Pencarian

Siluman Penghisap Darah 2

Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah Bagian 2


"Tapi kita harus secepatnya menghentikan
mereka, Kakang. Aku tidak ingin kepercayaan Ki
Legik kepada kita menjadi luntur, karena sampai
saat ini iblis-iblis itu masih juga berkeliaran mencari korban," kata Pandan
Wangi, yang tampak tidak sabar lagi. Rangga diam saja.
"Sebaiknya malam ini kita meronda keliling
desa, Kakang. Siapa tahu kita bisa bertemu den-
gan salah satu iblis itu," kata Pandan Wangi lagi.
"Kita berpencar...?" tanya Rangga.
"Sebaiknya begitu, Kakang."
"Baiklah, Pandan. Kau ke sebelah Utara
dan aku ke Selatan," kata Rangga.
Pandan Wangi tersenyum. Gadis itu berge-
gas meninggalkan Rangga, yang masih berdiri di
tengah jalan memandanginya.
Pendekar Rajawali Sakti melihat, ada sesu-
atu yang aneh pada diri Pandan Wangi, sesuatu
yang tidak bisa diduga dan tidak dimengertinya
sekarang ini. Tapi dia yakin, ada sesuatu yang dis-embunyikan Pandan Wangi
darinya, sesuatu yang
tidak ingin diketahui orang lain, yang menjadi ra-hasia bagi Pandan Wangi
sendiri. Sementara itu si Kipas Maut sudah berja-
lan jauh meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
Dia terus melangkah menyusuri jalan tanah yang
berdebu ini. Sedangkan malam terus merayap se-
makin bertambah larut. Suasana di Desa Gedan-
gan seperti hari-hari yang lainnya, masih sunyi
sekali. Bahkan sekarang tidak banyak lagi orang
yang mau meronda di malam hari. Hanya murid-
murid dari para pemuka Desa Gedangan yang ma-
sih melakukan tugasnya, meskipun dengan kea-
daan terpaksa karena juga dicekam oleh perasaan
takut dan khawatir jika harus berhadapan lang-
sung dengan iblis-iblis penghisap darah itu.
Brusss! "Heh..."!"
Tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh
sesosok tubuh yang melesat cepat dari dalam se-
buah rumah yang telah dijebol atapnya. Orang itu
tepat mendarat sekitar beberapa langkah di depan
si Kipas Maut. Tampak jelas, dia juga terkejut melihat Pandan Wangi. Sedangkan
gadis itu terbeliak matanya, seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang ada di depannya kini.
"Darkan...," desah Pandan Wangi.
Sosok tubuh yang ternyata Darkan itu
tampak memanggul seorang wanita yang tidak sa-
darkan diri di pundak kanannya. Rupanya pemu-
da itu baru saja menculik seorang wanita dari da-
lam rumah tadi, yang tentu saja akan dipersem-
bahkan untuk Siluman Penghisap Darah.
"Tidak kusangka, ternyata kau bersekutu
dengan perempuan iblis itu, Darkan...."
"Dia istriku!" sentak Darkan.
"O..., kau rupanya masih menganggap dia
sebagai istrimu?" ujar Pandan Wangi, sinis. "Huh!
Dasar laki-laki buaya! Iblis...! Sementara istrimu menjadi Siluman Penghisap
Darah, kau menge-mis-ngemis cinta padaku. Sekarang..., kau malah
membantunya dengan berbuat seperti dia. Kau
benar-benar manusia iblis, Darkan..!"
"Aku lakukan semua ini karena cintaku
padamu, Pandan. Aku harus melakukan semua ini
agar dia mau melawan kekasihmu. Hanya Rangga-
lah penghalang ku satu-satunya," kata Darkan.
"Keparat..! Iblis kau, Darkan!" geram Pandan Wangi, berang. "Orang sepertimu
tidak pantas lagi hidup di dunia ini. Kau harus mampus, Iblis!
Hiyaaat..!"
Pandan Wangi tidak dapat lagi menahan
kemarahannya. Sambil berteriak keras, gadis itu
melesat cepat bagai kilat menerjang pemuda tam-
pan yang masih memanggul seorang wanita itu.
Tapi mendadak....
"Hih...!"
Darkan cepat melontarkan wanita yang di-
panggilnya ke arah Pandan Wangi. Pandan Wangi
pun terkejut setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya
dilentingkan ke belakang beberapa kali. Langsung
wanita yang tidak sadarkan diri itu ditangkapnya.
Dan dengan manis sekali gadis yang berjuluk si
Kipas Maut ini menjejakkan kembali kakinya di
tanah. Lalu, wanita yang berada di dalam gendon-
gannya itu ditaruhnya di tanah. Dan....
"Hiyaaat..!"
"Hup!"
Pandan Wangi cepat-cepat melentingkan
tubuhnya ke udara begitu Darkan melompat un-
tuk menyerangnya dengan kecepatan bagai kilat.
Sret! Bet! "Haiiit..!"
Cepat-cepat Pandan Wangi menarik ka-
kinya ke atas ketika Darkan tiba-tiba mencabut
golok dan membabatkannya langsung ke arah kaki
gadis itu. Golok yang berkilat tajam itu pun berkelebat cepat di bawah telapak
kaki Pandan Wangi.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu pula Pandan Wangi menghen-
takkan kakinya dengan cepat. Dan dilepaskannya
satu tendangan keras menggeledek ke arah kepala
pemuda tampan berbaju biru tua ini. Namun,
dengan sedikit saja mengegoskan kepala, Darkan
berhasil mengelak, sehingga tendangan Pandan
Wangi hanya mengenai angin saja.
Tap! Tap! Secara bersamaan mereka mendarat kem-
bali ke tanah. Saat itu juga, Darkan mengebutkan
golok ke arah perut lawannya. Dan, Pandan Wangi
cepat-cepat menarik perutnya ke belakang, se-
hingga tubuhnya menjadi agak membungkuk."
Ujung golok yang berkilat tajam itu pun berkelebat cepat di bawah perut si Kipas
Maut ini. Lalu, cepat-cepat Pandan Wangi menarik tubuhnya hingga
doyong ke belakang, karena Darkan telah kembali
menyerang dengan melepaskan satu pukulan ke-
ras dari bawah ke arah wajah gadis cantik itu.
"Hih! Yeaaah...!"
Sret! Wuk! *** Pandan Wangi segera mencabut senjata
andalannya, sebuah kipas baja putih berwarna
keperakan. Secepat kilat, dibukanya kipas itu
sambil mengebutkan ke depan. Begitu cepat gera-
kan yang dilakukannya, sehingga Darkan tampak
terkejut setengah mati.
"Uts...!"
Cepat-cepat Darkan menarik tubuhnya ke
belakang. Dihindarinya kebutan kipas keperakan
yang berujung runcing seperti anak panah itu. Ta-
pi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali,
mendadak Pandan Wangi sudah melompat cepat
sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat..!"
Bet!" "Heh..."!"
Cras! "Aaakh...!"
Darkan terhuyung-huyung ke belakang be-
gitu ujung-ujung kipas baja putih itu menyambar
dada sebelah kirinya. Darah pun langsung me-
nyemburat dari luka di dada kiri yang cukup pan-
jang itu. Beberapa kali Darkan memandangi luka
di dadanya dan Pandan Wangi bergantian, seakan-
akan tidak percaya bahwa gadis itu mampu melu-
kainya. Memang sungguh cepat serangan batasan
yang dilancarkan Pandan Wangi tadi. Sehingga
Darkan sama sekali tidak sempat melakukan tin-
dakan untuk menghindar. Dan akibatnya, dia
mendapat luka di dada kiri.
'Tunggu pembalasanku, Pandan'." desis
Darkan menggeram. "Hiyaaa...!"
Cepat sekali pemuda itu melesat pergi Namun
Pandan Wangi rupanya tidak ingin melepaskannya
begitu saja. Secepat Darkan melesat, secepat itu
pula Pandan Wangi melompat mengejar dengan
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu merin-
gankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. "Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi melentingkan tubuhnya be-
rulang kali ke udara. Lalu, setelah melakukan be-
berapa kali putaran di atas kepala pemuda itu,
gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini menjejakkan kakinya dengan manis sekali di
tanah. "Mau lari ke mana kau, Iblis..."!" desis Pandan Wangi, dingin.
"Setan...! Phuih!"
Darkan geram setengah mati, karena Pan-
dan Wangi berhasil mengejarnya. Bahkan gadis
cantik itu kini sudah berdiri menghadang di de-
pan. Memang tidak sulit bagi Pandan Wangi untuk
mengejar pemuda ini, karena ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya jauh lebih tinggi. Bahkan, tingkat kepandaian si Kipas
Maut juga beberapa
tingkat di atas pemuda ini. Hal itu pun disadari
sepenuhnya oleh Darkan, sehingga dia langsung
menyilangkan goloknya di depan dada.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Darkan langsung
melompat menyerang. Goloknya berkelebatan ce-
pat beberapa kali, mengurung tubuh si Kipas
Maut. Namun dengan gerakan tubuh yang meliuk-
liuk indah, Pandan Wangi berhasil mementahkan
semua serangan yang dilancarkan pemuda itu.
"Hait..!"
Bet! Cepat sekali Pandan Wangi mengebutkan
kipas mautnya di depan dada ketika golok Darkan
mengibas ke arahnya.
Trang! "Akh...!"
Darkan terpekik tertahan saat goloknya
menghantam kipas berwarna keperakan yang ter-
kembang lebar itu. Cepat-cepat dia melompat ke
belakang beberapa langkah. Dan kedua kelopak
matanya terbeliak lebar begitu melihat mata go-
loknya telah gompal akibat benturan keras dengan
kipas yang terkembang lebar di depan dada si Ki-
pas Maut itu. Pandan Wangi berdiri tegak dengan bibir
terkatup rapat. Sorot matanya begitu tajam menu-
suk langsung ke bola mata pemuda berwajah cu-
kup tampan di depannya ini. Perlahan-lahan ka-
kinya bergerak mendekati pemuda itu. Sedangkan
kipas mautnya terus terkembang dan bergerak
perlahan-lahan di depan dadanya, seakan-akan
gadis itu merasa kepanasan di malam yang beru-
dara dingin ini.
"Kau benar-benar memuakkan di mataku,
Darkan. Kau picik! Tidak pantas kau hidup lagi,
Darkan..," desis Pandan Wangi, dingin.
Sementara itu Darkan bergerak melangkah
ke belakang perlahan-lahan. Di depan matanya,
Pandan Wangi sekarang ini seperti sosok malaikat
maut yang siap mencabut nyawa. Dan kipas
mautnya yang bergerak-gerak di depan dadanya
itu bagaikan sebuah mata pedang algojo yang su-
dah siap untuk memenggal kepala.
'Terimalah kematianmu, Darkan...," desis
Pandan Wangi lagi. "Hiyaaat..!"
Pandan Wangi melompat cepat sambil me-
lepaskan satu pukulan keras dengan tangan ki-
rinya, disertai pengerahan tenaga dalam yang su-
dah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hait!"
Darkan cepat-cepat memiringkan tubuhnya
ke kanan. Pukulan keras menggeledek si Kipas
Maut tadi lewat di samping tubuh Darkan. Na-
mun, tanpa diduga sama sekali, secepat Pandan
Wangi memutar tubuhnya, secepat itu pula lepas
satu tendangan keras ke arah dada Darkan. Begi-
tu cepat tendangan yang dilepaskan Pandan Wan-
gi, sehingga Darkan tidak bisa lagi berkelit menghindarinya. Daa...
Diegkh! "Akh...!"
Darkan terhuyung-huyung ke belakang
sambil memekik keras. Dadanya telah terkena
tendangan keras si Kipas Maut Dan belum juga
pemuda itu bisa menguasai keseimbangan tubuh-
nya, Pandan Wangi sudah melepaskan satu puku-
lan keras dengan tangan kirinya. Begitu cepat pu-
kulan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga
Darkan benar-benar tidak mampu lagi untuk
menghindarinya. Dadanya pun terhantam dengan
deras sekali. Bet! Cras! "Aaa...!"
Pandan Wangi tidak berhenti sampai di si-
tu. Kipas baja putihnya langsung dikebutkan,


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga ujung-ujung kipas yang berbentuk runcing
seperti anak panah ini kembali merobek dada pe-
muda itu. Darah pun muncrat ke luar dengan de-
rasnya. Lebar dan dalam sekali sayatan kipas di
dada Darkan. Dan ketika satu tendangan lagi
mendarat di tubuhnya, Darkan langsung ambruk
ke tanah. "Hhh...!" Pandan Wangi mendengus berat.
Perlahan-lahan kakinya melangkah meng-
hampiri Darkan, yang telah menggeletak tak ber-
daya di tanah. Golok pemuda itu sudah terpental
entah ke mana. Sedangkan darah terus bercucu-
ran dari luka yang cukup besar di dadanya.
Dengan wajah yang memucat, Darkan
mencoba bergerak menjauhi si Kipas Maut.
"Saatmu sudah tiba, Darkan...," desis Pandan Wangi, dingin menggetarkan.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat
kipas mautnya. Tatapan matanya menusuk tajam
pada bola mata pemuda yang berusaha merayap
menjauhinya itu. Namun begitu Pandan Wangi
hendak mengebutkan kipasnya ke leher pemuda
itu, mendadak....
"Tahan..!"
Pandan Wangi langsung menghentikan ge-
rakan tangan kanannya. Cepat-cepat kepalanya
berpaling menatap arah bentakan yang menge-
jutkan tadi. Pada saat itu, berkelebat sebuah
bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat.
*** "Kakang Rangga...."
"Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan."
Perlahan Pandan Wangi menurunkan tan-
gan kanannya yang menggenggam kipas maut
berwarna putih keperakan itu. Kemudian dia ber-
paling menatap tajam pada Darkan, yang masih
telentang di tanah dengan darah bercucuran deras
dari luka di dadanya. Rangga menghampiri si Ki-
pas Maut dan berdiri di samping kanan gadis itu.
Dengan lembut sekali dia memegang pergelangan
tangan Pandan Wangi dan menutup kipas maut-
nya. Pandan Wangi pun menyelipkan kembali ki-
pas itu ke balik sabuk yang melilit pinggangnya.
"Dia sudah menghinaku, Kakang. Dia ber-
sekutu dengan Siluman Penghisap Darah," desis Pandan Wangi yang masih merasa
geram. "Aku tahu. Aku dengar semua pembica-
raanmu dengannya tadi," kata Rangga, tenang.
"Kau...?"
Pandan Wangi tampak terkejut mendengar
kata-kata Rangga barusan. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Kakinya ke-
mudian melangkah menghampiri Darkan, yang
masih menggeletak lemah karena terlalu banyak
mengeluarkan darah.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mem-
berikan totokan pada sekitar luka di dada pemuda
itu. Dan, darah pun seketika berhenti mengalir.
Lalu, Rangga mengangkat pemuda itu agar berdiri.
Darkan tampak sudah tidak berdaya lagi. Dia be-
nar-benar lemah, karena terlalu banyak mengelua-
rkan darah. Pada saat itu, terlihat orang-orang berda-
tangan. Tampak yang berjalan paling depan ada-
lah Ki Legik dan tiga orang pemuka Desa Gedan-
gan. Rangga dan Pandan Wangi yang sudah men-
gurus wanita yang diambil Darkan dari rumahnya
tadi menunggu Ki Legik dan orang-orang itu da-
tang. "Apa yang terjadi, Rangga?" tanya Ki Legik begitu tiba di depan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Orang ini akan menunjukkan kepada kita
di mana tinggalnya Siluman Penghisap Darah itu,
Ki," kata Rangga.
"Siapa dia?" tanya Ki Legik lagi.
"Kau tentu masih ingat dengan cerita ku
tentang Siluman Penghisap Darah, bukan" Wanita
itu sebenarnya sudah mati. Dia dihidupkan kem-
bali oleh ibunya. Dan orang ini adalah suaminya,"
jelas Rangga dengan singkat.
Sebentar Ki Legik menatap Darkan, yang
tangannya dipegangi Rangga. Kemudian, setelah
memerintahkan para pembantunya untuk mering-
kus pemuda itu, dia menghampiri wanita yang di-
culik Darkan tadi. Wanita itu kini sudah sadar
dan berada dalam pelukan Pandan Wangi. Ki Legik
memerintahkan beberapa pembantunya untuk
mengantarkan wanita itu pulang. Lalu dia meng-
hampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Dar-
kan tampak dijaga ketat dan dipegangi oleh dua
orang pemuda di kanan dan kirinya.
"Di mana perempuan siluman itu ting-
gal..?" tanya Ki Legik dengan suara yang dingin menggetarkan.
Darkan diam saja. Dia malah menatap ta-
jam dan lurus pada bola mata Kepala Desa Ge-
dangan ini. Tampaknya dia tidak lagi peduli akan
dirinya. Dan, saat pandangannya tertuju pada
Pandan Wangi, rasa cintanya langsung luntur se-
ketika dan berubah menjadi kebencian yang amat
mendalam. Dia benar-benar benci kepada Pandan
Wangi, karena gadis itu telah menolak cintanya.
Bahkan, karena gadis itu pula, kini dia menjadi
tawanan di Desa Gedangan ini. Dia sadar, hidup-
nya tidak akan bertahan lama lagi.
"Kau akan diampuni kalau mau menun-
jukkan di mana tinggalnya perempuan siluman
itu, Darkan. Sebaiknya kau berterus terang saja.
Jangan mempersulit dirimu sendiri," bujuk Rang-
ga. "Kau tidak akan bisa membujuk ku, Rang-
ga. Kau akan mati di tangan Inten. Dia akan
membumihanguskan desa ini kalau aku tidak
kembali malam ini," desis Darkan, yang sudah tidak peduli lagi pada dirinya
sendiri. "Ha ha ha...!"
"Bawa dia...!" perintah Ki Legik, tegas.
Dua orang yang memegangi tangan Darkan
segera menyeret pemuda itu, Dan sekitar sepuluh
orang ikut mengiringinya. Sedangkan Darkan te-
rus tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi yang sudah berdiri di samp-
ing Rangga terus memandangi Darkan yang se-
dang digiring pemuda-pemuda bersenjata golok
itu. Sedangkan Rangga sendiri terus memandangi
Pandan Wangi. "Aku akan mengorek keterangan darinya,
Rangga," kata Ki Legik.
Tanpa menunggu jawaban dari Pendekar
Rajawali Sakti, Ki Legik segera melangkah pergi,
diikuti oleh yang lainnya. Sementara, Rangga dan
Pandan Wangi masih tetap berdiri pada tempat-
nya. Mereka masih belum berbicara sedikit juga,
meskipun semua orang yang tadi mendatanginya
sudah jauh pergi meninggalkan tempat mereka
berdiri. "Kau sudah kenal lama dengannya, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup
lama membisu. "Sama denganmu," sahut Pandan Wangi.
"Hm..., kenapa dia begitu cepat jatuh cinta
padamu?" tanya Rangga lagi ingin tahu.
"Katanya, aku mirip sekali dengan bekas
kekasihnya. Dia juga berkata bahwa dia terpaksa
menikahi Inten karena berhutang budi pada ayah
gadis itu. Sedangkan dia sendiri terus berharap
untuk bisa bertemu dengan kekasihnya yang telah
pergi akibat pernikahannya dengan putri kepala
desa itu. Bahkan dia menyangka kalau aku adalah
kekasihnya, dan tidak peduli meskipun sudah ku-
katakan berkali-kali bahwa aku bukan kekasih-
nya. Dia juga tidak peduli dengan dirimu, Ka-
kang," jelas Pandan Wangi.
"Hm...," gumam Rangga dengan kepala te-rangguk-angguk.
"Tapi sekarang dia pasti membenciku, Ka-
kang," lanjut Pandan Wangi.
"Ah..., sudahlah, Pandan. Kau pun tidak
perlu menanggapinya dengan sungguh-sungguh,"
kata Rangga, bisa mengerti.
Pandan Wangi hanya tersenyum. Begitu ti-
pis senyumannya, sehingga hampir tidak terlihat
sama sekali. Rangga melingkarkan tangannya di
pundak gadis itu, kemudian mengajaknya pergi
meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan perla-
han-lahan tanpa berbicara lagi. Sedangkan malam
terus merambat semakin larut. Udara pun terasa
bertambah dingin. Dan Desa Gedangan masih saja
diselimuti oleh kesunyian yang begitu mencekam.
*** 6 Di sudut sebuah kamar berukuran kecil
yang seluruh dinding dan atapnya terbuat dari ba-
tu, tampak Darkan duduk meringkuk sambil me-
meluk lutut. Luka di dadanya sudah terbalut kain.
Lelaki muda itu kemudian mengedarkan pandan-
gannya berkeliling.
Darkan mengeluh, karena tidak ada jalan
sedikit pun untuk bisa ke luar dari ruangan ini.
Hanya ada sebuah pintu besi dan sebuah jendela
kecil berjeruji besi di kurungan ini. Dari jendela kecil itu sinar matahari
menerobos masuk, sehingga membuat keadaan di dalam ruangan kecil
itu tidak begitu lembab dan kumuh. Tak ada satu
barang pun di dalam ruangan ini. Bahkan lan-
tainya penuh oleh jerami kering yang berserakan,
tanpa meja, kursi, ataupun pembaringan.
Di depan pintu besi ruangan itu, tampak
dua orang pemuda bersenjata golok sedang berja-
ga-jaga. Sebentar-sebentar mereka bergantian
mengintip ke dalam, melalui lubang kecil pada
pintu besi yang kokoh itu, untuk memastikan
apakah Darkan masih ada di dalam atau tidak.
"Seharusnya digantung saja dia...," dengus salah seorang penjaga itu, agak
kesal. "Kau benar. Dia sudah terlalu banyak
membunuh teman dan saudara kita. Tidak pantas
lagi iblis itu hidup," sahut pemuda satunya lagi.
"Huh! Kalau saja Ki Legik tidak mela-
rang...,sudah kupenggal kepalanya."
Mereka langsung terdiam begitu melihat Ki
Legik bersama Rangga, Ki Murad, Ki Rasak, dan
Cantraka datang menghampiri. Tidak terlihat Pan-
dan Wangi di antara mereka. Gadis itu memang
sengaja tidak ikut. Dia tidak ingin lagi bertemu Darkan. Pandan Wangi tahu, jika
Darkan melihat dirinya, pemuda itu tidak akan membuka mulut.
Karena rasa cinta yang ada di dalam hati Darkan
kini sudah berganti dengan kebencian yang penuh
dendam pada si Kipas Maut. Karena cintanyalah
dia berada di Desa Gedangan dan sekarang harus
meringkuk di dalam kamar tahanan yang kotor
ini. "Buka pintunya," perintah Ki Legik begitu dekat dengan kamar tahanan yang berada
di bagian belakang rumah tinggalnya ini.
Salah seorang penjaga tadi bergegas mem-
buka pintu yang terbuat dari besi itu.
Krieeet..! Cahaya matahari langsung menerobos ma-
suk begitu pintu terbuka lebar. Saat itu Darkan
bergerak bangkit. Ki Legik, yang didampingi Rang-
ga, berdiri tegak di ambang pintu. Mereka kemu-
dian melangkah masuk ke dalam ruangan beruku-
ran tidak begitu besar ini.
"Bagaimana keadaanmu, Darkan?" tanya
Ki Legik, mencoba bersikap ramah.
"Buruk," sahut Darkan, agak ketus.
"Aku menyesal harus menempatkanmu di
sini. Kau sebenarnya bisa mendapatkan tempat
yang lebih baik kalau mau bekerjasama," kata Ki Legik. "Hhh...!"
Darkan hanya mendengus sinis. Dia mena-
tap tajam penuh kebencian pada Pendekar Raja-
wali Sakti yang berdiri di samping Kepala Desa
Gedangan itu. Di belakang kedua orang itu, berdiri tiga orang pemuka Desa
Gedangan. Sedangkan di
ambang pintu, dua orang pemuda dengan senjata
golok terselip di pinggang tetap berjaga-jaga.
"Jangan sia-siakan hidupmu, Darkan.
Buang jauh-jauh semua bisikan iblis di dalam ha-
timu," bujuk Rangga.
Darkan tetap diam. Sorot matanya semakin
terlihat tajam. Raut wajahnya memancarkan kete-
gangan. Sedangkan bibirnya terkatup rapat, den-
gan geraham bergemeletuk menahan amarah.
Tiba-tiba, kedua bola mata Darkan merah
menyala, bagai sepasang bola api. Dan....
"Ghraaaugkh...!"
Darkan berteriak keras dengan suara yang
terdengar bagai raungan seekor binatang buas.
Sedangkan kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi
ke atas kepala. Tentu saja hal ini membuat semua
orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut
setengah mati. Terlebih lagi kemudian terlihat raut wajah Darkan langsung
berubah menjadi pucat
bagai mayat. Belum lagi rasa terkejut mereka le-
nyap, mendadak saja....
"Ghraaagkh...!"
Sambil meraung dahsyat, Darkan yang kini


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berubah menjadi manusia siluman itu me-
lompat cepat ke depan. Saat itu juga Rangga men-
dorong tubuh Ki Legik hingga jatuh terguling dan
terhindar dari terjangan Darkan. Sedangkan
Rangga segera melompat ke samping. Ki Murad
dan Cantraka pun sempat melompat ke samping,
sehingga terhindar pula dari terjangan Darkan.
Namun, tiga orang lainnya yang berada di bela-
kang Rangga tidak sempat lagi berbuat sesuatu.
Sehingga.... Bret' "Aaakh...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi ti-
ba-tiba terdengar menyayat dan menggetarkan
jantung. Tampak Ki Rasak jatuh menggelepar den-
gan leher terkoyak lebar. Darahnya pun muncrat
keluar dengan deras sekali.
Belum lagi ada yang melakukan sesuatu,
kembali terdengar jeritan-jeritan panjang yang saling susul. Tampak dua orang
pemuda yang menja-
ga di pintu tadi bergelimpangan dengan leher yang juga terkoyak lebar berlumuran
darah. Sedangkan
Darkan sudah melompat keluar dari dalam ruan-
gan yang mengurungnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga yang bisa lebih cepat menguasai
keadaan, segera melesat ke luar dengan memper-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai pada tingkatan sempurna. Dengan ma-
nis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melakukan
beberapa kali putaran di udara dan lewat di atas kepala Darkan. Lalu dengan
indahnya dia mendarat sekitar satu batang tombak di depan pemuda
yang tampaknya sudah dirasuki siluman itu.
"Ghrrr...!"
Wuk! "Uts...!"
Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya
ke kanan ketika Darkan dengan begitu cepat me-
lompat sambil melepaskan satu pukulan keras ke
arahnya. Dan di saat tangan Darkan menjulur,
dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan kakinya, memberi satu tendangan
keras menggeledek yang disertai pengerahan tena-
ga dalam ke arah perut Darkan. Begitu cepatnya
tendangan Rangga, sehingga Darkan tidak sempat
lagi menghindar.
Desss! "Hugkh...!"
'Yeaaah....!"
Selagi tubuh Darkan terbungkuk, Rangga
langsung melepaskan satu pukulan keras dengan
tangan kanannya ke dada pemuda itu, sambil
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang su-
dah mencapai tingkat kesempurnaan.
Plak! "Argkh...!"
Darkan meraung keras agak tertahan. Da-
danya terkena pukulan menggeledek yang sangat
keras dari Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, Rangga melentingkan
tubuhnya sedikit ke
atas. Dan dilepaskannya satu tendangan mengge-
ledek disertai pengerahan tenaga dalam sempurna
ke dada pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
Bugkh! "Aaargkh...!"
*** Terdengar raungan yang panjang dan men-
gerikan bersamaan dengan terpentalnya tubuh
Darkan ke belakang dengan keras sekali, setelah
dadanya menerima tendangan bertenaga dalam
sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan den-
gan keras pula tubuh pemuda itu langsung ter-
banting ke tanah. Namun, tanpa diduga sama se-
kali, Darkan bisa cepat bangkit dan berdiri lagi.
"Ghrrr...!"
Darkan menggerung dahsyat bagai seekor
binatang buas yang kesakitan. Sedangkan Rangga
sudah berdiri tegak untuk bersiap-siap menerima
serangan pemuda yang sudah dirasuki siluman
ini. Saat itu, di depan pintu bangunan batu yang dijadikan tempat untuk menahan
Darkan tadi, berdiri Ki Legik, Ki Murad, dan Cantraka. Dan en-
tah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu
halaman belakang rumah Kepala Desa Gedangan
ini sudah dipenuhi oleh murid-murid kepala desa
dan para pemuka desa itu.
"Ghraaaugkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, Darkan me-
lompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Jari-
jari tangannya yang merah berlumuran darah dan
meregang kaku, slap untuk mencabik-cabik selu-
ruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun begitu Darkan mendekat, cepat se-
kali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara
sambil mengembangkan kedua tangannya ke
samping. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pen-
dekar Rajawali Sakti mengibaskan kedua tangan-
nya ke tubuh pemuda itu. Begitu cepat dan dah-
syatnya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
yang dikeluarkan Rangga, sehingga Darkan tidak
mampu lagi berkelit menghindar.
Desss! Bugkh! "Argkh...!"
"Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh-
nya lebih tinggi ke udara. Dilakukannya dua kali
putaran dengan indah sekali. Dan dengan kecepa-
tan yang begitu tinggi, Pendekar Rajawali Sakti segera meluruk turun dengan
mempergunakan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua
kakinya bergerak begitu cepat seperti berputar.
Langsung diarahkan kakinya ke kepala Darkan
yang tengah terhuyung-huyung akibat terkena dua
kali tebasan tangan Rangga tadi.
Plak! "Aaargkh...!"
Seketika darah muncrat keluar dari kepala
Darkan yang retak terkena kaki Rangga yang me-
luruk dengan deras tadi. Saat itu juga Rangga me-
lakukan dua kali putaran di udara. Dan dengan
manis sekali, kakinya dijejakkan di depan pemuda
yang sedang kerasukan siluman itu. Kemudian di-
lepaskannya satu tendangan keras menggeledek
yang langsung mendarat di dada Darkan.
Begkh! "Aaakh...!"
"Oh..."!"
Rangga tersentak kaget begitu mendengar
jeritan Darkan yang tampak lain bunyinya itu. Ta-
pi, terlambat bagi Rangga untuk menyadarinya.
Darkan sudah terpental cukup jauh ke belakang.
Dan dengan keras sekali tubuh pemuda itu jatuh
menghantam tanah. Setelah beberapa saat meng-
geliat dan menggeletar di tanah, tubuh Darkan
mengejang lalu diam tak bergerak lagi. Mulutnya
tampak mengeluarkan darah, sedangkan kepa-
lanya yang retak pun masih mengucurkan darah
segar. Rangga bergegas menghampiri dan lang-
sung berlutut di samping pemuda dari Desa
Mungkit ini. "Darkan...," desis Rangga perlahan.
Namun Darkan sudah tidak bergerak lagi
untuk selamanya. Pemuda itu tewas seketika, ka-
rena mendapat beberapa gempuran dahsyat dari
Pendekar Rajawali Sakti tadi. Saat itu Ki Legik dan dua orang pemuka Desa
Gedangan sudah datang
menghampiri. Mereka berdiri di belakang Pendekar
Rajawali Sakti, yang masih berlutut di samping
tubuh Darkan. "Kasihan kau, Darkan. Kau hanya salah
satu korban...," desah Rangga perlahan, sambil bangkit berdiri.
"Apakah dia tidak tertolong lagi?" tanya Ki Legik seraya menatap Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengge-
leng. Sedangkan Ki Legik menarik napas dalam-
dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Sesaat
mereka semua terdiam. Sementara ini Ki Murad
sudah memerintahkan murid-muridnya untuk
membereskan semua mayat yang bergelimpangan.
"Kenapa dia bisa berubah mengerikan se-
perti itu, Rangga" Apakah dia juga siluman...?"
tanya Ki Legik.
"Bukan," sahut Rangga, agak mendesah.
"Bukan..."!"
"Dia manusia biasa. Tapi, dia sudah ter-
pengaruh segala jiwa dan kehidupannya oleh Si-
luman Penghisap Darah. Atau, mungkin juga ju-
stru perempuan siluman itu yang merasuk ke da-
lam tubuhnya," ujar Rangga, mencoba menje-
laskan. Baru saja Ki Legik membuka mulutnya
hendak bertanya lagi, tiba-tiba....
"Hik hik hik...!"
"Oh..."!"
Ki Legik terperanjat setengah mati ketika
tiba-tiba terdengar tawa keras menggema yang
mengikik kering dan serak seperti burung gagak.
Sedangkan Rangga langsung melompat ke bela-
kang beberapa langkah. Pandangan pemuda itu
langsung beredar berkeliling. Tapi, tak ada tanda-tanda bahwa Siluman Penghisap
Darah ada di se-
kitar rumah Kepala Desa Gedangan ini. Suara ta-
wa itu pun sudah menghilang tanpa dapat diketa-
hui lagi dari mana datangnya.
"Aku pergi dulu, Ki," kata Rangga cepat-cepat. "Mau ke mana...?"
Tapi belum juga Ki Legik menyelesaikan
pertanyaannya, Pendekar Rajawali Sakti sudah
cepat melesat pergi bagai kilat. Begitu sempur-
nanya ilmu meringankan tubuh yang dikuasai
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap
bayangan tubuhnya sudah tak terlihat lagi.
*** 'Pandan...!"
Rangga langsung berteriak memanggil Pan-
dan Wangi begitu sampai di depan rumah Ki Biran
yang juga dijadikan kedai itu. Tapi, tak ada sahu-
tan sedikit pun yang didengarnya. Keadaan rumah
itu tampak sunyi sekali. Baru saja Rangga me-
langkah dua tindak mendekati pintu depan yang
tertutup, tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan muncul Ki Biran dengan tergopoh-gopoh
menghampirinya.
"Mana Pandan Wangi, Ki...?" tanya Rangga begitu Ki Biran telah dekat di
depannya. "Pergi, Den."
"Pergi ke mana?"
"Tidak tahu, Den. Nini Pandan Wangi tidak
bilang apa-apa," sahut Ki Biran.
Rangga mendengus. Dia cemas karena
Pandan Wangi pergi seorang diri. Padahal, tadi dia sudah berpesan agar Pandan
Wangi menunggunya
sampai dia kembali ke rumah ini, karena keadaan
semakin bertambah gawat. Sejak mereka berhasil
meringkus Darkan yang kepergok menculik seo-
rang wanita, tindakan Siluman Penghisap Darah
semakin brutal saja. Dia membantai siapa saja
yang berhasil ditemuinya. Bahkan dia sudah mu-
lai mengobrak-abrik rumah-rumah penduduk
hanya untuk membunuh dan menghirup darah
manusia. Tidak ada lagi tempat yang aman bagi
seluruh penduduk Desa Gedangan, sehingga se-
mua orang di desa ini pun semakin diliputi keta-
kutan. Kecemasan yang tersirat jelas di wajah
Pendekar Rajawali Sakti dapat dipahami Ki Biran.
Laki-laki tua pemilik kedai yang hidup seorang diri itu menghampiri Rangga lebih
dekat. "Sebaiknya kau cepat susul dia, Den, Aku
juga khawatir terjadi sesuatu padanya," kata Ki Biran. "Kalau saja aku tahu ke
mana perginya, Ki..," kata Rangga.
"Memang sulit. Nini Pandan Wangi tidak
mengatakan apa-apa padaku. Dia hanya bilang
mau pergi itu saja...," kata Ki Biran, agak menggumam.
"Kau lihat ke arah mana Pandan Wangi
pergi, Ki?" tanya Rangga.
"Ke arah Hutan Cengkir," sahut Ki Biran.
"Ke Hutan Cengkir..." Mau apa dia ke sa-
na?" tanya Rangga, seperti pada dirinya sendiri.
"Banyak orang yang melihat, perempuan si-
luman itu sering keluar masuk hutan itu, Den.
Barangkali dia memang bertempat tinggal di sana
sekarang ini. Dan aku...," Ki Biran tidak meneruskan kalimatnya.
"Kau kenapa, Ki...?" desak Rangga.
"Aku menceritakan semua yang ku tahu
kepadanya, Den. Lalu...," kembali Ki Biran tidak meneruskan kata-katanya.
Rangga juga terdiam membisu.
"Maaf, Den. Bukannya aku ingin mencela-
kakannya. Nini Pandan Wangi sendiri yang terus
mendesak dan bertanya segala macam."
"Sudahlah, Ki. Dalam hal ini, kau tidak
bersalah apa-apa. Tidak perlu meminta maaf. Kau


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang patut mengatakan apa saja yang kau ke-
tahui. Seluruh penduduk desa ini pun seharusnya
ikut membantu, bukannya hanya diam dan ber-
sembunyi menerima nasib. Kalau saja mereka se-
mua mau bahu-membahu, tidak mungkin perem-
puan siluman itu bisa merajalela membunuhi
penduduk desa yang tidak bersalah. Hm..., sepak
terjang perempuan siluman itu memang harus se-
cepatnya dihentikan," ujar Rangga, agak menggumam. Sesaat mereka terdiam.
"Aku pergi dulu, Ki. Dan sebaiknya kau ti-
dak keluar dari rumah," kata Rangga seraya
berpesan. "Hati-hati, Den."
Rangga hanya tersenyum. Kemudian ka-
kinya melangkah menghampiri kuda hitamnya
yang tertambat di bawah pohon kemuning. Den-
gan gerakan yang ringan dan indah, Pendekar Ra-
jawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya
yang bernama Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki
Biran, lalu cepat menggebah kudanya.
"Hiyaaa....'"
Bagaikan anak panah yang lepas dari bu-
sur, Dewa Bayu melesat cepat bagai kilat memba-
wa Pendekar Rajawali Sakti di atas punggungnya.
Sedangkan Ki Biran terus menatap sampai kuda
hitam itu lenyap dari pandangan, hingga kepulan
debu yang tertinggal. Ki Biran lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya, dan
mengunci rapat-rapat
semua pintu dan jendela. Sementara itu Rangga
terus memacu cepat kudanya menuju Hutan
Cengkir. *** 7 Benarkah Pandan Wangi pergi ke Hutan
Cengkir" Ya, gadis itu memang pergi ke sana, seperti
yang dikatakan Ki Biran. Dan dia tentunya me-
ninggalkan kudanya di tepi hutan, sehingga Rang-
ga dengan mudah menemukan kuda itu.
Pendekar Rajawali Sakti semakin kelihatan
cemas. Dia tahu, hutan ini tidak pernah dimasuki
orang, bahkan terkenal dengan keangkerannya.
Banyak juga orang yang mengatakan kalau Hutan
Cengkir adalah tempat tinggal para siluman.
Sementara itu Pandan Wangi sendiri sudah
berjalan cukup jauh menembus lebatnya hutan
ini. Gadis itu juga sudah mendengar cerita yang
menyeramkan tentang hutan ini. Tapi, setelah dia
berada di dalamnya, ternyata hutan ini begitu in-
dah. Tempat ini penuh dengan binatang liar yang
cantik dan hidup bebas tanpa takut mendapat
gangguan dari para pemburu liar. Udaranya pun
terasa sejuk sekali. Keangkerannya tak terlihat sedikit pun. Bahkan,
keindahannya tampak begitu
alami. "Hm..., hutan ini luas sekali. Ke mana aku harus mencari perempuan
siluman itu...?" gumam Pandan Wangi, bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Gadis cantik berbaju biru yang dijuluki si Kipas
Maut itu terus mengayunkan kakinya semakin
jauh menembus hutan. Tapi dia belum juga me-
nemukan tanda-tanda yang bisa menunjukkan di
mana Siluman Penghisap Darah itu berada. Bah-
kan, tak satu pun terlihat pondok ataupun gua
yang bisa dijadikan tempat tinggal di sini. Pandan Wangi menjadi ragu-ragu
sendiri. "Sebaiknya aku kembali saja sebelum Ka-
kang Rangga tahu aku pergi ke sini," gumam Pandan Wangi dalam hati.
Gadis itu memutar tubuhnya hendak ber-
balik. Tapi mendadak....
"Oh..."!"
Cepat si Kipas Maut itu melompat mundur
beberapa langkah. Tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang perempuan
muda yang begitu cantik, yang mengenakan baju warna merah muda
agak longgar dan tipis. Sehingga membayangkan
tekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan ramping
menggiurkan. "Inten...," desis Pandan Wangi yang lang-
sung mengenali.
Wanita itu memang Inten, yang selama ini
dikenal dengan sebutan Siluman Penghisap Da-
rah. Perlahan Pandan Wangi menggeser kakinya
ke kanan beberapa langkah. Sedangkan Inten te-
tap berdiri tegap, dengan sinar mata yang bersorot tajam dan tertuju langsung ke
bola mata si Kipas
Maut. "Mau apa kau datang ke sini, Pandan Wangi?" kata perempuan siluman itu
dengan nada suara yang terdengar begitu dingin dan datar.
"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Inten,"
sahut Pandan Wangi, tidak kalah dinginnya.
"Kau terlalu berani datang seorang diri ke
tempatku, Pandan. Kau tahu apa akibatnya kalau
berani menginjak tempatku tanpa izin...?"
"Sejak kapan kau menguasai hutan ini?"
ujar Pandan Wangi, sinis.
"Sejak aku datang, hutan ini menjadi mi-
likku. Juga seluruh mayapada ini menjadi milik-
ku. Dan semua orang harus menyerahkan darah-
nya padaku setiap hari. Aku adalah ratu di dunia
ini, Pandan. Ratu yang menguasai seluruh jagat
raya ini. Ha ha ha...!"
"Kau hanya siluman, Inten. Dan kau tidak
berhak lagi hidup di dunia ini. Kau sudah mati...!
Seharusnya kau hidup di alam lain. Bukan di sini
tempatmu," kata Pandan Wangi, dengan nada sua-ra agak tinggi.
"Hik hik hik...! Beraninya kau berkata begi-
tu padaku, Pandan. Hari-hari yang lalu kau boleh
bangga bisa mengalahkanku. Tapi sekarang, kehi-
dupanku sudah sempurna. Dan kau sekarang ti-
dak ada artinya bagiku, Pandan," desis Inten, di-iringi tawa terkikik yang
kering mengerikan.
Sret! Bet! Pandan Wangi segera mencabut kipas
mautnya dan langsung mengebutkannya. Kipas
berwarna keperakan itu pun terkembang lebar di
depan dadanya. Sementara Siluman Penghisap Darah tam-
pak kelihatan tenang. Diperhatikannya setiap ge-
rakan yang dilakukan Pandan Wangi. Sedikit pun
kelopak matanya tidak berkedip. Dan, sorot ma-
tanya terasa tajam sekali, seakan-akan ingin me-
nembus langsung ke dalam lubuk hati Pandan
Wangi yang paling dalam.
"Pandan...!"
"Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang
menggema di seluruh hutan, yang membuat Silu-
man Penghisap Darah terkejut. Bahkan Pandan
Wangi juga tersentak kaget, terlebih lagi dia mengenali betul suara itu, yang
sudah begitu akrab di telinganya.
"Kakang Rangga...," desah Pandan Wangi.
Entah bagaimana perasaan gadis itu. Dia keliha-
tan senang tapi sekaligus khawatir saat mengeta-
hui bahwa Pendekar Rajawali Sakti telah datang
ke Hutan Cengkir ini. Jelas sekali, teriakan yang memanggil si Kipas Maut tadi
adalah suara Rangga. Tapi, hanya suaranya yang terdengar keras
menggema. Sosoknya belum juga terlihat.
"Keparat..! Rupanya dia juga bisa cepat
sampai ke sini," desis Inten, geram.
Tiba-tiba Siluman Penghisap Darah mele-
sat pergi bagai kilat. Begitu cepat gerakannya, sehingga dia sudah menghilang
sebelum Pandan Wangi bertindak mencegahnya.
"Huh! Cepat sekali dia menghilang!" dengus Pandan Wangi.
Saat itu kembali terdengar teriakan keras
menggema yang memanggil nama Pandan Wangi.
Suara itu terdengar sangat jelas, seakan-akan be-
rada dekat sekali. Tapi, pemilik suara itu belum
juga kelihatan. Sedangkan Pandan Wangi masih
tetap berdiri tegak dan tak bergeming sedikit pun.
"Hhh! Aku tidak mau Kakang Rangga me-
nemuiku di sini," desis Pandan Wangi. "Tapi..., dia pasti sudah menemukan kudaku.
Pada saat itu pula dari balik semak-semak
muncul Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda tampan
berbaju rompi putih itu melangkah cepat, mende-
kati Pandan Wangi.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke si-
ni, Kakang," dengus Pandan Wangi.
"Lalu, kenapa kau sendiri berada di sini?"
balas Rangga. "Suaramu mengejutkan dia. Sehingga dia
lari begitu saja," dengus Pandan Wangi lagi.
"Dia..."! Dia siapa, Pandan?"
"Perempuan siluman itu," sahut Pandan
Wangi sambil memberengut.
"Kau berhasil menemuinya?" Pendekar Ra-
jawali Sakti tampaknya kurang mempercayai kata-
kata Pandan Wangi. Memang sama sekali tidak
terlihat ada bekas-bekas pertarungan di sini. Bahkan, keadaan Pandan Wangi
sendiri tidak menun-
jukkan tanda-tanda kalau dia baru bertarung den-
gan Siluman Penghisap Darah.
"Aku tidak menemuinya di sini, tapi dia
sendiri yang datang menemuiku."
Rangga masih tetap diam. Tampaknya dia
sedang berpikir keras. Belum lama tadi, dia men-
dengar suara tawa perempuan siluman itu di ha-
laman belakang rumah Ki Legik. Dan sekarang
Pandan Wangi berkata bahwa perempuan siluman
itu menemuinya di sini. Ini berarti putri Kepala
Desa Mungkit itu benar-benar sudah menjadi ma-
nusia siluman. Dan, ini juga berarti kehidupannya sebagai manusia siluman mulai
mendekati kesempurnaan.
Akan semakin sulitlah sekarang mengha-
dapi perempuan siluman itu. Yang pasti, Siluman
Penghisap Darah kini semakin kuat dan semakin
sulit ditandingi. Dan jika dia benar-benar sudah
sempurna, tak akan ada seorang pun yang bisa
menandingi kedigdayaan-nya. Dunia pun akan
kiamat dengan cepat. Rangga menjadi risau, kare-
na dia menyadari bahwa dirinya hanyalah manu-
sia biasa yang tentu memiliki banyak kekurangan
dan keterbatasan.
"Aku yakin, dia memang tinggal di dalam
hutan ini, Kakang," kata Pandan Wangi, meme-
cahkan lamunan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebaiknya kita kembali dulu ke Desa Ge-
dangan, Pandan. Keadaan di sana semakin ber-
tambah gawat. Terlebih lagi setelah...," Rangga tidak meneruskan ucapannya.
"Setelah apa, Kakang?" desak Pandan
Wangi. "Darkan...Dia sudah tewas," kata Rangga, pelan. "Oh, benarkah..."!"
Pandan Wangi tampak terkejut Sedangkan
Rangga hanya mengangguk. Mereka terdiam dan
tampaknya sama-sama mengerti bahwa tewasnya
Darkan akan menambah buruk keadaan di Desa
Gedangan. Karena Siluman Penghisap Darah pasti
akan menuntut balas.
"Sebaiknya kita cepat kembali ke Desa Ge-
dangan, Kakang," ajak Pandan Wangi.
"Ayolah...."
*** Sementara itu, agak jauh di pinggiran Desa
Gedangan, Ki Legik, Ki Murad, Cantraka, dan para
penduduk desa baru saja selesai menguburkan ja-
sad Darkan yang tewas di tangan Pendekar Raja-
wali Sakti. Mereka kemudian bergegas meninggalkan
tempat itu. Dan tanpa ada seorang pun yang men-
getahui, dan tempat yang cukup tersembunyi
tampak seorang wanita cantik berbaju merah mu-
da yang agak tipis sedang memperhatikan semua
itu. Wanita muda itu baru keluar setelah se-
mua orang tidak terlihat lagi di sekitarnya. Kemudian dia berdiri mematung di
pinggiran kuburan
yang masih baru itu. Perlahan kepalanya terang-
kat dan pandangannya langsung tertuju lurus dan
tajam ke arah Desa Gedangan.
"Siapa pun yang membunuhmu, dia harus
mati di tanganku, Darkan. Percayalah, aku akan
membalas kematianmu," desis wanita itu, dingin sekali. Kembali wanita itu
menatap kuburan yang
masih baru. Perlahan kemudian kakinya melang-
kah mundur beberapa tindak. Dan sorot matanya
yang tajam kembali tertuju ke Desa Gedangan.
Sementara, Ki Legik dan orang-orangnya sudah ti-
dak terlihat lagi. Suasana di pinggiran desa itu demikian sunyi. Hanya desir
angin saja yang terdengar berhembus agak kencang mempermainkan
dedaunan. "Hhh! Akan kuhancurkan mereka semua
kalau tidak mau menyerahkan orang yang mem-
bunuh Darkan," desis wanita itu lagi, semakin
dingin nada suaranya.
Sebentar ditatapnya kuburan Darkan. Ke-
mudian kakinya melangkah hendak meninggalkan
kuburan yang masih baru itu. Namun, baru saja
kakinya melangkah beberapa tindak, mendadak....
"Berhenti kau, Siluman Keparat...!"
Wanita cantik berbaju merah itu langsung
berhenti melangkah ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras dari arah
belakangnya. Perlahan tu-
buhnya berbalik. Kelopak matanya menyipit begitu
terlihat di depannya kini sudah berdiri seorang


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berusia tiga puluh tahun, yang mengena-
kan baju putih cukup ketat sehingga membentuk
tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebilah pedang
berukuran panjang tergantung di pinggang pemu-
da itu. Dia tak lain adalah Cantraka, yang telah
memisahkan diri dari para penduduk desa lain-
nya, dan kembali ke kuburan ini. Sekarang Can-
traka berdiri tegak dengan sikap menantang di de-
pan wanita cantik berbaju merah itu yang tak lain dari Inten, Siluman Penghisap
Darah. "Kau pikir aku tidak tahu dengan kehadi-
ranmu di sini, Siluman Keparat..," desis Cantraka, dengan nada suara yang dingin
sekali. "Hm...," gumam Inten, perlahan.
Bibir Inten yang selalu berwarna merah
menyala itu bergerak sedikit menyunggingkan se-
nyuman. Begitu cantik wajahnya saat dia terse-
nyum, sehingga tidak terlihat sama sekali bahwa
wanita ini adalah Siluman Penghisap Darah. Bah-
kan, terlalu cantik dan lembut kalau dia dikatakan sebagai manusia siluman. Dan
kalau saja Cantraka tidak tahu siapa sebenarnya wanita ini, tentu
dia tidak akan pernah menyangka kalau bentuk
tubuh dan wajah yang sangat cantik menawan ini
menyimpan dendam yang hebat.
"Siapa pun kau, enyahlah dari Desa Ge-
dangan!" sentak Cantraka, tegas.
"Hik hik hik...! Indah sekali kata-katamu,
Kisanak," sambut Inten, disertai tawanya yang mengerikan.
"Phuih! Jangan mengejekku, Perempuan
Siluman!" dengus Cantraka seraya menyemburkan ludah. "Hik hik hik...!" Inten
terus saja tertawa terkikik. Tapi, tiba-tiba suara tawa itu terhenti seketika.
Dan, raut wajahnya menegang kaku. Se-
dangkan sorot matanya terlihat sangat tajam, sea-
kan-akan hendak menembus langsung ke dalam
rongga dada pemuda di depannya ini. Kemudian
perlahan bibirnya bergerak membentuk sebuah
seringai. Tampak dua buah taring yang tajam ber-
kilat menyembul bagai hendak mengoyak bibirnya
yang merah bagai berlumur darah. Wajah yang
semula terlihat begitu cantik itu kini berubah
menjadi dingin dan mengerikan.
"Kau tegap dan gagah sekali. Pasti darah
yang mengalir di tubuhmu sangat segar. Hsss...!"
ujar Inten sambil mendesis lirih.
"Hih...!"
Cantraka bergidik juga melihat perubahan
yang begitu cepat pada wanita ini. Dan suara yang mendesis itu membuat
jantungnya berdebar. Tapi,
dia cepat-cepat menguatkan diri. Ditatapnya ta-
jam-tajam Siluman Penghisap Darah yang sudah
bergerak perlahan-lahan mendekatinya.
*** Sret! Cantraka langsung mencabut pedangnya
yang tergantung di pinggang. Dengan gerakan in-
dah, pedangnya disilangkan di depan dada. Se-
dangkan sorot matanya masih tetap tajam, mem-
balas tatapan liar mengerikan dari sinar mata Si-
luman Penghisap Darah.
"Ghraaaugkh...!"
"Hup! Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, keduanya melompat
cepat saling menerjang. Cantraka cepat-cepat
mengebutkan pedangnya ke depan, mengarah
langsung ke dada Siluman Penghisap Darah. Na-
mun, dengan gerakan meliuk yang begitu indah,
wanita itu berhasil mengelakkan tebasan pedang
pemuda ini. Bahkan tanpa diduga sama sekali,
tangannya yang berkuku runcing dikibaskan ke
arah leher Cantraka.
"Hait..!"
Cepat-cepat Cantraka memutar tubuhnya
ke belakang, sehingga kibasan jari-jari tangan
yang meregang kaku dengan kuku-kuku yang
runcing tajam itu berhasil dihindarinya. Beberapa kali Cantraka berjumpalitan di
udara. Dan dengan
manis sekali kakinya kembali dijejakkan di tanah.
Namun, pada saat yang bersamaan, Inten sudah
meluruk deras seraya mengebutkan kedua tan-
gannya dengan cepat dan bergantian.
"Uts...!"
Cantraka harus berjumpalitan lagi. Dihin-
darinya serangan-serangan cepat yang dilakukan
Siluman Penghisap Darah. Dan begitu dia memili-
ki kesempatan, cepat-sepat pedangnya berkelebat
membalas serangan-serangan wanita itu.
Pertarungan ini memang sengit seka-
li.Masing-masing saling mengeluarkan jurus-
jurusnya yang cepat dan dahsyat. Namun, lama-
kelamaan Cantraka mulai tampak mengalami ke-
sulitan. Beberapa kali dia melancarkan serangan
dengan pedangnya, tapi wanita itu selalu berhasil mementahkannya dengan mudah.
Bahkan, serangan-serangan balasan yang diberikan perempuan
siluman itu membuat Cantraka kelabakan seten-
gah mati untuk menghindarinya. Hingga....
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Tiba-tiba Inten mengibaskan tangan ka-
nannya dengan cepat sekali ke arah dada lawan-
nya. Dan begitu Cantraka berhasil menghinda-
rinya, mendadak perempuan siluman itu mele-
paskan satu tendangan menggeledek sambil me-
mutar tubuhnya dengan cepat sekali. Cantraka
tampak tidak mampu lagi berkelit.
Desss! "Akh...!"
Tak pelak lagi, Cantraka kontan terpental
ke belakang. Dadanya telah terkena tendangan
yang keras luar biasa itu. Dengan keras pula dia
jatuh menghantam tanah, lalu bergulingan bebe-
rapa kali sambil mengeluarkan pekikan keras agak
tertahan. Pada saat itu pula, Inten sudah melompat
sambil meraung dahsyat menggelegar. Kedua tan-
gannya menjulur lurus ke depan, dengan jari-jari tangan yang berkuku runcing dan
meregang kaku. Hendak di koyaknya tubuh pemuda itu.
"Ghraaaugkh... !"
"Hup...!"
Cantrakacepat-cepat menggulirkan tubuh-
nya ke samping, lalu langsung melenting bangkit
berdiri. Namun, pada saat itu juga....
Bet' Bret! "Aaakh...!"
Kembali Cantraka terhuyung-huyung begi-
tu jari-jari tangan perempuan siluman itu merobek punggungnya. Darah seketika
mengalir keluar dari
punggung yang terobek cukup lebar itu. Cantraka
meringis menahan perih pada punggungnya. Se-
dangkan Siluman Penghisap Darah sudah berdiri
tegak sambil memandangi jari-jari tangannya yang
berlumuran darah.
"Hik hik hik...!"
Sambil tertawa mengikik, perempuan silu-
man itu menjilati darah yang melekat di jari-jari tangannya. Begitu nikmat
tampaknya, sehingga
perut Cantraka bergolak mual menyaksikannya.
"Hik hik hik...! Nikmat sekali darahmu,
Anak Muda."
"Iblis...," desis Cantraka, yang merasa jijik.
"Kubunuh kau, Siluman Keparat! Hiyaaat..!"
Wuk! Tanpa menghiraukan luka di punggung-
nya, Cantraka melompat cepat bagai kilat sambil
mengebutkan pedangnya. Tapi, dengan sedikit sa-
ja mengegoskan tubuh, Siluman Penghisap Darah
berhasil menghindari tebasan pedang itu. Bahkan,
dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti pan-
dangan mata biasa, tangan kanan wanita siluman
itu mengibas ke perut Cantraka.
Bret! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya Cantraka terpekik.
Perutnya sobek terkena samba ran jari-jari tangan yang berkuku runcing bagai
mata pedang itu. Dan
pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap perutnya yang bercucuran darah.
"Ghraaaugkh...!"
*** 8 Cepat sekali Siluman Penghisap Darah
memutar tubuhnya sambil menggerung dahsyat.
Lalu, bagaikan kilat, dia melompat dengan kedua
tangan menjulur ke depan. Diarahkan tangannya
ke leher Cantraka yang masih belum bisa mengu-
asai keseimbangan tubuhnya. Tapi, belum juga ja-
ri-jari tangan yang meregang kaku dan berkuku
runcing bagai mata pedang itu sampai di leher
Cantraka, tiba-tiba....
Slap! Plak! "Aaargkh...!"
Sebuah bayangan putih berkelebat cepat memo-
tong arus terjangan Siluman Penghisap Darah.
Bahkan, wanita siluman itu tampak meraung ke-
ras dengan tubuh terpental ke belakang, seperti
tersambar sesuatu yang bertenaga besar sekali.
Namun, Siluman Penghisap Darah bisa segera
menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan, dengan
manis sekali kakinya dijejakkan di tanah.
Tampak pada saat itu, seorang pemuda
berbaju rompi putih mendarat tepat dua langkah
di depan Cantraka. Pada saat yang bersamaan,
terlihat pula seorang gadis cantik muncul bersama dua ekor kuda. Gadis cantik
itu duduk anggun di
punggung seekor kuda putih.
"Rangga...,"desah Cantraka, lega melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti dan
si Kipas Maut itu. Pemuda berbaju rompi putih itulah yang
telah menyelamatkan nyawanya yang terancam di
ambang maut tadi.
Sementara itu Siluman Penghisap Darah
mendengus berang. Kemunculan Pendekar Raja-
wali Sakti dan si Kipas Maut benar-benar tepat di saat dia hampir berhasil
mengoyak leher Cantraka
tadi. "Menjauhlah kau, Cantraka," pinta Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.
Tanpa diminta dua kali, Cantraka bergegas
menyingkir. Sedangkan Pandan Wangi melompat
turun dari punggung kudanya, lalu segera meng-
hampiri Cantraka dan memberikan beberapa toto-
kan di sekitar luka pemuda itu, untuk menghenti-
kan aliran darahnya.
Rangga melangkah mendekati Inten dengan
sorot mata yang tajam sekali. Kakinya berhenti
melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu
batang tombak lagi di depan wanita cantik yang
dijuluki Siluman Penghisap Darah itu. Beberapa
saat mereka berdiri tegak dan saling melemparkan
sorot mata tajam, seakan-akan sama-sama sedang
mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki mas-
ing-masing. "Akulah lawanmu, Inten," desis Rangga,
dingin menggetarkan.
"Ghrrr...!"
Siluman Penghisap Darah hanya mengge-
rung. Sorot matanya yang merah semakin terlihat
tajam. Perlahan kakinya digeser beberapa langkah
ke kanan. Jari-jari tangannya yang berlumuran
darah dan berkuku runcing sudah meregang kaku
di depan dada. Sedangkan Rangga tetap berdiri te-
gak memperhatikan setiap gerak yang dilakukan
wanita siluman itu.
"Ghraaaugkh...!"
Tiba-tiba Siluman Penghisap Darah me-
lompat cepat sambil meraung dahsyat. Begitu ce-
pat gerakannya, sehingga Rangga sedikit terpana
sesaat. Namun, dengan cepat sekali dan dengan
gerakan yang begitu manis, Pendekar Rajawali
Sakti segera meliukkan tubuhnya menghindari se-
rangan itu. "Hup!"
Secepat kilat Rangga melentingkan tubuh-
nya ke atas. Dan, begitu melewati kepala wanita
siluman itu, tiba-tiba kakinya bergerak cepat dengan memper-gunakan jurus
'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Begitu cepat serangan bala-
san yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, se-
hingga Siluman Penghisap Darah tidak sempat lagi
berkelit menghindar. Dan....
Plak! "Argkh...!"
Sambil meraung keras, Siluman Penghisap
Darah jatuh bergulingan di tanah. Kepalanya telah terkena tendangan keras
bertenaga dalam sempurna dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa' yang dilepaskan Rangga barusan. Namun,
tanpa diduga sama sekali, perempuan siluman itu
mampu bangkit berdiri lagi dengan cepat. Bahkan,
tak ada sedikit pun akibat yang kelihatan dari
tendangan keras yang bersarang di kepalanya tadi.


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga tampak tertegun. Biasanya tendan-
gan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa' akan membuat kepala lawannya pecah
berantakan. Atau, paling tidak menjadi retak. Tapi kini Siluman Penghisap Darah
sama sekali tidak
mengalami luka sedikit pun pada kepalanya. Bah-
kan dia bisa berdiri tegak kembali dengan kedua
kaki yang tetap kokoh.
"Hik hik hik...! Kau tidak ada artinya bagi-
ku, Pendekar Rajawali Sakti."
Kering sekali suara Siluman Penghisap Da-
rah. Dan belum juga hilang suaranya dari penden-
garan, bagai kilat dia melompat menerjang Pende-
kar Rajawali Sakti. Kedua tangannya mengebut
cepat bergantian, sehingga Rangga harus meliuk-
liukkan tubuhnya dengan gerakan kaki yang lin-
cah dan ringan.
Dalam menghadapi serangan-serangan ce-
pat dan beruntun yang dahsyat ini, Rangga mau
tak mau harus menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'. Dan dengan jurus itu dengan mu-
dah dia bisa mementahkan semua serangan yang
dilancarkan Siluman Penghisap Darah. Bahkan....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga mengubah jurusnya den-
gan cepat sekali. Tubuhnya sedikit dibungkukkan.
Dan, tangan kanannya cepat mengibas ke depan,
mengarah ke perut lawan dengan jari-jari men-
gembang kaku seperti cakar seekor burung raja-
wali. Begitu cepat serangan yang dilancarkan
Rangga dengan mempergunakan jurus 'Cakar Ra-
jawali' itu, sehingga Siluman Penghisap Darah ti-
dak sempat lagi berkelit menghindar.
Bret! "Aaargkh...!"
"Hup!"
*** Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh-
nya ke belakang begitu tangan Siluman Penghisap
Darah mengibas hendak menyambar kepalanya.
Tampak darah berwarna hitam dan berbau busuk
bercucuran deras dari perut yang terkoyak terkena jurus 'Cakar Rajawali' yang
dilancarkan Rangga
tadi. "Ghraaaugkh...! Keparat kau, Rangga...!"
Sambil menggerung keras menggelegar, Si-
luman Penghisap Darah melompat cepat menye-
rang Pendekar Rajawali Sakti lagi. Cepat sekali serangannya, sehingga Rangga
terpaksa berjumpali-
tan menghindarinya. Wanita siluman itu terus me-
lancarkan serangan-serangan dengan kecepatan
yang sangat tinggi. Tidak diberinya sedikit pun kesempatan bagi Pendekar
Rajawali Sakti untuk me-
lepaskan serangan balasan. Dan, tampaknya
Rangga memang kerepotan juga menghadapi se-
rangan-serangan yang begitu gencar dan dahsyat
ini. Kebutan-kebutan tangan Siluman Penghi-
sap Darah menimbulkan suara angin yang mende-
ru keras bagai topan. Bahkan, beberapa pohon
dan batu hancur terkena sambaran tangan dengan
jari-jari berkuku runcing yang meregang kaku itu.
Rupanya luka di perutnya yang terus mengucur-
kan darah berwarna hitam dan berbau busuk itu
tidak dipedulikannya.
"Ghraaaugkh...!"
Siluman Penghisap Darah terus menyerang
dengan membabi buta, sambil menggerung-gerung
dahsyat Dan, Rangga terus berjumpalitan meng-
hindari setiap serangan yang datang mengancam
jiwanya. Tidak ada kesempatan sedikit pun bagi
Pendekar Rajawali Sakti untuk melakukan seran-
gan balasan. "Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Pandan Wangi yang sejak tadi
memperhatikan pertarungan itu melompat cepat
bagai kilat sambil mencabut pedang yang selalu
tersampir di punggungnya. Dan, secepat kilat pula gadis yang berjuluk si Kipas
Maut itu membabatkan pedangnya ke leher Siluman Penghisap
Darah. Begitu cepat serangan yang dilakukannya,
sehingga perempuan siluman itu tidak sempat lagi
menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh perhatiannya sudah tertumpah pada
Pendekar Rajawali
Sakti. Dan.... Cras! "Aaargkh...!"
"Hup!"
Pandan Wangi cepat-cepat melentingkan tubuhnya
ke belakang, dan berputaran beberapa kali begitu
berhasil membabatkan pedangnya ke leher Silu-
man Penghisap Darah. Tampak leher wanita silu-
man itu terbabat hampir putus oleh Pedang Naga
Geni yang tergenggam erat di tangan kanan si Ki-
pas Maut. Tapi, sungguh sukar dipercaya! Wanita
itu masih tetap mampu berdiri tegak, seolah-olah
sama sekali tidak terpengaruh oleh lehernya yang
sudah hampir putus, yang juga mengucurkan da-
rah berwarna hitam dan berbau busuk memua-
lkan perut. "Gila...!" desis Pandan Wangi, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sementara itu Rangga sudah berada di
samping gadis cantik yang dijuluki si Kipas Maut
itu. Dia juga terpana dan terlongong-longong. Si-
luman Penghisap Darah masih tetap berdiri tegak,
meskipun perutnya sudah terkoyak dan lehernya
terbabat hampir putus. Bahkan, dia kini bergerak
mendekati kedua pendekar muda dari Karang Se-
tra itu. Sedangkan Cantraka yang berada di tem-
pat agak jauh, ikut pula terlongong-longong me-
nyaksikan semua ini
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Pandan
Wangi. Rangga hanya menggumam perlahan. Dia
mengerti, pertanyaan Pandan Wangi tadi dituju-
kan untuk mencari tahu bagaimana cara mele-
nyapkan Siluman Penghisap Darah itu. Namun,
Rangga sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya kini.
Tampaknya kedua pendekar muda itu me-
mang mengalami kesulitan dalam menghadapi In-
ten yang sudah sepenuhnya menjadi manusia si-
luman ini. Perutnya sudah tercabik dan lehernya
sudah terbabat hampir putus, tapi masih juga dia
mampu berdiri tegak, seperti tidak terpengaruh
sama sekali dengan keadaan tubuhnya.
Sementara itu, perlahan-lahan Inten men-
gangkat tangan kanannya ke atas, lalu mengusap
lehernya yang terbelah hampir buntung itu. Tam-
pak asap tipis berwarna merah agak kehitaman
mengepul dari lehernya.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung perlahan, Inten meng-
geleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, lalu
bergerak terdongak menatap langit. Dan begitu
tangan kanannya bergerak turun, terlihat leher
yang tadi sudah terbabat hampir putus itu kini telah menyatu rapat kembali.
Tangan yang terus bergerak turun itu ber-
henti di perutnya yang berlubang. Kemudian tan-
gannya digerak-gerakkan, mengusap perutnya.
Asap merah kehitaman kembali terlihat mengepul
dari perut yang berlubang itu, Dan perlahan-lahan lubang di perut itu pun
menghilang. Semua yang dilakukan Siluman Penghisap
Darah itu tidak luput dari perhatian Rangga dan
Pandan Wangi. Kedua pendekar muda ini benar-
benar terlongong melihat suatu keanehan yang be-
lum pernah disaksikan itu.
"Hik hik hik...!"
Siluman Penghisap Darah terkikik serak
dan mengerikan. Suara tawa yang begitu keras itu
menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Dan,
pada saat perempuan siluman itu berhenti terta-
wa, dia langsung menatap tajam pada kedua pen-
dekar muda di depannya. Bibirnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergelemetuk, seakan-akan menahan
kemarahan yang meluap-luap di dalam dada. Ke-
mudian perlahan kakinya bergerak mendekati
Rangga dan Pandan Wangi.
"Ghraaaugkh...!"
Tiba-tiba perempuan siluman itu melompat
cepat sambil menggerung dahsyat. Kedua tangan-
nya terjulur turus ke depan, dengan jari-jari tangan meregang kaku bagai
sepasang cakar elang
yang hendak mengoyak tubuh mangsanya.
"Menyingkir, Pandan!" seru Rangga tiba-tiba. "Hup!"
"Hap!"
Pandan Wangi dan Rangga cepat-cepat ber-
lompatan ke samping. Dihindari oleh mereka ter-
jangan Siluman Penghisap Darah itu. Beberapa
kali mereka melakukan putaran sebelum menje-
jakkan kaki secara bersamaan di tanah. Sementa-
ra, perempuan siluman itu sudah berdiri tegak
kembali. Dan, sekarang kedua pendekar muda itu
berada di sebelah kanan dan kirinya.
"Ghrrr...!"
Sret! Perlahan-lahan Rangga mencabut pedang
pusakanya yang sejak tadi selalu tersimpan dalam
warangkanya di punggung. Seketika itu juga ca-
haya biru terang yang menyilaukan mata, lang-
sung memancar begitu Pedang Rajawali Sakti ke-
luar dari warangkanya.
Wuk! Wuk...! Dengan gerakan-gerakan yang indah seka-
li, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedang-
nya beberapa kali. Lalu pedang itu ditempatkan
tersilang di depan dada. Kedua kaki Rangga ter-
pentang tebar di samping, dengan lutut agak ter-
tekuk. Tatapan matanya yang begitu tajam, terso-
rot lurus pada bola mata yang memerah bagai se-
pasang bola api itu.
'Perempuan siluman ini tidak bisa dilawan
dengan jurus-jurus biasa. Hm...," gumam Rangga dalam hati.
Perlahan-lahan Rangga mengulurkan tan-
gannya ke depan, dengan pedang masih tersilang
sejajar dengan dada. Kemudian perlahan pula dia
menempel-kan telapak tangan kirinya ke mata pe-
dang yang memancarkan sinar biru terang berki-
lauan itu. Lalu telapak tangan itu bergerak meng-
gosok sampai ke ujung, dan kembali lagi hingga ke pangkal tangkainya.
"Hap!"
Cepat sekali Rangga menarik pedangnya
kembali ke dekat dada. Lalu, secepat itu pula di-
hentakkannya ke depan, hingga ujungnya tertuju
lurus ke arah dada Siluman Penghisap Darah,
sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur
yang meledak di siang hari.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah...!"
Slap! Seketika itu juga, secercah cahaya biru te-
rang berkilauan meluruk deras bagai kilat ke arah Siluman Penghisap Darah.
Begitu cepat sinar biru
itu meluncur, sehingga perempuan siluman itu ti-
dak bisa lagi bergerak menghindar. Dan tanpa da-
pat dicegah lagi, sinar biru itu langsung menghantam dan menyelimuti seluruh
tubuh Siluman Penghisap Darah.
"Ghraaagkh...!"
Sambil meraung dahsyat, Siluman Penghi-
sap Darah menggeliat-geliat di dalam selubung bi-
ru yang memancar dari ujung Pedang Rajawali
Sakti. Sedangkan Rangga terus berdiri tegak, den-
gan kedua kaki terpaku kuat dan merentang agak
lebar di tanah.
"Hih...!"
Tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti cepat
bergerak ke depan dada dengan jari-jari yang me-
rapat kuat. Ujung ibu jarinya menempel di tengah-
tengah dada yang sedikit berbulu itu. Tampak bu-
tiran-butiran keringat menitik deras dari kening
dan lehernya. Kelihatan jelas sekali bahwa Rangga mengerahkan seluruh kemampuan
aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menandingi perlawanan Silu-
man Penghisap Darah.
Bresss! Tiba-tiba kedua kaki Pendekar Rajawali
Sakti amblas ke dalam tanah hingga sampai ke lu-
tut. Dan ini membuat Pandan Wangi terkejut se-
tengah mati. Belum pernah dia melihat Rangga
berlaku seperti ini dalam mengerahkan aji 'Cakra
Buana Sukma' yang sangat dahsyat itu.
"Ghraaagkh...!"
Siluman Penghisap Darah terus mengge-
liat-geliat sambil meraung-raung keras menggele-
gar di dalam selubung cahaya biru yang semakin
kuat memancar dari ujung pedang Pendekar Ra-
jawali Sakti. "Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga menghentakkan pedang-
nya ke atas. Seketika itu juga, cahaya biru yang
memancar dari pedangnya lenyap. Dan bagaikan
kilat, Pendekar Rajawali Sakti kembali menghen-
takkan pedangnya ke depan sambil berteriak keras
menggelegar.

Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiyaaa...!"
Slap! Glarrr...! "Ghraaaugkh...!"
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar
bersamaan dengan memancarnya kembali cahaya
biru dari pedang Pendekar Rajawali Sakti, yang
langsung menghantam tubuh Siluman Penghisap
Darah. Saat itu juga, terdengar raungan keras
memekakkan telinga.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Rangga melesat ke udara dan
langsung meluruk deras sambil membabatkan pe-
dangnya ke tubuh Siluman Penghisap Darah.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan keras menggele-
gar begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti meng-
hantam tubuh yang masih terselimut cahaya biru
terang itu. Dan bersamaan dengan melentingnya
tubuh Rangga ke belakang, cahaya biru itu pun
seketika lenyap. Tampak Pedang Rajawali Sakti
sudah kembali bersarang di dalam warangkanya di
punggung. Sementara itu terlihat Siluman Penghisap
Darah berdiri tegak mematung, dengan kelopak
mata ter-beliak lebar dan mulut ternganga. Pada
saat itu juga....
"Hap! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Rangga melompat
cepat. Langsung diberikannya satu tendangan ke-
ras menggeledek ke arah dada perempuan siluman
itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkat sempurna. Tak pelak lagi, ten-
dangan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
menghantam tepat di bagian dada Siluman Peng-
hisap Darah. Glarrr...! "Hup!"
Bersamaan dengan melentingnya tubuh
Rangga ke belakang, terdengar lagi ledakan dah-
syat menggelegar. Dan begitu kedua kaki Rangga
menjejak di tanah, tampak tubuh Siluman Penghi-
sap Darah telah hancur menjadi debu.
"Phuuuh...!"
Rangga menghembuskan napas dengan
kuat dan panjang. Dia berdiri tegak memandangi
debu hitam yang tersebar sekitar satu batang
tombak di depannya. Tubuh Siluman Penghisap
Darah sudah hancur. Sungguh dahsyat hasil yang
diakibatkan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat te-
rakhir itu. "Oh, Kakang...!"
Pandan Wangi berlari menghampiri Pende-
kar Rajawali Sakti dan langsung menghambur
memeluknya, tanpa menghiraukan keringat yang
membanjiri seluruh tubuh pemuda berbaju rompi
putih itu. Sedangkan Cantraka, yang sudah bisa
bangkit berdiri, tampak melangkah tertatih-tatih
sambil menahan rasa sakit pada lukanya. Diham-
pirinya kedua pendekar muda itu.
Perlahan Pandan Wangi melepaskan pelu-
kannya ketika Cantraka sudah dekat. Kemudian
Cantraka tersenyum lebar sambil menyodorkan
tangannya, yang langsung disambut Pendekar Ra-
jawali Sakti dengan senyuman yang lebar juga.
Mereka berjabatan tangan dengan erat dan hangat
sekali. "Terima kasih. Kau telah membebaskan kami semua dari siluman itu," ucap
Cantraka. "Pengorbananmu pun tidak kecil, Cantra-
ka," ujar Rangga, yang tampak tidak mau menge-cilkan arti perjuangan Cantraka.
"Seluruh penduduk Desa Gedangan pasti
gembira menyambut kemenangan ini, Rangga."
"Ah, terima kasih sekali. Tapi kami harus
segera pergi. Masih ada urusan lain yang harus
diselesaikan," tolak Rangga dengan halus.
"Ah, sayang sekali...," desah Cantraka.
Rangga melepaskan jabatan tangannya,
kemudian melangkah mundur dua tindak. Semen-
tara itu Pandan Wangi sudah mengambil kuda-
kuda mereka yang tadi ditinggalkannya tidak jauh
dari tempat ini. Gadis itu sudah berada di pung-
gung kuda putihnya. Dan, diserahkannya tali ke-
kang kuda hitam Dewa Bayu kepada Pendekar Ra-
jawali Sakti. Sedangkan Cantraka tidak bisa lagi
menahan kepergian kedua pendekar, muda itu.
"Sampaikan salam hormatku pada Ki Le-
gik, Cantraka," ucap Rangga.
"Akan kusampaikan, Rangga," sahut Cantraka. "Hiya!"
"Yeaaah...!"
Rangga dan Pandan Wangi segera mengge-
bah kuda mereka dengan cepat meninggalkan te-
pian Desa Gedangan. Sementara itu Cantraka ma-
sih berdiri mematung sambil memegangi perutnya
yang sobek. Tapi, tidak ada lagi darah yang keluar, karena dia sudah diberikan
totokan yang cukup
kuat oleh Pandan Wangi tadi. Cantraka masih
berdiri mematung memandangi kedua pendekar
muda yang semakin jauh meninggalkannya. Mere-
ka pergi untuk mengemban tugas berikutnya se-
bagai pendekar penegak keadilan.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Senopati Pamungkas 10 Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Harpa Iblis Jari Sakti 6
^