Misteri Peramal Tua 1
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua Bagian 1
MISTERI PERAMAL TUA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Misteri Peramal Tua
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Dua ekor kuda bergerak perlahan-lahan menyusuri padang rumput yang tidak begitu
luas. Terlihat sebuah jurang yang cukup panjang, membelah sepanjang kiri padang
rumput itu. Penunggang dua ekor kuda itu dua orang gadis. Yang seorang
mengenakan baju biru muda. Pedangnya bergagang kepala seekor ular naga hitam,
dengan ikat pinggang berwarna kuning keemasan. Di balik sabuknya, terselip
sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Sedangkan gadis di sebelahnya mengenakan baju warna merah muda dengan sebilah
pedang tersampir di pinggang.
Sesekali mereka menoleh ke arah jurang, atau ke arah bukit panjang yang berada
di sebelah kanan.
Dan kini hutan di depan sana sudah terlihat
"Berapa lama lagi kita sampai di Desa Weru, Kak Pandan?" tanya gadis berbaju
merah muda memecah kebisuan yang sejak tadi melingkupi mereka.
"Sebelum senja nanti," sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan
Wangi. Dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.
Sedangkan gadis di sebelahnya lagi mengenakan baju warna merah muda, tidak lain
adalah Cempaka.
Dia adik tiri Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka sudah seharian berjalan menunggang kuda, namun belum juga menemukan
sebuah desa pun. Sedangkan kini
mereka tengah menuju Desa Weru yang tidak berapa jauh lagi dari padang rumput
ini. "Kita istirahat dulu di sini, Kak," ajak Cempaka yang sudah pegal seluruh
tubuhnya. Sejak pagi tadi, mereka berada di atas punggung kuda. Tanpa istirahat sedikit
pun. Sedangkan saat ini, matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang
terik tak begitu terasa, karena diusir oleh hembusan angin yang agak kencang,
mempermainkan rambut kedua gadis itu.
"Nanti, di tepi hutan sana," sahut Pandan Wangi seraya menunjuk hutan yang
terlihat di depan sana.
"Sudah pegal rasanya pinggangku, Kak," keluh Cempaka.
"Masih lumayan ini naik kuda, Cempaka. Biasanya aku jalan kaki," jelas Pandan
Wangi tersenyum dikulum.
Cempaka memang belum pernah mengembara,
menjelajahi rimba persilatan. Maka baru kali inilah ikut mengembara bersama
Pandan Wangi. Katanya ingin mencari pengalaman, di samping menguji ilmu-ilmu
olah kanuragan yang dimiliki. Dan sebenarnya, Pandan Wangi tidak ingin Cempaka
ikut dalam pengembaraannya mencari Pendekar Rajawali Sakti yang kini entah di
mana. Tapi adik tiri Rangga itu memaksa untuk ikut. Padahal, Pandan Wangi telah
menjelaskan kalau rintangannya tidak kecil.
Pokoknya aku harus ikut...!" sentak Cempaka ketika Itu.
Waktu itu Pandan Wangi tengah mengutarakan keinginannya pada Danupaksi untuk
mencari Pendekar Rajawali Sakti. Dan rupanya Cempaka mendengar semua percakapan itu dari
balik pintu. Maka langsung dia menerobos masuk begitu
namanya disebut. Padahal, Danupaksi telah melarang Pandan Wangi untuk berpamitan
pada Cempaka. Karena mereka tahu, Cempaka pasti akan ikut pula.
Dan ini sebenarnya memang sudah menjadi
keinginan yang mendalam di hati Cempaka untuk mengembara.
Kemunculan Cempaka yang tiba-tiba saat itu, membuat Danupaksi dan Pandan Wangi
terkejut. Terlebih lagi, gadis itu tegas-tegas mengatakan kalau akan ikut mengembara.
Mereka benar-benar merasa kecolongan, karena berbicara di dalam ruangan yang
pintunya tidak tertutup rapat. Dan sudah pasti, pembicaraan itu terdengar jelas
dari luar ruangan yang cukup besar ini.
"Kalau aku tidak boleh ikut, aku akan
mengembara sendiri," rengek Cempaka.
Danupaksi sulit menahannya lagi. Dipandangnya Pandan Wangi sambil mengangkat
kedua bahunya sedikit. Sedangkan Pandan Wangi sendiri juga tidak mencegah,
meskipun hatinya terasa berat untuk membolehkan Cempaka ikut dalam pengembaraan
nya. Karena dia tahu, betapa besar rintangan dalam mengarungi luasnya rimba
persilatan yang kejam dan penuh daya tipu licik. Terlebih lagi bagi gadis-gadis
yang baru mencobanya.
Dan memang selama seharian perjalanan Ini, belum ada kejadian yang berarti bagi
gadis itu. Tapi Cempaka beberapa kali sudah mengeluh. Sedangkan Pandan Wangi
selalu menanggapinya dengan
senyuman saja. Bisa dimaklumi, karena baru kali inilah Cempaka melakukan
perjalanan yang sesung-guhnya. Selama ini dia ikut bersama Rangga hanya
perjalanan kecil yang tidak mengandung bahaya terlalu besar. Lagi pula, Pendekar
Rajawali Sakti tidak pernah menyerahkan seluruh persoalan pada
Cempaka. "Kita istirahat di sini dulu, Kak," ajak Cempaka.
"Oh...! lya," Pandan Wangi terbangun dari
lamunannya. Mereka memang sudah sampai di tepi hutan. Dan Pandan Wangi tahu kalau tempat ini
bernama Hutan Tengkorak, tapi lebih dikenal dengan nama Rimba Tengkorak. Buat
Pandan Wangi, hutan ini memiliki kenangan tersendiri. Di sinilah pertama kali
Rangga mengungkapkan rasa cinta padanya. Satu kenangan yang manis dan tak akan
pernah terlupakan seumur hidup.
Kedua gadis itu beristirahat di tepi sungai kecil yang membatasi padang rumput
dengan Rimba Tengkorak. Mereka berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan
Wangi menepuk pinggul kuda putihnya yang tinggi dan tegap. Binatang ini hadiah
Pendekar Rajawali Sakti. Kuda putih itu melenggang ringan mendekati sungai.
Diteguknya air sungai yang sejuk banyak-banyak. Sedangkan kuda coklat yang
ditunggangi Cempaka, langsung
merumput. Kedua gadis itu duduk di tepi sungai menikmati sejuknya udara siang
ini. Angin yang berhembus lembut, membuat kelopak mata Cempaka terpejam.
Kepenatan selama seharian menunggang kuda, seakan-akan hendak dilebur di tepi
hutan ini. Namun belum juga benar-benar menikmati
istirahatnya, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara seperti orang
bertarung yang tidak seberapa jauh dari tepi hutan ini. Suara-suara itu datang
dari seberang sungai, dan jelas sekali terdengar. Pandan Wangi langsung melompat
bangkit berdiri.
"Kau tunggu di sini, Cempaka," kata Pandan Wangi
"Heh...! Aku ikut..!" sentak Cempaka.
Tapi Pandan Wangi sudah lebih cepat melesat, melompati sungai yang tidak
seberapa lebar itu.
Cempaka bergegas berdiri, dan langsung melompat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi. Sementara Pandan Wangi sudah sampai di seberang sungai,
dan langsung melesat masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Cempaka juga
langsung saja melesat ke dalam hutan begitu kakinya menjejak tanah di seberang
sungai. *** Pandan Wangi tertegun begitu sampai di satu
tempat yang tidak begitu lebat di dalam hutan ini.
Tampak sesosok tubuh telah tergeletak berlumuran darah. Di sampingnya, tampak
seorang gadis berusia sekitar lima belasan tahun tengah menangis sesenggukan
sambil menutupi wajahnya. Pandan Wangi perlahan mendekati. Ditepuknya pundak
gadis itu dengan lembut. Namun gadis itu malah tersentak dan memekik kaget
"Tidak apa-apa, Gadis Manis. Aku tidak akan menyakitimu," bujuk Pandan Wangi.
Gadis berpakaian kumal dan lusuh itu
memandangi Pandan Wangi dengan mata dipenuhi air bening. Bahunya masih
terguncang menahan isaknya yang tertahan. Saat itu, Cempaka baru saja tiba. Dia
terkejut melihat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah di depan Pandan Wangi.
Sedangkan tidak jauh di seberang sosok tubuh berlumur darah itu terlihat seorang
gadis belasan tahun tengah menangis sambil memandangi Pandan Wangi.
"Kak Pandan, ada apa...?" tanya Cempaka yang
sudah berada di samping Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu. Kudapati orang tua ini sudah tewas, dan anak ini menangis di
sampingnya," sahut Pandan Wangi.
Sebentar Cempaka memandangi laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu. Dada
dan lehernya tersayat lebar, seperti terkena sabetan senjata tajam.
Darah masih mengucur deras dari lukanya. Kemudian Cempaka memandang gadis
belasan tahun yang masih menangis terisak agak tertahan. Cempaka menghampiri
gadis itu, dan lembut sekali menyentuh pundaknya. Mungkin karena kelembutan
Cempaka, gadis itu jadi percaya kepadanya. Bahkan malah menjatuhkan dirinya ke
dalam pelukan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Maka seketika air matanya
ditumpahkan di dada Cempaka. Dibiarkan saja gadis itu membasahi bajunya, dan
malah dibelainya rambut yang hitam panjang dan ber-gelombang itu dengan lembut
sekali. Seakan-akan dia ikut merasakan apa yang tengah dirasakan gadis ini.
"Hsss..., sudah..., sudah," bujuk Cempaka mencoba meredakan tangis gadis itu.
Sementara Pandan Wangi memeriksa tubuh laki-laki tua yang tergeletak tak
bernyawa lagi. Dia sedikit tertegun melihat luka yang menganga lebar di dada dan
leher. Luka yang begitu rapi, seperti tebasan senjata tajam yang dilakukan
seorang berilmu tinggi.
Pandan Wangi meletakkan tangan laki-laki tua itu ke dada, kemudian mengusap
wajah yang sudah pucat itu. Maka mata yang mendelik jadi tertutup.
Dan mulut yang terbuka, juga mengatup kembali. Si Kipas Maut itu kemudian
menghampiri Cempaka yang sudah duduk berdampingan dengan gadis
belasan tahun itu. Dan tampaknya tangis gadis itu berhasil diredakannya,
meskipun sesekali masih terisak sesenggukan.
"Apa yang terjadi, Dik?" tanya Pandan Wangi dengan suara lembut.
"Namanya Padmi," celetuk Cempaka memberi
tahu nama gadis itu.
Pandan Wangi menatap Cempaka sebentar.
Ternyata Cempaka sudah bisa bicara dengan gadis ini. Bahkan sudah bisa
mengetahui namanya segala.
Kagum juga Pandan Wangi dengan cara pendekatan Cempaka yang begitu cepat membawa
hasil. "Ceritakan, Padmi. Apa sebenarnya yang terjadi..."
Barangkali kami berdua bisa membantumu," bujuk Cempaka dengan suara lembut.
"Ayah tidak punya musuh. Kami orang baik-baik....
Tapi kenapa ada orang yang membunuhnya...?" agak tersendat suara Padmi
menceritakan apa yang terjadi.
Tapi apa yang dikatakan Padmi belum begitu jelas bagi Pandan Wangi maupun
Cempaka. Karena Padmi tidak mengatakan, siapa pembunuh ayahnya, dan kenapa
begitu tega membunuh pencari kayu bakar itu. Namun mereka memang harus bersabar.
Tidak mungkin Padmi bisa begitu cepat menenangkan diri Sedangkan baru beberapa
saat saja dia mendapat musibah yang mengenaskan sekali.
"Siapa yang membunuhnya, Padmi?" tanya
Pandan Wangi. Padmi tidak langsung menjawab, dan hanya
menggelengkan kepalanya saja sambil menatap Pandan Wangi yang berdiri di
depannya. Gelengan kepala gadis itu sudah jelas bisa diartikan. Padmi tidak
mengetahui orang yang membunuh ayahnya
tadi. "Mukanya tidak jelas. Seluruh kepalanya ditutupi kain hitam," jelas Padmi.
Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan.
Bagi Pandan Wangi yang sudah kenyang makan asam garam dalam rimba persilatan,
sudah tidak asing lagi dengan pembunuh seperti ini. Pembunuh itu sengaja
menyembunyikan wajahnya agar tidak diketahui orang lain. Dan sudah bisa ditebak
kalau pembunuh itu mengenal korbannya. Dan yang pasti, si korban pun mengenal
pembunuh itu, sehingga mukanya perlu diselubungi agar tidak dikenali
"Di mana rumahmu, Adik Manis?" tanya Pandan Wangi lembut.
Pandan Wangi merasa tidak ada gunanya
mendesak Padmi agar menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya. Dan dia ingin
mengantarkan pulang gadis ini ke rumahnya, lalu melupakan semua yang ada di
hutan ini. Memang hanya itu yang bisa dilakukan Pandan Wangi saat ini. Dan
setelah itu Pandan Wangi ingin secepatnya bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti,
yang katanya sekarang ada di Desa Weru. Entah apa yang dilakukan Rangga di desa
kecil yang terpencil itu.
*** "Aku kasihan melihat keadaannya, Kak," kata
Cempaka sambil mengendalikan jalan kudanya agar tetap berada di samping kuda
yang ditunggangi Pandan Wangi
"Padmi maksudmu?" tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.
"lya. Dia sekarang hidup sendiri di tempat sunyi
yang terpencil begitu," kata Cempaka.
"Bukan hanya Padmi yang hidup seperti itu, Cempaka. Nanti kau juga akan melihat
kehidupan yang jauh lebih mengenaskan daripada dia," sahut Pandan Wangi dengan
bibir mengulas senyum tipis.
Cempaka diam saja. Diresapinya kata-kata yang terucap dari bibir si Kipas Maut
tadi. Gadis itu memang belum berpengalaman dalam menjelajah mayapada yang luas
dan selalu menyimpan banyak misteri ini. Tapi hatinya seperti tidak percaya
dengan apa yang baru saja dikatakan Pandan Wangi. Apakah di alam ini banyak
orang yang hidupnya begitu kekurangan seperti Padmi..." Pertanyaan ini selalu
mengganggu benak Cempaka. Dan gadis itu
merasakan adanya ketidakadilan dalam hidup ini.
Sementara dirinya selama ini selalu hidup lebih.
"Kak...," pelan sekali suara Cempaka. "Ada apa lagi...?"
"Bagaimana nanti Padmi bisa hidup ya...?"
Cempaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau ini, Cempaka.... Kenapa masih memikirkan Padmi, sih...?"
"Aku kasihan, Kak. Kenapa tadi tidak dibawa saja sekalian" Aku bisa
mengangkatnya jadi adik,"
Cempaka mengemukakan isi hatinya.
"Cempaka.... Kalau ada sepuluh orang seperti Padmi, atau mungkin ratusan, bahkan
ribuan orang, apa kau juga akan mengangkat mereka jadi adik...?"
Cempaka tidak langsung menjawab.
"Apa ada banyak orang sepertinya, Kak?"
Cempaka malah bertanya setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Bukan hanya ada, tapi banyak. Ah..., sudahlah.
Aku yakin, nanti rasa ibamu juga akan hilang sendiri,"
Pandan Wangi tidak ingin membicarakan masalah Padmi lagi.
"Tapi, Kak.... Tidak ada salahnya kan, kalau aku mengangkatnya sebagai adik?"
"Tidak. Dan jika kau mau, jemput saja," sahut Pandan Wangi.
"Sungguh...?" sinar mata Cempaka langsung
berbinar. Pandan Wangi hanya mengangguk saja dengan
bibir menyunggingkan senyuman tipis.
"Aku akan kembali, Kak. Tunggu di sini dulu...!"
seru Cempaka. "Heh..."!" Pandan Wangi terkejut.
Tapi Cempaka sudah cepat memutar kudanya dan langsung menggebahnya. Maka kuda
coklat itu melesat cepat meninggalkan Pandan Wangi yang hanya bisa terbengong.
Si Kipas Maut itu bukan saja terkejut, tapi juga keheranan akan sikap Cempaka.
Padahal tadi keinginan Cempaka ditanggapi dengan asal bicara saja. Sama sekali
tidak bersungguh-sungguh menganjurkan begitu. Namun rupanya Cempaka benar-benar
menanggapinya. Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit sambil mendesah, kemudian melompat turun
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari punggung kudanya. Gadis itu membiarkan saja kuda putih itu melenggang
menjauh mencari rumput segar untuk mengisi perutnya. Sedangkan tubuhnya sendiri
dihenyakkan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Pandan Wangi duduk di
atas akar yang menyembul dari dalam tanah. Sementara Cempaka sudah tidak lagi
terlihat "Hhh..., ada-ada saja...," desah Pandan Wangi perlahan diiringi hembusan napas
panjang. 2 "Hup...!"
Cempaka langsung melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas gadis itu
berlari menerobos pondok kecil yang sudah reyot dan hampir roboh.
Namun begitu berada di dalam, kedua bola matanya membeliak lebar.
"Biadab...!" desis Cempaka.
Seluruh darah yang mengalir di tubuh gadis itu seketika mendidih. Di hadapan
matanya tampak seorang laki-laki bertubuh besar dan kasar sedang memaksa Padmi
untuk melayani nafsu setannya.
Padmi mencoba memberontak, namun tubuhnya
yang kecil seakan-akan tenggelam dalam pelukan laki-laki itu.
"Hiyaaat..!"
Seketika itu juga Cempaka melesat cepat bagai kilat. Langsung dilontarkannya
satu pukulan keras ke tubuh laki-laki itu. Teriakan Cempaka membuat laki-laki
tinggi tegap tanpa baju itu terkejut. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu,
pukulan Cempaka sudah mendarat telak di tubuhnya.
Des! "Akh...!" laki-laki tinggi besar itu terpekik keras.
Tubuh yang besar dan kasar itu terpental, lalu menabrak dinding pondok yang
rapuh hingga jebol berantakan. Akibatnya laki-laki itu langsung tersuruk dan
bergelimpangan di luar. Cempaka tidak membiarkan begitu saja. Secepat kilat
tubuhnya melesat ke luar menerobos dinding yang hancur berantakan.
Kembali gadis itu melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Namun orang yang wajahnya penuh brewok itu, bergelimpangan ke
samping beberapa kali. Maka pukulan Cempaka hanya menghantam tanah kosong
berumput. Begitu kerasnya pukulan Cempaka, sehingga
tanah itu terbongkar, dan berpentalan ke udara.
Namun Cempaka tidak juga membiarkan laki-laki yang hendak memperkosa Padmi tadi.
Kembali tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat menerjang orang yang baru saja
bisa bangkit berdiri.
"Hiyaaat..!"
Deghk! "Uhk...!" orang itu mengeluh pendek begitu perutnya tersodok tangan yang
mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Laki-laki bertubuh kasar yang hanya mengenakan celana sebatas lutut berwarna
hitam itu terbungkuk.
Pada saat itu Cempaka kembali melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah.
Pukulan cepat menggeledek itu tak mampu dihindari lagi, telak menghantam muka
laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
Deghk! "Aaakh...!" laki-laki itu memekik keras.
Hantaman Cempaka membuat tulang hidung laki-laki itu hancur. Bunyinya begitu
keras terdengar.
Seketika itu juga darah mengucur deras dari hidung yang hancur tulang-tulangnya.
Laki-laki tinggi besar itu meraung-raung keras sambil menutupi wajah dengan
kedua tangannya. Tapi hanya beberapa saat saja dia meraung kesakitan. Kemudian
kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggeram dahsyat.
Sepasang bola matanya memerah menyorot tajam,
langsung menusuk mata indah milik Cempaka.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu berteriak
keras sambil melompat menerjang. Tangannya yang besar dan bagai palu godam itu
melontarkan pukulan keras beberapa kali secara beruntun.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun Cempaka lebih gesit lagi menghindari serangan itu. Tubuhnya berjumpalitan
sambil mengegos ke kiri dan ke kanan menghindari
serangan gencar dan beruntun. Tepat pada suatu saat, orang itu mengarahkan
pukulan ke dada, dengan cepat sekali. Cempaka melenting ke
belakang. Pada saat kaki gadis itu kembali mendarat di tanah, lalu cepat sekali
melesat kembali ke udara sambil mencabut pedangnya.
Sret! Cempaka langsung membabatkan pedangnya
kearah tubuh orang itu yang tidak sempat lagi menghindar. Maka tebasan pedang
Cempaka langsung menyabet dada lelaki tinggi besar itu.
Cras! "Aaa...!" laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah kasar itu memekik keras
melengking tinggi.
Darah langsung muncrat begitu pedang Cempaka membelah dadanya. Lebar dan dalam
sekali! Dan begitu Cempaka melayangkan satu tendangan keras, tubuh tinggi besar
itu langsung terpental ambruk ke tanah. Tak ada lagi gerakan, karena orang itu
tewas seketika begitu menghantam tanah dengan keras sekali.
Cempaka langsung memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang. Sebentar
dipandanginya orang yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi itu.
Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat masuk ke dalam pondok. Begitu cepat dan
ringan sekali gerakannya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap di dalam
pondok itu. Tanpa diketahui Cempaka, ada sepasang mata yang menyaksikan pertarungan tak
seimbang tadi. Orang itu segera melesat, meninggalkan tempat itu.
*** "Padmi...."
Bergegas Cempaka menghampiri Padmi yang
masih menangis sesenggukan. Bajunya sudah koyak, sehingga beberapa bagian
tubuhnya terlihat menyembul ke luar. Mendengar suara Cempaka, Padmi langsung
menghambur dan memeluknya.
Tangisnya langsung pecah seketika, di dalam pelukan Cempaka. Air matanya
berlinangan membasahi seluruh baju di dada gadis itu
Agak lama juga Cempaka membiarkan Padmi
menangis di dadanya. Setelah tanglsan Padmi mereda, Cempaka baru melepaskan
pelukan gadis itu. Diraihnya selembar kain yang teronggok di atas balai-balai
bambu, kemudian ditutupinya tubuh Padmi yang terbuka. Sesekali gadis kecil itu
masih terisak sesenggukan. Beberapa kali air matanya diseka, karena masih juga
mengalir. "Sudahlah, Padmi. Tak ada lagi yang meng-
ganggumu...," bujuk Cempaka menghibur.
Padmi masih sukar membuka suara. Peristiwa yang terjadi barusan, membuatnya
begitu terpukul.
Hampir saja kehormatannya dirampas oleh seorang laki-laki kasar. Untung saja
Cempaka segera datang
menolong. "Sudah. Sekarang, bereskan pakaianmu, lalu pergi," kata Cempaka tidak tahan
mendengar tangisan terus-menerus.
Padmi masih diam saja. Terpaksa Cempaka yang membereskan pakaian gadis itu, lalu
mem-bungkusnya dengan selembar kain lusuh yang sudah pudar warnanya. Sementara
Padmi masih saja duduk di balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar
pandan. Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Padmi seperti orang
linglung saja. Dihampirinya gadis itu, lalu duduk di sampingnya.
"Yuk..," ajak Cempaka lembut
Sebentar Padmi memandangi Cempaka, kemudian merapikan dirinya. Pakaiannya yang
koyak segera digantinya. Sementara Cempaka sudah melangkah ke luar pondok itu.
Masih sempat terlihat olehnya mayat laki-laki kasar yang tergolek berlumuran
darah. Tak berapa lama kemudian, Padmi keluar. Gadis itu agak bergidik melihat
mayat yang tergeletak tidak jauh dari pondoknya.
"Ayo...!" ajak Cempaka seraya menggamit tangan gads itu.
Mereka kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan pondok itu. Cempaka
menuntun kudanya, karena tidak mungkin menunggang kuda sama-sama.
Padmi menolehkan kepalanya memandang mayat yang tergeletak tidak jauh dari
pondoknya. "Kau yang membunuhnya, Kak Cempaka?" tanya Padmi dengan suara yang agak
tertahan. Cempaka menganggukkan kepalanya.
"Tapi...," suara Padmi terputus.
"Sudahlah, jangan kau pikirkan," potong Cempaka.
"Dia banyak temannya, Kak Aku takut..." keluh
Padmi. Cempaka menatap Padmi dalam-dalam. Memang
sudah diduga kalau orang itu pasti ada temannya.
Dan ini memang yang diinginkan. itu berarti dalam pengembaraannya akan
didapatkan tantangan yang memang sedang diharapkannya.
"Kau naik kuda ini, Padmi," ujar Cempaka.
"Aku.."!" Padmi terkejut
Seumur hidup dia belum pernah naik kuda.
Dipandanginya Cempaka dan kuda coklat itu
bergantian. Sedangkan Cempaka tidak ingin berlarut-larut. Langsung direngkuhnya
pinggang gadis itu, lalu dinaikkan ke atas punggung kudanya. Padmi terpekik
tertahan, namun tahu-tahu sudah berada di
punggung kuda coklat itu. Sebelum Padmi menyadari apa yang terjadi, Cempaka
sudah berlari kencang sambil memegangi tali kekang kudanya. Kuda coklat itu
langsung saja melesat kencang mengikuti lari Cempaka yang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
"Ah...!" Padmi terpekik keras.
Dia terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya direbahkan ke punggung kuda itu, dan
dipeluknya leher kuda kuat-kuat Sungguh dia tidak ingin mati terlempar dari
punggung kuda yang berlari kencang.
Padmi tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia tidak tahu kalau Cempaka berlari
cepat sekali di depan kudanya. Padmi hanya bisa merasakan
tubuhnya berguncang-guncang terombang-ambing di atas punggung kuda yang berlari
kencang bagai dikejar setan.
*** "Kak...! Kak Pandan..!" Cempaka mengguncangguncang tubuh Pandan Wangi yang
tertidur di bawah pohon.
Pandan Wangi hanya mengeluh sedikit, dan membuka matanya perlahan. Tubuhnya
digeliatkan sebentar, lalu beranjak bangkit duduk bersandar di pohon.
Pandangannya langsung mengarah pada Padmi yang berada di punggung kuda Cempaka.
"Ayo, Kak. Cepat tinggalkan tempat ini," ajak Cempaka.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya, bermalam saja di sini," kata Pandan Wangi malas.
"Jangan, Kak. Kita berkuda cepat saja, pasti sampai di Desa Weru sebelum gelap,"
sergah Cempaka.
"Untuk apa cepat-cepat..?"
"Kak...!" sentak Cempaka sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Mau tidak mau Pandan Wangi berdiri juga. Tapi keningnya berkerenyut melihat raut
wajah Cempaka yang agak menegang. Tidak biasanya adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu begitu tegang. Macam-macam pikiran langsung berkecamuk dalam benak si
Kipas Maut itu.
"Ayo, Kak. Cepat..!" desak Cempaka memaksa.
"Ada apa, sih..." Kok tidak biasanya...."
"Sudahlah, Kak. Nanti akan kujelaskan," potong Cempaka cepat
Pandan Wangi memandangi Cempaka daiam-
dalam, kemudian beralih memandang Padmi yang masih saja duduk di punggung kuda
coklat. Sementara itu Cempaka sudah melompat naik ke punggung kudanya di depan Padmi.
Dan disuruh Padmi memegang pinggangnya kuat-kuat Sedangkan
Pandan Wangi masih memandangi saja. Dia yakin kalau ada sesuatu yang telah
terjadi, sehingga membuat Cempaka begitu tegang.
"Cepat sedikit, Kak..!" sentak Cempaka tidak sabar.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit,
kemudian melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Pada saat itu, Cempaka sudah
cepat menggebah kudanya. Maka Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, menyusul
Cempaka yang sudah jauh bersama Padmi. Pandan Wangi mensejajarkan lari kudanya
di samping kuda Cempaka.
"Ada apa, Cempaka" Kenapa begitu tergesa-
gesa?" tanya Pandan Wangi masih penasaran dengan sikap Cempaka yang tidak
biasanya begini.
"Aku habis membunuh orang," sahut Cempaka.
"Apa..."!" Pandan Wangi tersentak kaget
Hampir tidak dipercaya, apa yang baru saja didengamya. Dia juga merasa heran,
dan jadi geli mendengamya. Hanya karena baru saja membunuh orang, Cempaka jadi
tegang begini! Padahal bukan sekali ini Cempaka melakukannya. Entah sudah berapa
nyawa melayang di tangan gadis itu. Dan..., sungguh Pandan Wangi tidak bisa
memahami sikap Cempaka yang seperti baru saja melakukan
perjalanan dan menewaskan orang.
"Dia hampir saja memperkosa Padmi Aku tidak bisa mengendalikan diri, Kak. Orang
itu tewas oleh pedangku," kata Cempaka mencoba menjelaskan persoalannya.
"Ada berapa orang?" tanya Pandan Wangi sambil menahan rasa geli yang menggelitik
hatinya. "Satu," sahut Cempaka.
"Hanya satu..."!" kembali Pandan Wangi ter-
cengang. Ini merupakan hal yang sungguh luar biasa pada diri Cempaka. Hanya satu orang
saja yang tewas, dia sudah begitu tegang. Si Kipas Maut itu tidak percaya kalau
Cempaka yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi belum pernah bertarung dan
menewaskan lawannya. Sudah pernah didengarnya semua tentang diri Cempaka. Baik
gadis itu sendiri yang menceritakannya, maupun Rangga.
Dan Pandan Wangi bisa menilai kalau Cempaka termasuk gadis yang agak liar juga.
Persis dengan dirinya dulu, yang tidak pernah bisa mengendalikan diri jika sudah
bertarung. "Cempaka, kenapa kau jadi ketakutan begitu...?"
tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan keheranannya.
"Siapa bilang aku takut.."!" sentak Cempaka.
"Itu...."
"Aku hanya ingin menghindar dari teman-
temannya. Mereka pasti berjumlah banyak, dan tentunya aku tidak ingin mati di
sini sebelum bertemu Kakang Rangga," Cempaka beralasan.
"Berapa orang temannya?" tanya Pandan Wangi tersenyum.
Pandan Wangi tahu kalau Cempaka hanya
beralasan saja untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Tapi dia juga tidak
percaya kalau Cempaka merasa takut hanya karena baru
menewaskan satu orang, lalu teman-teman orang itu akan membalas kematiannya.
"Tidak tahu," sahut Cempaka pendek
"Ah! Sudahlah, Cempaka. Perlambat sedikit lari kudamu. Tuh, Desa Weru sudah
kelihatan," kata Pandan Wangi masih menganggap persoalan yang
dihadapi Cempaka bukan persoalan gawat
Tapi rupanya Cempaka memperlambat juga lari kudanya. Dan memang, Desa Weru sudah
terlihat tidak berapa jauh lagi di depan. Sedangkan saat ini, matahari sudah
begitu condong ke Barat. Cempaka memperkirakan sebelum matahari tenggelam pasti
sudah sampai di desa itu. Dan tinggal mencari penginapan untuk melepaskan urat
syaraf yang menegang.
Namun begitu mereka memperlambat laju kuda, mendadak saja dari arah belakang
terdengar teriakan-teriakan keras, disertai derap kaki kuda yang dipacu cepat.
Cempaka dan Pandan Wangi langsung berpaling ke belakang. Dan mereka terkejut
bukan main begitu di belakang mereka terlihat sekitar dua puluh orang berbaju
hitam berpacu cepat menuju ke arah mereka. Tampaknya semua mengacungkan
golok ke atas kepala sambil berteriak-teriak keras menggetarkan hati siapa saja
yang mendengamya.
"Mereka datang...," desis Padmi bergetar dengan wajah langsung pucat pasi.
"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Orang yang hendak membalas kematian temannya padaku," sahut Cempaka, agak
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin nada suaranya.
Pandan Wangi memandangi Cempaka beberapa
saat, kemudian cepat melompat turun dari kudanya.
Cempaka bergegas mengikuti. Sedangkan Padmi masih tetap berada di punggung kuda
coklat milik Cempaka. Sementara orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat
saja. Bumi yang dipijak, seakan-akan bergetar oleh hentakan kaki kuda yang
dipacu cepat, menciptakan debu yang mengepul tinggi ke angkasa.
"Kita hadapi mereka, Cempaka," kata Pandan
Wangi. "Yaaah...," Cempaka hanya mendesah panjang saja.
Sebenarnya ini yang diharapkan. Tapi begitu melihat jumlah mereka yang begitu
banyak, hatinya agak ciut juga. Sungguh tidak disangka kalau akan menghadapi
orang begini banyak. Meskipun sudah pernah menghadapi keroyokan dan berbagai
macam pertarungan, tapi selama itu dia bersama Rangga.
Sedangkan sekarang ini sama sekali tidak ada Pendekar Rajawali Sakti. Dan
Cempaka memang agak gentar juga jika bertarung tanpa ada Pendekar Rajawafi Sakti
di sampingnya, meskipun sekarang ini ada si Kipas Maut yang berkepandaian
tinggi. Namun Cempaka tidak akan merasa tenang,
karena memang sudah demikian bergantung pada Pendekar Rajawali Sakti. Satu sikap
yang sebenarnya tidak perlu terjadi, tapi Cempaka tidak bisa menghilangkannya.
Hatinya sudah begitu terpatri, sehingga tidak ada yang bisa dikagumi. Tidak ada
yang bisa dijadikan panutan dan kepercayaan diri selain Pendekar Rajawali Sakti.
Kini semua ketergantungan itu sangat dirasakan sekali di saat harus berhadapan
dengan orang-orang yang akan membalas kematian temannya.
*** "Itu dia orangnya...!" terdengar teriakan keras dari orang-orang berbaju hitam
itu. Tampak salah seorang yang berkuda paling depan, menunjuk ke arah Cempaka dan
Pandan Wangi yang sudah siap menghadapi mereka. Orang itulah yang menyaksikan
pertarungan Cempaka tadi melawan
orang yang hendak memperkosa Padmi. Gerombolan orang berbaju hitam itu langsung
berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, langsung mengepung Cempaka
dan Pandan Wangi. Mereka seakan-akan tidak mempedulikan keberadaan Padmi yang
berada di punggung kuda coklat milik Cempaka.
Salah seorang dari dua puluh laki-laki yang semuanya menghunus golok, melangkah
ke depan beberapa tindak. Pandan Wangi mengamati laki-laki bertubuh tinggi tegap
yang wajahnya penuh cambang dan kumis melintang, sehingga menutupi bibirnya yang
tebal. Dadanya seperti sengaja dibuka, seakan-akan hendak memamerkan dada yang
berbulu tebal itu.
"Siapa di antara kalian yang membunuh anak buahku?" besar dan berat sekali suara
orang itu. "Aku," sahut Pandan Wangi mendahului.
Cempaka agak terkejut, dan sempat menatap
Pandan Wangi dalam-dalam. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena laki-laki
tinggi besar itu sudah mempercayai jawaban Pandan Wangi.
"Kau berhutang nyawa padaku, Nisanak," desis orang itu dingin.
"Anak buahmu terlalu kurang ajar, dan terpaksa kuberi pelajaran!" sahut Pandan
Wangi ketus. "Bagus...! Dan sekarang kau yang akan kuberi pelajaran, Bocah Sombong!"
Setelah berkata demikian, ujung jarinya dijentikkan. Dan seketika itu juga,
orang-orang yang sudah berkeliling mengepung itu langsung berlompatan.
Sambil berteriak keras, mereka mengibaskan goloknya yang berkilatan tertimpa
cahaya matahari senja. Pandan Wangi bergegas melompat sambil meliukkan tubuhnya
menghindari sambaran golok
yang begitu cepat mengarah ke pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, Cempaka
langsung mencabut pedangnya.
Trang! Pedang Cempaka langsung beradu dengan sebilah golok yang hampir membelah
dadanya. Namun gadis itu cepat memutar pedangnya. Seketika dibabatnya leher
salah seorang berbaju hitam yang berada di samping kanannya.
Cras! "Aaa...!" satu jeritan melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya satu orang
dengan leher sobek terbabat pedang Cempaka.
Tak ada yang sempat memperhatikan, karena
Cempaka sudah kembali bergerak cepat sekali.
Pedangnya dikibaskan, membabat orang-orang yang mengeroyok dengan senjata golok.
Teriakan-teriakan keras pertempuran, bercampur denting senjata yang terdengar
membahana. Dan itu pun masih ditingkahi pekikan melengking tinggi dari orang-
orang yang terkena sambaran pedang Cempaka. Dalam waktu tidak berapa lama saja,
sudah tiga orang yang tergeletak tak bernyawa.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengeluarkan senjata mautnya berupa kipas baja
putih yang ujung-ujungnya berbentuk runcing. Senjata itu siap mengancam nyawa
siapa saja yang berada dekat dengannya. Pandan Wangi sendiri sudah merobohkan
lima orang yang mengeroyoknya. Kipas baja putih yang menjadi senjata andalannya
berkelebat cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
Memang, kedua gadis itu bukanlah tandingan gerombolan kecil yang hanya memiliki
kepandaian rendah seperti ini. Sehingga tidak heran jika dalam
waktu sebentar saja, sudah separuhnya yang tergeletak tak bernyawa lagi. Udara
senja yang temaram ini jadi sesak oleh bau anyir darah yang menggenang dari
tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
"Lariii..!" tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.
Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam yang kini jumlahnya tinggal sekitar
tujuh orang lagi berlompatan kabur. Mereka bergegas melompat ke punggung kuda
masing-masing dan cepat menggebahnya. Pandan Wangi dan Cempaka berdiri tegak
memandangi mereka yang kabur dengan cepat
"Hhh...i Benar-benar suatu pengalaman baru...!"
desis Cempaka. Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya. Langsung saja dia
melompat naik ke punggung kudanya. Cempaka sendiri malah mengambil kuda yang
ditinggalkan orang-orang itu.
Tak berapa lama kemudian, tiga kuda sudah bergerak cepat meninggalkan tempat
itu. Cempaka menuntun tali kekang kudanya yang ditunggangi Padmi, karena gadis
itu tidak bisa menunggang kuda.
*** 3 Desa Weru memang bukan sebuah desa yang indah dan ramai. Letaknya pun sangat
terpencil, dan terlalu dekat dengan Rimba Tengkorak. Jarang orang datang ke desa
ini, kecuali mereka yang sedang menempuh perjalanan jauh. Untung saja Pandan
Wangi dan Cempaka masih bisa memperoleh penginapan yang cukup lumayan. Biasanya,
mereka yang datang sudah kemalaman, sukar sekali mendapatkannya.
Pandan Wangi yang sudah beberapa kali singgah di desa ini, cukup dikenali oleh
pemilik rumah penginapan. Sehingga, tidak ada kesulitan baginya mendapatkan
tempat bermalam yang layak. Ki Jantar, pemilik rumah penginapan ini memberi
Pandan Wangi kamar yang biasa ditempatinya jika menginap di sini. Seperti
biasanya, si Kipas Maut itu selalu melewatkan malam di kedai Ki Jantar yang
letaknya di depan penginapan.
"Lama sekali Den Ayu tidak datang ke sini," kata Ki Jantar seraya meletakkan
minuman yang dipesan Pandan Wangi.
"Banyak kesibukan, Ki," sahut Pandan Wangi seraya melirik Cempaka yang duduk di
seberang meja ini.
"Tapi, kenapa tidak bersama-sama Den Rangga?"
tanya Ki Jantar.
"Ki Jantar juga kenal Kakang Rangga...?" Cempaka agak heran juga, karena pemilik
kedai dan penginapan ini juga mengenal Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang tidak kenal Den Rangga, Den Ayu.
Semua orang di desa ini mengenalnya dengan baik,"
sahut Ki Jantar. Nada suaranya terdengar agak bangga.
"Ki...!" terdengar suara panggilan yang keras. "Oh, sebentar...."
Bergegas Ki Jantar meninggalkan meja yang
ditempati Pandan Wangi dan Cempaka. Saat itu Pandan Wangi sempat melirik orang
yang memanggil Ki Jantar dengan suara keras sekali. Seorang laki-laki tua yang
mungkin sebaya Ki Jantar, atau mungkin juga lebih tua. Pada saat yang sama,
laki-laki tua berbaju warna putih yang tongkatnya bersandar di sampingnya itu
juga melirik ke arah Pandan Wangi.
Agak terkesiap juga si Kipas Maut itu saat pandangannya tertumbuk pada lirikan
laki-laki tua itu.
Buru-buru Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Kedai ini memang
tidak terlalu ramai.
Hanya ada beberapa pengunjung saja yang datang ke sini. Dan rata-rata, mereka
adalah pendatang yang kebetulan saja singgah di Desa Weru ini.
"Padmi sudah tidur, Cempaka?" tanya Pandan Wangi setelah melirik kembali pada
laki-laki tua berbaju putih itu
"Sudah. Katanya lelah sekali," sahut Cempaka seraya menikmati minumannya.
Pandan Wangi kembali melirik laki-laki tua berbaju putih yang rambutnya sudah
memutih semua itu.
Agak heran juga dia, karena laki-laki tua itu sejak tadi tidak lepas
memandanginya terus. Pandan Wangi mencoba mengingat-ingat, kalau-kalau pernah
bertemu dengannya. Tapi dia begitu yakin kalau tidak pernah bertemu sebelumnya.
Namun sepertinya ada sesuatu pada dirinya sehingga laki-laki tua itu terus
memperhatikan. "Kak..."
Pandan Wangi menatap Cempaka.
"Ada apa?"
"Sepertinya Kakang Rangga tidak ada di sini," kata Cempaka dengan suara agak
berbisik. "Mungkin...," sahut Pandan Wangi.
"Kata Ki Jantar, semua orang di sini mengenal dengan baik. Pasti mereka tahu
kalau Kakang Rangga ada di sini," kata Cempaka lagi. "Apa mungkin dia akan
datang ke sini, Kak?"
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah
tersenyum saja. Memang jarang sekali bagi seorang pendekar kelana menginjakkan
kakinya pada satu tempat untuk kedua kalinya. Kalau toh itu dilakukan, pasti
karena kebetulan saja. Apalagi Pandan Wangi tahu betul, kalau Rangga tidak
pernah merencanakan suatu perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti akan berada di
mana saja sekehendak hatinya.
"Kak Pandan tahu dari mana kalau Kakang
Rangga akan ke sini?" tanya Cempaka lagi.
"Hanya perasaan saja," sahut Pandan Wangi.
"Kalau tidak ada di sini?"
"Ya, cari terus," sahut Pandan Wangi setengah bergurau.
"Hhh.... Bisa makan waktu, Kak...," keluh
Cempaka. "Kenapa mengeluh" Bukankah kau sendiri yang ingin ikut, Cempaka...?" gurau
Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak mengeluh. Hanya saja...," Cempaka tidak meneruskan kalimatnya.
"Hanya apa?"
Tapi Cempaka tidak menjawab. Dicoleknya
punggung tangan Pandan Wangi dan dikerdipkan
sebelah matanya. Pandan Wangi berpaling sedikit, dan agak tersentak kaget begitu
tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih.
Tampak tongkat kayu berwarna coklat kemerahan tergenggam di tangannya.
Yang membuat Pandan Wangi terkejut adalah laki-laki tua inilah yang tadi sempat
menjadi perhatiannya.
Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan
kepalanya sedikit. Pandan Wangi dan Cempaka membalas dengan anggukan kepala
sedikit juga. Kedua gadis itu agak keheranan atas kedatangan orang tua yang tidak dikenal sama
sekali. "Apakah Nisanak yang bernama Pandan Wangi?"
tanya orang tua itu dengan suara yang dibuat lembut dan sopan.
"Benar...," sahut Pandan Wangi keheranan.
"Boleh aku duduk di sini sebentar?" pinta orang tua itu.
Pandan Wangi memandang Cempaka sebentar
sebelum mempersilakan laki-laki tua ini duduk di bangku kosong yang ada di
sampingnya. Dengan sikap sopan, orang tua itu duduk di kursi kosong itu.
Tongkatnya disandarkan di tepi meja. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka saling
berpandangan saja. Mereka tidak mengerti dan terus bertanya-tanya dalam hati
atas kemunculan orang tua ini.
*** "Maaf, siapa sebenarnya Kisanak ini?" tanya
Pandan Wangi. "Aku hanya orang tua yang kebetulan bisa melihat kehidupan dan kematian
seseorang," sahut orang tua itu dengan bibir terus menyunggingkan senyum.
Pandan Wangi dan Cempaka kembali saling berpandangan dengan kening berkerut agak
dalam. Kemudian mereka sama-sama memandangi laki-laki tua berbaju putih yang tidak
dikenal sama sekali ini.
Sedangkan orang tua itu hanya tersenyum-senyum saja.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Cempaka
dengan nada suara curiga.
"Orang-orang memanggilku, Ki Ramal, karena aku seorang tukang ramal ulung.
Batinku bisa melihat jalan hidup seseorang tanpa diketahui orang lain,"
laki-laki tua itu memperkenalkan sambil memuji dirinya sendiri.
"Lalu, apa maksudmu mendatangi kami?" tanya Pandan Wangi yang memang sama sekali
tidak pernah bertemu laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Ramal ini sebelumnya.
"Aku melihat ada sesuatu pada dirimu, Nisanak,"
sahut Ki Ramal dengan mata tajam menatap Pandan Wangi.
"Jangan coba-coba meramalku, Kisanak!" sentak Pandan Wangi kurang senang.
"Tidak. Sama sekali aku tidak meramalmu. Tapi...,"
Ki Ramal tidak meneruskan. Sedangkan matanya semakin dalam memandangi Pandan
Wangi Mendapat pandangan begitu dalam, Pandan
Wangi jadi jengah juga. namun di balik itu, hatinya jadi penasaran dan ingin
tahu, apa yang dilihat peramal tua ini dalam dirinya.
"Apa yang kau lihat di dalam diri Kak Pandan, Ki?"
tanya Cempaka yang tidak bisa menahan penasaran di hatinya.
"Sesuatu yang gelap.... Ya..., kegelapan yang sukar untuk ditembus. Aku...,
aku...," suara Ki Ramal agak
tersendat Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan matanya agak menyipit.
Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak senang saja, tapi juga ingin tahu
kelanjutannya. Sementara Cempaka sendiri semakin terlihat penasaran.
Dipandangjnya Ki Ramal dengan wajah penasaran sekali.
"Sudah, Ki. Jangan bikin ulah macam-macam!"
sentak Pandan Wangi seraya menyembunyikan
perasaan sebenarnya.
Namun Ki Ramal masih tetap memandangi
Pandan Wangi dalam-dalam. Dan ini membuatnya jengah. Si Kipas Maut merasa tidak
senang, tapi juga penasaran. Hanya saja keingintahuannya tidak ingin
ditunjukkan. Dan sebenarnya, Pandan Wangi paling tidak suka dirinya diramal-
ramal seperti itu. Menurut-nya, ramalan hanya akan mengganggu ketenangan pikiran
saja, dan belum tentu kebenarannya.
"Oh..., sayang sekali...," desah Ki Ramal tiba-tiba.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya disertai hembusan napas
panjang. Sementara Cempaka semakin tertarik ingin tahu, apa yang dilihat peramal
tua itu. Sampai-sampai tubuhnya disorong-kan ke depan dengan sikut menekan,
bertumpu pada tepi meja.
"Ada apa, Ki?" tanya Cempaka semakin ingjn tahu saja.
"Ah.... Tampaknya nasibmu malang sekali, Nisanak Dalam beberapa hari lagi kau
akan menemui ajal..,"
tebak Ki Ramal dengan suara yang parau dan agak tersendat
"Kurang ajar...!" desis Pandan Wangi langsung memerah wajahnya.
"Maaf, Nisanak Seharusnya aku tidak berkata
demikian. Tapi semua yang kulihat mengatakan demikian. Maaf.... Maafkan aku,
Nisanak...," buru-buru Ki Ramal bangkit berdiri.
"Eh! Tunggu dulu, Ki...!" sentak Cempaka mencoba mencegah.
Ki Ramal melangkah mundur beberapa tindak.
Dipandanginya Cempaka beberapa saat. Sementara Pandan Wangi semakin tidak suka
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan laki-laki tua peramal itu.
"Sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya, jika kau tidak ingin terlibat dalam
bencana," ujar Ki Ramal pada Cempaka.
"He...!" Cempaka tersentak kaget
Tapi sebelum bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah
cepat membalikkan tubuhnya. Dia tampaknya berjalan tergesa-gesa meninggalkan
kedai ini. Sedangkan Pandan Wangi menggerutu, memaki-maki peramal itu. Gadis itu
benar-benar tidak suka diramal akan mati dalam beberapa hari ini. Sementara pada
saat itu, Ki Jantar menghampiri. Pemilik kedai ini langsung duduk di kursi,
tempat peramal tua tadi duduk.
"Apa yang dikatakan peramal tua itu tadi, Den Ayu?" tanya Ki Jantar ingjn tahu.
"Peramal edan..!" dengus Pandan Wangi kesal Si Kipas Maut itu langsung saja
beranjak bangkit.
Minumannya diteguk hingga tandas, kemudian berjalan menuju belakang. Sedangkan
Ki Jantar dan Cempaka hanya memandanginya saja.
"Ada apa dengan Den Ayu Pandan Wangi...?" tanya Ki Jantar jadi semakin ingjn
tahu. "Tidak tahu," sahut Cempaka seraya mengangkat bahunya.
"Apakah peramal itu mengatakan kalau Den Ayu
Pandan Wangi akan mati...?" tebak Ki Jantar langsung.
Cempaka terkejut bukan main, sampai-sampai memandangi pemilik kedai itu dalam-
dalam. Dugaan Ki Jantar memang tidak meleset sama sekali, dan ini yang membuat
Cempaka terkejut bukan main
"Maaf, Den Ayu. Biasanya peramal itu selalu meramalkan kematian orang. Itu
sebabnya dia dijuluki si Peramal Maut," jelas Ki Jantar buru-buru.
Cempaka tidak berkata apa-apa, lalu bergegas bangkit berdiri dan meninggalkan
kedai itu setelah membayar makanan dan minumannya lebih dulu.
Sementara Ki Jantar memandanginya sampai
Cempaka lenyap di balik pintu. Laki-laki tua pemilik kedai itu menggelengkan
kepala beberapa kali.
Terdengar tarikan napas yang dalam disusul hembusan napas kencang.
"Hhh..., kenapa harus Den Ayu Pandan Wangi yang kena ramalan peramal tua
itu...?" desah Ki Jantar terasa berat
*** Semalaman Pandan Wangi tidak bisa memicing
kan mata barang sekejap saja. Kata-kata si Peramal Maut itu selalu tergiang di
telinganya. Semalaman dia dirundung kegelisahan. Sukar baginya melupakan kata-
kata peramal tua itu. Sementara Pandan Wangi diliputi kegelisahan, Cempaka sudah
terlelap dalam tidur bersama Padmi di kamar lain. Dan mereka memang menyewa dua
kamar yang terpisah.
"Hhh...!" Pandan Wangi menghembuskan napas kuat-kuat sambil melompat bangkit
berdiri dari pembaringan.
Udara di kamar ini terasa begitu panas dan pengap sekali. Gadis itu mengayunkan
kakinya mendekati jendela kamar yang tertutup rapat. Perlahan jendela kamar itu
dibuka. Angin malam yang dingin, langsung menerobos masuk menerpa wajahnya yang
cantik. Namun belum juga Pandan Wangi menikmati
segarnya udara malam ini, mendadak saja....
Slap! "Heh..."!" Pandan Wangi tersentak kaget Cepat sekali tubuhnya dimiringkan ke
kanan ketika tiba-tiba sekali terlihat sebuah benda meluncur deras ke arahnya.
Maka benda itu lewat sedikit di depan matanya, langsung menghantam dinding.
Sedikit Pandan Wangi melirik ke arah benda yang ternyata sebatang anak panah
itu, kemudian langsung melesat melalui jendela, ke luar penginapan.
Begitu cepat dan ringan sekali lesatan si Kipas Maut, hingga tahu tahu sudah
hinggap di atas atap rumah penginapan ini. Sekejap tampak sebuah bayangan
berkelebat di dalam kegelapan malam ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuh sambil
memperguna kan ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Begitu ringan dan cepat sekali, sehingga si Kipas Maut itu lenyap dari pandangan
mata. Yang terlihat hanya bayangan biru saja yang berkelebat cepat mengejar
bayangan hitam yang bergerak cepat menyelinap dari rumah-rumah penduduk. Dan
bayangan hitam itu lenyap setelah sampai di sebuah kebun yang dipenuhi pohon
kelapa. Pandan Wangi menghentikan kejarannya begitu sampai di tempat bayangan
hitam tad menghilang.
Slap! "Hup...!"
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke atas ketika telinganya mendengar
desiran halus dari samping kanannya. Ternyata sebatang anak panah meluncur deras
ke arahnya. Anak panah itu
menancap di batang pohon kelapa setelah lewat di bawah kaki si Kipas Maut itu.
Pada saat yang sedikit itu, Pandan Wangi kembali melihat sebuah bayangan hitam
berkelebatan cepat.
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat mengejar bayangan hitam itu. Dan
setelah berputaran beberapa kali di udara, si Kipas Maut itu berhasil melewati
kepala bayangan hitam itu. Langsung kakinya mendarat tepat menghadang di
depannya. Bayangan hitam itu menghentikan larinya seketika, namun tangan kanannya
berkelebat cepat ke depan.
Bet! "Hap...!"
Pandan Wangi memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu mengibaskan tangan
kanannya sambil mencabut kipas baja putih yang terselip di pinggang.
Seketika itu juga kipas baja putih mengembang terbuka, bersamaan dengan kebutan
tangan yang memegangnya. Seketika Pandan Wangi merasakan adanya benturan keras
pada senjata mautnya itu.
Namun dengan cepat sekali kipas baja putihnya yang sempat terhentak dikuasai.
Pada saat yang bersamaan, sosok manusia berpakaian serba hitam itu melompat
menerjang sambil mencabut sebilah golok yang terselip di pinggang.
Golok yang berkilatan tertimpa sinar bulan itu, berkelebatan mengarah ke
beberapa bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan.
"Hap! Yeaaah...!"
Dengan gerakan manis sekali, Pandan Wangi
menghindari serangan golok ini. Serangan-serangan orang berbaju hitam itu memang
cepat sekali, sehingga tidak memberi kesempatan sama sekali pada Pandan Wangi
untuk bisa menarik napas sebentar saja. Bahkan tidak ada kesempatan untuk balas
menyerang. Si Kipas Maut hanya bisa
berlompatan dan berkelit menghindari serangan-serangan gencar itu. Bahkan
sepertinya orang berbaju hitam itu sengaja mau mengadu senjatanya dengan kipas
yang berada di tangan Pandan Wangi.
"Uts! Yeaaah...!"
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke udara ketika golok orang itu
menyambar ke arah kakinya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan.
Sambil memutar tubuhnya di udara, si Kipas Maut mengebutkan kipas baja putihnya
ke arah kepala orang itu. Tak ada kesempatan bagi orang berbaju hitam itu untuk
berkelit. Terpaksa kepalanya di-lindungi dengan kibasan goloknya untuk menyampok
serangan kipas baja putih itu
Trang! Trak...! "Heh..."!" orang berbaju serba hitam itu terkejut bukan main, begitu goloknya
patah jadi dua bagian setelah berbenturan dengan kipas baja putih di tangan
Pandan Wangi. Dan sebelum rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja Pandan Wangi sudah
melontarkan satu tendangan keras menggeledek ke arah orang berbaju hitam itu.
Tendangan yang cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, tak dapat
terbendung lagi.
"Hiyaaa...!"
Deghk! "Heghk..!" orang berbaju hitam itu mengeluh pendek
Tendangan Pandan Wangi tepat mendarat di
dadanya, sehingga membuat orang berbaju serba hitam itu terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak, Sedangkan Pandan Wangi yang sudah tidak memberi
kesempatan lagi, dengan cepat melompat memburu. Namun sebelum satu pukulan
dilontarkan, mendadak saja melesat sebuah benda bersinar kemerahan ke arah orang
berbaju hitam itu. Maka....
Crab! "Aaa...!" orang itu menjerit keras melengking.
"Heh..."!" Pandan Wangi terkejut
Tapi orang berbaju hitam itu sudah tergeletak di tanah dengan dada tertembus
sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna merah. Pandan Wangi berdiri tegak. Sebentar
ditatapnya orang berbaju hitam yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
Kemudian pandangannya diedarkan ke sekeliling.
Tapi sejauh mata memandang tak ada yang bisa terlihat, kecuali kegelapan malam
disertai hembusan angjn dingin menusuk kulit
"Huh...!" Pandan Wangi menghembuskan napas panjang.
*** Kaki Pandan Wangi terayun perlahan-lahan
menyusuri jalan Desa Weru yang berdebu. Saat ini pagi baru saja datang
menjelang. Dan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Hanya sinar
kemerahannya saja yang menyemburat, membias di balik bukit sebelah Timur.
Semalaman Pandan Wangi
benar-benar tidak tidur. Dia masih belum mengerti dengan penyerangan yang
dilakukan orang berbaju serba hitam semalam.
Sama sekali orang berbaju serba hitam itu tidak dikenalnya. Dan yang pasti, ada
orang lain lagi yang menginginkan kematiannya pula. Orang yang tidak diketahui
sama sekali itu seperti sengaja melenyap-kan lawan bertarung Pandan Wangi. Si
Kipas Maut itu menyesal, karena tidak sempat lagi mengorek keterangan dari
penyerangnya yang tewas dengan dada tertembus mata tombak di dadanya.
Pagi-pagi begini penduduk Desa Weru sudah
keluar dari rumahnya. Mereka yang mengenal Pandan Wangi, langsung menyapa dengan
anggukan kepala sedikit Dan Pandan Wangi membalasnya dengan ramah. Gadis itu
memang sudah beberapa kali datang ke desa ini, sehingga banyak orang yang
mengenalnya dengan baik. Saat itu terlihat seorang laki-laki setengah baya
menunggang kuda datang dari arah depan. Pandan Wangi tahu kalau dia adalah Ki
Sarumpat, Kepala Desa Weru.
"Hooop...!" Ki Sarumpat menghentikan kudanya tepat di depan Pandan Wangi yang
menghentikan ayunan kakinya.
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, kepala desa itu melompat turun dari
punggung kuda belang hitam putih yang tegap dan bagus sekali. Laki-laki setengah
baya yang mengenakan baju putih itu menghampiri Pandan Wangi. Kepalanya
terangguk sedikit, yang langsung dibalas Pandan Wangi dengan anggukan kepala
juga. "Maaf, Den Ayu. Aku baru mendengar kedatangan Den Ayu pagi ini," kata Ki
Sarumpat dengan sikap sopan dan penuh rasa hormat.
"Ah, Ki Sarumpat ini hanya merepotkan diri saja,"
kata Pandan Wangi merasa tidak enak
"Ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan jasa Den Ayu pada desa ini," kilah
Ki Sarumpat. Pandan Wangi hanya tersenyum saja, lalu mengayunkan kakinya kembali. Ki Sarumpat
mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping si Kipas Maut itu sambil
menuntun kudanya yang mendengus-dengus mengikuti dari belakang.
Pandan Wangi teringat akan kedatangannya yang terakhir di desa ini. Di sini
gerombolan begal yang menguasai desa sempat diobrak-abriknya. Itu sebabnya,
kenapa seluruh penduduk desa ini mengenal dirinya dengan baik. Bahkan ketika
datang bersama Rangga, desa ini diselamatkan dari kehancuran yang parah sekali.
Desa Weru memang juga bisa dikatakan sebuah desa yang sangat rawan, karena
letaknya yang terpencil dan jauh dari desa-desa lainnya. Jadi tak heran bila
sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri untuk
dijadikan markas mereka. Atau sering juga dijadikan tempat persembunyian bagi
tokoh hitam persilatan yang sedang dikejar-kejar pendekar.
Dan memang, setiap kali Pandan Wangi berada di desa ini, pasti ada masalah yang
selalu melibatkan dirinya. Baru semalaman saja berada di desa ini, sudah ada
orang yang hendak membunuhnya.
Pandan Wangi tidak percaya kalau kehadirannya di Desa Weru ini memang sudah
dinantikan. "Kabarnya Den Ayu datang tidak bersama Den Rangga," kata Ki Sarumpat mengisi
kebisuan yang terjadi.
"Benar, Ki. Justru aku sedang mencari Kakang Rangga ke sini," sahut Pandan Wangi
membenarkan. "Ah..., sayang sekali. Den Ayu terlambat," desah Ki Sarumpat
"Terlambat..?" Pandan Wangi tercenung.
Gadis itu sampai menghentikan langkahnya
sebentar dan memandangi kepala desa itu dalam-dalam.
Kemudian kakinya terayun kembali perlahan-
lahan. "Apakah Kakang Rangga baru dari sini, Ki?"
Tanya Pandan Wangi.
"Dua hari yang lalu," sahut Ki Sarumpat
"Dan sekarang ke mana?" tanya Pandan Wangi lagi
"Ke Bukit Tanggul. Katanya, Den Rangga akan menemui seseorang di sana. Aku
sendiri tidak tahu, siapa yang akan ditemuinya di bukit gersang itu."
Pandan Wangi kembali tercenung. Dia tahu, Bukit Tanggul adalah sebuah bukit
gersang, dan tidak ada satu tumbuhan pun hidup di sana. Bukit yang hanya terdiri
dari batu-batu cadas keras, namun mudah sekali longsor. Bukit itu juga sering
dijadikan arena pertarungan bagi tokoh-tokoh rimba persilatan yang ingin menguji
ilmu. Pandan Wangi berharap kalau kedatangan Rangga ke bukit itu tidak karena ingin
bertarung. Tapi mengingat bukit itu memang sering dijadikan arena pertarungan,
kecemasan tak bisa lagi dibendung.
Terlebih lagi, dia tahu kalau tokoh persilatan yang bertarung di sana pasti
merupakan tokoh berilmu tinggi. Bukit Tanggul memang terkenal untuk pertarungan
tokoh-tokoh tingkat tinggi!
"Ki Sarumpat tahu tujuan Kakang Rangga ke
sana?" tanya Pandan Wangi.
"Semua orang pasti sudah bisa mengetahui, Den Ayu," sahut Ki Sarumpat.
Pandan Wangi tidak perlu penjelasan lagi dari jawaban Ki Sarumpat tadi. Sudah
jelas, kedatangan Rangga ke sana pasti untuk bertarung. Tapi siapa lawannya..."
Dan yang pasti, Pandan Wangi sudah menduga kalau Pendekar Rajawali Sakti pasti
hanya memenuhi undangan. Tidak mungkin Rangga membuat tantangan, karena memang
tidak pernah membuat tantangan pada siapa pun juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
juga tidak pernah
mengecewakan orang lain yang memberikan
tantangan padanya. Rangga akan melayani walau merasa berat sekali pun.
*** 4 Pandan Wangi memacu cepat kudanya mendaki Bukit Tanggul yang berbatu dan
berkerikil tajam, siap menggelincirkan siapa saja yang mencoba melewati nya.
Sedangkan agak jauh di belakangnya, tampak Cempaka dan Padmi yang kini masing-
masing sudah menunggang kuda. Tapi Cempaka belum berani melepas Padmi berkuda
sendiri, meskipun kelihatannya gadis itu sudah bisa mengendalikan kuda. Padmi
memang cerdas, dan bisa cepat menangkap apa saja.
Hanya setengah hari saja Cempaka mengajarinya menunggang kuda, gadis itu sudah
bisa seperti penunggang kuda kawakan saja.
"Hup...!"
Pandan Wangi melompat turun dari punggung
kuda yang dihentikan dengan mendadak sekali.
Sebentar dipandanginya puncak bukit ini, kemudian pandangannya beralih pada
Cempaka yang menuntun Padmi di atas punggung kudanya. Cempaka juga bergegas
melompat turun dari punggung kudanya begitu sampai di depan Pandan Wangi, lalu
membantu Padmi turun dari kudanya. Pandan Wangi jadi agak terharu juga terhadap
Cempaka yang mau bersusah payah mengurusi Padmi yang baru
beberapa hari dikenalnya.
"Terpaksa kita tinggalkan kuda di sini," kata Pandan Wangi.
"Jalan kaki..."!" Cempaka mengerutkan keningnya.
Gadis itu memandangi puncak bukit yang masih kelihatan tinggi, kemudian beralih
pada Pandan Wangi yang saat itu juga tengah memandangi Puncak Bukit Tanggul ini.
"Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Cempaka. Aku akan melihat ke atas sana.
Mudah-mudahan saja Ki Sarumpat salah," ujar Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berapa lama kau akan ke sana?" tanya Cempaka.
"Entahlah," sahut Pandan Wangi mendesah.
Cempaka diam saja, lalu sedikit melirik Padmi.
Memang tidak mungkin membawa gadis yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan
mendaki bukit yang gersang ini. Dan kelihatannya bukit ini berbahaya sekali.
"Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Kak," kata Cempaka mengalah.
Pandan Wangi tersenyum dan menepuk pundak
Cempaka, kemudian menepuk pundak Padmi. Tanpa mengucapkan sesuatu, si Kipas Maut
itu langsung melesat cepat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerakannya sangat cepat dan ringan sekali. Maka dalam waktu sebentar saja dia
sudah jauh meninggalkan Cempaka dan Padmi.
Sementara itu Padmi terus memandangi Pandan Wangi yang semakin jauh menuju
Puncak Bukit Tanggul ini. Dia kagum dengan kepandaian yang dimiliki Pandan
Wangi. "Enak sekali ya, kalau bisa seperti itu," gumam Padmi tanpa sadar.
"Kau juga bisa, Padmi," sahut Cempaka dengan bibir menyunggingkan senyum.
Padmi tersipu malu. Ternyata gumamannya yang tidak disadari tadi didengar
Cempaka. "Kalau kau mau berlatih, pasti bisa," kata Cempaka lagi.
"Berlatih...?" Padmi memandangi Cempaka dalam-
dalam. "lya! Untuk bisa menguasai ilmu olah kanuragan, harus berlatih lebih dahulu. Dan
harus ada seseorang yang bisa memberikan latihan. Kau harus mencari seorang
guru, Padmi," jelas Cempaka.
"Bagaimana kalau Kak Cempaka sendiri yang
melatihku," kata Padmi meminta dengan polos.
Cempaka jadi tertawa geli mendengarnya. Tapi dihargainya juga keinginan Padmi
yang begitu menggebu ingin bisa ilmu olah kanuragan. Mungkin karena beberapa
peristiwa yang dialaminya, sehingga dia begitu berminat terhadap ilmu olah
kanuragan. Terlebih lagi setelah melihat pertarungan yang dilakukan Cempaka dan Pandan
Wangi. Dan sekarang, ketika melihat Pandan Wangi bisa bergerak begitu cepatnya mendaki
bukit batu yang gersang ini, Padmi semakin tertarik untuk bisa seperti itu.
Disesali kalau dirinya begitu lemah.
"Bukannya aku tidak mau, Padmi. Aku sendiri masih harus banyak belajar. Apa yang
kumiliki sekarang ini, masih jauh kekurangannya," kata Cempaka merendah.
"Aku bersedia mengabdikan diri sepenuhnya, Kak.
Aku akan melakukan apa saja yang Kak Cempaka perintahkan," tegas Padmi mantap.
"Jangan, Padmi. Sebaiknya carilah seorang guru yang pantas dan berilmu tinggi.
Aku belum pantas menjadi guru," Cempaka masih merendah.
Padmi seperti kecewa dengan penolakan Cempaka yang halus itu. Dan ini membuat
adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu semakin iba saja. Keinginan Padmi yang mau
mempelajari ilmu olah kanuragan padanya kini dipertimbangkannya.
"Nanti akan kutanyakan dulu pada Kakang
Rangga, Padmi. Kalau Kakang Rangga mengizinkan, aku akan memberimu jurus-jurus
yang kumiliki," kata Cempaka berjanji.
"Siapa itu Kakang Rangga?" tanya Padmi ingin tahu.
"Dia kakakku, tunangannya Kak Pandan," jelas Cempaka.
"Apakah Kakang Rangga juga berilmu tinggi?"
tanya Padmi lagi.
"Wah...! Sukar dikatakan, Padmi. Aku sendiri belum ada seujung kukunya bila
dibandingkan Kakang Rangga," Cempaka membanggakan kakak tirinya itu.
"Tapi sungguh ya, Kak...?" Padmi ingin penegasan Cempaka mengangguk dan
tersenyum. "Terima kasih, Kak," ucap Padmi gembira.
Lagj-lagi Cempaka hanya tersenyum saja. Dia memang juga merasa senang jika bisa
membantu kaumnya sendiri. Bahkan sebenarnya dia ingin agar wanita-wanita di
mayapada ini tidak lemah dan mampu bertindak pada laki-laki. Terutama pada laki-
laki yang biasanya suka menganggap kaum wanita yang hanya penghias saja yang
harus dinikmati sepuas-puasnya. Setelah itu, dicampakkan bagai sampah busuk
Padmi kembali diam. Namun dari sorot matanya, dia ingin sekali bertemu orang
yang bernama Rangga itu. Bahkan banyak penduduk Desa Weru yang mengenal Rangga
dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya sekadar mengenal, tapi juga
mengagumi dan menghormatinya. Padmi sendiri pun baru tahu kalau Pandan Wangi
juga memiliki julukan, yaitu si Kipas Maut. Dia tidak mengerti dengan nama-nama
yang terdengar aneh itu.
*** Sementara itu Pandan Wangi sudah sampai di Puncak Bukit Tanggul yang sangat
gersang ini. Sepanjang mata memandang, hanya batu-batu saja yang tampak. Tak ada satu
tumbuhan pun yang hidup. Hal ini membuat udara di puncak bukit ini menjadi
begitu panas menyengat bila matahari bersinar terik, Meskipun angin berhembus
kencang, tapi tidak mampu meredam panasnya sinar matahari yang menyorot langsung
tanpa penghalang sedikit pun juga.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tak ada yang bisa dilihat kecuali batu-batu yang memenuhi puncak
bukit ini. Bahkan tidak terdengar apa pun, selain hembusan angin kencang di
sekitarnya yang menebarkan debu dari batu-batu yang meranggas terpanggang. Namun
pandangan si Kipas Maut itu tertumbuk pada seberkas cahaya yang membias dari
balik sebuah batu besar di sebelah Selatan.
"Hup...!"
Cepat sekali Pandan Wangi melesat ke arah
cahaya yang membias terang di antara teriknya sinar matahari yang memancar
langsung tanpa penghalang sedikit pun juga.
"Oh...!" Pandan Wangi mendesah begitu sampai ke balik batu itu.
Tampak sekali kalau di sana sedang terjadi pertarungan adu kesaktian dari dua
orang laki-laki.
Yang seorang sangat dikenali, sedangkan yang seorang lagi tidak dikenalnya.
Tentu saja Pandan Wangi mengenali pemuda yang mengenakan baju rompi putih. Dia
memang tidak lain Pendekar
Rajawali Sakti yang nama sebenarnya adalah Rangga.
Pandan Wangi tak berani mendekat, karena tahu kalau saat ini Rangga tengah
mengerahkan ajiannya yang sangat dahsyat Aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian
yang belum ada tandingannya pada saat ini.
Dan Pandan Wangi mengetahui kedahsyatan dari ajian itu.
"Hiyaaa...!"
'Yeaaah...!"
Mendadak saja dua orang yang sedang bertarung itu sama-sama berteriak nyaring
melengking tinggi.
Dan terlihat, mereka sama-sama berpentalan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti
terpental sejauh dua batang tombak, namun manis sekali sepasang kakinya menjejak
mantap di atas bebatuan.
Sedangkan lawannya sempat bergulingan beberapa kali di atas bebatuan sebelum
melompat bangkit berdiri. Tubuhnya agak limbung sedikit, namun mampu
menguasainya dengan cepat sekali.
Pandan Wangi memandang laki-laki berusia lanjut itu tanpa berkedip. Laki-laki
tua berusia mungkin sudah mencapai delapan atau sembilan puluh tahun.
Dia mengenakan baju panjang berwarna biru tua.
"Aku mengakui ketangguhanmu, Pendekar
Rajawali Sakti," puji laki-laki tua itu sambil menyeka darah yang menetes keluar
dari sudut bibirnya.
"Kau juga patut dibanggakan, Eyang Raksa," sahut Rangga diiringi senyuman.
"Terus terang, itu tadi ilmu pamungkasku yang terakhir. Dan jika kau masih
memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi, saat ini juga aku mengaku kalah," kata
laki-laki tua yang dipanggjl Eyang Raksa itu, jujur.
Rangga tidak langsung menjawab. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti masih
memiliki ilmu-ilmu
simpanan yang didapatkan dari Satria Naga Emas.
Dan aji 'Cakra Buana Sukma' tadi merupakan ilmu pamungkasnya dari Pendekar
Rajawali yang menjadi gurunya meskipun sudah meninggal seratus tahun yang lalu.
"Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti,.." Apakah kau masih memiliki ilmu lain?"
tanya Eyang Raksa ingjn tahu.
"Tidak," sahut Rangga yang tidak ingin mengecewakan laki-laki tua ini.
"Hm.... Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti," ujar
Eyang Raksa agak bergumam. Dan nada suaranya seperti kecewa.
"Aji 'Cakra Buana Sukma' merupakan ilmu terakhir dari ilmu-ilmu Rajawali Sakti.
Dan aku tidak memiliki yang lainnya," jelas Rangga terus terang.
"Aku tahu kalau mendiang gurumu punya sahabat karib di masa hidupnya. Apakah
Satria Naga Emas tidak menurunkan sedikit ilmunya padamu...?"
Rangga agak terkejut juga. Tidak disangka kalau laki-laki tua ini mengetahui
banyak tentang Pendekar Rajawali dan Satria Naga Emas yang hidup lebih dari
seratus tahun lalu. Namun sedapat mungkin Rangga tidak ingin menonjolkan diri
kalau juga memiliki beberapa ilmu yang diturunkan Satria Naga Emas padanya.
Karena jarang sekali ilmu-ilmu dari Satria Naga Emas dalam setiap pertarungan
digunakannya. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang menggunakan ilmu-ilmu Rajawali Sakti yang
sangat sesuai dengan gelar yang disandangnya.
"Aku tahu, kau tentu punya alasan sendiri
sehingga tidak mau mengeluarkan ilmu milik Satria Naga Emas, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi kemenanganmu tetap kuakui. Dan aku menyatakan
kalah padamu sekarang juga," kata Eyang Raksa jujur.
Orang tua itu memandangi pemuda tampan
berbaju rompi putih yang telah membuatnya takluk hari ini di Puncak Bukit
Tanggul. Selama puluhan tahun bergelut di dalam ganasnya rimba persilatan, baru
kali ini dia menyatakan takluk, meskipun pada seorang pemuda.
"Jangan terlalu merendah begitu, Eyang. Aku lebih senang jika kita bersahabat,"
kata Rangga. "Kau memang benar-benar seorang pendekar
sejati, Pendekar Rajawali Sakti," puji Eyang Raksa kagum dengan kerendahan hati Rangga.
'Panggil saja aku Rangga, Eyang," pinta Rangga.
"Rangga...," gumam Eyang Raksa dengan kepala terangguk-angguk. "Nama yang
gagah...."
Rangga tersenyum saja, kemudian membalikkan tubuhnya. Tapi hatinya jadi
terkesiap begitu matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramping terbungkus baju
ketat warna biru muda. Memang sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya.
"Pandan..," desis Rangga.
*** Pandan Wangi menghampiri Rangga dengan
langkah setengah berlari. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu saja
di samping Eyang Raksa. Gadis itu berhenti setelah jaraknya sekitar tiga langkah
lagi di depan pemuda berbaju rompi putih. Sesaat mereka saling berpandangan
dengan kerinduan terpancar pada sinar mata satu sama lain. Kalau saja tidak ada
orang lain di sini, pasti Pandan Wangi sudah menghambur memeluknya
untuk melepaskan kerinduan yang terpendam di dalam dada.
"Kakang...," hanya itu yang bisa terucapkan Pandan Wangi.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini, Pandan?"
tanya Rangga. "Ki Sarumpat yang memberi tahu," sahut Pandan Wangi.
Rangga tidak bertanya lagi. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah mengatakan
akan ke bukit ini pada Ki Sarumpat, Dan dia memang sempat singgah di Desa Weru
sebelum datang ke sini. Tapi
maksudnya ke bukit ini memang tidak diberitahu-kannya.
Rangga kemudian memperkenalkan Pandan
Wangi pada Eyang Raksa. Seorang tokoh tua yang hanya ingin menguji ilmu
dengannya. 'Kau beruntung bisa dekat dengan pendekar
tangguh berhati emas, Nisanak," puji Eyang Raksa.
"Sudahlah, Eyang. Jangan terlalu banyak memuji.
Bisa besar kepala nanti aku...," seloroh Rangga.
Mereka tertawa lepas mendengar seloroh
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan suasana kaku cepat terusir dari diri masing-
masing. Hanya saja Rangga tidak mengerti akan kedatangan Pandan Wangi yang
begitu tiba-tiba ini. Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi tidak membawa
sesuatu, hingga jauh-jauh datang dari Karang Setra ke Bukit Tanggul ini.
Mereka kemudian berjalan perlahan tanpa ada yang bisa dijadikan alasan untuk
bergegas meninggalkan Puncak Bukit Tanggul ini. Namun begitu sampai di lereng
bukit, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun melihat dua orang gadis yang
kelihatannya sedang menunggu dirinya. Rangga mengenali gadis
yang satunya lagi, dan ini membuatnya jadi memandang Pandan Wangi seperti minta
penjelasan. Dan semakin diyakini kalau ada sesuatu, sehingga Pandan Wangi dan Cempaka jauh-
jauh datang mencarinya. "Nanti aku jelaskan," kata Pandan Wangi bisa mengerti pandangan Rangga.
"Rangga, sebaiknya aku pergi saja. Barangkali ada persoalan pribadi yang hendak
kau sampaikan," kata Eyang Raksa tahu diri.
Rangga tidak sempat lagi mencegah, karena Eyang Raksa sudah cepat melesat
meninggalkannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja
bayangan laki-laki tua itu sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga kembali
melangkah agak cepat menghampiri Cempaka yang menunggu bersama Padmi. Sementara
Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
"Kakang...."
Cempaka langsung menghambur memeluk
Rangga. Sikap Cempaka ini membuat Rangga agak gelagapan juga. Gadis itu selalu
saja bersikap begitu bila bertemu dengannya. Tidak dipedulikan lagi kalau di
sekitarnya ada orang lain. Perlahan Rangga melepaskan pelukan adik tirinya ini.
Dan kalau didiamkan saja, Cempaka tidak akan melepaskan pelukannya. Rangga tahu
betul hal ini. "Oh, iya.... Ini Padmi, Kakang. Aku membawanya karena sudah tidak punya siapa-
siapa lagi," Cempaka langsung mengenalkan Padmi pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti pun memegang tangan Padmi dan menepuk-nepuk bahunya.
Kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di samping sebelah kanannya.
"Jangan salahkan Kak Pandan, Kakang. Aku
sendiri yang mau ikut Kak Pandan dan Kakang Danupaksi sudah melarangku," jelas
Cempaka cepat, seakan-akan sudah merasakan kalau Rangga akan menyalahkan Pandan
Wangi karena membawanya.
"Ada apa sampai menyusulku ke sini?" tanya Rangga langsung.
"Hanya kangen saja, kok," celetuk Cempaka
menyahuti dengan cepat
Rangga menatap Cempaka sebentar, kemudian
beralih pada Padmi. Pandangannya kemudian
berhenti pada Pandan Wangi. Dia tahu kalau tidak akan mungkin bisa mendapatkan
jawaban berarti dari Cempaka. Dan hanya Pandan Wangi yang benar-benar bisa
diajak bicara. Itu pun kalau Pandan Wangi tidak kumat dengan sikapnya yang dulu
lagi. "Ada apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Hanya sedikit persoalan saja, Kakang," sahut Pandan Wangi
"Persoalan apa?" desak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau ada sesuatu yang sangat berat sehingga kedua
gadis ini mencarinya jauh-jauh. Dan yang pasti, persoalan itu harus diselesaikan
oleh dirinya sendiri. Rangga sudah merasa yakin sekali.
"Jelaskan, Pandan. Aku tidak ingin bertele-tele,"
desak Rangga. "Nanti saja, Kakang. Masih banyak waktu...," ujar Cempaka seraya menggamit
lengan Pendekar
Rajawali Sakti dan memeluknya dengan sikap manja.
Dan Rangga tidak bisa lagi melakukan sesuatu saat Cempaka sudah menariknya
berjalan menuruni lereng bukit ini. Sementara Pandan Wangi hanya menarik napas
panjang saja. Diambilnya tali kekang,
lalu berjalan sambil menuntun kuda putih itu.
Sementara Padmi terpaksa menuntun dua ekor kuda tanpa mengeluh sedikit pun juga.
Pandan Wangi memandangi Cempaka yang ber-
jalan di depan sambil memeluk lengan Rangga. Sikap gadis itu manja sekali. dan
Pandan Wangi sebenarnya iri melihatnya. Dia ingin sekali bermanja-manja begitu
pada Rangga, tapi tidak mungkin bisa dilakukan di depan orang lain. Sedangkan
kesempatan untuk mereka berdua terbatas sekali. Sepertinya tidak ada waktu bagi
Pandan Wangi untuk menunjukkan rasa cintanya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang ada sedikit kecemburuan di hatinya. Tapi harus disadari kalau Cempaka
adalah adik tiri Rangga. Dan tidak mungkin ada hubungan lain di antara mereka
selain hubungan kakak dan adik.
Memang diakui oleh Pandan Wangi kalau sikap Cempaka terasa terlalu berlebihan.
"Ahhh...," Pandan Wangi mendesah panjang.
*** 5 Pandan Wang; memandangi laki-laki tua berbaju putih yang bernama Ki Ramal atau
berjuluk si Peramal Maut. Peramal tua itu tengah asyik berbicara dengan seorang
laki-laki bertubuh gemuk dan berpakaian indah. Melihat dari pakaiannya, Pandan
Wangi menduga kalau laki-laki gemuk itu seorang saudagar yang kebetulan singgah
di desa ini. "Kasihan saudagar itu...."
Pandan Wangi berpaling ketika mendengar suara yang begitu dekat di sampingnya.
Entah dari mana, tahu-tahu Ki Jantar sudah berada di sampingnya.
Laki-laki tua pemilik kedai ini seperti tidak tahu kalau Pandan Wangi tengah
memandanginya. "Kenapa kau berkata seperti itu, Ki?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
'Pasti bakal ada yang mati lagi," sahut Ki Jantar setengah bergumam.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi tidak mengerti.
"Si Peramal Maut itu pasti sedang meramal
kematian Saudagar Kanta. Hhh..., bakalan kehilangan satu pelanggan lagi," keluh
Ki Jantar. "Jangan percaya dengan ramalannya, Ki," kata Pandan Wangi. Karena dirinya
sendiri juga diramal bakal mati oleh Peramal Maut, tapi sampai sekarang masih
bisa bernapas. Ki Jantar berpaling menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya. Pandan Wangi
menggeser duduknya memberi tempat pada pemilik kedai dan rumah penginapan ini.
Ki Jantar menempatkan diri di
samping si Kipas Maut itu.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15 Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 5
MISTERI PERAMAL TUA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Misteri Peramal Tua
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Dua ekor kuda bergerak perlahan-lahan menyusuri padang rumput yang tidak begitu
luas. Terlihat sebuah jurang yang cukup panjang, membelah sepanjang kiri padang
rumput itu. Penunggang dua ekor kuda itu dua orang gadis. Yang seorang
mengenakan baju biru muda. Pedangnya bergagang kepala seekor ular naga hitam,
dengan ikat pinggang berwarna kuning keemasan. Di balik sabuknya, terselip
sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Sedangkan gadis di sebelahnya mengenakan baju warna merah muda dengan sebilah
pedang tersampir di pinggang.
Sesekali mereka menoleh ke arah jurang, atau ke arah bukit panjang yang berada
di sebelah kanan.
Dan kini hutan di depan sana sudah terlihat
"Berapa lama lagi kita sampai di Desa Weru, Kak Pandan?" tanya gadis berbaju
merah muda memecah kebisuan yang sejak tadi melingkupi mereka.
"Sebelum senja nanti," sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan
Wangi. Dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.
Sedangkan gadis di sebelahnya lagi mengenakan baju warna merah muda, tidak lain
adalah Cempaka.
Dia adik tiri Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka sudah seharian berjalan menunggang kuda, namun belum juga menemukan
sebuah desa pun. Sedangkan kini
mereka tengah menuju Desa Weru yang tidak berapa jauh lagi dari padang rumput
ini. "Kita istirahat dulu di sini, Kak," ajak Cempaka yang sudah pegal seluruh
tubuhnya. Sejak pagi tadi, mereka berada di atas punggung kuda. Tanpa istirahat sedikit
pun. Sedangkan saat ini, matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang
terik tak begitu terasa, karena diusir oleh hembusan angin yang agak kencang,
mempermainkan rambut kedua gadis itu.
"Nanti, di tepi hutan sana," sahut Pandan Wangi seraya menunjuk hutan yang
terlihat di depan sana.
"Sudah pegal rasanya pinggangku, Kak," keluh Cempaka.
"Masih lumayan ini naik kuda, Cempaka. Biasanya aku jalan kaki," jelas Pandan
Wangi tersenyum dikulum.
Cempaka memang belum pernah mengembara,
menjelajahi rimba persilatan. Maka baru kali inilah ikut mengembara bersama
Pandan Wangi. Katanya ingin mencari pengalaman, di samping menguji ilmu-ilmu
olah kanuragan yang dimiliki. Dan sebenarnya, Pandan Wangi tidak ingin Cempaka
ikut dalam pengembaraannya mencari Pendekar Rajawali Sakti yang kini entah di
mana. Tapi adik tiri Rangga itu memaksa untuk ikut. Padahal, Pandan Wangi telah
menjelaskan kalau rintangannya tidak kecil.
Pokoknya aku harus ikut...!" sentak Cempaka ketika Itu.
Waktu itu Pandan Wangi tengah mengutarakan keinginannya pada Danupaksi untuk
mencari Pendekar Rajawali Sakti. Dan rupanya Cempaka mendengar semua percakapan itu dari
balik pintu. Maka langsung dia menerobos masuk begitu
namanya disebut. Padahal, Danupaksi telah melarang Pandan Wangi untuk berpamitan
pada Cempaka. Karena mereka tahu, Cempaka pasti akan ikut pula.
Dan ini sebenarnya memang sudah menjadi
keinginan yang mendalam di hati Cempaka untuk mengembara.
Kemunculan Cempaka yang tiba-tiba saat itu, membuat Danupaksi dan Pandan Wangi
terkejut. Terlebih lagi, gadis itu tegas-tegas mengatakan kalau akan ikut mengembara.
Mereka benar-benar merasa kecolongan, karena berbicara di dalam ruangan yang
pintunya tidak tertutup rapat. Dan sudah pasti, pembicaraan itu terdengar jelas
dari luar ruangan yang cukup besar ini.
"Kalau aku tidak boleh ikut, aku akan
mengembara sendiri," rengek Cempaka.
Danupaksi sulit menahannya lagi. Dipandangnya Pandan Wangi sambil mengangkat
kedua bahunya sedikit. Sedangkan Pandan Wangi sendiri juga tidak mencegah,
meskipun hatinya terasa berat untuk membolehkan Cempaka ikut dalam pengembaraan
nya. Karena dia tahu, betapa besar rintangan dalam mengarungi luasnya rimba
persilatan yang kejam dan penuh daya tipu licik. Terlebih lagi bagi gadis-gadis
yang baru mencobanya.
Dan memang selama seharian perjalanan Ini, belum ada kejadian yang berarti bagi
gadis itu. Tapi Cempaka beberapa kali sudah mengeluh. Sedangkan Pandan Wangi
selalu menanggapinya dengan
senyuman saja. Bisa dimaklumi, karena baru kali inilah Cempaka melakukan
perjalanan yang sesung-guhnya. Selama ini dia ikut bersama Rangga hanya
perjalanan kecil yang tidak mengandung bahaya terlalu besar. Lagi pula, Pendekar
Rajawali Sakti tidak pernah menyerahkan seluruh persoalan pada
Cempaka. "Kita istirahat di sini dulu, Kak," ajak Cempaka.
"Oh...! lya," Pandan Wangi terbangun dari
lamunannya. Mereka memang sudah sampai di tepi hutan. Dan Pandan Wangi tahu kalau tempat ini
bernama Hutan Tengkorak, tapi lebih dikenal dengan nama Rimba Tengkorak. Buat
Pandan Wangi, hutan ini memiliki kenangan tersendiri. Di sinilah pertama kali
Rangga mengungkapkan rasa cinta padanya. Satu kenangan yang manis dan tak akan
pernah terlupakan seumur hidup.
Kedua gadis itu beristirahat di tepi sungai kecil yang membatasi padang rumput
dengan Rimba Tengkorak. Mereka berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan
Wangi menepuk pinggul kuda putihnya yang tinggi dan tegap. Binatang ini hadiah
Pendekar Rajawali Sakti. Kuda putih itu melenggang ringan mendekati sungai.
Diteguknya air sungai yang sejuk banyak-banyak. Sedangkan kuda coklat yang
ditunggangi Cempaka, langsung
merumput. Kedua gadis itu duduk di tepi sungai menikmati sejuknya udara siang
ini. Angin yang berhembus lembut, membuat kelopak mata Cempaka terpejam.
Kepenatan selama seharian menunggang kuda, seakan-akan hendak dilebur di tepi
hutan ini. Namun belum juga benar-benar menikmati
istirahatnya, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara seperti orang
bertarung yang tidak seberapa jauh dari tepi hutan ini. Suara-suara itu datang
dari seberang sungai, dan jelas sekali terdengar. Pandan Wangi langsung melompat
bangkit berdiri.
"Kau tunggu di sini, Cempaka," kata Pandan Wangi
"Heh...! Aku ikut..!" sentak Cempaka.
Tapi Pandan Wangi sudah lebih cepat melesat, melompati sungai yang tidak
seberapa lebar itu.
Cempaka bergegas berdiri, dan langsung melompat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi. Sementara Pandan Wangi sudah sampai di seberang sungai,
dan langsung melesat masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Cempaka juga
langsung saja melesat ke dalam hutan begitu kakinya menjejak tanah di seberang
sungai. *** Pandan Wangi tertegun begitu sampai di satu
tempat yang tidak begitu lebat di dalam hutan ini.
Tampak sesosok tubuh telah tergeletak berlumuran darah. Di sampingnya, tampak
seorang gadis berusia sekitar lima belasan tahun tengah menangis sesenggukan
sambil menutupi wajahnya. Pandan Wangi perlahan mendekati. Ditepuknya pundak
gadis itu dengan lembut. Namun gadis itu malah tersentak dan memekik kaget
"Tidak apa-apa, Gadis Manis. Aku tidak akan menyakitimu," bujuk Pandan Wangi.
Gadis berpakaian kumal dan lusuh itu
memandangi Pandan Wangi dengan mata dipenuhi air bening. Bahunya masih
terguncang menahan isaknya yang tertahan. Saat itu, Cempaka baru saja tiba. Dia
terkejut melihat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah di depan Pandan Wangi.
Sedangkan tidak jauh di seberang sosok tubuh berlumur darah itu terlihat seorang
gadis belasan tahun tengah menangis sambil memandangi Pandan Wangi.
"Kak Pandan, ada apa...?" tanya Cempaka yang
sudah berada di samping Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu. Kudapati orang tua ini sudah tewas, dan anak ini menangis di
sampingnya," sahut Pandan Wangi.
Sebentar Cempaka memandangi laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu. Dada
dan lehernya tersayat lebar, seperti terkena sabetan senjata tajam.
Darah masih mengucur deras dari lukanya. Kemudian Cempaka memandang gadis
belasan tahun yang masih menangis terisak agak tertahan. Cempaka menghampiri
gadis itu, dan lembut sekali menyentuh pundaknya. Mungkin karena kelembutan
Cempaka, gadis itu jadi percaya kepadanya. Bahkan malah menjatuhkan dirinya ke
dalam pelukan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Maka seketika air matanya
ditumpahkan di dada Cempaka. Dibiarkan saja gadis itu membasahi bajunya, dan
malah dibelainya rambut yang hitam panjang dan ber-gelombang itu dengan lembut
sekali. Seakan-akan dia ikut merasakan apa yang tengah dirasakan gadis ini.
"Hsss..., sudah..., sudah," bujuk Cempaka mencoba meredakan tangis gadis itu.
Sementara Pandan Wangi memeriksa tubuh laki-laki tua yang tergeletak tak
bernyawa lagi. Dia sedikit tertegun melihat luka yang menganga lebar di dada dan
leher. Luka yang begitu rapi, seperti tebasan senjata tajam yang dilakukan
seorang berilmu tinggi.
Pandan Wangi meletakkan tangan laki-laki tua itu ke dada, kemudian mengusap
wajah yang sudah pucat itu. Maka mata yang mendelik jadi tertutup.
Dan mulut yang terbuka, juga mengatup kembali. Si Kipas Maut itu kemudian
menghampiri Cempaka yang sudah duduk berdampingan dengan gadis
belasan tahun itu. Dan tampaknya tangis gadis itu berhasil diredakannya,
meskipun sesekali masih terisak sesenggukan.
"Apa yang terjadi, Dik?" tanya Pandan Wangi dengan suara lembut.
"Namanya Padmi," celetuk Cempaka memberi
tahu nama gadis itu.
Pandan Wangi menatap Cempaka sebentar.
Ternyata Cempaka sudah bisa bicara dengan gadis ini. Bahkan sudah bisa
mengetahui namanya segala.
Kagum juga Pandan Wangi dengan cara pendekatan Cempaka yang begitu cepat membawa
hasil. "Ceritakan, Padmi. Apa sebenarnya yang terjadi..."
Barangkali kami berdua bisa membantumu," bujuk Cempaka dengan suara lembut.
"Ayah tidak punya musuh. Kami orang baik-baik....
Tapi kenapa ada orang yang membunuhnya...?" agak tersendat suara Padmi
menceritakan apa yang terjadi.
Tapi apa yang dikatakan Padmi belum begitu jelas bagi Pandan Wangi maupun
Cempaka. Karena Padmi tidak mengatakan, siapa pembunuh ayahnya, dan kenapa
begitu tega membunuh pencari kayu bakar itu. Namun mereka memang harus bersabar.
Tidak mungkin Padmi bisa begitu cepat menenangkan diri Sedangkan baru beberapa
saat saja dia mendapat musibah yang mengenaskan sekali.
"Siapa yang membunuhnya, Padmi?" tanya
Pandan Wangi. Padmi tidak langsung menjawab, dan hanya
menggelengkan kepalanya saja sambil menatap Pandan Wangi yang berdiri di
depannya. Gelengan kepala gadis itu sudah jelas bisa diartikan. Padmi tidak
mengetahui orang yang membunuh ayahnya
tadi. "Mukanya tidak jelas. Seluruh kepalanya ditutupi kain hitam," jelas Padmi.
Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan.
Bagi Pandan Wangi yang sudah kenyang makan asam garam dalam rimba persilatan,
sudah tidak asing lagi dengan pembunuh seperti ini. Pembunuh itu sengaja
menyembunyikan wajahnya agar tidak diketahui orang lain. Dan sudah bisa ditebak
kalau pembunuh itu mengenal korbannya. Dan yang pasti, si korban pun mengenal
pembunuh itu, sehingga mukanya perlu diselubungi agar tidak dikenali
"Di mana rumahmu, Adik Manis?" tanya Pandan Wangi lembut.
Pandan Wangi merasa tidak ada gunanya
mendesak Padmi agar menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya. Dan dia ingin
mengantarkan pulang gadis ini ke rumahnya, lalu melupakan semua yang ada di
hutan ini. Memang hanya itu yang bisa dilakukan Pandan Wangi saat ini. Dan
setelah itu Pandan Wangi ingin secepatnya bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti,
yang katanya sekarang ada di Desa Weru. Entah apa yang dilakukan Rangga di desa
kecil yang terpencil itu.
*** "Aku kasihan melihat keadaannya, Kak," kata
Cempaka sambil mengendalikan jalan kudanya agar tetap berada di samping kuda
yang ditunggangi Pandan Wangi
"Padmi maksudmu?" tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.
"lya. Dia sekarang hidup sendiri di tempat sunyi
yang terpencil begitu," kata Cempaka.
"Bukan hanya Padmi yang hidup seperti itu, Cempaka. Nanti kau juga akan melihat
kehidupan yang jauh lebih mengenaskan daripada dia," sahut Pandan Wangi dengan
bibir mengulas senyum tipis.
Cempaka diam saja. Diresapinya kata-kata yang terucap dari bibir si Kipas Maut
tadi. Gadis itu memang belum berpengalaman dalam menjelajah mayapada yang luas
dan selalu menyimpan banyak misteri ini. Tapi hatinya seperti tidak percaya
dengan apa yang baru saja dikatakan Pandan Wangi. Apakah di alam ini banyak
orang yang hidupnya begitu kekurangan seperti Padmi..." Pertanyaan ini selalu
mengganggu benak Cempaka. Dan gadis itu
merasakan adanya ketidakadilan dalam hidup ini.
Sementara dirinya selama ini selalu hidup lebih.
"Kak...," pelan sekali suara Cempaka. "Ada apa lagi...?"
"Bagaimana nanti Padmi bisa hidup ya...?"
Cempaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau ini, Cempaka.... Kenapa masih memikirkan Padmi, sih...?"
"Aku kasihan, Kak. Kenapa tadi tidak dibawa saja sekalian" Aku bisa
mengangkatnya jadi adik,"
Cempaka mengemukakan isi hatinya.
"Cempaka.... Kalau ada sepuluh orang seperti Padmi, atau mungkin ratusan, bahkan
ribuan orang, apa kau juga akan mengangkat mereka jadi adik...?"
Cempaka tidak langsung menjawab.
"Apa ada banyak orang sepertinya, Kak?"
Cempaka malah bertanya setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Bukan hanya ada, tapi banyak. Ah..., sudahlah.
Aku yakin, nanti rasa ibamu juga akan hilang sendiri,"
Pandan Wangi tidak ingin membicarakan masalah Padmi lagi.
"Tapi, Kak.... Tidak ada salahnya kan, kalau aku mengangkatnya sebagai adik?"
"Tidak. Dan jika kau mau, jemput saja," sahut Pandan Wangi.
"Sungguh...?" sinar mata Cempaka langsung
berbinar. Pandan Wangi hanya mengangguk saja dengan
bibir menyunggingkan senyuman tipis.
"Aku akan kembali, Kak. Tunggu di sini dulu...!"
seru Cempaka. "Heh..."!" Pandan Wangi terkejut.
Tapi Cempaka sudah cepat memutar kudanya dan langsung menggebahnya. Maka kuda
coklat itu melesat cepat meninggalkan Pandan Wangi yang hanya bisa terbengong.
Si Kipas Maut itu bukan saja terkejut, tapi juga keheranan akan sikap Cempaka.
Padahal tadi keinginan Cempaka ditanggapi dengan asal bicara saja. Sama sekali
tidak bersungguh-sungguh menganjurkan begitu. Namun rupanya Cempaka benar-benar
menanggapinya. Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit sambil mendesah, kemudian melompat turun
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari punggung kudanya. Gadis itu membiarkan saja kuda putih itu melenggang
menjauh mencari rumput segar untuk mengisi perutnya. Sedangkan tubuhnya sendiri
dihenyakkan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Pandan Wangi duduk di
atas akar yang menyembul dari dalam tanah. Sementara Cempaka sudah tidak lagi
terlihat "Hhh..., ada-ada saja...," desah Pandan Wangi perlahan diiringi hembusan napas
panjang. 2 "Hup...!"
Cempaka langsung melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas gadis itu
berlari menerobos pondok kecil yang sudah reyot dan hampir roboh.
Namun begitu berada di dalam, kedua bola matanya membeliak lebar.
"Biadab...!" desis Cempaka.
Seluruh darah yang mengalir di tubuh gadis itu seketika mendidih. Di hadapan
matanya tampak seorang laki-laki bertubuh besar dan kasar sedang memaksa Padmi
untuk melayani nafsu setannya.
Padmi mencoba memberontak, namun tubuhnya
yang kecil seakan-akan tenggelam dalam pelukan laki-laki itu.
"Hiyaaat..!"
Seketika itu juga Cempaka melesat cepat bagai kilat. Langsung dilontarkannya
satu pukulan keras ke tubuh laki-laki itu. Teriakan Cempaka membuat laki-laki
tinggi tegap tanpa baju itu terkejut. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu,
pukulan Cempaka sudah mendarat telak di tubuhnya.
Des! "Akh...!" laki-laki tinggi besar itu terpekik keras.
Tubuh yang besar dan kasar itu terpental, lalu menabrak dinding pondok yang
rapuh hingga jebol berantakan. Akibatnya laki-laki itu langsung tersuruk dan
bergelimpangan di luar. Cempaka tidak membiarkan begitu saja. Secepat kilat
tubuhnya melesat ke luar menerobos dinding yang hancur berantakan.
Kembali gadis itu melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Namun orang yang wajahnya penuh brewok itu, bergelimpangan ke
samping beberapa kali. Maka pukulan Cempaka hanya menghantam tanah kosong
berumput. Begitu kerasnya pukulan Cempaka, sehingga
tanah itu terbongkar, dan berpentalan ke udara.
Namun Cempaka tidak juga membiarkan laki-laki yang hendak memperkosa Padmi tadi.
Kembali tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat menerjang orang yang baru saja
bisa bangkit berdiri.
"Hiyaaat..!"
Deghk! "Uhk...!" orang itu mengeluh pendek begitu perutnya tersodok tangan yang
mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Laki-laki bertubuh kasar yang hanya mengenakan celana sebatas lutut berwarna
hitam itu terbungkuk.
Pada saat itu Cempaka kembali melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah.
Pukulan cepat menggeledek itu tak mampu dihindari lagi, telak menghantam muka
laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
Deghk! "Aaakh...!" laki-laki itu memekik keras.
Hantaman Cempaka membuat tulang hidung laki-laki itu hancur. Bunyinya begitu
keras terdengar.
Seketika itu juga darah mengucur deras dari hidung yang hancur tulang-tulangnya.
Laki-laki tinggi besar itu meraung-raung keras sambil menutupi wajah dengan
kedua tangannya. Tapi hanya beberapa saat saja dia meraung kesakitan. Kemudian
kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggeram dahsyat.
Sepasang bola matanya memerah menyorot tajam,
langsung menusuk mata indah milik Cempaka.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu berteriak
keras sambil melompat menerjang. Tangannya yang besar dan bagai palu godam itu
melontarkan pukulan keras beberapa kali secara beruntun.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun Cempaka lebih gesit lagi menghindari serangan itu. Tubuhnya berjumpalitan
sambil mengegos ke kiri dan ke kanan menghindari
serangan gencar dan beruntun. Tepat pada suatu saat, orang itu mengarahkan
pukulan ke dada, dengan cepat sekali. Cempaka melenting ke
belakang. Pada saat kaki gadis itu kembali mendarat di tanah, lalu cepat sekali
melesat kembali ke udara sambil mencabut pedangnya.
Sret! Cempaka langsung membabatkan pedangnya
kearah tubuh orang itu yang tidak sempat lagi menghindar. Maka tebasan pedang
Cempaka langsung menyabet dada lelaki tinggi besar itu.
Cras! "Aaa...!" laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah kasar itu memekik keras
melengking tinggi.
Darah langsung muncrat begitu pedang Cempaka membelah dadanya. Lebar dan dalam
sekali! Dan begitu Cempaka melayangkan satu tendangan keras, tubuh tinggi besar
itu langsung terpental ambruk ke tanah. Tak ada lagi gerakan, karena orang itu
tewas seketika begitu menghantam tanah dengan keras sekali.
Cempaka langsung memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang. Sebentar
dipandanginya orang yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi itu.
Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat masuk ke dalam pondok. Begitu cepat dan
ringan sekali gerakannya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap di dalam
pondok itu. Tanpa diketahui Cempaka, ada sepasang mata yang menyaksikan pertarungan tak
seimbang tadi. Orang itu segera melesat, meninggalkan tempat itu.
*** "Padmi...."
Bergegas Cempaka menghampiri Padmi yang
masih menangis sesenggukan. Bajunya sudah koyak, sehingga beberapa bagian
tubuhnya terlihat menyembul ke luar. Mendengar suara Cempaka, Padmi langsung
menghambur dan memeluknya.
Tangisnya langsung pecah seketika, di dalam pelukan Cempaka. Air matanya
berlinangan membasahi seluruh baju di dada gadis itu
Agak lama juga Cempaka membiarkan Padmi
menangis di dadanya. Setelah tanglsan Padmi mereda, Cempaka baru melepaskan
pelukan gadis itu. Diraihnya selembar kain yang teronggok di atas balai-balai
bambu, kemudian ditutupinya tubuh Padmi yang terbuka. Sesekali gadis kecil itu
masih terisak sesenggukan. Beberapa kali air matanya diseka, karena masih juga
mengalir. "Sudahlah, Padmi. Tak ada lagi yang meng-
ganggumu...," bujuk Cempaka menghibur.
Padmi masih sukar membuka suara. Peristiwa yang terjadi barusan, membuatnya
begitu terpukul.
Hampir saja kehormatannya dirampas oleh seorang laki-laki kasar. Untung saja
Cempaka segera datang
menolong. "Sudah. Sekarang, bereskan pakaianmu, lalu pergi," kata Cempaka tidak tahan
mendengar tangisan terus-menerus.
Padmi masih diam saja. Terpaksa Cempaka yang membereskan pakaian gadis itu, lalu
mem-bungkusnya dengan selembar kain lusuh yang sudah pudar warnanya. Sementara
Padmi masih saja duduk di balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar
pandan. Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Padmi seperti orang
linglung saja. Dihampirinya gadis itu, lalu duduk di sampingnya.
"Yuk..," ajak Cempaka lembut
Sebentar Padmi memandangi Cempaka, kemudian merapikan dirinya. Pakaiannya yang
koyak segera digantinya. Sementara Cempaka sudah melangkah ke luar pondok itu.
Masih sempat terlihat olehnya mayat laki-laki kasar yang tergolek berlumuran
darah. Tak berapa lama kemudian, Padmi keluar. Gadis itu agak bergidik melihat
mayat yang tergeletak tidak jauh dari pondoknya.
"Ayo...!" ajak Cempaka seraya menggamit tangan gads itu.
Mereka kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan pondok itu. Cempaka
menuntun kudanya, karena tidak mungkin menunggang kuda sama-sama.
Padmi menolehkan kepalanya memandang mayat yang tergeletak tidak jauh dari
pondoknya. "Kau yang membunuhnya, Kak Cempaka?" tanya Padmi dengan suara yang agak
tertahan. Cempaka menganggukkan kepalanya.
"Tapi...," suara Padmi terputus.
"Sudahlah, jangan kau pikirkan," potong Cempaka.
"Dia banyak temannya, Kak Aku takut..." keluh
Padmi. Cempaka menatap Padmi dalam-dalam. Memang
sudah diduga kalau orang itu pasti ada temannya.
Dan ini memang yang diinginkan. itu berarti dalam pengembaraannya akan
didapatkan tantangan yang memang sedang diharapkannya.
"Kau naik kuda ini, Padmi," ujar Cempaka.
"Aku.."!" Padmi terkejut
Seumur hidup dia belum pernah naik kuda.
Dipandanginya Cempaka dan kuda coklat itu
bergantian. Sedangkan Cempaka tidak ingin berlarut-larut. Langsung direngkuhnya
pinggang gadis itu, lalu dinaikkan ke atas punggung kudanya. Padmi terpekik
tertahan, namun tahu-tahu sudah berada di
punggung kuda coklat itu. Sebelum Padmi menyadari apa yang terjadi, Cempaka
sudah berlari kencang sambil memegangi tali kekang kudanya. Kuda coklat itu
langsung saja melesat kencang mengikuti lari Cempaka yang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
"Ah...!" Padmi terpekik keras.
Dia terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya direbahkan ke punggung kuda itu, dan
dipeluknya leher kuda kuat-kuat Sungguh dia tidak ingin mati terlempar dari
punggung kuda yang berlari kencang.
Padmi tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia tidak tahu kalau Cempaka berlari
cepat sekali di depan kudanya. Padmi hanya bisa merasakan
tubuhnya berguncang-guncang terombang-ambing di atas punggung kuda yang berlari
kencang bagai dikejar setan.
*** "Kak...! Kak Pandan..!" Cempaka mengguncangguncang tubuh Pandan Wangi yang
tertidur di bawah pohon.
Pandan Wangi hanya mengeluh sedikit, dan membuka matanya perlahan. Tubuhnya
digeliatkan sebentar, lalu beranjak bangkit duduk bersandar di pohon.
Pandangannya langsung mengarah pada Padmi yang berada di punggung kuda Cempaka.
"Ayo, Kak. Cepat tinggalkan tempat ini," ajak Cempaka.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya, bermalam saja di sini," kata Pandan Wangi malas.
"Jangan, Kak. Kita berkuda cepat saja, pasti sampai di Desa Weru sebelum gelap,"
sergah Cempaka.
"Untuk apa cepat-cepat..?"
"Kak...!" sentak Cempaka sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Mau tidak mau Pandan Wangi berdiri juga. Tapi keningnya berkerenyut melihat raut
wajah Cempaka yang agak menegang. Tidak biasanya adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu begitu tegang. Macam-macam pikiran langsung berkecamuk dalam benak si
Kipas Maut itu.
"Ayo, Kak. Cepat..!" desak Cempaka memaksa.
"Ada apa, sih..." Kok tidak biasanya...."
"Sudahlah, Kak. Nanti akan kujelaskan," potong Cempaka cepat
Pandan Wangi memandangi Cempaka daiam-
dalam, kemudian beralih memandang Padmi yang masih saja duduk di punggung kuda
coklat. Sementara itu Cempaka sudah melompat naik ke punggung kudanya di depan Padmi.
Dan disuruh Padmi memegang pinggangnya kuat-kuat Sedangkan
Pandan Wangi masih memandangi saja. Dia yakin kalau ada sesuatu yang telah
terjadi, sehingga membuat Cempaka begitu tegang.
"Cepat sedikit, Kak..!" sentak Cempaka tidak sabar.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit,
kemudian melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Pada saat itu, Cempaka sudah
cepat menggebah kudanya. Maka Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, menyusul
Cempaka yang sudah jauh bersama Padmi. Pandan Wangi mensejajarkan lari kudanya
di samping kuda Cempaka.
"Ada apa, Cempaka" Kenapa begitu tergesa-
gesa?" tanya Pandan Wangi masih penasaran dengan sikap Cempaka yang tidak
biasanya begini.
"Aku habis membunuh orang," sahut Cempaka.
"Apa..."!" Pandan Wangi tersentak kaget
Hampir tidak dipercaya, apa yang baru saja didengamya. Dia juga merasa heran,
dan jadi geli mendengamya. Hanya karena baru saja membunuh orang, Cempaka jadi
tegang begini! Padahal bukan sekali ini Cempaka melakukannya. Entah sudah berapa
nyawa melayang di tangan gadis itu. Dan..., sungguh Pandan Wangi tidak bisa
memahami sikap Cempaka yang seperti baru saja melakukan
perjalanan dan menewaskan orang.
"Dia hampir saja memperkosa Padmi Aku tidak bisa mengendalikan diri, Kak. Orang
itu tewas oleh pedangku," kata Cempaka mencoba menjelaskan persoalannya.
"Ada berapa orang?" tanya Pandan Wangi sambil menahan rasa geli yang menggelitik
hatinya. "Satu," sahut Cempaka.
"Hanya satu..."!" kembali Pandan Wangi ter-
cengang. Ini merupakan hal yang sungguh luar biasa pada diri Cempaka. Hanya satu orang
saja yang tewas, dia sudah begitu tegang. Si Kipas Maut itu tidak percaya kalau
Cempaka yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi belum pernah bertarung dan
menewaskan lawannya. Sudah pernah didengarnya semua tentang diri Cempaka. Baik
gadis itu sendiri yang menceritakannya, maupun Rangga.
Dan Pandan Wangi bisa menilai kalau Cempaka termasuk gadis yang agak liar juga.
Persis dengan dirinya dulu, yang tidak pernah bisa mengendalikan diri jika sudah
bertarung. "Cempaka, kenapa kau jadi ketakutan begitu...?"
tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan keheranannya.
"Siapa bilang aku takut.."!" sentak Cempaka.
"Itu...."
"Aku hanya ingin menghindar dari teman-
temannya. Mereka pasti berjumlah banyak, dan tentunya aku tidak ingin mati di
sini sebelum bertemu Kakang Rangga," Cempaka beralasan.
"Berapa orang temannya?" tanya Pandan Wangi tersenyum.
Pandan Wangi tahu kalau Cempaka hanya
beralasan saja untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Tapi dia juga tidak
percaya kalau Cempaka merasa takut hanya karena baru
menewaskan satu orang, lalu teman-teman orang itu akan membalas kematiannya.
"Tidak tahu," sahut Cempaka pendek
"Ah! Sudahlah, Cempaka. Perlambat sedikit lari kudamu. Tuh, Desa Weru sudah
kelihatan," kata Pandan Wangi masih menganggap persoalan yang
dihadapi Cempaka bukan persoalan gawat
Tapi rupanya Cempaka memperlambat juga lari kudanya. Dan memang, Desa Weru sudah
terlihat tidak berapa jauh lagi di depan. Sedangkan saat ini, matahari sudah
begitu condong ke Barat. Cempaka memperkirakan sebelum matahari tenggelam pasti
sudah sampai di desa itu. Dan tinggal mencari penginapan untuk melepaskan urat
syaraf yang menegang.
Namun begitu mereka memperlambat laju kuda, mendadak saja dari arah belakang
terdengar teriakan-teriakan keras, disertai derap kaki kuda yang dipacu cepat.
Cempaka dan Pandan Wangi langsung berpaling ke belakang. Dan mereka terkejut
bukan main begitu di belakang mereka terlihat sekitar dua puluh orang berbaju
hitam berpacu cepat menuju ke arah mereka. Tampaknya semua mengacungkan
golok ke atas kepala sambil berteriak-teriak keras menggetarkan hati siapa saja
yang mendengamya.
"Mereka datang...," desis Padmi bergetar dengan wajah langsung pucat pasi.
"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Orang yang hendak membalas kematian temannya padaku," sahut Cempaka, agak
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin nada suaranya.
Pandan Wangi memandangi Cempaka beberapa
saat, kemudian cepat melompat turun dari kudanya.
Cempaka bergegas mengikuti. Sedangkan Padmi masih tetap berada di punggung kuda
coklat milik Cempaka. Sementara orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat
saja. Bumi yang dipijak, seakan-akan bergetar oleh hentakan kaki kuda yang
dipacu cepat, menciptakan debu yang mengepul tinggi ke angkasa.
"Kita hadapi mereka, Cempaka," kata Pandan
Wangi. "Yaaah...," Cempaka hanya mendesah panjang saja.
Sebenarnya ini yang diharapkan. Tapi begitu melihat jumlah mereka yang begitu
banyak, hatinya agak ciut juga. Sungguh tidak disangka kalau akan menghadapi
orang begini banyak. Meskipun sudah pernah menghadapi keroyokan dan berbagai
macam pertarungan, tapi selama itu dia bersama Rangga.
Sedangkan sekarang ini sama sekali tidak ada Pendekar Rajawali Sakti. Dan
Cempaka memang agak gentar juga jika bertarung tanpa ada Pendekar Rajawafi Sakti
di sampingnya, meskipun sekarang ini ada si Kipas Maut yang berkepandaian
tinggi. Namun Cempaka tidak akan merasa tenang,
karena memang sudah demikian bergantung pada Pendekar Rajawali Sakti. Satu sikap
yang sebenarnya tidak perlu terjadi, tapi Cempaka tidak bisa menghilangkannya.
Hatinya sudah begitu terpatri, sehingga tidak ada yang bisa dikagumi. Tidak ada
yang bisa dijadikan panutan dan kepercayaan diri selain Pendekar Rajawali Sakti.
Kini semua ketergantungan itu sangat dirasakan sekali di saat harus berhadapan
dengan orang-orang yang akan membalas kematian temannya.
*** "Itu dia orangnya...!" terdengar teriakan keras dari orang-orang berbaju hitam
itu. Tampak salah seorang yang berkuda paling depan, menunjuk ke arah Cempaka dan
Pandan Wangi yang sudah siap menghadapi mereka. Orang itulah yang menyaksikan
pertarungan Cempaka tadi melawan
orang yang hendak memperkosa Padmi. Gerombolan orang berbaju hitam itu langsung
berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, langsung mengepung Cempaka
dan Pandan Wangi. Mereka seakan-akan tidak mempedulikan keberadaan Padmi yang
berada di punggung kuda coklat milik Cempaka.
Salah seorang dari dua puluh laki-laki yang semuanya menghunus golok, melangkah
ke depan beberapa tindak. Pandan Wangi mengamati laki-laki bertubuh tinggi tegap
yang wajahnya penuh cambang dan kumis melintang, sehingga menutupi bibirnya yang
tebal. Dadanya seperti sengaja dibuka, seakan-akan hendak memamerkan dada yang
berbulu tebal itu.
"Siapa di antara kalian yang membunuh anak buahku?" besar dan berat sekali suara
orang itu. "Aku," sahut Pandan Wangi mendahului.
Cempaka agak terkejut, dan sempat menatap
Pandan Wangi dalam-dalam. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena laki-laki
tinggi besar itu sudah mempercayai jawaban Pandan Wangi.
"Kau berhutang nyawa padaku, Nisanak," desis orang itu dingin.
"Anak buahmu terlalu kurang ajar, dan terpaksa kuberi pelajaran!" sahut Pandan
Wangi ketus. "Bagus...! Dan sekarang kau yang akan kuberi pelajaran, Bocah Sombong!"
Setelah berkata demikian, ujung jarinya dijentikkan. Dan seketika itu juga,
orang-orang yang sudah berkeliling mengepung itu langsung berlompatan.
Sambil berteriak keras, mereka mengibaskan goloknya yang berkilatan tertimpa
cahaya matahari senja. Pandan Wangi bergegas melompat sambil meliukkan tubuhnya
menghindari sambaran golok
yang begitu cepat mengarah ke pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, Cempaka
langsung mencabut pedangnya.
Trang! Pedang Cempaka langsung beradu dengan sebilah golok yang hampir membelah
dadanya. Namun gadis itu cepat memutar pedangnya. Seketika dibabatnya leher
salah seorang berbaju hitam yang berada di samping kanannya.
Cras! "Aaa...!" satu jeritan melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya satu orang
dengan leher sobek terbabat pedang Cempaka.
Tak ada yang sempat memperhatikan, karena
Cempaka sudah kembali bergerak cepat sekali.
Pedangnya dikibaskan, membabat orang-orang yang mengeroyok dengan senjata golok.
Teriakan-teriakan keras pertempuran, bercampur denting senjata yang terdengar
membahana. Dan itu pun masih ditingkahi pekikan melengking tinggi dari orang-
orang yang terkena sambaran pedang Cempaka. Dalam waktu tidak berapa lama saja,
sudah tiga orang yang tergeletak tak bernyawa.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengeluarkan senjata mautnya berupa kipas baja
putih yang ujung-ujungnya berbentuk runcing. Senjata itu siap mengancam nyawa
siapa saja yang berada dekat dengannya. Pandan Wangi sendiri sudah merobohkan
lima orang yang mengeroyoknya. Kipas baja putih yang menjadi senjata andalannya
berkelebat cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
Memang, kedua gadis itu bukanlah tandingan gerombolan kecil yang hanya memiliki
kepandaian rendah seperti ini. Sehingga tidak heran jika dalam
waktu sebentar saja, sudah separuhnya yang tergeletak tak bernyawa lagi. Udara
senja yang temaram ini jadi sesak oleh bau anyir darah yang menggenang dari
tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
"Lariii..!" tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.
Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam yang kini jumlahnya tinggal sekitar
tujuh orang lagi berlompatan kabur. Mereka bergegas melompat ke punggung kuda
masing-masing dan cepat menggebahnya. Pandan Wangi dan Cempaka berdiri tegak
memandangi mereka yang kabur dengan cepat
"Hhh...i Benar-benar suatu pengalaman baru...!"
desis Cempaka. Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya. Langsung saja dia
melompat naik ke punggung kudanya. Cempaka sendiri malah mengambil kuda yang
ditinggalkan orang-orang itu.
Tak berapa lama kemudian, tiga kuda sudah bergerak cepat meninggalkan tempat
itu. Cempaka menuntun tali kekang kudanya yang ditunggangi Padmi, karena gadis
itu tidak bisa menunggang kuda.
*** 3 Desa Weru memang bukan sebuah desa yang indah dan ramai. Letaknya pun sangat
terpencil, dan terlalu dekat dengan Rimba Tengkorak. Jarang orang datang ke desa
ini, kecuali mereka yang sedang menempuh perjalanan jauh. Untung saja Pandan
Wangi dan Cempaka masih bisa memperoleh penginapan yang cukup lumayan. Biasanya,
mereka yang datang sudah kemalaman, sukar sekali mendapatkannya.
Pandan Wangi yang sudah beberapa kali singgah di desa ini, cukup dikenali oleh
pemilik rumah penginapan. Sehingga, tidak ada kesulitan baginya mendapatkan
tempat bermalam yang layak. Ki Jantar, pemilik rumah penginapan ini memberi
Pandan Wangi kamar yang biasa ditempatinya jika menginap di sini. Seperti
biasanya, si Kipas Maut itu selalu melewatkan malam di kedai Ki Jantar yang
letaknya di depan penginapan.
"Lama sekali Den Ayu tidak datang ke sini," kata Ki Jantar seraya meletakkan
minuman yang dipesan Pandan Wangi.
"Banyak kesibukan, Ki," sahut Pandan Wangi seraya melirik Cempaka yang duduk di
seberang meja ini.
"Tapi, kenapa tidak bersama-sama Den Rangga?"
tanya Ki Jantar.
"Ki Jantar juga kenal Kakang Rangga...?" Cempaka agak heran juga, karena pemilik
kedai dan penginapan ini juga mengenal Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang tidak kenal Den Rangga, Den Ayu.
Semua orang di desa ini mengenalnya dengan baik,"
sahut Ki Jantar. Nada suaranya terdengar agak bangga.
"Ki...!" terdengar suara panggilan yang keras. "Oh, sebentar...."
Bergegas Ki Jantar meninggalkan meja yang
ditempati Pandan Wangi dan Cempaka. Saat itu Pandan Wangi sempat melirik orang
yang memanggil Ki Jantar dengan suara keras sekali. Seorang laki-laki tua yang
mungkin sebaya Ki Jantar, atau mungkin juga lebih tua. Pada saat yang sama,
laki-laki tua berbaju warna putih yang tongkatnya bersandar di sampingnya itu
juga melirik ke arah Pandan Wangi.
Agak terkesiap juga si Kipas Maut itu saat pandangannya tertumbuk pada lirikan
laki-laki tua itu.
Buru-buru Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Kedai ini memang
tidak terlalu ramai.
Hanya ada beberapa pengunjung saja yang datang ke sini. Dan rata-rata, mereka
adalah pendatang yang kebetulan saja singgah di Desa Weru ini.
"Padmi sudah tidur, Cempaka?" tanya Pandan Wangi setelah melirik kembali pada
laki-laki tua berbaju putih itu
"Sudah. Katanya lelah sekali," sahut Cempaka seraya menikmati minumannya.
Pandan Wangi kembali melirik laki-laki tua berbaju putih yang rambutnya sudah
memutih semua itu.
Agak heran juga dia, karena laki-laki tua itu sejak tadi tidak lepas
memandanginya terus. Pandan Wangi mencoba mengingat-ingat, kalau-kalau pernah
bertemu dengannya. Tapi dia begitu yakin kalau tidak pernah bertemu sebelumnya.
Namun sepertinya ada sesuatu pada dirinya sehingga laki-laki tua itu terus
memperhatikan. "Kak..."
Pandan Wangi menatap Cempaka.
"Ada apa?"
"Sepertinya Kakang Rangga tidak ada di sini," kata Cempaka dengan suara agak
berbisik. "Mungkin...," sahut Pandan Wangi.
"Kata Ki Jantar, semua orang di sini mengenal dengan baik. Pasti mereka tahu
kalau Kakang Rangga ada di sini," kata Cempaka lagi. "Apa mungkin dia akan
datang ke sini, Kak?"
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah
tersenyum saja. Memang jarang sekali bagi seorang pendekar kelana menginjakkan
kakinya pada satu tempat untuk kedua kalinya. Kalau toh itu dilakukan, pasti
karena kebetulan saja. Apalagi Pandan Wangi tahu betul, kalau Rangga tidak
pernah merencanakan suatu perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti akan berada di
mana saja sekehendak hatinya.
"Kak Pandan tahu dari mana kalau Kakang
Rangga akan ke sini?" tanya Cempaka lagi.
"Hanya perasaan saja," sahut Pandan Wangi.
"Kalau tidak ada di sini?"
"Ya, cari terus," sahut Pandan Wangi setengah bergurau.
"Hhh.... Bisa makan waktu, Kak...," keluh
Cempaka. "Kenapa mengeluh" Bukankah kau sendiri yang ingin ikut, Cempaka...?" gurau
Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak mengeluh. Hanya saja...," Cempaka tidak meneruskan kalimatnya.
"Hanya apa?"
Tapi Cempaka tidak menjawab. Dicoleknya
punggung tangan Pandan Wangi dan dikerdipkan
sebelah matanya. Pandan Wangi berpaling sedikit, dan agak tersentak kaget begitu
tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih.
Tampak tongkat kayu berwarna coklat kemerahan tergenggam di tangannya.
Yang membuat Pandan Wangi terkejut adalah laki-laki tua inilah yang tadi sempat
menjadi perhatiannya.
Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan
kepalanya sedikit. Pandan Wangi dan Cempaka membalas dengan anggukan kepala
sedikit juga. Kedua gadis itu agak keheranan atas kedatangan orang tua yang tidak dikenal sama
sekali. "Apakah Nisanak yang bernama Pandan Wangi?"
tanya orang tua itu dengan suara yang dibuat lembut dan sopan.
"Benar...," sahut Pandan Wangi keheranan.
"Boleh aku duduk di sini sebentar?" pinta orang tua itu.
Pandan Wangi memandang Cempaka sebentar
sebelum mempersilakan laki-laki tua ini duduk di bangku kosong yang ada di
sampingnya. Dengan sikap sopan, orang tua itu duduk di kursi kosong itu.
Tongkatnya disandarkan di tepi meja. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka saling
berpandangan saja. Mereka tidak mengerti dan terus bertanya-tanya dalam hati
atas kemunculan orang tua ini.
*** "Maaf, siapa sebenarnya Kisanak ini?" tanya
Pandan Wangi. "Aku hanya orang tua yang kebetulan bisa melihat kehidupan dan kematian
seseorang," sahut orang tua itu dengan bibir terus menyunggingkan senyum.
Pandan Wangi dan Cempaka kembali saling berpandangan dengan kening berkerut agak
dalam. Kemudian mereka sama-sama memandangi laki-laki tua berbaju putih yang tidak
dikenal sama sekali ini.
Sedangkan orang tua itu hanya tersenyum-senyum saja.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Cempaka
dengan nada suara curiga.
"Orang-orang memanggilku, Ki Ramal, karena aku seorang tukang ramal ulung.
Batinku bisa melihat jalan hidup seseorang tanpa diketahui orang lain,"
laki-laki tua itu memperkenalkan sambil memuji dirinya sendiri.
"Lalu, apa maksudmu mendatangi kami?" tanya Pandan Wangi yang memang sama sekali
tidak pernah bertemu laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Ramal ini sebelumnya.
"Aku melihat ada sesuatu pada dirimu, Nisanak,"
sahut Ki Ramal dengan mata tajam menatap Pandan Wangi.
"Jangan coba-coba meramalku, Kisanak!" sentak Pandan Wangi kurang senang.
"Tidak. Sama sekali aku tidak meramalmu. Tapi...,"
Ki Ramal tidak meneruskan. Sedangkan matanya semakin dalam memandangi Pandan
Wangi Mendapat pandangan begitu dalam, Pandan
Wangi jadi jengah juga. namun di balik itu, hatinya jadi penasaran dan ingin
tahu, apa yang dilihat peramal tua ini dalam dirinya.
"Apa yang kau lihat di dalam diri Kak Pandan, Ki?"
tanya Cempaka yang tidak bisa menahan penasaran di hatinya.
"Sesuatu yang gelap.... Ya..., kegelapan yang sukar untuk ditembus. Aku...,
aku...," suara Ki Ramal agak
tersendat Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan matanya agak menyipit.
Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak senang saja, tapi juga ingin tahu
kelanjutannya. Sementara Cempaka sendiri semakin terlihat penasaran.
Dipandangjnya Ki Ramal dengan wajah penasaran sekali.
"Sudah, Ki. Jangan bikin ulah macam-macam!"
sentak Pandan Wangi seraya menyembunyikan
perasaan sebenarnya.
Namun Ki Ramal masih tetap memandangi
Pandan Wangi dalam-dalam. Dan ini membuatnya jengah. Si Kipas Maut merasa tidak
senang, tapi juga penasaran. Hanya saja keingintahuannya tidak ingin
ditunjukkan. Dan sebenarnya, Pandan Wangi paling tidak suka dirinya diramal-
ramal seperti itu. Menurut-nya, ramalan hanya akan mengganggu ketenangan pikiran
saja, dan belum tentu kebenarannya.
"Oh..., sayang sekali...," desah Ki Ramal tiba-tiba.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya disertai hembusan napas
panjang. Sementara Cempaka semakin tertarik ingin tahu, apa yang dilihat peramal
tua itu. Sampai-sampai tubuhnya disorong-kan ke depan dengan sikut menekan,
bertumpu pada tepi meja.
"Ada apa, Ki?" tanya Cempaka semakin ingjn tahu saja.
"Ah.... Tampaknya nasibmu malang sekali, Nisanak Dalam beberapa hari lagi kau
akan menemui ajal..,"
tebak Ki Ramal dengan suara yang parau dan agak tersendat
"Kurang ajar...!" desis Pandan Wangi langsung memerah wajahnya.
"Maaf, Nisanak Seharusnya aku tidak berkata
demikian. Tapi semua yang kulihat mengatakan demikian. Maaf.... Maafkan aku,
Nisanak...," buru-buru Ki Ramal bangkit berdiri.
"Eh! Tunggu dulu, Ki...!" sentak Cempaka mencoba mencegah.
Ki Ramal melangkah mundur beberapa tindak.
Dipandanginya Cempaka beberapa saat. Sementara Pandan Wangi semakin tidak suka
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan laki-laki tua peramal itu.
"Sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya, jika kau tidak ingin terlibat dalam
bencana," ujar Ki Ramal pada Cempaka.
"He...!" Cempaka tersentak kaget
Tapi sebelum bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah
cepat membalikkan tubuhnya. Dia tampaknya berjalan tergesa-gesa meninggalkan
kedai ini. Sedangkan Pandan Wangi menggerutu, memaki-maki peramal itu. Gadis itu
benar-benar tidak suka diramal akan mati dalam beberapa hari ini. Sementara pada
saat itu, Ki Jantar menghampiri. Pemilik kedai ini langsung duduk di kursi,
tempat peramal tua tadi duduk.
"Apa yang dikatakan peramal tua itu tadi, Den Ayu?" tanya Ki Jantar ingjn tahu.
"Peramal edan..!" dengus Pandan Wangi kesal Si Kipas Maut itu langsung saja
beranjak bangkit.
Minumannya diteguk hingga tandas, kemudian berjalan menuju belakang. Sedangkan
Ki Jantar dan Cempaka hanya memandanginya saja.
"Ada apa dengan Den Ayu Pandan Wangi...?" tanya Ki Jantar jadi semakin ingjn
tahu. "Tidak tahu," sahut Cempaka seraya mengangkat bahunya.
"Apakah peramal itu mengatakan kalau Den Ayu
Pandan Wangi akan mati...?" tebak Ki Jantar langsung.
Cempaka terkejut bukan main, sampai-sampai memandangi pemilik kedai itu dalam-
dalam. Dugaan Ki Jantar memang tidak meleset sama sekali, dan ini yang membuat
Cempaka terkejut bukan main
"Maaf, Den Ayu. Biasanya peramal itu selalu meramalkan kematian orang. Itu
sebabnya dia dijuluki si Peramal Maut," jelas Ki Jantar buru-buru.
Cempaka tidak berkata apa-apa, lalu bergegas bangkit berdiri dan meninggalkan
kedai itu setelah membayar makanan dan minumannya lebih dulu.
Sementara Ki Jantar memandanginya sampai
Cempaka lenyap di balik pintu. Laki-laki tua pemilik kedai itu menggelengkan
kepala beberapa kali.
Terdengar tarikan napas yang dalam disusul hembusan napas kencang.
"Hhh..., kenapa harus Den Ayu Pandan Wangi yang kena ramalan peramal tua
itu...?" desah Ki Jantar terasa berat
*** Semalaman Pandan Wangi tidak bisa memicing
kan mata barang sekejap saja. Kata-kata si Peramal Maut itu selalu tergiang di
telinganya. Semalaman dia dirundung kegelisahan. Sukar baginya melupakan kata-
kata peramal tua itu. Sementara Pandan Wangi diliputi kegelisahan, Cempaka sudah
terlelap dalam tidur bersama Padmi di kamar lain. Dan mereka memang menyewa dua
kamar yang terpisah.
"Hhh...!" Pandan Wangi menghembuskan napas kuat-kuat sambil melompat bangkit
berdiri dari pembaringan.
Udara di kamar ini terasa begitu panas dan pengap sekali. Gadis itu mengayunkan
kakinya mendekati jendela kamar yang tertutup rapat. Perlahan jendela kamar itu
dibuka. Angin malam yang dingin, langsung menerobos masuk menerpa wajahnya yang
cantik. Namun belum juga Pandan Wangi menikmati
segarnya udara malam ini, mendadak saja....
Slap! "Heh..."!" Pandan Wangi tersentak kaget Cepat sekali tubuhnya dimiringkan ke
kanan ketika tiba-tiba sekali terlihat sebuah benda meluncur deras ke arahnya.
Maka benda itu lewat sedikit di depan matanya, langsung menghantam dinding.
Sedikit Pandan Wangi melirik ke arah benda yang ternyata sebatang anak panah
itu, kemudian langsung melesat melalui jendela, ke luar penginapan.
Begitu cepat dan ringan sekali lesatan si Kipas Maut, hingga tahu tahu sudah
hinggap di atas atap rumah penginapan ini. Sekejap tampak sebuah bayangan
berkelebat di dalam kegelapan malam ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuh sambil
memperguna kan ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Begitu ringan dan cepat sekali, sehingga si Kipas Maut itu lenyap dari pandangan
mata. Yang terlihat hanya bayangan biru saja yang berkelebat cepat mengejar
bayangan hitam yang bergerak cepat menyelinap dari rumah-rumah penduduk. Dan
bayangan hitam itu lenyap setelah sampai di sebuah kebun yang dipenuhi pohon
kelapa. Pandan Wangi menghentikan kejarannya begitu sampai di tempat bayangan
hitam tad menghilang.
Slap! "Hup...!"
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke atas ketika telinganya mendengar
desiran halus dari samping kanannya. Ternyata sebatang anak panah meluncur deras
ke arahnya. Anak panah itu
menancap di batang pohon kelapa setelah lewat di bawah kaki si Kipas Maut itu.
Pada saat yang sedikit itu, Pandan Wangi kembali melihat sebuah bayangan hitam
berkelebatan cepat.
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat mengejar bayangan hitam itu. Dan
setelah berputaran beberapa kali di udara, si Kipas Maut itu berhasil melewati
kepala bayangan hitam itu. Langsung kakinya mendarat tepat menghadang di
depannya. Bayangan hitam itu menghentikan larinya seketika, namun tangan kanannya
berkelebat cepat ke depan.
Bet! "Hap...!"
Pandan Wangi memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu mengibaskan tangan
kanannya sambil mencabut kipas baja putih yang terselip di pinggang.
Seketika itu juga kipas baja putih mengembang terbuka, bersamaan dengan kebutan
tangan yang memegangnya. Seketika Pandan Wangi merasakan adanya benturan keras
pada senjata mautnya itu.
Namun dengan cepat sekali kipas baja putihnya yang sempat terhentak dikuasai.
Pada saat yang bersamaan, sosok manusia berpakaian serba hitam itu melompat
menerjang sambil mencabut sebilah golok yang terselip di pinggang.
Golok yang berkilatan tertimpa sinar bulan itu, berkelebatan mengarah ke
beberapa bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan.
"Hap! Yeaaah...!"
Dengan gerakan manis sekali, Pandan Wangi
menghindari serangan golok ini. Serangan-serangan orang berbaju hitam itu memang
cepat sekali, sehingga tidak memberi kesempatan sama sekali pada Pandan Wangi
untuk bisa menarik napas sebentar saja. Bahkan tidak ada kesempatan untuk balas
menyerang. Si Kipas Maut hanya bisa
berlompatan dan berkelit menghindari serangan-serangan gencar itu. Bahkan
sepertinya orang berbaju hitam itu sengaja mau mengadu senjatanya dengan kipas
yang berada di tangan Pandan Wangi.
"Uts! Yeaaah...!"
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke udara ketika golok orang itu
menyambar ke arah kakinya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan.
Sambil memutar tubuhnya di udara, si Kipas Maut mengebutkan kipas baja putihnya
ke arah kepala orang itu. Tak ada kesempatan bagi orang berbaju hitam itu untuk
berkelit. Terpaksa kepalanya di-lindungi dengan kibasan goloknya untuk menyampok
serangan kipas baja putih itu
Trang! Trak...! "Heh..."!" orang berbaju serba hitam itu terkejut bukan main, begitu goloknya
patah jadi dua bagian setelah berbenturan dengan kipas baja putih di tangan
Pandan Wangi. Dan sebelum rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja Pandan Wangi sudah
melontarkan satu tendangan keras menggeledek ke arah orang berbaju hitam itu.
Tendangan yang cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, tak dapat
terbendung lagi.
"Hiyaaa...!"
Deghk! "Heghk..!" orang berbaju hitam itu mengeluh pendek
Tendangan Pandan Wangi tepat mendarat di
dadanya, sehingga membuat orang berbaju serba hitam itu terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak, Sedangkan Pandan Wangi yang sudah tidak memberi
kesempatan lagi, dengan cepat melompat memburu. Namun sebelum satu pukulan
dilontarkan, mendadak saja melesat sebuah benda bersinar kemerahan ke arah orang
berbaju hitam itu. Maka....
Crab! "Aaa...!" orang itu menjerit keras melengking.
"Heh..."!" Pandan Wangi terkejut
Tapi orang berbaju hitam itu sudah tergeletak di tanah dengan dada tertembus
sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna merah. Pandan Wangi berdiri tegak. Sebentar
ditatapnya orang berbaju hitam yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
Kemudian pandangannya diedarkan ke sekeliling.
Tapi sejauh mata memandang tak ada yang bisa terlihat, kecuali kegelapan malam
disertai hembusan angjn dingin menusuk kulit
"Huh...!" Pandan Wangi menghembuskan napas panjang.
*** Kaki Pandan Wangi terayun perlahan-lahan
menyusuri jalan Desa Weru yang berdebu. Saat ini pagi baru saja datang
menjelang. Dan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Hanya sinar
kemerahannya saja yang menyemburat, membias di balik bukit sebelah Timur.
Semalaman Pandan Wangi
benar-benar tidak tidur. Dia masih belum mengerti dengan penyerangan yang
dilakukan orang berbaju serba hitam semalam.
Sama sekali orang berbaju serba hitam itu tidak dikenalnya. Dan yang pasti, ada
orang lain lagi yang menginginkan kematiannya pula. Orang yang tidak diketahui
sama sekali itu seperti sengaja melenyap-kan lawan bertarung Pandan Wangi. Si
Kipas Maut itu menyesal, karena tidak sempat lagi mengorek keterangan dari
penyerangnya yang tewas dengan dada tertembus mata tombak di dadanya.
Pagi-pagi begini penduduk Desa Weru sudah
keluar dari rumahnya. Mereka yang mengenal Pandan Wangi, langsung menyapa dengan
anggukan kepala sedikit Dan Pandan Wangi membalasnya dengan ramah. Gadis itu
memang sudah beberapa kali datang ke desa ini, sehingga banyak orang yang
mengenalnya dengan baik. Saat itu terlihat seorang laki-laki setengah baya
menunggang kuda datang dari arah depan. Pandan Wangi tahu kalau dia adalah Ki
Sarumpat, Kepala Desa Weru.
"Hooop...!" Ki Sarumpat menghentikan kudanya tepat di depan Pandan Wangi yang
menghentikan ayunan kakinya.
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, kepala desa itu melompat turun dari
punggung kuda belang hitam putih yang tegap dan bagus sekali. Laki-laki setengah
baya yang mengenakan baju putih itu menghampiri Pandan Wangi. Kepalanya
terangguk sedikit, yang langsung dibalas Pandan Wangi dengan anggukan kepala
juga. "Maaf, Den Ayu. Aku baru mendengar kedatangan Den Ayu pagi ini," kata Ki
Sarumpat dengan sikap sopan dan penuh rasa hormat.
"Ah, Ki Sarumpat ini hanya merepotkan diri saja,"
kata Pandan Wangi merasa tidak enak
"Ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan jasa Den Ayu pada desa ini," kilah
Ki Sarumpat. Pandan Wangi hanya tersenyum saja, lalu mengayunkan kakinya kembali. Ki Sarumpat
mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping si Kipas Maut itu sambil
menuntun kudanya yang mendengus-dengus mengikuti dari belakang.
Pandan Wangi teringat akan kedatangannya yang terakhir di desa ini. Di sini
gerombolan begal yang menguasai desa sempat diobrak-abriknya. Itu sebabnya,
kenapa seluruh penduduk desa ini mengenal dirinya dengan baik. Bahkan ketika
datang bersama Rangga, desa ini diselamatkan dari kehancuran yang parah sekali.
Desa Weru memang juga bisa dikatakan sebuah desa yang sangat rawan, karena
letaknya yang terpencil dan jauh dari desa-desa lainnya. Jadi tak heran bila
sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri untuk
dijadikan markas mereka. Atau sering juga dijadikan tempat persembunyian bagi
tokoh hitam persilatan yang sedang dikejar-kejar pendekar.
Dan memang, setiap kali Pandan Wangi berada di desa ini, pasti ada masalah yang
selalu melibatkan dirinya. Baru semalaman saja berada di desa ini, sudah ada
orang yang hendak membunuhnya.
Pandan Wangi tidak percaya kalau kehadirannya di Desa Weru ini memang sudah
dinantikan. "Kabarnya Den Ayu datang tidak bersama Den Rangga," kata Ki Sarumpat mengisi
kebisuan yang terjadi.
"Benar, Ki. Justru aku sedang mencari Kakang Rangga ke sini," sahut Pandan Wangi
membenarkan. "Ah..., sayang sekali. Den Ayu terlambat," desah Ki Sarumpat
"Terlambat..?" Pandan Wangi tercenung.
Gadis itu sampai menghentikan langkahnya
sebentar dan memandangi kepala desa itu dalam-dalam.
Kemudian kakinya terayun kembali perlahan-
lahan. "Apakah Kakang Rangga baru dari sini, Ki?"
Tanya Pandan Wangi.
"Dua hari yang lalu," sahut Ki Sarumpat
"Dan sekarang ke mana?" tanya Pandan Wangi lagi
"Ke Bukit Tanggul. Katanya, Den Rangga akan menemui seseorang di sana. Aku
sendiri tidak tahu, siapa yang akan ditemuinya di bukit gersang itu."
Pandan Wangi kembali tercenung. Dia tahu, Bukit Tanggul adalah sebuah bukit
gersang, dan tidak ada satu tumbuhan pun hidup di sana. Bukit yang hanya terdiri
dari batu-batu cadas keras, namun mudah sekali longsor. Bukit itu juga sering
dijadikan arena pertarungan bagi tokoh-tokoh rimba persilatan yang ingin menguji
ilmu. Pandan Wangi berharap kalau kedatangan Rangga ke bukit itu tidak karena ingin
bertarung. Tapi mengingat bukit itu memang sering dijadikan arena pertarungan,
kecemasan tak bisa lagi dibendung.
Terlebih lagi, dia tahu kalau tokoh persilatan yang bertarung di sana pasti
merupakan tokoh berilmu tinggi. Bukit Tanggul memang terkenal untuk pertarungan
tokoh-tokoh tingkat tinggi!
"Ki Sarumpat tahu tujuan Kakang Rangga ke
sana?" tanya Pandan Wangi.
"Semua orang pasti sudah bisa mengetahui, Den Ayu," sahut Ki Sarumpat.
Pandan Wangi tidak perlu penjelasan lagi dari jawaban Ki Sarumpat tadi. Sudah
jelas, kedatangan Rangga ke sana pasti untuk bertarung. Tapi siapa lawannya..."
Dan yang pasti, Pandan Wangi sudah menduga kalau Pendekar Rajawali Sakti pasti
hanya memenuhi undangan. Tidak mungkin Rangga membuat tantangan, karena memang
tidak pernah membuat tantangan pada siapa pun juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
juga tidak pernah
mengecewakan orang lain yang memberikan
tantangan padanya. Rangga akan melayani walau merasa berat sekali pun.
*** 4 Pandan Wangi memacu cepat kudanya mendaki Bukit Tanggul yang berbatu dan
berkerikil tajam, siap menggelincirkan siapa saja yang mencoba melewati nya.
Sedangkan agak jauh di belakangnya, tampak Cempaka dan Padmi yang kini masing-
masing sudah menunggang kuda. Tapi Cempaka belum berani melepas Padmi berkuda
sendiri, meskipun kelihatannya gadis itu sudah bisa mengendalikan kuda. Padmi
memang cerdas, dan bisa cepat menangkap apa saja.
Hanya setengah hari saja Cempaka mengajarinya menunggang kuda, gadis itu sudah
bisa seperti penunggang kuda kawakan saja.
"Hup...!"
Pandan Wangi melompat turun dari punggung
kuda yang dihentikan dengan mendadak sekali.
Sebentar dipandanginya puncak bukit ini, kemudian pandangannya beralih pada
Cempaka yang menuntun Padmi di atas punggung kudanya. Cempaka juga bergegas
melompat turun dari punggung kudanya begitu sampai di depan Pandan Wangi, lalu
membantu Padmi turun dari kudanya. Pandan Wangi jadi agak terharu juga terhadap
Cempaka yang mau bersusah payah mengurusi Padmi yang baru
beberapa hari dikenalnya.
"Terpaksa kita tinggalkan kuda di sini," kata Pandan Wangi.
"Jalan kaki..."!" Cempaka mengerutkan keningnya.
Gadis itu memandangi puncak bukit yang masih kelihatan tinggi, kemudian beralih
pada Pandan Wangi yang saat itu juga tengah memandangi Puncak Bukit Tanggul ini.
"Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Cempaka. Aku akan melihat ke atas sana.
Mudah-mudahan saja Ki Sarumpat salah," ujar Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berapa lama kau akan ke sana?" tanya Cempaka.
"Entahlah," sahut Pandan Wangi mendesah.
Cempaka diam saja, lalu sedikit melirik Padmi.
Memang tidak mungkin membawa gadis yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan
mendaki bukit yang gersang ini. Dan kelihatannya bukit ini berbahaya sekali.
"Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Kak," kata Cempaka mengalah.
Pandan Wangi tersenyum dan menepuk pundak
Cempaka, kemudian menepuk pundak Padmi. Tanpa mengucapkan sesuatu, si Kipas Maut
itu langsung melesat cepat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerakannya sangat cepat dan ringan sekali. Maka dalam waktu sebentar saja dia
sudah jauh meninggalkan Cempaka dan Padmi.
Sementara itu Padmi terus memandangi Pandan Wangi yang semakin jauh menuju
Puncak Bukit Tanggul ini. Dia kagum dengan kepandaian yang dimiliki Pandan
Wangi. "Enak sekali ya, kalau bisa seperti itu," gumam Padmi tanpa sadar.
"Kau juga bisa, Padmi," sahut Cempaka dengan bibir menyunggingkan senyum.
Padmi tersipu malu. Ternyata gumamannya yang tidak disadari tadi didengar
Cempaka. "Kalau kau mau berlatih, pasti bisa," kata Cempaka lagi.
"Berlatih...?" Padmi memandangi Cempaka dalam-
dalam. "lya! Untuk bisa menguasai ilmu olah kanuragan, harus berlatih lebih dahulu. Dan
harus ada seseorang yang bisa memberikan latihan. Kau harus mencari seorang
guru, Padmi," jelas Cempaka.
"Bagaimana kalau Kak Cempaka sendiri yang
melatihku," kata Padmi meminta dengan polos.
Cempaka jadi tertawa geli mendengarnya. Tapi dihargainya juga keinginan Padmi
yang begitu menggebu ingin bisa ilmu olah kanuragan. Mungkin karena beberapa
peristiwa yang dialaminya, sehingga dia begitu berminat terhadap ilmu olah
kanuragan. Terlebih lagi setelah melihat pertarungan yang dilakukan Cempaka dan Pandan
Wangi. Dan sekarang, ketika melihat Pandan Wangi bisa bergerak begitu cepatnya mendaki
bukit batu yang gersang ini, Padmi semakin tertarik untuk bisa seperti itu.
Disesali kalau dirinya begitu lemah.
"Bukannya aku tidak mau, Padmi. Aku sendiri masih harus banyak belajar. Apa yang
kumiliki sekarang ini, masih jauh kekurangannya," kata Cempaka merendah.
"Aku bersedia mengabdikan diri sepenuhnya, Kak.
Aku akan melakukan apa saja yang Kak Cempaka perintahkan," tegas Padmi mantap.
"Jangan, Padmi. Sebaiknya carilah seorang guru yang pantas dan berilmu tinggi.
Aku belum pantas menjadi guru," Cempaka masih merendah.
Padmi seperti kecewa dengan penolakan Cempaka yang halus itu. Dan ini membuat
adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu semakin iba saja. Keinginan Padmi yang mau
mempelajari ilmu olah kanuragan padanya kini dipertimbangkannya.
"Nanti akan kutanyakan dulu pada Kakang
Rangga, Padmi. Kalau Kakang Rangga mengizinkan, aku akan memberimu jurus-jurus
yang kumiliki," kata Cempaka berjanji.
"Siapa itu Kakang Rangga?" tanya Padmi ingin tahu.
"Dia kakakku, tunangannya Kak Pandan," jelas Cempaka.
"Apakah Kakang Rangga juga berilmu tinggi?"
tanya Padmi lagi.
"Wah...! Sukar dikatakan, Padmi. Aku sendiri belum ada seujung kukunya bila
dibandingkan Kakang Rangga," Cempaka membanggakan kakak tirinya itu.
"Tapi sungguh ya, Kak...?" Padmi ingin penegasan Cempaka mengangguk dan
tersenyum. "Terima kasih, Kak," ucap Padmi gembira.
Lagj-lagi Cempaka hanya tersenyum saja. Dia memang juga merasa senang jika bisa
membantu kaumnya sendiri. Bahkan sebenarnya dia ingin agar wanita-wanita di
mayapada ini tidak lemah dan mampu bertindak pada laki-laki. Terutama pada laki-
laki yang biasanya suka menganggap kaum wanita yang hanya penghias saja yang
harus dinikmati sepuas-puasnya. Setelah itu, dicampakkan bagai sampah busuk
Padmi kembali diam. Namun dari sorot matanya, dia ingin sekali bertemu orang
yang bernama Rangga itu. Bahkan banyak penduduk Desa Weru yang mengenal Rangga
dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya sekadar mengenal, tapi juga
mengagumi dan menghormatinya. Padmi sendiri pun baru tahu kalau Pandan Wangi
juga memiliki julukan, yaitu si Kipas Maut. Dia tidak mengerti dengan nama-nama
yang terdengar aneh itu.
*** Sementara itu Pandan Wangi sudah sampai di Puncak Bukit Tanggul yang sangat
gersang ini. Sepanjang mata memandang, hanya batu-batu saja yang tampak. Tak ada satu
tumbuhan pun yang hidup. Hal ini membuat udara di puncak bukit ini menjadi
begitu panas menyengat bila matahari bersinar terik, Meskipun angin berhembus
kencang, tapi tidak mampu meredam panasnya sinar matahari yang menyorot langsung
tanpa penghalang sedikit pun juga.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tak ada yang bisa dilihat kecuali batu-batu yang memenuhi puncak
bukit ini. Bahkan tidak terdengar apa pun, selain hembusan angin kencang di
sekitarnya yang menebarkan debu dari batu-batu yang meranggas terpanggang. Namun
pandangan si Kipas Maut itu tertumbuk pada seberkas cahaya yang membias dari
balik sebuah batu besar di sebelah Selatan.
"Hup...!"
Cepat sekali Pandan Wangi melesat ke arah
cahaya yang membias terang di antara teriknya sinar matahari yang memancar
langsung tanpa penghalang sedikit pun juga.
"Oh...!" Pandan Wangi mendesah begitu sampai ke balik batu itu.
Tampak sekali kalau di sana sedang terjadi pertarungan adu kesaktian dari dua
orang laki-laki.
Yang seorang sangat dikenali, sedangkan yang seorang lagi tidak dikenalnya.
Tentu saja Pandan Wangi mengenali pemuda yang mengenakan baju rompi putih. Dia
memang tidak lain Pendekar
Rajawali Sakti yang nama sebenarnya adalah Rangga.
Pandan Wangi tak berani mendekat, karena tahu kalau saat ini Rangga tengah
mengerahkan ajiannya yang sangat dahsyat Aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian
yang belum ada tandingannya pada saat ini.
Dan Pandan Wangi mengetahui kedahsyatan dari ajian itu.
"Hiyaaa...!"
'Yeaaah...!"
Mendadak saja dua orang yang sedang bertarung itu sama-sama berteriak nyaring
melengking tinggi.
Dan terlihat, mereka sama-sama berpentalan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti
terpental sejauh dua batang tombak, namun manis sekali sepasang kakinya menjejak
mantap di atas bebatuan.
Sedangkan lawannya sempat bergulingan beberapa kali di atas bebatuan sebelum
melompat bangkit berdiri. Tubuhnya agak limbung sedikit, namun mampu
menguasainya dengan cepat sekali.
Pandan Wangi memandang laki-laki berusia lanjut itu tanpa berkedip. Laki-laki
tua berusia mungkin sudah mencapai delapan atau sembilan puluh tahun.
Dia mengenakan baju panjang berwarna biru tua.
"Aku mengakui ketangguhanmu, Pendekar
Rajawali Sakti," puji laki-laki tua itu sambil menyeka darah yang menetes keluar
dari sudut bibirnya.
"Kau juga patut dibanggakan, Eyang Raksa," sahut Rangga diiringi senyuman.
"Terus terang, itu tadi ilmu pamungkasku yang terakhir. Dan jika kau masih
memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi, saat ini juga aku mengaku kalah," kata
laki-laki tua yang dipanggjl Eyang Raksa itu, jujur.
Rangga tidak langsung menjawab. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti masih
memiliki ilmu-ilmu
simpanan yang didapatkan dari Satria Naga Emas.
Dan aji 'Cakra Buana Sukma' tadi merupakan ilmu pamungkasnya dari Pendekar
Rajawali yang menjadi gurunya meskipun sudah meninggal seratus tahun yang lalu.
"Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti,.." Apakah kau masih memiliki ilmu lain?"
tanya Eyang Raksa ingjn tahu.
"Tidak," sahut Rangga yang tidak ingin mengecewakan laki-laki tua ini.
"Hm.... Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti," ujar
Eyang Raksa agak bergumam. Dan nada suaranya seperti kecewa.
"Aji 'Cakra Buana Sukma' merupakan ilmu terakhir dari ilmu-ilmu Rajawali Sakti.
Dan aku tidak memiliki yang lainnya," jelas Rangga terus terang.
"Aku tahu kalau mendiang gurumu punya sahabat karib di masa hidupnya. Apakah
Satria Naga Emas tidak menurunkan sedikit ilmunya padamu...?"
Rangga agak terkejut juga. Tidak disangka kalau laki-laki tua ini mengetahui
banyak tentang Pendekar Rajawali dan Satria Naga Emas yang hidup lebih dari
seratus tahun lalu. Namun sedapat mungkin Rangga tidak ingin menonjolkan diri
kalau juga memiliki beberapa ilmu yang diturunkan Satria Naga Emas padanya.
Karena jarang sekali ilmu-ilmu dari Satria Naga Emas dalam setiap pertarungan
digunakannya. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang menggunakan ilmu-ilmu Rajawali Sakti yang
sangat sesuai dengan gelar yang disandangnya.
"Aku tahu, kau tentu punya alasan sendiri
sehingga tidak mau mengeluarkan ilmu milik Satria Naga Emas, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi kemenanganmu tetap kuakui. Dan aku menyatakan
kalah padamu sekarang juga," kata Eyang Raksa jujur.
Orang tua itu memandangi pemuda tampan
berbaju rompi putih yang telah membuatnya takluk hari ini di Puncak Bukit
Tanggul. Selama puluhan tahun bergelut di dalam ganasnya rimba persilatan, baru
kali ini dia menyatakan takluk, meskipun pada seorang pemuda.
"Jangan terlalu merendah begitu, Eyang. Aku lebih senang jika kita bersahabat,"
kata Rangga. "Kau memang benar-benar seorang pendekar
sejati, Pendekar Rajawali Sakti," puji Eyang Raksa kagum dengan kerendahan hati Rangga.
'Panggil saja aku Rangga, Eyang," pinta Rangga.
"Rangga...," gumam Eyang Raksa dengan kepala terangguk-angguk. "Nama yang
gagah...."
Rangga tersenyum saja, kemudian membalikkan tubuhnya. Tapi hatinya jadi
terkesiap begitu matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramping terbungkus baju
ketat warna biru muda. Memang sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya.
"Pandan..," desis Rangga.
*** Pandan Wangi menghampiri Rangga dengan
langkah setengah berlari. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu saja
di samping Eyang Raksa. Gadis itu berhenti setelah jaraknya sekitar tiga langkah
lagi di depan pemuda berbaju rompi putih. Sesaat mereka saling berpandangan
dengan kerinduan terpancar pada sinar mata satu sama lain. Kalau saja tidak ada
orang lain di sini, pasti Pandan Wangi sudah menghambur memeluknya
untuk melepaskan kerinduan yang terpendam di dalam dada.
"Kakang...," hanya itu yang bisa terucapkan Pandan Wangi.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini, Pandan?"
tanya Rangga. "Ki Sarumpat yang memberi tahu," sahut Pandan Wangi.
Rangga tidak bertanya lagi. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah mengatakan
akan ke bukit ini pada Ki Sarumpat, Dan dia memang sempat singgah di Desa Weru
sebelum datang ke sini. Tapi
maksudnya ke bukit ini memang tidak diberitahu-kannya.
Rangga kemudian memperkenalkan Pandan
Wangi pada Eyang Raksa. Seorang tokoh tua yang hanya ingin menguji ilmu
dengannya. 'Kau beruntung bisa dekat dengan pendekar
tangguh berhati emas, Nisanak," puji Eyang Raksa.
"Sudahlah, Eyang. Jangan terlalu banyak memuji.
Bisa besar kepala nanti aku...," seloroh Rangga.
Mereka tertawa lepas mendengar seloroh
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan suasana kaku cepat terusir dari diri masing-
masing. Hanya saja Rangga tidak mengerti akan kedatangan Pandan Wangi yang
begitu tiba-tiba ini. Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi tidak membawa
sesuatu, hingga jauh-jauh datang dari Karang Setra ke Bukit Tanggul ini.
Mereka kemudian berjalan perlahan tanpa ada yang bisa dijadikan alasan untuk
bergegas meninggalkan Puncak Bukit Tanggul ini. Namun begitu sampai di lereng
bukit, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun melihat dua orang gadis yang
kelihatannya sedang menunggu dirinya. Rangga mengenali gadis
yang satunya lagi, dan ini membuatnya jadi memandang Pandan Wangi seperti minta
penjelasan. Dan semakin diyakini kalau ada sesuatu, sehingga Pandan Wangi dan Cempaka jauh-
jauh datang mencarinya. "Nanti aku jelaskan," kata Pandan Wangi bisa mengerti pandangan Rangga.
"Rangga, sebaiknya aku pergi saja. Barangkali ada persoalan pribadi yang hendak
kau sampaikan," kata Eyang Raksa tahu diri.
Rangga tidak sempat lagi mencegah, karena Eyang Raksa sudah cepat melesat
meninggalkannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja
bayangan laki-laki tua itu sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga kembali
melangkah agak cepat menghampiri Cempaka yang menunggu bersama Padmi. Sementara
Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
"Kakang...."
Cempaka langsung menghambur memeluk
Rangga. Sikap Cempaka ini membuat Rangga agak gelagapan juga. Gadis itu selalu
saja bersikap begitu bila bertemu dengannya. Tidak dipedulikan lagi kalau di
sekitarnya ada orang lain. Perlahan Rangga melepaskan pelukan adik tirinya ini.
Dan kalau didiamkan saja, Cempaka tidak akan melepaskan pelukannya. Rangga tahu
betul hal ini. "Oh, iya.... Ini Padmi, Kakang. Aku membawanya karena sudah tidak punya siapa-
siapa lagi," Cempaka langsung mengenalkan Padmi pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti pun memegang tangan Padmi dan menepuk-nepuk bahunya.
Kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di samping sebelah kanannya.
"Jangan salahkan Kak Pandan, Kakang. Aku
sendiri yang mau ikut Kak Pandan dan Kakang Danupaksi sudah melarangku," jelas
Cempaka cepat, seakan-akan sudah merasakan kalau Rangga akan menyalahkan Pandan
Wangi karena membawanya.
"Ada apa sampai menyusulku ke sini?" tanya Rangga langsung.
"Hanya kangen saja, kok," celetuk Cempaka
menyahuti dengan cepat
Rangga menatap Cempaka sebentar, kemudian
beralih pada Padmi. Pandangannya kemudian
berhenti pada Pandan Wangi. Dia tahu kalau tidak akan mungkin bisa mendapatkan
jawaban berarti dari Cempaka. Dan hanya Pandan Wangi yang benar-benar bisa
diajak bicara. Itu pun kalau Pandan Wangi tidak kumat dengan sikapnya yang dulu
lagi. "Ada apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Hanya sedikit persoalan saja, Kakang," sahut Pandan Wangi
"Persoalan apa?" desak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau ada sesuatu yang sangat berat sehingga kedua
gadis ini mencarinya jauh-jauh. Dan yang pasti, persoalan itu harus diselesaikan
oleh dirinya sendiri. Rangga sudah merasa yakin sekali.
"Jelaskan, Pandan. Aku tidak ingin bertele-tele,"
desak Rangga. "Nanti saja, Kakang. Masih banyak waktu...," ujar Cempaka seraya menggamit
lengan Pendekar
Rajawali Sakti dan memeluknya dengan sikap manja.
Dan Rangga tidak bisa lagi melakukan sesuatu saat Cempaka sudah menariknya
berjalan menuruni lereng bukit ini. Sementara Pandan Wangi hanya menarik napas
panjang saja. Diambilnya tali kekang,
lalu berjalan sambil menuntun kuda putih itu.
Sementara Padmi terpaksa menuntun dua ekor kuda tanpa mengeluh sedikit pun juga.
Pandan Wangi memandangi Cempaka yang ber-
jalan di depan sambil memeluk lengan Rangga. Sikap gadis itu manja sekali. dan
Pandan Wangi sebenarnya iri melihatnya. Dia ingin sekali bermanja-manja begitu
pada Rangga, tapi tidak mungkin bisa dilakukan di depan orang lain. Sedangkan
kesempatan untuk mereka berdua terbatas sekali. Sepertinya tidak ada waktu bagi
Pandan Wangi untuk menunjukkan rasa cintanya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti 46 Misteri Peramal Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang ada sedikit kecemburuan di hatinya. Tapi harus disadari kalau Cempaka
adalah adik tiri Rangga. Dan tidak mungkin ada hubungan lain di antara mereka
selain hubungan kakak dan adik.
Memang diakui oleh Pandan Wangi kalau sikap Cempaka terasa terlalu berlebihan.
"Ahhh...," Pandan Wangi mendesah panjang.
*** 5 Pandan Wang; memandangi laki-laki tua berbaju putih yang bernama Ki Ramal atau
berjuluk si Peramal Maut. Peramal tua itu tengah asyik berbicara dengan seorang
laki-laki bertubuh gemuk dan berpakaian indah. Melihat dari pakaiannya, Pandan
Wangi menduga kalau laki-laki gemuk itu seorang saudagar yang kebetulan singgah
di desa ini. "Kasihan saudagar itu...."
Pandan Wangi berpaling ketika mendengar suara yang begitu dekat di sampingnya.
Entah dari mana, tahu-tahu Ki Jantar sudah berada di sampingnya.
Laki-laki tua pemilik kedai ini seperti tidak tahu kalau Pandan Wangi tengah
memandanginya. "Kenapa kau berkata seperti itu, Ki?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
'Pasti bakal ada yang mati lagi," sahut Ki Jantar setengah bergumam.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi tidak mengerti.
"Si Peramal Maut itu pasti sedang meramal
kematian Saudagar Kanta. Hhh..., bakalan kehilangan satu pelanggan lagi," keluh
Ki Jantar. "Jangan percaya dengan ramalannya, Ki," kata Pandan Wangi. Karena dirinya
sendiri juga diramal bakal mati oleh Peramal Maut, tapi sampai sekarang masih
bisa bernapas. Ki Jantar berpaling menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya. Pandan Wangi
menggeser duduknya memberi tempat pada pemilik kedai dan rumah penginapan ini.
Ki Jantar menempatkan diri di
samping si Kipas Maut itu.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15 Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 5