Satria Baja Hitam 1
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam Bagian 1
Satria Baja Hitam
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Puji S
Gambar Sampul oleh Henky
Hak cipta pada penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
Dalam episode: Satria Baja Hitam
128 ghal ; 12x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Ctar! "Akh...!"
Geletar lidah cambuk ditingkahi pekik
kesakitan menyayat, memecah kesunyian dl pagi
buta lni Dl pinggiran sebuah desa, tampak seorang laki-lakl tua tengah terikat
di bawah sebatang
pohon. Punggungnya tampak pecah-pecah memerah
mengucurkan darah. Tidak Jauh dari situ, tampak
seorang lakl-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot tengah mengayunkan
cambuknya. Di sekitarnya
beberapa orang laki-laki malah tersenyum-senyum
diiringi tawa terkekeh.
"He he he.,."
"Akhl Aaakh...!
"Cukup..." tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Suara bentakan itu datang dari seorangg laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun lebih, yang
mengenakan baju sutra halus, bersulamkan benang
emas. Sebagian rambutnya sudah berwarna putih.
Namun wajahnya masih menampakkan kegagahan.
Kakinya melangkah menghampiri laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang
cambuk. Laki-Iaki
tegap bertelanjang dada itu melangkah mundur
beberapa tlndak.
"Kau masih juga suka tutup mulut, Ki Rabul?"
dingin sekali suara laki-laki setengah baya itu.
Dijambaknya rambut laki-laki tua yang terikat
di pohon dalam keadaan sangat payah itu, sehingga kepalanya terdongak. Seluruh
rongga mulutnya
dipenuhi darah yang menetes membasahi tubuhnya.
Meskipun dalam keadaan tidak berdaya, namun
sinar matanya begitu tajam menusuk langsung ke
bola mata laki-laki yang menjambak rambutnya.
"Dengar, Orang Tua. Aku bisa membuatmu
lebih parah lagl. Bahkan mudah sekali mengirimmu ke neraka!" desis laki-laki
setengah baya itu
datar. Begitu dingin nada suaranya terdengar.
Tapi laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak
mengenakan baju itu hanya diam membisu saja.
Hanya tatapan matanya saja yang tajam menusuk
"Katakan, di mana anakmu sekarang berada?"
tanya laki-laki setengah baya itu mendesis dingin.
"Kau berurusan dengan anakku, Barada. Lalu
mengapa kau siksa aku" Pengecut...!" dengus laki-laki tua yang dipanggil Ki Rabul.
Kesempatanmu untuk hidup hanya sekali saja,
Ki Rabul. Kau dengar, aku tidak bisa bermain-main lagi" ancam Barada bersungguh-
sungguh sekali.
"Phuih!" Ki Rabul menyemburkan darah yang menggumpal dl mulutnya.
Cairan merah itu langsung muncrat, dan
menimpa wajah Barada. Hal ini membuat laki-laki
setengah baya itu semakin bertambah berang.
Mulutnya menggeram sambil menyeka darah yang
memenuhi wajah. Maka tiba-tiba saja, tangannya
melayang menampar wajah tua kurus itu. Plak!
"Akh!" Ki Rabul terpekik keras.
Kepalanya sampai bergetar akibat tamparan
keras. Barada menghentakkan kakinya, dan berbalik. Dipandanginya lima orang yang hanya diam saja, dan berslkap seperti
seorang jago tak
tertandingi. "Bunuh orang tua keparat ini!" perintah Barada keras.
Laki-laki bertubuh ringgi tegap yang otot-ototnya bersembulan, melangkah maju.
Dihentak - hentakkan cambuknya. Suara geraman terdengar
dari bibir yang menyeringai buas, bagai seekor
srigala lapar melihat setumpuk daging segar.
Sepasang bola matanya merah menyala, menyorot
tajam pada tubuh kurus yang sudah babak belur
tersengat cambukannya.
Ctarl Kembali orang itu mengayunkan cambuknya.
"Akh....!" Ki Rabul kembali memekik keras tertahan.
Geletar cambuk menjilat tubuh kurus itu
berkali-kali, disertai pekikan tertahan yang sangat memilukan.
Sementara yang lainnya hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Barada
menyeka darah yang melekat di wajahnya dengan
selembar kain putih dari sutra halus.
"Aaa...!" tiba-riba Ki Rabul menjerit, Sebentar kepalanya terdongak ke atas, lalu
terkulai disertai
mata terpejam. Ujung cambuk masih menjilat
tubuhnya, tapi laki-laki tua kurus itu tidak lagi bersuara. Laki-laki bertubuh
tinggi tegap itu
menghentikan cambukannya, Ialu berbalik menghadap Barada.
"Dia sudah mati, Suro?" tanya Barada, datar nada suaranya.
"Mungkin pingsan, Gusti," sahut orang
bertubuh tinggi tegap dan berotot kekar Itu.
"Biarkan dia di situ, supaya jadi santapan
binatang hutan. Bakar rumahnya!" dengus Barada.
Setelah berkata demlkian, laki-laki setengah
baya itu berbalik dan berjalan menghampiri kudanya yang tertambat di depan
sebuah pondok kecil
dari bilik bambu. Sedangkah empat orang lainnya segera menyalakan obor. Mereka
melemparkan obor
itu ke atas atap pondok Maka seketika api langsung
membesar membakar pondok itu. Mereka mengambil kuda masing-masing, lalu melompat naik Sedangkan Suro masih berdiri
tegak di dekat tubuh Ki Rabul yang terkulai tak sadarkan diri
"Suro...! Ayo pergi dari sinl!" bentak Barada memerintah.
Suro membungkuk sedikit memberi hormat,
kemudian langsung melompat naik ke punggung
kudanya yang berwarna hitam, ringgi, dan tegap.
Gerakannya sungguh ringan, pertanda tingkat
kepandaiannya cukup ringgi. Sebentar kemudian,
enam ekor kuda berpacu cepat meninggalkan
tempat itu. Meninggalkan seorang laki-laki tua yang pingsan akibat dicambuk
tanpa henti. Sementara
api semakin membesar merobohkan bangunan
pondok kecil yang seluruhnya dari kayu dan bambu itu. Percikan bunga api
menyebar ke segata arah,
disertai letupan kecil Api terus membesar, tak bisa dicegah lagi. Sedangkan di
bawah pohon, Ki Rabul
masih terikat dengan kepala terkulai tanpa daya.
Tak ada seorang pun yang menyaksikan
kejadian itu, kecuali seorang bocah kecil yang
bersembunyi di balik sebatang pohon. Dia sejak tadi memang menyaksikan semua
kekejaman itu. Bocah kecil itu baru keluar setelah derap langkah kaki kuda tidak terdengar lagi.
Bergegas dihampirinya Ki
Rabul yang masih belum juga sadarkan diri.
"Ki.... Ki...," panggil bocah kecil itu.
Suaranya terdengar pelan dan agak tersendat
Dipandangjnya tubuh Ki Rabul yang hancur
terhantam cambuk Kemudian dia memandangi
wajah laki-laki tua itu. Dari mulut Ki Rabul masih menetes darah segar.
"Ki...," suara bocah laki-laki itu mulai tersendat Anak itu tidak tahan juga
melihat keadaan tubuh Ki Rabul. Dia kemudian menangis
sesenggukan sambil memanggil-manggil laki-laki tua Itu supaya bangun.
Namun laki-laki tua Itu tetap saja diam
dengan kepala terkulai lemas.
*** "Ohhh...," Ki Rabul merintih Iirih.
Kepala laki-laki tua kurus itu menggeleng
pelahan, lalu kelopak matanya mulai terbuka
pelahan pu!a. Namun pandangannya begitu kabur,
sehingga tidak bisa melihat jelas. Ki Rabul kembali memejamkan matanya. Sebentar
kemudian kembali matanya terbuka. Perlahan pandangannya menjadi
terang, dan kini bisa melihat jelas.
Ki Rabul memandangi sekitarnya. Sungguh
hatinya berharap kalau sekarang sudah berada di
alam akherat. Tapi begitu melihat bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun
duduk di dekatnya, Ki
Rabul langsung sadar kalau dirinya belum mati. Dan kini dirinya berada di dalam
sebuah pondok yang
berdinding anyaman bambu.
"Kak."! Dia sudah sadar...!" teriak bocah itu keras.Tidak berapa lama kemudian,
muncul seorang gadis berwajah cukup cantik. Bajunya berwarna
merah muda, dan nampak ketat, sehingga
membentuk lekuk tubuhnya yang ramping padat
berisi. Langsung dihampirinya dipan bambu yang
ditiduri Ki Rabul. Anak laki-laki berusia tujuh
tahun itu menyingkir, memberi tempat pada gadis
yang baru datang.
"Oh, siapa kalian" Dan di.mana aku ini...?"
tanya Ki Rabul, lemah suaranya.
"Aku Lasini, dan ini adikku. Namanya, Badil,"
sahut gadis itu rnemperkenalkan diri.
"Ohhh...," Ki Rabul kembali mengeluh luih
"Kau berada di pondok kami, Ki," sambung Lasini."Aku menemukanmu pingsan terikat
di pohon," celetuk Badil.
"Terima kasih, kalian baik sekali," ucap Ki Rabul lirih.
"Lukamu cukup parah, Ki. Istirahatlah dulu, jangan banyak bergerak dan bicara,"
ujar Lasini lembut.
"Terima kasih," ucap Ki Rabul lagl
Lasini bangkit berdiri.
"Nak...," panggil Ki Rabul.
Lasini yang akan melangkah pergi, jadi
mengurungkan niatnya. Tubuhnya diputar, memandang laki-laki tua kurus yang terbaring tanpa daya di dipan bambu itu.
Hanya selembar tikar
pandan lusuh menjadi alasnya.
"Kaliankah yang membawaku ke slnl?" tanya Ki Rabul ingin tahu
"Tidak. Kami dibantu seorang pengembara
yang kebetulan lewat," sahut Lasini berterus terang.
"Siapa pengembara itu" Apakah dia sudah
pergi?" "Sudah. Dia langsung pergi. Sayang sekali, aku lupa menanyakan namanya tadi."
Ki Rabul menghembuskan napas panjang
seraya memejamkan rnatanya. Sebentar Lasini masih memandangi laki-laki tua itu,
kemudian keluar
sambil mengajak adiknya. Mereka menutup pintu
setelah berada di luar pondok kecil itu, kemudian sama-sama duduk di bawah pohon
sambil memiiihmillh kedelai yang akan dijadikan bibit.
"Kasihan Ki Tua itu, ya Kak..?" ujar Bad!!.
"Yaaah...," sahut Lasini mendesah.
"Mereka kejam sekali, Kak. Mereka memukul
dan mencambukinya sampai pingsan begitu. Ih...,
serem, Kak," celetuk Badil lagi.
"Badil...."
"Ya, Kak...?"
"Lain kali kalau melihat mereka lagi, kamu
pergi saja. Jangan sekali-sekali mengintip. Berbahaya! Coba kalau mereka melihatmu tadl.
Bisa-bisa kau
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang malah didera," Lasini memperingatkan.
"Kalau aku dicambuk... Aku past melawan,
Kak!" Badil menyombongkan diri.
"Memangnya kamu beranl?" goda Lasini
mencibir. "Berani! Tapi kalau sudah besar, Kak. Badil kan masih kecil, mana mungkin bisa
melawan orang besar?""Dil..., Badil. Lagakmuseperti pendekarsaja."
"Aku memang ingin jadi pendekar kalau sudah besar nanti. Biar tidak ada orang
yang mengganggu
Kakak Pokoknya kalau ada yang berbuat jahat pada Kakak, pasri Badil bacok!"
Lasini hanya tertawa saja mendengar ocehan
anak kecil Itu. Namun suara tawanya terdengar
sumbang. Meskipun tertawa, tapi dari slnar
matanya terlihat adanya kedukaan yang tersembunyi cukup dalam di hati.
"Kak Lasini tidak percaya kalau aku sudah
besar nantj ingin jadl pendekar" Nih, lihat! Ciaaat..!"
Badil bangkit berdiri, dan langsung memperagakan beberapa jurus silat Tapi belum lama berlagak, kakinya terantuk
sebatang akar pohon,
lalu tubuhnya pun jatuh terjerembab.
"Aduh...!" pekik Badil.
Lasini jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat
bocah itu meringis sambil memijat-mijat pinggangnya. "Sakit..?" goda Lasini.
"Tidak! Calon pendekar tidak boleh mengeluh sakit!" sahut Badil mantap.
Lasini hanya tersenyum saja. Ada kebahagiaan
bila sedang bercanda dengan anak ini. Badil seorang bocah lucu, cerdas, dan
berani. Dia selalu saja
bisa cepat menangkap setiap kata-kata dan gerakan ilmu olah kanuragaa Meskipun
tadi gerakannya
tidak beraturan, namun cukup diakui kalau beberapa
jurus yang biasa dilatih Lasini setiap pagi, bisa diserap cepat oleh anak ini.
Padahal Lasini hanya latlhan sendiri saja. Dan
biasanya, Badil selalu mengikuti setiap gerakan -
gerakannya. Tidak pernah Badil meminta diajarkan, tapi anak itu tidak pernah
terlambat mengikuti
latihan yang dilakukan Lasini setiap pagi, Bahkan kalau malam hari, saat Lasini
tengah melatih tenaga
dalam dengan bersemadi, bocah itu selalu mengikuti duduk bersila. Memang, Badil
belum tahu maksudnya Tapi bocah itu sudah bisa menangkap,
kalau hendak menjadi seorang pendekar harus
sering berlatih ilmu olah kanuragan.
"Badil, kau benar ingin jadi pendekar?" tanya Lasini setelah Badil kembal! duduk
di dekatnya. "Jelas dong, Kak," sahut Badil mantap.
"Kalau kau bersungguh-sungguh, mulai besok
pagi aku akan mengajarkanmu beberapa jurus. Kau
mau?""Tentudong, Kak...!" sarnbut Badil gembira.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Seorang pendekar tidak boleh sombong,
tidak boleh main pukul, dan tidak boleh tinggi hati.
Apalagi berkata kasar, malas dan menjelek-jelekkan orang lain. Apa kau
menyanggupi syarat itu?"
"Sanggup!" sahut Badil tanpa berpikir panjang Tapi
semua kata-kata yang diucapkan kakaknya ini meresap dalam hati sanubarinya.
Bahkan semua kata-kata itu diulang di kepalanya
hingga benar-benar melekat
'Tapi latihannya berat, Dil," kata Lasini lagi.
'Tidak ada kata berat bagi seorang pendekar,
Kak! mantap kata-kata Badil.
Lasini tersenyum. Diusap-usapnya kepala
adiknya ini. Badil tampak senang, lalu tersenyum cerah dengan bola mata
berbinar. Sudah lama dia
ingin sekali mempelajari ilmu olah kanuragan, dan baru sekarang kakaknya
bersedia untuk melatihnya. Dalam hati, bocah itu berjanji untuk patuh dan
menuruti kata-kata kakaknya ini. Bagaimanapun
beratnya, harus dijalankan untuk bisa menjadi
seorang pendekar.
*** Sudah lebih dari dua pekan Ki Rabul hanya
terbaring saja di dipan bambu. Segala keperluannya selalu disediakan kakak
beradik yang menolong
dan membawanya ke tempat ini. Meskipun Lasini dan
Badil melayani dan merawatnya dengan senang hati, tapi perasaan laki-laki tua
ini jadi tidak enak
juga. Ki Rabul sudah merasa sehat dan bisa turun dari
pembaringan, tapi Lasini belum boleh mengijinkannya.
Pagi ini Ki Rabul merasakan tubuhnya benar-benar segar. Laki-laki tua itu turun
dari pembaringan bambu ini, kemudian pelahan berjalan ke pintu. Dibukanya pintu itu
pelahan-lahan sekali. Telinga tuanya langsung mendengar suara-suara
orang sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Dari
suara-suara yang terdengar, Ki Rabul sudah bisa
memastikan kalau mereka adalah Lasini dan adiknya yang sedang berlatih.
Ki Rabul melangkah menuju arah suara-suara
itu. Dan temyata dugaannya tidak meleset Tidak
jauh di samping pondok kecil ini, terlihat Lasini sedang memperagakan jurus-
jurus tangan kosong.
Sementara di belakangnya, Badil mengikuti dengan gerakan-gerakan lucu. Namun
sesaat kemudian,
laki-laki tua itu jadi tertegun. Dipandanginya Badil tanpa berkedip.
"Hm.... Anak itu mempunyai bakat bagus, dan susunan tulang-tulartgnya juga bagus
sekali," gumam Ki Rabul.
Laki-laki tua itu jadi tertegun diam, namun
tidak menyadari kalau Lasini sudah menghentikan
latihannya. Dihampirinya laki-laki tua itu. Badil bergegas mengikuti. Ki Rabul
baru tersadar begitu
mendengar teguran lembut gadis itu.
"Kenapa bangun, Ki?"
"Aku sudah sehat, Lasini. Tidak enak rasanya jadi orang jompo yang hanya
terbaring saja di
tempat tidur," sahut Ki Rabul.
"Memangnya Aki sudah benar-benar sehat?"
tanya Badil polos.
"Sudah. Kau lihat sendiri, tidak ada lagi luka di tubuhku. Aku benar-benar sudah
sehat sekarang, dan ingin melihat kalian berlatih."
"Ah! itu tadi hanya sekadar bermain-maln saja, Ki. Untuk kesehatan badan,"
Lasini merendah.
"Tapi kulihat, jurus-jurus yang kau mainkan sangat mantap dan bagus."
"Ki Rabul juga bisa ilmu olah kanuragan...?"
tanya Lasini. Tidak, tapi...," ucapan Ki Rabul terputus.
Mendadak saja wajah laki-laki tua kurus itu
jadi mendung. Tampak bola matanya berkaca-kaca.
Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Lasini jadi tertegun melihat perubahan wajah laki-laki tua ini.
"Maaf kalau aku telah menyinggung perasaanmu," ucap Lasini menyesal.
"Oh, tidak... Tidak sama sekali. Aku hanya
teringat anakku," kata Ki Rabul buru-buru.
"Oh..., di mana anak Aki sekarang?" tanya Lasini"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu.
Dia anak baik dan
patuh pada orang tua. Kepandaiannya juga tinggi Tapi.... Yahhh..., nasibnya memang
malang," lirih sekali nada suara Ki Rabul.
Lasini memandangi wajah laki-laki tua itu
dalam-dalam. Terasa ada kesenduan pada sorot
matanya yang cekung, masuk ke dalam. Sepasang
bola mata tua itu berkaca-kaca. Beberapa kali Ki Rabul menghembuskan napas
panjang dan terasa
berat sekali. Untuk beberapa saat, mereka hanya
diam membisu saja.
Saat mereka tengah berdiam diri, tiba-tiba
saja terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat ke arah pondok ini.
Mereka semua mengangkat kepala, berpaling ke arah suara berasal.
Sesaat mereka hanya diam terpaku, melihat kepuian debu di udara yang semakin
mendekat Mereka
saling berpandangan sesaat Lasini menarik tangan adiknya, dan membawanya ke
belakang tubuhnya
sendiri. Tak berapa lama kemudian, terlihat lima
orang penunggang kuda. Semakin dekat, semakin
jelas kelima penunggang kuda itu terlihat. Seketika bola mata Ki Rabul membeliak
lebar, dan mulutnya ternganga, seolah-olah melihat serombongan hantu yang akan mencekik
lehernya hingga
mati. Lima penunggang kuda itu langsung berlompatan turun begitu sampai di depan mereka.
Ki Rabul mengenali mereka semua, yang ternyata
adalah kaki tangan Barada. Sedangkan Ki Barada
sendiri tak nampak dl antara mereka. Laki-laki
tinggi tegap dan berotot bersembulan yang
mencambuk Ki Rabul, tejnyata Juga ada di antara
mereka. "He he he...! Ternyata kau masih hidup juga, Ki Rabul." kata salah seorang yang
mengenakan baju
warna hijau muda.
Ki Rabul tahu, kalau anak muda yang
menggunakan senjata pedang itu bemama Sarapat
Wajahnya terlihat pucat, dan sorot rnatanya merah menyata mencerminkan
kekejaman. Sedangkan
yang berdiri di samping kanannya, seorang laki-laki
setengah tua yang memegang tombak pendek
bermata dua. Bajunya ketat berwama merah.
Seorang lagi yang bertubuh tinggi tegap
berotot, dan memegang cambuk hitam adalah Suro.
Sementara dua orang lagl di samping Suro, adalah kakak beradik yang sama-sama
mengenakan baju
biru. Mereka memegang senjata rantai berujung
bola berduri yang kelihatannya berat sekali Masing-masing bernama Cakak yang
berkumis dan Cakik
yang tidak berkumis.
Ki Rabul yang mengetahui kalau kelima orang
itu adalah manusla kejam, segera menarik tangan
Lasini agar menjauh. Gadis itu hanya memandangi
Ki Rabul sejenak, kemudian beralih pada lima orang berwajah bengls di depannya.
"Menyingkirlah, Lasini. Mereka manusla iblis yang kejam," jelas Ki Rabul
setengah berbisik.
Lasini ingin bertanya, tapi Badil sudah
menarik tangan kakaknya, dan membawanya pergi
menjauh. Mereka berhenti di depan rumah.
Sementara Ki Rabul berdiri tegak, bersikap
menantang. Mungkin kali ini, hati laki-laki tua itu sudah nekat. Daripada mati
tersiksa, lebih baik
mati dalam pertempuran sebagai seorang laki-laki.
"Kau beruntung mempunyai dewi penolong
yang cantik, Ki Rabul. He he he...," kata Kafir seraya melirik Lasini.
Bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebih
mirip seringai serigala. Empat orang lainnya
terkekeh seraya merayapi wajah Lasini yang cantik.
Ki Rabul jadi muak, tapi khawatir juga jika mereka sampai mengganggu gadis yang
telah berbaik hati
menolong dan merawatnya hingga sembuh seperti
sekarang ini. "Iblis...! Kalian berurusan denganku! Jangan coba-coba mengganggunya...!" bentak Ki
Rabul geram. "Ha ha ha...! Dia sudah berani main bentak, Kakang Suro," kata Katir seraya
melirik laki-laki
bertubuh tinggi tegap berotot yang tidak mengenakan baju.
"Grrr...! Mungkin ingin merasakan cambukku
lagi" geram Suro seraya mendetlk pada laki-laki tua itu. "Kau pikir aku takut
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan cambuk burutmu!" dengus Ki Rabul nekat.
"Setaaan...!" geram Suro yang tidak pernah bisa mengendalikan kemarahannya.
Seketika itu juga laki-laki tinggi tegap itu melompat cepat samba mengayunkan cambuknya yang
hitam dan berduri halus.Ctar! "Hup...!"
Tanpa diduga sama sekali, ternyata Ki Rabul
mampu berkelit menghindari ujung cambuk itu.
Bahkan sempat memberikan satu tendangan keras
ke arah perut Suro.
Bughk! "Heghk...!"
Suro yang tidak menduga kalau Ki Rabul
memiliki Ilmu dah kanuragan, jadi mendelik.
Tendangan keras kaki kurus itu tepat menghantam
perut, membuatnya langsung terbungkuk diiringi
keluhan kecil. Tendangan Ki Rabul memang-keras
sekali meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun itu sudah membuat
perut Suro Jadi
mual seperti ingin muntah.
"Setan...! Grrrh...!" Suro menggeram marah.
Tindakan Ki Rabul tadi juga sempat membuat
empat orang lainnya mendelik setengah tidak
percaya. Mereka sungguh kaget, karena tidak
menyangka kalau laki-laki tua yang kelihatan lemah itu mampu member! perlawanan.
Padahal, dua pekan yang lalu, Ki Rabul benar-benar-tidak punya daya sama sekali
"Yeaaah...!"
Sambil bertertak lantang, Suro kembali
melompat menenang Ki Rabul. Cambuknya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Ctar! Ctar! "Hup! Yeaaah...!"
Tangkas sekali Ki Rabul berlompatan sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang gencar datangnya dari laki-laki tinggi besar bagai raksasa itu.
Gerakan Ki Rabul
ternyata sungguh cepat dan lincah. Bahkan beberapa kali
memberikan serangan balasan, sehingga membuat
Suro sedikit kelabakan.
Pertarungan antara Ki Rabul melawan Suro,
membuat empat orang lainnya jadi terbengong.
Mereka jadi melupakan perhatiannya pada Lasini
yang sudah menggendong adiknya. Diam-diam gadis
itu menyingkir, dan berlindung di balik sebongkah batu. Sebenarnya Lasini tidak
ingin berbuat seperti
ini, yang dianggapnya sebagai pengecut. Namun,
keselamatan adiknya yang baru berusia tujuh tahun itu harus dipikirkan juga.
Sementara pertarungan antara Ki Rabul dan
Suro, semakin berlangsung sengit Masing-masing
mengeluarkan jurus-jurus dahsyat dan sangat
berbahaya. Namun kelihatannya, laki-laki tua itu masih mampu menandingi
kehebatan cambuk Suro.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Suro
mengebutkan cambuknya kuat-kuat Dan kali ini,
jurus andalannya yang dahsyat dikerahkan. Setiap kali cambuknya dikebutkan, maka
dari ujung cambuk itu memercik bunga api disertai kepulan
asap hitam. Kepulan asap hitam itu semakin lama
semakin menebal, menyelimuti tubuh Ki Rabul.
"Hiyaaa.J" Ctar!
"Aaakh...!"
*** 2 Dalam kepulan asap hitam yang membuat
pandangan mata terganggu, Ki Rabul tidak bisa
menghindari satu jilatan cambuk disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Ujung cambuk tepat menyengat dadanya, hingga
membuat kulitnya sobek hingga menembus daging. Darah langsung
mengaiir keluar dari dada yang sobek, begitu
panjang dan dalam. Ki Rabul terhuyung-huyung ke
belakang, sambil meringis merasakan perih pada
dadanya yang terluka.
Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai
keseimbangan tubuh, mendadak saja Suro sudah
melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Cambuknya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu dengan
pengerahan tenaga dalam
penuh, dikebutkan cambuk itu kuat-kuat ke arah
kepala Ki Rabul.
"Hiyaaa...!"
Ctr! Glarrr! Sunggyh dahsyat serangan yang dilakukan
Suro. Dari ujung cambuknya memercik bunga api
disertai kepulan asap hitam. Ujung cambuk itu
persis mengarah ke kepala Ki Rabul. Namun pada
saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat
menyambar tubuh laki-laki
tua itu. Akibatnya, hantaman cambuk Suro
hanya menyengat tanah kosong. Seketika tanah itu terbongkar membentuk lobang
yang lebar dan cukup dalam. "Setan...!" geram Suro begitu menyadari sasarannya lolos dari serangan.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depan laki-laki tinggi berotot itu sudah berdiri seorang pemu-da berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih. Pemuda itu menyangga tubuh Ki
Rabul yang kelihatan lemas akibat terlalu banyak mengeluarkan darah.
Diberikannya totokan di
sekitar luka di dada laki-laki tua itu, maka darah seketika berhenti mengalir.
Dari balik batu besar, keluar Lasini yang
diikuti adiknya. Gadis itu langsung mengambil Ki Rabul
dan membawanya ke beranda. Dibaringkannya laki-laki tua itu ke atas dipan
bambu. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi
putih itu masih berdiri tegak menghadapiSuro.
Empat orang lainnya bergegas menghampiri Suro,
dan berdiri di sampingnya.
"Heh! Siapa kau..."!" bentak Suro berang.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku!" dingin sekali Jawaban pemuda itu.
"Setan..! Berani kau menantang aku, heh..."!"
gera'm Suro semakin marah.
"Untuk manusia pengecut macam kalian,
tidak ada gunanya bersilat lidah!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju rompi
putih itu. Sambil menggeram dahsyat, Suro mengegoskan kepalanya. Maka seketika itu juga
empat orang temannya berlompatan mengepung
pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Suro
langsung melompat menyerang sambil mengebutkan
cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi."Hiyaaa...!"
Ctar! "Hup!"
Sukar dipercaya, pemuda itu tidak berkelit
sedikit pun. Bahkan tangkas sekali mengatupkan
kedua tangannya, langsung menjepit ujung cambuk
hitam berduri halus itu. Suro jadi terkejut bukan main. Dihentakkan cambuknya
kuat-kuat. Tapi
jepitan tangan pemuda itu kuat bukan main,
bagaikan sepasang penjepit besi baja!
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja dari arah samping kanan, melompat seorang berbaju
merah yang langsung mengayunkan tombaknya ke arah pemuda
berbaju rompi putih itu.
Suara mendesing dari kebutan tombak itu
membuat pemuda berbaju rompi putih jadi
tersentak sedikit Tapi dengan cepat diliukkan
tubuhnya seraya kakinya bergeser ke samping. Maka hentakan tombak itu hanya
mengenai angin kosong. Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih
itu mengibaskan kakinya ke arah orang yang
membawa tombak. Ternyata, dia adalah Katir.
'Yeaaah...!"
Bet! Tendangan kaki pemuda itu sungguh cepat,
sehingga Katir tidak mampu lagi berkelit. Apalagi pada saat itu, tubuhnya memang
sedang dalam keadaan doyong ke depan. Namun begitu, tubuhnya
masih berusaha ditarik ke belakang. Tapi,
tendangan pemuda itu masih Juga mengenai bagian
pinggangnya. "Akh...!" Katir memekik keras.
Tepat saat tubuh Katir terpental, pemuda
berbaju rompi putih itu melentingkan tubuhnya ke atas. Seketika dihentakkan
tangannya untuk
melepaskan Jepitan pada ujung cambuk hitam
berduri halus. "Whaaa...!"
Suro tersentak kaget, dan tubuhnya yang
besar itu tidak mampu lagi dikuasai. Dia langsung terpental, jatuh bergulingan
di tanah. Bersamaan
dengan itu, kaki pemuda berbaju rompi putih sudah melayang ke arah kepala Suro.
Tapi belum juga kaki pemuda itu menghantam
kepala Suro, mendadak saja dua orang berbaju biru melontarkan rantai besi baja
yang berbandul bola
berduri dari arah berlawanan. Suara lontaran
senjata rantai berbandul bola berduri itu mendesing keras, menderu-deru bagai
angin topan. "Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu cepat
melentingkan tubuhnya, lalu berputaran dua kali ke belakang. Dengan manis sekali
kakinya mendarat
di tanah. Kemudian, langsung diliukkan tubuhnya
ketika sebilah pedang berwama keperakan menyambar dengan kecepatan bagai kilat ke
arahnya. Pedang itu lewat sedikit di samping
pinggang pemuda itu.
"Yeaaah...!'
Pada saat yang sama, pemuda itu mengibaskan
tangannya, tepat menghantam pergelangan tangan
kanan Sarapat. "Akh...!"
Sarapat memekik keras agak
tertahan. Untung saja Sarapat cepat menarik tangannya, dan memindahkan pedang ke tangan kiri Dengan demikian, senjatanya
berhasil diselamatkan. Tapi sebelum dia melompat mundur, pemuda itu
sudah melayangkan satu tendangan yang keras
bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu tepat
menghantam dada Sarapat, sehingga membuatnya
terpental sambil memekik keras melengking.
Sarapat jatuh bergulingan di tanah, dan
punggungnya membentur sebatang pohon hingga
tumbang. Sarapat merintih lirih, sambil bergerak mencoba bangkit berdiri.
Bibimya menyeringai,
menahan sakit. *** Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak
sambil melipat tangan di depan dada. Dirayapinya lima orang yang kini tampaknya
harus berpikir seribu kali untuk melanjutkan pertarungan ini.
Mereka sallng berpandangan sesaat, kemudian
serentak berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung
cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat
itu. Sementara pemuda berbaju rompi putih masih
berdiri tegak memandangi lima orang yang memacu
kuda bagai dikejar setan. Pemuda itu baru berbalik setelah kelima orang itu
tidak terlihat lagi
bayangannya. Yang terlihat kini hanyalah kepulan debu yang membumbung tinggi ke
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkasa semakin menjauh. Pemuda berbaju rompi putih itu
melangkah menghampirl beranda depan. Tampak Ki
Rabul sudah bisa duduk, dan dadanya yang terluka sudah terbalut kain putih. Di
sampingnya, duduk
seorang gadis cantik sambil memangku bocah laki-laki berusia sekitar tujuh
tahun. Pemuda itu berdiri
di depan mereka.
"Bagaimana lukanya, Ki?" tanya pemuda itu lembut
"Ah, tidak apa-apa. Oh, ya.... Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Ki Rabul
"Ah, lupakanlah. Aku hanya kebetulan lewat, dan melihatmu tidak sanggup lagi
meneruskan pertarungan," kata pemuda itu merendah.
"Kau hebat sekali, bisa menandingi keroyokan mereka," puji Ki Rabul tulus.
Pemuda itu hanya tersenyum saja. Dia
memandang Lasini yang duduk di samping Ki Rabul
sambil memangku adiknya. Gadis itu kebetulan
sedang memandang pemuda tampan ini. Maka,
tanpa dapat dicegah lagi pandangan mereka pun
bertemu. Entah kenapa, tiba-tiba saja wajah gadis itu
menyemburat merah dadu. Buru-buru dipalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Anak
Muda?" tanya Ki Rabul.
"Rangga," sahut pemuda itu menyebutkan namanya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang
bernama Rangga yang lebih dikenal dalam rimba
persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tapi saat pemuda itu menyebutkan
namanya, mendadak
saja Ki Rabul terlonjak. Bahkan langsung turun dari pembaringan di beranda depan
pondok kecil ini.
Dirayapi pemuda berbaju rompi di depannya dalam-dalam, dari ujung kepala sampai
ke ujung kaki, seakan-akan ingin meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah.
"Ada apa, Ki" Apa ada yang salah pada
diriku?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Oh, tidak.... Apakah kau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" nada suara Ki Rabul
terdengar tergagap
dan ragu-ragu. Rangga hanya tersenyum saja, dan hanya
menganggukkan kepalanya. Memang orang lebih
mengenal julukannya daripada nama aslinya. Tidak banyak orang yang mengetahui
nama aslinya, kecuali hanya orang-orang tertentu saja. Mengingat itu,
Rangga jadi tertegun. Kini malah dia yang
memandangi Ki Rabul dalam-dalam.
"Oh! Tidak kusangka, ternyata aku bisa
bertemu seorang pendekar besar dan digdaya.
Sungguh beruntung sisa kehidupanku ini...," desah Ki Rabul dengan mata berbinar.
Laki-laki tua itu menggamit tangan Rangga,
dan mengajaknya duduk di dipan bambu. Sedangkan
Lasini hanya memperhatikan saja disertai kening
agak berkerut. Gadis itu tahu kalau pemuda inilah yang dulu pernah menolongnya
membawa Ki Rabul
ke pondok ini. Namun, Pemuda ini menghilang
begitu saja saat Lasini sibuk membersihkan luka -
luka di tubuh laki-laki tua itu. Kini pemuda itu muncul lagi, dan Ki Rabul
kelihatannya begitu
gembira. Lasini, kau harus berbangga karena pondokmu kedatangan seorang pendekar digdaya
yang tidak tertandingi saat ini," kata Ki Rabul.
"Ki, siapa dia sebenarnya?" tanya Lasini setengah berbisik dekat telinga Ki
Rabul Ki Rabul malah tertawa terbahak-bahak
mendengar pertanyaan gadis itu. Tentu saja hal ini membuat Lasini memberengut.
Ki Rabul menepuknepuk punggung tangan gadis itu. Bibirnya selalu tersenyum dan
bola matanya terus berbinar.
"Dia bernama Rangga, dan terkenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti. Memangnya, Kau belum
pernah mendengar tentang Pendekar Rajawali
Sakti?" kini Ki Rabul malah bertanya,
Lasini hanya diam saja. Dicobanya untuk
mengingat-ingat, tapi nama Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah
didengarnya. Namun
gadis itu akhirnya percaya saja, karena tadi telah melihat bagaimana pemuda tampan ini
mengusir lim aorang berkepandaian tinggi dan kelihatan sangat kejam.
Gadis itu kembali memandangi wajah tampan
yang duduk di samping kiri Ki Rabul. Sedangkan dia sendiri berada dismaping
kanan Ki Rabul. Jadi,
Ki Rabul seperti pembatas saja . Lasini kembali
mengalihkan pandangannya ke arah lain, begitu
Rangga juga menatap ke arahnya. Entah kenapa,
hatinya merasa tidak sanggup bila harus bertemu
mata. Malah jantungnya jadi berdebar kencang
setiap kali bertemu pandang denga pemuda itu.
Belum pernah dirasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Nak Rangga, kau berada disini bukan hanya
sekedar lewat saja, bukan" Aku yakin ada sesuatu sehingga kau berada di tempat
sepi dan terpencil
ini," tebak Ki rabul bernada sungguh-sungguh.
Sayang sekali, Ki. AKu sebenarnya hanya
sekedar lewat saja. AKu tidak punya kepentingan
di tempat ini, sahut Rangga Kalem.
"Oh! Kalau begitu, boleh kuminta bantuanmu...?"
"Bantuan apa, Ki?" tanya Rangga
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak
pernah menolak memberikan bantuan
pada siapapun bagi yang memerlukan. Terutama jika
menolong seseorang atau sekelompok orang yang
tertindas akibat kesewenang-wenangan. Terlebih
lagi, daerah ini tidak berapa jauh dari wilayah
Kerajaan Karang Setra. Tapi karena jiwa kependekarannya,
dia harus mengembara memberantas keangkara murkaan. Rangga tahu
meskipun daerah ini jauh dari pusat Kerajaan
Karang Setra, tapi masih termasuk wilayah kerajaan itu. Dan itu berarti, orang-
orang ini adalah
rakyatnya yang tentu tidak mengetahui tentang
rajanya. "Tentang mereka itu, Nak," kata Ki Rabul.
"Orang-orang yang hampir membunuhmu tadi?"
tanya Rangga ingin penegasan.
"Benar, Nak Rangga. Mereka orang-orang
kejam yang selalu menindas rakyat kecil. Aku
pernah hampir mati oleh mereka, kalau saja tidak ditolong Lasini dan adiknya
ini," jelas Ki Rabul.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum
saja. Dia sudah tahu, karena telah membantu Lasini dan adiknya membawa Ki Rabul
ke pondok ini. Memang kejadian itu sudah berselang sekitar dua
pekan lamanya, dan Lasini sendiri hampir melupakan pemuda itu. Tapi gadis itu
langsung ingat, hanya
saja tidak ingin banyak bicara.
"Kalau saja aku mampu, sudah dari dulu aku
menumpas mereka. Tapi aku tidak mampu. Mereka
terlalu kuat bagi orang tua sepertiku ini, Nak
Rangga," lanjut Ki Rabul bernada mengeluh.
Rangga hanya terdiam saja, tapi menyimak
penuh perhatian setiap kata yang diucapkan Ki
Rabul. Dari sikap orang-orang tadi, Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau
mereka adalah orang-orang kasar yang selalu bertindak dengan kekerasan dan kekejaman. Tapi
Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu permasalahannya, mengapa mereka hendak
membunuh orang tua ini..."
*** Malam sudah cukup larut. Sekitar pondok
kecil di tepi hutan itu terasa sunyi terselimut
kegelapan. Malam ini, bulan seperti enggan
menampakkan diri. Akibatnya sekeliling daerah itu begitu gelap, tanpa penerangan
sedikit pun Juga.
Mirip sebuah gua tanpa obor.
Di depan pondok, di bawah pohon kebembem,
Pendekar Rajawali Sakti duduk mencangkung
memandangi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.
Malam ini tidak ada angin berhembus, membuat
udara terasa panas. Bahkan kesunyian begitu
mencekam, sedikit pun tak terdengar suara
binatang malam menggerit. Sehingga, pemuda
berbaju rompi putih itu langsung bisa menangkap
ketika terdengar suara langkah kaki halus dari arah belakang. Kepalanya
berpaling dan mulutnya
langsung tersenyum begitu melihat Lasini menghampirinya.
"Belum tidur, Dik Lasini?" tanya Rangga setelah gadis itu dekat di sampingnya.
"Belum ngantuk," sahut Lasini seraya duduk di samping Rangga.
"Malam sudah begini larut...," desah Rangga.
"Ya, dan panas sekali," sambung Lasini pelahan.
"rasanya tidak akan terjadi sesuatu malam
ini," duga Rangga lagi.
"Kau sengaja menunggu mereka, Kakang?"
tanya Lasini ingin tahu.
"Aku hanya menduga saja. Biasanya, orang
seperti mereka selalu mencari kesempatan dalam
kesempitan. Terutama saat kita lengah. Maka
sudah sepatutnya kita tidak boleh lengah
sedikitpun dalam menghadapi orang seperti itu,"
jelas Rangga "Sepertinya kau sudah pengalaman sekali
menghadap orang-orang seperti mereka, Kakang,"
kata Lasini seperti ingin mengetahui tentang diri Pendekar Rajawali Sakti lebih
dalam lagi. Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Ditariknya
napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Memang Pendekar Rajawali Sakti sudah banyak
mengenyam pahit getirnya dunia persilatan. Rasanya tidak akan ada habisnya jika
harus bergelut di
dalam rimba yang penuh kekerasan, kedengkian dan keserakahan ini. Sepertinya,
Hyang Jagat Nata
memang sengaja menciptakan manusia untuk saling
bertentangan tanpa ada penyelesaian yang berakhir menyenangkan.
Tidak jarang Rangga harus menghadapi mereka yang merasa sakit hati, dan
ingin mencelakakannya.
Dendam memang selalu menyelimuti setiap
hati manusia, dan tidak akan pernah bisa
menyelasikan suatu persoalan. Dendam yang
berakhir akan melahirkan dendam baru yang lebih
dahsyat lagi. Itulah sebabnya Rangga tidak akan
pernah merasa dendam pada siapapun. Bahkan
selalu memberi pintu kesempatan bagi lawan -
lawannya yang ingin memperbaiki jalan hidupnya.
Tapi kemurahan hati Pendekar Rajawali Sakti ini
seringkali dimanfaatkan mereka yang ingin membalas dendam.
"Kakang...," tegur Lasini lembut
"Oh...!" Rangga tersentak dari lamunannya.
"Kok melamun..." Ingat kekasihnya, ya?" kata Lasini
Padahal dalam mengucapkan itu, Lasini
sempat menggigit bibirnya sendiri. Entah kenapa, gadis itu merasakan adanya
ketidaksenangan bila
pemuda tampan ini memiliki kekasih, dan sekarang sedang melamunkannya. Sedangkan
rangga hanya diam saja, lalu tersenyum seraya memalingkan muka memandang gadis disebelahnya.
Pandangan Rangga yang tiba-tiba itu, membuat Lasini gugup sendiri. Buru-buru dialihkan pandangannya kearah lain.
Mendadak saja hatinya
jadi tidak menentu, dan jantungnya berdetak
kencang tak beraturan lagi. Lasini merasakan
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seluruh aliran darahnya terbalik, ketika Pendekar Rajawali
Sakti mengambil tangannya dan menggenggam erat-erat.
"Tanganmu dingin sekali, Kau sakit...?" tanya Rangga merasakan tangan gadis itu
begitu dingin dna berkeringat.
"Ah! Tidak... aku tidak apa-apa..." sahut Lasini jadi tergagap.
Buru-buru ditarik kembali tangannya, dan
duduknya bergeser agak menjauh. Sementara
Rangga memandangi gadis itu lekat-lekat, sehingga membuat Lasini semakin serba
salah. Dia tidak
tahu lagi, seperti apa saat ini wajahnya. Yang jelas
seluruh wajahnya terasa jadi panas seperti
terbakar. Pemuda tampan ini benar-benar telah
membuatnya seperti orang bodoh. Perasaannya
bagai tikus kepergok mencuri ikan, dikelilingi
puluhan kucing liar.
"Ma..., maaf. Aku akan tidur dulu," kata Lasini masih tergagap.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri. Tapi saat
itu, sebuah benda bercahaya keperakan melesat
bagaikan kilat ke arahnya. Rangga yang mengetahui lebih dahulu, langsung
tersentak kaget.
"Awas...!" seru Rangga keras.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat menerkam Lasini yang juga terkejut mendengar
teriakan tadi. Namun
belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba sepasang tangan sudah memeluk
pinggangnya, sehingga membuat keseimbangan tubuhnya jadi
tidak terkendali.
"Akh...!" Lasini memekik kecil.
Gadis itu jatuh bergulingan bersama Rangga
yang masih memeluk pinggangnya kuat-kuat. Maka,
benda bercahaya keperakan itu melesat lewat di
atas tubuh mereka. Benda keperakan itu langsung
menghantam pohon tempat tadi mereka duduk,
hingga langsung hancur berkeping-keping
menimbulkan ledakan dahsyat. Rangga langsung
melompat bangkit berdiri sambil menarik tangan
gadis itu. Lasini tersentak lalu berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa...?" tanya Lasini tidak mengerti.
Belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak
terdengar tawa keras menggelegar. Baik suara tawa maupun suara ledakan akibat
pohon yang hancur
tadi, membuat Ki Rabul dan Badil terbangun dari
tidurnya. Laki-laki tua itu cepat menyambar tubuh
bocah itu dan menggendongnya. Sambil menyambar
golok yang berada di atas meja, Ki Rabul melompat ke luar menjebol pintu. Laki-
laki tua itu langsung
mendarat di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, suara tawa masih terdengar menggema
seperti datang dari segala penjuru mata angin.
"Ha ha ha...!"
"Hm...," gumam Rangga pelahan.
*** 3 Bersamaan dengan berhentinya suara tawa
itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua berjubah merah menyala Di tangannya
tergenggam sebatang
tongkat panjang yang melewati tinggi tubuhnya.
Yang lebih aneh lagi, seluruh rambutnya berwama
merah bagai terbakar. Kakek itu tertawa terkekeh seraya melangkah mendekali. Dia
baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan Pendekar
Rajawali Sakti yang diapit
Lasini dan Ki Rabul.
"Iblis Racun Merah...! Ada apa dia ke sin!...?"
desis Ki Rabul mengenali laki-laki tua yang serba merah Itu.
Gumaman Ki Rabul yang begitu pelan, masih
bisa terdengar juga oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan pemuda berbaju rompi putih itu melirik sedikit pada Ki Rabul yang masih
menggendong bocah
kecil berusia sekitar tujuh tahun. Mata tanpa dosa itu malah memandangi laki-
laki tua yang dirasakannya sangat aneh.
"He he he.... Kau pasti yang bernama Ki
Rabul!" kata laki-laki aneh berjubah merah itu seraya menunjuk Ki Rabul.
"Benar!" sahut Ki Rabul tegas. "Ada apa kau mencariku, Iblis Racun Merah?"
"Ha ha ha...!" laki-laki tua berjubah merah yang dipanggil Iblis Racun Merah itu
tertawa terbahak-bahak Suara tawanya begitu keras
menggelegar, menyakitkan gendang telinga. Sampai-sampai, Badil menutup telinga
dengan kedua tangannya. Rangga tahu kalau tawa itu mengandung
pengerahan tenaga dalam. Maka Pendekar Rajawali
Sakti langsung mengambil Badil dari gendongan Ki Rabul, kemudian menyerahkannya
pada Lasini. Segera disuruhnya Lasini agar membawa adiknya
menyingkir sejauh mungkin. Tanpa membantah
sedikit pun, gadis itu pergi. Tapi dia tidak pergi jauh, dan pandangannya
terarah pada mereka yang
berada di depan pondoknya.
"Dengar, Ki Rabul! Aku datang untuk
menagih hutang padamu!" tegas Iblis Racun Merah, namun terdengar dingin nada
suaranya. "Hm..., kita belum pernah bertemu. Jadi,
bagaimana aku merasa pernah punya hutang
padamu?" sahut Ki Rabul datar.
"Memang kau tidak secara langsung berhutang, tapi anakmu telah berhutang nyawa
padaku!" bentak si Iblis Racun Merah lantang.
Ki Rabul tersenyum sinis. Terdengar dengusan napasnya yang keras. Sementara Rangga
hanya diam saja mendengarkan. Sungguh tidak
disangka kalau laki-laki tua ini begitu banyak
mempunyai musuh. Bahkan yang menginginkan
kemauannya adalah tokoh-tokoh rimba persilatan
kelas tinggi. Seperti siang tadi, lima orang
berkemampuan cukup tinggi telah datang dan ingin membunuhnya. Dan sekarang,
muncul seorang laki-laki tua aneh berjubah merah yang seluruh
rambutnya berwama merah menyala. Dia juga
menginginkan kematian Ki Rabul.
Rangga jadi bertanya-tanya, siapa sebenamya
Ki Rabul ini" Namun belum juga pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti itu terjawab, mendadak
saja laki-laki berjubah merah yang berjuluk Iblis Racun Merah itu sudah melompat
bagaikan kilat menerjarig Ki Rabul. Tongkat merah yang bagian
atasnya berbentuk kepala tengkorak manusla itu
dikebutkan keras, sehingga menimbulkan suara
angin menderu bagai topan.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Cepat sekali Ki Rabul melompat ke belakang,
sehingga tebasan tongkat itu hanya mengenai
tempat kosong. Sementara Rangga yang tadi berada di sampingnya, jadi terkejut.
Ternyata Pendekar
Rajawali Sakti merasakan adanya hembusan angin
keras dan terasa panas. Maka cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Tepat pada
saat itu, si Iblis
Racun Merah mengibaskan ujung tongkatnya ke
arah pemuda berbaju rompi putih itu.
"Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali
Sakti, karena si Iblis Racun Merah mampu memutar tongkat demikian cepat luar
biasa dan tidak
terduga sama sekali. Biasanya seseorang yang
menghantamkan tongkat dari atas ke bawah, harus
menarik dulu tongkatnya sebelum melakukan
serangan kembali. Tapi laki-laki tua berjubah merah itu malah langsung memutar
tongkatnya, lalu
mengibaskan ke samping tanpa menghentikan
gerakan arus tongkatnya. Hal ini membuat Rangga
harus mengakui kehebatan si Iblis Racun Merah.
Kalau saja Rangga tidak cepat menarik
kakinya ke belakang, sudah pasti ujung tongkat si Iblis Racun Merah akan
menghantam tubuhnya.
Namun serangan laki-laki tua itu hanya lewat di
depan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun
serangannya luput, namun sudah membuat Rangga
sedikit terhuyung terkena angin sambaran tongkat itu.
"Gila...!" dengus Rangga dalam hati.
"He he he...!" Ibfis Racun Merah tertawa terkekeh sambil menarik pulang
tongkatnya. Segera
dihentakkan ujung tongkatnya ke tanah di ujung
jari kaki Sementara itu Ki Rabul menggeser kakinya,
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Laki4aki tua
itu sudah siap mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Se?dangkan Rangga
hanya berdiri tegak,
menatap tajam tanpa berkedip ke arah laki-laki tua berjubah merah itu. Suara
tawa si lbiis Racun
Merah masih terdengar sumbang.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda Kuharap
kau tidak mencampuri urusan pribadiku dengan Ki
Rabul!" tegas Iblis Racun Merah, dingin nada suaranya.
"Hm...," Rangga hanya bergumam kecil.
"Menyingkirlah, Pendekar Rajawali Sakti! Ini bukan urusanmu, tapi urusan
pribadiku dengan
manusia pengkhianat itu!" bentak si Iblis Racun Merah, lantang nada suaranya.
"Dia tidak akan menyingkir! Aku sudah
memintanya untuk melindungiku!" dengus Ki Rabul tegas.
"Phuah...!" Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Laki-laki tua berjubah merah itu menatap Ki
Rabul tajam, kemudian beralih pada pemuda
berbaju rompi putih yang berada di samping laki-laki tua itu. Sorot matanya
memerah dan begitu
tajam, seakan-akan ingin menghanguskan dua orang yang
berada di depannya.
"Dengar, Iblis Racun Merah. Sebenamya
urusanmu bukan denganku, tapi dengan anakku!
Dan sekarang, aku punya hak untuk mendapatkan
seorang pembela yang akan menghadapimu, atau
siapa saja yang mencoba mengganggu kehidupanku!"
tegas Ki Rabul.
"Ha ha ha...!" Iblis Racun Merah tertawa terbahak-bahak, dan langsung menatap
Pendekar Rajawali Sakti. "Bagus! Jika kau memang benar berada di belakang manusia busuk
itu, berarti aku
tidak perlu lagi bersusah-payah mencarimu untuk
bertanding, Pendekar Rajawali Sakti. Sudah lama
aku ingin bertemu denganmu. Kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih
berhak menguasai rimba
persilatan!"
Mendengar hal itu, Rangga jadi mendengus
keras. Pendekar Rajawali Sakti paling tidak suka mendengar tantangan yang
bernada pongah.
Baginya, Bdak ada seorang pun yang bisa menguasai seluruh dunia. Saat ini,
mungkin dirinya memang
yang paling tangguh. Tapi bukannya tidak mustahil bakal ada orang lain lagi yang
lebih tinggi ilmunya daripada dirinya. Atau mungkin di belahan bumi
lain, ada yang lebih tinggi lagi saat ini. Yang pasti, tingginya gunung, masih
lebih tinggi langit Dan di
atas langit, masih ada yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya.
Trak! Iblis Racun Merah menghentakkan tongkatnya hingga menyilang di depan dada.
Digenggamnya bagian tengah tongkat merah itu
dengan kedua tangannya. Pelahan kakinya bergeser ke samping, setengah memutari
tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Rabul Pandangan matanya
begitu tajam rnenusuk, seakan-akan tengah
mengukur tingkat kepandaian dua orang lawannya
itu. "Aku minta kau menyingkir lebih dahulu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan
menyeiesaikan urusanku dulu dengan manusia pengkhianat itu!"
datar dan dingin sekali nada suara si Iblis Racun Merah.
Sebentar Rangga melirik Ki Rabul. Rupanya
Pendekar Rajawali Sakti tengah mempertimbangkan
permintaan iaki-Iaki berjubah merah itu. Sedangkan Ki Rabul hanya menatap
Rangga. Sinar matanya
menyiratkan permohonan kepada Pendekar Rajawali
Sakti agar dirinya tidak sampai bertarung melawan laki-laki berjubah merah itu.
Dari sorot mata Ki
Rabul, Rangga sudah bisa mengerti. Maka didorong halus dada laki-laki tua itu
agar ke belakang. Ki
Rabul tersenyum
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senang. Bergegas kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu.
"Phuih! Keparat kau Rabul...!" geram si Iblis Racun Merah.
*** Iblis Racun Merah benar-benar geram akan
sikap Ki Rabul yang dianggapnya pengecut.
Sepertinya, laki-laki itu hanya melindungi dirinya sendiri di belakang nama
besar Pendekar Rajawali
Sakti. Namun laki-laki berjubah merah yang kini
sudah berhadapan dengan Rangga, tidak mungkin
lagi menarik mundur. Mulutnya tadi sudah
sesumbar akan menantang pendekar muda itu
dalam pertarungan tunggal.
"Kau tadi mengatakan ingin menantangku,
Kisanak. Nah, sekarang aku sudah siap menerima
tantanganmu," tegas Rangga.
"Huh! Kau terlalu pongah, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Iblis Racun Merah.
Pendekar Rajawali Sakti merentangkan tangannya. Dipersilakannya laki-laki tua berjubah merah itu untuk menyerang
lebih dahulu. Melihat
pemuda berbaju rompi putih itu sudah siap
menerima serangan, Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya. Dari sikapnya, terlihat
jelas kalau laki-laki tua berjubah merah itu ragu-ragu dalam menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti.
"Phuih! Kepalang tanggung!" dengus Iblis Racun Merah dalam hati. Iblis Racun
Merah memang tidak bisa lagi melakukan apa-apa, selain harus bertarung melawan
Pendekar Rajawali Sakti.
Mulutnya sudah sesumbar untuk menantang
pemuda berbaju rompi putih itu. Jika sampai
diurungkan, sudah pasti seluruh rimba persilatan akan menertawakannya. Maka tak
akan ada lagi tempat baginya di dunia ini jika hal itu terjadi Bahkan pendekar tanggung pun
akan menantang bertarung tanpa menghiraukan julukannya yang
sudah membuat tokoh-tokoh rimba persilatan harus berpikir dua kati jika harus
berhadapan dengannya. Kini, Iblis Racun Merah harus menghadapi
seorang pendekar digdaya yang sangat ditakuti dan disegani, baik oleh golongan
putih maupun golongan hitam. Dan semua itu karena berbicaranya tidak
dipikirkan lebih dahulu. Jelas kalau perkataannya tadi sudah menyinggung, dan
diterima bulat-bulat
Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh persilatan tidak akan undur setapak pun
jika menerima tantangan terbuka seperti ini
"Silakan, kau yang menjual dan aku siap
membeli daganganmu," kata Rangga kalem.
"Phuih!"
lagi-lagi Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya.
Pelahan laki-laki berjubah merah itu menggeser kakinya ke samping. Tongkatnya diputar pelahan di depan dada.
Pandangan matanya
begitu tajam menusuk, Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak dengan
tangan merentang
terbuka ke samping. Bibirnya tidak pernah lepas
menyunggingkan senyuman.
"Hup! Hyeaaa...!"
Sambil berteriak keras melengking tinggi, laki-laki tua berjubah merah itu
melompat menerjang
sambil mengibaskan ujung tongkatnya tiga kali ke beberapa bagian tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
Namun manis sekali, Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan si Iblis Racun
Merah. Sedikit pun kakinya tidak bergeser, tapi
serangan laki-laki tua itu tidak mengenai sasaran sama sekali. Tentu saja hal
ini membuat si Iblis
Racun Merah jadi geram bukan main.
"Setan! Hiyaaat...!"
Iblis Racun Merah memperhebat serangan-serangannya. Seluruh "kekuatan tenaga
dalamnya dikerahkan, dan langsung disalurkan pada tongkatnya. Sehingga tongkat merah itu semakin
bersinar bagai terbakar. Hebatnya, setiap kebutan tongkatnya selalu mengeluarkan
hawa panas menyengat. "Hawa racun...," desis Rangga dalam hati. , Dan memang, si Iblis Racun Merah sudah
mengeluarkan jurus andalannya yang paling ditakuti.
Jurus Tongkat Beracun'. Suatu jurus berbahaya
yang mengandung hawa racun pada setiap kibasan
tongkatnya. Racun itu sangat dahsyat dan
mematikan. Biasanya, lawan yang berhadapan
dengannya tidak akan tahan lama bila menghirup
udara yang sudah tercemar racun itu. Lawan akan
menjadi pening, dan seluruh tubuhnya menjadi
panas seperti terbakar.
Sementara Rangga melayani laki-laki tua
berbaju merah itu dengan menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajalb'. Suatu jurus yang sering digunakan jika bertarung satu
Pendekar Muka Buruk 3 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Anak Harimau 3
Satria Baja Hitam
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Puji S
Gambar Sampul oleh Henky
Hak cipta pada penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
Dalam episode: Satria Baja Hitam
128 ghal ; 12x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Ctar! "Akh...!"
Geletar lidah cambuk ditingkahi pekik
kesakitan menyayat, memecah kesunyian dl pagi
buta lni Dl pinggiran sebuah desa, tampak seorang laki-lakl tua tengah terikat
di bawah sebatang
pohon. Punggungnya tampak pecah-pecah memerah
mengucurkan darah. Tidak Jauh dari situ, tampak
seorang lakl-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot tengah mengayunkan
cambuknya. Di sekitarnya
beberapa orang laki-laki malah tersenyum-senyum
diiringi tawa terkekeh.
"He he he.,."
"Akhl Aaakh...!
"Cukup..." tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Suara bentakan itu datang dari seorangg laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun lebih, yang
mengenakan baju sutra halus, bersulamkan benang
emas. Sebagian rambutnya sudah berwarna putih.
Namun wajahnya masih menampakkan kegagahan.
Kakinya melangkah menghampiri laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang
cambuk. Laki-Iaki
tegap bertelanjang dada itu melangkah mundur
beberapa tlndak.
"Kau masih juga suka tutup mulut, Ki Rabul?"
dingin sekali suara laki-laki setengah baya itu.
Dijambaknya rambut laki-laki tua yang terikat
di pohon dalam keadaan sangat payah itu, sehingga kepalanya terdongak. Seluruh
rongga mulutnya
dipenuhi darah yang menetes membasahi tubuhnya.
Meskipun dalam keadaan tidak berdaya, namun
sinar matanya begitu tajam menusuk langsung ke
bola mata laki-laki yang menjambak rambutnya.
"Dengar, Orang Tua. Aku bisa membuatmu
lebih parah lagl. Bahkan mudah sekali mengirimmu ke neraka!" desis laki-laki
setengah baya itu
datar. Begitu dingin nada suaranya terdengar.
Tapi laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak
mengenakan baju itu hanya diam membisu saja.
Hanya tatapan matanya saja yang tajam menusuk
"Katakan, di mana anakmu sekarang berada?"
tanya laki-laki setengah baya itu mendesis dingin.
"Kau berurusan dengan anakku, Barada. Lalu
mengapa kau siksa aku" Pengecut...!" dengus laki-laki tua yang dipanggil Ki Rabul.
Kesempatanmu untuk hidup hanya sekali saja,
Ki Rabul. Kau dengar, aku tidak bisa bermain-main lagi" ancam Barada bersungguh-
sungguh sekali.
"Phuih!" Ki Rabul menyemburkan darah yang menggumpal dl mulutnya.
Cairan merah itu langsung muncrat, dan
menimpa wajah Barada. Hal ini membuat laki-laki
setengah baya itu semakin bertambah berang.
Mulutnya menggeram sambil menyeka darah yang
memenuhi wajah. Maka tiba-tiba saja, tangannya
melayang menampar wajah tua kurus itu. Plak!
"Akh!" Ki Rabul terpekik keras.
Kepalanya sampai bergetar akibat tamparan
keras. Barada menghentakkan kakinya, dan berbalik. Dipandanginya lima orang yang hanya diam saja, dan berslkap seperti
seorang jago tak
tertandingi. "Bunuh orang tua keparat ini!" perintah Barada keras.
Laki-laki bertubuh ringgi tegap yang otot-ototnya bersembulan, melangkah maju.
Dihentak - hentakkan cambuknya. Suara geraman terdengar
dari bibir yang menyeringai buas, bagai seekor
srigala lapar melihat setumpuk daging segar.
Sepasang bola matanya merah menyala, menyorot
tajam pada tubuh kurus yang sudah babak belur
tersengat cambukannya.
Ctarl Kembali orang itu mengayunkan cambuknya.
"Akh....!" Ki Rabul kembali memekik keras tertahan.
Geletar cambuk menjilat tubuh kurus itu
berkali-kali, disertai pekikan tertahan yang sangat memilukan.
Sementara yang lainnya hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Barada
menyeka darah yang melekat di wajahnya dengan
selembar kain putih dari sutra halus.
"Aaa...!" tiba-riba Ki Rabul menjerit, Sebentar kepalanya terdongak ke atas, lalu
terkulai disertai
mata terpejam. Ujung cambuk masih menjilat
tubuhnya, tapi laki-laki tua kurus itu tidak lagi bersuara. Laki-laki bertubuh
tinggi tegap itu
menghentikan cambukannya, Ialu berbalik menghadap Barada.
"Dia sudah mati, Suro?" tanya Barada, datar nada suaranya.
"Mungkin pingsan, Gusti," sahut orang
bertubuh tinggi tegap dan berotot kekar Itu.
"Biarkan dia di situ, supaya jadi santapan
binatang hutan. Bakar rumahnya!" dengus Barada.
Setelah berkata demlkian, laki-laki setengah
baya itu berbalik dan berjalan menghampiri kudanya yang tertambat di depan
sebuah pondok kecil
dari bilik bambu. Sedangkah empat orang lainnya segera menyalakan obor. Mereka
melemparkan obor
itu ke atas atap pondok Maka seketika api langsung
membesar membakar pondok itu. Mereka mengambil kuda masing-masing, lalu melompat naik Sedangkan Suro masih berdiri
tegak di dekat tubuh Ki Rabul yang terkulai tak sadarkan diri
"Suro...! Ayo pergi dari sinl!" bentak Barada memerintah.
Suro membungkuk sedikit memberi hormat,
kemudian langsung melompat naik ke punggung
kudanya yang berwarna hitam, ringgi, dan tegap.
Gerakannya sungguh ringan, pertanda tingkat
kepandaiannya cukup ringgi. Sebentar kemudian,
enam ekor kuda berpacu cepat meninggalkan
tempat itu. Meninggalkan seorang laki-laki tua yang pingsan akibat dicambuk
tanpa henti. Sementara
api semakin membesar merobohkan bangunan
pondok kecil yang seluruhnya dari kayu dan bambu itu. Percikan bunga api
menyebar ke segata arah,
disertai letupan kecil Api terus membesar, tak bisa dicegah lagi. Sedangkan di
bawah pohon, Ki Rabul
masih terikat dengan kepala terkulai tanpa daya.
Tak ada seorang pun yang menyaksikan
kejadian itu, kecuali seorang bocah kecil yang
bersembunyi di balik sebatang pohon. Dia sejak tadi memang menyaksikan semua
kekejaman itu. Bocah kecil itu baru keluar setelah derap langkah kaki kuda tidak terdengar lagi.
Bergegas dihampirinya Ki
Rabul yang masih belum juga sadarkan diri.
"Ki.... Ki...," panggil bocah kecil itu.
Suaranya terdengar pelan dan agak tersendat
Dipandangjnya tubuh Ki Rabul yang hancur
terhantam cambuk Kemudian dia memandangi
wajah laki-laki tua itu. Dari mulut Ki Rabul masih menetes darah segar.
"Ki...," suara bocah laki-laki itu mulai tersendat Anak itu tidak tahan juga
melihat keadaan tubuh Ki Rabul. Dia kemudian menangis
sesenggukan sambil memanggil-manggil laki-laki tua Itu supaya bangun.
Namun laki-laki tua Itu tetap saja diam
dengan kepala terkulai lemas.
*** "Ohhh...," Ki Rabul merintih Iirih.
Kepala laki-laki tua kurus itu menggeleng
pelahan, lalu kelopak matanya mulai terbuka
pelahan pu!a. Namun pandangannya begitu kabur,
sehingga tidak bisa melihat jelas. Ki Rabul kembali memejamkan matanya. Sebentar
kemudian kembali matanya terbuka. Perlahan pandangannya menjadi
terang, dan kini bisa melihat jelas.
Ki Rabul memandangi sekitarnya. Sungguh
hatinya berharap kalau sekarang sudah berada di
alam akherat. Tapi begitu melihat bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun
duduk di dekatnya, Ki
Rabul langsung sadar kalau dirinya belum mati. Dan kini dirinya berada di dalam
sebuah pondok yang
berdinding anyaman bambu.
"Kak."! Dia sudah sadar...!" teriak bocah itu keras.Tidak berapa lama kemudian,
muncul seorang gadis berwajah cukup cantik. Bajunya berwarna
merah muda, dan nampak ketat, sehingga
membentuk lekuk tubuhnya yang ramping padat
berisi. Langsung dihampirinya dipan bambu yang
ditiduri Ki Rabul. Anak laki-laki berusia tujuh
tahun itu menyingkir, memberi tempat pada gadis
yang baru datang.
"Oh, siapa kalian" Dan di.mana aku ini...?"
tanya Ki Rabul, lemah suaranya.
"Aku Lasini, dan ini adikku. Namanya, Badil,"
sahut gadis itu rnemperkenalkan diri.
"Ohhh...," Ki Rabul kembali mengeluh luih
"Kau berada di pondok kami, Ki," sambung Lasini."Aku menemukanmu pingsan terikat
di pohon," celetuk Badil.
"Terima kasih, kalian baik sekali," ucap Ki Rabul lirih.
"Lukamu cukup parah, Ki. Istirahatlah dulu, jangan banyak bergerak dan bicara,"
ujar Lasini lembut.
"Terima kasih," ucap Ki Rabul lagl
Lasini bangkit berdiri.
"Nak...," panggil Ki Rabul.
Lasini yang akan melangkah pergi, jadi
mengurungkan niatnya. Tubuhnya diputar, memandang laki-laki tua kurus yang terbaring tanpa daya di dipan bambu itu.
Hanya selembar tikar
pandan lusuh menjadi alasnya.
"Kaliankah yang membawaku ke slnl?" tanya Ki Rabul ingin tahu
"Tidak. Kami dibantu seorang pengembara
yang kebetulan lewat," sahut Lasini berterus terang.
"Siapa pengembara itu" Apakah dia sudah
pergi?" "Sudah. Dia langsung pergi. Sayang sekali, aku lupa menanyakan namanya tadi."
Ki Rabul menghembuskan napas panjang
seraya memejamkan rnatanya. Sebentar Lasini masih memandangi laki-laki tua itu,
kemudian keluar
sambil mengajak adiknya. Mereka menutup pintu
setelah berada di luar pondok kecil itu, kemudian sama-sama duduk di bawah pohon
sambil memiiihmillh kedelai yang akan dijadikan bibit.
"Kasihan Ki Tua itu, ya Kak..?" ujar Bad!!.
"Yaaah...," sahut Lasini mendesah.
"Mereka kejam sekali, Kak. Mereka memukul
dan mencambukinya sampai pingsan begitu. Ih...,
serem, Kak," celetuk Badil lagi.
"Badil...."
"Ya, Kak...?"
"Lain kali kalau melihat mereka lagi, kamu
pergi saja. Jangan sekali-sekali mengintip. Berbahaya! Coba kalau mereka melihatmu tadl.
Bisa-bisa kau
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang malah didera," Lasini memperingatkan.
"Kalau aku dicambuk... Aku past melawan,
Kak!" Badil menyombongkan diri.
"Memangnya kamu beranl?" goda Lasini
mencibir. "Berani! Tapi kalau sudah besar, Kak. Badil kan masih kecil, mana mungkin bisa
melawan orang besar?""Dil..., Badil. Lagakmuseperti pendekarsaja."
"Aku memang ingin jadi pendekar kalau sudah besar nanti. Biar tidak ada orang
yang mengganggu
Kakak Pokoknya kalau ada yang berbuat jahat pada Kakak, pasri Badil bacok!"
Lasini hanya tertawa saja mendengar ocehan
anak kecil Itu. Namun suara tawanya terdengar
sumbang. Meskipun tertawa, tapi dari slnar
matanya terlihat adanya kedukaan yang tersembunyi cukup dalam di hati.
"Kak Lasini tidak percaya kalau aku sudah
besar nantj ingin jadl pendekar" Nih, lihat! Ciaaat..!"
Badil bangkit berdiri, dan langsung memperagakan beberapa jurus silat Tapi belum lama berlagak, kakinya terantuk
sebatang akar pohon,
lalu tubuhnya pun jatuh terjerembab.
"Aduh...!" pekik Badil.
Lasini jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat
bocah itu meringis sambil memijat-mijat pinggangnya. "Sakit..?" goda Lasini.
"Tidak! Calon pendekar tidak boleh mengeluh sakit!" sahut Badil mantap.
Lasini hanya tersenyum saja. Ada kebahagiaan
bila sedang bercanda dengan anak ini. Badil seorang bocah lucu, cerdas, dan
berani. Dia selalu saja
bisa cepat menangkap setiap kata-kata dan gerakan ilmu olah kanuragaa Meskipun
tadi gerakannya
tidak beraturan, namun cukup diakui kalau beberapa
jurus yang biasa dilatih Lasini setiap pagi, bisa diserap cepat oleh anak ini.
Padahal Lasini hanya latlhan sendiri saja. Dan
biasanya, Badil selalu mengikuti setiap gerakan -
gerakannya. Tidak pernah Badil meminta diajarkan, tapi anak itu tidak pernah
terlambat mengikuti
latihan yang dilakukan Lasini setiap pagi, Bahkan kalau malam hari, saat Lasini
tengah melatih tenaga
dalam dengan bersemadi, bocah itu selalu mengikuti duduk bersila. Memang, Badil
belum tahu maksudnya Tapi bocah itu sudah bisa menangkap,
kalau hendak menjadi seorang pendekar harus
sering berlatih ilmu olah kanuragan.
"Badil, kau benar ingin jadi pendekar?" tanya Lasini setelah Badil kembal! duduk
di dekatnya. "Jelas dong, Kak," sahut Badil mantap.
"Kalau kau bersungguh-sungguh, mulai besok
pagi aku akan mengajarkanmu beberapa jurus. Kau
mau?""Tentudong, Kak...!" sarnbut Badil gembira.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Seorang pendekar tidak boleh sombong,
tidak boleh main pukul, dan tidak boleh tinggi hati.
Apalagi berkata kasar, malas dan menjelek-jelekkan orang lain. Apa kau
menyanggupi syarat itu?"
"Sanggup!" sahut Badil tanpa berpikir panjang Tapi
semua kata-kata yang diucapkan kakaknya ini meresap dalam hati sanubarinya.
Bahkan semua kata-kata itu diulang di kepalanya
hingga benar-benar melekat
'Tapi latihannya berat, Dil," kata Lasini lagi.
'Tidak ada kata berat bagi seorang pendekar,
Kak! mantap kata-kata Badil.
Lasini tersenyum. Diusap-usapnya kepala
adiknya ini. Badil tampak senang, lalu tersenyum cerah dengan bola mata
berbinar. Sudah lama dia
ingin sekali mempelajari ilmu olah kanuragan, dan baru sekarang kakaknya
bersedia untuk melatihnya. Dalam hati, bocah itu berjanji untuk patuh dan
menuruti kata-kata kakaknya ini. Bagaimanapun
beratnya, harus dijalankan untuk bisa menjadi
seorang pendekar.
*** Sudah lebih dari dua pekan Ki Rabul hanya
terbaring saja di dipan bambu. Segala keperluannya selalu disediakan kakak
beradik yang menolong
dan membawanya ke tempat ini. Meskipun Lasini dan
Badil melayani dan merawatnya dengan senang hati, tapi perasaan laki-laki tua
ini jadi tidak enak
juga. Ki Rabul sudah merasa sehat dan bisa turun dari
pembaringan, tapi Lasini belum boleh mengijinkannya.
Pagi ini Ki Rabul merasakan tubuhnya benar-benar segar. Laki-laki tua itu turun
dari pembaringan bambu ini, kemudian pelahan berjalan ke pintu. Dibukanya pintu itu
pelahan-lahan sekali. Telinga tuanya langsung mendengar suara-suara
orang sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Dari
suara-suara yang terdengar, Ki Rabul sudah bisa
memastikan kalau mereka adalah Lasini dan adiknya yang sedang berlatih.
Ki Rabul melangkah menuju arah suara-suara
itu. Dan temyata dugaannya tidak meleset Tidak
jauh di samping pondok kecil ini, terlihat Lasini sedang memperagakan jurus-
jurus tangan kosong.
Sementara di belakangnya, Badil mengikuti dengan gerakan-gerakan lucu. Namun
sesaat kemudian,
laki-laki tua itu jadi tertegun. Dipandanginya Badil tanpa berkedip.
"Hm.... Anak itu mempunyai bakat bagus, dan susunan tulang-tulartgnya juga bagus
sekali," gumam Ki Rabul.
Laki-laki tua itu jadi tertegun diam, namun
tidak menyadari kalau Lasini sudah menghentikan
latihannya. Dihampirinya laki-laki tua itu. Badil bergegas mengikuti. Ki Rabul
baru tersadar begitu
mendengar teguran lembut gadis itu.
"Kenapa bangun, Ki?"
"Aku sudah sehat, Lasini. Tidak enak rasanya jadi orang jompo yang hanya
terbaring saja di
tempat tidur," sahut Ki Rabul.
"Memangnya Aki sudah benar-benar sehat?"
tanya Badil polos.
"Sudah. Kau lihat sendiri, tidak ada lagi luka di tubuhku. Aku benar-benar sudah
sehat sekarang, dan ingin melihat kalian berlatih."
"Ah! itu tadi hanya sekadar bermain-maln saja, Ki. Untuk kesehatan badan,"
Lasini merendah.
"Tapi kulihat, jurus-jurus yang kau mainkan sangat mantap dan bagus."
"Ki Rabul juga bisa ilmu olah kanuragan...?"
tanya Lasini. Tidak, tapi...," ucapan Ki Rabul terputus.
Mendadak saja wajah laki-laki tua kurus itu
jadi mendung. Tampak bola matanya berkaca-kaca.
Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Lasini jadi tertegun melihat perubahan wajah laki-laki tua ini.
"Maaf kalau aku telah menyinggung perasaanmu," ucap Lasini menyesal.
"Oh, tidak... Tidak sama sekali. Aku hanya
teringat anakku," kata Ki Rabul buru-buru.
"Oh..., di mana anak Aki sekarang?" tanya Lasini"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu.
Dia anak baik dan
patuh pada orang tua. Kepandaiannya juga tinggi Tapi.... Yahhh..., nasibnya memang
malang," lirih sekali nada suara Ki Rabul.
Lasini memandangi wajah laki-laki tua itu
dalam-dalam. Terasa ada kesenduan pada sorot
matanya yang cekung, masuk ke dalam. Sepasang
bola mata tua itu berkaca-kaca. Beberapa kali Ki Rabul menghembuskan napas
panjang dan terasa
berat sekali. Untuk beberapa saat, mereka hanya
diam membisu saja.
Saat mereka tengah berdiam diri, tiba-tiba
saja terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat ke arah pondok ini.
Mereka semua mengangkat kepala, berpaling ke arah suara berasal.
Sesaat mereka hanya diam terpaku, melihat kepuian debu di udara yang semakin
mendekat Mereka
saling berpandangan sesaat Lasini menarik tangan adiknya, dan membawanya ke
belakang tubuhnya
sendiri. Tak berapa lama kemudian, terlihat lima
orang penunggang kuda. Semakin dekat, semakin
jelas kelima penunggang kuda itu terlihat. Seketika bola mata Ki Rabul membeliak
lebar, dan mulutnya ternganga, seolah-olah melihat serombongan hantu yang akan mencekik
lehernya hingga
mati. Lima penunggang kuda itu langsung berlompatan turun begitu sampai di depan mereka.
Ki Rabul mengenali mereka semua, yang ternyata
adalah kaki tangan Barada. Sedangkan Ki Barada
sendiri tak nampak dl antara mereka. Laki-laki
tinggi tegap dan berotot bersembulan yang
mencambuk Ki Rabul, tejnyata Juga ada di antara
mereka. "He he he...! Ternyata kau masih hidup juga, Ki Rabul." kata salah seorang yang
mengenakan baju
warna hijau muda.
Ki Rabul tahu, kalau anak muda yang
menggunakan senjata pedang itu bemama Sarapat
Wajahnya terlihat pucat, dan sorot rnatanya merah menyata mencerminkan
kekejaman. Sedangkan
yang berdiri di samping kanannya, seorang laki-laki
setengah tua yang memegang tombak pendek
bermata dua. Bajunya ketat berwama merah.
Seorang lagi yang bertubuh tinggi tegap
berotot, dan memegang cambuk hitam adalah Suro.
Sementara dua orang lagl di samping Suro, adalah kakak beradik yang sama-sama
mengenakan baju
biru. Mereka memegang senjata rantai berujung
bola berduri yang kelihatannya berat sekali Masing-masing bernama Cakak yang
berkumis dan Cakik
yang tidak berkumis.
Ki Rabul yang mengetahui kalau kelima orang
itu adalah manusla kejam, segera menarik tangan
Lasini agar menjauh. Gadis itu hanya memandangi
Ki Rabul sejenak, kemudian beralih pada lima orang berwajah bengls di depannya.
"Menyingkirlah, Lasini. Mereka manusla iblis yang kejam," jelas Ki Rabul
setengah berbisik.
Lasini ingin bertanya, tapi Badil sudah
menarik tangan kakaknya, dan membawanya pergi
menjauh. Mereka berhenti di depan rumah.
Sementara Ki Rabul berdiri tegak, bersikap
menantang. Mungkin kali ini, hati laki-laki tua itu sudah nekat. Daripada mati
tersiksa, lebih baik
mati dalam pertempuran sebagai seorang laki-laki.
"Kau beruntung mempunyai dewi penolong
yang cantik, Ki Rabul. He he he...," kata Kafir seraya melirik Lasini.
Bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebih
mirip seringai serigala. Empat orang lainnya
terkekeh seraya merayapi wajah Lasini yang cantik.
Ki Rabul jadi muak, tapi khawatir juga jika mereka sampai mengganggu gadis yang
telah berbaik hati
menolong dan merawatnya hingga sembuh seperti
sekarang ini. "Iblis...! Kalian berurusan denganku! Jangan coba-coba mengganggunya...!" bentak Ki
Rabul geram. "Ha ha ha...! Dia sudah berani main bentak, Kakang Suro," kata Katir seraya
melirik laki-laki
bertubuh tinggi tegap berotot yang tidak mengenakan baju.
"Grrr...! Mungkin ingin merasakan cambukku
lagi" geram Suro seraya mendetlk pada laki-laki tua itu. "Kau pikir aku takut
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan cambuk burutmu!" dengus Ki Rabul nekat.
"Setaaan...!" geram Suro yang tidak pernah bisa mengendalikan kemarahannya.
Seketika itu juga laki-laki tinggi tegap itu melompat cepat samba mengayunkan cambuknya yang
hitam dan berduri halus.Ctar! "Hup...!"
Tanpa diduga sama sekali, ternyata Ki Rabul
mampu berkelit menghindari ujung cambuk itu.
Bahkan sempat memberikan satu tendangan keras
ke arah perut Suro.
Bughk! "Heghk...!"
Suro yang tidak menduga kalau Ki Rabul
memiliki Ilmu dah kanuragan, jadi mendelik.
Tendangan keras kaki kurus itu tepat menghantam
perut, membuatnya langsung terbungkuk diiringi
keluhan kecil. Tendangan Ki Rabul memang-keras
sekali meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun itu sudah membuat
perut Suro Jadi
mual seperti ingin muntah.
"Setan...! Grrrh...!" Suro menggeram marah.
Tindakan Ki Rabul tadi juga sempat membuat
empat orang lainnya mendelik setengah tidak
percaya. Mereka sungguh kaget, karena tidak
menyangka kalau laki-laki tua yang kelihatan lemah itu mampu member! perlawanan.
Padahal, dua pekan yang lalu, Ki Rabul benar-benar-tidak punya daya sama sekali
"Yeaaah...!"
Sambil bertertak lantang, Suro kembali
melompat menenang Ki Rabul. Cambuknya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Ctar! Ctar! "Hup! Yeaaah...!"
Tangkas sekali Ki Rabul berlompatan sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang gencar datangnya dari laki-laki tinggi besar bagai raksasa itu.
Gerakan Ki Rabul
ternyata sungguh cepat dan lincah. Bahkan beberapa kali
memberikan serangan balasan, sehingga membuat
Suro sedikit kelabakan.
Pertarungan antara Ki Rabul melawan Suro,
membuat empat orang lainnya jadi terbengong.
Mereka jadi melupakan perhatiannya pada Lasini
yang sudah menggendong adiknya. Diam-diam gadis
itu menyingkir, dan berlindung di balik sebongkah batu. Sebenarnya Lasini tidak
ingin berbuat seperti
ini, yang dianggapnya sebagai pengecut. Namun,
keselamatan adiknya yang baru berusia tujuh tahun itu harus dipikirkan juga.
Sementara pertarungan antara Ki Rabul dan
Suro, semakin berlangsung sengit Masing-masing
mengeluarkan jurus-jurus dahsyat dan sangat
berbahaya. Namun kelihatannya, laki-laki tua itu masih mampu menandingi
kehebatan cambuk Suro.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Suro
mengebutkan cambuknya kuat-kuat Dan kali ini,
jurus andalannya yang dahsyat dikerahkan. Setiap kali cambuknya dikebutkan, maka
dari ujung cambuk itu memercik bunga api disertai kepulan
asap hitam. Kepulan asap hitam itu semakin lama
semakin menebal, menyelimuti tubuh Ki Rabul.
"Hiyaaa.J" Ctar!
"Aaakh...!"
*** 2 Dalam kepulan asap hitam yang membuat
pandangan mata terganggu, Ki Rabul tidak bisa
menghindari satu jilatan cambuk disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Ujung cambuk tepat menyengat dadanya, hingga
membuat kulitnya sobek hingga menembus daging. Darah langsung
mengaiir keluar dari dada yang sobek, begitu
panjang dan dalam. Ki Rabul terhuyung-huyung ke
belakang, sambil meringis merasakan perih pada
dadanya yang terluka.
Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai
keseimbangan tubuh, mendadak saja Suro sudah
melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Cambuknya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu dengan
pengerahan tenaga dalam
penuh, dikebutkan cambuk itu kuat-kuat ke arah
kepala Ki Rabul.
"Hiyaaa...!"
Ctr! Glarrr! Sunggyh dahsyat serangan yang dilakukan
Suro. Dari ujung cambuknya memercik bunga api
disertai kepulan asap hitam. Ujung cambuk itu
persis mengarah ke kepala Ki Rabul. Namun pada
saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat
menyambar tubuh laki-laki
tua itu. Akibatnya, hantaman cambuk Suro
hanya menyengat tanah kosong. Seketika tanah itu terbongkar membentuk lobang
yang lebar dan cukup dalam. "Setan...!" geram Suro begitu menyadari sasarannya lolos dari serangan.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depan laki-laki tinggi berotot itu sudah berdiri seorang pemu-da berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih. Pemuda itu menyangga tubuh Ki
Rabul yang kelihatan lemas akibat terlalu banyak mengeluarkan darah.
Diberikannya totokan di
sekitar luka di dada laki-laki tua itu, maka darah seketika berhenti mengalir.
Dari balik batu besar, keluar Lasini yang
diikuti adiknya. Gadis itu langsung mengambil Ki Rabul
dan membawanya ke beranda. Dibaringkannya laki-laki tua itu ke atas dipan
bambu. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi
putih itu masih berdiri tegak menghadapiSuro.
Empat orang lainnya bergegas menghampiri Suro,
dan berdiri di sampingnya.
"Heh! Siapa kau..."!" bentak Suro berang.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku!" dingin sekali Jawaban pemuda itu.
"Setan..! Berani kau menantang aku, heh..."!"
gera'm Suro semakin marah.
"Untuk manusia pengecut macam kalian,
tidak ada gunanya bersilat lidah!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju rompi
putih itu. Sambil menggeram dahsyat, Suro mengegoskan kepalanya. Maka seketika itu juga
empat orang temannya berlompatan mengepung
pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Suro
langsung melompat menyerang sambil mengebutkan
cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi."Hiyaaa...!"
Ctar! "Hup!"
Sukar dipercaya, pemuda itu tidak berkelit
sedikit pun. Bahkan tangkas sekali mengatupkan
kedua tangannya, langsung menjepit ujung cambuk
hitam berduri halus itu. Suro jadi terkejut bukan main. Dihentakkan cambuknya
kuat-kuat. Tapi
jepitan tangan pemuda itu kuat bukan main,
bagaikan sepasang penjepit besi baja!
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja dari arah samping kanan, melompat seorang berbaju
merah yang langsung mengayunkan tombaknya ke arah pemuda
berbaju rompi putih itu.
Suara mendesing dari kebutan tombak itu
membuat pemuda berbaju rompi putih jadi
tersentak sedikit Tapi dengan cepat diliukkan
tubuhnya seraya kakinya bergeser ke samping. Maka hentakan tombak itu hanya
mengenai angin kosong. Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih
itu mengibaskan kakinya ke arah orang yang
membawa tombak. Ternyata, dia adalah Katir.
'Yeaaah...!"
Bet! Tendangan kaki pemuda itu sungguh cepat,
sehingga Katir tidak mampu lagi berkelit. Apalagi pada saat itu, tubuhnya memang
sedang dalam keadaan doyong ke depan. Namun begitu, tubuhnya
masih berusaha ditarik ke belakang. Tapi,
tendangan pemuda itu masih Juga mengenai bagian
pinggangnya. "Akh...!" Katir memekik keras.
Tepat saat tubuh Katir terpental, pemuda
berbaju rompi putih itu melentingkan tubuhnya ke atas. Seketika dihentakkan
tangannya untuk
melepaskan Jepitan pada ujung cambuk hitam
berduri halus. "Whaaa...!"
Suro tersentak kaget, dan tubuhnya yang
besar itu tidak mampu lagi dikuasai. Dia langsung terpental, jatuh bergulingan
di tanah. Bersamaan
dengan itu, kaki pemuda berbaju rompi putih sudah melayang ke arah kepala Suro.
Tapi belum juga kaki pemuda itu menghantam
kepala Suro, mendadak saja dua orang berbaju biru melontarkan rantai besi baja
yang berbandul bola
berduri dari arah berlawanan. Suara lontaran
senjata rantai berbandul bola berduri itu mendesing keras, menderu-deru bagai
angin topan. "Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu cepat
melentingkan tubuhnya, lalu berputaran dua kali ke belakang. Dengan manis sekali
kakinya mendarat
di tanah. Kemudian, langsung diliukkan tubuhnya
ketika sebilah pedang berwama keperakan menyambar dengan kecepatan bagai kilat ke
arahnya. Pedang itu lewat sedikit di samping
pinggang pemuda itu.
"Yeaaah...!'
Pada saat yang sama, pemuda itu mengibaskan
tangannya, tepat menghantam pergelangan tangan
kanan Sarapat. "Akh...!"
Sarapat memekik keras agak
tertahan. Untung saja Sarapat cepat menarik tangannya, dan memindahkan pedang ke tangan kiri Dengan demikian, senjatanya
berhasil diselamatkan. Tapi sebelum dia melompat mundur, pemuda itu
sudah melayangkan satu tendangan yang keras
bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu tepat
menghantam dada Sarapat, sehingga membuatnya
terpental sambil memekik keras melengking.
Sarapat jatuh bergulingan di tanah, dan
punggungnya membentur sebatang pohon hingga
tumbang. Sarapat merintih lirih, sambil bergerak mencoba bangkit berdiri.
Bibimya menyeringai,
menahan sakit. *** Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak
sambil melipat tangan di depan dada. Dirayapinya lima orang yang kini tampaknya
harus berpikir seribu kali untuk melanjutkan pertarungan ini.
Mereka sallng berpandangan sesaat, kemudian
serentak berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung
cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat
itu. Sementara pemuda berbaju rompi putih masih
berdiri tegak memandangi lima orang yang memacu
kuda bagai dikejar setan. Pemuda itu baru berbalik setelah kelima orang itu
tidak terlihat lagi
bayangannya. Yang terlihat kini hanyalah kepulan debu yang membumbung tinggi ke
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkasa semakin menjauh. Pemuda berbaju rompi putih itu
melangkah menghampirl beranda depan. Tampak Ki
Rabul sudah bisa duduk, dan dadanya yang terluka sudah terbalut kain putih. Di
sampingnya, duduk
seorang gadis cantik sambil memangku bocah laki-laki berusia sekitar tujuh
tahun. Pemuda itu berdiri
di depan mereka.
"Bagaimana lukanya, Ki?" tanya pemuda itu lembut
"Ah, tidak apa-apa. Oh, ya.... Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Ki Rabul
"Ah, lupakanlah. Aku hanya kebetulan lewat, dan melihatmu tidak sanggup lagi
meneruskan pertarungan," kata pemuda itu merendah.
"Kau hebat sekali, bisa menandingi keroyokan mereka," puji Ki Rabul tulus.
Pemuda itu hanya tersenyum saja. Dia
memandang Lasini yang duduk di samping Ki Rabul
sambil memangku adiknya. Gadis itu kebetulan
sedang memandang pemuda tampan ini. Maka,
tanpa dapat dicegah lagi pandangan mereka pun
bertemu. Entah kenapa, tiba-tiba saja wajah gadis itu
menyemburat merah dadu. Buru-buru dipalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Anak
Muda?" tanya Ki Rabul.
"Rangga," sahut pemuda itu menyebutkan namanya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang
bernama Rangga yang lebih dikenal dalam rimba
persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tapi saat pemuda itu menyebutkan
namanya, mendadak
saja Ki Rabul terlonjak. Bahkan langsung turun dari pembaringan di beranda depan
pondok kecil ini.
Dirayapi pemuda berbaju rompi di depannya dalam-dalam, dari ujung kepala sampai
ke ujung kaki, seakan-akan ingin meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah.
"Ada apa, Ki" Apa ada yang salah pada
diriku?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Oh, tidak.... Apakah kau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" nada suara Ki Rabul
terdengar tergagap
dan ragu-ragu. Rangga hanya tersenyum saja, dan hanya
menganggukkan kepalanya. Memang orang lebih
mengenal julukannya daripada nama aslinya. Tidak banyak orang yang mengetahui
nama aslinya, kecuali hanya orang-orang tertentu saja. Mengingat itu,
Rangga jadi tertegun. Kini malah dia yang
memandangi Ki Rabul dalam-dalam.
"Oh! Tidak kusangka, ternyata aku bisa
bertemu seorang pendekar besar dan digdaya.
Sungguh beruntung sisa kehidupanku ini...," desah Ki Rabul dengan mata berbinar.
Laki-laki tua itu menggamit tangan Rangga,
dan mengajaknya duduk di dipan bambu. Sedangkan
Lasini hanya memperhatikan saja disertai kening
agak berkerut. Gadis itu tahu kalau pemuda inilah yang dulu pernah menolongnya
membawa Ki Rabul
ke pondok ini. Namun, Pemuda ini menghilang
begitu saja saat Lasini sibuk membersihkan luka -
luka di tubuh laki-laki tua itu. Kini pemuda itu muncul lagi, dan Ki Rabul
kelihatannya begitu
gembira. Lasini, kau harus berbangga karena pondokmu kedatangan seorang pendekar digdaya
yang tidak tertandingi saat ini," kata Ki Rabul.
"Ki, siapa dia sebenarnya?" tanya Lasini setengah berbisik dekat telinga Ki
Rabul Ki Rabul malah tertawa terbahak-bahak
mendengar pertanyaan gadis itu. Tentu saja hal ini membuat Lasini memberengut.
Ki Rabul menepuknepuk punggung tangan gadis itu. Bibirnya selalu tersenyum dan
bola matanya terus berbinar.
"Dia bernama Rangga, dan terkenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti. Memangnya, Kau belum
pernah mendengar tentang Pendekar Rajawali
Sakti?" kini Ki Rabul malah bertanya,
Lasini hanya diam saja. Dicobanya untuk
mengingat-ingat, tapi nama Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah
didengarnya. Namun
gadis itu akhirnya percaya saja, karena tadi telah melihat bagaimana pemuda tampan ini
mengusir lim aorang berkepandaian tinggi dan kelihatan sangat kejam.
Gadis itu kembali memandangi wajah tampan
yang duduk di samping kiri Ki Rabul. Sedangkan dia sendiri berada dismaping
kanan Ki Rabul. Jadi,
Ki Rabul seperti pembatas saja . Lasini kembali
mengalihkan pandangannya ke arah lain, begitu
Rangga juga menatap ke arahnya. Entah kenapa,
hatinya merasa tidak sanggup bila harus bertemu
mata. Malah jantungnya jadi berdebar kencang
setiap kali bertemu pandang denga pemuda itu.
Belum pernah dirasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Nak Rangga, kau berada disini bukan hanya
sekedar lewat saja, bukan" Aku yakin ada sesuatu sehingga kau berada di tempat
sepi dan terpencil
ini," tebak Ki rabul bernada sungguh-sungguh.
Sayang sekali, Ki. AKu sebenarnya hanya
sekedar lewat saja. AKu tidak punya kepentingan
di tempat ini, sahut Rangga Kalem.
"Oh! Kalau begitu, boleh kuminta bantuanmu...?"
"Bantuan apa, Ki?" tanya Rangga
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak
pernah menolak memberikan bantuan
pada siapapun bagi yang memerlukan. Terutama jika
menolong seseorang atau sekelompok orang yang
tertindas akibat kesewenang-wenangan. Terlebih
lagi, daerah ini tidak berapa jauh dari wilayah
Kerajaan Karang Setra. Tapi karena jiwa kependekarannya,
dia harus mengembara memberantas keangkara murkaan. Rangga tahu
meskipun daerah ini jauh dari pusat Kerajaan
Karang Setra, tapi masih termasuk wilayah kerajaan itu. Dan itu berarti, orang-
orang ini adalah
rakyatnya yang tentu tidak mengetahui tentang
rajanya. "Tentang mereka itu, Nak," kata Ki Rabul.
"Orang-orang yang hampir membunuhmu tadi?"
tanya Rangga ingin penegasan.
"Benar, Nak Rangga. Mereka orang-orang
kejam yang selalu menindas rakyat kecil. Aku
pernah hampir mati oleh mereka, kalau saja tidak ditolong Lasini dan adiknya
ini," jelas Ki Rabul.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum
saja. Dia sudah tahu, karena telah membantu Lasini dan adiknya membawa Ki Rabul
ke pondok ini. Memang kejadian itu sudah berselang sekitar dua
pekan lamanya, dan Lasini sendiri hampir melupakan pemuda itu. Tapi gadis itu
langsung ingat, hanya
saja tidak ingin banyak bicara.
"Kalau saja aku mampu, sudah dari dulu aku
menumpas mereka. Tapi aku tidak mampu. Mereka
terlalu kuat bagi orang tua sepertiku ini, Nak
Rangga," lanjut Ki Rabul bernada mengeluh.
Rangga hanya terdiam saja, tapi menyimak
penuh perhatian setiap kata yang diucapkan Ki
Rabul. Dari sikap orang-orang tadi, Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau
mereka adalah orang-orang kasar yang selalu bertindak dengan kekerasan dan kekejaman. Tapi
Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu permasalahannya, mengapa mereka hendak
membunuh orang tua ini..."
*** Malam sudah cukup larut. Sekitar pondok
kecil di tepi hutan itu terasa sunyi terselimut
kegelapan. Malam ini, bulan seperti enggan
menampakkan diri. Akibatnya sekeliling daerah itu begitu gelap, tanpa penerangan
sedikit pun Juga.
Mirip sebuah gua tanpa obor.
Di depan pondok, di bawah pohon kebembem,
Pendekar Rajawali Sakti duduk mencangkung
memandangi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.
Malam ini tidak ada angin berhembus, membuat
udara terasa panas. Bahkan kesunyian begitu
mencekam, sedikit pun tak terdengar suara
binatang malam menggerit. Sehingga, pemuda
berbaju rompi putih itu langsung bisa menangkap
ketika terdengar suara langkah kaki halus dari arah belakang. Kepalanya
berpaling dan mulutnya
langsung tersenyum begitu melihat Lasini menghampirinya.
"Belum tidur, Dik Lasini?" tanya Rangga setelah gadis itu dekat di sampingnya.
"Belum ngantuk," sahut Lasini seraya duduk di samping Rangga.
"Malam sudah begini larut...," desah Rangga.
"Ya, dan panas sekali," sambung Lasini pelahan.
"rasanya tidak akan terjadi sesuatu malam
ini," duga Rangga lagi.
"Kau sengaja menunggu mereka, Kakang?"
tanya Lasini ingin tahu.
"Aku hanya menduga saja. Biasanya, orang
seperti mereka selalu mencari kesempatan dalam
kesempitan. Terutama saat kita lengah. Maka
sudah sepatutnya kita tidak boleh lengah
sedikitpun dalam menghadapi orang seperti itu,"
jelas Rangga "Sepertinya kau sudah pengalaman sekali
menghadap orang-orang seperti mereka, Kakang,"
kata Lasini seperti ingin mengetahui tentang diri Pendekar Rajawali Sakti lebih
dalam lagi. Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Ditariknya
napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Memang Pendekar Rajawali Sakti sudah banyak
mengenyam pahit getirnya dunia persilatan. Rasanya tidak akan ada habisnya jika
harus bergelut di
dalam rimba yang penuh kekerasan, kedengkian dan keserakahan ini. Sepertinya,
Hyang Jagat Nata
memang sengaja menciptakan manusia untuk saling
bertentangan tanpa ada penyelesaian yang berakhir menyenangkan.
Tidak jarang Rangga harus menghadapi mereka yang merasa sakit hati, dan
ingin mencelakakannya.
Dendam memang selalu menyelimuti setiap
hati manusia, dan tidak akan pernah bisa
menyelasikan suatu persoalan. Dendam yang
berakhir akan melahirkan dendam baru yang lebih
dahsyat lagi. Itulah sebabnya Rangga tidak akan
pernah merasa dendam pada siapapun. Bahkan
selalu memberi pintu kesempatan bagi lawan -
lawannya yang ingin memperbaiki jalan hidupnya.
Tapi kemurahan hati Pendekar Rajawali Sakti ini
seringkali dimanfaatkan mereka yang ingin membalas dendam.
"Kakang...," tegur Lasini lembut
"Oh...!" Rangga tersentak dari lamunannya.
"Kok melamun..." Ingat kekasihnya, ya?" kata Lasini
Padahal dalam mengucapkan itu, Lasini
sempat menggigit bibirnya sendiri. Entah kenapa, gadis itu merasakan adanya
ketidaksenangan bila
pemuda tampan ini memiliki kekasih, dan sekarang sedang melamunkannya. Sedangkan
rangga hanya diam saja, lalu tersenyum seraya memalingkan muka memandang gadis disebelahnya.
Pandangan Rangga yang tiba-tiba itu, membuat Lasini gugup sendiri. Buru-buru dialihkan pandangannya kearah lain.
Mendadak saja hatinya
jadi tidak menentu, dan jantungnya berdetak
kencang tak beraturan lagi. Lasini merasakan
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seluruh aliran darahnya terbalik, ketika Pendekar Rajawali
Sakti mengambil tangannya dan menggenggam erat-erat.
"Tanganmu dingin sekali, Kau sakit...?" tanya Rangga merasakan tangan gadis itu
begitu dingin dna berkeringat.
"Ah! Tidak... aku tidak apa-apa..." sahut Lasini jadi tergagap.
Buru-buru ditarik kembali tangannya, dan
duduknya bergeser agak menjauh. Sementara
Rangga memandangi gadis itu lekat-lekat, sehingga membuat Lasini semakin serba
salah. Dia tidak
tahu lagi, seperti apa saat ini wajahnya. Yang jelas
seluruh wajahnya terasa jadi panas seperti
terbakar. Pemuda tampan ini benar-benar telah
membuatnya seperti orang bodoh. Perasaannya
bagai tikus kepergok mencuri ikan, dikelilingi
puluhan kucing liar.
"Ma..., maaf. Aku akan tidur dulu," kata Lasini masih tergagap.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri. Tapi saat
itu, sebuah benda bercahaya keperakan melesat
bagaikan kilat ke arahnya. Rangga yang mengetahui lebih dahulu, langsung
tersentak kaget.
"Awas...!" seru Rangga keras.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat menerkam Lasini yang juga terkejut mendengar
teriakan tadi. Namun
belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba sepasang tangan sudah memeluk
pinggangnya, sehingga membuat keseimbangan tubuhnya jadi
tidak terkendali.
"Akh...!" Lasini memekik kecil.
Gadis itu jatuh bergulingan bersama Rangga
yang masih memeluk pinggangnya kuat-kuat. Maka,
benda bercahaya keperakan itu melesat lewat di
atas tubuh mereka. Benda keperakan itu langsung
menghantam pohon tempat tadi mereka duduk,
hingga langsung hancur berkeping-keping
menimbulkan ledakan dahsyat. Rangga langsung
melompat bangkit berdiri sambil menarik tangan
gadis itu. Lasini tersentak lalu berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa...?" tanya Lasini tidak mengerti.
Belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak
terdengar tawa keras menggelegar. Baik suara tawa maupun suara ledakan akibat
pohon yang hancur
tadi, membuat Ki Rabul dan Badil terbangun dari
tidurnya. Laki-laki tua itu cepat menyambar tubuh
bocah itu dan menggendongnya. Sambil menyambar
golok yang berada di atas meja, Ki Rabul melompat ke luar menjebol pintu. Laki-
laki tua itu langsung
mendarat di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, suara tawa masih terdengar menggema
seperti datang dari segala penjuru mata angin.
"Ha ha ha...!"
"Hm...," gumam Rangga pelahan.
*** 3 Bersamaan dengan berhentinya suara tawa
itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua berjubah merah menyala Di tangannya
tergenggam sebatang
tongkat panjang yang melewati tinggi tubuhnya.
Yang lebih aneh lagi, seluruh rambutnya berwama
merah bagai terbakar. Kakek itu tertawa terkekeh seraya melangkah mendekali. Dia
baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan Pendekar
Rajawali Sakti yang diapit
Lasini dan Ki Rabul.
"Iblis Racun Merah...! Ada apa dia ke sin!...?"
desis Ki Rabul mengenali laki-laki tua yang serba merah Itu.
Gumaman Ki Rabul yang begitu pelan, masih
bisa terdengar juga oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan pemuda berbaju rompi putih itu melirik sedikit pada Ki Rabul yang masih
menggendong bocah
kecil berusia sekitar tujuh tahun. Mata tanpa dosa itu malah memandangi laki-
laki tua yang dirasakannya sangat aneh.
"He he he.... Kau pasti yang bernama Ki
Rabul!" kata laki-laki aneh berjubah merah itu seraya menunjuk Ki Rabul.
"Benar!" sahut Ki Rabul tegas. "Ada apa kau mencariku, Iblis Racun Merah?"
"Ha ha ha...!" laki-laki tua berjubah merah yang dipanggil Iblis Racun Merah itu
tertawa terbahak-bahak Suara tawanya begitu keras
menggelegar, menyakitkan gendang telinga. Sampai-sampai, Badil menutup telinga
dengan kedua tangannya. Rangga tahu kalau tawa itu mengandung
pengerahan tenaga dalam. Maka Pendekar Rajawali
Sakti langsung mengambil Badil dari gendongan Ki Rabul, kemudian menyerahkannya
pada Lasini. Segera disuruhnya Lasini agar membawa adiknya
menyingkir sejauh mungkin. Tanpa membantah
sedikit pun, gadis itu pergi. Tapi dia tidak pergi jauh, dan pandangannya
terarah pada mereka yang
berada di depan pondoknya.
"Dengar, Ki Rabul! Aku datang untuk
menagih hutang padamu!" tegas Iblis Racun Merah, namun terdengar dingin nada
suaranya. "Hm..., kita belum pernah bertemu. Jadi,
bagaimana aku merasa pernah punya hutang
padamu?" sahut Ki Rabul datar.
"Memang kau tidak secara langsung berhutang, tapi anakmu telah berhutang nyawa
padaku!" bentak si Iblis Racun Merah lantang.
Ki Rabul tersenyum sinis. Terdengar dengusan napasnya yang keras. Sementara Rangga
hanya diam saja mendengarkan. Sungguh tidak
disangka kalau laki-laki tua ini begitu banyak
mempunyai musuh. Bahkan yang menginginkan
kemauannya adalah tokoh-tokoh rimba persilatan
kelas tinggi. Seperti siang tadi, lima orang
berkemampuan cukup tinggi telah datang dan ingin membunuhnya. Dan sekarang,
muncul seorang laki-laki tua aneh berjubah merah yang seluruh
rambutnya berwama merah menyala. Dia juga
menginginkan kematian Ki Rabul.
Rangga jadi bertanya-tanya, siapa sebenamya
Ki Rabul ini" Namun belum juga pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti itu terjawab, mendadak
saja laki-laki berjubah merah yang berjuluk Iblis Racun Merah itu sudah melompat
bagaikan kilat menerjarig Ki Rabul. Tongkat merah yang bagian
atasnya berbentuk kepala tengkorak manusla itu
dikebutkan keras, sehingga menimbulkan suara
angin menderu bagai topan.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Cepat sekali Ki Rabul melompat ke belakang,
sehingga tebasan tongkat itu hanya mengenai
tempat kosong. Sementara Rangga yang tadi berada di sampingnya, jadi terkejut.
Ternyata Pendekar
Rajawali Sakti merasakan adanya hembusan angin
keras dan terasa panas. Maka cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Tepat pada
saat itu, si Iblis
Racun Merah mengibaskan ujung tongkatnya ke
arah pemuda berbaju rompi putih itu.
"Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali
Sakti, karena si Iblis Racun Merah mampu memutar tongkat demikian cepat luar
biasa dan tidak
terduga sama sekali. Biasanya seseorang yang
menghantamkan tongkat dari atas ke bawah, harus
menarik dulu tongkatnya sebelum melakukan
serangan kembali. Tapi laki-laki tua berjubah merah itu malah langsung memutar
tongkatnya, lalu
mengibaskan ke samping tanpa menghentikan
gerakan arus tongkatnya. Hal ini membuat Rangga
harus mengakui kehebatan si Iblis Racun Merah.
Kalau saja Rangga tidak cepat menarik
kakinya ke belakang, sudah pasti ujung tongkat si Iblis Racun Merah akan
menghantam tubuhnya.
Namun serangan laki-laki tua itu hanya lewat di
depan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun
serangannya luput, namun sudah membuat Rangga
sedikit terhuyung terkena angin sambaran tongkat itu.
"Gila...!" dengus Rangga dalam hati.
"He he he...!" Ibfis Racun Merah tertawa terkekeh sambil menarik pulang
tongkatnya. Segera
dihentakkan ujung tongkatnya ke tanah di ujung
jari kaki Sementara itu Ki Rabul menggeser kakinya,
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Laki4aki tua
itu sudah siap mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Se?dangkan Rangga
hanya berdiri tegak,
menatap tajam tanpa berkedip ke arah laki-laki tua berjubah merah itu. Suara
tawa si lbiis Racun
Merah masih terdengar sumbang.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda Kuharap
kau tidak mencampuri urusan pribadiku dengan Ki
Rabul!" tegas Iblis Racun Merah, dingin nada suaranya.
"Hm...," Rangga hanya bergumam kecil.
"Menyingkirlah, Pendekar Rajawali Sakti! Ini bukan urusanmu, tapi urusan
pribadiku dengan
manusia pengkhianat itu!" bentak si Iblis Racun Merah, lantang nada suaranya.
"Dia tidak akan menyingkir! Aku sudah
memintanya untuk melindungiku!" dengus Ki Rabul tegas.
"Phuah...!" Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Laki-laki tua berjubah merah itu menatap Ki
Rabul tajam, kemudian beralih pada pemuda
berbaju rompi putih yang berada di samping laki-laki tua itu. Sorot matanya
memerah dan begitu
tajam, seakan-akan ingin menghanguskan dua orang yang
berada di depannya.
"Dengar, Iblis Racun Merah. Sebenamya
urusanmu bukan denganku, tapi dengan anakku!
Dan sekarang, aku punya hak untuk mendapatkan
seorang pembela yang akan menghadapimu, atau
siapa saja yang mencoba mengganggu kehidupanku!"
tegas Ki Rabul.
"Ha ha ha...!" Iblis Racun Merah tertawa terbahak-bahak, dan langsung menatap
Pendekar Rajawali Sakti. "Bagus! Jika kau memang benar berada di belakang manusia busuk
itu, berarti aku
tidak perlu lagi bersusah-payah mencarimu untuk
bertanding, Pendekar Rajawali Sakti. Sudah lama
aku ingin bertemu denganmu. Kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih
berhak menguasai rimba
persilatan!"
Mendengar hal itu, Rangga jadi mendengus
keras. Pendekar Rajawali Sakti paling tidak suka mendengar tantangan yang
bernada pongah.
Baginya, Bdak ada seorang pun yang bisa menguasai seluruh dunia. Saat ini,
mungkin dirinya memang
yang paling tangguh. Tapi bukannya tidak mustahil bakal ada orang lain lagi yang
lebih tinggi ilmunya daripada dirinya. Atau mungkin di belahan bumi
lain, ada yang lebih tinggi lagi saat ini. Yang pasti, tingginya gunung, masih
lebih tinggi langit Dan di
atas langit, masih ada yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya.
Trak! Iblis Racun Merah menghentakkan tongkatnya hingga menyilang di depan dada.
Digenggamnya bagian tengah tongkat merah itu
dengan kedua tangannya. Pelahan kakinya bergeser ke samping, setengah memutari
tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Rabul Pandangan matanya
begitu tajam rnenusuk, seakan-akan tengah
mengukur tingkat kepandaian dua orang lawannya
itu. "Aku minta kau menyingkir lebih dahulu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan
menyeiesaikan urusanku dulu dengan manusia pengkhianat itu!"
datar dan dingin sekali nada suara si Iblis Racun Merah.
Sebentar Rangga melirik Ki Rabul. Rupanya
Pendekar Rajawali Sakti tengah mempertimbangkan
permintaan iaki-Iaki berjubah merah itu. Sedangkan Ki Rabul hanya menatap
Rangga. Sinar matanya
menyiratkan permohonan kepada Pendekar Rajawali
Sakti agar dirinya tidak sampai bertarung melawan laki-laki berjubah merah itu.
Dari sorot mata Ki
Rabul, Rangga sudah bisa mengerti. Maka didorong halus dada laki-laki tua itu
agar ke belakang. Ki
Rabul tersenyum
Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senang. Bergegas kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu.
"Phuih! Keparat kau Rabul...!" geram si Iblis Racun Merah.
*** Iblis Racun Merah benar-benar geram akan
sikap Ki Rabul yang dianggapnya pengecut.
Sepertinya, laki-laki itu hanya melindungi dirinya sendiri di belakang nama
besar Pendekar Rajawali
Sakti. Namun laki-laki berjubah merah yang kini
sudah berhadapan dengan Rangga, tidak mungkin
lagi menarik mundur. Mulutnya tadi sudah
sesumbar akan menantang pendekar muda itu
dalam pertarungan tunggal.
"Kau tadi mengatakan ingin menantangku,
Kisanak. Nah, sekarang aku sudah siap menerima
tantanganmu," tegas Rangga.
"Huh! Kau terlalu pongah, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Iblis Racun Merah.
Pendekar Rajawali Sakti merentangkan tangannya. Dipersilakannya laki-laki tua berjubah merah itu untuk menyerang
lebih dahulu. Melihat
pemuda berbaju rompi putih itu sudah siap
menerima serangan, Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya. Dari sikapnya, terlihat
jelas kalau laki-laki tua berjubah merah itu ragu-ragu dalam menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti.
"Phuih! Kepalang tanggung!" dengus Iblis Racun Merah dalam hati. Iblis Racun
Merah memang tidak bisa lagi melakukan apa-apa, selain harus bertarung melawan
Pendekar Rajawali Sakti.
Mulutnya sudah sesumbar untuk menantang
pemuda berbaju rompi putih itu. Jika sampai
diurungkan, sudah pasti seluruh rimba persilatan akan menertawakannya. Maka tak
akan ada lagi tempat baginya di dunia ini jika hal itu terjadi Bahkan pendekar tanggung pun
akan menantang bertarung tanpa menghiraukan julukannya yang
sudah membuat tokoh-tokoh rimba persilatan harus berpikir dua kati jika harus
berhadapan dengannya. Kini, Iblis Racun Merah harus menghadapi
seorang pendekar digdaya yang sangat ditakuti dan disegani, baik oleh golongan
putih maupun golongan hitam. Dan semua itu karena berbicaranya tidak
dipikirkan lebih dahulu. Jelas kalau perkataannya tadi sudah menyinggung, dan
diterima bulat-bulat
Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh persilatan tidak akan undur setapak pun
jika menerima tantangan terbuka seperti ini
"Silakan, kau yang menjual dan aku siap
membeli daganganmu," kata Rangga kalem.
"Phuih!"
lagi-lagi Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya.
Pelahan laki-laki berjubah merah itu menggeser kakinya ke samping. Tongkatnya diputar pelahan di depan dada.
Pandangan matanya
begitu tajam menusuk, Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak dengan
tangan merentang
terbuka ke samping. Bibirnya tidak pernah lepas
menyunggingkan senyuman.
"Hup! Hyeaaa...!"
Sambil berteriak keras melengking tinggi, laki-laki tua berjubah merah itu
melompat menerjang
sambil mengibaskan ujung tongkatnya tiga kali ke beberapa bagian tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
Namun manis sekali, Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan si Iblis Racun
Merah. Sedikit pun kakinya tidak bergeser, tapi
serangan laki-laki tua itu tidak mengenai sasaran sama sekali. Tentu saja hal
ini membuat si Iblis
Racun Merah jadi geram bukan main.
"Setan! Hiyaaat...!"
Iblis Racun Merah memperhebat serangan-serangannya. Seluruh "kekuatan tenaga
dalamnya dikerahkan, dan langsung disalurkan pada tongkatnya. Sehingga tongkat merah itu semakin
bersinar bagai terbakar. Hebatnya, setiap kebutan tongkatnya selalu mengeluarkan
hawa panas menyengat. "Hawa racun...," desis Rangga dalam hati. , Dan memang, si Iblis Racun Merah sudah
mengeluarkan jurus andalannya yang paling ditakuti.
Jurus Tongkat Beracun'. Suatu jurus berbahaya
yang mengandung hawa racun pada setiap kibasan
tongkatnya. Racun itu sangat dahsyat dan
mematikan. Biasanya, lawan yang berhadapan
dengannya tidak akan tahan lama bila menghirup
udara yang sudah tercemar racun itu. Lawan akan
menjadi pening, dan seluruh tubuhnya menjadi
panas seperti terbakar.
Sementara Rangga melayani laki-laki tua
berbaju merah itu dengan menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajalb'. Suatu jurus yang sering digunakan jika bertarung satu
Pendekar Muka Buruk 3 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Anak Harimau 3