Pencarian

Kabut Hitam Di Karang Setra 1

Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
1 Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas bukit. Sebatang
pedang bergagang kepala burung rajawali tampak tersampir di balik badannya yang
kekar. Pandangannya tertuju lurus, tanpa berkedip ke arah Kotaraja Karang Setra.
Beberapa kali dihirupnya udara dalam-dalam, seakan-akan ingin merasakan
nikmatnya harum tanah kelahirannya ini. Sementara tidak jauh, terlihat seorang
gadis cantik berpakaian biru tengah duduk mencangkung di atas batu. Tangannya
yang halus mungil melempar-lemparkan batu kerikil ke bawah bukit.
Sesekali diliriknya pemuda yang tengah memandangi kota kelahirannya dari atas
bukit ini. "Setiap kali memandang Karang Setra, aku merasa seperti baru dilahirkan kembali,
Pandan," desah pemuda itu menggumam perlahan, seakan-akan bicara pada diri
sendiri. "Kau beruntung, Kakang. Masih punya tanah kelahiran," kata gadis yang dipanggil
Pandan. Dan memang, dia adalah Pandan Wangi. Sementara pemuda tampan itu tak
lain dari Rangga. "Sedangkan aku..., tidak ada lagi yang tersisa di dalam
hidupku." Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya sedikit.
Dipandanginya gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
Sedangkan Pandan Wangi tetap duduk mencangkung di atas batu. Batu-batu kerikil
di tangannya sudah habis dilemparkan. Sedikit matanya melirik pemuda tampan yang
selalu mengenakan baju rompi putih itu.
"Kau memiliki kekayaan yang tidak ternilai, Pandan," hibur Rangga.
"Hhh! Tidak ada yang berharga pada diriku, Kakang. Aku hanya anak kolong, yang
tidak jelas asal-usulnya. Bahkan aku sendiri tidak tahu, ke mana arah hidupku
nanti," terdengar agak sinis nada suara Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, kakinya melangkah
menghampiri gadis ini. Kini, dia berdiri dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Lembut sekali Pendekar Rajawali Sakti mengangkat dagu gadis itu dengan ujung
jari tangannya. Sehingga membuat wajah Pandan Wangi terpaksa menengadah ke atas.
Mau tak mau, mata mereka langsung bertemu.
"Semua orang memiliki masa lalu dan arah tujuan hidup yang berbeda. Aku pun
demikian, Pandan. Aku juga tidak tahu, ke mana hidupku ini akan kubawa.
Hanya Sang Hyang Widi yang tahu," tegas Rangga, namun lembut.
Pandan Wangi hanya diam saja memandangi
wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan dia bangkit berdiri, dan
melangkah menjauh beberapa tindak. Sementara, Rangga tetap diam sambil
memandangi gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu.
"Berapa lama lagi kita akan berada di Karang Setra, Kakang?" tanya Pandan Wangi
setelah cukup lama berdiam diri.
Gadis itu masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kota yang kelihatan
tenang dan damai, di bawah kaki bukit ini. Sedikit pun wajahnya tidak berpaling
pada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri, dan
berdiri di samping kanannya. Pandangannya juga diarahkan ke
arah yang sama dengan si Kipat Maut.
"Aku tidak bisa menentukannya sekarang," sahut Rangga. "Kenapa kau tanyakan itu,
Pandan?" "Aku hanya ingin tahu saja," sahut Pandan Wangi, seenaknya.
"Sudah lama sekali kita tidak pulang. Tentu sudah banyak perubahan yang
terjadi," gumam Rangga, seperti bicara pada diri sendiri. Dan tentu saja untuk
mengalihkan pembicaraan yang dirasakan kurang enak ini.
Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja. Bibirnya mengukir sebuah senyum kecil
yang terasa begitu hambar. Rangga segera melingkarkan tangannya ke pundak gadis
ini. Seketika, kemanjaan Pandan Wangi timbul. Segera kepalanya direbahkan di
dada yang bidang dan tegap itu. Kembali mereka terdiam, memandang ke arah
Kotaraja Karang Setra dari ketinggian di atas bukit ini.
"Bagaimana, Pandan..." Kita ke Karang Setra, atau ke tempat lain?" Rangga
meminta pendapat.
"Kau pasti sudah rindu pada kedua adikmu, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Ya! Aku memang sudah rindu sekali," desah Rangga perlahan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin ke sana dulu, Kakang. Tapi, aku juga rindu pada
Cempaka, dan Danupaksi. Serta semua orang yang ada di istana,"
kata Pandan Wangi berterus terang.
Rangga tersenyum, dan semakin mengetatkan
rangkulannya pada pundak si Kipas Maut ini. Tapi, Pandan Wangi malah melepaskan
rangkulan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan berdirinya bergeser ke samping beberapa langkah,
menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita turun, Kakang," ajak Pandan Wangi.
Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis cantik itu segera melangkah menuruni bukit
ini. Rangga bergegas mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping
Pandan Wangi. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi, menuruni bukit yang
tidak begitu terjal ini. Sepasang pendekar muda itu terus melangkah hingga
sampai di jalan setapak, dan menuju gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra.
*** Kedatangan Rangga di istana, disambut begitu hangat dan penuh kegembiraan. Tapi,
Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau kegembiraan orang-orang ini terasa lain,
tidak seperti saat-saat sebelumnya. Mereka semua seperti menyembunyikan sesuatu.
Pendekar Rajawali Sakti melihat adanya
kemuraman pada sinar mata mereka. Walaupun semua orang berusaha menunjukkan
kegembiraan atas kepulangannya, tapi Rangga tidak memiliki banyak kesempatan
untuk bertarjya atau berbicara pada Cempaka atau Danupaksi. Bahkan berbicara
secara pribadi dengan para pembesar istana pun, Pendekar Rajawali Sakti tidak
memiliki kesempatan sama sekali.
Kesempatan untuk berbicara secara pribadi pada kedua adik tirinya, baru bisa
diperoleh setelah lewat tengah malam. Rangga sengaja memanggil Cempaka dan
Danupaksi untuk datang ke kamar peristirahatan-nya. Sementara, Pandan Wangi
dibiarkan beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Memang, si Kipas Maut itu
kelihatan lelah sekali. Dan sudah sejak sore tadi,
mengurung diri di dalam kamar.
"Kalau kalian tahu, kenapa kupanggil malam-malam begini ke kamarku?" tanya
Rangga, membuka pembicaraan lebih dahulu.
Danupaksi dan Cempaka hanya menggelengkan
kepala saja, setelah saling berpandangan beberapa saat. Mereka memang tidak
tahu, kenapa Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra ini me-
manggilnya di tengah malam buta seperti ini. Tidak biasanya Rangga memanggil
mereka di saat semua orang tengah tertidur lelap. Dan dugaan mereka, pasti ada
sesuatu yang sangat penting, yang akan di-sampaikan Pendekar Rajawali Sakti.
Namun, semua dugaan itu hanya ada di dalam hati.
"Sejak memasuki gerbang kota siang tadi, aku merasa adanya keanehan di sini.
Terlebih lagi, setelah masuk ke dalam istana ini. Keanehan itu semakin terasa
sekali. Dan sikap kalian semua, juga tidak seperti biasa. Sambutan kalian
terlalu ber-lebihan, seakan-akan aku baru saja kembali dari medan laga," kata
Rangga setelah berdiam diri beberapa saat.
"Maaf, Kakang. Aku tidak mengerti maksud pembicaraan ini," selak Cempaka
kebingungan. "Kalian berdua tidak berasa kalau sikap kalian ini aneh...?" Rangga malah
bertanya, bernada menyelidik.
Kembali Cempaka dan Danupaksi saling ber-
pandangan. Kemudian kepala mereka bergerak menunduk, menekuri lantai yang
beralaskan permadani berbulu tebal, warna biru muda. Sementara Rangga memandangi
kedua adik tirinya dalam-dalam. Dia semakin yakin kalau ada sesuatu yang telah
disembunyikan, dan tampaknya tidak boleh diketahui-
nya. "Danupaksi, katakan padaku. Apa yang telah terjadi di sini?" desak Rangga tegas.
"Tidak terjadi apa-apa selama Kakang pergi mengembara," sahut Danupaksi, tetap
tertunduk kepalanya.
"Cempaka...?" Rangga menatap gadis cantik yang duduk di samping Danupaksi.
"Benar, Kakang. Tidak terjadi sesuatu di sini.
Semua dalam keadaan wajar dan biasa," sahut Cempaka, mendukung pernyataan kakak
tirinya. "Benar tidak terjadi sesuatu...?" desak Rangga tidak percaya.
Berbarengan mereka mengangguk. Rangga me-
narik napas dalam-dajam, dan menghembuskan kuat-kuat. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Sedikit dibukanya pintu kamar ini.
Tampak dua orang prajurit berjaga-jaga di samping kiri dan kanan pintu kamar
ini. Kedua prajurit itu segera menjura memberi hormat. Rangga hanya
menganggukkan kepala saja sedikit, kemudian melangkah ke luar. Sementara pintu
kamarnya dibiarkan tetap terbuka.
Sementara Danupaksi dan Cempaka hanya saling berpandangan saja. Kemudian, mereka
bergegas bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Tapi, Rangga sudah cukup jauh
berjalan, menyusuri lorong yang cukup panjang ini. Kedua adik tiri Pendekar
Rajawali Sakti itu berdiri saja di depan pintu kamar yang masih terbuka.
Danupaksi menutup pintu itu, dan melangkah perlahan diikuti Cempaka. Mereka
masih tetap diam, tidak berbicara sedikit pun juga.
"Kenapa kita harus merahasiakannya, Kakang Danupaksi..." Seharusnya ceritakan
saja semuanya,"
kata Cempaka, pelan suaranya.
"Ini sudah kesepakatan bersama, Pandan. Kakang Rangga tidak boleh tahu. Biar
Panglima Rakatala yang menyelesaikannya," sahut Danupaksi, juga pelan suaranya.
"Tapi, Kakang... Aku merasa tidak enak. Aku tidak sanggup menentang sorot
matanya," keluh Cempaka.
"Bagaimanapun juga, kita harus tetap bisa merahasiakannya, Cempaka," tegas
Danupaksi. Cempaka terdiam. Ayunan kakinya terhenti setelah sampai di depan pintu kamarnya
yang dijaga dua orang prajurit bersenjata tombak. Kedua prajurit itu
membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat, tapi Cempaka dan Danupaksi diam
saja. "Tidurlah. Biar aku yang bicara pada Kakang Rangga," kata Danupaksi lembut.
Cempaka hanya menganggukkah kepalanya saja.
Kemudian pintu kamarnya dibuka, lalu melangkah masuk. Gadis itu baru menutup
kembali pintu itu setelah Danupaksi melangkah meninggalkannya. Perlahan tubuhnya
diputar berbalik, lalu saat itu juga....
"Ohhh..."!"
"Kau terkejut, Cempaka...?"
"Kakang...." desah Cernpaka.
Seluruh wajah gadis itu jadi memucat, begitu melihat Rangga sudah ada di dalam
kamarnya ini. Tapi, Cempaka cepat-cepat menguasai diri, dan mencoba untuk bisa
bersikap biasa. Kakinya terayun mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang duduk
bersila di lantai beralaskan permadani tebal. Kemudian, gadis itu duduk di
depannya. "Kenapa Kakang ada di kamarku?" tanya Cempaka setelah membasahi tenggorokannya
dengan secawan arak.
"Jendela kamarmu tidak terkunci. Dan lagi, aku memang ingin berbicara berdua
saja denganmu,"
sahut Rangga kalem.
"Bicara apa?" tanya Cempaka, agak bergetar suaranya. Malah, seketika jantungnya
berdetak lebih cepat dari biasanya.
Belum juga Rangga berbicara, tiba-tiba saja terasa adanya desiran angin yang
begitu halus, datang dari arah jendela. Dan...
*** "Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya, dan berputar ke
udara. Saat itu juga, terlihat secercah cahaya hijau agak kemerahan meluncur
cepat bagai kilat, lewat di bawah tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Sementara Cempaka yang belum sempat menyadari, jadi terbeliak kaget.
Namun cahaya hijau kemerahan itu tidak sempat lagi dihindarinya.
"Akh...!"
Cempaka jadi terpekik, begitu cahaya hijau yang meluncur cepat itu menghantam
dadanya sebelah kiri. Gadis itu langsung terjungkal menggeletak di lantai.
"Cempaka...!" sentak Rangga terkejut.
Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di lantai, saat itu
juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat sekali di luar jendela.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar melalui jendela yang terbuka
lebar sejak tadi.
Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah
mencapai tingkat kesempurnaan. Lalu tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga,
kakinya menjejak tanah. Sayang, dia tidak lagi melihat satu bayangan pun yang
berkelebat. Keadaan di luar kamar Cempaka terlihat begitu sunyi.
Tak ada seorang prajurit pun terlihat berjaga-jaga.
"Hap!"
Bergegas Rangga melompat kembali masuk ke
dalam kamar adik tirinya ini. Langsung dihampirinya Cempaka yang tergeletak di
lantai, dengan napas ter-sengal satu-satu. Di bagian dada kirinya terlihat
bulatan hijau agak kemerahan, seperti terkena pukulan yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Dan di bagian tengah bulatan hijau kemerahan itu, terlihat sebuah benda kecil.
Bentuknya bulat sebesar biji saga, berwarna hijau daun.
"Cempaka, kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga cemas.
Perlahan bibir Cempaka bergerak tersenyum, namun sebentar kemudian kelopak
matanya terpejam.
Gadis itu langsung jatuh pingsan. Rangga jadi kelabakan sendiri. Pendekar
Rajawali Sakti segera berteriak memanggil prajurit penjaga yang berada di luar.
Dan begitu kedua prajurit penjaga masuk, Rangga segera memerintahkan untuk
memanggil tabib istana. Tanpa menunggu perintah dua kali, kedua prajurit itu
cepat bergegas pergi. Sementara, Rangga memindahkan Cempaka ke pembaringan.
Baru juga Rangga meletakkan tubuh adik tirinya ini ke pembaringan, Danupaksi
tergesa-gesa menerobos masuk. Dia tampak terhenyak begitu melihat Cempaka
terbaring pingsan di ranjangnya. Dan di samping gadis itu, tampak Pendekar
Rajawali Sakti tengah memandanginya. Rangga berpaling sedikit, menatap Danupaksi yang baru
datang itu. "Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Danupaksi seraya menghampiri.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Danupaksi," desis Rangga, agak dingin nada
suaranya. Danupaksi jadi terhenyak. Ludahnya seketika ditelan. Nada suara Rangga terdengar
begitu dingin. Jelas, Pendekar Rajawali Sakti marah padanya. Danupaksi tidak bisa lagi berbuat
sesuatu, kecuali berdiri diam sambil memandangi Cempaka yang terbaring dengan
tarikan napas begitu lemah. Di dada kiri gadis itu terlihat noda bulatan hijau
agak kemerahan.
"Kumpulkan semua pembesar di Balai Sema Agung," perintah Rangga tegas.
"Sekarang, Kakang...?" tanya Danupaksi seperti orang bodoh.
"Iya, sekarang. Cepat..!" sentak Rangga.
"Ba..., baik, Kakang...."
Danupaksi bergegas berlari meninggalkan kamar itu. Sementara, Rangga
mengeluarkan benda bulat kecil berwarna hijau dari dada kiri Cempaka.
Kemudian, diberikannya beberapa totokan di sekitar bulatan merah kehitaman itu.
Sedangkan Cempaka masih tetap terbaring diam seperti tidur. Pendekar Rajawali
Sakti melangkah mundur, dan berpaling saat mendengar langkah kaki memasuki kamar
ini. Tampak seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul,
bergegas menghampiri.
Tubuhnya dibungkukkan sambil meletakkan telapak tangannya di depan dada.
"Cepat tolong Cempaka, Eyang," kata Rangga tidak sabar lagi.
"Segera, Gusti Prabu," sahut orang tua yang ter-
nyata tabib istana.
Sementara di depan pintu, terlihat dua orang prajurit berjaga-jaga. Tak berapa
lama kemudian, muncul lagi sepuluh orang prajurit dan seorang punggawa.
Mereka segera mengambil tempat, berjaga-jaga di sekitar kamar ini.
Rangga kembali bergerak mundur beberapa langkah. Sementara, tabib istana sudah
mulai memeriksa sekitar luka di dada kiri Cempaka. Rangga berpaling sedikit ke
arah pintu saat mendengar suara langkah kaki. Pandan Wangi menerobos masuk,
diikuti Danupaksi. Pemuda yang selalu mengenakan baju biru itu membungkukkan
tubuhnya sedikit pada Rangga.
"Semua sudah berkumpul di Balai Sema Agung, Kakang Prabu,'"' lapor Danupaksi


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersikap hormat
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah menghampiri Pandan Wangi yang sudah
berdiri di ujung kaki pembaringan. Gadis itu berpaling sedikit, menatap Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau tetap disini, Pandan," pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga segera bergegas keluar dari
kamar, diikuti Danupaksi. Lalu Pandan Wangi menutup pintu, menurut permintaan
tabib istana. Sementara Rangga terus berjalan dengan langkah kaki lebar-lebar. Yang dituju
adalah Balai Sema Agung, diikuti Danupaksi yang berjalan di belakangnya. Tak ada
yang berbicara sedikit pun. Sedangkan Danupaksi beberapa kali memandangi
punggung Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini.
Tapi yang jelas, saat itu Danupaksi kelihatan gelisah sekali.
2 Rangga memandangi wajah-wajah yang tertunduk dalam di depannya. Memang tidak
banyak jumlah pembesar yang ada di Kerajaan Karang Setra ini.
Mereka adalah, Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Paman Wirapati, dan beberapa orang
lagi yang dulu sama-sama berjuang mendirikan Kerajaan Karang Setra.
Sekitar tiga puluh orang panglima dan patih tampak hadir pula di situ. Tak ada
seorang pun dari mereka yang berbicara, sehingga keadaan di dalam ruangan besar
yang disebut Balai Sema Agung ini jadi terasa begitu sunyi. Perlahan Rangga
duduk di kursi yang indah dan berwarna kuning keemasan.
Meskipun masih mengenakan pakaian pendekarnya, tapi Rangga kelihatan begitu
berwibawa jika sudah berada di atas kursi singgasana Kerajaan Karang Setra ini.
Dan hal itu membuat tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya, walau
hanya sedikit. Mereka semakin tertunduk dalam, menekuri lantai yang licin dan
berkilat. Kembali Rangga memandangi orang-orang yang di-percayakan mengatur tata
kepemerintahan kerajaan ini.
"Kalian tahu, kenapa aku meminta semua berkumpul di sini pada tengah malam
begini...?"
terdengar begitu dalam suara Rangga.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
Mereka semua tetap diam dengan kepala tertunduk begitu dalam. Sementara, Rangga
kembali mengedarkan pandangannya, merayapi kepala-kepala yang
tertunduk menekuri lantai. Sedikit napasnya di-hembuskan begitu kuat dan keras.
Sementara, Danupaksi yang duduk agak jauh di sebelah kanan, juga hanya bisa diam
membisu. Sesekali matanya sempat melirik wajah Rangga.
"Kalian tahu, apa yang telah terjadi malam ini?"
tanya Rangga lagi, masih dengan suara begitu dalam.
Tetap tak ada seorang pun yang bersuara.
"Seseorang telah menyelinap masuk, dan menciderai Cempaka," sambung Rangga.
Mereka semua yang ada di Balai Sema Agung ini jadi terkejut, begitu mendengar
kalau Cempaka mendapat celaka. Dan lebih terkejut lagi, karena ada seseorang
yang menyelinap masuk ke dalam istana ini. Akibatnya adik tiri Raja Karang Setra
ini men-dapatkan celaka.
"Kalian tidak perlu berpura-pura terkejut. Aku tahu, kalian sebenarnya sudah
tahu akan hal ini. Dan kalian menyembunyikan sesuatu dariku," kata Rangga lagi.
"Ampun, Gusti Prabu. Apa sebenarnya yang telah terjadi?" tanya Paman Wirapati
seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Paman Wirapati," agak mendesis suara
Rangga. Paman Wirapati langsung terdiam.
"Katakan, Panglima Rakatala. Apa yang terjadi sebenarnya?" desak Rangga sambil
menatap Panglima Rakatala yang duduk bersila di samping Ki Lintuk.
Tapi, Panglima Rakatala hanya diam saja. Dia tidak tahu, apa yang harus
dikatakan pada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan saat ini, kabut hitam benar-
benar tengah menyelimuti seluruh wilayah
Kerajaan Karang Setra. Terlebih lagi, di dalam lingkungan istana ini. Peristiwa
yang terjadi malam ini, merupakan awal datangnya kabut hitam itu.
"Ki Lintuk...?" Rangga beralih menatap Ki Lintuk.
Sedangkan laki-laki tua yang menjadi penasihat kerajaan itu hanya diam saja.
Sedikit pun kepalanya tidak terangkat. Pandangan Rangga beralih ke arah Paman
Wirapati, lalu kembali kepada Panglima Rakatala dan semua pembesar kerajaan
lainnya yang ada di dalam ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada seorang pun yang
berani mengangkat kepala. Demikian pula Danupaksi yang duduk di kursi sebelah
kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya diam saja, tidak berani memandang wajah
yang kelihatan memerah tegang itu.
"Edan...! Apa-apaan kalian ini, heh..." Apa kalian sudah jadi bisu semua"!"
bentak Rangga tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
Namun, tetap tak ada seorang pun yang membuka suara. Sambil menghentakkan
kakinya dengan kesal, Rangga bangkit berdiri dari singgasananya. Hatinya benar-
benar kesal, karena tak ada seorang pun yang membuka mulut. Apalagi menceritakan
apa yang tengah terjadi di dalam Istana Karang Setra ini.
"Baik! Jika kalian tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya, aku tidak akan
segan-segan memenjarakan kalian semua. Sikap ini sudah menandakan kalau kalian
ingin memberontak!" terdengar tinggi nada suara Rangga.
Para pembesar itu jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Raja Karang
Setra ini akan mengeluarkan ancaman seperti itu.
"Aku tunggu salah seorang dari kalian besok pagi.
Kalau tidak ada yang menghadap, terpaksa kalian
dipenjarakan sampai ada yang mau mengatakan rahasia ini," sambung Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Rangga segera
meninggalkan Balai Sema Agung. Dan kepala-kepala yang tadi terangkat kaget,
kembali bergerak tertunduk lesu. Tak ada seorang pun yang membuka suara, sampai
Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat lagi di dalam ruangan yang besar dan
megah ini. *** Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan mata-
nya barang sedikit pun. Sejak dari Balai Sema Agung semalam, tubuhnya tidak
beranjak dari kursi di samping tempat tidur Cempaka. Gadis itu masih tetap
terbaring diam seperti tidur pulas. Wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam,
walau di dada kirinya masih terlihat noda hijau kemerahan. Tapi, noda bulat itu
sudah mulai berangsur hilang. "Kakang..."
Rangga berpaling sedikit saat mendengar
panggilan lembut dari arah belakang. Pundaknya terasa disentuh lembut oleh jari-
jari tangan yang lentik dan halus. Entah kapan masuknya, tahu-tahu Pandan Wangi
sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Semalaman kau tidak tidur. Biar kugantikan menjaga Cempaka," kata Pandan Wangi
lembut "Biarkan aku di sini, Pandan," tolak Rangga halus.
"Tapi, kau juga periu istirahat, Kakang. Sejak kemarin kau belum beristirahat,"
desak Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Begitu getir
senyumannya dirasakan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti kembali berpaling
memandangi wajah
adik tirinya yang masih belum sadarkan diri sejak semalam. Sedangkan saat ini,
matahari sudah muncul di ufuk Timur. Pandan Wangi melangkah mendekati jendela,
dan membuka pintunya lebar-lebar. Sehingga, sinar matahari langsung menerobos
masuk menyegarkan kamar ini. Rangga menggeliat sedikit, mengurangi rasa pegal
tubuhnya. "Cempaka tidak apa-apa, Kakang. Dia hanya ke-racunan sedikit Sebentar lagi pasti
siuman," jelas Pandan Wangi..
Rangga bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Tanpa diberitahu pun,
dia sudah tahu kalau benda yang mengenai Cempaka semalam
memang mengandung racun, walaupun sangat lemah dan lambat kerjanya. Namun
begitu, bila tidak segera ditolong bisa merenggut nyawa Cempaka. Untungnya,
Rangga cepat memberi totokan. Sehingga, racun itu tidak sampai menyebar. Dengan
demikian, nyawa Cempaka masih bisa diselamatkan oleh tabib istana.
Rangga melangkah perlahan menghampiri Pandan Wangi yang berdiri di samping
jendela. Sebentar matanya memandang ke luar, memperhatikan
matahari yang terus bergerak naik dari balik puncak gunung yang berkabut.
"Hm... Mereka menganggap ancamanku hanya main-main," gumam Rangga seperti bicara
pada diri sendiri.
"Seharusnya kau tidak perlu bersikap begitu, Kakang. Mungkin mereka mempunyai
pertimbangan lain, hingga kau tidak diberitahu," keluh Pandan Wangi, menyesalkan
tindakan Rangga yang akan memenjarakan semua pembesar kalau tidak mau mengatakan
apa yang tengah terjadi di istana ini.
Pandan Wangi memang sudah tahu semua yang
terjadi semalam di Balai Sema Agung. Bukan hanya Rangga yang mengatakannya
sendiri, tapi juga Danupaksi, Ki Lintuk, dan Panglima Rakatala. Dan tampaknya,
gadis itu sama sekali tidak menyetujui tindakan Rangga, kalau memang benar
sampai akan memenjarakan mereka semua. Itu bisa berakibat kosongnya istana ini,
tanpa ada seorang pun yang menjalankan roda pemerintahan lagi. Dan itu berarti
juga, awal kehancuran yang mungkin saja bisa terjadi.
Jelas ini pasti tidak akan diinginkan semua orang.
Bahkan semalam, saat Pandan Wangi baru keluar dari kamar ini, Danupaksi sudah
memintanya untuk membujuk Rangga agar mencabut ancamannya. Tapi, Pandan Wangi
juga jadi heran. Masalahnya, Danupaksi tetap tidak mau mengatakan hal sebenarnya
yang tengah terjadi di lingkungan Istana Kerajaan Karang Setra ini. Demikian
pula Ki Lintuk, Panglima Rakatala, dan Paman Wirapati. Semuanya bungkam setiap
kali Pandan Wangi menanyakannya. Dan dalam persoalan ini, justru Pandan Wangi
dituntut harus bisa bertindak bijaksana. Dia tidak mungkin bisa berpihak pada
siapa pun juga, sebelum semuanya menjadi jelas.
"Aku terpaksa harus menggertak mereka, Pandan.
Sikap mereka bisa membahayakan kelangsungan hidup Karang Setra. Hhh....
Seharusnya mereka tidak perlu bersikap seperti itu. Katakan saja apa adanya.
Dan aku juga bisa mengambil sikap bijaksana," kata Rangga menjelaskan sikapnya
semalam. "Bagaimanapun juga, aku adalah raja di sini, Pandan. Walaupun, hati
kecilku tidak pernah mau mengakui kalau aku ini seorang raja. Namun, sudah
sepatutnya mereka membicarakan semua persoalan yang sedang dihadapi padaku."
"Tidak semua, Kakang," bantah Pandan Wangi tegas.
Rangga langsung menatap gadis itu dalam-dalam.
"Menurutku, seharusnya kita membiarkan saja dulu, Kakang. Kita lihat saja, dan
jangan terlalu memaksa mereka untuk mengatakannya. Kalau
mereka tidak bisa lagi mengatasi persoalan, aku yakin mereka pasti akan
mengatakannya juga padamu," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga hanya diam saja.
"Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja, Kakang. Terlebih lagi, kalau
persoalannya menyangkut kelangsungan hidup Karang Setra. Aku sudah merasa
nenjadi bagian dari kerajaanmu ini,"
sambung Pandan Wangi.
Rangga masih tetap diam.
"Kuminta, cabutlah kembali kata-katamu, Kakang.
Tidak ada gunanya memenjarakan mereka semua.
Justru aku merasa akan semakin menambah buruk suasana."
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Kita harus mencari cara lain yang lebih halus, Kakang. Jangan dengan tindak
kekerasan dan ancaman," sambung Pandan Wangi terus membujuk Pendekar Rajawali
Sakti. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.
"Mungkin aku akan mencari keterangan di luar istana," sahut Pandan Wangi.
"Sampai sejauh itu...?"
"Kalau kau menduga persoalan ini menyangkut kelangsungan hidup Karang Setra,
kurasa tidak ber-lebihan jika sampai melibatkan orang-orang di luar Hngkungan
istana, Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
"Apakah itu tidak terlalu jauh, Pandan?"
"Lebih baik, daripada memenjarakan semua pembesar."
Rangga kembali diam. Dipandanginya wajah
Pandan Wangi beberapa saat, kemudian kakinya melangkah mendekati pintu yang
tertutup rapat.
Sebentar wajahnya berpaling, menatap si Kipas Maut itu. Kemudian dibukanya pintu
lebar-lebar. Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri di samping jendela.
"Kau tetap di sini, Pandan. Jangan tinggalkan Cempaka, selama belum sadar,"
pesan Rangga. Pandan Wangi hanya mengangguk saja, sambil tersenyum. Memang tidak sulit bagi si
Kipas Maut melunakkan kekerasan hati Pendekar Rajawali Sakti.
Senyumnya terus terkembang, walaupun Rangga sudah menghilang di balik pintu yang
tertutup kembali. Pandan Wangi baru menghampiri pembaringan Cempaka, dan duduk
di kursi yang tadi diduduki Rangga.
*** Tidak semua orang di Kerajaan Karang Setra ini bisa mengenali Rangga sebagai
raja di sini, kalau sedang mengenakan baju rompi putih dan membawa Pedang
Rajawali Sakti. Dan itu memang bisa membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi
leluasa berada di antara rakyatnya sendiri. Karena, mereka semua pasti akan
menganggap kalau pemuda
tampan berbaju rompi putih itu hanya seorang pendekar kelana.
Siang ini, Rangga memang sengaja keluar dari istananya setelah mencabut kembali
ancamannya semalam pada para pembesar istana. Pendekar
Rajawali Sakti keluar melalui pintu rahasia yang terletak di bagian belakang,
dan dekat kandang kuda.
Dengan menunggang kuda hitam Dewa Bayu,
Pendekar Rajawali Sakti berkeliling kota sambil mencari keterangan tentang
rahasia yang tersembunyi di dalam Istana Karang Setra. Tapi sampai matahari naik
tinggi, belum juga diperoleh keterangan apa pun juga. Bahkan yang diperoleh
hanya rasa lapar dan dahaga, karena setengah harian terus berada di punggung
Dewa Bayu. "Ramai sekali kedai itu," gumam Rangga begitu melihat sebuah kedai berada di
ujung jalan tanah ini.
Dengan gerakan begitu ringan dan indah, Rangga melompat turun dari punggung
kuda. Sebentar di-amatinya kedai yang tampak begitu rampai di depannya. Padahal,
kedai itu terletak cukup jauh dari lingkungan penduduk. Dan letaknya pun dekat
perbatasan kota. Tapi, keramaian kedai itu membuat Rangga tertarik.
"Kau pasti sudah lapar dan lelah, Dewa Bayu.
Bagaimana kalau singgah dulu di sana...?" Rangga berbicara pada kudanya.
Kuda hitam Dewa Bayu hanya mendengus saja
sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan-akan mengerti ucapan Pendekar
Rajawali Sakti. Sambil menuntun tali kekang kudanya, Rangga melangkah
menghampiri kedai di ujung jalan itu. Memang ramai keadaannya. Tapi kening
Rangga jadi berkerut setelah berada di depan pintu kedai ini.
"Hm.., mereka semua seperti bukan rakyatku,"
gumam Rangga dalam hati.
Saat itu, seorang laki-laki tua bertubuh gemuk ter-gopoh-gopoh datang
menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan di depan Rangga. Dan dengan ramah
sekali, Pendekar Rajawali Sakti dipersilakan masuk.
Rangga melangkah masuk mengikuti laki-laki tua bertubuh gemuk ini, yang
membawanya. ke sebuah meja di sudut agak menyendiri.
"Ramai sekali kedaimu, Paman," kata Rangga setelah duduk di kursi yang
dipilihkan laki-laki tua gemuk pemilik kedai itu.
"Sudah beberapa hari ini kedaiku selalu ramai, Den. Mereka setiap hari datang
untuk makan dan minum di sini," sahut laki-laki tua itu ramah.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sebentar pandangannya beredar berkeliling.
Dan hampir semua orang yang memadati kedai ini juga tengah memperhatikannya.
Bahkan terlihat beberapa orang tengah berbisik-bisik sambil memandang ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Rangga seperti tidak peduli. Kemudian Pendekar
Rajawali Sakti meminta pemilik kedai itu menyediakan arak manis.
Hanya sebentar saja laki-laki tua pemilik kedai itu pergi, dan kini sudah
kembali lagi sambil membawa seguci arak manis. Rangga cepat menahan ketika
pemilik kedai itu hendak meninggalkannya lagi, setelah meletakkan guci arak dan
gelas bambu ke meja yang ditempatinya.
"Sebentar, Paman."
"Ada apa, Den?"
"Boleh aku tahu namamu, Paman?" pinta Rangga sopan.
"Orang-orang biasa memanggilku Tampik," sahut pemilik kedai memperkenalkan
namanya. "Aku datang hanya seorang diri, Paman. Maukah kau menemaniku duduk di sini...?"
pinta Rangga lagi.
"Sebenarnya mau saja, Den. Tapi mereka pasti juga membutuhkan aku. Maklum,
Den.... Aku tidak


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya pembantu di sini. Semuanya harus kukerjakan sendiri," dengan halus sekali
Paman Tampik menolak ajakan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja, dan
membiarkan pemilik kedai itu meninggalkannya. Lalu, dituangnya arak dari guci ke
dalam gelas bambu.
Seteguk arak langsung masuk ke dalam tenggorokannya. Namun baru saja gelasnya
diletakkan, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap, berpakaian hijau tua. Rangga mengangkat wajahnya perlahan,
memperhatikan laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tahu-tahu
sudah ada di depannya.
Tampak pinggangnya terlilit sabuk dari kulit yang penuh pisau-pisau kecil. Di
punggungnya, tersampir sebilah pedang. Meskipun sudah berusia hampir separuh
baya, tapi wajahnya masih kelihatan gagah.
Hanya saja ketampanannya nyaris hilang oleh sorot matanya yang tajam memancarkan
keangkuhan. Sedikit pun tak terukir senyuman di bibirnya yang terkatup rapat
"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali Sakti...?" terdengar begitu berat
dan besar suara laki-laki berbaju hijau tua itu.
"Benar," sahut Rangga agak terkejut juga, karena ada orang yang langsung bisa
mengenalinya. Bahkan orang yang sama sekali tidak dikenalnya ini, sudah tahu nama asli dan
julukannya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan sinar mata penuh
selidik. Dicobanya untuk mengingat-ingat, kalau-kalau pernah bertemu. Tapi,
Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah mengenalnya, dan baru kali ini
bertemu. "Sepertinya, di antara kita belum pernah bertemu,"
kata Rangga, tetap memandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Benar," sahutnya dingin.
"Kau sudah tahu namaku, Kisanak. Boleh kutahu namamu...?" tetap ramah nada suara
Rangga. "Aku tidak punya nama. Tapi, biasanya aku dipanggil si Setan Hijau Pisau
Terbang," sahut laki-laki berbaju hijau tua itu. Suaranya tetap terdengar berat
dan dingin. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan adanya persahabatan.
"Ada perlu denganku?" tanya Rangga lagi, tetap bersikap ramah.
"Ya, ini...!"
"Heh!" Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika tiba-tiba saja si Setan
Hijau Pisau Terbang itu mengebutkan tangan kanannya dengan cepat sekali.
Dan bertepatan dengan luncuran sebilah pisau yang berkilat tajam dari tangan
kanan laki-laki berbaju hijau itu, Rangga bergegas menarik tubuhnya ke samping.
Maka, pisau itu hanya lewat sedikit saja di samping bahunya.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melompat dari kursinya.
Sungguh manis dan ringan gerakan Pendekar
Rajawali Sakti. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak
lantai kedai ini. Dan pada saat itu, semua pengunjung kedai beranjak bangkit
dari duduknya. Di luar dugaan, mereka langsung saja mengepung pemuda berbaju
rompi putih ini.
Memang tidak disangka kalau semua orang yang ada di dalam kedai ini langsung
rapat mengepungnya.
Bahkan mereka langsung mencabut senjata masing-masing. Ada sekitar tiga puluh
orang di dalam kedai
ini. Dan rasanya, tidak mungkin bagi Rangga untuk bisa keluar dengan mudah. Saat
itu, si Setan Hijau Pisau Terbang sudah melangkah menghampiri. Sorot matanya
yang merah, semakin terlihat tajam, seakan-akan ingin menembus langsung ke bola
mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah lama sekali kami menunggumu, Rangga.
Dan sebaiknya, kau tidak mempersulit dirimu sendiri,"
kata Setan Hijau Pisau Terbang.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Rangga, langsung menyadari kalau
keadaannya saat ini sungguh tidak menguntungkan.
"Kami hanya diperintahkan untuk membawamu kepada pimpinan kami," sahut Setan
Hijau Pisau Terbang.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu banyak tanya, Pendekar Rajawali Sakti. Nanti juga akan tahu,"
sahut Setan Hijau Pisau Terbang, tetap dingin nada suaranya.
"Kau memaksaku, Kisanak," desis Rangga tidak senang.
"Kalau kau tidak banyak tingkah, tentu aku juga tidak akan memaksamu, Pendekar
Rajawali Sakti."
"Hm.... Ke mana kau akan membawaku?"
"Sudah kukatakan, jangan banyak tanya!" sentak Setan Hijau Pisau Terbang.
"Kau terlalu memaksaku, Kisanak. Maaf, aku tidak bisa mengikutimu," tegas
Rangga. Setelah berkata demikian, Rangga melangkah hendak meninggalkan kedai ini. Tapi
baru saja kakinya terayun tiga langkah, semua orang yang ada di dalam kedai ini
langsung bergerak menghunus senjata ke arahnya. Terpaksa Rangga menghentikan
langkahnya. "Jangan coba-coba keluar dari sini tanpaku, Pendekar Rajawali Sakti," desis
Setan Hijau Pisau Terbang dingin mengancam. "Mereka sudah diperintahkan untuk
mencincangmu, kalau kau tetap banyak tingkah."
"Oh, begitukah...?" terdengar sinis nada suara Rangga.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sambil
memutar tubuhnya perlahan-lahan. Kemudian ditatapnya Setan Hijau Pisau Terbang
dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja....
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas. Tahu-tahu saja Rangga
sudah menjebol atap kedai ini, dan langsung meluncur ke luar. Begitu cepat
gerakannya, sehingga membuat semua orang yang ada di dalam kedai itu jadi
terlongong-longong.
"Kejar! Jangan biarkan lolos...!" seru Setan Hijau Pisau Terbang lantang
menggelegar. Seketika itu juga, mereka langsung beriompatan keluar dari kedai ini. Setan
Hijau Pisau Terbang pun melesat cepat ke atas, mengikuti Rangga yang menjebol
atap. Sebentar saja, tak ada seorang pun yang ada di dalam kedai ini lagi. Hanya
pemilik kedai saja yang masih tinggal dengan mulut ternganga.
*** 3 "Hap!"
Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tepat di tengah-tengah
halaman depan kedai.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya yang tertambat di
pohon, sudah cepat sekali terkepung rapat. Dan saat itu, Setan Hijau Pisau
Terbang mendarat tepat sekitar satu batang tombak di depan pemuda berbaju rompi
putih ini. "Rupanya kau senang mencari kesulitan sendiri, Pendekar Rajawali Sakti," desis
Setan Hijau Pisau Terbang, dingin.
"Aku tidak punya persoalan dengan kalian. Dan sebaiknya, kalian juga tidak perlu
mencari persoalan denganku," balas Rangga tidak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar angkuh, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal atas
kesombonganmu," dengus Setan Hijau Pisau Terbang mendesis dingin.
"Biarkan aku pergi, dan jangan membuka persoalan denganku," tetap dingin suara
Rangga. "Kau benar-benar memaksaku bertindak kasar, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hhh!" Rangga hanya mendengus saja.
Trek! Setan Hijau Pisau Terbang menjentikkan ujung jarinya. Maka saat itu juga,
sekitar sepuluh orang yang semuanya menggenggam golok berlompatan ke depan,
tepat di saat si Setan Hijau Pisau Terbang melompat mundur. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah lagi, mereka langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. Malah dua orang begitu cepat melompat dari arah depan, sambil membabatkan
golok secara menyilang dan mengarah ke leher.
"Hap!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang,
menghindari tebasan dua bilah golok yang datang bersamaan itu.
Tapi belum juga Rangga sempat menarik tegak tubuhnya kembali, dari arah kanan
sudah datang serangan cepat
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke kiri, menghindari tebasan golok dari arah kanan.
Dan pada saat yang bersamaan, seorang penyerangnya sudah melepaskan satu pukulan
keras ke arahnya. Tentu saja orang itu terkejut, karena tidak menyangka kalau
justru Pendekar Rajawali Sakti melenting ke arahnya.
Maka, orang itu tidak bisa lagi menarik serangannya yang sudah terlontar.
"Yeaaah...!"
Saat itu juga, Rangga melepaskan satu pukulan keras, namun hanya disertai
pengerahan tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Hanya saja kecepatan pukul-
annya tidak dapat lagi dihindari.
Begkh! "Akh...!"
Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh, namun pukulan Pendekar
Rajawali Sakti demikian keras. Akibatnya, seorang lawan seketika terpental ke
belakang, setelah dadanya terkena pukulan keras tadi. Dan kini, keras sekali
tubuhnya terbanting ke tanah.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Rangga langsung melenting ke udara, tepat di saat
dua orang juga melesat ke udara mengejarnya sambil mengibaskan goloknya. Tapi,
kedua tangan Rangga yang mengembang lebih cepat lagi bergerak mengelebat. Maka,
kedua orang itu hanya bisa terpekik begitu kibasan-kibasan tangan Rangga yang
menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' menghajar tubuhnya. Tak pelak lagi, mereka
terbanting keras ke tanah, dan bergulingan beberapa kali sambil mengeluarkan
pekikan nyaring sekali.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga meluruk turun. Saat itu juga, jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa' dikerahkan. Kini kedua kakinya yang bergerak begitu cepat,
terarah langsung kepada Setan Hijau Pisau Terbang.
"Keparat...!" maki Setan Hijau Pisau Terbang terhenyak kaget. "Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali menghindari
serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, saat itu
juga Rangga sudah mendarat seraya melepaskan satu pukulan lurus, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan yang dilepaskannya,
sehingga Setan Hijau Pisau Terbang tidak dapat lagi berkelit menghindar.
Dan..:. "Hiyaaa...!"
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Setan Hijau Pisau Terbang, selain menyambut
pukulan Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan yang bertenaga dalam tinggi pula.
Hingga tak pelak lagi, dua pukulan mengandung pengerahan tenaga dalam itu
bertemu di tengah-tengah.
Plak! "Akh...!"
*** Setan Hijau Pisau Terbang jadi terpekik, begitu pukulannya beradu dengan pukulan
Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Keras sekali dia jatuh terguling di tanah berdebu. Sementara,
Rangga tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun. Lalu perlahan-lahan
kakinya melangkah menghampiri si Setan Hijau Pisau Terbang yang masih terkapar
di tanah. Memang sulit menandingi Pendekar Rajawali Sakti yang ilmu tenaga dalamnya sudah
mencapai tingkat sempurna. Terlebih lagi, saat itu telah mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' meskipun, dalam tingkat pertama. Sehingga, tangan
si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sampai hancur ketika ber-benturan tadi.
"Hih!"
Tiba-tiba saja, si Setan Hijau Pisau Terbang mengebutkan tangan kirinya cepat
sekali, meski tubuhnya masih tergeletak di tanah. Dan saat itu juga, teriihat
sebilah pisau berukuran kecil melesat bagai kilat ke arah Rangga. Tapi, Pendekar
Rajawali Sakti tidak berusaha menghindar sedikit pun. Malah, cepat sekali
tangannya bergerak menangkap pisau itu.
Tap! Tahu-tahu pisau berukuran kecil dan tipis itu sudah berada di dalam jepitan dua
jari Pendekar Rajawali Sakti, tepat di depan dadanya yang terbuka.
Kedua kakinya terayun perlahan-lahan mendekati laki-laki berbaju hijau tua itu.
Sementara itu tak ada seorang penyerang pun yang berani mendekat lagi.
Sedangkan si Setan Hijau Pisau Terbang menggeser tubuhnya, lalu melompat bangkit
berdiri dengan gerakan indah sekali.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Setan Hijau Pisau Terbang langsung
menyerang dengan lontaran pisau-pisaunya yang memenuhi pinggangnya. "Hup!
Hiyaaa...!"
Manis sekali Rangga melentingkan tubuhnya.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, menghindari terjangan
pisau-pisau itu.
Sesekali tangannya dikebutkan, untuk menangkap pisau-pisau yang meluruk deras
mengancam tubuhnya. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat tinggi ke atas. Dan dengan cepat sekali tubuhnya
meluruk turun setelah melewati kepala si Setan Hijau Pisau Terbang. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, tepat di belakang laki-laki berbaju hijau tua itu,
secepat kilat kakinya menghentak ke belakang. Langsung diberikannya tendangan
menggeledek yang begitu dahsyat!
Diegkh! "Akh...!"
Lagi-lagi si Setan Hijau Pisau Terbang memekik, tanpa dapat menghindari
tendangan di punggungnya.
Tak pelak lagi, dia jatuh tersungkur mencium tanah, namun cepat bisa bangkit
kembali setelah bergulingan beberapa kali.
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya si Setan Hijau Pisau Terbang, begitu mengetahui tidak ada
lagi pisaunya yang tersisa. Semuanya sudah habis, tapi tak satu pun yang bisa
melukai tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!"
Sret! Cring! Sambil menyemburkan ludahnya, si Setan Hijau Pisau Terbang langsung mencabut
pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Langsung pedangnya disilangkan
di depan dada. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang merembes dari sudut
bibirnya. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
Saat itu, Setan Hijau Pisau Terbang sudah bergerak menggeser kakinya ke samping,
sambil memainkan pedangnya. Gerakan-gerakannya begitu indah, tapi mengandung
ancaman yang mematikan.
"Sebaiknya kau kembali saja, Kisanak. Katakan pada pemimpinmu. Kalau ingin
bertemu denganku, biar dia sendiri yang harus datang menemuiku," tegas Rangga,
terdengar lantang suaranya.
"Cukup kepalamu saja yang bertemu dengannya, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus
Setan Hijau Pisau Terbang.
"Hm..." Rangga menggumam kecil.
Sementara itu, Setan Hijau Pisau Terbang sudah semakin dekat saja jaraknya.
Pedang yang tergenggam di tangan kanannya terlihat berkilatan, ter-timpa cahaya
matahari yang bersinar sangat terik siang ini. Sedangkan Rangga masih tetap
berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun.
"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti...!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Setan Hijau Pisau Terbang
melompat sambil mengebutkan pedang ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang
pada lehernya.

Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, Pendekar Rajawali Sakti cepat melangkah mundur dua tindak. Namun, Setan
Hijau Pisau Terbang tidak mau meninggalkan begitu saja. Gagal dengan serangan
pertama, kembali dilakukannya serangan cepat luar biasa. Pedangnya berkelebatan
di sekitar tubuh Rangga yang bergerak meliuk-liuk menghindarinya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Tampaknya, Setan Hijau Pisau Terbang tidak sudi lagi memberi kesempatan pada
Rangga untuk bisa balas menyerang. Jurus-jurus permainan pedangnya begitu cepat
dan dahsyat luar biasa. Tapi, yang dihadapinya kali ini adalah Pendekar Rajawali
Sakti. Hingga sudah beberapa jurus berlalu, belum juga bisa menghunjamkan pedangnya ke
tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Bahkan untuk bisa mendesak pun, rasanya masih terlalu
sulit. Padahal, Rangga saat itu hanya mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib'. 'Sembilan Langkah Ajaib' memang sebuah jurus aneh. Gerakan-gerakannya tidak
seperti orang sedang bertarung. Bahkan kelihatan seperti orang kebanyakan minum
arak. Seringkali tubuhnya doyong seperti hen-dak jatuh. Tapi, begitu cepat
sekali berubah mengikuti arah kelebatan pedang si Setan Hijau Pisau Terbang.
Sehingga, sangat sulit bagi si Setan Hijau Pisau Terbang untuk mengembangkan
jurus-jurusnya.
"Keparat..!-Hiyaaa...!"
Sambil berteriak berang, Setan Hijau. Pisau Terbang semakin memperhebat jurus-
jurusnya. Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah cepat sekali merubah jurusnya.
Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti meiepaskan satu pukulan
menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
"Hih!" Wuk!
Cepat-cepat Setan Hijau Pisau Terbang mengebutkan pedangnya, mencoba
menggagalkan serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, rupanya Rangga
lebih cepat lagi menarik tangannya. Dan begitu pedang lewat di depan dada si
Setan Hijau Pisau Terbang, cepat sekali Rangga menghentakkan kakinya ke depan.
Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek sambil memutar tubuhnya
sedikit Begitu cepat tendangannya, sehingga si Setan Hijau Pisau Terbang tidak
sempat lagi menghindar.
Desss! "Akh...!"
Kembali si Setan Hijau Pisau Terbang deras terpental ke belakang. Dan sebelum
tubuhnya menghantam tanah, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat.
Kembali dilepaskannya satu tendangan di udara yang begitu sulit dan
mencengangkan. Bruk! Lagi-lagi Setan Hijau Pisau Terbang tersuruk mencium tanah. Beberapa kali
tubuhnya bergulingan di tanah, sebelum bisa bangkit berdiri lagi. Kini semakin
banyak saja darah yang keluar dari mulutnya.
"Ugkh...!" Setan Hijau Pisau Terbang terbatuk
beberapa kali. Dan setiap kali terbatuk, Setan Hijau Pisau Terbang selalu menyemburkan darah
dari mulut dan hidungnya. Memang sungguh dahsyat pukulan
maupun tendangan yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi untungnya, tidak
disertai pengerahan kekuatan tenaga dalam yang penuh. Sehingga, tidak sampai
menciderai si Setan Hijau Pisau Terbang lebih parah lagi.
"Jangan paksakan dirimu, Kisanak. Akan semakin parah bagi dirimu sendiri, kalau
memaksa mengerahkan tenaga dalam," kata Rangga memperingatkan.
"Phuih!"
Tapi, rupanya bagi si Setan Hijau Pisau Terbang sudah kepalang basah. Peringatan
Pendekar Rajawali Sakti tidak dipedulikan lagi. Dan dia malah melompat,
melakukan serangan kembali. Pedangnya disilangkan begitu cepat sekali ke arah
leher, disertai pengerahan tenaga dalam.
"Hap!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil menangkap mata pedang itu
hanya dengan dua jari tangannya saja, tepat di samping lehemya. Dan pada saat
itu juga, Rangga melepaskan satu tendangan keras ke arah perut.
Desss! "Hegkh!"
Begitu tubuh Setan Hijau Pisau Terbang ter-bungkuk, cepat sekali Rangga memberi
satu pukulan keras di wajahnya. Seketika itu juga, kepala Setan Hijau Pisau
Terbang terdongak ke atas.
"Hiyaaa...!"
Dan Rangga rupanya tidak ingin meninggalkannya begitu saja. Kembali
dilepaskannya satu pukulan
keras menggeledek, tepat menghantam dada si Setan Hijau Pisau Terbang.
Akibatnya, si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sadarkan diri seketika itu juga.
Dan Rangga cepat menghampiri, lalu memeriksa urat nadi di lehemya sebelah kanan.
Rangga kembali bangkit berdiri, setelah yakin kalau si Setan Hijau Pisau Terbang
tidak tewas. Kemudian, Rangga melompat naik ke punggung kudanya yang tertambat
tidak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon randu.
"Hiyaaa...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam Dewa Bayu itu sudah melesat cepat bagai kilat.
Begitu cepatnya kuda itu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah tidak
terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja yang terlihat mengepul di udara.
Sementara itu, Setan Hijau Pisau Terbang masih tergeletak tak sadarkan diri.
Kemudian, anak buahnya segera membawanya pergi lari tempat itu.
*** Saat matahari hampir tenggelam, Rangga baru
kembali pulang ke istana melalui pintu rahasia di bagian belakang bangunan megah
itu. Namun belum juga dia sempat turun dari punggung kuda, tampak Pandan Wangi
melangkah lebar-lebar menghampiri.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun
dari punggung kudanya. Saat itu, Pandan Wangi sudah berada dekat di depannya.
Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berhenti setelah jaraknya tinggal
sekitar tjga langkah lagi di depan Rangga.
"Ada apa" Kau seperti dikejar setan saja,
Pandan...," tegur Rangga, langsung.
"Aku sudah tahu rahasia yang tersimpan di istana ini, Kakang," kata Pandan Wangi
langsung. "Oh..."! Rahasia apa?" tanya Rangga terkejut
"Cepat katakan, Pandan. Rahasia apa yang mereka sembunyikan."
"Kau ingat benda yang melukai Cempaka, Kakang?" Pandan Wangi malah bertanya.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Aku telah membawa benda itu pada seorang ahli senjata di Desa Katung. Dia
mengenali benda itu sebagai senjata rahasia, Kakang. Bahkan dia juga tahu, siapa
pemilikinya," lapor Pandan Wangi.
"Siapa?" desak Rangga tidak sabar.
"Dewi Mata Hijau," sahut Pandan Wangi mem-beritahu.
"Dewi Mata Hijau...," Rangga menggumam perlahan.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut.
Rasanya baru kali ini dia mendengar nama itu. Dan yang pasti, nama itu bukan
nama sebenarnya. Pasti hanya nama julukan saja.
"Lalu, kenapa dia hendak mengacau ketenteram-an istana, Pandan?" tanya Rangga
lagi. "Itulah yang belum kuketahui, Kakang," desah Pandan Wangi bemada mengeluh.
"Tidak ada yang bicara tentang persoalan ini padamu, Pandan?" desak Rangga lagi.
Pandan Wangi menggelengkan kepala. Matanya tak berkedip memandangi wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di depannya ini. Bisa iirasakan adanya
kekecewaan di dalam sinar mata pemuda tampan ini. Karena, rahasia sebenarnya
yang disimpan semua orang di Istana Karang Setra ini
justru maksud kemunculan orang yang mencelakai Cempaka. Sedangkan sampai saat
ini, belum ada seorang pun yang bisa diajak bicara. Mereka semua masih tetap
menyimpan rahasia itu rapat-rapat.
Rangga menuntun kudanya ke dalam istal, diikuti Pandan Wangi dari belakang.
Setelah menyerah-kan kuda itu pada seorang pengurus kuda istana, mereka keluar
lagi dari dalam istal Sepasang pendekar muda itu melewati jendela kamar Cempaka
yang terbuka lebar, dan sempat melihat Cempaka masih terbaring di pembaringan.
Gadis itu sudah siuman dari pingsannya, tapi masih belum bisa meninggalkan
pembaringannya.
Rangga terus mengayunkan kakinya menuju ke bagian belakang istana. Pandan Wangi
terus mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Mereka terus melangkah menuju ke taman belakang istana, tanpa bicara
lagi. Dua orang prajurit yang menjaga pintu Taman Kaputren segera membungkuk memberi
hormat. Sementara Rangga terus masuk ke dalam taman ini, diikuti Pandan Wangi. Mereka
kemudian duduk di bangku taman belakang istana.
"Kau tahu, siapa Dewi Mata Hijau itu, Pandan?"
tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Katanya, dia datang dari Utara," sahut Pandan Wangi.
"Lalu, apa maksudnya datang ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu, Kakang."
Rangga kembali diam. Keningnya terlihat berkerut, pertanda tengah berpikir
keras. Sulit untuk bisa diduga, apa yang akan terjadi di Kerajaan Karang Setra
ini. Rangga jadi teringat kata-kata Panglima
Rakatala. Kabut hitam memang tengah menyelimuti Kerajaai Karang Setra ini. Tapi,
Rangga belum bisa melihat kabut hitam itu. Bahkan untuk melihat bayangan pun
masih terlalu sulit. Beberapa peristiwa setelah Pendekar Rajawali Sakti tiba di
Karang Setra ini, belum bisa diambil kaitannya.
Tapi yang jelas, ada satu kelompok yang meng-inginkannya. Entah untuk apa mereka
ingin bertemu Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculan orang aneh yang berjuluk Dewi
Mata Hijau, dan kemunculan Setan Hijau Pisau Terbang, belum bisa dirangkaikan
satu sama lain. Rangga masih terus mencari dan berpikir keras menyingkap teka-
teki ini. "Aku minta, kau terus mencari keterangan lebih banyak lagi, Pandan. Aku merasa
ada suatu rencana tertentu di balik semua peristiwa ini," kata Rangga, agak
menggumam suaranya.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Saat itu, terlihat Danupaksi datang
menghampiri bersama dua orang punggawa. Rangga dan Pandan Wangi
langsung berdiri, begitu Danupaksi dekat. Pemuda itu segera membungkukkan
tubuhnya memberi hormat Sementara, kedua punggawa itu merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung.
"Ada apa, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Ada orang hendak bertemu, Kakang Prabu," sahut Danupaksi dengan sikap hormat.
"Siapa?" tanya Rangga lagi.
"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Kakang Prabu. Katanya, ini persoalan penting
dan menyangkut keselamatan nyawa Kakang Prabu
sendiri," sahut Danupaksi.
"Hm...," Rangga menggumam terkejut.
Sekilas Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan
Wangi yang juga menatapnya, setelah mendengar penuturan Danupaksi.
"Di mana dia menunggu?" tanya Rangga setelah terdiam beberapa saat.
"Di alun-alun depan," jelas Danupaksi.
"Baiklah. Antarkan aku ke sana," pinta Rangga.
"Hamba, Kakang Prabu."
*** 4 Kelopak mata Rangga jadi agak menyipit, begitu melihat seorang gadis cantik
sedang menunggunya di tengah alun-alun depan istana yang luas ini. Seorang gadis
yang begitu cantik, mengenakan baju ketat wama merah muda. Sehingga, membentuk
tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang tertihat tersampir di
punggungnya. Tampak kakinya melangkah begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti
muncul didampingi Pandan Wangi, Danupaksi, dan dua orang punggawa. Di belakang
mereka juga terlihat Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Paman Wirapati, dan empat
orang panglima, serta patih. Gadis itu berhenti melangkah setelah jaraknya
tinggal sekitar enam langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada perlu denganku, Nisanak...?" tanya Rangga ramah.
"Kalau kau memang Pendekar Rajawali Sakti, aku ada perlu denganmu," tegas sekali
jawaban gadis cantik itu.
"Hm. Siapa namamu, Nisanak?"
"Nini Ratih."
"Lalu, apa keperiuanmu?"
"Aku hanya mengemban tugas untuk menjemputmu."
"Menjemputku" Untuk apa...?" tanya Rangga, terkejut
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Setan Pisau Terbang yang juga menunggunya,
untuk membawanya menghadap pada pemimpinnya. Rangga jadi
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Kenapa begitu banyak orang yang ingin bertemu
dengannya" Inikah rahasia yang selama ini disembunyikan para pembesar istana
padanya" Rangga jadi tidak mengerti. Dia tidak tahu, siapa orang-orang yang
ingin bertemu dengannya kali ini. Juga, apa maksud mereka hendak bertemu dengan
cara sangat mem-bingungkan ini.
"Kau akan tahu nanti setelah sampai di sana, Pendekar Rajawali Sakti. Dan
kuharap, kau tidak menimbulkan kesulitan yang akan membuat semua orang
sengsara," kata Nini Ratih bernada mengancam.
"Kurang ajar...!" desis Ki Lintuk jadi geram, melihat tingkah gadis itu.
"Nisanak! Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?" bentak Paman Wirapati.
Hampir saja Paman Wirapati yang berangasan itu melompat menerjang. Untung saja,
Rangga segera mencegahnya. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu
hanya mendengus saja, memandang penuh kebencian pada gadis cantik yang berdiri
angkuh di halaman alun-alun Istana Karang Setra itu.
Para panglima dan patih yang ada di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah
bersiap hendak mencabut senjatanya. Diam-diam, mereka sudah menggeser dan saling
merenggang menjauh.
Sementara, beberapa orang prajurit juga sudah siaga, tinggal menunggu perintah
saja. Kesigapan para panglima dan prajurit Karang Setra itu membuat gadis cantik
yang mengaku bemama Nini Ratih jadi tersenyum. Sementara, Rangga melangkah ke
depan beberapa tindak. Sehingga jarak di antara mereka jadi semakin bertambah
dekat. "Nisanak! Kuharap, kau bisa menyadari kalau sedang berada di mana saat ini. Aku
tidak ingin terjadi sesuatu tanpa ada sebab yang pasti," kata Rangga.
"Aku tahu kau memang berkuasa di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
kedatanganku hanya mengemban tugas. Aku harus membawamu sekarang juga dengan
cara apa pun. Kuharap kau juga bisa memakluminya, Pendekar Rajawali Sakti. Dan
aku juga tidak ingin mereka semua jadi susah," terdengar sinis nada suara Nini
Ratih. "Sombong...!" dengus Pandan Wangi mendesis.
Sikap Nini Ratih yang angkuh dan tidak me-
mandang sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra
ini, membuat pembesar yang ada jadi berang. Bahkan para prajurit yang semakin
banyak jumlahnya juga sudah tidak sabar lagi menunggu perintah. Tapi, memang tak
ada seorang pun yang memberi perintah untuk meng-enyahkan gadis itu. Karena,
Rangga sendiri ke-lihatannya masih belum terpancing, walaupun sikap Nini Ratih
jelas-jelas tidak memandang sebelah mata pun padanya. Bahkan senyuman yang
begitu manis terukir di bibirnya.
"Kalau boleh kutahu, siapa nama pemimpinmu itu, Nisanak?" tanya Rangga, masih
tetap bersikap ramah.
"Sudah kukatakan, kau tidak perluh tahu! Kau akan tahu sendiri kalau sudah
bertemu dengannya, Pendekar Rajawali Sakti!" ketus sekali jawaban Nini Ratih.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
Keningnya terlihat berkerut. Sedangkan kelopak matanya agak menyipit, memandangi
gadis cantik di
depannya. Sikap yang meremehkan dan dengan kata-kata begitu ketus, membuat
kesabaran Pendekar Rajawali Sakti jadi teruji. Tapi, Rangga juga tidak ingin
diremehkan begitu terus-menerus. Terlebih lagi, saat ini hampir semua pembesar
kerajaan dan para prajurit Karang Setra sudah berkumpul memenuhi alun-alun depan
Istana Karang Setra. Rangga juga menyadari kalau mereka semua tentu tidak sudi
rajanya dipandang rertdah seperti itu.
"Baiklah, Nisanak. Katakan pada pemimpinmu itu.
Bila ingin bertemu denganku, biar dia datang sendiri ke sini," tegas Rangga.
"Sudah kuduga., kau pasti akan menolak, Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...!" dengus
Nini Ratih sinis.
"Maaf! Masih banyak yang harus kuselesaikan.
Kalau pemimpinmu ingin bertemu, sebaiknya buat dulu perjanjian dengan Ki


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lintuk," kata Rangga seraya memutar tubuhnya berbalik.
"Tunggu...!" sentak Nini Ratih cepat Rangga mengurungkan ayunan kakinya. Dan
belum juga tubuhnya bergerak memutar kembali, tiba-ti-ba saja terasa adanya
desir angin dari arah .belakang. "Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas. Saat itu, terlihat sebuah
benda berwama keperakan meluncur deras di bawah telapak kakinya.
Benda bercahaya keperakan itu langsung menghantam dada seorang prajurit yang
berada tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
Crab! "Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking dan menyayat seketika terdengar, bersamaan dengan
ambruknya prajurit yang malang itu ke tanah. Hanya sebentar saja
prajurit itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, manis sekali Rangga kembali men-ejakkan kakinya, sekitar lima
langkah lagi di depan Nini Ratih. Sorot matanya terlihat begitu tajam. Dan
wajahnya jadi memerah menahan geram.
"Kau harus ikut denganku, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Ratih dingin.
"Hih...!"
Cepat sekali gadis itu menghentakkan tangan kanannya ke depan, memberi satu
pukulan yang begitu cepat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga mengegoskan tubuhnya. Sehingga,
pukulan gadis cantik itu hanya menemui tempat kosong. "Yeaaah...!"
Dengan tubuh sedikit miring ke kiri, Rangga cepat mengebutkan tangan kanannya.
Langsung mem-berikannya satu sodokan yang begitu cepat, disertai pengerahan
tenaga dalam tidak penuh. Sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu tetap
mengarah ke lambung kiri gadis cantik ini.
"Ikh...!"
Namun, cepat sekali Nini Ratih menarik mundur kakinya. Hingga, sodokan tangan
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengenai angin kosong saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
*** Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-nba saja dari arah belakang melesat
bayangan biru muda.
Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, tahu-tahu Pandan Wangi sudah
terlihat menyerang Nini Ratih begitu gencar. Akibatnya, gadis cantik itu harus
berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang begitu cepat dan beruntun dari
si Kipas Maut. "Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
"Dengan jurus-jurus pendek yang begitu cepat, Pandan Wangi terus merangsek gadis
cantik yang mengenakan baju warna merah muda agak ketat ini.
Namun tampaknya, Pandan Wangi tidak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan
untuk balas menyerang. Dia terus berusaha mendesak dengan jurus-jurusnya yang
cepat dan dahsyat. Sementara, Rangga tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Pendekar
Rajawali Sakti hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dari jarak yang tidak
begitu jauh. "Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja, Nini Ratih melenting tinggi-tinggi ke atas. Beberapa kali dia
berputaran di udara, lalu cepat sekali meluruk turun menjauhi Pandan Wangi.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis cantik berbaju merah muda itu
menjejakkan kakinya di tanah.
Sret! Pedang yang tersampir di punggung, langsung tercabut keluar. Nini Ratih cepat-
cepat menyilangkan pedangnya di depan dada, begitu melihat Pandan Wangi
mengeluarkan senjata mautnya berupa sebuah kipas baja putih berkilat keperakan.
Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membuat beberapa gerakan yang
begitu indah. Kipasnya berkelebatan begitu cepat dan manis, sehingga sedap
dipandang mata. Tapi, keindahan gerakannya itu justru mengandung maut yang
menggetarkan. "Kipas Maut...," desis Nini Ratih langsung mengenali.
"Hup! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat menerjang Kipasnya dikibaskan beberapa
kali, mengarah ke oagian-bagian tubuh Nini Ratih yang mematikan.
Begitu cepat serangan yang dilancarkannya, sehingga membuat Nini Ratih jadi
terkesiap sejenak.
Namun dengan cepat pula wanita berbaju merah muda itu berkelit menghindari
serangan-serangan cepat si Kipas Maut ini.
"Uts! Yeaaah...!"
Bet! Begitu ada kesempatan, Nini Ratih cepat mengebutkan pedangnya ke arah dada.
Tapi, Pandan Wangi sudah menempatkan kipasnya di depan dada. Hingga, benturan
dua senjata tak dapat dihindari lagi.
Tring! "Ikh..."!"
Nini Ratih jadi terpekik kaget setengah mati, begitu pedangnya beradu dengan
kipas Pandan Wangi.
Maka cepat-cepat wanita berbaju merah muda itu melompat mundur beberapa langkah.
Saat itu juga tangan kanannya terasa bergetar. Hampir saja pedangnya terlepas
dari genggaman, kalau tidak cepat-cepat dipindahkan ke tangan kiri. Nini Ratih
langsung menyadari kalau tingkat ilmu tenaga dalam yang dimilikinya masih di
bawah si Kipas Maut itu.
"Hiyaaa...!"
Belum juga Nini. Ratih bisa berbuat lebih banyak lagi, cepat sekali Pandan Wangi
sudah melakukan serangan kilat
Wuk! "Uts...!"
Nini Ratih cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu Kipas Maut milik
Pandan Wangi mengibas mengancam tenggorokannya. Ujung kipas
yang runcing itu lewat sedikit di depan tenggorokan gadis cantik berbaju merah
muda ini. Dan belum juga Nini Ratih bisa menegakkan tubuhnya kembali, bagaikan
kilat Pandan Wangi sudah menghentakkan kakinya. Langsung diberikannya tendangan
dahsyat "Hiyaaa...!" .
"Oh..."!"
Desss! "Akh...!"
Tidak ada kesempatan lagi bagi Nini Ratih untuk berkelit menghindar. Tendangan
keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu tepat mendarat
di dadanya. Maka tak pelak lagi, gadis berbaju merah muda itu terpental beberapa
batang tombak jauhnya ke belakang. Lalu, keras sekali tubuhnya menghantam tanah,
dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Pandan Wangi sudah melompat cepat
mengejarnya. Secepat itu pula kipas mautnya dikebutkan ke arah leher gadis itu.
"Hiyaaat..!"
Wuk! Trak! "Heh..."! Hup!"
Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, begitu ujung kipas mautnya yang hampir saja
merobek leher Nini Ratih tiba-tiba saja terasa membentur sesuatu yang begitu
keras dan kuat Akibatnya, kipas itu hampir saja terpental lepas dari tangannya.
Maka cepat-cepat tubuhnya melenting, berputar dua kali ke belakang. Pada saat
itu terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat melewati tubuhnya.
Dan tahu-tahu, di samping tubuh Nini Ratih yang tergeletak di tanah, sudah
berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Satu kaki pemuda tampan berjubah putih itu
menginjak pedang gadis cantik berbaju merah muda ini.
"Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan," kata Rangga.
"Huh...!" Pandan Wangi hanya mendengus saja.
Pandan Wangi menyimpan kembali Kipas Mautnya ke balik ikat pinggang. Sementara,
Rangga mengambil pedang Nini Ratih yang diinjaknya. Kemudian dibangunkannya
gadis itu hingga berdiri. Tampak darah kental mengalir keluar dari sudut
bibirnya yang merah. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju lurus ke arah
Pandan Wangi. Dari sorot matanya yang tajam, jelas kalau kekalahan ini tidak
bisa diterima-nya.
"Panglima Rakatala... Masukkan dia ke penjara,"
perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala.
Bergegas laki-laki hampir separuh baya yang masih keiihatan gagah itu
menghampiri. Lalu dicengkeram-nya lengan Nini Ratih yang sudah tak berdaya itu
dekat ketiaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Panglima Rakatala membawa gadis itu
ke dalam penjara.
Sementara, Nini Ratih sempat melirik tajam pada Pandan Wangi.
"Kenapa tidak kau biarkan saja aku membunuhnya, Kakang?" desis Pandan Wangi
kurang puas. "Ini bukan rimba persilatan, Pandan. Ini kerajaan yang memiliki hukum dan
peraruran-peraturan. Kau tidak bisa bertindak seenaknya di sini," kata Rangga
mengingatkan. "Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus saja.
Rangga hanya tersenyum dan mengajak gadis itu kembali masuk ke dalam istana. Sementara, para panglima dan patih langsung mengatur
penjagaan lebih dekat lagi di sekitar bangunan istana ini. Kemudian Rangga meminta Ki
Lintuk, Paman Wirapati, Danupaksi, serta beberapa pembesar istana untuk berkum-
pul di Balai Sema Agung. Tak ada seorang pun yang membantah, dan semuanya
langsung menuju ke Balai Sema Agung. Sementara, Rangga sendiri membawa Pandan
Wangi ke ruangan lain.
"Kau meminta mereka ke Balai Sema Agung, tapi mengapa malah membawaku ke sini,
Kakang...?"
rungut Pandan Wangi.
"Ada yang ingin kubicarakan secara pribadi denganmu, Pandan," sahut Rangga
kalem. "Tentang apa?" tanya Pandan Wangi sambil memandangi wajah tampan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau," sahut Rangga tegas.
"Aku..."!" Pandan Wangi jadi tidak mengertt.
"Ya, kau!"
"Aku tidak mengerti,maksudmu, Kakang. Ada apa denganku...?" Pandan Wangi jadi
kebingungan, tidak mengerti maksud perkataan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tadi hampir saja kau membunuh Nini Ratih di depan para patih, panglima, dan
prajurit. Tindakanmu tadi bisa menjatuhkan citra baikmu selama ini di Karang
Setra," tegur Rangga.
"Maafkan aku, Kakang. Aku paling benci jika kau direndahkan orang di depan
umum," ucap Pandan Wangi.
"Ah..., sudahlah. Apa kau ingin ikut ke Balai Sema Agung?" Rangga mengalihkan
pembicaraan. "Aku akan melihat Cempaka," tolak Pandan Wangi.
Rangga segera melangkah menuju Balai Sema
Agung. Sementara, Pandan Wangi terus saja berjalan menyusuri lorong yang menuju
kamar Cempaka. *** Kabut hitam semakin tebal menyelimuti angkasa Karang Setra. Sudah dua hari ini
Rangga selalu keluar dari istananya melalui pintu rahasia yang hanya beberapa
orang kepercayaannya saja yang mengetahuinya. Sementara, Nini Ratih yang berada
di dalam kamar tahanan tidak mau berbicara sedikit pun juga.
Padahal, sudah beberapa kali Rangga mencoba membujuk. Tapi gadis cantik itu
tetap saja bungkam.
Bahkan Danupaksi, Ki Lintuk, Paman Wirapati, dan Panglima Rakatala juga sudah
berusaha membuka mulut gadis itu. Tapi, Nini Ratih tetap membisu.
Dan ini adalah hari ketiga setelah Nini Ratih meringkuk dalam kamar tahanan yang
terpisah di lorong bawah tanah. Sementara, di saat matahari baru saja
menampakkan diri di ufuk Timur, Rangga sudah mempersiapkan Kuda Dewa Bayu. Namun
baru saja Pendekar Rajawali Sakti keluar dari istal yang ada di bagian belakang
bangunan istana ini, terlihat Danupaksi bersama Ki Lintuk melangkah cepat
menghampiri. Rangga berhenti melangkah di depan kudanya, menunggu sampai mereka
dekat. "Kakang, bisa aku bicara sebentar padamu...?"
pinta Danupaksi mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya hari ini Kakang tidak perlu keluar dari
istana," kata Danupaksi, benar-benar ingin mencegah Pendekar Rajawali Sakti
pergi. "Kenapa?" tanya Rangga lagi, sambil menatap dalam-dalam bola mata adik tirinya
ini. Sedangkan Danupaksi tidak langsung menjawab.
Matanya malah melirik Ki Lintuk yang berada di samping kanannya. Sementara,
Rangga memandangi Danupaksi dan Ki Lintuk bergantian. Kening Pendekar Rajawali
Sakti jadi berkerut, melihat mereka seperti berat untuk mengatakan sesuatu.
"Ada apa, Danupaksi..." Ki Lintuk...?" desak Rangga tidak sabaran.
"Maaf, Kakang. Sebenarnya inilah yang kami rahasiakan padamu...," kata
Danupaksi, agak terputus suaranya.
"Rahasia apa?" tanya Rangga lagi.
"Beberapa hari sebelum Nanda Prabu datang, kami telah kedatangan seseorang yang
hendak mencari Nanda Prabu ke sini. Orang itu telah membunuh beberapa prajurit
dan dua orang panglima. Katanya, kedatangannya untuk menantang Nanda Prabu
bertarung di Bukit Hantu," tutur Ki Lintuk hati-hati.
"Hm..., siapa orang itu?" tanya Rangga.
"Dewi Mata Hijau," sahut Danupaksi.
"Benar, Nanda Prabu. Dia datang tidak sendiri.
Katanya, dia akan menghancurkan kerajaan ini kalau Nanda Prabu tidak datang juga
pada saat bulan purnama nanti," kata Ki Lintuk lagi.
"Bulan purnama. Hm... Itu berarti tinggal dua hari lagi," gumam Rangga perlahan,
seakan-akan bicara pada diri sendiri. "Kenapa kalian baru mengatakannya sekarang
padaku?" "Semula, kami ingin menyelesalkannya sendiri, Nanda Prabu. Panglima Rakatala dan
Wirapati sudah beberapa kali berusaha menggempur mereka di Bukit Hantu, tapi
selalu gagal sampai saat ini. Kekuatan yang mereka miliki begitu besar. Bahkan
mungkin dua kali lipat daripada kekuatan prajurit yang ada di Karang Setra ini.
Demikian pula kepandaian mereka
dalam ilmu olah kanuragan," jelas Ki Lintuk.
"Aku jadi tidak mengerti, kenapa kalian sampai merahasiakannya padaku...?" desak
Rangga. "Justru itu, Kakang. Karena kami telah mendahului dengan melakukan serangan ke
Bukit Hantu, kami jadi takut kau marah. Asal kau tahu, Kakang. Puluhan prajurit
telah tewas sewaktu kami menemukan ke-gagalan dalam menggempur Dewi Mata Hijau.
Maka oleh sebab itu, kami merasa bersalah, takut, dan malu terhadapmu. Kami
putus asa, dan ternyata hanya Kakanglah yang bisa menyelesaikan persoalan ini,"
tutur Danupaksi, takut-takut.
Tiba-tiba Rangga jadi teringat perkataan Pandan Wangi. Rasanya memang tidak
perlu memenjarakan para pembesar istana, karena mereka menyimpan suatu rahasia
yang selalu ditutup-tutupi. Buktinya, begitu mereka tidak bisa menghadapi,
masalah itu segera diutarakan pada Rangga.
"Maafkan kami, Kakang," ucap Danupaksi.
"Lupakanlah. Di sisi lain, kalian benar. Tindakan kalian memang tak perlu
menunggu kehadiranku, karena segala urusan pemerintahan telah kuserah-kan pada
kalian, selama aku mengembara. Tapi, dengan merahasiakan apa yang telah kalian
perbuat, sama saja tidak menghargai kehadiranku sebagai raja di sini."
"Sekali lagi, kami mohon maaf, Nanda Prabu,"
tambah Ki Lintuk.
Rangga kemudian menepuk-nepuk pundak Ki
Lintuk. "Lalu apa keinginan Dewi Mata Hijau sebenarnya?"
tanya Rangga. "Sebenarnya Dewi Mata Hijau ingin merebut Karang Setra, tanpa harus berperang,
Nanda Prabu,"
tambah Ki Lintuk lagi. "Dia ingin mengalahkan Nanda Prabu, kemudian menduduki
takhta. Lalu kami semua akan dijadikan budaknya."
Rangga jadi terdiam.
"Maafkan kami, Kakang. Serangan itu kami lakukan demi kejayaan Karang Setra.
Kami semua tidak ingin melihat kehancuran Karang Setra. Dan...."
"Aku bisa mengerti, Danupaksi," cepat Rangga memutuskan kata-kata adik tirinya
ini. "Tapi aku juga tidak ingin kau menerima tantangannya, Kakang," kata Danupaksi
lagi.

Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" tanya Rangga.
"Dewi Mata Hijau sangat sakti, Kakang. Rasanya sukar dicari tandingannya. Dan
yang pasti, dia tidak akan bertarung dengan jujur. Segala macam cara licik akan
digunakan untuk mengalahkanmu," kata Danupaksi, tidak bisa lagi menahan
kekhawatirannya.
Rangga jadi tersenyum saja mendengar kata-kata Danupaksi yang bernada cemas itu.
Dihampiri, dan ditepuk-tepuknya pundak adik tirinya ini. Sementara, Danupaksi
dan Ki Lintuk hanya diam saja. Mereka tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan
diam begitu saja kalau ada orang lain yang menantangnya bertarung. Terlebih
lagi. tantangan itu menyangkut kelangsungan hidup dan kejayaan Karang Setra. Dan
sudah pasti Rangga tidak akan mengabaikan.
Sedangkan Rangga tahu, mereka semua me-
rahasiakan ini karena terpaksa. Mereka takut Rangga akan marah, mengingat
puluhan prajurit tewas di Bukit Hantu. Tapi untungnya, Rangga bisa memaklumi
tindakan mereka. Biar bagaimanapun, masalah kerajaan telah diserahkan pada
Danupaksi dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya, selama dia berada dalam
pengembaraan. "Kalian atur saja penjagaan di sini. Biar aku yang akan menanganinya," kata
Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kakang akan menerima tantangannya?" tanya Danupaksi, yang tidak bisa lagi
menyembunyikan kecemasannya.
Rangga hanya tersenyum saja. Dengan lembut, ditepuk-tepuknya pundak adik tirinya
ini. Kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti
melompat naik ke punggung kudanya.
Sementara, Danupaksi dan Ki Lintuk hanya bisa memandangi saja, tanpa dapat lagi
mencegah. "Danupaksi! Kuminta kau tidak mengatakan hal ini pada Pandan Wangi," pesan
Rangga sebelum pergi.
Danupaksi hanya mengangguk saja. Saat itu, Rangga sudah memutar kudanya, dan
cepat meng-gebahnya. Seketika, kuda hitam Dewa Bayu berlari cepat menerobos
pintu rahasia yang sudah terbuka sejak tadi. Dua orang punggawa yang menjaga
pintu rahasia langsung menutup kembali, setelah Rangga melewati bersama kuda
kesayangannya. *** 5 Rangga berdiri tegak memandangi Bukit Hantu yang berdiri angkuh dan tampak
Lorong Batas Dunia 2 Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur Menjenguk Cakrawala 3
^