Pencarian

Istana Maut 2

Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut Bagian 2


yang kelihatannya tidak berpenghuni itu. Sementara
Rangga menunggu Ki Sara Denta yang belum sadarkan
diri. Serangan gelap yang terjadi sore tadi, membuat Pendekar Rajawali Sakti
berpikir seribu kali untuk
meninggalkan si Tua Gila. Sudah beberapa kali laki-
laki tua itu mendapat serangan dari orang-orang yang
menamakan dirinya Partai Naga.
Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa justru
Ki Sara Denta yang selalu menjadi sasaran, dan bukan
dirinya atau orang lain. Pendekar Rajawali Sakti seketika teringat kata-kata si
Tua Gila, meskipun belum
begitu jelas. Namun setelah dihubung-hubungkan
dengan semua peristiwa yang terjadi, Rangga bisa
mengambil kesimpulan kalau sebenarnya orang yang
menamakan diri Partai Naga tidak menghendaki di-
rinya ada di tempat ini. Dan mereka seperti menyalah-
kan Ki Sara Denta, sehingga mencoba membunuhnya
dengan berbagai cara.
"Hm.... Siapa sebenarnya mereka...?" tanya
Rangga dalam hati.
Pertanyaan seperti itu terus mengganggu piki-
ran Rangga selama ini. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti sekarang tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, selama si
Tua Gila belum siuman. Rangga merasa dirinya seperti
seorang buruan yang tidak bisa berbuat apa-apa, se-
lain menunggu pemburu datang untuk mencincang
tubuhnya. Posisi seperti ini yang tidak pernah dis-
ukainya. Srek! Rangga terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara
berkeresek dari balik semak yang. berasal dari arah
belakangnya. Kepalanya cepat berpaling ke arah
sumber suara. Dan secepat kilat, Pendekar Rajawali
Sakti melompat masuk ke dalam semak yang berada di
belakangnya. "Jangan..!"
Betapa terkejut Rangga begitu melihat yang
disergap ternyata seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun, dan
nyaris melayangkan pukulan. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat
bangkit sambil menjambret tangan gadis itu hingga
ikut berdiri juga.
"Siapa kau?" tanya Rangga seraya mengamati
gadis yang cukup cantik ini.
"Aku.... Aku...," gadis itu meringis kesakitan.
Rangga melepaskan cekalannya pada pergelangan tan-
gan gadis itu, lalu mundur dua tindak. Sedangkan ga-
dis itu masih meringis menahan sakit pada pergelan-
gan tangannya yang tadi dicengkeram kuat oleh Pen-
dekar Rajawali Sakti. Segera tangannya yang terasa
sakit diurut-urut. Pendekar Rajawali Sakti teringat
akan Ki Sara Denta yang ditinggalkannya. Bergegas dia keluar dari semak sambil
membawa gadis yang hampir
saja menjadi sasaran kejengkelannya tadi. Tapi begitu sampai di sana, alangkah
terkejutnya Rangga karena
orang tua yang biasa dipanggil si Tua Gila itu sudah
tidak ada lagi di tempat
"He..."! Di mana dia..."!"
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandan-
gannya berkeliling. Tak ada tanda-tanda sama sekali
kalau Ki Sara Denta pergi dari tempat ini. Dan sein-
gatnya, si Tua Gila belum sadarkan diri. Rangga lang-
sung menatap tajam gadis muda di sampingnya.
"Gara-gara kau...!" dengus Rangga melam-
piaskan kegusarannya pada gadis itu.
"He...! Kenapa kau marah padaku...?" gadis itu mendelik, tidak menerima dirinya
dijadikan sasaran kema-
rahan. "Siapakah kau ini?" tanya Rangga, agak dingin nada suaranya.
"Talia," sahut gadis itu menyebutkan namanya.
"Kenapa kau berada di sini?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku mencari ayahku. Kau tahu di mana
ayahku berada" Kulihat, dia ke sini bersamamu siang
tadi." Rangga mengamati gadis itu lekat-lekat.
"Siapa ayahmu?" tanya Rangga lagi "Ki Sara Denta."
Pendekar Rajawali Sakti terhenyak mendengar
nama Ki Sara Denta disebut Yang lebih mengejutkan
lagi, gadis ini mengaku kalau Ki Sara Denta adalah
ayahnya. Sedangkan selama ini Pendekar Rajawali
Sakti tidak mengetahui secara pasti tentang diri si Tua Gila itu. Melihat
tingkahnya yang selalu konyol dan tidak mengenal santun itu, Rangga menduga
kalau si Tua Gila hidup sebatang kara. Siapa nyana, sekarang
ada seorang gadis berparas cukup cantik mengaku se-
bagai anak Ki Sara Denta.
*** 5 Rangga menghenyakkan tubuhnya, dan lang-
sung terduduk lemas setelah gadis itu meyakinkan ka-
lau dirinya benar-benar putri si Tua Gila yang kini lenyap entah ke mana.
Hilangnya Ki Sara Denta yang
begitu cepat dan tidak terduga, menimbulkan suatu
kesimpulan kalau ada seseorang yang menculiknya.
Dan tentu orang itu memiliki tingkat kepandaian ting-
gi. Mustahil kalau orang biasa bisa lenyap begitu saja sambil membawa seseorang
yang sedang terluka dalam
waktu yang begitu singkat.
"Jadi kau benar anak Ki Sara Denta...?" Rangga seakan-akan ingin menegaskan
dirinya pada gadis itu.
"Benar," sahut gadis itu yang mengaku berna-ma Talia.
"Aku bersamanya di lembah sana selama bebe-
rapa hari. Lalu, kenapa aku tidak bertemu dengan-
mu?" tanya Rangga menyelidik.
"Aku memang tidak ikut ke lembah. Ayah selalu
melarangku ikut ke sana," sahut Talia.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Katanya di sana hanya tinggal orang-orang gi-
la." Rangga terkejut juga mendengar keterangan gadis ini. Timbul rasa ingin tahu
di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti juga berharap agar gadis yang mengaku pu-
tri si Tua Gila ini bisa memberi banyak petunjuk untuk mengungkapkan misteri
yang sedang dihadapinya ini.
'Talia, memang benar aku tadi bersama ayah-
mu di sini Tapi sekarang, tidak lagi. Ayahmu lenyap
begitu kau muncul tadi," kata Rangga mencoba menje-
laskan dengan hati-hati.
"Hilang...!?" Talia seperti tidak percaya.
"Ayahmu terluka...."
"Oh, tidak...!" sentak Talia agak histeris.
Gadis itu menutupi wajah dengan kedua tan-
gannya. Sedangkan Rangga tidak bisa meneruskan
penjelasan tentang hilangnya si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa
menarik napas panjang melihat gadis itu menangis sesenggukan mendengar ayahnya
lenyap di tempat ini.
Rangga hanya mendiamkan dan membiarkan
Talia menumpahkan air mata sepuas-puasnya. Bah-
kan ketika gadis itu merangkul dan memeluknya, Pen-
dekar Rajawali Sakti membiarkan tanpa berusaha un-
tuk meredakan tangis gadis ini.
Lama juga Talia menangis di dada Pendekar Ra-
jawali Sakti, hingga baju pemuda itu basah. Gadis itu mulai tenang setelah
dengan lembut Rangga memegang pundaknya. Perlahan-lahan kepalanya diangkat
dan air matanya dihapus dengan ujung baju. Gadis itu
menarik napas panjang, mencoba mengurangi kesedi-
hannya. "Aku akan mencari ayahmu sampai dapat. Aku
janji," kata Rangga mencoba menenangkan gadis itu.
"Aku yang salah. Seharusnya, aku memang ti-
dak datang ke sini tadi," rintih Talia lirih, masih terdengar terisak.
"Aku mengerti, kau pasti mencemaskan ayah-
mu,! ujar Rangga lembut.
"Ya.... Setiap kali ayah mendapat tugas, aku se-
lalu cemas. Apalagi sekarang ini. Ayah selalu menda-
pat tugas yang begitu berat. Bahkan ayah sering men-
geluh kalau sebenarnya tidak ingin menjalankan tugas
itu, tapi tidak berani menentang kehendak Gusti Pra-
bu." Talia memandang wajah pemuda tampan ber-
baju rompi putih di depannya. Sedangkan yang dipan-
dang hanya tersenyum saja.
"Kenapa kau mau diajak ayah ke sini?" tanya Talia seperti menyesalkan kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti di daerah ini.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja seraya berdiri. Talia ikut berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih
itu. Mereka tidak bicara lagi, dan masing-masing sibuk dengan pikirannya
sendiri. Namun pandangan mereka tidak lepas dari bangunan
istana tua yang tampak angker itu. Rangga menarik
napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling, memandang gadis
cantik berbaju biru di sampingnya. Pada saat yang
sama, Talia juga memalingkan mukanya. Maka, mau
tak mau pandangan mereka bertemu pada satu titik.
Perlahan-lahan Talia menundukkan kepalanya. Tam-
pak dalam keremangan cahaya rembulan, wajah gadis
itu bersemu merah dadu.
"Sebaiknya kau pulang saja, Talia. Aku janji
akan membawa pulang ayahmu dalam keadaan sehat,"
bujuk Rangga. Talia mengangkat kepalanya, dan kembali me-
natap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedang-
kan Rangga sendiri membalasnya dengan lembut.
"Kau berjanji akan membawa ayah pulang pa-
daku?" tanya Talia seakan tidak percaya pada ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku janji," sahut Rangga setengah berbisik.
"Terima kasih."
Tiba-tiba saja gadis itu memeluk, dengan tan-
gan melingkar di leher pemuda berbaju rompi putih
itu. Akibatnya Rangga sedikit kelabakan. Namun
hanya sebentar Talia melakukan hal itu, kemudian
melepaskan kembali dan berbalik. Gadis itu langsung
berlari meninggalkan tempat ini, menuju hutan yang
cukup lebat. Pendekar Rajawali Sakti memandangi kepergian
Talia yang sebentar saja sudah lenyap ditelan keleba-
tan hutan dan kegelapan malam. Tapi, mendadak Pen-
dekar Rajawali Sakti tersadar kalau dirinya tidak tahu, di mana gadis itu
tinggal. Jadi bagaimana mungkin dia akan membawa ayahnya nanti" Namun Rangga
jadi tersenyum sendiri. Tentu saja hal itu mudah dilakukan jika bisa menemukan
kembali si Tua Gila. Dan persoalannya sekarang, di mana sebenarnya si Tua Gila
itu berada..."
*** Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu
masuk bangunan istana tua itu. Pintu yang terbuka
lebar itu seakan-akan memang sengaja diperuntukkan
bagi dirinya. Rangga berhenti setelah sampai di am-
bang pintu. Sebentar diamatinya keadaan dalam yang
begitu gelap, tanpa penerangan sedikit pun. Padahal
malam ini langit cerah, dan bulan bersinar penuh tan-
pa terhalang awan sedikit pun, Namun cahaya rembu-
lan rupanya tidak sanggup menerobos sampai ke da-
lam bangunan istana tua ini.
Rangga melangkah satu tindak memasuki ban-
gunan ini. Tapi sebelum kakinya menyentuh lantai,
mendadak dia tersentak. Langsung saja kakinya dita-
rik kembali ke belakang, mundur dua tindak. Kening-
nya berkerut memandangi lantai bangunan istana
yang gelap dan menghitam. Tidak ada kilatan cahaya
sedikit pun seperti lantai-lantai bangunan istana lain yang biasanya terbuat
dari batu pualam putih berkilat.
"Hm.... Lantai ini mengandung hawa racun ya
sangat kuat, namun kerjanya tidak begitu cepat. Bah-
kan bisa di kata kan lambat," gumam Rangga dalam hati. Meskipun Pendekar
Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, namun dia tidak mau semba-
rangan terhadap satu jenis racun. Bagaimanapun juga,
dirinya sadar kalau hanya manusia biasa, yang tidak
akan mungkin terhindar dari kenaasan. Rangga terin-
gat akan pengalamannya yang pernah keracunan se-
hingga tidak bisa mengingat dirinya sendiri (Jika ingin jelas, silakan baca
serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Manusia Beracun").
Rangga memandangi pintu bangunan istana
yang besar sekali, dan tidak ada penutupnya. Kembali
kakinya melangkah mundur beberapa tindak, lalu
dengan cepat melompat, melesat masuk sambil berte-
riak keras. "Hiyaaa...!".
Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Terle-
bih lagi ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sem-
purna, sehingga lesatannya begitu cepat bagai kilat.
Dalam sekejap mata saja, Rangga sudah masuk ke da-
lam. Tubuhnya melayang deras dengan kedua tangan
merentang lebar ke samping. Pendekar Rajawali Sakti
rupanya tengah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' pada tahapan yang terakhir, diim-
bangi ilmu meringankan tubuh. Maka tak heran kalau
dia bisa melayang bagai kapas tertiup angin.
Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tidak
bisa melayang selamanya seperti seekor burung. Paling
tidak harus ada pijakan untuk memantapkan tubuh-
nya. "Hap!"
Rangga menjejakkan kakinya di tengah-tengah
ruangan sambil mengerahkan tenaga dalam yang diga-
bung pengerahan hawa murni yang berpusat pada
sumber kekuatan dalam tubuh. Kini seluruh tubuhnya
terasa jadi dingin. Namun....
"Akh...!"
Entah kenapa, mendadak saja Rangga memekik
keras tertahan. Saat itu bagian telapak kakinya terasa jadi panas membara,
seolah-olah berada di atas bara
api. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Ra-


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawali Sakti melentingkan tubuhnya, dan langsung me-
lesat keluar. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti sam-
pai di pintu luar, mendadak dari bagian atas pintu itu meluncur jeruji yang
begitu cepat menutup jalan.
Rangga terkejut bukan main, dan seketika berusaha
untuk menarik tubuhnya. Namun terlambat. Karena
dia melesat dengan kekuatan penuh, akibatnya Pende-
kar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menghindari bentu-
ran dengan pintu jeruji itu.
Brak! "Akh...!" Rangga menjerit keras.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti keras sekali
terpental balik ke belakang, dan tidak bisa dicegah la-gi. Tubuhnya jatuh
bergulingan di lantai yang hitam
pekat dan dingin itu. Seketika Rangga merasa kan se-
luruh tubuhnya jadi panas bagai terbakar. Dia sadar
betul kalau racun yang tersebar di seluruh lantai ista-na ini sudah merambat ke
tubuhnya. Namun berkat
kesempurnaan hawa murni yang dimiliki, racun itu ti-
dak sampai masuk dalam jaringan darahnya. Atau
mungkin memang belum sampai. Dan Rangga tidak
yakin kalau dirinya mampu bertahan lama, meskipun
memiliki kekebalan tubuh terhadap segala jenis racun.
Tapi di dalam istana ini racunnya sungguh dahsyat
dan kuat. "Hup! Yeaaah...!"
Sret! Cring! Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Rajawali Sakti melompat ke atas sambil mencabut Pe-
dang Rajawali Sakti yang tersimpan dalam warang-
kanya di punggung. Seketika itu cahaya biru yang
memancar dari pedang itu menerangi seluruh ruangan
ini. "Hiyaaa...!"
Rangga meluruk cepat ke bawah sambil men-
gayunkan pedangnya disertai pengerahan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus yang dahsyat
dan menjadi andalan dalam setiap pertarungan.
Glarrr! Ledakan dahsyat terjadi ketika Pedang Rajawali
Sakti menghantam lantai istana. Dan seketika, seluruh bangunan istana ini
bergetar hebat bagai diguncang
gempa dahsyat. "Hiyaaat..!"
Kembali Rangga menghantamkan pedangnya dl
sertai pengerahan tenaga dalam yang sangat sempur-
na. Untuk kedua kalinya terdengar ledakan menggele-
gar seperti gunung meletus, sehingga bangunan istana
ini semakin dahsyat berguncang. Akibatnya beberapa
dindingnya ambruk, menimbulkan suara bergemuruh
disertai getaran keras.
Rangga menjejakkan kakinya sedikit ke lantai,
lalu cepat melentingkan tubuhnya. Kini Pendekar Ra-
jawali Sakti melesat sambil mengayunkan pedangnya
dua kali ke arah pintu berjeruji besi itu.
"Hiaaat..!"
Crang...! Pintu jeruji baja itu hancur berantakan terba-
bat pedang bercahaya biru yang menyilaukan mata itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar, dan
jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Cepat-cepat dia melompat bangkit dan
memasukkan pedangnya ke
dalam warangka di punggung, lalu secepat itu pula
duduk bersila sambil merapatkan kedua tangannya di
depan dada. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan ditahannya agak lama.
Tampak asap kehitaman
mengepul dari ujung kepala. Dan kini seluruh tubuh-
nya bersinar merah membara, seperti besi terbakar.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras melengking tinggi, Pen-
dekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke
samping. Lalu dengan cepat tangannya ditarik ke de-
pan, dan bergerak perlahan sebelum ditarik panjang,
Perlahan matanya terbuka.
Dan kini Pendekar Rajawali Sakti bangkit den-
gan keadaan tubuh segar. Matanya memandangi ban-
gunan istana di depannya. istana maut itu tidak lagi
berguncang, tetap kokoh berdiri tegar, seperti menan-
tang Pendekar Rajawali Sakti untuk menaklukkannya.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang-
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
*** Semalaman Pendekar Rajawali Sakti memutari
seluruh bagian luar istana ini. Sama sekali tidak dike-temukan celah yang bisa
digunakan untuk masuk
tanpa melalui pintu depan. Seluruh dinding bangunan
ini terbuat dari batu keras. Sementara pagi sudah
menjelang, sedangkan Rangga belum bisa melakukan
sesuatu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di depan pintu depan
bangunan istana dari batu itu.
"Hm, tidak heran kalau tidak ada seorang pun
yang sanggup memasukinya...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti
seketika teringat akan
si Tua Gila yang juga tidak berani masuk ke dalam is-
tana ini. Memang alasan yang dikemukakannya cukup
kuat. Tapi, Rangga mendapatkan sesuatu dari kata-
kata Si Tua Gila itu. Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan kalau laki-laki tua
itu menyimpan sesuatu,
dan sepertinya sudah mengetahui kalau seluruh lantai
istana itu mengandung racun yang dahsyat dan sangat
mematikan. Saat Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir
keras, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang
semakin jelas dan dekat. Sebentar pandangannya be-
redar berkeliling, lalu tubuhnya cepat melesat ke sebatang pohon yang cukup
tinggi dan lebat daunnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung lenyap dite-
lan kerimbunan daun pohon itu. Kakinya hinggap di
sebuah dahan yang cukup terhalang. Tapi dari tempat
ini, bisa melihat jelas ke sekitar bangunan istana maut itu.
Tidak lama kemudian, dari arah lembah tempat
Kerajaan Mandalika berdiri, muncul beberapa orang
berkuda. Rangga menghitung dalam hati. Jumlah me-
reka tidak kurang dari tiga puluh orang, ditambah seorang yang berkuda paling
depan. Pendekar Rajawali
Sakti mengenali betul pemuda yang berkuda paling
depan. Dialah Raden Sambung Wulung, menantu Pra-
bu Yudanegara. Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan
bangunan istana maut ini. Sedangkan Rangga yang
berada di atas pohon, berada tidak seberapa jauh dari mereka. Pendekar Rajawali
Sakti bisa melihat dan
mendengar jelas apa yang dibicarakan, tanpa harus
mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suatu
ilmu yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh,
dan bisa membedakan jenis-jenis suara sekecil apa
pun. "Hm, apa yang mereka lakukan di sini...?" tanya Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Raden
Sambung Wulung yang turun dari punggung kudanya,
diikuti seorang laki-laki tua berjubah putih. Mereka berdiri berdampingan
memandangi bangunan Istana
itu. Sedangkan orang-orang yang berpakaian prajurit,
masih berada di punggung kuda masing-masing. Begi-
tu tangan Raden Sambung Wulung memberi aba-aba,
para prajurit langsung turun dari punggung kuda.
"Istana ini semakin parah keadaannya, Eyang
Wiratma," kata Raden Sambung Wulung setengah bergumam.
"Benar, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Eyang Wiratma
tadi. "Mari, Eyang. Kita lihat ke dalam. Aku ingin li-
hat mayat si manusia sombong itu," ajak Raden Sambung Wulung seraya mengayunkan
kakinya meng- hampiri Istana maut itu.
"Hati-hati, Raden. Aku melihat Pendekar Raja-
wali Sakti itu tidak seperti pendekar-pendekar lain-
nya," ujar Eyang Wiratma memperingatkan.
Raden Sambung Wulung hanya tersenyum saja,
dan terus melangkah semakin mendekati pintu masuk
istana maut itu. Sementara Rangga yang berada di
atas pohon, terus memperhatikan dengan hati ber-
tanya-tanya. Pendekar Rajawali Sakti terkejut juga melihat Raden Sambung Wulung
dan Eyang Wiratma
memasuki bangunan tua itu, tanpa khawatir kalau
lantainya sudah tersebar racun yang sangat ganas.
Namun tidak lama mereka berada di dalam, dan kini
sudah keluar kembali dengan langkah cepat dan wajah
merah padam. Raden Sambung Wulung langsung me-
lompat ke punggung kuda, dan secepat itu mengge-
bahnya, meninggalkan pelataran istana maut ini.
Eyang Wiratma dan para prajurit yang menyertainya
bergegas mengejar. Sementara Rangga yang memper-
hatikan dari tempat persembunyian, jadi heran juga.
Berbagai macam pertanyaan dan dugaan muncul di
benaknya seketika setelah melihat kejadian yang ber-
langsung barusan.
*** 6 Rangga baru saja melompat turun dari pohon,
hendak membuntuti rombongan Raden Sambung Wu-
lung. Tapi, tiba-tiba dari dalam semak-semak muncul
seorang gadis cantik berbaju biru. Rangga terkejut melihat kemunculan gadis ini.
Seketika niatnya untuk
membuntuti Raden Sambung Wulung diurungkan.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri gadis yang ter-
nyata adalah Talia.
"Talia...," desis Rangga seraya memandangi gadis itu dalam-dalam.
"Kenapa kau berada di sini?"
"Aku ingin membantumu, Kakang," sahut Talia.
"Membantuku..." Apa yang bisa kau lakukan di
tempat ini?"
"Aku memang tidak bisa apa-apa, tapi pasti bi-
sa membantumu menghancurkan mereka," tenang se-
kali jawaban Talia.
Rangga semakin dalam memandangi gadis ini,
dan jadi mendengus dalam hati. Gadis ini tidak berbe-
da jauh dengan ayahnya, yang selalu bermain teka-teki membingungkan. Tapi
jawaban Talia barusan sudah
mengisyaratkan kalau dirinya tahu banyak tentang
semua yang terjadi di sekitar daerah ini.
"Apa yang kau ketahui tentang mereka, Talia?"
tanya Rangga setelah berpikir sejenak.
'Tentang Partai Naga itu...?" Talia seperti ingin menegaskan.
"Jadi kau juga mengetahui tentang Partai Naga
itu?" Rangga agak terkejut juga kala Talia menyebut nama Partai Naga.
Sedangkan selama ini, si Tua Gila juga selalu
menyebut-nyebut partai itu, khususnya sejak mereka
bertemu dan saling mengenal diri. Dan sekarang, gadis ini juga menyebut nama
partai itu. Talia mengangguk membenarkan pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga semakin
ingin tahu, karena diyakini kalau Partai Naga erat kai-tannya dengan persoalan
ini. Hanya saja Pendekar Ra-
jawali Sakti belum tahu, siapa dan di mana tempat
persembunyian Partai Naga itu. Mereka selalu muncul
tiba-tiba, tanpa diketahui pasti. Bahkan perginya juga tiba-tiba seperti hantu
saja. "Apa saja yang kau ketahui tentang Partai Na-
ga?"' tanya Rangga lebih lanjut.
"Mereka adalah musuh besar ayah. Padahal
ayah sendiri tidak pernah menganggap mereka mu-
suh," jelas Talia.
"Kenapa mereka memusuhi ayahmu?" tanya
Rangga lagi. "Kekuasaan," sahut Talia kalem.
"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.
"Dulu ayah seorang panglima perang yang pal-
ing disayangi Prabu Yudanegara. Sudah banyak ayah
melakukan peperangan dan berhasil gemilang. Tapi se-
telah semuanya berakhir, ayah tersingkir dari jabatannya. Bahkan beberapa kali
mengalami percobaan pem-
bunuhan, tapi selalu gagal. Tapi ayah tidak ingin
memperpanjang urusan, dan memilih diam dengan
berpura-pura gila. Memang, ayah tersingkir selamanya
dari istana. Tapi tersingkirnya ayah, malah membuat
bencana besar bagi seluruh kerajaan ini," Talia mengi-sahkan perjalanan hidup
ayahnya. Sementara Rangga terus mendengarkan penuh
perhatian. Walaupun perebutan kedudukan dan keku-
asaan adalah hal yang tidak terlalu aneh, tapi bagi
Pendekar Rajawali Sakti adalah suatu hal yang mena-
rik. Baik itu kerajaan besar maupun kerajaan kecil.
"Orang Partai Nagalah yang menginginkan ayah
tersingkir untuk selamanya. Dan sekarang, mereka
menguasai seluruh Kerajaan Mandalika ini," sambung Talia. "Oh...!" kali ini
Rangga benar-benar terkejut.
"Ada apa, Kakang?"
'Tidak, teruskan saja," sahut Rangga.
"Mereka bahkan menjadikan Prabu Yudanegara
sebagai raja boneka yang bisa dikendalikan. Prabu Yu-
danegara memang tidak mungkin digulingkan, karena
akan membuat seluruh rakyat marah. Maka, kemu-
dian dibuat suatu malapetaka bagi seluruh rakyat
dengan merubah istana ini menjadi istana maut yang
selalu merenggut nyawa siapa saja yang berani mema-
sukinya. Bahkan juga disebarkan kabar bohong, di da-
lam istana ini sekarang dihuni makhluk buas yang ti-
dak bisa mati dan selalu makan daging manusia. Me-
reka memang bisa mengelabui Prabu Yudanegara


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maupun seluruh rakyat, tapi tidak bisa mengelabui
ayah. Itulah sebabnya mereka selalu mencari perkara
dan berusaha menyingkirkan ayah secara halus agar
tidak terlihat jelas di mata Prabu Yudanegara."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Disimaknya semua cerita yang dikisahkan gadis berbi-
bir mungil ini. Pendekar Rajawali Sakti seperti tak
puas-puasnya memandangi bibir yang indah itu, seo-
lah-olah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ada suatu daya tarik tersendiri kala bibir itu bergerak-gerak meluncurkan kata-
kata. Sedangkan gadis itu ti-
dak menyadari kalau Rangga memandangi bibirnya.
"Kenapa memandangiku terus, Kakang?" gadis
itu tersadar juga.
"Oh, tidak...," Rangga jadi tergagap.
Pendekar Rajawali Sakti buru-buru mengalihkan pan-
dangannya ke arah lain. Malu juga rasanya karena di-
pergoki sedang memandangi seraut wajah cantik den-
gan bibir indah mengagumkan. Kecantikan yang dimi-
liki Talia memang terletak pada bibirnya yang indah
dan selalu basah memerah.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas kuat-
kuat. Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghilang-
kan pikiran buruk yang tiba-tiba saja memenuhi be-
naknya. Semalam, daya tarik yang dimiliki Talia me-
mang tidak begitu diperhatikan. Tapi siang ini, Rangga sungguh tidak bisa
menghindar lagi. Begitu terpeso-nanya, sehingga tanpa disadari Pendekar Rajawali
Sak- ti telah menikmati kecantikan gadis itu lewat pandan-
gan matanya. *** Rangga mengayunkan kaki mendekati bangu-
nan istana maut itu. Begitu sampai di ambang pintu,
masih terasa adanya hawa racun di lantai istana ini.
Sementara Talia menunggu, berjarak agak jauh. Gadis
itu hanya memperhatikan saja. Rangga memutar tu-
buhnya, kembali menghampiri Talia yang masih tetap
menunggu. "Apakah ayah ada di dalam sana, Kakang?"
tanya Talia langsung begitu Rangga sampai di depan-
nya. "Tidak," sahut Rangga seraya mengangkat bahunya. "Tidak...?" Talia seperti
tidak percaya. "Semalam aku sudah mencoba masuk. Tapi...,
yaaah. Istana itu memang maut. Tidak heran jika
ayahmu sendiri tidak berani memasukinya," jelas
Rangga. "Kalau tidak ada di sana, lalu di mana?" tanya Talia seperti untuk dirinya
sendiri. "Entahlah, Talia. Aku sendiri tidak tahu, di ma-
na ayahmu sekarang berada," sahut Rangga.
"Kasihan ayah...," keluh Talia lirih. Gadis itu memandangi Pendekar Rajawali
Sakti dengan wajah
mendung dan sinar mata seakan-akan berharap.
Rangga hanya bisa menarik napas panjang tanpa da-
pat berbuat sesuatu. Masalahnya, dirinya sendiri tidak
tahu, di mana sekarang Ki Sara Denta berada.
Tak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti saat ini. Dia sudah mencari ke sekeliling bangunan istana ini, tapi si Tua
Gila tetap tidak ditemukan.
Rangga menjadi iba melihat Talia yang begitu berha-
rap. Padahal, dia sudah berjanji untuk membawa
ayahnya kembali padanya. Tapi sampai saat ini, belum
ditemukan tanda-tanda di mana si Tua Gila itu berada.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti hanya mere-
nung, memikirkan segala kemungkinan.
Tiba-tiba Rangga tersentak. Pendekar Rajawali
Sakti baru ingat kalau Raden Sambung Wulung atau
yang juga menantu Prabu Yudanegara itu datang dan
masuk ke istana bersama seorang laki-laki tua yang
diketahuinya bernama Eyang Wiratma. Tapi, kedua
orang itu tetap segar bugar saat keluar dari istana itu.
Sedangkan seluruh lantai istana itu sudah tercemar
racun yang dahsyat dan sangat mematikan. Keadaan
ini membuat Rangga jadi bertanya-tanya sendiri.
"Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"He...! Mau ke mana...?" sentak Talia yang tertarik, dan hampir tersungkur.
Untung dia cepat-cepat
berlari mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka terus berjalan cepat setengah berlari
menuju lembah di seberang sungai. Talia menahan
langkahnya ketika mereka sampai di tepi sungai.
Rangga pun terpaksa ikut menghentikan langkahnya.
Ditatapnya dalam-dalam gadis di sebelahnya yang sea-
kan-akan enggan menyeberangi sungai di depan sana.
Sementara Talia melepaskan cekalan tangan Rangga,
lalu melangkah mundur dua tindak. Pendekar Rajawali
Sakti jadi heran melihat sikap Talia yang jelas-jelas tidak ingin menyeberangi
sungai ini. "Ada apa, Talia?" tanya Rangga.
"Aku tidak mau ke sana!" sahut Talia.
"Kenapa...?" tanya Rangga tidak mengerti atas sikap gadis ini.
"Pokoknya aku tidak mau ke sana!" bentak Talia keras.
Rangga jadi tertegun dan terus memandangi
gadis ini. Sungguh tidak dimengerti, mengapa sikap
Talia mendadak berubah" Rangga menghampiri, lalu
dengan lembut tangannya diletakkan di bahu gadis itu.
Sedangkan Talia hanya memandangi dengan sinar ma-
ta tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda be-
rompi putih itu.
"Kau tidak mau ke sana, tentu punya alasan,
bukan?" desak Rangga membujuk lembut.
"Apakah kau ingin aku mati di sana..."!" sentak Talia sengit. Ketus sekali nada
suaranya. Kening Rangga berkerut mendengar jawaban
yang bernada ketus itu. Sungguh tidak diduga kalau
Talia akan berkata se ketus itu. Tapi yang membuat
Pendekar Rajawali Sakti tertegun bukan keketusannya,
tapi pernyataannya yang lugas dan tegas.
"Aku menunggu saja di sini. Kau saja yang ke
sana, Kakang. Kau lebih bebas di sana, daripada aku
ujar Talia kembali lembut suaranya.
Rangga mengangkat bahunya. Meskipun gadis
ini tidak bersedia menjelaskan, namun Rangga tidak
ingin mendesak lagi. Sudah bisa ditebak kalau ketida-
kingian Talia ke lembah itu disebabkan ceritanya sen-
diri. Gadis itu telah mengatakan kalau orang-orang di lembah sana gila dan haus
kekuasaan serta nafsu du-niawi. Mengingat cerita Talia, Pendekar Rajawali Sakti
agak bingung untuk menentukan siapa lawan dan sia-
pa kawan. Namun ada satu cara untuk mengatasi se-
mua persoalan ini. Dan itu pun sudah ditentukan dari
mana harus memulainya.
"Baiklah. Kau tunggu saja di sini," kata Rangga menyerah.
Talia hanya mengangguk. Untuk beberapa saat
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Talia, kemudian
membalikkan tubuhnya. Namun belum juga melang-
kah pergi, mendadak dari dalam sungai bersembulan
kepala-kepala manusia, yang kemudian langsung ber-
lompatan keluar.
Rangga cepat menarik tangan Talia ke bela-
kang. Mereka yang baru muncul dari dalam sungai itu
mengenakan baju hitam, dan ada gambar naga di da-
danya. Semuanya juga memakai gelang yang tidak sa-
ma jumlahnya pada pergelangan tangan kanan. Sama
sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenali mere-
ka, kecuali satu orang. Dialah Parang Kati, orang yang memakai gelang berjumlah
lima buah. "Hm.... Rupanya kau belum mampus juga, Pen-
dekar Rajawali Sakti!" dengus Parang Kati dingin.
"Jika hanya racun yang kalian taburkan di is-
tana itu, belumlah cukup untuk membunuhku," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Bagus! Aku senang ada orang yang bisa lolos
dari dalam istana maut. Tapi kali ini kau tidak mung-
kin bisa lolos. Ha ha ha...!" Parang Kati tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya mendengus saja. Memang kali ini
orang-orang yang dibawa Parang Kati berjumlah tiga
kali lipat, dan sudah siap dengan sepasang tongkat
merah di tangan. Rangga mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya. Ternyata dirinya sudah terkepung oleh
orang-orang berbaju hitam dengan gambar naga pada
dadanya. Hanya Parang Kati yang mengenakan gelang
berjumlah lima. Sedangkan yang lainnya hanya men-
genakan gelang berjumlah di bawah lima. Ini berarti
hanya Parang Katilah yang memiliki kepandaian lebih
tinggi dibanding yang lainnya.
Rangga dan Talia benar-benar sudah terke-
pung, dan sudah tidak ada celah untuk meloloskan di-
ri. Jumlah mereka begitu banyak, tidak kurang dari
seratus orang. Ini merupakan jumlah kesatuan prajurit kerajaan. Rangga
menghembuskan napasnya kuat-kuat beberapa kali. Diliriknya Talia yang
kelihatannya begitu tenang, seakan-akan tidak mempedulikan kepungan orang-orang
berbaju hitam ini.
"Kau bisa menghadapi mereka, Talia?" tanya
Rangga ragu-ragu terhadap kemampuan gadis ini.
"Lihat saja nanti," sahut Talia kalem.
"Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan menggem-
pur mereka lebih dahulu. Hm.... Kita harus melewati
yang depan dan terus menyeberangi sungai. Bagaima-
na, Talia?" bisik Rangga meminta pendapat gadis itu.
"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain lagi," Talia mengangkat bahunya sedikit.
Hanya ada satu jalan untuk bisa lolos dari ke-
pungan, yaitu dengan menyeberangi sungai. Dengan
demikian mereka dituntut untuk menggunakan ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Memang, sungai ini
tidak mungkin diseberangi oleh orang yang hanya me-
miliki tingkat kepandaian tanggung. Inilah yang mem-
buat Rangga berpikir, karena tidak tahu, sampai di
mana tingkat kepandaian yang dimiliki Talia. Kalau
untuk dirinya sendiri, melompati jurang yang lebar
pun tidak ada persoalan. Apalagi sungai seperti ini.
Tapi bagaimana dengan Talia..."
"Ayo, Kakang. Kita mulai," desis Talia berbisik.
Tiba-tiba saja Talia melompat secepat kilat
sambil berteriak nyaring melengking tinggi. Tubuhnya
yang ramping, meliuk dan berputaran di udara dengan
gerakan indah. Tindakan Talia ini membuat Parang
Kati dan yang lainnya jadi terkejut. Mereka segera berlompatan hendak memapak
gadis itu. Namun sebelum
bisa menyambar tubuh Talia, Rangga sudah lebih da-
hulu melompat sambil melontarkan beberapa pukulan
kilat bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Desss! Bugkh!" *** Pukulan-pukulan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti mengenai beberapa orang hingga ber-
jumpalitan jatuh sebelum mencapai tubuh Talia. Se-
dangkan gadis itu terus berjumpalitan di udara, mele-
wati beberapa kepala. Sekali Talia menukik turun, ke-
mudian dengan ujung jari kakinya menotok tanah di
tepi sungai. Kini tubuhnya kembali melenting menye-
berangi sungai. Indah sekali gerakannya. Gadis itu
berputaran di udara, kemudian menotok permukaan
air sungai sekali, lalu kembali melesat.
Talia selamat sampai di seberang sungai. Se-
mentara itu Pendekar Rajawali Sakti harus menghada-
pi beberapa orang yang menyerangnya, sebelum mele-
sat menyeberangi sungai. Dan kini hanya sekali lompat saja, Rangga sudah
berhasil sampai di seberang sungai.
"Kejar...! Jangan biarkan mereka lolos...!" teriak Parang Kati memberi perintah.
Rangga dan Talia tertegun melihat orang-orang
Partai Naga itu serentak melemparkan tongkat merah-
nya ke dalam sungai. Lalu, mereka berlompatan ke
atas tongkat yang mengambang di permukaan air.
Sungguh menakjubkan. Mereka bisa meluncur cepat di
atas permukaan sungai hanya dengan bertumpu pada
sebatang tongkat yang biasa dijadikan senjata dalam
pertarungan. "Ayo, Kakang...!" ajak Talia.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil. Pen-
dekar Rajawali Sakti membungkuk sedikit dan men-
jumput beberapa batu kerikil. Dan dengan mengerah-
kan tenaga dalamnya, Pendekar Rajawali Sakti melem-
parkan batu-batu kerikil tadi. Batu-batu itu meluncur deras ke arah orang-orang
Partai Naga yang sedang
meluncur di atas permukaan sungai.
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar,
disusul berjatuhannya orang-orang itu ke dalam sun-
gai. Batu-batu kerikil yang dilemparkan Rangga tepat
menghantam mereka. Tindakan Pendekar Rajawali
Sakti rupanya dapat menghambat pengejaran. Tentu
saja hal ini membuat Talia senang. Gadis itu menjum-
put beberapa kerikil, lalu melemparnya ke arah mereka diselingi pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Jeritan-jeritan tinggi menyayat, kembali terden-
gar. Dan kini orang-orang berbaju hitam yang di
dadanya terdapat gambar seekor naga itu berjatuhan
ke dalam sungai. Air sungai yang semula jernih, seke-
tika berubah warnanya menjadi merah karena terce-
mar darah. Talia terus melemparkan batu-batu kerikil
sambil tertawa-tawa kesenangan. Sedangkan Rangga
yang menyaksikan tingkah gadis itu tersenyum-
senyum geli, dan tidak lagi melemparkan batu kerikil.
"Mundur...!" teriak Parang Kati yang masih berada di seberang sungai.
Orang-orang dari Partai Naga itu berbalik kem-
bali ke seberang sungai. Sebentar saja hampir separuh jumlah mereka sudah
mengambang di sungai.


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...! Ayo, maju kalian kalau berani...!"
tantang Talia dengan suara lantang.
Tampak di seberang sungai sana, Parang Kati
memaki-maki sambil menghentak-hentakkan kakinya
dengan kesal. Wajahnya memerah menahan kemara-
han yang amat sangat. Dua kali dia berhadapan den-
gan Pendekar Rajawali Sakti, dan dua kali pula mende-
rita kekalahan yang menyakitkan.
"Kubunuh kalian! Dengar...! Kubunuh ka-
lian...!" teriak Parang Kati sambil mengacungkan kepalan tangannya.
Amarahnya memuncak luar biasa karena keka-
lahan yang menyakitkan ini. Sedangkan Rangga hanya
tersenyum-senyum saja. Sementara Talia terus tertawa
terbahak-bahak sambil mengejek menantang agar me-
reka menyeberangi sungai.
Pada saat itu, Parang Kati melompat ke sungai.
Tindakan orang bergelang lima buah itu diikuti yang
lainnya. Mereka semua berlompatan masuk ke sungai
yang sudah berwarna merah oleh darah itu. Seketika
Talia menghentikan tawanya. Sedangkan Rangga men-
gamati ke sungai dengan sinar mata tajam tanpa men-
gerjap sedikit pun. Orang-orang dari Partai Naga itu tidak muncul-muncul lagi.
Mereka seperti tenggelam ke
dalam sungai! "Mereka tidak timbul lagi, Kakang...," desis Talia setengah berbisik.
Gadis itu juga mengamati permukaan sungai
yang berwarna merah oleh darah. Sepasang bola mata
yang bulat bening itu tidak berkedip memperhatikan
permukaan sungai. Sedangkan Rangga hanya diam sa-
ja, namun benaknya terus berputar.
"Kau tunggu di sini, Talia," kata Rangga.
"He! Kau mau ke mana...?" tanya Talia tersentak.
Tapi Rangga tidak menjawab.
"Kakang...!" sentak Rangga terkejut
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
dalam sungai. Talia kebingungan ditinggal sendirian.
Gadis itu mencari-cari Rangga yang sudah tidak keli-
hatan lagi setelah menceburkan diri ke dalam sungai yang bernoda darah itu.
"Kakang...!" teriak Talia memanggil.
Tapi Rangga sudah tidak timbul lagi. Gadis itu
jadi cemas juga, di samping takut berada seorang diri di tempat ini. Talia
teringat akan kata-kata ayahnya jangan sekali-kali menginjakkan kaki ke seberang
sungai ini. Apalagi sampai ke lembah sana.
"Aku menyusul, Kakang...!" seru Talia.
"Hiyaaa...!"
Byurrr...! Tanpa berpikir panjang lagi, Talia langsung
menceburkan diri ke dalam sungai, mengikuti Rangga.
Sebentar kepala Talia menyembul ke permukaan, ke-
mudian tidak timbul-timbul lagi. Sementara permu-
kaan air sungai terus mengalir, membawa serta tubuh-
tubuh yang sudah tidak bernyawa.
*** 7 Sama sekali Rangga tidak menyangka kalau
sungai ini begitu dalam, bagai tak berdasar. Pendekar Rajawali Sakti terus
menyelam semakin dalam. Tidak
ada kesulitan baginya berada di dalam air seperti ini.
Dengan ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas,
Pendekar Rajawali Sakti bisa bernapas seperti layak-
nya di darat. Bahkan gerakannya begitu cepat dan lin-
cah bagaikan ikan lumba-lumba.
"Hm...," Rangga bergumam dalam hati. Penden-garannya yang tajam dapat menangkap
suara lain dari
arah belakang. Rangga terkejut ketika berpaling. Tam-
pak tidak jauh di belakangnya, Talia sedang berenang
cepat mengejar.
'Talia...," desis Rangga dalam hati. Wajah gadis itu sudah memerah, karena
terlalu lama berada dalam
air. Cepat Rangga memburu, dan menangkap tangan-
nya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi sekitarnya.
Matanya langsung tertumbuk pada sebuah mulut gua
yang berada di dasar sungai ini. Cepat dia berenang ke arah gua itu.
Tanpa pikir panjang lagi, Rangga terus menero-
bos ke dalam gua. Ternyata gua ini tidak terlalu pan-
jang, dan sepertinya mengarah ke atas. Sambil men-
cekal tangan Talia, Pendekar Rajawali Sakti terus me-
nembus air dalam gua ini.
"Ah...!"
Talia langsung menarik napas dalam-dalam be-
gitu kepalanya menyembul ke permukaan air. Napas-
nya tersengal dan wajahnya memerah karena terlalu
lama menahan napas. Sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti tidak sedikit pun terpengaruh. Dia terus menye-
ret gadis itu ke tepi, dan membantunya naik.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam saat
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Ternyata mereka kini berada dalam sebuah
ruangan batu, atau lebih tepat dikatakan gua yang cu-
kup besar ukurannya. Seluruh dindingnya terdiri dari
batu cadas keras berwarna hitam, di seluruh permu-
kaannya ditumbuhi lumut tebal. Pendekar Rajawali
Sakti menyipitkan matanya ketika melihat ada unda-
kan batu di sebelah kanan. Namun belum sempat me-
langkah, telinganya tiba-tiba mendengar suara orang
berbicara. Suara itu jelas dari dalam mulut gua yang
terdapat undakan batu menuju ke atas.
Rangga cepat menarik tangan Talia, lalu diba-
wanya ke balik sebongkah batu besar yang tidak jauh
dari air yang membentuk danau kecil di dalam gua ini.
Sementara Talia yang sedang berusaha mengatur jalan
napasnya, jadi tersentak kaget. Tapi belum juga men-
gungkapkan kekesalannya, tubuhnya sudah tertarik
ke balik batu besar. Pada saat itu, dari lorong yang berundak, muncul dua orang
laki-laki. Yang seorang ma-
sih terlihat muda, sedangkan seorang lagi sudah tua.
Tidak jauh di belakang mereka menyusul dua orang
lagi yang rata-rata berusia sekitar tiga puluh lima tahun. "Raden Sambung
Wulung...," desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengenali pemuda
yang berjalan di sisi laki-laki tua berjubah putih. Dan Rangga juga mengenali
mereka semua. Yang tua adalah Eyang Wiratma, sedangkan dua orang di belakang
mereka adalah para patih Kerajaan Mandalika. Rangga
tidak perlu lagi berpikir tentang keberadaan mereka di tempat ini. Jelas, mereka
adalah orang-orang Partai
Naga. Hanya saja, untuk apa mereka memusuhi ra-
janya sendiri..." Pertanyaan inilah yang menjadi beban dalam benak Pendekar
Rajawali Sakti.
Mereka berjalan menyeberangi danau kecil di
tengah-tengah ruangan batu ini dengan menggunakan
seutas tambang yang merentang di atasnya. Rata-rata
semua memang memiliki ilmu meringankan tubuh
yang cukup tinggi, sehingga tidak ada kesulitan berjalan di atas seutas tambang.
Buktinya, sebentar saja
sudah sampai di seberang.
Baik Rangga maupun Talia, jadi tertegun begitu
melihat dinding gua di seberang danau terbelah, ber-
geser ke samping. Ketika keempat orang itu melewa-
tinya, dinding itu kembali bergerak menutup. Rangga
bergegas melompat keluar diikuti Talia yang sudah bi-
sa menguasai napasnya kembali. Dan wajahnya pun
tidak lagi terlihat merah.
"Sudah kuduga, pasti" mereka biang keladinya!"
dengus Talia. "Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menggamit lengan gadis itu.
"He! Mau ke mana lagi...?" tanya Talia. Rangga tidak menjawab, dan terus
berjalan cepat menuju lorong batu yang berundak itu. Perlahan-lahan mereka
berjalan meniti undakan batu yang melingkar-lingkar
menuju ke atas. Keadaan di situ cukup terang, karena
dalam jarak tertentu terdapat obor yang terpancang di dinding. Cukup panjang
juga lorong berundak ini, sehingga membuat Talia kelelahan. Dan kini napasnya
kembali tersengal.
"Istirahat dulu, Kakang," desah Talia agak tersengal. Rangga menatap gadis itu
dalam-dalam. Meski-
pun diakui kalau gadis ini memiliki kepandaian yang
cukup tinggi, tapi sikap manjanya masih melekat.
Buktinya baru berjalan segitu saja sudah mengeluh
minta istirahat. Sedangkan undakan ini sepertinya
masih terlalu jauh. Pendekar Rajawali Sakti meman-
dangi lorong yang terus berundak menuju ke atas ini.
"Sebentar lagi, ayo...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"Istirahat sebentar saja, Kakang...," rengek Talia. Rangga mengeluh di dalam
hati. Segera punggung-
nya disandarkan ke dinding lorong batu ini. Tangan kirinya menekan sebongkah
batu yang menonjol keluar.
Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut...
"Heh...! *** Dinding batu yang disandari Pendekar Rajawali
Sakti bergerak menggeser, memperdengarkan suara
gemuruh. Cepat Rangga melompat berbalik. Bukan
hanya dirinya saja yang terkejut. Bahkan Talia sampai ternganga melihat dinding
lorong ini bergerak ke samping. Tampak di depan mereka terdapat sebuah lorong
lain yang tampaknya cukup panjang.
Pada setiap jarak tertentu, pada dinding ter-
pancang obor yang kelihatannya tidak pernah padam.
Rangga dan Talia saling berpandangan sejenak, kemu-
dian memasuki lorong itu. Dinding batu kembali berge-
rak menggeser menutup. Mereka berjalan perlahan-
lahan menyusuri lorong itu.
"Ke mana ini...?" tanya Talia seperti untuk dirinya sendiri.
"Entahlah," desah Rangga setengah berbisik.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang
diterangi cahaya obor. Hingga akhirnya mereka sampai
pada ujung lorong. Rangga jadi tertegun. Ternyata
ujung lorong ini buntu. Tak ada jalan lain, karena di depannya menghadang
dinding batu yang cukup tebal.
"Kita terjebak, Kakang," kata Talia agak mengeluh.
"Tempat ini penuh rahasia, Talia. Aku yakin
ada jalan keluar dari sini," hibur Rangga.
Rangga mengedarkan pandangannya ke seki-
tarnya, mencari-cari kemungkinan adanya suatu raha-
sia untuk mencapai jalan keluar dari lorong buntu ini.
Semua dinding, lantai, dan atap lorong ini terbuat dari batu berlumut. Pendekar
Rajawali Sakti meraba-raba
setiap jengkal dinding. Keningnya berkerut ketika me-
rasakan adanya hembusan angin saat tangannya me-
raba bagian bawah dinding.
Cepat Rangga mengorek batu-batuan di bawah
dinding batu ini. Memang cukup keras. Tapi jika mem-
pergunakan tenaga dalam yang dipadu jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti berhasil membuat lubang sebesar
kepalan tangan pada bagian
bawah dinding batu itu. Tampak seberkas cahaya me-
nyemburat masuk.
"Mundur, Talia...," perintah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti juga bergerak
mundur beberapa langkah. Sedangkan Talia berada di belakangnya. Rangga
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Sebentar matanya terpejam. Kemudian tepat saat kelo-
pak matanya terbuka, kedua tangannya dihentakkan
ke depan sambil berteriak lantang.
"Hiyaaa...!"
Glarrr! Ledakan keras terdengar ketika dari kedua te-
lapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur seber-
kas sinar yang langsung menghantam dinding batu di
depannya. Seketika dinding batu itu hancur berkeping-
keping menimbulkan gumpalan debu yang menyebar
sehingga napas jadi sesak. Talia terbatuk-batuk kecil.
Tangannya dikibas-kibaskan di depan hidung, menco-
ba mengusir debu dari reruntuhan dinding batu itu.
Setelah debu menghilang, tampak di depan terdapat
sebuah ruangan besar berlantai hitam pekat.
Bergegas Rangga melompat ke ambang pintu
yang tadi berupa dinding batu. Talia yang hendak me-
nerobos cepat-cepat ditahannya. Ternyata Pendekar
Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya hawa
racun yang tersebar di ruangan itu. Dan memang,
ruangan ini merupakan salah satu ruangan di dalam
istana maut! "Ada apa?" tanya Talia.
"Ruangan ini beracun," sahut Rangga.
"Oh..!" Talia terkejut "Jadi...?"
"Ya! Lorong ini tembus ke istana," jelas Rangga.
'Terus, bagaimana ini...?" tanya Talia cemas.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa men-
jawab, tiba-tiba terdengar suara mendesing dari arah
belakang. Cepat tubuhnya berbalik sambil mendorong
Talia ke samping. Gadis itu terkejut, dan tidak bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya. Akibatnya dia ter-
jajar hingga merapat ke dinding. Pada saat itu terlihat dua buah benda berwarna
merah melesat bagai
Kilat. 'Hap!"
Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya,
menangkap dua senjata berbentuk batangan pendek
berukuran sejengkal berwarna merah itu. Lalu dengan
cepat pula dilontarkannya kembali ke arah semula.
Dua senjata yang kedua ujungnya runcing itu melesat
lebih cepat dari semula, membuat gerakan berputar.
Dan..., "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi terdengar me-
nyayat, menggema terpantul dinding lorong batu ini.
Sebentar kemudian terlihat dua sosok tubuh
berbaju hitam terjungkal bergelimpangan. Rupanya
tubuh mereka tertembus senjatanya sendiri yang dile-
paskan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kedua orang
berbaju hitam yang bagian dadanya bergambar naga
itu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Belum juga Rangga bisa bernapas lega, tiba-


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba atap lorong batu ini terbuka. Seketika dari atap itu berhamburan manusia-
manusia berbaju hitam. Mereka semua memegang sepasang tongkat pendek ber-
warna merah yang pada kedua ujungnya runcing. Pan-
jangnya tidak lebih dari sehasta. Mereka langsung saja menyerang Pendekar
Rajawali Sakti dan Talia. Tidak
ada pilihan lain bagi mereka, kecuali menghadapi sekitar dua puluh orang berbaju
hitam ini. "Yeaaah...!"
Menyadari kalau harus juga melindungi Talia,
Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat pe-
dang pusakanya dicabut dari dalam warangka di
punggung. Cahaya biru berkilau, seketika menyembu-
rat menyilaukan mata. Dengan Pedang Rajawali Sakti,
Rangga bagai malaikat maut pencabut nyawa.
Setiap kali pedangnya dikibaskan, terdengar je-
ritan melengking tinggi dan menyayat. Kemudian, dis-
usul ambruknya tubuh berlumuran darah.
Dalam keadaan terdesak begini, Rangga me-
mang tidak punya pilihan lain lagi. Tebasan pedangnya tak bisa terbendung lagi.
Bahkan yang coba-coba me-nangkis, langsung terpental dengan tongkat terpotong
jadi dua bagian. Bukan itu saja. Arus pedang Pendekar Rajawali Sakti juga tidak
bisa terbendung, dan terus
membabat pemilik tongkat itu. Akibatnya mereka ter-
jungkal ambruk ke lantai lorong gua ini.
Sementara Talia yang berada di belakang Pen-
dekar Rajawali Sakti jadi menganggur, karena orang-
orang berbaju hitam tidak ada yang bisa menembus
pertahanan pemuda berbaju rompi putih itu. Satu per-
satu mereka bergelimpangan berlumuran darah. Jum-
lah yang banyak, dalam waktu sebentar sudah berku-
rang lebih dari separuhnya. Mereka jadi gentar juga,
sehingga agak ragu-ragu menyerang.
Pada saat itu, dari atas langit-langit lorong yang
kini terbuka, meluncur seorang berbaju putih longgar, Jatuhnya tepat di belakang
Talia, dan dengan cepat
pula menotok punggung gadis itu. Talia yang belum
menyadari, hanya bisa terpekik tertahan, dan langsung jatuh lunglai. Namun
sebelum tubuhnya menyentuh
dasar lorong gua, orang berjubah putih itu sudah me-
nyangganya. Dia langsung melesat naik sambil me-
mondong tubuh Talia yang lemas tertotok jalan darah-
nya. 'Talia...!" sentak Rangga terkejut.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meluncur
mengejar orang berjubah putih yang membawa Talia,
Namun beberapa batang tongkat pendek berwarna me-
rah meluncur mengancamnya. Rangga cepat mengi-
baskan pedangnya sambil terus melentingkan tubuh
ke atas. Tepat ketika atap lorong itu bergerak menu-
tup, Rangga sudah melewatinya.
Talia...!"
*** Rangga jadi celingukan karena kini sudah be-
rada di sebuah hutan, tepat di samping bangunan is-
tana maut. Orang berjubah putih yang membawa Ta-
lia, sudah lenyap tidak ketahuan ke mana perginya.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan, menda-
dak matanya menangkap sebuah bayangan putih ber-
kelebat di dalam hutan. Secepat kilat, tubuhnya mele-
sat mengejar. Namun kembali Pendekar Rajawali Sakti kehi-
langan jejak. Ternyata bayangan putih itu cepat sekali menghilang. Tubuh Rangga
melenting ke atas, dan
hinggap di cabang pohon yang paling tinggi. Dari ke-
tinggian ini, pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi bayangan putih yang
membawa Talia tidak juga bisa
terlihat. "Setan...!" geram Rangga gusar bukan main.
Pendekar Rajawali Sakti kembali meluruk turun ke
bawah. Namun begitu kakinya menjejak tanah, tiba-
tiba saja dari dalam tanah bermunculan manusia-
manusia berbaju hitam bergambar naga pada dadanya.
Mereka langsung berlompatan menyerang. Sejenak
Rangga tersentak kaget. Namun cepat sekali tubuhnya
berputar, langsung melontarkan beberapa pukulan
bertenaga dalam sangat sempurna.
Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga pu-
kulannya tidak terbendung lagi. Terdengar jeritan me-
lengking tinggi saling susul. Kemudian tampak bebera-
pa tubuh bergelimpangan di tanah dengan mulut me-
nyemburkan darah segar. Rangga yang sedang dihing-
gapi kemarahan, langsung meluapkannya pada orang-
orang berbaju hitam itu.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Desss! Bugkh! "Aaa...!"
Dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali', Rangga mengamuk bagai banteng liar.
Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Bahkan setiap
pukulan yang dilepaskan, selalu meminta korban nya-
wa. Sebentar saja orang berbaju hitam yang ber-
jumlah dua puluh orang itu, tewas tak tersisa lagi. Bau anyir darah langsung
meresap ke hidung. Mata Pendekar Rajawali Sakti memandangi mereka yang
tergeletak tak bernyawa lagi. Mereka semua mengenakan gelang
berjumlah satu buah, sehingga jelas hanya memiliki
kepandaian tidak begitu tinggi. Tidak heran kalau
Rangga mudah sekali menghancurkannya.
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya me-
ninggalkan tempat itu. Matanya tajam memandang ke
sekitarnya. Bahkan tanah berumput yang dilalui tidak
luput dari perhatian. Namun sampai jauh berjalan, ti-
dak juga ditemukan adanya tanda-tanda bekas orang
berjalan. Rangga mendengus kesal, sambil mengepal-
kan tangannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin kesal.
Ternyata kini baru disadari kalau dirinya hanya berputar-putar saja di sekitar
bangunan istana maut yang
masih berdiri tegak dengan angkuhnya. Pemuda ber-
baju rompi putih itu berdiri tegak memandangi bangu-
nan istana maut yang tampak angker itu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tan-
gannya sambil berteriak keras menggelegar. Maka se-
ketika dari kedua telapak tangannya meluncur dua
berkas sinar merah membentuk bola api yang lang-
sung menghantam dinding istana maut. Ledakan dah-
syat terdengar, bersama hancurnya istana itu. Bebera-
pa kali Rangga melontarkan bola-bola api. Memang,
kemarahannya dilampiaskan pada bangunan istana
maut itu. "Ha ha ha...!"
Rangga menghentikan lontaran bola apinya ke-
tika terdengar suara tawa terbahak-bahak yang begitu
keras menggema. Pendekar Rajawali Sakti memutar
tubuhnya, mencoba mencari sumbernya. Namun suara
tawa itu seperti datang dari segala penjuru mata angin.
Dan Rangga langsung bisa menebak kalau pemilik su-
ara tawa itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi
"Siapa kau" Keluar...!" bentak Rangga keras.
"Ha ha ha...!"
*** 8 "Eyang Wiratma...," desis Rangga ketika melihat seorang laki-laki tua berjubah
putih keluar dari balik sebatang pohon di depannya.
Laki-laki tua yang dikenal bernama Eyang Wi-
ratma itu berjalan menghampiri Rangga, dan berhenti
setelah jaraknya sekitar dua langkah lagi di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Jadi kau dalang dari semua ini...?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Kau salah jika menyangka demikian, Pendekar
Rajawali Sakti," bantah Eyang Wiratma, terdengar kalem nada suaranya. "Bukan aku
yang merencanakan
semua ini, karena ada yang lebih tinggi lagi dariku.
Sedangkan aku hanya sekadar membantu saja, me-
nyediakan pasukan khusus yang tangguh dan dapat
diandalkan serta dipercaya penuh."
"Apa pun alasanmu, untuk apa kau lakukan
semua itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kekuasaan!" sahut Eyang Wiratma tegas. "Kau tahu apa itu kekuasaan" He he
he...! Semua orang di
dunia ini pasti menghendaki kekuasaan. Dan kau juga
tidak mungkin menghindari keinginan itu, Pendekar
Rajawali Sakti!"
"Kekuasaan apa yang kau inginkan?" tanya
Rangga mulai tidak senang.
"Seluruh wilayah kerajaan ini. Bahkan seluruh
dunia!" sahut Eyang Wiratma pongah.
"Hm.... Karena itu kau membantai para pende-
kar?" tebak Rangga langsung.
"Ha ha ha"! Kau memang terlalu cerdik, Pende-
kar Rajawali Sakti. Tapi kau tidak bisa mengalahkan
aku!" Rangga menggumam kecil. Sedangkan Eyang
Wiratma menggeser kakinya ke belakang beberapa tin-
dak. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan se-
dang mengukur kekuatan satu sama lain. Laki-laki tua
berjubah putih itu menggeser kakinya ke samping be-
berapa tindak, dan berhenti setelah jaraknya sekitar
dua batang tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu, saat ini kau adalah pendekar, dig-
daya yang tidak tertandingi. Tapi itu bukanlah penghalang besar bagiku, Pendekar
Rajawali Sakti. Kau boleh saja berbangga karena dapat lolos dari istana maut,
tapi tidak akan luput dari kematian!" terdengar dingin nada suara Eyang Wiratma.
Rangga hanya diam saja memperhatikan laki-
laki tua itu yang sudah mencabut senjatanya berupa
tongkat pendek berwarna merah menyala. Ujung-ujung
tongkat itu dipegang dengan kedua tangannya, lalu
perlahan ditarik hingga sepanjang rentangan tangan-
nya. Wuk! Wuk...!
Tangkas sekali tongkatnya dikebutkan, kemu-
dian diputar-putar cepat bagai baling-baling. Kini bentuk tongkat itu jadi
hilang, dan yang terlihat hanya bu-latan lingkaran merah membentuk perisai.
Memang sepertinya permainan tongkat itu tidak berarti. Tapi
mendadak saja, Rangga merasakan adanya aliran ha-
wa panas yang semakin lama semakin menyengat kulit
"Hawa racun...," desis Rangga perlahan.
Memang dari tongkat merah itu memancar ha-
wa racun yang mengandung udara panas menyengat
kulit, yang semakin lama semakin terasa. Meskipun
disadari kalau dirinya memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi
Pendekar Rajawali Sakti mencoba menandinginya dengan mengerahkan hawa murni
yang dipusatkan pada aliran jalan darah.
Rangga tetap berdiri tenang, dan tak sedikit
pun terpengaruh oleh serangan hawa racun yang di-
buat oleh Eyang Wiratma melalui senjata tongkat me-
rahnya. Sikap Pendekar Rajawali Sakti itu membuat
kening Eyang Wiratma jadi berkerut juga. Serangannya
semakin diperhebat, disertai pengerahan seluruh ke-
kuatan untuk melumpuhkan pemuda berbaju rompi
putih itu. Wajah laki-laki tua itu sampai memerah, karena seluruh kekuatannya
dikerahkan dalam menya-
lurkan hawa racun dari tongkat merah kebanggaan-
nya. "Hm..." Rangga tersenyum melihat laki-laki tua itu semakin memperhebat
serangannya. "Bocah setan...!" geram Eyang Wiratma merasa kewalahan juga.
Tiba-tiba saja laki-laki tua berjubah putih itu
berteriak nyaring melengking tinggi. Maka seketika tubuhnya melesat cepat
menerjang Pendekar Rajawali
Sakti. Sungguh luar biasa serangannya kali ini. Tong-
kat merah yang dikebutkan tiga kali itu menimbulkan
suara angin menderu bagai topan.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika ujung tongkat Eyang Wiratma me-
luruk ke arah dada, cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti merapatkan kedua tangannya di depan dada.
Dan,... "Hih!"
Tap! Ujung tongkat yang runcing berwarna merah
menyala itu terjepit erat di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hal
ini membuat Eyang Wiratma
terkejut setengah mati. Dicobanya untuk menarik pu-
lang tongkatnya, namun jepitan tangan Rangga begitu
kuat. Akibatnya, sukar baginya untuk melepaskan
tongkat itu. Eyang Wiratma mengerahkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam, tapi tetap saja jepitan itu tidak bergeming sedikit pun.
"Hih! Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam, Eyang Wiratma menghentakkan tongkatnya
kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, kakinya me-
nendang ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, sehingga
tendangan itu hanya lewat di samping pinggang. Pada
saat yang sama, Rangga menghentakkan tangannya ke
atas tanpa melepaskan jepitan pada ujung tongkat me-
rah itu. "Hiyaaa...!"
Wut! "Whaaa...!"
Eyang Wiratma terpekik kaget ketika tiba-tiba
tubuhnya melayang terangkat ke udara. Dan tanpa
dapat dicegah lagi, laki-laki tua itu terpental jauh me-lambung tinggi ke
angkasa. Namun begitu tubuhnya
berada di udara, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mengejar sambil
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'.
"Hiyaaat...!" Rangga berteriak keras melengking.
Dua kali tangan Rangga mengibas ke tubuh la-
ki-laki tua berjubah putih itu. Sementara Eyang Wi-


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ratma sendiri tidak bisa lagi menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dengan demikian tidak mungkin lagi seran-
gan Pendekar Rajawali Sakti dihindarinya. Maka, tepat sekali kedua tangan Rangga
yang mengembang lebar
berkelebat membabat tubuh Eyang Wiratma.
"Aaa...!" Eyang Wiratma menjerit melengking tinggi. Tubuh laki-laki tua itu
meluncur turun ke bawah. Dan sebelum sempat menyentuh tanah, Rangga
sudah cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti melu-
ruk deras disertai pengerahan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Sepasang kakinya bergerak cepat, langsung menghantam kepala Eyang Wiratma. Tak
ada lagi jeritan yang terdengar. Laki-laki tua itu sudah tewas sebelum tubuhnya
menghantam tanah. Ringan
sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah. Ditarik-
nya napas panjang, seraya memandangi mayat laki-
laki tua berjubah putih itu.
*** Rangga memutar tubuhnya, langsung meman-
dang pohon tempat Eyang Wiratma muncul tadi. Den-
gan sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah
mencapai pohon itu. Perlahan pohon itu diputari. Se-
ketika matanya terbeliak melihat Talia tergeletak di tanah dengan tubuh hampir
tertutup dedaunan kering.
"Talia...!"
Bergegas Rangga mengangkat tubuh gadis itu,
dan membawanya ke tempat yang lebih baik. Diba-
ringkannya kembali gadis itu. Sebentar Rangga meme-
riksa tubuh Talia, kemudian menggerakkan jari-jari
tangannya ke beberapa bagian tubuh gadis itu.
"Ohhh...," Talia merintih seraya menggeleng-
gelengkan kepala.
Gadis itu langsung menggerinjang bangkit du-
duk begitu tersadar dari pengaruh totokan. Dipandan-
ginya Rangga dalam-dalam, kemudian beralih pada
seorang laki-laki tua berjubah putih yang tergeletak
berlumuran darah tidak jauh dari tempat ini. Kembali
Talia mengalihkan pandangannya ke arah Rangga yang
juga tengah memandang padanya. Kelihatan sekali ka-
lau gadis itu hendak meminta penjelasan.
"Apa yang terjadi padaku, Kakang?" tanya Talia.
Talia mengedarkan pandangan ke sekeliling,
dan langsung terpaku pada bangunan istana yang
hancur berantakan. Bangunan itu tidak berbentuk la-
gi, dan telah hancur berkeping-keping menjadi puing-
puing yang tak bisa ditempati lagi.
"Kau terkena totokan pada jalan darahmu," jelas Rangga.
"Oh! Kita harus membebaskan ayah secepat-
nya, Kakang. Ayah ada di lembah," kata Talia.
"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga.
"Eyang Wiratma yang mengatakannya padaku.
Dia sempat membebaskan totokan pada bagian kepa-
laku. Katanya, sebentar lagi ayah akan mati. Mereka
kemudian akan menguasai seluruh wilayah Kerajaan
Mandalika, setelah menggulingkan Prabu Yudanegara.
Tapi yang jelas, mereka ingin membunuhmu lebih dulu
agar tidak menjadi penghalang," tutur Talia.
"Kau sudah tahu, lalu kenapa pakai tanya sega-
la?" dengus Rangga.
"Maksudku hanya ingin meyakinkan saja, Ka-
kang. Soalnya tadi aku antara sadar dan tidak," sahut Talia beralasan.
Rangga bangkit berdiri, lalu mengulurkan tan-
gannya pada gadis itu. Talia langsung menerimanya
dengan bibir mengulas senyuman manis. Gadis itu
bang-kit berdiri dibantu Pendekar Rajawali Sakti.
'Talia. Kau tahu, siapa biang keladi semua ini?"
tanya Rangga seraya mengayunkan kakinya mening-
galkan tempat itu.
"Sambung Wulung," sahut Talia yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yakin?"
"Sejak semula aku sudah yakin kalau dialah
biang keladinya. Hanya saja aku belum punya bukti
kuat. Dan ayah sendiri juga sudah tahu kalau Sam-
bung Wulung selalu membuat keonaran di Kerajaan
Mandalika ini."
"Kenapa ayahmu pura-pura tidak tahu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sengaja, karena tidak ingin menyakitkan hati
Gusti Prabu. Ayah terlalu menghormati dan mencin-
tainya. Apalagi Sambung Wulung menantu satu-satu-
nya Gusti Prabu yang sangat disayang. Ayah sudah
berkorban banyak. Tapi, rupanya Sambung Wulung
selalu saja mengusik kehidupan ayah. Padahal ayah
sendiri juga, sudah berjanji tidak akan mencampuri
urusannya dalam menggulingkan tahta Gusti Prabu
Yudanegara."
"Aku bisa menghargai kesetiaan ayahmu, Ta-
lia," ujar Rangga agak bergumam.
"Ya.... Ayah memang terlalu setia pada Gusti
Prabu, tapi kadang-kadang membuatku jengkel. Kalau
saja ayah mau, sudah dari dulu si keparat itu mam-
pus!' agak jengkel terdengar nada suara Talia.
Rangga terdiam. Memang sukar dicari nilai ke-
setiaan seseorang. Ki Sara Denta rela mengorbankan
segalanya demi kesetiaannya pada Prabu Yudanegara.
Bahkan rela dihina dengan berpura-pura menjadi gila.
Semua itu dilakukan agar Prabu Yudanegara tetap
menduduki tahta. Raden Sambung Wulung memang
tidak akan mungkin menduduki tahta selama Prabu
Yudanegara belum mangkat. Apalagi untuk merebut
tahta secara kekerasan. Karena, itu akan membang-
kitkan kemarahan seluruh rakyat Kerajaan Mandalika.
Tidak ada gunanya menjadi raja jika rakyat tidak me-
nyukai, bahkan malah membencinya. Bisa-bisa setiap
hari yang diurusi hanya pemberontakan saja.
Tapi rupanya pemuda itu tidak sabar lagi. Ter-
lebih lagi setelah merasa gagal menyingkirkan Pende-
kar Rajawali Sakti. Memang matang rencana Raden
Sambung Wulung. Dia tahu kalau Ki Sara Denta me-
miliki banyak teman dari kalangan pendekar. Bahkan
Prabu Yudanegara sendiri menganggap seluruh pende-
kar di dunia ini adalah sahabatnya.
Raden Sambung Wulung sengaja melenyapkan
para pendekar untuk mengurangi kekuatan yang akan
dihadapi. Ya! Caranya adalah mencemarkan seluruh
lantai istana dengan racun. Hal itu bisa dilakukan
berkat bantuan Eyang Wiratma yang memang terkenal
pembuat racun ganas. Dan sekarang Pendekar Raja-
wali Sakti tinggal menangkap biang keladinya.
*** Raden Sambung Wulung terkejut ketika tiba-
tiba Pendekar Rajawali Sakti muncul di depannya.
Saat itu dia tengah bercengkerama bersama istrinya,
putri tunggal Prabu Yudanegara. Keterkejutan Raden
Sambung Wulung semakin bertambah ketika Talia
muncul juga. "Kau terkejut, Sambung Wulung...?" terdengar sinis nada suara Talia.
'Talia..., seharusnya kau sudah mati!" desis Ra-
den Sambung Wulung.
"Itu perkiraanmu, Sambung Wulung. Racun
yang kau berikan pada minumanku tidak berarti sama
sekali bagi diriku. Kau lupa, Sambung Wulung. Eyang
Guru telah memberiku ilmu untuk memunahkan sega-
la jenis racun yang kau pelajari," ketus kata-kata Talia.
"Setan...! Seharusnya kupenggal kepalamu, Ta-
lia!" geram Raden Sambung Wulung.
Raden Sambung Wulung melirik Rara Ayu Ar-
sih yang berada di sampingnya. Terlintas satu pikiran licik di benaknya. Dengan
cepat tangannya hendak
menjambret pergelangan tangan wanita itu. Namun be-
lum juga tangannya sampai, mendadak saja Rangga
menghentakkan kakinya, menendang kerikil yang ada
tepat di ujung jari kakinya. Batu kerikil itu melesat bagai kilat menghantam
pergelangan tangan Raden Sam-
bung Wulung. "Akh...!" Raden Sambung Wulung terpekik.
Dia langsung menarik tangannya kembali. Se-
mentara itu, cepat sekali Talia melompat menyambar
tubuh Rara Ayu Arsih hingga mereka jatuh bergulin-
gan menjauhi Raden Sambung Wulung.
"Ada apa ini..."!" sentak Rara Ayu Arsih tidak mengerti.
Wanita cantik itu buru-buru bangkit berdiri.
Tapi belum juga berlari ke arah suaminya, Talia sudah mencekal tangannya. Wanita
itu mencoba memberon-tak, tapi cekalan tangan Talia begitu kuat.
"Nanti akan ku jelaskan, Gusti Ayu," kata Talia.
"Talia...! Kau putri Panglima Sara Denta, bu-
kan...?" "Benar, Gusti Ayu. Nanti ku jelaskan persoalannya," sahut Talia lembut.
Sementara Talia menjelaskan persoalannya,
Raden Sambung Wulung berteriak memanggil pengaw-
al. Tapi yang datang bukan prajurit pengawal kerajaan, melainkan orang-orang
berpakaian serba hitam yang
pada bagian dadanya terdapat gambar naga. Bukan
hanya Rangga dan Talia yang terkejut, tapi juga Rara
Ayu Arsih juga terkejut melihat kemunculan orang-
orang berbaju hitam itu.
"Serang mereka! Semuanya...!" seru Raden
Sambung Wulung lantang.
"Kakang...!" sentak Rara Ayu Arsih terkejut mendengar perintah suaminya barusan.
"Kau juga harus mati, Arsih! Ha ha ha...!"
Tidak kurang dari seratus orang berpakaian
serba hitam itu berlompatan menyerang Rangga, Talia,
dan Rara Ayu Arsih. Tentu saja wanita yang tidak
mengetahui tentang ilmu olah kanuragan itu jadi ter-
beliak tidak percaya. Tapi tangkas sekali, Talia selalu menye-lamatkannya dari
ancaman senjata orang-orang
berbaju hitam yang menyerang ganas. Sementara
Rangga juga sudah harus menghadapi keroyokan dari
orang yang jumlahnya begitu besar.
"Hiyaaat..!"
Sret! Pendekar Rajawali Sakti langsung, mencabut
Pedang Rajawali Sakti. Seketika sinar biru menyembu-
rat menyilaukan mata. Rangga kini tidak tanggung-
tanggung lagi. Langsung dikerahkannya jurus 'Pedang
Pemecah Sukma' yang belum ada tandingannya sam-
pai saat ini. Dengan pedang di tangan dan disertai jurus dahsyat itu, Rangga
bagaikan malaikat maut pen-
cabut nyawa. Pedang bersinar biru itu berkelebat cepat tak terben-
dung lagi, ditambah gerakan tubuh yang lincah dan
cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, tiga atau empat nyawa melayang. Belum
lagi pukulan-pukulan
dahsyatnya yang mengandung pengerahan tenaga da-
lam sempurna. Tentu saja hal ini membuat para pe-
nyerangnya tak mampu lagi mendekati Pendekar Ra-
jawali Sakti. Melihat orang-orangnya jadi kacau berantakan,
Raden Sambung Wulung mencoba melarikan diri. Na-
mun tindakannya cepat diketahui Rangga yang me-
mang sejak tadi terus memperhatikannya. Secepat ki-
lat Pendekar Rajawali Sakti melesat melewati beberapa kepala sambil membabatkan
pedangnya. Jeritan-jeritan menyayat masih terdengar saling sahut. Semen-
tara Talia juga tidak mau kalah. Gadis itu mengamuk
sambil melindungi Rara Ayu Arsih yang semakin pucat
wajahnya. "Mau lari ke mana kau..."!" bentak Rangga begitu menjejakkan kakinya di depan
Raden Sambung Wu-
lung. Pemuda itu jadi pucat wajahnya. Disadari kalau kemampuannya tidak akan
sanggup menandingi Pen-
dekar Rajawali Sakti. Dan sebelum menantu Prabu
Yudanegara itu melakukan sesuatu, Rangga sudah
bergerak cepat mengibaskan pedangnya ke arah leher
pemuda itu. Sesaat Raden Sambung Wulung terbeliak,
dan tidak mampu berkelit lagi. Akibatnya....
Cras! "Aaa...!" Raden Sambung Wulung menjerit ke-
ras menyayat. Sebentar menantu Prabu Yudanegara itu masih
mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan leher
terbabat hampir buntung. Darah langsung muncrat
keluar dari leher yang menganga lebar. Raden Sam-
bung Wulung menggeliat beberapa saat, kemudian di-
am tak bergerak-gerak lagi. Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan keras yang
datang dari arah istana kecil di lembah ini. Tampak para prajurit Kerajaan Man-
dalika berlarian sambil mengacung-acungkan pedang
di atas kepala.
Melihat kedatangan para prajurit itu, orang-orang berbaju hitam bergambar naga
di dada, langsung berlom-
patan kabur. Tapi para prajurit yang sebagian me-
nunggang kuda itu langsung mengejar. Sementara itu
terlihat Prabu Yudanegara memacu cepat kudanya. Dia
langsung melompat turun menghampiri putrinya.
"Ayah...!" seru Rara Ayu Arsih.
Wanita itu langsung memeluk dan menangis
dalam pelukan Prabu Yudanegara. Sementara Talia
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka
di punggung. "Ayah sudah tahu semuanya. Tabahlah, Anak-
ku...," ucap Prabu Yudanegara lembut.
Rara Ayu Arsih masih menangis terisak dalam
pelukan ayahnya. Sementara Prabu Yudanegara me-
mandang Pendekar Rajawali Sakti dan Talia. Kedua
mata laki-laki tua itu merembang berkaca-kaca.
"Terima kasih...," ucap Prabu Yudanegara agak tersendat. "Seharusnya aku sudah
bertindak dari dulu.
Sudah lama aku menaruh kecurigaan padanya,
tapi belum punya bukti kuat. Yaaah, semuanya me-
mang sudah digariskan sang Hyang Widi.
Rangga dan Talia hanya diam saja.
'Talia, kau bisa menemui ayahmu di istana,"
sambung Prabu Yudanegara lagi.
Talia memandang Rangga sejenak. Sementara


Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepa-
lanya sedikit. Talia membungkukkan tubuhnya mem-
beri hormat pada Prabu Yudanegara, kemudian berlari
kecil menuju istana kecil di lembah ini. Sedangkan
Prabu Yudanegara semakin erat memeluk putrinya.
Diam-diam Rangga mengayunkan kakinya meninggal-
kan tempat ini. Bibirnya tersenyum melihat tangis ke-
bahagiaan dari semua penghuni lembah ini, meskipun
ada seseorang yang berduka karena kehilangan sua-
minya. Suami yang mengkhianati kepercayaan, demi
mencapai kekuasaan. Ya! Kekuasaan, harta, dan ke-
dudukan memang membuat orang silau.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hong Lui Bun 4 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 4
^