala berdiri tegak
menatap tubuh lawannya yang telah
menjadi mayat. Setelah membersihkan
mata pedang dari noda darah, dimasukkannya pedang itu ke sarungnya
di punggung. * * * 4 Sarmapala melangkah ringan. Matanya mengamati ke sekeliling. Dia
tahu benar kalau di sekitarnya bersembunyi tokoh-tokoh rimba persilatan
baik dari golongan hitam maupun putih.
Dan tentunya mereka telah menyaksikan
pertarungan tadi. Tapi sepertinya Sarmapala tidak peduli. Langkahnya terus
terayun menuju ke Goa Larangan.
Tetapi bani saja kakinya melangkah
sekitar tiga tombak, tiba-tiba di depannya meluncur sebuah bayangan berwarna
hijau, yang kemudian berhenti di depannya. Ternyata bayangan itu adalah
Klabang Hijau yang telah berdiri angker
dengan sikap menantang.
"Belum saatnya kau melangkah ke
sana, anak setan," kata Klabang Hijau dingin.
"Hm, rupanya Klabang Hijau masih
juga penasaran," gumam Sarmapala.
"Aku belum puas kalau belum
mematahkan lehermu!"
"Silakan kalau kau mampu."
"Bersiaplah untuk mati, anak setan!
Arwah cucuku yang kau nodai belum
puas kalau kau belum mampus di
tanganku!"
Setelah berkata demikian, Klabang
Hijau segera mengerahkan aji 'Kala Wisa'.
Sarmapala yakin kalau lawannya kali ini
tidak main-main lagi untuk menggunakan
kesaktiannya. Makanya dia pun tidak
menganggap remeh, segera disiapkan aji
'Guntur Geni', ajian yang cukup dahsyat.
Dua orang memiliki persoalan pribadi sudah siap-siap dengan ilmu
kesaktian masing-masing. Dan sebenarnya
Klabang Hijau ke Bukit Batok ini hanya
untuk menemui Sarmapala. Klabang Hijau
tahu betul kalau manusia satu ini sangat
gila akan benda-benda pusaka yang
memiliki kekuatan tinggi. Selain itu,
Sarmapala juga gemar mempelajari ilmu-
ilmu kesaktian. Tidak heran kalau dia
selalu meninggalkan tugas-tugasnya sebagai kepala pasukan kerajaan hanya
karena ingin memenuhi ambisinya.
Klabang Hijau tidak pernah tertarik
dengan Cupu Manik Tunjung Biru. Dia
tahu kalau benda pusaka itu milik Eyang
Resi Suralaga yang mangkat beberapa
tahun lalu. Klabang Hijau pun tahu kalau
mendiang tokoh tua itu memiliki cucu
perempuan dan seorang murid laki-laki
yang diangkat menjadi cucunya. Jadi
sudah pasti kalau Cupu Manik Tunjung
Biru harus jatuh ketangan cucu-cucunya
sebagai pewaris yang sah.
"Aji 'Kala Wisa'!"
"Aji 'Guntur Geni'!"
Dua teriakan keras terdengar hampir
bersamaan waktunya, disusul dengan
melesatnya dua tubuh lengkap dengan
kesaktian masing-masing. Klabang Hijau
meluncur deras dengan kedua telapak
tangan terbuka ke depan. Sedangkan
Sarmapala melompat dengan kedua tangan terkepal ke depan. Hingga pada
satu titik di udara, dua pasang tangan
bertemu. Biar! Ledakan keras terjadi diikuti berpencarnya bunga api yang berwarna-
warni ke segala arah. Dia bergulingan
beberapa tombak.
Sementara itu Sarmapala tidak kalah
jauhnya terpental. Punggungnya sampai
menghantam sebuah batu besar hingga
hancur berkeping-keping. Debu mengepul
dari batu yang hancur itu. Sarmapala
menggeletak di antara batu-batuan yang
berserakan terlanggar tubuhnya. Dari
mulut, hidung, dan telinga keluar darah
kental kehitaman. Pelan-pelan dia berusaha bangkit berdiri. Tetapi baru saja bangun sedikit, dari mulutnya kembali
memuntahkan darah kental kehitaman.
Sarmapala berusaha duduk, dan segera
mengambil sikap bersemedi.


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lain halnya dengan Klabang Hijau.
Setelah bergulingan di tanah beberapa
kali, dengan cepat dia langsung mengambil posisi bersemedi. Dari sudut
bibirnya juga mengalir darah kental
kehitaman. Namun keadaannya tidak
separah Sarmapala.
Dengan menyalurkan hawa mumi ke
seluruh tubuh, tidak lama kemudian
tenaga Klabang Hijau telah pulih kembali.
Masih dalam posisi bersila, tubuhnya
terangkat naik dan bergerak ke depan
menghampiri Sarmapala yang telah membuka matanya.
"Edan!" dengus Sarmapala ketika
lawannya sudah kembali menyerang
dengan posisi bersila.
Dengan cepat ditarik tangan kirinya
ke atas, lalu perlahan-lahan turun, tangan kanannya menyilang di dada dengan
telapak tangan terbuka. Perlahan-lahan
tubuhnya juga terangkat naik.
Wush! Klabang Hijau mengebut dua tangannya ke depan ketika jaraknya
dengan Sarmapala sudah dekat. Dan
bersamaan dengan itu, Sarmapala mendorong dua telapak tangannya ke
depan. Kembali dua pasang telapak
tangan bertema Namun kali ini tidak
diiring dengan ledakan. Mereka sama-
sama mendorong rapat Tubuh mereka
juga berada sejauh batang anak panah di
atas tanah. Perubahan mulai terlihat pada wajah
kedua orang itu. Tegang sekali. Asap putih mengepul dari telapak tangan yang
menyatu rapat. Dua tubuh yang masih
mengambang di atas tanah itu perlahan-
lahan bergerak berputar. Semakin lama
putaran itu semakin cepat. Yang terlihat
kini hanya berupa bayangan berputar
pada satu titik.
"Aaaa...!" tiba-tiba terdengar teriakan memilukan.
Sejurus kemudian, tampak satu
tubuh terpental dari lingkaran yang
berputar cepat. Ternyata itu adalah tubuh
Sarmapala. Dia menggelepar-gelepar
sebentar, lalu diam tak bergerak lagi.
Seluruh tubuhnya hangus bagai terbakar.
Sementara Klabang Hijau telah duduk di tanah masih dengan sikap
bersemedi. Kedua tangannya menyatu
rapat di depan dada. Terlihat dari
pergelangan tangan hingga telapak berwarna merah bagai darah. Agak lama
dia bersemedi, sampai berangsur-angsur
warna merah di tangannya memudar, dan
hilang sana sekali. Klabang Hijau membuka matanya, lalu menarik napas
dalam-dalam sebentar, dan bangkit berdiri. Matanya sempat melihat mayat
Sarmapala yang hangus menggeletak di
tanah."Sungguh hebat aji 'Guntur Geri',"
gumam Klabang Hijau memuji kesaktian
lawannya yang telah tewas.
* * * Malam baru saja menjelang. Udara
dingin menyelimuti seluruh puncak Bukit
Batok. Kabut tebal datang bergulung-
gulung sedikit menghalangi pemandangan. Namun semua itu tidak
menghalangi tokoh-tokoh rimba persilatan
untuk tetap tinggal di sana. Sementara
lolongan anjing hutan semakin ramai
terdengar saling sambut. Beberapa ekor
bahkan telah menghampiri mayat-mayat
yang bergelimpangan di sekitar Goa La-
rangan. Pesta pora anjing-anjing liar itu tidak
luput dari perhatian Sepasang Walet
Merah yang masih berdiri di puncak
tertinggi bukit ini. Sepuluh tahun mereka
tinggal di Bukit Batok, setiap jengkal tanah dapat mereka hafal dengan baik.
Mereka dapat memandang dengan leluasa di
bawahnya hingga dapat tahu siapa-siapa
saja yang datang ke tempat itu dengan
tujuan yang sama, mencari Cupu Manik
Tunjung Biru. "Kematian yang sia-sia," gumam
Wulan lirih. "Hanya orang tolol yang membuang
nyawa percuma."
Sepasang Walet Merah terkejut mendengar suara yang datang tiba-tiba
dari belakang. Tampak seorang laki-laki
berpakaian kumuh berdiri dengan tangan
membawa guci arak. Wulan langsung
tersenyum mengetahui orang yang ada di
depannya itu. "Kau datang lagi, Gila Jubah Hitam?"
lembut suara Wulan.
"Ya. Aku datang untuk menyaksikan
orang-orang tolol memperebutkan pepesan kosong," sahut si Gila Jubah
Hitam. Kata-katanya belum lagi
hilang ditelan angin, wajah si Gila Jubah Hitam
kembali kelihatan murung. Matanya yang
cekung menatap Wulan sayu.
"Aku senang jika kalian tidak lagi
memanggilki dengan sebutan si Gila Jubah
Hitam," lirih suaranya
"Lantas, kami harus memanggilmu
apa?" tanya Jaka.
"Sebenarnya namaku Atmaya."
"Atmaya. ."!" hampir bersamaan Jaka dan Wulan berseru kaget
"Kenapa kalian kaget?" tanya si Gila Jubah Hitam atau Atmaya.
"Bagaimana mungkin kami tidak
kaget" Eyang Resi Suralaga sering menyebut-nyebut namamu," kata Jaka.
"Benar begitu?" tanya Atmaya tidak percaya.
"Kau lihat aku berbohong?" Jaka
malah balik bertanya.
"Bohong atau tidak, itu urusanmu.
Aku hanya ingin tahu si Suralaga bicara
apa saja tentang aku?"
"Kau jangan sembarangan menyebut
Eyang Resi dengan namanya saja!" dengus Wulan gusar. Dia tidak senang kakeknya
seperti tidak dihormati.
"He he he. ., rupanya kau tidak
senang aku menyebut namanya saja,"
Atmaya dapat mengetahui perasaan Wulan. "Kakek Atmaya, sebenarnya ada
hubungan apa antara kau dengan eyang
resi?" tanya Jaka mencoba mendinginkan suasana.
"Pertanyaanku belum dijawab, kau
sudah bertanya lagi!" Atmaya seolah-olah bersungut kesal.
"Baiklah," Jaka mengalah. "Eyang resi sering menyebut namamu, tapi beliau
tidak pernah bercerita tentang dirimu
yang sebenarnya. Beliau hanya beri pesan
agar kami mencarimu setelah penyelesaian
dan penyempurnaan semua ilmu."
"Untuk apa dia menyuruh kalian
mencariku?" tanya Atmaya.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Jaka.
Atmaya memandang Wulan.
"Aku tahu, tapi jawab dulu pertanyaan Kakang Jaka," kata Wulan
mengerti arti pandangan Atmaya.
"He he he.. , kau memang mirip
dengan ibumu. Cantik dan cerdik!"
Atmaya terkekeh.
"Kau tahu ibuku?" Wulan kaget
campur penasaran.
Memang tidak pernah disangka kalau
Atmaya atau si Gila Jubah Hitam tahu
banyak tentang diri Wulan. Tentu saja
gadis ini makin penasaran ingin mengetahui orang tua ini sebenarnya.
Tampaknya dia tahu banyak tentang
Eyang Resi Suralaga dan dirinya.
"Aku tahu siapa ibumu. Wanita
cantik, cerdas, dan pandai dalam segala
hal. Tidak heran kalau banyak pemuda
yang ingin mempersuntingnya," Atmaya
seperti sedang mengenang masa lalu.
Wulan semakin heran dengan kebenaran ucapan Atmaya. Meskipun
ibunya meninggal ketika dia berusia tiga
tahun, tapi Wulan kenal betul dengan
ibunya. Ibunya meninggal karena menjadi
korban musuh-musuh suaminya. Malang
sekali nasibnya. Wulan tidak menyalahkan
ayahnya yang memang seorang pendekar.
Pendekar mana pun pasti punya banyak
musuh, "Sayang aku terlambat datang waktu
itu. Aku hanya mendapatkan ibumu telah
meninggal. Sedangkan kau sendiri dibawa
Suralaga ke Bukit Batok ini. Aku tidak
dapat berbuat apa-apa
lagi karena memang dia lebih berhak merawatmu
daripada aku," lanjut Atmaya.
"Siapa kau sebenarnya?"
tanya Wulan. Suara terdengar bergetar.
"Meskipun Suralaga lebih tua umurnya dari aku, tapi dalam urutan
keluarga dia adik misanku," lanjut Atmaya
"Jadi.. ," Wulan tidak bisa berkata-kata lagi. pandangnya laki-laki yang


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri di depannya setengah tidak
percaya. "Ya. Kau adalah cucuku, Wulan."
"Kakek...!"
Wulan langsung menubruk Atmaya
dan memeluknya. Tidak dapat lagi
ditahannya air mata haru. Sedangkan
Atmaya tampak berkaca-kaca matanya.
Bagi Wulan pertemuan itu benar-benar
mengharukan dan tiba-tiba sekali. Jaka
hanya dapat menatap dengan pandangan
kosong, seperti sedang mimpi saja.
Cukup lama mereka saling berpelukan menumpahkan rasa. yang
terpendam dalam dada Pelan-pelan Atmaya melepaskan pelukan gadis itu.
Matanya masih berkaca-kaca memandang
wajah Wulan yang bersimbah air mata.
Dengan tangan bergetar, diusapnya air
mata di wajah gadis itu.
"Kenapa baru sekarang kakek datang
ke sini?" tanya Wulan setelah tenang
kembali. "Aku sudah janji pada Suralaga untuk
tidak menganggumu," sahut Atmaya.
"Menggangguku"
Apa maksud kakek?" tanya Wulan tidak mengerti.
"Semua peristiwa menyedihkan itu
berawal dari ulahku. Aku telah menyebar
kabar yang sebenarnya sangat rahasia.
Aku menyesal dan merasa berdosa. Ketika
aku berniat merawatmu, Suralaga tidak
mengijinkan. Tapi aku berjanji akan
datang lagi sampai kau selesai mewarisi
seluruh ilmu-ilmu Suralaga Aku hanya
bisa memberimu rahasia tentang cupu."
"Rahasia tentang cupu" Lalu, rahasia
yang kakek sebar?" tanya Jaka.
"Ya mengenai cupu itu," sahut
Atmaya. "Cupu" Maksud kakek, Cupu Manik
Tunjung Biru?" desak Jaka lagi.
"Benar. Cupu itu sebenarnya ada
padaku dan kusimpan di suatu tempat.
Tapi aku mengatakan kalau benda itu
dipegang ayahmu," sahut Atmaya meman-
dang Wulan. "Kenapa kakek berbuat demikian?"
tanya Wulan sedikit menyesalkan.
"Aku sakit hati pada ayahmu. Beliau
telah membuatku malu di depan keluarga
sehingga aku diusir dari keluarga besar,"
sebentar Atmaya terdiam. Setelah menarik
napas panjang, dilanjutkannya lagi. "Sebenarnya memang salahku juga. Aku
mencuri pedang pusaka miliknya dan
kusembunyikan. Ternyata perbuatanku
dilihat oleh si Suralaga. Aku ditantang
oleh ayahmu. Kami lalu bertarung dan aku
kalah. Tapi itu tidak berarti pedang
pusakanya kukembalikan. Setelah aku
mengabarkan kabar bohong tentang cupu
itu pada orang-orang, baru aku sadar
bahwa jiwa ayahmu terancam oleh orang-
orang yang gila benda pusaka. Aku pun
berniat akan mengembalikan pedang milik
ayahmu, tapi terlambat"
Beberapa saat kemudian keadaan
menjadi sunyi. Pundak Atmaya berguncang-guncang menahan isak tangis
penyesalan. "Kalau saja pedang itu kukembalikan
pada ayahmu tentu dia tidak akan
terbunuh,"
kata Atmaya lagi. "Ah, sudahlah. Semuanya telah berlalu. Semua
sudah takdir Yang Maha Kuasa, Kek,"
lembut suara Wulan.
"Kau tidak dendam padaku, Wulan?"
Atmaya memandang sayu pada Wulan.
"Untuk apa" Tinggal kau satu-
satunya kakekku sekarang. Lagi pula
semua yang telah terjadi tidak perlu
dijadikan dendam yang tidak akan pernah
berkesudahan."
Atmaya tidak dapat menahan harunya. Langsung dipeluknya Wulan
dengan perasaan haru yang dalam. Betapa
besar jiwa gadis ini. Setelah pelukan itu
lepas, Wulan mengajak Atmaya dan Jaka
duduk di bawah pohon. Mereka duduk
melingkar tanpa membuat api unggun.
Padahal udara di puncak Bukit Batok
dingin menusuk pada malam hari. Tapi
buat tokoh rimba persilatan seperti
mereka, dengan mudah saja mengusir
hawa dingin lewat penyaluran hawa
murni ke seluruh tubuh.
"Aku tidak menyangka kalau mereka
masih menginginkan Cupu Manik Tunjung Biru," kata Atmaya agak bergumam setelah lama terdiam.
"Sebenarnya apa sih istimewanya
cupu itu, Kek?" tanya Wulan.
Atmaya menatap Wulan dan Jaka
bergantian. Bibirnya tersungging senyuman. Wulan heran jugal melihat
wajah kakek itu mendadak jadi cerah lagi.
Memang aneh si Gila Jubah Hitam ini,
sehingga orang yang diajak bicara sering
kali mengerutkan kening.
"Kakek akan menjelaskannya,
bukan?" desak Jaka.
"Apa Suralaga tidak pernah memberitahu kalian berdua?" Atmaya
balik bertanya.
Sepasang Walet Merah menggeleng
bersamaan. "Edan! Rupanya dia lebih gila
daripada aku!" rungut Atmaya.
Lagi-lagi Wulan dan Jaka saling
berpandangan. Sulit sekali memperoleh
keterangan dari laki-laki aneh ini. Persoalan yang dibicarakan, selalu saja
dibolak-balik. Ada rahasia apa yang
sebenarnya dibalik Cupu Manik Tunjung
Biru, sehingga tokoh-tokoh rimba persilatan nekad mengadu nyawa untuk
memperebutkannya"
* * * Malam terus merambat bertambah
larut. Suasana puncak Bukit Batok
sebenarnya sunyi senyap. Tapi seakan-
akan suara anjing-anjing liar yang berpesta menikmati mayat-mayat di sekitar Goa
Larangan, terus merusak suasana itu.
Angin yang berhembus agak kencang,
menyebarkan bau anyir darah. Mencekam
sekali seperti mengandung hawa kemahan. Wulan masih tetap duduk bersimpuh
di depan Atmaya. Jaka yang duduk di
samping gadis itu, tidak berkedip mengamati Atmaya. Wajah laki-laki yang
diam membisu itu, seperti tengah memikirkan sesuatu. Desahan napasnya
terdengar keras dan tiba-tiba. Kemudian
perlahan-lahan kepalanya terangkat mene-
ngadah. Secara mendadak digelengkan
kepalanya sambil menyemburkan ludah
dengan keras. "Akh!"
Seketika itu juga Sepasang Walet
Merah terkejut mendengar keluhan tertahan, disusul dengan suara benda
berat jatuh ke semak-semak. Jaka segera
melompat ke arah datangnya suara
keluhan pendek tadi
"Bawa dia ke sini!" seru Atmaya berat penuh wibawa.
Jaka yang belum hilang rasa terkejutnya, mendapatkan seorang laki-
laki muda terkapar di semak-semak Segera
diseretnya tubuh orang itu ke depan
Atmaya. Kelihatannya orang itu masih
bernapas, dengan setemplokan ludah
kental menempel di keningnya Rupanya
semburan ludah Atmaya tadi disertai
pengerahan tenaga dalam. Sungguh luar
biasa, Atmaya Dia cepat tahu kalau di
sekitar sini ada orang yang mengintai.
Padahal Sepasang Walet Merah tidak
mendengar apa-apa tadi.
"Bangun!" dengus Atmaya sambil
mengetuk jidat orang yang terkapar di
depannya. Seketika itu juga orang itu bangun.
Tiba-tiba saja ludah yang menempel di
jidat orang itu langsung hilang, dan
lengket menepel di ujung ranting kering
yang dipegang Atmaya. Aneh.
"Ampun, Ki, jangan bunuh aku," kata orang itu segera berlutut di depan Atmaya
"Siapa yang menyuruhmu memata-
mataiku?" tanya Atmaya dingin suaranya Jaka memperhatikan laki-laki yang
kelihatan masih muda dan sebaya dengan
dirinya. Dia sendiri heran dengan sikap
orang itu yang seperti ketakutan di depan
Atmaya. Padahal, kalau dilihat dari cara
mengintip tadi, sepertinya dia memiliki
kepandaian yang lumayan. Sampai-

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai sepasang Walet Merah tidak me-
ngetahui kehadirannya
"Kau datang ke sini bersama gurumu,
heh?" tegas dan berat suara Atmaya.
"I.. , akh!"
Belum lagi orang itu mengucapkan
satu kata, tiba-tiba tubuhnya terjungkal. Di keningnya menancap sebuah paku
emas. Wulan dan Jaka serentak melompat dan
bersiaga dengan tombak pendek bermata
dua pada ujung-ujungnya. Sedangkan
Atmaya masih tetap duduk bersila di
tempatnya. Dia seperti tidak terpengaruh
sama sekali. "Paku Emas.. ," gumam Atmaya
dengan mata menatap lurus pada paku
emas yang tertancap pada kening orang
itu. Sret! Sret!
Dua kilatan sinar kuning melesat
cepat ke arah Atmaya. Dengan sigap,
digerakkan tangan kanannya. Dan...
Tap! Tap! Seketika itu di jari-jari tangan Atmaya
sudah terselip dua batang paku emas
Secepat kilat Atmaya menggerakkan
tangannya, dan kembali sinar kuning
melesat ke arah yang berlawanan menuju
serangan gelap tadi.
"Aaaakh.. !"
Terdengar dua kali teriakan kesakitan
saling susul. Kemudian terlihat dua sosok
tubuh terguling, tersuruk dari semak-
semak. Masing-masing keningnya tertan-
cap sebuah paku emas.
"Hm. ., hanya cunguk busuk!" gumam Atmaya agak mendengus.
"Siapa mereka, Kakang?" tanya Wulan. "Orang-orang partai Paku Emas,"
jawab Jaka setengah berbisik
"Kau tahu mereka?"
"Ya. Dari senjata yang digunakan.
Eyang resi pernah cerita padaku tentang
partai itu."
Wulan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jika Eyang Resi Suralaga
menceritakan seseorang atau sebuah
partai, tentulah ada maksudnya. Paling
tidak mereka yang diceritakan punya
tingkatan kepandaian yang cukup tinggi
dan punya nama dalam rimba persilatan.
Ketika Wulan akan membuka mulutnya lagi tiba-tiba beberapa sinar
kuning kembali meluncur deras ke arah
mereka dan Atmaya. Jelas di sekitar sini
tidak hanya tiga orang saja dari partai
Paku Emas. Selain mereka yang telah
tewas tadi masih ada beberapa orang yang
mengintai. Bahkan kemungkinan guru
mereka juga hadir di sini.
Tring! Tring! Sepasang Walet Merah menangkis
serangan-serangan itu dengan memutar-
mutar tombak pendek senjata andalan
mereka. Paku-paku emas yang meng-
ancam jiwa, rontok di tengah jalan tersapu senjata Sepasang Walet Merah.
Sementara itu Atmaya hanya melompat-lompat berkelit menghindari
serangan beruntun yang datang bagai
hujan. Paku-paku itu datang saling susul
tidak hentinya mengancam tubuh si Gila
Jubah Hitam. "Hanya beginikah tikus-tikus yang
kau bawa, Jenggala?" Atmaya berkata
nyaring mengejek
Setelah berkata demikian, tangannya
bergerak cepat Dan tiba-tiba saja beberapa paku emas berbalik arah, disusul
dengan terdengar jerit kematian. Beberapa tubuh
terjungkal dari semak-semak dan balik
pohon. "Gunakan 'Sapuan Badai', Adik
Wulan!" seru Jaka ketika melihat Atmaya berhasil merobohkan beberapa orang lagi
dengan senjata lawannya pula.
"Baik, Kakang!" sahut Wulan. Seketika itu juga Sepasang Walet Merah
melompat dan berpegangan tangan. Tombak mereka berputar bagai baling-
baling. Bagai terjadi angin topan saja,
paku-paku yang berkelebatan mengancam
jiwa mereka tertiup keras dan berbalik
arah mengarah ke pemiliknya. Kembali
terdengar jerit melengking disusul dengan
robohnya beberapa orang dari semak-
semak. Senjata makan tuan.
Deru angin dari ajian Sepasang Walet
Merah terus bekerja dan semakin dahsyat
Pohon-pohon kecil mulai melayang tercabut sampai ke akar-akarnya. Batu-
batu kerikil berterbangan tersapu angin
dari jurus 'Sapuan Badai' milik Sepasang
Walet Merah. Bahkan kini pohon-pohon
besar mulai tumbang. Kembali jerit
kematian dan kepanikan yang menyayat
"He he he..., bagus, bagus!" Atmaya terkekeh gembira.
Dengan sikap tenang dia berdiri
sambil melipat tangannya di dada.
Sepertinya tidak terpengaruh sama sekali
dengan jurus 'Sapuan Badai' Suara Atmaya
terdengar terus terkekeh. Gilanya seperti
kumat lagi Namun angin badai tidak bertahan
lama ketika tiba-tiba saja dua berkas sinar kuning berhasil menembus badai
buatan itu. Dua sinar kuning itu mengarah deras
ke kepala Sepasang Walet Merah.
"Awas, Kakang!" teriak Wulan langsung melompat sambil melepaskan
pegangan tangannya pada Jaka.
Seketika itu juga Jaka melompat ke
arah yang berlawanan. Dua sinar kuning
meluruk cepat mengenai sasaran kosong
dan hanya menghantam sebuah pohon
besar. Terdengar suara ledakan yang
dahsyat. Ternyata berasal dari pohon yang
hancur berkeping-keping dihantam dua
sinar kuning tadi.
"Tidak percuma kalian menguras
ilmu si tua bangka Suralaga. Sayang,
kalian harus lebih banyak membuka mata
dan telinga," terdengar suara menggema yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Sepasang Walet Merah kembali
melompat dan berdiri berdampingan.
Mata mereka melayang mengamati ke
sekitarnya yang gelap diselimuti kabut
tebal. Suara itu seperti datang dari segala arah. Jelas, sumber suara itu milik
orang yang cukup tinggi ilmunya. Dia dapat
memperdengarkan suara tanpa diketahui
di mana orangnya. Sepasang Walet Merah
memang telah menyadari sejak semula
kalau yang datang ke Bukit Batok adalah
orang-orang yang berilmu cukup tinggi.
"Muncullah, Jenggala. Aku tidak suka
main petak umpet macam anak kecil!" seru Atmaya atau si Gila Jubah Hitam.
Suaranya pun dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup
sempurna. "Ha ha ha...!" kembali terdengar suara. Kali ini suara tawa keras disertai
pengerahan tenaga dalam yang kuat.
Suara itu terdengar menggelegar dan
menyakitkan telinga.
Saat setelah suara tawa itu berhenti,
dari sebuah batu besar muncul sesosok
tubuh berpakaian serba kuning yang ketat.
Pada bagian dadanya tersulam gambar
sebuah paku dari benang emas yang
indah. Dia berambut panjang yang
digulung ke atas. Beberapa helai dibiarkan meriap sampai bahu.
Wulan agak tersekat juga ketika
melihat wajah orang itu. Tak disangka
sama sekali kalau wajah itu begitu tampan
dengan kulit putih bersih. Dua bola
matanya bening bagai bayi baru lahir.
Bibirnya merah seperti bibir seorang gadis, dengan senyum tersungging. Tubuhnya
pun ramping, namun
"Dia kah yang bernama Jenggala?"
Wulan bertanya dalam hati.
* * * 119 Jenggala. Wajah yang tampan itu
tenang saja berdiri sekitar lima tombak di depan mereka. Sungguh tidak sesuai
sekali dengan namanya. Wulan dibuat tak
berkedip menatap laki-laki muda itu. Pikir Wulan, nama Jenggala adalah seorang
laki-laki tua renta dengan wajah yang
buruk. Ternyata dugaannya meleset Yang
berdiri di depannya adalah seorang pe-
muda dengan pandangan mata mempesona serta senyum memikat setiap
gadis yang meliriknya.
"Oh!" Wulan tersentak ketika Jaka menyenggol sikunya dengan keras.
"Jangan terpesona dengan ketampanannya,"
bisik Jaka sambil menekan suaranya.
Seketika wajah Wulan memerah.
Malu. Ternyata sejak tadi Jaka memperhatikannya Wulan jadi salah
tingkah setelah kepergok tengah mengagumi ketampanan seorang pria.
Apalagi suara Jaka tadi seperti ditekan
dengan maksud mengingatkan Wulan
agar jangan terlalu terbawa perasaannya
sendiri. "Jenggala, apa maksudmu datang ke
sini?" tanya Atmaya setelah lama saling berdiam diri.
"Huh! Kau sendiri, ada apa muncul di
sini?" Jenggala balas bertanya tanpa
menjawab. "Urusanku di sini tidak ada sangkut
pautnya denganmu!" dengus Atmaya
"Kalau begitu, menyingkirlah! Aku
ada perlu sedikit dengan Sepasang Walet
Merah!" "Kutu busuk! Pongah

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali lagakmu!" rungut Atmaya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan
kesal."Mungkin aku pongah, tapi tidak bejat sepertimu!" sinis suara Jenggala.
Sambil menggeram berat, si Gila
Jubah Hitam langsung menggerakkan
tangan kanannya. Dengan seketika dari
telapak tangannya yang terbuka, meluncur
seberkas sinar merah ke arah Jenggala. Si
Gila Jubah Hitam rupanya tidak sungkan-
sungkan lagi mengerahkan kesaktiannya.
"Uts!" Jenggala melompat ke atas menghindari sinar merah yang meluncur
deras mengancam nyawanya.
Sinar merah itu terus meluncur, lalu
menghantam pohon di belakang Jenggala.
Akibatnya memang tidak langsung. Perlahan-lahan daun-daun pohon itu ber-
guguran. Pengaruh sinar merah itu terus
bekerja, sedikit demi sedikit mulai
kelihatan hasilnya. Batang pohon mulai
hangus seluruhnya, kemudian luruh
hancur jadi debu. Sungguh hebat ilmu
'Arang Geni' yang dilepaskan si Gila Jubah Hitam.
Tanpa memberi kesempatan, si Gila
Jubah Hitam segera menyerang kembali
lawannya yang masih berada di udara.
Mau tidak mau Jenggala bersalto di udara
menghindari sinar-sinar merah itu. Baru
saja kakinya sampai di tanah, kembali dia
harus melesat ke udara sambil jungkir
balik beberapa kali. Sinar-sinar merah itu terus mengancam jiwanya.
"Setan!" umpat Jenggala geram.
Seketika itu juga dilontarkan paku-
paku emas andalannya ke arah si Gila
Jubah Hitam atau Atmaya. Kini gantian si
Gila Jubah Hitam yang harus jumpalitan
menghindari paku-paku emas, sambil
melancarkan ajian 'Arang Geni'. Sinar-
sinar merah dan kuning saling berkelebat
di tengah kegelapan malam yang pekat
oleh selimut kabut tebal.
Sepasang Walet Merah hanya terpaku
saja melihat pemandangan yang indah
namun mengancam nyawa itu. Sinar-sinar
merah dan kuning yang berseliweran itu
kadang-kadang berbenturan hingga nienimbulkan percikan bunga-bunga api
berwarna kebiru-biruan.
Sedikit demi sedikit jarak mereka
makin dekat saja. Namun sinar-sinar yang
indah tapi mengandung maut itu semakin
jarang terlihat. Selanjutnya yang terlihat hanya kelebatan-kelebatan dua tubuh
yang saling balas menyerang mempergunakan jurus-jurus silat yang
cukup tinggi. "Tampaknya pertarungan ini akan
berjalan lama," gumam Jaka seperti bicara sendiri.
"Kau menyangka begitu, Kakang?"
tanya Wulan tanpa mengalihkan pandangannya pada pertarungan itu.
"Ya. Mereka tokoh-tokoh sakti yang
sudah cukup punya nama dalam rimba
persilatan. Aku yakin tingkat kepandaian
mereka seimbang," sahut Jaka sambil
menjatuhkan diri, duduk di rerumputan.
Wulan menoleh sebentar, lalu ikut
duduk di samping Jaka. Kembali pandangan terarah pada pertarungan itu.
Bagi Wulan dan Jaka ini adalah kesem-
patan buat mereka menyaksikan pertarungan dua tokoh sakti yang sudah
cukup punya nama dengan jurus-jurus
silat cukup tinggi. Tiba-tiba Wulan
tersentak ketika Atmaya merubah jurusnya. "Kakang, bukankah itu jurus 'Kelelawar Sakti'," tanya Wulan disela-sela keterkejutannya.
"Benar. Rupanya Kakek Atmaya dan
Eyang Suralaga memiliki ilmu yang sama,"
sahut Jaka yang juga mengenali jurus itu.
"Sungguh dahsyat jurus 'Kelelawar
Sakti', sayang eyang resi tidak mengajarkannya padaku," gumam Wulan.
"Kau sudah memiliki padanannya,
Wulan," kata Jaka menangkap nada
kekecewaan pada Wulan.
"Tapi, apakah jurus 'Pukulan Batara
Karang" sehebat dan sedahsyat jurus
'Kelelawar Sakti'?"
"Dua jurus itu memiliki kehebatan
dan kelemahan sendiri-sendiri. Tapi jika
keduanya dipadukan dengan satu kerjasama yang serasi, sangat sulit dicari tandingannya," Jaka menjelaskan.
"Kalau begitu, Eyang Resi pasti
menurunkan jurus 'Kelelawar Sakti' padamu?" tanya Wulan.
"Benar," sahut Jaka
"Kenapa kita tidak berlatih kerjasamanya, Kakang?"
"Tanpa berlatih pun, jika kita gunakan secara bersama-sama sudah
merupakan satu kesatuan jurus yang
ampuh." Wulan menganggguk-anggukan
kepalanya. Namun dalam hati masih
belum mengerti dengan sikap eyang resi
yang tidak pernah bercerita tentang
kedahsyatan jurus-jurus yang dipelajarinya bila dipadukan dengan
jurus-jurus yang dimiliki Jaka. Memang
dalam beberapa jurus, mereka dapat
bekerjasama secara kompak. Tapi sepertinya masih banyak yang belum
diketahui Wulan. Sedangkan Jaka seperti
tahu banyak tentang jurus-jurus yang
diberikan Eyang Resi Suralaga.
Apakah Eyang Resi hanya memilih
Jaka untuk mengetahui banyak tentang
jurus-jurus itu" Kalau memang demikian,
berarti Eyang Resi Suralaga bersikap pilih kasih! Memberikan teka-teki padanya,
tapi kuncinya diberikan kepada Jaka. Sungguh
tidak adil! Benak Wulan terus berkecamuk.
Sementara itu pertarungan antara
Atmaya dan Jenggala terus berlangsung
semakin seru. Dua puluh jurus telah
berlalu dengan cepat, tapi belum ada
tanda-tanda yang terdesak. Kelihatannya
mereka masih seimbang, entah sampai
berapa jurus lagi. Sepasang Walet Merah
tidak berkedip mengamati setiap gerakan
juris yang mereka keluarkan.
Walaupun mata Wulan tertuju pada
pertarungan itu, tapi benaknya teras
bertanya-tanya tentang sikap Eyang Resi
Suralaga yang dirasanya tidak adil
* * * Ketika lewat lima puluh jurus,
mendadak Jenggala melompat mundur
sejauh lima lompatan katak. Keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Wajahnya
yang tampan kelihatan memerah. Dengus
napasnya memburu.
Sedangkan keadaan Atmaya tidak
jauh berbeda dengan, lawannya. Baju
kumal yang dikenakannya telah basah
oleh keringat. Garis-garis wajahnya terlihat menegang. Selama malang melintang di rimba persilatan, baru kali ini Atmaya mendapat lawan yang tangguh.
Kali ini dia benar-benar serius menghadapi lawannya hingga menghabiskan lima puluh jurus.
"Aku akui kau hebat Atmaya Tapi
belum cukup untuk memiliki Cupu Manik
Tunjung Biru," kata Jenggala dengan
tenang. "He he he..., cupu itu memang bukan
hakku, dan bukan pula hakmu," sahut
Atmaya terkekeh.
"Cupu itu milik semua orang, maka
aku berhak pula memilikinya!" dengus
Jenggala. "Aku yakin, kau tidak bisa menggunakannya," sinis penuh ejekan
suara Atmaya. Jenggala hanya mendengus saja.
Memang secara jujur, dia belum tahu
kegunaan cupu itu. Tapi dari kabar yang
tersiar, di dalam cupu itu terukir tulisan tentang jurus-jurus sakti. Di dalam
cupu itu pun terdapat jantung Walet Merah
yang berkhasiat untuk menolak berbagai
racun yang terganas sekali pun. Secara
alamiah, tubuh orang yang memakan
jantung itu akan timbul hawa murni secara
terus menerus dan teratur. Tidak mustahil
kekuatan tenaga dalam akan berlipat
ganda. Goresan tulisan yang terdapat dalam
Cupu Manik Tunjung Biru adalah jurus-
jurus sakti Walet Merah. Semua yang
terdapat pada Cupu Manik Tunjung Biru
sebenarnya yang berhak memilikinya
hanya Sepasang Walet Merah. Jadi secara
langsung mereka adalah ahli waris dari
ilmu Walet Merah. Eyang Resi Suralaga


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri, dulu telah mempersiapkan jurus-
jurus dasar Walet Merah untuk Wulan dan
Jaka Untuk lebih menguasai dan menyempurnakan jurus-jurus itu, mereka
harus menemukannya pada Cupu Manik
Tunjang Biru. Jika kelak terlaksana, tidak mustahil
mereka menjadi sepasang pendekar yang tangguh dan sulit dicari
tandingannya. Sementara itu Jenggala telah bersiap-
siap dengan jurus andalannya. Kedua
kakinya terpentang lebar ke samping
Tangan kirinya terkepal ke atas, dan
tangan kanan terbuka di depan dada.
Atmaya paham betul kalau Jenggala
hendak mengeluarkan jurus 'Tapak Karang Waja'. "Aku tidak boleh main-main," Usik Atmaya dalam hati.
Segera saja digeser sebelah kaki
kanannya ke depan agak menyamping.
Kemudian kaki kirinya ditekuk sehingga
lututnya hampir menyentuh tanah. Sedangkan kedua tangannya terbuka
menyilang di dada.
"Jurus 'Naga Wisa'!" sentak Wulan mengenali
jurus yang diperagakan Atmaya. Memang yang diperagakan Atmaya
adalah jurus andalan yang sangat ampuh
dan berbahaya. Jari-jari tangannya membiru, mengandung racun yang me-
matikan. Lebih dahsyat lagi kalau seluruh
tubuh Atmaya telah timbul sisik-sisik
seperti seekor naga. Ini berarti dia telah sampai pada tingkat terakhir jurus
'Naga Wisa'.Apa yang dibayangkan Wulan
memang kenyataan. Seluruh tubuh Atmaya perlahan-lahan muncul sisik-sisik
yang berkilauan. Jari-jari tangan seluruhnya sudah membiru. Lebih menakutkan lagi, kedua bola mata Atmaya
merah menyala bagai bola api yang siap
membakar apa saja. Bahkan dari mulutnya
menjulur lidah yang bercabang.
"Gawat!" Jenggala pasti mati!" desis Wulan.
Wulan tahu betul kehebatan jurus
'Naga Wisa' karena jurus itu pernah
dipelajarinya dari Eyang Resi Suralaga
meski belum sampai tingkat terakhir.
Gadis ini baru menguasai tingkat kelima.
Sedangkan jurus 'Naga Wisa' ada sepuluh
tingkatan. Gambaran mengenai jurus-jurus
selanjutnya itu, sudah diketahuinya karena Eyang Resi Suralaga sudah
memperlihatkan semuanya
"Kau cemas?" Jaka berbisik melihat Wulan seperti gelisah,
"Ah, tidak!" sahut Wulan gugup.
Cepat-cepat dia bersikap wajar.
Jaka semakin yakin kalau Wulan
sudah terpikat dengan ketampanan Jenggala. Memang tidak bisa dipungkiri
kalau sebenarnya Jaka cemburu, tapi dia
tidak bisa berbuat apa-apa. Hubungannya
dengan Wulan hanya sebatas seperti kakak
beradik saja, meskipun satu sama lain
telah sama-sama tahu kalau mereka
bukanlah saudara.
Kembali Sepasang Walet Merah
memusatkan perhatian pada kedua tokoh
yang sudah siap dengan jurus andalan
masing-masing. Atmaya kini berdiri tegak
dengan bola mata merah menyala mengarah pada Jenggala yang telah siap
dengan jurus 'Tapak Karang Waja'
"Aku tidak peduli setan apa yang
merasuk dalam tubuhmu, Atmaya," desis Jenggala. "Malam ini kau harus mampus oleh
'Tapak Karang Waja'!"
Selesai berkata, Jenggala langsung
menarik turun tangan kirinya. Dengan
satu teriakan keras, kakinya terangkat lalu dijejakkan ke tanah dengan kuat
Dalam sekejap saja, tubuh Jenggala sudah
meluncur deras ke arah Atmaya.
"Mampus kau, Atmaya!" teriak Jenggala lantang.
"Aaaargh...!" Atmaya menggeram
dahsyat Sungguh sangat sukar dipercaya,
Atmaya sedikit pun tidak merobah
posisinya. Dia tetap berdiri tegar walaupun Jenggala telah menyerang
dengan mengerahkan jurus andalannya
Dan pada detik selanjutnya..
Blarr!!! "Aaaargh...!"
"Aaaakh.. !"
Suara ledakan dahsyat saling susul
bersama jerit melengking dan geraman
keras ketika kedua telapak tangan Jenggala membentur dada Atmaya. Seketika dua tubuh terpental keras ke
belakang. Badan Jenggala membentur pohon
besar hingga hancur. Tidak berhenti di
situ, beberapa pohon tumbang terhantam
tubuh yang terus meluncur itu Luncuran
tubuh Jenggala baru berhenti ketika jatuh
bergulingan di tanah, lalu menghantam
batu sebesar kerbau hingga hancur
berantakan. Jenggala menggeletak dengan
darah kental keluar dari mulutnya.
"Kakek...!" jerit Wulan histeris.
Memang, nasib yang dialami si Gila
Jubah Hitam tidak jauh berbeda Tubuhnya
terpental jauh ke belakang membentur
dinding bukit cadas yang keras. Dinding
batu cadas itu hancur dan menimbulkan
getaran yang amat kuat bagai terjadi
gempa. Atmaya, atau si Gila Jubah Hitam
menggelatak di antara reruntuhan batu-
batu cadas. Dari mulut dan hidungnya
mengalir darah segar.
"Kakek...," rintih Wulan menghambur ke arah si Gila Jubah Hitam. Gadis Ini
semakin yakin kalau laki-laki itu memang
kakeknya. Jurus-jurus yang dimiliki sangat mirip dengan Eyang Resi Suralaga.
Ketika Wulan akan menubruk, tangan Atmaya bergerak lemah mencegah.
Wulan berhenti. Matanya menatap cemas
terhadap keadaan kakeknya. Seluruh
tubuh laki-laki itu penuh sisik keperakan.
Dadanya bergerak pelan dan tersengal. Di
dadanya juga terlihat ada tanda dua tapak
tangan berwarna merah kehitaman.
"Jangan dekat, Wulan. Kau belum
sempurna menguasai jurus 'Naga Wisa'.
Sangat berbahaya bagimu," lemah suara Atmaya.
"Kek. .," suara Wulan tersekat di tenggorokan.
"Cupu Manik Tunjung Biru milikmu
dan Jaka. Di dalamnya banyak tersimpan
jurus-jurus maut yang harus kalian kuasai
penuh sebagai Sepasang Walet Merah.
Dua jantung yang ada di dalamnya harus
kalian makan. Aku yakin, ketak kalian
akan menjadi sepasang pendekar yang
sulit dicari tandingannya," semakin lemah suara Atmaya. Sinar matanya pun
semakin redup. Wulan tak kuasa lagi membendung
air matanya. Sementara Jaka hanya berdiri
saja di samping gadis itu yang berlutut di sisi tubuh Atmaya
"Hanya satu pesanku, jadilah kalian
sepasang pendekar yang berada di jalan
lurus. Kalian tidak boleh berpisah satu
sama lain. Aku senang jika kalian
menurunkan ilmu pada anak cucu kalian,
juga cucu-cucu buyutku. Wulan..., kau
bersedia meluluskan permintaanku, juga
permintaan Suralaga?"
Mulut Wulan seperti terkunci. Dia
hanya memandang pada Jaka yang telah
berlutut juga. Memang sulit untuk
meluluskan permintaan terakhir itu. Di
antara mereka berdua sudah terjalin tali
persaudaraan yang erat. Hal ini sulit bagi Wulan yang telah menganggap Jaka
sebagai kakaknya. Entah bagi Jaka.
"Aku akan mati tersenyum jika kalian
mau berjanji," kata-kata Atmaya makin melemah. Beberapa kali dia terbatuk-batuk
dan diiringi dengan darah yang muncrat
dari mulutnya. Tidak ada pilihan lain bagi Wulan
kecuali mengangguk Jaka pun ikut
menganggukkan kepalan ketika Atmaya
memandang lemah kepadanya. Laki-laki
kumal itu tersenyum bahagia.
"Jika aku mati, timbuni saja dengan
batu-batu. Jangan kalian sentuh tubuhku.
Sangat berbahaya. Racun yang berada di
seluruh tubuhku akan mematikan kalian
seketika! Se... lamat. ., ting.. , gal!"
"Kek. .!"
Wulan tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Atmaya atau si Gila Jubah Hitam
telah menghembuskan napasnya yang
terakhir. Bibirnya menyungging senyum.
Sesaat keadaan menjadi sunyi lengang.
Bahu Wulan terguncang-guncang,
menangis terisak. Sedangkan Jaka hanya
tertunduk dengan hati terbalut duka dan
berbagai perasaan lainnya. Pesan terakhir
Atmaya sangat persis dengan pesan Eyang
Resi Suralaga sebelum meninggal.
"Jenggala, kubunuh kau!" geram
Wulan tiba-tiba!
"Wulan...!"
Jaka tidak bisa berbuat apa-apa lagi
untuk mencegah gadis itu yang tiba-tiba


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalap. Wulan telah melompat cepat sambil
menghunus tombak pendek bermata dua.
Ketika sampai di tubuh Jenggala, langsung
senjata andalannya berkelebat cepat.
Tetapi apa yang terjadi" Wulan
langsung mundur ketika ujung senjatanya
menyentuh jasad Jenggala. Hanya terkena
ujungnya saja, jasad itu segera hancur jadi debu. Benar-benar dahsyat jurus
'Naga Wisa'. Jasad Jenggala kini menjadi tepung
dalam seketika. Baru kali ini Wulan
menyaksikan keampuhan jurus 'Naga
Wisa' yang sesungguhnya.
"Wulan...."
Wulan menoleh. Matanya basah oleh
air bening yang merembang di kelopak
matanya yang bulat indah. Jaka mengambil senjata di tangan Wulan, dan
diselipkan di pinggang gadis itu. Pandangan matanya lembut lurus ke arah
bola mata Wulan. Sesaat mereka hanya
terdiam saling pandang.
"Sebaiknya kita kubur dulu jenazah
Kakek Atmaya," bisik Jaka lembut.
Wulan menoleh ke arah jasad
Atmaya. Hatinya sedih melihat satu-
satunya keluarga terakhir telah meninggal
dunia. Sepertinya baru sedetik mereka
bertemu. Dan kini harus berpisah untuk
selama-lamanya.
Maut kembali memisahkan Wulan dari orang-orang
yang dicintainya
* * * Pagi baru saja menjelang. Matahari
mengukir dirinya dengan sinar kemerahan
menyapu lembut mengusir kabut. Burung-
burung membangunkan teman-temannya
untuk mencari makan entah di mana. Di
samping tumpukkan batu, Wulan masih
berdiri mematung membayangkan kenangan-kenangan manis yang telah
dialaminya. Sedangkan Jaka masih setia
menunggu di samping gadis itu. Sudah
cukup lama mereka saling berdiam diri.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Wulan...," bisik Jaka tiba-tiba sambil menepuk pundak Wulan lembut.
Wulan mengangkat kepalanya dan
tersentak kaget. Tiba-tiba saja di depan
mereka telah duduk bersila seorang
pemuda berambut panjang. Laki-laki
muda itu hanya mengenakan rompi
dengan pedang bergagang kepala burung
tersampir di punggungnya. Dialah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti
juga mengangkat kepalanya pelan-pelan.
Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya
sekitar dua tombak lebih. Secara serentak, Sepasang
Walet Merah telah menggenggam tombaknya masing-masing
yang masih terselip di pinggang. Kehadiran Rangga yang tidak diketahui
sama sekali, membuat Sepasang Walet
Merah cepat waspada.
"Maaf, mungkin kehadiranku membuat kalian terkejut," kata Rangga lembut disertai senyum terkembang.
"Kau datang ke sini tentunya ingin
mencari Cupu Manik Tunjung Biru,
bukan?" Wulan langsung menuduh.
"Benda atau makanan itu?" tanya
Rangga sambil berdiri.
"Jangan berlagak bodoh!" sentak
Wulan sengit "Kehadiranmu tanpa kami ketahui
sudah menandakan kalau kau bukan
orang sembarangan. Tentunya maksud
dan tujuanmu sama seperti yang lain,"
ucap Jaka masih dapat bersikap sabar dan
lunak."Maaf," ucap Rangga sedikit hormat
"Aku di sini memang telah sejak malam tadi" "Nah, jelas sekarang! Kau mengintai
kami dan mengira kami menyimpan cupu
itu!" ucap Wulan ketus. "Ayo, Kakang.
Orang ini jelas-jelas menginginkan Cupu
Manik Tunjung Biru!"
"Tunggu, Wulan!" Jaka cepat-cepat mencegah tangan Wulan yang akan
menarik senjatanya.
"Apakah kehadiranku di sini mengganggu?" tanya Rangga.
"Maaf atas kekasaran sikap adikku,"
ucap Jaka sudah dapat menuai kalau
Rangga tidak bermaksud buruk. "Kalau
boleh tahu, siapa namamu dan bermaksud
apa datang ke Bukit Batok ini?"
"Namaku Rangga. Aku datang ke sini
secara kebetulan saja. Sebenarnya aku
hanya ingin lewat saja. Tetapi ketika aku
melihat begitu banyak orang dan mayat
bergelimpangan,
lalu aku singgah sebentar," Rangga menjelaskan secara
jujur. "Apa kedatanganku mengganggu?"
"Jangan percaya kata-katanya, Kakang!" kembali ketus suara Wulan.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar suara tanpa persahabatan itu.
Bisa dimakluminya sikap gadis cantik ini.
Semalam dia telah tahu permasalahannya
yang sedang terjadi. Itulah sebabnya,
mengapa tidak dilanjutkan perjalanannya.
Hati nuraninya merasa tergerak ingin
membantu sepasang anak muda yang
tengah dilanda bahaya ini.
Rangga sama sekali tidak menyalahkan sikap Wulan yang terlalu
emosi itu. Tapi Rangga kagum dengan
sikap Jaka yang lebih sabar dan tenang
dalam menghadapi persoalan. Benar-benar
sikap seorang ksatria sejati
Baru saja Rangga ingin membuka
mulutnya, tiba-tiba terdengar suara tawa
mengikik, yang disusul dengan kelebatan
bayangan Dan detik itu juga muncul
seorang perempuan tua berambut putih.
Pada bibir bagian atasnya terdapat luka
panjang sehingga giginya yang hitam
terlihat mencuat
"Nenek Sumbing," desis Jaka mengenali perempuan tua itu.
Wulan sedikit terkejut dengan kedatangan perempuan tua itu yang
secara tiba-tiba di Bukit Batok ini.
Memang telah diduga sebelumnya,
tapi tak disangka harus begini cepat
berhadapan dengan tokoh tua yang sulit
diukur tingkat kepandaiannya.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya,
tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua berpakaian serba hijau. Dari warna
pakaiannya, jelas kalau dia adalah
Klabang Hijau. Kemunculannya didasari
oleh rasa penasaran melihat Nenek
Sumbing yang telah berhasil meng-
gagalkan aji 'Kala Wisa' ketika Klabang
Hijau berhadapan dengan Sarmapala di
depan penginapan.
Klabang Hijau yang gemar mencari
lawan untuk mengadu kesaktian, seperti
merasa ditantang dengan kata-kata Nenek
Sumbing waktu itu. Makanya setelah
dilampiaskan dendamnya pada Sarmapala, dia tidak segera pergi. Ditunggu saat yang tepat untuk bertemu
nenek jelek ini. Dan inilah saat yang tepat ketika dia melihat Nenek Sumbing
muncul di Bukit Batok.
"He he he..., kita bertemu lagi, nenek usil," Klabang Hijau terkekeh.
"Huh! Aku tidak ada urusan denganmu!" dengus Nenek Sumbing.
"Siapa bilang" Kau telah berani
mencampuri urusanku, berarti kau sudah
berani menantangku!" jawab Klabang
Hijau. Nenek Sumbing segera teringat
kejadian di depan rumah penginapan.
Baru disadari kalau sikapnya telah
membuat persoalan baru bagi Klabang
Hijau. Dia tahu tabiat tokoh tua yang aneh ini. Kegemarannya adalah berkelana
hanya untuk mengukur tingkat kepandaiannya saja. Memang diakui,
sampai detik ini belum ada seorang pun
yang mampu mengalahkannya.
Klabang Hijau sendiri tidak peduli
dengan kemelut yang terjadi dalam rimba
persilatan. Baginya seorang lawan lebih
menarik perhatian daripada segala macam
tetek bengek persoalan dunia. Dia tidak
peduli dengan cupu yang tengah diperebutkan. Dia ke sini hanya ingin
bertarung dengan Nenek Sumbing. Itu
saja. Wataknya memang hampir sama
dengan si Gila Jubah Hitam. Dia tidak bisa dimasukkan dalam salah satu golongan.
"Sekarang aku menagih tantanganmu, Nenek Sumbing!" tegas
nada suara Klabang Hijau.
"Hh...!" Nenek Sumbing mendesah
panjang Sebenarnya, tidak ada setitik pun
niatan di hatinya untuk mencari perkara
dengan Klabang Hijau. Tapi sekarang
dihadapkan pada salah satu pilihan yang
amat sulit Terpaksa harus dihadapinya


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Klabang Hijau lebih dulu, dan menangguhkan mencari Cupu Manik
Tunjung Biru. * * * 6 Klabang Hijau memutar-mutar tongkatnya yang berwarna hijau. Tidak
pakai basa-basi lagi, segera dikeluarkannya jurus 'Tongkat Sakti Membelah Badai'. Putaran tongkat yang
cepat menimbulkan suara menderu. Hawa
panas mulai menyebar ke sekitarnya.
Semakin lama semakin menyengat
Sementara Nenek Sumbang masih
terdiri tegak menatap tajam putaran
tongkat itu. Tampaknya tidak gentar dan
terpengaruh oleh hawa panas yang
semakin menyengat. Padahal daun-daun
pepohonan di sekitarnya sampai berguguran hingga berwarna kuning
kering. "Jangan gunakan hawa murni," bisik Rangga.
Sepasang Walet Merah telah menyalurkan hawa murni menjadi terkejut
mendengarnya. Segera saja mereka hentikan penyaluran hawa murni itu.
"Ke sinilah. Pegang tanganku!" bisik Rangga lagi.
Jaka yang sejak semula sudah
menduga kalau Rangga tidak bermaksud
buruk, langsung menarik tangan Wulan
dan membawanya mendekati Rangga.
Cepat dipegangnya tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Seketika tubuh Jaka teraliri hawa dingin yang nyaman, sehingga
udara panas yang menyengat hilang
begitu saja. "Pegang tanganku, sebelum kau
terkena akibatnya!" perintah Rangga pada Wulan.
'Tidak apa-apa, Adik Wulan. Kau
akan selamat," lembut suara Jaka
Wulan masih kelihatan ragu-ragu.
Tapi udara panas kian menyengat kulit,
membuatnya harus melangkah juga ke
samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Lebih-lebih ketika melihat Jaka segar
setelah tangannya menggenggam tangan
Rangga Tiga orang itu akhirnya saling
berpegangan tangan. Sekejap saja hawa
panas yang menyengat di tubuh Wulan
berganti menjadi sejuk dan nyaman. Hati
Wulan kini malah menjadi malu sendiri
karena telah menyangka buruk pada
Rangga. Mendadak saja tangan Wulan
malah menjadi dingin karena digenggam
terus oleh seorang laki-laki tampan. Baru
kali ini tangannya digenggam sedemikian
rupa sehingga mendadak saja dadanya
berdetak keras tidak beraturan. Ganggaman seorang laki-laki tampan lagi
asing yang menggetarkan itu.
Selama hidupnya, laki-laki yang
dekat hanya Jaka. Tidak heran kalau dia
jadi salah tingkah ketika tangannya
digenggam laki-laki lain. Wulan bagaikan
sekuntum bunga yang belum pernah
terjamah oleh tangan iseng manusia. Dia
bagaikan bunga yang belum tahu bentuknya kumbang. Gadis itu pun
memejamkan matanya untuk menghilangkan segala macam perasaan
yang berkecamuk dalam dadanya.
Sementara itu Klabang Hijau semakin
hebat memutar tongkatnya. Putaran itu
membentuk sinar hijau yang melingkar
dan mengeluarkan kilat yang menyambar-
nyambar. Seperti bermata saja, ujung kilat itu menyambar tubuh Nenek Sumbing
Tentu saja hal ini membuat si nenek tua
berlompatan ke sana kemari, menghindari
sambaran kilat.
"Setan! Terima sabuk saktiku!" umpat Nenek
Sumbing merasa kewalahan menghadapi serangan Klabang Hijau.
Selesai dengan kata-katanya, Nenek
Sumbing melepaskan sabuk hitamnya.
Dengan seketika dikebutkan sabuk itu
beberapa kali. Suara menggelegar bagai
guntur terdengar memekakkan telinga.
Ujung sabuk hitam itu selalu menghalau
arah kilat yang menyambar ke arahnya.
"Hiya. .!" Nenek Sumbing tiba-tiba menjerit tinggi.
Seketika itu juga tubuhnya melesat
tinggi ke angkasa sambil berjungkir balik
tiga kali. Tubuh itu langsung meluncur
cepat ke bawah, tepat ke arah kepala
Klabang Hijau. Bersamaan dengan itu,
tangannya bergerak cepat mengecutkan
sabuk hitamnya.
Trak! Ujung sabuk menembus lingkaran
hijau yang menutupi seluruh tubuh
Klabang Hijau. Hal ini membuat serangan
Klabang Hijau menjadi berantakan. Dalam
sekejap lingkaran yang menyelimuti
tubuhnya buyar. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Nenek Sumbing. Dengan
cepat diayunkan kakinya ke arah dada
lawan. "Uts!"
Klabang Hijau langsung menyabet
kaki itu dengan tongkatnya. Namun
secepat kilat Nenek Sumbing menarik
kakinya. Dengan gerakan yang tak terduga
Nenek Sumbing mengebutkan sabuknya
ke kepala lawan. Untunglah Klabang
Hijau cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga ujung sabuk lewat di
depan mukanya Pertarungan terus berlangsung berganti-ganti jurus, saling sambung tanpa henti. Tampaknya dalam jurus-jurus
awal mereka masih kelihatan seimbang.
Pada saat yang sama, Jaka mengalihkan pandangannya ke Goa Larangan. Matanya tiba-tiba saja mendelik
ketika melihat lima orang sedang mendekati mulut goa.
"Wulan...," bisik Jaka.
"Aku sudah tahu. Ayo kita halangi,"
potong Wulan cepat.
Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang
Walet Merah Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur 2 Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 1
^