Kuda Api Gordapala 1
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala Bagian 1
KUDA API GORDAPALA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Kuda Api Gordapala
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Jerit dan pekik melengking terdengar begitu
menyayat saling sambut, memecah kesunyian alam
siang ini. Tampak asap hitam membumbung tinggi ke
angkasa dari beberapa rumah yang terbakar. Teriakan-
teriakan ketakutan yang dibarengi hentakan kaki ku-
da, berbaur menjadi satu. Sehingga membuat keka-
cauan di Desa Gronggong semakin menjadi-jadi.
Di antara orang-orang yang berlarian sambil
menjerit-jerit ketakutan, terlihat seekor kuda hitam mengamuk, mendepak orang-
orang di sekitarnya. Beberapa tubuh terlihat tergeletak berlumuran darah.
Ketakutan penduduk Desa Gronggong semakin menjadi-
jadi. Kuda hitam itu benar-benar seperti kesetanan,
mengejar orang-orang yang berlarian ketakutan meng-
hindarinya. Hieeegkh...! Sambil meringkik keras, kuda hitam itu men-
gangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke udara. Semen-
tara, semua penduduk Desa Gronggong terus berlarian
mencari tempat aman agar terlindung dari amukan
kuda hitam yang seperti kesetanan itu. Hingga, tak ada seorang pun yang berada
dekat dengan kuda hitam
itu. Binatang itu terus mendengus-dengus sambil
menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Ke-
dua bola matanya tampak memerah, bagai sepasang
bola api yang siap membakar apa saja di dekatnya.
Sementara itu, di balik sebongkah batu besar,
tampak seorang laki-laki tua berjubah merah muda
tengah memperhatikan kuda hitam itu. Di belakang-
nya, terlihat empat orang pemuda bersenjatakan golok terselip di pinggang
masing-masing. "Heran..." Dari mana datangnya kuda setan
itu?" desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan. "Dia muncul tiba-
tiba saja, Ki. Bahkan langsung mengamuk," sahut salah seorang pemuda yang berada
di sebelah kanannya.
Sementara kuda hitam itu terus meringkik-
ringkik sambil mendengus, seakan-akan ingin menan-
tang siapa saja yang ada. Tapi, tak ada seorang pun
yang berani lagi mendekati. Semua penduduk Desa
Gronggong sudah bersembunyi, tak berani menam-
pakkan diri lagi. Hanya ada sekitar sepuluh tubuh saja yang bergelimpangan tak
bernyawa di dekat kuda hitam itu. Sedangkan, sudah tiga rumah yang habis ter-
bakar. Api masih berkobar, disertai asap hitam yang
mengepul ke angkasa.
"Hieeegkh...!"
Setelah memperdengarkan ringkikan yang begi-
tu keras menggetarkan, kuda hitam itu langsung ber-
lari cepat meninggalkan Desa Gronggong yang sudah
begitu porak-poranda. Begitu cepatnya berlari, se-
hingga seakan-akan kaki kuda itu tidak menapak ta-
nah. Dan sebentar saja binatang itu sudah menghilang di dalam lebatnya pepohonan
di sebelah Timur Desa
Gronggong. Setelah yakin kuda hitam itu tidak muncul lagi,
laki-laki tua berjubah merah muda baru keluar dari
tempat persembunyiannya. Dia diikuti empat pemuda
yang mendampinginya. Saat itu, para penduduk yang
tadi bersembunyi juga sudah menampakkan diri. Jerit
dan pekik ketakutan tidak lagi terdengar. Kini, semuanya berganti gerung tangis
dan rintihan menyayat dari mereka yang keluarganya tewas akibat amukan kuda
hitam yang aneh itu tadi.
"Sukar dipercaya. Seekor kuda mampu meng-
hancurkan sebuah desa dalam waktu singkat...," desah laki-laki tua berjubah
merah muda itu perlahan.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya
ke sekeliling, merayapi keadaan Desa Gronggong yang
porak-poranda diamuk seekor kuda hitam. Memang,
tidak kurang dari sepuluh orang tewas dengan tubuh
rusak terinjak-injak kaki kuda hitam tadi. Bahkan ada beberapa yang kepalanya
hancur tak berbentuk lagi.
"Kalian bantu mereka. Aku akan melihat anak
dan istriku dulu di rumah," ujar laki-laki tua berjubah merah muda itu.
"Baik, Ki," sahut empat pemuda di belakangnya serempak.
Laki-laki tua berjubah merah muda itu berge-
gas melangkah cepat, tanpa seorang pun yang sempat
memperhatikan. Mereka semua sibuk membenahi ru-
mah masing-masing yang berantakan diamuk kuda hi-
tam. Sedangkan empat anak muda yang menyan-dang
golok di pinggang, mengumpulkan mayat-mayat di se-
kitar jalan desa ini. Tak ada seorang pun yang ber-
pangku tangan. Semua sibuk membenahi desa yang
hancur dalam sekejap, akibat diamuk seekor kuda hi-
tam yang seperti kesetanan.
Malam hari, Desa Gronggong begitu sunyi se-
nyap. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat
berada di luar rumah. Begitu sunyinya keadaan di de-
sa itu, sehingga suara langkah kaki kuda yang menuju ke desa itu terdengar
begitu jelas. Orang-orang yang berada di luar rumah, jadi saling berpandangan.
Mereka bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing
begitu terlihat tiga ekor kuda berjalan perlahan-lahan memasuki desa itu. Lampu-
lampu pelita yang menyala
di setiap rumah, seketika dimatikan. Hal ini membuat
kening tiga orang penunggang kuda itu jadi berkerut.
"Kenapa tiba-tiba desa ini jadi gelap, Kakang
Banara...?" desis salah seorang penunggang kuda yang ternyata seorang gadis
cantik berbaju hijau.
Gadis itu menunggang seekor kuda belang pu-
tih dan coklat yang tinggi gagah. Sedangkan dua orang lagi adalah laki-laki muda
berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu memandang pemuda yang mengenakan
baju putih agak ketat, sehingga membentuk
tubuhnya yang tegap dan berotot. Dan pemuda sa-
tunya lagi yang mengenakan baju warna biru, juga
memandang pemuda berbaju putih yang dipanggil Ba-
nara tadi. "Sepertinya desa ini baru saja terkena benca-
na," tebak pemuda bernama Banara itu. Suaranya terdengar pelan, seperti
menggumam, seakan-akan bicara
pada diri sendiri. "Coba perhatikan, Liliani..., Sarala....
Tiga rumah seperti baru terbakar, dan di sana-sini
tampak begitu berantakan."
Gadis yang ternyata bernama Liliani, dan pe-
muda berbaju biru yang bernama Sarala mengedarkan
pandangan merayapi keadaan desa yang gelap tanpa
sedikit pun ada cahaya pelita menerangi. Memang,
keadaan Desa Gronggong ini masih tampak beran-
takan. Mereka semakin memperlambat langkah ku-
danya. Begitu sunyi! Sehingga, langkah kaki kuda be-
gitu jelas terdengar, bercampur detak jantung mereka bertiga. "Ada satu rumah
yang memasang pelita, Kakang," kata Liliani seraya menunjuk ke arah sebuah rumah
yang tampak paling besar di desa ini.
"Hm.... Coba kita ke sana," ajak Banara.
Mereka kemudian menghentakkan tali kekang
kudanya agar berjalan lebih cepat menuju rumah yang
masih diterangi sebuah pelita di beranda depannya.
Sedangkan sekelilingnya kelihatan gelap gulita. Terlebih lagi, malam ini bulan
seakan-akan enggan me-
nampakkan diri, terus bersembunyi di balik gumpalan
awan yang agak tebal dan menghitam. Ketiga anak
muda itu menghentikan kudanya setelah sampai di
depan rumah berukuran cukup besar itu. Mereka ber-
lompatan turun dari punggung kuda masing-masing.
Gerakannya saat melompat turun dari pung-
gung kuda, kelihatan begitu ringan. Dari sini bisa dilihat kalau kepandaian
mereka tidak rendah. Mereka
berdiri tegak di depan beranda rumah yang pintunya
tertutup rapat. Hanya sebuah pelita saja yang masih
menerangi beranda depan rumah itu. Sedangkan ba-
gian dalam rumah, tampak begitu gelap. Tak ada se-
buah pelita pun yang menyala.
"Kalian tunggu di sini. Mudah-mudahan peng-
huninya belum tidur," ujar Banara seraya melangkah mendekati pintu rumah itu.
Banara berhenti tepat di depan pintu. Sebentar
ditatapnya Sarala dan Liliani yang menunggu di depan kuda masing-masing. Banara
mengetuk pintu itu perlahan, sambil mengucapkan salam dengan suara agak
keras. Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam rumah
ini. Kembali diketuknya pintu sambil memberi salam.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam.
"Kami, Ki. Kami pengembara yang kemalaman,"
sahut Banara seraya melirik Liliani dan Sarala.
Banara melangkah mundur dua tindak begitu
telinganya mendengar suara langkah terseret men-
dekati pintu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu ter-kuak perlahan-lahan, Dari
dalam, menyembul seorang
laki-laki tua berjubah merah muda. Sebatang tongkat kayu tampak tergenggam di
tangan kanan untuk me-
nyangga tubuhnya yang tampak sudah renta. Walau-
pun seluruh rambutnya sudah memutih namun masih
kelihatan gagah.
Banara segera menjura memberi hormat. Se-
dangkan laki-laki tua berjubah merah muda itu mem-
perhatikan, namun sinar matanya seperti curiga. Ke-
mudian, ditatapnya dua orang lagi yang masih berdiri di depan beranda rumah ini.
Kedua anak muda itu
menganggukkan kepala sedikit, dan melangkah meng-
hampiri. "Kalian ini siapa?" tanya laki-laki tua berjubah merah muda itu masih bernada
curiga. "Aku Banara. Dan mereka adik-adikku. Sarala
dan Liliani, namanya. Kami bertiga pengembara yang
kemalaman, dan kebetulan melewati desa ini," sahut Banara memperkenalkan diri
dan kedua adiknya.
"Aku Ki Lokan, kepala desa ini," kata laki-laki tua berjubah merah itu juga
memperkenalkan diri.
"Ada keperluan apa kalian ke desa ini?"
"Kami hanya meminta izin untuk bermalam, Ki.
Tapi tampaknya desa ini tidak memiliki penginapan.
Bahkan tak ada satu rumah pun yang menyalakan pe-
lita. Kebetulan hanya rumah ini saja yang masih me-
masang satu pelita. Jadi, kami memutuskan untuk ke
sini, Ki," jelas Banara lagi, mewakili kedua adiknya.
"Ada dua rumah penginapan di desa ini, tapi
sudah tutup sejak siang tadi. Dan lagi, kami semua
sekarang ini tidak bisa menerima tamu, meskipun
hanya satu malam saja. Maaf, bukannya aku tidak so-
pan pada kalian. Tapi, keadaanlah yang memaksaku
tidak mengizinkan kalian bermalam di sini," tegas Ki Lokan, tapi masih bernada
ramah. "Kenapa, Ki..." Apakah ada yang melarang pen-
datang masuk ke desa ini?" tanya Liliani jadi tidak
mengerti sikap Ki Lokan.
"Memang aku yang melarangnya. Hal ini kula-
kukan untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Kalian pasti sudah melihat keadaan desa ini, bukan...?"
Banara dan kedua adiknya mengangguk. Me-
mang, keadaan Desa Gronggong ini membuat mereka
sejak tadi bertanya-tanya terus dalam hati. Tapi, mereka sudah menduga kalau
desa ini baru saja tertimpa musibah. Dugaan itu semakin menebal, saat melihat
sikap Ki Lokan, Kepala Desa Gronggong ini yang tidak mengizinkan mereka
bermalam. "Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, bencana apa yang
terjadi di desa ini?" tanya Banara tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Sore tadi, juga telah datang dua orang pe-
nunggang kuda seperti kalian. Dan mereka juga ber-
tanya seperti itu. Lalu, mereka langsung pergi ke arah Timur untuk mengejar kuda
setan itu, setelah semuanya kuceritakan. Apakah tujuan kalian juga sama
dengan mereka untuk mengejar kuda setan yang telah
menghancurkan desa ini...?" tanya Ki Lokan, pada akhirnya. "Kuda setan..." Apa
maksudnya, Ki?" tanya Liliani sambil memandangi kedua kakaknya.
*** Ki Lokan memandangi Liliani dan kedua ka-
kaknya bergantian. Dia seakan-akan tidak percaya ka-
lau ketiga anak muda tamunya ini tidak tahu tentang
kuda hitam yang siang tadi mengamuk di desa ini. Se-
dangkan yang dipandangi masih tetap menunggu ja-
waban atas pertanyaan Liliani tadi.
"Kalian benar-benar tidak tahu tentang kuda
setan itu?" Ki Lokan malah bertanya sambil merayapi wajah ketiga tamunya.
Banara dan Liliani saling berpandangan, ke-
mudian menggelengkan kepala. Hanya Sarala saja
yang tampak diam memandangi Ki Lokan.
"Mari sini. Duduklah di dalam," ujar Ki Lokan seraya membuka pintu rumahnya
lebar-lebar. Ketiga anak muda itu saling berpandangan se-
jenak. Sementara, Ki Lokan sudah lebih dulu masuk
ke dalam. Laki-laki tua kepala desa itu menyalakan pelita yang tergantung di
tengah-tengah ruangan depan rumahnya. Cahaya lampu pelita segera menerangi
ruangan yang berukuran cukup besar ini. Banara dan
kedua adiknya melangkah masuk. Ki Lokan mempersi-
lakan ketiga tamunya ini duduk di kursi yang me-
lingkari sebuah meja bundar beralaskan batu manner
putih yang berkilat. Sedangkan pelita yang menyala terang tergantung tepat di
atas meja. Ki Lokan mengam-
bil tempat duduk di samping Banara.
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Tidak ada orang lagi di sini, kecuali aku dan
empat orang pembantuku. Semua anak dan istriku
sudah diungsikan ke rumah adikku yang cukup jauh
dari sini, sampai keadaan desa ini tenang kembali," jelas Ki Lokan tanpa
diminta. "Hanya seekor kuda saja, mampu membuat de-
sa ini jadi kacau, Ki...?" tanya Liliani seperti tidak percaya. "Itu bukan kuda
sembarangan, Nisanak. Dua orang yang sore tadi datang, mengatakan kalau kuda
itu jelmaan seseorang yang belum menginginkan ke-
matiannya. Dan dia sedang menyempurnakan kehidu-
pannya kembali. Katanya lagi, kuda itu akan kembali
menjadi seorang manusia yang tangguh dan tak terka-
lahkan bila sudah bertemu pasangannya," jelas Ki Lokan, menceritakan tentang
kuda hitam yang hampir
menghancurkan Desa Gronggong ini.
'Pasangannya itu seekor kuda juga, Ki?" tanya
Liliani seperti tertarik cerita kepala desa ini.
"Bukan. Tapi seseorang yang sudah mati," sahut Ki Lokan.
"Maksudmu, Ki..."!" tanya Banara jadi terkejut keningnya.
"Ya. Mereka mengatakan, orang yang mati itu
pasangannya. Juga, dia bisa kembali hidup jika bersa-tu lagi dengan jasadnya
pada waktu yang tepat. Itulah yang bisa mengembalikan kuda setan itu kembali ke
asalnya sebagai manusia tangguh berkepandaian ting-
gi. Sayang, mereka tidak cerita lebih banyak lagi, karena langsung pergi setelah
aku menunjukkan arah ku-
da setan itu pergi," kata Ki Lokan lagi, menjelaskan.
"Aneh.... Seseorang yang belum mau mati, lalu
menjelma menjadi seekor kuda liar. Hm..., seperti sebuah dongeng saja," gumam
Banara seperti bicara pa-da diri sendiri.
"Tapi, itulah kenyataannya. Sepuluh orang
warga desa ku tewas diinjak-injak. Kuda itu kuat seka-li. Bahkan tidak mempan
senjata. Dari mulutnya juga
bisa mengeluarkan api," jelas Ki Lokan lagi.
"Aku jadi penasaran, seperti apa kuda itu, Ka-
kang," kata Liliani seraya menatap Banara.
Banara hanya tersenyum saja. Sedangkan Ki
Lokan jadi terlongong mendengar kata-kata Liliani tadi.
"Sebaiknya, kalian jangan cari penyakit. Kuda
itu bukan binatang sembarangan. Tidak ada kuda
yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Kalian li-
hat... Beberapa rumah di sini habis terbakar semburan api dari mulutnya," kata
Ki Lokan mencoba memperin-
gatkan. "Sebenarnya kami juga sedang memburu kuda itu, Ki," selak Sarala yang
sejak tadi diam saja.
"Apa..."!" Ki Lokan jadi terkejut setengah mati.
"Seperti yang terjadi di sini, Ki. Kuda itu juga telah menghancurkan desa kami.
Bahkan lebih parah
daripada di sini. Ayah yang sekaligus guru kami, juga tewas oleh kuda itu.
Bahkan lebih dari separuh penduduk desa kami tewas," jelas Sarala memberi tahu.
"Jadi kalian sama seperti dua orang yang da-
tang terdahulu..." Kenapa tidak bilang sejak tadi"! Kenapa berpura-pura tidak
tahu, dan pura-pura terke-
jut?" Ki Lokan jadi kecewa, dan memberondong dengan pertanyaan.
"Kami membutuhkan tempat untuk bermalam,
Ki. Perjalanan yang kami lakukan begitu melelahkan.
Sudah tiga desa kami masuki, tapi semuanya menolak
bila mengetahui kami mengejar kuda itu," kata Sarala lagi, tanpa menghiraukan
pandangan kedua saudaranya. "Aku sebenarnya tidak memusuhi orang-orang yang
mengejar kuda itu, seperti kalian. Aku hanya
khawatir, kuda itu datang lagi ke sini karena merasa dikejar. Aku hanya
memikirkan keselamatan penduduk saja. Tidak lebih dari itu," sergah Ki Lokan.
"Kami mengerti, Ki," ucap Sarala. "Aku jamin, Ki. Kuda itu tidak akan kembali
lagi ke desa yang sudah dilewatinya. Dia akan terus mencari gadis itu, dan akan
menjelajahi setiap desa yang belum pernah dima-sukinya. Binatang itu akan
mengambil jalan memutar
jika mengetahui telah memasuki desa yang akan di-
lewatinya. Yang jelas, dia seperti memiliki pantangan untuk melewati sebuah desa
dua kali."
Ki Lokan terdiam memandangi Sarala, kemu-
dian beralih menatap Banara dan Liliani. Malam me-
mang sudah begitu larut. Dan hatinya merasa tidak te-ga juga bila mengusir
ketiga anak muda ini untuk ke-
luar dari desa malam ini juga. Terlebih lagi, apa yang mereka alami lebih buruk
daripada yang diderita Desa Gronggong. Beberapa saat mereka jadi terdiam, tak
ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sambil
menghembuskan napas panjang, Ki Lokan bangkit dari
duduknya. Dia melangkah ke pintu, lalu menutup pin-
tu rumahnya. Dikuncinya pintu itu rapat-rapat.
"Sepertinya, aku tidak bisa membiarkan kalian
pergi malam ini...," kata Ki Lokan, agak menggumam suaranya.
Laki-laki tua kepala desa itu melangkah meng-
hampiri ketiga anak muda itu lagi, tapi tetap berdiri di belakang Liliani.
Sedangkan ketiga anak muda itu
hanya memandangi Ki Lokan seperti tidak percaya
dengan apa yang baru saja didengar. Semula, Ki Lokan tidak mengizinkan mereka
tinggal di desa ini, meskipun hanya semalam saja. Tapi, tiba-tiba saja jadi
berubah setelah Sarala mengatakan tujuan yang sebe-
narnya. Bahkan juga menceritakan keadaan desa me-
reka yang hancur diamuk kuda hitam itu.
"Sebaiknya, kalian istirahat saja di sini. Besok pagi kalian bisa melanjutkan
perjalanan," ujar Ki Lokan seraya memutar tubuhnya berbalik.
'Terima kasih, Ki," ucap Sarala seraya bangkit
berdiri, dan membungkukkan tubuhnya sedikit mem-
beri hormat. "Banyak kamar di sini. Kalian bisa memilih
yang mana saja. Jangan canggung-canggung, anggap
saja seperti rumah sendiri. Maaf, aku tidak bisa me-
layani kalian lebih baik lagi," kata Ki Lokan lagi.
'Terima kasih, Ki," ucap ketiga anak muda itu
bersamaan, seraya membungkukkan tubuh memberi
hormat. "Sebaiknya kalian cepat tidur. Aku juga sudah mengantuk," ujar Ki Lokan
seraya melangkah meninggalkan ruangan depan ini.
Setelah Ki Lokan menghilang di dalam sebuah
kamar, Banara langsung mencekal pundak Sarala. Si-
nar matanya begitu tajam, menatap langsung ke bola
mata adiknya. "Seharusnya tidak perlu kau katakan yang se-
benarnya, Sarala. Hampir saja kau merusak semua
rencana kita," desis Banara begitu perlahan.
"Untuk apa harus bersandiwara" Yang penting
sekarang, kita bisa beristirahat di bawah atap malam ini," jawab Sarala kalem.
Pemuda itu melepaskan cekalan tangan Banara
pada pundaknya, kemudian melangkah ringan me-
ninggalkan kedua saudaranya. Sarala cepat tenggelam
di dalam sebuah kamar yang dipilihnya. Pintu kamar
itu langsung menghadap ke pintu kamar yang ditem-
pati Ki Lokan. "Anak itu benar-benar susah diajak damai!"
dengus Banara bernada kesal.
"Sudahlah, Kakang.... Kakang Sarala tidak su-
ka berlaku tidak jujur," bujuk Liliani, mencoba menya-barkan kakaknya.
"Hhh...! Bohong sedikit itu perlu untuk kebai-
kan dan kebenaran, Liliani."
"Aku tahu. Tapi, keyakinan setiap orang pasti
berbeda, Kakang. Sudahlah.... Ayo lata istirahat. Masih terlalu panjang
perjalanan kita," ajak Liliani seraya melangkah meninggalkan kakak sulungnya.
"Hhh...!" Banara hanya menghembuskan napas panjang saja.
Kemudian, kakinya melangkah memilih kamar
untuk beristirahat setelah Liliani menghilang ke dalam kamar yang dipilihnya.
Dan keadaan di dalam rumah
kepala desa itu jadi sunyi senyap. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali
desir angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar, ditingkahi gerit
binatang malam.
*** 2 Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum me-
nampakkan diri, Banara, Sarala dan Liliani sudah me-
ninggalkan Desa Gronggong. Mereka diantar Ki Lokan
dan empat orang pembantunya sampai ke perbatasan
sebelah Timur, ke arah kuda setan itu pergi. Sebelum berpisah, Banara sempat
berpesan agar Ki Lokan dan
seluruh penduduk desanya tidak perlu khawatir. Ka-
rena, kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa ini. Ma-ka, hal itu membuat Ki
Lokan bisa bernapas lega.
Sementara itu Banara dan kedua adiknya terus
memacu cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan
Desa Gronggong. Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka mulai memasuki
sebuah hutan yang cukup lebat. Sehingga, mereka tidak mungkin bisa memacu
kuda dengan cepat. Saat ini, hari memang masih terla-lu pagi. Dan matahari pun
belum juga menampakkan
diri. Hanya bias cahayanya saja yang terlihat di ufuk Timur. Warnanya merah
jingga, dan begitu indah. Namun nampaknya ketiga anak muda itu tidak sempat
menikmati keindahan pagi ini.
"Hup...!"
Banara cepat melompat turun setelah meng-
hentikan langkah kudanya. Pemuda itu berjongkok
sambil memegangi tali kekang kudanya. Diperiksanya
tanah yang berumput cukup tebal. Sarala dan Liliani ikut melompat turun. Mereka
mengedarkan pandangan, menyusuri tanah berumput di sekitarnya.
"Banyak sekali jejak kuda di sini, Kakang," kata Liliani. "Aku yakin, bukan
hanya kita bertiga dan si Iblis Kembar dari Utara saja yang mengejar kuda
itu...," gumam Sarala perlahan, seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi heran. Untuk apa mereka mengejar
Jaran Geni itu...?" Liliani juga menggumam, bertanya pada diri sendiri.
"Jaran Geni memang bukan kuda sembaran-
gan. Jelas tujuan mereka tidak sama dengan kita. Ta-
pi, bisa juga punya tujuan sama," sahut Banara me-nanggapi pertanyaan adiknya
yang menggumam tadi.
"Hhh...! Semakin banyak rintangan yang akan
kita hadapi," keluh Liliani mendesah panjang.
"Rintangan apa pun harus dihadapi, Liliani,"
tegas Banara mantap.
"Ha ha ha...!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Ketiga anak muda itu jadi terkejut setengah
mati, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar.
Sehingga, membuat telinga
mereka jadi terasa sakit. Liliani cepat-cepat menutup telinganya dengan kedua
tangan. Suara tawa itu terus terdengar keras dan menggema, seakan-akan datang
dari segala penjuru mata angin.
"Kalian tidak pantas ikut permainan ini, Bocah-
bocah ingusan. Sebaiknya pulang saja sebelum ada
penyesalan di kemudian hari!" begitu lantang suara itu terdengar, setelah suara
tawa yang keras menggelegar tak terdengar lagi.
"Siapa kau"! Keluar...!" bentak Banara tidak kalah lantangnya.
Brusss...! Ketiga anak muda itu jadi terkejut bukan main,
dan sampai terlompat ke belakang beberapa langkah.
Memang, tiba-tiba di depan mereka mengepul asap
tebal kemerahan, seperti muncul begitu saja dari dalam tanah. Dan ketika asap
tebal kemerahan itu me-
mudar, muncul seorang laki-laki tua berbaju merah
menyala yang longgar dan panjang dari dalam asap.
Di tangan kanan orang tua itu tergenggam se-
batang tongkat, dengan bagian ujung kepalanya ber-
bentuk tengkorak. Sepasang bola matanya memerah
bara, bagai sepasang bola api. Wajahnya kelihatan begitu bengis. Dan rambutnya
yang memutih, dibiarkan
tak teratur hampir menutupi sebagian wajahnya.
"Setan Tengkorak Merah...," desis Banara langsung mengenali orang tua berjubah
merah yang tiba-
tiba muncul di tempat ini.
"Apa maksudmu menghadang jalan kami di si-
ni, Setan Tengkorak Merah?" tanya Sarala langsung, suaranya lantang dan keras
menggelegar. "He he he.... Rupanya kalian sudah tahu siapa
aku. Maka, sebaiknya pergi. Dan jangan coba-coba
ikut mengejar Kuda Api!" dengus laki-laki tua berjubah merah yang ternyata
berjuluk Setan Tengkorak Merah
dingin, diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.
"Hhh! Kau tidak ada hak melarang putra-putra
Elang Maut, Setan Tengkorak Merah...!" desis Banara tidak kalah dingin.
"Kalian memang bocah-bocah sombong yang
keras kepala! Apa mata kalian sudah buta, heh..."! Lihat! Siapa yang ada di
depan kalian ini..."!" bentak Setan Tengkorak Merah jadi geram.
"Kami tahu siapa dirimu, Setan Tengkorak Me-
rah. Dan kami tidak akan mundur setapak pun!" tegas Banara. "Grrr...!" Setan
Tengkorak Merah menggeram dahsyat, seperti seekor serigala yang marah melihat
pemburu di dekatnya.
Sementara Banara dan kedua adiknya sudah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Mereka tahu kalau orang yang dihadapi ini
memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Tapi, tak ada sedikit pun rasa gentar
di hati ketiga anak muda putra Elang Maut itu.
"Berpencar...!" seru Banara tiba-tiba, dengan suara lantang menggelegar.
"Hup...!"
"Hap...!"
Sarala dan Liliani langsung berlompatan ke
samping kanan dan kiri Setan Tengkorak Merah. Se-
dangkan Banara tetap berada di depan. Setan Tengko-
rak Merah hanya mendengus saja sambil memperhati-
kan ketiga anak muda yang sudah siap melakukan se-
rangan. Sret..!
Cring...! Ketiga putra Elang Maut itu segera mencabut
pedang masing-masing yang tipis dan berwarna kepe-
rakan. Bentuk dan ukurannya sama persis. Bagian
ujung gagangnya berbentuk kepala burung elang ber-
warna perak berkilatan. Pedang itu memantulkan ca-
haya matahari yang baru saja menyembul keluar dari
batik pepohonan di sebelah Timur.
"Hiyaaa...!"
*** Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah berteriak
keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat
cepat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Banara.
Begitu cepat dan mendadak sekali serangannya, se-
hingga membuat Banara jadi terperangah sesaat.
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hait..!"
Cepat-cepat Banara menarik tubuhnya ke bela-
kang, sehingga kebutan tongkat Setan Tengkorak Me-
rah hanya lewat sedikit di depan dadanya. Pada saat
itu, Sarala sudah melompat cepat disertai teriakan keras. Pedangnya langsung
dikebutkan ke arah kepala
Setan Tengkorak Merah.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Hih!"
Setan Tengkorak Merah tidak berusaha meng-
hindar sedikit pun. Tongkatnya malah ditarik dan ditegakkan di samping
kepalanya. Tak dapat dihindari lagi, pedang Sarala menghantam tongkat berwarna
merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak.
Trang! "Ikh...!" Sarala terpekik agak tertahan.
Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu berpu-
taran beberapa kali ke belakang sambil memegangi
pergelangan tangan kanannya. Seluruh tangan kanan-
nya terasa jadi bergetar kesemutan saat pedangnya
menghantam tongkat si Setan Tengkorak Merah baru-
san. Pemuda itu agak terhuyung begitu kakinya menje-
jak tanah. "Hiyaaat...!"
Setan Tengkorak Merah cepat melompat sambil
mengebutkan tongkatnya ke arah Sarala yang masih
berusaha menguasai diri. Cepat sekali kebutan tong-
katnya, sehingga Sarala tak mungkin lagi bisa meng-
hindar. Tapi pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Liliani melompat mengibaskan
pedangnya. Dicobanya untuk
menyampok tongkat si Setan Tengkorak Merah.
"Yeaaah...!"
Bet! Trang! "Hih! Yeaaah...!"
Begitu tongkatnya tersampok pedang Liliani,
cepat sekali Setan Tengkorak Merah memutar tubuh-
nya sambil membungkuk. Sementara kaki kanannya
bergerak cepat melepaskan satu tendangan menggele-
dek yang begitu keras ke arah perut Liliani. Padahal, gadis itu masih tersentak
akibat benturan pedangnya
dengan tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan.
Sehingga, tak ada lagi kesempatan bagi Liliani untuk menghindari tendangan laki-
laki tua berjubah merah
itu. Desss! "Akh...!"
Liliani terpekik keras agak tertahan begitu ten-
dangan Setan Tengkorak Merah menghantam telak pe-
rutnya. Tubuh gadis itu terpental deras ke belakang.
Begitu kerasnya tendangan yang dilakukan Setan
Tengkorak Merah. Sehingga, saat tubuh Liliani mem-
bentur sebongkah baru yang cukup besar, baru itu
langsung hancur berkeping-keping seketika.
"Liliani...!" seru Sarala keras.
Baru saja Sarala hendak melompat mengham-
piri Liliani yang menggeliat merintih di antara puing-puing pecahan baru, tiba-
tiba saja Setan Tengkorak
Merah sudah melesat cepat sambil melepaskan satu
pukulan tangan kiri yang cukup keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
sekali. "Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...!" Sarala terpekik keras begitu pukulan Setan Tengkorak Merah menghantam
telak dadanya. Sarala tak mampu lagi bertahan, dan langsung terpen-
tal ke belakang. Tubuhnya menghantam beberapa ba-
tang pohon hingga roboh. Sarala menggelepar di tanah sambil mengerang. Sementara
Setan Tengkorak Merah
memutar tubuhnya perlahan, menghadap Banara yang
jadi terlongong bengong melihat kedua adiknya tergeletak menggelepar di tanah
hanya beberapa gebrakan
saja. "Kali ini kalian kuberi kesempatan hidup. Ku-peringatkan sekali lagi,
jangan sekali-sekali lagi berani mengejar Kuda Api. Dia sudah jadi milikku, dan
biarkan menitis kembali ke asalnya," dingin sekali nada suara Setan Tengkorak
Merah. Kali ini Banara benar-benar tidak bisa berkata-
kata lagi, dan hanya bisa diam tak bergeming sedikit pun. Sementara Setan
Tengkorak Merah sudah berbalik, dan melangkah cepat meninggalkan tepian hutan
ini. Arahnya terus menuju ke Timur, semakin masuk
ke dalam hutan. Banara baru bisa bergerak mengham-
piri adik-adiknya setelah Setan Tengkorak Merah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Banara.
"Aku harus segera bersemadi. Keras sekali pu-
kulan Setan Tengkorak Merah...," jelas Sarala tersen-gal.
"Aku juga, Kakang...," sambung Liliani juga ter-sengal.
"Cepatlah bersemadi. Kalian akan ku jaga," ka-ta Banara begitu cemas melihat
keadaan kedua adik-
nya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sarala dan
Liliani mengambil tempat yang teduh di bawah pohon.
Kemudian, mereka duduk bersila untuk memulai ber-
semadi. Sementara Banara menunggui tidak jauh dari
kedua adiknya itu. Sesekali matanya menatap mereka
yang sudah bersemadi. Jelas sekali kalau raut wajah-
nya begitu cemas. Apalagi ketika melihat mulut mereka yang terus mengalirkan
darah agak kental kehitaman.
*** Sementara itu jauh di tengah Hutan Gronggong,
tampak seekor kuda hitam tengah menghentak-
hentakkan kakinya di atas sebuah gundukan tanah
yang dilapisi rerumputan tebal. Begitu gundukan ta-
nah yang tampaknya seperti sebuah kuburan itu mulai
terbongkar, tiba-tiba saja kuda hitam itu berhenti
menghentak-hentakkan kakinya. Sedangkan kepa-
lanya langsung terdongak ke atas. Binatang itu men-
dengus keras, sehingga dari lubang hidungnya keluar
segumpal asap tebal kemerahan.
"Hieeekh...!"
Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika dua orang penunggang
kuda keluar dari lebatnya pepohonan di hutan ini. Kedua penunggang kuda yang
wajah dan bentuk tubuhnya sama persis itu segera
berlompatan turun dari kuda masing-masing. Sukar
membedakan kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun ini, kecuali dari
warna pakaiannya saja.
Yang seorang mengenakan baju warna biru tua,
dan berjuluk Iblis Biru. Sedangkan yang seorang lagi
mengenakan baju warna hitam pekat, dengan julukan
Iblis Hitam. Mereka memang orang kembar, dan berju-
luk si Iblis Kembar dari Utara.
"Kita datang tepat pada waktunya, Iblis Hitam,"
kata Iblis Biru perlahan.
"Benar. Jaran Geni sudah menemukan kubu-
rannya," sahut Iblis Hitam, juga perlahan suaranya.
Baru saja mereka hendak melangkah mendeka-
ti kuda hitam itu, tiba-tiba saja terdengar siulan panjang yang begitu nyaring
melengking tinggi. Siulan
yang tiba-tiba terdengar melengking itu membuat si Iblis Kembar dari Utara jadi
terkejut. Mereka langsung saling melempar pandangan.
"Hm, siapa dia...?" tanya Iblis Hitam.
"He he he...!"
Bersamaan terdengarnya suara tawa terkekeh
yang menggantikan siulan melengking tadi, tiba-tiba
saja berkelebat sebuah bayangan putih. Dan tahu-
tahu, tidak jauh dari si Iblis Kembar dari Utara sudah berdiri seorang laki-laki
tua berjubah putih panjang.
Suara tawanya yang terkekeh dan begitu kering, sung-
guh menyakitkan telinga. Memang suara tawa itu dis-
ertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Di rimba persilatan dia berjuluk Kakek
Siulan Maut. "He he he.... Ternyata kalian lebih dulu sampai dariku," kata laki-laki tua
berjubah putih yang berjuluk Kakek Siulan Maut, diiringi suara tawanya yang
kering dan terkekeh.
"Jika tujuanmu sama dengan kami, sebaiknya
diam dan jangan mengganggu Jaran Geni," dengus Iblis Hitam, ketus.
"Tentu saja aku tidak akan mengganggu Jaran
Geni, tapi justru akan menjaganya dari keusilan kalian berdua," sambut Kakek
Siulan Maut, sinis.
Kakek Siulan Maut segera mengambil tempat di
bawah pohon yang cukup rindang. Kemudian dia du-
duk bersila, seraya meletakkan tongkat pendek yang
terbuat dari baja putih di sampingnya. Kedua ujung
tongkatnya bercabang tiga, dan berbentuk runcing se-
perti mata tombak. Melihat laki-laki tua berjubah putih ini kelihatan tenang dan
langsung memperhatikan ku-da hitam aneh itu, si Iblis Kembar dari Utara juga
segera duduk di dekat kudanya.
Sementara kuda hitam itu masih mendengus-
dengus sambil memandangi tiga orang yang duduk
bersila agak jauh darinya. Dan pada saat itu, muncul lagi seorang laki-laki tua
berjubah merah. Dia seperti tidak peduli pada tiga orang yang sudah duduk
bersila dengan tenang. Tampak sebatang tongkat merah yang
pada bagian ujung atas terdapat tengkorak kepala ma-
nusia, tergenggam di tangannya. Dia langsung saja
mengambil tempat, dan duduk bersila tanpa berkata
sedikit pun. Di kalangan rimba persilatan dia dikenal sebagai Iblis Tongkat
Merah. Namun tak berapa lama kemudian, muncul lagi
dua orang gadis berwajah cantik yang di punggung
masing-masing tersampir sebilah pedang. Kemunculan
mereka, masih disusul oleh munculnya seorang pe-
rempuan tua berbaju hitam pekat dan longgar. Dia
membawa sebuah cambuk pendek berbentuk ekor ku-
da yang juga berwarna hitam pekat Perempuan tua ini, dikenal berjuluk Dewi
Cambuk Maut Sedangkan dua
orang gadis yang sudah duduk bersila di bawah pohon
itu, di kalangan persilatan dikenal sebagai Dewi Naga Kembar. Masing-masing
bernama asli, Untari dan Le-gini. "Hieeekh...!" tiba-tiba saja kuda hitam yang
mereka kenal sebagai Jaran Geni, meringkik keras me-
lengking tinggi sambil mengangkat kedua kakinya
tinggi-tinggi ke atas.
Begitu keras ringkikannya, sehingga tanah di
sekitarnya jadi bergetar. Dan entah dari mana, tiba-
tiba saja angin berhembus kencang bagai badai topan.
Akibatnya, pepohonan di sekitar Hutan Gronggong itu
jadi berderak, seperti hendak roboh. Sedangkan orang-orang yang duduk bersila di
sekitarnya masih tetap
duduk tenang, tak bergeming sedikit pun. Mereka
mengambil sikap seperti sedang bersemadi.
"Hieeekh...!"
Lagi-lagi Jaran Geni meringkik keras beberapa
kali, sambil menghentak-hentakkan kedua kaki de-
pannya ke tanah. Dan begitu ringkikannya berhenti,
seketika itu juga suasana menjadi tenang kembali. Tidak ada lagi hembusan angin
badai, dan bumi tak lagi terasa bergetar. Bahkan suara menderu pun tidak lagi
terdengar. Suasana di tengah Hutan Gronggong kini
mendadak saja jadi sunyi senyap bagai berada di ten-
gah-tengah kuburan.
*** Entah berapa lama kesunyian itu berlangsung
menyelimuti Hutan Gronggong ini, bahkan tak ada
seorang pun yang membuka suara. Kuda hitam Jaran
Geni yang semula liar, kini jadi tenang sekali. Dan binatang itu juga tidak lagi
mendengus-dengus, namun
kepalanya masih mendongak ke atas. Tiba-tiba saja,
langit tampak gelap, tertutup awan hitam yang meng-
gumpal. Mendadak....
Cras! Glarrr...! Satu ledakan keras menggelegar terdengar keti-
ka tiba-tiba saja secercah kilat langsung menyambar
kuburan yang sudah mulai terbongkar. Api langsung
berkobar membakar kuburan yang berlubang oleh
hentakan kaki kuda hitam itu tadi. Dan lubang itu semakin lebar terbongkar,
setelah tersambar kilat.
Seperti datangnya tadi, awan hitam yang meng-
gumpal menutupi langit tiba-tiba saja menghilang en-
tah ke mana. Dan keadaan di tengah-tengah Hutan
Gronggong itu jadi terang kembali. Api masih berkobar besar dari lubang kuburan
yang terbongkar. Saat kuda hitam yang bernama Jaran Geni melangkah menghampiri
kobaran api itu, semua orang yang ada di sekitarnya bergegas bangkit berdiri.
Mereka langsung me-
langkah menghampiri kuda hitam itu.
Perlahan-lahan api yang berkobar dari dalam
lubang kuburan itu mengecil, lalu tak berapa lama
kemudian padam. Kini tinggal asap hitam yang masih
mengepul membumbung tinggi. Tapi kepulan asap hi-
tam itu hanya sebentar saja, karena kemudian meng-
hilang terbawa angin yang berhembus agak kencang di
tengah Hutan Gronggong ini.
"Jaran Geni, izinkan aku membantu menyem-
purnakan kebangkitan mu," pinta Kakek Siulan Maut seraya menjura membungkukkan
tubuhnya sedikit,
memberi hormat pada kuda hitam aneh itu.
Kuda hitam itu berpaling menatap Kakek Si-
ulan Maut dengan sepasang bola matanya yang merah
bagai darah. Kemudian, dipandanginya orang-orang
yang berada di sekelilingnya. Semua yang dipandangi
segera membungkukkan tubuhnya, seperti memberi
hormat pada seorang pimpinan.
"Hieeekh...!" kuda hitam itu tiba-tiba saja meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara.
Seketika itu juga wajah mereka semua lang-
sung cerah, begitu melihat kepala kuda hitam itu te-
rangguk-angguk. Mereka lalu saling berpegangan tan-
gan, dan melingkari kuda hitam itu bersama kuburan
yang sudah terbongkar. Tampak jelas, di dalam lubang kuburan itu tergolek
sesosok tubuh yang hitam dan
hangus seperti baru saja terbakar.
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kuangkat jasadmu, Jaran Geni," ujar Iblis Tengkorak Merah.
Belum juga ada yang sempat membuka suara,
Iblis Tengkorak Merah langsung melompat cepat ma-
suk ke dalam lubang kuburan itu. Tak lama kemudian,
laki-laki bertongkat merah itu kembali melompat naik sambil membawa sesosok
tubuh hitam yang hangus
bagai terbakar. Perlahan-lahan, diletakkannya sosok
tubuh hitam itu di depan Jaran Geni.
Kuda hitam itu menghentakkan kaki depan ka-
nannya tiga kali ke tanah, maka tujuh orang yang ada di tengah Hutan Gronggong
itu segera menghampiri
mendekat.. Mereka berdiri setengah melingkar di de-
pan sosok tubuh menghitam hangus itu, lalu sama-
sama mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna kun-
ing keemasan. Bentuk dan ukuran pisau itu serupa
persis, sedikit pun tak ada perbedaannya.
"Hieeekh...!" kuda hitam itu kembali meringkik keras sambil mendongakkan
kepalanya. Serentak, tujuh orang golongan hitam itu men-
gangkat pisau yang tergenggam di tangan kanan ting-
gi-tinggi ke atas kepala. Lalu, ujung pisau itu disatukan, tepat di atas dada
sosok tubuh menghitam han-
gus yang terbaring di depan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
*** 3 Tujuh orang tokoh tingkat tinggi golongan hi-
tam itu tiba-tiba saja menghunjamkan pisau tepat ke bagian tengah dada sosok
tubuh yang menghitam hangus terbaring di tanah. Pada saat itu, terdengar ledakan
guntur menggelegar di angkasa, disusul berkelebatannya secercah cahaya kilat
yang langsung menyam-
bar dada sosok tubuh hitam itu. Pada saat yang ber-
samaan, tujuh orang tokoh persilatan itu berlompatan mundur sejauh dua batang
tombak. Tiba-tiba saja, muncul asap hitam yang meng-
gumpal menyelimuti seluruh tubuh hitam hangus itu.
Pada saat yang bersamaan, kuda hitam itu menggele-
par jatuh ke tanah sambil menggerung-gerung. Bumi
langsung bergetar. Bahkan angin seketika berhembus
kencang, menerbangkan apa saja yang ada di sekitar
Hutan Gronggong ini.
Asap hitam itu semakin besar menggumpal,
hingga menyelimuti tubuh kuda hitam yang menggele-
par sambil menggerung-gerung di tanah. Tiba-tiba sa-
ja, warna asap itu berubah jadi merah bagai darah. La-lu, berganti warna hingga
beberapa kali. Dan bersa-
maan dengan tenangnya alam, asap yang kembali hi-
tam itu pun menyebar hilang. Pada saat itu, di tempat sesosok mayat tadi
tergeletak, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya indah,
ber- warna biru muda. Di sampingnya berdiri seekor kuda
hitam yang tinggi dan gagah.
"Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tiba-tiba ter-tawa terbahak-bahak.
Tapi tiba-tiba, suara tawanya terhenti begitu
melihat tujuh orang berlutut sekitar dua tombak di de-
pannya. Kemudian kakinya melangkah tenang sambil
merayapi wajah tujuh orang yang masih berlutut di
depannya. "Aku senang kalian bisa memenuhi undangan
dan permintaanku. Tapi sayang, seharusnya ada dela-
pan pisau emas yang tertanam di tubuhku. Bukannya
tujuh...," kata pemuda itu, suaranya terdengar dingin menggetarkan.
"Kami tidak tahu. Yang jelas, hanya kami bertu-
juh yang datang ke sini," kata Iblis Tengkorak Merah.
"Hm.... Itu berarti kalian harus bisa menda-
patkan satu pisau emasku lagi. Dengan demikian, ke-
hidupan dan kekuatanku baru benar-benar sempurna.
Hanya dengan tujuh pisau emas saja, kehidupanku be-
lum begitu sempurna. Dan itu berarti aku masih me-
merlukan pelindung kalian semua," jelas pemuda itu lagi, tetap dingin suaranya.
"Kami akan mendapatkannya, Raden Gordapa-
la," sahut Iblis Tengkorak Merah lagi.
"Hm...," pemuda yang dipanggil Raden Gordapala tiba-tiba menggumam kecil.
Kepalanya bergerak menggeleng ke kanan dan
ke kiri, lalu memandangi tujuh orang yang masih ber-
lutut di depannya. Ketujuh orang tokoh persilatan itu hanya memandangi tidak
mengerti. Tapi mendadak sa-ja, Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut me-
lesat cepat ke arah sebuah batu besar yang tingginya hampir menyamai pohon.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
Tak lama kemudian, sesosok tubuh kurus tan-
pa baju terlempar ke udara. Tubuh laki-laki tua kurus itu lalu terbanting keras
di tanah dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Hanya sebentar dia menggeliat,
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Iblis Tengko-
rak Merah dan Kakek Siulan Maut kembali melesat ke-
luar dari balik batu.. Masing-masing kini telah men-cengkeram seorang wanita
muda berwajah cukup can-
tik.. Mereka lalu mendorong dua gadis muda itu, hing-ga tersuruk ke depan kaki
Raden Gordapala.
"Siapa bocah-bocah ayu ini, Paman Tengkorak
Merah?" tanya Raden Gordapala.
"Aku tidak tahu, Raden. Mungkin hanya penca-
ri kayu bakar saja," sahut Iblis Tengkorak Merah.
Sementara itu, Iblis Kembar dari Utara, Dewi
Naga Kembar, dan Dewi Cambuk Maut sudah berdiri di
belakang Raden Gordapala. Sedangkan dua gadis be-
rusia sekitar tujuh belas tahun itu masih berlutut dengan tubuh gemetar di depan
pemuda tampan yang
menatap dengan sinar mata tajam berkilat.
"Apakah hanya mereka saja yang ada di sini,
Paman Siulan Maut?" tanya Raden Gordapala tanpa mengalihkan tatapannya pada
kedua gadis itu.
"Ada satu orang lagi, Raden. Tapi berhasil ka-
bur," sahut Kakek Siulan Maut.
"Setan...! Kejar, dan bunuh dia!" geram Raden Gordapala langsung memerah
wajahnya. "Apa kalian tidak tahu, tak seorang pun boleh berada di sini, selain
kalian yang memegang pisau emasku!"
"Maafkan kelalaian kami, Raden. Kami begitu
bahagia melihat Raden hidup kembali, sehingga tidak
memperhatikan keadaan sekeliling," ucap Kakek Siulan Maut.
"Aku tidak peduli alasan kalian semua! Cepat
pergi, dan bawa kepalanya padaku!" perintah Raden Gordapala lantang dan
menggelegar. "Baik, Raden," sahut ketujuh orang itu seraya membungkuk memberi hormat.
Tanpa diperintah dua kali, tujuh tokoh persila-
tan yang sudah kondang namanya itu segera berlom-
patan ke balik batu besar, tempat Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut
tadi menemukan laki-laki
tua yang sekarang sudah tergeletak tewas, dan dua
orang gadis muda berwajah cukup cantik. Sebentar sa-
ja bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak terlihat
lagi. Kini, Raden Gordapala memandangi kedua ga-
dis yang masih berlutut di depannya. Dengan kasar
sekali, gadis itu disentakkan hingga berdiri. Tubuh mereka semakin bergetar,
dengan kepala tertunduk
tak sanggup menentang sorot mata Raden Gordapala
yang begitu tajam menusuk.
"Kenapa kalian mengintai ku?" tanya Raden Gordapala dingin. Suaranya terdengar
agak mendesis. Kedua gadis itu tidak menjawab. Bahkan tubuh
mereka malah semakin gemetar ketakutan. Raden
Gordapala mendesis geram. Dengan kasar sekali, di-
cengkeramnya dagu salah seorang gadis yang berbaju
kuning, lalu mengangkatnya. Mau tak mau, Raden
Gordapala bisa menatap wajahnya yang pucat lebih je-
las lagi. "Aku bisa berbuat apa saja padamu...," desis Raden Gordapala, semakin
dingin suaranya. 'Tapi kau
cukup cantik untuk mati lebih cepat. Lama sekali aku tidak pernah lagi menikmati
kehalusan kulit wanita.
Kalian berdua akan menjadi gadis-gadis pertama yang
merasakan permainan ini."
"Oh..."!" gadis berbaju kuning itu terkejut setengah mati.
Wajah gadis itu semakin pucat pasi, dan tu-
buhnya semakin keras menggeletar. Tiba-tiba saja Ra-
den Gordapala menggerakkan tangannya dengan ce-
pat. langsung ditotoknya dada kiri gadis yang satunya lagi. Gadis itu mengeluh
pendek, dan langsung ambruk menggeletak di tanah. Seluruh tubuhnya jadi le-
mas tak bertenaga. Hanya bagian kepalanya saja yang
masih bisa digerakkan. Sementara, seluruh tubuh lain tak mampu digerakkan lagi.
"Kau akan mendapat giliran nanti, Anak Manis!
he he he...!"
Auwh...! Gadis berbaju kuning itu terpekik. Se-
kuat daya tubuhnya beringsut, mencoba berontak. Ta-
pi Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai ke-
senangan. Tangannya kembali bergerak cepat mende-
kap tubuh yang tergolek di depannya.
"Akh...!"
Kasar sekali Raden Gordapala menyentakkan
tubuh gadis yang berbaju kuning itu, sehingga terjatuh terlentang di tanah
berumput cukup tebal. Perlahan
Raden Gordapala melangkah menghampiri, dan men-
julurkan tangan kanannya. Lalu cepat sekali disam-
bar-nya baju bagian dada gadis itu, dan disentakkan
kuat-kuat. "Auwh...!" gadis itu terpekik.
Cepat-cepat gadis berbaju kuning itu menutupi
dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Dengan
wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan, dia beru-
saha menghindari laki-laki tampan berwajah bengis
itu. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba men-
jauh. Tapi, Raden Gordapala malah tersenyum menye-
ringai kesenangan. Namun kembali tangannya cepat
digerakkan, menyambar pakaian yang dikenakan gadis
itu lagi. Brettt!
"Auwh...!"
"He he he...!"
Raden Gordapala terkekeh liar melihat tubuh
yang hampir terbuka tergolek di depannya. Kulit tubuh yang halus tanpa cacat,
membuat bola mata laki-laki
tampan itu jadi berbinar penuh gejolak nafsu. Sedangkan gadis itu berusaha
menutupi tubuhnya yang su-
dah terbuka. Tapi belum juga bisa menutupi tubuh-
nya, tiba-tiba saja Raden Gordapala sudah cepat me-
nerkamnya. Kembali gadis itu terpekik, dan meronta beru-
saha melepaskan diri. Tapi pelukan Raden Gordapala
begitu kuat. Terlebih lagi, pemuda tampan itu mene-
kan dadanya. Sehingga, membuat napas gadis itu jadi
sesak. Dengan kasar sekali, Raden Gordapala mereng-
gut seluruh pakaian yang melekat di tubuh gadis itu.
Akibatnya, tak ada selembar benang pun yang mele-
kat. Seluruh tubuh gadis itu benar-benar polos. Sepasang bola mata Raden
Gordapala semakin liar menjilati sekujur tubuh menggairahkan.
"Oh..., tolong...! Lepaskan! Jangan sakiti
aku...," rintih gadis itu lirih.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tena-
ganya memang kalah jauh bila dibanding Raden Gor-
dapala: yang sudah dirasuki nafsu yang tak terkendali lagi. Rintihan gadis itu
tidak membuat gairah pemuda yang baru bangkit dari kubur itu jadi surut.
Bahkan semakin liar saja. Dan gadis yang ma-
lang itu tak bisa lagi; berbuat apa-apa. Air matanya malah sudah menitik deras.
Dia hanya bisa merintih,
dan memohon. Tapi rintihannya sama sekali tidak di-
pedulikan. "Ahhh...!" tiba-tiba saja gadis itu memekik agak tertahan.
Tubuh bugil itu langsung mengejang kaku, dan
kelopak matanya terbeliak lebar. Sesaat kemudian, dia terkulai lemas. Hanya isak
tangis dan rintihan lirih sa-ja yang terdengar. Matanya dipejamkan, tak sanggup
melihat pemuda yang tengah berpacu di atas tubuh-
nya. *** Iblis Tengkorak Merah jadi terbeliak begitu me-
lihat dua gadis cantik tergolek tanpa benang sehelai pun melekat di tubuhnya.
Sedangkan Raden Gordapala tampak duduk tenang bersandar di bawah sebatang
pohon. Sinar matanya begitu berbinar, dan bibirnya
menyunggingkan senyuman penuh kepuasan.
Bukan hanya Iblis Tengkorak Merah yang ter-
kejut. Bahkan Kakek Siulan Maut, si Iblis Kembar dari Utara, Dewi Naga Kembar,
dan Dewi Cambuk Maut,
juga jadi terbeliak melihat dua orang gadis tergolek polos tidak jauh dari Raden
Gordapala. "Kenapa kalian jadi bengong, heh...?" tegur Raden Gordapala seraya bangkit
berdiri, dan menge-
nakan pakaiannya kembali.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Tujuh
orang tokoh persilatan itu segera menjura, membung-
kukkan tubuhnya memberi hormat. Iblis Tengkorak
Merah bergegas melangkah maju mendekati, begitu
Raden Gordapala memberi isyarat dengan ujung ja-
rinya. "Bagaimana" Kau temukan tikus itu?" tanya Raden Gordapala, agak dingin
nada suaranya. "Sudah, Raden. Ini kepalanya," sahut Iblis Tengkorak Merah seraya meletakkan
sebuah bungku-san kain di depan pemuda tampan itu. Dari bawah
kain, tampak menetes cairan merah.
"Ha ha ha...! Bagus...! Kalian benar-benar pen-
gikut ku yang setia," ujar Raden Gordapala seraya ter-tawa terbahak-bahak.
"Kami semua akan melaksanakan perintahmu,
Raden. Kami akan mewujudkan semua impian mu,"
tegas Iblis Tengkorak Merah seraya menjura memberi
hormat "Aku senang mendengarnya, Paman. Tapi ada satu yang masih merisaukan ku,"
kata Raden Gordapala. "Apa itu, Raden?" tanya Iblis Tengkorak Merah.
"Kehidupanku rasanya belum sempurna bila
belum ada delapan pisau emas di dalam tubuhku,"
ungkap Raden Gordapala.
Tak ada yang berbicara. Mereka semua kini ter-
diam membisu. Sebentar Raden Gordapala meman-
dangi tujuh orang tokoh persilatan yang sudah menya-
takan kesetiaan. Berkat mereka, dia bisa bangkit lagi dari kematiannya yang
cukup panjang. "Saat rohku masih menyatu dalam tubuh Jaran
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Geni, aku memberi delapan pisau emasku. Dan kalian
masing-masing memegang satu. Sedangkan satu pisau
lagi...," Raden Gordapala tidak meneruskan ucapannya. "Siapa yang memegang pisau
emas satunya la-gi, Raden?" tanya Untari, salah satu dari Dewi Naga Kembar.
"Aku memberikannya pada salah seorang di Ke-
rajaan Karang Setra. Hhh.... Inilah kesalahan pertama yang kubuat. Aku
memberikannya begitu saja tanpa
mengetahui dirinya yang sebenarnya terlebih dahulu.
Bahkan namanya aku juga tidak tahu. Kemunculan-
nya saat aku kebingungan mencari kalian semua, para
pengikut setia ku. Kalian memang tidak saling menge-
nal sebelumnya, karena aku memang menginginkan-
nya begitu. Paling tidak, agar kebangkitan ku sekarang tidak diketahui orang
lain, sehingga menyebabkan ke-gagalan. Semua pisau mestinya kuberikan pada mas-
ing-masing pemimpin tokoh hitam di delapan penjuru
mata angin. Tapi sayang, satu buah tidak kuberikan
pada pemimpin penjuru angin pertama," ujar Raden Gordapala menyesali kesalahan
yang telah diperbuat-nya. "Apakah kami harus mendapatkan pisau emas itu, Raden?"
tanya Dewi Cambuk Maut.
"Itu sudah pasti. Karena kehilangan satu pisau
emas saja, belum berarti apa-apa untuk kehidupanku
ini. Kesempurnaan seluruh ilmuku tergantung dari
jumlah pisau emas yang harus tertanam dalam tubuh-
ku. Karena, pisau-pisau emas itulah yang membuat
kekuatanku jadi abadi. Kalian tentu sudah tahu akan
hal ini," kata Raden Gordapala.
Mereka hanya mengangguk saja. Selama ini,
mereka memang tahu kalau mempunyai seorang pim-
pinan yang tangguh dan digdaya. Tapi di antara mere-
ka sendiri memang tidak pernah ada hubungan satu
sama lain. Sehingga, tidak heran jika mereka tidak ada yang saling mengenal.
Mereka terlalu sibuk melebar-kan sayap di daerah kekuasaan masing-masing, di de-
lapan penjuru angin. Dan memang, mereka hanya pa-
tuh pada satu perintah yang datang langsung dari Ra-
den Gordapala ini. Dan tentu saja sekarang mereka
sudah saling mengenal. Itu pun setelah Raden Gor-
dapala menyebut julukan masing-masing.
"Raden, apa tidak sebaiknya kita segera saja
pergi ke Karang Setra...?" usul Kakek Siulan Maut.
'Tidak semuanya," sahut Raden Gordapala.
"Maksud, Raden...?" tanya Iblis Hitam, salah
satu dari Iblis Kembar dari Utara.
"Kalian memang pergi ke Karang Setra, tapi
Dewi Naga Kembar dan Paman Tengkorak Merah tidak.
Mereka harus ikut denganku ke istana di Gunung
Tangkup." "Kalau begitu, kami segera saja berangkat, Ra-
den," pamit Kakek Siulan Maut.
"Pergilah, dan kalian harus berhasil."
Setelah menjura memberi hormat, mereka sege-
ra meninggalkan Hutan Gronggong itu. Tinggal Iblis
Tengkorak Merah dan Dewi Naga Kembar saja yang
masih tinggal bersama Raden Gordapala.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Raden Gordapala setelah empat orang
pengikutnya tidak terlihat lagi, tenggelam dalam lebatnya Hutan Gronggong ini.
"Bagaimana dengan gadis-gadis ini, Raden?" tanya Tengkorak Merah seraya menunjuk
dua gadis yang tergeletak tanpa busana.
'Tinggalkan saja. Mereka tidak ada gunanya lagi
bagiku," sahut Raden Gordapala seraya melangkah menghampiri kuda hitamnya yang
gagah. Kuda hitam yang bernama Jaran Geni memang
bukan kuda sembarangan. Binatang aneh itu bisa
mengeluarkan api dari mulutnya. Dan jika mendengus
marah, dari lubang hidungnya mengepulkan asap ke-
merahan. Ringan sekali gerakan tubuh pemuda tampan
itu saat melompat naik ke punggung Jaran Geni. Se-
mentara dua orang gadis cantik yang berjuluk Dewi
Naga Kembar, juga sudah berlompatan naik ke pung-
gung kuda masing-masing. Tinggal Iblis Tengkorak Me-
rah saja yang masih berdiri di samping kudanya, me-
mandangi dua orang gadis yang tergeletak diam tanpa
selembar pakaian pun melekat di tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" tegur Raden Gordapala.
"Kenapa memandangi mereka terus?"
"Mereka masih hidup, Raden," jelas Iblis Tengkorak Merah.
"Biarkan saja. Sebentar lagi malam menjelang.
Mereka pasti mati jadi santapan binatang hutan ini,"
sahut Raden Gordapala dingin tak peduli.
"Apa tidak sebaiknya dibuat mati saja, Raden"
Mereka sudah melihat apa yang kita lakukan di sini.
Dan mereka juga melihat kebangkitan Raden," saran Iblis Tongkat Merah.
"Ah! Sudah lupakan saja, Paman. Ayo cepat,
sebelum hari jadi gelap," sentak Raden Gordapala langsung saja menghentakkan
tali kekang kudanya.
Iblis Tengkorak Merah tidak berkata-kata lagi.
Sebentar dipandanginya tubuh dua orang gadis yang
tergeletak tanpa pakaian, kemudian melompat naik ke
punggung kudanya. Langsung kudanya dipacu, me-
ngejar Raden Gordapala dan Dewi Naga Kembar yang
sudah berpacu cepat meninggalkan tempat itu.
Dan memang, saat ini matahari sudah condong
ke arah Barat Sinarnya tidak lagi terik menyengat. Sementara di tengah Hutan
Gronggong itu kini jadi
sunyi, tak terdengar suara sedikit pun. Hanya desir
angin saja yang terdengar menggesek dedaunan yang
menjadi saksi bisu dari semua peristiwa di tempat ini.
*** 4 Kegelapan mulai menyelimuti sekitar Hutan
Gronggong. Binatang-binatang malam mulai keluar da-
ri sarangnya. Hutan yang sungguh lebat ini terasa begitu mencekam dan mengerikan
suasananya. Berbagai
macam suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri,
terdengar di setiap sudut hutan ini. Tapi keadaan yang begitu mencekam ini,
tidak menyurutkan nyali tiga
orang anak muda untuk terus mengendarai kudanya
yang tampak sudah kelelahan.
Ketiga anak muda itu adalah Banara, Sarala,
dan Liliani. Mereka adalah putra Elang Maut dari Bu-
kit Elang. Meskipun rona merah masih terlihat mem-
bias di ufuk Barat, tapi kegelapan sudah menyelimuti sekitar Hutan Gronggong
yang begitu lebat ini. Sementara, ketiga putra Elang Maut itu terus maju, tanpa
mempedulikan keadaan hutan yang semakin sulit saja
dilalui. "Sebentar lagi hari benar-benar menjadi gelap, Kakang. Apakah tidak
sebaiknya berhenti dulu di sini,"
saran Liliani memecah kesunyian dan kebisuan yang
terjadi sejak tadi.
'Tidak. Sebentar lagi kita sampai. Tinggal mele-
wati pohon yang besar itu saja," sahut Banara seraya menunjuk sebatang pohon
yang paling besar, di antara pohon-pohon lainnya dalam hutan ini.
Liliani tidak bicara lagi. Dan mereka memang
terus bergerak, meskipun tersendat-sendat. Hingga
akhirnya, mereka tiba di tempat yang dituju, setelah melewati pohon besar yang
ditunjuk Banara. Keadaan
memang sudah begitu gelap, sehingga sulit untuk me-
nembus kegelapan yang begitu pekat. Liliani turun dari
punggung kudanya, dan menyalakan api dari batu
pemantik api yang selalu dibawa. Gadis itu membuat
api unggun, sehingga bisa mengurangi kegelapan ma-
lam ini. "Kakang, lihat...!" seru Sarala tiba-tiba.
Liliani dan Banara segera menghampiri Sarala.
Liliani jadi terpekik. Buru-buru mukanya dipalingkan begitu melihat dua tubuh
tergolek tanpa selembar pakaian menutupnya. Banara segera menghampiri kedua
gadis itu, dan menempelkan ujung jarinya di bagian
leher dekat dagu.
"Bagaimana?" tanya Sarala yang berada di belakang kakaknya ini.
"Satu masih hidup. Cepat ambil kain di kuda-
ku," ujar Banara.
"Baik, Kakang," sahut Sarala seraya bergegas berlari menuju kuda yang
ditunggangi Banara tadi.
Sementara Liliani masih belum menghampiri
Banara yang tengah memeriksa keadaan tubuh salah
seorang gadis yang masih hidup. Tak berapa lama ke-
mudian, Sarala sudah menghampiri sambil membawa
dua lembar kain. Mereka menutupi gadis-gadis itu
dengan kain, hingga tidak terlihat polos lagi. Liliani ba-ru menghampiri setelah
yakin kedua gadis itu tidak la-gi dalam keadaan polos tanpa pakaian.
"Kenapa mereka bisa sampai ada di sini, Ka-
kang" Siapa mereka...?" tanya Liliani.
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak ada yang
bisa menjawab. Sementara Sarala yang memeriksa se-
kitar tempat ini sudah berdiri mematung di pinggir sebuah lubang yang
kelihatannya bekas kuburan. Bana-
ra dan Liliani menghampiri pemuda itu. Mereka jadi
terdiam memandangi lubang bekas kuburan yang
menganga cukup lebar.
"Kita terlambat, Kakang. Dia sudah berhasil
bangkit dari kubur," ujar Sarala perlahan.
"Sukar dipercaya kalau hal ini dilakukan siang
hari. Padahal perhitungan kita, baru malam hari me-
reka melakukannya," kata Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenyataannya, kita benar-benar terlam-
bat, Kakang," sambung Liliani.
"Hhh.... Apa yang harus kita lakukan seka-
rang?" tanya Banara seraya berbalik dan melangkah perlahan menghampiri api
unggun yang dibuat Liliani
tadi. Sarala dan adik perempuannya mengikuti Ba-
nara. Mereka kemudian duduk tidak jauh dari api un-
ggun. Sedangkan tidak jauh dari api unggun, tergolek sesosok tubuh seorang gadis
yang tertutup kain cukup tebal yang sudah agak lusuh. Tarikan napas gadis itu
begitu perlahan. Bahkan gerak dadanya hampir tidak
terlihat. Mereka memperhatikan gadis yang masih be-
lum juga sadarkan diri itu.
"Dia mendapat totokan yang hampir sempurna.
Cukup sulit juga membebaskan totokannya. Seluruh
darah di tubuhnya hampir membeku. Sedikit saja ter-
lambat, dia akan mati seperti gadis satunya itu," jelas Banara. "Apa masih lama
pingsannya, Kakang?" tanya Liliani. "Entahlah. Mungkin baru besok pagi sadar,"
sahut Banara. "Itu juga kalau pembuka totokanku be-kerja di dalam tubuhnya. Aku
sendiri tidak yakin, karena dia mendapat totokan dari kekuatan tenaga da-
lam yang jauh lebih tinggi dariku."
"Mudah-mudahan saja dia bisa sadar, Kakang.
Kita membutuhkan keterangannya," kata Liliani lagi.
"Kasihan...," desah Sarala perlahan, seakanakan untuk dirinya sendiri.
"Kita terpaksa bermalam di tengah hutan ini,"
kata Banara lagi.
"Ya.... Hutan ini terlalu lebat kuda-kuda kita
juga sudah kelelahan," desah Liliani.
Ketiga putra Elang Maut itu tidak ada lagi yang
berbicara. Mereka semua terdiam, dengan pikiran ber-
gelut dalam benak masing-masing. Sementara malam
terus merayap semakin jauh. Kabut pun semakin teb-
al, menyebarkan udara dingin yang begitu menusuk
sampai ke tulang. Api unggun yang menyala cukup be-
sar, seakan-akan tak sanggup mengusir dinginnya
udara malam ini. Tapi tak ada seorang pun dari mere-
ka yang memperdengarkan keluhan. Mereka memang
sudah terbiasa hidup di alam terbuka seperti ini.
*** Liliani menggelinjang bangun dari tidurnya, be-
gitu merasakan sengatan hangat matahari yang me-
nerpa kulit tubuhnya. Gadis itu jadi terkejut mendengar suara isak tangis yang
lirih. Cepat kepalanya berpaling, dan melihat gadis yang semalam ditemukan tak
sadarkan diri di tengah hutan ini tengah menangis
memeluk lututnya. Gadis itu menyembunyikan wajah-
nya dalam lekukan lututnya.
Perlahan Liliani merangkak mendekat. Pada
saat itu, Banara dan Sarala juga terbangun ketika
mendengar tangisan lirih. Sarala hendak menghampiri
gadis itu, tapi Banara sudah lebih cepat mencegah
dengan cekalan tangan. Mereka hanya memperhatikan
Liliani saja yang kini sudah berada dekat di samping
gadis yang masih menangis memeluk lutut ini.
"Nisanak...," panggil Liliani lembut seraya menyentuh pundak yang terbuka
berkulit putih mulus
itu. Suara isak tangis gadis itu seketika terhenti.
Perlahan kepalanya terangkat, dan berpaling menatap
Liliani yang ada di sampingnya. Liliani memberikan
sedikit ulasan senyum, meskipun terlihat begitu di-
paksakan. "Aku Liliani...," Liliani langsung mengenalkan diri. "Aku dan kedua kakakku
menemukanmu pingsan di sini."
Agak tertekan suara Liliani. Dan tentu saja dia
tidak sampai hati mengatakan keadaan gadis ini ketika ditemukan tergeletak tak
sadarkan diri tanpa benang
sehelai pun menutupi tubuhnya.
"Terima kasih...," pelan sekali suara gadis itu.
Suaranya masih terdengar tersendat dengan isak tan-
gisnya yang baru saja terhenti begitu Liliani menyentuh pundaknya.
"Siapa namamu?" tanya Liliani lembut.
"Malita," sahut gadis itu, masih pelan dan tersendat suaranya.
Liliani terdiam beberapa saat. Matanya melirik
kedua kakaknya yang memperhatikan saja tanpa
mendekati. Kemudian, kembali ditatapnya gadis yang
ternyata bernama Malita.
"Boleh ku tahu, apa yang terjadi padamu di si-
ni?"! pinta Liliani hati-hati.
Gadis itu tidak langsung menjawab, tapi malah
menangis seraya memeluk Liliani. Hal ini membuat pu-
tri bungsu Elang Maut itu jadi tersedak, tak mampu
berkata-kata lagi. Meskipun belum begitu yakin, tapi
Liliani sudah menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Malita di tengah
hutan ini. Hanya saja dia tidak tahu, bagaimana Malita bisa berada di hutan
yang, begitu lebat dan masih liar ini. Sedangkan Liliani belum bisa bertanya,
karena Malita terus menangis sambil
memeluknya begitu erat.
Cukup lama juga Liliani membiarkan Malita
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis sambil memeluknya. Beberapa kali matanya
melirik kedua kakaknya. Tapi kedua pemuda itu masih
tetap diam memandangi. Sebenarnya Liliani ingin me-
reka mendekat, namun rasanya tidak bisa mengata-
kannya sekarang.
Perlahan Liliani melepaskan pelukan itu, sete-
lah tangis Malita mulai mereda. Malita masih sedikit terisak. Beberapa kali air
mata yang terus membanjir disusut dengan ujung kain yang melilit tubuhnya.
"Aku ada pakaian. Barangkali cocok untukmu,"
kata Liliani seraya bangkit berdiri.
Liliani bergegas menghampiri kudanya. Dari kantung
pelana kuda, diambilnya sebuah baju dari bahan se-
derhana. Kemudian kembali dihampirinya Malita. Lalu, pakaian berwarna merah muda
itu diserahkan pada
gadis itu. 'Terima kasih," ucap Malita seraya menerima
pakaian itu. "Pakailah," pinta Liliani.
Malita menatap dua orang pemuda yang masih
memandanginya. Banara dan Sarala bisa mengerti.
Bergegas mereka memutar tubuh, membelakangi ke-
dua gadis itu. Liliani membantu Malita mengenakan
pakaian yang diberikannya. Cocok sekali ukuran dan
potongan baju Liliani di tubuh Malita.
"Kau kelihatan cantik dengan baju ini, Malita,"
puji Liliani. Malita hanya tersenyum tipis. Masih sukar ba-
ginya untuk tersenyum, meskipun agak tersipu juga
mendengar pujian Liliani yang bernada begitu tulus.
Sementara Banara dan Sarala sudah kembali berbalik
memandangi kedua gadis itu. Mereka berdiri dan me-
langkah menghampiri.
Malita kini memandangi dua gundukan tanah
yang berada tidak jauh. Perlahan kakinya melangkah
menghampiri. Liliani dan kedua kakaknya mengikuti.
Mereka berdiri mengapit gadis itu yang memandangi
dua kuburan dengan sinar mata nanar.
"Kami menguburkannya semalam," jelas Liliani tanpa diminta lagi.
"Siapa mereka?" tanya Banara, agak ditahan suaranya.
Malita tidak menjawab, dan hanya diam saja
dengan kepala tertunduk. Terbayang kembali peristiwa kemarin yang tidak pernah
dilupakannya seumur hidup. Dan api dendam pun langsung tersulut dalam ha-
tinya. Tapi mengingat kenyataan dirinya yang le-mah, dan siapa pemuda yang
dibangkitkan dari kuburnya
kemarin, Malita langsung menyadari kalau tidak
mungkin bisa membalas sakit hatinya yang sudah ter-
koyak ini. "Lalu, kenapa kau bisa berada di tengah hutan
ini, Malita?" tanya Sarala tidak sabar, melihat Malita hanya diam saja dengan
kepala tertunduk dalam.
Malita tidak langsung menjawab pertanyaan pe-
muda itu. Tubuhnya segera diputar berbalik, dan me-
langkah menjauhi kuburan itu. Sementara ketiga pu-
tra Elang Maut hanya saling melempar pandangan sa-
tu sama lain saja. Mereka kemudian bergegas menyu-
sul Malita yang sudah duduk lagi di dekat api unggun.
*** "Kau bisa percaya pada kami semua, Malita. Ji-
ka punya persoalan, atau ingin menceritakan sesuatu, ceritakan pada kami.
Mungkin kami bisa membantumu, Malita," bujuk Liliani.
"Aku akan mengatakan apa yang terjadi di sini
semalam. Tapi jangan paksa untuk mengatakan siapa
diriku sebenarnya," kata Malita, agak ditekan nada suaranya. "Ceritakan, apa
yang kau ketahui semalam,"
pinta Sarala tidak sabaran.
Sebentar Malita menarik napas dalam-dalam,
dan menghembuskannya kuat-kuat. Kembali ter-
bayang suatu peristiwa yang begitu mengerikan, dan
tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan yang lebih
mengerikan lagi adalah kejadian yang menimpa dirinya setelah itu. Rasanya sukar
bagi Malita untuk mengatakan, apa yang dilihat dan dialaminya.
"Katakan, Malita...," desak Sarala.
"Mengerikan sekali...," desis Malita jadi memucat wajahnya.
"Mengerikan..." Apa yang terjadi, Malita?" desak Sarala lagi semakin tidak
sabar. "Mereka membangkitkan mayat dari dalam ku-
bur. Dan mereka memanggilnya Raden Gordapala...,"
begitu tersendat suara Malita.
"Raden Gordapala..," desis Banara dan Sarala hampir bersamaan.
Sedangkan Liliani hanya memandangi kedua
kakaknya bergantian. Mereka merasakan seperti ber-
henti bernapas saat itu juga, begitu mendengar nama
Raden Gordapala disebut Malita. Sedangkan Malita
hanya menatap kosong ke depan. Sama sekali tidak
diperhatikannya raut wajah ketiga putra Elang Maut
yang tiba-tiba saja berubah itu.
"Kau tahu, siapa saja mereka itu, Malita?"
tanya Banara setelah beberapa saat terdiam.
"Aku tidak kenal satu persatu, tapi mereka
sangat kejam. Mereka membunuh...," Malita tidak meneruskan.
Gadis itu menarik napas panjang, dan meng-
hembuskannya begitu kuat. Hampir saja dia terlepas
bicara dan untung masih bisa ditahan sebelum telan-
jur. "Mereka yang meninggal itu saudaramu, Mali-
ta?" tanya Sarala ingin tahu.Malita tidak menjawab, namun hanya menun-
dukkan kepalanya saja. Setitik air bening kembali
menggulir dari sudut ekor matanya. Lalu, cepat-cepat air matanya dihapus sebelum
jatuh melewati pipi. Malita menghembuskan napas panjang, mencoba melong-
garkan rongga dadanya yang mendadak jadi terasa,
begitu sesak. "Malita. Kau tahu, ke mana mereka pergi?"
tanya Liliani seperti bisa mengetahui perasaan hari gadis itu saat ini. Memang,
cepat-cepat diluruskannya
kembali pembicaraan yang sempat berbelok akibat per-
tanyaan Sarala yang tidak bisa dijawab Malita saat ini.
'Tidak...," sahut Malita perlahan seraya menggelengkan kepalanya. "Aku pingsan,
dan tidak tahu apa-apa lagi."
"Jelas, iblis itu benar-benar sudah bangkit dari kuburnya, Kakang," ujar Liliani
seraya menatap kedua saudaranya bergantian.
Mereka kembali terdiam membisu, sibuk den-
gan pikiran masing-masing yang begitu sulit diterka.
Sedangkan Malita juga terdiam membisu. Pandangan-
nya tetap lurus ke depan. Sinar matanya begitu ko-
song, tanpa ada cahaya gairah hidup sedikit pun. Seakan-akan, semangat hidup dan
jiwanya sudah hilang
entah ke mana. "Malita! Kau tahu, berapa jumlah mereka?"
tanya Banara tiba-tiba, setelah cukup lama berdiam
diri. 'Tujuh," sahut Malita singkat.
"Hanya tujuh..." Kau tidak salah, Malita?"
tanya Sarala, seakan-akan tidak percaya atas jawaban Malita barusan.
'Tidak. Mereka memang tujuh orang yang
membangkitkan mayat itu dari kuburnya. Juga ada
kuda hitam yang aneh," sahut Malita, begitu yakin sekali dengan jawabannya.
"Seharusnya mereka ada delapan, Kakang...,"
desis Sarala seraya menatap Banara yang tampak ter-
menung mendengar jawaban Malita yang begitu polos
dan yakin sekali.
Sedangkan Banara hanya diam saja dengan
kening berkerut cukup dalam. Dan saat itu, Malita seperti baru menyadari akan
keadaan saat ini. Dipan-
danginya ketiga putra Elang Maut itu satu persatu
dengan sinar mata seperti kebingungan. Entah kena-
pa, gadis itu seakan-akan baru saja terbangun dari
mimpi yang begitu buruk dan mengerikan! Tapi, Malita tidak mau bertanya, karena
juga tidak ingin dirinya diketahui mereka yang belum dikenal betul. Meskipun,
mereka telah menolongnya dari maut yang siap me-
renggutnya akibat tertotok pada pusat jalan darahnya.
Sedikit saja terlambat menolongnya, mungkin saat ini Malita sudah menghuni liang
lahat. "Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Liliani yang sejak tadi diam saja.
"Bagaimana lagi..." Kita sudah gagal. Dan me-
reka sudah berhasil membangkitkan iblis itu dari ku-
burnya," sahut Banara terdengar lesu nada suaranya, seraya mengangkat bahunya
sedikit. 'Tapi kebangkitannya belum sempurna, Ka-
kang. Mereka hanya tujuh orang. Bukankah seharus-
nya delapan, baru kebangkitannya bisa sempurna?"
selak Sarala. "Benar, Kakang. Sebaiknya kita mencari orang
terakhir yang memegang pisau emas itu lagi," celetuk Liliani cepat.
"Kau pikir dunia ini kecil, Liliani..." Sama saja mencari jarum dalam tumpukan
jerami," dengus Banara.
"Aku yakin kita bisa mengetahuinya, Kakang,"
ujar Liliani begitu yakin dan bersemangat.
"Bagaimana caranya?" tanya Banara tidak
mengerti jalan pikiran adik bungsunya ini.
"Tiga orang kita sudah tahu. Yaitu, Iblis Teng-
korak Merah dan si Kembar dari Utara. Kita tinggal ta-nyakan ciri-ciri yang
empat orang lagi pada Malita. Kita pasti bisa menemukan, siapa orang yang
satunya lagi itu, Kakang," jelas Liliani, begitu bersemangat.
"Kau benar, Liliani. Kita bisa menentukan, sia-
pa yang tidak hadir kemarin," cetus Sarala langsung bisa memahami jalan pikiran
adiknya ini. Banara mengangguk-anggukkan kepala. Kemu-
dian, mereka menatap Malita yang tampak terbengong
tidak mengerti pembicaraan ketiga anak muda ini.
"Malita, bisa kau sebutkan satu persatu ciri-ciri mereka, bukan...?" pinta
Liliani, begitu lembut suaranya. "Aku tidak yakin, tapi akan ku coba," sahut
Malita agak ragu. 'Tapi...."
'Tapi kenapa, Malita?" selak Sarala.
"Kenapa kalian begitu ingin tahu tentang mere-
ka?" tanya Malita.
"Sukar dikatakan, Malita. Tapi ini adalah tugas kami untuk menyelamatkan jagat
raya ini dari kehan-curan oleh para iblis itu," sahut Banara.
"Kalian akan memburunya?" tanya Malita lagi.
"Benar," sahut ketiga putra Elang Maut itu bersamaan.
Kedua bola mata Malita jadi berbinar. Terbetik
satu harapan dalam hatinya untuk membalas sakit ha-
ti dari perbuatan pemuda yang dipanggil Raden Gor-
dapala. Pemuda yang dibangkitkan dari dalam kubur
oleh tujuh orang tokoh persilatan tingkat tinggi, yang dibantu seekor kuda hitam
berperangai aneh seperti
jelmaan iblis dari neraka.
Malita kemudian menyebutkan satu persatu ci-
ri-ciri dari ketujuh orang yang membangkitkan Raden
Gordapala dari dalam kubur. Memang agak tersendat,
karena Malita memang tidak begitu memperhatikan
benar. Tapi, ketiga putra Elang Maut itu bisa menebak semua yang disebutkan
Malita satu persatu.
"Jadi, yang tidak ada hanya si iblis penguasa
mata angin ke satu, Kakang," desis Sarala setelah Malita menyebutkan satu
persatu ciri-ciri orang yang
membangkitkan Raden Gordapala dari kuburannya.
"Di mana wilayah mata angin ke satu itu, Ka-
kang?" tanya Liliani tidak tahu.
"Cukup luas. Karena, daerah itu meliputi tujuh
kerajaan. Di antaranya yang terbesar adalah Kerajaan Giri Gading, Kerajaan
Batang Ketapang, dan Kerajaan
Karang Setra," jelas Sarala.
'Tapi, bukankah semua orang menganggap Ke-
rajaan Karang Setra adalah pusat dari delapan mata
angin pertama, Sarala...?" tanya Banara ingin kepas-
tian. "Benar, Kakang. Tapi kita semua tahu kalau Kerajaan Karang Setra merupakan
kerajaan yang damai dan tenteram. Bahkan begitu damainya, sampai
kejahatan kecil saja jarang sekali ditemui. Terlebih la-gi, kabarnya tokoh-tokoh
tingkat tinggi beraliran putih banyak bertempat tinggal di sana. Kabarnya lagi,
Raja Karang Setra seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat
ini," jelas Sarala lagi.
"Lalu, kerajaan-kerajaan lain?" tanya Liliani.
'Tidak jauh berbeda dengan kerajaan di mana-
pun juga. Tapi yang paling lain sendiri di wilayah ke satu dari delapan penjuru
mata angin hanya Kerajaan
Karang Setra. Sehingga, kerajaan itu menjadi panutan kerajaan-kerajaan lain,"
sahut Sarala lagi.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Liliani meminta pendapat Banara.
"Kalian ingat, apa kata ayah sebelum mening-
gal...?" Banara malah balik bertanya.
Sarala dan Liliani menganggukkan kepala.
"Bukan hanya manusia. Bahkan binatang pun
akan menjaga wilayahnya agar aman, dan tidak dima-
suki musuh. Aku rasa, kita memang harus ke Karang
Setra," tegas Banara.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Liliani.
"Ya! Karena keadaan yang lain seperti itu mem-
buat aku yakin kalau dia pasti ada di Karang Setra.
Rasanya, dia tidak mungkin mengacau kerajaan itu.
Ini sama saja dengan memporak-porandakan pemba-
ringan sendiri," sahut Banara begitu mantap.
"Kau benar, Kakang. Sebaiknya kita berangkat
saja sekarang, jangan membuang-buang waktu lagi,"
selak Sarala seraya bangkit berdiri.
'Tapi bagaimana dengan Malita?" tanya Banara
seraya memandang Malita yang sejak tadi diam saja.
"Biar dia ikut dengan kudaku. Nanti kalau me-
nemukan desa, kita bisa membeli kuda untuknya," ka-ta Liliani cepat.
"Baiklah. Ayo kita berangkat sekarang," ajak Banara menyetujui.
Memang tidak mungkin mereka meninggalkan
Malita seorang diri di tengah hutan yang begitu lebat dan masih kelihatan liar
ini. Mereka kemudian cepat, meninggalkan hutan ini. Malita memang ikut membon-
ceng pada kuda yang ditunggangi Liliani. Hutan yang
begitu lebat dan rapat, cukup menyulitkan mereka un-
tuk memacu cepat kudanya.
*** 5 Suasana di Kerajaan Karang Setra begitu damai
dan tenang. Malahan suasana gembira telah terjadi di dalam Istana Karang Setra
yang begitu besar dan megah. Memang, hari ini mereka bisa kembali melihat ra-
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
janya yang baru saja pulang dari pengembaraannya
yang begitu panjang, seperti tanpa batas akhir.
Rangga, Raja Karang Setra yang juga dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti memang lebih suka
mengembara daripada berdiam diri dalam istana. Ba-
ginya, dekat dengan rakyat jelata merupakan satu ke-
bahagiaan tersendiri. Terlebih lagi sebagai seorang
pendekar. Dia memiliki suatu tugas yang tidak kecil ni-lainya. Dan tugas
kependekarannya tidak bisa terlak-
sana jika harus berdiam diri saja di dalam istana ini.
"Sepertinya sudah sepuluh tahun kau mening-
galkan istana ini, Kakang," kata Cempaka, adik tiri Rangga.
"Benar, Kakang. Kami semua begitu rindu dan
selalu mengharap agar kau pulang," sambung Danupaksi. Sedangkan Rangga hanya
tersenyum saja se-
raya melirik Pandan Wangi yang duduk di samping ki-
rinya. Di taman belakang istana ini, bukan hanya me-
reka berempat. Tapi juga ada beberapa orang pembe-
sar kerajaan dan para panglima serta patih keper-
cayaan Rangga. Dan seharusnya pula, mereka ber-
kumpul di Balai Sema Agung. Tapi Rangga lebih se-
nang memilih taman ini daripada berada dalam ruan-
gan yang pasti dikelilingi para prajurit, punggawa, serta pembesar lainnya.
"Sekarang aku sudah ada di tengah-tengah ka-
lian, semua. Ada yang hendak kalian sampaikan...?"
ujar Rangga setelah merasa puas menerima ucapan-
ucapan kerinduan dari orang-orang yang dekat den-
gannya ini. "Sampai saat ini, tidak ada peristiwa penting
yang terjadi, Kakang. Semuanya berjalan wajar. Bah-
kan pembangunan di kotaraja semakin meningkat pe-
sat," lapor Danupaksi tentang keadaan Kerajaan Karang Setra selama ditinggal
Pendekar Rajawali Sakti.
Dan memang, Rangga mempercayakan Danupaksi
menggantikannya bila tidak ada di istana ini.
Kisah Membunuh Naga 22 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Sepak Terjang Hui Sing 5
KUDA API GORDAPALA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Kuda Api Gordapala
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Jerit dan pekik melengking terdengar begitu
menyayat saling sambut, memecah kesunyian alam
siang ini. Tampak asap hitam membumbung tinggi ke
angkasa dari beberapa rumah yang terbakar. Teriakan-
teriakan ketakutan yang dibarengi hentakan kaki ku-
da, berbaur menjadi satu. Sehingga membuat keka-
cauan di Desa Gronggong semakin menjadi-jadi.
Di antara orang-orang yang berlarian sambil
menjerit-jerit ketakutan, terlihat seekor kuda hitam mengamuk, mendepak orang-
orang di sekitarnya. Beberapa tubuh terlihat tergeletak berlumuran darah.
Ketakutan penduduk Desa Gronggong semakin menjadi-
jadi. Kuda hitam itu benar-benar seperti kesetanan,
mengejar orang-orang yang berlarian ketakutan meng-
hindarinya. Hieeegkh...! Sambil meringkik keras, kuda hitam itu men-
gangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke udara. Semen-
tara, semua penduduk Desa Gronggong terus berlarian
mencari tempat aman agar terlindung dari amukan
kuda hitam yang seperti kesetanan itu. Hingga, tak ada seorang pun yang berada
dekat dengan kuda hitam
itu. Binatang itu terus mendengus-dengus sambil
menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Ke-
dua bola matanya tampak memerah, bagai sepasang
bola api yang siap membakar apa saja di dekatnya.
Sementara itu, di balik sebongkah batu besar,
tampak seorang laki-laki tua berjubah merah muda
tengah memperhatikan kuda hitam itu. Di belakang-
nya, terlihat empat orang pemuda bersenjatakan golok terselip di pinggang
masing-masing. "Heran..." Dari mana datangnya kuda setan
itu?" desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan. "Dia muncul tiba-
tiba saja, Ki. Bahkan langsung mengamuk," sahut salah seorang pemuda yang berada
di sebelah kanannya.
Sementara kuda hitam itu terus meringkik-
ringkik sambil mendengus, seakan-akan ingin menan-
tang siapa saja yang ada. Tapi, tak ada seorang pun
yang berani lagi mendekati. Semua penduduk Desa
Gronggong sudah bersembunyi, tak berani menam-
pakkan diri lagi. Hanya ada sekitar sepuluh tubuh saja yang bergelimpangan tak
bernyawa di dekat kuda hitam itu. Sedangkan, sudah tiga rumah yang habis ter-
bakar. Api masih berkobar, disertai asap hitam yang
mengepul ke angkasa.
"Hieeegkh...!"
Setelah memperdengarkan ringkikan yang begi-
tu keras menggetarkan, kuda hitam itu langsung ber-
lari cepat meninggalkan Desa Gronggong yang sudah
begitu porak-poranda. Begitu cepatnya berlari, se-
hingga seakan-akan kaki kuda itu tidak menapak ta-
nah. Dan sebentar saja binatang itu sudah menghilang di dalam lebatnya pepohonan
di sebelah Timur Desa
Gronggong. Setelah yakin kuda hitam itu tidak muncul lagi,
laki-laki tua berjubah merah muda baru keluar dari
tempat persembunyiannya. Dia diikuti empat pemuda
yang mendampinginya. Saat itu, para penduduk yang
tadi bersembunyi juga sudah menampakkan diri. Jerit
dan pekik ketakutan tidak lagi terdengar. Kini, semuanya berganti gerung tangis
dan rintihan menyayat dari mereka yang keluarganya tewas akibat amukan kuda
hitam yang aneh itu tadi.
"Sukar dipercaya. Seekor kuda mampu meng-
hancurkan sebuah desa dalam waktu singkat...," desah laki-laki tua berjubah
merah muda itu perlahan.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya
ke sekeliling, merayapi keadaan Desa Gronggong yang
porak-poranda diamuk seekor kuda hitam. Memang,
tidak kurang dari sepuluh orang tewas dengan tubuh
rusak terinjak-injak kaki kuda hitam tadi. Bahkan ada beberapa yang kepalanya
hancur tak berbentuk lagi.
"Kalian bantu mereka. Aku akan melihat anak
dan istriku dulu di rumah," ujar laki-laki tua berjubah merah muda itu.
"Baik, Ki," sahut empat pemuda di belakangnya serempak.
Laki-laki tua berjubah merah muda itu berge-
gas melangkah cepat, tanpa seorang pun yang sempat
memperhatikan. Mereka semua sibuk membenahi ru-
mah masing-masing yang berantakan diamuk kuda hi-
tam. Sedangkan empat anak muda yang menyan-dang
golok di pinggang, mengumpulkan mayat-mayat di se-
kitar jalan desa ini. Tak ada seorang pun yang ber-
pangku tangan. Semua sibuk membenahi desa yang
hancur dalam sekejap, akibat diamuk seekor kuda hi-
tam yang seperti kesetanan.
Malam hari, Desa Gronggong begitu sunyi se-
nyap. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat
berada di luar rumah. Begitu sunyinya keadaan di de-
sa itu, sehingga suara langkah kaki kuda yang menuju ke desa itu terdengar
begitu jelas. Orang-orang yang berada di luar rumah, jadi saling berpandangan.
Mereka bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing
begitu terlihat tiga ekor kuda berjalan perlahan-lahan memasuki desa itu. Lampu-
lampu pelita yang menyala
di setiap rumah, seketika dimatikan. Hal ini membuat
kening tiga orang penunggang kuda itu jadi berkerut.
"Kenapa tiba-tiba desa ini jadi gelap, Kakang
Banara...?" desis salah seorang penunggang kuda yang ternyata seorang gadis
cantik berbaju hijau.
Gadis itu menunggang seekor kuda belang pu-
tih dan coklat yang tinggi gagah. Sedangkan dua orang lagi adalah laki-laki muda
berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu memandang pemuda yang mengenakan
baju putih agak ketat, sehingga membentuk
tubuhnya yang tegap dan berotot. Dan pemuda sa-
tunya lagi yang mengenakan baju warna biru, juga
memandang pemuda berbaju putih yang dipanggil Ba-
nara tadi. "Sepertinya desa ini baru saja terkena benca-
na," tebak pemuda bernama Banara itu. Suaranya terdengar pelan, seperti
menggumam, seakan-akan bicara
pada diri sendiri. "Coba perhatikan, Liliani..., Sarala....
Tiga rumah seperti baru terbakar, dan di sana-sini
tampak begitu berantakan."
Gadis yang ternyata bernama Liliani, dan pe-
muda berbaju biru yang bernama Sarala mengedarkan
pandangan merayapi keadaan desa yang gelap tanpa
sedikit pun ada cahaya pelita menerangi. Memang,
keadaan Desa Gronggong ini masih tampak beran-
takan. Mereka semakin memperlambat langkah ku-
danya. Begitu sunyi! Sehingga, langkah kaki kuda be-
gitu jelas terdengar, bercampur detak jantung mereka bertiga. "Ada satu rumah
yang memasang pelita, Kakang," kata Liliani seraya menunjuk ke arah sebuah rumah
yang tampak paling besar di desa ini.
"Hm.... Coba kita ke sana," ajak Banara.
Mereka kemudian menghentakkan tali kekang
kudanya agar berjalan lebih cepat menuju rumah yang
masih diterangi sebuah pelita di beranda depannya.
Sedangkan sekelilingnya kelihatan gelap gulita. Terlebih lagi, malam ini bulan
seakan-akan enggan me-
nampakkan diri, terus bersembunyi di balik gumpalan
awan yang agak tebal dan menghitam. Ketiga anak
muda itu menghentikan kudanya setelah sampai di
depan rumah berukuran cukup besar itu. Mereka ber-
lompatan turun dari punggung kuda masing-masing.
Gerakannya saat melompat turun dari pung-
gung kuda, kelihatan begitu ringan. Dari sini bisa dilihat kalau kepandaian
mereka tidak rendah. Mereka
berdiri tegak di depan beranda rumah yang pintunya
tertutup rapat. Hanya sebuah pelita saja yang masih
menerangi beranda depan rumah itu. Sedangkan ba-
gian dalam rumah, tampak begitu gelap. Tak ada se-
buah pelita pun yang menyala.
"Kalian tunggu di sini. Mudah-mudahan peng-
huninya belum tidur," ujar Banara seraya melangkah mendekati pintu rumah itu.
Banara berhenti tepat di depan pintu. Sebentar
ditatapnya Sarala dan Liliani yang menunggu di depan kuda masing-masing. Banara
mengetuk pintu itu perlahan, sambil mengucapkan salam dengan suara agak
keras. Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam rumah
ini. Kembali diketuknya pintu sambil memberi salam.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam.
"Kami, Ki. Kami pengembara yang kemalaman,"
sahut Banara seraya melirik Liliani dan Sarala.
Banara melangkah mundur dua tindak begitu
telinganya mendengar suara langkah terseret men-
dekati pintu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu ter-kuak perlahan-lahan, Dari
dalam, menyembul seorang
laki-laki tua berjubah merah muda. Sebatang tongkat kayu tampak tergenggam di
tangan kanan untuk me-
nyangga tubuhnya yang tampak sudah renta. Walau-
pun seluruh rambutnya sudah memutih namun masih
kelihatan gagah.
Banara segera menjura memberi hormat. Se-
dangkan laki-laki tua berjubah merah muda itu mem-
perhatikan, namun sinar matanya seperti curiga. Ke-
mudian, ditatapnya dua orang lagi yang masih berdiri di depan beranda rumah ini.
Kedua anak muda itu
menganggukkan kepala sedikit, dan melangkah meng-
hampiri. "Kalian ini siapa?" tanya laki-laki tua berjubah merah muda itu masih bernada
curiga. "Aku Banara. Dan mereka adik-adikku. Sarala
dan Liliani, namanya. Kami bertiga pengembara yang
kemalaman, dan kebetulan melewati desa ini," sahut Banara memperkenalkan diri
dan kedua adiknya.
"Aku Ki Lokan, kepala desa ini," kata laki-laki tua berjubah merah itu juga
memperkenalkan diri.
"Ada keperluan apa kalian ke desa ini?"
"Kami hanya meminta izin untuk bermalam, Ki.
Tapi tampaknya desa ini tidak memiliki penginapan.
Bahkan tak ada satu rumah pun yang menyalakan pe-
lita. Kebetulan hanya rumah ini saja yang masih me-
masang satu pelita. Jadi, kami memutuskan untuk ke
sini, Ki," jelas Banara lagi, mewakili kedua adiknya.
"Ada dua rumah penginapan di desa ini, tapi
sudah tutup sejak siang tadi. Dan lagi, kami semua
sekarang ini tidak bisa menerima tamu, meskipun
hanya satu malam saja. Maaf, bukannya aku tidak so-
pan pada kalian. Tapi, keadaanlah yang memaksaku
tidak mengizinkan kalian bermalam di sini," tegas Ki Lokan, tapi masih bernada
ramah. "Kenapa, Ki..." Apakah ada yang melarang pen-
datang masuk ke desa ini?" tanya Liliani jadi tidak
mengerti sikap Ki Lokan.
"Memang aku yang melarangnya. Hal ini kula-
kukan untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Kalian pasti sudah melihat keadaan desa ini, bukan...?"
Banara dan kedua adiknya mengangguk. Me-
mang, keadaan Desa Gronggong ini membuat mereka
sejak tadi bertanya-tanya terus dalam hati. Tapi, mereka sudah menduga kalau
desa ini baru saja tertimpa musibah. Dugaan itu semakin menebal, saat melihat
sikap Ki Lokan, Kepala Desa Gronggong ini yang tidak mengizinkan mereka
bermalam. "Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, bencana apa yang
terjadi di desa ini?" tanya Banara tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Sore tadi, juga telah datang dua orang pe-
nunggang kuda seperti kalian. Dan mereka juga ber-
tanya seperti itu. Lalu, mereka langsung pergi ke arah Timur untuk mengejar kuda
setan itu, setelah semuanya kuceritakan. Apakah tujuan kalian juga sama
dengan mereka untuk mengejar kuda setan yang telah
menghancurkan desa ini...?" tanya Ki Lokan, pada akhirnya. "Kuda setan..." Apa
maksudnya, Ki?" tanya Liliani sambil memandangi kedua kakaknya.
*** Ki Lokan memandangi Liliani dan kedua ka-
kaknya bergantian. Dia seakan-akan tidak percaya ka-
lau ketiga anak muda tamunya ini tidak tahu tentang
kuda hitam yang siang tadi mengamuk di desa ini. Se-
dangkan yang dipandangi masih tetap menunggu ja-
waban atas pertanyaan Liliani tadi.
"Kalian benar-benar tidak tahu tentang kuda
setan itu?" Ki Lokan malah bertanya sambil merayapi wajah ketiga tamunya.
Banara dan Liliani saling berpandangan, ke-
mudian menggelengkan kepala. Hanya Sarala saja
yang tampak diam memandangi Ki Lokan.
"Mari sini. Duduklah di dalam," ujar Ki Lokan seraya membuka pintu rumahnya
lebar-lebar. Ketiga anak muda itu saling berpandangan se-
jenak. Sementara, Ki Lokan sudah lebih dulu masuk
ke dalam. Laki-laki tua kepala desa itu menyalakan pelita yang tergantung di
tengah-tengah ruangan depan rumahnya. Cahaya lampu pelita segera menerangi
ruangan yang berukuran cukup besar ini. Banara dan
kedua adiknya melangkah masuk. Ki Lokan mempersi-
lakan ketiga tamunya ini duduk di kursi yang me-
lingkari sebuah meja bundar beralaskan batu manner
putih yang berkilat. Sedangkan pelita yang menyala terang tergantung tepat di
atas meja. Ki Lokan mengam-
bil tempat duduk di samping Banara.
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Tidak ada orang lagi di sini, kecuali aku dan
empat orang pembantuku. Semua anak dan istriku
sudah diungsikan ke rumah adikku yang cukup jauh
dari sini, sampai keadaan desa ini tenang kembali," jelas Ki Lokan tanpa
diminta. "Hanya seekor kuda saja, mampu membuat de-
sa ini jadi kacau, Ki...?" tanya Liliani seperti tidak percaya. "Itu bukan kuda
sembarangan, Nisanak. Dua orang yang sore tadi datang, mengatakan kalau kuda
itu jelmaan seseorang yang belum menginginkan ke-
matiannya. Dan dia sedang menyempurnakan kehidu-
pannya kembali. Katanya lagi, kuda itu akan kembali
menjadi seorang manusia yang tangguh dan tak terka-
lahkan bila sudah bertemu pasangannya," jelas Ki Lokan, menceritakan tentang
kuda hitam yang hampir
menghancurkan Desa Gronggong ini.
'Pasangannya itu seekor kuda juga, Ki?" tanya
Liliani seperti tertarik cerita kepala desa ini.
"Bukan. Tapi seseorang yang sudah mati," sahut Ki Lokan.
"Maksudmu, Ki..."!" tanya Banara jadi terkejut keningnya.
"Ya. Mereka mengatakan, orang yang mati itu
pasangannya. Juga, dia bisa kembali hidup jika bersa-tu lagi dengan jasadnya
pada waktu yang tepat. Itulah yang bisa mengembalikan kuda setan itu kembali ke
asalnya sebagai manusia tangguh berkepandaian ting-
gi. Sayang, mereka tidak cerita lebih banyak lagi, karena langsung pergi setelah
aku menunjukkan arah ku-
da setan itu pergi," kata Ki Lokan lagi, menjelaskan.
"Aneh.... Seseorang yang belum mau mati, lalu
menjelma menjadi seekor kuda liar. Hm..., seperti sebuah dongeng saja," gumam
Banara seperti bicara pa-da diri sendiri.
"Tapi, itulah kenyataannya. Sepuluh orang
warga desa ku tewas diinjak-injak. Kuda itu kuat seka-li. Bahkan tidak mempan
senjata. Dari mulutnya juga
bisa mengeluarkan api," jelas Ki Lokan lagi.
"Aku jadi penasaran, seperti apa kuda itu, Ka-
kang," kata Liliani seraya menatap Banara.
Banara hanya tersenyum saja. Sedangkan Ki
Lokan jadi terlongong mendengar kata-kata Liliani tadi.
"Sebaiknya, kalian jangan cari penyakit. Kuda
itu bukan binatang sembarangan. Tidak ada kuda
yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Kalian li-
hat... Beberapa rumah di sini habis terbakar semburan api dari mulutnya," kata
Ki Lokan mencoba memperin-
gatkan. "Sebenarnya kami juga sedang memburu kuda itu, Ki," selak Sarala yang
sejak tadi diam saja.
"Apa..."!" Ki Lokan jadi terkejut setengah mati.
"Seperti yang terjadi di sini, Ki. Kuda itu juga telah menghancurkan desa kami.
Bahkan lebih parah
daripada di sini. Ayah yang sekaligus guru kami, juga tewas oleh kuda itu.
Bahkan lebih dari separuh penduduk desa kami tewas," jelas Sarala memberi tahu.
"Jadi kalian sama seperti dua orang yang da-
tang terdahulu..." Kenapa tidak bilang sejak tadi"! Kenapa berpura-pura tidak
tahu, dan pura-pura terke-
jut?" Ki Lokan jadi kecewa, dan memberondong dengan pertanyaan.
"Kami membutuhkan tempat untuk bermalam,
Ki. Perjalanan yang kami lakukan begitu melelahkan.
Sudah tiga desa kami masuki, tapi semuanya menolak
bila mengetahui kami mengejar kuda itu," kata Sarala lagi, tanpa menghiraukan
pandangan kedua saudaranya. "Aku sebenarnya tidak memusuhi orang-orang yang
mengejar kuda itu, seperti kalian. Aku hanya
khawatir, kuda itu datang lagi ke sini karena merasa dikejar. Aku hanya
memikirkan keselamatan penduduk saja. Tidak lebih dari itu," sergah Ki Lokan.
"Kami mengerti, Ki," ucap Sarala. "Aku jamin, Ki. Kuda itu tidak akan kembali
lagi ke desa yang sudah dilewatinya. Dia akan terus mencari gadis itu, dan akan
menjelajahi setiap desa yang belum pernah dima-sukinya. Binatang itu akan
mengambil jalan memutar
jika mengetahui telah memasuki desa yang akan di-
lewatinya. Yang jelas, dia seperti memiliki pantangan untuk melewati sebuah desa
dua kali."
Ki Lokan terdiam memandangi Sarala, kemu-
dian beralih menatap Banara dan Liliani. Malam me-
mang sudah begitu larut. Dan hatinya merasa tidak te-ga juga bila mengusir
ketiga anak muda ini untuk ke-
luar dari desa malam ini juga. Terlebih lagi, apa yang mereka alami lebih buruk
daripada yang diderita Desa Gronggong. Beberapa saat mereka jadi terdiam, tak
ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sambil
menghembuskan napas panjang, Ki Lokan bangkit dari
duduknya. Dia melangkah ke pintu, lalu menutup pin-
tu rumahnya. Dikuncinya pintu itu rapat-rapat.
"Sepertinya, aku tidak bisa membiarkan kalian
pergi malam ini...," kata Ki Lokan, agak menggumam suaranya.
Laki-laki tua kepala desa itu melangkah meng-
hampiri ketiga anak muda itu lagi, tapi tetap berdiri di belakang Liliani.
Sedangkan ketiga anak muda itu
hanya memandangi Ki Lokan seperti tidak percaya
dengan apa yang baru saja didengar. Semula, Ki Lokan tidak mengizinkan mereka
tinggal di desa ini, meskipun hanya semalam saja. Tapi, tiba-tiba saja jadi
berubah setelah Sarala mengatakan tujuan yang sebe-
narnya. Bahkan juga menceritakan keadaan desa me-
reka yang hancur diamuk kuda hitam itu.
"Sebaiknya, kalian istirahat saja di sini. Besok pagi kalian bisa melanjutkan
perjalanan," ujar Ki Lokan seraya memutar tubuhnya berbalik.
'Terima kasih, Ki," ucap Sarala seraya bangkit
berdiri, dan membungkukkan tubuhnya sedikit mem-
beri hormat. "Banyak kamar di sini. Kalian bisa memilih
yang mana saja. Jangan canggung-canggung, anggap
saja seperti rumah sendiri. Maaf, aku tidak bisa me-
layani kalian lebih baik lagi," kata Ki Lokan lagi.
'Terima kasih, Ki," ucap ketiga anak muda itu
bersamaan, seraya membungkukkan tubuh memberi
hormat. "Sebaiknya kalian cepat tidur. Aku juga sudah mengantuk," ujar Ki Lokan
seraya melangkah meninggalkan ruangan depan ini.
Setelah Ki Lokan menghilang di dalam sebuah
kamar, Banara langsung mencekal pundak Sarala. Si-
nar matanya begitu tajam, menatap langsung ke bola
mata adiknya. "Seharusnya tidak perlu kau katakan yang se-
benarnya, Sarala. Hampir saja kau merusak semua
rencana kita," desis Banara begitu perlahan.
"Untuk apa harus bersandiwara" Yang penting
sekarang, kita bisa beristirahat di bawah atap malam ini," jawab Sarala kalem.
Pemuda itu melepaskan cekalan tangan Banara
pada pundaknya, kemudian melangkah ringan me-
ninggalkan kedua saudaranya. Sarala cepat tenggelam
di dalam sebuah kamar yang dipilihnya. Pintu kamar
itu langsung menghadap ke pintu kamar yang ditem-
pati Ki Lokan. "Anak itu benar-benar susah diajak damai!"
dengus Banara bernada kesal.
"Sudahlah, Kakang.... Kakang Sarala tidak su-
ka berlaku tidak jujur," bujuk Liliani, mencoba menya-barkan kakaknya.
"Hhh...! Bohong sedikit itu perlu untuk kebai-
kan dan kebenaran, Liliani."
"Aku tahu. Tapi, keyakinan setiap orang pasti
berbeda, Kakang. Sudahlah.... Ayo lata istirahat. Masih terlalu panjang
perjalanan kita," ajak Liliani seraya melangkah meninggalkan kakak sulungnya.
"Hhh...!" Banara hanya menghembuskan napas panjang saja.
Kemudian, kakinya melangkah memilih kamar
untuk beristirahat setelah Liliani menghilang ke dalam kamar yang dipilihnya.
Dan keadaan di dalam rumah
kepala desa itu jadi sunyi senyap. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali
desir angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar, ditingkahi gerit
binatang malam.
*** 2 Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum me-
nampakkan diri, Banara, Sarala dan Liliani sudah me-
ninggalkan Desa Gronggong. Mereka diantar Ki Lokan
dan empat orang pembantunya sampai ke perbatasan
sebelah Timur, ke arah kuda setan itu pergi. Sebelum berpisah, Banara sempat
berpesan agar Ki Lokan dan
seluruh penduduk desanya tidak perlu khawatir. Ka-
rena, kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa ini. Ma-ka, hal itu membuat Ki
Lokan bisa bernapas lega.
Sementara itu Banara dan kedua adiknya terus
memacu cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan
Desa Gronggong. Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka mulai memasuki
sebuah hutan yang cukup lebat. Sehingga, mereka tidak mungkin bisa memacu
kuda dengan cepat. Saat ini, hari memang masih terla-lu pagi. Dan matahari pun
belum juga menampakkan
diri. Hanya bias cahayanya saja yang terlihat di ufuk Timur. Warnanya merah
jingga, dan begitu indah. Namun nampaknya ketiga anak muda itu tidak sempat
menikmati keindahan pagi ini.
"Hup...!"
Banara cepat melompat turun setelah meng-
hentikan langkah kudanya. Pemuda itu berjongkok
sambil memegangi tali kekang kudanya. Diperiksanya
tanah yang berumput cukup tebal. Sarala dan Liliani ikut melompat turun. Mereka
mengedarkan pandangan, menyusuri tanah berumput di sekitarnya.
"Banyak sekali jejak kuda di sini, Kakang," kata Liliani. "Aku yakin, bukan
hanya kita bertiga dan si Iblis Kembar dari Utara saja yang mengejar kuda
itu...," gumam Sarala perlahan, seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi heran. Untuk apa mereka mengejar
Jaran Geni itu...?" Liliani juga menggumam, bertanya pada diri sendiri.
"Jaran Geni memang bukan kuda sembaran-
gan. Jelas tujuan mereka tidak sama dengan kita. Ta-
pi, bisa juga punya tujuan sama," sahut Banara me-nanggapi pertanyaan adiknya
yang menggumam tadi.
"Hhh...! Semakin banyak rintangan yang akan
kita hadapi," keluh Liliani mendesah panjang.
"Rintangan apa pun harus dihadapi, Liliani,"
tegas Banara mantap.
"Ha ha ha...!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Ketiga anak muda itu jadi terkejut setengah
mati, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar.
Sehingga, membuat telinga
mereka jadi terasa sakit. Liliani cepat-cepat menutup telinganya dengan kedua
tangan. Suara tawa itu terus terdengar keras dan menggema, seakan-akan datang
dari segala penjuru mata angin.
"Kalian tidak pantas ikut permainan ini, Bocah-
bocah ingusan. Sebaiknya pulang saja sebelum ada
penyesalan di kemudian hari!" begitu lantang suara itu terdengar, setelah suara
tawa yang keras menggelegar tak terdengar lagi.
"Siapa kau"! Keluar...!" bentak Banara tidak kalah lantangnya.
Brusss...! Ketiga anak muda itu jadi terkejut bukan main,
dan sampai terlompat ke belakang beberapa langkah.
Memang, tiba-tiba di depan mereka mengepul asap
tebal kemerahan, seperti muncul begitu saja dari dalam tanah. Dan ketika asap
tebal kemerahan itu me-
mudar, muncul seorang laki-laki tua berbaju merah
menyala yang longgar dan panjang dari dalam asap.
Di tangan kanan orang tua itu tergenggam se-
batang tongkat, dengan bagian ujung kepalanya ber-
bentuk tengkorak. Sepasang bola matanya memerah
bara, bagai sepasang bola api. Wajahnya kelihatan begitu bengis. Dan rambutnya
yang memutih, dibiarkan
tak teratur hampir menutupi sebagian wajahnya.
"Setan Tengkorak Merah...," desis Banara langsung mengenali orang tua berjubah
merah yang tiba-
tiba muncul di tempat ini.
"Apa maksudmu menghadang jalan kami di si-
ni, Setan Tengkorak Merah?" tanya Sarala langsung, suaranya lantang dan keras
menggelegar. "He he he.... Rupanya kalian sudah tahu siapa
aku. Maka, sebaiknya pergi. Dan jangan coba-coba
ikut mengejar Kuda Api!" dengus laki-laki tua berjubah merah yang ternyata
berjuluk Setan Tengkorak Merah
dingin, diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.
"Hhh! Kau tidak ada hak melarang putra-putra
Elang Maut, Setan Tengkorak Merah...!" desis Banara tidak kalah dingin.
"Kalian memang bocah-bocah sombong yang
keras kepala! Apa mata kalian sudah buta, heh..."! Lihat! Siapa yang ada di
depan kalian ini..."!" bentak Setan Tengkorak Merah jadi geram.
"Kami tahu siapa dirimu, Setan Tengkorak Me-
rah. Dan kami tidak akan mundur setapak pun!" tegas Banara. "Grrr...!" Setan
Tengkorak Merah menggeram dahsyat, seperti seekor serigala yang marah melihat
pemburu di dekatnya.
Sementara Banara dan kedua adiknya sudah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Mereka tahu kalau orang yang dihadapi ini
memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Tapi, tak ada sedikit pun rasa gentar
di hati ketiga anak muda putra Elang Maut itu.
"Berpencar...!" seru Banara tiba-tiba, dengan suara lantang menggelegar.
"Hup...!"
"Hap...!"
Sarala dan Liliani langsung berlompatan ke
samping kanan dan kiri Setan Tengkorak Merah. Se-
dangkan Banara tetap berada di depan. Setan Tengko-
rak Merah hanya mendengus saja sambil memperhati-
kan ketiga anak muda yang sudah siap melakukan se-
rangan. Sret..!
Cring...! Ketiga putra Elang Maut itu segera mencabut
pedang masing-masing yang tipis dan berwarna kepe-
rakan. Bentuk dan ukurannya sama persis. Bagian
ujung gagangnya berbentuk kepala burung elang ber-
warna perak berkilatan. Pedang itu memantulkan ca-
haya matahari yang baru saja menyembul keluar dari
batik pepohonan di sebelah Timur.
"Hiyaaa...!"
*** Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah berteriak
keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat
cepat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Banara.
Begitu cepat dan mendadak sekali serangannya, se-
hingga membuat Banara jadi terperangah sesaat.
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hait..!"
Cepat-cepat Banara menarik tubuhnya ke bela-
kang, sehingga kebutan tongkat Setan Tengkorak Me-
rah hanya lewat sedikit di depan dadanya. Pada saat
itu, Sarala sudah melompat cepat disertai teriakan keras. Pedangnya langsung
dikebutkan ke arah kepala
Setan Tengkorak Merah.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Hih!"
Setan Tengkorak Merah tidak berusaha meng-
hindar sedikit pun. Tongkatnya malah ditarik dan ditegakkan di samping
kepalanya. Tak dapat dihindari lagi, pedang Sarala menghantam tongkat berwarna
merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak.
Trang! "Ikh...!" Sarala terpekik agak tertahan.
Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu berpu-
taran beberapa kali ke belakang sambil memegangi
pergelangan tangan kanannya. Seluruh tangan kanan-
nya terasa jadi bergetar kesemutan saat pedangnya
menghantam tongkat si Setan Tengkorak Merah baru-
san. Pemuda itu agak terhuyung begitu kakinya menje-
jak tanah. "Hiyaaat...!"
Setan Tengkorak Merah cepat melompat sambil
mengebutkan tongkatnya ke arah Sarala yang masih
berusaha menguasai diri. Cepat sekali kebutan tong-
katnya, sehingga Sarala tak mungkin lagi bisa meng-
hindar. Tapi pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Liliani melompat mengibaskan
pedangnya. Dicobanya untuk
menyampok tongkat si Setan Tengkorak Merah.
"Yeaaah...!"
Bet! Trang! "Hih! Yeaaah...!"
Begitu tongkatnya tersampok pedang Liliani,
cepat sekali Setan Tengkorak Merah memutar tubuh-
nya sambil membungkuk. Sementara kaki kanannya
bergerak cepat melepaskan satu tendangan menggele-
dek yang begitu keras ke arah perut Liliani. Padahal, gadis itu masih tersentak
akibat benturan pedangnya
dengan tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan.
Sehingga, tak ada lagi kesempatan bagi Liliani untuk menghindari tendangan laki-
laki tua berjubah merah
itu. Desss! "Akh...!"
Liliani terpekik keras agak tertahan begitu ten-
dangan Setan Tengkorak Merah menghantam telak pe-
rutnya. Tubuh gadis itu terpental deras ke belakang.
Begitu kerasnya tendangan yang dilakukan Setan
Tengkorak Merah. Sehingga, saat tubuh Liliani mem-
bentur sebongkah baru yang cukup besar, baru itu
langsung hancur berkeping-keping seketika.
"Liliani...!" seru Sarala keras.
Baru saja Sarala hendak melompat mengham-
piri Liliani yang menggeliat merintih di antara puing-puing pecahan baru, tiba-
tiba saja Setan Tengkorak
Merah sudah melesat cepat sambil melepaskan satu
pukulan tangan kiri yang cukup keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
sekali. "Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...!" Sarala terpekik keras begitu pukulan Setan Tengkorak Merah menghantam
telak dadanya. Sarala tak mampu lagi bertahan, dan langsung terpen-
tal ke belakang. Tubuhnya menghantam beberapa ba-
tang pohon hingga roboh. Sarala menggelepar di tanah sambil mengerang. Sementara
Setan Tengkorak Merah
memutar tubuhnya perlahan, menghadap Banara yang
jadi terlongong bengong melihat kedua adiknya tergeletak menggelepar di tanah
hanya beberapa gebrakan
saja. "Kali ini kalian kuberi kesempatan hidup. Ku-peringatkan sekali lagi,
jangan sekali-sekali lagi berani mengejar Kuda Api. Dia sudah jadi milikku, dan
biarkan menitis kembali ke asalnya," dingin sekali nada suara Setan Tengkorak
Merah. Kali ini Banara benar-benar tidak bisa berkata-
kata lagi, dan hanya bisa diam tak bergeming sedikit pun. Sementara Setan
Tengkorak Merah sudah berbalik, dan melangkah cepat meninggalkan tepian hutan
ini. Arahnya terus menuju ke Timur, semakin masuk
ke dalam hutan. Banara baru bisa bergerak mengham-
piri adik-adiknya setelah Setan Tengkorak Merah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Banara.
"Aku harus segera bersemadi. Keras sekali pu-
kulan Setan Tengkorak Merah...," jelas Sarala tersen-gal.
"Aku juga, Kakang...," sambung Liliani juga ter-sengal.
"Cepatlah bersemadi. Kalian akan ku jaga," ka-ta Banara begitu cemas melihat
keadaan kedua adik-
nya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sarala dan
Liliani mengambil tempat yang teduh di bawah pohon.
Kemudian, mereka duduk bersila untuk memulai ber-
semadi. Sementara Banara menunggui tidak jauh dari
kedua adiknya itu. Sesekali matanya menatap mereka
yang sudah bersemadi. Jelas sekali kalau raut wajah-
nya begitu cemas. Apalagi ketika melihat mulut mereka yang terus mengalirkan
darah agak kental kehitaman.
*** Sementara itu jauh di tengah Hutan Gronggong,
tampak seekor kuda hitam tengah menghentak-
hentakkan kakinya di atas sebuah gundukan tanah
yang dilapisi rerumputan tebal. Begitu gundukan ta-
nah yang tampaknya seperti sebuah kuburan itu mulai
terbongkar, tiba-tiba saja kuda hitam itu berhenti
menghentak-hentakkan kakinya. Sedangkan kepa-
lanya langsung terdongak ke atas. Binatang itu men-
dengus keras, sehingga dari lubang hidungnya keluar
segumpal asap tebal kemerahan.
"Hieeekh...!"
Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika dua orang penunggang
kuda keluar dari lebatnya pepohonan di hutan ini. Kedua penunggang kuda yang
wajah dan bentuk tubuhnya sama persis itu segera
berlompatan turun dari kuda masing-masing. Sukar
membedakan kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun ini, kecuali dari
warna pakaiannya saja.
Yang seorang mengenakan baju warna biru tua,
dan berjuluk Iblis Biru. Sedangkan yang seorang lagi
mengenakan baju warna hitam pekat, dengan julukan
Iblis Hitam. Mereka memang orang kembar, dan berju-
luk si Iblis Kembar dari Utara.
"Kita datang tepat pada waktunya, Iblis Hitam,"
kata Iblis Biru perlahan.
"Benar. Jaran Geni sudah menemukan kubu-
rannya," sahut Iblis Hitam, juga perlahan suaranya.
Baru saja mereka hendak melangkah mendeka-
ti kuda hitam itu, tiba-tiba saja terdengar siulan panjang yang begitu nyaring
melengking tinggi. Siulan
yang tiba-tiba terdengar melengking itu membuat si Iblis Kembar dari Utara jadi
terkejut. Mereka langsung saling melempar pandangan.
"Hm, siapa dia...?" tanya Iblis Hitam.
"He he he...!"
Bersamaan terdengarnya suara tawa terkekeh
yang menggantikan siulan melengking tadi, tiba-tiba
saja berkelebat sebuah bayangan putih. Dan tahu-
tahu, tidak jauh dari si Iblis Kembar dari Utara sudah berdiri seorang laki-laki
tua berjubah putih panjang.
Suara tawanya yang terkekeh dan begitu kering, sung-
guh menyakitkan telinga. Memang suara tawa itu dis-
ertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Di rimba persilatan dia berjuluk Kakek
Siulan Maut. "He he he.... Ternyata kalian lebih dulu sampai dariku," kata laki-laki tua
berjubah putih yang berjuluk Kakek Siulan Maut, diiringi suara tawanya yang
kering dan terkekeh.
"Jika tujuanmu sama dengan kami, sebaiknya
diam dan jangan mengganggu Jaran Geni," dengus Iblis Hitam, ketus.
"Tentu saja aku tidak akan mengganggu Jaran
Geni, tapi justru akan menjaganya dari keusilan kalian berdua," sambut Kakek
Siulan Maut, sinis.
Kakek Siulan Maut segera mengambil tempat di
bawah pohon yang cukup rindang. Kemudian dia du-
duk bersila, seraya meletakkan tongkat pendek yang
terbuat dari baja putih di sampingnya. Kedua ujung
tongkatnya bercabang tiga, dan berbentuk runcing se-
perti mata tombak. Melihat laki-laki tua berjubah putih ini kelihatan tenang dan
langsung memperhatikan ku-da hitam aneh itu, si Iblis Kembar dari Utara juga
segera duduk di dekat kudanya.
Sementara kuda hitam itu masih mendengus-
dengus sambil memandangi tiga orang yang duduk
bersila agak jauh darinya. Dan pada saat itu, muncul lagi seorang laki-laki tua
berjubah merah. Dia seperti tidak peduli pada tiga orang yang sudah duduk
bersila dengan tenang. Tampak sebatang tongkat merah yang
pada bagian ujung atas terdapat tengkorak kepala ma-
nusia, tergenggam di tangannya. Dia langsung saja
mengambil tempat, dan duduk bersila tanpa berkata
sedikit pun. Di kalangan rimba persilatan dia dikenal sebagai Iblis Tongkat
Merah. Namun tak berapa lama kemudian, muncul lagi
dua orang gadis berwajah cantik yang di punggung
masing-masing tersampir sebilah pedang. Kemunculan
mereka, masih disusul oleh munculnya seorang pe-
rempuan tua berbaju hitam pekat dan longgar. Dia
membawa sebuah cambuk pendek berbentuk ekor ku-
da yang juga berwarna hitam pekat Perempuan tua ini, dikenal berjuluk Dewi
Cambuk Maut Sedangkan dua
orang gadis yang sudah duduk bersila di bawah pohon
itu, di kalangan persilatan dikenal sebagai Dewi Naga Kembar. Masing-masing
bernama asli, Untari dan Le-gini. "Hieeekh...!" tiba-tiba saja kuda hitam yang
mereka kenal sebagai Jaran Geni, meringkik keras me-
lengking tinggi sambil mengangkat kedua kakinya
tinggi-tinggi ke atas.
Begitu keras ringkikannya, sehingga tanah di
sekitarnya jadi bergetar. Dan entah dari mana, tiba-
tiba saja angin berhembus kencang bagai badai topan.
Akibatnya, pepohonan di sekitar Hutan Gronggong itu
jadi berderak, seperti hendak roboh. Sedangkan orang-orang yang duduk bersila di
sekitarnya masih tetap
duduk tenang, tak bergeming sedikit pun. Mereka
mengambil sikap seperti sedang bersemadi.
"Hieeekh...!"
Lagi-lagi Jaran Geni meringkik keras beberapa
kali, sambil menghentak-hentakkan kedua kaki de-
pannya ke tanah. Dan begitu ringkikannya berhenti,
seketika itu juga suasana menjadi tenang kembali. Tidak ada lagi hembusan angin
badai, dan bumi tak lagi terasa bergetar. Bahkan suara menderu pun tidak lagi
terdengar. Suasana di tengah Hutan Gronggong kini
mendadak saja jadi sunyi senyap bagai berada di ten-
gah-tengah kuburan.
*** Entah berapa lama kesunyian itu berlangsung
menyelimuti Hutan Gronggong ini, bahkan tak ada
seorang pun yang membuka suara. Kuda hitam Jaran
Geni yang semula liar, kini jadi tenang sekali. Dan binatang itu juga tidak lagi
mendengus-dengus, namun
kepalanya masih mendongak ke atas. Tiba-tiba saja,
langit tampak gelap, tertutup awan hitam yang meng-
gumpal. Mendadak....
Cras! Glarrr...! Satu ledakan keras menggelegar terdengar keti-
ka tiba-tiba saja secercah kilat langsung menyambar
kuburan yang sudah mulai terbongkar. Api langsung
berkobar membakar kuburan yang berlubang oleh
hentakan kaki kuda hitam itu tadi. Dan lubang itu semakin lebar terbongkar,
setelah tersambar kilat.
Seperti datangnya tadi, awan hitam yang meng-
gumpal menutupi langit tiba-tiba saja menghilang en-
tah ke mana. Dan keadaan di tengah-tengah Hutan
Gronggong itu jadi terang kembali. Api masih berkobar besar dari lubang kuburan
yang terbongkar. Saat kuda hitam yang bernama Jaran Geni melangkah menghampiri
kobaran api itu, semua orang yang ada di sekitarnya bergegas bangkit berdiri.
Mereka langsung me-
langkah menghampiri kuda hitam itu.
Perlahan-lahan api yang berkobar dari dalam
lubang kuburan itu mengecil, lalu tak berapa lama
kemudian padam. Kini tinggal asap hitam yang masih
mengepul membumbung tinggi. Tapi kepulan asap hi-
tam itu hanya sebentar saja, karena kemudian meng-
hilang terbawa angin yang berhembus agak kencang di
tengah Hutan Gronggong ini.
"Jaran Geni, izinkan aku membantu menyem-
purnakan kebangkitan mu," pinta Kakek Siulan Maut seraya menjura membungkukkan
tubuhnya sedikit,
memberi hormat pada kuda hitam aneh itu.
Kuda hitam itu berpaling menatap Kakek Si-
ulan Maut dengan sepasang bola matanya yang merah
bagai darah. Kemudian, dipandanginya orang-orang
yang berada di sekelilingnya. Semua yang dipandangi
segera membungkukkan tubuhnya, seperti memberi
hormat pada seorang pimpinan.
"Hieeekh...!" kuda hitam itu tiba-tiba saja meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara.
Seketika itu juga wajah mereka semua lang-
sung cerah, begitu melihat kepala kuda hitam itu te-
rangguk-angguk. Mereka lalu saling berpegangan tan-
gan, dan melingkari kuda hitam itu bersama kuburan
yang sudah terbongkar. Tampak jelas, di dalam lubang kuburan itu tergolek
sesosok tubuh yang hitam dan
hangus seperti baru saja terbakar.
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kuangkat jasadmu, Jaran Geni," ujar Iblis Tengkorak Merah.
Belum juga ada yang sempat membuka suara,
Iblis Tengkorak Merah langsung melompat cepat ma-
suk ke dalam lubang kuburan itu. Tak lama kemudian,
laki-laki bertongkat merah itu kembali melompat naik sambil membawa sesosok
tubuh hitam yang hangus
bagai terbakar. Perlahan-lahan, diletakkannya sosok
tubuh hitam itu di depan Jaran Geni.
Kuda hitam itu menghentakkan kaki depan ka-
nannya tiga kali ke tanah, maka tujuh orang yang ada di tengah Hutan Gronggong
itu segera menghampiri
mendekat.. Mereka berdiri setengah melingkar di de-
pan sosok tubuh menghitam hangus itu, lalu sama-
sama mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna kun-
ing keemasan. Bentuk dan ukuran pisau itu serupa
persis, sedikit pun tak ada perbedaannya.
"Hieeekh...!" kuda hitam itu kembali meringkik keras sambil mendongakkan
kepalanya. Serentak, tujuh orang golongan hitam itu men-
gangkat pisau yang tergenggam di tangan kanan ting-
gi-tinggi ke atas kepala. Lalu, ujung pisau itu disatukan, tepat di atas dada
sosok tubuh menghitam han-
gus yang terbaring di depan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
*** 3 Tujuh orang tokoh tingkat tinggi golongan hi-
tam itu tiba-tiba saja menghunjamkan pisau tepat ke bagian tengah dada sosok
tubuh yang menghitam hangus terbaring di tanah. Pada saat itu, terdengar ledakan
guntur menggelegar di angkasa, disusul berkelebatannya secercah cahaya kilat
yang langsung menyam-
bar dada sosok tubuh hitam itu. Pada saat yang ber-
samaan, tujuh orang tokoh persilatan itu berlompatan mundur sejauh dua batang
tombak. Tiba-tiba saja, muncul asap hitam yang meng-
gumpal menyelimuti seluruh tubuh hitam hangus itu.
Pada saat yang bersamaan, kuda hitam itu menggele-
par jatuh ke tanah sambil menggerung-gerung. Bumi
langsung bergetar. Bahkan angin seketika berhembus
kencang, menerbangkan apa saja yang ada di sekitar
Hutan Gronggong ini.
Asap hitam itu semakin besar menggumpal,
hingga menyelimuti tubuh kuda hitam yang menggele-
par sambil menggerung-gerung di tanah. Tiba-tiba sa-
ja, warna asap itu berubah jadi merah bagai darah. La-lu, berganti warna hingga
beberapa kali. Dan bersa-
maan dengan tenangnya alam, asap yang kembali hi-
tam itu pun menyebar hilang. Pada saat itu, di tempat sesosok mayat tadi
tergeletak, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya indah,
ber- warna biru muda. Di sampingnya berdiri seekor kuda
hitam yang tinggi dan gagah.
"Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tiba-tiba ter-tawa terbahak-bahak.
Tapi tiba-tiba, suara tawanya terhenti begitu
melihat tujuh orang berlutut sekitar dua tombak di de-
pannya. Kemudian kakinya melangkah tenang sambil
merayapi wajah tujuh orang yang masih berlutut di
depannya. "Aku senang kalian bisa memenuhi undangan
dan permintaanku. Tapi sayang, seharusnya ada dela-
pan pisau emas yang tertanam di tubuhku. Bukannya
tujuh...," kata pemuda itu, suaranya terdengar dingin menggetarkan.
"Kami tidak tahu. Yang jelas, hanya kami bertu-
juh yang datang ke sini," kata Iblis Tengkorak Merah.
"Hm.... Itu berarti kalian harus bisa menda-
patkan satu pisau emasku lagi. Dengan demikian, ke-
hidupan dan kekuatanku baru benar-benar sempurna.
Hanya dengan tujuh pisau emas saja, kehidupanku be-
lum begitu sempurna. Dan itu berarti aku masih me-
merlukan pelindung kalian semua," jelas pemuda itu lagi, tetap dingin suaranya.
"Kami akan mendapatkannya, Raden Gordapa-
la," sahut Iblis Tengkorak Merah lagi.
"Hm...," pemuda yang dipanggil Raden Gordapala tiba-tiba menggumam kecil.
Kepalanya bergerak menggeleng ke kanan dan
ke kiri, lalu memandangi tujuh orang yang masih ber-
lutut di depannya. Ketujuh orang tokoh persilatan itu hanya memandangi tidak
mengerti. Tapi mendadak sa-ja, Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut me-
lesat cepat ke arah sebuah batu besar yang tingginya hampir menyamai pohon.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
Tak lama kemudian, sesosok tubuh kurus tan-
pa baju terlempar ke udara. Tubuh laki-laki tua kurus itu lalu terbanting keras
di tanah dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Hanya sebentar dia menggeliat,
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Iblis Tengko-
rak Merah dan Kakek Siulan Maut kembali melesat ke-
luar dari balik batu.. Masing-masing kini telah men-cengkeram seorang wanita
muda berwajah cukup can-
tik.. Mereka lalu mendorong dua gadis muda itu, hing-ga tersuruk ke depan kaki
Raden Gordapala.
"Siapa bocah-bocah ayu ini, Paman Tengkorak
Merah?" tanya Raden Gordapala.
"Aku tidak tahu, Raden. Mungkin hanya penca-
ri kayu bakar saja," sahut Iblis Tengkorak Merah.
Sementara itu, Iblis Kembar dari Utara, Dewi
Naga Kembar, dan Dewi Cambuk Maut sudah berdiri di
belakang Raden Gordapala. Sedangkan dua gadis be-
rusia sekitar tujuh belas tahun itu masih berlutut dengan tubuh gemetar di depan
pemuda tampan yang
menatap dengan sinar mata tajam berkilat.
"Apakah hanya mereka saja yang ada di sini,
Paman Siulan Maut?" tanya Raden Gordapala tanpa mengalihkan tatapannya pada
kedua gadis itu.
"Ada satu orang lagi, Raden. Tapi berhasil ka-
bur," sahut Kakek Siulan Maut.
"Setan...! Kejar, dan bunuh dia!" geram Raden Gordapala langsung memerah
wajahnya. "Apa kalian tidak tahu, tak seorang pun boleh berada di sini, selain
kalian yang memegang pisau emasku!"
"Maafkan kelalaian kami, Raden. Kami begitu
bahagia melihat Raden hidup kembali, sehingga tidak
memperhatikan keadaan sekeliling," ucap Kakek Siulan Maut.
"Aku tidak peduli alasan kalian semua! Cepat
pergi, dan bawa kepalanya padaku!" perintah Raden Gordapala lantang dan
menggelegar. "Baik, Raden," sahut ketujuh orang itu seraya membungkuk memberi hormat.
Tanpa diperintah dua kali, tujuh tokoh persila-
tan yang sudah kondang namanya itu segera berlom-
patan ke balik batu besar, tempat Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut
tadi menemukan laki-laki
tua yang sekarang sudah tergeletak tewas, dan dua
orang gadis muda berwajah cukup cantik. Sebentar sa-
ja bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak terlihat
lagi. Kini, Raden Gordapala memandangi kedua ga-
dis yang masih berlutut di depannya. Dengan kasar
sekali, gadis itu disentakkan hingga berdiri. Tubuh mereka semakin bergetar,
dengan kepala tertunduk
tak sanggup menentang sorot mata Raden Gordapala
yang begitu tajam menusuk.
"Kenapa kalian mengintai ku?" tanya Raden Gordapala dingin. Suaranya terdengar
agak mendesis. Kedua gadis itu tidak menjawab. Bahkan tubuh
mereka malah semakin gemetar ketakutan. Raden
Gordapala mendesis geram. Dengan kasar sekali, di-
cengkeramnya dagu salah seorang gadis yang berbaju
kuning, lalu mengangkatnya. Mau tak mau, Raden
Gordapala bisa menatap wajahnya yang pucat lebih je-
las lagi. "Aku bisa berbuat apa saja padamu...," desis Raden Gordapala, semakin
dingin suaranya. 'Tapi kau
cukup cantik untuk mati lebih cepat. Lama sekali aku tidak pernah lagi menikmati
kehalusan kulit wanita.
Kalian berdua akan menjadi gadis-gadis pertama yang
merasakan permainan ini."
"Oh..."!" gadis berbaju kuning itu terkejut setengah mati.
Wajah gadis itu semakin pucat pasi, dan tu-
buhnya semakin keras menggeletar. Tiba-tiba saja Ra-
den Gordapala menggerakkan tangannya dengan ce-
pat. langsung ditotoknya dada kiri gadis yang satunya lagi. Gadis itu mengeluh
pendek, dan langsung ambruk menggeletak di tanah. Seluruh tubuhnya jadi le-
mas tak bertenaga. Hanya bagian kepalanya saja yang
masih bisa digerakkan. Sementara, seluruh tubuh lain tak mampu digerakkan lagi.
"Kau akan mendapat giliran nanti, Anak Manis!
he he he...!"
Auwh...! Gadis berbaju kuning itu terpekik. Se-
kuat daya tubuhnya beringsut, mencoba berontak. Ta-
pi Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai ke-
senangan. Tangannya kembali bergerak cepat mende-
kap tubuh yang tergolek di depannya.
"Akh...!"
Kasar sekali Raden Gordapala menyentakkan
tubuh gadis yang berbaju kuning itu, sehingga terjatuh terlentang di tanah
berumput cukup tebal. Perlahan
Raden Gordapala melangkah menghampiri, dan men-
julurkan tangan kanannya. Lalu cepat sekali disam-
bar-nya baju bagian dada gadis itu, dan disentakkan
kuat-kuat. "Auwh...!" gadis itu terpekik.
Cepat-cepat gadis berbaju kuning itu menutupi
dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Dengan
wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan, dia beru-
saha menghindari laki-laki tampan berwajah bengis
itu. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba men-
jauh. Tapi, Raden Gordapala malah tersenyum menye-
ringai kesenangan. Namun kembali tangannya cepat
digerakkan, menyambar pakaian yang dikenakan gadis
itu lagi. Brettt!
"Auwh...!"
"He he he...!"
Raden Gordapala terkekeh liar melihat tubuh
yang hampir terbuka tergolek di depannya. Kulit tubuh yang halus tanpa cacat,
membuat bola mata laki-laki
tampan itu jadi berbinar penuh gejolak nafsu. Sedangkan gadis itu berusaha
menutupi tubuhnya yang su-
dah terbuka. Tapi belum juga bisa menutupi tubuh-
nya, tiba-tiba saja Raden Gordapala sudah cepat me-
nerkamnya. Kembali gadis itu terpekik, dan meronta beru-
saha melepaskan diri. Tapi pelukan Raden Gordapala
begitu kuat. Terlebih lagi, pemuda tampan itu mene-
kan dadanya. Sehingga, membuat napas gadis itu jadi
sesak. Dengan kasar sekali, Raden Gordapala mereng-
gut seluruh pakaian yang melekat di tubuh gadis itu.
Akibatnya, tak ada selembar benang pun yang mele-
kat. Seluruh tubuh gadis itu benar-benar polos. Sepasang bola mata Raden
Gordapala semakin liar menjilati sekujur tubuh menggairahkan.
"Oh..., tolong...! Lepaskan! Jangan sakiti
aku...," rintih gadis itu lirih.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tena-
ganya memang kalah jauh bila dibanding Raden Gor-
dapala: yang sudah dirasuki nafsu yang tak terkendali lagi. Rintihan gadis itu
tidak membuat gairah pemuda yang baru bangkit dari kubur itu jadi surut.
Bahkan semakin liar saja. Dan gadis yang ma-
lang itu tak bisa lagi; berbuat apa-apa. Air matanya malah sudah menitik deras.
Dia hanya bisa merintih,
dan memohon. Tapi rintihannya sama sekali tidak di-
pedulikan. "Ahhh...!" tiba-tiba saja gadis itu memekik agak tertahan.
Tubuh bugil itu langsung mengejang kaku, dan
kelopak matanya terbeliak lebar. Sesaat kemudian, dia terkulai lemas. Hanya isak
tangis dan rintihan lirih sa-ja yang terdengar. Matanya dipejamkan, tak sanggup
melihat pemuda yang tengah berpacu di atas tubuh-
nya. *** Iblis Tengkorak Merah jadi terbeliak begitu me-
lihat dua gadis cantik tergolek tanpa benang sehelai pun melekat di tubuhnya.
Sedangkan Raden Gordapala tampak duduk tenang bersandar di bawah sebatang
pohon. Sinar matanya begitu berbinar, dan bibirnya
menyunggingkan senyuman penuh kepuasan.
Bukan hanya Iblis Tengkorak Merah yang ter-
kejut. Bahkan Kakek Siulan Maut, si Iblis Kembar dari Utara, Dewi Naga Kembar,
dan Dewi Cambuk Maut,
juga jadi terbeliak melihat dua orang gadis tergolek polos tidak jauh dari Raden
Gordapala. "Kenapa kalian jadi bengong, heh...?" tegur Raden Gordapala seraya bangkit
berdiri, dan menge-
nakan pakaiannya kembali.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Tujuh
orang tokoh persilatan itu segera menjura, membung-
kukkan tubuhnya memberi hormat. Iblis Tengkorak
Merah bergegas melangkah maju mendekati, begitu
Raden Gordapala memberi isyarat dengan ujung ja-
rinya. "Bagaimana" Kau temukan tikus itu?" tanya Raden Gordapala, agak dingin
nada suaranya. "Sudah, Raden. Ini kepalanya," sahut Iblis Tengkorak Merah seraya meletakkan
sebuah bungku-san kain di depan pemuda tampan itu. Dari bawah
kain, tampak menetes cairan merah.
"Ha ha ha...! Bagus...! Kalian benar-benar pen-
gikut ku yang setia," ujar Raden Gordapala seraya ter-tawa terbahak-bahak.
"Kami semua akan melaksanakan perintahmu,
Raden. Kami akan mewujudkan semua impian mu,"
tegas Iblis Tengkorak Merah seraya menjura memberi
hormat "Aku senang mendengarnya, Paman. Tapi ada satu yang masih merisaukan ku,"
kata Raden Gordapala. "Apa itu, Raden?" tanya Iblis Tengkorak Merah.
"Kehidupanku rasanya belum sempurna bila
belum ada delapan pisau emas di dalam tubuhku,"
ungkap Raden Gordapala.
Tak ada yang berbicara. Mereka semua kini ter-
diam membisu. Sebentar Raden Gordapala meman-
dangi tujuh orang tokoh persilatan yang sudah menya-
takan kesetiaan. Berkat mereka, dia bisa bangkit lagi dari kematiannya yang
cukup panjang. "Saat rohku masih menyatu dalam tubuh Jaran
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Geni, aku memberi delapan pisau emasku. Dan kalian
masing-masing memegang satu. Sedangkan satu pisau
lagi...," Raden Gordapala tidak meneruskan ucapannya. "Siapa yang memegang pisau
emas satunya la-gi, Raden?" tanya Untari, salah satu dari Dewi Naga Kembar.
"Aku memberikannya pada salah seorang di Ke-
rajaan Karang Setra. Hhh.... Inilah kesalahan pertama yang kubuat. Aku
memberikannya begitu saja tanpa
mengetahui dirinya yang sebenarnya terlebih dahulu.
Bahkan namanya aku juga tidak tahu. Kemunculan-
nya saat aku kebingungan mencari kalian semua, para
pengikut setia ku. Kalian memang tidak saling menge-
nal sebelumnya, karena aku memang menginginkan-
nya begitu. Paling tidak, agar kebangkitan ku sekarang tidak diketahui orang
lain, sehingga menyebabkan ke-gagalan. Semua pisau mestinya kuberikan pada mas-
ing-masing pemimpin tokoh hitam di delapan penjuru
mata angin. Tapi sayang, satu buah tidak kuberikan
pada pemimpin penjuru angin pertama," ujar Raden Gordapala menyesali kesalahan
yang telah diperbuat-nya. "Apakah kami harus mendapatkan pisau emas itu, Raden?"
tanya Dewi Cambuk Maut.
"Itu sudah pasti. Karena kehilangan satu pisau
emas saja, belum berarti apa-apa untuk kehidupanku
ini. Kesempurnaan seluruh ilmuku tergantung dari
jumlah pisau emas yang harus tertanam dalam tubuh-
ku. Karena, pisau-pisau emas itulah yang membuat
kekuatanku jadi abadi. Kalian tentu sudah tahu akan
hal ini," kata Raden Gordapala.
Mereka hanya mengangguk saja. Selama ini,
mereka memang tahu kalau mempunyai seorang pim-
pinan yang tangguh dan digdaya. Tapi di antara mere-
ka sendiri memang tidak pernah ada hubungan satu
sama lain. Sehingga, tidak heran jika mereka tidak ada yang saling mengenal.
Mereka terlalu sibuk melebar-kan sayap di daerah kekuasaan masing-masing, di de-
lapan penjuru angin. Dan memang, mereka hanya pa-
tuh pada satu perintah yang datang langsung dari Ra-
den Gordapala ini. Dan tentu saja sekarang mereka
sudah saling mengenal. Itu pun setelah Raden Gor-
dapala menyebut julukan masing-masing.
"Raden, apa tidak sebaiknya kita segera saja
pergi ke Karang Setra...?" usul Kakek Siulan Maut.
'Tidak semuanya," sahut Raden Gordapala.
"Maksud, Raden...?" tanya Iblis Hitam, salah
satu dari Iblis Kembar dari Utara.
"Kalian memang pergi ke Karang Setra, tapi
Dewi Naga Kembar dan Paman Tengkorak Merah tidak.
Mereka harus ikut denganku ke istana di Gunung
Tangkup." "Kalau begitu, kami segera saja berangkat, Ra-
den," pamit Kakek Siulan Maut.
"Pergilah, dan kalian harus berhasil."
Setelah menjura memberi hormat, mereka sege-
ra meninggalkan Hutan Gronggong itu. Tinggal Iblis
Tengkorak Merah dan Dewi Naga Kembar saja yang
masih tinggal bersama Raden Gordapala.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Raden Gordapala setelah empat orang
pengikutnya tidak terlihat lagi, tenggelam dalam lebatnya Hutan Gronggong ini.
"Bagaimana dengan gadis-gadis ini, Raden?" tanya Tengkorak Merah seraya menunjuk
dua gadis yang tergeletak tanpa busana.
'Tinggalkan saja. Mereka tidak ada gunanya lagi
bagiku," sahut Raden Gordapala seraya melangkah menghampiri kuda hitamnya yang
gagah. Kuda hitam yang bernama Jaran Geni memang
bukan kuda sembarangan. Binatang aneh itu bisa
mengeluarkan api dari mulutnya. Dan jika mendengus
marah, dari lubang hidungnya mengepulkan asap ke-
merahan. Ringan sekali gerakan tubuh pemuda tampan
itu saat melompat naik ke punggung Jaran Geni. Se-
mentara dua orang gadis cantik yang berjuluk Dewi
Naga Kembar, juga sudah berlompatan naik ke pung-
gung kuda masing-masing. Tinggal Iblis Tengkorak Me-
rah saja yang masih berdiri di samping kudanya, me-
mandangi dua orang gadis yang tergeletak diam tanpa
selembar pakaian pun melekat di tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" tegur Raden Gordapala.
"Kenapa memandangi mereka terus?"
"Mereka masih hidup, Raden," jelas Iblis Tengkorak Merah.
"Biarkan saja. Sebentar lagi malam menjelang.
Mereka pasti mati jadi santapan binatang hutan ini,"
sahut Raden Gordapala dingin tak peduli.
"Apa tidak sebaiknya dibuat mati saja, Raden"
Mereka sudah melihat apa yang kita lakukan di sini.
Dan mereka juga melihat kebangkitan Raden," saran Iblis Tongkat Merah.
"Ah! Sudah lupakan saja, Paman. Ayo cepat,
sebelum hari jadi gelap," sentak Raden Gordapala langsung saja menghentakkan
tali kekang kudanya.
Iblis Tengkorak Merah tidak berkata-kata lagi.
Sebentar dipandanginya tubuh dua orang gadis yang
tergeletak tanpa pakaian, kemudian melompat naik ke
punggung kudanya. Langsung kudanya dipacu, me-
ngejar Raden Gordapala dan Dewi Naga Kembar yang
sudah berpacu cepat meninggalkan tempat itu.
Dan memang, saat ini matahari sudah condong
ke arah Barat Sinarnya tidak lagi terik menyengat. Sementara di tengah Hutan
Gronggong itu kini jadi
sunyi, tak terdengar suara sedikit pun. Hanya desir
angin saja yang terdengar menggesek dedaunan yang
menjadi saksi bisu dari semua peristiwa di tempat ini.
*** 4 Kegelapan mulai menyelimuti sekitar Hutan
Gronggong. Binatang-binatang malam mulai keluar da-
ri sarangnya. Hutan yang sungguh lebat ini terasa begitu mencekam dan mengerikan
suasananya. Berbagai
macam suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri,
terdengar di setiap sudut hutan ini. Tapi keadaan yang begitu mencekam ini,
tidak menyurutkan nyali tiga
orang anak muda untuk terus mengendarai kudanya
yang tampak sudah kelelahan.
Ketiga anak muda itu adalah Banara, Sarala,
dan Liliani. Mereka adalah putra Elang Maut dari Bu-
kit Elang. Meskipun rona merah masih terlihat mem-
bias di ufuk Barat, tapi kegelapan sudah menyelimuti sekitar Hutan Gronggong
yang begitu lebat ini. Sementara, ketiga putra Elang Maut itu terus maju, tanpa
mempedulikan keadaan hutan yang semakin sulit saja
dilalui. "Sebentar lagi hari benar-benar menjadi gelap, Kakang. Apakah tidak
sebaiknya berhenti dulu di sini,"
saran Liliani memecah kesunyian dan kebisuan yang
terjadi sejak tadi.
'Tidak. Sebentar lagi kita sampai. Tinggal mele-
wati pohon yang besar itu saja," sahut Banara seraya menunjuk sebatang pohon
yang paling besar, di antara pohon-pohon lainnya dalam hutan ini.
Liliani tidak bicara lagi. Dan mereka memang
terus bergerak, meskipun tersendat-sendat. Hingga
akhirnya, mereka tiba di tempat yang dituju, setelah melewati pohon besar yang
ditunjuk Banara. Keadaan
memang sudah begitu gelap, sehingga sulit untuk me-
nembus kegelapan yang begitu pekat. Liliani turun dari
punggung kudanya, dan menyalakan api dari batu
pemantik api yang selalu dibawa. Gadis itu membuat
api unggun, sehingga bisa mengurangi kegelapan ma-
lam ini. "Kakang, lihat...!" seru Sarala tiba-tiba.
Liliani dan Banara segera menghampiri Sarala.
Liliani jadi terpekik. Buru-buru mukanya dipalingkan begitu melihat dua tubuh
tergolek tanpa selembar pakaian menutupnya. Banara segera menghampiri kedua
gadis itu, dan menempelkan ujung jarinya di bagian
leher dekat dagu.
"Bagaimana?" tanya Sarala yang berada di belakang kakaknya ini.
"Satu masih hidup. Cepat ambil kain di kuda-
ku," ujar Banara.
"Baik, Kakang," sahut Sarala seraya bergegas berlari menuju kuda yang
ditunggangi Banara tadi.
Sementara Liliani masih belum menghampiri
Banara yang tengah memeriksa keadaan tubuh salah
seorang gadis yang masih hidup. Tak berapa lama ke-
mudian, Sarala sudah menghampiri sambil membawa
dua lembar kain. Mereka menutupi gadis-gadis itu
dengan kain, hingga tidak terlihat polos lagi. Liliani ba-ru menghampiri setelah
yakin kedua gadis itu tidak la-gi dalam keadaan polos tanpa pakaian.
"Kenapa mereka bisa sampai ada di sini, Ka-
kang" Siapa mereka...?" tanya Liliani.
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak ada yang
bisa menjawab. Sementara Sarala yang memeriksa se-
kitar tempat ini sudah berdiri mematung di pinggir sebuah lubang yang
kelihatannya bekas kuburan. Bana-
ra dan Liliani menghampiri pemuda itu. Mereka jadi
terdiam memandangi lubang bekas kuburan yang
menganga cukup lebar.
"Kita terlambat, Kakang. Dia sudah berhasil
bangkit dari kubur," ujar Sarala perlahan.
"Sukar dipercaya kalau hal ini dilakukan siang
hari. Padahal perhitungan kita, baru malam hari me-
reka melakukannya," kata Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenyataannya, kita benar-benar terlam-
bat, Kakang," sambung Liliani.
"Hhh.... Apa yang harus kita lakukan seka-
rang?" tanya Banara seraya berbalik dan melangkah perlahan menghampiri api
unggun yang dibuat Liliani
tadi. Sarala dan adik perempuannya mengikuti Ba-
nara. Mereka kemudian duduk tidak jauh dari api un-
ggun. Sedangkan tidak jauh dari api unggun, tergolek sesosok tubuh seorang gadis
yang tertutup kain cukup tebal yang sudah agak lusuh. Tarikan napas gadis itu
begitu perlahan. Bahkan gerak dadanya hampir tidak
terlihat. Mereka memperhatikan gadis yang masih be-
lum juga sadarkan diri itu.
"Dia mendapat totokan yang hampir sempurna.
Cukup sulit juga membebaskan totokannya. Seluruh
darah di tubuhnya hampir membeku. Sedikit saja ter-
lambat, dia akan mati seperti gadis satunya itu," jelas Banara. "Apa masih lama
pingsannya, Kakang?" tanya Liliani. "Entahlah. Mungkin baru besok pagi sadar,"
sahut Banara. "Itu juga kalau pembuka totokanku be-kerja di dalam tubuhnya. Aku
sendiri tidak yakin, karena dia mendapat totokan dari kekuatan tenaga da-
lam yang jauh lebih tinggi dariku."
"Mudah-mudahan saja dia bisa sadar, Kakang.
Kita membutuhkan keterangannya," kata Liliani lagi.
"Kasihan...," desah Sarala perlahan, seakanakan untuk dirinya sendiri.
"Kita terpaksa bermalam di tengah hutan ini,"
kata Banara lagi.
"Ya.... Hutan ini terlalu lebat kuda-kuda kita
juga sudah kelelahan," desah Liliani.
Ketiga putra Elang Maut itu tidak ada lagi yang
berbicara. Mereka semua terdiam, dengan pikiran ber-
gelut dalam benak masing-masing. Sementara malam
terus merayap semakin jauh. Kabut pun semakin teb-
al, menyebarkan udara dingin yang begitu menusuk
sampai ke tulang. Api unggun yang menyala cukup be-
sar, seakan-akan tak sanggup mengusir dinginnya
udara malam ini. Tapi tak ada seorang pun dari mere-
ka yang memperdengarkan keluhan. Mereka memang
sudah terbiasa hidup di alam terbuka seperti ini.
*** Liliani menggelinjang bangun dari tidurnya, be-
gitu merasakan sengatan hangat matahari yang me-
nerpa kulit tubuhnya. Gadis itu jadi terkejut mendengar suara isak tangis yang
lirih. Cepat kepalanya berpaling, dan melihat gadis yang semalam ditemukan tak
sadarkan diri di tengah hutan ini tengah menangis
memeluk lututnya. Gadis itu menyembunyikan wajah-
nya dalam lekukan lututnya.
Perlahan Liliani merangkak mendekat. Pada
saat itu, Banara dan Sarala juga terbangun ketika
mendengar tangisan lirih. Sarala hendak menghampiri
gadis itu, tapi Banara sudah lebih cepat mencegah
dengan cekalan tangan. Mereka hanya memperhatikan
Liliani saja yang kini sudah berada dekat di samping
gadis yang masih menangis memeluk lutut ini.
"Nisanak...," panggil Liliani lembut seraya menyentuh pundak yang terbuka
berkulit putih mulus
itu. Suara isak tangis gadis itu seketika terhenti.
Perlahan kepalanya terangkat, dan berpaling menatap
Liliani yang ada di sampingnya. Liliani memberikan
sedikit ulasan senyum, meskipun terlihat begitu di-
paksakan. "Aku Liliani...," Liliani langsung mengenalkan diri. "Aku dan kedua kakakku
menemukanmu pingsan di sini."
Agak tertekan suara Liliani. Dan tentu saja dia
tidak sampai hati mengatakan keadaan gadis ini ketika ditemukan tergeletak tak
sadarkan diri tanpa benang
sehelai pun menutupi tubuhnya.
"Terima kasih...," pelan sekali suara gadis itu.
Suaranya masih terdengar tersendat dengan isak tan-
gisnya yang baru saja terhenti begitu Liliani menyentuh pundaknya.
"Siapa namamu?" tanya Liliani lembut.
"Malita," sahut gadis itu, masih pelan dan tersendat suaranya.
Liliani terdiam beberapa saat. Matanya melirik
kedua kakaknya yang memperhatikan saja tanpa
mendekati. Kemudian, kembali ditatapnya gadis yang
ternyata bernama Malita.
"Boleh ku tahu, apa yang terjadi padamu di si-
ni?"! pinta Liliani hati-hati.
Gadis itu tidak langsung menjawab, tapi malah
menangis seraya memeluk Liliani. Hal ini membuat pu-
tri bungsu Elang Maut itu jadi tersedak, tak mampu
berkata-kata lagi. Meskipun belum begitu yakin, tapi
Liliani sudah menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Malita di tengah
hutan ini. Hanya saja dia tidak tahu, bagaimana Malita bisa berada di hutan
yang, begitu lebat dan masih liar ini. Sedangkan Liliani belum bisa bertanya,
karena Malita terus menangis sambil
memeluknya begitu erat.
Cukup lama juga Liliani membiarkan Malita
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis sambil memeluknya. Beberapa kali matanya
melirik kedua kakaknya. Tapi kedua pemuda itu masih
tetap diam memandangi. Sebenarnya Liliani ingin me-
reka mendekat, namun rasanya tidak bisa mengata-
kannya sekarang.
Perlahan Liliani melepaskan pelukan itu, sete-
lah tangis Malita mulai mereda. Malita masih sedikit terisak. Beberapa kali air
mata yang terus membanjir disusut dengan ujung kain yang melilit tubuhnya.
"Aku ada pakaian. Barangkali cocok untukmu,"
kata Liliani seraya bangkit berdiri.
Liliani bergegas menghampiri kudanya. Dari kantung
pelana kuda, diambilnya sebuah baju dari bahan se-
derhana. Kemudian kembali dihampirinya Malita. Lalu, pakaian berwarna merah muda
itu diserahkan pada
gadis itu. 'Terima kasih," ucap Malita seraya menerima
pakaian itu. "Pakailah," pinta Liliani.
Malita menatap dua orang pemuda yang masih
memandanginya. Banara dan Sarala bisa mengerti.
Bergegas mereka memutar tubuh, membelakangi ke-
dua gadis itu. Liliani membantu Malita mengenakan
pakaian yang diberikannya. Cocok sekali ukuran dan
potongan baju Liliani di tubuh Malita.
"Kau kelihatan cantik dengan baju ini, Malita,"
puji Liliani. Malita hanya tersenyum tipis. Masih sukar ba-
ginya untuk tersenyum, meskipun agak tersipu juga
mendengar pujian Liliani yang bernada begitu tulus.
Sementara Banara dan Sarala sudah kembali berbalik
memandangi kedua gadis itu. Mereka berdiri dan me-
langkah menghampiri.
Malita kini memandangi dua gundukan tanah
yang berada tidak jauh. Perlahan kakinya melangkah
menghampiri. Liliani dan kedua kakaknya mengikuti.
Mereka berdiri mengapit gadis itu yang memandangi
dua kuburan dengan sinar mata nanar.
"Kami menguburkannya semalam," jelas Liliani tanpa diminta lagi.
"Siapa mereka?" tanya Banara, agak ditahan suaranya.
Malita tidak menjawab, dan hanya diam saja
dengan kepala tertunduk. Terbayang kembali peristiwa kemarin yang tidak pernah
dilupakannya seumur hidup. Dan api dendam pun langsung tersulut dalam ha-
tinya. Tapi mengingat kenyataan dirinya yang le-mah, dan siapa pemuda yang
dibangkitkan dari kuburnya
kemarin, Malita langsung menyadari kalau tidak
mungkin bisa membalas sakit hatinya yang sudah ter-
koyak ini. "Lalu, kenapa kau bisa berada di tengah hutan
ini, Malita?" tanya Sarala tidak sabar, melihat Malita hanya diam saja dengan
kepala tertunduk dalam.
Malita tidak langsung menjawab pertanyaan pe-
muda itu. Tubuhnya segera diputar berbalik, dan me-
langkah menjauhi kuburan itu. Sementara ketiga pu-
tra Elang Maut hanya saling melempar pandangan sa-
tu sama lain saja. Mereka kemudian bergegas menyu-
sul Malita yang sudah duduk lagi di dekat api unggun.
*** "Kau bisa percaya pada kami semua, Malita. Ji-
ka punya persoalan, atau ingin menceritakan sesuatu, ceritakan pada kami.
Mungkin kami bisa membantumu, Malita," bujuk Liliani.
"Aku akan mengatakan apa yang terjadi di sini
semalam. Tapi jangan paksa untuk mengatakan siapa
diriku sebenarnya," kata Malita, agak ditekan nada suaranya. "Ceritakan, apa
yang kau ketahui semalam,"
pinta Sarala tidak sabaran.
Sebentar Malita menarik napas dalam-dalam,
dan menghembuskannya kuat-kuat. Kembali ter-
bayang suatu peristiwa yang begitu mengerikan, dan
tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan yang lebih
mengerikan lagi adalah kejadian yang menimpa dirinya setelah itu. Rasanya sukar
bagi Malita untuk mengatakan, apa yang dilihat dan dialaminya.
"Katakan, Malita...," desak Sarala.
"Mengerikan sekali...," desis Malita jadi memucat wajahnya.
"Mengerikan..." Apa yang terjadi, Malita?" desak Sarala lagi semakin tidak
sabar. "Mereka membangkitkan mayat dari dalam ku-
bur. Dan mereka memanggilnya Raden Gordapala...,"
begitu tersendat suara Malita.
"Raden Gordapala..," desis Banara dan Sarala hampir bersamaan.
Sedangkan Liliani hanya memandangi kedua
kakaknya bergantian. Mereka merasakan seperti ber-
henti bernapas saat itu juga, begitu mendengar nama
Raden Gordapala disebut Malita. Sedangkan Malita
hanya menatap kosong ke depan. Sama sekali tidak
diperhatikannya raut wajah ketiga putra Elang Maut
yang tiba-tiba saja berubah itu.
"Kau tahu, siapa saja mereka itu, Malita?"
tanya Banara setelah beberapa saat terdiam.
"Aku tidak kenal satu persatu, tapi mereka
sangat kejam. Mereka membunuh...," Malita tidak meneruskan.
Gadis itu menarik napas panjang, dan meng-
hembuskannya begitu kuat. Hampir saja dia terlepas
bicara dan untung masih bisa ditahan sebelum telan-
jur. "Mereka yang meninggal itu saudaramu, Mali-
ta?" tanya Sarala ingin tahu.Malita tidak menjawab, namun hanya menun-
dukkan kepalanya saja. Setitik air bening kembali
menggulir dari sudut ekor matanya. Lalu, cepat-cepat air matanya dihapus sebelum
jatuh melewati pipi. Malita menghembuskan napas panjang, mencoba melong-
garkan rongga dadanya yang mendadak jadi terasa,
begitu sesak. "Malita. Kau tahu, ke mana mereka pergi?"
tanya Liliani seperti bisa mengetahui perasaan hari gadis itu saat ini. Memang,
cepat-cepat diluruskannya
kembali pembicaraan yang sempat berbelok akibat per-
tanyaan Sarala yang tidak bisa dijawab Malita saat ini.
'Tidak...," sahut Malita perlahan seraya menggelengkan kepalanya. "Aku pingsan,
dan tidak tahu apa-apa lagi."
"Jelas, iblis itu benar-benar sudah bangkit dari kuburnya, Kakang," ujar Liliani
seraya menatap kedua saudaranya bergantian.
Mereka kembali terdiam membisu, sibuk den-
gan pikiran masing-masing yang begitu sulit diterka.
Sedangkan Malita juga terdiam membisu. Pandangan-
nya tetap lurus ke depan. Sinar matanya begitu ko-
song, tanpa ada cahaya gairah hidup sedikit pun. Seakan-akan, semangat hidup dan
jiwanya sudah hilang
entah ke mana. "Malita! Kau tahu, berapa jumlah mereka?"
tanya Banara tiba-tiba, setelah cukup lama berdiam
diri. 'Tujuh," sahut Malita singkat.
"Hanya tujuh..." Kau tidak salah, Malita?"
tanya Sarala, seakan-akan tidak percaya atas jawaban Malita barusan.
'Tidak. Mereka memang tujuh orang yang
membangkitkan mayat itu dari kuburnya. Juga ada
kuda hitam yang aneh," sahut Malita, begitu yakin sekali dengan jawabannya.
"Seharusnya mereka ada delapan, Kakang...,"
desis Sarala seraya menatap Banara yang tampak ter-
menung mendengar jawaban Malita yang begitu polos
dan yakin sekali.
Sedangkan Banara hanya diam saja dengan
kening berkerut cukup dalam. Dan saat itu, Malita seperti baru menyadari akan
keadaan saat ini. Dipan-
danginya ketiga putra Elang Maut itu satu persatu
dengan sinar mata seperti kebingungan. Entah kena-
pa, gadis itu seakan-akan baru saja terbangun dari
mimpi yang begitu buruk dan mengerikan! Tapi, Malita tidak mau bertanya, karena
juga tidak ingin dirinya diketahui mereka yang belum dikenal betul. Meskipun,
mereka telah menolongnya dari maut yang siap me-
renggutnya akibat tertotok pada pusat jalan darahnya.
Sedikit saja terlambat menolongnya, mungkin saat ini Malita sudah menghuni liang
lahat. "Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Liliani yang sejak tadi diam saja.
"Bagaimana lagi..." Kita sudah gagal. Dan me-
reka sudah berhasil membangkitkan iblis itu dari ku-
burnya," sahut Banara terdengar lesu nada suaranya, seraya mengangkat bahunya
sedikit. 'Tapi kebangkitannya belum sempurna, Ka-
kang. Mereka hanya tujuh orang. Bukankah seharus-
nya delapan, baru kebangkitannya bisa sempurna?"
selak Sarala. "Benar, Kakang. Sebaiknya kita mencari orang
terakhir yang memegang pisau emas itu lagi," celetuk Liliani cepat.
"Kau pikir dunia ini kecil, Liliani..." Sama saja mencari jarum dalam tumpukan
jerami," dengus Banara.
"Aku yakin kita bisa mengetahuinya, Kakang,"
ujar Liliani begitu yakin dan bersemangat.
"Bagaimana caranya?" tanya Banara tidak
mengerti jalan pikiran adik bungsunya ini.
"Tiga orang kita sudah tahu. Yaitu, Iblis Teng-
korak Merah dan si Kembar dari Utara. Kita tinggal ta-nyakan ciri-ciri yang
empat orang lagi pada Malita. Kita pasti bisa menemukan, siapa orang yang
satunya lagi itu, Kakang," jelas Liliani, begitu bersemangat.
"Kau benar, Liliani. Kita bisa menentukan, sia-
pa yang tidak hadir kemarin," cetus Sarala langsung bisa memahami jalan pikiran
adiknya ini. Banara mengangguk-anggukkan kepala. Kemu-
dian, mereka menatap Malita yang tampak terbengong
tidak mengerti pembicaraan ketiga anak muda ini.
"Malita, bisa kau sebutkan satu persatu ciri-ciri mereka, bukan...?" pinta
Liliani, begitu lembut suaranya. "Aku tidak yakin, tapi akan ku coba," sahut
Malita agak ragu. 'Tapi...."
'Tapi kenapa, Malita?" selak Sarala.
"Kenapa kalian begitu ingin tahu tentang mere-
ka?" tanya Malita.
"Sukar dikatakan, Malita. Tapi ini adalah tugas kami untuk menyelamatkan jagat
raya ini dari kehan-curan oleh para iblis itu," sahut Banara.
"Kalian akan memburunya?" tanya Malita lagi.
"Benar," sahut ketiga putra Elang Maut itu bersamaan.
Kedua bola mata Malita jadi berbinar. Terbetik
satu harapan dalam hatinya untuk membalas sakit ha-
ti dari perbuatan pemuda yang dipanggil Raden Gor-
dapala. Pemuda yang dibangkitkan dari dalam kubur
oleh tujuh orang tokoh persilatan tingkat tinggi, yang dibantu seekor kuda hitam
berperangai aneh seperti
jelmaan iblis dari neraka.
Malita kemudian menyebutkan satu persatu ci-
ri-ciri dari ketujuh orang yang membangkitkan Raden
Gordapala dari dalam kubur. Memang agak tersendat,
karena Malita memang tidak begitu memperhatikan
benar. Tapi, ketiga putra Elang Maut itu bisa menebak semua yang disebutkan
Malita satu persatu.
"Jadi, yang tidak ada hanya si iblis penguasa
mata angin ke satu, Kakang," desis Sarala setelah Malita menyebutkan satu
persatu ciri-ciri orang yang
membangkitkan Raden Gordapala dari kuburannya.
"Di mana wilayah mata angin ke satu itu, Ka-
kang?" tanya Liliani tidak tahu.
"Cukup luas. Karena, daerah itu meliputi tujuh
kerajaan. Di antaranya yang terbesar adalah Kerajaan Giri Gading, Kerajaan
Batang Ketapang, dan Kerajaan
Karang Setra," jelas Sarala.
'Tapi, bukankah semua orang menganggap Ke-
rajaan Karang Setra adalah pusat dari delapan mata
angin pertama, Sarala...?" tanya Banara ingin kepas-
tian. "Benar, Kakang. Tapi kita semua tahu kalau Kerajaan Karang Setra merupakan
kerajaan yang damai dan tenteram. Bahkan begitu damainya, sampai
kejahatan kecil saja jarang sekali ditemui. Terlebih la-gi, kabarnya tokoh-tokoh
tingkat tinggi beraliran putih banyak bertempat tinggal di sana. Kabarnya lagi,
Raja Karang Setra seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat
ini," jelas Sarala lagi.
"Lalu, kerajaan-kerajaan lain?" tanya Liliani.
'Tidak jauh berbeda dengan kerajaan di mana-
pun juga. Tapi yang paling lain sendiri di wilayah ke satu dari delapan penjuru
mata angin hanya Kerajaan
Karang Setra. Sehingga, kerajaan itu menjadi panutan kerajaan-kerajaan lain,"
sahut Sarala lagi.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Liliani meminta pendapat Banara.
"Kalian ingat, apa kata ayah sebelum mening-
gal...?" Banara malah balik bertanya.
Sarala dan Liliani menganggukkan kepala.
"Bukan hanya manusia. Bahkan binatang pun
akan menjaga wilayahnya agar aman, dan tidak dima-
suki musuh. Aku rasa, kita memang harus ke Karang
Setra," tegas Banara.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Liliani.
"Ya! Karena keadaan yang lain seperti itu mem-
buat aku yakin kalau dia pasti ada di Karang Setra.
Rasanya, dia tidak mungkin mengacau kerajaan itu.
Ini sama saja dengan memporak-porandakan pemba-
ringan sendiri," sahut Banara begitu mantap.
"Kau benar, Kakang. Sebaiknya kita berangkat
saja sekarang, jangan membuang-buang waktu lagi,"
selak Sarala seraya bangkit berdiri.
'Tapi bagaimana dengan Malita?" tanya Banara
seraya memandang Malita yang sejak tadi diam saja.
"Biar dia ikut dengan kudaku. Nanti kalau me-
nemukan desa, kita bisa membeli kuda untuknya," ka-ta Liliani cepat.
"Baiklah. Ayo kita berangkat sekarang," ajak Banara menyetujui.
Memang tidak mungkin mereka meninggalkan
Malita seorang diri di tengah hutan yang begitu lebat dan masih kelihatan liar
ini. Mereka kemudian cepat, meninggalkan hutan ini. Malita memang ikut membon-
ceng pada kuda yang ditunggangi Liliani. Hutan yang
begitu lebat dan rapat, cukup menyulitkan mereka un-
tuk memacu cepat kudanya.
*** 5 Suasana di Kerajaan Karang Setra begitu damai
dan tenang. Malahan suasana gembira telah terjadi di dalam Istana Karang Setra
yang begitu besar dan megah. Memang, hari ini mereka bisa kembali melihat ra-
Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
janya yang baru saja pulang dari pengembaraannya
yang begitu panjang, seperti tanpa batas akhir.
Rangga, Raja Karang Setra yang juga dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti memang lebih suka
mengembara daripada berdiam diri dalam istana. Ba-
ginya, dekat dengan rakyat jelata merupakan satu ke-
bahagiaan tersendiri. Terlebih lagi sebagai seorang
pendekar. Dia memiliki suatu tugas yang tidak kecil ni-lainya. Dan tugas
kependekarannya tidak bisa terlak-
sana jika harus berdiam diri saja di dalam istana ini.
"Sepertinya sudah sepuluh tahun kau mening-
galkan istana ini, Kakang," kata Cempaka, adik tiri Rangga.
"Benar, Kakang. Kami semua begitu rindu dan
selalu mengharap agar kau pulang," sambung Danupaksi. Sedangkan Rangga hanya
tersenyum saja se-
raya melirik Pandan Wangi yang duduk di samping ki-
rinya. Di taman belakang istana ini, bukan hanya me-
reka berempat. Tapi juga ada beberapa orang pembe-
sar kerajaan dan para panglima serta patih keper-
cayaan Rangga. Dan seharusnya pula, mereka ber-
kumpul di Balai Sema Agung. Tapi Rangga lebih se-
nang memilih taman ini daripada berada dalam ruan-
gan yang pasti dikelilingi para prajurit, punggawa, serta pembesar lainnya.
"Sekarang aku sudah ada di tengah-tengah ka-
lian, semua. Ada yang hendak kalian sampaikan...?"
ujar Rangga setelah merasa puas menerima ucapan-
ucapan kerinduan dari orang-orang yang dekat den-
gannya ini. "Sampai saat ini, tidak ada peristiwa penting
yang terjadi, Kakang. Semuanya berjalan wajar. Bah-
kan pembangunan di kotaraja semakin meningkat pe-
sat," lapor Danupaksi tentang keadaan Kerajaan Karang Setra selama ditinggal
Pendekar Rajawali Sakti.
Dan memang, Rangga mempercayakan Danupaksi
menggantikannya bila tidak ada di istana ini.
Kisah Membunuh Naga 22 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Sepak Terjang Hui Sing 5