Pencarian

Pembunuh Misterius 2

Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius Bagian 2


telapak tangan orang bertopeng tengkorak itu,
secepat kilat Surti memiringkan tubuhnya ke kiri.
Maka benda hitam itu lewat sedikit di samping
tubuhnya. "Ternyata kau punya kepandaian juga, Surti.
Bagus...! Sekarang terimalah seranganku!
Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Surti cepat melompat ke atas sambil
menghentakkan kedua tangan ke depan untuk
menyambut serangan yang dilancarkan si
Anggrek Hitam. Tak pelak lagi, dua pasang
telapak tangan berbenturan keras di udara.
Akibatnya, timbullah ledakan dahsyat bagai
letusan gunung berapi.
Tampak Surti terpental ke belakang sejauh
dua batang tombak. Beberapa kali gadis itu
melakukan putaran indah di udara, kemudian
manis sekali mendarat di tanah. Tepat pada saat
itu si Anggrek Hitam Juga mendarat manis sekali.
Mereka berdiri saling berhadapan, berjarak
sekitar tiga batang tombak.
"Tidak semudah itu membunuhku, Anggrek
Hitam!" dengus Surti dingin.
Bet' Surti cepat mengebutkan tangan ke depan,
dan perlahan Anggrek Hitam juga sudah bersiap
hendak menyerang kembali. Tampak jelas kalau
dia seperti tidak percaya, karena Surti mampu
menerima serangannya tadi. Gadis yang tampak
lemah itu ternyata memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. "Sia-sia saja kau bertahan, Surti. Kau akan mampus malam ini juga! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Anggrek Hitam melompat me-
nyerang gadis berbaju hitam ketat itu. Dua kali pukulan keras bertenaga dalam
tinggi dilepaskan.
Namun Surti dapat menghindar dengan
meliukkan tubuhnya. Bahkan tanpa diduga sama
sekali, gadis itu mampu memberi serangan
balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Di bawah siraman cahaya bulan, dua tubuh
hitam bertarung saling bertahan dan menyerang.
Jurus-jurus yang digunakan sudah mencapai
taraf tinggi, sehingga sungguh dahsyat Dan
mereka bergerak begitu cepat, sehingga sukar
diikuti pandangan mata biasa. Jurus demi jurus
pun cepat berlalu. Tanpa terasa, mereka sama-
sama sudah menghabiskan lebih dari sepuluh
jurus. Namun sampai saat ini belum seorang pun
yang kelihatan terdesak.
"Phuih! Ternyata dia tangguh juga...!"
dengus Anggrek Hitam.
Memang si Anggrek Hitam tidak menyangka
kalau gadis lemah ini memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. Tidak heran sampai lebih sepuluh
jurus Surti masih mampu bertahan.
"Pecah kepalamu! Hiyat..!" teriak Surti tiba-tiba. Bagaikan kilat, gadis itu
melompat sambil
melepaskan satu pukulan keras menggeledek
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun dengan merundukkan kepala saja, si
Anggrek Hitam berhasil mengelakkan pukulan
itu. Kemudian tubuhnya cepat diputar ketika
Surti sudah melewati atas kepalanya. Namun
begitu tubuhnya berbalik, mendadak saja Surti
melepaskan satu tendangan keras yang cepat luar
biasa ke arah dada.
Dieghk! "Akh...!" si Anggrek Hitam memekik
tertahan. Sungguh tidak disangka kalau Surti mampu
melepaskan tendangan. Padahal, sedikit pun
kakinya belum menjejak tanah Si Anggrek Hitam
terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak,
sambil mendekap dada. Bergegas dia melakukan
beberapa gerakan untuk mengusir rasa sesak
yang tiba-tiba saja mengganjal dadanya.
Sementara itu Surti sudah bersiap kembali
hendak menyerang.
"Hiyaaat..!"
Surti benar-benar tidak ingin memberi
kesempatan kepada manusia bertopeng tengkorak
itu untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Cepat-
cepat dia menyerang dahsyat dan cepat luar
biasa, sebelum si Anggrek Hitam selesai
menguasai pernapasannya. Terpaksa Anggrek
Hitam menjatuhkan diri ke tanah, Lalu
bergulingan beberapa kali menghindari serangan
gadis itu. "Hup!"
Cepat dia melompat bangkit, dan secepat itu
pula tangan kanannya bergerak mengibas ke
depan sambil menekuk lutut hingga hampir
menyentuh tanah. Dua buah benda berwarna
hitam, meluncur deras dari telapak tangan
kanannya. Surti yang baru berbalik, jadi
terperangah. "Hait..!"
Bergegas gadis itu memiringkan tubuh ke
kanan, dan langsung menarik kembali ke kiri.
Namun gerakannya terlambat sedikit. Maka....
Crab! "Akh...!" Surti memekik tertahan.
Sebuah benda hitam berbentuk bunga
anggrek menancap cukup dalam di bahu
kanannya. Gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang. Seketika itu juga pandangannya jadi
berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berat
bagai diganduli batu besar. Sukar bagi Surti
untuk bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Dan sebelum gadis itu benar-benar bisa
menguasai diri, si Anggrek Hitam sudah
melompat sambil melepaskan satu tendangan
keras bertenaga dalam penuh.
"Hiyaaat..!"
Des! "Aaakh...!" Surti menjerit melengking tinggi.
Gadis itu terpental sejauh tiga batang
tombak, lalu keras sekali jatuh ke tanah. Dari
mulutnya tampak menyemburkan darah kental
agak kehitaman. Hanya sebentar gadis itu
mampu bergerak menggeliat, kemudian diam tak
berkutik lagi. Sementara Anggrek Hitam
memandangi beberapa saat.
"Sebenarnya kau sangat cantik dan cukup
tangguh. Sayang, harus mati dengan cara seperti
ini," desah Anggrek Hitam, seperti menyesali kematian gadis itu.
Dihampirinya Surti yang tergeletak tak
bernyawa lagi. Anggrek Hitam berlutut di samping tubuh gadis itu. Jari tangannya
ditekan ke bagian leher yang terlihat putih bernoda darah. Perlahan-lahan
manusia bertopeng tengkorak itu bangkit
berdiri. Kemudian dia mendesah panjang dan
terasa begitu berat.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Surti...," desah si Anggrek Hitam
perlahan. Sejenak dipandanginya wajah Surti yang
memucat kaku agak membiru. Kemudian, dia
melesat pergi dengan gerakan ringan bagaikan
kapas tertiup angin. Begitu cepatnya, sehingga
dalam sekejapan mata saja sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Sementara Surti tetap
tergeletak tak bernyawa.
*** 4 Siang ini udara terasa panas sekali.
Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak
membakar seluruh isi Desa Ragasari yang tampak
sunyi senyap bagai tak berpenduduk lagi. Hanya
beberapa orang saja yang terlihat berada di luar rumah. Itu pun tidak jauh-jauh
dari rumahnya. Tak terlihat anak-anak bermain, dan tak terlihat gadis-gadis bercanda ria di
tepi sungai. Suasana di desa itu begitu senyap, tanpa ada nafas
kehidupan. Di jalan yang sunyi dan berdebu, terlihat
dua ekor kuda berjalan perlahan. Di punggung
binatang itu, duduk seorang pemuda tampan
bertubuh tegap. Bajunya rompi putih, dan gagang
pedangnya yang berbentuk kepala burung
menyembul dari balik punggungnya. Dia
menunggang kuda hitam pekat dan gagah. Di
sebelahnya, tampak seorang gadis cantik berbaju
biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
ramping. Di balik sabuk pinggangnya yang
berwarna kuning keemasan, terselip sebuah kipas
yang masih kuncup. Dari balik punggungnya
menyembul gagang pedang berbentuk kepala
naga berwarna hitam.
Mereka mengendalikan kuda agar berjalan
perlahan, sambil mengamati keadaan Desa
Ragasari yang begitu sunyi. Sesekali mereka
saling berpandangan, seakan-akan ingin melon-
tarkan pertanyaan melihat suasana yang begitu
sunyi dan terasa ganjil. Beberapa laki-laki tua
yang berada di depan rumah, bergegas masuk ke
dalam begitu melihat kedua penunggang kuda itu.
Sikap mereka membuat kedua penunggang kuda
itu jadi terheran-heran.
"Mereka seperti ketakutan melihat kita,
Kakang," kata gadis berbaju biru itu, perlahan.
"Aku merasa ada sesuatu yang ganjil di sini,"
balas pemuda berbaju rompi putih itu agak
bergumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Tidak ada satu rumah pun yang terbuka
pintunya."
"Kau tahu nama desa ini, Pandan?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu.
Yang ditanya tidak segera menjawab. Gadis
itu memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk
si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi
putih itu jelas Rangga. Di kalangan rimba
persilatan, dia dikenal dengan julukan Pendekar
Rajawali Sakti.
Sementara itu Pandan Wangi mengedarkan
pandangan berkeliling. Dia melihat kilauan
cahaya keperakan yang memantulkan cahaya
matahari dari sebuah sungai tidak jauh dari desa
ini. "Kalau tidak salah, di depan sana Sungai Ajir. Dan desa ini bernama Desa
Ragasari, Kakang," jelas Pandan Wangi, baru menjawab
pertanyaan Rangga tadi.
"Kau pernah ke sini sebelumnya, Pandan?"
tanya Rangga lagi.
"Sekali. Tapi, itu dulu ketika masih kecil,"
sahut Pandan Wangi.
"Apa keadaannya selalu sepi begini?"
"Dulu tidak. Desa ini terkenal selalu ramai.
Biasanya, banyak pendatang yang melancong ke
sini. Gadisnya cantik-cantik, Kakang," ujar Pandan Wangi berseloroh.
"Oh, ya..." Cantik mana denganmu?" Rangga menimpali.
"Cantik aku, dong...."
"Masa...?"
"Tentu, dong. Kalau aku jelek, mana kau
mau...?" cibir Pandan Wangi.
Rangga tersenyum saja.
'Tapi jangan coba-coba bermain mata
dengan gadis-gadis di sini, bisa kupenggal batang lehermu!" ancam Pandan Wangi
bergurau. "Ha ha ha...!" Rangga jadi tertawa terbahak-bahak.
"Tapi kalau aku yang dapat pemuda tampan,
kau tidak boleh marah, ya...?" sambung Pandan Wangi.
"Mau enaknya sendiri!" dengus Rangga.
Sekarang malah Pandan Wangi yang tertawa
ter-kikik. "Cari kedai dulu, Pandan. Perutku sudah
bunyi terus sejak tadi," ujar Rangga sambil meringis.
"Di mana ada kedai yang buka...?"
"Iya, ya. Dari tadi tidak ada satu kedai pun yang buka," Rangga jadi garuk-garuk
kepala. Mereka terus mengendarai kuda perlahan-
lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang
membelah Desa Ragasari ini. Memang tak ada
satu kedai pun yang buka. Bahkan tak satu
rumah pun yang pintunya terbuka. Mereka
kemudian menghentikan langkah kaki kuda
ketika sampai di jalan yang bercabang. Sebentar
mereka saling pandang, seakan-akan hendak
menentukan arah mana yang harus dituju.
"Kelihatannya di sana ada pondok kecil,
Kakang," kata Pandan Wangi sambil menunjuk
jalan ke kanan.
"Mudah-mudahan saja itu kedai," ujar
Rangga. Mereka segera mengarahkan kuda menuju
pondok kecil yang berada di ujung jalan ke kanan ini, tidak seberapa jauh dan
tikungan jalan tadi.
Kedua pendekar dari Karang Setra ini kemudian
menghentikan kuda tepat di depan pondok kecil
itu. Harapan Rangga memang terkabul. Pondok
itu ternyata sebuah kedai kecil yang ditunggui seorang laki-laki tua berusia
lanjut.

Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki tua itu bergegas menghampiri,
begitu Rangga dan Pandan Wangi turun dari
kudanya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk seraya
memberi salam dengan sikap ramah.
"Silakan, mampir sebentar di kedaiku ini,"
ajak laki-laki tua itu ramah.
Rangga menggamit tangan Pandan Wangi,
lalu mengajaknya masuk ke dalam kedai.
Sementara laki-laki tua berusia lanjut pemilik
kedai ini sudah lebih dulu berada di dalam. Tak
seorang pengunjung pun berada di kedai ini.
Keadaannya begitu sunyi, seperti tidak pernah
didatangi seorang pun. Rangga memilih tempat
yang berada tidak jauh dari pintu masuk kedai
ini. Laki-laki tua itu berdiri saja di dekatnya.
"Ingin makan, atau minum saja?" laki-laki tua itu menawarkan.
"Kalau ada makanan, keluarkan saja, Pak
Tua," sahut Rangga.
"Suka arak..." Arak buatan Desa Ragasari
terkenal kelezatannya, Den," lagi-lagi pemilik kedai tua itu menawarkan.
"Terima kasih, air biasa saja," tolak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak biasa
minum arak. Tapi Pandan Wangi malah memesan
seguci arak yang terbaik di kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai itu
tersenyum, dan bergegas ke
belakang. setelah tidak ada lagi yang dipesan.
Tidak berapa lama, dia sudah muncul lagi sambil
membawa baki penuh berisi pesanan kedua
pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Banyak sekali..." Bisa kau habiskan semua, Kakang?" Pandan Wangi mendelik
melihat hidangan yang disediakan begitu banyak,
Rangga hanya tersenyum saja. Ditatapnya
laki-laki tua pemilik kedai ini.
"Kau ikut makan bersama kami, Pak Tua,"
ajak Rangga. "Ah! Biar saja, Den. Kalau tidak habis,
paling-paling juga dikasih ayam," jelas laki-laki tua itu menolak halus.
"Ayo, Pak Tua. Jangan malu-malu. Kau ikut
makan bersama kami. Toh, tidak ada pengunjung
lain lagi, bukan..?" desak Pandan Wangi.
Karena didesak terus, akhirnya laki-laki tua
pemilik kedai itu bersedia juga menemani makan
kedua pendekar muda ini. Mereka menikmati
hidangan sambil berbincang-bincang ringan.
Laki-laki tua pemilik kedai itu mengaku bernama
Ki Muhijar. Dia sempat mengeluh, karena dalam
hari-hari belakangan ini kedainya tidak pernah
lagi dikunjungi orang. Setiap hari, dia harus
membuang makanan yang tidak tersentuh sedikit
pun. Pandan Wangi jadi kasihan juga. Dan
memang, kedai ini begitu sunyi. Padahal, hanya
satu-satunya yang buka. Dia dan Rangga sudah
hampir mengelilingi seluruh pelosok desa ini.
Namun tak satu pun kedai yang buka. Hanya di
sinilah mereka baru menemukannya. Memang
aneh kalau tidak ada seorang pengunjung pun
yang datang. "Apa ada sesuatu yang terjadi di desa ini, Ki Muhijar?" tanya Pandan Wangi
seraya melirik Rangga. "Sukar dikatakan, Den. Desa ini benar-benar akan musnah. Sudah jadi neraka...,"
sahut Ki Muhijar mengeluh lirih.
"Lho..."! Kenapa begitu?" tanya Rangga keheranan.
"Semua orang tidak ada yang berani ke luar
rumah. Mereka takut..," Ki Muhijar tidak
melanjutkan. "Apa yang ditakutkan, Ki?" tanya Pandan Wangi agak mendesak.
"Mereka takut kalau-kalau bertemu Anggrek
Hitam," pelan sekali suara Ki Muhijar, sehingga hampir tidak terdengar.
"Anggrek Hitam..."!" Pandan Wangi berkerut keningnya.
Gadis itu melemparkan pandangan ke arah
Pendekar Rajawali Sakti, yang pada saat itu juga tengah memandang kepadanya. Sejenak
mereka saling berpandangan, kemudian kembali menatap
Ki Muhijar. Untuk beberapa saat lamanya, tidak
ada yang bicara. Entah apa yang ada dalam
benak masing-masing.
"Kakang, apa tidak mungkin...?" pertanyaan Pandan Wangi terputus, karena tiba-
tiba saja kuda-kuda yang ditinggalkan di luar meringkik
keras seperti ketakutan.
*** "Hup...!"
Cepat sekali Rangga melesat ke luar.
Kemudian Pandan Wangi bergegas menyusul
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Muhijar
jadi memucat wajahnya. Laki-laki tua itu juga
ikut berlari keluar dari kedainya. Saat itu tidak lagi terdengar ringkikan kuda.
Dan Rangga kini
sudah berada di samping dua ekor kuda yang
tertambat di batang pohon kenanga. Sementara
Pandan Wangi tetap berdiri tidak jauh dari
ambang pintu kedai.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Pendekar
Rajawali Sakti menepuk-nepuk kuda Dewa Bayu
tunggangannya, kemudian melangkah
menghampiri gadis berbaju biru itu. Sedangkan di belakang Pandan Wangi, terlihat
Ki Muhijar sedikit menggigil tubuhnya. Wajah laki-laki tua
itu semakin terlihat memucat.
"Aku hanya melihat bayangan hitam
berkelebat cepat, kemudian hilang di dalam
kebun itu," jelas Rangga, menunjuk ke arah
kebun yang cukup lebat pepohonannya.
"Celaka.... Mati aku...," desah Ki Muhijar.
"Kenapa, Ki...?" tanya Pandan Wangi seraya memutar tubuhnya.
"Dia pasti si Anggrek Hitam. Oh...! Habis
sudah nyawaku malam nanti," keluh Ki Muhijar.
Pandan Wangi dan Rangga jadi saling
berpandangan. Sementara Ki Muhijar melangkah
gontai, kembali masuk ke dalam kedainya. Kedua
pendekar muda dari Karang Setra itu bergegas
mengikuti. Ki Muhijar menghempaskan tubuhnya
di kursi sambil mendesah lirih. Lemas seluruh
tubuhnya, seperti tidak memiliki semangat hidup
lagi. Pandan Wangi menghampiri laki-laki tua itu, sedangkan Rangga duduk tidak
jauh dari pintu.
"Ada apa, Ki" Ceritakanlah padaku. Mungkin
aku bisa membantu," desak Pandan Wangi
lembut. Perlahan Ki Muhijar mengangkat kepalanya.
Ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di
depannya. Sinar mata tua itu begitu redup,
seakan-akan tidak ada lagi cahaya kehidupan di
sana. Raut wajahnya pun terlihat begitu pucat,
bagai tak pernah teraliri darah. Pandan Wangi
semakin heran melihat wajah yang memucat
tanpa ada semangat hidup lagi itu.
"Kalau karena kedatangan kami sampai
nyawamu terancam, kami akan melindungimu,
Ki. Percayalah," tegas Pandan Wangi, namun
tetap lembut meyakinkan.
"Percuma saja, Nini. Tidak ada gunanya
melawan si Anggrek Hitam. Sebaiknya kalian
berdua cepat tinggalkan tempat ini, sebelum dia
datang membunuh kalian berdua di sini," ujar Ki Muhijar lirih.
"Siapa Anggrek Hitam itu, Ki?" tanya Rangga agak dikeraskan suaranya. Seakan-
akan dia sengaja agar orang yang ditakuti laki-laki tua
pemilik kedai ini mendengar perkataannya.
"Aduh...! Jangan keras-keras, Den. Kalau dia
dengar, bisa celaka kita semua," ratap Ki Muhijar ketakutan.
"Biar dia dengar Ki. Kalau perlu, datang saja sekarang. Aku paling tidak suka
pada orang-orang yang suka membuat resah penduduk!"
desis Pandan Wangi, suaranya juga dikeraskan.
Ki Muhijar terlongong, seakan-akan tidak
percaya dengan kata-kata Pandan Wangi barusan.
Suara Pandan Wangi yang cukup keras tadi
sudah pasti terdengar sampai ke luar kedai ini.
Dan itu membuat Ki Muhijar jadi bertambah
gemetar ketakutan. Dia yakin, saat ini si Anggrek Hitam pasti mendengar semua
kata-kata Pandan
Wangi barusan. "Siapa Anggrek Hitam itu, Ki?" desak Pandan Wangi, mengulangi pertanyaan
Pendekar Rajawali
Sakti. Ki Muhijar tidak segera menjawab. Beberapa kali napasnya ditarik dalam-
dalam dan dihembuskan kuat-kuat. Benar-benar sulit
keadaannya saat ini. Berkata terus terang atau
tidak, saat ini baginya sama saja. Dia yakin,
malam nanti si Anggrek Hitam pasti muncul. Dan
ini berarti hari terakhir baginya untuk bisa
menikmati sinar matahari.
Ki Muhijar mengeluh dalam hati, karena tidak mempunyai
pilihan lain lagi. Dia benar-benar terjepit, dan jadi serba salah.
"Tidak ada yang tahu, siapa Anggrek Hitam
itu sebenarnya. Dia datang dan pergi begitu saja seperti hantu. Kemunculannya
selalu membawa korban penduduk. Bahkan belakangan ini, dia
tidak memilih-milih korbannya. Satu keluarga
dibantai habis hampir setiap malam," pelan sekali suara Ki Muhijar.
"Bagaimana rupanya, Ki?" tanya Rangga.
"Selalu mengenakan baju hitam, dan topeng
tengkorak. Tidak seorang pun yang tahu wajah
aslinya di balik topeng itu. Semua korbannya mati terkena senjata berbentuk
bunga anggrek hitam
yang beracun. Sedikit saja terkena, langsung
mati," jelas Ki Muhijar.
Pandan Wangi dan Rangga saling
berpandangan. Gadis itu menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti, lalu duduk di depannya. Untuk
beberapa saat tak ada lagi yang bicara. Sementara Ki Muhijar hanya tertunduk
saja. Seluruh tubuhnya kini terasa lemas, sekan-akan saat ini
sudah kehilangan nyawanya.
"Sepertinya bukan dia, Kakang," duga
Pandan Wangi perlahan agak bergumam.
Rangga tidak menanggapi dugaan Pandan
Wangi. Pandangannya dialihkan pada Ki Muhijar.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan melangkah menghampiri
laki-laki tua pemilik
kedai ini. Ditariknya kursi kayu, Lalu didekatkan ke depan Ki Muhijar. Pemuda
berbaju rompi putih
itu duduk di kursi itu.
"Sebenarnya, kedatangan kami ke sini
sedang mengejar seseorang, Ki. Barangkali saja
orang yang dikenal berjuluk si Anggrek Hitam itu buruan kami," kata Rangga
perlahan. "Keberadaannya di sini sudah lebih dari satu purnama," jelas Ki Muhijar.
"Sudah dua purnama kami mencari buronan
itu, Ki," selak Pandan Wangi seraya menghampiri.
"Oh, benarkah...?" Ki Muhijar mengangkat kepalanya.
"Benar, Ki. Kalau ternyata si Anggrek Hitam itu memang buronan kami, maka kau
tidak perlu takut. Kalaupun dia datang, pasti akan
berhadapan dengan kami berdua," tegas Rangga.
"Sebenarnya kalian datang dari mana" Dan
kenapa memburu seseorang?" tanya Ki Muhijar.
Rangga dan Pandan Wangi tidak segera
menjawab, tapi hanya saling melemparkan
pandangan. Sementara Ki Muhijar seperti
berharap kalau si Anggrek Hitam itu benar-benar
buronan yang dicari kedua pendekar muda ini.
Kalau ternyata benar, itu berarti ada harapan
Desa Ragasari ini akan terbebas dari neraka yang membelenggu selama ini.
"Kami utusan dari Karang Setra, Ki.
Buronan itu telah mengacau Istana Karang Setra,
dan mencuri beberapa benda berharga dari
istana. Kami harus mendapatkannya, dan
mengembalikannya pada tempat semula," jelas Rangga singkat.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian menemui
kepala desa. Di sana, kalian bisa mendapatkan
keterangan darinya," kata Ki Muhijar.
"Kau bersedia mengantarkan kami, Ki?"
pinta Rangga. "Dengan senang hati. Lagi pula, aku tidak
sudi sendirian lagi di sini."
Rangga dan Pandan Wangi tersenyum.
Terbetik kilatan harapan dalam mata laki-laki tua pemilik kedai itu. Harapan
untuk bisa terlepas
dari belenggu ketakutan, dan harapan untuk bisa
melihat matahari esok pagi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
segera berangkat meninggalkan kedai kecil yang
letaknya agak terpencil itu. Ki Muhijar sudah
berada di atas punggung kuda yang diambilnya
dari belakang kedai. Ternyata laki-laki tua itu
tangkas juga menunggang kuda. Meskipun sudah
terbilang lanjut, namun masih juga tangkas
mengendalikan kudanya. Bahkan bisa
mengimbangi ketangkasan kedua pendekar muda
dari Karang Setra itu.
"Jangan terlalu cepat, Ki. Nanti bisa menarik perhatian penduduk," tegur Rangga.
"Aku ingin cepat-cepat sampai, biar si
Anggrek Hitam itu lenyap!" sahut Ki Muhijar.
"Kau begitu yakin, Ki," ujar Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Aku yakin, kalian pasti memiliki


Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mungkin
menjadi utusan sebuah kerajaan. Kalian pasti
bisa mengalahkan si Anggrek Hitam," tegas Ki Muhijar begitu yakin.
Rangga dan Pandan Wangi jadi
berpandangan. Mereka benar-benar heran melihat
perubahan yang begitu cepat terjadi pada diri
laki-laki tua ini. Semula semangat hidupnya
sudah lenyap. Dan sekarang, dia begitu
bersemangat setelah Rangga mengatakan sebagai
utusan Karang Setra yang mengejar seorang
buronan pencuri harta kerajaan.
"Cepat sekali dia berubah, Kakang. Apa saja yang kau katakan padanya?" tanya
Pandan Wangi. "Kau dengar sendiri, Pandan," sahut Rangga.
"Mudah-mudahan saja si Anggrek Hitam itu
buronan kita," gumam Pandan Wangi berharap.
"Kalaupun bukan, apa salahnya mem-
bebaskan penduduk desa ini dari ketakutan,
Pandan." "Aku juga benci pada manusia pengecut
yang bisanya bersembunyi di balik topeng.
Pekerjaan mereka hanya menakut-nakuti
penduduk saja," dengus Pandan Wangi.
"Tapi kau harus waspada dengan
senjatanya, Pandan," Rangga memperingatkan.
"Kenapa harus takut" Kan ada kau,
Kakang." "Dasar...!"
Pandan Wangi tertawa mengikik geli,
sehingga membuat Ki Muhijar jadi bengong
keheranan tidak mengerti. Melihat raut wajah Ki
Muhijar yang terlongong begitu, Rangga jadi ikut tertawa juga.
"Kenapa kalian tertawa...?" tanya Ki Muhijar.
"Tidak apa-apa, Ki. Jalan terus saja," sahut Pandan Wangi.
Mereka terus mengendalikan kudanya agar
berjalan perlahan-lahan saja, karena tidak ingin menimbulkan perhatian penduduk
yang tengah dicekam rasa takut. Keadaan Desa Ragasari tetap
saja sunyi, tanpa seorang pun terlihat berada di luar rumah. Melihat keadaan
itu, Pandan Wangi
jadi tidak sabaran lagi ingin bertemu manusia
bertopeng tengkorak yang berjuluk si Anggrek
Hitam. "Seperti apa sih rupanya...?" pertanyaan itu yang terbetik di benak Pandan Wangi
saat ini. *** 5 Ki Anggarasana begitu gembira atas
kedatangan Rangga dan Pandan Wangi di Desa
Ragasari ini. Terlebih lagi setelah mengetahui
tujuan kedua pendekar muda dari Karang Setra
itu. Saat ini, dia memang membutuhkan seorang
pendekar digdaya untuk menghadapi si Anggrek
Hitam. Dan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti
terasa bagai setetes air sejuk di tengah-tengah
luasnya padang pasir.
Ki Anggarasana memperkenalkan kedua
pendekar muda itu pada Candraka yang sempat
terluka akibat bertarung melawan si Anggrek
Hitam. Sebenarnya Rangga berharap putra kepala
desa itu tahu banyak tentang si Anggrek Hitam.
Tapi, ternyata Candraka juga tidak tahu, siapa
sebenarnya si Anggrek Hitam itu. Meskipun
sempat bertarung, tapi dia tidak sempat
mengenali wajah lawan yang tertutup topeng kayu
berbentuk tengkorak manusia.
"Aku sering mendengar kehebatan jago-jago
dari Karang Setra. Maka kuharap kalian berdua
mampu menghadapi si Anggrek Hitam," pinta Ki Anggarasana, penuh harap.
"Kami juga berharap si Anggrek Hitam
adalah orang yang kami cari," sambut Pandan Wangi.
Saat itu muncul Salaya dari pintu depan. Ki
Anggarasana segera memperkenalkan putra
bungsunya itu kepada Rangga dan Pandan Wangi.
Salaya hanya menganggukkan kepala saja, yang
kemudian dibalas dengan anggukan kepala juga
oleh kedua pendekar muda itu.
"Dari mana saja kau, Salaya?" tanya Ki Anggarasana sedikit menegur.
"Jalan-jalan," sahut Salaya, seenaknya saja.
"Jalan-jalan di malam
hari begini..." Apa kau tidak sadar kalau keadaan sedang tidak memungkinkan
untuk jalan-jalan di
malam hari, Salaya...?"
Salaya hanya diam saja. Sebentar matanya
melirik Ki Muhijar. Sinar matanya seperti
memancarkan kekuatan aneh. Pemuda berparas
cantik seperti wanita itu kemudian meringis
sedikit kepada ayahnya. Ki Anggarasana yang
sedang memperhatikan, jadi berkerut keningnya.
Sedangkan Salaya seperti tidak peduli. Pemuda
itu hendak meninggalkan ruangan depan ini, tapi
Ki Anggarasana sudah cepat mencegahnya.
"Aku akan istirahat, Ayah. Lelah...," kilah Salaya.
Ki Anggarasana tidak mencegah lagi. Salaya
segera melangkah cepat meninggalkan ruangan
itu. Semua orang yang berada di ruangan depan
rumah Kepala Desa Ragasari itu hanya
memandangi kepergian Salaya ke dalam
kamarnya. Sambil menghembuskan napas
panjang, Ki Anggarasana menghempaskan diri di
kursi. "Maaf, anakku yang satu itu memang lain,"
ucap Ki Anggarasana pada Rangga.
"Maaf, Ki. Dia laki-laki atau perempuan?"
tanya Pandan Wangi yang sejak kemunculan
Salaya tadi, selalu memperhatikannya terus.
"Laki-laki," sahut Ki Anggarasana tanpa ada rasa tersinggung.
"Tapi, kok...," Pandan Wangi tidak
meneruskan. "Dia memang sudah seperti itu sejak kecil.
Sulit untuk bisa merubahnya. Aku hanya bisa
pasrah menerima keadaannya. Aku juga tidak
menuntut banyak darinya, sehingga tidak seperti
kakaknya. Yaaah.... Memang berat untuk
menerima, tapi apa boleh buat...," ada sedikit nada keluhan di dalam suara Ki
Anggarasana. "Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...."
"Tidak mengapa," potong Ki Anggarasana,
bisa mengerti. Pandan Wangi merasa tidak enak juga.
Diliriknya Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti hanya terdiam saja. Suasana yang semula
terasa riang, kini berubah jadi kaku. Bahkan Ki
Muhijar yang belum bersuara, hanya bisa
mengkeret di kursinya.
Sementara malam terus merayap semakin
brut. Keadaan di Desa Ragasari begitu sunyi,
seakan-akan berada di tengah-tengah hutan.
Hanya suara binatang malam saja yang terdengar
mengisi kesunyian malam ini.
"Sudah terlalu malam. Sebaiknya kalian
semua tidur saja di sini. Rumah ini terlalu besar, dan banyak kamar kosong,"
ujar Ki Anggarasana.
Ki Anggarasana meminta Candraka
mengantarkan ketiga tamunya, ke kamar masing-
masing untuk beristirahat. Sedangkan dirinya
sendiri masih tetap duduk di kursi, di ruangan
depan rumah yang cukup besar ini.
Pandangannya begitu kosong, tertuju lurus ke
luar. Tak berapa lama berselang. Candraka
kembali masuk ke ruangan itu. Pemuda itu telah
menunjukkan kamar-kamar untuk tamu mereka
yang menginap malam ini.
"Seharusnya Ayah tidak terlalu banyak
cerita tentang Salaya pada mereka," tegur
Candraka seraya menghenyakkan diri di kursi
depan laki-laki setengah baya itu.
"Aku tidak ingin menutupi kenyataan yang
ada, Candraka," tegas Ki Anggarasana.
"Aku mengerti, Ayah. Tapi hal itu bisa
menyinggung perasaan Salaya. Apa Ayah tidak
ingat peristiwa cara lagi. Sejak peristiwa dua
tahun yang lalu, Salaya kerbau, hanya karena
penggembala itu menertawakannya," sergah
Candraka. "Peristiwa itu sudah lama berlalu, Candraka.
Tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kulihat, Salaya tidak lagi mudah tersinggung.
Bahkan bisa menerima keadaan dirinya, dan sudah bisa
bergaul seperti yang lain."
Candraka terdiam. Juga, Ki Anggarasana
tidak bicara lagi. Sejak peristiwa dua tahun yang lalu, Salaya memang banyak
berubah. Dia tidak
lagi cepat marah, meskipun ada orang yang
menyinggung perasaannya. Bahkan seringkali
hanya dihadapi dengan senyum. Memang hampir
semua orang di desa ini selalu mencemooh
pemuda itu. Bahkan tidak ada seorang pemuda
pun di desa ini yang suka bergaul dengannya.
Salaya memang lain. Perawakan dan
sikapnya lebih mirip wanita daripada laki-laki.
"Aku akan meronda dulu, Ayah," pamit Candraka.
"Apa tidak ada masalah dengan lukamu,
Candraka?"
Candraka hanya tersenyum saja, kemudian
bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Ki
Anggarasana mengantarkan pemuda itu sampai
ke depan pintu. Seekor kuda tinggi dan tegap,
telah menanti Candraka di halaman depan rumah
ini "Sebaiknya kau bawa teman, Candraka,"
ujar Ki Anggarasana menyarankan.
"Tidak perlu. Nanti akan menimbulkan
banyak korban saja," sahut Candraka.
Pemuda itu melompat naik ke punggung
kuda, dan langsung menggebahnya dengan cepat.
Sebentar Ki Anggarasana memperhatikan
anaknya sampai hilang ditelan kegelapan malam,
kemudian dia melangkah masuk. Namun belum
juga melewati ambang pintu, mendadak saja dari
arah belakangnya berdesir angin dingin.
Wusss! "Heh..."! Uts!"
Jleb! Sebuah benda berwarna hitam berbentuk
bunga anggrek, melesat lewat di atas bahu Ki
Anggarasana dan langsung menancap di tiang
pintu. Ki Anggarasana cepat memutar tubuhnya,
dan melompat sambil berputaran dua kali di
udara. Ringan sekali kakinya menjejak tanah, di
tengah-tengah halaman rumahnya.
"Hahhh..."!" Ki Anggarasana terkejut
setengah mati begitu kepalanya menengadah,
menatap ke atas atap rumahnya.
Di atas atap, tampak berdiri berkacak
pinggang seseorang mengenakan baju hitam
pekat. Wajahnya tertutup sebuah topeng kayu
berbentuk tengkorak. Bentuk tubuhnya begitu
ramping, karena baju yang dikenakannya sangat
ketat. Ki Anggarasana menelan ludahnya yang
terasa pahit. Dia tahu manusia berbaju hitam itu adalah si Anggrek Hitam.
"Anggrek Hitam...," desis Ki Anggarasana.
Slap...! Ringan sekali manusia berbaju hitam
bertopeng tengkorak yang berjuluk Anggrek Hitam
itu melompat turun dari atas atap. Tiga kali dia berputaran di udara. Dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah di depan
Ki Anggarasana.
"Kau terlalu berani menerima kedua
pendekar itu ke sini, Ki Anggarasana. Padahal,
aku tidak pernah mengusik keluargamu. Tapi kau
selalu saja mengusik kehidupanku," terasa dingin sekali suara Anggrek Hitam.
"Itu urusanku! Kedua pendekar itu memang
sengaja datang hendak mencarimu!" dengus Ki Anggarasana, ketus.
"Orang yang mereka cari bukan diriku.
Sebaiknya, usir mereka malam ini juga! Aku tidak mau melihat mereka masih ada di
sini besok pagi.
Dan kalau tidak kau turuti, maka Desa Ragasari
ini akan kuratakan dengan tanah!" ancam
Anggrek Hitam bersungguh-sungguh.
"Rupanya kau hanya berani pada penduduk
kampung!" desis Ki Anggarasana mengejek.
"Kalau merasa digdaya, hadapi kedua pendekar itu!" "Aku tidak main-main, Ki.
Lihat saja besok...!"
Setelah berkata demikian, Anggrek Hitam
melesat pergi dengan kecepatan kilat. Dia
melompat ke atas atap, dan langsung menghilang
seperti lenyap begitu saja. Ki Anggarasana hanya bisa memandangi. Dia tidak
mungkin mengejar
manusia bertopeng tengkorak itu. Pada saat itu,
dari dalam rumah keluar Pendekar Rajawali Sakti
yang disusul Pandan Wangi dan Ki Muhijar.
Mereka bergegas menghampiri Ki Anggarasana.
"Siapa yang bicara denganmu tadi, Ki?"
tanya Rangga. Ki Anggarasana tidak segera menjawab,
namun malah memandangi Pendekar Rajawali
Sakti dalam-dalam. Dan yang dipandangi malah
membalasnya tidak kalah tajam. Tanpa berkata
apa-apa, Ki Anggarasana melangkah menuju ke


Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beranda depan rumahnya. Rangga, Pandan Wangi
dan Ki Muhijar mengikuti dari belakang.
Pandan Wangi mencolek pergelangan tangan
Rangga. Si Kipas Maut itu menunjuk tiang pintu
dengan bibirnya. Rangga menatap ke arah tiang
pintu yang ditunjuk gadis itu. Dihampiri dan
dicabutnya benda hitam berbentuk bunga
anggrek yang tertanam cukup dalam di tiang
pintu. Diamatinya benda yang merupakan senjata
ampuh itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti
segera dapat merasakan kalau benda itu
mengandung racun yang sangat mematikan, dan
bekerja sangat cepat. Orang yang terkena senjata berbentuk bunga anggrek
berwarna hitam ini,
pasti akan tewas seketika tanpa mampu memberi
perlawanan lagi.
"Orang itu si Anggrek Hitam, Ki?" tanya Rangga sambil terus mengamati benda
hitam berbentuk bunga anggrek di telapak tangannya.
Ki Anggarasana hanya mendesah saja sambil
menganggukkan kepala. Dihempaskan dirinya di
kursi Rangga dan Pandan Wangi memandangi
kepala desa yang tampaknya begitu lemas seperti
tidak punya semangat hidup lagi.
"Mau apa dia menemuimu, Ki?" tanya
Pandan Wangi. "Mengancamku," sahut Ki Anggarasana
perlahan. "Mengancam...?" Pandan
Wangi jadi berkerut keningnya.
"Ya! Dia akan menghanguskan desa ini
kalau kalian tidak segera pergi," jelas Ki
Anggarasana, tetap lesu suaranya.
"Hhh...! Dasar...!" dengus Pandan Wangi jadi jengkel. "Kau tahu, Ki. Orang
seperti si Anggrek Hitam itu sebenarnya orang pengecut dan tidak
ada apa-apanya. Bisanya hanya main gertak,
menakut-nakuti penduduk lemah."
"Tapi kalau kalian tidak pergi sampai esok
pagi, dia akan melaksanakan ancamannya," tegas Ki Anggarasana.
"Dia tidak akan punya kesempatan, Ki.
Percayalah! Kami berdua akan menjaga desa ini
siang dan malam. Kami akan menangkap orang
itu, dan menyerahkannya pada penduduk desa
ini," janji Pandan Wangi
"Memang itu yang kuharapkan. Juga,
seluruh penduduk desa ini berharap bisa
menghentikan si Anggrek Hitam. Tapi mereka
hanya petani yang tidak memiliki kepandaian apa
pun juga," ada nada keluhan di dalam suara Ki Anggarasana.
"Aku mengerti, Ki," Kata Pandan Wangi, setengah bergumam.
Gadis itu berpaling menatap Rangga yang
sejak tadi hanya diam saja. Dihampirinya
Pendekar Rajawali Sakti dan berdiri di depannya.
Sementara Ki Anggarasana masih tetap terduduk
lemas. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus
dilakukan untuk menyelamatkan desa ini dari
kehancuran. "Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi
meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tetap di sini saja, Pandan. Aku akan
melihat-lihat keadaan sekitar desa ini," ujar Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga bergegas
melangkah menghampiri kudanya yang tertambat
di bawah pohon. Sekali lompatan saja, Pendekar
Rajawali Sakti sudah berada di punggung kuda
hitam Dewa Bayu. Binatang itu meringkik keras,
lalu cepat melesat pergi begitu tali kekangnya
dihentakkan dengan kuat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
*** Sepeninggal Rangga, Pandan mengelilingi
rumah kepala desa itu, setelah terlebih dulu
menyuruh Ki Muhijar untuk masuk ke kamarnya
kembali. Sementara Ki Anggarasana sudah
kembali masuk ke dalam rumah itu. Keadaan
tetap sunyi, tak terlihat seorang pun berada di
luar. Sementara malam terus merayap semakin
larut. Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya
perlahan-lahan menuju bagian belakang rumah
besar ini. Agak heran juga hatinya karena rumah
sebesar ini tidak ada penjaga seorang pun yang
ditemui. Tapi mengingat suasananya seperti ini,
Pandan Wangi bisa memaklumi. Sampai di bagian
belakang, tetap saja tidak ditemui seorang pun.
Pandan Wangi berhenti melangkah.
Pandangannya beredar berkeliling. Pada saat itu, tiba-tiba saja berkelebat
sebuah bayangan di
depannya. "Hei..."!" Pandan Wangi tersentak kaget.
Bergegas gadis itu melesat mengejar bayangan
hitam yang berkelebat cepat di depannya tadi. Dia masih sempat melihat, bayangan
hitam itu menuju bagian samping kanan rumah besar ini.
Pandan Wangi langsung menuju bagian samping
rumah, bayangan hitam itu menghilang di balik
tembok. Pandan Wangi celingukan ke sana
kemari, mencari-cari bayangan hitam tadi. Jelas
kalau bayangan hitam itu menghilang di depan
jendela kamar Salaya. Gadis itu kemudian segera
membalikkan tubuh, hendak kembali dari tempat
datangnya tadi. Namun sebelum kakinya me-
langkah, dari arah belakangnya terasa ada desir
angin menyambar. Pandan Wangi langsung
berbalik. Sejenak gadis itu terhenyak, lalu cepat melentingkan tubuhnya ke
udara. "Hup! Yeaaah...!"
Wusss! Ternyata beberapa benda hitam berbentuk
bunga anggrek melesat lewat di bawah tubuh
Pandan Wangi. Dua kali si Kipas Maut itu
berputaran di udara, kemudian manis sekali
mendarat lunak di tanah. Namun belum juga
menarik napas lega, mendadak berkelebat sebuah
bayangan hitam, meluruk deras ke arahnya.
"Uts!"
Pandan Wangi segera menarik tubuhnya ke
kiri, menghindari tenangan bayangan hitam itu.
Cepat-cepat tubuhnya diputar begitu bayangan
hitam itu lewat. Lalu bagaikan kilat, gadis berbaju biru itu melepaskan satu
pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaa...!"
Pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi
tidak mengenai sasaran, karena bayangan hitam
itu dapat berkelit manis sekali. Dan sebelum
Pandan Wangi bisa menarik kembali tangannya,
bayangan hitam itu sudah melenting ke atas.
Pada saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah kepala. Cepat-
cepat Pandan Wangi
merunduk, menghindari tendangan keras
menggeledek itu.
Begitu kaki orang berbaju hitam itu lewat,
bergegas Pandan Wangi menjatuhkan tubuh ke
tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Langsung
tubuhnya melesat bangkit, seraya melepaskan
satu pukulan keras menggeledek. Serangan
Pandan Wangi yang begitu cepat dan tidak
terduga itu tak dapat dihindari lagi, tepat
menghantam bagian punggung orang berbaju
serba hitam itu.
Des! Orang berbaju ketat serba hitam itu, jatuh
bergulingan di tanah. Namun, dia bisa cepat
bangkit lagi. Seketika tubuhnya diputar
menghadap Pandan Wangi. Kini, ada jarak sekitar
dua batang tombak di antara mereka. Saat itu,
Pandan Wangi terbeliak. Karena, wajah orang itu
bukan wajah manusia, melainkan wajah
tengkorak. Pandan Wangi melangkah mundur dua
tindak. Dia sempat menelan ludahnya, begitu
tahu kalau wajah tengkorak itu terbuat dari kayu.
Dia juga cepat menyadari kalau sekarang
berhadapan dengan manusia yang selama ini
menjadi momok menakutkan bagi seluruh
penduduk Desa Ragasari.
"Kau pasti si Anggrek Hitam...," desis Pandan Wangi menebak.
"Dugaanmu tepat. Aku memang si Anggrek
Hitam," sahut orang berbaju serba hitam yang mengenakan topeng tengkorak itu.
"O..., jadi kau orangnya. Kebetulan, aku
tidak perlu repot-repot mencarimu lagi," terasa dingin suara Pandan Wangi.
"Aku memang tidak ingin merepotkanmu,
Pandan Wangi..."
"Heh..."! Kau tahu namaku...?" Pandan
Wangi agak terkejut juga, karena si Anggrek
Hitam sudah mengenalnya.
Padahal, mereka baru kali ini bertemu. Tapi
Anggrek Hitam sudah tahu, kalau yang berdiri di
depannya adalah Pandan Wangi. Gadis cantik
yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Pandan
Wangi jadi menatap wajah bertopeng itu dalam-
dalam. Sayang sekali, keadaan begitu gelap.
Apalagi seluruh wajah orang itu tertutup topeng
kayu berbentuk tengkorak. Jadi, tidak mudah
untuk bisa dikenali. Sedangkan dari nada
suaranya, Pandan Wangi tahu kalau suara
manusia bertopeng tengkorak ini dibuat-buat.
"Siapa kau sebenarnya..."!" tanya Pandan Wangi keras.
"Tidak ada gunanya kau tahu tentang diriku,
Pandan Wangi. Karena, sebentar lagi kau akan
mati!" terasa dingin nada suara Anggrek Hitam.
Setelah berkata demikian, Anggrek Hitam
mengibaskan tangan kanannya dengan cepat ke
depan. Seketika itu juga melesat sebuah benda
hitam berbentuk bunga anggrek. Sejenak Pandan
Wangi terbeliak, namun cepat menarik tubuhnya
ke kanan. Maka senjata maut si Anggrek Hitam
itu berhasil dihindarinya.
Namun belum juga Pandan Wangi bisa
menarik kembali tubuhnya, si Anggrek Hitam
sudah melompat cepat bagai kilat sambil
melepaskan satu tendangan menggeledek
mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaat...!"
"Ufs...!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Pandan Wangi
untuk menghindar. Cepat-cepat tangannya
digerakkan untuk menangkis tendangan manusia
bertopeng tengkorak itu. Tak pelak lagi, satu
benturan keras pun terjadi. Pandan Wangi
sempat terkejut. Memang begitu membentur kaki
si Anggrek Hitam, tangannya terasa bagai
tersengat ribuan lebah berbisa. Bergegas si Kipas Maut itu melompat mundur
beberapa tindak. Sedangkan si Anggrek Hitam berputar dua kali, lalu mendarat
kembali di tanah dengan manis sekali.
"Gila...! Tenaga dalamnya luar biasa!"
dengus Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi tidak sempat lagi berpikir
lebih jauh, karena si Anggrek Hitam sudah
menyerang kembali. Gadis itu terpaksa
berjumpalitan menghindari serangan-serangan
yang begitu gencar dan dahsyat luar biasa. Bisa
dirasakan kalau angin pukulan si Anggrek Hitam
itu mengandung hawa panas yang menyengat
kulit tubuhnya.
Beberapa kali pukulan si Anggrek Hitam
berhasil dihindari Pandan Wangi. Namun ketika
gadis itu baru saja mengelak dari satu tendangan keras, mendadak saja si Anggrek
Hitam melontarkan satu pukulan menggeledek ke dada.
Pandan Wangi jadi terhenyak, dan tidak sempat
lagi menghindarinya.
Diegkh! "Akh...!" Pandan Wangi terpekik agak
tertahan. Si Kipas Maut itu terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak Tubuhnya terhuyung-
huyung mencoba menguasai keseimbangan
tubuhnya. Saat itu juga dadanya terasa begitu
sesak. Bahkan hawa panas pun menjalar ke
seluruh tubuhnya. Tampak setetes darah
menggulir ke luar dari sudut bibirnya.
"Kau tidak akan bisa menghentikan ku,
Pandan Wangi. Juga temanmu itu...!" desis
Anggrek Hitam dingin. "Sekarang terimalah
kematianmu. Hiyaaat...!"
Cepat sekali Anggrek Hitam mengibaskan
tangannya ke depan, dengan tubuh agak
membungkuk ke kiri. Seketika itu juga, dari
telapak tangannya meluncur bunga-bunga
Anggrek Hitam yang mengandung racun sangat
mematikan. Sret! "Hiyaaat...!"
Meskipun masih merasakan sesak pada
dadanya, Pandan Wangi cepat mencabut kipas
maut yang berwarna keperakan. Cepat-cepat
senjata mautnya itu dikibaskan untuk menangkis
bunga-bunga anggrek hitam yang meluncur deras
mengincar tubuhnya.
Tring!

Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trang...! Bunga-bunga anggrek hitam itu jatuh
berguguran tersambar senjata kipas baja putih.
Begitu cepat gerakan Pandan Wangi, sehingga
membuat si Anggrek Hitam terperangah. Sungguh
tidak diduga kalau gadis ini masih mampu
bertahan, meskipun sudah terkena pukulan
dahsyat di dadanya. Bahkan bunga-bunga
anggrek hitam yang dilepaskannya, tak satu pun
yang berhasil menyentuh tubuh si Kipas Maut.
Pandan Wangi membuka kipasnya di depan
dada. Namun mulutnya masih meringis
merasakan nyeri pada tulang-tulang dadanya.
Gadis itu menyadari kalau dirinya mendapat luka
dalam yang cukup parah. Tapi, dia tidak sudi
mati begitu saja. Sementara si Anggrek Hitam
sudah kembali bersiap hendak melakukan
serangan kembali. Hatinya jadi penasaran, karena tak satu pun dari senjatanya
yang mengenai sasaran. "Kau cukup tangguh, Pandan Wangi. Tapi
cobalah jurus 'Anggrek Seribu' ini...!" desis si Anggrek Hitam. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali tangan kanan si Anggrek Hitam
bergerak, melontarkan senjata-senjata mematikan
itu. Pandan Wangi terpaksa berjumpalitan di
udara untuk menghindari serangan manusia
bertopeng tengkorak itu. Kipas baja putih yang
menjadi andalannya, berkelebat menyambar
bunga-bunga anggrek hitam beracun yang
meluncur deras menghujani tubuhnya.
*** 6 Anggrek Hitam berlompatan mengelilingi
Pandan Wangi sambil melontarkan senjatanya
yang berbentuk bunga anggrek hitam. Akibatnya,
Pandan Wangi benar-benar kerepotan
menghindarinya. Senjata-senjata beracun itu
berhamburan di sekitar tubuh gadis itu, bagai
hujan yang dijatuhkan dan langit. Sedikit pun
tidak ada kesempatan bagi si Kipas Maut untuk
menarik napas. Apalagi membalas serangan-
serangan manusia bertopeng tengkorak itu.
Pada saat Pandan Wangi kerepotan
menghindari hujan bunga anggrek hitam itu,
mendadak saja si Anggrek Hitam meluruk deras
ke arahnya. Langsung dilontarkannya pukulan
keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Serangan itu demikian cepat,
sehingga tak sempat lagi bagi Pandan Wangi
untuk menghindar.
"Yeaaah...!" *
"Uts...!" Pandan Wangi masih berusaha berkelit. Gadis itu terpental sejauh dua
batang tombak. Pukulan yang dilepaskan si Anggrek Hitam
tadi, hanya menghantam bagian samping
bahunya. "Uhk...!"
Pandan Wangi meringis, merasakan nyeri di
bahu kanannya Dia mencoba berdiri tegak.
Namun belum juga berhasil, satu tendangan
keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi, si
Kipas Maut bergulingan di tanah sambil menjerit
melengking. Tubuhnya baru berhenti ketika
menghantam keras sebatang pohon yang cukup
besar. Lagi-lagi Pandan Wangi menjerit. Pohon itu sampai bergetar, dan
menggugurkan daun-daunnya.
"Sudah saatnya kau pergi ke neraka, Pandan
Wangi..!" desis si Anggrek Hitam dingin.
Manusia bertopeng tengkorak itu
memiringkan tubuhnya agak membungkuk ke
kiri. Tangan kanannya siap melontarkan senjata
andalannya yang terkenal sangat dahsyat itu
Namun sebelum bunga anggrek hitamnya terlon-
tar, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat
cepat di depannya. Dan tahu-tahu seorang wanita
cantik berbaju hijau sudah berdiri melindungi
Pandan Wangi yang terkapar sambil merintih
lirih. "Kau.... Mau apa ke sini..."!" Anggrek Hitam terkejut melihat kedatangan
wanita cantik berbaju hijau ketat itu.
"Kau sudah keterlaluan! Ayo ikut..!" bentak wanita berbaju hijau itu dingin.
Kelihatannya wanita cantik berbaju hijau itu
begitu berpengaruh di depan si Anggrek Hitam.
Ini terbukti dari sikap orang berbaju hitam itu
yang kelihatan gugup menghadapi wanita berbaju
hijau di depannya. Sementara, wanita berbaju
hijau itu memang tidak ingin si Anggrek Hitam
bertindak terlalu jauh. Karena, hal itu akan
menyulitkan mereka juga.
Belum juga si Anggrek Hitam bisa
mengucapkan sesuatu, mendadak saja wanita
berbaju hijau itu melompat cepat menyambarnya.
Anggrek Hitam tersentak kaget. Tapi sebelum bisa berbuat sesuatu, tangan
kanannya sudah dicekal.
Dan.... Slap! Bagaikan sekarung kapas ringan, Anggrek
Hitam melesat dibawa wanita berbaju hijau itu.
Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan saja
mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara dalam keadaan yang parah, Pandan
Wangi masih sempat memperhatikan kejadian
yang begitu cepat tadi. Sambil meringis menahan
sakit di sekujur tubuhnya, terutama rasa sesak di dadanya, si Kipas Maut men-
coba bangkit berdiri.
Meskipun berhasil berdiri, namun tubuhnya
masih limbung. "Ugkh...!"
Sekali lagi Pandan Wangi memuntahkan
darah kental agak kehitaman. Disekanya darah
yang mengotori bibirnya dengan punggung
tangan. Sambil tertatih-tatih, gadis itu melangkah menuju rumah Ki Anggarasana.
Sesekali dia terbatuk disertai darah dari mulutnya. Gadis itu langsung jatuh tersungkur
begitu mencapai pintu
depan, tepat saat Ki Anggarasana membuka
pintu. Dia terkejut melihat keadaan Pandan Wa-
ngi yang tampak kepayahan
"Pandan..."! Apa yang terjadi..?" sentak Ki Anggarasana terkejut.
Bergegas laki-laki setengah baya itu
memapah tubuh Pandan Wangi, dan
membawanya masuk ke dalam. Dia berteriak-
teriak memanggil siapa saja yang masih berada di dalam rumah ini. Beberapa orang
laki-laki bertubuh tegap berdatangan. Mereka terkejut
melihat Ki Anggarasana memondong seorang
gadis dalam keadaan terluka.
"Kalian jaga di sekitar rumah ini. Si Anggrek Hitam ada di sini...!" perintah Ki
Anggarasana. Laki-laki setengah baya itu langsung menuju
kamar tempat istirahat Pandan Wangi. Sementara
orang-orang yang diperintah, segera menjalankan
tugasnya menjaga rumah besar itu. Meskipun di
hati mereka terbetik kegentaran, tapi
dilaksanakan juga. Dan mereka hanya bisa
berharap agar tidak bertemu Anggrek Hitam.
*** "Kurang ajar...! Ini sudah keterlaluan. Iblis keparat itu tidak lagi memandang
kita, Ayah!"
geram Candraka berang.
Pagi ini kegemparan memang terjadi di
rumah Ki Anggarasana. Bukan hanya Candraka
yang berang, tapi juga Rangga. Bahkan Ki
Anggarasana berang setengah mati. Terlebih
kepala desa itu merasa malu karena tidak dapat
melindungi tamunya, hingga Pandan Wangi
mengalami luka dalam begitu parah. Dan
sekarang, gadis itu dalam perawatan Nyai Koret,
tabib tua yang terkena! di Desa Ragasari ini.
"Bagaimana mungkin semua orang di sini
tidak ada yang mendengar pertarungan itu..." Apa semua sudah tidur" Apa mereka
tidak diperintahkan menjaga rumah ini...?" agak keras suara Candraka.
"Jangan salahkan ayahmu, Candraka. Aku
bertarung agak jauh di samping rumah," jelas Pandan Wangi lemah.
"Mana Salaya, Ayah?" tanya Candraka
teringat adiknya.
"Ada di kamar. Sejak semalam tidak keluar
dari kamarnya," sahut Ki Anggarasana.
"Anak pemalas itu makin manja saja!"
dengus Candraka menggerutu. "Sudah tahu ada tamu, malah enak-enakan tidur!"
Candraka bergegas melangkah keluar dari
kamar Pandan Wangi.
"Mau ke mana kau, Candraka?" tanya Ki
Anggarasana. "Sekali-sekali dia harus dikerasi, Ayah!"
sahut Candraka.
"Kau jangan terlalu keras padanya,
Candraka! Dia terlalu lemah."
Candraka tidak lagi mendengar kata-kata
ayahnya. Dia sudah keluar dari kamar ini. Ki
Anggarasana hendak menyusul, tapi Rangga
sudah keburu mencegahnya. Pendekar Rajawali
Sakti mencekal tangan Ki Anggarasana.
"Aku tidak ingin mencampuri urusan
keluargamu, Ki. Tapi biarkanlah Candraka," kata Rangga lembut.
"Salaya orangnya lemah. Dia beda dari
pemuda-pemuda lainnya. Aku tidak ingin dia
sakit, karena dikasari kakaknya," jelas Ki
Anggarasana. "Apa Candraka sering mengasari adiknya?"
Tanya Rangga. "Dulu sering. Tapi setelah peristiwa dua
tahun lalu, tidak pernah lagi. Bahkan Candraka
selalu melindunginya.
"Boleh aku tahu peristiwa apa itu, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Salaya pernah membunuh seorang
penggembala, karena ditertawakan dan dikatakan
banci," agak pelan suara Ki Anggarasana.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Salaya seringkali mendapatkan perlakuan
seperti itu. Bahkan semua orang di desa ini selalu mencemoohkan nya."
"Apa dia selalu marah bila dicemoohkan?"
tanya Rangga lagi.
"Tidak begitu sering, kecuali dua tahun lalu
itu. Dia mendorong penggembala itu, maka
terjadilah perkelahian. Salaya merebut parang
dari teman si penggembala, dan menusuknya
hingga tewas. Sejak itu, dia lebih senang
menyendiri, dan menjauh dari pergaulan. Dia
juga tidak pernah lagi marah kalau diejek dan
dicemoohkan orang. Salaya lebih memilih diam,
dan menatap tajam orang yang mengejeknya. Tapi
kalau dia berjalan bersamaku, tidak ada seorang
pun yang berani mengejeknya. Yaaah..., mungkin
mereka memandang kedudukanku sebagai kepala
desa di sini."
Saat itu Candraka kembali masuk ke dalam
kamar dengan sikap tergopoh-gopoh. Ki
Anggarasana dan Rangga langsung memandang
pemuda itu. "Dia tidak ada di kamarnya, Ayah. Pintunya
terkunci, tapi jendelanya terbuka. Aku terpaksa
mendobrak pintunya," jelas Candraka.
"Mustahil...! Tidak biasanya dia pergi melalui jendela!" desis Ki Anggarasana
tidak percaya. Laki-laki setengah baya itu bergegas keluar
dari kamar ini. Rangga dan Candraka juga
bergegas mengikuti. Tinggal Pandan Wangi yang
masih terbaring di ranjang, ditunggui Nyai Koret.
Mereka hanya bisa saling berpandangan.
Sebenarnya Pandan Wangi ingin bangkit dari
pembaringan. Tapi baru sedikit saja tubuhnya
digerakkan, dadanya sudah terasa sesak sekali.
"Bantu aku duduk, Nyai. Aku akan
bersemadi," pinta Pandan Wangi.
Nyai Koret membantu gadis itu duduk di
pembaringan, kemudian keluar dari kamar itu.
Perlahan ditutupnya pintu, dan membiarkan
Pandan Wangi melakukan semadi untuk
memulihkan kekuatan tubuhnya.
*** "Tidak pernah Salaya keluar diam-diam
begini...," gumam Ki Anggarasana hampir tidak percaya.
Laki-laki setengah baya itu memandangi
kamar Salaya yang kosong. Pintunya memang
rusak dibongkar Candraka. Tapi, jendelanya tidak mengalami kerusakan sedikit
pun, dan dalam keadaan terbuka lebar. Sementara Rangga
memeriksa setiap sudut kamar yang berukuran
cukup besar ini. Kamar yang rapi dan berbau
harum, seperti kamar seorang gadis.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju
pada sebuah guci besar yang terletak di bagian
sudut dekat jendela. Dihampirinya guci itu.
Keningnya jadi berkerut begitu melihat ke dalam
guci. Tangannya segera merogoh masuk ke dalam
guci, dan keluar lagi dengan membawa beberapa
buah benda hitam berbentuk bunga anggrek.


Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Digenggamnya bunga anggrek hitam itu beberapa
saat, lalu telapak tangannya dibuka kembali.
"Dia selalu mengumpulkan benda-benda itu,
setiap kali si Anggrek Hitam muncul," jelas Ki Anggarasana memberi tahu, tanpa
diminta lagi. "Untuk apa mengumpulkan benda ini?"
tanya Rangga agak heran.
"Dia memang aneh, Rangga. Kemauan dan
tingkah lakunya sukar ditebak," selak Candraka yang masih tetap berdiri di
ambang pintu. "Benda ini tidak beracun...," ujar Rangga
setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya
sendiri. Pendekar Rajawali Sakti melangkah
mendekati jendela. Sebentar diamatinya jendela
itu. Ternyata jendela ini menghadap langsung ke
bagian samping kanan rumah. Dari kamar ini,
bisa langsung terlihat tempat pertarungan
Ikat Pinggang Kemala 9 Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Hikmah Pedang Hijau 9
^