Pembunuh Misterius 1
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius Bagian 1
PEMBUNUH MISTERIUS Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawai Sakti
dalam episode: Pembunuh Misterius
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Siang itu terasa begitu indah. Langit begitu
bening, dihiasi awan tipis yang berarak perlahan mengikuti hembusan angin sejuk.
Hangatnya sang mentari tak begitu terasakan menyengat.
Seakan-akan bola api raksasa itu pun ingin
menikmati pula indahnya siang ini.
Keadaan alam seperti itu, dinikmati oleh
hampir seluruh penduduk Desa Ragasari yang
terletak di sepanjang sungai. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan begitu
saja hari nan indah ini. Seolah-olah tak ada hari-hari yang indah lagi yang akan
dijumpai. Di sebuah dangau kecil yang tidak jauh dari
sungai, terlihat seorang laki-laki setengah baya ditemani dua anak muda berusia
sekitar dua puluh tahun. Mereka memandangi orang-orang
yang bergembira bermain-main di sungai, atau
berjemur diri di tepinya. Dari pakaian yang
dikenakan, bisa dipastikan kalau mereka
termasuk orang berada. Terlebih lagi, di sekitar dangau kecil itu tampak
beberapa orang bersenjata golok di pinggang, seperti sedang
berjaga-jaga. "Lihatlah, mereka begitu gembira. Seakan-
akan tiada hari lain untuk bergembira...," ujar laki-laki setengah baya itu,
agak bergumam. "Seharusnya mereka tidak perlu terlalu
cepat bergembira, Ayah," selak pemuda yang
mengenakan baju warna merah ketat.
Di pinggangnya tergantung sebilah pedang
yang dihiasi sebuah batu merah delima pada
bagian ujung gagangnya. Wajahnya cukup
tampan, dengan senyum yang memikat. Kulitnya
kuning langsat, bagai kulit seorang wanita. Laki-laki setengah baya yang berada
di sampingnya, menatap pemuda itu lekat-lekat. Kemudian,
ditepuk-tepuknya bahu pemuda itu sambil
melepaskan senyum lebar.
"Kenapa kau masih juga beranggapan kalau
peristiwa itu belum tuntas, Candraka?" lembut sekali suara laki-laki setengah
baya itu. "Kita belum menangkap si Anggrek Hitam,
Ayah. Sedangkan dia sendiri belum jelas, siapa
orangnya. Aku yakin, cepat atau lambat, peristiwa itu akan terulang kembali. Dan
yang pasti, akan
lebih dahsyat daripada kemarin," tegas pemuda berbaju merah ketat yang dipanggil
Candraka. "Kakang Candraka terlalu khawatir. Anggrek
Hitam pasti akan berpikir seribu kali untuk
datang lagi ke desa kita," selak seorang pemuda lainnya yang mengenakan baju
warna kuning. Pemuda itu berkulit lebih putih daripada
Candraka. Bahkan wajahnya tidak bisa dikatakan
tampan, tapi lebih tepat dikatakan cantik
Tubuhnya juga ramping seperti perempuan.
Apalagi, sikap serta tutur katanya begitu lembut Jika dilihat sepintas lalu
saja, orang pasti akan menduga wanita. Hanya pakaiannya saja yang
menandakan kalau dirinya laki-laki.
"Kekhawatiran selalu ada, Salaya. Dan itu
sangat perlu. Apalagi bila mengingat kedudukan
ayah sebagai kepala desa, dan sangat terpandang
di Desa Ragasari ini," sergah Candraka.
'Tapi aku tetap yakin kalau Anggrek Hitam
tidak akan berani lagi datang ke sini," tukas Salaya mantap, namun tetap
terdengar lembut
suaranya. "Sudan..., sudah. Persoalan itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sebaiknya kalian
ikut bersenang-senang bersama mereka," laki-laki setengah baya yang ternyata Kepala
Desa Ragasari menengahi. Dia juga dikenal dengan
nama Ki Anggarasana.
Kedua pemuda itu tidak lagi bertentangan
pendapat. Mereka langsung terdiam begitu
ditengahi. Sementara di tepian sungai, penduduk
Desa Ragasari masih terus menikmati hari yang
cerah ini. Mereka benar-benar melupakan
peristiwa berdarah yang baru saja berakhir di
desa ini. Peristiwa yang membuat mereka selalu
dicekam rasa takut. Kini, mereka bisa bebas
keluar. Bahkan bisa bersenang-senang seperti
hari-hari sebelum munculnya seorang yang
dijuluki si Anggrek Hitam bersama enam
pengikutnya. "Coba kalian lihat, banyak gadis cantik di
sana. Kenapa kalian tidak bergabung, dan
memilih salah seorang dari mereka...?" pancing Ki Anggarasana.
"Ayah selalu saja berkata seperti itu.
Sekarang, kenapa Ayah sendiri tidak mencari
pengganti ibu...?" selak Candraka.
"Benar! Sudah lama Ayah hidup sendiri.
Kami ingin Ayah juga bersenang-senang. Dan
kalau bisa, memilih calon pendamping pengganti
ibu," sambung Salaya.
"Ah! Kalian selalu saja mendesak. Padahal
sudah berulang kali kukatakan, aku tidak ingin
mencari pengganti kedudukan ibu kalian. Aku
sudah cukup bahagia bisa mendidik dan
membesarkan kalian, sehingga berguna bagi desa
ini," sergah Ki Anggarasana agak terharu.
Memang, sudah lama laki-laki setengah baya
ini ditinggal mati istrinya. Sejak kedua anaknya masih kecil-kecil dan
membutuhkan perhatian
serta belaian kasih sayang seorang ibu. Tapi, hal itu tidak membuatnya jadi
patah semangat.
Bahkan berhasil mendidik kedua putranya
dengan baik. Sudah seringkali kedua anaknya ini
mendesak agar dirinya mencari seorang istri lagi.
Tapi, Ki Anggarasana tidak pernah punya niatan
ke situ. Sebenarnya hati laki-laki setengah baya itu
terharu akan kasih sayang dan perhatian anak-
anaknya ini. Dia selalu saja teringat istrinya, setiap kali hal itu dibicarakan.
Tapi Ki Anggarasana selalu bisa menutupi walau hanya
dengan senyuman. Meskipun, senyuman itu
terasa hambar. Kalau pembicaraan sudah
mengarah ke situ, dia selalu cepat
mengalihkannya, seakan-akan hal seperti itu
tidak ingin dibicarakannya lagi.
"Kalian di sini saja," ujar Ki Anggarasana seraya bangkit berdiri.
"Ayah akan ke mana?" tanya Salaya.
"Pulang," sahut Ki
Anggarasana. "Pulang..." Kenapa...?"
"Aku lupa, ada sesuatu yang harus
kukerjakan," Ki Anggarasana beralasan.
Candraka dan adiknya hanya saling
berpandangan saja. Sedangkan Ki Anggarasana
sudah melangkah meninggalkan dangau kecil itu.
Tampak empat orang yang berjaga-jaga di sekitar
dangau itu segera mengikuti Ki Anggarasana. Kini tinggal Candraka dan adiknya
yang masih berada
di dangau ini. Namun, masih ada empat orang
lagi yang tetap berjaga-jaga.
"Kalian boleh pergi," ujar Candraka pada empat orang itu, setelah Ki Anggarasana
jauh. "Tapi, Den...," salah seorang merasa
keberatan. "Aku bukan anak kecil lagi yang masih perlu dijaga. Pergilah kalian, ke mana
saja," sentak Candraka agak keras.
Empat orang laki-laki bersenjata golok
terselip di dipinggang itu saling berpandangan.
Kemudian mereka membungkuk sedikit dan
melangkah pergi.
'Tidak seharusnya berkata kasar begitu pada
mereka, Kakang," tegur Salaya.
"Sesekali kita harus bersikap tegas, Salaya,"
sahut Candraka.
"Bersikap tegas, bukan berarti membentak,
Kakang." "Sudahlah.... Sebaiknya kau pergi saja,
bergabung bersama mereka. Aku ingin tidur,"
dengus Candraka.
"Tidur di sini...?"
"Kenapa" Di sini, atau di mana saja sama."
Salaya tidak dapat lagi berkata apa-apa, melihat kakaknya sudah membujur sambil
menekuk kedua tangannya di belakang kepala. Pemuda
berbaju kuning yang lembut bagai wanita itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia
kemudian beranjak bangkit berdiri.
Dipandanginya Candraka yang sudah terpejam.
Entah sudah tidur, atau belum.
"Hhh...!" Salaya hanya bisa menghembuskan napas saja.
Pemuda itu kemudian melangkah pergi.
Disadari kalau antara dirinya dengan Candraka
memang terdapat perbedaan menyolok. Meskipun
mereka bersaudara kandung, tapi watak, sifat,
jalan pikiran, serta tindak-tanduk mereka berdua sangat berbeda jauh. Bahkan
begitu bertolak
belakang. Sering mereka berbeda pendapat,
walaupun hanya sebatas perang mulut saja. Tapi,
mereka juga sangat menyayangi dan saling
melindungi. *** Sepeninggal adiknya, Candraka membuka
matanya kembali. Sedikit kepalanya diangkat,
lalu bibirnya tersenyum melihat Salaya berjalan perlahan-lahan semakin jauh
menyusuri tepian
sungai. Beberapa orang yang berada di sepanjang
tepian sungai tampak menyapanya. Salaya
menyambut sapaan itu dengan sikap lembut dan
ramah. "Uh! Bosan di sini terus...!" dengus
Candraka mengeluh.
Ringan sekali pemuda itu melompat bangkit,
langsung turun keluar dari dangau ini.
Gerakannya begitu indah dan ringan. Jelas,
kepandaiannya cukup tinggi juga. Sebentar
pandangannya beredar ke sepanjang sungai, lalu
kakinya terayun mantap meninggalkan tempat
itu. Candraka tidak menuju ke sungai,
melainkan menyusuri jalan setapak yang
menanjak dan agak berliku. Ayunan kakinya
begitu mantap, namun terasa ringan sekali. Dia
terus berjalan agak tergesa-gesa, seakan-akan
ada yang hendak dikejarnya.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja dia masih
sabar menungguku. Gara-gara si Salaya,
rencanaku hampir gagal! Huh...!" Candraka
menggerutu sendiri.
Sampai di tikungan jalan yang menuju tiga
arah, Candraka berbelok ke kiri. Kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat berlari menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Jalan yang diambil, tampaknya menuju sebuah lembah
kecil di tengah hutan. Candraka terus berlari
cepat, sehingga sebentar saja sudah mencapai
hutan yang tidak begitu lebat lagi. Memang,
penduduk Desa Ragasari selalu mengambil kayu
di hutan ini. "Hup! Yeaaah...!"
Candraka melompat tinggi ketika di
depannya menghadang sebatang pohon tua
tumbang. Dan begitu kakinya kembali menjejak
tanah, dia cepat berlari lagi. Ilmu meringankan
tubuh yang dikuasainya memang cukup tinggi.
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, pemuda
itu sudah mencapai lembah kecil yang memiliki
pemandangan indah, bagai di sebuah taman
Swargaloka. Candraka menghentikan larinya, kemudian
berjalan ringan melintasi lembah itu. Dia terus
berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri lagi.
Tatapan matanya lurus ke depan, memandang
sebuah pondok kecil yang letaknya cukup
tersembunyi di antara rapatnya pepohonan.
Pemuda itu baru berhenti berjalan, setelah berada di depan pondok.
Sunyi sekali keadaannya, seperti tidak ada
seorang pun yang menempati pondok ini. Namun
sebelum Candraka mengayunkan kakinya
kembali, pintu pondok bergerak terbuka. Seketika dari dalam pondok muncul
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang wanita berbaju ketat berwarna hijau muda. Sehingga,
lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan padat
nampak terpetakan di balik bajunya.
Candraka memberi senyuman. Bergegas
dihampirinya wanita cantik berkulit putih halus
bagai kapas itu. Tangannya langsung merentang,
mencengkeram lembut bahu wanita itu. Senyum
di bibirnya semakin lebar mengembang, manakala
wanita itu juga me-nyunggingkan senyum manis.
"Lama kau menungguku Andira...?" lembut sekal suara Candraka.
"Baru saja aku akan pergi," sahut wanita yang dipanggil Andira itu, manja.
"Maaf, aku harus menemani ayah dan
Salaya," ucap Candraka beralasan.
Mereka kemudian masuk ke dalam pondok
itu Dengan ujung kakinya, Candraka menutup
pintu pondok kembali. Dibimbingnya Andira
dengan tangan melingkar di bahu. Dan wanita itu
semakin bertambah manja, sehingga tubuhnya
langsung dirapatkan dan kepalanya diletakkan di
dada Candraka. Bau harum yang menyebar dari
rambut Andira, menyeruak mengusik cuping
hidung pemuda itu.
"Ah! Rupanya kau sudah mempersiapkan
biduk kita, Andira," desak Candraka.
Senyum pemuda itu semakin lebar
terkembang ketika melihat pembaringan yang
sudah rapi, beralaskan kain sutra halus berwarna jingga. Andira hanya tersenyum
saja. Dilepaskannya rangkulan pemuda itu, lalu duduk
di tepi pembaringan. Candraka memandangi
wajah cantik di depannya. Sikap Andira begitu
manja. Seketika tangannya direntangkan ke
depan. Maka, Candraka menyambut uluran
tangan itu, kemudian duduk di sampingnya.
"Ahhh...," Andira mendesah seraya
menggeliat dan menengadahkan kepalanya ketika
Candraka memeluk pinggangnya.
Melihat leher yang putih jenjang, Candraka
tak dapat lagi bertahan. Bagai seekor serigala
buas yang kelaparan, dipagutnya leher putih
jenjang itu. Lagi-lagi Andira mendesah lirih,
begitu merasakan pagutan hangat di lehernya.
Andira semakin merapatkan tubuhnya, saat
Candraka mulai melumat bibirnya disertai gairah
menggelegak. "Ahhh..., Kakang," desah Andira lirih.
Perlahan tubuh mereka rebah ke atas
pembaringan. Jari-jari tangan Candraka mulai
nakal, menjelajahi tubuh wanita itu. Mau tak
mau, Andira menggelinjang sambil merintih lirih.
Hati-hati sekali Candraka mulai melepaskan
pakaian yang dikenakan wanita ini. Mata-nya jadi liar begitu menangkap sebentuk
bukit indah yang
putih menegang kaku. Candraka tak mampu lagi
menguasai diri. Diremasnya bukit yang indah itu
penuh gairah. "Auh...!" Andira terpekik manja.
"Kau menggairahkan sekali, Andira," desah Candraka di sela-sela dengus napasnya
yang memburu. Hanya itu saja yang diucapkan Candraka.
Sedangkan napasnya semakin memburu, bagai
kuda pacu yang didera terus mendaki bukit yang
tertinggi. Suara erangan lirih dan dengus napas
memburu berbaur menjadi satu. Sementara
keadaan di luar pondok ini tetap sunyi.
Desir angin yang mempermainkan
dedaunan, seakan-akan tak mampu mengusik
dua insan di dalam pondok itu. Sementara desah
napas semakin keras terdengar memburu. Hingga
akhirnya.... "Kakang, akh...!"
"Ohhh...."
Candraka mengejang sesaat, kemudian
menggelimpang dengan tubuh bersimbah peluh.
Sebentar matanya terpejam, seakan-akan ingin
membayangkan kembali kenikmatan yang baru
saja dirasakan. Matanya baru terbuka saat
merasakan ada satu kecupan lembut di bibirnya,
Bibirnya tersenyum menatap wajah cantik yang
begitu dekat dengan wajahnya. Candraka
kemudian melingkarkan tangannya ke tubuh
ramping wanita itu.
"Kakang...," desah Andira lembut.
"Hm...," gumam Candraka perlahan.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"
pinta Andira, tetap lembut seraya melepaskan
pelukan muda itu.
Andira meraih pakaiannya yang teronggok di
ujung kakinya, kemudian mengenakannya
kembali. Candraka juga ikut duduk, dan juga
mengenakan pakaiannya. Namun pandangan
pemuda itu tidak beralih dari wajah cantik di
depannya. "Apa yang ingin kau tanyakan, Andira"
Tentang hubungan kita ini?" kata Candraka, tetap lembut nada suaranya.
"Bukan," sahut Andira.
Candraka mengerutkan keningnya.
"Aku tidak pernah mempersoalkan
hubungan kita ini, Kakang. Aku tahu, kita tidak
mungkin bisa melanjutkan ke jenjang
perkawinan. Hatiku sudah cukup puas dengan
cara begini," jelas Andira, seperti ingin
meyakinkan pendiriannya pada pemuda itu.
"Lalu, apa yang ingin ditanyakan?" tanya Candraka tidak mengerti.
Pemuda itu memang tahu kalau Andira tidak
menuntut banyak dari hubungan mereka selama
ini. Sementara Candraka sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal ini
berlangsung terus-menerus.
Tapi, keadaan lah yang memaksa demikian. Maka
kini mereka sama-sama sepakat untuk saling
merahasiakan hubungan ini. Dan selama ini,
memang belum ada yang tahu kalau mereka
sering bertemu di lembah ini. Ada satu jurang
perbedaan yang sangat besar di antara mereka
berdua, sehingga tidak mungkin dapat bersatu
dalam membina rumah tangga. Dan itu sama-
sama disadari satu sama lain.
"Tentang Anggrek Hitam," kata Andira pelan.
*** Candraka terkejut bukan main mendengar
kata-kata Andira barusan. Sungguh tidak pernah
disangka kalau Andira akan menanyakan tentang
Anggrek Hitam. Sebuah nama yang dalam
beberapa hari lalu sangat ditakuti seluruh
penduduk Desa Ragasari. Dan sekarang, mereka
semua hendak melupakan nama mengerikan itu.
Tapi sekarang, Andira justru ingin
mengetahui, di saat mereka baru saja mengarungi
samudera cinta dengan biduk asmara. Candraka
memandangi wanita itu dalam-dalam, seakan-
akan tidak percaya kalau Andira melontarkan
kata-kata yang tidak pernah diduga sebelumnya.
"Kenapa kau ingin tahu tentang Anggrek
Hitam, Andira?" tanya Candraka ingin tahu.
"Hanya ingin tahu saja, Kakang. Tapi kalau
kau tidak bersedia mengatakannya, aku tidak
memaksa," sahut Andira seraya beranjak turun dari pembaringan.
Wanita itu menghampiri meja kecil yang
terletak di sudut ruangan ini. Diambilnya dua
cawan dari perunggu dan diisinya dengan arak.
Andira menghampiri pemuda itu lagi, lalu
menyerahkan secawan arak. Satu lagi untuknya
sendiri. Dia kembali duduk di tepi pembaringan
ini. "Apa yang ingin kau ketahui dari Anggrek Hitam, Andira?" tanya Candraka
setelah meneguk araknya.
"Aku hanya ingin tahu, apa kau sudah
mengetahui siapa Anggrek Hitam sebenarnya,"
sahut Andira kalem.
Candraka menggeleng.
"Lalu, kenapa dia mengacau Desa Ragasari"
Bahkan membunuhi penduduk yang keluar dari
rumahnya."
"Aku tidak tahu, Andira," sahut Candraka.
"Kau tidak menyelidikinya?"
"Sudah, tapi sulit, Segala tindakannya begitu cepat dan tidak diduga. Dia
seperti iblis, sehingga bisa ada di mana-mana tanpa dapat diketahui
kapan kemunculannya."
"Kakang, apa kau punya dugaan kalau
Anggrek Hitam akan muncul lagi?" tanya Andira lagi. "Ya, aku selalu berpikir
demikian. Tapi, ayah dan adikku begitu yakin kalau Anggrek Hitam
tidak mungkin berani menampakkan diri lagi di
Desa Ragasari," sahut Candraka.
"Aku juga begitu, Kakang," Andira
mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu...?" Candraka tidak mengerti.
"Sama sepertimu. Aku yakin, Anggrek Hitam
bakal muncul lagi. Dia pasti belum memperoleh
keinginannya, sehingga akan datang lagi
mengacau desa ini. Atau mungkin juga, dengan
cara lain," jelas Andira, kini mengemukakan pendapatnya.
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian,
Andira?" tanya Candraka agak heran juga.
"Aku dilahirkan dari kalangan persilatan,
Kakang. Kedua orang tuaku adalah tokoh
persilatan yang disegani pada masanya. Sedikit
banyak, aku tahu seluk beluk dan cara-cara
orang persilatan. Mereka tidak akan pergi begitu saja, tanpa membawa hasil yang
diinginkan. Aku
yakin, Anggrek Hitam menginginkan sesuatu dari
Desa Ragasari. Hanya saja, sesuatu itu belum
didapatkan. Jadi, berarti dia pasti akan datang
lagi," Andira mengutarakan pengetahuannya
mengenai orang-orang persilatan.
"Kau yakin hal itu, Andira?" tanya Candraka, seakan-akan ingin meyakinkan
dirinya sendiri.
"Entahlah. Itu hanya dugaanku saja,
Kakang," sahut Andira seraya mengangkat
bahunya. "Aku juga menduga seperti itu. Tapi setiap
kali ku utarakan, tidak ada yang peduli. Bahkan aku dianggap hanya mengada-ada
saja," jelas Candraka.
"Juga ayah dan adikmu...?"
"Mereka selalu berpendapat kalau Anggrek
Hitam tidak bakal muncul lagi. Padahal, aku
begitu yakin kalau dia akan muncul lagi untuk
menghancurkan seluruh Desa Ragasari."
Mereka jadi terdiam cukup lama.
"Sudah hampir malam. Aku harus segera
pulang," pinta Andira seraya beranjak bangkit berdiri.
"Kau kuantar pulang, Andira," kata
Candraka ikut turun dari pembaringan.
"Jangan! Nanti ada yang melihat kita," tolak Andira.
Sebenarnya Candraka tidak mau peduli.
Tapi, dia teringat dengan janjinya sendiri.
Terpaksa Andira dibiarkannya pulang sendiri.
Candraka baru meninggalkan pondok setelah
wanita itu sudah tidak terlihat. Kali ini pemuda itu berjalan tidak tergesa-gesa
seperti berangkat tadi. "Kapan semua ini akan berakhir..." Apakah Andira tidak
pantas jadi istriku?" keluh Candraka dalam hati.
Candraka sebenarnya sudah bosan dengan
cara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi untuk
berhubungan secara terang-terangan, rasanya
memang tidak mungkin. Semua orang di Desa
Ragasari sudah tahu, siapa Andira itu. Dan ini
yang menjadi ganjalan berat di hati Candraka.
Semula semua itu tidak ingin dipedulikan
Candraka. Tapi mengingat ayahnya adalah kepala
desa yang teramat disegani, pemuda itu tidak
mampu menolak keadaan. Candraka tidak bisa
membayangkan, bagaimana rupa ayahnya jika
sampai tahu hubungan ini. Candraka tidak tahu,
apa yang harus dilakukannya lagi. Keadaannya
memang sulit. Dan dia harus menerima,
meskipun menyakitkan sekali.
*** 2 Keadaan di Desa Ragasari sudah benar-
benar kembali seperti biasa. Mereka yang bertani, sudah mulai menggarap sawah
ladangnya. Pedagang pun sudah kembali memenuhi pasar.
Kesibukan kembali terasa di desa yang cukup
besar ini. Tak seorang pun yang menyebut-nyebut
Anggrek Hitam lagi. Mereka sudah melupakan
julukan yang sempat menjadikan desa ini bagai
neraka. Malam sudah mulai menyelimuti seluruh
Desa Ragasari yang terletak di tepi Sungai Ajir.
Beberapa orang masih terlihat berada di luar
rumahnya. Semakin larut, satu persatu mereka
masuk ke dalam rumah masing-masing.
Sementara suasana di Desa Ragasari jadi sunyi.
Tak terdengar lagi suara-suara percakapan,
kecuali gerit serangga malam.
Namun tiba-tiba saja, di dalam kesunyian
malam itu terlihat sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat. Dia kemudian menyelinap ke
balik sebatang pohon beringin yang sangat besar, di pinggir jalan yang membelah
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desa Ragasari ini.
Sebentar bayangan hitam itu tidak terlihat,
kemudian kembali berkelebat cepat menuju
sebuah rumah yang hanya diterangi sebuah pelita
di beranda. Sosok hitam itu merapatkan tubuhnya ke
dinding dekat pintu. Sukar dikenali wajahnya,
karena seluruh kepalanya terselubung kain hitam
pekat. Sedangkan wajahnya mengenakan topeng
dari kayu berbentuk tengkorak. Sebentar
diamatinya keadaan sekelilingnya. Kemudian,
tubuhnya melesat ringan ke atas atap rumah itu.
Tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya
mendarat di atap.
"Hm..., sepi. Kesempatan baik bagiku,"
gumam sosok tubuh hitam itu perlahan.
Hati-hati sekali, dibukanya atap rumah itu.
Setelah cukup mendapat lubang untuk masuk ke
dalam, cepat tubuhnya meluruk turun melalui
atap yang sudah terbuka. Gerakannya ringan
sekali, sehingga sedikit pun tidak ada suara yang ditimbulkannya. Kakinya
seketika mendarat
lunak di dalam sebuah ruangan di rumah ini.
Keadaan ruangan itu cukup remang-remang,
karena hanya sebuah pelita kecil yang ada di sini.
Mata sosok bayangan itu menatap tajam
empat orang yang tertidur pulas di atas balai-
balai bambu. Perlahan-lahan didekatinya empat
orang yang tengah terbuai dalam mimpi itu.
Diamatinya sebentar wajah-wajah itu.
"Saatmu sudah tiba, Sarta. Cukup mahal
akibat perbuatanmu yang harus kau tanggung,"
desis sosok tubuh hitam bertopeng tengkorak itu.
Setelah mendesiskan kata-kata, tiba-tiba
saja tangannya dikibaskan cepat sekali. Dan
seketika itu juga meluncur deras empat buah
benda berwarna hitam, dan langsung
menghantam empat orang yang tengah tertidur
lelap. Crab! Crab...!
Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Orang-orang yang tertidur itu hanya mampu
tersentak, dan menggeliat sebentar. Kemudian
mereka diam tak bergerak-gerak lagi. Sedikit pun tak ada gerakan di dada mereka.
Tampak dari dada, mengalir cairan merah kental.
"Selamat tinggal, Sarta," ucap sosok tubuh hitam itu perlahan.
Kemudian sosok itu kembali melesat ke atas
dengan cepat sekali. Sebentar kemudian,
tubuhnya sudah berada di atas atap kembali.
Sejenak diamati keadaan sekitarnya yang masih
sepi, lalu tubuhnya meluruk turun. Gerakannya
indah dan ringan sekali. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, mendadak saja sebuah bayangan
merah berkelebat menyambarnya.
"Heh..."! Hfs...!"
Cepat-cepat sosok bayangan hitam itu
memiringkan tubuh ke kiri, sehingga terjangan
bayangan merah itu sudah kembali berbalik.
Langsung menarik kembali sikap tubuhnya,
bayangan merah itu sudah kembali berbalik.
langsung diterjangnya sosok tubuh hitam itu
dengan kecepatan tinggi bagai kilat.
"Hup...!"
Sosok tubuh hitam itu cepat melentingkan
tubuhnya ke atas, berputaran dua kali melewati
bayangan merah. Secepat kilat tangannya
dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan
dari arah belakang.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Ugkh...!"
Bayangan merah itu terhuyung-huyung
begitu punggungnya terkena pukulan keras dari
belakang. Namun keseimbangan tubuhnya cepat
bisa dikuasai. Tubuhnya kemudian segera
berputar, tepat di saat sosok tubuh hitam
bertopeng tengkorak itu menjejakan kakinya di
tanah. Mereka berdiri saling berhadapan dalam
jarak sekitar dua batang tombak.
"Anggrek Hitam...," desis pemuda berbaju merah yang juga membawa sebilah pedang
tergantung di pinggang.
"Kau belum cukup mampu melawanku,
Candraka," terdengar dingin nada suara orang berbaju hitam itu.
Pemuda berbaju merah yang ternyata
Candraka, menggeser kakinya ke kanan beberapa
tindak. Sedangkan sosok tubuh hitam bertopeng
tengkorak yang dikenal sebagai si Anggrek Hitam, tetap berdiri tegak dengan
tangan terlipat di
depan dada. "Sudah kuduga, kau pasti akan kembali lagi, Anggrek Hitam," kata Candraka, agak
mendesis suaranya. 'Tapi kali ini, kau harus berhadapan
langsung denganku."
Setelah berkata demikian, Candraka
langsung melompat cepat bagaikan kilat
menyerang orang berbaju serba hitam yang
dikenal berjuluk si Anggrek Hitam. Serangan
putra Kepala Desa Ragasari itu demikian cepat.
Bahkan satu pukulan yang dilepaskannya juga
sungguh dahsyat, sehingga menimbulkan suara
angina menderu.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
*** Manis sekali Anggrek Hitam memiringkan
tubuhnya ke kanan, sehingga pukulan geledek
yang dilepaskan Candraka tidak sampai mengenai
sasaran. Dalam keadaan tubuh miring ke kanan,
Anggrek Hitam melepaskan satu sodokan dengan
tangan kanan ke arah lambung
"Uts!"
Candraka cepat menarik tubuh ke belakang,
lalu bergegas menggeser kakinya ke kanan.
Bagaikan kilat, pemuda itu melepaskan satu
tendangan keras disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. "Yeaaah...!"
"Hap!"
Anggrek Hitam tidak berusaha menghindari
tendangan itu, tapi malah menangkis dengan
tangan kirinya. Candraka jadi terkejut. Pemuda
itu tidak sempat lagi menarik kakinya yang sudah melayang cepat.
Des! Tak pelak lagi, satu benturan keras terjadi.
Candraka cepat melentingkan tubuh ke belakang.
Namun pemuda itu agak terhuyung begitu men-
darat. Bibirnya meringis menahan sakit pada
tulang kaki. Akibat benturan keras dengan
tangan kiri manusia berpakaian hitam bertopeng
tengkorak itu. "Aku bisa mudah mematahkan kakimu,
Candraka," dengus Anggrek Hitam dingin.
"Phuih! Jangan bangga dulu, Iblis!" geram Candraka sengit.
Sret! Candraka cepat mencabut pedangnya.
Secepat itu pula dia melompat, kembali
menyerang sambil mengebutkan pedang beberapa
kali. Anggrek Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan
pemuda tampan itu. Beberapa kali mata pedang Candraka hampir
menebasnya. Namun, Anggrek Hitam masih
mampu mengelak dengan manis sekali.
Candraka yang memang sudah menunggu
lama kesempatan untuk bertemu manusia
bertopeng tengkorak ini, seperti tidak memberi
kesempatan lawan untuk balas menyerang.
Dengan pedang kebanggaan di tangan, serangan-
serangan putra kepala desa itu semakin dahsyat
dan berbahaya. Hal ini membuat Anggrek Hitam
jadi agak kewalahan juga menghadapinya.
"Setan! Dia benar-benar ingin
membunuhku...!" maki Anggrek Hitam, sengit.
Memang sulit bagi Anggrek Hitam untuk
keluar dari serangan-serangan Candraka. Setiap
kali berusaha, pemuda itu langsung mengejar dan
menutup ruang geraknya. Pedang di tangan
pemuda itu seperti memiliki mata saja. Ke mana
si Anggrek Hitam bergerak, pedang itu selalu
mengikuti dan mengancam nyawanya. Anggrek
Hitam semakin berang, karena benar-benar
kerepotan menghadapi serangan-serangan
Candraka yang begitu gencar.
Menyadari kesungguhan serangan-serangan
Candraka yang begitu dahsyat dan berbahaya,
Anggrek Hitam jadi berang juga. Semula, dia
memang hanya ingin menghindar dengan sesekali
balas menyerang yang tak berarti. Seakan-akan
dia tidak ingin mencelakakan pemuda ini. Tapi
menghadapi serangan-serangan berbahaya,
Anggrek Hitam tidak bisa terus-menerus begini.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Anggrek Hitam melesat tinggi
ke udara sambil berteriak nyaring melengking
tinggi Candraka tertegun sejenak, lalu cepat-cepat mengikuti. Tubuhnya melesat
ke udara mengejar
manusia bertopeng tengkorak itu.
"Yeaaah...!"
Namun begitu Candraka melesat ke udara,
mendadak saja Anggrek Hitam memutar
tubuhnya dan meluruk deras ke arah pemuda itu.
Gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga itu
membuat Candraka jadi terperangah. Pemuda itu
tak mampu lagi berbuat sesuatu manakala
Anggrek Hitam melepaskan satu pukulan keras
secepat kilat. "Hiyaaa...!"
Begkh! "Akh...!" Candraka memekik keras agak
tertahan. Tubuh pemuda berbaju merah itu terpental
keras sekali. Candraka benar-benar tidak dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya, sehingga
harus jatuh terbanting ke tanah dan bergulingan
beberapa kali. Namun, pemuda itu cepat bisa
bangkit berdiri. Pada saat itu, Anggrek Hitam
sudah meluruk deras ke arahnya. Kemudian, satu
tendangan keras cepat dilepaskannya.
Dess! "Aaakh...!" lagi-lagi Candraka memekik keras.
Pemuda itu kembali terbanting di tanah.
Tendangan Anggrek Hitam tepat menghantam
bagian tengah dadanya. Candraka seketika
memuntahkan darah kental dua kali. Dia masih
mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga
mampu berdiri tegak, tubuhnya sudah ambruk
kembali. Pandangannya jadi nanar dan
berkunang-kunang. Napasnya begitu sesak,
tersengal di dada. Sementara Anggrek Hitam
berdiri tegak sekitar satu batang tombak di
depannya. "Seharusnya kau tidak perlu keras kepala
begitu, Candraka. Aku bisa saja membunuhmu,
semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, kau
begitu tampan dan perkasa untuk cepat mati. Itu
hanya peringatan saja, Candraka. Jika tetap
keras kepala, aku terpaksa menjatuhkan tangan
kejam padamu," ancam Anggrek Hitam.
"Iblis kau...."
Bruk! Candraka langsung ambruk ke tanah tak
bergerak-gerak lagi. Pingsan! Seluruh rongga
mulutnya dipenuhi darah kental. Sementara
Anggrek Hitam yang masih memandangi pemuda
itu, langsung tersentak ketika ada cahaya terang menyorot dari sebuah rumah.
Bergegas tubuhnya
melesat pergi. Hanya sekali lesatan saja, manusia berbaju hitam yang mengenakan
topeng tengkorak itu sudah lenyap ditelan kegelapan
malam. Suara-suara pertarungan tadi, rupanya
membangunkan penduduk yang berada di sekitar
tempat itu. Satu persatu lampu rumah-rumah di
sekitar tempat itu menyala. Dan sebentar
kemudian, terlihat beberapa orang keluar dari
rumahnya. Mereka bergegas menghampiri tubuh
berbaju merah yang tergeletak di tanah. Begitu
mengetahui siapa yang tergeletak, mereka kontan
terkejut. Apalagi ketika melihat mulut Candraka
yang penuh tersumpal darah kental.
"Den Candraka..."!"
*** Peristiwa semalam benar-benar
menggemparkan seluruh Desa Ragasari. Baru
beberapa hari mereka menikmati ketenangan, kini
kembali dicekam rasa takut. Hal ini akibat
peristiwa semalam yang menimbulkan korban
satu keluarga terbunuh. Dan hingga matahari
naik tinggi, Candraka belum juga sadarkan diri.
Sementara Ki Anggarasana merenung sambil
bertopang dagu di ruangan tengah. Sesekali
matanya melirik ke pintu kamar Candraka yang
sedikit terbuka.
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Anggarasana berpaling saat mendengar
suara-suara langkah kaki dari arah depan
rumahnya yang besar dan megah ini. Dari pintu
depan muncul Salaya dengan ayunan langkah
halus dan gemulai, bagai langkah seorang putri
bangsawan. Pemuda berkulit halus dan wajahnya
pantas dikatakan cantik itu langsung duduk di
depan ayahnya. "Bagaimana keadaan Kakang Candraka,
Ayah?" tanya Salaya.
"Belum sadar, masih ditunggui Nyai Koret,"
sahut KI Anggarasana.
Salaya melirik ke arah pintu kamar
kakaknya. Dia tahu kalau di dalam Sana
terbaring Candraka, ditunggui seorang
perempuan tua yang ahli dalam pengobatan. Nyai
Koret sudah terkenal di Desa Ragasari ini.
Bahkan desa-desa lain di sekitar Sungai Ajir
mengenal tabib wanita itu. Sementara, Salaya
kembali berpaling menatap ayahnya.
"Sudah kau urus pemakaman keluarga
Sana, Salaya?" tanya Ki Anggarasana.
"Sudah selesai semua," sahut Salaya.
'Tapi...."
"Ada yang tidak beres?" tanya Ki
Anggarasana, melihat Salaya menghentikan
ucapannya. "Semua beres dan lancar, Ayah."
"Tapi, kenapa...?"
"Tidak ada seorang penduduk pun yang mau
mengantar. Bahkan tak seorang pun terlihat
berada di luar rumahnya. Keadaan sepertinya
semakin lebih buruk lagi," jelas Salaya
"Akan bertambah buruk lagi kalau tidak
segera ditanggulangi, Salaya," desah Ki
Anggarasana. "Itulah sulitnya, Ayah. Yang kita hadapi si Anggrek Hitam. Dan desa ini tidak
memiliki jago-jago yang mampu menandingi kesaktiannya. Aku
merasa dia akan semakin merajalela...," kata Salaya, seakan-akan mengeluh
melihat keadaan
yang tidak menyenangkan Ini.
"Salaya! Apa sebaiknya kita minta bantuan
orang-orang persilatan untuk menghadapi si
Anggrek Hitam...?" Ki Anggarasana meminta
pendapat anaknya.
"Apakah itu tidak akan memperburuk
keadaan, Ayah?"
"Mengundang orang-orang persilatan
memang mengandung akibat besar. Tapi, rasanya
tidak ada pilihan lain, Salaya. Meskipun dia
sekarang sendiri, namun terlalu kuat untuk
dihadapi," tukas Ki Anggarasana.
Salaya belum bisa menyamakan
pendapatnya dengan pemikiran ayahnya barusan.
Saat itu, dari kamar Candraka keluar seorang
perempuan tua mengenakan baju panjang
berwarna hitam. Meskipun usianya mungkin
sudah lebih delapan puluh tahun, tapi masih
kelihatan segar. Ki Anggarasana dan Salaya
bergegas berdiri. Wanita tua yang dikenal
bernama Nyai Koret itu menghampiri, lalu duduk
di kursi. "Dia ingin bicara denganmu, Ki
Anggarasana," kata Nyai Koret.
"Dia sudah bisa bicara...?" tanya Ki
Anggarasana. "Dia cukup kuat untuk luka seperti itu."
Ki Anggarasana bergegas melangkah masuk
ke dalam kamar anaknya. Sedangkan Salaya
kembali duduk menemani perempuan tua
berjubah hitam ini. Sebentar matanya melirik ke
arah kamar Candraka. Sementara Ki Anggarasana
sudah tenggelam dalam kamar itu.
"Bagaimana keadaannya, Nyai?" tanya
Salaya. "Tidak mencemaskan. Tapi harus
beristirahat, sedikitnya tiga hari," sahut Nyai Koret 'Tidak ada luka dalam?"
"Tidak terlalu parah. Dia hanya mendapat
luka dalam ringan. Untung saja lawannya hanya
mengeluarkan sedikit tenaga dalam. Jadi, tidak
perlu dicemaskan. Kakakmu pasti akan pulih
seperti semula lagi."
"Syukurlah kalau begitu," desah Salaya. Nyai Koret memandangi pemuda itu dalam-
dalam, sehingga membuat Salaya agak jengah.
Pandangannya langsung dialihkan ke arah lain.
Sementara Nyai Koret terus memandangi pemuda
itu dengan sinar mata yang sukar dipahami.
"Kenapa kau memandangiku seperti itu,
Nyai?" tegur Salaya risih.
"Kau habis bertarung, Salaya?" Nyai Koret malah balik bertanya.
Salaya langsung menatap tajam perempuan
tua ini, seraya menekap pelipis kanannya. Untuk
sesaat tak ada yang bicara. Sementara mereka
saling pandang dengan sinar mata memancarkan
suatu gambaran yang sukar dilukiskan.
"Kenapa pelipismu?" tanya Nyai Koret lagi.
"Terbentur," sahut Salaya.
"Bukan karena pukulan?"
"Aku tidak sepandai Kakang Candraka
dalam ilmu olah kanuragan, Nyai. Bagaimana
mungkin bisa bertarung..." Aku tadi hanya
terbentur waktu mengetahui Kakang Candraka
terluka," Salaya memberikan alasan. "Dan lagi, aku tidak pernah punya musuh. Dan
kalaupun ada, aku selalu menghindari pertarungan."
"Kuharap kau tidak berdusta, Salaya," ujar Nyi Koret agak menggumam.
"Maaf, Nyai. Aku harus menemui seseorang."
Salaya bergegas bangkit berdiri, lalu
melangkah ke luar. Sementara Nyai Koret
memandangi pemuda itu. Wajahnya masih tetap
tak berpaling, meskipun Salaya sudah tidak
terlihat lagi. Terdengar tarikan napasnya yang
panjang dan terasa berat.
"Anak itu seperti menyembunyikan
sesuatu.... Aku yakin luka memar di pelipisnya
bukan dari benturan biasa," desah Nyai Koret setengah menggumam.
Baru saja Nyai Koret bangkit berdiri, Ki
Anggarasana keluar dari kamar anaknya. Laki-
laki separuh baya itu bergegas menghampiri tabib wanita tua ini.
"Ke mana Salaya, Nyai?" tanya Ki
Anggarasana. "Katanya hendak menemui seseorang,"
sahut Nyai Koret "Ada masalah dengan anakmu?"
"Tidak"
"Bagaimana Candraka?"
"Sudah bisa duduk, dan sedang bersemadi."
"Bagus. Itu akan
mempercepat penyembuhan lukanya."
"Silakan duduk, Nyai. Aku ingin sedikit
bicara denganmu," pinta Ki Anggarasana.
Nyai Koret duduk kembali. Sedangkan Ki
Anggarasana mengambil tempat di depan
perempuan tua itu. Tak berapa lama, mereka
sudah terlibat dalam suatu pembicaraan penting.
*** 3 Suasana Desa Ragasari begitu sunyi, seperti
sebuah desa mati yang tidak berpenghuni.
Meskipun matahari siang ini bersinar penuh dan
langit begitu cerah, namun tak terlihat seorang
pun berada di luar rumah. Jalan-jalan di seluruh desa begitu lengang. Hanya debu
saja yang beterbangan tertiup angin.
Peristiwa malam itu benar-benar membuat
semua orang tidak ada lagi yang berani ke luar
rumah. Tapi, tidak demikian halnya seorang
wanita muda dan cantik berbaju hijau muda. Dia
seperti tidak mempedulikan keadaan di desa ini.
Wanita itu malah berjalan-jalan di sekitar
rumahnya yang agak menyendiri dari rumah-
rumah lain. Dia ditemani seorang laki-laki tua
yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Mereka berjalan-jalan ringan sambil menikmati
cerahnya sinar matahari siang ini.
"Kau sudah dapat kabar tentang keadaan
Kakang Candraka, Ki Rasut?" tanya wanita
berbaju hijau itu.
"Kabarnya, Den Candraka tidak mengalami
luka yang berarti, Nyai Andira," sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Rasut
itu. Sikapnya begitu hormat, bahkan terkadang membungkuk seperti
menghadapi seorang putri raja.
Wanita cantik berbaju hijau ketat itu
tersenyum manis. Kakinya terus terayun sambil
menikmati keindahan alam di sekitar rumahnya.
Tapi sebentar kemudian, langkahnya berhenti
ketika terdengar derap langkah kaki kuda. Andira menatap Ki Rasut sebentar,
kemudian berpaling
ke arah datangnya hentakan kaki kuda yang
dipacu cepat. Laki-laki yang bernama Ki Rasut itu
memang pelayan setia Andira. Dia memang tak
jelas asal-usulnya, karena ditemui Andira tengah
sekarat di pinggiran Sungai Ajir beberapa
purnama yang lalu. Wanita itu kemudian
menolongnya. Setelah laki-laki tua itu sembuh,
ternyata dia memiliki kepandaian juga. Maka,
Andira pun memintanya untuk menjadi pelayan
setia, sekaligus pengawal pribadinya.
Sementara itu tampak debu mengepul dari
arah jalan di depan mereka. Tak lama kemudian,
terlihat seekor kuda putih yang dipacu cepat oleh seorang pemuda berbaju kuning.
Andira tetap berdiri didampingi Ki Rasut. Pemuda berbaju
kuning itu menarik tali kekang kudanya setelah
berada dua batang tombak di depan wanita cantik
itu. "Hup!"
Ringan sekali gerakan pemuda itu saat
melompat turun dari punggung kuda putih
tunggangannya. Kakinya melangkah beberapa
tindak menghampiri. Andira tersenyum
menyambut kedatangan pemuda berwajah halus
bagai wanita ini. Wajah pemuda itu memang se-
perti wanita, begitu halus dan cantik. Siapa lagi kalau bukan Salaya, putra
kedua dari Ki Angarasana. "Senang sekali melihatmu, Salaya," ucap Andira menyambut hangat.
Salaya hanya tersenyum saja. Diliriknya
sedikit laki-laki tua yang berdiri di samping
Andira. Ki Rasut membungkukkan tubuhnya
sedikit. Sementara Salaya sudah kembali
mengalihkan pandangan pada wanita cantik
bertubuh sintal, dan padat berisi ini. Dan Andira
seperti tidak menghiraukan Ki Rasut.
Dihampirinya pemuda itu, lalu tangannya diling-
karkan ke leher. Lembut sekali dia memberi satu
kecupan di bibir pemuda itu.
"Ayo kita ke dalam, Salaya," ajak Andira manja. Salaya tidak membantah. Pemuda
itu menurut saja dibimbing wanita cantik yang selalu berpenampilan menggairahkan
ini. Sedangkan Ki
Rasut mengambil tali kekang kuda putih itu, lalu membawanya ke samping rumah.
Sementara Salaya dan Andira sudah tenggelam di dalam
rumah yang tidak begitu besar, namun kelihatan
cantik dan terawat rapi.
"Tubuhmu kotor sekali, Salaya. Ingin mandi
dulu...?" Andira menawarkan, setelah berada di dalam sebuah kamar yang berukuran
cukup besar. Salaya tidak menjawab, tapi malah
menghempaskan diri di atas pembaringan yang
beralaskan kain sutra halus berwarna jingga.
Andira tersenyum dan menghampiri. Wanita itu
duduk di tepi pembaringan. Seperti disengaja,
bagian bawah baju yang dikenakannya dibiarkan
tersingkap. Hal itu membuat sepasang paha yang
putih gempal mencuat keluar. Sepasang mata
Salaya jadi nakal, menjilati bentuk paha yang
begitu indah tanpa cacat. Tangannya segera
diangkat dan ditaruh di atas daging gempal
terbungkus kulit putih halus itu.
"Kau tahu, Andira. Setiap kali berada di sini, hatiku selalu terasa damai dan
tenteram. Tidak
seperti di rumahku sendiri," jelas Salaya lembut.
'Tapi seharusnya kau berada di rumah,
Salaya. Kakakmu sedang terluka, dan pasti
membutuhkanmu."
"Sudah ada Nyai Koret. Lagi pula, Kakang
Candraka tidak pernah membutuhkan aku. Dia
lebih segala-galanya dari padaku. Makanya ayah
lebih sayang padanya," Salaya seakan-akan
mengeluh, mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Kau hanya iri saja, Salaya."
"Aku memang iri. Terutama terhadap sikap
ayah yang selalu memperhatikan Kakang
Candraka. Sedangkan aku..." Apa karena aku
seperti wanita" Tapi kau kan tahu, Andira. Aku
laki-laki perkasa, dan mampu memuaskan
wanita. Kau sering berkata begitu padaku,
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan...?" "Kau memang laki-laki perkasa, Salaya.
Bahkan aku belum pernah bertemu laki-laki
seperkasa dirimu," Andira membesarkan hati
pemuda ini. "Seharusnya hal ini kau katakan pada
mereka, Andira. Biar mereka tahu, aku tidak
lemah. Aku adalah laki-laki tulen yang mampu
melakukan lebih dari Kakang Candraka."
Andira malah tertawa terbahak-bahak.
Terdengar merdu dan renyah sekali tawa wanita
cantik itu. Salaya jadi meneguk ludahnya melihat baris-baris gigi yang putih
rapi. Seketika tangannya dilingkarkan ke pinggang wanita itu,
lalu ditariknya. Akibatnya Andira jatuh menindih
dada pemuda itu.
"Auwh...!" jerit Andira manja. "Kau nakal, Salaya...."
"Kau menggairahkan. Selalu membuatku
bergairah," desah Salaya berbisik di telinga wanita itu. Andira jadi terkikik,
ketika merasakan
sesuatu yang hangat menggelitik telinganya.
Tubuhnya kemudian menggelinjang, namun
Salaya malah membalikkannya. Dan kini pemuda
itu menghimpit tubuh yang ramping menggiurkan
ini. Seperti angsa melihat cacing, Salaya
mereguk bibir yang selalu memerah itu. Pemuda
itu melumat, mengecup dengan gairah yang
semakin menggelegak membara di dalam dada.
Mau tak mau, Andira menggelinjang dan merintih
lirih penuh kenikmatan.
"Oh, ahhh...," Andira mendesis panjang.
Lagi-lagi tubuh wanita itu menggelinjang saat
merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar,
menjelajahi tubuhnya. Satu persatu, pakaian
yang melekat di tubuh Andira berhamburan ke
lantai. Hingga, tak ada selembar benang pun yang melekat lagi. Dengus napas dan
rintihan lirih tertahan berbaur menjadi satu. Keringat mulai
bercucuran membasahi tubuh.
Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan.
Semua berganti gerakan-gerakan liar yang
membangkitkan gairah. Hanya desah napas
memburu dan rintihan tertahan yang terdengar.
Salaya pun sudah tidak sabar lagi untuk
melepaskan pakaiannya.
Lagi-lagi, tubuh Andira menggelinjang saat
merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar.
Terdengar rintihan lirih keluar dari mulut wanita itu. Tak ada lagi kata-kata
yang terucap. Semua berganti gerakan-gerakan liar yang
membangkitkan gairah.
Kedua manusia itu semakin tenggelam
dalam kenikmatan alunan gelombang asmara
yang semakin dahsyat menggelora. Sampai-
sampai, mereka tidak mengetahui kalau ada
sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi
dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.
Tapi sepasang mata itu cepat-cepat
menghilang ketika tubuh Salaya terlihat
menggelimpang disertai tarikan napas panjang.
Andira menarik selembar kain dari ujung
kakinya, lalu menutupi tubuh mereka berdua.
Tubuhnya dirapatkan dengan manja, lalu
meletakkan kepalanya di dada pemuda itu.
"Kau benar-benar perkasa, Salaya," puji Andira.
"Kau yang membuatku selalu perkasa,"
sambut Salaya seraya memberi kecupan di bibir
wanita itu. "Kau lelah?" tanya Andira lembut.
"Sedikit," sahut Salaya.
"Istirahatlah dulu. Aku akan pergi,
menyiapkan air mandi untukmu."
Salaya sempat memberi satu kecupan
lembut di bibir wanita itu, sebelum beranjak
bangkit dari pembaringan. Andira meraih
pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu
mengenakannya kembali. Dilemparkan-nya
senyuman manis pada pemuda itu, lalu
melangkah ke luar.
"Ah...! Seandainya aku bisa mengenalkannya
pada ayah dan Kakang Candraka...?" desah
Salaya menggumam perlahan. "Tapi apakah
mungkin..." Ayah pasti tidak menyukai Andira.
Yaaah..., kenapa tidak dari dulu saja aku
mengenalnya, sebelum...."Salaya tidak
melanjutkan kata-katanya.
Pemuda itu membuka matanya kembali, lalu
menggeleng beberapa kali. Saat itu Ki Rasut
masuk ke kamar sambil membawa baki berisi
sebuah guci arak dan sebuah cawan panjang dari
perak. Dengan sikap hormat, laki-laki tua itu
meletakkan baki perak bakar ke atas meja kecil di samping pembaringan.
"Terima kasih," ucap Salaya.
Ki Rasut hanya mengangguk sedikit,
kemudian melangkah ke luar. Hati-hati sekali
pintu kamar itu ditutup kembali. Salaya bangkit
dan menuang arak ke dalam cawan perak. Sekali
teguk saja, arak manis itu sudah amblas ke
dalam perutnya. Kemudian bergegas pakaiannya
dipungut dan dikenakannya kembali. Lalu,
melangkah ke luar dari kamar setelah merapikan
diri. *** Sampai matahari hampir tenggelam di ufuk
Barat, Salaya baru meninggalkan rumah Andira.
Kudanya dipacu cepat seakan-akan tidak ingin
ada seorang pun yang mengetahui kalau dirinya
habis dari rumah wanita itu. Salaya baru
memperlambat lari kudanya setelah berbelok, dan
sudah cukup jauh meninggalkan rumah Andira.
Sementara suasana semakin meremang. Sebentar
lagi gelap akan menyelimuti Desa Ragasari.
Salaya tidak langsung pulang ke rumahnya,
tapi menuju ke sungai yang memberi nilai
kehidupan bagi seluruh penduduk Desa Ragasari.
Kudanya dihentikan setelah sampai di tepi sungai itu. Sebentar matanya
memandang jauh ke tengah sungai yang
nampak keperakan berkilau bagi bertaburkan
sejuta permata. Ringan sekali dia melompat turun dari punggung kuda, dan
melangkah menghampiri sebongkah batu yang cukup besar
dan menjorok ke dalam air. Salaya naik ke atas
batu itu, lalu duduk mencangkung di sana.
"Ehm-ehm...!"
"Ohhh..."!"
Salaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar
suara mendehem dari belakang. Cepat dia
berpaling ke belakang. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di belakangnya sudah
berdiri seorang wanita muda berwajah cukup
cantik. Bajunya ketat berwarna hitam dan agak
tipis. Kelihatannya memang dari bahan sutra
halus. Salaya bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya. Dia melompat turun dari batu dengan
gerakan ringan dan indah sekali.
"Surti.... Aku kira siapa," Salaya langsung mengenal wanita itu.
"Kenapa menyendiri di sini?" wanita yang dikenal Salaya bernama Surti itu malah
balik bertanya. "Melamun," sahut Salaya seenaknya.
"Apa kau tidak tahu, kalau di sini banyak
setannya. Orang yang senang melamun bisa
kesambet," gurau Surti.
Salaya tertawa geli mendengar gurauan
gadis ini. Mereka kemudian melangkah menuju
dangau kecil yang tidak jauh dari tepi sungai itu.
Kedua anak muda itu duduk di sana memandang
ke tengah sungai. Sementara matahari sudah
benar-benar tenggelam.
Dan kini tugasnya digantikan sang dewi
malam. Suasana malam di tepian sungai ini
terasa begitu indah dan damai. Namun di balik
semua itu terdapat satu ancaman besar, sehingga
membuat keadaan di desa sekitar Sungai Ajir ini
bagai berada dalam neraka.
"Kau tidak takut keluar malam sendirian,
Sum?" tanya Salaya.
"Apa yang harus ditakutkan...?" Surti seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku rasa, kau sudah tahu kalau Anggrek
Hitam sudah muncul lagi. Dan semalam
membantai keluarga Sarta," Salaya seperti
memperingatkan gadis itu. "Seharusnya, kau
berada di rumah, Surti. Terlalu berbahaya
malam-malam di luar."
"Di luar, atau di dalam rumah sama saja.
Toh, Anggrek Hitam bisa muncul kapan saja.
Tidak peduli di dalam rumah atau di luar rumah.
Bukankah keluarga Sarta dibunuh di dalam
rumahnya sendiri...?" Surti berdalih.
Salaya tidak bisa berkata lagi, dan hanya
mengangkat bahu saja. Kata-kata Surti yang
meluncur bagai air sungai itu memang tidak
dibantah lagi. Bagi Anggrek Hitam memang tidak
ada persoalan dalam melancarkan kegiatannya.
Dalam keadaan seperti ini, memang tidak ada
tempat aman. Dan lagi, tidak ada seorang pun
yang dapat menduga korban berikutnya.
Salaya memandangi gadis itu dalam-dalam.
Semua orang tahu, Surti adalah seorang gadis
yang tinggal sendiri tanpa sanak keluarga dan
orang tua lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu
asal-usulnya. Surti
menempati sebuah rumah kosong yang
sudah ditinggalkan penghuninya.
Satu purnama setelah kedatangan Surti ke
desa ini, musibah itu terjadi. Dan itu bertepatan dengan munculnya seseorang
yang mengaku bernama Anggrek Hitam. Tapi, bukan hanya Surti
yang datang ke desa ini dan terus menetap
sebelum munculnya Anggrek Hitam. Andira
malah datang lebih awal dari gadis ini. Juga,
masih ada dua keluarga lagi yang baru menetap
di Desa Ragasari.
"Kenapa memandangku begitu, Salaya?"
tegur Surti jengah.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya kagum
dengan kecantikanmu," kata Salaya seraya
tersenyum manis.
"Kau merayu ku, Salaya."
"Kalau kau senang...?"
Surti malah tertawa terbahak-bahak. Salaya
jadi terdiam. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba gadis ini jadi tertawa. Seakan-
akan kata-katanya begitu menggelitik, membuat Surti jadi tertawa
begitu lepas. "Tidak ada yang lucu, Surti," dengus Salaya.
"Maaf, aku bukan mentertawakanmu.
Tapi...," Surti tidak melanjutkan.
"Tapi kenapa?" desak Salaya.
"Belum begitu Lama aku mengenalmu,
Salaya Tapi aku sudah sering mendengar cerita-
cerita orang tentang dirimu. Rasanya, semua yang kudengar jadi hambar. Sungguh,
tidak kusangka kau bisa merayu. Semua orang bilang kau...,"
Lagi-lagi Surti tidak melanjutkan kata-katanya.
"Banci..."! serobot Salaya langsung bisa
menebak kelanjutannya.
"Aku tidak pernah mengatakan itu, Salaya,"
ujar Surti cepat-cepat
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa, kok,"
kata Salaya. Namun nada suaranya jadi lain.
Setelah berkata demikian, Salaya bangkit
berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil
itu. Surti bergegas keluar dan mengejar pemuda
itu. Di hatinya terselip perasaan tidak enak,
karena telah menyinggung perasaan pemuda ini.
Dia memang belum lama tinggal di Desa Ragasari
ini. Tapi, dia sering mendengar orang-orang
menggunjingkan Salaya, yang dikatakan sebagai
laki-laki yang memiliki kelainan.
"Maaf, Salaya. Aku tidak bermaksud
menyinggung perasaanmu," ucap Surti merasa
bersalah. "Lupakan saja," ujar Salaya sambil tetap melangkah. Sedikit pun dia tidak
berpaling pada gadis yang berjalan di sebelahnya.
"Kau marah padaku, Salaya?"
"Tidak," singkat saja jawaban Salaya.
Pemuda itu melompat naik ke punggung
kudanya. Sebentar matanya menatap Surti
dalam-dalam. Kemudian kudanya cepat digebah
untuk meninggalkan tepian sungai ini.
Surti berdiri mematung memandangi
kepergian pemuda dengan bentuk tubuh dan raut
wajah seperti wanita itu. Entah apa yang ada
dalam benaknya saat ini. Dia baru melangkah
pergi setelah Salaya tidak terlihat lagi.
Sementara malam terus merambat semakin
larut. Sudah sejak tadi binatang malam
menggerit, mengalunkan tembang malam yang
merdu. Surti terus melangkah dengan wajah
tertunduk, mengamati gerakan ujung kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia seperti menyesali kata-katanya yang telah
membuat Salaya jadi tersinggung, dan pergi
begitu saja. Namun begitu melewati tikungan jalan yang
menuju rumahnya, mendadak saja sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat memotong di
depannya. Gadis itu tersentak kaget, lalu cepat
melompat beberapa tindak ke belakang.
"Hel..! Siapa itu..."!" sentak Surti berseru
nyaring. "Aku...."
"Kau..."!"
Mata Surti terbeliak begitu tiba-tiba saja di
depannya sudah berdiri seseorang berbaju ketat
berwarna hitam pekat. Bentuk tubuhnya begitu
ramping, bagai bentuk tubuh seorang wanita.
Seluruh kepalanya terselubung kain hitam.
Sedangkan wajahnya mengenakan topeng dari
kayu berbentuk tengkorak manusia. Surti
bergegas melangkah mundur beberapa tindak.
*** Surti benar-benar terkejut melihat
kemunculan orang berbaju serba hitam yang
mengenakan topeng tengkorak itu. Orang inilah
yang selama ini ditakuti, hingga membuat Desa
Ragasari seperti berada dalam neraka. Semua
penduduk Desa Ragasari menyebutnya si Anggrek
Hitam. Karena, semua korbannya tewas dengan
tubuh tertembus senjata rahasia berbentuk
bunga anggrek berwarna hitam yang terbuat dari
logam hitam. "Kau terkejut, Surti...?" terasa dingin sekali nada suara Anggrek Hitam.
"Mau apa kau ke sini?" agak bergetar suara Surti. "Kau cantik sekali, Surti.
Tapi sayang, kau tidak bisa lagi menikmati hangatnya matahari
esok pagi," kata Anggrek Hitam, mengandung
ancaman. "Aku tidak pernah berurusan denganmu.
Kenapa kau ingin membunuhku...?" Surti
langsung dapat mencema maksud kata-kata si
Anggrek Hitam. "Ha ha ha...! Kau sudah berurusan
denganku, Surti. Dan urusanmu menyakitkan
sekali." Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si
Anggrek Hitam cepat mengebutkan tangan
kanannya. Sejenak Surti terhenyak kaku. Namun
begitu sebuah benda hitam melesat cepat dari
Pedang Asmara 19 Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis Mustika Naga Hitam 1
PEMBUNUH MISTERIUS Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawai Sakti
dalam episode: Pembunuh Misterius
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Siang itu terasa begitu indah. Langit begitu
bening, dihiasi awan tipis yang berarak perlahan mengikuti hembusan angin sejuk.
Hangatnya sang mentari tak begitu terasakan menyengat.
Seakan-akan bola api raksasa itu pun ingin
menikmati pula indahnya siang ini.
Keadaan alam seperti itu, dinikmati oleh
hampir seluruh penduduk Desa Ragasari yang
terletak di sepanjang sungai. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan begitu
saja hari nan indah ini. Seolah-olah tak ada hari-hari yang indah lagi yang akan
dijumpai. Di sebuah dangau kecil yang tidak jauh dari
sungai, terlihat seorang laki-laki setengah baya ditemani dua anak muda berusia
sekitar dua puluh tahun. Mereka memandangi orang-orang
yang bergembira bermain-main di sungai, atau
berjemur diri di tepinya. Dari pakaian yang
dikenakan, bisa dipastikan kalau mereka
termasuk orang berada. Terlebih lagi, di sekitar dangau kecil itu tampak
beberapa orang bersenjata golok di pinggang, seperti sedang
berjaga-jaga. "Lihatlah, mereka begitu gembira. Seakan-
akan tiada hari lain untuk bergembira...," ujar laki-laki setengah baya itu,
agak bergumam. "Seharusnya mereka tidak perlu terlalu
cepat bergembira, Ayah," selak pemuda yang
mengenakan baju warna merah ketat.
Di pinggangnya tergantung sebilah pedang
yang dihiasi sebuah batu merah delima pada
bagian ujung gagangnya. Wajahnya cukup
tampan, dengan senyum yang memikat. Kulitnya
kuning langsat, bagai kulit seorang wanita. Laki-laki setengah baya yang berada
di sampingnya, menatap pemuda itu lekat-lekat. Kemudian,
ditepuk-tepuknya bahu pemuda itu sambil
melepaskan senyum lebar.
"Kenapa kau masih juga beranggapan kalau
peristiwa itu belum tuntas, Candraka?" lembut sekali suara laki-laki setengah
baya itu. "Kita belum menangkap si Anggrek Hitam,
Ayah. Sedangkan dia sendiri belum jelas, siapa
orangnya. Aku yakin, cepat atau lambat, peristiwa itu akan terulang kembali. Dan
yang pasti, akan
lebih dahsyat daripada kemarin," tegas pemuda berbaju merah ketat yang dipanggil
Candraka. "Kakang Candraka terlalu khawatir. Anggrek
Hitam pasti akan berpikir seribu kali untuk
datang lagi ke desa kita," selak seorang pemuda lainnya yang mengenakan baju
warna kuning. Pemuda itu berkulit lebih putih daripada
Candraka. Bahkan wajahnya tidak bisa dikatakan
tampan, tapi lebih tepat dikatakan cantik
Tubuhnya juga ramping seperti perempuan.
Apalagi, sikap serta tutur katanya begitu lembut Jika dilihat sepintas lalu
saja, orang pasti akan menduga wanita. Hanya pakaiannya saja yang
menandakan kalau dirinya laki-laki.
"Kekhawatiran selalu ada, Salaya. Dan itu
sangat perlu. Apalagi bila mengingat kedudukan
ayah sebagai kepala desa, dan sangat terpandang
di Desa Ragasari ini," sergah Candraka.
'Tapi aku tetap yakin kalau Anggrek Hitam
tidak akan berani lagi datang ke sini," tukas Salaya mantap, namun tetap
terdengar lembut
suaranya. "Sudan..., sudah. Persoalan itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sebaiknya kalian
ikut bersenang-senang bersama mereka," laki-laki setengah baya yang ternyata Kepala
Desa Ragasari menengahi. Dia juga dikenal dengan
nama Ki Anggarasana.
Kedua pemuda itu tidak lagi bertentangan
pendapat. Mereka langsung terdiam begitu
ditengahi. Sementara di tepian sungai, penduduk
Desa Ragasari masih terus menikmati hari yang
cerah ini. Mereka benar-benar melupakan
peristiwa berdarah yang baru saja berakhir di
desa ini. Peristiwa yang membuat mereka selalu
dicekam rasa takut. Kini, mereka bisa bebas
keluar. Bahkan bisa bersenang-senang seperti
hari-hari sebelum munculnya seorang yang
dijuluki si Anggrek Hitam bersama enam
pengikutnya. "Coba kalian lihat, banyak gadis cantik di
sana. Kenapa kalian tidak bergabung, dan
memilih salah seorang dari mereka...?" pancing Ki Anggarasana.
"Ayah selalu saja berkata seperti itu.
Sekarang, kenapa Ayah sendiri tidak mencari
pengganti ibu...?" selak Candraka.
"Benar! Sudah lama Ayah hidup sendiri.
Kami ingin Ayah juga bersenang-senang. Dan
kalau bisa, memilih calon pendamping pengganti
ibu," sambung Salaya.
"Ah! Kalian selalu saja mendesak. Padahal
sudah berulang kali kukatakan, aku tidak ingin
mencari pengganti kedudukan ibu kalian. Aku
sudah cukup bahagia bisa mendidik dan
membesarkan kalian, sehingga berguna bagi desa
ini," sergah Ki Anggarasana agak terharu.
Memang, sudah lama laki-laki setengah baya
ini ditinggal mati istrinya. Sejak kedua anaknya masih kecil-kecil dan
membutuhkan perhatian
serta belaian kasih sayang seorang ibu. Tapi, hal itu tidak membuatnya jadi
patah semangat.
Bahkan berhasil mendidik kedua putranya
dengan baik. Sudah seringkali kedua anaknya ini
mendesak agar dirinya mencari seorang istri lagi.
Tapi, Ki Anggarasana tidak pernah punya niatan
ke situ. Sebenarnya hati laki-laki setengah baya itu
terharu akan kasih sayang dan perhatian anak-
anaknya ini. Dia selalu saja teringat istrinya, setiap kali hal itu dibicarakan.
Tapi Ki Anggarasana selalu bisa menutupi walau hanya
dengan senyuman. Meskipun, senyuman itu
terasa hambar. Kalau pembicaraan sudah
mengarah ke situ, dia selalu cepat
mengalihkannya, seakan-akan hal seperti itu
tidak ingin dibicarakannya lagi.
"Kalian di sini saja," ujar Ki Anggarasana seraya bangkit berdiri.
"Ayah akan ke mana?" tanya Salaya.
"Pulang," sahut Ki
Anggarasana. "Pulang..." Kenapa...?"
"Aku lupa, ada sesuatu yang harus
kukerjakan," Ki Anggarasana beralasan.
Candraka dan adiknya hanya saling
berpandangan saja. Sedangkan Ki Anggarasana
sudah melangkah meninggalkan dangau kecil itu.
Tampak empat orang yang berjaga-jaga di sekitar
dangau itu segera mengikuti Ki Anggarasana. Kini tinggal Candraka dan adiknya
yang masih berada
di dangau ini. Namun, masih ada empat orang
lagi yang tetap berjaga-jaga.
"Kalian boleh pergi," ujar Candraka pada empat orang itu, setelah Ki Anggarasana
jauh. "Tapi, Den...," salah seorang merasa
keberatan. "Aku bukan anak kecil lagi yang masih perlu dijaga. Pergilah kalian, ke mana
saja," sentak Candraka agak keras.
Empat orang laki-laki bersenjata golok
terselip di dipinggang itu saling berpandangan.
Kemudian mereka membungkuk sedikit dan
melangkah pergi.
'Tidak seharusnya berkata kasar begitu pada
mereka, Kakang," tegur Salaya.
"Sesekali kita harus bersikap tegas, Salaya,"
sahut Candraka.
"Bersikap tegas, bukan berarti membentak,
Kakang." "Sudahlah.... Sebaiknya kau pergi saja,
bergabung bersama mereka. Aku ingin tidur,"
dengus Candraka.
"Tidur di sini...?"
"Kenapa" Di sini, atau di mana saja sama."
Salaya tidak dapat lagi berkata apa-apa, melihat kakaknya sudah membujur sambil
menekuk kedua tangannya di belakang kepala. Pemuda
berbaju kuning yang lembut bagai wanita itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia
kemudian beranjak bangkit berdiri.
Dipandanginya Candraka yang sudah terpejam.
Entah sudah tidur, atau belum.
"Hhh...!" Salaya hanya bisa menghembuskan napas saja.
Pemuda itu kemudian melangkah pergi.
Disadari kalau antara dirinya dengan Candraka
memang terdapat perbedaan menyolok. Meskipun
mereka bersaudara kandung, tapi watak, sifat,
jalan pikiran, serta tindak-tanduk mereka berdua sangat berbeda jauh. Bahkan
begitu bertolak
belakang. Sering mereka berbeda pendapat,
walaupun hanya sebatas perang mulut saja. Tapi,
mereka juga sangat menyayangi dan saling
melindungi. *** Sepeninggal adiknya, Candraka membuka
matanya kembali. Sedikit kepalanya diangkat,
lalu bibirnya tersenyum melihat Salaya berjalan perlahan-lahan semakin jauh
menyusuri tepian
sungai. Beberapa orang yang berada di sepanjang
tepian sungai tampak menyapanya. Salaya
menyambut sapaan itu dengan sikap lembut dan
ramah. "Uh! Bosan di sini terus...!" dengus
Candraka mengeluh.
Ringan sekali pemuda itu melompat bangkit,
langsung turun keluar dari dangau ini.
Gerakannya begitu indah dan ringan. Jelas,
kepandaiannya cukup tinggi juga. Sebentar
pandangannya beredar ke sepanjang sungai, lalu
kakinya terayun mantap meninggalkan tempat
itu. Candraka tidak menuju ke sungai,
melainkan menyusuri jalan setapak yang
menanjak dan agak berliku. Ayunan kakinya
begitu mantap, namun terasa ringan sekali. Dia
terus berjalan agak tergesa-gesa, seakan-akan
ada yang hendak dikejarnya.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja dia masih
sabar menungguku. Gara-gara si Salaya,
rencanaku hampir gagal! Huh...!" Candraka
menggerutu sendiri.
Sampai di tikungan jalan yang menuju tiga
arah, Candraka berbelok ke kiri. Kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat berlari menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Jalan yang diambil, tampaknya menuju sebuah lembah
kecil di tengah hutan. Candraka terus berlari
cepat, sehingga sebentar saja sudah mencapai
hutan yang tidak begitu lebat lagi. Memang,
penduduk Desa Ragasari selalu mengambil kayu
di hutan ini. "Hup! Yeaaah...!"
Candraka melompat tinggi ketika di
depannya menghadang sebatang pohon tua
tumbang. Dan begitu kakinya kembali menjejak
tanah, dia cepat berlari lagi. Ilmu meringankan
tubuh yang dikuasainya memang cukup tinggi.
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, pemuda
itu sudah mencapai lembah kecil yang memiliki
pemandangan indah, bagai di sebuah taman
Swargaloka. Candraka menghentikan larinya, kemudian
berjalan ringan melintasi lembah itu. Dia terus
berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri lagi.
Tatapan matanya lurus ke depan, memandang
sebuah pondok kecil yang letaknya cukup
tersembunyi di antara rapatnya pepohonan.
Pemuda itu baru berhenti berjalan, setelah berada di depan pondok.
Sunyi sekali keadaannya, seperti tidak ada
seorang pun yang menempati pondok ini. Namun
sebelum Candraka mengayunkan kakinya
kembali, pintu pondok bergerak terbuka. Seketika dari dalam pondok muncul
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang wanita berbaju ketat berwarna hijau muda. Sehingga,
lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan padat
nampak terpetakan di balik bajunya.
Candraka memberi senyuman. Bergegas
dihampirinya wanita cantik berkulit putih halus
bagai kapas itu. Tangannya langsung merentang,
mencengkeram lembut bahu wanita itu. Senyum
di bibirnya semakin lebar mengembang, manakala
wanita itu juga me-nyunggingkan senyum manis.
"Lama kau menungguku Andira...?" lembut sekal suara Candraka.
"Baru saja aku akan pergi," sahut wanita yang dipanggil Andira itu, manja.
"Maaf, aku harus menemani ayah dan
Salaya," ucap Candraka beralasan.
Mereka kemudian masuk ke dalam pondok
itu Dengan ujung kakinya, Candraka menutup
pintu pondok kembali. Dibimbingnya Andira
dengan tangan melingkar di bahu. Dan wanita itu
semakin bertambah manja, sehingga tubuhnya
langsung dirapatkan dan kepalanya diletakkan di
dada Candraka. Bau harum yang menyebar dari
rambut Andira, menyeruak mengusik cuping
hidung pemuda itu.
"Ah! Rupanya kau sudah mempersiapkan
biduk kita, Andira," desak Candraka.
Senyum pemuda itu semakin lebar
terkembang ketika melihat pembaringan yang
sudah rapi, beralaskan kain sutra halus berwarna jingga. Andira hanya tersenyum
saja. Dilepaskannya rangkulan pemuda itu, lalu duduk
di tepi pembaringan. Candraka memandangi
wajah cantik di depannya. Sikap Andira begitu
manja. Seketika tangannya direntangkan ke
depan. Maka, Candraka menyambut uluran
tangan itu, kemudian duduk di sampingnya.
"Ahhh...," Andira mendesah seraya
menggeliat dan menengadahkan kepalanya ketika
Candraka memeluk pinggangnya.
Melihat leher yang putih jenjang, Candraka
tak dapat lagi bertahan. Bagai seekor serigala
buas yang kelaparan, dipagutnya leher putih
jenjang itu. Lagi-lagi Andira mendesah lirih,
begitu merasakan pagutan hangat di lehernya.
Andira semakin merapatkan tubuhnya, saat
Candraka mulai melumat bibirnya disertai gairah
menggelegak. "Ahhh..., Kakang," desah Andira lirih.
Perlahan tubuh mereka rebah ke atas
pembaringan. Jari-jari tangan Candraka mulai
nakal, menjelajahi tubuh wanita itu. Mau tak
mau, Andira menggelinjang sambil merintih lirih.
Hati-hati sekali Candraka mulai melepaskan
pakaian yang dikenakan wanita ini. Mata-nya jadi liar begitu menangkap sebentuk
bukit indah yang
putih menegang kaku. Candraka tak mampu lagi
menguasai diri. Diremasnya bukit yang indah itu
penuh gairah. "Auh...!" Andira terpekik manja.
"Kau menggairahkan sekali, Andira," desah Candraka di sela-sela dengus napasnya
yang memburu. Hanya itu saja yang diucapkan Candraka.
Sedangkan napasnya semakin memburu, bagai
kuda pacu yang didera terus mendaki bukit yang
tertinggi. Suara erangan lirih dan dengus napas
memburu berbaur menjadi satu. Sementara
keadaan di luar pondok ini tetap sunyi.
Desir angin yang mempermainkan
dedaunan, seakan-akan tak mampu mengusik
dua insan di dalam pondok itu. Sementara desah
napas semakin keras terdengar memburu. Hingga
akhirnya.... "Kakang, akh...!"
"Ohhh...."
Candraka mengejang sesaat, kemudian
menggelimpang dengan tubuh bersimbah peluh.
Sebentar matanya terpejam, seakan-akan ingin
membayangkan kembali kenikmatan yang baru
saja dirasakan. Matanya baru terbuka saat
merasakan ada satu kecupan lembut di bibirnya,
Bibirnya tersenyum menatap wajah cantik yang
begitu dekat dengan wajahnya. Candraka
kemudian melingkarkan tangannya ke tubuh
ramping wanita itu.
"Kakang...," desah Andira lembut.
"Hm...," gumam Candraka perlahan.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"
pinta Andira, tetap lembut seraya melepaskan
pelukan muda itu.
Andira meraih pakaiannya yang teronggok di
ujung kakinya, kemudian mengenakannya
kembali. Candraka juga ikut duduk, dan juga
mengenakan pakaiannya. Namun pandangan
pemuda itu tidak beralih dari wajah cantik di
depannya. "Apa yang ingin kau tanyakan, Andira"
Tentang hubungan kita ini?" kata Candraka, tetap lembut nada suaranya.
"Bukan," sahut Andira.
Candraka mengerutkan keningnya.
"Aku tidak pernah mempersoalkan
hubungan kita ini, Kakang. Aku tahu, kita tidak
mungkin bisa melanjutkan ke jenjang
perkawinan. Hatiku sudah cukup puas dengan
cara begini," jelas Andira, seperti ingin
meyakinkan pendiriannya pada pemuda itu.
"Lalu, apa yang ingin ditanyakan?" tanya Candraka tidak mengerti.
Pemuda itu memang tahu kalau Andira tidak
menuntut banyak dari hubungan mereka selama
ini. Sementara Candraka sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal ini
berlangsung terus-menerus.
Tapi, keadaan lah yang memaksa demikian. Maka
kini mereka sama-sama sepakat untuk saling
merahasiakan hubungan ini. Dan selama ini,
memang belum ada yang tahu kalau mereka
sering bertemu di lembah ini. Ada satu jurang
perbedaan yang sangat besar di antara mereka
berdua, sehingga tidak mungkin dapat bersatu
dalam membina rumah tangga. Dan itu sama-
sama disadari satu sama lain.
"Tentang Anggrek Hitam," kata Andira pelan.
*** Candraka terkejut bukan main mendengar
kata-kata Andira barusan. Sungguh tidak pernah
disangka kalau Andira akan menanyakan tentang
Anggrek Hitam. Sebuah nama yang dalam
beberapa hari lalu sangat ditakuti seluruh
penduduk Desa Ragasari. Dan sekarang, mereka
semua hendak melupakan nama mengerikan itu.
Tapi sekarang, Andira justru ingin
mengetahui, di saat mereka baru saja mengarungi
samudera cinta dengan biduk asmara. Candraka
memandangi wanita itu dalam-dalam, seakan-
akan tidak percaya kalau Andira melontarkan
kata-kata yang tidak pernah diduga sebelumnya.
"Kenapa kau ingin tahu tentang Anggrek
Hitam, Andira?" tanya Candraka ingin tahu.
"Hanya ingin tahu saja, Kakang. Tapi kalau
kau tidak bersedia mengatakannya, aku tidak
memaksa," sahut Andira seraya beranjak turun dari pembaringan.
Wanita itu menghampiri meja kecil yang
terletak di sudut ruangan ini. Diambilnya dua
cawan dari perunggu dan diisinya dengan arak.
Andira menghampiri pemuda itu lagi, lalu
menyerahkan secawan arak. Satu lagi untuknya
sendiri. Dia kembali duduk di tepi pembaringan
ini. "Apa yang ingin kau ketahui dari Anggrek Hitam, Andira?" tanya Candraka
setelah meneguk araknya.
"Aku hanya ingin tahu, apa kau sudah
mengetahui siapa Anggrek Hitam sebenarnya,"
sahut Andira kalem.
Candraka menggeleng.
"Lalu, kenapa dia mengacau Desa Ragasari"
Bahkan membunuhi penduduk yang keluar dari
rumahnya."
"Aku tidak tahu, Andira," sahut Candraka.
"Kau tidak menyelidikinya?"
"Sudah, tapi sulit, Segala tindakannya begitu cepat dan tidak diduga. Dia
seperti iblis, sehingga bisa ada di mana-mana tanpa dapat diketahui
kapan kemunculannya."
"Kakang, apa kau punya dugaan kalau
Anggrek Hitam akan muncul lagi?" tanya Andira lagi. "Ya, aku selalu berpikir
demikian. Tapi, ayah dan adikku begitu yakin kalau Anggrek Hitam
tidak mungkin berani menampakkan diri lagi di
Desa Ragasari," sahut Candraka.
"Aku juga begitu, Kakang," Andira
mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu...?" Candraka tidak mengerti.
"Sama sepertimu. Aku yakin, Anggrek Hitam
bakal muncul lagi. Dia pasti belum memperoleh
keinginannya, sehingga akan datang lagi
mengacau desa ini. Atau mungkin juga, dengan
cara lain," jelas Andira, kini mengemukakan pendapatnya.
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian,
Andira?" tanya Candraka agak heran juga.
"Aku dilahirkan dari kalangan persilatan,
Kakang. Kedua orang tuaku adalah tokoh
persilatan yang disegani pada masanya. Sedikit
banyak, aku tahu seluk beluk dan cara-cara
orang persilatan. Mereka tidak akan pergi begitu saja, tanpa membawa hasil yang
diinginkan. Aku
yakin, Anggrek Hitam menginginkan sesuatu dari
Desa Ragasari. Hanya saja, sesuatu itu belum
didapatkan. Jadi, berarti dia pasti akan datang
lagi," Andira mengutarakan pengetahuannya
mengenai orang-orang persilatan.
"Kau yakin hal itu, Andira?" tanya Candraka, seakan-akan ingin meyakinkan
dirinya sendiri.
"Entahlah. Itu hanya dugaanku saja,
Kakang," sahut Andira seraya mengangkat
bahunya. "Aku juga menduga seperti itu. Tapi setiap
kali ku utarakan, tidak ada yang peduli. Bahkan aku dianggap hanya mengada-ada
saja," jelas Candraka.
"Juga ayah dan adikmu...?"
"Mereka selalu berpendapat kalau Anggrek
Hitam tidak bakal muncul lagi. Padahal, aku
begitu yakin kalau dia akan muncul lagi untuk
menghancurkan seluruh Desa Ragasari."
Mereka jadi terdiam cukup lama.
"Sudah hampir malam. Aku harus segera
pulang," pinta Andira seraya beranjak bangkit berdiri.
"Kau kuantar pulang, Andira," kata
Candraka ikut turun dari pembaringan.
"Jangan! Nanti ada yang melihat kita," tolak Andira.
Sebenarnya Candraka tidak mau peduli.
Tapi, dia teringat dengan janjinya sendiri.
Terpaksa Andira dibiarkannya pulang sendiri.
Candraka baru meninggalkan pondok setelah
wanita itu sudah tidak terlihat. Kali ini pemuda itu berjalan tidak tergesa-gesa
seperti berangkat tadi. "Kapan semua ini akan berakhir..." Apakah Andira tidak
pantas jadi istriku?" keluh Candraka dalam hati.
Candraka sebenarnya sudah bosan dengan
cara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi untuk
berhubungan secara terang-terangan, rasanya
memang tidak mungkin. Semua orang di Desa
Ragasari sudah tahu, siapa Andira itu. Dan ini
yang menjadi ganjalan berat di hati Candraka.
Semula semua itu tidak ingin dipedulikan
Candraka. Tapi mengingat ayahnya adalah kepala
desa yang teramat disegani, pemuda itu tidak
mampu menolak keadaan. Candraka tidak bisa
membayangkan, bagaimana rupa ayahnya jika
sampai tahu hubungan ini. Candraka tidak tahu,
apa yang harus dilakukannya lagi. Keadaannya
memang sulit. Dan dia harus menerima,
meskipun menyakitkan sekali.
*** 2 Keadaan di Desa Ragasari sudah benar-
benar kembali seperti biasa. Mereka yang bertani, sudah mulai menggarap sawah
ladangnya. Pedagang pun sudah kembali memenuhi pasar.
Kesibukan kembali terasa di desa yang cukup
besar ini. Tak seorang pun yang menyebut-nyebut
Anggrek Hitam lagi. Mereka sudah melupakan
julukan yang sempat menjadikan desa ini bagai
neraka. Malam sudah mulai menyelimuti seluruh
Desa Ragasari yang terletak di tepi Sungai Ajir.
Beberapa orang masih terlihat berada di luar
rumahnya. Semakin larut, satu persatu mereka
masuk ke dalam rumah masing-masing.
Sementara suasana di Desa Ragasari jadi sunyi.
Tak terdengar lagi suara-suara percakapan,
kecuali gerit serangga malam.
Namun tiba-tiba saja, di dalam kesunyian
malam itu terlihat sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat. Dia kemudian menyelinap ke
balik sebatang pohon beringin yang sangat besar, di pinggir jalan yang membelah
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desa Ragasari ini.
Sebentar bayangan hitam itu tidak terlihat,
kemudian kembali berkelebat cepat menuju
sebuah rumah yang hanya diterangi sebuah pelita
di beranda. Sosok hitam itu merapatkan tubuhnya ke
dinding dekat pintu. Sukar dikenali wajahnya,
karena seluruh kepalanya terselubung kain hitam
pekat. Sedangkan wajahnya mengenakan topeng
dari kayu berbentuk tengkorak. Sebentar
diamatinya keadaan sekelilingnya. Kemudian,
tubuhnya melesat ringan ke atas atap rumah itu.
Tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya
mendarat di atap.
"Hm..., sepi. Kesempatan baik bagiku,"
gumam sosok tubuh hitam itu perlahan.
Hati-hati sekali, dibukanya atap rumah itu.
Setelah cukup mendapat lubang untuk masuk ke
dalam, cepat tubuhnya meluruk turun melalui
atap yang sudah terbuka. Gerakannya ringan
sekali, sehingga sedikit pun tidak ada suara yang ditimbulkannya. Kakinya
seketika mendarat
lunak di dalam sebuah ruangan di rumah ini.
Keadaan ruangan itu cukup remang-remang,
karena hanya sebuah pelita kecil yang ada di sini.
Mata sosok bayangan itu menatap tajam
empat orang yang tertidur pulas di atas balai-
balai bambu. Perlahan-lahan didekatinya empat
orang yang tengah terbuai dalam mimpi itu.
Diamatinya sebentar wajah-wajah itu.
"Saatmu sudah tiba, Sarta. Cukup mahal
akibat perbuatanmu yang harus kau tanggung,"
desis sosok tubuh hitam bertopeng tengkorak itu.
Setelah mendesiskan kata-kata, tiba-tiba
saja tangannya dikibaskan cepat sekali. Dan
seketika itu juga meluncur deras empat buah
benda berwarna hitam, dan langsung
menghantam empat orang yang tengah tertidur
lelap. Crab! Crab...!
Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Orang-orang yang tertidur itu hanya mampu
tersentak, dan menggeliat sebentar. Kemudian
mereka diam tak bergerak-gerak lagi. Sedikit pun tak ada gerakan di dada mereka.
Tampak dari dada, mengalir cairan merah kental.
"Selamat tinggal, Sarta," ucap sosok tubuh hitam itu perlahan.
Kemudian sosok itu kembali melesat ke atas
dengan cepat sekali. Sebentar kemudian,
tubuhnya sudah berada di atas atap kembali.
Sejenak diamati keadaan sekitarnya yang masih
sepi, lalu tubuhnya meluruk turun. Gerakannya
indah dan ringan sekali. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, mendadak saja sebuah bayangan
merah berkelebat menyambarnya.
"Heh..."! Hfs...!"
Cepat-cepat sosok bayangan hitam itu
memiringkan tubuh ke kiri, sehingga terjangan
bayangan merah itu sudah kembali berbalik.
Langsung menarik kembali sikap tubuhnya,
bayangan merah itu sudah kembali berbalik.
langsung diterjangnya sosok tubuh hitam itu
dengan kecepatan tinggi bagai kilat.
"Hup...!"
Sosok tubuh hitam itu cepat melentingkan
tubuhnya ke atas, berputaran dua kali melewati
bayangan merah. Secepat kilat tangannya
dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan
dari arah belakang.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Ugkh...!"
Bayangan merah itu terhuyung-huyung
begitu punggungnya terkena pukulan keras dari
belakang. Namun keseimbangan tubuhnya cepat
bisa dikuasai. Tubuhnya kemudian segera
berputar, tepat di saat sosok tubuh hitam
bertopeng tengkorak itu menjejakan kakinya di
tanah. Mereka berdiri saling berhadapan dalam
jarak sekitar dua batang tombak.
"Anggrek Hitam...," desis pemuda berbaju merah yang juga membawa sebilah pedang
tergantung di pinggang.
"Kau belum cukup mampu melawanku,
Candraka," terdengar dingin nada suara orang berbaju hitam itu.
Pemuda berbaju merah yang ternyata
Candraka, menggeser kakinya ke kanan beberapa
tindak. Sedangkan sosok tubuh hitam bertopeng
tengkorak yang dikenal sebagai si Anggrek Hitam, tetap berdiri tegak dengan
tangan terlipat di
depan dada. "Sudah kuduga, kau pasti akan kembali lagi, Anggrek Hitam," kata Candraka, agak
mendesis suaranya. 'Tapi kali ini, kau harus berhadapan
langsung denganku."
Setelah berkata demikian, Candraka
langsung melompat cepat bagaikan kilat
menyerang orang berbaju serba hitam yang
dikenal berjuluk si Anggrek Hitam. Serangan
putra Kepala Desa Ragasari itu demikian cepat.
Bahkan satu pukulan yang dilepaskannya juga
sungguh dahsyat, sehingga menimbulkan suara
angina menderu.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
*** Manis sekali Anggrek Hitam memiringkan
tubuhnya ke kanan, sehingga pukulan geledek
yang dilepaskan Candraka tidak sampai mengenai
sasaran. Dalam keadaan tubuh miring ke kanan,
Anggrek Hitam melepaskan satu sodokan dengan
tangan kanan ke arah lambung
"Uts!"
Candraka cepat menarik tubuh ke belakang,
lalu bergegas menggeser kakinya ke kanan.
Bagaikan kilat, pemuda itu melepaskan satu
tendangan keras disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. "Yeaaah...!"
"Hap!"
Anggrek Hitam tidak berusaha menghindari
tendangan itu, tapi malah menangkis dengan
tangan kirinya. Candraka jadi terkejut. Pemuda
itu tidak sempat lagi menarik kakinya yang sudah melayang cepat.
Des! Tak pelak lagi, satu benturan keras terjadi.
Candraka cepat melentingkan tubuh ke belakang.
Namun pemuda itu agak terhuyung begitu men-
darat. Bibirnya meringis menahan sakit pada
tulang kaki. Akibat benturan keras dengan
tangan kiri manusia berpakaian hitam bertopeng
tengkorak itu. "Aku bisa mudah mematahkan kakimu,
Candraka," dengus Anggrek Hitam dingin.
"Phuih! Jangan bangga dulu, Iblis!" geram Candraka sengit.
Sret! Candraka cepat mencabut pedangnya.
Secepat itu pula dia melompat, kembali
menyerang sambil mengebutkan pedang beberapa
kali. Anggrek Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan
pemuda tampan itu. Beberapa kali mata pedang Candraka hampir
menebasnya. Namun, Anggrek Hitam masih
mampu mengelak dengan manis sekali.
Candraka yang memang sudah menunggu
lama kesempatan untuk bertemu manusia
bertopeng tengkorak ini, seperti tidak memberi
kesempatan lawan untuk balas menyerang.
Dengan pedang kebanggaan di tangan, serangan-
serangan putra kepala desa itu semakin dahsyat
dan berbahaya. Hal ini membuat Anggrek Hitam
jadi agak kewalahan juga menghadapinya.
"Setan! Dia benar-benar ingin
membunuhku...!" maki Anggrek Hitam, sengit.
Memang sulit bagi Anggrek Hitam untuk
keluar dari serangan-serangan Candraka. Setiap
kali berusaha, pemuda itu langsung mengejar dan
menutup ruang geraknya. Pedang di tangan
pemuda itu seperti memiliki mata saja. Ke mana
si Anggrek Hitam bergerak, pedang itu selalu
mengikuti dan mengancam nyawanya. Anggrek
Hitam semakin berang, karena benar-benar
kerepotan menghadapi serangan-serangan
Candraka yang begitu gencar.
Menyadari kesungguhan serangan-serangan
Candraka yang begitu dahsyat dan berbahaya,
Anggrek Hitam jadi berang juga. Semula, dia
memang hanya ingin menghindar dengan sesekali
balas menyerang yang tak berarti. Seakan-akan
dia tidak ingin mencelakakan pemuda ini. Tapi
menghadapi serangan-serangan berbahaya,
Anggrek Hitam tidak bisa terus-menerus begini.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Anggrek Hitam melesat tinggi
ke udara sambil berteriak nyaring melengking
tinggi Candraka tertegun sejenak, lalu cepat-cepat mengikuti. Tubuhnya melesat
ke udara mengejar
manusia bertopeng tengkorak itu.
"Yeaaah...!"
Namun begitu Candraka melesat ke udara,
mendadak saja Anggrek Hitam memutar
tubuhnya dan meluruk deras ke arah pemuda itu.
Gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga itu
membuat Candraka jadi terperangah. Pemuda itu
tak mampu lagi berbuat sesuatu manakala
Anggrek Hitam melepaskan satu pukulan keras
secepat kilat. "Hiyaaa...!"
Begkh! "Akh...!" Candraka memekik keras agak
tertahan. Tubuh pemuda berbaju merah itu terpental
keras sekali. Candraka benar-benar tidak dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya, sehingga
harus jatuh terbanting ke tanah dan bergulingan
beberapa kali. Namun, pemuda itu cepat bisa
bangkit berdiri. Pada saat itu, Anggrek Hitam
sudah meluruk deras ke arahnya. Kemudian, satu
tendangan keras cepat dilepaskannya.
Dess! "Aaakh...!" lagi-lagi Candraka memekik keras.
Pemuda itu kembali terbanting di tanah.
Tendangan Anggrek Hitam tepat menghantam
bagian tengah dadanya. Candraka seketika
memuntahkan darah kental dua kali. Dia masih
mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga
mampu berdiri tegak, tubuhnya sudah ambruk
kembali. Pandangannya jadi nanar dan
berkunang-kunang. Napasnya begitu sesak,
tersengal di dada. Sementara Anggrek Hitam
berdiri tegak sekitar satu batang tombak di
depannya. "Seharusnya kau tidak perlu keras kepala
begitu, Candraka. Aku bisa saja membunuhmu,
semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, kau
begitu tampan dan perkasa untuk cepat mati. Itu
hanya peringatan saja, Candraka. Jika tetap
keras kepala, aku terpaksa menjatuhkan tangan
kejam padamu," ancam Anggrek Hitam.
"Iblis kau...."
Bruk! Candraka langsung ambruk ke tanah tak
bergerak-gerak lagi. Pingsan! Seluruh rongga
mulutnya dipenuhi darah kental. Sementara
Anggrek Hitam yang masih memandangi pemuda
itu, langsung tersentak ketika ada cahaya terang menyorot dari sebuah rumah.
Bergegas tubuhnya
melesat pergi. Hanya sekali lesatan saja, manusia berbaju hitam yang mengenakan
topeng tengkorak itu sudah lenyap ditelan kegelapan
malam. Suara-suara pertarungan tadi, rupanya
membangunkan penduduk yang berada di sekitar
tempat itu. Satu persatu lampu rumah-rumah di
sekitar tempat itu menyala. Dan sebentar
kemudian, terlihat beberapa orang keluar dari
rumahnya. Mereka bergegas menghampiri tubuh
berbaju merah yang tergeletak di tanah. Begitu
mengetahui siapa yang tergeletak, mereka kontan
terkejut. Apalagi ketika melihat mulut Candraka
yang penuh tersumpal darah kental.
"Den Candraka..."!"
*** Peristiwa semalam benar-benar
menggemparkan seluruh Desa Ragasari. Baru
beberapa hari mereka menikmati ketenangan, kini
kembali dicekam rasa takut. Hal ini akibat
peristiwa semalam yang menimbulkan korban
satu keluarga terbunuh. Dan hingga matahari
naik tinggi, Candraka belum juga sadarkan diri.
Sementara Ki Anggarasana merenung sambil
bertopang dagu di ruangan tengah. Sesekali
matanya melirik ke pintu kamar Candraka yang
sedikit terbuka.
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Anggarasana berpaling saat mendengar
suara-suara langkah kaki dari arah depan
rumahnya yang besar dan megah ini. Dari pintu
depan muncul Salaya dengan ayunan langkah
halus dan gemulai, bagai langkah seorang putri
bangsawan. Pemuda berkulit halus dan wajahnya
pantas dikatakan cantik itu langsung duduk di
depan ayahnya. "Bagaimana keadaan Kakang Candraka,
Ayah?" tanya Salaya.
"Belum sadar, masih ditunggui Nyai Koret,"
sahut KI Anggarasana.
Salaya melirik ke arah pintu kamar
kakaknya. Dia tahu kalau di dalam Sana
terbaring Candraka, ditunggui seorang
perempuan tua yang ahli dalam pengobatan. Nyai
Koret sudah terkenal di Desa Ragasari ini.
Bahkan desa-desa lain di sekitar Sungai Ajir
mengenal tabib wanita itu. Sementara, Salaya
kembali berpaling menatap ayahnya.
"Sudah kau urus pemakaman keluarga
Sana, Salaya?" tanya Ki Anggarasana.
"Sudah selesai semua," sahut Salaya.
'Tapi...."
"Ada yang tidak beres?" tanya Ki
Anggarasana, melihat Salaya menghentikan
ucapannya. "Semua beres dan lancar, Ayah."
"Tapi, kenapa...?"
"Tidak ada seorang penduduk pun yang mau
mengantar. Bahkan tak seorang pun terlihat
berada di luar rumahnya. Keadaan sepertinya
semakin lebih buruk lagi," jelas Salaya
"Akan bertambah buruk lagi kalau tidak
segera ditanggulangi, Salaya," desah Ki
Anggarasana. "Itulah sulitnya, Ayah. Yang kita hadapi si Anggrek Hitam. Dan desa ini tidak
memiliki jago-jago yang mampu menandingi kesaktiannya. Aku
merasa dia akan semakin merajalela...," kata Salaya, seakan-akan mengeluh
melihat keadaan
yang tidak menyenangkan Ini.
"Salaya! Apa sebaiknya kita minta bantuan
orang-orang persilatan untuk menghadapi si
Anggrek Hitam...?" Ki Anggarasana meminta
pendapat anaknya.
"Apakah itu tidak akan memperburuk
keadaan, Ayah?"
"Mengundang orang-orang persilatan
memang mengandung akibat besar. Tapi, rasanya
tidak ada pilihan lain, Salaya. Meskipun dia
sekarang sendiri, namun terlalu kuat untuk
dihadapi," tukas Ki Anggarasana.
Salaya belum bisa menyamakan
pendapatnya dengan pemikiran ayahnya barusan.
Saat itu, dari kamar Candraka keluar seorang
perempuan tua mengenakan baju panjang
berwarna hitam. Meskipun usianya mungkin
sudah lebih delapan puluh tahun, tapi masih
kelihatan segar. Ki Anggarasana dan Salaya
bergegas berdiri. Wanita tua yang dikenal
bernama Nyai Koret itu menghampiri, lalu duduk
di kursi. "Dia ingin bicara denganmu, Ki
Anggarasana," kata Nyai Koret.
"Dia sudah bisa bicara...?" tanya Ki
Anggarasana. "Dia cukup kuat untuk luka seperti itu."
Ki Anggarasana bergegas melangkah masuk
ke dalam kamar anaknya. Sedangkan Salaya
kembali duduk menemani perempuan tua
berjubah hitam ini. Sebentar matanya melirik ke
arah kamar Candraka. Sementara Ki Anggarasana
sudah tenggelam dalam kamar itu.
"Bagaimana keadaannya, Nyai?" tanya
Salaya. "Tidak mencemaskan. Tapi harus
beristirahat, sedikitnya tiga hari," sahut Nyai Koret 'Tidak ada luka dalam?"
"Tidak terlalu parah. Dia hanya mendapat
luka dalam ringan. Untung saja lawannya hanya
mengeluarkan sedikit tenaga dalam. Jadi, tidak
perlu dicemaskan. Kakakmu pasti akan pulih
seperti semula lagi."
"Syukurlah kalau begitu," desah Salaya. Nyai Koret memandangi pemuda itu dalam-
dalam, sehingga membuat Salaya agak jengah.
Pandangannya langsung dialihkan ke arah lain.
Sementara Nyai Koret terus memandangi pemuda
itu dengan sinar mata yang sukar dipahami.
"Kenapa kau memandangiku seperti itu,
Nyai?" tegur Salaya risih.
"Kau habis bertarung, Salaya?" Nyai Koret malah balik bertanya.
Salaya langsung menatap tajam perempuan
tua ini, seraya menekap pelipis kanannya. Untuk
sesaat tak ada yang bicara. Sementara mereka
saling pandang dengan sinar mata memancarkan
suatu gambaran yang sukar dilukiskan.
"Kenapa pelipismu?" tanya Nyai Koret lagi.
"Terbentur," sahut Salaya.
"Bukan karena pukulan?"
"Aku tidak sepandai Kakang Candraka
dalam ilmu olah kanuragan, Nyai. Bagaimana
mungkin bisa bertarung..." Aku tadi hanya
terbentur waktu mengetahui Kakang Candraka
terluka," Salaya memberikan alasan. "Dan lagi, aku tidak pernah punya musuh. Dan
kalaupun ada, aku selalu menghindari pertarungan."
"Kuharap kau tidak berdusta, Salaya," ujar Nyi Koret agak menggumam.
"Maaf, Nyai. Aku harus menemui seseorang."
Salaya bergegas bangkit berdiri, lalu
melangkah ke luar. Sementara Nyai Koret
memandangi pemuda itu. Wajahnya masih tetap
tak berpaling, meskipun Salaya sudah tidak
terlihat lagi. Terdengar tarikan napasnya yang
panjang dan terasa berat.
"Anak itu seperti menyembunyikan
sesuatu.... Aku yakin luka memar di pelipisnya
bukan dari benturan biasa," desah Nyai Koret setengah menggumam.
Baru saja Nyai Koret bangkit berdiri, Ki
Anggarasana keluar dari kamar anaknya. Laki-
laki separuh baya itu bergegas menghampiri tabib wanita tua ini.
"Ke mana Salaya, Nyai?" tanya Ki
Anggarasana. "Katanya hendak menemui seseorang,"
sahut Nyai Koret "Ada masalah dengan anakmu?"
"Tidak"
"Bagaimana Candraka?"
"Sudah bisa duduk, dan sedang bersemadi."
"Bagus. Itu akan
mempercepat penyembuhan lukanya."
"Silakan duduk, Nyai. Aku ingin sedikit
bicara denganmu," pinta Ki Anggarasana.
Nyai Koret duduk kembali. Sedangkan Ki
Anggarasana mengambil tempat di depan
perempuan tua itu. Tak berapa lama, mereka
sudah terlibat dalam suatu pembicaraan penting.
*** 3 Suasana Desa Ragasari begitu sunyi, seperti
sebuah desa mati yang tidak berpenghuni.
Meskipun matahari siang ini bersinar penuh dan
langit begitu cerah, namun tak terlihat seorang
pun berada di luar rumah. Jalan-jalan di seluruh desa begitu lengang. Hanya debu
saja yang beterbangan tertiup angin.
Peristiwa malam itu benar-benar membuat
semua orang tidak ada lagi yang berani ke luar
rumah. Tapi, tidak demikian halnya seorang
wanita muda dan cantik berbaju hijau muda. Dia
seperti tidak mempedulikan keadaan di desa ini.
Wanita itu malah berjalan-jalan di sekitar
rumahnya yang agak menyendiri dari rumah-
rumah lain. Dia ditemani seorang laki-laki tua
yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Mereka berjalan-jalan ringan sambil menikmati
cerahnya sinar matahari siang ini.
"Kau sudah dapat kabar tentang keadaan
Kakang Candraka, Ki Rasut?" tanya wanita
berbaju hijau itu.
"Kabarnya, Den Candraka tidak mengalami
luka yang berarti, Nyai Andira," sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Rasut
itu. Sikapnya begitu hormat, bahkan terkadang membungkuk seperti
menghadapi seorang putri raja.
Wanita cantik berbaju hijau ketat itu
tersenyum manis. Kakinya terus terayun sambil
menikmati keindahan alam di sekitar rumahnya.
Tapi sebentar kemudian, langkahnya berhenti
ketika terdengar derap langkah kaki kuda. Andira menatap Ki Rasut sebentar,
kemudian berpaling
ke arah datangnya hentakan kaki kuda yang
dipacu cepat. Laki-laki yang bernama Ki Rasut itu
memang pelayan setia Andira. Dia memang tak
jelas asal-usulnya, karena ditemui Andira tengah
sekarat di pinggiran Sungai Ajir beberapa
purnama yang lalu. Wanita itu kemudian
menolongnya. Setelah laki-laki tua itu sembuh,
ternyata dia memiliki kepandaian juga. Maka,
Andira pun memintanya untuk menjadi pelayan
setia, sekaligus pengawal pribadinya.
Sementara itu tampak debu mengepul dari
arah jalan di depan mereka. Tak lama kemudian,
terlihat seekor kuda putih yang dipacu cepat oleh seorang pemuda berbaju kuning.
Andira tetap berdiri didampingi Ki Rasut. Pemuda berbaju
kuning itu menarik tali kekang kudanya setelah
berada dua batang tombak di depan wanita cantik
itu. "Hup!"
Ringan sekali gerakan pemuda itu saat
melompat turun dari punggung kuda putih
tunggangannya. Kakinya melangkah beberapa
tindak menghampiri. Andira tersenyum
menyambut kedatangan pemuda berwajah halus
bagai wanita ini. Wajah pemuda itu memang se-
perti wanita, begitu halus dan cantik. Siapa lagi kalau bukan Salaya, putra
kedua dari Ki Angarasana. "Senang sekali melihatmu, Salaya," ucap Andira menyambut hangat.
Salaya hanya tersenyum saja. Diliriknya
sedikit laki-laki tua yang berdiri di samping
Andira. Ki Rasut membungkukkan tubuhnya
sedikit. Sementara Salaya sudah kembali
mengalihkan pandangan pada wanita cantik
bertubuh sintal, dan padat berisi ini. Dan Andira
seperti tidak menghiraukan Ki Rasut.
Dihampirinya pemuda itu, lalu tangannya diling-
karkan ke leher. Lembut sekali dia memberi satu
kecupan di bibir pemuda itu.
"Ayo kita ke dalam, Salaya," ajak Andira manja. Salaya tidak membantah. Pemuda
itu menurut saja dibimbing wanita cantik yang selalu berpenampilan menggairahkan
ini. Sedangkan Ki
Rasut mengambil tali kekang kuda putih itu, lalu membawanya ke samping rumah.
Sementara Salaya dan Andira sudah tenggelam di dalam
rumah yang tidak begitu besar, namun kelihatan
cantik dan terawat rapi.
"Tubuhmu kotor sekali, Salaya. Ingin mandi
dulu...?" Andira menawarkan, setelah berada di dalam sebuah kamar yang berukuran
cukup besar. Salaya tidak menjawab, tapi malah
menghempaskan diri di atas pembaringan yang
beralaskan kain sutra halus berwarna jingga.
Andira tersenyum dan menghampiri. Wanita itu
duduk di tepi pembaringan. Seperti disengaja,
bagian bawah baju yang dikenakannya dibiarkan
tersingkap. Hal itu membuat sepasang paha yang
putih gempal mencuat keluar. Sepasang mata
Salaya jadi nakal, menjilati bentuk paha yang
begitu indah tanpa cacat. Tangannya segera
diangkat dan ditaruh di atas daging gempal
terbungkus kulit putih halus itu.
"Kau tahu, Andira. Setiap kali berada di sini, hatiku selalu terasa damai dan
tenteram. Tidak
seperti di rumahku sendiri," jelas Salaya lembut.
'Tapi seharusnya kau berada di rumah,
Salaya. Kakakmu sedang terluka, dan pasti
membutuhkanmu."
"Sudah ada Nyai Koret. Lagi pula, Kakang
Candraka tidak pernah membutuhkan aku. Dia
lebih segala-galanya dari padaku. Makanya ayah
lebih sayang padanya," Salaya seakan-akan
mengeluh, mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Kau hanya iri saja, Salaya."
"Aku memang iri. Terutama terhadap sikap
ayah yang selalu memperhatikan Kakang
Candraka. Sedangkan aku..." Apa karena aku
seperti wanita" Tapi kau kan tahu, Andira. Aku
laki-laki perkasa, dan mampu memuaskan
wanita. Kau sering berkata begitu padaku,
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan...?" "Kau memang laki-laki perkasa, Salaya.
Bahkan aku belum pernah bertemu laki-laki
seperkasa dirimu," Andira membesarkan hati
pemuda ini. "Seharusnya hal ini kau katakan pada
mereka, Andira. Biar mereka tahu, aku tidak
lemah. Aku adalah laki-laki tulen yang mampu
melakukan lebih dari Kakang Candraka."
Andira malah tertawa terbahak-bahak.
Terdengar merdu dan renyah sekali tawa wanita
cantik itu. Salaya jadi meneguk ludahnya melihat baris-baris gigi yang putih
rapi. Seketika tangannya dilingkarkan ke pinggang wanita itu,
lalu ditariknya. Akibatnya Andira jatuh menindih
dada pemuda itu.
"Auwh...!" jerit Andira manja. "Kau nakal, Salaya...."
"Kau menggairahkan. Selalu membuatku
bergairah," desah Salaya berbisik di telinga wanita itu. Andira jadi terkikik,
ketika merasakan
sesuatu yang hangat menggelitik telinganya.
Tubuhnya kemudian menggelinjang, namun
Salaya malah membalikkannya. Dan kini pemuda
itu menghimpit tubuh yang ramping menggiurkan
ini. Seperti angsa melihat cacing, Salaya
mereguk bibir yang selalu memerah itu. Pemuda
itu melumat, mengecup dengan gairah yang
semakin menggelegak membara di dalam dada.
Mau tak mau, Andira menggelinjang dan merintih
lirih penuh kenikmatan.
"Oh, ahhh...," Andira mendesis panjang.
Lagi-lagi tubuh wanita itu menggelinjang saat
merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar,
menjelajahi tubuhnya. Satu persatu, pakaian
yang melekat di tubuh Andira berhamburan ke
lantai. Hingga, tak ada selembar benang pun yang melekat lagi. Dengus napas dan
rintihan lirih tertahan berbaur menjadi satu. Keringat mulai
bercucuran membasahi tubuh.
Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan.
Semua berganti gerakan-gerakan liar yang
membangkitkan gairah. Hanya desah napas
memburu dan rintihan tertahan yang terdengar.
Salaya pun sudah tidak sabar lagi untuk
melepaskan pakaiannya.
Lagi-lagi, tubuh Andira menggelinjang saat
merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar.
Terdengar rintihan lirih keluar dari mulut wanita itu. Tak ada lagi kata-kata
yang terucap. Semua berganti gerakan-gerakan liar yang
membangkitkan gairah.
Kedua manusia itu semakin tenggelam
dalam kenikmatan alunan gelombang asmara
yang semakin dahsyat menggelora. Sampai-
sampai, mereka tidak mengetahui kalau ada
sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi
dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.
Tapi sepasang mata itu cepat-cepat
menghilang ketika tubuh Salaya terlihat
menggelimpang disertai tarikan napas panjang.
Andira menarik selembar kain dari ujung
kakinya, lalu menutupi tubuh mereka berdua.
Tubuhnya dirapatkan dengan manja, lalu
meletakkan kepalanya di dada pemuda itu.
"Kau benar-benar perkasa, Salaya," puji Andira.
"Kau yang membuatku selalu perkasa,"
sambut Salaya seraya memberi kecupan di bibir
wanita itu. "Kau lelah?" tanya Andira lembut.
"Sedikit," sahut Salaya.
"Istirahatlah dulu. Aku akan pergi,
menyiapkan air mandi untukmu."
Salaya sempat memberi satu kecupan
lembut di bibir wanita itu, sebelum beranjak
bangkit dari pembaringan. Andira meraih
pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu
mengenakannya kembali. Dilemparkan-nya
senyuman manis pada pemuda itu, lalu
melangkah ke luar.
"Ah...! Seandainya aku bisa mengenalkannya
pada ayah dan Kakang Candraka...?" desah
Salaya menggumam perlahan. "Tapi apakah
mungkin..." Ayah pasti tidak menyukai Andira.
Yaaah..., kenapa tidak dari dulu saja aku
mengenalnya, sebelum...."Salaya tidak
melanjutkan kata-katanya.
Pemuda itu membuka matanya kembali, lalu
menggeleng beberapa kali. Saat itu Ki Rasut
masuk ke kamar sambil membawa baki berisi
sebuah guci arak dan sebuah cawan panjang dari
perak. Dengan sikap hormat, laki-laki tua itu
meletakkan baki perak bakar ke atas meja kecil di samping pembaringan.
"Terima kasih," ucap Salaya.
Ki Rasut hanya mengangguk sedikit,
kemudian melangkah ke luar. Hati-hati sekali
pintu kamar itu ditutup kembali. Salaya bangkit
dan menuang arak ke dalam cawan perak. Sekali
teguk saja, arak manis itu sudah amblas ke
dalam perutnya. Kemudian bergegas pakaiannya
dipungut dan dikenakannya kembali. Lalu,
melangkah ke luar dari kamar setelah merapikan
diri. *** Sampai matahari hampir tenggelam di ufuk
Barat, Salaya baru meninggalkan rumah Andira.
Kudanya dipacu cepat seakan-akan tidak ingin
ada seorang pun yang mengetahui kalau dirinya
habis dari rumah wanita itu. Salaya baru
memperlambat lari kudanya setelah berbelok, dan
sudah cukup jauh meninggalkan rumah Andira.
Sementara suasana semakin meremang. Sebentar
lagi gelap akan menyelimuti Desa Ragasari.
Salaya tidak langsung pulang ke rumahnya,
tapi menuju ke sungai yang memberi nilai
kehidupan bagi seluruh penduduk Desa Ragasari.
Kudanya dihentikan setelah sampai di tepi sungai itu. Sebentar matanya
memandang jauh ke tengah sungai yang
nampak keperakan berkilau bagi bertaburkan
sejuta permata. Ringan sekali dia melompat turun dari punggung kuda, dan
melangkah menghampiri sebongkah batu yang cukup besar
dan menjorok ke dalam air. Salaya naik ke atas
batu itu, lalu duduk mencangkung di sana.
"Ehm-ehm...!"
"Ohhh..."!"
Salaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar
suara mendehem dari belakang. Cepat dia
berpaling ke belakang. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di belakangnya sudah
berdiri seorang wanita muda berwajah cukup
cantik. Bajunya ketat berwarna hitam dan agak
tipis. Kelihatannya memang dari bahan sutra
halus. Salaya bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya. Dia melompat turun dari batu dengan
gerakan ringan dan indah sekali.
"Surti.... Aku kira siapa," Salaya langsung mengenal wanita itu.
"Kenapa menyendiri di sini?" wanita yang dikenal Salaya bernama Surti itu malah
balik bertanya. "Melamun," sahut Salaya seenaknya.
"Apa kau tidak tahu, kalau di sini banyak
setannya. Orang yang senang melamun bisa
kesambet," gurau Surti.
Salaya tertawa geli mendengar gurauan
gadis ini. Mereka kemudian melangkah menuju
dangau kecil yang tidak jauh dari tepi sungai itu.
Kedua anak muda itu duduk di sana memandang
ke tengah sungai. Sementara matahari sudah
benar-benar tenggelam.
Dan kini tugasnya digantikan sang dewi
malam. Suasana malam di tepian sungai ini
terasa begitu indah dan damai. Namun di balik
semua itu terdapat satu ancaman besar, sehingga
membuat keadaan di desa sekitar Sungai Ajir ini
bagai berada dalam neraka.
"Kau tidak takut keluar malam sendirian,
Sum?" tanya Salaya.
"Apa yang harus ditakutkan...?" Surti seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku rasa, kau sudah tahu kalau Anggrek
Hitam sudah muncul lagi. Dan semalam
membantai keluarga Sarta," Salaya seperti
memperingatkan gadis itu. "Seharusnya, kau
berada di rumah, Surti. Terlalu berbahaya
malam-malam di luar."
"Di luar, atau di dalam rumah sama saja.
Toh, Anggrek Hitam bisa muncul kapan saja.
Tidak peduli di dalam rumah atau di luar rumah.
Bukankah keluarga Sarta dibunuh di dalam
rumahnya sendiri...?" Surti berdalih.
Salaya tidak bisa berkata lagi, dan hanya
mengangkat bahu saja. Kata-kata Surti yang
meluncur bagai air sungai itu memang tidak
dibantah lagi. Bagi Anggrek Hitam memang tidak
ada persoalan dalam melancarkan kegiatannya.
Dalam keadaan seperti ini, memang tidak ada
tempat aman. Dan lagi, tidak ada seorang pun
yang dapat menduga korban berikutnya.
Salaya memandangi gadis itu dalam-dalam.
Semua orang tahu, Surti adalah seorang gadis
yang tinggal sendiri tanpa sanak keluarga dan
orang tua lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu
asal-usulnya. Surti
menempati sebuah rumah kosong yang
sudah ditinggalkan penghuninya.
Satu purnama setelah kedatangan Surti ke
desa ini, musibah itu terjadi. Dan itu bertepatan dengan munculnya seseorang
yang mengaku bernama Anggrek Hitam. Tapi, bukan hanya Surti
yang datang ke desa ini dan terus menetap
sebelum munculnya Anggrek Hitam. Andira
malah datang lebih awal dari gadis ini. Juga,
masih ada dua keluarga lagi yang baru menetap
di Desa Ragasari.
"Kenapa memandangku begitu, Salaya?"
tegur Surti jengah.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya kagum
dengan kecantikanmu," kata Salaya seraya
tersenyum manis.
"Kau merayu ku, Salaya."
"Kalau kau senang...?"
Surti malah tertawa terbahak-bahak. Salaya
jadi terdiam. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba gadis ini jadi tertawa. Seakan-
akan kata-katanya begitu menggelitik, membuat Surti jadi tertawa
begitu lepas. "Tidak ada yang lucu, Surti," dengus Salaya.
"Maaf, aku bukan mentertawakanmu.
Tapi...," Surti tidak melanjutkan.
"Tapi kenapa?" desak Salaya.
"Belum begitu Lama aku mengenalmu,
Salaya Tapi aku sudah sering mendengar cerita-
cerita orang tentang dirimu. Rasanya, semua yang kudengar jadi hambar. Sungguh,
tidak kusangka kau bisa merayu. Semua orang bilang kau...,"
Lagi-lagi Surti tidak melanjutkan kata-katanya.
"Banci..."! serobot Salaya langsung bisa
menebak kelanjutannya.
"Aku tidak pernah mengatakan itu, Salaya,"
ujar Surti cepat-cepat
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa, kok,"
kata Salaya. Namun nada suaranya jadi lain.
Setelah berkata demikian, Salaya bangkit
berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil
itu. Surti bergegas keluar dan mengejar pemuda
itu. Di hatinya terselip perasaan tidak enak,
karena telah menyinggung perasaan pemuda ini.
Dia memang belum lama tinggal di Desa Ragasari
ini. Tapi, dia sering mendengar orang-orang
menggunjingkan Salaya, yang dikatakan sebagai
laki-laki yang memiliki kelainan.
"Maaf, Salaya. Aku tidak bermaksud
menyinggung perasaanmu," ucap Surti merasa
bersalah. "Lupakan saja," ujar Salaya sambil tetap melangkah. Sedikit pun dia tidak
berpaling pada gadis yang berjalan di sebelahnya.
"Kau marah padaku, Salaya?"
"Tidak," singkat saja jawaban Salaya.
Pemuda itu melompat naik ke punggung
kudanya. Sebentar matanya menatap Surti
dalam-dalam. Kemudian kudanya cepat digebah
untuk meninggalkan tepian sungai ini.
Surti berdiri mematung memandangi
kepergian pemuda dengan bentuk tubuh dan raut
wajah seperti wanita itu. Entah apa yang ada
dalam benaknya saat ini. Dia baru melangkah
pergi setelah Salaya tidak terlihat lagi.
Sementara malam terus merambat semakin
larut. Sudah sejak tadi binatang malam
menggerit, mengalunkan tembang malam yang
merdu. Surti terus melangkah dengan wajah
tertunduk, mengamati gerakan ujung kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia seperti menyesali kata-katanya yang telah
membuat Salaya jadi tersinggung, dan pergi
begitu saja. Namun begitu melewati tikungan jalan yang
menuju rumahnya, mendadak saja sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat memotong di
depannya. Gadis itu tersentak kaget, lalu cepat
melompat beberapa tindak ke belakang.
"Hel..! Siapa itu..."!" sentak Surti berseru
nyaring. "Aku...."
"Kau..."!"
Mata Surti terbeliak begitu tiba-tiba saja di
depannya sudah berdiri seseorang berbaju ketat
berwarna hitam pekat. Bentuk tubuhnya begitu
ramping, bagai bentuk tubuh seorang wanita.
Seluruh kepalanya terselubung kain hitam.
Sedangkan wajahnya mengenakan topeng dari
kayu berbentuk tengkorak manusia. Surti
bergegas melangkah mundur beberapa tindak.
*** Surti benar-benar terkejut melihat
kemunculan orang berbaju serba hitam yang
mengenakan topeng tengkorak itu. Orang inilah
yang selama ini ditakuti, hingga membuat Desa
Ragasari seperti berada dalam neraka. Semua
penduduk Desa Ragasari menyebutnya si Anggrek
Hitam. Karena, semua korbannya tewas dengan
tubuh tertembus senjata rahasia berbentuk
bunga anggrek berwarna hitam yang terbuat dari
logam hitam. "Kau terkejut, Surti...?" terasa dingin sekali nada suara Anggrek Hitam.
"Mau apa kau ke sini?" agak bergetar suara Surti. "Kau cantik sekali, Surti.
Tapi sayang, kau tidak bisa lagi menikmati hangatnya matahari
esok pagi," kata Anggrek Hitam, mengandung
ancaman. "Aku tidak pernah berurusan denganmu.
Kenapa kau ingin membunuhku...?" Surti
langsung dapat mencema maksud kata-kata si
Anggrek Hitam. "Ha ha ha...! Kau sudah berurusan
denganku, Surti. Dan urusanmu menyakitkan
sekali." Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si
Anggrek Hitam cepat mengebutkan tangan
kanannya. Sejenak Surti terhenyak kaku. Namun
begitu sebuah benda hitam melesat cepat dari
Pedang Asmara 19 Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis Mustika Naga Hitam 1