Pencarian

Siluman Ular Merah 1

Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah Bagian 1


SILUMAN ULAR MERAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Siluman Ular Merah
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Tok! Tok! Tok! "Ki...! Buka pintunya, Ki...!"
Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima tahun tengah menggedor-gedor pintu sebuah
rumah yang tampak temaram. Ini karena beranda
rumah itu hanya diterangi satu pelita yang menggantung di langit-langitnya. Dia
memanggil- manggil dengan suara parau dan agak bergetar.
Baju yang dikenakannya kotor penuh lumpur. Ke-
ringat meleleh membasahi wajah dan tubuhnya.
Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, dan te-
rus mengetuk pintu sambil berteriak-teriak me-
manggil pemilik rumah.
"Ki..! Ki Basra! Buka pintunya, Ki...!"
Pintu dari kayu yang semula tertutup rapat,
perlahan-lahan terbuka. Dan sebelum pintu ter-
buka penuh, pemuda itu bergegas menerobos ma-
suk. Akibatnya seorang laki-taki tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun jadi
hampir terpental jatuh. "He! Kunyuk...! Apa-apaan kau, Ganta...?"
sentak laki-laki tua itu, marah.
"Maaf..., maaf, Ki," ucap pemuda yang di-panggil dengan nama Ganta.
Laki-laki tua yang bernama Ki Basra itu
memandangi Ganta dalam-dalam. Keningnya jadi
berkerut melihat keadaan Ganta yang seperti ba-
ru saja tercebur dalam kubangan sawah berlum-
pur. Sedangkan yang dipandangi langsung meng-
hempaskan din, duduk me-lonjor di lantai tanah
yang hanya beralaskan tikar lusuh. Napasnya
masih terlihat tersengal. Disekanya keringat yang membasahi leher.
"Ada apa dengan dirimu, Ganta" Kau seper-
ti...," pertanyaan Ki Basra terputus.
"Celaka...! Dia datang...!" sentak Ganta seraya bangkit berdiri.
Bergegas pemuda itu melompat untuk me-
nutup pintu. Lalu menguncinya rapat-rapat. Wa-
jah pemuda itu semakin terlihat pucat. Ki Basra jadi tercenung memandangi pemuda
ini. Dia tidak tahu, apa yang membuat Ganta jadi begitu ketakutan. Dia berdiri
bersandar di pintu, seakan-
akan ada orang yang hendak menerobos pintu
itu. "Ada apa, Ganta" Kenapa kelihatan ketakutan begitu...?" tanya Ki Basra
keheranan. "Mereka ingin membunuhku, Ki," sahut
Ganta, gemetar.
"Membunuhmu... " Siapa yang ingin mem-
bunuhmu?" tanya Ki Basra lagi.
Ganta tidak menjawab. Pada saat itu, ter-
dengar derap langkah kaki kuda di luar. Wajah
Ganta semakin bertambah pucat. Bahkan tubuh-
nya juga menggigil gemetar, seperti terserang de-mam. Sedangkan Ki Basra jadi
bertambah heran
saja. Sementara suara langkah kaki kuda berhen-
ti. "Tolong aku, Ki. Sembunyikan aku...," pinta Ganta memohon.
Saat itu terdengar ketukan di pintu. Ganta
langsung terlompat, menyembunyikan diri di ba-
lik punggung Ki Basra. Sedangkan ketukan di
pintu kembali terdengar beberapa kali.
"Kalau mereka menanyakan aku, bilang ti-
dak ada di sini," kata Ganta berbisik.
Pemuda itu menoleh ke belakang sebentar,
kemudian bergegas melangkah masuk ke dalam
kamar. Perlahan pintunya ditutup, seakan derit pintu membuat jantungnya semakin
bertambah berdetak. Sementara Ki Basra yang tidak menger-
ti, jadi kebingungan sendiri. Dan kini ketukan di pintu kembali terdengar.
"Sebentar...!" seru Ki Basra. "Siapa di luar...?"
"Aku! Buka pintunya, Ki!" terdengar sahutan dari luar.
Ki Basra bergegas membuka pintu. Tampak
di depan pintu, berdiri dua orang laki-laki bertampang kasar. Sinar matanya
tajam, memancar-
kan kebengisan. Sementara di halaman rumah Ki
Basra, terlihat beberapa orang duduk di pung-
gung kuda. "Ada yang bisa kubantu, Kisanak...?" tanya Ki Basra ramah.
"Kau lihat anak muda lewat sini, Ki?" salah seorang yang berbaju kuning, malah
balik bertanya.
"Anak muda..." Tidak. Sejak tadi aku ada di dalam, " sahut Ki Basra.
Kedua orang laki-laki bertubuh tegap itu sal-
ing berpandangan, kemudian tanpa berkata apa-
apa lagi langsung berbalik dan melangkah pergi.
Mereka berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing dengan gerakan indah dan ringan
sekali. Tak berapa lama kemudian, sepuluh orang penunggang kuda itu cepat
bergerak pergi. Sementara Ki Basra masih berdiri di ambang pintu, memandangi
orang-orang yang tidak dikenalnya.
Setelah orang-orang penunggang kuda itu
tidak terlihat lagi, baru Ki Basra menutup pintu kembali. Tubuhnya diputar
seraya menghembuskan napas panjang. Pada saat itu Ganta ke-
luar dari kamar. Ki Basra memandangi pemuda
itu, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang sudah reyot
"Siapa mereka tadi, Ganta?" tanya Ki Basra.
Ganta tidak langsung menjawab, tapi malah
membuka bajunya yang kotor penuh lumpur.
Kemudian dia duduk di lantai yang beralaskan
anyaman tikar daun pandan. Pemuda itu mem-
bersihkan kotoran yang melekat di tubuhnya. Wa-
jah dan sinar matanya mulai kelihatan tenang.
Sedangkan Ki Basra masih menunggu jawaban
dari pertanyaannya tadi.
*** Ganta bangkit berdiri seraya mengenakan
pakaian kembali. Dia kemudian melangkah ke
pintu. Baru saja dia hendak membukanya, tapi
sudah keburu dicegah Ki Basra. Terpaksa Ganta
tidak jadi membuka pintu rumah laki-laki tua itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ganta.
Siapa mereka tadi?" Ki Basra mengulangi pertanyaannya. "Kenapa mereka
mencarimu?"
"Aku tidak kenal mereka, Ki. Tidak ada apa-apa antara aku dengan mereka," sahut
Ganta seenaknya.
"Kau jangan membohongi ku, Ganta. Tidak
mungkin mereka mencarimu tanpa sebab," dengus Ki Basra. "Kau mencuri barang
mereka, Ganta...?" Ganta terdiam tidak menjawab pertanyaan orang tua itu. Dia
kembali duduk, menghempaskan diri di balai-balai bambu yang ada di pojok ruangan
depan ini. Sementara Ki Basra mena-
tap tajam pemuda cukup tampan ini. Sedangkan
yang ditatap malah seperti tidak peduli.
Ki Basra kenal betul, siapa Ganta ini. Pemu-
da desa ini pekerjaannya memang mencuri dan
menipu. Sudah sering Ganta dicari-cari orang, setiap kali terjadi pencurian.
Antara Ki Basra dengan Ganta, sebenarnya masih ada hubungan da-
rah. Ganta terhitung masih ke-ponakan Ki Basra
sendiri. Dan setiap kali terjadi sesuatu, pemuda itu pasti datang ke sini. Kalau
keadaan sudah tenang, sikapnya tidak lagi ketakutan. Bahkan be-
gitu masa bodoh, seakan-akan tidak pernah ter-
jadi sesuatu pada dirinya. Hal itu seringkali
membuat Ki Basra jadi geram, namun tidak bisa
marah. Laki-laki tua itu begitu mencintai Ganta yang sudah tidak memiliki orang
tua lagi. Seberat
apa pun persoalan yang dihadapi Ganta, selalu
dilindungi nya.
"Apa yang kau curi dari mereka, Ganta?"
tanya Ki Basra langsung bisa menebak.
"Aku tidak mencuri, Ki. Sungguh...!" sahut Ganta mencoba meyakinkan.
"Kalau tidak mencuri, lalu kenapa mereka
mencarimu?" desak Ki Basra.
"Oaaah....! Aku ngantuk, Ki. Mau tidur,"
Ganta tidak peduli dengan pertanyaan Ki Basra.
Pemuda itu langsung melingkarkan diri di
atas balai-balai bambu. Matanya terpejam, dan
sebentar kemudian dengkurnya sudah terdengar
halus. Ki Basra hanya bisa mendengus jengkel
melihat tingkah keponakannya ini. Sudah sering-
kali Ganta membuatnya jengkel, tapi entah kena-
pa, Ki Basra tidak mampu bertindak apa-apa ka-
lau sudah begini. Dan biasanya, besok pagi se-
mua kejadian malam ini sudah terlupakan.
"Hhh...! Kapan kau bisa berubah, Ganta...?"
keluh Ki Basra lirih.
Laki-laki tua itu menuju pintu, lalu melang-
kah masuk ke dalam kamarnya. Namun tak lama
kemudian dia keluar lagi. Di tangannya kini tergenggam sebuah pelita kecil yang
menyala redup. Dengan langkah terseret, Ki Basra menuju ke be-
lakang, kemudian keluar melalui pintu belakang.
Namun baru beberapa langkah berada di bela-
kang rumahnya, mendadak saja....
Slap...! "Heh.?"
Ki Basra tersentak begitu tiba-tiba saja se-
buah bayangan berkelebat cepat di depannya.
Dan sebelum orang tua itu sempat menyadari, ta-
hu-tahu sesuatu yang terasa dingin menempel di
lehernya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang, tahu-tahu
sudah berdiri di depannya. Goloknya ditempelkan ke leher Ki Basra hingga tak
mampu lagi berkutik.
"Bergerak sedikit saja, golok ini akan menebas lehermu, Orang Tua," ancam laki-
laki bertubuh kekar itu.
Ki Basra hanya dapat diam mematung. Di-
kenalinya betul wajah laki-laki di depannya ini.
Dialah yang tadi menanyakan Ganta. Orang tua
itu semakin tak berdaya saat melihat beberapa
orang bergerak perlahan dan ringan sekali men-
dekati rumahnya. Mereka semua menghunus go-
lok yang berkilatan tertimpa cahaya bulan. Se-
dangkan sebilah golok lain juga masih menempel
di leher orang tua itu.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Ki Basra.
"Keponakanmu, Orang Tua," sahut laki-laki
kekar itu dingin.
"Keponakanku..." Kenapa kalian mengingin-
kannya ' tanya Ki Basra lagi.
"Sebaiknya kau tutup mulut, kalau ingin se-
lamat!" dengus laki- laki kekar itu mengancam.
Ki Basra langsung diam. Sementara dua
orang sudah melangkah masuk ke dalam rumah,
melalui pintu belakang. Perasaan khawatir mulai menyelinap ke dalam hati Ki
Basra. Melihat tam-
pang-tampang kasar dan bengis seperti ini, Ki Basra sudah bisa membayangkan akan
terjadi sesu- atu yang buruk pada Ganta. Dan tampaknya me-
reka menginginkan kematian pemuda itu. Namun
dengan golok menempel di leher, Ki Basra tak
mungkin bisa berbuat sesuatu.
Tidak berapa lama setelah dua orang kasar
tadi masuk ke dalam rumah, mendadak saja ter-
jadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Dua orang itu tiba-tiba terpental menjebol
dinding rumah. Tubuh mereka jatuh bergulingan di tanah, seperti dilempar oleh kekuatan dahsyat
dari dalam rumah itu. Tak be berapa lama kemudian....
Brak! Tiba-tiba atap rumah jebol, bersamaan den-
gan melesatnya sebuah bayangan yang menjebol
atap rumah. Bayangan itu berkelebat cepat mem-
buat semua orang yang berada di sekitarnya jadi terpana.
"Kejar anak itu! Bunuh dia...!" teriak laki-laki kekar berbaju kuning yang
menempelkan go-
lok ke leher Ki Basra.
Seketika itu juga, orang-orang yang menge-
pung rumah Ki Basra berlompatan mengejar
bayangan tadi. Dua orang yang terlempar menje-
bol dinding tadi, bergegas mengikuti yang lain.
Tinggal Ki Basra, dan dua orang lagi yang masih tetap berada di tempatnya.
"Keparat..! Hih!"
Cras! "Aaa...!"
Ki Basra menjerit melengking tinggi, begitu
golok yang menempel di lehernya bergerak cepat
menebas. Hanya sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian ambruk
menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat dari lehernya
yang terbabat hampir buntung. Tak lama kemu-
dian, orang tua malang itu diam tak bergerak-
gerak lagi. Darah terus merembes membasahi ta-
nah. "Huh!" laki-laki kekar berbaju kuning itu mendengus seraya memasukkan golok
ke dalam sarungnya di pinggang.
*** Malam yang semula hening dan dingin, kini
berubah hangat oleh cahaya api yang membakar
rumah Ki Basra. Sepuluh orang laki-laki berkuda, memandangi rumah yang semakin
habis dimakan api. Tampak paling depan adalah laki-laki bertubuh kekar berbaju kuning. Tak
jauh dari rumah


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terbakar itu, tergeletak Ki Basra yang sudah tak bernyawa lagi.
"Ayo, kita cari anak keparat itu sampai dapat!" ajak laki-laki kekar itu.
Sepuluh orang berkuda itu cepat menggebah
kudanya. Mereka bergerak cepat bagai setan, me-
nembus pekatnya malam. Sementara tanpa dike-
tahui seorang pun, dari balik sebatang pohon
yang cukup besar sepasang mata mengawasi tak
berkedip. Dia baru keluar setelah orang-orang
berkuda itu tidak terlihat lagi. Bergegas dihampirinya tubuh Ki Basra yang
tergeletak tak bernya-wa lagi.
"Ki...."
Pemuda yang tak lain adalah Ganta itu ber-
lutut di samping tubuh Ki Basra. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata-kata yang
terucapkan. Sebentar kemudian, dipandanginya rumah yang
semakin habis dimakan api. Seluruh tubuhnya
menggeletar, dan pandangannya jadi nanar.
"Maafkan aku, Ki. Tidak kusangka kalau
akan begini jadinya. Akan kubalas mereka, Ki.
Akan kubalas kematianmu," desis Ganta.
Perlahan pemuda itu bangkit berdiri sambil
mengangkat tubuh Ki Basra. Dia berdiri tegak
sambil memondong laki-laki tua itu. Pandangan-
nya semakin nanar, ke arah rumah yang sudah
ambruk, hangus terbakar.
Perlahan kemudian pemuda itu melangkah
gontai sambil terus memondong tubuh Ki Basra
yang sudah tidak bernyawa lagi. Sementara api
terus menyala menghanguskan rumah yang su-
dah roboh itu. Ganta terus berjalan gontai men-
jauhi tempat itu. Tanpa sadar, air matanya berli-nang. Ganta menangis! Tapi dia
tidak tahu, untuk apa air matanya itu.
Pemuda itu baru berhenti melangkah setelah
sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar,
namun sangat deras arusnya. Sebentar dipan-
danginya sungai itu, kemudian tubuh Ki Basra diletakkan di atas sebongkah batu
yang cukup be- sar. "Kau pernah mengatakan, kalau tidak ada umur ingin dihanyutkan di sungai.
Aku akan membantumu menemui istrimu, Ki. Akan kubua-
tkan sebuah sampan, agar kau mudah membawa
istrimu mengarungi sungai ini," ujar Ganta perlahan. Pemuda itu jadi teringat
istri Ki Basra yang tewas tenggelam di sungai ini. Dia juga teringat sumpah Ki
Basra yang ingin mati di sungai ini ju-ga. Dan sekarang, Ki Basra sudah tak ada.
Ganta bertekad hendak mewujudkan keinginan orang
tua itu. Bergegas dihampirinya sebatang pohon yang
cukup besar. Dipandanginya pohon itu beberapa
saat, kemudian tangannya menarik golok yang
terselip di pinggang. Pemuda itu memandangi go-
lok yang berkilatan, tergenggam di tangan kanannya. Kembali dipandangi pohon di
depannya, ke- mudian beralih sejenak pada Ki Basra yang tergolek di atas batu. Darah masih
mengucur dari le-
hernya yang tertebas golok hampir buntung.
"Hsss...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Ganta mene-
baskan goloknya ke pohon yang cukup besar itu.
Beberapa kali tebas saja, pohon itu sudah tum-
bang. Suaranya menggemuruh, membuat bumi
bergetar. Ganta memandangi pohon yang sudah
roboh di depannya, kemudian bergerak cepat
membabat cabang-cabang yang tidak berguna.
Lalu, diambilnya bagian tengah batang pohon itu.
Tanpa mengenal lelah, Ganta membuat se-
buah sampan untuk Ki Basra. Orang tua yang se-
lama ini selalu melindunginya dari segala macam bahaya, kini telah pergi.
Sepanjang malam, Ganta membuat sampan. Dan begitu matahari menampakkan diri di
ufuk timur, sebuah sampan yang
cukup indah telah terbentuk. Ganta menyeka ke-
ringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Ada
kepuasan melihat hasil kerjanya. Dia sendiri
hampir tidak percaya, kenapa tiba-tiba bisa membuat. sebuah sampan yang begitu
indah dan kuat" "Sampanmu sudah selesai, Ki," ujar Ganta seraya menghampiri mayat Ki
Basra. Perlahan dan hati-hati sekali Ganta men-
gangkat tubuh Ki Basra, lalu membawanya ke te-
pi sungai. Kemudian tubuh orang tua itu diletakkan di dalam sampan. Jerami
kering menjadi alasnya. Sebentar Ganta memandangi, kemudian
mendorong sampan itu ke tengah sungai. Perla-
han sampan itu bergerak mengikuti arus sungai.
Ganta memandanginya dari tepi sungai. Sampan
itu bergerak semakin jauh, mengikuti arus sun-
gai. "Selamat jalan, Ki," ucap Ganta lirih.
Kedua bola mata pemuda itu merembang,
namun tak ada setitik air pun yang menitik. Pe-
muda itu masih tetap berdiri di tepi sungai,
meskipun sampan yang membawa Ki Basra su-
dah tidak terlihat lagi.
"Aku bersumpah, mereka harus membayar
hutang nyawamu, Ki," desis Ganta. "Sayang, aku belum sempat memperlihatkan apa
yang sudah kupelajari selama ini. Tapi aku yakin, kau akan bangga padaku nanti, Ki."
*** 2 Dua hari setelah kematian Ki Basra, Ganta
semakin giat berlatih menyempurnakan jurus-
jurus dan ilmu-ilmu kesaktian yang dimiliki. Te-kadnya, kematian Ki Basra harus
dibalas. Namun pemuda itu menyadari kalau kemampuannya ma-
sih belum cukup untuk menghadapi orang-orang
yang telah mempercepat kematian Ki Basra, di
depan hidungnya sendiri.
Dan selama dua hari ini, Ganta menyepi di
puncak Gunung Garangan. Tempat itu sangat
sunyi, dan tak seorang pun yang suka menjeja-
kinya. Suasana yang begitu sunyi, membuat Gan-
ta bisa memusatkan perhatian pada latihan-
latihannya. Namun hari ini, ketika baru saja menyelesaikan latihan terakhirnya,
mendadak saja berkelebat sebuah bayangan kuning yang hampir
menyambar tubuhnya.
Wusss! "Heh..."! Uts!"
Cepat sekali Ganta menarik tubuhnya ke be-
lakang, sehingga kelebatan bayangan kuning itu
hanya lewat sedikit di depan tubuhnya. Ganta
bergegas melentingkan tubuhnya, lalu berputaran dua kali ke belakang. Manis
sekali gerakannya,
sehingga pada saat kakinya menjejak tanah, sedikit pun tak ada suara yang
ditimbulkan. "Siapa kau..."!" bentak Ganta begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang
laki-laki muda. Bajunya kuning panjang, bagai seorang
pendeta. Pemuda berwajah sangat tampan itu hanya
tersenyum saja. Jari-jari tangannya bergerak lincah meniti butir-butir kalung
tasbih berwarna
kuning keemasan. Dia melangkah ringan dan per-
lahan, memperpendek jarak. Sedangkan Ganta
sudah bersiap menggeser goloknya yang terselip
di pinggang. Kewaspadaannya langsung timbul
melihat kedatangan pemuda tampan berjubah
kuning bagai pendeta yang belum dikenalnya ini.
"Kau yang bernama Ganta?" tanya pemuda tampan berjubah kuning itu, tanpa
menjawab pertanyaan Ganta sebelumnya.
"Dari mana kau tahu namaku?" Ganta jadi keheranan.
"Sulit sekali mencarimu, Ganta. Tapi untun-glah, aku bisa menemukanmu di sini.
Semula aku ragu. Tapi setelah melihat kau mempraktekkan aji
'Sungsang Merah', kini baru aku yakin kalau kau adalah Ganta," jelas pemuda itu,
lembut sekali nada suaranya.
"Heh..."! Kau tahu aji 'Sungsang Merah'...?"
Ganta semakin terkejut keheranan.
Setahunya, ilmu-ilmu yang dimilikinya seka-
rang ini tidak ada seorang pun yang tahu. Bah-
kan mendiang Ki Basra, orang yang terdekat den-
gannya saja tidak tahu. Tapi mengapa pemuda
yang tidak dikenalnya ini malah mengetahui ilmu terakhirnya" Ganta memandangi
pemuda tampan berjubah kuning itu dalam-dalam. Pandangannya
penuh selidik dan penuh kecurigaan.
"Aku tahu semua jurus dan ajian yang kau
miliki, Ganta. Tapi sayang, kau belum begitu
menguasainya. Masih banyak kekurangan dan
kesalahan yang harus diperbaiki. Dan tentunya,
kau tidak bisa terjun ke dalam ganasnya rimba
persilatan dengan pengetahuan dan kepandaian
yang tanggung," masih tetap lembut nada suara pemuda berjubah kuning itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ganta terus diliputi perasaan penasaran.
"Dulu, orang tuaku memberi nama Nada
Prakasa. Tapi orang-orang lebih mengenalku se-
bagai Pendekar Kalung Sakti," pemuda itu memperkenalkan diri.
"Kau..., Pendekar Kalung Sakti...?" Ganta semakin terkejut begitu pemuda tampan
berbaju kuning itu memperkenalkan diri.
Kedua bola mata Ganta berputaran meman-
dangi sekujur tubuh Nada Prakasa yang juga ber-
juluk Pendekar Kalung Sakti. Seakan-akan dia
ingin meyakinkan diri, kalau pemuda yang berdiri di depannya ini benar-benar
seorang pendekar
yang namanya sering terdengar, dan selalu meng-
gemparkan rimba persilatan di setiap kemun-
culannya. "Bagaimana aku bisa percaya kalau kau be-
nar-benar Pendekar Kalung Sakti?" Ganta seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Lihatlah tasbih emasku ini, Ganta.... Lihatlah...! Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakan Nada Prakasa. Tasbih
berwarna kuning keemasan itu seketika melesat
cepat dari tangan kanannya, dan berputaran
mengitari sebatang pohon yang cukup besar be-
berapa kali. Lalu dengan kecepatan bagaikan ki-
lat, tasbih emas itu kembali meluncur berbalik ke arah pemiliknya. Tangkas
sekali pemuda berbaju
kuning itu menangkap kalung emasnya. Maka
suatu keajaiban pun terjadi. Pohon yang begitu
besar tadi, mendadak saja ambruk ke tanah.
Ganta terlongong menyaksikan kesaktian
yang begitu mengagumkan. Hampir-hampir pen-
glihatannya sendiri tidak dapat dipercayainya.
Pohon yang begitu besar dapat ambruk hanya ka-
rena diputari oleh sebuah kalung emas yang ber-
gerak sendiri melingkarinya. Pandangan Ganta
berpindah-pindah, dari pohon yang ambruk ke-
mudian beralih ke Pendekar Kalung Sakti.
"Bagaimana, Ganta" Kau percaya pada-
ku...?" ujar Nada Prakasa, lembut suaranya.
"Aku sering mendengar kehebatan dan ke-
saktian Pendekar Kalung Sakti. Tapi aku belum
pernah menyaksikan sendiri kehebatannya.
Hm.... Apakah tadi itu salah satu ilmu dari aji
'Lingkaran Kalung Sakti'?" agak bergumam nada suara Ganta.
"Pengamatanmu cukup tajam, Ganta. Aku
benar-benar kagum padamu," sahut Pendekar Kalung Sakti, memuji tulus.
"Terima kasih. Aku tadi hanya menebak sa-
ja. Aku memang pernah mendengar ajian itu. Dan
ternyata hasilnya sangat dahsyat dan mengagum-
kan. Terima kasih, kau sudi memperlihatkannya
padaku," kata Ganta merendah.
Ganta kemudian menjura memberi hormat.
Baru kini hatinya yakin, kalau pemuda seusianya yang berada di depannya ini
benar-benar Pendekar Kalung Sakti. Dia sangat mengagumi pende-
kar itu. Meskipun baru pertama kali bertemu
muka, tapi nama dan kedigdayaan Pendekar Ka-
lung Sakti sudah sering didengarnya.
'Terimalah salam hormatku, Pendekar Ka-
lung Sakti," ucap Ganta, penuh rasa hormat.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu bersikap sung-
kan begini, Ganta," sambut Pendekar Kalung Sakti seraya menyentuh pundak pemuda
berbaju pu- tih di depannya.
Ganta kembali berdiri tegak. Sebentar mere-
ka saling berpandangan, kemudian sama-sama
duduk bersila beralaskan rerumputan yang cu-
kup tebal dan nyaman bagai permadani alam ter-
hampar indah di puncak Gunung Garangan ini.
Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiam diri
saja, seakan-akan sedang mengumpulkan un-
taian kata-kata yang hendak diobrolkan.
"Oh, ya. Kau tadi mengatakan sengaja men-
cariku. Ada keperluan apa, sehingga bersusah
payah mencariku, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Ganta memulai lebih dahulu.
Pendekar Kalung Sakti tidak langsung men-
jawab. Bibirnya tersenyum seraya menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-
lahan. Beberapa kali hal itu dilakukan, lalu kepalanya bergerak terangguk-
angguk. Tadi dia me-
mang berkata kalau memang sengaja mencari
pemuda berbaju putih yang dikenal sebagai pen-
curi kecil ini. Tapi, apakah memang begitu..."
*** "Ganta. Boleh aku tanya sedikit padamu?"
pinta Pendekar Kalung Sakti tanpa menjawab per-
tanyaan Ganta tadi.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku?"
tanya Ganta. "Kuharap kau jangan tersinggung atas per-
tanyaanku nanti, Ganta," ucap Pendekar Kalung Sakti, lembut dan hati-hati


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Kening Ganta jadi berkernyit mendengar
ucapan Pendekar digdaya-itu. Namun kepalanya
tergeleng juga, meskipun perlahan sekali. Pendekar Kalung Sakti tersenyum
melihat gelengan ke-
pala Ganta, tapi masih belum juga melontarkan
pertanyaan. "Aku senang jika kau tidak tersinggung atas
pertanyaanku nanti, Ganta. Masalahnya ini me-
nyangkut pribadimu juga," jelas Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut dan hati-
hati nada suaranya.
"Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan
padaku, Pendekar Kalung Sakti?" desak Ganta ja-di penasaran.
Lagi-lagi Pendekar Kalung Sakti tersenyum.
Sedangkan Ganta semakin penasaran saja. Ha-
tinya bertanya-tanya, tentang pertanyaan yang
akan dilontarkan Pendekar Kalung Sakti padanya.
"Ganta, kau dikenal sebagai pemuda pencu-
ri. Dan lagi hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Tapi dalam dua tahun
belakangan ini,
kau sudah memiliki ilmu olah kanuragan dan ke-
saktian yang cukup tinggi tingkatannya, meski-
pun belum dikuasai sempurna," kata Pendekar Kalung Sakti membuka suara.
Kening Ganta semakin dalam berkerut. Di-
benarkannya semua ucapan Pendekar Kalung
Sakti barusan. Selama ini, dia memang dikenal
sebagai pencuri yang tidak memiliki ilmu olah kanuragan ataupun ilmu-ilmu
kesaktian yang ting-
gi. Memang tidak ada yang tahu. Bahkan Ki Basra sendiri, orang yang terdekat
dengannya tidak ta-hu tentang itu. Tapi sekarang, pemuda tampan
berjubah kuning di depannya, yang juga tidak dikenal sebelumnya, sudah
mengetahui banyak
tentang dirinya. Hal ini membuat berbagai macam pertanyaan yang bergelut di
kepalanya semakin
besar. "Boleh aku tahu, dari mana semua ilmu olah
kanuragan dan kesaktian itu kau peroleh, Gan-
ta?" tanya Pendekar Kalung Sakti meminta.
"Maaf, untuk apa kau ingin tahu?" Ganta malah balik bertanya.
Dari nada suaranya, jelas kalau pemuda itu
tidak senang atas pertanyaan Pendekar Kalung
Sakti barusan. Dan sinar matanya pun begitu ta-
jam menusuk langsung bola mata Pendekar Ka-
lung Sakti. Namun yang dipandangi hanya terse-
nyum saja, seakan-akan tidak mengetahui keti-
daksenangan pemuda di depannya ini.
"Aku sedikit kenal jurus-jurus dan ilmu-ilmu yang kau miliki, Ganta. Itu
sebabnya aku ingin
tahu, dari mana kau memperolehnya," jelas Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut
nada suaranya. "Kalau kau mengenal jurus-jurusku, tentu
juga sudah tahu siapa yang mengajariku, Pende-
kar Kalung Sakti," ujar Ganta, agak ketus nada suaranya.
"Aku kenal pemilik ilmu olah kanuragan
yang kau miliki, Ganta. Dan aku tahu, kalau
orang itu sudah tak ada lagi di dunia ini. Jadi, tidak mungkin kalau dia bisa
mengajarkannya pa-
damu. Apalagi dia sudah lebih dari tiga puluh tahun meninggal. Sedangkan usiamu
sendiri, belum mencapai tiga puluh tahun," tukas Pendekar Kalung Sakti.
"Terus terang, aku tidak suka bertele-tele.
Apa sebenarnya yang kau Inginkan, Pendekar Ka-
lung Sakti"!" dengus Ganta mulai menampakkan ketidaksenangannya.
"Aku hanya ingin tahu, dari mana kau pero-
leh semua ilmu itu, Ganta," ujar Pendekar Kalung Sakti. "Maaf, aku tidak bisa
mengatakannya. Itu urusanku sendiri, dari mana pun aku mendapatkannya," sahut
Ganta ketus. Pemuda itu langsung bangkit berdiri. Seben-
tar matanya menatap tajam Pendekar Kalung
Sakti, kemudian memutar tubuhnya dan melang-
kah pergi. Namun baru saja kakinya terayun be-
berapa tindak, mendadak saja berdesir angin dingin dari arah belakang. Dan tahu-
tahu berkelebat bayangan kuning. Ganta terhenyak begitu tiba-tiba di depannya
sudah menghadang Pendekar
Kalung Sakti. "Ganta, kedatanganku sebenarnya ingin me-
nolongmu. Kau dalam kesulitan besar. Aku tidak
bisa menolongmu, kalau kau berlaku begitu, dan
tutup mulut padaku," jelas Pendekar Kalung Sakti bersungguh-sungguh.
"Aku selalu dapat mengatasi segala kesuli-
tanku sendiri, Pendekar Kalung Sakti. Terima kasih, kau telah memperhatikanku.
Tapi maaf, aku tidak bisa menerima pertolongan seseorang yang
tidak kukenal," sahut Ganta tegas.
Setelah berkata demikian, Ganta langsung
cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan saja bayangan
tubuh pemuda itu
sudah lenyap dari pandangan.
"Benar-benar keras hatinya. Tapi aku yakin, dia tidak tahu bahaya yang akan
dihadapinya nanti," gumam Pendekar Kalung Sakti dalam hati.
Sebentar Pendekar Kalung Sakti meman-
dangi arah kepergian pemuda berbaju putih itu,
kemudian cepat melesat menuju ke arah keper-
gian Ganta. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning
berkelebat. Lalu,
bayangan itu lenyap ditelan lebatnya hutan di
puncak Gunung Garangan ini. Sebentar kemu-
dian, keadaan di puncak gunung ini kembali
sunyi. Hanya desir angin yang bertiup agak ken-
cang yang terdengar mempermainkan dedaunan.
Sementara siang terus merayap semakin senja,
dan kabut pun terus menggumpal bertambah
tebal. Udara di puncak gunung ini kian bertam-
bah dingin. Dan dua pemuda tadi tidak terlihat
lagi bayangannya.
*** Ganta terus berlari cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh, menuruni lereng Gu-
nung Garangan. Dia terus menembus lebatnya
hutan di sepanjang lereng gunung itu. Sedikit
pun kecepatan larinya tidak dikendorkan. Namun
begitu melompati sebuah sungai kecil yang men-
gair jernih melingkari lereng gunung ini, mendadak saja....
Slap! "Heh...! Uts!"
Ganta tersentak ketika tiba-tiba sebatang
anak panah meluncur deras ke arahnya. Cepat la-
rinya dihentikan dan tubuhnya dimiringkan, ma-
ka anak panah itu melewati atas pundaknya.
Ganta berpaling sedikit, menatap anak panah
berwarna merah, yang bagian ekornya berbentuk
seekor ular. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, menda-
dak saja beberapa orang berbaju merah berlom-
patan dari atas pohon. Ada sekitar sepuluh orang yang langsung bergerak
mengepung pemuda berbaju putih ketat itu. Di tangan masing-masing
tergenggam sebilah golok yang berkilatan tertimpa cahaya matahari senja.
"Kalian akan kecewa jika ingin merampok.
Aku tidak punya apa-apa yang bisa dirampas,"
kata Ganta dingin.
"Sesuatu yang istimewa telah kau miliki,
Ganta. Dan aku menginginkan yang istimewa itu,"
terdengar sahutan keras menggema.
Ganta jadi terkejut. Karena, sahutan itu de-
mikian jelas terdengar, tapi tak terlihat wujudnya.
Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekelil-
ing, namun tidak menemukan orang yang menge-
luarkan suara tadi. Sedangkan sepuluh orang
yang mengepungnya hanya diam saja tak bersua-
ra. Mereka semua melintangkan golok di depan
dada. Baju merah yang mereka kenakan agak
longgar tertiup angin.
"Siapa kau..." Jangan main sembunyi seperti tikus!" bentak Ganta lantang.
Wusss! Begitu bentakan Ganta menghilang, menda-
dak saja berkelebat sebuah bayangan merah. Dan
tahu-tahu di depan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah
merah. Di tangan kanannya tergenggam tongkat berkepala tengkorak.
Tatapan matanya begitu tajam, menusuk lang-
sung ke bola mata Ganta. Seakan-akan dia hen-
dak melumat pemuda itu bulat-bulat. Sedangkan
Ganta sendiri membalas tatapan itu tidak kalah tajamnya.
"Serahkan yang kau curi dari puriku, Gan-
ta," terdengar dingin nada suara laki-laki tua berjubah merah itu.
"Hhh! Aku mengenalmu saja, tidak. Bagai-
mana aku bisa dituduh mencuri di purimu?" dengus Ganta ketus.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main,
Bocah!" bentak orang tua berjubah merah itu berang. "Siapa yang main-main..."
Kau yang menghadang jalanku. Bahkan menuduhku mencuri.
Kau sendiri yang main-main denganku," balas Ganta tetap sinis.
"Cukup!" bentak orang tua berjubah merah itu. "Aku tidak punya waktu lagi.
Serahkan saja semua yang kau curi dari puriku. Cepat!"
"Enak saja memerintah. Memangnya apa
yang aku curi darimu...?"
"Jangan memaksaku kehilangan kesabaran,
Bocah! Mudah saja aku membunuhmu, semudah
membalikkan telapak tangan," ancam orang tua berjubah merah itu dingin.
"Kau pikir, aku takut..." Biar kau bawa monyet-monyet lebih banyak, aku tidak
takut!" balas Ganta lantang.
"Kurang ajar...! Beri bocah edan ini pelajaran!" geram orang tua itu sengit.
Saat itu juga, empat orang yang mengepung
berlompatan maju. Seorang yang berada tepat di
depan Ganta, langsung menyerang seraya mem-
babatkan golok ke arah dada pemuda itu.
Bet' "Hait..!"
Manis sekali Ganta menarik tubuhnya ke be-
lakang, sehingga tebasan golok orang itu hanya
lewat di depan dadanya. Namun sebelum Ganta
bisa menegakkan kembali tubuhnya, kembali da-
tang satu serang-an dari arah kanan. Sebilah golok yang berkilatan, berkelebatan
cepat menyam- bar ke arah kepala.
Wusss...! "Uts!"
Ganta terpaksa merundukkan kepala, mem-
buat tebasan golok itu tak sampai mengenai sasaran di kepalanya. Pada saat itu,
kaki Ganta cepat bergeser ke kanan. Dan secepat itu pula, tangannya dikebutkan,
menyodok ke arah lambung. Be-
gitu cepatnya sodokan tangan Ganta, membuat
orang yang berada di sebelah kanannya tak sem-
pat lagi menghindar.
Des! "Ugkh...!"
Orang itu mengeluh pendek agak tertahan.
Tubuhnya terbungkuk menahan nyeri pada ba-
gian lambungnya. Dan sebelum disadari apa yang
terjadi barusan, Ganta sudah melayangkan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. Tak pelak lagi, pukulan Ganta tepat bersarang pada rahang orang
itu. Diegkh! "Aaakh...!" terdengar pekikan keras.
Kepala orang itu terdongak ke atas. Darah
seketika muncrat keluar dari mulutnya. Ganta
tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera tu-
buhnya diputar ke kanan, lalu cepat sekali ka-
kinya menghentak melayang menghantam dada,
sebelum orang itu bisa berbuat sesuatu.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Aaakh...!"
"Phuih! Mampus kau...!"
*** Satu orang seketika tergeletak tak berkutik
lagi. Dadanya melesak terkena tendangan keras
bertenaga dalam cukup tinggi yang dilepaskan
Ganta. Tewasnya satu orang dalam beberapa ge-
brak saja, membuat yang lain terpana. Tiga orang berbaju merah ketat yang tadi
berlompatan menyerang Ganta, dalam waktu bersamaan jadi ter-
longong. Mereka seakan akan tidak percaya den-
gan semua yang telah terjadi.
"Bunuh bocah keparat itu...!" teriak laki-laki
tua berjubah merah.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan dikejutkan ledakan halilintar,
sembilan orang berbaju ketat berwarna merah
yang semuanya bersenjatakan golok, seketika berlompatan menyerang Ganta dari
segala penjuru.
Beberapa golok berkelebatan di sekitar tubuh pemuda itu. Namun Ganta yang
sekarang, bukanlah
Ganta yang dulu ketika masih sering mencuri dan tidak memiliki kepandaian apa
pun untuk membela diri.
Ganta sekarang sudah dapat bergerak cepat
dengan kelincahan yang mengagumkan. Meski-
pun dikeroyok sembilan orang bersenjata golok,
sedikit pun tak ada rasa gentar di hatinya. Bahkan serangan-serangan itu
dihadapi dengan ga-
rang. Setiap kali mendapatkan kesempatan, lang-
sung Ganta balas menyerang dengan dahsyat dan
mematikan. Hal ini membuat sembilan orang
pengeroyoknya jadi kelabakan juga.
Pertarungan baru berjalan beberapa jurus,
tapi sudah lima orang tergeletak tak bernyawa la-gi. Sedangkan dalam pertarungan
ini, Ganta be- lum menggunakan senjata apa pun. Melihat
orang-orangnya bergelimpangan tak sanggup me-
nandingi kehebatan jurus-jurus Ganta, maka


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berjubah merah itu jadi berang setengah
mati. Terlebih lagi sekarang tinggal empat orang lagi yang masih mampu bertahan.
"Mundur...!" bentak orang berjubah merah
itu lantang. *** 30 Tanpa menunggu perintah dua kali, empat
orang berbaju merah yang bersenjata golok bergegas berlompatan mundur. Menjauhi
arena perta- rungan. Mereka segera menempatkan diri di bela-
kang orang tua berjubah merah. Sedangkan Gan-
ta tetap berdiri tegak sambil menyunggingkan senyuman tipis.
Ada rasa kebanggaan di dalam hati Ganta,
karena mampu merobohkan enam orang lawan.
Sesuatu kebanggaan yang tidak pernah dirasakan
sebelumnya. Dan ini merupakan orang-orang per-
tama yang bertarung dengannya secara sungguh-
sungguh. Selama ini, lawan tandingnya hanya
boneka jerami, batu, dan pepohonan. Dan seka-
rang, ternyata hasilnya nyata! Dia mampu mero-
bohkan enam orang dalam beberapa jurus saja.
"Kalian semua bisa kukirim ke neraka, jika tidak segera angkat kaki dari sini,"
ancam Ganta. Terdengar dingin nada suaranya.
"Jangan besar kepala dulu, Bocah. Mereka
memang bukan lawanmu," balas orang tua berjubah merah itu tidak kalah dinginnya.
Setelah berkata demikian, ujung tongkatnya
dihentakkan ke tanah tiga kali. Saat itu juga, dari
balik pepohonan bermunculan sepuluh orang lagi.
Mereka bertampang kasar dengan gagang golok
terselip di pinggang. Ganta agak terkejut juga melihat kemunculan orang-orang
itu. Mereka adalah orang-orang yang mengejarnya, dan telah membunuh Ki Basra di
depan hidungnya sendiri.
"Kalian...," desis Ganta dingin menggetarkan. "Kau tidak bisa lolos lagi dari
kami, Ganta,"
tegas laki-laki bertampang bengis yang mengena-
kan baju kuning.
Orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah
kasar inilah yang telah menewaskan Ki Basra.
Ganta menatapnya dengan tajam, dengan sinar
mata penuh kebencian dan dendam membara.
Begitu bencinya, sampai-sampai gerahamnya ber-
gemeletuk, dan otot-ototnya meregang kaku. Ter-
dengar bunyi bergemeletak saat pemuda berbaju
putih ketat itu mengepalkan tangannya.
"Kau berhutang nyawa padaku, Tikus Kepa-
rat..!" geram Ganta mendesis, menahan kemarahan yang melanda hatinya.
"Ha ha ha...! Sayang sekali, kau tidak punya kesempatan menagih hutang, Ganta,"
ejek laki-laki tegap berbaju kuning itu.
"Langkas...!" panggil orang tua berjubah merah itu lantang.
Laki-laki tinggi tegap berwajah kasar yang
memakai baju kuning ketat itu berpaling menatap orang tua berjubah merah yang
memanggilnya. Tubuhnya sedikit dibungkukkan, seakan-akan
memberi hormat pada orang tua berjubah merah
itu. "Bereskan dia, aku tunggu di puri," perintah orang tua berjubah merah itu.
"Baik...."
Tanpa menunggu selesainya jawaban, orang
tua berjubah merah itu cepat melesat pergi. Begi-tu sempurna ilmu meringankan
tubuh yang dimi-
likinya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Empat
orang berbaju merah yang mendampinginya juga bergegas mengi-
kuti, berlompatan pergi dari tempat itu.
"Pengecut..," desis Ganta.
Tapi pemuda itu tidak mungkin bisa mence-
gah kepergian orang tua berjubah merah tadi. Karena, sepuluh orang yang dipimpin
laki-laki tegap berbaju kuning bernama Langkas itu sudah bergerak membuat
lingkaran mengepung Ganta.
Hampir bersamaan mereka mencabut senjata
masing-masing. Sebentar pandangan Ganta bere-
dar ke sekeliling, mengamati sepuluh orang pen-
gepungnya. Tatapan matanya kemudian tertanam
pada Langkas. "Sudah berapa kali kukatakan, kalian tidak akan memperoleh apa-apa dariku!" kata
Ganta agak membentak.
"Bicaralah sepuasmu, Ganta. Sebentar lagi
kau harus mengucapkan selamat tinggal pada
dunia. Ha ha ha...!" keras dan menggelegar sekali nada suara Langkas.
"Aku khawatir malah sebaliknya," desis Gan-
ta dingin. Trek! Langkas menjentikkan ujung jarinya. Maka
saat itu juga, dua orang berlompatan maju ke depan Ganta. Mereka memainkan golok
di depan dada. Cahaya matahari yang hampir tenggelam di
balik belahan Barat, membuat golok-golok itu
berkilatan, seakan-akan hendak menggetarkan
jantung pemuda berbaju putih ketat itu.
"Beri dia pelajaran, biar terbuka matanya.
Berani benar berurusan dengan Kelompok Golok
Setan!" lantang suara Langkas.
Bet! Bet! "Yeaaah...!"
"Hup! Hyaaa...!"
Dua orang bersenjata golok itu cepat ber-
lompatan ke kanan dan kiri Ganta. Lalu hampir
bersamaan, mereka mengebutkan golok ke arah
kepala dan kaki pemuda itu. Sejenak Ganta terperangah menghadapi serangan cepat
yang datang dari dua arah ini. Namun begitu dua batang golok hampir menebas kaki dan kepala,
sebelah kakinya cepat mengangkat sambil merunduk agak
membungkuk. Maka dua senjata golok berdesir di
atas kepala dan kakinya.
Begitu golok-golok itu lewat, Ganta cepat
melentingkan tubuh ke udara. Lalu bagaikan kilat tubuhnya meluruk ke bawah
dengan tubuh terba-lik. Secepat itu pula, dilepaskannya dua pukulan dengan
tangan kanan dan kiri yang telah meren-
tang lebar bagai sayap seekor burung hendak me-
lumpuhkan mangsa.
"Hiyaaa...!"
Diegkh! Des! Kedua pukulan yang dilepaskan secara ber-
samaan itu tepat menghantam kedua orang yang
tidak sempat lagi menghindar. Mereka menjerit
keras saling susul. Pukulan Ganta ternyata mem-
buat kepala mereka pecah, hingga menimbulkan
suara berderak keras. Sebentar kedua orang itu
masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung
dan akhirnya ambruk menggelepar di tanah.
Darah langsung mengucur deras dari kepala
yang pecah terkena pukulan menggeledek berte-
naga dalam tinggi. Tidak berapa lama kedua
orang itu menggelepar dan mengerang, kemudian
diam tak bernyawa lagi. Darah terus bercucuran
keluar dari kepala yang pecah. Ganta berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan
senyum men- gejek. "Kelompok Golok Setan.... Ternyata hanya sampai di situ saja
kemampuannya," ejek Ganta memanasi dengan sinis.
"Phuih!" Langkas menyemburkan ludahnya, geram.
*** Betapa geramnya Langkas. Ternyata dua
orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa
gebrakan saja. Dia juga terkejut! Sebab, tidak disangka anak muda yang
pekerjaannya mencuri itu,
ternyata memiliki tingkat kepandaian yang cukup mengagumkan juga.
Selama ini Ganta kelihatan seperti orang bo-
doh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi seka-
rang, sepak terjang pemuda itu membuat pemim-
pin Kelompok Golok Setan harus menelan pil pa-
hit yang menyakitkan. Dua orang anak buahnya
tewas hanya beberapa gebrak saja. Dia seakan-
akan baru disadarkan oleh adanya beberapa
mayat berbaju merah yang bergelimpangan.
"Jangan besar kepala dulu, hanya karena bi-sa menjatuhkan dua orang anak buahku,
Ganta," desis Langkas, dingin dan menggetarkan.
"Kau ingin maju..." Silakan. Jangan me-
nyesal kalau kepalamu terpisah dari leher," tantang Ganta memanasi.
"Bocah setan...! Bunuh dia...!" perintah Langkas, sengit.
Seketika itu juga, delapan orang sisa anak
buah Langkas berlompatan menyerang pemuda
berbaju putih ketat itu. Mereka langsung menca-
but golok. Menghadapi keroyokan orang-orang yang
sudah berpengalaman dalam pertarungan, Ganta
tidak mungkin menganggap remeh. Terlebih lagi,
mereka telah menghilangkan nyawa Ki Basra,
orang satu-satunya yang terdekat dengannya.
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ganta melentingkan tubuh ke udara,
dan melakukan putaran beberapa kali.
"Hiyaaat...!"
Sret! Begitu Ganta mencabut golok, tubuhnya
langsung meluruk deras ke arah dua orang pe-
nyerang yang terdekat. Cepat sekali Ganta mengibaskan goloknya, sehingga membuat
dua orang itu hanya bisa terperangah.
Bret! Bet! Dua jeritan panjang melengking tinggi ter-
dengar saling susul dan menyayat. Kemudian,
terlihat dua orang ambruk menggelepar dengan
leher terkoyak terbabat golok pemuda berbaju putih ketat itu.
Baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba
saja datang satu serangan cepat bagaikan kilat
dari arah samping kanan. Bergegas Ganta mena-
rik tubuhnya ke kiri, menghindari tebasan golok yang begitu cepat. Golok itu
hanya lewat sedikit saja di samping bahunya. Dan belum juga tubuhnya ditarik
kembali, datang lagi satu serangan cepat dari arah belakang.
Tak ada lagi kesempatan bagi Ganta untuk
menghindar. Maka goloknya cepat dikebutkan ke
belakang, melindungi punggungnya dari tebasan
golok yang yang dari arah belakang.
Trang! Begitu dua golok beradu, bergegas Ganta
memutar tubuh seraya mengebutkan goloknya lu-
rus-lurus. Tubuhnya sedikit merunduk, dan ka-
kinya menghentak ke belakang, tepat ketika seo-
rang pengeroyoknya mencoba mencari kesempa-
tan. "Hih!"
Diegkh! Cras! Sekali melakukan gerakan saja, Ganta telah
berhasil menyarangkan satu tendangan keras
bertenaga dalam penuh ke dada salah seorang
penyerangnya. Dan goloknya pun kembali berak-
si, membabat perut orang yang tadi membokong
dari belakang. "Aaa...!"
Satu jeritan panjang terdengar melengking
dan menyayat, berpadu keluhan pendek dari
orang yang terkena tendangan pada dadanya.
Ganta cepat memutar tubuh, dan goloknya kem-
bali berkelebat cepat ke samping kanan.
Trang! "Hait!"
Cepat-cepat Ganta melompat ke belakang
begitu goloknya terasa beradu keras dengan se-
buah senjata. Matanya sempat melirik pada pemi-
lik senjata itu. Ternyata, Langkas sudah terjun dalam arena pertarungan, tepat
ketika golok Ganta hampir menewaskan satu orang lagi anggota
Kelompok Golok Setan.
"Bagus! Jangan hanya bisa membunuh
orang tua tak berdaya," dengus Ganta mengejek.
"Setan...! Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat...!"
Langkas benar-benar geram. Laki-laki kasar
ini sudah kehilangan empat orang anak buahnya.
Dan sekarang tinggal lima orang lagi yang tersisa.
Apalagi, tampaknya mereka terlihat mulai gentar menghadapi pemuda berusia
sekitar dua puluh
tahun ini. Akan tetapi terjunnya Langkas ke da-
lam pertarungan, membuat semangat mereka
kembali bangkit.
Kali ini Ganta bukan hanya menghadapi pa-
ra kroco, tapi juga harus menghadapi Langkas
yang dikenal berkepandaian cukup tinggi. Ganta
yang sudah sering mendengar sepak terjang Ke-
lompok Golok Setan, harus berhati-hati mengha-
dapi pemimpinnya. Laki-laki kekar berwajah ben-
gis itu terkenal licik dan punya segudang akal bu-suk untuk bisa melumpuhkan
lawannya. Pertempuran kali ini berjalan sengit. Lima
orang anak buah Langkas seringkali tidak keba-
gian dalam penyerangan. Mereka seakan-akan
begitu tersisih. Terlebih lagi, setelah pertarungan berjalan lebih dari lima
jurus. Mereka benar-benar tidak punya kesempatan. Dan akhirnya, li-
ma orang itu hanya jadi penonton saja. Sementa-
ra pertarungan kini tinggal satu lawan satu.
"Awas kepala...!" teriak Langkas tiba-tiba.
Bet! "Uts!"
*** Hampir saja golok di tangan Langkas me-
menggal leher Ganta. Untungnya, pemuda itu se-
gera menarik kepala ke belakang. Namun tanpa
disadari lebih dahulu, tiba-tiba saja Langkas
menghentakkan kakinya ke arah dada pemuda


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaju putih ketat itu.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya tendangan pemimpin Ke-
lompok Golok Setan itu, sehingga Ganta tak
punya kesempatan menghindar lagi. Tendangan
yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dada.
Des! "Akh...!" Ganta terpekik agak tertahan.
Pemuda itu terpental keras sekali ke bela-
kang. Dia jatuh bergulingan di tanah. Pada saat itu, Langkas melompat memburu.
Goloknya langsung dibabatkan beberapa kali ke arah tubuh
pemuda itu. Namun Ganta tangkas sekali berhasil menghindarinya, dengan
bergulingan di tanah.
Dan ketika ada sedikit kesempatan, bergegas tu-
buhnya melenting, bangkit dari tanah. Sungguh
ringan sekali gerakannya. Ganta kini kembali
berdiri dengan kedua kakinya yang mantap.
Namun belum juga Ganta dapat menarik
napas lega, kembali datang satu serangan golok
yang mengarah ke dada. Tak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghindar. Cepat-cepat goloknya
ditarik untuk melindungi dada. Satu benturan
dua senjata golok tak dapat dihindari lagi.
Trang! "Akh...!" lagi-lagi Ganta terpekik.
Pemuda berbaju putih ketat itu terhuyung-
huyung ke belakang sambil meringis. Tulang-
tulang jari tangan kanannya terasa nyeri sekali.
Langsung disadari kalau kekuatan tenaga dalam-
nya masih kalah satu tingkat dibanding Langkas.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" teriak Langkas keras menggelegar.
Bagaikan kilat, pemimpin Kelompok Golok
Setan itu melompat sambil mengebutkan golok-
nya ke arah leher. Sejenak Ganta terbeliak menghadapi serangan yang begitu
cepat. Maka berge-
gas dia menjatuhkan diri ke tanah. Namun belum
juga tubuhnya menyentuh tanah berdebu, men-
dadak saja Langkas cepat menarik tebasan golok-
nya. Langsung dilepaskannya satu tendangan ke-
ras menggeledek disertai pengerahan tenaga da-
lam penuh. "Yeaaah...!"
Diegkh! "Aaakh....!" lagi-lagi Ganta memekik keras agak tertahan.
Pemuda berbaju putih itu tersungkur men-
cium tanah. Namun Ganta cepat bangkit berdiri,
meskipun agak limbung. Dan sebelum keseim-
bangan tubuhnya sempat dikendalikan, bagaikan
kilat Langkas sudah kembali melompat menye-
rang. Goloknya dikebutkan ke arah leher pemuda
itu. Kali ini Ganta benar-benar tidak mungkin bi-sa menghindari diri lagi.
"Modar kau! Hiyaaat..!"
"Mati aku...," desah Ganta terbeliak. Namun tiba-tiba saja....
Slap! Bet! "Heh..."!"
Golok yang sudah bergerak mengibas begitu
cepat, tak dapat ditarik kembali. Namun Langkas jadi terkejut setengah mati!
Karena begitu goloknya hampir saja membabat leher Ganta, menda-
dak saja berkelebat sebuah bayangan yang begitu cepat menyambar tubuh pemuda
pencuri itu. Sebelum ada yang menyadari, tubuh Ganta
sudah lenyap bagai tertelan bumi. Dan Langkas
hanya mampu membabat angin. Laki-laki tegap
berwajah kasar dan bengis itu jadi kelabakan. Sebab, lawan yang sudah berada di
ambang maut, mendadak saja lenyap begitu saja.
"Setan keparat...!" dengus Langkas mengge-ram berang.
Dia, celingukan mencari-cari, tapi Ganta be-
nar-benar lenyap tidak ketahuan rimbanya lagi.
Langkas hanya bisa mendengus dan menggerutu
kesal. Sungguh dia tidak tahu, ke mana perginya pemuda pencuri itu. Dengan bola
mata berapi-api, dipandanginya lima orang anak buahnya
yang juga kebingungan atas kejadian yang begitu cepat ini.
"Kalian lihat, ke mana anak keparat itu per-gi?" tanya Langkas lantang.
Kelima orang itu hanya menggelengkan ke-
pala saja, Mereka juga tidak tahu, ke mana le-
nyapnya Ganta. Langkas jadi bertambah geram.
Goloknya segera dikibaskan sambil berteriak ke-
ras menggelegar. Sebatang pohon yang cukup be-
sar, seketika tumbang terkena babatan golok. Suara menggemuruh menggetarkan
jantung terden-
gar begitu pohon itu ambruk menghantam tanah.
"Ayo, tinggalkan tempat ini. Cepat...!" ajak Langkas belum hilang berangnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, kelima
orang itu bergegas berlompatan mengikuti pe-
mimpinnya yang tengah dilanda kemarahan yang
amat sangat. Tak berapa lama kemudian, tempat
itu kini jadi sunyi. Tak lagi sedap untuk dinikmati pemandangannya. Pepohonan
bertumbangan saling tumpang tindih. Banyak tanah berlubang, ser-ta bebatuan
berhamburan menambah tidak se-
dapnya pemandangan di tempat bekas pertarun-
gan. Belum lagi mayat-mayat yang berge-
limpangan tak terurus, dan siap menjadi santa-
pan binatang liar di hutan ini.
*** Di mana sebenarnya Ganta berada"
Tidak jauh dari kaki Gunung Garangan se-
belah Utara, terdapat sebuah pondok tua yang
sudah reyot dan hampir roboh. Dinding-
dindingnya berlubang di sana-sini, atapnya juga berantakan tak beraturan lagi.
Di dalam pondok
yang kecil itu Ganta duduk bersila dengan sikap bersemadi.
Entah sudah berapa lama pemuda itu mela-
kukan semadi. Pakaiannya yang kotor berdebu,
teronggok di sampingnya. Golok dan sebuah
bungkusan kain berisi sebuah benda berbentuk
kotak seperti tempat perhiasan para putri bang-
sawan juga teronggok di situ. Kedua mata pemu-
da itu terpejam rapat namun tarikan napasnya
begitu teratur.
Ada beberapa luka memar pada dadanya
yang memerah. Juga dari sudut bibirnya masih
terlihat bekas darah yang sudah mengering. Kea-
daan di dalam pondok kecil ini juga begitu ku-
muh. Tak ada yang bisa dilihat, kecuali hanya sebuah dipan reyot dari bambu yang
beralaskan anyaman tikar pandan, yang kini diduduki Ganta.
Perabotan di situ pun hanya kuali dan berbagai peralatan dapur dari tanah liat.
Lantai tanah dalam pondok itu terlihat lembab dan berlumut.
Udaranya begitu pengap berbau tidak sedap.
Kriiiet...! Pintu pondok yang semula tertutup rapat,
perlahan terbuka. Dari luar, tampak muncul seo-
rang laki-laki muda berjubah kuning gading bagai pendeta. Jari-jari tangan
kanannya terus meniti butiran batu kuning keemasan yang teruntai
membentuk kalung. Pemuda itu melangkah ma-
suk dan tersenyum melihat Ganta masih duduk
bersemadi dengan tekun sekali.
"Bagaimana keadaanmu, Ganta?" tanya pemuda berjubah kuning yang ternyata adalah
Nada Prakasa, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar
Kalung Sakti. Perlahan Ganta membuka matanya, lalu
menarik napas lambat-lambat, dan menghem-
buskannya dengan nikmat sekali. Tubuhnya dige-
liatkan sedikit. Lalu dia melakukan beberapa gerakan tangan, dan kembali
meletakkan kedua te-
lapak tangannya di atas lutut. Pandangannya
langsung tertuju pada Pendekar Kalung Sakti.
"Bagaimana keadaanmu, Ganta?" tanya
Pendekar Kalung Sakti seraya duduk bersila di
depan Ganta. "Sudah membaik," sahut Ganta. "Aku tidak tahu, bagaimana harus mengucapkan
terima kasih padamu."
"Apa yang kulakukan hanya sebagian kecil
dari tugas seorang pendekar, Ganta. Kau memer-
lukan bantuan, dan aku tidak bisa menonton be-
gitu saja tanpa melakukan sesuatu," jelas Pendekar Kalung Sakti, merendah.
"Bagaimana kau bisa begitu cepat menyela-
matkan nyawaku?" tanya Ganta.
"Kebetulan aku lewat dekat tempat perta-
runganmu. Semula aku tidak ingin ikut campur.
Tapi melihat keadaanmu begitu terdesak, aku ti-
dak bisa diam. Maaf kalau aku mencampuri uru-
sanmu dengan Kelompok Golok Setan," Pendekar Kalung Sakti menguraikan dengan
nada merendah. "Langkas memang tangguh. Aku benar-
benar tidak sanggup menghadapinya," Ganta
agak mengeluh. "Sebenarnya kau mampu menghadapi Lang-
kas, Ganta. Hanya sayangnya kau masih terbawa
nafsu amarah sehingga tidak dapat mengendali-
kan diri. Juga, kau tidak dapat membedakan ge-
rak tipu maupun gerak sebenarnya. Jika lebih
cermat dan dapat mengendalikan perasaan hati,
aku yakin kau pasti dapat mengalahkannya."
"Kau hanya menghiburku saja, Pendekar Ka-
lung Sakti."
"Aku berkata yang sebenarnya. Walaupun
pemilik ilmu 'Ular Merah' telah meninggal tiga puluh tahun yang lalu, tapi ilmu-
ilmu yang kau pelajari dari Kitab Ular Merah sudah mencapai tingkatan yang cukup
tinggi. Dengan kepandaian
yang kau miliki sekarang ini, sebenarnya sudah
sukar bagi orang seperti Langkas untuk menga-
lahkanmu. Apalagi jika kau sudah berhasil mem-
perdalam dan menyempurnakannya lagi. Pasti
kau akan diperhitungkan dalam rimba persila-
tan." "Dari mana kau tahu kalau aku memperoleh semua ini dari Kitab Ular Merah?"
tanya Ganta agak terperanjat.
"Bukan hanya aku saja yang tahu, tapi
hampir seluruh tokoh persilatan sudah mengeta-
huinya. Kau telah menyimpan Kitab Ular Merah
yang dicuri dari si Siluman Ular Merah di Puri
Sangga Mayit," sahut Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut dan tenang nada
suaranya. Ganta terdiam. Pandangannya begitu dalam,
merayapi wajah tampan di depannya. Sungguh ti-
dak pernah disangka kalau Kitab Ular Merah yang dicurinya dari Puri Sangga Mayit
sudah begitu cepat menyebar. Dan memang, dalam dua tahun
setelah menguasai Kitab itu, sudah beberapa kali dia harus bertarung
mempertahankan nyawa.
Seperti halnya dengan Kelompok Golok Se-
tan, dan orang-orang berbaju merah yang dipim-
pin oleh seorang laki-laki tua berjubah merah.
Ganta tidak tahu, siapa laki-laki tua berjubah
merah itu. Tapi, jelas ada hubungannya dengan
Kelompok Golok Setan. Terbukti, sikap Langkas
kelihatan begitu hormat terhadap orang tua ber-
jubah merah itu.
"Sekarang Ini, kau benar-benar dalam kesu-
litan besar, Ganta. Kau membutuhkan seseorang
yang dapat melindungimu dari kejaran orang-
orang Siluman Ular Merah. Sudah pasti dia tidak akan melepaskanmu begitu saja,
selama kitab yang kau curi darinya masih di tanganmu," jelas Pendekar Kalung Sakti lagi.
Ganta masih tetap terdiam membisu.
"Terlebih lagi sekarang ini. Sudah banyak
tokoh rimba persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih yang berkeliaran
mencarimu. Mereka juga ingin mendapatkan kitab itu. Karena kitab yang kau curi
kebetulan kitab intisari ilmu-ilmu Siluman Ular Merah. Jika kau berhasil men-
guasainya secara sempurna, si Siluman Ular Me-
rah sendiri pun akan kesulitan menghadapimu,"
sambung Pendekar Kalung Sakti.
"Kau tahu banyak tentang kitab itu, Pende-
kar Kalung Sakti. Apakah kau juga berminat un-
tuk menguasainya?" ada nada kecurigaan di da-
lam suara Ganta.
Pendekar Kalung Sakti tersenyum seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian tangan-
nya merogoh ke balik lipatan jubahnya, dan men-
geluarkan sesuatu yang terbungkus selembar
kain sutra berwarna putih halus dengan lipatan
rapi. Diletakkannya bungkusan kain sutra ber-
bentuk kotak itu, tepat di depan Ganta.
"Aku diminta untuk mencarimu oleh seseo-
rang yang memiliki benda ini. Dia berpesan, agar aku membawamu kepada seorang
pendekar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Katanya, kau
pasti kenal jika sudah melihat benda itu, Ganta,"
jelas Pendekar Kalung Sakti.
Sejenak Ganta terdiam memandangi bung-
kusan kain sutra putih di depannya. Kemudian
ditatapnya Pendekar Kalung Sakti beberapa saat.
Perlahan tangannya terulur mengambil bungku-
san kain sutra putih itu, lalu membukanya den-
gan hati-hati sekali.
Di dalam bungkusan kain sutra putih itu
terdapat sebuah kotak kayu kecil berukir yang
halus. Kembali dipandangnya Pendekar Kalung
Sakti. Pendekar muda yang tampan dan berjubah
bagai pendeta itu hanya tersenyum seraya men-
ganggukkan kepala. Ganta kemudian membuka
tutup kotak itu.
"Oh..."!"
Kedua mata Ganta terbeliak begitu melihat
isi kotak kecil itu. Seakan-akan dia hampir tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Pandan-
gannya berpindah-pindah, dari kotak kayu kecil
berukir itu kepada Pendekar Kalung Sakti. Untuk beberapa saat Ganta hanya


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdiam membisu.
Wajahnya agak memerah dan tubuhnya bersim-
bah keringat, sedikit bergetar. Pendekar Kalung Sakti jadi menyipit matanya
melihat perubahan
yang begitu mendadak.
*** 4 "Siapa yang memberimu ini?" tanya Ganta setelah dapat menguasai diri.
"Seorang gadis di Karang Setra," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Kau tahu, siapa namanya?" tanya Ganta la-gi. "Sayang sekali, namanya tidak
disebutkan. Dia hanya memberikan benda itu, dan meminta-
ku untuk memberikannya padamu. Setelah itu,
aku diminta mengantarmu untuk menemui Pen-
dekar Rajawali Sakti di Istana Karang Setra,"
Pendekar Kalung Sakti menjelaskan singkat.
Ganta kembali terdiam. Dipandanginya se-
buah batu hitam berbingkai emas, berbentuk se-
kuntum bunga yang ada di dalam kotak kayu be-
rukir. Ditutupnya kembali kotak kayu itu. Pan-
dangannya menerawang jauh ke depan dan begitu
kosong tanpa arti. Ingatannya kembali berputar
pada dua, tahun yang lalu, ketika masih tinggal di sebuah desa yang berada di
wilayah Kerajaan Karang Setra. Tepatnya di Desa Batu Ceper.
"Widarti...," desis Ganta tanpa sadar.
"Mungkinkah dia masih hidup, dan masih berada di Karang Setra...?"
Baru saja Ganta akan turun dari dipan
bambu, mendadak saja....
"Ganta keluar kau...!"
"Heh..."! Siapa itu...?" Ganta tersentak kaget. Bukan hanya Ganta yang terkejut,
tapi juga Pendekar Kalung Sakti sampai terlompat turun
dari dipan bambu. Sejenak mereka saling berpan-
dangan, kemudian Ganta hendak melangkah ke-
luar. Namun, Pendekar Kalung Sakti keburu
mencegahnya. "Kenakan dulu pakaianmu, Ganta," ujar Pendekar Kalung Sakti berbisik.
Ganta seakan-akan baru sadar, kalau saat
ini tidak berpakaian. Bergegas diambilnya pa-
kaian yang teronggok di atas dipan, kemudian
bergegas dikenakannya. Goloknya diselipkan ke
pinggang. Kotak kayu kecil itu kembali dibungkus dengan kain sutra putih, lalu
disimpan di balik sabuknya yang terbuat dari kulit.
"Siapa orang yang di luar itu, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Ganta, seperti
untuk dirinya sendiri.
"Mungkin orang-orangnya Siluman Ular Me-
rah, atau Kelompok Golok Setan. Mungkin juga
orang-orang dari rimba persilatan yang juga ingin
menguasai kitab yang kau curi dari Puri Sangga
Mayit," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Kenapa orang-orang rimba persilatan selalu membuang nyawa percuma hanya untuk
sebuah kitab...?" kembali Ganta menggumam seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Sudah menjadi hukum rimba yang tidak bi-
sa ditawar lagi, Ganta. Sesuatu yang berharga
dan dapat memperkuat diri, selalu menjadi inca-
ran orang. Tidak ubahnya orang-orang yang bisa
mencari harta kekayaan dan kesenangan dengan
segala cara. Baik yang terpuji, maupun yang di-
kutuk Sang Hyang Widi. Dan sekarang, kau me-
miliki sebuah kitab yang sangat berharga. Tidak heran jika berita itu cepat
tersebar, dan kini kau harus menghadapi mereka," jelas Pendekar Kalung Sakti.
Ganta mendengus berat, kemudian melang-
kah tegap keluar dari pondok kecil ini. Pendekar Kalung Sakti mengikuti dari
belakang. Di depan
pondok tampak sudah berkumpul orang-orang
berbaju merah. Di antara mereka, terlihat Lang-
kas dan lima orang anak buahnya. Mereka semua
menggenggam golok terhunus. Ganta memandan-
gi mereka dengan sinar mata tajam. Ada sekitar
tiga puluhan banyaknya, atau mungkin lebih.
Seakan-akan tempat yang kecil ini tidak dapat la-gi menampung orang-orang yang
memadati hala- man pondok itu.
"Firasatku mengatakan, ada beberapa orang
berkepandaian tinggi yang hadir di sekitar tempat
ini, Ganta," bisik Pendekar Kalung Sakti memperingatkan.
"Merekakah orang-orang persilatan...?"
Tanya Ganta juga berbisik.
"Aku kira begitu, Ganta. Hati-hatilah. Kalau ada kesempatan, lebih baik cepat
pergi dari sini."
Ganta jadi tercenung. Menghadapi Langkas
saja, hampir mati. Apalagi untuk menghadapi be-
gini banyak orang, ditambah orang-orang rimba
persilatan yang masih tersembunyi dan tidak jauh dari sekitar pondok kecil ini.
Meskipun di sampingnya ada Pendekar Kalung Sakti, tapi rasanya memang sukar
untuk dapat lolos. Terlebih lagi
menyelamatkan diri.
"Walaupun harus mati, tidak bakalan aku
sudi menyerahkan kitab itu, Pendekar Kalung
Sakti," desis Ganta bertekad.
Pendekar Kalung Sakti menepuk pundak
pemuda itu. Hatinya kagum terhadap kekerasan
hari Ganta. Meskipun mendapat sebuah kitab
dengan cara mencuri, namun benda yang dipero-
lehnya berharga sekali. Bahkan menjadi incaran
tokoh-tokoh rimba persilatan. Pendekar Kalung
Sakti harus membela Ganta. Karena jika kitab itu berhasil dikuasai kembali
Siluman Ular Merah,
tidak dapat dibayangkan, bagaimana jadinya du-
nia persilatan ini. Tokoh sesat itu bisa semakin merajalela dan sukar dicari
tandingannya. Siluman Ular Merah memang belum sempat
seluruhnya mempelajari intisari 'Ilmu Siluman
Merah', karena kitab itu telah keburu dicuri Gan-
ta. "Langkas! Kau ingin mendapatkan kitab itu"
Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa menda-
patkannya!" tantang Ganta lantang.
"Bedebah! Kau memang harus mampus, Bo-
cah Setan!" geram Langkas berang.
Sret! Ganta mencabut goloknya, dan ditempatkan
melintang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, merayapi orang-orang yang
berada di sekitarnya.
Mereka semua tinggal menunggu perintah
saja. Dan sebentar kemudian....
"Serang dan bunuh bocah keparat itu...!" perintah Langkas, lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan batu-batu yang longsor dari atas
bukit, orang-orang berbaju merah itu meluruk deras sambil berteriak-teriak
membakar semangat
pertempuran. Golok mereka teracung di atas ke-
pala. Dan mereka yang berada di depan, langsung berlompatan seraya mengibaskan
golok ke arah Ganta. Tak ada seorang pun yang mempedulikan
Pendekar Kalung Sakti.
*** Bagaikan kesetanan, Ganta mengamuk
mengibaskan goloknya dengan cepat dan bertubi-
tubi. Jerit dan erangan kesakitan menggema, ber-
campur baur dengan teriakan dan pekikan per-
tempuran yang membahana. Tubuh-tubuh ber-
simbah darah bergelimpangan satu persatu. Da-
lam waktu sebentar saja, sudah lebih sepuluh
orang yang tewas. Bau anyir darah mulai tercium menyemaraki udara sekitarnya.
"Ganta benar-benar berbakat. Kalau dia
mendapat gemblengan dan mampu menyempur-
nakan ilmu Ular Merah', aku yakin, dunia persilatan akan dibuat gempar," gumam
Pendekar Kalung Sakti. Dalam beberapa jurus, Ganta memang
masih terlihat tangguh menghadapi lawan-
lawannya. Tapi menghadapi begitu banyak lawan
yang seakan-akan tidak pernah habis, tenaganya
jadi terkuras juga. Gerakan-gerakannya mulai
menurun, dan mulai tampak kewalahan. Bebera-
pa kali pukulan dan tendangan lawan bersarang
di tubuhnya. Namun Ganta benar-benar tak men-
genal gentar. Meskipun di tubuhnya sudah terda-
pat luka dari dua bacokan golok, dia tetap gigih bagaikan banteng liar.
"Dia bisa mati kalau terus-menerus begini,"
desis Pendekar Kalung Sakti jadi cemas.
Keadaan Ganta memang sudah begitu
mengkhawatirkan. Darah terus mengucur deras
dari tubuhnya.. Dan kelihatannya dia bertambah
lemah saja. Serangan-serangannya sudah tidak
lagi menggigit. Hal ini membuat Pendekar Kalung Sakti semakin cemas.
"Aku harus cepat bertindak," desisnya.
"Hiyat..!"
Pendekar Kalung Sakti langsung melompat
cepat bagai kilat, masuk dalam kancah pertempu-
ran. Kalung emasnya berkelebat cepat menghajar
orang-orang yang mengeroyok Ganta. Jeritan-
jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh
berlumuran darah.
"Ganta! Cepat pergi dari sini!" seas Pendekar Kalung Sakti keras menggelegar.
"Tidak...! Aku harus membunuh mereka se-
mua, atau aku yang mati di sini!" sahut Ganta lantang.
"Kau jangan bertindak nekat Ganta!"
"Mereka atau aku yang harus mati...!
Hiyaaat..!"
"Gila! Dia benar-benar sudah nekat," dengus Pendekar Kalung Sakti.
Tak ada pilihan lain bagi pemuda bernama
Nada Prakasa ini. Dia terpaksa bertarung mengu-
rangi kekuatan lawan-lawan pemuda itu. Dengan
kalung emas saktinya, pendekar yang selalu men-
genakan jubah bagai seorang pendeta itu memang
sukar ditandingi. Apalagi bagi orang-orang yang berkepandaian jauh lebih rendah
darinya. Sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah ti-
dak terhitung lagi orang yang jatuh bergelimpangan tak bernyawa.
Namun orang-orang berbaju merah itu sea-
kan-akan tidak ada habis-habisnya. Entah dari
mana datangnya, mereka selalu muncul dan ce-
pat masuk dalam pertempuran. Pendekar Kalung
Sakti pun hampir tidak percaya kalau orang-
orang berbaju merah yang dikenalnya sebagai
anak buah Siluman Ular Merah begitu besar jum-
lahnya. Dan dia cepat menyadari kalau sekitar
tempat ini tentu sudah terkepung rapat Tak ada
lagi celah untuk dapat meloloskan diri.
Pada saat yang begitu gawat, tiba-tiba se-
buah bayangan besar menggantung di angkasa.
Dan.... "Khraaagkh...!"
Bagaikan kilat, bayangan besar keperakan
itu menukik ke arah pertarungan, langsung me-
nyambar Pendekar Kalung Sakti. Gerakannya be-
gitu cepat bagaikan kilat, sehingga Pendekar Kalung Sakti tak sempat lagi
berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya sudah membumbung tinggi ke
angkasa. Namun begitu dia berpaling ke atas....
"Itu Ganta, yang baju putih. Dia sudah cu-
kup parah...!" teriak Pendekar Kalung Sakti.
"Khraaagkh...!"
"Bertahanlah sedikit, Pendekar Kalung Sak-
ti!" terdengar sahutan menggema yang sangat berwibawa sekali.
Seketika itu juga, kembali bayangan besar
itu menukik. Mereka yang mengeroyok pemuda
berbaju putih ketat itu jadi terpana, ketika melihat sesosok bayangan besar itu
tiba-tiba melesat ke arena pertempuran.
Lalu sebelum mereka menyadari kejadian se-
lanjutnya, bayangan besar itu telah melesat ke
angkasa lagi sambil menyambar tubuh Ganta
yang sudah berlumuran darah.
Tak ada seorang pun yang berbuat sesuatu.
Mereka hanya saling pandang, seakan-akan ter-
kesima oleh kejadian yang sangat cepat itu. Terlebih lagi Langkas yang pada saat
itu hampir saja menebas leher Ganta.
"Setan alas...!" geram Langkas memaki.
Dua kali dia kehilangan Ganta pada saat-
saat yang teramat gawat, dan dengan cara yang
sukar diterima akal sehat. Langkas hanya bisa
memaki, karena Ganta dan Pendekar Kalung Sak-
ti benar-benar lenyap ditolong sesosok bayangan besar yang diduganya seekor
burung raksasa!
"Hal ini tidak bisa didiamkan lagi. Aku harus melaporkan pada Siluman Ular
Merah!" dengus Langkas menahan geram.
*** Langkas duduk bersimpuh di lantai yang ke-
ras dan berkilat sambil tertunduk dalam. Lima
orang anak buahnya duduk di belakang laki-laki
kekar bertampang bengis itu. Di depan mereka,
berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Di tangan kanannya tergenggam
sebatang tongkat
berkepala tengkorak yang ujungnya runcing. Wa-
jah laki-laki tua itu kelihatan memerah, seolah-olah menahan kemarahan yang
hampir me- muncak. Sepasang bola matanya berkilatan tajam me-
rayapi orang-orang yang duduk bersimpuh di lan-
tai. Di dalam ruangan yang sangat besar dan
tampak megah ini, hampir penuh sesak oleh
orang berbaju merah. Tak ada seorang pun yang
berani mengangkat kepalanya. Begitu sunyinya,
sampai-sampai desiran angin yang begitu lemah
pun terdengar jelas sekali.
"Kalian benar-benar tidak berguna! Mengha-
dapi bocah ingusan saja tidak becus!" dengus la-ki-laki tua berjubah merah itu,
dingin menggetarkan. "Anak itu dibantu seorang pendekar, Siluman Ular Merah,"
ujar Langkas tanpa mengangkat kepalanya.
"Hanya satu orang yang membantu, dan aku
harus kehilangan begitu banyak orang, heh..."!"


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak laki-laki tua yang ternyata adalah Siluman Ular Merah, berang.
Tak ada seorang pun yang berani membuka
suara lagi Mereka semakin dalam tertunduk. Si-
luman Ular Merah menghempaskan dirinya di
kursi yang memiliki sandaran tinggi. Ujung tongkatnya dihentak-hentakkan ke
lantai, sehingga
bunyinya seakan-akan seperti detak-detak penen-
tu kematian. Membuat semua yang berada di da-
lam ruangan itu semakin bergetar, tak mampu la-
gi mengangkat kepala.
"Siapa pendekar itu, Langkas?" tanya Siluman Ular Merah, agak rendah nada
suaranya. "Pendekar Kalung Sakti," sahut Langkas seraya mengangkat kepalanya perlahan.
"Pendekar Kalung Sakti...," gumam Siluman
Ular Merah perlahan, hampir tidak terdengar suaranya. "Kau tahu, mengapa dia
membantu bocah itu?" "Aku sempat mendengar beberapa pembicaraan mereka di dalam
pondok, Siluman Ular Me-
rah. Dia sengaja menemui Ganta untuk dibawa ke
Karang Setra. Kelihatannya pendekar itu tidak
peduli dengan Kitab Ular Merah yang dicuri Ganta dari sini," jelas Langkas.
"Karang Setra..." Bukankah itu sebuah kerajaan di daerah Kulon?"
"Benar! Dan rajanya bernama Prabu Rangga
Pati Permadi. Dia juga seorang pendekar yang
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," sahut Langkas memberi penjelasan.
"Mau apa dia ke sana?" Siluman Ular Merah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mereka hendak menemui Pendekar Rajawali
Sakti di Istana Karang Setra," Langkas menyahuti tanpa diminta lagi.
Brak! Siluman Ular Merah menggebrak meja yang
ada di sampingnya. Meja dari kayu jati tebal dan bertatakan batu pualam putih
itu seketika hancur berkeping-keping terkena pukulan laki-laki tua
berjubah merah ini. Wajahnya semakin bertam-
bah memerah. Gerahamnya bergemeletuk mena-
han kemarahan yang kembali memuncak.
"Setan! Ini tidak boleh terjadi...! Wanita keparat itu pasti telah menyerahkan
'Bunga Hitam' pada Pendekar Kalung Sakti untuk diserahkan
pada Pendekar Rajawali Sakti. Kau tahu, Lang-
kas. Benda itu dapat meningkatkan kesaktianku!
Jangan sampai benda itu jatuh ke tangan Pende-
kar Rajawali Sakti!" desis Siluman Ular Merah.
Dipandanginya Langkas dan semua orang
yang berada di ruangan besar ini. Sedangkan
Langkas sudah kembali tertunduk. Untuk bebe-
rapa saat, tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Semuanya membisu, menunggu
keputusan yang akan diambil Siluman Ular Merah.
"Langkas...," panggil Siluman Ular Merah.
Langkas kembali mengangkat kepala, me-
mandang pada laki-laki tua berjubah merah itu.
Agak bergetar juga hatinya melihat sinar mata Siluman Ular Merah yang menusuk,
bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja di depan-
nya. "Bawa semua kekuatan yang ada. Aku yakin, mereka pasti menempuh jalan
Utara. Cegat mereka di sana. Jangan pedulikan prajurit-prajurit Karang Setra.
Kekuatan mereka tidak ada artinya.
Kau mengerti, Langkas...?" perintah Siluman Ular Merah,
"Mengerti," sahut Langkas seraya mengangguk. "Bersiaplah sekarang juga. Aku
sendiri yang akan memimpin kalian semua."
"Baik, Siluman Ular Merah."
Langkas bangkit berdiri dan membungkuk-
kan badannya sedikit, kemudian membalikkan
tubuhnya dan melangkah meninggalkan ruangan
besar itu. Semua orang yang ada di ruangan itu
ikut berdiri. Serentak mereka membungkuk
memberi hormat, lalu berjalan ke luar dengan teratur sekali.
Tidak berapa lama, ruangan jadi sepi. Tak
ada seorang pun di sana, kecuali Siluman Ular
Merah yang masih duduk di kursi megah bagai
sebuah singgasana para raja. Beberapa saat dia
masih duduk di sana, kemudian bangkit berdiri.
Ayunan kakinya begitu mantap menuju se-
buah pintu yang berada tidak seberapa jauh dari kursi megah itu. Didorongnya
pintu itu dengan
ujung tongkatnya. Kemudian, kakinya melangkah
masuk. Ternyata di balik pintu itu terdapat se-
buah lorong yang tidak begitu panjang. Siluman
Ular Merah terus melangkah menyusuri lorong
yang hanya diterangi cahaya api obor.
Laki-laki tua itu berbelok pada sebuah ti-
kungan yang memiliki pintu dari besi baja tebal dan kokoh. Suara berderit
terdengar mengiris hari saat Siluman Ular Merah membuka pintu besi itu.
Cahaya lampu pelita dari buah jarak menerangi
sebuah ruangan berdinding batu. Hanya ada satu
pelita yang menerangi ruangan berukuran tidak
begitu besar itu. Siluman Ular Merah melangkah
masuk, lalu kembali menutup pintu.
Tidak ada barang-barang di dalam ruangan
ini, kecuali sebuah dipan kayu yang terletak di sudut ruangan ini. Di atas dipan
kayu itu duduk seorang wanita yang wajahnya lesu tanpa gairah
hidup. Sinar matanya begitu redup kala menatap
Siluman Ular Merah. Namun dari keredupan ca-
haya matanya, tercermin kebencian yang amat
sangat "Kau berhasil. Tapi sayang, bukan ke sini tu-juannya," kata Siluman Ular Merah
perlahan. "Phuih! Kau tidak akan bisa memperoleh
apa-apa dariku, iblis!" dengus wanita itu ketus.
"He he he.... Asal tahu saja, tidak ada seorang pun yang dapat mengeluarkanmu
dari sini. Dan sebentar lagi, dia akan mampus. He he he...,"
Siluman Ular Merah tertawa terkekeh.
"Huh! Sampai mati pun, aku tidak akan
mengatakan apa-apa padamu, iblis!"
Sambil tertawa terkekeh menyeringai, Silu-
man Ular Merah menghampiri wanita itu. Sepa-
sang bola matanya berkilatan, memancarkan ca-
haya penuh gairah membara. Wanita berkulit
kuning langsat itu jadi bergidik. Tubuhnya langsung bergeser, hingga merapat ke
dinding. Bagaikan seekor serigala lapar melihat kelin-
ci gemuk, laki-laki tua itu melompat menerkam
wanita itu. Gerakannya begitu cepat, sehingga
wanita berpakaian koyak itu tidak dapat lagi
menghindar. "Auw...!"
Wanita itu menjerit dan meronta, mencoba
melepaskan diri. Namun pelukan Siluman Ular
Merah begitu kuat. Sia-sia saja dia berontak,
meskipun sudah berusaha keras. Mereka bergu-
lingan di balai-balai bambu yang reyot. Wanita itu mencoba menghindari hunjaman
ciuman Siluman Ular Merah yang begitu gencar menjelajahi selu-
ruh wajah dan lehernya.
"Kurang ajar! Lepaskan...!" jerit wanita itu terus meronta.
Namun jeritan dan rontaan wanita itu tidak
dihiraukan. Bahkan malah membuat Siluman
Ular Merah semakin bergairah. Kasar sekali dia
merenggut baju yang sudah hampir tidak berben-
tuk lagi. Sepasang bukit kembar yang putih dan
indah mencuat keluar, membuat bola mata Silu-
man Ular Merah berkilatan penuh gairah.
"Setan...! Iblis! Kubunuh kau, Keparat...!"
maki wanita itu menjerit-jerit.
Baru saja Siluman Ular Merah berhasil me-
rampas baju wanita yang bernama Widarti itu, ti-ba-tiba saja terdengar ketukan
di pintu. Laki-laki tua itu mendengus sambil berpaling menatap pintu.
"Setan....!" maki Siluman Ular Merah berang.
Cepat dia melompat turun dari balai-balai,
langsung bergegas ke pintu. Dengan kasar dibu-
kakannya pintu kamar ini. Di sana Langkas tam-
pak berdiri sambil membungkuk sedikit.
"Mau apa kau?" bentak Siluman Ular Merah.
"Semua sudah siap. Tinggal menunggu...."
Langkas tidak melanjutkan. Matanya melirik ke
dalam kamar. Kepalanya langsung tertunduk be-
gitu melihat Widarti tergolek tanpa pakaian.
Siluman Ular Merah berpaling sebentar me-
natap Widarti, lalu bergegas melangkah keluar.
Pintu terbanting keras menutup kembali.
Sementara Widarti hanya dapat menyesali
nasib buruknya. Pakaiannya yang teronggok di
sampingnya diraih, lalu dikenakan kembali
Kencan Di Lorong Maut 2 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Renjana Pendekar 8
^