Pencarian

Ratu Bukit Brambang 1

Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang Bagian 1


RATU BUKIT BRAMBANG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Fuji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Ratu Bukit Brambang
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Aaa...!"
Suatu jeritan melengking terdengar memecah
keheningan malam. Bulan yang bersinar penuh, lang-
sung redup tertutup awan hitam. Seakan-akan, sang
dewi malam tersentak mendengar jeritan panjang yang
menyayat hati tadi. Belum lagi gema jeritan tadi hilang, mendadak terdengar
suara genderang dipukul bertalu-talu. Suara itu datang dari sebuah bukit yang
curam dan terlihat rapuh.
Cahaya dari api unggun menyemburat, mene-
rangi tengah-tengah bukit itu. Sekitar sepuluh orang
tampak berdiri berjajar mengeliling api unggun. Tam-
pak sesosok tubuh menggeliat-geliat terpancang di
tiang, di tengah-tengah api unggun, Jeritan-jeritan melengking kembali terdengar
menyayat. Api yang besar kembali menjilati tubuh yang terpancang di tiang itu.
Tidak jauh dari api itu, tampak seorang wanita menge-
nakan jubah panjang berwarna merah menyala. Tan-
gannya terangkat tinggi-tinggi ke atas.
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang ketika tan-
gan wanita berjubah merah menghentak ke depan. Api
langsung berkobar membesar, menimbulkan percikan
dan suara gemuruh dari kayu-kayu yang terbakar.
Tampak di dalam api itu, sesosok tubuh meng-
geliat-geliat, kemudian diam lunglai tidak bergerak-
gerak lagi. "Hi hi hi...!"
Sambil memperdengarkan suara mengikik, pe-
rempuan berjubah merah panjang itu berbalik. Tam-
pak raut wajahnya yang menyerupai tengkorak, ham-
pir tertutup rambut panjang terurai. Sepuluh orang
yang mengelilinginya, menjatuhkan diri dan berlutut
dengan kepala tertunduk. Mereka semua adalah wani-
ta muda dengan wajah cantik. Pakaian mereka semua
berwarna merah dengan ikat pinggang berwarna kun-
ing emas. Suara genderang yang dipukul bertalu-talu oleh
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, kini berhenti terdengar. Penabuh
genderang itu juga berlutut dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Sebentar
wani- ta berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu
memandang berkeliling, kemudian tertawa terbahak-
bahak. "Hi hi hi...!"
Tangan kanan wanita berwajah tengkorak itu
terangkat perlahan-lahan. Kemudian salah seorang
wanita bangkit berdiri, membawa sebuah baki dengan
sebuah cawan di atasnya. Kakinya melangkah perla-
han-lahan mendekati, lalu berlutut di depan perem-
puan berjubah merah itu. Dengan sikap hormat, dibe-
rikannya baki itu.
Wanita berjubah merah itu mengambil cawan
dari atas baki yang disodorkan. Diangkatnya cawan itu tinggi-tinggi, lalu
berbalik menghadap api yang masih berkobar besar. Mulutnya bergerak-gerak,
kemudian perlahan-lahan tangannya turun. Ditenggaknya isi ca-
wan itu, dan cawannya dibuang ke dalam api. Maka
mendadak saja api itu padam.
"Ha ha ha..!" perempuan berjubah merah itu
kembali tertawa terbahak-bahak. "Akulah Ratu Bukit Brambang! Mulai saat ini,
setiap malam harus ada
persembahan darah dari seorang laki-laki muda yang
sehat dan perkasa! Ha ha ha...!"
"Hamba akan melayani Yang Mulia Gusti Ra-
tu...!" sahut semua orang yang berada di puncak bukit itu, bersamaan.
"Bagus! Kalian memang harus patuh pada pe-
rintahku! Siapa yang mencoba membangkang, yang
pantas hanya hukuman mati!" mantap dan lantang
suara wanita berjubah merah yang wajahnya mirip
tengkorak itu. "Bakti, Yang Mulia Gusti Ratu...!"
"Ha ha ha...!" perempuan berjubah merah yang mengangkat dirinya sebagai Ratu
Bukit Brambang ini
tertawa terbahak-bahak.
Sebentar Ratu Bukit Brambang memandang
berkeliling, kemudian melangkah perlahan-lahan. Se-
puluh orang wanita dan seorang laki-laki bertubuh te-
gap, bergegas berdiri. Mereka berjalan mengikuti dari belakang. Laki-laki tegap
dan berkulit agak hitam itu melangkah paling belakang membawa genderang di
pundaknya. Mereka berjalan beriringan perlahan-lahan, melintasi
bukit ini. Suasana di Bukit Brambang itu kini menjadi hening. Tidak lagi
terdengar suara, kecuali desir angin malam saja yang menggaung di sekitar bukit
itu. Malam terus merayap semakin larut. Sementara bulan
pun kembali bersinar penuh, menyibak awan hitam
yang tadi sempat menghalanginya.
*** Kabut masih menyelimuti sebagian permukaan
bumi. Matahari belum lagi sempurna menampakkan
diri. Di sebelah Barat Bukit Brambang, tampak sebuah
per-kampungan yang tidak begitu besar. Namun bila
dilihat dari bentuk rumah yang ada, dapat dipastikan
kalau perkampungan itu sangat makmur. Hari me-
mang masih sangat pagi, tapi penduduk Desa Gedan-
gan ini sudah banyak yang ke luar. Bahkan tidak sedi-
kit yang sudah sibuk di ladangnya.
Saat matahari sudah muncul sempurna di ufuk
Timur, seluruh penduduk Desa Gedangan tidak ada
lagi yang berada di dalam rumah. Mereka sibuk den-
gan pekerjaan masing-masing. Anak-anak berlarian
menuju ke sungai. Gadis-gadis bergerombol membawa
rinjing cucian dengan canda tawa serta senda gurau
mereka yang mewarnai pagi nan cerah ini. Ditingkahi
lenguhan lembu dan kicauan burung di dahan-dahan,
suasana pagi memang terasa indah.
Anak-anak muda duduk bergerombol menggoda
gadis-gadis yang hendak pergi ke sungai. Segala ma-
cam celotehan dan gurauan mewarnai canda mereka.
Dan semua yang terjadi pagi ini, selalu terjadi
di pagi-pagi sebelumnya. Keceriaan memang selalu
mewarnai Desa Gedangan. Tak ada kemurungan
membias di wajah mereka. Terlebih lagi, saat masa pa-
nen sudah dekat. Sehingga membuat keceriaan sema-
kin bertambah di wajah mereka.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di
lereng bukit dekat sungai, terlihat dua orang wanita
berbaju merah duduk di atas punggung kuda. Dua
orang wanita berwajah cantik itu memperhatikan seke-
lompok pemuda yang tengah menggoda gadis-gadis.
"Mana yang kau pilih, Widarti?" tanya salah seorang dari dua wanita yang
menunggang kuda di lereng bukit itu.
"Menurutmu, mana yang lebih baik, Karina?"
Widarti balik bertanya.
"Hm...," wanita yang bernama Karina hanya
menggumam tidak jelas. Dia sendiri bingung untuk
menentukan salah satu dari sekian banyak pemuda di
tepi sungai itu.
Desa Gedangan memang terkenal dengan gadis-
gadisnya yang cantik-cantik, serta pemudanya yang
tampan-tampan dan gagah-gagah. Tidak heran kalau
kedua wanita di lereng bukit itu kebingungan untuk
memilih. Mereka memandangi satu persatu sekelom-
pok pemuda yang belum juga menyadari kalau tengah
diincar. "Bagaimana kalau yang memakai baju hijau, Karina?" Widarti meminta
pendapat. "Yang di bawah pohon kenanga itu?"
"Iya. Kelihatannya, dia lebih tampan dari yang
lain. Lagi pula, dia menyendiri. Jadi, mudah untuk
membawa nya."
"Penglihatanmu tajam juga, Widarti," puji Karina.
"Ayolah, selagi masih pagi."
Kedua wanita berbaju merah dan berikat ping-
gang kuning keemasan itu melompat turun dari pung-
gung kuda. Mereka berlompatan menuruni lereng bu-
kit, dengan gerakan yang sungguh ringan dan cepat.
Sehingga dalam sebentar saja, mereka sudah berada di
belakang seorang pemuda berbaju hijau yang tengah
duduk menyendiri di bawah pohon kenanga.
"Ehm-ehm...!" Widarti mendehem.
"Eh...!" pemuda itu terkejut, dan langsung menoleh. "Boleh bertanya, Kisanak?"
lembut suara Widarti. "Boleh..., boleh," sahut pemuda itu agak tergagap. Buru-
buru pemuda itu bangkit berdiri. Agak
heran juga dia melihat dua orang wanita cantik tahu-
tahu sudah di belakangnya.
"Kisanak tahu, di mana Padang Saga?" tanya Widarti, tetap lembut suaranya.
"Padang Saga..."!" pemuda itu terkejut. Wajahnya langsung pucat mendengar tempat
yang dis- ebutkan itu. "Kenapa, Kisanak?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja," sahut pemuda itu
tergagap. "Untuk apa Nisanak berdua menanyakan tem-
pat itu?" "Kami dengar, di sana tempat tumbuhnya ja-
mur obat yang sangat mujarab. Orangtua kami sakit
keras. Dan tabib menyarankan agar mencari obat dari
jamur yang tumbuh di Padang Saga," kata Widarti, jelas semua itu hanya alasannya
saja. Paling tidak, un-
tuk memancing pemuda itu menjauh dari keramaian.
Memang, di sana tumbuh sejenis jamur untuk
obat. Tapi sangat sukar mencapai ke sana, karena dae-
rah itu kini dikuasai seorang perempuan iblis yang
sangat kejam. Sekarang ini, tidak ada orang yang be-
rani ke sana. Kalaupun ada, tidak akan pernah kem-
bali lagi," jelas pemuda itu.
"Tapi kami harus ke sana. Kau bersedia men-
gantarkannya, Kisanak?" bujuk Widarti.
Pemuda itu ragu-ragu menjawab. Dipandan-
ginya kedua wanita itu bergantian. Ada rasa iba dan
sayang kalau wanita secantik ini harus menjadi korban keganasan perempuan iblis
yang menguasai Padang
Saga. "Kami tidak memintamu untuk mengantarkan
sampai ke sana. Cukup menunjukkan jalannya saja.
Kalau sudah dekat, biar kami saja yang ke sana," kata Widarti mengetahui kalau
pemuda itu kelihatan ragu-ragu.
"Kalau boleh kuberi saran, sebaiknya urungkan
saja niat Nisanak berdua," ujar pemuda itu.
"Sudah jauh kami berjalan. Dan rasanya tidak
akan mundur lagi, apa pun yang akan terjadi," mantap kata-kata Widarti.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Tapi
hanya sampai di persimpangan jalan saja. Setelah itu, kalian sendiri yang ke
sana," pemuda itu menyerah.
"Terima kasih," ucap Widarti senang.
Mereka bergegas berangkat. Widarti lalu men-
gerling pada Karina yang sejak tadi diam saja. Kedua
wanita cantik berbaju merah menyala itu berjalan di
belakang pemuda yang tidak menyadari kalau dirinya
tengah terjebak. Mereka terus berjalan menyusuri ja-
lan setapak semakin jauh, meninggalkan sungai. Me-
reka kemudian merambah hutan, menuju ke jalan se-
tapak yang agak mendaki.
Jalan setapak itu kelihatan tidak pernah lagi di-
lalui manusia. Rumput-rumput mulai tinggi menyema-
ki, hampir menutupi jalan kecil itu. Pemuda yang ber-
jalan di depan, berhenti melangkah setelah sampai pa-
da persimpangan jalan yang bercabang tiga. Tubuhnya
berbalik, dan memandang kedua wanita cantik di be-
lakangnya. "Maaf. Aku sampai di sini saja. Kalian bisa te-
rus mengikuti jalan ini. Tidak berapa jauh lagi, Padang Saga bisa kalian
temukan," kata pemuda itu.
"Kau baik sekali. Tapi sayang, kami harus
membawamu," kata Widarti dengan bibir mengulas senyum. "Heh...!" pemuda itu
terkejut. Tapi belum sempat pemuda itu menyadari apa
yang terjadi, mendadak Karina sudah bergerak cepat
menotok jalan darahnya. Widarti buru-buru menyang-
ga tubuh pemuda yang kini lunglai tertotok jalan da-
rahnya. "Gusti Ratu pasti senang menerima persemba-
han kita ini, Karina," kata Widarti.
"Benar. Tapi kita harus cepat sebelum ada
orang yang melihat," kata Karina.
"Cepatlah kau ambil kuda, Karina. Aku tunggu
di sini." "Jangan ke mana-mana, aku pasti segera kembali." "Cepatlah!"
Karina melesat cepat menggunakan ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup
tinggi. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata. Sementara Widarti menarik tu-
buh pemuda yang sudah lemas tertotok jalan darah-
nya. Disandarkannya pemuda itu pada sebatang pohon
yang cukup rindang. Sedangkan dia sendiri duduk di
sampingnya. Matanya tidak lepas merayapi wajah
tampan itu. Entah kenapa, bibirnya tersenyum. Dan


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya mengusap-usap wajah pemuda itu dengan
lembut. *** "Hi hi hi...! Bagus! Kau memang muridku yang
paling hebat, Widarti," puji perempuan berjubah merah. "Bukan hanya hamba
sendiri, Yang Mulia Gusti Ratu. Hamba dibantu Karina," jelas Widarti, seraya
melirik Karina yang duduk bersimpuh di sampingnya.
"Kalian patut mendapat hadiah dariku. Datan-
glah ke bilikku tengah malam nanti."
'Terima kasih, Gusti Ratu," ucap Widarti dan
Karina bersamaan.
Perempuan berjubah merah dan berwajah bagai
tengkorak itu melangkah meninggalkan dua orang wa-
nita cantik yang mengenakan baju warna merah juga.
Mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama
tersenyum. Widarti bergegas mengajak Karina keluar
dari ruangan besar berlantaikan batu pualam putih
ini. Wajah mereka cerah, dengan bibir menyungging
senyum. "Mudah-mudahan saja, Gusti Ratu memberi,
kita satu ilmu yang tangguh, Karina," kata Widarti sambil terus melangkah keluar
dari ruangan besar itu.
"Kalau Gusti Ratu menawarkan, kau ingin min-
ta apa?" tanya Karina.
Kedua wanita itu terus saja melangkah keluar
dari bangunan besar bagai istana yang terletak di puncak Bukit Brambang.
Beberapa orang wanita terlihat di sekitar halaman berumput itu. Mereka yang
tengah berlatih ilmu olah kanuragan, segera menghentikan la-
tihannya dan langsung mengerumuni Widarti dan Ka-
rina. "Hebat kau, Widarti. Pasti Gusti Ratu memberi kalian hadiah besar," puji
salah seorang dengan perasaan kagum.
"Minta saja ilmu kesaktian yang tinggi," sambung seorang lagi mengusulkan.
"Benar. Di antara kita semua, hanya kau yang
paling tinggi tingkat kepandaiannya."
Widarti dan Karina jadi berbunga hatinya. Me-
reka tidak bisa berkata-kata lagi, kecuali tersenyum
dengan wajah cerah menerima pujian dan saran-saran
teman-temannya. Kedua wanita itu kemudian ikut ber-
latih memantapkan ilmu-ilmunya yang dipelajari dari
pemimpin, sekaligus guru mereka dalam ilmu olah ka-
nuragan. Sementara hari terus merayap semakin tinggi.
Siang pun berganti senja, dan terus bergerak menjadi
malam. Udara yang panas di sekitar bukit itu, kini berubah dingin bagaikan
terselimut salju yang membe-
kukan. Tampak cahaya api membias di tengah-tengah
dataran luas di depan bangunan besar bagai istana
yang hanya satu-satunya di puncak Bukit Brambang
itu. Suasana sunyi senyap mewarnai sekitar pun-
cak bukit itu. Deru angin malam terasa kencang mem-
bawa udara dingin menggigilkan tulang. Tidak ada seo-
rang pun yang terlihat, kecuali dua orang wanita can-
tik berbaju merah. Mereka adalah Widarti dan Karina.
Kedua wanita itu tengah berjalan mendekati sebuah
mulut gua yang terletak di bagian kanan bangunan be-
sar bagai istana yang bagian belakangnya menempel
pada dinding tebing batu cadas.
Widarti dan Karina berlutut di depan mulut
gua. Kepala mereka tertunduk menekuri tanah be-
rumput lembab tersiram titik-titik air embun. Semen-
tara, malam terus merayap semakin larut. Angin yang
berhembus kencang membawa udara dingin tidak di-
pedulikan. Mereka tetap berlutut dengan kepala ter-
tunduk dalam. "Masuklah kalian...!"
Terdengar suara kering dari dalam gua itu. Wi-
darti dan Karina beranjak bangkit, kemudian melang-
kah perlahan-lahan memasuki gua itu. Keadaan di da-
lam sangat gelap, sehingga tidak bisa melihat apa-apa.
Namun begitu kaki mereka menginjak bagian tengah,
mendadak ruangan gua jadi terang-benderang. Entah
bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka ter-
dapat seonggok kayu bakar yang menyala termakan
api. Di balik api, terlihat seorang wanita berambut
panjang terurai tengah duduk bersila di atas sebuah
altar batu pualam putih berkilat. Di sampingnya, tam-
pak tergolek seorang pemuda bertelanjang dada. Pe-
muda berwajah tampan itu hanya tertutup selembar
kain merah dari batas pinggang ke bawah. Widarti
sempat melirik pada pemuda yang dibawanya siang ta-
di untuk ratunya.
"Seperti yang kukatakan siang tadi pada kalian,
aku akan memberi hadiah sebagai tanda terima kasih-
ku pada kalian. Suatu hadiah yang tidak bisa kalian
duga sebelumnya," kata wanita berjubah merah yang selalu dipanggil Ratu Bukit
Brambang itu. 'Terima kasih, Gusti Ratu," ucap Widarti dan
Karina bersamaan.
"Kalian lihat itu..."!" Ratu Bukit Brambang menunjuk sebuah kotak yang tertutup
rapat, terletak di
sebelah kanan Widarti.
Kedua gadis itu menoleh ke arah yang ditunjuk
Ratu Bukit Brambang.
"Di dalam kotak itu terdapat sepasang pedang
yang sudah kupersiapkan untuk siapa saja yang ber-
hasil membawa seorang pemuda pertama kali padaku.
Dan kalian yang berhasil. Maka, senjata pusaka itu
menjadi hak kalian."
Widarti dan Karina saling berpandangan. Mere-
ka tahu, pedang itu adalah senjata pusaka yang di-
banggakan Ratu Bukit Brambang. Keampuhannya ti-
dak tertandingi sampai saat ini. Dengan sepasang pe-
dang itu, Ratu Bukit Brambang telah berhasil menak-
lukkan rimba persilatan.
"Ambillah. Dan gunakan senjata itu sebaik
mungkin. Terutama, gunakan untuk mempertahankan
diri. Sebab aku mempercayakan kalian berdua untuk
me-mimpin yang lain, di saat aku tengah memusatkan
diri menyempurnakan ilmu-ilmuku," ujar Ratu Bukit Brambang.
Widarti memberi hormat, kemudian mengambil
kotak itu. Matanya agak terbeliak begitu tutup kotak terbuka. Tampak sepasang
pedang berwarna merah
berada di dalam kotak yang berlapis kain beludru me-
rah berkilat. Widarti mengambil satu pedang, dan
memberikannya pada Karina. Kemudian satu nya lagi
diambil untuknya sendiri.
"Sarung pedang itu sudah ada di kamar kalian
masing-masing. Nah, sekarang keluarlah. Masih ba-
nyak yang harus kukerjakan malam ini."
"Hamba mohon pamit, Gusti Ratu," ucap Wi-
darti dan Karina bersamaan.
Kedua wanita itu membungkuk memberi hor-
mat, kemudian melangkah mundur keluar dari gua itu.
Mereka baru berbalik setelah berada di luar, dan ber-
gegas melangkah pergi kembali ke bangunan besar ba-
gai istana itu. Wajah mereka berseri-seri karena men-
dapatkan senjata yang selalu diinginkan seluruh pen-
gikut Ratu Bukit Brambang.
Sementara di dalam gua, wanita berjubah me-
rah dan berwajah bagai tengkorak itu memandang pe-
muda, yang tergolek di sampingnya. Sepasang bola
matanya berkilat. Terdengar tawanya yang mengikik
kecil dan bernada kering. Kemudian tangan kanannya
mengebut ke arah api yang berkobar melahap kayu di
tengah-tengah ruangan itu. Seketika api padam, dan
gua jadi gelap gulita.
"Hi hi hi..!"
Kembali terdengar suara tawa mengikik. Kemu-
dian suara tawa itu menghilang, dan disusul desah
napas mendengus kencang. Tidak berapa lama berse-
lang, terdengar erangan-erangan dan rintihan lirih disertai dengusan napas
memburu bagai kuda yang dipa-
cu cepat mendaki bukit. Tidak lama hal itu berlang-
sung, karena sesaat kemudian terdengar jeritan me-
lengking tinggi.
"Aaa...!" "Hi hi hi..!"
*** 2 Hari terus berjalan sesuai dengan peredaran
waktu. Dan waktu-waktu yang berjalan itu digunakan
pengikut Ratu Bukit Brambang untuk memamerkan
sepak terjangnya yang semakin merajalela. Dalam
waktu singkat saja, nama Ratu Bukit Brambang telah
melambung tinggi dan sangat ditakuti semua orang.
Dan pengaruh yang paling terasa adalah di Desa Ge-
dangan, yang paling dekat dengan Bukit Brambang.
Desa yang biasanya selalu ceria, kini tampak muram
dan lengang. Tidak lagi terlihat anak-anak muda ber-
keliaran di jalan-jalan. Tidak terdengar lagi senda gurau pemuda yang menggoda
gadis-gadis. Mereka se-
mua sepertinya takut menjadi korban Ratu Bukit
Brambang. Hampir tiap hari terdengar tangisan dan rintihan me-
ratap dari rumah-rumah penduduk Desa Gedangan.
Bahkan ratapan yang sama juga terdengar di desa-
desa lain, di sekitar Bukit Brambang. Hampir tiap hari, pasti ada seorang pemuda
yang hilang tidak ketahuan
rimbanya. Para penculik itu tidak lagi menggunakan
kelembutan, tapi sudah menjurus kasar dan paksaan.
Tidak sedikit orang yang tewas dibantai, karena men-
coba mempertahankan anaknya. Bahkan banyak para
pemuda yang mencoba melawan, terbunuh seketika itu
juga. Dan tidak sedikit yang dibawa pergi dalam kea-
daan tertotok pingsan.
Siang itu udara di sekitar Desa Gedangan tera-
sa lebih panas daripada biasanya. Angin bertiup keras membawa udara kering.
Langit cerah tanpa sedikit pun
awan menggantung. Matahari memancarkan sinarnya
dengan garang, seakan-akan hendak membakar selu-
ruh yang ada di permukaan bumi ini. Seekor kuda hi-
tam bertubuh tinggi tegap berotot, tampak berjalan
perlahan-lahan melintasi jalan berdebu. Penunggang-
nya seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut
panjang meriap. Bajunya rompi putih, dengan pedang
bergagang kepala burung menyembul di balik pung-
gungnya. Kuda hitam itu berhenti di pinggir galangan
pematang sawah. Penunggangnya melompat turun, la-
lu melangkah menghampiri seorang laki-laki tua yang
sedang duduk di pematang. Pandangannya lurus me-
natap padi yang menguning, siap untuk dipanen.
"Kapan dituainya, Ki?" tegur pemuda itu ramah.
"Oh...!" laki-laki tua itu terkejut langsung menoleh. "Maaf, aku mengejutkanmu."
"Tidak, Aku tadi sedang melamun, jadi tidak
tahu kalau ada orang datang."
Laki-laki tua itu menggeser duduknya untuk
memberi tempat. Maka pemuda itu duduk di samping-
nya. Pandangannya menatap hamparan sawah yang
menguning. Agak heran juga dia, karena sepanjang
mata memandang tidak ada seorang pun terlihat. Bu-
rung-burung pipit tampak berpesta pora mengganyang
padi yang tidak terjaga. Pemuda itu menoleh menatap
laki-laki tua yang juga tengah memandang ke tengah
sawah. Pandangannya kosong, dan sepasang bola ma-
ta tuanya terlihat berkaca-kaca.
"Kau kelihatan sedih, Ki. Ada apa?" tanya pemuda itu hati-hati.
"Hhh...!" laki-laki tua itu menarik napas panjang dalam-dalam.
"Tidak lama lagi, padi-padi ini dituai. Tapi, tidak ada lagi yang mau
mengerjakannya. Jerih payah
selama berbulan-bulan ternyata harus ditinggal-kan
sia-sia." "Kenapa" Sayang sekali kalau padi sebagus ini harus ditinggalkan
begitu saja."
Laki-laki tua itu mendesah berat. Kepalanya
kemudian menoleh, menatap pemuda di sampingnya.
Begitu dalam, seakan-akan tengah menyelidik.
"Kau tentu bukan dari desa ini, atau desa-desa
lain di sekitar sini. Aku belum pernah melihatmu," pelan suara laki-laki tua
itu. "Aku hanya seorang pengembara yang kebetu-
lan lewat di sini, Ki," sahut pemuda itu ramah, disertai senyum di bibir.
"Sebaiknya cepat tinggalkan desa ini. Terlalu
berbahaya bagimu. Kau seorang pemuda tampan dan
gagah. Mereka pasti menginginkanmu," agak tersendat suara laki-laki tua itu.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, sehingga
sepasang alisnya yang tebal jadi bertaut. Sungguh sulit dimengerti, kenapa tiba-
tiba laki-laki tua ini menyu-ruhnya segera pergi" Dan hal ini membuat pemuda itu
jadi bertanya-tanya.
Belum lagi pemuda itu sempat bertanya, men-
dadak laki-laki tua itu bangkit berdiri bagai terserang ribuan lebah berbisa.
Pandangannya lurus menatap ke
satu arah. Melihat hal ini, pemuda tampan berbaju
rompi putih itu jadi keheranan. Dia juga ikut berdiri, dan menoleh ke arah yang
sama dengan laki-laki tua
di sampingnya. Agak terkejut juga dia begitu melihat
ada empat orang wanita berwajah cantik tahu-tahu te-
lah berdiri agak jauh darinya. Mereka semua menge-
nakan baju merah dengan sabuk berwarna kuning
keemasan. Di punggung masing-masing tersandang
sebilah pedang yang tangkai ujungnya berbentuk
tengkorak manusia.
'Tua-tua masih suka membual! Apa kau sudah
bosan hidup, heh"!" bentak salah seorang yang berdiri paling kanan.
"Ampun, Nini.... Aku..., aku..." laki-laki tua itu tergagap dengan tubuh
membungkuk beberapa kali.
"Phuih! Tidak ada alasan buatmu, Pembual!
Kau menyimpan seorang pemuda, tapi tidak menye-
rahkannya pada kami! Kau tahu, apa hukumannya,


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang Tua" Mati...!"
"Ampun, Nini.... Ampun.,.," rintih laki-laki tua itu seraya menjatuhkan diri
berlutut. "Bersiaplah untuk mampus, Tua Bangka!
Hiyaaa...!"
Salah seorang dari empat wanita itu melompat
sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali terjangan-
nya. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat, sehingga me-
nimbulkan suara angin berdesir. Namun begitu mata
pedang hampir memenggal leher laki-laki tua itu, men-
dadak dia terpekik. Seketika, tubuhnya kembali men-
celat ke belakang.
*** Wanita berbaju merah itu terhuyung-huyung
sambil memegangi tangan kanannya. Wajahnya kontan
merah padam, dan bibirnya mendesis bagai ular. Se-
dangkan yang tiga orang lagi langsung berlompatan
mengurung pemuda berbaju rompi putih yang tetap
berdiri tegak di samping laki-laki tua itu.
"Keparat kau berani melawan kami, heh!" ge-
ram perempuan itu sengit.
"Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkanmu
untuk membunuh orang tua yang tidak berdaya begitu
saja," kalem namun bernada tantangan kata-kata pemuda itu.
"Pembual itu tidak pantas lagi hidup lebih la-
ma. Dia harus mati. karena berani membangkang ke-
hendak Yang Mulia Gusti Ratu Bukit Brambang!" lantang kata-kata wanita yang
berada di depan pemuda
itu. "Benar itu, Ki?" tanya pemuda itu pada laki-laki tua yang tetap berlutut dengan
tubuh bergetar.
"Anak muda! Sebaiknya, kau cepat pergi. Biar-
kan aku di sini. Mereka sangat kejam. Kau akan mati
jika menuruti keinginannya," kata laki-laki tua itu.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka!"
"Hm..." gumam pemuda itu pelan. Tatapannya
tajam, lurus pada wanita yang berada di sebelah ka-
nannya. Wanita itu yang tadi mengeluarkan bentakan.
"Kisanak, sebaiknya segera ikut kami. Dan tua
bangka itu akan bebas hidup," kata yang seorang lagi lebih lembut.
"Ke mana?" tanya pemuda itu.
"Menemui Yang Mulia Gusti Ratu."
"Untuk apa" Aku tidak kenal kalian. Dan aku
tidak pernah mendengar ratumu. Aku baru hari ini
ada di sini."
"Jangan membantah! Hanya ada dua pilihan,
mati atau ikut!"
"Edan! Untuk apa' harus ikut tanpa tahu uru-
sannya" Kalian boleh membawaku asal mampu!"
"Keparat! Rupanya kau lebih senang mampus,
heh!" Salah seorang wanita itu segera mencabut pedangnya, lalu melompat cepat
sambil berteriak me-
lengking. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat. Namun
hanya sedikit saja pemuda itu menarik tubuhnya ke
belakang, maka tebasan pedang itu luput dari sasaran.
Hal ini membuat ketiga wanita lainnya jadi berang, sehingga segera berlompatan
menyerang. Sementara itu, laki-laki tua itu cepat-cepat me-
ninggalkan tempat ini. Tapi hatinya merasa penasaran, dan berhenti setelah cukup
jauh. Dengan tubuh geme-taran disaksikannya pertempuran itu. Tampak empat
orang wanita berbaju merah itu kewalahan juga meng-
hadapi pemuda yang mengenakan baju rompi putih.
Bahkan sampai jatuh bangun, dan tidak satu pun se-
rangannya berhasil menyentuh lawan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba pemuda tampan itu berteriak keras.
Sedangkan tangannya menyampok tangan salah seo-
rang penyerangnya. Orang itu memekik tertahan, dan
pedangnya melesat tinggi ke udara. Belum lagi hilang
rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras
mendarat di tubuhnya.
"Akh!" kembali wanita itu memekik tertahan.
Pada saat wanita itu terjengkang, pemuda tam-
pan berbaju rompi putih memutar tubuhnya. Lang-
sung disampoknya dua orang lawan. Pekikan keras
tertahan terdengar saling sahut. Kemudian satu orang
lawan terakhir dibuat sampai terjungkal mencium ta-
nah. Empat wanita pengikut Ratu Bukit Brambang se-
karang mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit.
Dan pemuda itu bergerak cepat. Tahu-tahu, di tan-
gannya sudah tergenggam pedang-pedang lawan.
"Pergilah kalian!" bentak pemuda itu keras.
Keempat wanita itu bangkit berdiri sambil me-
ringis menahan sakit. Mereka saling berpandangan se-
jenak, lalu berbalik.
"Nih, pedang kalian!" pemuda itu melemparkan pedang yang dirampasnya.
Empat batang pedang itu melayang, dan jatuh
tepat di ujung kaki mereka. Cepat-cepat keempat wa-
nita cantik berbaju merah itu memungutnya, kemu-
dian melompat cepat dan berlari masuk ke dalam hu-
tan. Pemuda itu berbalik setelah keempat wanita itu
tidak terlihat lagi. Dihampirinya laki-laki tua yang masih berdiri memandanginya
dengan rasa kagum.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya pemuda itu ramah. "Oh, tidak,... Tidak apa-apa'
sahut lelaki tua itu.
"Terima kasih, Raden. Kau telah mengusir me-
reka." "Jangan panggil aku raden, Ki. Panggil saja Rangga," ujar pemuda itu
memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku Ki Kusha, penduduk Desa Gedangan ini,"
laki-laki tua itu juga memperkenalkan diri.
"Hm.... Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki"
Tampaknya mereka sudah mengenalmu," selidik Rang-ga.
"Ceritanya panjang, Rangga. Dan sebaiknya,
segera kita tinggalkan tempat ini. Mari ke rumahku sa-ja," ajak Ki Kusha.
"Dengan senang hati, Ki," sambut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menghampiri
kudanya. Lalu me-
langkah menuntun kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu. Sedangkan Ki Kusha berjalan di samping ka-
nannya. Mereka melangkah tanpa berkata-kata lagi.
*** Rangga duduk bersila di atas dipan bambu
yang rendah, beralaskan tikar daun pandan. Di de-
pannya duduk Ki Kusha yang didampingi istrinya. Seo-
rang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun ten-
gah tiduran di pangkuan Nyai Kusha. Sebentar ma-
tanya yang bulat bening terbuka menatap Rangga, se-
bentar kemudian terpejam kembali.
Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya
ketika seorang wanita muda keluar dari bilik kamar
belakang sambil membawa sebuah baki yang di atas-
nya terdapat beberapa gelas tanah liat mengepulkan
uap hangat. Sepiring ketela rebus terhidang juga. Wa-
nita itu mengangguk dan tersenyum pada Rangga, ke-
mudian menghidangkan apa yang dibawanya.
"Silakan, Rangga. Hanya ini yang masih ada,"
ucap Ki Kusha. "Terima kasih, Ki. Ini juga sudah lebih dari cu-
kup," ujar Rangga seraya mengangkat gelas dan meng-hirup sedikit isinya.
"Beginilah keadaan di sini sekarang. Sepi, sela-
lu dicekam ketakutan," kata Ki Kusha pelan.
"Semua ini gara-gara si Ratu Bukit Brambang
itu!" sambung Nyai Kusha. "Lihat anak ini. Ayahnya diculik. Sampai sekarang,
tidak ketahuan nasibnya.
Ibunya jadi gila dan bunuh diri di jurang."
Rangga menatap anak perempuan yang tiduran
di pangkuan Nyai Kusha, kemudian beralih pada wani-
ta muda yang memakai baju merah muda di samping
Ki Kusha. Wanita itu hanya menunduk saja. Sore tadi,
Ki Kusha telah memperkenalkannya. Dan Rangga ma-
sih ingat, anak gadis Ki Kusha itu bernama Lasmi. Dia juga kehilangan ke
kasihnya. Padahal selesai panen ini rencananya mereka akan menikah.
"Mereka sangat kejam, Rangga. Selalu menculik
pemuda-pemuda, dan membunuh anak-anak serta
orang tua. Kalau begini terus, bisa habis semua orang sini. Mereka akan membunuh
siapa saja kalau tidak
mendapatkan pemuda," kata Ki Kusha bernada mengeluh.
"Apakah pemuka desa tidak bertindak?" tanya Rangga.
"Sudah, Rangga. Bahkan kepala desa kami te-
was karena mencoba melawan. Sekarang ini, Desa Ge-
dangan tidak punya pemimpin. Tidak ada yang memi-
kirkan itu lagi. Yang penting, bisa selamat itu juga sudah cukup," sahut Ki
Kusha lagi. "Aneh.... Untuk apa mereka menculik anak-
anak muda?" gumam Rangga seperti bertanya pada di-ri sendiri.
"Mungkin buat tumbal, Rangga," celetuk Nyai Kusha."
Tumbal...?" Rangga mengernyitkan keningnya.
"Biasanya begitu, Rangga. Orang yang menga-
nut Ilmu sesat, biasanya memerlukan tumbal untuk
kelangsungan hidup dan ilmunya. Yaaah..., macam-
macam saja jenis tumbalnya," Ki Kusha mencoba menjelaskan, tapi hanya menduga-
duga saja. Rangga terdiam dengan kepala tertunduk. Ka-
lau memang dugaan Ki Kusha benar, tidak ada hara-
pan hidup lagi bagi mereka yang diculik. Biasanya,
tumbal dipersembahkan bagi sesembahan dan dalam
bentuk sudah menjadi mayat atau masih hidup yang
kemudian dibunuh.
Untuk sesaat keheningan menyelimuti mereka
semua. Tidak ada yang membuka suara. Masing-
masing sibuk dengan pikirannya. Nyai Kusha bangkit
berdiri, lalu turun dari dipan bambu ini. Dia membawa cucunya ke dalam, dan
tidak lama kemudian kembali
lagi. 'Temani adikmu tidur, Lasmi," perintah Nyai Kusha. "Baik, Bu," sahut Lasmi
seraya beranjak bangkit "Tinggal dulu, Kang."
"Silakan," ucap Rangga seraya tersenyum dengan kepala sedikit terangguk.
Lasmi melangkah pergi masuk ke dalam kamar.
Entah lupa atau disengaja, pintunya tidak ditutup
kembali. Rangga sempat melirik gadis itu saat memba-
ringkan tubuhnya di samping anak kecil yang sudah
lelap dibuai mimpi. Kemudian pandangannya dialih-
kan ketika Lasmi berbalik memiringkan tubuhnya. Dia
tidak ingin lama-lama menatap gadis itu.
"Desa ini sekarang hanya dihuni orang tua dan
anak-anak saja. Pemuda-pemudanya telah meninggal-
kan desa, dan pergi ke kota atau ke desa lain yang
jauh. Banyak juga yang tewas atau diculik mereka...,"
kata Ki Kusha setelah lama terdiam.
"Apakah mereka masih suka datang ke sini?"
tanya Rangga. "Sering, Rangga. Kalau tidak mendapatkan
yang dicari, mereka membunuh siapa saja yang dite-
mui. Bahkan merusak, dan membakar rumah-rumah
penduduk. Desa ini sudah menjadi neraka saja, Rang-
ga," sahut Ki Kusha lirih.
"Oh...! Sampai sejauh itukah perbuatan mere-
ka...?" desah Rangga sedikit terkejut.
"Mereka memang kejam, tapi sangat tangguh.
Tidak ada yang bisa menandinginya."
"Mereka harus segera dihentikan!" desis Rangga datar. "Percuma, Rangga. Sudah
ada beberapa pendekar yang mencoba menghentikan mereka, tapi semua-
nya tewas. Mereka sangat tangguh. Lebih-lebih yang
bernama Widarti dan Karina. Tidak ada yang sanggup
menandinginya. Apalagi, si Ratu Bukit Brambang...,"
keluh Ki Kusha pelan.
"Aku yang akan menghentikan mereka, Ki!" tegas Rangga.
"Rangga...!" Ki Kusha tersentak kaget.
"Aduh.... Jangan, Rangga. Lebih baik tinggal-
kan saja desa ini. Mereka sangat tangguh dan ke-
jam...,"! ujar Nyai Kusha memohon.
"Harus ada orang yang bisa menghentikan me-
reka, Nyai. Mungkin sang Hyang Widi menunjukkan
jalan padaku hingga sampai ke sini," kata Rangga tanpa bermaksud menyombongkan
diri. "Rangga...."
Belum habis Ki Kusha bicara, tiba-tiba terden-
gar tawa terbahak-bahak mengikik. Suara tawa itu
demikian jelas terdengar. Ki Kusha dan Nyai Kusha
langsung bergetar, dan wajah mereka pucat pasi.
Rangga melompat tangkas, turun dari dipan bambu.
Dia berdiri tegak menatap ke pintu.
"Rangga...," bergetar suara Ki Kusha.
"Sebaiknya Aki dan Nyai masuk saja ke dalam.
Biar aku yang menghadapi," kata Rangga tanpa menoleh.
"Hati-hati, Rangga," ucap Ki Kusha.
Rangga tidak menjawab, dan hanya melangkah
tenang mendekati pintu. Perlahan-lahan dibukanya
pintu itu. Sementara, Ki Kusha membawa istrinya ke
dalam kamar. Di sana, Lasmi juga terbangun. Kedua
wanita itu berpelukan. Ki Kusha keluar kembali dari
kamar, dan melihat Rangga berjalan tenang ke luar.
Dan ditutupnya kembali pintu rumah itu. Ki Kusha
bergegas mendekati, dan mengintip melalui celah-celah papan pintu.
*** 3 Malam begitu pekat Angin berhembus kencang
membawa udara dingin menggigilkan. Saat ini Rangga
tengah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah
Ki Kusha yang cukup luas. Di depannya, berdiri seki-
tar enam orang wanita berbaju merah dengan sabuk
kuning keemasan. Masing-masing menyandang sebilah
pedang yang bergagang kepala tengkorak di punggung.
Tampak dua orang gadis berwajah cantik berdiri paling depan. Sudah bisa ditebak,
kedua gadis yang berdiri
paling depan adalah Widarti dan Karina. Sedangkan
empat wanita lagi yang berada di belakangnya sudah
dikenali Rangga. Merekalah yang siang tadi sempat di-
perdaya Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya, mereka
mengadu, dan kini datang kembali untuk membuat
perhitungan. Apalagi, kini ada dua orang yang memili-


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ki kepandaian lebih tinggi. Dan Rangga sudah mendu-
ga semua itu. "Rupanya kau memiliki nyali besar juga, Kisa-
nak," ketus nada suara Widarti.
"Siapa namamu?" selak Karina membentak.
"Untuk apa kau tahu namaku?" sambut Rangga
sinis. "Sombong!" dengus Karina sengit.
"Sebaiknya, kalian angkat kaki dari sini. Aku
malas berurusan dengan gadis-gadis telengas macam
kalian!" kata Rangga sinis.
"Keparat! Kau belum tahu siapa kami, heh"!
Sekalipun kau tampan seperti pangeran, nyawamu be-
rada di ujung pedang, tahu!" bentak Widarti panas.
"Aku hanya punya nyawa satu. Tapi, cukup un-
tuk membungkam mulut kalian yang nyinyir!"
"Setan alas! Kurobek mulutmu, Keparat!"
Karina tidak bisa lagi menahan diri, sehingga
langsung berteriak keras dan melompat menerjang.
Diberikannya dua pukulan beruntun yang begitu cepat
di-sertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi, Rangga hanya menggeser
kakinya sedikit sambil memiringkan tubuh, maka serangan Karina lewat begitu sa-
ja tanpa mengenai sasaran.
'Bagus! Rupanya kau punya mainan juga, Pe-
muda Tampan!" dengus Karina sambil bersiap menyerang kembali.
'Tahan seranganku! Hiyaaat..!"
"Hup!"
Sret! Karina tidak tanggung-tanggang lagi. Langsung
pedangnya dicabut, dan dikibaskan cepat ke arah kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan sigap, Rangga
melompat. Kemudian, kakinya melayang mengarah ke
kepala. Karina terpekik terkejut. Buru-buru kepalanya merunduk, menghindari
sepakan kaki itu. Dan belum
lagi sempurna menarik tubuhnya ke belakang, Rangga
sudah menggedor dadanya dengan satu pukulan ke-
ras. "Akh...!" Karina kembali memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Meskipun tadi Rangga tidak mengerahkan te-
naga dalam, tapi gedoran itu cukup membuat dada Ka-
rina sesak juga. Wajahnya merah padam menahan ma-
rah. Kembali gadis itu bersiap menyerang. Dan pada
saat itu, Widarti sudah mencabut pedangnya diikuti
empat gadis lain. Mereka langsung mengurung Pende-
kar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.
Dari sudut matanya, Pendekar Rajawali Sakti
memperhatikan setiap gerak gadis-gadis cantik yang
mengepungnya. Rangga mempersiapkan diri menggu-
nakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia juga siap-
siap dengan perubahan cepat, menuju jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaat..!"
Teriakan-teriakan keras terdengar, disusul ber-
lompatannya keenam gadis berbaju merah itu. Pedang
mereka berkelebatan langsung, mengurung Pendekar
Rajawali Sakti. Begitu cepat serangan mereka, tapi
sayangnya Rangga sukar didekati. Jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' memang sangat ampuh. Gerakan ka-
kinya begitu lincah, diimbangi tubuh yang meliuk-liuk lentur bagai belut.
Serangan yang datang dari enam jurusan, tidak
satu pun mengenai sasaran. Bahkan sekali-sekali
Rangga membalas dengan pukulan-pukulan mautnya.
Jurus demi jurus terlampau dengan cepat. Tidak tera-
sa, enam orang pengikut Ratu Bukit Brambang itu su-
dah menghabiskan sepuluh jurus. Tapi, Pendekar Ra-
jawali Sakti hanya menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' yang diseling jurus 'Pukulan Maut Pa-
ruh Rajawali'. Hanya dengan dua jurus saja, enam
orang gadis itu sukar mendesak. Lebih-lebih berharap
menjatuhkannya. Menyentuh ujung rambutnya saja,
tidak ada yang mampu.
"Jebol...!"
Tiba-tiba Rangga berseru keras. Tangan ka-
nannya cepat mengibas ke samping. Pada saat itu, sa-
tu orang penyerangnya sudah melompat sambil men-
gibaskan pedang ke arah leher. Tapi, kibasan tangan
Rangga yang begitu cepat, tidak bisa dihindari lagi.
Gadis itu memekik keras, dan tubuhnya kontan terlon-
tar sejauh dua batang tombak ke belakang.
Belum lagi hilang jeritan itu, Rangga sudah ce-
pat memutar tubuhnya. Kakinya langsung melayang
deras menghantam dada seorang lagi, disusul sodokan
tangan kiri yang masuk telak ke perut seorang lagi.
Dua orang langsung menggeletak mengerang kesaki-
tan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian cepat melent-
ing ke atas, lalu meluruk dengan kaki bergerak bagai
kilat. Kini, Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Me-
nukik Menyambar Mangsa'.
"Aaa...! Satu jeritan melengking tinggi terdengar, begitu
ada suara sesuatu yang berderak bagai sebuah benda
keras retak. Tampak salah seorang dari gadis itu
menggelimpang sambil memegangi kepalanya. Darah
mengucur dari kepala yang pecah. Rangga melenting-
kan tubuhnya kembali ke atas, dan hinggap di tonggak
kayu yang menjadi pembatas halaman rumah Ki Ku-
sha dengan jalan.
"Satu peringatan buat kalian! Cepat tinggalkan
tempat ini, sebelum aku haus darah kalian!" bentak
Rangga dingin. Widarti dan Karina saling berpandangan seje-
nak. Kemudian, mereka mengedarkan pandangan pada
empat tubuh yang menggeletak. Satu orang jelas su-
dah tewas. Sedangkan yang lainnya masih merintih
kesakitan. Kedua gadis itu memasukkan kembali pe-
dangnya, kemudian bergegas melompat pergi tanpa
menghiraukan teman-temannya.
Ketiga gadis yang tertinggal, berusaha bangkit
meskipun harus menahan sakit. Mereka segera me-
nyarungkan senjatanya kembali, dan menggotong yang
tewas dengan kepala hancur. Rangga masih berdiri te-
gak di atas tonggak bambu. Diperhatikannya gadis-
gadis yang melangkah tergesa-gesa membawa mayat
temannya. Pendekar Rajawali Sakti baru melompat tu-
run setelah gadis-gadis itu tidak terlihat lagi.
*** Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-
lahan menghampiri pintu rumah yang terbuka tiba-
tiba. Maka muncullah Ki Kusha dari dalam rumah.
Dengan tergopoh-gopoh, dihampirinya pemuda berbaju
rompi putih itu. Wajahnya masih kelihatan pucat,
meskipun sinar matanya berbinar. Dipandanginya wa-
jah Rangga dengan perasaan kagum. Baru kali ini dia
melihat Orang-orang Ratu Bukit Brambang dibuat ti-
dak berkutik. Bahkan salah seorang tewas dengan ke-
pala hancur. "Wah...! Kau hebat! Mereka pasti kapok!" puji Ki Kusha tulus.
"Mereka pasti kembali lagi, Ki," sahut Rangga
kalem. Ki Kusha tampak terkejut.
"Jangan khawatir, Ki. Selama mereka masih ,
berkeliaran, aku akan tetap di sini," Rangga menjamin.
'Terima kasih, Rangga," ucap Ki Kusha.
Pendekar Rajawali Sakti mengajak laki-laki tua
itu masuk ke dalam rumahnya. Ki Kusha bergegas
menutup pintu dan menguncinya dengan palang begi-
tu mereka berada di dalam. Rangga menghenyakkan
tubuhnya di dipan bambu. Diambilnya gelas yang beri-
si kopi dan diteguknya hingga tandas. Dari bilik ka-
mar, Lasmi muncul. Gadis itu menghampiri dan men-
gambil gelas yang masih di tangan Rangga.
"Biar kubuatkan lagi, Kang," kata Lasmi.
'Terima kasih, tidak usah," ucap Rangga meno-
lak. 'Tidak apa, Kang. Kau pasti haus."
"Cepat bikinkan, Lasmi," perintah Ki Kusha seraya duduk bersila di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
Lasmi berbalik dan melangkah ke belakang.
Rangga sempat melirik ke pintu, tempat gadis itu
menghilang. Lasmi keluar lagi sambil membawa gelas yang
mengepulkan uap hangat. Diletakkannya gelas berisi
kopi itu di depan Rangga. Bibirnya yang mungil dan
selalu merah basah mengulum senyum. Rangga mem-
balasnya dengan senyuman tipis saja. Diambilnya ge-
las itu dan isinya dihirup sedikit. Kemudian diletakkannya kembali di tempat
semula. "Kau past mengantuk. Tidurlah dulu," kata
Rangga lembut. "Tidak, Kang. Kantukku jadi hilang," sahut
Lasmi. "Kalau begitu, biar aku saja yang tidur," celetuk Ki Kusha tiba-tiba.
"Silakan, Ki. Aku akan jaga malam ini," kata
Rangga. Ki Kusha beranjak turun dari dipan itu, lalu
melangkah ke kamar tidur yang pintunya terbuka.
Tampak Nyai Kusha duduk di tepi pembaringan. Ki
Kusha berhenti tepat di ambang pintu. Wajahnya me-
noleh pada Rangga yang tetap duduk bersila di tem-
patnya. Sedangkan Lasmi duduk tidak jauh di depan
agak ke kanan dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Lasmi. Kalau Rangga perlu sesuatu, jangan se-
gan-segan melayani," pesan Ki Kusha.
"Baik, Ayah," sahut Lasmi tanpa menoleh. Kepalanya selalu tertunduk menekuri
ujung bajunya. "Aku tinggal dulu, Rangga." "Silakan, Ki."
Ki Kusha masuk ke dalam kamar tidurnya. Di-
tutupnya pintu kamar itu, maka nyala pelita di dalam
kamar langsung meredup. Rangga mendesah panjang.
Dipandangnya gadis di depannya yang selalu tertun-
duk. Jari-jari tangan yang lentik itu memain-mainkan
ujung baju. "Kau tidak mengantuk, Lasmi?" tegur Rangga
pelan setengah berbisik.
Lasmi hanya menggelengkan kepala saja. Sama
sekali kepalanya tidak diangkat.
"Kuperhatikan kau selalu murung...," kata
Rangga terputus.
Saat itu, Lasmi mengangkat kepala. Tatapan
matanya langsung menembus bola mata pemuda di
depannya. Rangga segera menggeser duduknya lebih
mendekat. "Sekilas, ayahmu sudah menceritakan tentang
dirimu. Aku ikut prihatin," ucap Rangga perlahan.
"Terima kasih," ucap Lasmi, hampir tidak ter-
dengar suaranya.
'Tapi, aku sudah mencoba melupakan-nya. Aku
tahu, Kang Jeje tidak akan kembali lagi."
Rangga menarik napas dalam-dalam. Dia ka-
gum juga dengan ketabahan hati gadis ini.
"Boleh aku mengatakan sesuatu padamu?" pin-
ta Lasmi berharap.
"Katakanlah," desah Rangga.
"Aku merasa, kejadian malam ini akan berbun-
tut panjang. Dan yang pasti, mereka akan membunuh
kami semua. Terus terang, aku tidak takut pada mere-
ka sekalipun harus mati...," agak tersendat suara Lasmi.
"Kau menginginkan aku pergi, Lasmi?" tebak
Rangga. "Aku tidak berkata begitu, Kang. Tapi, demi ke-
baikan dan keselamatanmu juga. Aku tidak ingin ada
korban lagi. Kau begitu baik, dan mereka pasti men-
ginginkanmu. Karena, kau...," lagi-lagi ucapan Lasmi terputus. Gadis itu kembali
tertunduk menekuri ujung
bajunya. "Lasmi.... Sekalipun tidak di sini, aku tetap
akan menghentikan mereka. Aku bertanggung jawab
atas keselamatan kalian semua. kalau saja aku tidak
menemui ayahmu, mereka tentu tidak akan ke rumah
ini, " kata Rangga mantap.
"Sama saja, Kakang," desah Lasmi
"Sama..." Maksudmu?"
"Mereka sudah beberapa kali datang ke sini.
Dan ayah termasuk sesepuh di sini yang masih hidup.
Mereka mendesak dan mengancam ayah untuk me-
nyediakan seorang pemuda. Paling tidak, satu orang
dalam sepekan. Tapi ayah tidak sudi menuruti. Maka
setiap mereka menagih, selalu ada tiga orang pendu-
duk yang dibunuh. Kalau sampai pekan depan ayah
tidak juga menyediakan seorang pemuda, mereka akan
membunuh kami semua," pelan suara Lasmi.
"Biadab!" desis Rangga geram.
"Mereka bisa lebih kejam lagi, Kakang. Apalagi
mereka sudah tahu kalau kau ada di sini," sambung Lasmi. "Dengar, Lasmi. Apa pun
yang akan terjadi pa-da diriku, aku tetap akan menyelamatkanmu dan selu-
ruh keluargamu, serta penduduk desa ini. Mereka ha-
rus dihentikan. Aku tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat keangkaramurkaan
merajalela," mantap kata-kata Rangga.
"Mereka begitu kuat, Kakang. Kau tidak akan
bisa melawan mereka seorang diri. Sudah banyak pen-
dekar tangguh yang mencoba, tapi semuanya tewas.
Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi Ratu
Bukit Brambang. Dia itu seperti iblis yang tidak bisa, mati," ujar Lasmi.
"Dia hanya manusia biasa, Lasmi. Tidak ada
satu pun makhluk di bumi ini yang hidup abadi. Ke-
matian pasti menjemput mereka. Dan itu sudah takdir
yang dlgariskan sang Hyang Widi. Kau percaya dengan
kekuasaan sang Hyang Widi, Lasmi" Hanya dia yang
bisa menentukan segala-galanya.
Lasmi tidak berkata-kata lagi. Ucapan Rangga
barusan begitu menyentuh hatinya. Maka ditatapnya
Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seolah-olah in-


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gin memastikan saat ini tidak berhadapan dengan de-
wa yang turun ke bumi. Kata-kata Rangga begitu lem-
but, namun sangat mengena. Entah kenapa, perasaan
gadis itu jadi tenteram. Rasanya seperti bara
api yang tersiram air dingin menyejukkan.
"Sudah larut malam. Tidurlah," ucap Rangga
melihat air muka gadis itu berubah tenang.
"Izinkan aku menemanimu, Kakang," pinta
Lasmi. "Besok kau pasti mengantuk. Kau harus membantu ibumu, bukan?"
"Tidak ada yang bisa dikerjakan. Sejak perem-
puan iblis itu merambah desa ini, tidak ada lagi yang perlu dikerjakan. Semuanya
seperti mati."
"Baiklah. Tapi kalau besok mengantuk, jangan
salahkan aku," pinta Rangga menyerah.
Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti senang
juga ditemani seorang gadis cantik seperti Lasmi ini.
Namun karena hatinya terikat dengan Pandan Wangi
yang kini berada di Kerajaan Karang Setra, Rangga be-
rusaha menekan perasaannya dalam-dalam.
"Aku senang bercakap-cakap denganmu, Ka-
kang. Kau seperti dewa dari kahyangan yang turun ke
bumi. Kata-katamu bagai air sejuk, sehingga membuat
hati jadi damai," ujar Lasmi terus terang.
Sebenarnya Rangga ingin tertawa mendengar-
nya. Tapi, dia berusaha menahan perasaan geli yang
menggelitik tenggorokannya. Malam-malam begini ti-
dak pantas tertawa. Bisa-bisa malah menimbulkan ke-
curigaan macam-macam. Apalagi, dalam suasana se-
perti ini. Malam terus merambat semakin larut. Rangga
dan Lasmi masih tetap terjaga. Bahkan kini terlibat
percakapan ringan yang tidak membosankan. Dan
Lasmi selalu terpesona bila Rangga bertutur tentang
hakikat hidup manusia.
*** Sudah tiga hari Rangga berada di rumah Ki Ku-
sha. Dan selama itu, tidak ada lagi peristiwa yang di-alami. Sepertinya Ratu
Bukit Brambang tidak ingin
memper-panjang persoalannya dengan Pendekar Raja-
wali Sakti. Namun meskipun demikian, Rangga tetap
yakin kalau suatu saat mereka pasti datang lagi. Te-
wasnya salah seorang dari mereka, tentu tidak akan
mungkin didiamkan begitu saja.
Rangga tahu betul watak-watak tokoh rimba
persilatan golongan hitam. Mereka selalu menurut kata hati dan perasaan dendam.
Kehilangan satu nyawa,
harus ditebus sepuluh nyawa. Bahkan lebih dari itu
bisa dilakukan. Dari herannya, selama tiga hari ini tidak kelihatan seorang pun
pengikut Ratu Bukit Bram-
bang berkeliaran. Mereka seperti menghilang begitu sa-ja.
Sementara, hubungan Rangga dengan keluarga
Ki Kusha semakin erat saja. Terlebih Lasmi. Wajah ga-
dis itu tidak lagi murung seperti hari-hari yang lalu.
Perubahan pada diri Lasmi mendapat perhatian dari
kedua orangtuanya. Namun, mereka tidak ingin men-
duga lebih jauh lagi. Yang jelas, mereka sudah senang melihat anaknya tidak lagi
murung dan menyendiri di
dalam kamar. "Bu, Lasmi ke sungai dulu," kata Lasmi pagi itu.
Gadis itu sudah menjinjing keranjang cucian.
Dia hanya mengenakan selembar kain yang melilit tu-
buhnya. Sehingga bagian dada atas dan bahunya ter-
buka lebar, menampakkan kulit yang putih halus,
"He"! Apa katamu..."!" Nyai Kusha terkejut.
"Lasmi ingin ke sungai," Lasmi mengulangi perlahan-lahan dengan suara agak
dikeraskan. "Jangan macam-macam, Lasmi!" sentak ibunya.
"Sudah lama tidak ke sungai, Bu. Cucian sudah
banyak," Lasmi beralasan.
"Dengar, Lasmi. Tidak ada seorang pun di sun-
gai. Jangan mencari penyakit!" tukas ibunya sengit.
"Jangan khawatir, Bu. Kang Rangga bersedia
menemani, kok," kalem jawaban Lasmi.
"Rangga...?" Nyai Kusha setengah tidak per-
caya. "Biarkan saja, Bu," tiba-tiba Ki Kusha muncul.
"Pergi dulu, Bu, Yah...!" pamit Lasmi dengan wajah ceria.
Gadis itu langsung melangkah mengepit keran-
jang cucian yang terbuat dari anyaman bambu. Lang-
kahnya begitu ringan dan lincah. Bahkan terdengar
gumamannya mendendangkan satu tembang ceria.
Nyai Kusha hanya memandangi setengah tidak per-
caya. Bahkan sampai terbengong melihat perubahan
anak gadisnya yang begitu luar biasa. Sedangkan Ki
Kusha hanya tersenyum-senyum saja.
Lasmi menghampiri Rangga yang sedang mem-
belah kayu bakar dengan kapak. Gadis itu berjingkat-
jingkat, dan menepuk bahu Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga terlonjak kaget, sedangkan Lasmi
hanya tertawa sambil berlari menghindar.
"Heh!" Awas kamu, Lasmi...!" rutuk Rangga
sambil berlari mengejar.
Lasmi terus berlari sambil tertawa renyah. Se-
mentara, dari balik jendela Ki Kusha memperhatikan
dengan bibir menyungging senyum. Lain halnya Nyai
Kusha. Wanita tua itu tampak masih belum percaya
kalau anak gadisnya begitu riang seperti dulu-dulu la-gi. Suara tawa Lasmi
begitu lepas, pecah berderai.
"Heh! Melamun...!" tegur Ki Kusha, tahu-tahu sudah duduk di samping istrinya.
Nyai Kusha tersentak kaget. Seorang anak pe-
rempuan kecil berlari-lari menghampiri, dan langsung
duduk di pangkuan Nyai Kusha. Perempuan tua itu
memeluknya dan menggoyang-goyangkan kakinya.
Anak itu segera merebahkan kepala di dada yang
kempes. Tampaknya, bocah perempuan itu mengan-
tuk. Sebentar saja matanya terpejam.
"Apa yang kau lamunkan, Nyai?" tegur Ki Ku-
sha sambil mengasah goloknya dengan batu asahan.
"Lasmi...," sahut Nyai Kusha seraya melayangkan pandangannya ke depan. Namun
anak gadisnya sudah tidak terlihat lagi.
"Memangnya, Lasmi kenapa?" tanya Ki Kusha
setengah memancing.
"Apa kau tidak melihat perubahannya, Ki?"
dengus Nyai Kusha sewot.
"Biar saja. Daripada murung terus."
"Aku malah jadi cemas, Ki."
"Aneh...! Waktu dia murung dan menyendiri te-
rus, kau cemas. Dan sekarang setelah berubah, kau
juga cemas. Memangnya Lasmi itu harus bagaima-
na...?" 'Tapi, Ki...."
"Kau mencurigai Rangga?" tebak Ki Kusha
langsung. "Entahlah," sahut Nyai Kusha ragu-ragu.
"Jangan berprasangka buruk, Nyai. Rangga itu
orang baik. Seorang pendekar lagi. Aku bisa merasa-
kan keluhuran jiwanya. Mungkin saja Lasmi bisa. me-
nyadari, setelah Rangga memberi nasihat yang menge-
na di hatinya. Nyai..., seharusnya kita bersyukur dan berterima kasih padanya.
Bukan malah mencurigainya
dengan prasangka buruk," Ki Kusha me-nasihati panjang lebar.
"Aku tidak berprasangka buruk padanya, Ki.
Aku hanya heran, kenapa begitu cepat Lasmi bisa be-
rubah," bantah Nyai Kusha.
"Seseorang bisa saja berubah mendadak, Nyai."
"Dan pendekar itu juga manusia, bukan...?"
"Lagi-lagi kau menaruh kecurigaan!" dengus Ki Kusha. "Curiga itu boleh, Ki. Toh
sampai saat ini kita belum tahu tentang dia dan asal-usulnya. Ki.... Kalau ada
waktu, tanyakan asal-usulnya. Kau harus tahu,
siapa dia sebenarnya. Saat seperti ini, kita tidak boleh percaya penuh pada
siapa saja."
"Baik. Nanti akan kutanyakan," sahut Ki Kusha tidak mau memperpanjang.
Ki Kusha bangkit berdiri dan menyelipkan golok
yang baru diasah di pinggangnya. Kemudian kakinya
melangkah, menghampiri kayu-kayu bakar yang sudah
dibelah Rangga tadi. Laki-laki tua itu mengumpulkan
dan menumpuknya di samping rumah.
*** 4 Rangga duduk di atas batu memperhatikan
Lasmi yang sedang mandi di sungai, setelah selesai
mencuci gadis itu merendam tubuhnya sampai sebatas
dada dan seperti tidak peduli kalau ada seorang pe-
muda situ. Dia juga tidak peduli dengan beberapa ba-
gian tubuhnya yang tersingkap ketika kain yang mem-
belit dipermainkan arus sungai. Beberapa kali Rangga
mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
"Kau tidak mandi sekalian, Kakang..."!" seru Lasmi "Sudah tadi," sahut Rangga
seraya menoleh.
Pada saat itu Lasmi membenahi kainnya. Maka
bagian dadanya sedikit terbuka. Buru-buru Rangga
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebagai laki-
laki yang sehat nafsunya, Rangga tak memungkiri ka-
lau saat ini jantungnya jadi berdetak keras, dan da-
rahnya berdesir cepat tidak teratur. Sekuat mungkin
Rangga berusaha menenangkan perasaannya yang
mendadak jadi tidak menentu. Dia bangkit berdiri, dan melompat ke batu lain yang
agak ke tepi. Lasmi keluar dari dalam sungai Sebentar dibe-
nahinya kain yang basah, kemudian memandangi Pen-
dekar Rajawali Sakti yang sudah berada di tepi sungai.
Melihat pemuda itu memandang ke arah lain dengan
sikap memunggungi, Lasmi buru-buru mengganti
kainnya yang basah dengan kain kering. Kemudian,
kakinya melangkah ke tepi sambil mengepit rinjing cu-
ciannya. "Pulang, yuk," ajak Lasmi yang sudah di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah mencucinya?" tanya Rangga seenaknya.
"Sudah," sahut Lasmi seraya tersenyum. Mere-ka kemudian berjalan bersisian tanpa
bicara lagi. Tapi baru saja beberapa depa melangkah, mendadak Rangga berhenti.
Langsung ditariknya tangan Lasmi ke de-
katnya. Lasmi jadi heran dan memandang pemuda itu
lekat-lekat. Dengan halus dilepaskannya, genggaman
pemuda itu. "Ada apa?" tanya Lasmi melihat Rangga memiring-miringkan kepalanya.
Belum sempat Rangga menjawab, tiba-tiba saja
dari balik semak bermunculan gadis-gadis cantik ber-
baju merah dengan pedang terhunus. Mereka langsung
mengepung Pendekar Rajawali Sakti dan Lasmi. Seke-
tika, wajah gadis itu jadi pucat pasi. Tubuhnya juga
gemetar menggigil ketakutan. Gadis-gadis berbaju me-
rah itu berjumlah sepuluh orang. Dua di antaranya
adalah Widarti dan Karina.
"Berikan rinjingmu padaku, Lasmi," ujar Rang-ga setengah berbisik.
Belum juga Lasmi memberikan keranjang cu-
ciannya, Rangga sudah merebut dan mengepitnya di
pinggang. Kemudian ditariknya gadis itu ke belakang
tubuhnya. "Jangan jauh-jauh dariku," pinta Rangga.
"Baik," sahut Lasmi, agak bergetar suaranya.
"Kisanak! Yang Mulia Gusti Ratu memerintah-
kan agar kau menyerah dan bersedia ikut dengan kami
ke istana!" kata Widarti lantang.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Rangga ketus.
"Kau benar-benar keras kepala! Gusti Ratu
menginginkanmu, dan berjanji tidak akan mengganggu
Desa Gedangan lagi!"
"Sama sekali aku tidak mempercayai janji pe-
rempuan iblis itu!" dengus Rangga dingin.
"Keparat! Kau berani menghina junjungan kami
bentak Karina. "Sebaiknya, suruh saja ratu iblismu itu mene-
muiku. Biar kucincang tubuhnya!" kata Rangga mengejek. "Kadal buduk! Kurobek
mulutmu, Kepa- rat...!'geram Karina yang tidak pernah bisa menahan
kesabaran. 'Setelah berkata demikian, Karina langsung me-
lompat menerjang sambil berteriak keras. Rangga yang
harus melindungi Lasmi, tidak berani mengegos meng-
hindari serangan itu. Maka tangannya yang bebas se-
gera diangkat. Dengan demikian, pedang Karina yang
mengarah dadanya, langsung terjepit kedua jarinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, kaki kanan
Pendekar Rajawali Sakti melayang ke depan. Langsung
dihantamnya perut Karina. Hantaman yang begitu ke-
ras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga
dalam, membuat Karina mengeluh pendek, Tubuhnya
terdorong beberapa langkah ke belakang begitu Rangga
melepaskan jepitan jarinya pada pedang gadis itu.
"Serang..!" seru Widarti keras.
Seketika itu juga, yang lain berlompatan me-
nyerang Rangga. Agak repot juga Pendekar Rajawali
Sakti menghadang serangan sepuluh orang yang rata-
rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Terle-
bih lagi, harus juga melindungi Lasmi yang tidak men-
gerti sama sekali ilmu olah kanuragan. Rangga tidak
punya pilihan lain lagi. Apalagi gadis-gadis itu bukan hanya menyerang dirinya,
tapi juga mengancam nyawa
Lasmi. Sret! Cahaya biru langsung menyemburat berkilat
begitu Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari
warangka. Dan dengan kecepatan kilat, pedangnya di-
kibaskan untuk melindungi dirinya serta Lasmi dari
serangan sepuluh orang gadis itu.
Trang! Tring! "Akh...!"
Pekik tertahan terdengar saling sambut begitu
Rangga mengadukan senjatanya dengan pedang-
pedang yang mengurungnya. Dua orang melompat
mundur dengan bibir meringis kesakitan. Meskipun ti-
dak mengalami luka, namun tangan mereka jadi kaku


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akibat benturan senjata yang mengandung tenaga da-
lam luar biasa dahsyatnya.
"Hiyaaa...!" Rangga berteriak keras.
Seketika itu juga, kaki Pendekar Rajawali Sakti
bergerak cepat mengelilingi Lasmi. Pedangnya diputar-
putar bagaikan kilat, menghantam senjata-senjata
yang berkelebatan di sekitarnya. Suara denting senjata terdengar beberapa kali,
disusul pekik tertahan. Tampak gadis-gadis itu berlompatan mundur dengan bibir
meringis, seraya mengurut-urut pergelangan tangan.
"Mundur...!" seru Widarti tiba-tiba.
Sepuluh orang gadis berpakaian merah menya-
la itu langsung berlompatan kabur. Ilmu meringankan
tubuh yang mereka miliki memang cukup tinggi ting-
katannya. Sehingga dalam sekejap saja, sudah lenyap
tidak terlihat lagi. Rangga menyarungkan kembali pe-
dangnya. Maka, cahaya biru lenyap seketika begitu Pe-
dang Rajawali Sakti tenggelam dalam warangka.
"Ayo kita pulang," ajak Rangga.
Setengah berlari, Lasmi mengikuti langkah
Pendekar Rajawali Sakti. Padahal Rangga terlihat
hanya berjalan biasa saja. Memang tanpa disadari,
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh. Dan Rangga baru sadar setelah Lasmi ber-
teriak. "Kakang, tunggu...!"
Lasmi berlari secepat-cepatnya menyusul.
Rangga sendiri jadi terkejut, karena baru sadar kalau tadi menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Lasmi terengah-engah begitu sampai di dekat Rangga. Wajah-
nya memerah kecapaian. Dia tadi berlari sekuat tenaga untuk mengimbangi langkah
Pendekar Rajawali Sakti.
Namun, Lasmi memang tidak memiliki ilmu olah kanu-
ragan. Sehingga nafasnya jadi tersengal-sengal.
"Maaf. Aku lupa kalau kau tidak bisa...."
"Huh! Hampir habis napas ku!" dengus Lasmi memotong ucapan Rangga.
"Mari aku gendong," kata Rangga langsung.
"Apa..."!" Lasmi terbeliak kaget.
"Biar lebih cepat," Rangga beralasan.
"Tidak! Biar jalan saja!" tolak Lasmi, langsung memerah wajahnya.
"Baiklah. Tapi cepat ya," Rangga menyerah.
Lasmi tidak menyahut, dan kembali melang-
kah. Wajah gadis itu masih memerah jambu. Perka-
taan Rangga yang tadi, membuat jantungnya jadi ber-
degup keras. Mereka terus melangkah cepat tanpa
berkata-kata lagi. Dan Lasmi sampai lupa kalau keran-
jang cuciannya masih berada di tangan Rangga.
Lasmi duduk menyendiri di bangku ruangan
depan rumahnya. Pandangannya lurus ke depan, me-
natap jalan yang sepi lengang. Beberapa kali ditariknya napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Sementara, malam sudah semakin larut. Namun gadis
itu belum juga beranjak masuk ke dalam kamar. Se-
pertinya ada sesuatu yang membuatnya begitu gelisah
malam ini. 'Belum tidur, Lasmi...?"
"Oh!" Lasmi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang.
Gadis itu langsung berbalik, dan Rangga tahu-
tahu sudah berdiri di dekatnya. Lasmi langsung bang-
kit dan melangkah ke dipan bambu, dan kembali du-
duk di sana. Kakinya menjulur ke depan. Gadis itu
membenahi kainnya yang tadi sedikit tersingkap.
Rangga menghampiri, dan duduk di samping gadis itu
setelah menutup jendela.
"Maaf, kata-kataku siang tadi," kata Rangga pelan.
Lasmi menghembuskan napas panjang, dan
agak terkejut juga dengan kata-kata Rangga. Memang,
tadi dia melamun karena perkataan Rangga siang tadi
yang ingin menggendongnya. Padahal, belum pernah
ada seorang pemuda yang berkata begitu padanya.
Meskipun punya kekasih yang hampir menikah, tapi
kekasihnya itu belum pernah menyentuhnya. Dan kini
kekasihnya hilang diculik anak buah Ratu Bukit
Brambang. Gadis itu sendiri tidak tahu, kenapa tidak ma-
rah atau tersinggung. Bahkan seperti ada satu doron-
gan kuat untuk mendengar kembali. Kini malah Lasmi
sering membanding-bandingkan antara Rangga dengan
kekasihnya dulu. Dan dia tidak menemukan apa yang
diinginkannya pada kekasihnya. Seolah-olah, apa yang
ada dalam diri Pendekar Rajawali Sakti ada dalam se-
tiap mimpinya. Tapi, bagaimana dengan Rangga sendiri" Sebe-
narnya, cinta Rangga tetap pada Pandan Wangi yang
kini tinggal di Kerajaan Karang Setra. Sikapnya terhadap Lasmi hanya karena
sifat kelaki-lakiannya saja,
namun dalam batas-batas wajar. Atau boleh dibilang,
sifat ingin melindungi kaum lemah.
'Tadi aku ke Bukit Brambang," kata Rangga me-
rasa bosan karena diam terus.
"Mau apa ke sana..."!" sentak Lasmi terkejut.
"Menyelidiki keadaan," sahut Rangga kalem.
Lasmi menatap lurus ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti. Ada cahaya kecemasan di dalam sinar
matanya. Entah kenapa, dia begitu cemas mendengar
pemuda itu pergi ke Bukit Brambang. Lasmi seperti
menjadi takut kehilangan.
"Cukup luas juga puncak bukit itu. Malah, cu-
kup sulit untuk mencapainya," kata Rangga lagi.
"Kau sendiri ke sana?" tanya Lasmi tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
"Iya," sahut Rangga mendesah.
"Lalu?"
"Aku sempat bentrok dengan beberapa orang.
Yaaah..., terpaksa lima orang di antara mereka kute-
waskan." 'Terus...?" Lasmi jadi ingin tahu.
"Aku terpaksa pergi, karena jumlah mereka se-
makin banyak. Entah berapa pastinya. Yang jelas, le-
bih dari tiga puluh orang. Dan rata-rata memiliki ke-
pandaian yang cukup tinggi. Tidak heran kalau banyak
pendekar yang tewas di sana," Rangga mengakui terus terang. "Mereka pasti akan
mencarimu, Kakang," desah Lasmi lirih.
"Itu yang kuharapkan," sahut Rangga kalem.
"Kau..."!" Lasmi terbeliak kaget.
Sungguh mati Lasmi tidak mengharapkan ja-
waban itu. Tanpa disadari, Lasmi menggamit tangan
Rangga dan menggenggamnya erat-erat. Sorot matanya
begitu banyak menyimpan arti yang sukar dilukiskan.
"Kau kelihatan cemas, Lasmi," bisik Rangga pelan.
"Aku.... Oh...!" Lasmi jadi tergagap.
Gadis itu menunduk dan melepaskan gengga-
mannya. Tapi, Rangga malah menarik kembali tangan
gadis itu dan menggenggamnya dengan hangat. Perla-
han-lahan ujung jari Pendekar Rajawali Sakti meng-
gamit dagu Lasmi dan membawanya ke atas. Sehingga,
pandangan mereka saling beradu. Terlihat bibir gadis itu bergetar setengah
terbuka. Wajah mereka begitu
dekat, sehingga dengus napas Rangga menerpa hangat
kulit wajah gadis itu.
"Jangan pikirkan yang macam-macam. Aku su-
dah menyelidiki kekuatan mereka. Dan aku sudah
punya rencana untuk menghancurkannya," kata
Rangga setengah berbisik.
"Kakang..., aku...," tersekat suara Lasmi di tenggorokan.
Lasmi tidak sanggup lagi menahan gejolak ha-
tinya. Kepalanya direbahkan di dada Pendekar Rajawa-
li Sakti. Rangga melingkarkan tangannya, memeluk
gadis itu. Sesaat lamanya mereka terdiam. Kemudian
perlahan-lahan Lasmi melepaskan diri dan kembali
menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Aku takut, Kakang...," desah Lasmi lirih.
"Apa yang kau takutkan?" tanya Rangga lem-
but. "Aku..., aku takut kehilanganmu...," tersendat suara Lasmi.
Rangga tersenyum lembut. Baru disadari kalau
gadis itu ternyata sudah menaruh hati padanya. Dan
ini yang tidak diinginkannya. Rangga tidak ingin gadis ini terlalu jauh
dihanyutkan perasaannya. Pendekar
Rajawali Sakti tidak mau menyakitkan hati wanita
lain. Dia merasa sudah menjadi milik Pandan Wangi,
seorang wanita yang sangat dicintainya. Karena itu
Rangga harus menghindarinya, tanpa harus menyakiti.
"Lasmi. Kau percaya adanya kedatangan dan
kepergian dalam kehidupan?" nada suara Rangga seperti bertanya.
Lasmi tidak menjawab, dan hanya menatap sa-
ja. Sang Hyang Widi selalu menciptakan semua
yang ada di bumi dalam berpasangan. Dan hidup se-
mua pasangan itu sudah digariskan. Semua itu tidak
terlepas dari takdir yang berhubungan erat dengan ke-
datangan dan kepergian," kata Rangga, memberi we-jangan. Lasmi tetap diam.
"Manusia datang ke mayapada ini melalui kela-
hiran, dan akan kembali ke asalnya melalui kematian.
Begitu juga makhluk lainnya. Mereka semua ada di
bumi ini hanya untuk sementara, tidak selamanya.
Mereka datang, untuk kemudian kembali. Ibarat seo-
rang tamu yang berkunjung, tidak akan selamanya be-
rada di sana," lanjut Rangga.
"Jadi...," suara Lasmi terputus.
"Aku adalah tamu di sini. Bukan hanya di ru-
mah ini, tapi juga di seluruh desa ini. Tidak mungkin aku menetap selamanya
tanpa harus kembali ke tempat asalku," kata Rangga.
"Oh, Kakang...," Lasmi menjatuhkan kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Lasmi. Aku bisa memahami perasaanmu. Tapi,
kau juga harus bisa mengerti keberadaanku," Rangga.
meminta pengertian gadis itu.
"Aku mengerti, Kakang," sahut Lasmi seraya
mengangkat kepalanya.
Mereka kembali saling berpandangan tanpa
berkata-kata. Sementara, malam terus merayap sema-
kin larut. Udara dingin berhembus masuk melalui ce-
lah-celah jendela. Lasmi menggeser tubuhnya lebih
mendekat, sehingga tidak ada jarak lagi di antara me-
reka. "Kehadiranmu bagaikan matahari yang mene-
rangi kegelapan hatiku, Kakang," bisik Lasmi seraya merebahkan kepala kembali di
dada pemuda itu.
Rangga memeluk tubuh ramping itu lebih erat.
Hatinya bergetar juga mendengar ucapan Lasmi yang
begitu polos dan sederhana.
"Aku pasti akan merindukanmu," bisik Lasmi
lagi. Rangga mengangkat wajah gadis itu. Ditatap-
nya dalam-dalam bola mata yang bening indah itu. Da-
rah kelaki-lakian Pendekar Rajawali Sakti bergolak sejenak. Dan untuk sementara,
dilupakannya Pandan
Wangi. Paling tidak, agar Lasmi tidak kecewa. Maka
perlahan-lahan kepalanya merunduk. Nafasnya begitu
hangat menerpa kulit wajah Lasmi Sesaat, mata gadis
itu terpejam. Sedangkan bibirnya hanya bergetar keti-
ka bibir Rangga menyentuhnya lembut. Kehangatan
menjalar seketika, membuat seluruh tubuh gadis itu
bergetar. Hanya sedikit Rangga mengecup bibir gadis itu, namun
cukup membuat perasaan Lasmi tidak menentu. Gadis
itu membuka matanya, dan langsung menyurukkan
kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti. Disembu-
nyikannya rona merah yang menjalar seketika. Ada ra-
sa bahagia, malu, dan segudang perasaan lain yang
menyatu di dalam hati.
*** 5 Sementara itu di Istana Bukit Brambang, Ratu
Bukit Brambang tampak berang menerima laporan pa-
ra gadis pengikutnya yang gagal membawa Rangga.
Terlebih lagi, siang tadi lima orang pengikutnya tewas terbunuh di bukit ini.
"Kalian semua bodoh! Dungu...!" gerutu Ratu Bukit Brambang berang.
"Ampun, Gusti Ratu. Pemuda itu sangat tang-
guh. Kepandaiannya sangat tinggi...," kilah Widarti seraya memberi hormat.
"Kalian memang gentong nasi! Tidak punya
otak, dengus Ratu Bukit Brambang berang.
Widarti, Karina, dan sekitar dua puluh lima
orang gadis lainnya terdiam sambil menundukkan ke-
pala. Sejak kemunculan pemuda berbaju rompi putih
itu Ratu Bukit Brambang yang wajahnya seperti teng-
korak jadi sering berang. Terlebih, sekarang ini mereka kesulitan mencari
pemuda-pemuda untuk kesempurnaan ilmu Ratu Bukit Brambang.
Memang, setiap malam harus ada seorang pe-
muda yang akan dijadikan tumbal untuk wanita ber-
jubah merah yang wajahnya bagai tengkorak itu. Pe-
muda-pemuda itu dipaksa melayani hasratnya sebe-
lum dibunuh dan diambil jantungnya. Dengan cara
begitu, ilmu iblis yang dimiliki Ratu Bukit Brambang tetap abadi dan semakin
sempurna. Di samping untuk
kelangsungan hidupnya dari zaman ke zaman.
"Kuperintahkan pada kalian, bawa pemuda itu
ke sini besok malam! Dan sebagian, harus menyedia-
kan satu pemuda malam ini. Paham...!" agak keras suara Ratu Bukit Brambang.
'Paham, Gusti Ratu," sahut gadis-gadis itu se-
rempak. "Kerjakan sekarang!" perintah Ratu Bukit
Brambang. Semua gadis itu serempak memberi hormat
dengan membungkukkan badan. Kemudian, mereka
berbalik dan melangkah ke luar.
"Widarti, Karina...!" panggil Ratu Bukit Bram-
bang. "Hamba, Gusti Ratu," sahut Widarti dan Karina bersamaan. Mereka kembali
berbalik dan membungkuk memberi hormat.
"Ada tugas khusus untuk kalian berdua," kata Ratu Bukit Brambang seraya bangkit
dari singgasana.
Singgasananya berbentuk seperti kepala teng-
korak manusia yang sangat besar. Perempuan berju-
bah merah itu juga berpijak pada tumpukan tengko-
rak-tengkorak manusia. Entah berapa puluh orang di-
bunuhkan untuk membuat singgasana itu. Seluruh
hiasan di ruangan pengap ini terbuat dari tulang-


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belulang manusia. Bokor pendupaan yang berada di
samping kiri dan kanan singgasana, juga tersusun dari kepala tengkorak manusia.
Suatu tempat yang membuat bulu kuduk merinding bila memandangnya.
"Berapa kali kalian bentrok dengan pemuda itu
tanya Ratu Bukit Brambang.
"Lebih dari tiga kali, Gusti Ratu," sahut Widarti seraya membungkuk memberi
hormat. "Hm.... Dari ciri-ciri yang kalian ceritakan pa-
daku sepertinya aku pernah mendengar namanya,"
gumam Ratu Bukit Brambang pelan, seolah-olah bica-
ra pada diri sendiri. "Apa kalian tahu namanya?"
"Tidak, Gusti Ratu. Dia tidak pernah menye-
butkan namanya," sahut Widarti.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba telah menyelidiki
tentang pemuda itu. Namanya Pendekar Rajawali Sak-
ti", selak Karina.
"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ratu Bukit Brambang dengan kepala menengadah
ke atas. Sebentar kemudian, wanita berwajah bagai
tengkorak itu menatap kedua gadis yang berdiri seten-
gah membungkuk. Dia memang pernah mendengar
nama itu sebelumnya. Nama yang selalu menjadi pem-
bicaraan di kalangan tokoh sakti rimba persilatan.
Sangat disegani dan sangat ditakuti.
Ratu Bukit Brambang mendesah panjang, lalu
berbalik dan melangkah kembali ke singgasananya.
Dia duduk di sana dengan wajah terlihat berubah agak
mendung. Dipandanginya kedua gadis cantik yang ma-
sih berdiri setengah membungkuk itu. Sementara,
yang dipandang hanya diam tidak bergeming sedikit
pun. "Dia selalu bersama-sama dengan seorang gadis Desa Gedangan, Gusti Ratu,"
kata Widarti. "Kadal buduk...! Kenapa baru sekarang kalian
bilang, heh"!" sentak Ratu Bukit Brambang.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba tidak punya ke-
sempatan bicara," ujar Widarti takut-takut.
"Kami juga sudah mencoba menculik gadis itu,
tapi tetap saja sulit, Gusti Ratu. Pendekar Rajawali
Sakti seperti ada di mana-mana. Selalu saja bisa me-
nolongnya," celetuk Karina.
"Rasanya, aku tidak perlu mengajarkan kalian.
Bawa gadis itu ke sini. Pancing Pendekar Rajawali Sak-ti agar datang ke sini.
Kalian mengerti maksudku?"
"Mengerti, Gusti Ratu," sahut Widarti dan Karina serempak.
"Ini tugas kalian. Dan aku tidak sudi lagi men-
dengar kegagalan."
"Hamba, Gusti Ratu."
"Berangkatlah sekarang juga!"
Widarti dan Karina membungkuk memberi
hormat. Mereka melangkah mundur beberapa tindak,
kemudian berbalik dan bergegas keluar dari ruangan
pengap mengerikan itu. Ratu Bukit Brambang masih
duduk di singgasananya meskipun kedua gadis pili-
hannya sudah keluar dari ruangan ini.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desisnya pelan.
*** Malam terus merayap semakin larut Udara din-
gin berhembus kencang, mempermainkan pucuk pe-
pohonan. Langit tampak kelam tertutup awan hitam.
Desa Gedangan tampak gelap. Hanya beberapa pelita
saja terlihat redup dengan api meliuk-liuk dipermain-
kan angin malam. Sepanjang malam jalan utama desa
itu tampak lengang, tak terlihat seorang pun di luar
rumah. Di malam yang hening dan gelap ini, masih juga terlihat dua sosok tubuh
manusia bergerak cepat, me-nyelinap dari rumah-rumah penduduk dan balik pepo-
honan. Begitu cepat bergeraknya, sehingga yang terli-
hat hanya bayangan merah saja. Dua sosok tubuh itu
berhenti tepat di depan rumah Ki Kusha.
"Sebarkan ilmu 'Sirep', Karina," bisik salah seorang perlahan. Begitu pelannya
hampir tidak terden-
gar. "Aku tidak yakin ilmu 'Sirep'ku berpengaruh
bagi Pendekar Rajawali Sakti," sahut Karina.
Memang, mereka adalah Karina dan Widarti
yang mendapat tugas khusus dari Ratu Bukit Bram-
bang. "Kalau dia tidak terpengaruh, biar aku yang hadapi. Dan kau culik gadis
itu," kata Widarti.
Karina tidak menyahut. Pandangannya lurus
menatap rumah yang tampak terang bagian dalamnya.
Malam ini, mereka hendak melaksanakan tugas men-
culik Lasmi untuk memancing Pendekar Rajawali Sakti
agar datang ke Bukit Brambang.
"Cepatlah, Karina. Aku masih mendengar suara
dari dalam rumah itu," desah Widarti tidak sabar.
"Hm...," Karina bergumam perlahan. Kemudian Karina mengangkat tangannya ke atas
Kaki Tiga Menjangan 9 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Senja Jatuh Di Pajajaran 12
^