Pencarian

Geger Putri Istana 2

Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana Bagian 2


meninggal. Ah...! Dasar aku sudah tua...!"
Eyang Balung Gading menepuk keningnya
sendiri. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi jadi
tersenyum-senyum. Kini sudah jelas persoalannya.
Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lem-
bah Neraka, sebenarnya adalah bibi dari Cempaka
sendiri. Dan sebenarnya pula, dia berhak atas diri
Cempaka. Tapi bagaimanapun juga, cara yang di-
lakukan menyusahkan orang banyak.
Dewi Anjungan memang termasuk tokoh persi-
latan golongan hitam. Jadi tidak heran kalau
Cempaka sendiri tidak menyukainya. Bahkan sa-
ma sekali tidak menganggap wanita itu bibinya.
Itu bisa dimaklumi, karena Cempaka sejak masih
bayi mendapat bimbingan ilmu-ilmu putih dari
Eyang Balung Gading, yang telah mengangkatnya
sebagai anak. "Lantas, apa yang akan kita lakukan seka-
rang...?" tanya Pandan Wangi memecah kebisuan
yang terjadi di antara mereka.
"Itulah sulitnya, Pandan...," desah Eyang Balung Gading.
"Maksud, Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Terlalu sulit untuk bisa masuk ke dalam ista-
na itu. Kau pasti tidak akan mengerti. Terlalu ba-
nyak hal yang tidak bisa kau pahami di sana. Is-
tana itu benar-benar tempat iblis. Terlalu banyak
jebakan yang sulit dilalui, meskipun kau memiliki
ilmu kesaktian yang tinggi sekalipun. Aku sendiri
tidak akan mungkin bisa masuk ke sana hanya
seorang diri saja," kata Eyang Balung Gading
mencoba menjelaskan.
Pandan Wangi langsung melirik Pendekar Ra-
jawali Sakti yang sudah mencoba masuk ke dalam
istana itu. Dan semalam, Rangga memang sudah
menceritakan semua yang dialaminya di dalam Is-
tana Neraka itu. Rangga sendiri baru bisa menca-
pai ruangan depannya saja. Dan itu pun sudah
mendapat halangan yang tidak mudah dilalui begi-
tu saja. Bisa-bisa akan mati di sana, jika terus
bertindak nekat.
"Kalau tidak bisa masuk ke sana, lalu bagai-
mana bisa membebaskan Cempaka...?" Pandan
Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.
Tidak ada seorang pun yang menjawab perta-
nyaan si Kipas Maut itu. Terlebih lagi Eyang Ba-
lung Gading, yang sudah pernah menghadapi Ratu
Lembah Neraka di dalam Istana Neraka itu juga.
Dan dia sendiri tidak tahu, dengan cara apa bisa
masuk ke dalam sana. Meskipun, laki-laki tua itu
tahu betul seluk beluknya.
Kembali mereka semua terdiam membisu. Be-
nak mereka terus berputar, mencari cara agar bisa
membebaskan Cempaka dari dalam Istana Neraka
itu. Dan tampaknya, mereka benar-benar mene-
mui jalan buntu. Rangga sendiri yang sudah men-
coba masuk ke sana, terpaksa harus keluar lagi.
Memang sulit sekali jika sudah berada di dalam
bangunan istana tua di Lembah Neraka itu.
*** 4 Malam sudah menyelimuti seluruh daerah
Lembah Neraka ini. Langit tampak gelap, karena
terselimut awan tebal yang menggumpal hitam.
Sehingga, rembulan sepertinya tak sanggup mem-
bagi cahayanya ke atas permukaan bumi ini.
Sementara itu, Rangga berdiri tegak di depan
mulut gua yang tampak terang oleh nyala api un-
ggun. Dari depan gua ini, Pendekar Rajawali Sakti
bisa memandang jelas ke Lembah Neraka, tempat
sebuah bangunan istana tua berdiri di sana. Se-
mentara, Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading
duduk menghadapi api unggun di dalam gua yang
tidak begitu besar ini.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya
menuju ke jalan setapak yang penuh ditebari batu
kerikil. Dia terus melangkah dengan pandangan
tertuju lurus ke depan bangunan istana tua itu.
Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Selu-
ruh perhatiannya tertumpah pada bangunan Ista-
na Neraka itu, sehingga tidak menyadari kalau
kakinya melangkah menuju ke bangunan istana
tua di Lembah Neraka itu.
"Hmmm...."
Rangga baru berhenti melangkah, setelah be-
rada dekat di depan pintu bangunan istana tua
itu. Tidak seperti pertama kali datang dulu, pintu
itu kini tertutup rapat, dan tampaknya sangat ko-
koh. Beberapa saat lamanya, bangunan yang san-
gat besar dan terbuat dari batu yang sudah ber-
lumut itu diamati. Sunyi sekali keadaan sekitar-
nya. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar
Lembah Neraka ini.
"Untuk apa kau datang ke sini, Rangga...?"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang menggema,
namun terasa begitu lembut di telinga. Rangga
agak tersentak sedikit, dan sempat menarik ka-
kinya ke belakang satu langkah. Tak ada seorang
pun yang terlihat di sekitarnya. Tapi suara itu de-
mikian jelas terdengar. Dan Rangga sadar kalau
tidak sedang bermimpi. Sebagai seorang pendekar
yang sudah malang melintang menjelajahi rimba
persilatan, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau
suara tadi dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi. Sehingga tidak bisa diketahui dari
mana arah sumber suara itu datang.
"Siapa kau..."!" seru Rangga agak lantang suaranya.
"Kau tidak bisa melihatku, Rangga..." Aku ada
di sini," terdengar sahutan lembut.
Pendekar Rajawali Sakti cepat mendongakkan
kepala ke atas. Sungguh hatinya jadi terkejut, be-
gitu melihat seorang wanita cantik tengah berdiri
di bagian atas bangunan yang berbentuk beranda
itu. Memang, tahu siapa wanita berwajah cantik
dan dengan tubuh indah menggiurkan itulah wa-
nita yang bernama Dewi Anjungan, dan dikenal
berjuluk Ratu Lembah Neraka.
Julukan itu diberikan, karena istananya ini
berada di tengah-tengah Lembah Neraka.
"Aku tahu, kau pasti ingin masuk ke dalam is-
tanaku ini. Naiklah ke sini, Rangga...," ujar Dewi Anjungan. Suaranya masih
tetap lembut, meskipun jelas sekali dikeluarkan menggunakan penge-
rahan tenaga dalam.
Pendekar Rajawali Sakti masih tetap diam
membisu memandangnya. Memang tidak sulit
mencapai beranda atas itu. Tapi dia berpikir ka-
lau-kalau ini hanya sebuah jebakan saja. Rangga
teringat akan kata-kata Eyang Balung Gading, ka-
lau Istana Neraka ini penuh berbagai bentuk jeba-
kan yang sangat berbahaya dan mematikan. Dan
hal itu sendiri sudah pernah dialaminya, meski-
pun baru sampai di bagian ruangan depan saja.
"Kenapa kau diam saja, Rangga" Ayo naiklah
ke sini...!" seru Dewi Anjungan mengajak.
"Kenapa tidak kau saja yang turun ke sini...?"
balas Rangga. "Ha ha ha...! Kau ini aneh, Rangga. Kau datang
ke sini, itu berarti tamuku. Untuk apa aku harus
turun ke bawah menemuimu..." Seharusnya, kau-
lah yang naik ke sini menemuiku, Rangga."
Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian....
"Hup!"
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melom-
pat ke atas. Hanya sekali lompatan saja, sudah
sampai di beranda atas itu, tepat di depan Dewi
Anjungan. Wanita itu tersenyum manis sekali me-
lihat cara Rangga yang melompat begitu indah dan
ringan, ke atas beranda bangunan istana ini. Dan
itu sudah menandakan kalau Rangga memiliki il-
mu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan.
"Hebat...! Tidak banyak orang yang bisa naik
ke sini hanya satu kali lompatan saja," puji Dewi Anjungan diiringi senyum
lebar. "Terima kasih," ucap Rangga.
"Kau ingin masuk ke dalam?" Dewi Anjungan
menawarkan dengan sikap manis.
Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit.
Sementara wanita cantik itu memutar tubuhnya
berbalik, kemudian melangkah masuk ke dalam.
Rangga mengikuti dari belakang. Pendekar Raja-
wali Sakti langsung berdecak kagum, begitu bera-
da di dalam sebuah ruangan yang sangat besar
dan indah. Bangunan ini benar-benar sebuah is-
tana. Mereka terus berjalan melewati beberapa
ruangan yang besar-besar dan indah, dan baru
berhenti setelah sampai pada salah satu ruangan
yang juga berukuran besar dan sangat indah juga
Rangga tahu, ini merupakan sebuah ruangan un-
tuk menjamu para tamu. Mereka kemudian duduk
menghadapi sebuah meja berukuran besar dan
panjang, yang bagian atasnya berkilat penuh hi-
dangan nikmat. Beberapa guci arak juga tersedia.
Dan semua perabotan yang memenuhi ruangan ini
terbuat dari perak yang sangat halus sekali bua-
tannya. Tapi ada satu keanehan yang dirasakan Pen-
dekar Rajawali Sakti. Sejak tadi, dia tidak melihat
ada seorang pun di sini. Tidak ada penjaga, atau
para pelayan. Keadaannya begitu sunyi. Dan di
dalam ruangan yang berukuran besar ini, hanya
ada dia dan Dewi Anjungan saja.
"Kau tinggal di sini sendiri?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ya," sahut Dewi Anjungan singkat.
"Tidak ada yang menemanimu?"
Dewi Anjungan malah tertawa. Begitu renyah,
dan merdu sekali suaranya terdengar di telinga.
Rangga melihat kalau wanita ini tidaklah seperti
yang digambarkan Eyang Balung Gading. Sama
sekali tidak terlihat adanya kekejaman pada di-
rinya. Sorot matanya begitu indah dan wajahnya
cantik sekali. Ditambah lagi bentuk tubuhnya be-
gitu indah, membuat mata siapa saja pasti tidak
akan berkedip memandangnya. Wanita ini benar-
benar sempurna. Dan tak terlihat sedikit pun ka-
lau memiliki hati kejam, sekejam hati iblis.
Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, apa benar
wanita secantik dan periang seperti ini bisa mela-
kukan perbuatan sekeji iblis" Tapi ketika pertama
kali bertemu di ruangan depan, sama sekali Rang-
ga juga tidak melihat ada satu sorot kekejaman.
Dan yang dilakukan Dewi Anjungan ketika itu
memang sangat wajar bagi orang-orang yang hi-
dup di dalam lingkungan rimba persilaian.
"Aku sengaja menunggu, dan menyediakan
semua ini untukmu, Rangga," kata Dewi Anjungan
lagi. "Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Rangga masih bersikap curiga,
mengingat kata-kata Eyang Balung Gading mengenai wanita cantik
ini. "Aku suka melakukan sesuatu yang menye-
nangkan. Dan aku ingin menyenangkanmu, Rang-
ga. Apakah berlebihan...?"
Lagi-lagi Rangga hanya mengangkat bahu saja.
Sikap Dewi Anjungan memang sungguh mem-
buatnya bingung. Wanita ini begitu cantik dan
manis sikapnya, seperti wanita bangsawan saja.
Dan Rangga jadi tidak tahu, apa yang harus dila-
kukannya. Sementara Dewi Anjungan sudah men-
gajaknya untuk menikmati hidangan yang sudah
disediakan. Rangga sendiri tidak bisa lagi menolak
kebaikan hati wanita ini.
*** Malam itu, Dewi Anjungan menunjukkan selu-
ruh bagian dari ruangan-ruangan yang ada di da-
lam istananya ini. Tak ada tanda-tanda sedikit
pun kalau istana ini memiliki jebakan maut yang
sangat berbahaya dan mematikan, seperti yang di-
katakan Eyang Balung Gading. Meskipun dari luar
kelihatan begitu angker dan sudah tua, tapi Rang-
ga melihat kalau istana ini begitu indah dan me-
nyenangkan. Tidak jauh berbeda dengan istana
kerajaan lain, yang pernah dikunjunginya. Bahkan
Rangga merasa kalau keindahan dan kemegahan
istana ini lebih daripada Istana Karang Setra.
Kini mereka kembali ke teras depan di atas
bangunan istana ini, seperti pertama kali Rangga
datang tadi. Mereka duduk di sana menghadapi
seguci arak, sambil memandang bulan yang ten-
gah mengintip dari balik awan. Begitu indah sua-
sana malam ini. Dan Rangga harus jujur menga-
kui, kalau keindahan ini justru Dewi Anjungan
yang menciptakannya.
"Sekali lagi, aku minta maaf atas perlakuanku
waktu itu, Rangga," ucap Dewi Anjungan, mengin-
gatkan kejadian kemarin.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kenapa kau kemarin begitu memusuhiku?"
tanya Rangga ingin tahu sikap Dewi Anjungan
yang sangat jauh perbedaannya saat ini.
"Terus terang, aku masih diliputi ketegangan,


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga. Belum ada satu tahun aku bisa menghi-
rup udara segar kembali, dan bisa lagi melihat in-
dahnya bulan. Selama bertahun-tahun aku terku-
rung. Aku tak memiliki kepastian, apakah sudah
mati atau hidup. Dan lagi..., belum juga hatiku
merasa tenang, sudah muncul gangguan-
gangguan tidak menyenangkan yang membuatku
marah. Aku benar-benar merasa tegang waktu itu,
Rangga. Sampai-sampai aku tidak tahu lagi, apa
yang harus kulakukan, selain mengusir paksa sia-
pa saja yang datang ke sini," jelas Dewi Anjungan.
"Lalu, apa sekarang kau sudah merasa te-
nang?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sedikit," sahut Dewi Anjungan langsung me-neguk arak, hingga tandas tak bersisa
lagi. Rangga menuangkan arak dari guci ke dalam
gelas Dewi Anjungan yang sudah kosong. Dan dia
sendiri, sejak tadi belum juga habis satu gelas.
Sedangkan wanita itu, entah sudah berapa gelas
arak yang masuk ke dalam perutnya.
"Bibi Dewi, kau tahu maksud kedatanganku ke
sini...?" tanya Rangga lagi.
"Ya, aku tahu," sahut Dewi Anjungan perlahan.
"Kau mencari Cempaka, dan menyangka aku yang
menculiknya. Yaaa..., seperti yang lain. Mereka
langsung datang dan menuduhku menculik Cem-
paka. Padahal, sama sekali aku tidak melakukan
itu. Aku baru saja kembali, dan sekarang belum
punya pikiran untuk melakukan apa-apa. Aku ha-
rus membenahi istanaku dulu, setelah cukup la-
ma terpenjara dalam tirai batin yang begitu kuat."
Rangga diam memandangi wajah cantik yang
duduk tidak jauh di depannya; Dia jadi teringat
cerita Eyang Balung Gading tentang wanita ini dan
Istananya. Langsung bisa dipahami kalau apa
yang dikatakan Eyang Balung Gading memang be-
nar. Dan memang belum ada satu tahun Resi Wa-
napati meninggal. Dan itu berarti memang benar
kalau istana ini telah dilenyapkan selama puluhan
tahun, dan baru muncul kembali setelah Resi Wa-
napati meninggal dunia.
Tapi Rangga baru tahu kalau Dewi Anjungan
ternyata juga ikut lenyap bersama istananya ini.
Itu berarti, Dewi Anjungan berada di dalam istana
ini ketika dilenyapkan oleh tujuh orang tokoh sak-
ti rimba persilatan. Dengan menggabungkan tujuh
macam ilmu kesaktian tingkat tinggi, dan men-
guncinya di dalam batin Resi Wanapati.
"Kau pasti sudah tahu, siapa aku ini sebenar-
nya, Rangga," kata Dewi Anjungan lagi.
"Ya," sahut Rangga singkat.
"Bagaimana pendapatmu, jika aku mengingin-
kan untuk mengurus dan mengasuh keponakanku
sendiri...?" tanya Dewi Anjungan.
"Kau memang punya hak," sahut Rangga.
"Ya! Aku memang punya hak untuk mengurus
Cempaka. Tapi mereka selalu menghalangi, dan
tidak mengizinkan aku merawatnya. Mereka selalu
saja menyangka aku wanita...," Dewi Anjungan tidak melanjutkan.
Sedangkan Rangga hanya diam saja menatap
dalam-dalam wanita berwajah cantik dan meng-
gairahkan ini. Ditunggunya lanjutan kata-kata si
Ratu Lembah Neraka itu. Tapi cukup lama juga
Dewi Anjungan terdiam, dengan mata lurus mena-
tap rembulan yang mengintip dari balik awan.
"Sejak Cempaka lahir, aku sudah ingin mera-
watnya. Tapi mereka tidak pernah mengizinkan.
Berbagai macam cara sudah kutempuh. Sampai-
sampai, aku bertindak kasar. Dan hal itu semakin
menjauhkan aku dari Cempaka. Mereka lalu me-
menjarakan aku dan istana ini, dalam tirai batin
yang tidak bisa kutembus. Puluhan tahun aku be-
rada dalam ketidakpastian antara hidup dan mati.
Tapi sekarang..., setelah aku kembali sendiri.
Hhh..., dunia ini benar-benar tidak adil. Selalu sa-
ja penderitaan yang kudapati. Sedikit pun aku ti-
dak pernah merasa ada kebahagiaan menghampi-
ri," nada suara Dewi Anjungan terdengar menge-
luh. "Jadi, kau benar-benar tidak tahu di mana
Cempaka berada sekarang ini?" tanya Rangga in-
gin memastikan.
"Kau sudah lihat sendiri, Rangga. Seluruh
ruangan di istana ini sudah kau periksa. Tidak
ada lagi yang kusembunyikan di sini," tegas Dewi Anjungan. "Bertahun-tahun aku
tidak pernah lagi melihat Cempaka. Dan aku tidak tahu lagi, bagaimana rupanya
sekarang ini. Pasti dia sudah tum-
buh menjadi seorang gadis yang cantik sekali."
"Ya, dia memang cantik. Dan aku sangat me-
nyayanginya," sambut Rangga.
"Kau pantas menyayanginya, Rangga. Karena,
kau adalah kakaknya. Dan sudah sepantasnya ka-
lau kau menjaga dan melindunginya."
"Aku sudah berusaha sebaik mungkin."
Kembali mereka terdiam beberapa saat la-
manya. "Bibi Dewi! Beberapa orang di istanaku meli-
hat, kau yang membawa Cempaka...," kata Rangga
bernada terputus suaranya.
"Hm...," Dewi Anjungan jadi tersenyum sinis.
Dan Rangga jadi terdiam.
"Aku sudah lenyap selama puluhan tahun ber-
sama istanaku ini, Rangga. Kenapa kau begitu
mudah percaya pada omongan kosong seperti
itu..." Apa kau tidak pernah berpikir, seseorang
yang telah menghilang puluhan tahun bisa dengan
mudah dikenali begitu saja" Dan terakhir kali aku
melihat Cempaka, saat dia berumur sekitar.... Ah,
entahlah. Aku tidak ingat lagi. Dan aku juga su-
dah lupa, bagaimana rupanya sekarang ini."
"Kau sudah tahu keponakanmu hilang, tapi
kenapa diam saja, Bibi Dewi?"
"Aku tidak ingin lagi larut dengan segala ma-
cam urusan dunia, Rangga. Tapi, aku juga ikut
memikirkan keadaan Cempaka saat ini. Hanya sa-
ja, aku sekarang tidak bisa berbuat apa-apa dulu.
Penjara batin yang kuderita beberapa tahun telah
menguras hampir seluruh kekuatanku. Dan keku-
atanku itu harus kupulihkan dulu, sebelum kem-
bali ke dunia ramai. Aku sama sekali tidak bisa
melakukan apa-apa, sampai kekuatanku kembali
pulih seperti semula," ujar Dewi Anjungan menjelaskan. "Tidak lama lagi, seluruh
kekuatanku pulih kembali. Dan aku pasti akan mencari Cempa-
ka. Tapi sekarang, aku tidak mau lagi memaksa-
kan kehendakku. Aku akan menerima kalau Cem-
paka memang lebih senang tinggal di Karang Se-
tra. Tapi, istana ini juga tidak tertutup baginya.
Juga untukmu, Rangga."
Lagi-lagi Rangga hanya diam saja. Macam-
macam pikiran langsung saja berkecamuk dalam
kepalanya. Memang, apa yang dilihat dan diden-
garnya sekarang ini tidak bisa lagi dibantah. Se-
tiap sudut istana ini sudah dilihatnya. Tidak ada
satu ruangan pun yang terlewatkan, dan ternyata
Cempaka memang tidak ada di dalamnya. Bahkan
sikap Dewi Anjungan sama sekali tidak menun-
jukkan tanda-tanda seperti yang dikatakan Eyang
Balung Gading. Rangga tidak bisa lagi menuduh, kalau wanita
ini yang menculik Cempaka. Kini semua persoalan
baginya jadi buntu. Sekarang Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu lagi di mana Cempaka berada,
dan siapa yang menculiknya. Kepala pendekar
muda itu jadi terasa pening memikirkannya. Me-
mang, belum bisa dikatakan begitu saja kalau
orang-orang di Istana Karang Setra melihat Cem-
paka diculik. Namun Pendekar Rajawali Sakti juga
tidak menuduh kalau hal itu adalah dusta.
Tapi kalau dilihat lenyapnya Dewi Anjungan
yang sudah puluhan tahun, dan belum lama baru
muncul kembali, rasanya memang mustahil jika
ada orang yang langsung mengenalinya begitu sa-
ja. Dan memang, tidak mungkin kalau Dewi An-
jungan masih bisa mengenali rupa Cempaka seka-
rang ini. Karena, terakhir kali melihat, Cempaka
masih terlalu kecil. Dan sekarang, Cempaka sadah
menjadi seorang gadis cantik. Bahkan merupakan
sekuntum bunga yang mengharumkan Istana Ka-
rang Setra. *** Lewat tengah malam, Rangga baru meninggal-
kan Istana Neraka itu. Memang aneh kalau ban-
gunan itu dinamakan Istana Neraka. Karena, kea-
daannya begitu indah dan megah sekali. Sungguh
berlawanan jika dipandang dari luar, yang tampak
menyeramkan sekali.
Dewi Anjungan sendiri yang mengantarkan
Pendekar Rajawali Sakti sampai di pintu depan.
Dan Rangga terus berjalan meninggalkan istana
itu tanpa berpaling lagi ke belakang. Pendekar Ra-
jawali Sakti baru berhenti setelah tiba di jalan se-
tapak yang menghubungkan lembah itu dengan
dunia luar. Rangga baru memutar tubuhnya, dan
memandang ke arah bangunan istana tua itu.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri
mematung, memandangi bangunan Istana Neraka.
Kemudian, dia kembali melangkah menuju gua
yang tidak seberapa jauh dari jalan setapak di se-
kitar Lembah Neraka ini. Di dalam gua itu, Rangga
meninggalkan Pandan Wangi dan Eyang Balung
Gading. Sementara malam terus merayap semakin
bertambah larut. Dan udara di sekitar lembah ini
terasa begitu dingin merasuk sampai ke tulang.
"Dari mana, Kakang...?"
"Oh..."!"
Rangga agak tersentak, ketika mendengar te-
guran lembut. Kepalanya yang tertunduk langsung
terangkat. Di depannya, tahu-tahu sudah berdiri
Pandan Wangi. Sungguh sama sekali tidak disada-
rinya kalau sudah berada dekat dengan gua kecil
itu. Api unggun di dalam gua masih kelihatan me-
nyala. Tampak Eyang Balung Gading duduk bersi-
la, bersikap semadi. Sementara Pandan Wangi su-
dah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan
berdiri sekitar dua langkah lagi di depannya.
"Aku cari ke mana-mana, kau tidak ada. Ke
mana saja sih...?" Pandan Wangi agak memberen-
gut. "Aku ke istana itu," sahut Rangga agak mendesah. "Ke sana..."!" Pandan
Wangi mendelik kaget.
"Iya," sahut Rangga lagi.
"Lalu...?" desak Pandan Wangi jadi ingin tahu.
Rangga hanya menghembuskan napas panjang
seraya mengangkat bahu sedikit. Kemudian tu-
buhnya dihempaskan di atas sebatang akar yang
menyembul keluar dari dalam tanah. Pandan
Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Tampaknya, dia masih menunggu jawaban
Rangga. "Kau temukan Cempaka di sana, Kakang?"
tanya Pandan Wangi lagi tidak sabar.
"Tidak," sahut Rangga. "Cempaka tidak ada di sana."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."
"Ketika ke sana, aku disambut baik Dewi An-
jungan. Bahkan diantar berkeliling, memeriksa se-
luruh istana itu. Tidak ada yang terlewat, dan
Cempaka memang tidak ada di sana," jelas Rang-
ga. "Terus...?" desak Pandan Wangi.
"Ya.... Tampaknya Dewi Anjungan memang ti-
dak menculik Cempaka, Pandan. Dan dia sama
sekali jauh berbeda dari yang dikatakan Eyang Ba-
lung Gading. Dia begitu ramah dan baik sekali. Ti-
dak ada tanda-tanda kalau dirinya seorang wanita
kejam. Sama sekali tidak terlihat kejanggalan di
sana. Semuanya dalam keadaan wajar, dan tidak
ada satu jebakan pun kutemui. Bahkan Dewi An-
jungan mengakui kalau dia dan istananya terku-
rung oleh tirai batin yang kuat," jelas Rangga panjang lebar.
"Tapi kata Eyang Balung Gading, dia wanita li-
cik, Kakang. Dia itu ular berkepala dua," sergah Pandan Wangi, seakan-akan tidak
percaya atas cerita Rangga mengenai si Ratu Lembah Neraka dan
istananya itu. "Sekarang ini, aku belum bisa menentukannya
dengan pasti, Pandan."
Pandan Wangi jadi terdiam. Dan Rangga juga
diam membisu. Entah, berapa lama mereka ber-
diam diri. Berbagai macam pikiran berkecamuk di
dalam kepala masing-masing.
"Pandan, kau ingat siapa-siapa saja yang meli-
hat Cempaka diculik waktu itu?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri
membisu. "Hampir semua orang yang ada di istana, Ka-
kang," sahut Pandan Wangi.
"Di istana, hanya Ki Lintuk saja yang tertua.
Dan sama sekali Ki Lintuk tidak pernah berurusan
dengan Dewi Anjungan. Sedangkan yang lain, ti-
dak pernah melihat sebelumnya. Hmmm...," Rang-
ga jadi bergumam, bicara pada diri sendiri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...?"
tanya Pandan Wangi semakin bertambah bingung.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh, Pandan,"
gumam Rangga, masih seperti untuk diri sendiri.


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh...?"
"Ya," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bangkit ber-
diri. Sedangkan Pandan Wangi hanya bisa me-
mandangi dengan sinar mata masih diliputi keti-
dakmengertian. "Aku akan ke Karang Setra dulu, Pandan. Kau
tetap di sini bersama Eyang Balung Gading. Dan
besok pagi-pagi sekali, aku sudah ada di sini lagi,"
kata Rangga buru-buru.
"Eh..."!"
Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi,
karena Rangga sudah melesat begitu cepat. Se-
hingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh
Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat
lagi. Pandan Wangi jadi termangu sendiri, terus
menduga-duga dalam hati. Apa sebenarnya yang
sedang terjadi sekarang ini..."
*** 5 Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba,
membuat seluruh penghuni Istana Karang Setra
jadi geger. Terlebih lagi, Rangga datang di tengah
malam buta seperti ini. Padahal, semua orang se-
dang terlelap dalam buaian mimpi. Dan memang,
Rangga tidak mengalami kesulitan sedikit pun,
meskipun harus menempuh perjalanan yang begi-
tu jauh. Karena Pendekar Rajawali Sakti memang
menunggang Rajawali Putih. Sehingga, dia bisa
begitu cepat sampai di Istana Karang Setra dari
Lembah Neraka. Rangga langsung membawa Danupaksi, Ki Lin-
tuk, Paman Bayan Sudira ke dalam kamar priba-
dinya. Dan siapa pun dilarang untuk masuk ke
dalam ruangan ini. Sikap yang aneh ini membuat
mereka jadi bertanya-tanya di dalam hati. Mereka
duduk melingkari sebuah meja bundar yang bera-
da di tengah-tengah ruangan itu.
"Aku ingin bertanya pada kalian semua. Dan
aku ingin jawaban jujur, tanpa harus ada yang di-
tutupi," ujar Rangga begitu sungguh-sungguh na-
da suaranya. Danupaksi, Ki Lintuk, dan Paman Bayan Sudi-
ra hanya diam saja. Mereka saling melemparkan
pandang, satu sama lain.
"Aku ada di sini bukan sebagai raja. Dan ka-
lian tidak perlu bersikap sungkan padaku," kata Rangga lagi mengingatkan.
Belum ada seorang pun yang membuka suara.
Dan untuk beberapa saat, keadaan menjadi sunyi.
Rangga sendiri terdiam membisu beberapa saat,
sambil merayapi wajah-wajah yang berada di de-
pannya. "Siapa saja di antara kalian yang melihat pen-
culik Cempaka?" tanya Rangga langsung, dengan
nada suara agak ditekan. Semua kepala bergerak
menggeleng. "Jadi tidak ada seorang pun yang melihat?"
"Aku datang, si penculik itu sudah pergi, Ka-
kang," jelas Danupaksi.
"Jadi, siapa yang melihat?" tanya Rangga lagi.
"Tidak ada," Ki Lintuk yang menyahuti.
"Semua prajurit yang memergokinya tewas,"
sambung Paman Bayan Sudira.
"Tidak ada..." Lalu, kenapa kalian bisa me-
nyangka kalau Ratu Lembah Neraka yang mencu-
lik Cempaka...?" agak tinggi nada suara Rangga.
Tidak ada yang menjawab seorang pun.
"Ki Lintuk..., kau pernah berurusan dengan
Ratu Lembah Neraka?" tanya Rangga seraya me-
natap tajam laki-laki tua itu.
"Tidak," sahut Ki Lintuk.
"Kau tahu, bagaimana rupa wanita itu?" tanya Rangga lagi.
Kali ini, jawaban Ki Lintuk hanya dengan ge-
lengan kepala saja.
"Dan kau, Paman Bayan Sudira...?" Rangga beralih menatap Paman Bayan Sudira.
"Aku juga belum pernah bertemu dengannya.
Namanya saja baru kudengar kali ini," sahut Pa-
man Bayan Sudira.
"Dewata Yang Agung...," desah Rangga. "Kalian semua tidak ada yang
mengetahuinya, tapi kenapa
bisa mengatakan penculik itu adalah Ratu Lembah
Neraka...?"
"Kakang...," selak Danupaksi. "Ya, ada apa...?"
"Cempaka pernah cerita, dia punya seorang bi-
bi yang sudah bertahun-tahun menghilang. Dan
Cempaka banyak cerita tentang bibinya memang
menginginkannya. Dan ketika Cempaka diculik,
aku langsung berpikir ke sana. Maka, kukirim be-
berapa orang telik sandi untuk menyelidiki Lem-
bah Neraka. Mereka mengatakan, di sana memang
ada sebuah bangunan istana. Lalu aku langsung
mengirim beberapa jago istana, prajurit, dan bebe-
rapa panglima. Tapi mereka semua tidak ada yang
kembali lagi. Bahkan aku sempat pergi ke sana,
dan hampir saja tewas. Untung saja Paman Bayan
Sudira segera datang menolongku," jelas Danu-
paksi. "Kenapa kau sampai bisa berpikir ke sana,
Danupaksi?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Aku hanya berpikir, tidak ada orang lain lagi
yang menginginkan Cempaka selain Ratu Lembah
Neraka, Kakang. Karena dia, adalah bibinya Cem-
paka. Dan Cempaka sendiri yang mengatakan ka-
lau bibinya sudah beberapa kali mencoba mere-
butnya dari Eyang Balung Gading. Dan itu sebe-
lum Ratu Lembah Neraka menghilang, Kakang,"
jelas Danupaksi panjang lebar.
"Kau sudah melakukan tindakan yang sangat
ceroboh, Danupaksi," ujar Rangga tegas.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Danupaksi me-
nyesal. "Hhh..., sudahlah," desah Rangga seraya bangkit berdiri dari kursinya.
Sementara Danupaksi hanya tertunduk saja.
Ki Lintuk dan Paman Bayan Sudira juga terdiam,
tidak berkata-kata sedikit pun juga. Sementara
Rangga melangkah menghampiri jendela. Dibu-
kanya jendela itu lebar-lebar, membuat angin ma-
lam yang dingin langsung menerobos masuk me-
nerpa tubuhnya.
"Aku akan pergi lagi. Dan kuminta, jangan ada
seorang pun dari kalian bertiga yang meninggal-
kan istana," pesan Rangga.
Dan belum juga ada yang memberi jawaban,
Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu ce-
pat bagaikan kilat. Sehingga dalam sekejapan ma-
ta saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat
lagi. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar lenyap
seperti tertelan bumi.
*** Bukan hanya Rangga yang jadi bingung. Bah-
kan Eyang Balung Gading pun hampir tak percaya
setelah mendengar semua yang diketahui Pende-
kar Rajawali Sakti. Jalan yang ditempuh sekarang
ini benar-benar sudah buntu. Dan mereka tidak
tahu lagi, ke mana harus mencari Cempaka. Tu-
duhan kalau Dewi Anjungan yang membawa lari
Cempaka, hanya berdasar pada dugaan Danupak-
si saja. Sedangkan adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu, sama sekali tidak mengenal Dewi Anjun-
gan yang dijuluki Ratu Lembah Neraka.
Danupaksi sendiri menduga begitu, karena
mendengar sendiri cerita dari Cempaka tentang di-
rinya. Maka dia langsung menuduh Dewi Anjun-
gan, setelah mendapat berita dari telik sandi yang
dikirimnya untuk menyelidiki Ratu Lembah Nera-
ka itu. Dan sekarang, tidak ada alasan lagi untuk
mencurigai Ratu Lembah Neraka, setelah Rangga
mengetahui sikap dan keadaan istana itu.
"Eyang.... Kau masih ingat saat mengadakan
sayembara di padepokan...?" ujar Rangga setelah cukup lama mereka berdiam diri.
Eyang Balung Gading mengangkat kepala per-
lahan-lahan. Pandangannya langsung tertuju pada
bola mata Pendekar Rajawali Sakti, lalu perlahan
kepalanya bergerak terangguk.
"Kau mengenal semua yang ikut sayembara-
mu" Terutama peserta laki-laki, Eyang," ujar
Rangga lagi. "Ya. Tapi tidak semua," sahut Eyang Balung Gading.
"Sekarang ini kita semua menghadapi jalan
buntu, Eyang. Dan tidak ada salahnya kalau pe-
nyelidikan dimulai lagi dari satu persatu peserta
sayembaramu waktu itu," kata Rangga.
"Maksudmu...?"
"Mereka semua menderita malu dan kekece-
waan yang dalam, Eyang. Jadi bukan mustahil ka-
lau mereka menyimpan dendam, dan ingin men-
guasai Cempaka dengan cara apa pun juga,"
Rangga menjelaskan jalan pikirannya.
"Hmm.... Ya, memang ada kemungkinan juga,
Rangga," gumam Eyang Balung Gading.
Sementara itu, Pandan Wangi yang tidak tahu
apa-apa tentang pembicaraan itu, hanya bisa ber-
diam diri saja. Gadis itu terus mendengarkan dan
mencoba bisa mengerti dari pembicaraan Eyang
Balung Gading dan Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun sulit, tapi sedikit demi sedikit bisa juga
memahaminya. Terlebih lagi setelah Rangga men-
jelaskan tentang sayembara yang diadakan Eyang
Balung Gading beberapa waktu yang lalu. Sehing-
ga, Rangga bisa bertemu kedua adik tirinya. Kini
Pandan Wangi semakin bertambah mengerti.
"Tapi, bagaimana cara menyelidikinya, Ka-
kang" Mereka kebanyakan orang pengembara
yang tidak jelas tempat tinggalnya," kata Pandan Wangi.
"Memang itulah kesulitannya, Pandan Wangi.
Hanya beberapa saja yang menetap," desah Rang-
ga. "Dan lagi, memang tidak mungkin menyelidiki
mereka satu persatu, Rangga. Terlalu banyak yang
ikut sayembara waktu itu. Dan lagi, tidak semua-
nya kukenal. Mereka datang dari segala penjuru,"
sambung Eyang Balung Gading.
Mereka kembali terdiam, dan menemui jalan
buntu lagi. Memang tidak mudah menyelesaikan
persoalan ini. Terlebih lagi, sekarang mereka tidak
memiliki petunjuk sedikit pun juga. Sementara itu,
Eyang Balung Gading mengarahkan pandangan
pada bangunan tua Istana Neraka. Tatapan ma-
tanya begitu tajam dan tak berkedip sedikit pun
juga. Sementara, matahari sudah semakin condong
ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti ta-
di. Dan angin yang berhembus perlahan di sekitar
Lembah Neraka, sudah mulai terasa dingin. Tidak
lama lagi, malam pasti akan datang menyelimuti
seluruh daerah Lembah Neraka ini.
Saat itu, Pandan Wangi sudah kembali masuk
ke dalam gua. Sedangkan Rangga mencari ranting-
ranting kering untuk dijadikan kayu bakar malam
nanti. Sementara, Eyang Balung Gading masih
berdiri tegak memandang ke arah Istana Neraka
yang berdiri angker di tengah-tengah Lembah Ne-
raka itu. Matahari pun semakin jauh tenggelam di
belahan bumi Barat. Cahayanya semakin meredup
saja, mengiringi hembusan angin yang semakin te-
rasa dingin. Entah disadari atau tidak, perlahan-lahan
Eyang Balung Gading melangkahkan kakinya me-
nuju Istana Neraka itu. Sorot matanya masih tetap
tajam, tak berkedip sedikit pun juga. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi sama sekali tidak tahu
kalau Eyang Balung Gading menghampiri istana
tua itu. Dan laki-laki tua berjubah kuning gading
dengan sulaman bergambar rantai hitam dan dua
bilah pedang bersilang di dadanya, semakin men-
dekati Istana Neraka saja.
Meskipun ayunan kakinya kelihatan begitu
perlahan, tapi Eyang Balung Gading sebenarnya
bergerak cepat. Dan itu berarti ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan. Sehingga, sebentar saja dia
sudah sampai di depan pintu bangunan megah
yang kelihatan angker di Lembah Neraka ini.
Eyang Balung Gading berhenti tepat sekitar lima
langkah lagi di depan pintu berukuran sangat be-
sar dan tampak tertutup rapat.
"Hmmm...," Eyang Balung Gading menggumam
perlahan. Kakinya kembali terayun melangkah mendeka-
ti pintu itu. Perlahan-lahan tangan kanannya
menjulur ke depan, dan mendorong pintu istana.
Keningnya jadi bertambah berkerut, ketika pintu
yang terbuat dari kayu jati tebal dan besar itu ber-
gerak terdorong.
Kryieeet...! Suara bergerit terdengar menggiris, saat pintu
itu bergerak terbuka. Eyang Balung Gading me-
langkah memasuki istana itu, lalu berhenti seben-
tar di ambang pintu yang sudah terbuka cukup
lebar. Sebentar diamatinya keadaan di dalam yang
tampak terang benderang oleh beberapa pelita


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menggantung. Perlahan-lahan kaki laki-laki
tua itu terayun melewati ambang pintu.
Kryieeet...!"
Brakkk! "Oh..."!"
Eyang Balung Gading agak terperanjat, ketika
tiba-tiba saja pintu di belakangnya bergerak me-
nutup sendiri. Cepat dia melompat menghampiri
pintu itu, dan mencoba membukanya. Tapi, pintu
yang berukuran sangat besar itu tidak bisa lagi di-
buka, seperti terkunci dari luar. Perlahan tubuh-
nya berputar berbalik, dan mengedarkan pandang
ke sekeliling ruangan yang berukuran sangat be-
sar dan tampak megah ini.
"Aku harus hati-hati. Ini pasti awal jebakan Istana Neraka," gumam Eyang Balung
Gading. Perlahan-lahan laki-laki tua Ketua Padepokan
Baja Hitam itu melangkah menyeberangi lantai
ruangan yang luas dan berkilat bagai terbuat dari
batu permata itu. Pandangannya tertuju lurus pa-
da tangga batu setengah melingkar yang ada di
seberang ruangan ini. Sikapnya begitu waspada,
tanpa mengedipkan kelopak mata sedikit pun. Ka-
kinya terayun melangkah begitu ringan, sehingga
sedikit pun tak ada suara yang terdengar saat me-
napak lantai batu yang licin dan berkilat itu.
Eyang Balung Gading berhenti sebentar begitu
berada di ujung bawah tangga. Matanya menatap
tajam ke ujung tangga di atas. Tak ada yang dili-
hat, kecuali sebuah pintu yang tertutup rapat. Ha-
ti-hati sekali Eyang Balung Gading melangkah
meniti anak tangga pertama itu. Dengan tatapan
mata yang tetap tertuju ke pintu di ujung tangga,
kakinya terus melangkah satu persatu, meniti
anak-anak tangga itu.
Tapi ketika sampai di tengah-tengah, menda-
dak saja.... "Heh..."!"
*** Bukan main terkejutnya Eyang Balung Gading,
karena tiba-tiba saja undakan tangga yang dipi-
jaknya mendadak jadi datar. Dan lebih terkejut la-
gi, lantai di ujung bawah tangga tampak terbenam
membentuk sebuah kolam lumpur yang bergolak
mendidih, menyemburkan api dan asap panas
berwarna kemerahan.
"Hap...!"
Eyang Balung Gading cepat-cepat menempel-
kan kedua telapak tangan pada tangga yang kini
sudah rata dan licin, sebelum merosot turun ke
dalam lumpur berapi di bawah sana.
Sungguh menakjubkan! Eyang Balung Gading
bisa meletakkan tangannya seperti cecak, sehing-
ga tidak sampai melorot turun ke dalam kolam
lumpur yang bergolak mendidih mengeluarkan api
itu. "Phuih! Hampir saja...!" dengus Eyang Balung Gading seraya menghembuskan
napas panjang. Sebentar matanya menatap ke atas, pada pintu
yang masih tertutup rapat. Kemudian, perlahan-
lahan dia bergerak maju, sambil terus mengerah-
kan aji kesaktian yang bisa membuatnya berjalan
seperti cecak. Namun belum juga jauh, tiba-tiba
saja.... Slappp! Wusss! "Oh..."! Hup...!"
Lagi-lagi Eyang Balung Gading dibuat terkejut
setengah mati. Karena dari atas, tahu-tahu ber-
munculan puluhan anak panah yang meluncur
cepat bagai kilat ke arahnya. Terpaksa tubuhnya
melenting tinggi-tinggi ke udara, sebelum puluhan
anak panah itu mencapai tubuhnya. Lalu, manis
sekali Eyang Balung Gading meletakkan kedua te-
lapak tangannya pada atap yang terbuat dari batu.
Lalu.... "Hup...!"
Kembali laki-laki tua itu melenting dengan ge-
rakan begitu manis. Begitu cepat dan indahnya
gerakan tubuh Eyang Balung Gading di udara,
dan tahu-tahu sudah menjejakkan kakinya di lan-
tai, tepat di depan pintu di ujung atas tangga batu
itu. Namun belum juga bisa menarik napas lega,
tiba-tiba saja pintu itu terbuka. Dan....
"Heh..."!"
Kedua bola mata Eyang Balung Gading jadi terbe-
liak lebar, begitu dari dalam pintu yang terbuka
tiba-tiba itu muncul seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar berpakaian ketat warna merah menya-
la. Tombak yang tergenggam di tangan kanannya
langsung meluruk deras ke arah dada Ketua Pa-
depokan Baja Hitam itu.
"Uts...!"
Cepat-cepat Eyang Balung Gading memiring-
kan tubuhnya ke kanan, sehingga ujung tombak
yang runcing itu lewat di depan dadanya. Dan pa-
da saat itu juga, tangan kanan Eyang Balung Gad-
ing bergerak cepat menangkap bagian tengah ba-
tang tombak itu. Lalu sambil mengerahkan tenaga
dalam, tombak itu dihentakkan ke belakang.
"Whaaa...!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu jadi menjerit.
Seperti daun kering tertiup angin, tubuhnya
meluncur deras karena tidak dapat menahan hen-
takan tenaga dalam Eyang Balung Gading yang
sudah mencapai tingkat tinggi itu. Begitu deras
tubuhnya meluncur ke bawah, sehingga langsung
tercebur kolam lumpur berapi yang menggolak
mendidih itu. "Hhh...!" Eyang Balung Gading menghem-
buskan napas panjang melihat laki-laki bertubuh
tinggi besar itu berteriak-teriak dan menggelepar
di dalam kolam lumpur berapi itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Eyang
Balung Gading bergegas menerobos masuk ke da-
lam pintu yang sudah terbuka lebar. Dan kini, dia
sudah berada di dalam sebuah ruangan yang juga
berukuran luas. Kepalanya langsung berpaling,
begitu pintu di belakangnya tertutup sendiri.
"Hmmm...," Eyang Balung Gading menggumam
perlahan. Perlahan-lahan Eyang Balung Gading men-
gayunkan kakinya ke tengah-tengah ruangan yang
begitu luas dan megah ini. Sikapnya masih begitu
hati-hati dan waspada. Ayunan kakinya sangat
ringan, karena memang mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Namun begitu sampai di tengah-tengah ruangan
ini, mendadak saja....
Blakkk! "Heh..."!"
Eyang Balung Gading tidak sempat lagi ber-
buat sesuatu, ketika tiba-tiba saja lantai yang di-
pijaknya membelah begitu cepat dan mendadak.
Sehingga, tubuh laki-laki tua itu langsung melun-
cur ke bawah tanpa dapat terkendali lagi. Pada
saat itu, lantai kembali cepat tertutup.
Eyang Balung Gading segera mengerahkan il-
mu meringankan tubuh, sehingga ketika sampai di
dasar dapat mengendalikan dirinya. Hingga, dia
bisa mendarat manis sekali dengan kedua ka-
kinya. Eyang Balung Gading jadi terperanjat se-
tengah mati. Ternyata kini dia berada pada sebuah
ruangan berukuran tidak terlalu besar, dan tam-
pak kotor sekali. Hampir seluruh lantainya dipe-
nuhi rerumputan kering. Bahkan baunya sungguh
tidak sedap. Keadaannya pun tidak begitu terang,
karena hanya sebuah api obor kecil saja yang ada
di dalam ruangan ini.
Eyang Balung Gading melangkah mendekati
sebuah pintu yang tampaknya terbuat dari besi
baja berukuran cukup tebal. Tangannya terulur,
mencoba membuka pintu itu. Keningnya jadi ber-
kerut, karena pintu itu tidak terkunci sama sekali.
Sehingga, pintu itu mudah bisa dibukanya. Perla-
han-lahan Eyang Balung Gading menjulurkan ke-
pala keluar. "Oh..."!"
Lagi-lagi matanya jadi terbeliak lebar, begitu
kepalanya menjulur dari ruangan pengap dan ko-
tor ini. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Tapi semua itu memang bukan mimpi.
"Cempaka...," desis Eyang Balung Gading.
Bergegas Eyang Balung Gading menerobos
masuk ke dalam ruangan yang berukuran tidak
begitu besar ini, tapi tampak lebih bersih dan rapi
daripada ruangan di balik pintu baja itu. Eyang
Balung Gading tidak peduli dengan pintu yang
kembali tertutup. Kakinya terus melangkah cepat
menghampiri seorang gadis yang terbaring di atas
kayu, beralaskan dari kain halus berwarna biru
muda, dan dalam keadaan seperti tidak sadar.
Tak ada gerakan sedikit pun dari gadis yang
mengenakan baju merah muda itu. Hanya gerakan
halus pada dadanya saja yang menandakan kalau
gadis itu masih hidup. Sesaat Eyang Balung Gad-
ing memandangi wajah yang cantik, dan seperti
sedang tertidur pulas itu.
"Cempaka...," panggil Eyang Balung Gading, seraya menyentuh pundak gadis itu.
Tapi, gadis cantik yang terbaring itu tetap di-
am. Memang dia adalah Cempaka, adik tiri Pende-
kar Rajawali Sakti yang selama ini menghilang di-
culik seseorang dari Istana Karang Setra. Melihat
Cempaka hanya diam saja, Eyang Balung Gading
bergegas memeriksa seluruh tubuh gadis ini. Dan
dia jadi melenguh panjang, begitu mengetahui ka-
lau seluruh aliran jalan darah Dewi Cempaka su-
dah tertutup. Sehingga, gadis ini benar-benar tak
berdaya lagi seperti sudah mati.
"Bertahanlah, Anakku. Aku akan mencoba
membebaskanmu dari belenggu ini," ujar Eyang
Balung Gading perlahan.
Laki-laki tua berjubah kuning gading itu ke-
mudian naik ke atas pembaringan ini. Lalu, dia
duduk bersila, bersikap bersemadi. Kelopak ma-
tanya langsung terpejam, dan bibirnya bergerak-
gerak bagai menggeletar kedinginan. Sedangkan
Cempaka masih tetap diam terbaring di depannya
dengan mata terpejam rapat.
"Hesss...! Hep...!"
Tiba-tiba saja kedua tangan Eyang Balung
Gading bergerak cepat. Jemari tangannya begitu
lincah memberi totokan berkali-kali ke sekujur tu-
buh Dewi Cempaka. Tubuh gadis itu tampak jadi
kejang-kejang menerima totokan yang berkali-kali
dari Eyang Balung Gading. Dan ketika ujung jari
telunjuk laki-laki tua itu menotok tepat di bagian
tengah dada yang membusung indah itu, menda-
dak saja.... "Ugkh! Hoekkk...!"
Tubuh Cempaka terangkat naik, dan seketika
itu juga memuntahkan gumpalan darah hitam dari
mulutnya. Kemudian, sekujur tubuhnya langsung
bersimbah keringat. Gadis itu tampak letih sekali,
seperti baru saja melakukan sesuatu yang sangat
melelahkan. Sementara Eyang Balung Gading
langsung menyandarkan punggungnya ke dinding
batu, dengan napas memburu. Keringat bercucu-
ran membasahi seluruh tubuh laki-laki tua itu.
"Ohhh...."
"Oh, cempaka...."
*** 6 Eyang Balung Gading jadi gembira melihat
Cempaka mulai merintih lirih dan menggerak-
gerakkan kepalanya. Perlahan-lahan kelopak mata
gadis itu mengerjap terbuka. Sementara Eyang Ba-
lung Gading sudah menghampirinya, dan kini ber-
diri di samping pembaringan.
Cempaka masih merintih lirih, namun ma-
tanya kembali terpejam. Kepalanya terus bergerak
perlahan. Beberapa saat kemudian, gadis itu
membuka kelopak matanya kembali. Sebentar di-
kerjapkannya, lalu....
"Oh, Ayah...," desisnya tampak terkejut.
Bergegas Cempaka bangkit dari pembaringan,
begitu melihat Eyang Balung Gading berada di da-
lam ruangan ini. Cempaka langsung berlutut dan
memeluk kaki laki-laki tua berjubah kuning gad-
ing itu. Kedua bola mata Eyang Balung Gading ja-
di berkaca-kaca gembira mendapatkan kembali
anak angkatnya yang dalam keadaan selamat.
Meskipun tampaknya gadis itu masih kelihatan le-
lah sekali, setelah seluruh totokan yang menyum-
bat semua jalan darahnya terbebaskan.
"Bangunlah, Anakku," ujar Eyang Balung Gading sambil membangunkan Cempaka.
Perlahan gadis itu bangkit berdiri. Sementara
Eyang Balung Gading melangkah mendekati se-
buah kursi yang berada tidak jauh dari sebuah
jendela kecil yang tertutup rapat. Letaknya cukup
tinggi, jauh dari jangkauannya. Sedangkan Cem-
paka sudah duduk di pinggir pembaringan. Eyang


Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Balung Gading mengedarkan pandangan berkelil-
ing. Kini baru sempat diperhatikannya keadaan
kamar ini. Tidak terlalu buruk, tapi tidak me-
mungkinkan cahaya matahari bisa masuk ke da-
lam. Karena, satu-satunya jendela kecil dalam
keadaan tertutup. Dan lagi, belum tentu seluruh
dinding dan atap serta lantainya berhubungan
langsung dengan luar. Eyang Balung Gading ke-
mudian menatap Cempaka yang juga masih tetap
diam memandangnya.
"Kau tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Cem-
paka?" tanya Eyang Balung Gading.
"Aku.... Aku tidak tahu, Ayah," sahut Cempaka yang masih juga memanggil Eyang
Balung Gading dengan panggilan ayah.
"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini,
Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi
Cempaka terdiam, tidak langsung menjawab
pertanyaan laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut, mencoba
mengingat-ingat apa yang telah
terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan kepalanya
yang tadi tertunduk diangkat kembali, dan lang-
sung pandangannya bertemu tatapan mata ayah
angkatnya ini. Beberapa saat Cempaka masih ter-
diam, tidak menjawab pertanyaan Eyang Balung
Gading. "Bibi Anjungan, Ayah...," desis Cempaka tiba-tiba, "Oh..."
Cempaka langsung menghambur, dan berlutut
di dekat kaki Eyang Balung Gading. Gadis itu
langsung merebahkan kepalanya di pangkuan la-
ki-laki tua berjubah kuning gading ini. Entah ke-
napa, tahu-tahu bahu gadis itu berguncang. Seke-
tika terdengar isak tangisnya yang begitu perla-
han. Jelas, Cempaka berusaha keras agar tidak
menangis di depan laki-laki tua yang selama ini
selalu dianggap ayahnya. Meskipun, dia tahu ka-
lau Eyang Balung Gading bukanlah ayah kan-
dungnya sendiri.
Agak lama juga Cempaka terisak. Sementara
Eyang Balung Gading membiarkan saja gadis itu
menangis di atas pangkuannya, meskipun Cem-
paka sendiri berusaha keras agar isak tangisnya
tidak terdengar. Dengan ujung lengan baju, dis-
ekanya air mata yang membasahi pipinya. Kemu-
dian perlahan kepalanya diangkat, langsung me-
natap wajah Eyang Balung Gading. Senyuman ti-
pis terlihat tersungging di bibir laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Bibi Anjungan membawaku dari istana, Ayah.
Dia datang begitu tiba-tiba. Aku langsung dilum-
puhkan, sebelum bisa berbuat sesuatu, Ayah...,"
agak tersentak suara Cempaka.
"Hmmm.... Jadi, benar-benar dia yang mencu-
likmu, Cempaka...," gumam Eyang Balung Gading
pelan sekali suaranya. Hampir tak terdengar di te-
linga Cempaka. "Dia memaksa agar aku mengikutinya, Ayah.
Aku tidak mau, lalu dia marah. Kemudian aku di-
lumpuhkannya, sehingga seperti mati saja ra-
sanya," sambung Cempaka lagi.
"Apa yang dikehendakinya darimu, Cempaka?"
tanya Eyang Balung Gading.
"Dia ingin mewariskan ilmu-ilmu setannya pa-
daku. Bahkan diharuskan menikah dengan laki-
laki pilihannya. Aku tidak menyukainya, Ayah. Dia
begitu kasar dan mengerikan. Dia tidak lebih dari
iblis...!" agak mendesis nada suara Cempaka.
"Siapa laki-laki itu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi.
"Naga Ireng," sahut Cempaka.
"Naga Ireng...," desis Eyang Balung Gading agak menggeram suaranya.
"Ayah mengenalnya?"
Eyang Balung Gading tidak langsung menja-
wab, tapi malah bangkit berdiri sambil menghem-
buskan napas panjang. Perlahan kakinya melang-
kah mendekati pintu dari besi baja yang tertutup
rapat. Tangannya terulur, mencoba membuka pin-
tu itu. Tapi pintu sudah terkunci, dan tidak bisa
dibuka lagi. Perlahan Eyang Balung Gading me-
mutar tubuhnya, memandang Cempaka yang su-
dah berdiri memandanginya juga. Eyang Balung
Gading kembali melangkah, sambil mengamati se-
tiap sudut dari dinding ruangan ini.
Pada saat itu, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Heh..."!"
"Oh..."!"
*** Suara tawa yang begitu keras menggema dan
tiba-tiba, membuat Eyang Balung Gading dan
Cempaka jadi terkejut. Cepat-cepat Cempaka me-
lompat menghampiri ayah angkatnya ini. Pada
saat itu pintu besi baja terbuka lebar, menimbul-
kan suara bergerit yang menggiris hati. Dan dari
balik pintu, muncul seorang wanita berwajah can-
tik. Dia mengenakan baju warna merah muda
yang begitu tipis, sehingga membayangkan lekuk-
lekuk tubuhnya yang indah dan menggairahkan.
"Dewi Anjungan...," desis Eyang Balung Gading langsung mengenali.
"Sungguh pertemuan yang sangat mengharu-
kan sekali," ucap Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka.
"Selamat datang kem-
bali di istanaku ini, Balung Gading."
"Kenapa kau tidak pernah jera mengganggu
ketenteraman kami, Dewi Anjungan?" dengus
Eyang Balung Gading ketus.
"Aku tidak akan merasa jera sedikit pun untuk
menuntut hakku, Balung Gading," sahut Dewi An-
jungan kalem. "Kau tidak punya hak sama sekali!" sentak
Eyang Balung Gading semakin ketus.
"O, begitukah..." Lalu, apa kau yang lebih ber-
hak untuk mengurus Cempaka" Kau bukan apa-
apa, Balung Gading. Bahkan tidak ada setetes da-
rahmu yang mengalir di tubuhnya. Sedangkan
aku.... Aku adalah bibinya, yang paling berhak un-
tuk mengurus Cempaka!" tegas Dewi Anjungan.
"Kalau saja kau melakukannya dengan cara
baik, dan tidak memaksakan kehendakmu pada
Cempaka untuk maksud-maksud busukmu, tentu
aku tidak akan keberatan. Tapi apa yang kau la-
kukan pada Cempaka, memaksaku untuk tidak
memberikannya padamu!" balas Eyang Balung
Gading semakin dingin.
"Lagakmu seperti manusia yang paling suci di
jagad ini saja, Balung Gading. Aku rasa, kau tidak
lebih kotor dariku!" dengus Dewi Anjungan ketus.
"Semua manusia memang tidak luput dari do-
sa, Dewi Anjungan. Tapi, aku berusaha untuk
memperkecil dosa. Dan Cempaka tetap tidak akan
kuserahkan padamu, jika kau masih tetap mem-
punyai maksud busuk padanya!"
"Ha ha ha...! Seharusnya kau sadar berada di
mana sekarang ini, Balung Gading...?" lantang sekali suara Dewi Anjungan.
Eyang Balung Gading jadi terdiam. Disadari
kalau sekarang ini berada di dalam Istana Neraka,
tempat tinggal Dewi Anjungan. Sebuah istana yang
penuh berbagai macam jebakan maut dan sangat
mematikan. Dan berada di dalam istana ini, itu
berarti sebagian besar nyawanya hampir me-
layang. Jadi hanya tinggal menunggu saat kema-
tian saja. "Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, Dewi Anjun-
gan memutar tubuhnya berbalik. Dan dengan te-
nang sekali wanita itu melangkah keluar dari
ruangan itu. Pintu yang terbuat dari besi baja ko-
koh itu langsung tertutup saat Dewi Anjungan me-
lewatinya. Suara tawa Ratu Lembah Neraka itu
masih terdengar beberapa saat, kemudian suasa-
na kembali jadi sunyi sekali.
"Ayah! Apa kita bisa keluar dari sini?" tanya Cempaka seperti anak kecil.
"Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha ke-
luar dari sini, Cempaka," sahut Eyang Balung
Gading mantap. *** Sementara Eyang Balung Gading memikirkan
cara untuk bisa keluar dari Istana Neraka Itu, di
ruangan lain yang begitu besar dan megah Dewi
Anjungan tampak tengah berbaring. Tubuhnya
yang ramping tampak pasrah di lantai yang bera-
laskan permadani berbulu tebal, bercorak indah.
Kepalanya disandarkan pada bantal yang berben-
tuk bulat, terbuat dari bahan berbulu halus ber-
warna merah muda.
Dia merubah berbaringnya, ketika mendengar
ketukan di pintu. Tak lama kemudian, pintu yang
terbuat dari kayu jadi berukir itu terlihat bergerak terbuka. Lalu, muncul
seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar. Dia mengenakan baju berwarna me-
rah menyala. Laki-laki berperawakan dua kali dari
manusia biasa itu membungkukkan tubuh dengan
sikap begitu hormat.
"Ada apa kau ke sini?" tegur Dewi Anjungan.
"Ada orang datang ke sini, Gusti Ratu," sahut la-ki-laki bertubuh tinggi besar
itu. "Siapa?"
"Seorang pemuda yang pernah datang ke sini,
Gusti Ratu."
"Rangga...," desah Dewi Anjungan langsung
berbinar-binar matanya.
Dewi Anjungan begitu yakin kalau yang datang
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Pedang Bengis Sutra Merah 3
^