Pencarian

Badai Di Lembah Tangkar 2

Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar Bagian 2


Wangi ke samping. Begitu cepat gerakannya,
sehingga Pandan Wangi terkejut, dan jatuh
berguling-guling di tanah. Pada saat itu, cahaya merah yang dilihat Rangga
menghantam tidak jauh dari Pandan Wangi yang bergulin-
gan di tanah. Ledakan keras menggelegar se-
ketika terdengar dahsyat begitu cahaya merah menghantam tanah.
Seketika itu juga tanah terbongkar me-
nimbulkan kepulan debu yang membumbung
tinggi ke angkasa. Pandan Wangi yang terke-
jut, cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
Matanya langsung terbeliak melihat tanah di dekatnya terbongkar cukup besar
bagai ku-bangan kerbau. Sementara Rangga sudah
kembali menjejakkan kakinya sekitar bebera-
pa batang tombak dari si Kipas Maut itu.
"Ha ha ha...!"
"Hup!"
Pandan Wangi cepat melompat mende-
kati Rangga begitu tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar yang
menggema, seakan-akan tawa itu datang dari segala penjuru.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu
saling berpandangan, kemudian sama-sama
mengedarkan pandangan berkeliling untuk
mencari arah sumber suara tawa itu.
"Pindah ke belakangku, Pandan," ujar
Rangga setengah berbisik.
Tanpa membantah sedikit pun, Pandan
Wangi segera menggeser kakinya ke belakang
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara suara
tawa itu semakin keras saja terdengar. Pan-
dan Wangi merasakan suara tawa itu men-
gandung pengerahan tenaga dalam tinggi, se-
hingga telinganya harus ditutupi disertai pe-nyaluran hawa murni.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti de-
mikian tajam, tertuju lurus ke depan. Perlahan kedua tangannya diangkat hingga
ter- kepal menyilang di depan dada. Lalu kedua
kakinya dipentang lebar-lebar ke samping
sambil merendahkan tubuhnya dengan lutut
tertekuk. Semakin tajam saja sorot mata Pendekar Rajawali Sakti, dan tiba-tiba
saja.... "Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Rangga meng-
hentakkan kedua tangannya ke depan sambil
membuka lebar-lebar telapak tangannya. Dan
seketika itu juga dari kedua telapak tangannya meluncur sinar merah. Pemuda
berbaju rompi putih itu mengerahkan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir yang
begitu dahsyat. Sinar merah yang keluar dari kedua telapak tangannya, langsung
meluruk bagaikan kilat menembus semak-semak yang
berada sekitar tiga batang tombak di depan-
nya. Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terdengar
begitu sinar merah tadi menghantam sebong-
kah batu yang tersembunyi di balik semak belukar. Pecahan batu berpentalan ke
udara, disertai kepulan asap tebal menggumpal dan
debu akibat hantaman pukulan jarak jauh
yang dilepaskan Rangga dari jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah
bayangan merah melesat di antara kepulan
debu dan pecahan batu serta asap yang
menggumpal, membumbung tinggi ke angka-
sa. Di saat yang sama, Rangga cepat melen-
tingkan tubuh ke udara mengejar bayangan
merah itu. Cepat sekali tangannya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai taraf kesempurnaan dari jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Yeaaah...!"
Bet! "Hap!"
Tampak bayangan merah itu berputaran
di udara menghindari kebutan kedua tangan
Rangga. Dan hampir bersamaan, mereka me-
luruk turun, lalu mendarat manis sekali di
tanah. Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri seseorang yang
mengenakan ba-ju merah menyala. Seluruh kepalanya juga
terselubung kain merah. Hanya ada dua lu-
bang kecil pada bagian matanya saja yang terlihat, memperlihatkan sorot sepasang
mata yang tajam. "Hm...," Rangga menggumam perlahan.
*** "He he he...! Tidak percuma kau dijuluki
Pendekar Rajawali Sakti, Rangga," kata orang berbaju serba merah itu, dingin dan
datar suaranya.
Rangga jadi berkerut keningnya. Ma-
tanya agak menyipit memperhatikan orang
berbaju serba merah di depannya ini. Sung-
guh hatinya terkejut mendengar orang itu sudah mengetahui tentang dirinya. Bukan
hanya nama julukannya, tapi juga nama as-
linya. "Siapa kau, Kisanak?" tanya Rangga
yang langsung bisa mengetahui kalau orang
itu adalah laki-laki dari nada suaranya.
"Aku sudah tidak ingat lagi siapa nama-
ku yang sebenarnya, Rangga. Tapi orang-
orang selalu menyebutku Bayangan Setan
Merah," sahut orang berbaju serba merah itu memperkenalkan diri.
"Bayangan Setan Merah...," desis Rangga
perlahan. Pendekar Rajawali Sakti merasa belum pernah mendengar julukan itu.
"Apa ke- perluanmu di sini...?"
"Kau sendiri, kenapa berada di sini...?"
Bayangan Setan Merah malah balik bertanya
tanpa menjawab pertanyaan Rangga.
"Aku memang sengaja datang ke sini,
karena ada sesuatu yang perlu kuselesaikan,"
sahut Rangga. "Jadi, kau tidak senang aku berada di
sini...?" "Tergantung dari apa yang kau lakukan,
Bayangan Setan Merah."
"Ha ha ha...! Jawaban yang bagus, Pen-
dekar Rajawali Sakti. Tapi aku tidak percaya pada semua omong kosong tentang
dirimu. Kau boleh bangga dengan julukanmu, tapi
bagiku tidak berarti apa-apa!"
"Hm...," Rangga hanya menggumam ke-
cil. Sudah bisa ditangkap arti dari kata-kata si Bayangan Setan Merah barusan.
Kata-kata itu jelas sekali mengandung tantangan yang
tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Bayangan Setan Merah sudah memberikan
tantangan secara terbuka, meskipun diucapkan dengan
kata-kata halus. Dan Rangga menyadari ka-
lau tidak mungkin lagi bisa menangkis tan-
tangan yang sudah terucapkan itu.
Sementara si Bayangan Setan Merah
menatap tajam Pandan Wangi. Rangga juga
melirik sedikit ke arah gadis berbaju biru
muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut
itu. "Aku minta kau jangan ikut campur, Kipas Maut. Kau boleh saksikan kematian
ke- kasihmu ini!" ujar si Bayangan Setan Merah, dingin dan tegas suaranya.
"Hhh...! Melawanku saja kau belum ten-
tu mampu. Apalagi menantang Kakang Rang-
ga," desis Pandan Wangi sinis.
"Kau akan mendapat giliran, Kipas
Maut!" dengus Bayangan Setan Merah dingin.
"Bagianku mengeluarkan jantungmu!"
balas Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Phuih!"
Bayangan Setan Merah kelihatan gusar
mendengar kata-kata Pandan Wangi yang
membakar dadanya, tapi perhatiannya cepat
dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, dalam hal permainan kata-
kata untuk memanasi lawan, Pandan Wangi lebih
pandai dari Pendekar Rajawali Sakti. Tidak
heran kalau dalam beberapa kata saja, si
Bayangan Setan Merah sudah terbakar ama-
rahnya. Tapi, tampaknya laki-laki berbaju
serba merah itu tidak ingin melayani si Kipas Maut terus-menerus, sehingga
perhatiannya cepat dialihkan pada Pendekar Rajawali Sakti
"Kita mulai sekarang, Pendekar Rajawali
Sakti...!" desis Bayangan Setan Merah dingin.
"Boleh," sambut Rangga kalem diiringi
senyuman tersungging di bibir.
"Bersiaplah! Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** Tanpa menunggu waktu lagi, Bayangan
Setan Merah melompat cepat bagai kilat me-
nerjang Rangga. Tapi bersamaan dengan itu,
Rangga juga melesat ke udara menyambut se-
rangan yang dilancarkan laki-laki berbaju
serba merah itu. Secara bersamaan, mereka
sama-sama menghentakkan kedua tangannya
ke depan. Sehingga, satu benturan keras di
udara tidak dapat dihindari lagi.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar
memecah udara di keheningan malam yang
sudah merambat turun ini. Tampak mereka
sama-sama terpental ke belakang dan berpu-
taran di udara sebelum sama-sama menjejak-
kan kaki di tanah. Sebentar mereka berdiri
saling berhadapan dengan sorot mata yang
begitu tajam menusuk, kemudian...
"Hiyaaat..."
"Hih!"
Bayangan Setan Merah berlari cepat
dengan tangan kiri tertuju lurus ke depan.
Dan begitu dekat dengan Rangga, langsung
tangan kirinya ditarik diikuti gerakan tangan kanan yang melepas satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi. Rangga bergegas menarik tubuhnya ke kanan,
menghindari pukulan
yang dilepaskan si Bayangan Setan Merah.
Sedikit sekali Rangga memiringkan tu-
buhnya agak merunduk. Dan begitu pukulan
tangan kanan si Bayangan Setan Merah lewat
di samping tubuhnya, cepat sekali Pendekar
Rajawali Sakti memberi satu sodokan tangan
kiri ke arah lambung. Tapi serangan balasan yang diberikan rupanya sudah terbaca
lebih dahulu oleh si Bayangan Setan Merah. Se-
hingga tubuhnya cepat-cepat ditarik ke belakang. Maka, sodokan tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasa-
ran. "Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, si Bayangan Setan Merah
melesat ke udara hingga melewati kepala
Rangga. Dan bersamaan dengan itu, kakinya
bergerak cepat menghentak ke arah kepala
Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk berkelit. Cepat-
cepat tubuhnya dibanting ke kanan, dan bergulingan
beberapa kali. Kembali serangan yang dilan-
carkan Bayangan Setan Merah luput dari sa-
saran. Dia mendengus kesal begitu melihat
Rangga kembali berdiri tegak seperti menung-gu serangan berikut. Tapi Bayangan
Setan Merah malah diam dengan mata tajam menu-
suk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku bosan bertarung seperti anak ingu-san. Sebaiknya kita segera
tuntaskan permainan ini, Pendekar Rajawali Sakti," desis
Bayangan Setan Merah dingin menggeletar.
"Akan kuturuti keinginanmu," sambut
Rangga diiringi senyum tipis tersungging di bibir. "Bersiaplah menerima aji
pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hm...."
"Hap...!"
Bayangan Setan Merah segera mera-
patkan kedua telapak tangannya di depan da-
da. Kemudian kedua kakinya direntangkan
lebar-lebar ke samping. Sementara Rangga terus memperhatikan setiap gerak yang
dilaku- kan laki-laki berbaju serba merah itu. Tam-
pak seluruh tubuh Bayangan Setan Merah
bergetar ketika kedua tangannya yang mera-
pat ke atas kepala diangkat. Dari sela-sela telapak tangannya yang merapat,
terlihat asap tipis kemerahan mengepul dan menggumpal
menjadi satu membentuk bulatan seperti bo-
la. "Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayangan Setan Merah berteriak nyaring
menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya cepat
ditarik ke depan dada. Lalu, secepat itu pula tangannya dihentakkan ke depan.
Gumpalan asap kemerahan di kedua telapak tangannya
seketika itu juga melesat cepat bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga melompat ke udara
menghindari serangan Bayangan Setan Me-
rah. Bulatan asap kemerahan itu seketika
menghantam tanah tempat Pendekar Rajawali
Sakti berpijak tadi. Satu ledakan keras terdengar dahsyat menggelegar ketika


Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulatan asap kemerahan itu menghantam tanah. Se-
mentara Rangga berjumpalitan beberapa kali
di udara, dan manis sekali mendarat di atas sebongkah batu yang cukup besar.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Bayangan Setan Merah sudah
menghentakkan kedua tangannya kembali ke
depan. Dan bulatan asap kemerahan kembali
melesat cepat bagai kilat ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang baru saja menjejakkan
kakinya di atas batu.
"Yeaaah...!"
Kembali Rangga harus melentingkan tu-
buhnya ke udara menghindari serangan
Bayangan Setan Merah. Seketika ledakan
dahsyat kembali terdengar menggelegar begitu gumpalan asap kemerahan menghantam
batu yang besarnya dua kali lipat dari seekor kerbau jantan dewasa.
*** Beberapa kali Rangga harus berjumpali-
tan di udara, sebelum mendarat manis di atas tanah berumput lunak yang basah
oleh embun. Saat itu, Bayangan Setan Merah sudah
kembali melancarkan serangan lagi. Dan
kembali pula Pendekar Rajawali Sakti terpak-sa harus berjumpalitan menghindari
seran- gan-serangan dahsyat yang dilancarkan
Bayangan Setan Merah. Sedikit pun Rangga
tidak diberi kesempatan untuk balas menye-
rang. Bahkan kini sama sekali mengalami ke-
sulitan untuk menjejakkan kakinya di tanah.
Begitu ujung kakinya menyentuh tanah,
Bayangan Setan Merah langsung menyerang
dengan gumpalan-gumpalan asap merahnya
yang dahsyat luar biasa. Sementara itu Pan-
dan Wangi yang menyaksikan dari tempat cu-
kup jauh, jadi merasa cemas melihat Rangga
dipaksa berjumpalitan menguras tenaga
menghadapi serangan-serangan si Bayangan
Setan Merah. "Hiyaaa...!"
"Hap!"
Rangga cepat merapatkan kedua tan-
gannya di depan dada begitu kakinya menje-
jak tanah. Pada saat itu, Bayangan Setan Merah sudah melontarkan serangan lagi.
Cepat- cepat Rangga menarik rubuhnya ke kanan,
sehingga gumpalan asap kemerahan itu lewat
di samping tubuhnya. Lalu, Pendekar Rajawa-
li Sakti cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri, kemudian sedikit membungkuk
sambil me-rentangkan kaki ke samping lebar-lebar.
"Yeaaah...!
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!"
Tepat ketika Bayangan Setan Merah me-
lepaskan serangannya, Rangga segera meng-
hentakkan kedua tangannya yang sudah ter-
selimut cahaya biru berkilau menyilaukan
mata. Seketika itu juga, bulatan asap keme-
rahan beradu keras dengan cahaya biru dari
aji 'Cakra Buana Sukma' yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti di udara.
Glarrr! "Akh!"
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh
berputaran ke belakang. Sementara Bayangan
Setan Merah terpental sekitar dua batang
tombak. Dua batang pohon seketika tumbang
terlanda tubuh laki-laki berbaju serba merah ini. Tampak dari kain merah yang
menyelubungi wajahnya, cairan merah merembes
membasahi kain merah itu. Dia berusaha
bangkit berdiri, tapi....
"Uhk...!"
Dari mulut yang tertutup kain merah,
menyembul darah berwarna agak kehitaman.
Sementara Rangga yang sudah menjejakkan
kakinya kembali ke tanah, bergegas berlari
menghampiri Bayangan Setan Merah yang
berlutut tak berdaya lagi. Pendekar Rajawali Sakti merenggut bagian kepalanya,
lalu melepaskan kain merah yang menyelubungi kepa-
la orang berbaju serba merah itu.
"Heh..."! Kau...?"
Rangga terkejut setengah mati begitu
berhasil melepaskan kain merah yang menye-
lubungi seluruh kepala dan wajah orang itu.
Di balik kain merah, ternyata tersembunyi se-raut wajah tampan dan berkulit
putih bersih, bagai kulit seorang wanita. Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena mengenali
laki-laki muda berusia sebaya dengan dirinya.
"Raden Suryapati...," desis Pandan Wan-
gi yang tahu-tahu sudah berada di samping
Rangga. Gadis itu juga terkejut dan mengenali
raut wajah pemuda yang tersembunyi di balik selubung kain merah itu. Betapa
tidak..." Mereka mengenal betul pemuda yang tadi men-
gaku berjuluk Bayangan Setan Merah itu.
Pemuda itu memang bernama Raden Surya-
pati, salah seorang putra Adipati Pangkara di Kadipaten Bararaja. Dan memang,
Lembah Tangkar ini masih termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Bararaja.
"Suryapati..." Apa yang kau lakukan
ini...?" tanya Rangga meminta penjelasan dari semua peristiwa ini.
Pemuda yang kini dikenali bernama Ra-
den Suryapati itu tidak langsung menjawab.
Perlahan wajahnya diangkat, dan langsung
menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar
kemudian tatapannya berpindah kepada Pan-
dan Wangi yang berdiri di samping Pendekar
Rajawali Sakti, lalu kembali beralih pada
Rangga yang masih menatap meminta penje-
lasan dari pertanyaannya.
"Kau tidak akan mendapatkan apa-apa
dariku, Rangga," desis Raden Suryapati din-
gin menggeletar.
Dan setelah berkata begitu, dirogohnya
lipatan bajunya. Lalu cepat dimasukkan sua-
tu benda kecil berbentuk bulat dan berwarna merah kehitaman ke dalam mulutnya.
Langsung ditelannya benda itu.
"Heh..."!"
Rangga jadi terkejut bukan main. Pen-
dekar Rajawali Sakti berusaha mencegah, tapi gerakannya terlambat. Benda kecil
bulat berwarna merah kehitaman itu sudah tertelan ke dalam tenggorokan Raden
Suryapati. Dan akibatnya sungguh cepat. Pemuda yang se-
mula dikenal berjuluk Bayangan Setan Merah
itu tiba-tiba saja mengejang. Dari mulutnya mengeluarkan busa berwarna kuning
kehijauan. Lalu, dia ambruk menggelepar. Tak
lama kemudian seluruh tubuhnya mengejang
kaku, dan diam tak bergerak-gerak lagi.
Rangga cepat-cepat memeriksa urat nadi di
bagian leher. "Dia sudah mati," desah Rangga, hampir
tak terdengar suaranya.
Perlahan Rangga bangkit berdiri. Seben-
tar dipandanginya pemuda berbaju merah
yang bunuh diri dengan menelan pil beracun.
Kakinya melangkah mundur beberapa tindak
menjauhi tubuh Raden Suryapati yang sudah
terbujur kaku tak bernyawa lagi. Sementara
Pandan Wangi terus mendampingi Pendekar
Rajawali Sakti. Beberapa saat lamanya mere-
ka hanya terdiam membisu memandangi ja-
sad Raden Suryapati yang terbujur kaku.
"Hhh...! Kenapa perbuatan bodoh begitu
dilakukannya..." Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" desah Rangga bernada
mengeluh. "Kakang...," lembut sekali Pandan Wangi
menyentuh pundak Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga menatap Pandan Wan-
gi. Sinar matanya kelihatan begitu redup.
Pandan Wangi bisa merasakan apa yang kini
ada di hati Pendekar Rajawali Sakti. Memang sulit menerima kenyataan seperti
ini. Adipati Pangkara adalah sahabat dekat Arya Permadi, ayah kandung Pendekar
Rajawali Sakti. Dan
Rangga sendiri sudah menganggap Raden Su-
ryapati sebagai adiknya. Kini, pemuda itu tewas bunuh diri setelah
dilumpuhkannya.
Sungguh suatu kenyataan yang teramat pa-
hit, yang harus ditelan Pendekar Rajawali
Sakti di Lembah Tangkar ini.
"Ayo kita pergi, Kakang," ajak Pandan
Wangi lembut. Rangga tidak berkata apa-apa, lalu men-
gayunkan kakinya perlahan mengikuti Pan-
dan Wangi meninggalkan tempat ini.
***** 6 Brak! Meja dari kayu jati cukup tebal, seketika
hancur berkeping-keping terhantam pukulan
Rangga yang begitu keras. Bukan hanya Pan-
dan Wangi saja yang terkejut, tapi Ki Kuwu
yang berdiri dekat Pendekar Rajawali Sakti juga sampai terlompat kaget. Tampak
seluruh tubuh Rangga bergetaran bersimbah keringat.
Kedua bola matanya memerah, dan ge-
rahamnya bergemeletuk menahan amarah
yang meluap-luap dalam dada. Kematian Ra-
den Suryapati memang membuat jiwa Pende-
kar Rajawali Sakti jadi terguncang. Pandan
Wangi sendiri tidak bisa lagi berbuat sesuatu.
Sungguh belum pernah dilihatnya Rangga be-
gitu marah seperti ini. Gadis itu merasa kecut juga hatinya, sehingga hanya bisa
diam, tak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Katakan sejujurnya! Apa sebenarnya
yang terjadi di sini, Ki Kuwu...?" desis Rangga, agak bergetar suaranya.
Jelas sekali dari nada suaranya, Pende-
kar Rajawali Sakti menahan amarah yang
hampir tak tertahankan lagi. Sedangkan Ki
Kuwu tampak gemetar melihat raut wajah
Rangga begitu tegang, dengan sinar mata
memerah berapi-api. Sementara, Pandan
Wangi yang berdiri agak ke sudut hanya bisa memandangi tanpa dapat berbuat
sesuatu untuk meredakan amarah Pendekar Rajawali
Sakti. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Kemarahan Rangga langsung
memuncak begitu menyadari orang yang mengaku berju-
luk Bayangan Setan Merah ternyata adalah
Raden Suryapati, yang telah diangkatnya se-
bagai saudara. Mengingat persahabatan yang
cukup dekat antara kedua orang tua mereka
dahulu, jelas membuat hati Rangga terpukul.
"Aku bisa lebih kejam dari mereka, Ki
Kuwu," desis Rangga lagi. "Katakan, di mana Sudra berada, dan siapa yang ada di
balik semua ini...?"
"Aku.... Aku...," suara Ki Kuwu tersendat
di kerongkongan.
Prak! Lagi-lagi Rangga menghantamkan puku-
lan ke dinding ruangan ini hingga jebol. Seluruh tubuh Ki Kuwu semakin basah
oleh ke- ringat. Dan wajahnya begitu pucat, bagai
mayat. Pandan Wangi sendiri jadi bergetar
melihat kemarahan Rangga. Baru kali ini dilihatnya Pendekar Rajawali Sakti
demikian ma- rah, sehingga bagai tidak mengenal lagi siapa dirinya.
"Kakang...," perlahan sekali suara Pan-
dan Wangi, dan terdengar agak bergetar.
Gadis itu melangkah perlahan meng-
hampiri Rangga yang berdiri kaku membela-
kangi jendela. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa
langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka saling
berpandangan. Dan beberapa
kali pula terlihat Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Seakan-akan dia ingin melonggarkan rongga
dadanya yang terasa begitu sesak, bagai ter-himpit beban yang teramat berat.
"Kita tidak bisa menyelesaikan masalah
dengan amarah, Kakang. Kendalikan dirimu.
Aku bisa mengerti perasaanmu, Kakang," bu-
juk Pandan Wangi berusaha tenang dan lem-
but. "Aku tidak mengerti, Pandan. Kenapa
Suryapati memakai julukan Bayangan Setan
Merah..." Dari mana ajian yang begitu dah-
syat diperolehnya" Dia seperti lupa padaku.
Dia tidak kenal lagi denganku. Bahkan begitu bersungguh-sungguh ingin membunuhku
Apa sebenarnya yang terjadi, Pandan" Kenapa
semua...?" ucapan Rangga terputus.
Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan
kepala sambil menghembuskan napas pan-
jang dan terasa begitu berat sekali. Pandan Wangi hanya bisa menelan ludah saja
untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak
jadi terasa begitu kering, bagai berada di tengah padang pasir yang luas tak
bertepi. "Semua akan jelas kalau orang yang
bernama Sudra itu ada di sini...," ujar Rangga lagi. Nada suaranya terdengar
begitu gemas saat menyebut nama Sudra.


Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang, kalau tidak karena surat yang
dikirim dari orang yang bernama Sudra itu,
tidak mungkin mereka berada di Lembah
Tangkar ini. Sepucuk surat yang menyimpan
suatu teka-teki, dan sudah meminta begitu
banyak korban nyawa.
"Apa yang akan kau lakukan jika Sudra
ada di sini, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Kuwu tiba-tiba.
Rangga dan Pandan Wangi langsung
menatap orang tua itu dalam-dalam. Sedang-
kan Ki Kuwu malah duduk di tepi dipan bam-
bu yang ada di sudut ruangan ini. Tubuhnya
tidak lagi gemetar seperti tadi. Dan raut wajahnya juga sudah tidak memucat
lagi. Ki Kuwu rupanya sudah bisa menguasai dirinya.
"Kau tahu di mana dia, Ki?" tanya Pan-
dan Wangi, dibuat lembut nada suaranya.
"Memang tidak ada seorang pun yang
tahu, siapa itu Sudra," kata Ki Kuwu, perlahan suaranya.
"Kau bilang dia anakmu. Kenapa seka-
rang kau katakan tidak ada seorang pun yang tahu..." Mana yang benar, Ki?" desak
Pandan Wangi tidak mengerti.
"Sudah lama aku hidup sendiri, setelah
istriku meninggal dua puluh lima tahun yang lalu. Istriku sama sekali tidak
meninggalkan anak. Sedangkan aku sangat mendambakan
keturunan yang bisa mewariskan semua yang
kumiliki sekarang ini," masih terdengar pelan suara Ki Kuwu.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wan-
gi menghampiri perlahan. Dan mereka duduk
di dipan bambu yang hanya beralaskan se-
lembar tikar yang sudah agak lusuh. Sedang-
kan Ki Kuwu masih tetap duduk di pinggir dipan bambu itu. Kepalanya agak
tertunduk, tapi sebentar kemudian terangkat. Tatapan
matanya langsung bertemu sorot mata Rang-
ga yang masih terlihat tajam.
"Kenapa kau membohongi kami, Ki" Ke-
napa kau tidak berkata terus terang sejak
semula...?" tanya Rangga bernada mendesak.
"Maaf, aku terpaksa melakukan itu ka-
rena...." "Karena apa, Ki?" desak Rangga cepat
begitu Ki Kuwu memutuskan ucapannya.
*** Belum juga bisa meneruskan kata-
katanya, mendadak saja melesat sebuah ben-
da berwarna kuning kehijauan. Rangga yang
melihat benda itu, melesat cepat bagai kilat ke arah Ki Kuwu. Tangan kirinya
mendorong dada orang tua itu, dan tangan kanannya
mengibas ke arah benda kuning kehijauan.
"Yeaaah...!"
Bet! Tap! Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan
Rangga, sehingga Ki Kuwu berhasil selamat
dari benda yang meluncur cepat bagai kilat
itu. Dua kali Rangga berputaran, lalu manis sekali mendarat di lantai ruangan
ini. Sekilas matanya melirik Ki Kuwu yang terjajar ber-sandar ke dinding.
"Tetap di sini, Pandan...!" seru Rangga.
"Hup!"
"Baik, Kakang...."
Belum juga habis sahutan Pandan Wan-
gi, Rangga sudah melesat cepat keluar dari
ruangan ini melewati jendela yang terbuka lebar. Begitu sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat hanya
bayangan saja yang terlihat Hanya dengan ujung jari kaki Rangga
menyentuh tanah, kemudian kembali melent-
ing tinggi ke udara. Pendekar Rajawali Sakti kemudian hinggap di atas atap rumah
Ki Ku-wu yang berukuran cukup besar. Pada saat
itu matanya menatap dua bayangan berkele-
bat cepat menerobos lebatnya pepohonan di
bagian belakang rumah ini.
"Hup! Yeaaah..!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga te-
rus melompat cepat mengejar dua bayangan
yang tampak berkelebat hilang di dalam le-
batnya pepohonan. Pendekar Rajawali Sakti
terus berlari cepat mempergunakan ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah mencapai ting-
kat kesempurnaan begitu kakinya menyentuh
tanah. Begitu cepat dan ringan gerakannya
sehingga seakan-akan sepasang kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
"Heps! Hiyaaa...!"
Begitu matanya kembali melihat dua
bayangan berkelebat, cepat tubuhnya melent-
ing ke udara, dan melakukan beberapa kali
putaran melewati beberapa pepohonan yang
tumbuh merapat di dalam hutan Lembah
Tangkar ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dengan menotok
ujung jari kakinya pada pucuk-pucuk pohon. Lalu manis sekali tubuhnya meluruk
turun, dan tepat mendarat menghadang dua orang yang berlari
cepat berkelebatan di antara pepohonan yang cukup rapat dalam hutan ini.
"Mau lari ke mana kalian..."!" desis
Rangga dingin. "Heh..."!"
"Hah..."!"
Dua orang laki-laki berusia separuh
baya itu terkejut bukan kepalang begitu tiba-tiba di depan mereka sudah berdiri
seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan pemuda
tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Ra-
jawali Sakti itu jadi mendesis dingin begitu mengenali dua laki-laki ini yang
ternyata dua orang pembantu Ki Bargala yang berjuluk Iblis Jubah Putih. Dua
orang yang pernah ber-
tarung dengannya ketika hari pertama di
Lembah Tangkar ini.
Sret! Trek! Dua orang laki-laki setengah baya itu
langsung mencabut senjata yang berupa
tongkat pendek berujung bulan sabit, begitu mengenali pemuda yang tiba-tiba
mengha-dangnya. Sedangkan Rangga sendiri masih te-
tap berdiri tegak dengan sorot mata tajam
agak memerah. Begitu angker sosok Pendekar
Rajawali Sakti, bagai malaikat maut yang siap mencabut nyawa kedua laki-laki
setengah baya ini. Akibatnya, mereka langsung berge-
tar, kecut hatinya. Mereka saling berpandangan sebentar, kemudian....
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan mereka berlompatan
menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil
mengebutkan senjata masing-masing. Saat itu juga Rangga segera mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tan-
gannya terpentang lebar dan kakinya berge-
rak cepat menyusur tanah.
Bet! Bet! Dua kali Rangga mengebutkan kedua
tangannya, sambil meliukkan tubuh dengan
indah sekali. Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan, sehingga membuat dua orang laki-
laki separuh baya ini jadi kelabakan setengah mati. Dan belum juga mereka bisa
berbuat sesuatu, kebutan tangan Pendekar Rajawali
Sakti tepat menghantam senjata-senjata me-
reka yang sudah terulur maju melakukan se-
rangan tadi. Trak! Tak! Mereka jadi terkejut setengah mati meli-
hat senjata-senjata yang diandalkan berpatahan tersabet tangan-tangan Pendekar
Rajawa- li Sakti. Dan belum juga mereka bisa mengu-
asai keterkejutannya, Rangga sudah kembali
bergerak cepat menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Plak! Diegkh! Dua orang laki-laki setengah baya itu
seketika berpentalan terhantam kebutan tan-
gan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka lang-
sung ambruk bergelimpangan di tanah. Darah
langsung menyembur keluar dari mulut begi-
tu mereka mencoba bangkit berdiri. Pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat
mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Pemuda berbaju rompi putih itu me-
luruk deras ke arah salah seorang yang baru saja bangkit berdiri. Begitu
cepatnya serangan yang dilakukan Rangga, sehingga orang itu ti-
dak sempat lagi berbuat sesuatu.
"Yeaaah...!"
Prak! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi
terdengar nyaring menyayat begitu satu kaki Rangga menghantam kepala orang itu.
Tubuhnya berputaran sambil meraung keras
memegangi kepalanya yang pecah terkena
tendangan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Sementara yang seorang lagi cepat-cepat
melarikan diri begitu melihat temannya am-
bruk menggelimpang tewas seketika, sebelum
Rangga sempat menyadari.
"Hm...," Rangga menggumam kecil begi-
tu melirik pada satu orang lagi yang berlari mencoba kabur.
Perlahan tubuhnya diputar dan berdiri
tegak memandangi laki-laki setengah baya
berbaju biru tua yang terus berlari lintang pukang menerobos lebatnya pepohonan
dalam hutan ini. Sama sekali tidak disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti terus
memperha- tikan. "Hup!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat tinggi ke
udara, dan hinggap di atas sebatang pohon
yang cukup tinggi. Bibirnya menyunggingkan
senyum tipis saat memperhatikan laki-laki
separuh baya berbaju biru tua itu terus berlari jatuh bangun menerobos lebatnya
hutan ini. Pendekar Rajawali Sakti kembali melom-
pat ke pohon lainnya. Sengaja dibiarkannya
orang itu terus berlari. Pendekar Rajawali
Sakti terus mengikuti dengan berlompatan
dari satu pohon ke pohon lainnya sambil
menjaga jarak. Sama sekali orang itu tidak menyadari
kalau dirinya diikuti. Kepalanya berpaling ke belakang, dan berhenti
menyandarkan punggungnya ke batang pohon sambil mengatur
jalan napas yang terengah-engah karena ber-
lari kencang tanpa mempedulikan sekeliling-
nya. Sebentar laki-laki itu beristirahat, kemudian kembali berlari. Kali ini dia
berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, dan ti-
dak tersaruk-saruk seperti tadi. Sementara
Rangga semakin tersenyum lebar melihat bu-
ruannya menyangka sudah aman tidak diiku-
ti. "Terus lari, Setan! Tunjukkan tempat
persembunyian teman-temanmu!" desis
Rangga dalam hati.
*** Sementara itu Pandan Wangi yang masih
berada di rumah Ki Kuwu tampak gelisah
menunggu Rangga yang tidak juga kunjung
datang. Kini malam terus merayap semakin
larut. Beberapa kali Pandan Wangi melongok
ke luar, tapi tidak juga melihat ada tanda-
tanda Rangga akan kembali. Matanya melirik
Ki Kuwu yang masih tetap duduk dengan wa-
jah lesu di tepi dipan bambu.
"Maaf, aku telah menyusahkan ka-
lian...," ujar Ki Kuwu perlahan, memecah kesunyian yang terjadi di ruangan depan
ru- mahnya ini. "Kau tidak perlu meminta maaf begitu,
Ki. Aku rasa, kau bisa membantu mengatasi
keadaan ini jika mau berterus terang sejak
semula," kata Pandan Wangi, tetap berdiri di samping jendela.
"Aku memang salah. Tapi bukan mak-
sudku untuk mempermainkan kalian. Hal ini
kulakukan hanya untuk menyelamatkan
anak-anak kami yang mereka ambil, dan
sampai sekarang belum ada seorang pun yang
kembali," jelas Ki Kuwu, masih tetap perlahan suaranya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?"
ujar Pandan Wangi ingin lebih jelas lagi.
"Sudah cukup lama Prabu Cantraka
menguasai Lembah Tangkar ini. Bahkan bu-
kan hanya lembah ini saja yang dijarah. Tapi juga sampai ke kota kadipaten dan
desa-desa lain di seluruh Kadipaten Bararaja. Dia mengambil paksa anak-anak muda
dan gadis- gadis berusia di bawah dua puluh tahun.
Bahkan sampai putra adipati sendiri diambil dengan paksa."
"Hm.... Apakah Adipati Pangkara sendiri
tahu putranya diculik?" tanya Pandan Wangi.
"Ya! Tapi Gusti Adipati Pangkara tidak
bisa berbuat apa-apa, karena orang yang sela-lu dipanggil Prabu Cantraka itu
sukar dila- wan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Tak ada seorang pun jago kadipaten
yang sanggup

Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menandinginya. Sampai Gusti Adipati Pang-
kara sendiri hanya bisa diam, setelah mendapat ancaman dari Prabu Cantraka."
"Ancaman apa?"
"Putranya akan dibunuh, dan seluruh
Kadipaten Bararaja akan dibumihanguskan
jika Adipati Pangkara terus mengusiknya. Ancaman itu dibuktikan dengan
menghancur- kan satu desa yang berada di sebelah utara
kota kadipaten. Sampai saat itu, tidak ada
seorang pun yang berani lagi menentang ke-
hendak Prabu Cantraka. Dan...," Ki Kuwu
memutuskan kalimatnya.
"Teruskan, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Aku tidak tahan melihat kekejaman
berlangsung di depan mataku, tanpa ada seo-
rang pun yang mampu menghentikannya.
Hingga, aku punya pikiran yang mungkin kau
anggap gila, Pandan. Aku mengirim beberapa
surat pada para pendekar di seluruh pelosok wilayah kulon ini. Semua pembantuku
kuse-bar membawa surat itu."
"Jadi..."!"
"Ya! Sudra sebenarnya adalah aku sen-
diri. Semua orang di Lembah Tangkar ini
hanya mengenalku dengan nama Ki Kuwu.
Padahal, orang tuaku memberi nama Sudra,"
akhirnya Ki Kuwu mengaku juga.
"Oh...," desah Pandan Wangi tidak me-
nyangka. "Salah seorang pembantuku yang mem-
bawa surat, rupanya sempat diketahui anak
buah Iblis Jubah putih. Dia tewas, disusul
dua orang pembantuku yang lain. Iblis Jubah Putih dan orang-orangnya yang
dibantu Iblis Bunga Penyebar Maut, mengejar dan membantai para pembantuku yang
membawa su- rat. Tapi, rupanya dewata masih juga melin-
dungi niat baikku. Meskipun hanya dua pu-
cuk surat saja yang selamat, tapi itu sudah membuka pintu terang untuk Lembah
Tangkar ini," kali ini nada suara Ki Kuwu terdengar lega dan bebas. "Maafkan
aku, Pandan. Aku telah menyusahkanmu. Juga Pendekar
Rajawali Sakti...."
"Kau tidak perlu meminta maaf, Ki. Aku
rasa, yang kau lakukan adalah benar, meski-
pun harus berkorban begitu banyak. Bahkan
kau mempertaruhkan penduduk Lembah
Tangkar ini. Tapi aku kagum atas kebera-
nianmu, Ki. Sulit mencari orang yang berani sepertimu. Mau mempertaruhkan
segalanya demi kebaikan dan memerangi keangkara-
murkaan," tegas Pandan Wangi seraya mem-
beri senyuman. Gadis berbaju biru muda yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut itu melangkah perla-
han mendekati Ki Kuwu. Kemudian, dia du-
duk di samping orang tua itu. Melihat senyum terkembang di bibir Pandan Wangi,
bola mata laki-laki tua itu jadi berkaca-kaca. Hatinya sungguh tersentuh
mendapati kebesaran hati
gadis berkepandaian tinggi ini.
"Akibat perbuatanku, mereka jadi marah
dan terus mencari orang yang bernama Sudra
yang sebenarnya adalah aku sendiri. Mereka
mengamuk dan membantai penduduk Lem-
bah Tangkar ini. Mereka akan membumihan-
guskan lembah ini jika tidak menyerahkan
Sudra," lanjut Ki Kuwu.
"Tidak perlu menyesali diri, Ki. Tindakan
yang kau ambil tidak salah sama sekali. Bahkan aku kagum atas keberanianmu.
Meski- pun kau tahu betapa besar bahayanya, tapi
tetap kau lakukan demi tegaknya keadilan
dan kedamaian di muka bumi ini. Memang
sudah sepantasnya ada satu orang yang ber-
tindak berani menentang keangkaramurkaan.
Percayalah, Ki. Aku dan Kakang Rangga akan
membebaskan Lembah Tangkar ini dari ceng-
keraman mereka," ujar Pandan Wangi, mem-
besarkan hati orang tua ini.
"Aku percaya pada kemampuan kalian
berdua, Pandan. Aku yakin, kau dan Pende-
kar Rajawali Sakti pasti mampu menumpas
mereka. Paling tidak, mengusir mereka jauh-
jauh dari sini, hingga tidak bisa kembali lagi ke Lembah Tangkar," ujar Ki Kuwu
berharap. Pandan Wangi tersenyum dan menepuk
pundak laki-laki tua itu, kemudian bangkit
berdiri dan melangkah menghampiri jendela.
Gadis itu berdiri tegak di depan jendela yang masih terbuka lebar. Sementara
malam terus merayap semakin bertambah larut.
"Kau tahu di mana tempat persembu-
nyian mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi tanpa memutar tubuhnya, dan terus
memandang ke luar jendela. "Tidak," sahut Ki Kuwu. "Tak ada seo-
rang pun yang tahu di mana sarang mereka."
"Hm.... Lalu siapa orang yang dipanggil
Prabu Cantraka itu?" tanya Pandan Wangi la-
gi sambil memutar tubuhnya, berbalik.
"Tidak ada yang tahu pasti, siapa dia se-
benarnya, Pandan. Dia pernah muncul sekali
di Kadipaten Bararaja, tapi wajahnya ditutupi topeng kera dari kayu. Hanya satu
kali itu sa-ja kemunculannya ketika memberikan perin-
gatan kepada Gusti Adipati Pangkara. Tapi itu juga hanya di halaman istana
kadipaten. Dan tidak bertemu langsung dengan Gusti Adipati Pangkara sendiri,"
sahut Ki Kuwu menjelaskan lagi.
"Hm.... Dia muncul menutupi wajahnya.
Pasti dia tidak ingin dikenali," gumam Pandan Wangi berbicara sendiri.
Si Kipas Maut menatap Ki Kuwu dalam-
dalam. Sedangkan yang dipandangi hanya
tertunduk saja, seakan-akan tidak sanggup
membalas sorot mata gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Beberapa saat tidak
ada yang berbicara. Dan keadaan di dalam ruangan itu jadi hening, seperti berada
di tengah-tengah kuburan.
"Ki, sebenarnya ada apa di Lembah
Tangkar ini?" tanya Pandan Wangi, agak da-
lam nada suaranya.
"Semua penduduk di Lembah Tangkar
ini hidup dari mendulang emas...," ujar Ki
Kuwu memberi tahu.
"Emas..."!"
"Benar. Lembah ini kaya akan emas.
Seakan-akan tidak ada habisnya, meskipun
setiap hari selalu diambil dan diangkut ke ko-ta. Bahkan, tadinya tidak sedikit
para pedagang dan saudagar yang datang ke sini untuk menukar dagangan dengan
emas. Tapi sekarang tempat mencari emas itu sudah dikuasai Prabu Cantraka.
Bahkan sampai sekarang ini, tidak ada seorang pun yang diperbolehkan
mendulang emas."
"Hm...," Pandan Wangi menggumam ti-
dak jelas. Pantas saja rumah-rumah di sini besar-
besar, dan kehidupan penduduk lembah ini
bisa dikatakan lebih tinggi daripada orang-
orang yang hidup di kota kadipaten. Ternyata mereka memang kaya akan emas. Tidak
heran jika ada orang yang tertarik menguasai
lembah ini. Tapi jalan yang digunakan sama
sekali tidak benar. Dan Pandan Wangi men-
duga, orang itu pasti sudah mengenal betul
seluk-beluk di Lembah Tangkar, hingga bera-
ni membekukan semua kegiatan Kadipaten
Bararaja yang masih membawahi wilayah
Lembah Tangkar ini.
"Apa tidak mungkin..." Hm.... Aku harus
segera menemui Kakang Rangga," gumam
Pandan Wangi berbicara sendiri dalam hati.
Sebentar gadis itu menatap pada Ki Ku-
wu. "Aku pergi dulu, Ki," ujar Pandan Wangi.
"Kau mau ke mana?" tanya Ki Kuwu.
"Mencari Kakang Rangga," sahut Pandan
Wangi. "Ke mana kau akan mencarinya, Pan-
dan?" Pandan Wangi tidak menjawab. Dia me-
mang tidak tahu, ke mana harus mencari
Rangga yang sampai saat ini belum juga
muncul. Bahunya diangkat sedikit, dan ka-
kinya melangkah menuju ke pintu depan. Ki
Kuwu bergegas bangkit dari dipan bambu
yang didudukinya, dan cepat-cepat melang-
kah menyusul si Kipas Maut itu.
"Ada sebuah puri di tengah hutan, dan
sudah lama tidak dipakai lagi. Mungkin me-
reka menjadikan puri itu sebagai sarangnya,"
jelas Ki Kuwu begitu ayunan langkahnya be-
rada di samping Pandan Wangi.
"Kau bisa tunjukkan, Ki?" pinta Pandan
Wangi. "Ikuti aku. Kita ambil jalan pintas."
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
Kini mereka terus berjalan keluar dari rumah berukuran sangat besar dan cukup
megah ini. Mereka terus berjalan menuju ke bagian belakang rumah Ki Kuwu ini. Dan malam pun
semakin terus merayap larut. Udara semakin
terasa dingin terbawa hembusan angin yang
agak kencang. Tapi Pandan Wangi dan Ki
Kuwu seperti tidak menghiraukannya. Mereka
terus melangkah menuju ke hutan yang terle-
tak tepat di belakang rumah Ki Kuwu.
***** 7 Sementara itu Rangga yang mengikuti
salah seorang pembantu Iblis Jubah Putih,
sudah sampai di tengah-tengah hutan yang
cukup lebat ini. Pendekar Rajawali Sakti berhenti mengikuti, dan tetap berada di
atas pohon ketika melihat sebuah bangunan putih
yang terbuat dari batu di tengah-tengah hu-
tan ini. Dan laki-laki setengah baya yang di-ikutinya, jelas melangkah cepat
menuju ban- gunan puri itu.
Dari dalam puri, tampak keluar Ki Bar-
gala yang lebih dikenal berjuluk Iblis Jubah Putih. Di belakangnya mengikuti dua
wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang mas-
ing-masing mengenakan baju ketat warna
merah dan putih. Meskipun sudah berusia
sekitar empat puluh tahun, tapi mereka ma-
sih kelihatan cantik dan segar bagai gadis
yang baru saja berumur dua puluh tahun.
Kedua wanita ini yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut
"Bagaimana, Wirya?" Iblis Jubah Putih
langsung bertanya begitu laki-laki separuh
baya itu berada dekat di depannya.
"Gagal, Ki...," sahut laki-laki separuh
baya berbaju biru tua yang dipanggil Wirya
itu. Suaranya pelan sekali, dan hampir tidak terdengar di telinga.
"Apa..."! Gagal..."!" Iblis Jubah Putih
mendengus berang mendengar jawaban yang
tidak diinginkannya itu.
"Mereka menghalangi, Ki. Bahkan pe-
muda itu membunuh...."
"Setan...!"
Plak! "Aduh...!" Wirya terpekik.
Tubuhnya terpelintir begitu tiba-tiba sa-
tu tamparan keras mendarat di pipi kirinya.
Laki-laki separuh baya itu langsung jatuh
berlutut di depan Iblis Jubah Putih. Dengan punggung tangannya, disekanya darah
yang merembes keluar dari sudut bibirnya. Tampa-
ran Iblis Jubah Putih begitu keras, sehingga pandangannya terasa jadi berkunang-
kunang. "Kenapa kau tidak mampus saja seka-
lian, heh..."! Tidak ada gunanya kau kembali ke sini!" dengus Iblis Jubah Putih
berang. "Maaf, Ki...," ucap Wirya perlahan.
"Bangun!" bentak Iblis Jubah Putih.
Perlahan Wirya bangkit berdiri, tapi ke-
palanya tetap tertunduk menekuri tanah di
ujung kakinya. Sama sekali dia tidak berani membalas sorot mata Iblis Jubah
Putih yang begitu tajam memerah menahan marah. Se-
mentara dua wanita yang berada di belakang
Iblis Jubah Putih hanya diam saja tidak ber-suara sedikit pun. Salah seorang
yang men- genakan baju warna merah menyala dan bi-
asa dipanggil si Mawar Merah, melangkah
maju mendekati laki-laki tua berjubah putih itu. "Ada tamu datang ke sini, Ki,"
bisik si Mawar Merah perlahan.
"Hm...," Iblis Jubah Putih menggumam
pelan. Kepalanya terdongak sedikit, dan dipu-
tar ke kanan. Lalu, diputar ke kiri perlahan-lahan. Kembali dia menggumam begitu
telin- ganya yang setajam mata pisau mendengar
tarikan napas ringan dari arah kirinya. Laki-laki tua berjubah putih itu melirik
sedikit pa-da dua wanita yang mendampinginya. Iblis
Bunga Penyebar Maut bisa mengerti, dan per-
lahan menggeser kakinya ke kanan beberapa
tindak. "Kau diikuti, Wirya?" tanya Iblis Jubah
Putih mendesis perlahan.
"Tidak, Ki," sahut Wirya.


Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau memang bodoh!" dengus Iblis Ju-
bah Putih. Wirya jadi bengong tidak mengerti. Dan
sebelum laki-laki setengah baya berbaju biru tua itu bisa mengerti maksudnya,
mendadak saja si Iblis Jubah Putih berteriak nyaring dan keras menggelegar. Bersamaan
dengan itu, tangan kirinya dikebutkan ke samping sambil cepat memutar tubuhnya.
Slap! Seketika itu juga dari telapak tangan ki-
rinya meluncur sebuah benda berwarna putih
keperakan. Benda itu meluncur deras ke arah semak belukar yang ada di sebelah
kiri bangunan batu berbentuk puri itu. Satu ledakan keras menggelegar terdengar
dahsyat ketika benda putih keperakan itu menghantam se-
mak yang seketika itu juga hancur terbongkar
bagai diseruduk banteng liar.
Bersamaan dengan itu, dari dalam se-
mak yang hancur melesat sebuah bayangan
hitam ke udara. Tampak bayangan hitam itu
berjumpalitan di udara, lalu manis sekali meluruk turun. Tanpa menimbulkan suara
sedi- kit pun juga, bayangan hitam itu mendarat di tanah. Dan sekitar tiga batang
tombak di depan Iblis Jubah Putih, kini sudah berdiri seorang laki-laki berbaju
serba hitam dengan
punggung terdapat tonjolan cukup besar yang membuat tubuhnya bungkuk. Kulit
wajahnya hitam bagai terbakar, dan terdapat beberapa benjolan seperti bisul.
*** "Si Bongkok...," desis Iblis Jubah Putih
agak bergetar suaranya begitu mengenali laki-laki yang muncul dari dalam semak
belukar tadi. "He he he... Kau tidak bisa lari dariku, Iblis Jubah Putih," ujar si
Bongkok diiringi suara tawanya yang terkekeh.
"Phuih! Kau pikir aku takut menghada-
pimu...?" dengus Iblis Jubah Putih gusar atas kemunculan si Bongkok ini.
"Oh, ya..." Kalau kau berani, kenapa ti-
dak langsung serang saja...?" tantang si
Bongkok memanasi.
"Keparat...!" geram Iblis Jubah Putih
semakin bertambah gusar mendengar tantan-
gan terbuka itu.
Dia tahu si Bongkok memiliki kepan-
daian yang sangat tinggi. Dan Iblis Jubah Putih tidak mau gegabah menghadapinya.
Maka, matanya melirik sedikit pada Wirya yang ma-
sih berdiri tak bergeming di tempatnya. Laki-laki setengah baya berbaju biru tua
itu tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat dia melompat ke depan, melewati
Iblis Jubah Putih.
"Hadapi aku dulu, Manusia Jelek!" ben-
tak Wirya kasar.
"Hhh! Aku paling tidak suka berlama-
lama dengan tikus busuk sepertimu!" dengus
si Bongkok dingin.
"Jangan banyak omong! Tahan seran-
ganku. Hiyaaat..!"
Wirya langsung saja melompat cepat
memberi serangan. Satu pukulan keras
menggeledek dilepaskan disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi
"Uts!"
Tapi hanya memiringkan sedikit saja tu-
buhnya, pukulan Wirya yang begitu keras da-
pat dihindari si Bongkok. Bahkan tanpa didu-ga sama sekali, tangan kiri laki-
laki bertubuh bungkuk itu bergerak cepat menyodok ke
arah lambung. Bet! "Akh...!"
Wirya tersentak kaget. Cepat-cepat ka-
kinya ditarik ke belakang menghindari sodo-
kan tangan kiri si Bongkok. Dan secepat kilat, Wirya melentingkan tubuh sambil
melepaskan satu tendangan keras menggeledek
yang sangat dahsyat luar biasa.
"Yeaaah...!"
Tapi si Bongkok sama sekali tidak berge-
rak menghindar. Dan begitu kaki Wirya bera-
da dekat kepalanya, cepat sekali tangan ka-
nan si Bongkok yang memegang tongkat hi-
tam bergerak membabat kaki yang menjulur
deras ke arah kepala itu.
"Heh..."!"
Wirya jadi terkejut setengah mati. Buru-
buru kakinya ditarik pulang sambil memutar
tubuhnya ke belakang dua kali. Tapi begitu
kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja si
Bongkok sudah menusukkan tongkatnya ke
arah dada dengan kecepatan luar biasa.
"Yeaaah...!"
Bresss! "Aaa...!"
Memang tidak ada lagi kesempatan
Wirya untuk menghindari tusukan tongkat hi-
tam itu. Hingga, tongkat hitam itu menembus dadanya begitu dalam, sampai
ujungnya menyembul keluar dari punggung. Dengan sekali sentakan saja, si Bongkok
mencabut tongkatnya. Seketika darah muncrat keluar dari dada dan punggung Wirya.
"Hiyaaa...!"
Si Bongkok tidak berhenti sampai di situ
saja. Cepat diberikannya satu tendangan
menggeledek yang begitu keras mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan
si Bongkok mendarat telak di dada Wirya.
Akibatnya laki-laki separuh baya itu terpental jauh ke belakang, dan baru
berhenti setelah
menabrak sebatang pohon yang cukup besar,
tepat di tempat Pendekar Rajawali Sakti bertengger di atasnya.
Untung saja Rangga segera mengerah-
kan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga
tidak sampai terjatuh ke bawah. Cukup keras juga benturan itu, sehingga membuat
pohon yang cukup besar itu jadi berguncang hebat
dan hampir roboh. Wirya langsung menggele-
tak tidak bangun-bangun lagi. Laki-laki se-
tengah baya itu tewas dengan darah mengu-
cur deras dari dadanya yang berlubang.
"Setan keparat...!" geram Iblis Jubah Pu-
tih melihat anak buahnya tewas hanya dalam
beberapa gebrakan saja.
"Giliranmu sudah tiba, Iblis Jubah Pu-
tih...," desis si Bongkok dingin menggeletar.
"Phuih! Kubunuh kau, Keparat!
Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** Secara bersamaan dua tokoh kosen itu
saling berlompatan menyerang. Dan mereka
sama-sama pula menghentakkan tangan ke
depan. Tak dapat dihindari lagi, dua telapak tangan beradu keras di udara.
Seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar begitu dua telapak tangan saling beradu
di uda-ra. Tampak mereka sama-sama terpental ber-
jumpalitan di udara, dan secara bersamaan
pula mendarat kembali di tanah.
"Hih!"
"Hup!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Iblis Ju-
bah Putih segera bersiap melakukan serangan kembali. Begitu pula si Bongkok yang
segera bersiap menerima serangan. Tongkatnya ditancapkan di tanah, ketika
melihat Iblis Jubah Putih tidak menggunakan senjata. Dan
bagaikan kilat, Iblis Jubah Putih melompat
cepat sambil melepaskan beberapa pukulan
beruntun disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Si Bongkok terpaksa harus berjumpalitan menghindari pukulan-pukulan
keras ber- tenaga dalam tinggi yang dilepaskan Iblis Jubah Putih secara beruntun.
Pertarungan tangan kosong itu berlang-
sung cukup sengit. Bukan hanya si Iblis Ju-
bah Putih yang melakukan serangan, tapi ju-
ga si Bongkok. Dia pun mampu memberi se-
rangan-serangan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya. Jurus-jurus tangan kosong me-
reka rupanya cukup berimbang juga. Sehing-
ga, tidak terasa sudah melewati lima jurus
dengan cepat. "Hup...!"
Tiba-tiba saja Iblis Jubah Putih melen-
tingkan tubuh berputaran ke belakang, keluar dari arena pertarungan. Manis
sekali kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak
di depan si Bongkok. Sementara laki-laki bertubuh bungkuk dengan wajah hitam
penuh benjolan, hanya berdiri tegak di samping
tongkatnya yang masih tertancap di tanah.
"Kita selesaikan dengan senjata, Bong-
kok!" desis Iblis Jubah Putih dingin.
"Hm...," si Bongkok hanya menggumam
perlahan saja. Sret! "Yeaaah...!"
Iblis Jubah Putih langsung melompat
menyerang begitu mencabut pedangnya yang
selalu tergantung di pinggang. Pada saat yang bersamaan, si Bongkok juga
mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Secepat itu pula tongkatnya
dikebutkan untuk
menangkis tebasan pedang Iblis Jubah Putih.
Bet! Tring! Mereka kembali bertarung sengit. Teria-
kan-teriakan keras menggelegar, kini bercampur baur dengan suara denting senjata
bera- du. Kebutan-kebutan pedang dan tongkat
yang saling sambar, menimbulkan deru angin
yang menggemuruh bagai topan. Dan daun-
daun pepohonan di sekitar pertarungan jadi
berguguran tersambar angin tebasan senjata-
senjata dahsyat.
Entah berapa jurus sudah berlalu. Tapi
pertarungan itu masih juga berlangsung.
Bahkan semakin sengit saja. Mereka saling
menyerang secara bergantian. Dan pertarun-
gan pun semakin bertambah cepat, sehingga
hanya bayangan-bayangan tubuh mereka saja
yang terlihat berkelebat. Hingga suatu saat, tiba-tiba....
Plak! "Akh...!"
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-
tahu Iblis Jubah Putih terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
Laki-laki tua berjubah putih bersih itu bergegas bangkit
berdiri. Tapi dari mulutnya menyemburkan
darah kental agak kehitaman. Sementara tan-
gan kirinya mendekap dada sebelah kiri yang tampak bergambar telapak tangan
berwarna merah kehitaman. Sesaat Iblis Jubah Putih
masih terhuyung-huyung limbung.
"Ajalmu sudah tiba, Iblis Keparat!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, si Bongkok melompat ce-
pat sambil mengebutkan tongkat ke arah leh-
er laki-laki tua berjubah putih itu. Sementara, si Iblis Jubah Putih sendiri
belum bisa menguasai keseimbangan tubuh yang goyah aki-
bat terkena pukulan maut dari jurus 'Pukulan Tangan Besi' si Bongkok tadi.
Tapi begitu ujung tongkat si Bongkok
yang runcing hampir membabat leher Iblis
Jubah Putih, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah menghantam tongkat
hitam pekat itu. Trang! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya si Bongkok be-
gitu mendapat bokongan yang tidak diduga
itu. Sehingga, serangannya tidak mengenai
sasaran yang sudah tidak berdaya lagi. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke
belakang, dan melakukan beberapa kali putaran sebelum
menjejakkan kaki di tanah berumput.
"Phuih!" si Bongkok menyemburkan lu-
dahnya. Sepasang bola matanya jadi memerah
melihat di samping kiri dan kanan Iblis Jubah Putih sudah berdiri dua wanita
berusia empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik dan segar. Baju yang
dikenakan begitu ketat, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang
ramping dan indah. Mereka sama-sama me-
lintangkan pedang di depan dada, seakan-
akan melindungi laki-laki tua berjubah putih itu. "Pulihkan dulu kesehatanmu,
Ki. Biar kami yang akan menghadapi manusia jelek
itu," desis wanita berbaju merah yang dikenal bernama Mawar Merah.
"Hati-hatilah. Tingkat kepandaiannya
sangat tinggi," pesan Iblis Jubah Putih.
Laki-laki tua berjubah putih itu bergegas
menarik dirinya ke belakang, menjauhi tem-
pat pertarungan itu. Sementara dua wanita
yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar
Maut sudah melangkah maju beberapa tindak
mendekati si Bongkok. Setelah berjarak sekitar enam langkah lagi, mereka
menyebar ke samping. Mereka baru berhenti setelah bera-
da di sebelah kanan dan kiri laki-laki bertubuh bungkuk dengan wajah hitam legam
ba- gai terbakar itu.
"Kau datang ke sini hanya menyerahkan
nyawa saja, Bongkok," desis Mawar Merah


Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin menggetarkan.
"Hhh! Kalian boleh bangga dengan julu-
kan yang menyeramkan itu. Tapi, kalian tidak ada artinya di depan mataku!"
sambut si Bongkok, tidak kalah dinginnya.
"Apa yang kau banggakan untuk meng-
hadapi Iblis Bunga Penyebar Maut, Bongkok?"
dengus Anggrek Putih yang paling banyak di-
am daripada Mawar Merah.
"Ini...!"
Begitu cepatnya si Bongkok menge-
butkan tangan kirinya ke arah Anggrek Putih, maka seketika itu juga dari telapak
tangan kirinya melesat sebuah benda hitam berbentuk
seperti anak panah kecil ke arah Anggrek Putih. Bersamaan dengan itu, tubuh si
Bongkok melesat ke arah Mawar Merah sambil mengebutkan tongkat hitam yang
terkenal dahsyat
luar biasa itu.
"Setan! Hup...!"
"Hait...!"
***** 8 Anggrek Putih dan Mawar Merah terpak-
sa harus berjumpalitan menerima serangan
cepat yang dilancarkan si Bongkok. Mereka
mengumpat begitu terlepas dari serangan
yang begitu mendadak dan cepat luar biasa.
Sedangkan si Bongkok jadi tertawa terkekeh
melihat kedua wanita ini sempat kelabakan
menghindari serangan gandanya yang begitu
cepat tak terduga tadi.
"Setan...!"
"Keparat...!"
"He he he.... Baru segitu saja sudah ke-
labakan," ejek si Bongkok diiringi tawanya
yang terkekeh. "Kurang ajar...!" geram Mawar Merah be-
rang. "Kubunuh kau, Bongkok! Hiyaaat...!"
Anggrek Putih langsung melompat sengit
menyerang si Bongkok yang masih terkekeh.
Si Bongkok jadi kegirangan melihat kedua
wanita ini memuncak amarahnya menerima
tipuan serangan yang begitu indah dan ber-
hasil baik. "Uts! He he he...!"
Manis sekali si Bongkok mengelakkan
pukulan yang dilepaskan Anggrek Putih, den-
gan meliukkan tubuh seperti seekor belut. La-lu kakinya cepat ditarik ke
belakang beberapa langkah sebelum Anggrek Putih melancarkan
serangan berikutnya. Dan pada saat itu, Ma-
war Merah sudah melambung ke udara, lalu
cepat sekali mengebutkan pedangnya ke arah
kepala si Bongkok.
Bet! "Uts!"
Lagi-lagi si Bongkok dapat menghindari
serangan Mawar Merah dengan merundukkan
kepala. Ujung pedang wanita berbaju merah
itu berkelebat sedikit di atas kepala si Bongkok. Kembali laki-laki bermuka
hitam dan bertubuh bungkuk itu menarik kakinya ke
belakang beberapa tindak. Kemudian, tong-
katnya dikebutkan di saat pedang Anggrek
Putih sudah berkelebat di depan dada.
Tring! Bunga api memercik begitu pedang
Anggrek Putih membentur batang tongkat hi-
tam si Bongkok. Cepat-cepat wanita berbaju
putih ketat itu menarik pulang pedangnya
sambil melentingkan tubuh ke belakang.
Langsung kedua kakinya dihentakkan untuk
memberi tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam ke arah dada. Begitu
cepat dan mendadak serangannya, sehingga si Bongkok
tidak sempat lagi berkelit menghindar. Cepat-cepat tongkatnya disilangkan di
depan dada, sehingga tendangan Anggrek Putih hanya
menghantam tongkat hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Anggrek Putih cepat memutar tubuh be-
gitu kakinya mendapat pijakan di tengah-
tengah batang tongkat hitam itu. Dan di saat kepalanya berada di bawah, seketika
itu juga pedangnya dikebutkan ke arah perut si Bongkok. Pada waktu yang
bersamaan, Mawar Me-
rah juga melakukan serangan dari arah bela-
kang. Pedangnya berkelebat cepat membabat
ke punggung si Bongkok.
Memang sulit menghindari serangan
yang datang secara bersamaan dari dua arah
seperti ini. Dan si Bongkok hanya dapat me-
nangkis tebasan pedang Anggrek Putih, na-
mun tidak mungkin bisa menghindari seran-
gan Mawar Merah yang datang dari arah be-
lakangnya. Tepat ketika mata pedang Mawar
Merah hampir membabat punggung si Bong-
kok, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan
putih menghajar pergelangan tangan wanita
berbaju merah itu.
Diegkh! "Akh...!" Mawar Merah terpekik agak ter-
tahan. Hampir saja pedang yang tergenggam di
tangan kanannya terlepas. Untung dia segera melompat mundur dan memindahkan
pedangnya ke tangan kiri. Entah dari mana da-
tangnya, tahu-tahu di samping kiri si Bong-
kok sudah berdiri seorang pemuda tampan
bertubuh tegap. Bajunya rompi putih. Se-
dangkan gagang pedangnya yang berbentuk
kepala burung tampak menyembul di balik
punggungnya. "Terima kasih," ucap si Bongkok sambil
melirik sedikit pada pemuda yang baru saja
menyelamatkan nyawanya.
"Lupakan saja."
"Bagaimana kau bisa tahu tempat ini,
Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si Bongkok.
"Justru itu yang ingin kutanyakan pa-
damu," sahut pemuda berbaju rompi putih
yang ternyata memang Rangga, atau bergelar
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita bicarakan saja nanti. Yang penting
sekarang, bereskan dulu iblis-iblis laknat ini,"
desis si Bongkok.
Setelah berkata demikian, si Bongkok
cepat melompat menyerang Anggrek Putih.
Sedangkan Rangga menunggu Mawar Merah
yang masih mengurut pergelangan tangan
yang terkena tamparannya tadi. Wanita ber-
baju merah menyala itu mendesis geram me-
lihat Pendekar Rajawali Sakti yang telah
menggagalkan serangannya pada si Bongkok
tadi. "Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat...!"
Sambil memaki geram, Mawar Merah melom-
pat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya berkelebat
cepat mengurung pemuda berbaju rompi putih itu.
Tapi dengan mempergunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib', Rangga berhasil mementah-
kan setiap serangan yang dilancarkan wanita yang dijuluki si Iblis Bunga
Penyebar Maut itu. *** Sementara Iblis Jubah Putih yang sudah
bisa memulihkan kesehatan tubuhnya, segera
melompat terjun ke dalam pertarungan untuk
membantu Anggrek Putih menyerang si Bong-
kok. Terjunnya Iblis Jubah Putih memberi kesempatan pada wanita itu untuk
berpindah menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dia me-
mang tidak bisa bertarung dahsyat kalau
hanya seorang diri. Kedua wanita itu memang sudah dikenal dengan serangan-
serangan ganda yang amat dahsyat luar biasa.
Kerjasama mereka dalam pertarungan
sukar dicari tandingannya. Mereka mampu
melakukan serangan secara cepat dan ber-
gantian. Bahkan terkadang melakukan seran-
gan secara bersamaan dari dua arah, yang bi-sa membingungkan lawan. Tapi kali
ini mere- ka harus bertarung melawan Pendekar Raja-
wali Sakti. Maka jurus-jurus tingkat tinggi langsung dikeluarkan. Tapi sampai
sejauh ini, mereka belum juga bisa mendesak pemuda
berbaju rompi putih itu. Bahkan beberapa
kali mereka terpaksa berjumpalitan menghin-
dari serangan-serangan balasan yang dilan-
carkan Rangga. Sementara di lain tempat, si Bongkok
kembali bertarung melawan Iblis Jubah Putih.
Sudah beberapa kali mereka bertarung, dan
selalu si Bongkok berada di atas angin. Seperti juga halnya kali ini. Baru
beberapa jurus saja pertarungan berlangsung, satu pukulan
keras menggeledek yang dilepaskan si Bong-
kok sudah membuat Iblis Jubah Putih terje-
rembab mencium tanah.
"Kau benar-benar tidak bisa diberi am-
pun lagi, Iblis Jubah Putih! Mampuslah kau
kali ini..., hiyaaat!"
Sambil menggeram dahsyat, si Bongkok
melesat tinggi ke udara. Lalu tubuhnya me-
nukik deras sambil memutar tongkatnya den-
gan kecepatan tinggi. Iblis Jubah Putih jadi kelabakan setengah mati. Cepat-
cepat pedangnya dikebutkan beberapa kali menangkis
serangan dari udara itu. Tapi tanpa diduga
sama sekali, si Bongkok melesat ke depan.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga tongkatnya dikebutkan ke
arah dada. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan si
Bongkok, sehingga Iblis Jubah Putih tidak
mampu mematahkannya. Dan....
Wuk! Cras! "Aaa...!"
Darah seketika muncrat keluar dari da-
da yang sobek terkena sabetan ujung tongkat hitam yang runcing itu. Iblis Jubah
Putih terhuyung-huyung ke belakang sambil mende-
kap dadanya yang mengucurkan darah segar.
Dan sebelum bisa menguasai keseimbangan
tubuhnya, bagaikan kilat si Bongkok sudah
kembali melompat menyerang sambil memba-
batkan tongkat ke leher laki-laki berjubah putih ini.
"Hiyaaa...!"
Bet! "Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi
mengakhiri perlawanan Iblis Jubah Putih. La-ki-laki berjubah putih panjang itu
terdiam kaku, lalu ambruk ke tanah dengan kepala
terpisah dari leher. Darah langsung mengucur keluar dari leher yang buntung tak
berkepala lagi. "Huh!" si Bongkok menghembuskan napas berat, menatap tubuh Iblis
Jubah Putih yang terbujur kaku tak bernyawa lagi.
Sebentar matanya melirik Pendekar Ra-
jawali Sakti yang masih bertarung menghada-
pi dua orang wanita yang berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut. Tampak bibirnya
menyunggingkan senyuman.
"Senang-senanglah dulu, Pendekar Ra-
jawali Sakti. Aku akan menghadapi biangnya
di dalam," ujar si Bongkok.
Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam
sekejap saja tubuh si Bongkok sudah lenyap menembus pintu masuk ke dalam
bangunan puri dari batu itu. Sementara, Rangga masih saja bertarung melawan si Iblis
Bunga Penyebar Maut. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sem-
pat juga melihat si Bongkok sudah mengakhi-
ri pertarungannya, dan melesat masuk ke da-
lam puri. Maka dia hanya tersenyum saja.
Entah apa arti senyumnya itu.
"Hhh! Buang-buang tenaga...!" dengus
Rangga dalam hati.
Seketika itu juga, Rangga mencabut pe-
dangnya. Cahaya biru berkilau seketika me-
nyemburat dari Pedang Rajawali Sakti. Dan
Rangga memang tidak ingin lagi bermain-
main dengan kedua wanita bergelar Iblis
Bunga Penyebar Maut ini. Begitu pedangnya
tercabut, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi jurus
'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaat...!"
Sungguh dahsyat sekali jurus 'Pedang
Pemecah Sukma' ini. Kedua wanita itu jadi
kelabakan, berjumpalitan menghindari teba-
san-tebasan pedang yang memancarkan sinar
biru terang menyilaukan mata itu. Anggrek
Putih mencoba menangkis pedang itu dengan
pedangnya. Tapi....
Trang! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya wanita itu begi-
tu melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian. Dan belum juga rasa
keterkejutannya
hilang, mendadak saja Rangga sudah memu-
tar tubuhnya sambil menusukkan pedang
dengan kecepatan tinggi. Anggrek Putih jadi terbeliak tak mampu menghindar.


Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika ujung Pedang Rajawali Sakti menusuk tepat
jantungnya. "Aaa...!" Anggrek Putih menjerit keras.
Darah seketika muncrat dari dada yang
tertembus pedang. Hanya sebentar wanita
berbaju putih ketat itu mampu berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar
di ta- nah. Beberapa saat dia berkelojotan menge-
jang kaku, kemudian tak bergerak-gerak lagi
"Setan! Kubunuh kau. Hiyaaat...!"
Mawar Merah jadi geram setengah mati.
Maka dia cepat melompat sambil memba-
batkan pedang dari belakang Pendekar Raja-
wali Sakti. Tebasannya tepat mengarah ke
kepala pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi, cepat sekali Rangga merundukkan
tubuhnya, dan memutar pedang menusuk ke belakang.
Mawar Merah jadi terkejut. Dan....
Bres! "Hegkh...!"
Kedua bola mata Mawar Merah jadi
mendelik lebar. Pedang Pendekar Rajawali
Sakti tepat menghunjam jantungnya. Dengan
sekali sentak saja, Rangga mencabut pedang-
nya yang terbenam di tubuh Mawar Merah.
Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat
sambil memutar tubuhnya berbalik. Bersa-
maan dengan itu, Mawar Merah ambruk ke
tanah, dan tidak bergerak-gerak lagi.
Glarrr...! "Heh..."!"
Rangga terkejut setengah mati ketika ti-
ba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat menggelegar dari arah belakang. Begitu
terkejutnya, hingga sampai terlompat dan cepat berbalik. Kedua matanya jadi
terbeliak dan mu-
lutnya ternganga lebar hampir tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
"Hah..."!"
*** Batu-batu berterbangan ke udara diser-
tai kepulan asap hitam dari puri. Itu pun masih bercampur debu dan percikan
bunga api. Memang, bangunan puri itu tiba-tiba saja meledak bagai gunung berapi memuntahkan
la- harnya. Rangga jadi terpaku bengong melihat puri itu hancur meledak, menimbulkan
suara keras menggelegar. Akibatnya, tanah yang di-pijaknya jadi bergetar bagai terjadi
gempa. Beberapa bongkahan batu hampir saja
menimpa Pendekar Rajawali Sakti. Begitu ke-
rasnya ledakan tadi, sehingga bongkahan ba-
tu serta kepulan asap hitam dan debu mem-
bumbung tinggi ke angkasa. Tampak api ber-
kobar sangat besar dari reruntuhan bangu-
nan puri itu. "Paman Bongkok...," desis Rangga, terin-
gat kalau si Bongkok masuk ke dalam puri itu tadi. Tapi Rangga tidak bisa
berbuat apa-apa melihat bangunan puri itu sudah hancur berkeping-keping tak
berbentuk lagi. Pendekar
Rajawali Sakti hanya bisa berdiri mematung
menunggu sampai kepulan debu dan asap hi-
tam itu hilang. Sementara api masih terus
berkobar besar bagai tersiram minyak. Kea-
daan sekitarnya jadi terang benderang. Dan
udara yang semula dingin, kini berubah han-
gat oleh kobaran api yang begitu besar di antara reruntuhan batu-batu puri yang
hancur akibat ledakan tadi.
"Kakang...!"
Rangga cepat berpaling ketika menden-
gar suara memanggilnya. Tampak Pandan
Wangi dan Ki Kuwu berlari-lari menghampiri.
Mereka berhenti berlari, setelah berada di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang terjadi di sini, Kakang?" tanya
Pandan Wangi sambil memandangi mayat-
mayat yang bergelimpangan. Pandangannya
kemudian terpaku pada kobaran api yang
masih cukup besar, menimbulkan asap hitam
membumbung tinggi ke angkasa.
"Entahlah...," sahut Rangga mendesah.
"Tiba-tiba saja puri itu meledak. Dan Paman Bongkok...."
"Paman Bongkok..." Kenapa dia, Ka-
kang?" tanya Pandan Wangi terkejut menden-
gar si Bongkok disebut.
"Dia ada di dalam puri itu," sahut Rang-
ga perlahan. "Oh...," Pandan Wangi mendesah lirih.
Mereka jadi terdiam membisu meman-
dangi kobaran api yang masih cukup besar di antara tumpukan bebatuan reruntuhan
bangunan puri itu. Tak ada lagi yang berbicara.
Semuanya terdiam menunggu. Memang, tidak
ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu sampai kobaran api itu padam.
"Kakang, lihat...!" seru Pandan Wangi ti-
ba-tiba sambil menunjuk ke depan.
"Paman Bongkok...," desis Rangga begitu
matanya melihat sesosok tubuh berbaju hi-
tam, berdiri terbungkuk di seberang kepulan asap yang masih cukup tebal. Rupanya
si Bongkok masih bisa menyelamatkan diri dari
reruntuhan batu-batu puri yang hancur aki-
bat ledakan tadi.
Mereka cepat berlarian menghampiri so-
sok tubuh bungkuk yang memang tak lain
adalah si Bongkok.
"Apa yang terjadi, Paman Bongkok?"
tanya Pandan Wangi langsung.
"Di dalam puri itu banyak bahan-bahan
yang mudah terbakar, Pandan Wangi. Tadi
sewaktu aku bertempur dengannya, pukulan
orang ini nyasar ke bahan-bahan yang mudah
terbakar itu!" jelas si Bongkok sambil menunjuk sosok tubuh gemuk yang tadi
diseretnya. Mereka sungguh terkejut melihat sosok
tubuh gemuk itu. Kepalanya agak botak, dan
mengenakan baju cukup mewah yang kotor
berdebu. "Dia ini biang keladinya," jelas si Bong-
kok. "Maaf, aku tidak bisa menyelamatkan-
nya. Dia bunuh diri menelan pil beracun. Ketika aku masuk ke puri, dia langsung
menye- rang. Tapi akhirnya dia berhasil kukalahkan.
Dan seperti yang kalian lihat, aku tak mampu mencegahnya saat dia bertindak
bunuh diri."
Rangga mendekati sosok tubuh gemuk
yang tergeletak tertelungkup itu. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
setelah tubuh gemuk itu ditelentangkannya. Bahkan
Pandan Wangi dan Ki Kuwu sampai bengong.
Betapa tidak..." Mereka kenal betul pada
orang ini. "Adipati Pangkara...," desis Rangga
hampir tidak percaya.
Laki-laki gemuk yang sudah tidak ber-
nyawa itu memang Adipati Pangkara. Tentu
saja Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Kuwu su-
dah mengenalnya. Mereka benar-benar tidak
menyangka kalau Adipati Pangkara sendiri
yang menjadi dalang dari semua kerusuhan di Lembah Tangkar ini.
"Kenapa dia bisa melakukan perbuatan
memalukan ini...?" desah Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Emas," sahut si Bongkok.
"Emas..."!" Rangga menatap tajam si
Bongkok. "Ya! Emas bisa membuat orang lupa di-
ri," kata si Bongkok lagi.
Rangga memandangi si Bongkok, Pan-
dan Wangi, dan Ki Kuwu secara bergantian.
Seolah-olah Pendekar Rajawali Sakti meminta penjelasan dari semua kejadian ini.
Sungguh tidak dimengertinya atas jawaban yang diberikan si Bongkok tadi. Dan
tanpa diminta lagi, Pandan Wangi menjelaskan semuanya yang
diperoleh dari Ki Kuwu. Tapi Pandan Wangi
tidak menyangka kalau Adipati Pangkara
sendiri yang ada di balik semua peristiwa
yang berpangkal dari nafsu keserakahan un-
tuk menguasai kekayaan emas Lembah Tang-
kar. "Lalu, di mana orang-orang yang dicu-
lik?" tanya Rangga setelah bisa mengerti duduk persoalannya.
"Mereka berkumpul di pendulangan.
Aku melarang mereka keluar sampai kea-
daannya memungkinkan," sahut si Bongkok
memberitahu. "Rupanya kau lebih cepat tahu daripada
kami, Paman," puji Pandan Wangi.
"Semua persoalan tidak bisa selesai
hanya terpaku pada satu persoalan saja, Pandan Wangi. Aku sengaja mengatakan
pada ka- lian untuk meninggalkan Lembah Tangkar.
Tapi, sebenarnya aku terus menyelidiki sam-
pai ke hutan ini. Aku sendiri tidak mengira kalau Lembah Tangkar begitu kaya.
Pantas saja Adipati sendiri tergiur, dan jadi mata gelap untuk menguasainya," jelas si
Bongkok, gamblang. "Jadi, yang dipanggil Prabu Cantraka itu
sebenarnya Adipati Pangkara...?" tanya Ki
Kuwu yang sejak tadi diam saja.
"Tidak salah lagi, Ki," sahut si Bongkok.
"Dan gadis-gadis yang dikatakan untuk
tumbal...?" tanya Ki Kuwu lagi.
"Tidak ada seorang pun yang dijadikan
tumbal. Mereka semua dipaksa bekerja men-
dulang emas untuk kepentingan Adipati
Pangkara sendiri. Dan diamnya pihak kadipa-
ten, sebenarnya bukan karena takut ancaman
Prabu Cantraka, tapi karena memang sudah
diatur Adipati Pangkara sendiri. Dialah yang selama ini kita kenal bernama Prabu
Cantraka. Bukan hanya Adipati Pangkara sendiri
yang terlibat. Bahkan sebagian besar prajurit kadipaten dan para pembesar juga
terlibat. Tapi prajurit-prajurit yang berada di sini sudah kuamankan. Dan mereka dijaga
ketat oleh orang-orang yang mereka culik untuk di-pekerjakan di pendulangan," lagi-
lagi si Bongkok menjelaskan.
"Kita harus segera membersihkan Kadi-
paten Bararaja, Kakang," bisik Pandan Wangi dekat telinga Rangga.
"Biar kerajaan yang melakukan," sahut
Rangga. "Baiknya, sekarang kita bebaskan mere-
ka dulu," usul si Bongkok.
"Kau bisa tunjukkan di mana pendulan-
gan itu, Paman?" pinta Rangga.
"Tentu..., ayo ikut aku," sahut si Bong-
kok. ***** SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
1 *** *** ***** 2 *** *** ***** 3 *** *** ***** 4 *** *** *** ***** 5 *** *** *** ***** 6 *** *** ***** 7 *** *** ***** 8 *** *** ***** SELESAI Suling Emas 7 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Makam Bunga Mawar 16
^