Pencarian

Memperebutkan Bunga Wijaya 1

Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma Bagian 1


MEMPEREBUTKAN BUNGA
WAJAYAKUSUMA oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 061:
Memperebutkan Bunga Wijayakusuma
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Tidak seperti hari-hari biasanya, kini sekitar kaki Gunung Lawu tampak ramai,
terlebih lagi di Desa Lambak, yang terletak di sebelah Timur kaki gunung itu.
Sepertinya, tak ada tempat lagi bagi orang-orang yang datang ke desa itu. Entah
dari mana mereka datang. Setiap hari, selalu saja bertambah.
Kedatangan orang-orang yang tampaknya dari kalangan persilatan itu, tentu saja
membuat Ki Sutar yang merupakan kepala Desa Lambak jadi kebingungan setengah
mati. Laki-laki tua itu tidak tahu, kenapa desanya tiba-tiba saja didatangi orang-
orang dari kalangan persilatan begitu banyak. Kekhawatiran seketika timbul di
hatinya. Kekhawatiran yang wajar, melihat semua orang yang datang rata-rata
memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan tinggi. Belum lagi, hampir semuanya
membawa senjata. Ki Sutar khawatir terjadi keributan di antara mereka. Terlebih
lagi jika melibatkan para penduduk. Hal inilah yang membuat Ki Sutar begitu
khawatir, sehingga memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki maksud
kedatangan mereka.
"Bagaimana" Apa kalian sudah mendapatkan
keterangan?" tanya Ki Sutar pada dua orang pembantunya yang datang menghadap.
"Mereka hendak ke puncak Gunung Lawu, Ki,"
sahut salah seorang yang masih terlihat muda.
"Ke puncak Gunung Lawu..." Mau apa ke sana?"
tanya Ki Sutar tidak mengerti.
Kedua anak muda itu tidak menjawab. Sementara
Ki Sutar memandangi kedua pembantunya ini dalam-dalam. Ditunggunya jawaban dari
pertanyaannya tadi.
Tapi, kedua anak muda itu tetap diam tidak membuka suara. Mereka malah saling
berpandangan satu sama lain.
"Kalian tahu, untuk apa mereka ke puncak
Gunung Lawu?" tanya Ki Sutar lagi.
"Tidak, Ki," sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna kuning muda.
"Tidak..."! Lalu, apa saja yang kalian ketahui?" Ki Sutar jadi mengerutkan
kening. Belum juga kedua pemuda itu menjawab, tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Dia langsung jatuh terduduk di
lantai. Seluruh pakaiannya kotor berdebu.
Keringat mengucur deras, membasahi wajah dan lehernya. Ki Sutar dan kedua pemuda
pembantunya jadi terkejut.
"Ada apa ini..." Apa yang terjadi padamu, Warjan?"
tanya Ki Sutar terkejut melihat keadaan orang yang baru datang itu.
Orang yang bernama Warjan juga salah satu pembantunya yang ditugaskan
menyelidiki kedatangan orang-orang persilatan ke desa ini. Laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun itu tidak langsung menjawab. Napasnya masih terengah-
engah. Disekanya keringat yang membanjiri leher.
"Celaka, Ki.... Celaka...," lapor Warjan masih tersengal.
"Katakan yang benar. Ada apa...?" agak
menyentak suara Ki Sutar.
"Mereka mulai membuat keributan. Aku berusaha melerai, tapi mereka malah
mengeroyokku...," lapor Warjan masih agak tergagap.
"Ohhh...," Ki Sutar mendesah panjang. Inilah yang dikhawatirkan sejak semula.
Kedatangan orang-orang persilatan memang tidak bisa membuat tenang.
Biarpun kecil, pasti terjadi keributan di antara mereka. Ki Sutar khawatir,
keributan itu akan menjalar lebih luas lagi. Dia tidak ingin desa yang tenteram
dan damai ini jadi ajang pertumpahan darah.
"Di mana keributan itu terjadi?" tanya Ki Sutar.
"Di sebelah Selatan, Ki," jawab Warjan.
"Ada penduduk yang terlibat?" tanya Ki Sutar lagi.
Nada suaranya terdengar penuh kecemasan.
"Tidak, Ki," sahut Warjan mulai agak tenang suaranya.
Ki Sutar terdiam lagi. Kakinya melangkah ke depan, dan berhenti di ambang pintu.
Pandangannya lurus ke jalan ramai yang dipadati orang bersenjata dan berpakaian
aneh-aneh, bercampur baur dengan penduduk Desa Lambak. Sementara Warjan dan dua
orang pemuda pembantu kepala desa itu hanya diam, sambil duduk bersila di
lantai. Mereka memandangi Ki Sutar yang masih berdiri di ambang pintu menghadap
keluar. "Kalian ikut aku," ujar Ki Sutar tanpa berpaling sedikit pun.
Laki-laki tua yang masih tampak gagah itu melangkah keluar, diikuti Warjan dan
dua pemuda pembantunya. Tak berapa lama kemudian, mereka terlihat sudah berkuda
meninggalkan rumah berukuran cukup besar dan berhalaman luas. Mereka langsung
menyatu dengan orang-orang yang memadati jalan tanah dan berdebu ini.
*** Sementara itu, di sebelah Selatan Desa Lambak tampak dua orang tengah bertarung
senjata, disaksikan sekitar dua puluh orang. Seorang yang mengenakan baju ketat
berwarna hitam, tampak memegang sepasang tombak pendek yang kedua ujungnya
runcing. Sedangkan lawannya yang mengenakan baju warna merah, menggunakan
senjata berupa tameng berbentuk segi tiga berwarna perak.
Dua puluh orang yang menyaksikan pertarungan tampaknya juga dari kalangan
persilatan. Ini terlihat dari senjata-senjata yang disandang. Entah sudah berapa
lama pertarungan itu berlangsung. Dan tampaknya, masing-masing sudah mengerahkan
jurus-jurus andalan yang ampuh dan dahsyat. Tapi, belum kelihatan tanda-tanda
kalau pertarungan bakal berhenti. Mereka sama-sama tangguh dan digdaya.
Sehingga orang-orang yang menyaksikan tidak mengerdipkan mata sedikit pun.
"Berhenti...!"
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Begitu kerasnya, sehingga membuat mereka yang ada di sekitar pertarungan jadi
terkejut. Bahkan dua orang yang tengah bertarung itu pun langsung berlompatan
mundur, menghentikan pertarungannya. Mereka semua menoleh ke arah datangnya
bentakan tadi. Tampak di atas sebongkah batu yang cukup besar dan tinggi bagai sebuah bukit
kecil, berdiri seseorang mengenakan baju hitam pekat. Kepalanya tertutup caping
berukuran lebar, sehingga seluruh wajahnya tertutup caping itu. Pakaian yang
dikenakan begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
Sebilah pedang bergagang kepala naga,
tampak tersampir di punggungnya.
"Tidak ada gunanya kalian bertarung di sini.
Kenapa tidak segera ke puncak Gunung Lawu...?"
lantang sekali suara orang bercaping lebar itu.
Tak ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka hanya saling melemparkan pandang,
kemudian kembali menatap orang berbaju hitam itu.
Tanpa ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, tempat itu mulai ditinggalkan
satu persatu. Sementara dua orang yang tadi bertarung, masih berada di tempatnya. Mereka
saling berpandangan tajam, seakan-akan belum puas dengan pertarungan yang
terhenti barusan.
"Kita akan bertemu lagi di puncak Gunung Lawu, Pendekar Tombak Kembar," tantang
orang baju merah yang memegang sebuah perisai segitiga berwarna keperakan.
"Aku tunggu kau di sana, Perisai Maut," sambut laki-laki muda yang dipanggil
Pendekar Tombak Kembar.
Kembali mereka saling bertatapan, kemudian sama-sama meninggalkan tempat itu
dengan arah berlawanan. Sementara orang berbaju hitam ketat yang wajahnya
tertutup caping besar masih tetap berdiri di atas batu, meskipun sudah tak ada
seorang pun di tempat pertarungan itu tadi.
Pada saat itu, Ki Sutar dan ketiga orang
pembantunya sampai di tempat ini. Sementara orang berbaju hitam yang seluruh
kepalanya tertutup caping lebar masih berdiri tegak di atas batu yang cukup
tinggi, bagaikan sebuah bukit. Tak ada orang lain lagi selain mereka. Ki Sutar
melompat turun dari atas punggung kuda. Gerakannya indah dan ringan sekali.
"Di mana mereka, Warjan?" tanya Ki Sutar.
"Tadi mereka bertarung di sini, Ki," jelas Warjan.
"Hm...," gumam Ki Sutar perlahan. Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekitarnya memang berantakan, seperti baru
saja terjadi pertarungan sengit. Juga banyak tapak kaki yang membekas di tanah
berumput kering ini. Dia tahu, Warjan tidak berdusta. Tapi apa mungkin
pertarungan bisa berlangsung begitu cepat, dan berakhir begitu saja..." Ki Sutar
yang sedikitnya mengetahui kehidupan orang-orang persilatan, sudah tidak merasa
aneh lagi oleh pertarungan yang berlangsung cepat. Hanya saja, di sini tidak
ditemukan adanya bercak darah. Apalagi sesosok mayat.
Pandangan Ki Sutar tertuju pada sosok tubuh berbaju hitam dan bercaping lebar.
Perlahan Ki Sutar melangkah menghampiri. Tapi belum juga dekat dengan batu besar
itu, orang berbaju serba hitam dan bercaping lebar sudah melompat turun dari
atas batu. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya
mendarat sekitar lima langkah lagi di depan Ki Sutar.
"Hm.... Siapa kau?" tanya Ki Sutar sambil memandangi orang yang tidak kelihatan
wajahnya. "Aku si Caping Maut," sahut orang itu memperkenalkan diri.
"Caping Maut..," gumam Ki Sutar perlahan.
Laki-laki tua itu kembali memandang dalam-dalam orang bercaping lebar. Nama
besar si Caping Maut sering didengarnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan
yang sudah punya nama, dan sangat disegani di kalangan rimba persilatan. Tapi,
baru kali inilah Ki Sutar bertemu orangnya.
"Maaf, kalau kedatangan mereka membuatmu
repot," ucap si Caping Maut dengan suara lembut dan bernada sopan.
"Mereka memang sudah membuat kehidupan
kami terusik," jelas Ki Sutar berterus terang.
"Tidak lama, Ki. Besok juga mereka sudah
meninggalkan desa ini. Mereka hendak berkumpul di puncak Gunung Lawu," kata si
Caping Maut memberi tahu. Masih dengan nada suaranya yang lembut dan sopan.
"Boleh aku tahu, untuk apa mereka ke Gunung Lawu?" tanya Ki Sutar.
"Mereka semua mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu," jawab si
Caping Maut "Padepokan Gunung Lawu..."!" Ki Sutar mengerutkan keningnya.
"Apa kau tidak mendapat undangan, Ki?" si Caping Maut malah bertanya, setelah
melihat kepala desa itu seperti kebingungan mendengar penjelasannya tadi.
"Jangankan undangan. Aku sendiri tidak tahu kalau di Puncak Gunung Lawu berdiri
sebuah padepokan," agak mendengus suara Ki Sutar.
"Oh..., benarkah...?" kini si Caping Maut yang kelihatannya terkejut
Perlahan laki-laki berbaju hitam itu membuka caping yang menutupi kepalanya.
Maka, terlihatlah seraut wajah tampan di balik sebuah caping lebar dan berwarna
hitam itu. Wajah dengan senyum menawan dan sinar mata berbinar, bagaikan mata
seorang bayi yang baru dilahirkan.
"Seharusnya kau menerima undangan, Ki. Semua kepala desa di sekitar kaki Gunung
Lawu ini telah menerima undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu. Hm..., tidak
heran jika kau terkejut melihat kedatangan mereka yang memenuhi desamu," kata si
Caping Maut lagi.
"Aku memang terkejut. Tidak pernah desa ini kedatangan orang dari kalangan
persilatan begini banyak. Paling-paling, satu dua orang saja. Dan itu pun hanya
singgah satu dua hari. Mereka kemudian kembali meninggalkan desa ini tanpa
menimbulkan masalah apa pun juga," jelas Ki Sutar, seperti mengeluh.
"Kalau begitu, maafkan atas kelalaian Ketua Padepokan Gunung Lawu," ucap si
Caping Maut seraya menjura memberi hormat
Ki Sutar jadi kikuk juga, tapi cepat membungkukkan tubuhnya sedikit untuk
membalas penghormatan tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu.
"Aku akan menegur Ketua Padepokan Gunung
Lawu. Kuharap kau menerima undangan sebelum terlambat, Ki," kata si Caping Maut
lagi, seraya mengenakan caping hitamnya kembali.
Belum juga Ki Sutar mengucapkan sesuatu, laki-laki bercaping hitam itu sudah
melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari
pandangan. Ki Sutar dan ketiga orang pembantunya jadi terlongong.
"Ayo, kita kembali," ajak Ki Sutar, langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Empat orang itu kemudian sudah kembali bergerak meninggalkan tempat itu. Suasana
pun menjadi sunyi, seperti tidak pernah terjadi sesuatu di sini.
*** Memang benar apa yang dikatakan si Caping Maut pada Ki Sutar. Orang-orang dari
kalangan persilatan itu kini meninggalkan Desa Lambak. Dalam waktu
setengah hari saja, Desa Lambak yang tadinya begitu ramai sudah sunyi kembali,
seperti sebelum dating-nya orang-orang persilatan itu. Sementara Ki Sutar
berdiri di depan rumahnya, memandangi keadaan desanya yang sudah kembali seperti
sediakala. "Tidak ada seorang pun yang ada di desa ini lagi, Ki," jelas Warjaa
Ki Sutar hanya diam saja, memandang lurus ke depan. Warjan dan dua orang anak
muda pembantu kepala desa itu saling berpandangan. Sejak mereka bertemu si
Caping Maut, sikap kepala desa ini jadi berubah. Sering melamun, dan selalu
berdiam diri menyendiri. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-
laki tua gagah ini.
"Warjan..," panggil Ki Sutar, perlahan suaranya.
"Ya, Ki," sahut Warjan seraya mendekat di samping kepala desa itu.
"Aku akan ke puncak Gunung Lawu. Dan selama kepergianku, kaulah yang bertanggung
jawab atas seluruh desa ini," ujar Ki Sutar.
"Ketua Padepokan Gunung Lawu sudah memberi undangan, Ki?" tanya Warjan agak
terkejut mendengar keputusan kepala desa Ini.
"Semalam, aku mendapat undangan darinya,"
sahut Ki Sutar.
"Semalam...?" Warjan mengerutkan kening.
"Aku tidak tahu, siapa yang memberikannya.
Undangan itu sudah ada di kamarku. Ada di meja kecil dekat jendela," Ki Sutar
menjelaskan tentang undangan yang diterimanya dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.
Warjan hanya diam dengan kepala terangguk-angguk. Semalaman dia tidak tidur
untuk menjaga sekeliling rumah ini, namun sama sekali tidak melihat
ada orang datang membawa undangan untuk
majikannya. Apalagi undangan itu sampai berada di kamar peristirahatan Ki Sutar
sendiri. "Aku berangkat sekarang," kata Ki Sutar seraya melangkah menghampiri kudanya
yang tertambat di bawah pohon.
"Kenapa tidak besok saja, Ki?" usul Warjan.
Ki Sutar tidak menjawab, dan terus saja melompat naik ke punggung kudanya.
Sebentar ditatapnya Warjan, dan dua orang anak muda pembantunya.
Mereka hanya memandangi kepala desa itu dengan segudang pertanyaan di kepala.
Mereka tidak mengerti, kenapa Ki Sutar tiba-tiba saja memutuskan hendak pergi ke
puncak Gunung Lawu setelah mendapat undangan dari Ketua Padepokan Gunung Lawu.
Bahkan Ki Sutar berat meninggalkan desa ini, karena seperti ada sesuatu yang
mengganjal hatinya.
Tanpa bicara apa pun juga, Ki Sutar segera meng-gebah kuda meninggalkan rumahnya
yang berukuran cukup besar itu. Sementara Warjan dan dua orang pembantu kepala
desa itu hanya bisa memandangi tanpa dapat mencegah lagi. Apalagi memberi usul
agar Ki Sutar menunda keperakannya. Sementara, Ki Sutar sudah jauh meninggalkan
rumahnya. Kudanya digebah cepat menuju ke Gunung Lawu.
*** 2 Padepokan Gunung Lawu memang berdiri di atas puncak Gunung Lawu yang sunyi dan
sepi. Sebuah padepokan yang cukup besar, berdiri di antara pepohonan dan
tumpukan-tumpukan bebatuan yang membukit. Hanya ada dua bangunan yang berukuran
besar di sana, dan tanah lapang luas di depan salah satu bangunan itu. Sebuah
panggung berukuran besar tampak berdiri di tengah-tengah lapangan ini.


Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Umbul-umbul dan berbagai macam bentuk hiasan terlihat, membuat suasana di puncak
gunung yang sunyi itu jadi semarak bagai hendak diadakan pesta.
Puluhan orang berseragam merah-merah tampak sibuk menghiasi sekeliling padepokan
itu, agar terlihat lebih semarak. Di tengah-tengah panggung yang sedang dihias,
tampak berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia didampingi dua orang
laki-laki muda, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh hma tahun.
"Persiapan sudah benar-benar matang, Ki. Hari ini semuanya selesai. Tinggal
menunggu tamu-tamu undangan datang," lapor salah seorang pemuda yang mengenakan
baju warna biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot
Sebilah pedang tergantung di pinggang pemuda itu. Ujung gagang pedangnya
berbentuk kepala ular.
Wajahnya cukup tampan, tapi sedikit rusak oleh luka codet yang membelah pipi
kanannya. Dia berdiri di samping kanan laki-laki separuh baya yang mengenakan
baju warna putih bersih, yang bagian
belakangnya panjang hampir menyentuh papan panggung.
"Apa sudah ada tamu yang datang?" tanya laki-laki setengah baya berbaju putih
itu. "Baru satu, Ki," sahut pemuda satunya lagi yang mengenakan baju wama kuning
longgar. Tubuh pemuda itu kurus, seakan-akan tidak seimbang dengan gada besar berduri
yang ter-sandang di pundaknya. Kedua matanya tampak masuk ke dalam, dan memerah
seperti kurang tidur.
Rambutnya juga kemerahan tak teratur, hampir menutupi wajahnya yang kurus dengan
tulang-tulang pipi bersembulan keluar.
"Kalian harus melayani semua undangan dengan baik. Jangan membuat mereka
kecewa," pesan laki-laki separuh baya itu lagi.
"Semua tempat untuk beristirahat juga sudah disediakan, Ki. Tak ada yang membuat
kecewa undangan nantinya. Entah kalau di antara mereka nanti ada yang mencari
gara-gara," jelas pemuda yang mengenakan baju biru ketat
"Bagus," desah laki-laki separuh baya itu.
Perlahan laki-laki setengah baya itu memutar tubuhnya, dan melangkah ringan
menuruni panggung.
Wanita yang mendampinginya mengikuti di samping kiri, diikuti dua orang pemuda
dari belakang. Mereka terus melangkah menuju ke rumah besar di dekat panggung
ini, dan baru berhenti setelah berada di dalam ruangan depan yang berukuran
cukup luas. Mereka semua duduk melingkari meja bundar dari batu pualam putih yang berkilat.
Dua orang gadis cantik muncul dari dalam sambil membawa baki berisi dua guci
arak dan beberapa cawan dari perak.
Dengan sikap penuh rasa hormat, kedua gadis cantik
berbaju merah itu meletakkan baki di atas meja.
Mereka mengatur rapi, dan mengisi cawan-cawan dengan arak. Kemudian, kedua gadis
itu kembali melangkah masuk ke dalam, dan tak keluar-keluar lagi.
"Sudah kau siapkan orang-orang yang akan melakukan pertunjukan nanti?" tanya
laki-laki separuh baya yang merupakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu lagi,
sambil menatap wanita di sampingnya.
"Sudah," sahut wanita itu singkat.
"Aku tidak ingin mengecewakan tamu. Dan sebaiknya, kau persiapkan lebih matang
lagi. Tunjukkan pada mereka, kalau Padepokan Gunung Lawu harus diperhitungkan
kehadirannya di tengah-tengah dunia persilatan."
"Jangan khawatir, Kakang. Mereka tidak akan mengecewakanmu. Aku berani
memastikan itu,"
tegas wanita yang mengenakan baju warna biru muda.
Meskipun usianya sudah berkepala empat, tapi wajahnya masih kelihatan cantik.
Bentuk tubuhnya juga ramping, dan padat berisi. Sebatang gagang pedang terlihat
menyembul dari punggungnya. Di Padepokan Gunung Lawu ini, namanya adalah
Winarti. Dia memang adik kandung Aria Kandaka, Ketua Padepokan Gunung Lawu.
"Kakang! Kelihatannya kau gelisah. Adakah sesuatu yang mengganjal di harimu?"
tegur Winarti sambil menatap raut wajah Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Aria Kandaka yang dikenal sebagai Ketua
Padepokan Gunung Lawu hanya menghembuskan napas saja. Wajahnya berpaling,
menatap dua pemuda yang duduk di depannya. Sebentar
kemudian, dia kembali berpaling memandang Winarti.
Sedangkan yang ditatap malah terus memandangi tanpa berkedip.
"Tidak ada yang meresahkan hatiku, Winarti," elak Aria Kandaka, agak mendesah
suaranya. "Dalam beberapa hari ini, kau kelihatan seperti gelisah. Apakah ada kerabat yang
terlupa diundang, Kakang" Biar aku yang menyampaikannya. Masih ada waktu dua
hari lagi," tanya Winarti lagi.
"Tidak. Semua sudah kuundang. Tak ada yang terlewat satu pun juga," sahut Aria
Kandaka, pelan.
"Kalau begitu, apa yang membuatmu gelisah?"
Winarti masih mendesak.
"Aku hanya memikirkan akibat semua ini," sahut Aria Kandaka.
"Bukankah semua akibat yang akan terjadi sudah diperhitungkan?"
"Memang benar. Dan aku tidak ingin terjadi sesuatu yang bisa membuat cacat nama
Padepokan Gunung Lawu ini."
"Kalau itu yang dikhawatirkan, aku rasa tidak ada masalah, Kakang. Aku sudah
mempersiapkan segalanya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Percayalah. Semua pasti bisa berjalan lancar," Winarti meyakinkan kakaknya.
"Terima kasih. Pengorbananmu sudah terlalu banyak untuk padepokan ini," ucap
Aria Kandaka. "Tidak perlu kau ucapkan itu, Kakang. Semua yang kulakukan demi Padepokan Gunung
Lawu. Juga demi kita semua," Winarti merendah.
Aria Kandaka tersenyum saja. Diambilnya cawan perak yang berisi arak. Sekali
tenggak saja, arak manis itu sudah berpindah ke dalam perutnya.
Winarti dan kedua anak muda ikut menenggak arak
itu hingga habis. Seorang anak muda yang
mengenakan baju biru, menuangkan arak manis ke dalam cawan-cawan yang sudah
kosong. Beberapa kali Winarti melirik Aria Kandaka yang tampaknya masih kelihatan
murung, seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Winarti tidak tahu,
kenapa dalam beberapa hari ini kakaknya jadi murung. Padahal, acara peringatan
satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu tinggal dua hari lagi. Suatu acara
yang sangat bersejarah bagi padepokan ini, agar bisa diakui di kalangan rimba
persilatan. Memang tidak heran jika Aria Kandaka yang menjadi ketua padepokan ini kelihatan
gelisah dan tidak tenang. Peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu
merupakan satu tonggak yang teramat penting. Peringatan itu merupakan neraca
ukuran bagi kelangsungan padepokan ini.
Mati dan hidupnya Padepokan Gunung Lawu, sangat ditentukan oleh hari peringatan
itu nanti. "Aku akan jalan-jalan sebentar," pamit Aria Kandaka seraya bangkit berdiri.
"Perlu ditemani, Kakang?" tanya Winarti ikut berdiri.
"Tidak," sahut Aria Kandaka.
Winarti hanya memandangi kakaknya saja yang melangkah perlahan keluar dari
ruangan berukuran cukup besar ini. Dia semakin yakin ada sesuatu yang dipikirkan
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Tapi, dia tidak bisa lagi mendesak untuk
mengetahuinya. Aria Kandaka sendiri enggan mengatakan, apa yang menjadi ganjalan hatinya saat
ini. *** Para tamu undangan mulai berdatangan ke
Padepokan Gunung Lawu yang berada di puncak Gunung Lawu ini. Mereka ditempatkan
pada kamar-kamar yang memang sudah disiapkan sebelumnya.
Suasana di puncak gunung itu pun semakin kelihatan ramai. Sampai senja hari,
tamu-tamu undangan terus saja berdatangan dari segala penjuru.
Ketegangan memang terlihat, karena tidak sedikit di antara para undangan itu
yang pernah memiliki persoalan. Atau bahkan masih menyimpan perselisihan. Mereka
bukan saja dari kaum pendekar yang beraliran putih, tapi tidak sedikit pula
tokoh-tokoh persilatan dari golongan hitam. Namun, tak ada seorang pun yang
membuat persoalan terlebih dahulu.
Mereka seakan sama-sama menjaga diri, menghormati Ketua Padepokan Gunung Lawu
yang mengundang ke sini untuk menghadiri peringatan satu tahun berdirinya padepokan
ini. Sementara itu, Aria Kandaka tampak semakin jauh meninggalkan padepokannya. Dia
berjalan sendiri dengan ayunan kaki ringan dan perlahan, menyusuri jalan setapak
yang menuju sebuah pancuran air.
Udara senja ini begitu sejuk, bahkan bisa dikatakan dingin. Kabut pun mulai
merambat turun menyelimuti sekitar puncak Gunung Lawu ini. Menambah udara
sekitarnya semakin terasa dingin hingga ke tulang.
"Hm...," tiba-tiba saja Aria Kandaka menggumam.
Ayunan kakinya terhenti, begitu hampir sampai di pancuran air. Sebentar
keningnya dikerutkan, lalu kaki kirinya bergerak cepat menyentak sebatang
ranting kering yang berada tepat di ujung jari kakinya.
Ranting kering itu mencelat ke atas. Begitu cepatnya
tangan kanan Aria Kandaka bergerak mengibas, ranting kering itu melesat cepat ke
samping kanannya.
Srak! Pada saat ranting kering itu menembus semak, saat itu juga sebuah bayangan hijau
melesat keluar dari balik semak. Beberapa kali bayangan hijau itu berputaran di
udara, lalu manis sekali mendarat sekitar dua tombak di depan Ketua Padepokan
Gunung Lawu ini.
"He he he.... Ternyata Ketua Padepokan Gunung Lawu itu adalah dirimu, Aria
Kandaka. Pantas saja berani mengundang tokoh-tokoh persilatan dari berbagai
macam golongan," terdengar suara serak yang begitu kering, terucap dari sosok
tubuh berjubah hijau di depan Aria Kandaka.
"Kakek Naga Hijau...," desis Aria Kandaka langsung mengenali orang tua berjubah
hijau di depannya.
Aria Kandaka membungkukkan tubuh sedikit
memberi hormat. Kedua telapak tangannya menyatu rapat di depan dada. Namun kakek
berjubah hijau ,yang berada sekitar dua tombak darinya hanya terkekeh saja tanpa membalas
penghormatan itu sedikit pun juga.
"Kenapa kau tidak segera saja datang ke
padepokan. Kami sudah menyiapkan segalanya untukmu," ujar Aria Kandaka dengan
nada suara sopan.
"He he he.... Aku tidak sebodoh yang kau kira, Aria Kandaka. Aku bukan mereka
yang begitu mudah dikelabui, dengan segala akal licikmu," sambut Kakek Naga
Hijau, agak sinis nada suaranya.
Aria Kandaka hanya tersenyum saja mendengar
kata-kata bernada sinis itu. Kakinya melangkah beberapa tindak menghampiri, dan
berhenti saat jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.
"Aku mengundang mereka atas nama seluruh
murid Padepokan Gunung Lawu. Dan undangan ini hanya untuk meminta pengakuan atas
berdirinya Padepokan Gunung Lawu," jelas Aria Kandaka.
"Padepokan.... Hhh! Aku lebih senang men-
dengarnya kalau dikatakan gerombolan. Bukannya padepokan, Aria Kandaka!" dengus
Kakek Naga Hijau sinis.
"Maaf. Apa maksudmu berkata begitu, Kakek Naga Hijau?" tanya Aria Kandaka kurang
senang juga selalu disindir.
"Aku tahu, apa maksudmu yang sebenarnya dari undangan ini, Aria Kandaka. Aku
hanya ingin memperingatkan kau saja. Sebaiknya hentikan sebelum terlambat,
daripada kau menyesal di belakang hari,"
tegas Kakek Naga Hijau, tetap sinis nada suaranya.
"Maaf. Aku tidak ada selera untuk berdebat denganmu, Kakek Naga Hijau. Sebaiknya
segeralah ke padepokan, bergabung dengan yang lainnya,"
pinta Aria Kandaka lagi.
Setelah berkata demikian, tubuhnya berputar ke kanan, dan mengayunkan kakinya
meninggalkan kakek berjubah hijau itu. Tapi baru beberapa langkah berjalan,
terasa adanya desiran angin dari arah belakang. Tanpa berpaling lagi, Aria
Kandaka cepat melenting ke udara. Saat itu, secercah cahaya kehijauan melesat
cepat begaikan kilat di bawah tubuh Aria Kandaka.
"Hup!"
Manis sekali Aria Kandaka kembali mendarat Langsung tubuhnya diputar berbalik,
menatap tajam pada orang tua berjubah hijau yang masih berdiri tegap di tempatnya. Sedikit pun
orang tua berjubah hijau itu tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat mereka hanya
berdiam diri saja dengan sinar mata sama-sama tajam, saling bertemu pada satu
titik. "Belum saatnya kita saling mengumbar kesaktian, Kakek Naga Hijau. Jika memang
ingin berhadapan denganku, sebaiknya kau tunggu saja saatnya nanti,"
tegas Aria Kandaka.
"He he he.... Kau gentar kalau hanya berdua saja, Aria Kandaka...," ejek Kakek
Naga Hijau memanasi.
"Hm.... Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Naga Hijau?" semakin dingin nada
suara Aria Kandaka.
Dia benar-benar tidak suka terhadap tingkah orang tua berjubah hijau ini. Dia
tahu, Kakek Naga Hijau memiliki kepandaian tinggi. Bahkan sukar sekali dicari
tandingannya. Sedangkan tempat ini tidak seberapa jauh dari Padepokan Gunung
Lawu. Dan bukan tidak mungkin kalau terjadi pertarungan di sini, semua orang
yang ada di padepokan bisa mengetahuinya.
Aria Kandaka tidak ingin terjadi sesuatu. Dia tidak ingin ada pertarungan,
sebelum peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu diadakan.
Apalagi dia sendiri sebagai ketua padepokan itu yang bertarung sebelum waktunya.
Ini bisa menimbulkan masalah besar, yang akan mengakibatkan nama Padepokan
Gunung Lawu jadi buruk.
"Silakan datang ke padepokanku. Naga Hijau," Aria Kandaka menawarkan.
Setelah berkata begitu, cepat Aria Kandaka melesat pergi. Begitu tingginya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga sebelum Kakek Naga Hijau membuka
suara, bayangan Aria Kandaka sudah
lenyap dari pandangan.
"Setan!" dengus Kakek Naga Hijau merasa tidak puas.
*** Sementara itu, suasana di Padepokan Gunung Lawu semakin kelihatan ramai. Puncak
gunung yang biasanya sunyi, kini begitu riuh oleh suara-suara orang yang
berdatangan dari segala penjuru. Dan dari pakaian serta senjata yang disandang,
sudah dapat diketahui kalau mereka dari kalangan persilatan.
Kedatangan mereka ke puncak gunung ini karena mendapat undangan dari Ketua
Padepokan Gunung Lawu.
"Aku merasa ada sesuatu yang ganjil di sini,"
gumam salah seorang undangan yang mengenakan baju ketat warna merah muda.
Tangannya menggenggam sebatang tombak panjang bermata tiga.
"Keganjilan apa yang kau lihat, Ki?" tanya seorang anak muda yang berdiri di
dekatnya. "Kau lihat panggung itu...," kata orang itu lagi seraya menunjuk panggung
berukuran besar dan tampak kokoh, berdiri di tengah-tengah halaman luas.
"Tidak ada yang aneh di panggung itu, Ki
Gambang," sahut pemuda berbaju putih yang berdiri di sampingnya.
Laki-laki berusia lanjut yang bernama Ki Gambang itu melirik pemuda di
sampingnya. Sejenak keningnya jadi berkerut melihat cambuk hitam berduri melilit
pinggang pemuda ini. Pada bagian dada kiri yang terbuka, terlihat sebuah gambar
seekor ular naga menyemburkan api. Laki-laki tua berbaju merah muda itu seakan-
akan baru menyadari kalau lawan
bicaranya tadi adalah si Cambuk Naga.
"Rupanya kau juga mendapat undangan, Cambuk Naga," agak sinis nada suara Ki
Gambang kali ini.
"Kedatanganku sengaja hanya untuk bertemu denganmu, Ki Gambang," sahut pemuda
yang ternyata memang berjuluk Cambuk Naga. Suaranya juga jadi terdengar sinis.
"Rupanya kau belum juga bisa melupakan
peristiwa dua tahun lalu."
"Tidak akan kulupakan. Dan kau harus ber-
anggung jawab, Ki Gambang. Mungkin di sini tempatnya nyawa adikku dapat
tertebus," semakin dingin nada suara Cambuk Naga.
"Aku tidak yakin kau sudah siap melawanku."
"Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka."
Ki Gambang tahu, kalau si Cambuk Naga masih tetap hendak menuntut balas atas
kematian adiknya yang berjuluk Iblis Naga Hitam. Dua tahun yang lalu, ketika


Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Naga Hitam merajalela di sebuah desa tidak jauh dari kaki Gunung Lawu ini,
Ki Gambang sempat bertarung dengannya. Dan dalam pertarungan itu, Iblis Naga
Hitam tewas di tangannya.
Sejak kejadian itu, Cambuk Naga bersumpah akan menuntut balas pada Ki Gambang
yang telah membunuh adiknya.
Sudah dua kali mereka bentrok, tapi Ki Gambang berhasil mengalahkan pemuda ini.
Namun, laki-laki tua itu memang tidak membunuhnya. Dia masih memberi kesempatan
pada si Cambuk Naga untuk menyadari, kalau kematian adiknya karena per-buatannya
sendiri yang menyusahkan orang banyak.
Tapi rupanya Cambuk Naga tidak peduli kalau kesalahan berada di tangan adiknya,
sehingga tetap hendak menuntut balas. Baginya, hutang nyawa harus dibayar nyawa.
Sementara di lain tempat, terlihat dua orang gadis cantik tengah duduk di bawah
pohon. Mereka memperhatikan orang-orang yang berada di sekitar halaman depan
Padepokan Gunung Lawu ini. Masing-masing menyandang sebilah pedang berukuran
panjang, tersampir di punggung. Sukar membedakan di antara mereka, karena wajah
satu sama lain begitu serupa. Hanya warna pakaiannya saja yang berbeda.
Yang seorang mengenakan baju wama merah, dan seorang lagi mengenakan baju wama
biru. Kedua gadis ini dikenal berjuluk Dewi Kembar dari Utara.
"Sejak tadi aku tidak melihat Aria Kandaka. Kau tahu, di mana dia, Randita?"
agak bergumam suara gadis berbaju biru.
"Tidak," sahut gadis berbaju merah yang dipanggil Randita. "Untuk apa kau
mencari Aria Kandaka, Randini?"
"Untuk apa..." Apa kau sudah lupa tujuan kita ke sini, Randita...?" agak
mendelik mata Randini mendengar pertanyaan gadis kembarannya.
"Aku tidak lupa. Tapi bukan sekarang saatnya melaksanakan perintah Kanjeng Ibu,
Randini. Kau juga harus ingat pesan-pesan Kanjeng Ibu," Randita mengingatkan,
"Kalau tidak lupa, untuk apa kita duduk-duduk saja di sini...?"
"Masih terlalu terang, Randini. Lagi pula, ada tanda-tanda seperti yang
dikatakan Kanjeng Ibu."
"Hm...," Randini menggumam kecil.
Gadis itu menatap lurus pada seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan
jubah panjang warna putih bersih. Di tangan kanannya tergenggam se-
batang tongkat berwarna putih, seperti terbuat dari perak. Dia tengah duduk di
kursi bambu, ditemani dua orang pemuda yang juga mengenakan baju jubah wama
putih bersih. Kedua pemuda itu juga membawa tongkat putih keperakan.
"Aku tidak yakin kita akan berhasil, Randita," kata Randini dengan suara masih
terdengar pelan.
"Kenapa kau jadi bimbang begitu...?"
"Kau lihat sendiri. Bukan hanya satu dua orang yang akan menjadi saingan kita.
Tapi banyak...."
"Apa pun yang terjadi, kita harus tetap melaksana-kannya, Randini. Aku tidak
ingin mengecewakan Kanjeng Ibu," tekad Randita.
Kedua gadis itu tidak berbicara lagi, dan sama-sama bangkit berdiri seraya
melangkah perlahan.
Tanpa disadari, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Terutama, laki-laki
tua berjubah putih bersih yang membawa tongkat putih keperakan.
"Kalian harus berhati-hati di sini. Terutama pada kedua gadis itu," pelan sekali
suara orang tua berjubah putih ini.
"Dewi Kembar dari Utara, Eyang...?" ujar salah seorang pemuda yang berada di
depannya. "Aku yakin, kedatangan mereka ke sini ada maksud tertentu," sahut orang tua yang
dikenal bernama Eyang Japalu. Dia adalah seorang tokoh tua yang sudah lama tidak
pernah muncul lagi dalam rimba persilatan.
Eyang Japalu datang ke padepokan ini juga karena undangan yang diberikan Aria
Kandaka padanya.
Kalau bukan Aria Kandaka sendiri yang datang mengundangnya, tidak mungkin
sekarang dia berada di puncak gunung ini. Mungkin hanya kedua muridnya itu saja
yang diutus datang ke padepokan ini.
"Kami akan terus mengawasinya, Eyang," ujar pemuda satunya lagi.
"Bukan hanya kedua gadis itu, tapi juga si Elang Perak, Gagak Hitam, dan Cambuk
Naga. Mereka yang harus kalian awasi," tegas Eyang Japalu.
"Tapi kami tidak melihat ada Ki Gambang di sini, Eyang."
"Dia pasti ada. Kemunculannya memang jarang diketahui, dan selalu tiba-tiba. Itu
sebabnya, kenapa kuminta kalian tetap memasang mata dan telinga. Ki Gambang
lebih berbahaya dari yang lainnya. Kalian harus ingat itu."
Kedua pemuda ini mengangguk berbarengan.
Sementara itu, satu persatu tamu-tamu undangan meninggalkan halaman depan ini.
Memang, hari sudah mulai senja. Dan matahari juga semakin condong ke
peraduannya. Tak berapa lama
kemudian, halaman depan yang luas itu sudah kelihatan sunyi. Hanya beberapa
orang saja yang masih terlihat berada di sana. Bahkan Eyang Japalu dan kedua
pemuda muridnya juga sudah beranjak meninggalkan tempat itu.
*** 3 Saat matahari baru menampakkan diri di puncak Gunung Lawu, semua tamu undangan
sudah memadati halaman depan Padepokan Gunung Lawu.
Mereka menempati kursi-kursi yang telah disediakan, mengelilingi panggung besar
yang berdiri di tengah-tengah halaman. Sementara beberapa kursi yang berada pada
barisan depan di belakang panggung, masih terlihat kosong. Kursi itu
diperuntukkan bagi ketua Padepokan Gunung Lawu dan keluarga serta para kerabat
dekatnya. Semua murid padepokan itu sudah berjajar rapi di sekitar panggung. Mereka
mengenakan pakaian warna merah, dengan bentuk dan potongan sama.
Ada sekitar lima puluh orang yang rata-rata masih berusia muda, dan masing-
masing menyandang pedang serta tombak.
Gong...! Tiba-tiba terdengar gong dipukul. Suara yang begitu keras dan menggema, membuat
suara-suara menggumam dari orang-orang yang berbicara seketika terhenti. Semua
mata tertuju ke pintu depan bangunan besar yang berada tidak jauh dari panggung
ini. Begitu pintu terbuka, muncul Aria Kandaka didampingi adik perempuannya, Winarti.
Di belakang mereka menyusul beberapa orang laki-laki. Mereka berjalan menuju ke
panggung, disaksikan puluhan pasang mata dari para tamu undangan. Aria Kandaka
langsung naik ke atas panggung. Sedangkan yang
lain duduk di kursi yang sudah disediakan. Suasana pun menjadi hening, begitu
Aria Kandaka sudah berdiri di tengah-tengah panggung. Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu mengedarkan pandangan berkeliling. Kemudian, tubuhnya membungkuk
memberi penghormatan pada semua tamu undangannya.
"Atas nama seluruh penghuni Padepokan Gunung Lawu, kami mengucapkan terima kasih
atas kehadiran saudara-saudara yang telah menyempat-kan diri datang memenuhi
undangan..," terdengar lantang dan berwibawa suara Aria Kandaka.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
Semua terdiam mendengarkan kata sambutan yang diberikan Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu. Semua mata tertuju pada Aria Kandaka yang kali ini mengenakan baju
putih bersih, yang bagian belakangnya panjang. Sebilah pedang tampak tergantung
di pinggangnya. Tampak gagah dan berwibawa
kelihatannya. "Maksud kami mengundang saudara-saudara
semua adalah untuk memohon pengakuan dan restu atas kehadiran Padepokan Gunung
Lawu, yang hari ini genap berusia satu tahun. Dan kami akan memperlihatkan hasil
tempaan selama satu tahun ini dari murid-murid Padepokan Gunung Lawu. Kami
berharap, saudara-saudara semua bisa menilai, apakah Padepokan Gunung Lawu
pantas berdiri atau tidak," sambung Aria Kandaka.
Setelah mengucapkan beberapa kata sambutan lagi, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu
pun melangkah turun dari panggung diiringi suara riuh tepuk tangan para hadirin
yang memadati halaman.
Memang bukan hanya undangan saja yang hadir.
Tidak sedikit para penduduk desa di sekitar kaki
Gunung Lawu yang datang ingin menyaksikan peringatan satu tahun berdirinya
padepokan ini. Juga, dari padepokan-padepokan lain yang ada di sekitar Gunung
Lawu yang mengirimkan utusan-utusannya untuk menyaksikan kemampuan murid-murid
Padepokan Gunung Lawu.
Setelah Aria Kandaka duduk di kursi yang telah disediakan untuknya, dua orang
berbaju merah melompat naik ke atas panggung. Gerakan mereka begitu indah dan
ringan sekali. Mereka membungkuk untuk memberi hormat pada ketua padepokan itu,
kemudian membungkuk pada para hadirin. Lalu, mereka sama-sama memberi
penghormatan. Tanpa berbicara sedikit pun, mereka langsung memperaga-kan
keahliannya masing-masing dalam ilmu olah kanuragan.
Suara-suara riuh dari tepukan tangan, dan celetukan-celetukan mulut usil mulai
terdengar. Acara demi acara pun berlangsung. Murid-murid Padepokan Gunung Lawu
yang sudah dipersiapkan tampil mempertunjukkan kemahirannya, bergantian
berlompatan naik ke atas panggung. Acara seperti ini memang membosankan.
Terlihat dari para undangan yang mulai tidak betah lagi duduk di kursinya. Tiba-
tiba, salah seorang undangan bangkit berdiri dari kursinya.
"Aria Kandaka...! Apa kau tidak bisa menampilkan pertunjukan menarik...?"
lantang sekali suara orang yang mengenakan baju merah menyala itu.
Dia adalah seorang laki-laki setengah baya.
Tubuhnya tinggi tegap, dan menyandang golok berukuran besar yang bagian atasnya
bergerigi. Perhatian semua orang, langsung tertuju padanya.
Bahkan empat orang murid Padepokan Gunung Lawu
yang sedang berlaga, jadi menghentikan pertunjukan-nya. Mereka tahu, siapa orang
yang mengeluarkan suara lantang menggelegar itu. Di kalangan persilatan,
julukannya adalah Golok Iblis Peminum Darah.
"Hup!"
Tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat naik ke atas panggung.
Gerakannya begitu ringan dan indah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya cukup
tinggi. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di tengah-
tengah panggung.
"Dengar kalian semua! Aku akan mempertunjukkan sesuatu yang menarik!" ujar si
Golok Iblis Peminum Darah, dengan suara keras dan lantang menggelegar.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si Golok Iblis Peminum Darah melompat
cepat. Langsung dilontarkannya beberapa pukulan keras menggeledek ke arah empat
orang murid Padepokan Gunung Lawu yang berada di atas panggung. Begitu cepat
gerakannya, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadari. Tahu-tahu, empat
orang murid itu sudah berpelantingan jatuh keluar panggung.
*** Suara-suara riuh dan gumaman terdengar
seketika, begitu empat orang murid Padepokan Gunung Lawu itu terkapar di tanah.
Beberapa orang murid lainnya bergegas menghampiri memberi pertolongan. Mereka
mengangkut keempat pemuda itu, menjauhi panggung. Melihat acara yang semula
berjalan lancar mulai dirusak, Winarti cepat bangkit
berdiri. Tapi, Aria Kandaka lebih cepat lagi mencekal tangan adiknya ini.
Terpaksa Winarti duduk kembali di kursinya sambil mendengus.
"Aria Kandaka...! Tampilkan orang terbaikmu ke sini. Kalau ada di antara murid-
muridmu yang bisa menandingiku dalam lima jurus, keberadaan padepokanmu akan
kuakui!" ujar si Golok Iblis Peminum Darah lantang menggelegar.
"Biar aku yang membungkam mulutnya, Ki
Kandaka," kata seorang anak muda yang duduk di sebelah kiri Aria Kandaka.
Aria Kandaka memandang anak muda itu sejenak, kemudian menatap ke arah panggung
tempat si Golok Iblis Peminum Darah berdiri tegak di sana.
"Baik. Hati-hatilah kau, Raseta," kata Aria Kandaka mengizinkan.
"Terima kasih, Ki."
Pemuda yang dipanggil Raseta itu cepat melesat naik ke panggung. Gerakannya
begitu ringan dan cepat, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas panggung, hanya
beberapa langkah saja di depan si Golok Iblis Peminum Darah. Pada saat itu,
seorang laki-laki tua berjubah kuning panjang dan berkepala gundul naik juga ke
atas panggung. "Sebentar...," katanya lembut
Raseta segera menjura memberi hormat pada orang tua berjubah kuning gading itu.
Sedangkan si Golok Iblis Peminum Darah hanya mendengus saja.
Matanya melirik sedikit pada orang tua berjubah kuning gading itu.
"Aku ingin, acara ini tidak dikotori oleh darah dan nafsu pribadi. Memang
sebaiknya Padepokan Gunung Lawu ini bisa menunjukkan kemampuannya melawan para
undangan yang ada. Tapi, hendaknya memberi
batasan, agar jangan sampai menimbulkan korban.
Terlebih lagi, sampai ada darah menetes," ujar orang tua berjubah kuning gading
itu berwibawa. "Kami akan menuruti anjuran Paman Pendeta,"
ujar Raseta seraya menjura memberi hormat
"Bagus. Dalam hal ini, aku akan menjadi
penengah. Dan siapa saja yang jatuh keluar panggung, itu yang kalah.
Bagaimana...?"
"Setuju, Paman Pendeta," sahut Raseta cepat.
"Silakan kalian mulai."
Laki-laki tua berkepala gundul yang mengenakan baju jubah kuning panjang itu
melangkah turun dari panggung. Sementara si Golok Iblis Peminum Darah hanya
mendengus saja, seakan tidak senang oleh peraturan yang diberikan pendeta tua
itu. "Maaf. Sebagai tuan rumah, aku mempersilakan Paman menyerang lebih dulu," kata
Raseta sopan. "Phuih!"
Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, si Golok Iblis Peminum Darah
menggeser kaki sedikit ke kanan. Kemudian goloknya yang berukuran besar dan
bergerigi di depan dada disilangkan. Sementara Raseta hanya memperhatikan saja,
dan masih berdiri tegak tak bergeming sedikit pun juga.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, si Golok Iblis Peminum Darah melompat menerjang pemuda itu.
Goloknya yang berukuran besar berkelebat cepat, membabat ke arah dada Raseta.
Namun manis sekali Raseta menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok
itu lewat di depan dadanya.
Dan sebelum si Golok Iblis Peminum Darah bisa menarik kembali senjatanya, tiba-
tiba saja Raseta sudah memberi satu serangan balasan yang cepat.
Dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu
cepat serangannya, membuat si Golok Iblis Peminum Darah jadi terkejut setengah
mati. "Hiyaaat..!"
Cepat-cepat si Golok Iblis Peminum Darah
melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Saat itu, Raseta juga
sudah melompat mengejar.
Kembali diberikannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada si
Golok Iblis Peminum Darah. Tapi Raseta cepat-cepat menarik pukulannya, begitu si
Golok Iblis Peminum Darah mengebutkan senjata untuk menangkis pukulan yang
diberikan Raseta.
Bahkan kini si Golok Iblis Peminum Darah sudah cepat menyerang dahsyat Goloknya
yang berukuran besar, berkelebat mengincar tubuh anak muda itu.
Akibatnya, Raseta harus berjumpalitan menghindarinya. Semua orang yang
menyaksikan per-arungan itu jadi menahan napas. Bahkan beberapa tamu undangan
mulai kasak-kusuk, berbisik-bisik sambil tidak lepas memperhatikan jalannya
pertarungan yang semakin sengit
Tanpa terasa, lima jurus sudah berlalu. Beberapa celetukan usil mulai terdengar
mengejek si Golok Iblis Peminum Darah yang tadi sesumbar akan menjatuhkan Raseta
kurang dari lima jurus. Dan sekarang, sudah lebih dari lima jurus. Tapi, Raseta
malah tetap tegar.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, disusul melesatnya bayangan kuning naik ke
atas panggung. Pendeta tua yang tadi memberi peraturan, tahu-tahu sudah berdiri di atas
panggung. Maka pertarungan itu
pun seketika berhenti. Mereka sama-sama
memandang pendeta tua itu. Raseta segera
melompat mundur, lalu menjura memberi hormat
"Kau sudah kalah, Golok Iblis. Sebaiknya, segeralah turun dari panggung," ujar
pendeta tua itu dengan suara lembut tanpa ada maksud menyinggung.
"Heh,.."! Apa katamu, Pendeta Tua...?" bentak si Golok Iblis Peminum Darah tidak
menerima. "Kau tadi mengatakan, hanya sampai lima jurus saja. Kau harus menepati janji


Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan ucapanmu sendiri, Golok Iblis. Kau harus mengakui keberadaan Padepokan
Gunung Lawu ini," pendeta tua itu mengingatkan.
"Setan...!" dengus si Golok Iblis Peminum Darah sengit
Golok Iblis Peminum Darah mengedarkan
pandangannya berkeliling. Dia merasa seakan-akan semua mata memandang padanya
dengan begitu sinis dan melecehkan. Karena, dia tidak mampu merobohkan seorang
anak muda dalam lima jurus.
"Silakan kau kembali ke tempatmu, Golok Iblis,"
ujar pendeta tua itu masih dengan suara lembut dan sopan.
"Huh!" Golok Iblis Peminum Darah jadi mendengus kesal.
Bukan hanya kesal. Bahkan juga malu yang tak bisa dikatakan lagi. Memang
ucapannya tadi terasa begitu angkuh dan meremehkan. Dan itu didengar orang
banyak. Mau tak mau, harus diakuinya keberadaan Padepokan Gunung Lawu meskipun
harus menanggung malu yang amat sangat. Tanpa banyak bicara lagi, si Golok Iblis
Peminum Darah langsung melesat pergi. Dia tidak kembali lagi ke kursinya, tapi
terus pergi meninggalkan puncak
Gunung Lawu. *** Semua orang memang bisa punya rencana, tapi tidak ada yang bakal menduga kalau
rencana yang sudah dipersiapkan matang bisa berubah tiba-tiba begitu saja.
Seperti halnya acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu itu.
Acara yang sudah tersusun rapi, jadi rusak oleh ulah si Golok Ibhs Peminum
Darah. Meskipun, dia dapat dikalahkan murid utama Padepokan Gunung Lawu.
Tapi kerusuhan itu tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa orang tamu
undangan jadi tertarik mengikuti jejak si Golok Ibhs Peminum Darah. Secara
bergantian, satu persatu mereka naik ke atas panggung untuk menantang murid-
murid padepokan itu. Dan ini terpaksa dilayani Aria Kandaka yang tidak mau
mengecewakan tamu-tamu undangannya.
Memang beraneka ragam tingkah mereka. Ada yang secara jantan mengakui, tapi ada
juga yang penasaran dan tidak mengakui ketangguhan murid-murid Padepokan Gunung
Lawu. Dan semuanya diterima Aria Kandaka dengan senyum tersungging di bibir.
Namun demikian, hatinya begitu bangga terhadap murid-muridnya yang bisa
menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi tokoh persilatan yang sudah punya nama.
Meskipun, sebagian besar dari murid-muridnya dapat dikalahkan tidak lebih dari
lima jurus. Bahkan tidak sedikit yang sudah ambruk hanya dalam beberapa gebrakan
saja. Hingga senja datang, acara adu laga itu baru berhenti. Dan Aria Kandaka terpaksa
mengabulkan permintaan tamu undangannya untuk melanjutkan-
nya esok hari. Saat matahari sudah begitu condong ke arah Barat, halaman yang
semula ramai kini menjadi sunyi senyap. Hanya ada beberapa orang dari murid
padepokan itu yang masih berada di sana, membereskan panggung yang hampir ambruk
akibat dipakai berlaga sepanjang siang ini.
"Huh! Ada saja orang yang sirik, merusak acara!"
dengus Winarti sambil menghempaskan tubuhnya di kursi panjang.
"Hal seperti ini memang sudah pasti terjadi, Winarti. Tidak mudah mendirikan
sebuah padepokan.
Itu baru tantangan pertama. Aku yakin, masih ada tantangan berikutnya yang lebih
berat dan tidak bisa diduga," jelas Aria Kandaka diiringi senyuman lembut
"Seharusnya Kakang membiarkan aku menghajar si Golok Iblis Peminum Darah itu!"
nada suara Winarti masih terdengar kesal oleh tingkah si Golok Iblis Peminum
Darah. "Kalau kau turun tadi, akan lebih buruk jadinya.
Untung saja Pendeta Winaya cepat turun tangan.
Sehingga, tidak terjadi pertumpahan darah."
"Cepat atau lambat, pasti pertumpahan darah akan terjadi, Kakang."
"Mudah-mudahan saja tidak sampai terjadi."
Aria Kandaka melangkah keluar dari kamar ini. Dia terus berjalan menuju ke
belakang. Sementara Winarti masih tetap berada di dalam kamar itu. Aria Kandaka
terus mengayunkan kakinya sampai ke halaman belakang padepokan. Beberapa orang
muridnya yang ada di halaman belakang ini, membungkukkan kepala sedikit untuk
membalas penghormatan itu.
Sementara dari arah depan, terlihat Raseta melangkah cepat menghampiri. Pemuda
itu mem- bungkuk memberi penghormatan, yang kemudian dibalas Aria Kandaka dengan anggukan
kepala sedikit "Ada apa, Raseta?" tanya Aria Kandaka.
"Ada sesuatu terjadi, Ki," sahut Raseta, agak terputus suaranya.
"Apa yang terjadi?" tanya Aria Kandaka, masih terdengar tenang suaranya.
"Gudang penyimpanan senjata pusaka dibongkar orang," pelan sekali suara Raseta,
seakan-akan takut didengar orang lain.
"Apa..."!"
Aria Kandaka terkejut bukan main mendengar laporan murid utamanya ini. Bergegas
kakinya melangkah menuju ke tempat penyimpanan senjata pusaka. Raseta mengikuti
dari belakang tanpa berbicara lagi. Tempat penyimpanan senjata pusaka milik
Padepokan Gunung Lawu ini memang bukan berbentuk bangunan, tapi sebuah gua yang
cukup besar. Mulut gua itu diberi pintu yang terbuat dari kayu jati tebal.
Aria Kandaka jadi terbeliak melihat pintu gua penyimpanan senjata pusaka sudah
hancur berkeping-keping. Bergegas dia melangkah hendak masuk. Tapi, mendadak
saja ayunan kakinya terhenti begitu melihat dua sosok mayat tergeletak di dekat
mulut gua bagian dalam. Kedua mayat berbaju merah itu adalah muridnya yang
ditugaskan menjaga gua penyimpanan senjata pusaka ini.
"Aku menemukan mereka sudah meninggal, Ki,"
jelas Raseta. "Kau sudah periksa ke dalam?" tanya Aria
Kandaka. "Belum," sahut Raseta. "Aku langsung melaporkan
hal ini" "Sudah ada orang lain yang tahu?"
"Belum, Ki."
Aria Kandaka bergegas masuk ke dalam diikuti Raseta. Gua ini memang tidak
memiliki lorong. Dan hanya merupakan sebuah ruangan berdinding dan beratap batu.
Seperti sebuah gua buatan, yang sengaja dibangun untuk tempat perlindungan. Aria
Kandaka memandangi setiap sudut ruangan gua yang sudah begitu berantakan.
Berbagai macam bentuk senjata berserakan. Kepingan-kepingan lemari penyimpan
senjata juga berhamburan di lantai gua yang dingin dan lembab ini.
"Celaka...!" desis Aria Kandaka begitu matanya tertumbuk pada sebuah lubang di
sudut dinding gua ini.
Bergegas dihampirinya lubang yang menganga cukup lebar itu. Kedua bola matanya
semakin terbeliak, karena peti kayu di dalam lubang itu sudah terbuka
penutupnya. Dan memang hanya ada sehelai kain merah saja di dalam peti itu. Saat
itu juga, Aria Kandaka merasa tubuhnya jadi lemas. Dia kemudian bersandar di
dinding gua dengan pandangan mata lesu dan kosong, seperti tidak memiliki gairah
hidup lagi. Tapi, raut wajahnya tampak memerah dan menegang kaku.
"Siapa yang melakukan ini...?" desah Aria Kandaka bertanya pada diri sendiri.
"Ada yang hilang, Ki...?" tanya Raseta.
"Kau panggil Winarti dan Pendeta Winaya ke sini,"
perintah Aria Kandaka tanpa menjawab pertanyaan murid utamanya.
"Baik, Ki," sahut Raseta.
Tanpa diperintah dua kali, Raseta bergegas me-
langkah meninggalkan gua itu.
"Jangan katakan apa-apa, Raseta," pesan Aria Kandaka sebelum Raseta keluar.
"Baik, Ki."
*** Aria Kandaka hanya melirik sedikit saja ketika Winarti dan Pendeta Winaya
memasuki gua penyimpanan senjata ini. Mereka terkejut melihat keadaan gua yang berantakan.
Senjata berbagai jenis dan bentuk berserakan di lantai. Tak ada satu lemari
penyimpanan pun yang masih utuh berdiri. Semuanya sudah hancur berkeping-keping.
Mereka bergegas menghampiri Aria Kandaka yang terduduk lemas bersandar di
dinding batu gua yang berlumut ini.
"Kakang..."!" agak mendesis suara Winarti begitu melihat lubang di dinding yang
bolong. Mata wanita itu langsung terbeliak begitu melihat kotak kayu di dalam lubang itu
terbuka tutupnya.
Sementara, Aria Kandaka sudah berdiri. Dipandang-nya Winarti dan Pendeta Winaya
yang tengah merayapi sekitar gua ini. Pendeta tua itu mengelus-elus janggutnya
yang panjang dan putih.
"Siapa yang melakukan ini, Aria Kandaka?" tanya Pendeta Winaya seraya menatap
dalam pada Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
"Aku tidak tahu, Paman. Aku sendiri mendapat laporan dari Raseta," sahut Aria
Kandaka. "Apa yang hilang?" tanya Pendeta Winaya lagi.
"Bunga Wijayakusuma Merah," sahut Aria Kandaka tetap bersuara pelan.
"Hm...," Pendeta Winaya menggumam perlahan.
Kisah Si Rase Terbang 17 Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Tokoh Besar 4
^