Pencarian

Geger Putri Istana 1

Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com/
GEGER PUTRI ISTANA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pros'
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit 1 Blarrr...! Guntur menggelegar memekakkan telinga,
yang diiringi oleh sambaran lidah petir membelah
angkasa, sehingga langit yang hitam tersaput
awan tebal menggumpal jadi terang. Titik-titik air
mulai jatuh merinai, menghantam bumi yang sea-
kan-akan beku. Angin bertiup begitu kencang,
membuat alam seakan benar-benar murka.
Klraaak! Lidah kilat kembali menyambar, disertai leda-
kan guntur yang begitu menggelegar bagai hendak
meruntuhkan seluruh alam ini. Kilatan cahaya
yang hanya sesaat itu menyinari sesosok tubuh
tegap yang melangkah mantap, menyusuri jalan
setapak yang penuh batu kerikil.
Sorot matanya begitu tajam, menatap lurus ke
depan. Kakinya terus terayun mantap sekali, me-
napaki batu-batu kerikil yang bertebaran di sepan-
jang jalan setapak ini. Sama sekali tidak dipeduli-
kan rintik air hujan yang semakin deras bagai
tumpah dari langit. Dia juga tidak peduli dengan
kilat yang semakin sering menyambar disertai le-
dakan guntur yang menggelegar memekakkan te-
linga. Ayunan kaki orang itu terhenti setelah sampai
di depan sebuah bangunan yang sangat tinggi dan
besar. Begitu sunyi, tak ada seorang pun yang ter-
lihat. Sorot matanya masih tetap tajam, meman-
dangi pintu yang berukuran sangat besar di de-
pannya. Perlahan-lahan kakinya melangkah kem-
bali, mendekati pintu dari kayu jati tebal dan be-
rukuran raksasa. Perlahan-lahan tangannya teru-
lur. Namun belum juga menyentuh pintu, tiba-tiba
saja.... Kriyeeet...!
Pintu itu bergerak terbuka sendiri, sebelum
tangan laki-laki muda berusia sekitar dua puluh
lima tahun itu menyentuhnya. Suara bergerit dari
pintu yang bergerak terbuka sendiri itu sangat
menggiris hati. Namun pemuda berwajah tampan,
dan bertubuh tegap berotot itu tetap tegar berdiri
di depan pintu yang kini sudah terbuka lebar.
"Hmmm...," dia menggumam perlahan.
Sebentar pemuda tampan itu masih berdiri,
kemudian perlahan-lahan kembali bergerak me-
langkah. Dia terus melangkah memasuki bangu-
nan yang sangat besar ukurannya ini. Sebuah
bangunan istana tua yang seluruhnya terbuat dari
batu. Bukan hanya dindingnya yang terbuat dari
batu, tapi atapnya pun dari batu. Dinding-dinding
batu itu memang sudah berlumut.
Brakkk! "Oh...!"
Pemuda itu jadi terkejut ketika tiba-tiba pintu
yang baru saja dilalui bergerak menutup sendiri.
Sehingga keadaan di dalam bangunan ini jadi ge-
lap gulita. Sedikit pun tak ada cahaya yang bisa
meneranginya. Dan pemuda itu berdiri tegak, tak
bergeming sedikit pun. Begitu sunyi di dalam ban-
gunan istana tua ini, sehingga detak jantungnya
sendiri sampai terdengar jelas sekali.
Sementara hujan yang sudah jatuh begitu de-
ras di luar sana, suaranya sama sekali tidak ter-
dengar dari dalam bangunan istana tua ini. Kem-
bali pemuda tampan berbaju rompi putih itu ter-
kejut, ketika tiba-tiba saja ruangan ini jadi terang benderang. Sebentar matanya
dikerjapkan, untuk
membiasakan dengan keadaan terang yang begitu
tiba-tiba. Kemudian, pandangannya beredar ke
sekeliling. "Hmmm..., tak ada apa-apa di sini. Kosong...,"
gumam pemuda itu berbicara sendiri.
Memang, ruangan berukuran sangat luas ini
kosong. Satu pun tak ada benda yang terlihat.
Atap ruangan ini tersangga empat buah soko guru
berukuran besar. Satu pun tak ada jendela yang
terlihat pada dinding ruangan ini. Tapi ada sepu-
luh pintu yang mengelilingi ruangan ini, selain
pintu masuk tadi. Dan semua pintu itu dalam
keadaan tertutup rapat. Ukurannya juga sangat
besar, seperti pintu masuk tadi. Kemudian pemu-
da itu menatap ke arah tangga batu setengah me-
lingkar yang terletak agak ke tengah dari ruangan
berlantai batu pualam putih ini.
"Oh...!"
*** Lagi-lagi pemuda berbaju rompi putih itu men-
desah terkejut, ketika tiba-tiba saja dari sebuah
pintu di ujung atas tangga batu setengah meling-
kar, muncul seorang wanita yang begitu cantik.
Pakaian yang dikenakannya juga sangat bergemer-
lapan, seperti seorang ratu. Namun bahan pakaian
itu tipis sekali, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya
yang begitu indah sangat jelas terlihat.
"Kau pasti Rangga, Pendekar Rajawali Sakti...,"
terasa begitu lembut dan halus suara wanita can-
tik itu. Wanita itu masih tetap berdiri di ujung tangga
batu berbentuk setengah melingkar itu. Dan bu-
kan hanya suaranya yang begitu lembut, tapi se-
nyumannya pun teramat lembut dan manis. Se-
hingga, wajahnya semakin bertambah cantik, ba-
gai dewi dari kahyangan.
"Benar," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga, atau
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti terus memandangi
wanita cantik bagai dewi, dengan mata tidak ber-
kedip sedikit pun juga. Selama hidup, rasanya ba-
ru kali ini Rangga melihat seorang wanita yang be-
gitu cantik. Tapi bukan karena kecantikan wanita
itu, sehingga dia sekarang berada di dalam ban-
gunan berbentuk istana ini.
"Dan kau datang pasti seperti yang lain, men-
gira Cempaka ada di sini," kata wanita itu lagi.
"Hmmm...," Rangga hanya menggumam perla-
han saja. Sinar mata Pendekar Rajawali Sakti masih te-
tap menyorot tajam, menatap lurus wanita cantik
bertubuh indah itu. Perlahan kakinya terayun me-
langkah, mendekati tangga. Tapi baru saja dia ber-
jalan beberapa langkah, tiba-tiba saja...
"Heh..."! Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melom-
pat, ketika tiba-tiba lantai di depannya bergerak
membelah. Kedua bola matanya langsung jadi ter-
beliak lebar. Kini, di depannya menganga sebuah
lubang yang cukup besar. Dan lubang itu ternyata
berisi lumpur merah yang tengah bergolak mendi-
dih, dan sesekali menyemburkan api. Lantai yang
membelah sendiri, sehingga membentuk sebuah
kolam lumpur berapi itu menghalanginya untuk
menghampiri tangga.
"Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sini,
Rangga. Sebaiknya pulang saja ke Karang Setra.
Cempaka tidak ada di sini. Dan aku tidak ingin la-
gi ada orang-orang bodoh yang harus terkubur di
dalam kolamku itu," ujar wanita cantik seperti ra-tu itu, bernada mengancam
walau masih terden-
gar lembut. Sedangkan Rangga sudah kembali menatap
wanita cantik itu. Perlahan kakinya melangkah
mundur beberapa tindak. Pendekar Rajawali Sakti
kembali memandangi kolam lumpur yang bergolak
mendidik dan mengeluarkan api serta asap keme-
rahan yang berbau tidak sedap.
"Untuk apa kau menculik Cempaka, Nisanak?"
tanya Rangga tegas.
"Biasanya aku dipanggil Ratu Lembah Neraka.
Tapi, sebenarnya aku lebih suka kalau ada yang
memanggilku Dewi Anjungan. Karena, itu memang
namaku yang sebenarnya," kata wanita cantik itu memperkenalkan diri, tanpa
menghiraukan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Aku tidak peduli namamu! Yang kuinginkan
kembalikan Cempaka!" sentak Rangga agak tinggi
nada suaranya. "Sudah kukatakan, Cempaka tidak ada di sini.
Kau hanya sia-sia saja datang di istanaku ini,
Rangga," sahut Dewi Anjungan yang lebih dikenal dengan julukan Ratu Lembah
Neraka. "Aku tidak ada waktu untuk bermain-main,
Nisanak. Kembalikan Cempaka, atau aku terpaksa
merebutnya darimu!" tegas Rangga sedikit men-
gancam. "Ha ha ha...!" Dewi Anjungan jadi tertawa terbahak-bahak, mendengar kata-kata
bernada an- caman itu. Sedangkan Rangga hanya mendengus saja.
Walaupun tawa Ratu Lembah Neraka itu terdengar
merdu sekali, tapi di telinga Rangga justru terden-
gar begitu menyakitkan.
"Entah, sudah berapa orang yang mengaku ja-
go Karang Setra datang ke sini. Dan mereka be-
rakhir di dalam kolam lumpur itu. Aku tidak ingin
kau juga bernasib sama dengan mereka, Rangga.
Sekali lagi kukatakan, aku tidak menculik dan
menyembunyikan Cempaka, adik tirimu itu," tegas Dewi Anjungan.
"Banyak orang yang melihatmu menculik
Cempaka. Bahkan kau telah membunuh lebih dari
dua puluh orang prajurit, dan delapan orang jago
Istana Karang Setra. Maka sekarang aku datang
untuk menjemput Cempaka, selain menuntut
tanggung jawab atas perbuatanmu!" tegas Rangga.
"Kau sudah membuat kesabaranku hilang,
Rangga...!" desis Dewi Anjungan jadi dingin nada suaranya. "Hih...!"
Tiba-tiba saja wanita itu menghentakkan tan-
gan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga
berhembus angin kencang, yang begitu cepat dan
keras sekali menerpa tubuh Rangga. Begitu cepat-
nya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak sem-
pat lagi menghindar.
Seketika itu juga, tubuh Rangga yang tinggi te-
gap jadi terpental ke belakang, seperti selembar
daun kering tertiup angin. Begitu kerasnya hem-
pasan angin itu, sehingga membuat punggung
Rangga menghantam dinding batu bangunan ista-
na ini. Rangga jadi terpekik sedikit, namun cepat-
cepat melentingkan tubuh ke udara. Kemudian dia
melakukan beberapa kali putaran, sebelum ka-
kinya kembali menjejak lantai batu pualam ini.
Trikkk! Dewi Anjungan menjentikkan dua ujung jemari
tangannya. Maka saat itu juga, delapan daun pin-
tu yang berada di sekeliling ruangan ini terbuka
lebar. Dari balik pintu, bermunculan manusia-
manusia bertubuh dua kali lipat tingginya daripa-
da manusia biasa. Mereka semuanya mengenakan
baju ketat warna merah. Masing-masing tampak
menggenggam sebatang tombak sangat panjang.
Delapan orang laki-laki bertubuh dua kali ma-
nusia biasa itu bergerak perlahan mendekati
Rangga. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti su-
dah bersiap untuk menghadapi segala kemungki-
nan yang akan terjadi. Dan memang semua ini
sudah menjadi pertimbangannya, sebelum sampai
di istana tua ini.
"Masih ada kesempatan untuk pergi, sebelum
mereka melemparkanmu ke kolam lumpur itu,
Rangga," kata Dewi Anjungan tegas.
"Aku tidak akan mundur setapak pun!" balas Rangga lantang.
"Huh! Rupanya orang-orang Karang Setra se-
muanya keras kepala. Kau akan merasakan aki-
batnya, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Dewi
Anjungan. Trekkk! Kembali Ratu Lembah Neraka menjentikkan
dua ujung jemari tangan kanannya sekali. Dan se-
ketika itu juga, cepat sekali delapan orang yang
tingginya dua kali dari manusia biasa langsung
berlompatan menyerang Rangga, sambil berteriak-
teriak keras menggelegar.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melenting ke udara, ketika
delapan batang tombak meluncur deras ke arah-
nya. Dan pada saat berada di udara, cepat sekali
dikeluarkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyam-
bar Mangsa'. Cepat sekali kaki Pendekar Rajawali
Sakti bergerak, mengarah ke kepala salah seorang


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyerangnya. "Hiyaaa...!"
Plakkk! Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pen-
dekar Rajawali Sakti, sehingga orang itu tidak
sempat lagi menghindar. Dan tendangan yang be-
gitu keras itu langsung menghantam kepala la-
wannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi ter-
kejut, karena manusia bertubuh raksasa itu
hanya menggereng sedikit disertai kepalanya yang
jadi berpaling ke samping. Betapa tidak..." Bi-
asanya, orang yang terkena tendangan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', langsung
menggeletak jatuh dengan kepala retak. Tapi orang
berbaju serba merah itu sama sekali tidak mera-
sakan kalau kepalanya baru saja terkena tendan-
gan keras. "Hap!"
Baru saja Rangga menjejakkan kakinya di lan-
tai yang putih dan licin berkilat ini, tiba-tiba saja salah seorang dari
pengepungnya kembali melakukan serangan cepat. Tombaknya meluruk deras
mengincar dada Pendekar Rajawali Sakti.
Wusss...! "Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke ka-
nan, menghindari tusukan tombak berukuran be-
sar dan panjang itu. Dan ketika tombak itu lewat
di samping tubuhnya, secepat kilat tangannya di-
kebutkan ke arah bagian tengah tombak itu.
Takkk! "Hah..."!"
"Hiyaaa...!"
Manusia raksasa berbaju merah itu jadi terke-
jut setengah mati, karena hanya sekali kibas saja
tombaknya sudah patah jadi dua bagian. Dan se-
belum keterkejutannya bisa hilang, tiba-tiba saja
tangan kanan Rangga sudah melepaskan satu pu-
kulan keras lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Ra-
jawali' tingkat terakhir. Kini, kepalan tangan Pen-
dekar Rajawali Sakti jadi berwarna merah, seperti
besi yang terbakar dalam tungku.
Begkh! "Aaakh...!"
Serangan yang dilakukan Rangga memang
sangat cepat luar biasa. Sehingga, sukar bisa di-
tangkap mata biasa. Dan si manusia raksasa itu
benar-benar tidak dapat lagi berkelit menghindar,
sehingga pukulan dahsyat itu tepat menghantam
dadanya. Kontan dia terpekik keras sekali.
*** Begitu kerasnya pukulan itu, sehingga si ma-
nusia raksasa itu jadi terpental deras sekali ke be-
lakang. Dan selagi dia belum bisa menyentuh lan-
tai, Rangga sudah melompat bagai kilat. Langsung
dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek.
"Hiyaaa...!"
Desss! "Aaa...!"
Byurrr! Tak pelak lagi, si manusia raksasa berbaju me-
rah itu langsung tercebur ke dalam kolam lumpur
yang bergolak mendidih. Dia berteriak-teriak sam-
bil menggeliat-geliat dan menggapai-gapaikan tan-
gannya. Tapi tak berapa lama kemudian, seluruh
tubuhnya sudah tenggelam ke dalam kolam lum-
pur yang bergolak mendidih itu. Sementara itu, tu-
juh orang lainnya jadi terpana kaget tidak me-
nyangka sama sekali.
Sedangkan Dewi Anjungan yang juga menyak-
sikan dari ujung atas tangga, jadi terbeliak lebar
melihat Rangga berhasil menceburkan satu orang
dari delapan manusia bertubuh raksasa itu. Dan
kini, jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi. Dan
mereka tampaknya jadi ragu-ragu untuk kembali
menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kalian jadi bengong..." Hayo! Serang
dia...!" seru Dewi Anjungan lantang menggelegar.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Mendengar teriakan bernada perintah, tujuh
orang manusia bertubuh raksasa itu langsung sa-
ja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sak-
ti. Keraguan yang semula menghinggapi hati, seke-
tika jadi lenyap. Dan kini mereka menjadi marah,
karena Rangga berhasil melenyapkan satu orang
dari mereka dalam kolam lumpur mendidih.
Rangga yang mendapat serangan dari tujuh
penjuru itu memang tidak bisa berbuat lain, kecu-
ali mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Suatu jurus aneh, dan gerakan-gerakannya seperti
tidak sedang bertarung. Dan memang, jurus itu
hanya dimaksudkan untuk menghindari pertarun-
gan. Sehingga, tidak bisa digunakan untuk menye-
rang, meskipun beberapa kali Rangga memiliki ke-
sempatan. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga melenting ke udara, dan
melakukan beberapa kali putaran di udara. Lalu
cepat sekali meluncur deras, dan mendapat manis
sekali di luar kepungan tujuh manusia berukuran
raksasa itu. "Hap! Hap! Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Rangga segera melakukan beberapa gerakan
tangan. Kemudian, cepat sekali kedua tangannya
dihentakkan ke samping, lalu secepat itu pula di-
hentakkan ke depan sambil berteriak keras meng-
gelegar. Wusss! Seketika itu juga, dari kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti yang terbuka lebar ber-
hembus angin kencang bagai topan. Serangan
Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan
mendadak sekali, sangat mengejutkan tujuh orang
bertubuh raksasa itu. Bahkan mereka tidak dapat
lagi berbuat banyak.
Tubuh-tubuh yang berukuran dua kali dari
ukuran manusia biasa itu jadi berpentalan seperti
daun kering tertiup angin. Jeritan panjang me-
lengking tinggi terdengar sating sambut, ketika
dua orang dari mereka tercebur ke dalam kolam
lumpur mendidih. Sedangkan yang lima lagi ber-
hasil menyelamatkan diri, dengan melakukan be-
berapa kali putaran di udara, sebelum menjejak-
kan kaki kembali ke lantai. Saat itu, Rangga su-
dah mencabut aji 'Baju Bajra'nya, sehingga tidak
ada lagi badai topan yang terjadi begitu dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Namun tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan tangan kanan ke depan. Kakinya
terpentang lebar, dan lututnya sedikit tertekuk ke
depan. Pada saat itu juga, dari telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti memancar secercah sinar
merah yang langsung menghantam dada salah
seorang dari manusia-manusia bertubuh raksasa
itu. Byurrr! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan nyaring melengking
tinggi. Orang yang terkena pukulan jarak jauh
Pendekar Rajawali Sakti kontan menggelepar-
gelepar di dalam kolam berlumpur mendidih,
sambil berteriak-teriak meminta tolong. Tapi tak
ada seorang pun yang bisa menolong, sampai selu-
ruh tubuhnya tenggelam tak terlihat lagi. Kini
tinggal empat orang lagi yang tersisa. Dan mereka
semua berdiri tidak jauh dari bibir kolam berlum-
pur mendidih itu. Sedangkan Rangga berada seki-
tar dua batang tombak di depannya.
"Kalau kalian ingin tetap hidup, cepat tinggalkan tempat ini!" desis Rangga.
Empat orang bertubuh raksasa itu saling ber-
pandangan beberapa saat, kemudian tanpa berka-
ta apapun juga berlarian hendak meninggalkan
ruangan itu. Namun belum juga mereka mencapai
pintu tempat tadi mereka masuk ke dalam ruan-
gan ini, tiba-tiba saja....
"Pengecut! Hiyaaa...!"
Dewi Anjungan cepat mengebutkan kedua tan-
gannya secara bergantian. Dari kedua tangannya,
meluncur beberapa benda kecil berwarna merah.
Benda-benda berbentuk bulat itu meluncur sangat
cepat sekali, sehingga empat manusia bertubuh
raksasa itu tidak sempat lagi menghindari. Dan
Rangga sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa la-
gi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seke-
tika terdengar begitu menyayat saling susul. Ben-
da-benda kecil bulat berwarna merah itu langsung
menembus tubuh mereka, hingga jatuh menggele-
par di lantai batu pualam putih ini. Hanya seben-
tar saja mereka menggelepar sambil mengerang,
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah te-
rus mengucur dari tubuhnya yang penuh lubang,
tertembus benda-benda kecil berwarna merah
yang dilepaskan si Ratu Lembah Neraka itu.
"Kejam...!" desis Rangga menggeram.
"Kau akan bernasib sama jika tidak segera
angkat kaki dari sini, Rangga!" ancam Dewi An-
jungan tegas. "Aku akan pergi bersama Cempaka!" balas
Rangga tidak kalah tegas.
"Keras kepala...!" desis Dewi Anjungan. "Kau
akan mati di dalam lumpur berapi, Rangga!"
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Nera-
ka berbalik dan melangkah masuk ke dalam pintu
yang terbuka lebar. Sementara, Rangga yang hen-
dak melompat mengejar jadi terbeliak lebar. Kare-
na, lantai yang dipijaknya jadi bergetar, dan kolam
lumpur mendidih itu semakin bertambah lebar sa-
ja. "Gilaaa...!" desis Rangga seraya melangkah mundur.
Rangga sempat melirik ke arah pintu masuk
yang kini sudah terbuka lebar, seakan-akan mem-
beri jalan Pendekar Rajawali Sakti untuk keluar
dari istana tua yang aneh ini. Sementara, kolam
lumpur mendidih itu semakin membesar saja.
Hingga, Rangga benar-benar terpojok dan merapat
ke dinding. "Hup! Yeaaah...!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga untuk
bisa selamat. Maka, terpaksa Pendekar Rajawali
Sakti melompat keluar melalui pintu yang terbuka
lebar itu. Dan begitu Rangga berada di luar, pintu
itu langsung menutup sendiri dengan keras sekali.
Brakkk! *** 2 Rangga berdiri tegak sambil memandangi ban-
gunan istana yang tampak angker itu. Sementara,
hujan semakin lebat menyirami seluruh lembah
ini. Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali
Sakti berdiri mematung di depan istana tua di de-
pannya ini. Secercah kilat bersinar terang, sehing-
ga tampak membelah angkasa, disertai ledakan
guntur yang menggelegar, menyentakkan Pende-
kar Rajawali Sakti.
"Kali ini kau menang, Dewi Anjungan," desis Rangga. "Hhhh..., maafkan aku,
Cempaka. Aku pasti akan datang kembali untuk membebaskan-
mu." Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih
memandangi bangunan istana tua yang tampak
angker itu, kemudian memutar tubuhnya. Rangga
kini melangkah perlahan-lahan meninggalkan is-
tana tua di Lembah Neraka ini. Sementara, hujan
masih terus turun begitu lebat mengguyur bumi.
Rangga terus melangkah, tidak mempedulikan
keadaan dirinya yang masih kuyup terguyur hu-
jan. "Kakang...!"
Rangga agak tersentak kaget ketika tiba-tiba
saja mendengar sebuah suara memanggilnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung berhenti me-
langkah. Wajahnya berpaling ke kanan, ke arah
suara yang didengarnya tadi. Kelopak matanya ja-
di menyipit, melihat Pandan Wangi berdiri di am-
bang pintu mulut sebuah gua yang tidak jauh dari
jalan setapak ini. Gadis itu tengah melambaikan
tangan, memanggil.
Bergegas Rangga melangkah menghampirinya.
Tampak kilatan cahaya api membersit dari dalam
gua yang tidak begitu besar, namun hampir tertu-
tup lebatnya semak belukar dan pepohonan.
Rangga langsung menerobos masuk ke dalam gua
itu, dan langsung duduk di dekat api. Sementara
Pandan Wangi masih berdiri tidak jauh dari mulut
gua. Gadis itu kemudian melangkah menghampiri
kemudian duduk di depan Pendekar Rajawali Sak-
ti. "Kenapa kau di sini, Pandan" Bukankah aku
menyuruhmu tetap di istana...?" tegur Rangga
langsung, begitu tubuhnya terasa hangat kembali.
"Aku tidak bisa tenang, Kakang. Apalagi men-
dengar cerita mereka tentang Dewi Anjungan dan
Istana Neraka miliknya itu. Aku begitu khawatir,


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu terus saja menyusulmu ke sini. Tapi hujan ini
menghalangiku, Kakang. Untung aku menemukan
gua, dan menunggumu di sini," sahut Pandan
Wangi beralasan.
"Terima kasih," ucap Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti duduk diam. Pandan-
gannya lurus ke depan, menikmati titik-titik air
hujan yang masih turun deras sekali. Sedangkan
Pandan Wangi memandanginya disertai berbagai
macam perasaan berkecamuk di dalam dirinya.
Bisa dirasakan, apa yang sedang dirasakan Rang-
ga saat ini. Mereka memang langsung ke Karang
Setra, begitu mendapat kabar Cempaka diculik
seorang wanita yang menamakan diri Ratu Lem-
bah Neraka. Bahkan ketika menculik Cempaka di Istana
Karang Setra, Ratu Lembah Neraka sempat mene-
waskan beberapa prajurit yang mencoba mengha-
langinya. Bahkan pula, satu orang panglima kera-
jaan itu tewas di tangannya. Dan tidak sedikit pu-
la jago-jago Karang Setra yang tewas, saat menco-
ba merebut kembali Cempaka dari dalam Istana
Neraka itu. Hingga sekarang ini, tak ada seorang
pun yang berhasil mengeluarkan Cempaka dari
dalam Istana Neraka.
"Kakang...," lembut sekali suara Pandan Wangi. Rangga mengangkat kepala, dan
berpaling me- natap Pandan Wangi yang masih tetap duduk de-
kat di depannya. Hanya sebuah api unggun saja
yang menghalangi mereka berdua. Beberapa saat
mereka terdiam, dan hanya saling pandang saja
tanpa berbicara sedikit pun.
"Kau ketemu wanita itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi pelan sekali suaranya.
Begitu pelannya,
sehingga hampir tidak terdengar tertelan gemuruh
air hujan yang masih turun deras sekali.
"Ya," sahut Rangga juga pelan suaranya.
"Lalu..., Cempaka ada di sana?"
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Tapi kau berhasil masuk ke dalam istana itu,
kan?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin tahu.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya
yang begitu berat sekali.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti memandang
keluar, merayapi titik-titik air hujan yang masih
turun deras sekali. Kemudian kembali dipandan-
ginya Pandan Wangi. Perlahan Rangga menggeser
duduknya mendekati gadis itu, dan melingkarkan
tangannya ke pundak yang ramping. Pandan Wan-
gi merapatkan tubuhnya, membenamkan diri ke
pelukan Pendekar Rajawali Sakti.
"Memang tidak mudah masuk ke dalam istana
itu, Pandan. Terlalu banyak rintangannya...," pelan sekali suara Rangga.
"Apa pun rintangannya, Cempaka harus bisa
dikeluarkan dari sana, Kakang," tegas Pandan
Wangi memberi semangat.
"Ya..., kita memang harus bisa mengeluarkan
Cempaka dari Istana Neraka itu," desis Rangga.
Mereka saling berpandangan, kemudian berpe-
lukan erat dan hangat sekali. Tak ada lagi yang bi-
cara, karena masing-masing sudah tenggejam
dengan pikiran yang berkecamuk dalam kepala.
*** Hujan baru berhenti saat matahari menam-
pakkan cahayanya di ufuk Timur. Rangga melang-
kah keluar dari dalam gua itu. Sementara, Pandan
Wangi masih melingkar di dekat api unggun yang
sudah hampir padam. Udara pagi ini begitu segar.
Tanah masih terlalu basah. Titik-titik air pun ma-
sih terlihat membias di dedaunan.
Rangga terus mengayunkan kakinya, mening-
galkan gua itu. Langkahnya baru berhenti setelah
sampai di pinggir jalan setapak yang berbatu keri-
kil. Pandangannya langsung tertuju pada bangu-
nan istana tua yang terletak di tengah-tengah se-
buah lembah yang tidak begitu besar. Matahari
tampak bersinar redup, karena terhalang kabut.
Sehingga, bangunan tua yang disebut Istana Ne-
raka itu semakin kelihatan angker. Rangga berpal-
ing saat telinganya mendengar suara-suara lang-
kah kaki dari belakang menghampirinya. Bibirnya
tersenyum begitu melihat Pandan Wangi meng-
hampirinya. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu
berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan ke sana lagi, Kakang?" tanya Pandan Wangi, sambil mengarahkan
pandangan ke bangunan istana tua itu.
"Ya! Aku memang harus ke sana lagi," sahut Rangga tegas dan agak mendesah
suaranya. "Tapi semalam kau mengatakan, tidak mudah
untuk masuk ke sana."
"Memang. Tapi harus tetap kucoba untuk
mengeluarkan Cempaka dari sana," tegas Rangga.
Mereka kembali terdiam, tak berkata-kata lagi.
Namun pandangan mata mereka masih tetap ter-
tuju lurus pada bangunan tua Istana Neraka itu.
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Ca-
hayanya yang terang dan hangat menyibakkan
kabut di sekitar Lembah Neraka ini.
"Kakang! Apa tidak sebaiknya kita cari kete-
rangan dulu, kenapa wanita itu menculik Cempa-
ka...?" ujar Pandan Wangi memberikan saran.
Rangga berpaling menatap gadis di samping ka-
nannya ini. "Tentu ada alasannya, kenapa dia menculik
Cempaka, Kakang," sambung Pandan Wangi.
"Kehidupan Cempaka tidak jauh berbeda den-
gan diriku, Pandan. Bahkan juga tidak jauh ber-
beda dengan kehidupanmu sendiri. Sejak masih
kecil dia sudah terpisah, dari orang tuanya. Cem-
paka kemudian dirawat seorang resi di Padepokan
Baja Hitam," jelas Rangga, tentang diri Dewi Cempaka.
"Siapa resi itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang memang belum tahu betul
tentang diri dan
kehidupan Cempaka. Padahal mereka sudah lama
saling mengenal.
"Eyang Balung Gading," sahut Rangga.
"Kalau begitu, kenapa tidak kau tanyakan saja,
Kakang...?"
"Tanyakan apa?"
"Barangkali saja Eyang Balung Gading tahu,
siapa itu Ratu Lembah Neraka. Aku merasa, hal
ini ada hubungannya dengan kehidupan Cempaka
di masa lalu. Tidak mungkin Ratu Lembah Neraka
menculik Cempaka tanpa alasan pasti," Pandan
Wangi memberikan alasan.
Rangga terdiam sambil mengangguk-
anggukkan kepala perlahan. Kembali dipandan-
ginya bangunan tua Istana Neraka, kemudian ber-
paling menatap Pandan Wangi yang masih me-
mandanginya sejak tadi. Beberapa saat lamanya
kedua pendekar muda itu terdiam membisu.
"Di mana letak Padepokan Baja Hitam itu, Ka-
kang?" tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama
berdiam diri. "Di Gunung Puting," sahut Rangga.
"Tidak jauh dari sini," desah Pandan Wangi, seperti untuk diri sendiri. "Kenapa
kau tidak ke sana saja dulu, Kakang" Barangkali saja bisa
memperoleh sesuatu dari sana."
Rangga masih terdiam beberapa saat, kemu-
dian memutar tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti
terus saja melangkah tanpa berkata-kata lagi.
Pandan Wangi bergegas mengikutinya. Dia juga ti-
dak berkata-kata lagi sedikit pun. Tapi....
"Mau ke mana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ke Gunung Puting," sahut Rangga.
Pandan Wangi tersenyum mendengar jawaban
Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata, Rangga suka
juga mengikuti sarannya, mencari keterangan ten-
tang diri Cempaka di Padepokan Baja Hitam yang
terletak di Puncak Gunung Puting. Mereka terus
melangkah cepat tanpa bicara apa-apa lagi, dan
baru berhenti setelah sampai di sebuah tempat
yang cukup lapang.
Rangga berdiri tegak memandang ke langit
yang tampak cerah pagi ini. Sementara, Pandan
Wangi diam saja memperhatikan. Dia tahu, pemu-
da berbaju rompi putih ini sedang menyatukan ji-
wa dan pikirannya untuk memanggil Rajawali Pu-
tih. Seekor burung rajawali raksasa tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Suiiit...!"
Pandan Wangi sampai menutup kedua telin-
ganya, ketika Rangga bersiul nyaring sekali. Na-
danya panjang dan terdengar begitu aneh. Pende-
kar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak tanpa
berkedip menatap langit. Sedangkan Pandan Wan-
gi masih tetap berdiri , di samping kanan, agak ke
belakang sedikit dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Suiiit...!"
Kembali Rangga bersiul. Nadanya masih ter-
dengar sama, dan begitu nyaring melengking ting-
gi. Siulan itu terus terdengar menggema, terpantul
batu-batu dan pepohonan. Cukup lama juga me-
reka menunggu. Dan bibir Pendekar Rajawali Sakti
menyunggingkan senyuman, ketika melihat se-
buah titik bercahaya keperakan jauh dari atas
awan. Tak berapa lama kemudian, jelas terlihat kalau
titik itu adalah seekor burung rajawali yang ter-
bang melesat begitu cepat bagai kilat.
"Khraaagkh...!"
"Kemari, Rajawali...!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.
"Khraaagkh...!"
Debu seketika mengepul di udara. Sedangkan
batu-batu kerikil berhamburan, ketika Rajawali
Putih mendarat tidak jauh dari depan Rangga dan
Pandan Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu
langsung melompat naik ke punggung burung
raksasa itu. Gerakannya tampak sangat indah dan
ringan sekali. Sedangkan Pandan Wangi masih te-
tap berdiri, memandangi burung raksasa yang
tinggi dan sangat besar seperti bukit itu.
Meskipun sudah sering kali melihat, tapi Pan-
dan Wangi masih tetap saja merasa kagum terha-
dap burung raksasa ini. Dan setiap kali melihat,
masih juga terselip kengerian di hatinya. Mungkin
kalau tidak kenal Rangga, tidak akan mungkin bi-
sa bertemu dan bersahabat dengan burung raksa-
sa ini. "Ayo, Pandan! Kita tidak punya waktu ba-
nyak...!" seru Rangga.
Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu un-
tuk naik ke punggung Rajawali Putih. Dia memang
sudah beberapa kali menunggang burung rajawali
raksasa itu bersama Rangga, tapi masih juga me-
rasa ngeri dan ragu-ragu. Perlahan-lahan pun me-
langkah mendekati.
"Ayo, cepat...!" seru Rangga tidak sabar.
"Hup!"
Sambil menguatkan diri, Pandan Wangi me-
lompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan ga-
dis itu langsung hinggap di depan Rangga yang
sudah sejak tadi berada di punggung burung rak-
sasa itu. Rangga menepuk leher Rajawali Putih ti-
ga kali. "Khraaagkh...!"
Wusss...! Hanya sekali mengepakkan sayapnya saja, Ra-
jawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa.
Pandan Wangi sempat memejamkan mata dengan
wajah langsung memucat, begitu Rajawali Putih
melesat secepat kilat ke angkasa. Dan matanya
baru terbuka setelah merasakan berada di angka-
sa. Pandan Wangi langsung melompat turun, begi-
tu Rajawali Putih itu mendarat di tempat yang
agak lapang, di Puncak Gunung Puting. Sementa-
ra Rangga baru melompat turun, setelah Pandan
Wangi menjejakkan kakinya di tanah.
"Kau tunggu di sini, Rajawali," ujar Rangga meminta.
"Khrrrk...!" Rajawali Putih mengkirik perlahan sambil menganggukkan kepala.
"Aku segera kembali," kata Rangga lagi.
Kembali Rajawali Putih menganggukkan kepa-
la, dan menjulurkannya ke depan. Rangga mene-
puk-nepuk kepala burung yang sangat besar itu,
kemudian melangkah menghampiri Pandan Wangi
yang masih berdiri dengan mata terus memandan-
gi tunggangan kekasihnya itu.
"Ayo, Pandan...," ajak Rangga sambil menepuk pundak gadis itu.
"Oh...?" Pandan Wangi agak tersentak.
Buru-buru gadis itu melangkah cepat menyu-
sul Rangga yang sudah berjalan lebih dahulu. Se-
sekali, Pandan Wangi masih menoleh ke belakang.
Tampak Rajawali Putih sudah mendekam di ba-
wah pohon yang sangat besar dan tinggi.
Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sehingga hanya dalam waktu
sebentar saja, sudah sampai di depan pintu ger-
bang Padepokan Baja Hitam yang dijaga dua orang
murid dan masing-masing memegang senjata tom-


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bak berukuran panjang.
"Gusti Prabu..."!"
Kedua orang murid Padepokan Baja Hitam itu
terkejut, melihat Rangga dan Pandan Wangi tiba-
tiba saja muncul di depan mereka. Kedua penjaga
itu langsung berlutut memberi hormat. Dan me-
mang, seluruh murid di Padepokan Baja Hitam ini
sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti. Dan
mereka mengenal pemuda berbaju rompi putih itu
bukan hanya sebagai seorang pendekar muda
yang tangguh dan digdaya, tapi juga sebagai seo-
rang raja di Karang Setra.
"Bangunlah kalian," ujar Rangga.
Perlahan kedua murid Padepokan Baja Hitam
itu bangkit berdiri. Mereka segera merapatkan ke-
dua tangan di depan hidung, memberi hormat se-
kali lagi pada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
Pandan Wangi yang menyaksikan, hanya diam sa-
ja. Dia juga tidak menyangka kalau murid-murid
di padepokan ini sudah mengenal Rangga yang se-
sungguhnya. "Aku ingin bertemu Eyang Balung Gading. Apa
dia ada?" tanya Rangga.
"Ada, Gusti. Silakan masuk...," sahut salah seorang murid padepokan itu.
Sedangkan yang seorang lagi bergegas mem-
buka pintu gerbang. Rangga dan Pandan Wangi
segera melangkah masuk ke dalam Padepokan Ba-
ja Hitam. Beberapa orang murid padepokan yang
sedang berlatih ilmu olah kanuragan, segera
menghentikan latihannya. Mereka langsung berlu-
tut begitu melihat Rangga datang. Hal ini tentu sa-
ja membuat Pandan Wangi jadi keheranan. Gadis
itu memang tidak pernah tahu tentang padepokan
ini. Dan lagi, Rangga maupun Cempaka tidak per-
nah menceritakannya.
Kedua pendekar muda itu langsung saja me-
nuju bangunan utama yang sangat besar ukuran-
nya. Satu persatu mereka meniti anak-anak tang-
ga, dan terus melangkah masuk ke dalam ruangan
depan yang berukuran cukup luas. Di ruangan
depan itu, seorang laki-laki tua berjubah kuning
gading yang pada bagian dadanya terdapat gambar
rantai hitam dan dua pedang bersilang, tengah
duduk tenang di lantai yang beralaskan permadani
tebal berwarna biru muda. Rangga segera mem-
bungkukkan tubuh memberi hormat, diikuti Pan-
dan Wangi yang berada di belakangnya.
"Silakan duduk, Rangga," ujar laki-laki tua berjubah kuning gading yang tak lain
Eyang Balung Gading.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengambil
tempat di depan Eyang Balung Gading. Sedangkan
Pandan Wangi ikut duduk di sampingnya. Rangga
segera memperkenalkan Pandan Wangi pada laki-
laki tua berjubah putih Ketua Padepokan Baja Hi-
tam itu. "Kau datang ke sini tentu ada hal yang pent-
ing, Rangga," ujar Eyang Balung Gading.
"Benar, Eyang. Ada sesuatu yang hendak kubi-
carakan. Dan ini menyangkut Cempaka," sahut
Rangga langsung.
"Cempaka..." Kenapa dia" Apa dia membuat-
mu susah...?"
"Tenang, Eyang. Cempaka tidak apa-apa.
Hanya...."
"Hanya apa?" desak Eyang Balung Gading ti-
dak sabar lagi.
Sejak kecil laki-laki itu sudah mengasuh dan
mendidik Cempaka. Maka dia tahu betul akan wa-
tak-watak gadis itu. Jelas sekali kalau Eyang Ba-
lung Gading jadi khawatir, begitu mengetahui ke-
datangan Pendekar Rajawali Sakti yang ada hu-
bungannya dengan gadis itu. Memang, Cempaka
bukan saja muridnya, tapi juga anak angkatnya
sebelum diboyong Rangga ke Istana Karang Setra.
Karena, Cempaka merupakan turunan dari Adipati
Arya Permadi. Meskipun lahir dari ibu selir, tapi
Rangga tetap menganggap Cempaka adik kan-
dungnya. Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi. Te-
rasa sukar sekali bagi Pendekar Rajawali Sakti un-
tuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi pada diri
Cempaka sekarang ini. Sedangkan Eyang Balung
Gading seperti tidak sabar lagi menunggu. Dan
Pandan Wangi hanya diam saja, tidak mau bicara
apa-apa sedikit pun juga.
"Katakan saja terus terang, Rangga. Apa sebe-
narnya yang terjadi pada Cempaka?" desak Eyang
Balung Gading. "Terus terang, Eyang. Sebenarnya aku sendiri
tidak tahu. Aku dan Pandan Wangi sedang dalam
pengembaraan. Lalu, seorang utusan dari istana
datang menemui sambil membawa surat langsung
dari Danupaksi. Maka aku langsung pergi ke Ka-
rang Setra. Tapi...," Rangga tidak melanjutkan.
"Terus, Rangga," desak Eyang Balung Gading.
"Aku sendiri tidak tahu, apa yang terjadi se-
sungguhnya, Eyang. Aku datang, Cempaka sudah
tidak ada. Dan semua orang di istana mengatakan
kalau Cempaka diculik," lanjut Rangga.
"Diculik..."!" Eyang Balung Gading jadi terperanjat setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini
yang didengarnya. Cempaka bukan lagi gadis ke-
cil, tapi sudah berusia sembilan belas tahun. Dan
kepandaian yang dimilikinya juga tidak bisa di-
pandang rendah, walaupun juga tidak bisa diang-
gap sempurna. Tapi, rasanya tidak mudah untuk
bisa mengalahkan Cempaka begitu saja. Dan kete-
rangan Rangga barusan, membuat laki-laki tua itu
benar-benar tidak percaya.
Rasanya memang sulit untuk bisa dipercaya
kalau Cempaka diculik, seperti anak kecil saja.
"Siapa yang menculiknya, Rangga?" tanya
Eyang Balung Gading ingin tahu, juga penasaran
hatinya. "Ratu Lembah Neraka," sahut Rangga agak ditekan nada suaranya.
"Maksudmu..., Dewi Anjungan "!" Eyang Ba-
lung Gading tampak terperanjat mendengar nama
Ratu Lembah Neraka disebut Rangga barusan.
"Benar, Eyang," sahut Rangga.
"Oh, Gusti...," desah Eyang Balung Gading
mengeluh. "Kenapa, Eyang..."!"
Kali ini Rangga yang jadi bengong keheranan
tidak mengerti. Sedangkan Eyang Balung Gading
jadi terdiam dengan kepala menengadah ke atas,
memandangi langit-langit ruangan depan padepo-
kannya. Bukan hanya Rangga saja yang jadi keheranan
tidak mengerti. Malah Pandan Wangi juga jadi ter-
longong bengong, melihat Eyang Balung Gading
mengeluh panjang, begitu mendengar nama Ratu
Lembah Neraka disebut Pendekar Rajawali Sakti.
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Eyang Balung Gading, setelah cukup lama
terdiam. "Sudah hampir satu pekan ini, Eyang," sahut Rangga.
"Satu pekan..."! Kenapa tidak ada yang mem-
beritahuku..."!" sentak Eyang Balung Gading.
"Aku sendiri baru tahu kemarin, Eyang. Danu-
paksi berusaha sendiri untuk mendapatkan Cem-
paka kembali, sambil menungguku pulang. Tapi
semua usahanya gagal. Bahkan tidak sedikit jago-
jago Karang Setra yang...," Rangga tidak mene-
ruskan lagi ucapannya.
"Sudahlah, Rangga aku bisa mengerti," desah Eyang Balung Gading. "Hhh..., memang
tidak mudah untuk menandinginya. Dia bukan manusia
biasa, dan bisa dikatakan manusia setengah silu-
man." "Jadi, Eyang kenal betul dengannya?" selak Pandan Wangi yang sejak tadi diam
saja mendengarkan.
"Ya...," desah Eyang Balung Gading perlahan.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandan-
gan. Dan kini mereka semua jadi terdiam, sibuk
dengan pikiran masing-masing. Terlebih lagi
Eyang Balung Gading. Tampaknya orang tua itu
begitu khawatir setelah mengetahui murid yang
sekaligus anak angkatnya sekarang berada di tan-
gan Dewi Anjungan si Ratu Lembah Neraka.
*** 3 Saat matahari tepat berada di atas kepala,
Rangga meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Se-
dangkan Pandan Wangi baru meninggalkan pade-
pokan itu bersama Eyang Balung Gading, setelah
beberapa lama Rangga pergi. Mereka menunggang
kuda menuju Kotaraja Karang Setra.
Sementara itu, Rangga kini telah berada di
udara bersama Rajawali Putih. Mereka melayang-
layang di atas bangunan istana tua di Lembah Ne-
raka. Bangunan itu sendiri dijuluki Istana Neraka.
Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sak-
ti berada di udara bersama burung tunggangan
raksasanya. Tapi, mereka tidak melihat adanya
tanda-tanda kehidupan di sana. Sekitar lembah
itu tampak sunyi sekali. Tak ada seorang pun yang
terlihat di sekitarnya.
"Kau lihat di sebelah Timur sana, Rajawali...!"
seru Rangga tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah
Timur. "Khragkh...!'
"Dekati, Rajawali!" perintah Rangga.
Rajawali Putih tidak membantah sama sekali.
Burung raksasa itu langsung meluncur ke arah
Timur, mendekati kepulan debu yang terlihat dari
angkasa ini. Sebentar saja mereka sudah berada
di atas kepulan debu yang membumbung tinggi ke
angkasa itu. "Heh..."!"
Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar,
begitu melihat di balik kepulan debu itu. Di sana,
tampak Pandan Wangi dari Eyang Balung Gading
tengah bertarung melawan sekitar dua puluh
orang berpakaian serba merah dan bersenjatakan
tombak panjang berwarna merah.
"Turunkan aku di sini, Rajawali!" seru Rangga.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk turun cepat
sekali. Sedangkan Rangga segera berdiri di pung-
gung burung raksasa itu. Lalu....
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melompat turun dengan
gerakan begitu manis, sebelum Rajawali Putih
mencapai tanah. Sedangkan burung rajawali rak-
sasa itu langsung melambung tinggi kembali ke
angkasa. Sementara, Rangga berputaran beberapa
kali di udara sambil mengembangkan kedua tan-
gannya ke samping. Gerakannya seperti seekor
burung yang menukik tajam hendak menyambar
mangsa. Pendekar Rajawali Sakti memang menge-
rahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa', untuk mengimbangi tubuhnya yang me-
layang deras di udara.
"Hiyaaa...!"
Wukkk! Plakkk! "Aaakh...!"
Satu jeritan panjang dan menyayat tiba-tiba
terdengar, mengalahkan pekikan-pekikan perta-
rungan serta dentingan senjata beradu. Itu terjadi
ketika kaki Rangga yang bergerak begitu cepat,
menghantam kepala salah seorang yang menge-
royok Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading.
Laki-laki berbaju serba merah dan bertubuh tinggi
besar itu langsung menggelepar di tanah, dengan
kepala retak berlumuran darah.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Be-
gitu kakinya menjejak tanah, jurusnya langsung
merubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Secara beruntun dan begitu cepat, segera dile-
paskan pukulan-pukulan yang disertai pengera-
han tenaga dalam tingkat sempurna. Jeritan-
jeritan panjang melengking tinggi seketika lang-
sung terdengar saling sambut.
Hanya berapa gebrakan saja, Pendekar Raja-
wali Sakti sudah berhasil merobohkan lima orang
yang mengeroyok Pandan Wangi dan Eyang Ba-
lung Gading. Kehadiran Rangga yang begitu tiba-
tiba, dan langsung merobohkan lima orang dalam
waktu singkat membuat orang-orang berbaju ser-
ba merah itu jadi kalang kabut. Sebaliknya, keha-
diran Pendekar Rajawali Sakti justru membuat
Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading jadi
gembira. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus
terdengar membelah angkasa. Tubuh-tubuh berge-
limang darah terus berjatuhan tak bernyawa lagi.
Hingga dalam waktu sebentar saja, sekitar dua pu-
luh orang itu sudah bergelimpangan tak bernyawa


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung
Gading berdiri tegak memandangi mayat-mayat
yang bergelimpangan di sekitarnya. Bau anyir da-
rah langsung saja mengusik lubang hidung mere-
ka. "Tidak ada seorang pun yang hidup lagi," desah Pandan Wangi yang memeriksa
semua mayat itu. Gadis itu segera menghampiri Rangga yang
berdiri di samping Eyang Balung Gading. Bebera-
pa saat mereka tidak ada yang bicara. Mereka me-
rayapi lagi orang-orang berbaju serba merah yang
sudah tidak bernyawa lagi itu. Sedikit Rangga
mendongak ke atas, melihat Rajawali Putih masih
melayang-layang di angkasa. Begitu tinggi, sehing-
ga sangat kecil kelihatannya.
*** "Bagaimana kalian bisa bentrok dengan mere-
ka?" tanya Rangga setelah keadaan kembali te-
nang. Dan kini mereka sudah bisa mengatur na-
pas kembali dengan sempurna.
"Kau kenal mereka, Rangga?" Eyang Balung
Gading malah balik bertanya.
Laki-laki tua berjubah kuning gading yang pa-
da dadanya terdapat gambar rantai hitam dan dua
bilah pedang bersilang itu memang selalu me-
manggil Pendekar Rajawali Sakti dengan nama sa-
ja. Terutama, bila sedang berada di luar seperti
ini. Dan tidak ada sikap tata krama seperti di da-
lam istana kerajaan. Dan memang, itulah yang se-
lalu diinginkan Rangga. Dia tidak ingin ada orang
yang memanggilnya Gusti Prabu bila tidak berada
di dalam istana. Pendekar Rajawali Sakti lebih se-
nang orang yang memanggilnya dengan nama,
atau julukannya.
"Ya! Mereka memang orang-orangnya Ratu
Lembah Neraka," sahut Rangga.
Eyang Balung Gading mengerutkan keningnya,
sambil merayapi orang-orang yang bergelimpangan
sudah tak bernyawa lagi itu. Laki-laki tua itu se-
perti tidak percaya atas jawaban Rangga barusa-
ha. Dan sikapnya langsung cepat diketahui Rang-
ga. "Ada apa, Eyang..." Tampaknya kau tidak percaya kalau mereka orang-orangnya
Ratu Lembah Neraka," tanya Rangga langsung mengemukakan
perasaan hatinya.
"Setahuku, Dewi Anjungan tidak punya anak
buah. Dia selalu hidup sendiri dan tidak ingin di-
temani, kecuali oleh Cempaka. Itu sebabnya, ke-
napa dia selalu mencari kesempatan untuk mem-
bawa Cempaka pergi bersamanya," sanggah Eyang
Balung Gading perlahan.
"Aku pernah bertemu beberapa orang dari me-
reka, Eyang. Pakaian dan senjata yang mereka ke-
nakan sama persis," selak Rangga begitu yakin.
"Kau percaya kalau mereka orang-orang Ratu
Lembah Neraka?" Eyang Balung Gading kembali
melontarkan pertanyaan.
"Percaya...," sahut Rangga. Nadanya terdengar seperti ragu-ragu. "Malah aku juga
bertemu dengan nya di Istana Neraka, Eyang.
"Istana Neraka..."!" lagi-lagi Eyang Balung Gading terkejut dengan kening
langsung makin berkerut. "Kenapa Eyang terkejut mendengar Istana Ne-
raka...?" selak Pandan Wangi, heran melihat peru-bahan pada wajah laki-laki tua
berjubah kuning
gading itu. "Aku..., aku..., aku memang terkejut," ujar Eyang Balung Gading jadi tergagap.
"Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menemukan istananya
kembali...?"
Pertanyaan Eyang Balung Gading ini membuat
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melempar
pandang. Mereka jadi heran mendengar kata-kata
laki-laki Ketua Padepokan Baja Hitam itu. Dan
tampaknya, Eyang Balung Gading benar-benar
mengenal wanita cantik seperti Dewi Anjungan
yang berjuluk Ratu Lembah Neraka.
Eyang Balung Gading juga memandangi Rang-
ga dan Pandan Wangi bergantian. Kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi, dia bergegas melangkah ce-
pat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Se-
jenak Rangga dan Pandan Wangi saling melempar
pandang, kemudian bergegas menyusul laki-laki
tua bejubah kuning gading yang sudah berjalan
cukup jauh. Sementara Rangga sempat mendongakkan ke-
pala ke atas. Rajawali Putih masih tampak berada
di angkasa, memutari sekitar daerah ini.
"Ikuti terus, Rajawali," ujar Rangga menggunakan suara batin pada Rajawali
Putih. "Khraaagkh...!"
Suara serak yang keras, sempat mengejutkan
Pandan Wangi. Dan gadis itu mendongak ke atas
sebentar, kemudian berpaling menatap Rangga
yang berjalan cepat sambil mempergunakan ilmu
meringankan tubuh di sampingnya. Sedangkan
Eyang Balung Gading berjalan sekitar enam ba-
tang tombak di depan mereka.
"Kau masih membiarkan Rajawali Putih di sa-
na, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Sampai keadaan terkuasai," sahut Rangga.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dia tahu,
kalau Rangga sudah meminta Rajawali Putih un-
tuk tidak pergi, artinya persoalan ini sudah diang-
gap gawat sekali. Pandan Wangi bisa mengerti ka-
lau Rangga begitu mencemaskan Cempaka. Dan
gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain tetap terus mendampinginya.
Sementara mereka terus berjalan cepat mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh. Jelas sekali
kalau arah yang dituju adalah Lembah Neraka.
Tak ada lagi yang berbicara. Mereka terus berjalan
tanpa berkata-kata lagi sedikit pun.
Eyang Balung Gading seperti tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Mulutnya berde-
cak dan kepalanya menggeleng-geleng, meman-
dangi bangunan tua berbentuk istana, yang berdiri
di tengah-tengah sebuah lembah yang tampak
angker dan menyeramkan ini. Sedangkan Rangga
dan Pandan Wangi mengapitnya di kanan dan kiri
laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Mustahil...," desis Eyang Balung Gading masih belum bisa mempercayai. "Tidak
mungkin dia bisa menemukannya kembali. Tidak mungkin...."
"Ada apa, Eyang" Kau jadi membingungkan
sekali...," tanya Rangga.
"Bertahun-tahun istana ini sirna, dan tak akan
mungkin bisa ditemukan kembali. Tapi...," Eyang Balung Gading menggeleng-
gelengkan kepala, masih belum bisa mempercayai kenyataan yang ter-
jadi di depan matanya.
Sirna..." Apa maksudmu, Eyang?" selak Pan-
dan Wangi juga jadi bingung.
"Ketika baru berusia sembilan tahun, Cempaka
pernah juga diculiknya, dan dibawa ke dalam ista-
na ini. Tidak sedikit sahabatku yang berkorban
untuk merebut Cempaka kembali dari tangannya.
Dan waktu itu, Dewi Anjungan menghilang entah
ke mana, setelah Cempaka berhasil kudapatkan
kembali. Lalu, aku bersama enam orang saha-
batku menghilangkan istana ini, sehingga tidak
bisa terlihat lagi. Hanya satu orang yang bisa
membuat istana ini muncul kembali," tutur Eyang Balung Gading mengisahkan.
"Siapa orang itu, Eyang?" tanya Rangga.
"Resi Wanapati," sahut Eyang Balung Gading.
"Resi Wanapati..." Bukankah dia sudah...?"
Rangga tidak melanjutkan.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rang-
ga," selak Eyang Balung Gading.
Rangga jadi terdiam. Memang sukar sekali per-
soalan yang sedang dihadapinya. Dia tahu Resi
Wanapati sudah meninggal. Dan orang tua itulah
yang mengasuh Danupaksi di padepokannya. Ke-
matian Resi Wanapati pun sudah begitu lama se-
kali. Sedangkan Eyang Balung Gading masih tetap
membisu sambil memandangi bangunan istana
tua di tengah Lembah Neraka itu.
"Eyang, jelaskan semuanya. Siapa Dewi An-
jungan itu" Dan kenapa menculik Cempaka?" pin-
ta Rangga bersungguh-sungguh.
"Dia adik kandung Kunti Sulistya, ibu kan-
dung Dewi Cempaka. Sejak aku membawa Ibu
Kunti Sulistya yang sedang mengandung ke Gu-
nung Puting, Dewi Anjungan selalu mengikuti te-
rus. Dan setelah Cempaka lahir, dia berusaha
mengambil anak itu. Terlebih lagi setelah Ibu Kun-
ti Sulistya meninggal, begitu habis melahirkan
Cempaka. Dia merasa berhak atas diri Cempaka,
dan menuduhku telah menculiknya," jelas Eyang
Balung Gading singkat.
"Lalu, apakah Cempaka tahu tentang ini se-
mua?" selak Pandan Wangi bertanya.
"Ya," sahut Eyang Balung Gading. "Dan dia tidak pernah mau mengakui kalau Dewi
Anjungan adalah bibinya. Karena, tindakan dan sifat-
sifatnya begitu kejam, dan selalu menuruti kata
hati iblis."
"Eyang! Tadi kau katakan, istana itu telah di-
lenyapkan. Bagaimana itu bisa terjadi...?" Rangga ingin tahu.
"Dari gabungan beberapa ilmu kesaktian,
Rangga. Tujuh orang, termasuk aku, berusaha
siang malam melenyapkan istana itu. Dan peker-
jaan itu baru berhasil setelah tujuh hari kami be-
rusaha. Sedangkan seluruh kuncinya berada di
tangan Resi Wanapati," Eyang Balung Gading
menjelaskan. "Berupa apa, Eyang?"
"Tenaga batin," sahut Eyang Balung Gading.
"Tenaga batin..."!"
"Benar. Kenapa, Rangga?"
"Aku sering mendengar tentang beberapa ilmu
kesaktian yang menggunakan tenaga batin. Dan
biasanya, kekuatannya akan hilang jika yang me-
megang kunci kekuatan itu meninggal, tanpa
sempat memindahkan ke orang lain. Sedangkan
Resi Wanapati meninggal tanpa sempat mengata-
kan atau melakukan sesuatu," kata Rangga lagi.
"Jadi...?"
"Kekuatan dari gabungan tujuh ilmu kesaktian
yang digunakan untuk melenyapkan istana itu,
secara langsung menghilang begitu pemegang
kuncinya meninggal. Dan itu berarti Dewi Anjun-
gan bisa memiliki istananya kembali, tanpa harus
bersusah payah merebutnya lagi," Rangga terus
menjelaskan. "Ohhh..., Dewata Yang Agung.... Kenapa aku
tidak berpikir sampai ke sana...?" desah Eyang Balung Gading.
"Maaf, Eyang. Bukannya aku menggurui," ucap Rangga.
"Tidak, Rangga. Kau benar sekali. Istana itu
memang akan muncul kembali kalau pemegang
kuncinya sudah meninggal. Dan aku sama sekali
tidak ingat kalau Resi Wanapati yang memegang
kunci gabungan tujuh ilmu kesaktian itu sudah
Petualang Asmara 8 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Pedang Sakti Tongkat Mustika 17
^