Pencarian

Siluman Ular Merah 2

Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah Bagian 2


meskipun sudah tidak sempurna lagi untuk me-
nutupi tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya me-
nyembul keluar, menampakkan kulit yang putih
halus. "Dewata Yang Agung..., tuntunlah Kakang
Ganta ke sini. Rohku tidak akan tenang sebelum
melihat iblis tua keparat itu mampus. Aku ber-
sumpah, akan kupenggal batang lehernya. Oh...,"
rintih Widarti lirih.
*** 5 Sementara itu, tidak jauh dari sebelah Utara
perbatasan Kerajaan Karang Setra, tampak dua
orang laki-laki muda tengah duduk bersila ber-
dampingan di bawah sebatang pohon yang cukup
rindang. Mereka tidak berkedip memperhatikan
seorang pemuda tanpa mengenakan baju tengah
bersemadi di atas sebongkah batu yang cukup
besar dan pipih.
Tidak jauh dari tempat itu, terlihat seekor
burung rajawali raksasa berbulu putih kepera-
kan. Binatang itu mendekam diam sambil mem-
perhatikan pemuda yang tengah melakukan se-
madi di bawah teriknya sinar matahari.
"Untung kau cepat datang, Pendekar Raja-
wali Sakti," desah pemuda tampan berjubah kuning bagai pendeta.
Sedangkan pemuda yang duduk di samping-
nya berpaling sedikit, lalu memberi senyuman tipis. Bajunya rompi putih dengan
sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung-
nya. "Aku menerima suratmu, dan langsung berangkat," jelas pemuda berbaju rompi
putih yang tak lain adalah Rangga atau Pendekar Rajawali
Sakti. "Dia sudah bersamamu, Pendekar Rajawali Sakti. Maka, sekarang aku harus
pergi," kata pemuda berbaju kuning gading bagai pendeta. Dia
adalah Nada Prakasa, yang lebih dikenal dengan
gelar Pendekar Kalung Sakti.
"Kenapa harus tergesa-gesa, Pendekar Ka-
lung Sakti?" Rangga ingin mencegah.
"Tugasku sudah selesai, Pendekar Rajawali
Sakti." "Lalu, bagaimana dengan Widarti?" tanya Rangga.
Pendekar Kalung Sakti tidak segera menja-
wab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskannya kuat-kuat. Pandangannya kembali
tertuju pada pemuda yang tengah bersemadi. Se-
bentar kemudian beralih pada Pendekar Rajawali
Sakti yang duduk di sampingnya. Dalam surat
yang dikirimkan untuk Pendekar Rajawali Sakti,
semuanya memang sudah diceritakannya. Jadi
tidak perlu lagi harus dijelaskan lagi secara terpe-rinci. Pendekar Kalung Sakti
yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini sudah tanggap terhadap
keadaan yang terjadi.
Waktu itu, Pendekar Kalung Sakti telah me-
nyelamatkan Widarti dari keroyokan Kelompok
Golok Setan yang telah bergabung dengan Silu-
man Ular Merah. Namun sebelumnya, Widarti se-
cara diam-diam telah menyerahkan Bunga Hitam
pada Pendekar Kalung Sakti untuk diserahkan
pada Ganta. Dan Ganta harus mengantarkannya
pada Pendekar Rajawali Sakti.
Bunga Hitam sebenarnya memang warisan
keluarga Ganta. Benda itu memang tengah dicari-
cari oleh tokoh-tokoh rimba persilatan, karena
keampuhannya dalam meningkatkan kesaktian.
Dan karena menjadi rebutan, maka hanya Pende-
kar Rajawali Saktilah yang mampu mengaman-
kannya. Setelah Widarti dapat diselamatkan, ternyata
Pendekar Kalung Sakti harus berhadapan dengan
Siluman Ular Merah. Laki-laki tua itu sebenarnya hanya ingin menyandera Widarti,
adik Ganta. Hal ini dilakukan karena Ganta telah mencuri Kitab
Ular Merah dari Puri Sangga Mayit. Dan pada ak-
hirnya Pendekar Kalung Sakti dapat dikalahkan
oleh Siluman Ular Merah sedangkan Widarti ber-
hasil diculik oleh laki-laki tua itu.
Sebelum berhadapan dengan Siluman Ular
Merah, Pendekar Kalung Sakti telah mengirimkan
sepucuk surat pada Pendekar Rajawali Sakti le-
wat seorang pedagang dari Karang Setra. Dan pa-
da kenyataannya, surat itu telah dibaca oleh Pendekar Rajawali Sakti hingga dia
datang ke sini.
"Aku hanya berharap, dia tidak mengalami
sesuatu yang buruk," desah Pendekar Kalung Sakti perlahan, seakan-akan bicara
untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak pernah bertemu muka dengan si
Siluman Ular Merah. Dan juga, aku tidak tahu
kalau dia berada di wilayah kerajaanku ini. Tapi aku tidak akan menolak siapa
pun yang meminta
bantuanku," jelas Rangga seperti ingin meyakinkan. "Aku percaya padamu, Pendekar
Rajawali Sakti. Sudah sering dirimu kudengar di Selatan.
Aku bangga bisa berkenalan denganmu, meski-
pun dalam suasana yang tidak menyenangkan
ini," sambut Pendekar Kalung Sakti.
"Terima kasih. Mudah-mudahan perkenalan
ini akan berlanjut menjadi persahabatan."
"Aku pun berharap begitu."
Mereka kemudian saling berjabatan tangan
hangat dan penuh persahabatan. Untuk beberapa
saat mereka terdiam. Mungkin sibuk dengan piki-
ran masing-masing. Dan hampir bersamaan me-
reka mengarahkan pandangan kembali pada pe-
muda yang tengah tekun bersemadi.
"Apa Ganta bisa pulih seperti semula kemba-li, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya
Pendekar Kalung Sakti.
"Aku harap begitu. Lukanya tidak terlalu parah," sahut Rangga.
"Aku kagum. Ternyata kau pandai juga men-
gobati orang," puji Pendekar Kalung Sakti.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Berapa lama dia harus bersemadi?"
"Sampai senja nanti. Dia terlalu banyak
menguras tenaga dan mengeluarkan darah. Perlu
dua hari lagi untuk memulihkan tenaganya," jelas Rangga.
"Kasihan dia...," desah Pendekar Kalung Sakti bergumam.
"Segala sesuatu mengandung akibat, Pende-
kar Kalung Sakti,"
"Benar. Tapi, dia tidak tahu akibat dari per-buatannya."
"Aku tidak yakin, dia mencuri kitab itu karena tidak sengaja," agak menggumam
nada suara Rangga.
"Maksudmu?"
"Di dalam suratmu, kau mengatakan Widarti
sekarang ini berada di tangan Siluman Ular Me-
rah. Dan gadis itu adalah adik Ganta...."
"Memang benar," sahut Pendekar Kalung Sakti. "Lalu, bagaimana kau bisa bertemu
Widarti?" "Aku pernah bermaksud menolongnya dari keroyokan Kelompok Golok Setan
tanpa disengaja. Dia sempat menitipkan sebuah benda padaku,
dan berpesan agar aku mencari Ganta agar benda
itu diberi-kan padanya. Kemudian Widarti juga
minta tolong agar benda ini diserahkan pada-
mu...," dengan singkat Pendekar Kalung Sakti menceritakan pertemuannya dengan
Widarti. Dia juga menceritakan pertarungannya me-
lawan Siluman Ular Merah. Tanpa malu-malu dia
mengakui kalau hampir mati di tangan laki-laki
tua berjubah merah itu. Sampai di situ Rangga
sudah tahu kelanjutannya. Pendekar Rajawali
Sakti itu menemukan Pendekar Kalung Sakti da-
lam keadaan terluka parah. Itu awal pertemuan
mereka. Tapi Pendekar Kalung Sakti waktu itu tidak tahu kalau orang yang
menolongnya justru
Pendekar Rajawali Sakti yang sekarang berada di sampingnya.
"Seharusnya aku tahu kalau waktu itu ada-
lah kau, Pendekar Rajawali Sakti. Maafkan atas
ketidaktahuan ku," ucap Pendekar Kalung Sakti.
"Lupakanlah. Saat itu kita sama-sama dike-
jar waktu," sambut Rangga diiringi senyuman.
"Boleh aku pergi sekarang?" pinta Pendekar Kalung Sakti berpamitan.
"Sebenarnya aku tidak ingin menahanmu,
Pendekar Kalung Sakti. Tapi, siapa lagi yang tahu tempat persembunyian Siluman
Ular Merah...?"
agak berat nada suara Rangga.
"Ha ha ha...! Tampaknya kehadiranku di
daerah Kulon ini belum tuntas," ujar Pendekar Kalung Sakti.
"Tampaknya begitu."
"Baiklah. Kau akan kuantarkan ke sana.
Kapan?" "Tunggu sampai Ganta selesai bersemadi"
Pendekar Kalung Sakti mengangkat bahunya.
*** Sampai hari berganti malam, ternyata Ganta
belum juga bangun dari semadinya. Dan baru
tengah malam pemuda itu bangkit dari semadi.
Kemudian, kakinya melangkah menghampiri Pen-
dekar Rajawali Sakti dan Pendekar Kalung Sakti
yang duduk menunggui di depan api unggun.
"Bagaimana perasaanmu, Ganta?" tanya
Pendekar Kalung Sakti mendahului, begitu Ganta
baru duduk di sampingnya.
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengu-
capkan terima kasih," ujar Ganta.
"Kau tidak perlu sungkan begitu, Ganta. Apa yang kami lakukan merupakan tugas
sebagai pendekar," Rangga menyahuti.
Untuk beberapa saat mereka terdiam, dan
sama-sama memandang ke api dengan pikiran
masing-masing. Ganta merogoh kantung sabuk-
nya. Dikeluarkannya kotak kayu kecil, lalu dibu-ka penutupnya. Dipandanginya isi
kotak kayu ke- cil itu lekat-lekat. Seketika terbayang wajah seorang gadis yang dulu pernah
dekat dengannya.
Gadis satu-satunya yang sedarah dengannya, dan
kini entah berada di mana.
"Kata adikku, isi kotak ini telah menjadi rebutan kaum rimba persilatan. Dia
juga berpesan agar aku menyerahkan benda ini padamu untuk
diselamatkan. Terimalah," ujar Ganta.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi kotak
kayu berukir itu, lalu menyodorkan tangannya.
Diterimanya kotak kayu itu, lalu dibuka penu-
tupnya. Mata Rangga agak menyipit, memperha-
tikan benda yang ternyata Bunga Hitam yang ak-
hir-akhir ini jadi rebutan tokoh rimba persilatan.
"Baiklah. Benda ini akan kusimpan baik-
baik. Dan siapa saja yang berniat merebutnya,
harus berhadapan denganku," tegas Pendekar Rajawali Sakti.
Sejenak suasana di tempat itu jadi hening
kembali. Masing-masing sibuk dengan pikiran-
nya. "Kami akan membantu membebaskan adik-mu, Ganta," tegas Rangga perlahan,
namun cukup untuk memecah keheningan.
Ganta menarik napas panjang dan meng-
hembuskannya kuat-kuat Wajahnya berpaling
menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa dia masih hidup...?" terdengar ragu-ragu nada suara Ganta.
"Kuharap demikian," sahut Rangga.
"Ganta! Kau tahu di mana adikmu, bu-
kan...?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
Ganta terdiam tidak langsung menjawab.
Kepalanya bergerak tertunduk. Beberapa kali na-
pasnya di tarik dalam-dalam dan dihembuskan-
nya kuat-kuat. Seakan-akan dia hendak melong-
garkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak
menghimpit seluruh dadanya.
"Ceritakan seluruhnya pada kami, Ganta,"
pinta Rangga. "Kudengar, kau telah mencuri sebuah kitab. Tapi aku yakin, kau
mencuri kitab itu bukan karena sengaja. Kau pasti punya maksud
tersendiri."
"Sebenarnya ini persoalan lama. Antara ke-
luargaku dengan Siluman Ular Merah...," tutur Ganta setelah menarik napas dalam-
dalam. Seakan dia begitu berat untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada kedua
pendekar muda ini.
"Teruskan, Ganta," pinta Rangga lagi.
"Aku sebenarnya tidak mencuri, tapi men-
gambil milikku sendiri. Milik keluargaku yang diambil Siluman Ular Merah. Kitab
itu sebenarnya bukan berisi jurus-jurus Siluman Ular Merah sa-
ja. Dan memang rupanya orang tua itu sudah me-
rubah dan menyisipkan beberapa jurus yang di-
miliki. Bahkan telah menggabungkan beberapa
jurus warisan keluargaku dengan miliknya. Itu
sebabnya kitab ini berharga sekali, karena memiliki jurus-jurus yang langka dan
sangat ampuh."
Rangga dan Pendekar Kalung Sakti saling
berpandangan. Mereka tidak menyangka kalau ki-
tab yang diributkan itu sebenarnya kepunyaan
keluarga Ganta. Jadi Siluman Ular Merah sendiri yang sebenarnya mencuri kitab
itu dari keluarga pemuda ini. Mereka kembali memandang Ganta
yang sudah melanjutkan ceritanya lagi.
"Cukup lama juga aku mengamati kebiasaan
Siluman Ular Merah di Puri Sangga Mayit. Lalu
aku pura-pura jadi muridnya. Dua bulan aku di
sana, sehingga bisa keluar masuk puri dengan leluasa. Waktu Siluman Ular Merah
bersemadi, ke- sempatan itu ku manfaatkan. Aku tahu kalau dia
menyimpan kitab itu di ruang penyimpanan sen-
jata dan kitab-kitab lain. Dan ternyata aku berhasil mengambil dan lari dari
sana." "Kapan itu terjadi?" tanya Rangga.
"Lebih dua tahun lalu," sahut Ganta.
"Dan selama dua tahun ini kau mempelaja-
rinya?" tanya Pendekar Kalung Sakti.


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar. Tapi aku terpaksa pindah-pindah
tempat, karena Siluman Ular Merah terus menca-
riku." "Lalu, di mana kau simpan kitab itu?" tanya Rangga.
"Ikut terbakar bersama rumah Ki Basra,"
sahut Ganta. "Kau sudah mempelajari semuanya?" selak Pendekar Kalung Sakti, mau tahu lagi.
Sebab dia sudah melihat Ganta memperagakan jurus-jurus
dari kitab itu.
Ganta menggeleng.
"Baru sebagian saja."
"Baru sebagian saja, tapi kau sudah cukup
tangguh, Ganta," puji Pendekar Kalung Sakti, yang telah beberapa kali melihat
pertarungan pemuda itu.
"Tapi belum cukup untuk membalas dendam
keluargaku terhadap Siluman Ular Merah," Ganta agak mengeluh.
"Dendam bukan satu-satunya cara menyele-
saikan persoalan, Ganta," sergah Rangga lembut.
"Aku sudah bersumpah untuk membalas
sakit hati keluargaku. Tapi sekarang semuanya
pupus. Aku menyesal tidak bisa melindungi Wi-
darti. Dia pasti begitu menderita berada di tangan keparat itu."
"Kami akan membantu sebatas kemampuan
untuk membebaskan adikmu, Ganta. Percayalah.
Widarti sudah meminta Pendekar Kalung Sakti
untuk meminta bantuanku," ujar Rangga meyakinkan.
'Terima kasih," ucap Ganta. "Widarti sebenarnya bukan wanita lemah. Dia sering
mengem- bara menjelajahi rimba persilatan. Jadi aku tidak heran jika dia mengenalmu."
"Sebenarnya aku belum pernah bertemu
dengannya," Rangga mengakui dengan jujur.
'Tapi julukanmu sudah sering terdengar.
Bahkan aku sering mendengar cerita tentang di-
rimu, Pendekar Rajawali Sakti."
Rangga hanya tersenyum saja. Memang ti-
dak mungkin dihindari kalau julukannya sudah
begitu dikenal banyak orang, meskipun belum
banyak yang pernah bertemu langsung.
"Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau beris-
tirahat, Ganta. Besok pagi-pagi sekali kita be-
rangkat untuk membebaskan adikmu," jelas
Rangga. Ganta tidak membantah. Dia memang lemah
sekali. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan begitu
penat. Setelah berbasa-basi sebentar, kemudian
tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun.
Sedangkan Rangga dan Pendekar Kalung Sakti
berjaga-jaga malam ini.
"Aku tidak yakin, apa kita mampu mengha-
dapi orang-orang Siluman Ular Merah yang begitu besar jumlahnya,'" desah
Pendekar Kalung Sakti, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
Rangga hanya tersenyum saja. Bisa dimak-
lumi, seseorang yang pernah kalah dalam perta-
rungan, tentu harus berpikir dua kali untuk
menghadapi kembali. Kecuali bila sudah memper-
siapkan diri terlebih dahulu. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti tidak punya
kesempatan untuk
mempersiapkan diri dan mematangkan jurus-
jurusnya. Rasa kurang percaya diri sudah barang tentu menyelimuti hatinya.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum me-
nampakkan diri, ketiga pemuda itu sudah beran-
jak pergi menuju Puri Sangga Mayit, tempat ber-
semayamnya Siluman Ular Merah, Pendekar Ka-
lung Sakti dan Ganta berjalan kaki menembus
kelebatan hutan, sedangkan Rangga menunggang
Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa
yang berbulu putih keperakan.
Perjalanan melalui angkasa memang lebih
cepat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat sampai ke tempat tujuan.
Namun Rajawali Putih belum diperintahkan turun, meskipun su-
dah berada di atas bangunan sebuah puri yang
cukup besar dan megah.
"Putih, kau melihat ada orang di bawah sa-
na?" tanya Rangga, agak keras suaranya.
"Khraaaghk...!" sahut Rajawali Putih seraya menganggukkan kepala.
"Berapa orang?"
Rajawali Putih menggerakkan kepala ke kiri
satu kali. Rangga tahu kalau di dalam puri itu
hanya ada satu orang saja. Dan ini membuatnya
bertanya-tanya sendiri. Menurut keterangan Pen-
dekar Kalung Sakti dan Ganta, Siluman Ular Me-
rah memiliki anak buah yang banyak jumlahnya.
Tapi sekarang, Rajawali Putih hanya melihat satu orang saja di dalam puri.
"Turunkan aku di bagian depan, Putih," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Bagaikan sebongkah batu yang dilemparkan
ke dalam jurang, Rajawali Putih menukik deras ke bawah.
Sebentar saja binatang raksasa itu sudah
mendarat tepat di bagian depan Puri Sangga
Mayit. Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar
Rajawali Sakti melompat turun dari punggung bi-
natang tunggangannya. Sebentar dia berdiri tegak mengamati sekitarnya. Begitu
sunyi, tak terlihat seorang pun di tempat ini.
Rangga menajamkan pendengarannya. Me-
mang benar, tak terdengar tarikan napas sedikit
pun. Puri Ini benar-benar telah dikosongkan. Sedikit pun tidak terdengar suara
di sekitarnya. "Tunggu di sini, Putih. Kalau ada apa-apa, kau bisa menghadapinya sendiri," kata
Rangga berpesan.
"Khrrrk...!" Rajawali Putih mengkirik perlahan seraya menganggukkan kepala.
Slap! Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah
mencapai pintu depan Puri Sangga Mayit itu.
Punggungnya cepat dirapatkan ke dinding, di
samping pintu yang tidak memiliki penutup. Per-
lahan Pendekar Rajawali Sakti menjulurkan kepa-
la, melongok ke dalam. Namun mendadak saja....
Wus! "Uts!"
Kalau saja Rangga tidak cepat menarik ke-
palanya, mungkin sudah terpisah dari leher. Betapa tidak..." Begitu kepalanya
dijulurkan melewati ambang pintu, sebatang golok yang sangat
besar ukurannya mendadak saja jatuh dari atas,
tepat mengarah ke lehernya.
Rangga memandangi golok berukuran besar
yang menggantung tepat di tengah-tengah pintu.
Kepalanya menggeleng-geleng. Tak sanggup
membayangkan bila golok itu sampai menebas le-
hernya tadi. "Jebakan yang hebat..," desis Rangga menggumam.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti men-
gayunkan kakinya memasuki bangunan puri yang
megah dan terbuat dari batu. Dia langsung men-
gagumi keindahan puri ini begitu berada di da-
lam. Namun juga disadarinya kalau di balik keindahan ini, tersimpan segudang
bahaya yang men-
gincar jiwanya.
Rangga terus melangkah menyeberangi
ruangan yang luas. Dan begitu berada tepat di
tengah-tengah ruangan ini, mendadak saja dari
segala arah berdesiran puluhan anak panah. Sen-
jata-senjata yang dapat menembus kulit setebal
apa pun itu, meluncur deras ke arah Rangga.
Benda-benda itu seakan-akan muncul begitu saja
dari dalam dinding yang mengelilingi ruangan ini.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya
ke udara. Kedua tangannya langsung merentang
lebar, bergerak cepat seperti sepasang sayap burung yang mengepak. Pemuda
berbaju rompi pu-
tih itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Mem-
belah Mega'. Puluhan anak panah yang meluruk deras ke
arahnya, terbabat rontok sebelum mencapai sasa-
ran. Namun panah-panah itu seperti tidak ada
habisnya, berdesingan di sekitar tubuh Rangga.
Hal ini membuat pemuda itu jadi berpikir. Ra-
sanya memang tidak mungkin terus berlompatan
menghindari hujan anak panah ini, kalau tidak
ada habisnya. "Hup! Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang dipadu jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega', Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke atas. Dia melakukan putaran
beberapa kali seraya cepat mengerahkan tangannya, menghalau
hujan anak panah yang masih terus membu-
runya. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus me-
lambung tinggi hingga mencapai bagian langit-
langit ruangan dalam puri yang tinggi ini. Dan begitu mencapai langit-langit
yang juga terbuat dari batu....
Tap! Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti me-
raih sebuah batu di langit-langit yang agak me-
nonjol. Lalu tubuhnya cepat melenting ke arah
sebuah pintu yang berwarna merah. Ada tiga pin-
tu di ruangan ini yang berbeda-beda warnanya.
Dan pintu berwarna merah itu yang terdekat den-
gannya. Setelah melakukan putaran beberapa
kali, dengan manis sekali kakinya mendarat tepat di depan pintu berwarna merah
itu. Pada saat kaki Pendekar Rajawali Sakti men-
jejak lantai, panah-panah yang keluar dari lu-
bang-lubang kecil di dinding, seketika itu juga berhenti. Sebentar Rangga
menarik napas, untuk
melonggarkan rongga dadanya. Dipandanginya
dinding-dinding yang mengelilingi ruangan ini.
Seluruh dinding, dari bawah sampai atas memiliki lubang-lubang kecil. Dari
lubang-lubang itulah
panah-panah tadi keluar.
"Aku yakin, di balik pintu ini pasti ada jebakan lain," gumam Rangga dalam hati.
*** 6 Krieeet...! Bunyi berderit terdengar mengiris hari saat
Rangga membuka pintu berwarna merah itu. Per-
lahan-lahan pintu itu didorongnya hingga terbuka lebar. Tak ada sambutan dari
jebakan yang semula diduganya tadi. Di balik pintu berwarna merah ini hanya
terdapat sebuah lorong yang tampaknya tidak begitu panjang. Dan di ujung lorong
ini terdapat sebuah pintu lagi yang tampaknya terbuat
dari besi baja yang kokoh.
"Hm.... Tarikan napas itu berasal dari balik pintu di ujung lorong sana," gumam
Rangga perlahan.
Hati-hati sekali Pendekar Rajawali Sakti
mengayunkan kakinya memasuki lorong yang ti-
dak begitu besar ini. Kedua matanya dipentang
lebar, mengamati setiap dinding di kiri kanannya.
Namun baru beberapa langkah berjalan, menda-
dak saja ayunan kakinya terhenti.
"Hhh...! Apa ini...?"
Rangga melirik ujung kaki kanannya. Dia
menelan ludah begitu melihat lantai yang dipijaknya sedikit amblas. Pendekar
Rajawali Sakti langsung menyadari kalau telah menginjak sebuah je-
bakan lain. Dan dia tidak tahu, apa jadinya jika mengangkat kaki.
"Masih enam tombak lagi. Harus kucapai
dengan sekali lompatan saja," desis Rangga seraya menatap ke arah pintu di ujung
lorong ini Sebentar pandangannya beredar ke sekelil-
ing. Tak ada sesuatu pun yang dapat dilihat, selalu dinding batu yang hitam dan
berlumut. Kea- daan di lorong ini cukup terang, karena ada beberapa obor yang menempel di
dinding. "Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melen-
tingkan tubuhnya sejauh enam tombak. Dan pada saat itu, terdengarlah ledakan
dahsyat menggelegar, yang disusul runtuhnya atap lorong, tempat Rangga berada di
bawahnya tadi! "Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melen-
tingkan tubuhnya. Dan pada saat itu, terdengar
ledakan dahsyat menggelegar, yang kemudian
disusul runtuhnya atap lorong, tempat Rangga
berada di bawahnya tadi. Dua kali Pendekar Ra-
jawali Sakti melakukan putaran indah, kemudian
mendarat manis sekali, tepat di depan pintu besi.
Ledakan tadi membuat seluruh dinding lo-
rong ini bergetar, seakan-akan hendak runtuh.
Debu mengepul membuat udara di dalam lorong
ini jadi terasa sesak. Begitu debu memudar,
Rangga jadi berkerut keningnya. Tidak ada jalan lagi untuk keluar. Reruntuhan
batu telah me-nyumbat mulut lorong ini.
"Benar-benar pandai dia membuat jebakan,"
gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti bergegas memeriksa
pintu besi di depannya. Diraihnya rantai yang
mengunci pintu ini. Dengan mengerahkan kekua-
tan tenaga dalam, pemuda berbaju rompi putih
itu menarik rantai hingga putus. Kemudian dido-
rongnya pintu besi ini. Berat sekali, sehingga
Rangga terpaksa mengerahkan tenaga dalam un-
tuk mendorongnya. Perlahan pintu besi itu terdorong membuka.
"Oh..."!"
Hampir Rangga tidak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri. Pintu besi ini ternyata sebuah pintu ruangan yang tidak
begitu besar. Dan di dalam ruangan ini terdapat seorang wanita
muda. Pakaiannya tampak sudah tidak karuan
lagi bentuknya. Wanita itu terikat, berdiri merapat di dinding. Kepalanya
terangkat begitu pintu terbuka.
Sinar matanya begitu lemah, seakan-akan


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak punya gairah hidup lagi. Perlahan Rangga
melangkah masuk. Sikapnya begitu hati-hati. Tiga kali jebakan telah ditemui, dan
ini membuatnya harus lebih waspada lagi. Tapi sampai berada di dekat wanita itu, tidak ada satu
jebakan pun ditemui.
"Kau Widarti...?" tanya Rangga seakan ingin memastikan.
Wanita itu tidak langsung menjawab, tapi
malah memandangi Rangga dalam-dalam. Sea-
kan-akan dia tengah menyelidiki pemuda tampan
di depannya ini. Sedangkan Rangga segera men-
gedarkan pandangannya, memeriksa seluruh
ruangan yang tidak begitu besar ukurannya ini.
Dia khawatir kalau-kalau masih ada jebakan lain di dalam ruangan ini.
"Siapa kau?" wanita itu malah balik bertanya dengan suara lemah sekali.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri. "Kalau kau benar Widarti, aku
datang hendak membebaskanmu keluar dari sini."
"Benar, aku Widarti. Oh..., kaukah Pendekar Rajawali Sakti...?" sinar mata
wanita itu langsung berbinar.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Cepat, bebaskan aku. Lama sekali aku me-
nunggumu, Pendekar Rajawali Sakti," pinta wanita itu yang mengaku sebagai
Widarti. Namun Rangga tidak segera melepaskan
rantai yang membelenggu kedua tangan dan kaki
wanita ini. Dia hanya memandangi saja, seakan-
akan tidak yakin kalau wanita ini adalah Widarti.
"Kenapa diam saja" Si tua keparat itu tidak menaruh jebakan di kamar ini," desak
Widarti. "Jebakan..." Kau tahu tentang jebakan?"
Rangga jadi tercenung.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
mundur. "Hei! Kenapa kau tidak cepat membebaskan
aku...?" seru Widarti.
"Kau bukan Widarti! Siapa kau...?" berubah dingin nada suara Rangga.
"Aku Widarti. Apa kau tidak melihat aku di-belenggu begini..." Cepat bebaskan
aku, Pendekar Rajawali Sakti."
"Tidak! Kau bukan Widarti."
Rangga cepat membalikkan tubuhnya. Na-
mun belum juga melangkah, mendadak saja dari
arah belakang berdesir hembusan angin dingin.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tu-
buhnya ke atas, dan berputaran dua kali. Dia
langsung berbalik begitu menjejak lantai dari ba-tu ini.
"Hm.... Kau tidak bisa menipuku, Ni sanak,"
desis Rangga dingin. "Siapa kau sebenarnya...?"
Pengamatan Rangga memang tidak meleset.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menaruh curi-
ga ketika wanita itu mengatakan tentang jebakan.
Dan ternyata, rantai yang membelenggu tangan
dan kakinya hanya tipuan saja. Wanita itu kini
sudah bebas, tak terbelenggu lagi.
"Kau memang cerdik, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi kau tidak akan bisa keluar dari sini,"
dingin nada suara wanita itu.
"Siapa kau sebenarnya, Ni sanak?" tanya Rangga.
"Aku Tilaweni, putri Siluman Ular Merah,"
sahut wanita itu mengenalkan diri. "Kedatanganmu memang sudah kutunggu, Pendekar
Rajawali Sakti." Setelah berkata demikian, gadis yang men-
gaku bernama Tilaweni itu langsung melompat
menerjang Rangga. Rantai yang tadi dijadikan alat untuk mengelabui pemuda
berbaju rompi putih
itu, sekarang dijadikan senjata yang cukup ber-
bahaya. Wuk! "Uts!"
Rangga cepat merundukkan kepalanya, ke-
tika Tilaweni mengebutkan rantai besi ke arah
kepala. Rantai besi itu lewat sedikit saja di atas kepala Rangga. Dan sebelum
Pendekar Rajawali
Sakti bisa menarik tubuhnya kembali tegak, Tilaweni sudah memberi satu tendangan
keras me- nyamping, mengandung pengerahan tenaga da-
lam tinggi. "Yeaaah...!"
"Hait!"
Cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, se-
hingga tendangan gadis itu manis sekali dapat di-elakkan. Rangga bergegas
melompat ke belakang
dua tindak, membuat jarak agar lebih renggang.
Tapi begitu kakinya dijejakkan, Tilaweni sudah
mengebutkan rantainya kembali ke arah dada
pemuda tampan itu.
Bet! "Hap!"
Tap! Tangkas sekali Rangga menangkap ujung
rantai itu. Lalu dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam, disentakkannya rantai itu kuat-
kuat. Rrrt! "Ikh...!" Tilaweni terpekik kaget.
Namun sebelum hilang keterkejutannya, tu-
buh gadis itu sudah melayang deras ke arah
Rangga. Dan pada saat itu, Rangga melompat ke
atas sambil mengirimkan satu pukulan keras dis-
ertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Tanpa diduga sama sekali, ternyata Tilaweni
dapat mengelakkan pukulan Rangga dengan me-
mutar tubuh ke belakang. Bahkan gadis itu ma-
sih mampu mengirimkan satu tendangan keras ke
arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya
pemuda tampan itu agak terperangah juga. Sung-
guh tidak disangka kalau Tilaweni akan berbuat
senekat ini. "Hait!"
Bergegas Rangga menarik pulang pukulan-
nya, lalu memutar tubuhnya ke belakang. Hampir
bersamaan mereka menjejakkan kakinya di lan-
tai. Tilaweni langsung melepaskan beberapa kali serangan secara beruntun.
Akibatnya Rangga jadi agak kerepotan menghindarinya. Tapi Pendekar
Rajawali Sakti cepat menguasai keadaan. Dan ke-
tika mendapat satu kesempatan baik, cepat-cepat dilepaskannya satu pukulan lurus
ke arah dada. Serangan balik yang dilancarkan Rangga, ti-
dak diduga sama sekali. Tentu saja hal ini mem-
buat Tilaweni jadi terperangah. Bergegas tubuh-
nya dimiringkan ke kanan. Tapi gerakannya ter-
lambat sedikit saja, dan pukulan Rangga meng-
hantam bahunya.
Des! "Aaakh...!" Tilaweni memekik keras agak tertahan.
Gadis itu terpental ke belakang sejauh satu
batang tombak. Mulutnya meringis, dan mencoba
bangkit. Dan sebelum Tilaweni bisa bangkit berdi-ri, Rangga sudah melompat
menerjangnya. Ter-
paksa gadis itu membanting tubuhnya kembali,
lalu bergulingan beberapa kali hingga merapat ke dinding batu yang dingin dan
berlumut. Tilaweni cepat meraih sebongkah batu yang
berada di dekatnya. Batu itu langsung diputar-
nya. Mendadak saja dinding yang berada di bela-
kangnya bergerak terbuka. Gadis itu bergegas melompat bangkit, lalu masuk ke
dalam dinding yang bergerak membuka. Rangga sedikit terkejut, Tampak dinding itu kembali
bergerak menutup.
"Hiyaaa...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Raja-
wali Sakti cepat melompat, dan menjatuhkan tu-
buhnya ke lantai. Dia bergulingan melewati ba-
wah dinding yang terus bergerak menutup. Tepat
ketika tubuh Rangga melewatinya, dinding batu
itu merapat tertutup kembali. Rangga cepat
bangkit berdiri. Hatinya jadi tertegun, karena kini berada di sebuah ruangan
depan puri kembali.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking.
Jeritan itu datang dari luar. Rangga cepat
melompat keluar dari puri ini. Dia jadi terlongong begitu kakinya menjejak tanah
di depan pintu pu-ri. Apa yang disaksikannya, sungguh tidak pernah dipikirkan
sejak tadi. *** Rangga jadi menggeleng-gelengkan kepala
ketika melihat Tilaweni menjerit-jerit dan meron-
ta-ronta, mencoba melepaskan diri. Ujung ba-
junya di punggung ternyata terjepit paruh Raja-
wali Putih. Dan burung raksasa itu mengangkat
Tilaweni cukup tinggi dari tanah. Akibatnya gadis itu jadi ketakutan setengah
mati. Sambil tersenyum-senyum, Rangga menghampiri Rajawali Pu-
tih yang kelihatan kesenangan dengan
'permainannya' ini.
"Cukup, Putih. Turunkan dia," pinta Rangga.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih menurunkan Tilaweni, lalu
melepaskannya begitu saja sebelum mencapai ta-
nah. Gadis itu memekik saat tubuhnya terbanting cukup keras di tanah. Dia
menggeliat bangkit,
dan mendelik melihat Rangga berdiri di depannya.
Wajah gadis itu langsung memucat begitu melihat Rajawali Putih berada tepat di
belakangnya. "Sekarang aku bisa melakukan apa saja pa-
damu, Tilaweni," kata Rangga bernada agak mengancam.
"Lakukan saja. Kau pikir, aku takut dengan ancamanmu!" dengus Tilaweni.
"Aku percaya, kau memang tidak pernah ta-
kut. Tapi aku yakin, kau akan berpikir dua kali jika harus meluncur dari
ketinggian di atas awan, sampai tubuhmu remuk terbanting di batu," lagi-lagi
Rangga mengancam.
Rupanya ancaman Rangga kali ini membuat
tubuh Tilaweni jadi bergidik juga. Diliriknya sedikit Rajawali Putih. Burung ini
begitu mengerikan!
Dan ancaman Rangga bisa saja terjadi. Tidak ter-
lalu sulit bagi Rajawali Putih untuk mengangkat gadis ini ke angkasa dan
menjatuhkannya dari
ketinggian yang cukup untuk membuat tubuh
ramping ini hancur berkeping-keping.
"Aku hanya meminta kau menjawab jujur
pertanyaanku. Setelah itu, kau boleh pergi ke
mana saja kau suka," kata Rangga.
"Huh! Siapa yang percaya dengan kata-
katamu...?" dengus Tilaweni.
"Mungkin kau terbiasa dengan kebohongan
dan kepalsuan. Tapi aku selalu memegang janji-
ku." Tilaweni terdiam. Mungkin kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tengah
dipertimbangkannya.
Kembali diliriknya Rajawali Putih. Dia mengeluh di dalam hati. Keadaannya memang
tidak men-guntungkan sekali saat ini. Benar-benar terpojok, dan tidak punya
pilihan lain lagi.
"Baik! Apa yang ingin kau tanyakan pada-
ku?" Tilaweni akhirnya menyerah juga.
"Di mana Widarti berada?" tanya Rangga langsung.
"Aku tidak tahu," sahut Tilaweni ketus.
"Kau jangan berdusta, Tilaweni," gertak Rangga.
Saat itu Rajawali Putih menjulurkan kepa-
lanya, menyentuh punggung Tilaweni Akibatnya,
gadis itu langsung tersentak kaget. Wajahnya
kembali memucat.
"Baik..., baik. Suruh dulu burung jelek ini menyingkir!" seru Tilaweni ngeri.
Rangga memberi isyarat pada Rajawali Putih
dengan kepalanya. Maka burung raksasa itu se-
gera bergerak menjauh. Tapi masih cukup untuk
menjangkau Tilaweni dengan menjulurkan kepala
saja. Tilaweni sedikit lega melihat burung raksasa itu sudah agak jauh darinya.
"Nah...! Sekarang katakan, di mana Widar-
ti?" desak Rangga.
"Dia ada di ruangan yang berpintu biru," sahut Tilaweni.
"Kau tidak berdusta?"
"Untuk apa berdusta..." Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri. Dia ada di
sana." "Baik. Tapi, kau harus tunjukkan padaku."
Rangga langsung mencekal tangan gadis itu
dan menyeretnya ke Puri Sangga Mayit kembali.
Tilaweni menyentakkan tangannya, hendak mele-
paskan cekalan Pendekar Rajawali Sakti. Namun
cekalan Rangga begitu kuat.
"Kau saja yang ke sana sendiri!" bentak Tilaweni.
"Kenapa..." Kau takut terkena jebakan
ayahmu sendiri?"
Tilaweni terdiam. Terpaksa diikutinya lang-
kah Rangga melewati pintu, Tilaweni menghenti-
kan langkahnya. Wajah gadis itu jadi berubah-
ubah. Sebentar memerah, dan sebentar kemudian
terlihat pucat.
"Ayo terus! Kau di depan...!" sentak Rangga seraya mendorong punggung gadis itu.
"Tidak!" bentak Tilaweni, tetap tidak mau
melangkah. Rangga mendorong punggung gadis itu, se-
hingga Tilaweni terpaksa melangkah. Namun baru
saja kakinya bergerak satu tindak, mendadak saja dari seluruh dinding meluncur
puluhan anak panah. "Yeah...!"
Rangga cepat melompat ke belakang sambil
menyambar tangan Tilaweni, sehingga gadis itu
terpekik. Mereka jatuh bergulingan di luar puri.
Rangga cepat bangkit kembali, lalu menarik tan-
gan Tilaweni agar cepat berdiri.
"Kau bisa mati kalau ke sana!" dengus Tilaweni. "Tilaweni! Kau tahu seluk-beluk
puri ini. Tunjukkan jalan yang teraman," desak Rangga.
Sebentar Tilaweni memandang wajah tam-


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pan Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian me-
langkah menuju bagian samping dari puri ini.
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Tilaweni.
Mengikuti jalan biasa, bisa-bisa mati terkena jebakan ayahnya sendiri. Dia tahu
betul, letak-letak jebakan di dalam puri ini.
Rangga mengikuti gadis itu dari belakang.
Mereka kemudian berhenti di depan sebuah pintu
samping yang tertutup. Tilaweni berdiri saja di depan pintu, seakan ragu-ragu
untuk membukanya.
"Ada jebakan lagi di balik pintu ini?" tanya Rangga.
'Ya, ada," sahut Tilaweni lesu.
"Apa?"
"Sepuluh tombak akan meluncur jika kau
membuka pintu," sahut Tilaweni memberi tahu.
"Kau tidak mendustaiku...?"
"Aku tidak ingin mati percuma!" dengus Tilaweni.
"Bagus. Sekarang kau mundur."
Tanpa diminta dua kali, Tilaweni melangkah
mundur menjauh. Sedangkan Rangga berdiri te-
gak di depan pintu yang tertutup rapat ini. Sebentar perhatiannya dipusatkan
pada pintu itu, ke-
mudian diliriknya sedikit Tilaweni.
"Jangan coba-coba melarikan diri! Rajawali Putih akan membawamu ke angkasa dan
menja-tuhkanmu dari atas," Rangga memperingatkan.
Setelah memperingatkan gadis itu, Rangga
segera mengatupkan kedua tangannya di depan
dada. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dita-
hannya di dalam perut. Kemudian tangannya ber-
gerak terbuka, menyamping sejajar dada. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga menghentakkan tan-
gannya ke depan. Seketika itu juga terjadi hem-
busan keras dari kedua telapak tangannya. Pintu yang terbuat dari kayu jati
tebal itu seketika hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu, dari dalam
meluncur sepuluh batang tombak seperti
yang dikatakan Tilaweni.
"Huy! Yeaaah...!"
Rangga bergegas berlompatan menghindari
hujan tombak itu. Semua tombak lewat di bawah
tubuhnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti
menjejakkan kakinya di tanah. Ditatapnya Tila-
weni yang masih berada di tempatnya. Gadis itu
menghampiri tanpa diminta lagi. Rupanya dia be-
nar-benar takut dengan ancaman yang diberikan
Rangga tadi. "Kau jalan di depan," kata Rangga.
"Tidak ada apa-apa lagi. Lorong ini langsung menuju ke bagian belakang pintu
biru," jelas Tilaweni.
"Jalan...!" perintah Rangga.
Tilaweni terpaksa mengayunkan kakinya.
Sedangkan Rangga mengikuti dari belakang. Me-
reka menyusuri sebuah lorong yang tidak begitu
panjang, namun terdapat dua belokan yang cu-
kup tajam. Memang tidak ada satu jebakan pun
yang dijumpai lagi. Dan mereka sampai pada se-
buah pintu berwarna biru.
"Buka!" perintah Rangga.
Tilaweni membuka pintu itu. Ternyata pintu
ini merupakan sebuah pintu ruangan berukuran
tidak terlalu besar tidak ada apa-apa di dalam
ruangan berdinding batu ini. Hanya ada sebuah
balai-balai bambu, dan di atasnya tergolek sesosok tubuh ramping berpakaian
tidak karuan. Be-
berapa bagian tubuhnya terlihat menyembul ke-
luar, menampakkan kemulusan kulit tubuhnya
yang putih halus.
Rangga bergegas melangkah masuk. Diham-
pirinya wanita yang terbaring dengan mata tertutup di atas balai-balai bambu
ini. Kemudian dipe-
riksanya urat nadi wanita itu di pergelangan tangan. Lalu diletakkannya ujung
jari di bagian leh-er. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mengangkat tubuh wanita
ini, dan melangkah ke luar. Dia
sempat menatap Tilaweni yang masih berdiri di
depan pintu. Gadis itu menyingkir memberi jalan.
Dengan langkah lebar dan cepat, Rangga
bergegas keluar menyusuri lorong ini. Sedangkan Tilaweni mengikuti dari
belakang. Tak ada yang
bicara sedikit pun. Mereka tidak lagi menemui sa-tu jebakan pun sampai berada di
luar kembali. *** 7 Tidak lama Rangga menunggu sampai gadis
yang ditemuinya di dalam kamar berpintu biru
mulai siuman. Pendekar Rajawali Sakti bergegas
menghampiri begitu gadis itu menggerak-
gerakkan kepala seraya merintih lirih. Sedangkan tidak jauh dari tempat itu
terlihat Tilaweni tengah duduk memandangi dengan raut wajah dan sinar
mata sukar diartikan. Gadis itu tidak berkedip
memperhatikan Rangga yang membantu memper-
cepat menyadarkan gadis yang tergolek di bawah
pohon rindang ini
"Ohhh...," gadis itu kembali merintih lirih.
"Diamlah sebentar. Jangan membuka mata
dulu," ujar Rangga lembut agak berbisik.
Namun gadis berwajah cukup cantik itu ma-
lah membuka matanya, kemudian mengerjapkan
beberapa kali. Dia tampak agak terkejut melihat di dekatnya ada seorang pemuda
tampan. Tubuhnya dicoba digerakkan hendak bangkit, tapi
Rangga cepat mencegah.
"Di mana aku..." Siapa kau?" tanya gadis itu, lemah suaranya.
"Kau sudah berada di luar puri, Widarti,"
sahut Rangga memberi tahu.
"Kau..., kau tahu namaku..." Siapa kau, Kisanak..?"
"Aku Rangga, orang yang diutus Ganta un-
tuk membawamu keluar dari puri," sahut Rangga menjelaskan.
"Kau.... Kau Pendekar Rajawali Sakti...?"
Rangga mengangguk dan tersenyum manis.
Widarti mendesah panjang, seakan-akan begitu
lega setelah mengetahui dirinya sudah tidak lagi berada di dalam kamar pengap
sebuah puri. Dan
lebih lega lagi, karena orang yang membebaskan-
nya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Orang yang
selama ini ditunggu-tunggu.
"Bagaimana Ganta sekarang" Di mana
dia...?" tanya Widarti seraya menggeser tubuhnya dan bangkit duduk.
Kali ini Rangga tidak mencegah lagi, dan ma-
lah membantu gadis itu menyandarkan pung-
gungnya ke batang pohon. Tapi ketika Widarti
melihat Tilaweni, dada Rangga langsung dido-
rongnya. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti itu
jatuh terduduk.
"Keparat...! Kubunuh kau, Setan Jalang...!"
geram Widarti. "Widarti...!" sentak Rangga seraya mencekal tangan gadis itu.
Hampir saja Widarti melompat hendak me-
nerjang Tilaweni kalau saja Rangga tidak cepat-
cepat mencekal tangannya. Terpaksa Widarti du-
duk kembali. Sinar matanya berapi-api penuh
dendam menatap pada Tilaweni. Sedangkan ga-
dis, putri Siluman Ular Merah itu beranjak bangkit berdiri.
"Aku menagih janjimu, Pendekar Rajawali
Sakti," kata Tilaweni dengan nada suaranya yang tetap dingin dan ketus.
"Aku selalu menepati janjiku," sahut Rangga.
"Sebaiknya aku pergi sekarang, daripada
tanganku harus berlumur darah."
Setelah berkata demikian, Tilaweni bergegas
beranjak pergi. Sementara Widarti hanya mende-
sis geram memandangi kepergian putri Siluman
Ular Merah itu. Api dendamnya begitu membara,
bergolak di dalam dada. Begitu besarnya bara
dendam di dalam dada, sehingga wajahnya jadi
memerah bagai besi terbakar.
"Kenapa kau biarkan setan jalang itu pergi, Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya
Widarti, tidak puas. "Aku sudah berjanji akan membiarkannya pergi," sahut
Rangga. Tanpa diminta lagi, Pendekar Rajawali Sakti
kemudian menceritakan dengan singkat. Tanpa
bantuan Tilaweni, tidak mungkin gadis ini dapat ditemukan, walau dengan cara
memaksa dan sedikit ancaman. Meski sudah dijelaskan, tampak-
nya Widarti masih belum puas juga. Bara api
dendam masih membara di dalam dadanya, na-
mun dia tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan
tubuhnya masih begitu lemah. Perlu waktu ber-
hari-hari untuk memulihkannya kembali seperti
semula. "Sebentar lagi Ganta datang. Kita tunggu sa-ja di sini," jelas Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mencoba mengalih-
kan perhatian gadis ini dari Tilaweni. Begitu
mendengar nama Ganta akan datang ke sini, Wi-
darti benar-benar melupakan tentang putri Silu-
man Ular Merah itu. Wajahnya kembali berubah
cerah. Rangga jadi senang juga melihat gadis ini cepat melupakan Tilaweni.
"Kapan dia datang?" tanya Widarti penuh harap. "Tidak lama lagi. Dia bersama
Pendekar Kalung Sakti," sahut Rangga.
"Dewata Yang Agung.... Rupanya kau kabul-
kan juga semua permohonanku," desah Widarti.
"Kau cukup kuat buat ukuran wanita, Wi-
darti," puji Rangga tulus.
'Terima kasih."
"Oh, ya. Bagaimana kau bisa pingsan tadi"
Sampai-sampai aku hampir tidak merasakan de-
nyut nadimu. Sahabatku saja sampai tidak bisa
melacak keberadaanmu di dalam puri," kata
Rangga ingin tahu.
"Setan jalang itu memberi ramuan yang
membuatku seperti mati," sahut Widarti. "Kau membawa sahabat, mana...?"
"Itu," sahut Rangga seraya menunjuk pada Rajawali Putih.
"Oh...!"
*** Hampir saja Widarti jatuh pingsan begitu
melihat seekor rajawali raksasa berada tidak jauh dari tempat ini. Rangga segera
memperkenalkan Rajawali Putih. Sedangkan Widarti hanya me-
mandangi saja, seakan-akan ingin meyakinkan
kalau apa yang terlihat berada di alam mimpi.
Seumur hidup, belum pernah dilihatnya seekor
burung yang begitu besar.
Pada saat itu muncul Ganta dan Pendekar
Kalung Sakti. Begitu melihat Ganta, Widarti bergegas bangkit dan menghambur ke
dalam pelu- kan pemuda itu. Sedangkan Pendekar Kalung
Sakti menghampiri Rangga yang sudah berdiri.
Mereka tersenyum menyaksikan pertemuan ka-
kak beradik itu.
"Bagaimana kau bisa mendapatkannya,
Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti ingin tahu.
"Mereka sudah meninggalkan puri ini," sahut Rangga.
"Meninggalkan puri ini..." Ke mana?" Pendekar Kalung Sakti tampak terkejut.
"Aku tidak tahu, ke mana mereka pergi. Be-
gitu aku datang, tempat ini sudah kosong."
"Mereka ke Karang Setra.... Aku telah men-
curi dengar pembicaraan mereka ketika berada
dalam tahanan," selak Widarti memberi tahu.
"Ke Karang Setra..." Untuk apa?" Rangga ja-di terkejut.
"Mereka tahu kalau Kakang Ganta dan Pen-
dekar Kalung Sakti hendak ke Karang Setra. Un-
tuk menyerahkan Bunga Hitam padamu. Maka
mereka hendak mendahului, dan menunggu di
perbatasan Utara," jelas Widarti.
"Celaka...!" sentak Rangga.
"Ada apa, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
"Adik-adikku akan melewati daerah perbata-
san Utara. Mereka memang kutugaskan untuk
membantuku mencari kalian dan Widarti. Tapi
rupanya, aku dulu yang berjumpa kalian."
"Benarkah..." Kalau begitu...."
Belum lagi kata-kata Pendekar Kalung Sakti
selesai, Rangga sudah cepat melompat ke pung-
gung Rajawali Putih. Begitu sempurna ilmu me-
ringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tahu-tahu, dia
sudah berada di
punggung Rajawali Putih.
"Cepat ke perbatasan Utara, Putih," pinta Rangga.
"Khraaaghk...!"
Beberapa kali mengepakkan sayap saja, Ra-
jawali Putih sudah melesat. Hingga dalam waktu
sekejapan mata saja, sudah tinggi menebus awan.
Sementara Pendekar Kalung Sakti, Ganta dan Wi-
darti hanya bisa bengong memandangi kepergian
Pendekar Rajawali Sakti itu, yang melambung
tinggi bersama burung raksasa tunggangannya.
"Sebaiknya kita segera ke sana, Pendekar
Kalung Sakti. Kita harus membantu Pendekar Ra-
jawali Sakti menghadapi gerombolan Siluman
Ular Merah," usul Ganta.
"Ayolah. Tapi...," Pendekar Kalung Sakti menatap Widarti.
"Jangan pikirkan aku. Cepatlah kalian pergi.
Aku menyusul dengan kemampuanku sendiri,"
ujar Widarti, menangkap arti tatapan itu.
"Ganta! Kau bersama Widarti. Biar aku lebih dulu menyusul Pendekar Rajawali
Sakti." "Baiklah. Kami akan usahakan secepatnya
sampai," sahut Ganta.
"Jangan memaksakan diri."
Setelah berpesan, Pendekar Kalung Sakti
bergegas berlari cepat menyusul Pendekar Raja-
wali Sakti yang sudah lebih dahulu pergi. Pendekar muda berpakaian seperti
pendeta itu terus
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh. Hingga dalam waktu sebentar saja, dia
sudah begitu jauh, lalu lenyap tertelan lebatnya hutan.
"Ayo, Widarti...," ajak Ganta.
"Bagaimana dengan pakaianku, Kakang?"
"Nanti kita singgah di desa terdekat."
"Kau punya uang?"
"Aku tidak pernah kehabisan bekal, Widarti."
"Aku percaya, Kakang. Ayolah, kita segera
berangkat."
Mereka bergegas pergi. Widarti yang dalam
keadaan lemah, tak mampu mengerahkan ilmu
meringankan tubuh secara sempurna. Terpaksa
Ganta harus mengimbanginya agar tidak terting-
gal. Namun Widarti terus memaksakan diri. Apa-
lagi merasa berhutang budi pada Pendekar Raja-
wali Sakti. Gadis itu bertekad tidak ingin tertinggal untuk membantu pendekar
muda itu dalam menumpas gerombolan Siluman Ular Merah. Ter-
lebih lagi, dia mempunyai dendam pribadi yang
harus dibalas. Perlakuan Siluman Ular Merah padanya se-
lama di Puri Sangga Mayit, tidak mungkin dapat
dilupakan begitu saja. Namun Widarti tidak bisa menceritakan apa yang terjadi
pada dirinya kepada Ganta. Dia ingin merahasiakan semua yang te-
lah terjadi. Peristiwa memalukan, yang hampir mem-
buat dirinya ternoda. Dan tidak perlu seorang
pun mengetahui. Cukup dia sendiri yang tahu.
Dan Widarti sudah bertekad untuk menyimpan
semua itu untuk dirinya sendiri.
"Aku akan mencari kuda dulu nanti, Widarti.
Kau masih terlalu lemah," kata Ganta tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Terima kasih," ucap Widarti.
*** Sementara itu di perbatasan Utara Kerajaan
Karang Setra, Siluman Ular Merah dan para pen-
gikutnya sudah berada di sana. Mereka seperti
sebuah pasukan yang siap hendak menggempur
kerajaan itu. Tampak di gerbang perbatasan, em-
pat orang prajurit penjaga pintu gerbang perbatasan telah menggeletak tak
bernyawa lagi. Sedangkan di angkasa, terlihat Rangga ten-
gah melayang-layang mengamati keadaan dari
udara. Sungguh tidak disangka kalau pengikut
Siluman Ular Merah begitu besar. Dan untuk me-
nandinginya, diperlukan satu pasukan prajurit
terlatih. Rasanya tidak mungkin dia bisa meng-
hadapi seorang diri saja. Namun Rangga tidak ingin mengorbankan prajurit-
prajuritnya. Perhatian Pendekar Rajawali Sakti tertuju
pada tiga ekor kuda yang bergerak menuju ke
perbatasan Utara dari dalam kota. Dia tahu kalau ketiga penunggang kuda itu adik
tirinya dan Pandan Wangi.
"Aku harus mencegah mereka ke perbata-
san," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher Ra-
jawali Putih dan menunjuk ke arah tiga penung-
gang kuda. Tanpa diperintah dengan kata-kata
lagi, Rajawali Putih meluruk deras ke arah ketiga penunggang kuda itu. Cepat
sekali gerakannya.
Dalam waktu sebentar saja, dia sudah mendarat
tepat di depan ketiga penunggang kuda itu.
"Kakang Rangga...," desis Pandan Wangi langsung mengenali.
Rangga bergegas melompat turun dari pung-
gung burung rajawali raksasa tunggangannya.
Pandan Wangi, Danupaksi, dan Cempaka juga
cepat melompat turun, setelah berhasil mene-
nangkan kudanya yang terkejut atas kemunculan
Rajawali Putih. Mereka bergegas menghampiri
Rangga. "Kakang, ke mana saja...?" serobot Cempaka lebih dahulu.
"Sebaiknya kalian kembali ke istana," kata Rangga.
"Ada apa, Kakang" Kelihatannya begitu
sungguh-sungguh," tanya Pandan Wangi.
"Sukar dijelaskan. Tapi ini penting," sahut Rangga.
"Kakang bisa menjelaskan sedikit, bukan?"
desak Danupaksi.
"Akan kujelaskan, tapi setelah itu kalian harus segera kembali ke istana," kata
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian menje-
laskan semua yang telah terjadi. Dia juga membe-ri tahu keberadaan gerombolan
Siluman Ular Me-
rah yang kini berada di daerah perbatasan Utara kota. Danupaksi, Cempaka, dan
Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka benar-benar terke-
jut dan sama sekali tidak tahu kalau selama ini Pendekar Rajawali Sakti itu
terlibat suatu persoalan penting. Meskipun Rangga menjelaskan den-
gan singkat, namun ketiga anak muda itu bisa
cepat memahami.
"Akan kukerahkan para prajurit pilihan un-
tuk mengusir mereka, Kakang," tegas Danupaksi setelah Rangga menyelesaikan
ceritanya. "Itu yang tidak kuinginkan, Danupaksi," to-lak Rangga.
'Tapi jumlah mereka cukup besar!"
"Dengan bantuan Rajawali Putih, rasanya
aku masih bisa mengatasi mereka, Danupaksi.
Aku tidak ingin mengorbankan prajurit, kecuali
untuk persoalan kerajaan. Ini bukan persoalan
kerajaan, dan tidak ada sangkut pautnya dengan
Karang Setra," jelas Rangga.
"Kalau begitu, biarkan kami ikut memban-
tumu menumpas gerombolan itu, Kakang," selak Cempaka.
"Terima kasih. Aku tidak ingin menyusahkan kalian."
"Jangan berkata seperti itu, Kakang. Kesuli-tanmu adalah kesulitan kami juga,"
ujar Danupaksi.
"Baiklah. Tapi, aku tidak ingin melibatkan seorang prajurit pun," Rangga tidak
bisa lagi menolak.
"Aku akan datang begitu kau sudah berta-
rung, Kakang," ujar Danupaksi lagi.
"Benar! Agar mereka terpecah perhatiannya,"
sambung Cempaka.
"Sebaiknya kita datang dari tiga arah. Itu akan membuat mereka semakin terpecah
perha- tiannya," usul Pandan Wangi.
"Kalian atur saja. Aku harus kembali sebe-
lum mereka mendapatkan Ganta dan yang lain-
nya," ujar Rangga, langsung cepat melompat ke punggung Rajawali Putih.
Rangga menepuk leher burung rajawali rak-
sasa itu tiga kali. Bagaikan kilat, binatang itu melesat ke angkasa. Sebentar
saja dia sudah begitu tinggi dan menuju ke gerbang perbatasan Utara
kota Karang Setra.
Sementara Rangga berada kembali di angka-
sa, Danupaksi meminta Cempaka bergerak dari
arah kiri. Sedangkan Pandan Wangi dari arah ka-
nan. Dan dia sendiri akan datang dari gerbang
Utara. Kedua gadis itu tidak banyak bicara lagi.
Mereka bergegas berlompatan naik ke punggung
kuda masing-masing, lalu menggebah cepat me-
nuju arah yang sudah ditentukan. Danupaksi
sendiri segera naik ke punggung kudanya. Dia
sempat melihat ke angkasa. Masih terlihat burung rajawali raksasa melayang-
layang berputar-putar di angkasa.
Saat itu Rangga terus mengawasi kedua adik
tirinya dan Pandan Wangi yang sudah bergerak
dari tempatnya masing-masing. Sebenarnya
Rangga tidak ingin melibatkan mereka, tapi hal
itu juga tidak bisa dicegah. Dari angkasa seperti ini memang sangat leluasa
untuk mempelajari
keadaan di bawah. Saat itu Pendekar Rajawali
Sakti melihat sebuah bayangan kuning berkelebat di dalam hutan menuju gerbang
perbatasan Utara
ini. Rangga langsung tahu kalau bayangan kun-
ing itu pastilah Pendekar Kalung Sakti.
"Hm..., Pendekar Kalung Sakti datang sendi-ri. Ke mana Ganta dan Widarti...?"
gumam Rangga dalam hati.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti cepat
bisa terjawab. Begitu bayangan kuning gading
berhenti tidak jauh dari tempat gerombolan Siluman Ular Merah, terlihat dua ekor
kuda berpacu agak cepat dari arah yang sama dengan Pendekar
Kalung Sakti. Rangga langsung dapat melihat ka-
lau kedua penunggang kuda itu adalah Ganta dan
Widarti. Gadis itu kini sudah berganti baju. Tampak begitu pas baju warna hijau
daun dengan ku-
litnya yang putih.
"Aku harus menunggu dulu sampai mereka
terlihat oleh Siluman Ular Merah," ujar Rangga bergumam.
*** 8 Tidak lama Rangga menunggu, kemudian
terlihat Ganta dan Widarti sudah dihadang orang-orang Siluman Ular Merah yang
semuanya men- genakan baju warna merah, bersenjatakan golok
terhunus. Siluman Ular Merah terkejut melihat
Widarti sudah bersama Ganta.
"Kenapa kita duluan yang sampai, Kakang?"
bisik Widarti bertanya keheranan.
Sepanjang jalan tadi, mereka memang tidak
bertemu Pendekar Rajawali Sakti maupun Pende-
kar Kalung Sakti. Padahal mereka sempat singgah dulu di sebuah desa untuk
membeli pakaian. Ta-pi, kenapa malah mereka yang sampai lebih dulu"
Pertanyaan Widarti tak bisa dijawab Ganta. Dia
sendiri tidak mengerti, kenapa kedua pendekar
itu belum kelihatan.
"Akhirnya kau muncul juga, Ganta. He he
he...," Siluman Ular Merah terkekeh.
"Kedatanganku justru hendak menagih hu-
tang nyawa padamu, Siluman Ular Merah!" dengus Ganta dingin.
"Ha ha ha...! Untuk menghadapimu, semu-
dah membalikkan telapak tangan, Ganta. Sebaik-
nya serahkan saja Kitab Ular Naga Merah dan
Bunga Hitam padaku. Dan aku akan membiarkan
kau pergi," sikap Siluman Ular Merah begitu me-remehkan.
"Kitab itu sudah hangus terbakar dan Bunga Hitam telah kuserahkan pada Pendekar
Rajawali Sakti" "Apa..."!" Keparat..!" geram Siluman Ular Merah berang. "Kau harus membayar
mahal, Ganta...!"
"Belum sebanding dengan hutangmu, Silu-
man Ular Merah," balas Ganta tidak kalah dinginnya.
"Keparat..! Bunuh bocah itu!"
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang ber-
baju merah yang berdiri menghadang di depan
Ganta langsung berlompatan sambil berteriak-
teriak mengacungkan goloknya di atas kepala.
Sebentar Ganta masih berada di punggung ku-
danya, kemudian cepat melentingkan tubuhnya
ketika sebatang golok berkelebat menyambar.
Kuda tunggangan pemuda itu meringkik ke-
ras, terkena sambaran golok yang tidak mengenai sasaran. Kuda coklat itu jatuh
menggelepar, lalu tak berkutik lagi. Pada saat yang bersamaan, Widarti melesat
turun dari punggung kuda. Gadis
itu cepat melayangkan satu pukulan keras diser-
tai pengerahan tenaga dalam penuh. Seorang
yang berada di depannya meraung keras begitu
pukulan Widarti bersarang di kepalanya.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari
lagi. Dua orang dikeroyok puluhan orang bersen-
jata golok. Suatu pertarungan yang tidak seim-
bang. Keadaan Ganta dan Widarti sebentar saja
sudah begitu mengkhawatirkan. Mereka benar-
benar kewalahan. Terlebih lagi Widarti yang ma-
sih lemah keadaannya. Keadaan tubuhnya cepat
sekali menurun. Beberapa kali sudah tubuhnya
harus menerima pukulan dan tendangan dari la-
wan-lawannya. "Khraaagkh...!"
Pada saat keadaan kakak beradik itu benar-
benar gawat, mendadak saja dari angkasa melun-
cur Rajawali Putih. Begitu dekat terbangnya di
atas kepala orang-orang Siluman Ular Merah. Da-
ri punggung Rajawali Putih tampak melesat seo-
rang pemuda berbaju rompi putih. Pemuda yang
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
masuk ke dalam kancah pertempuran.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu
bergerak. Dan dalam beberapa gebrakan saja, be-
berapa orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti membuat
semangat Ganta dan Widarti timbul kembali. Dan
pada saat itu pun muncul Pendekar Kalung Sakti.
Pendekar muda berpakaian seperti pendeta itu
langsung mengamuk. Kalung emas saktinya ber-
kelebatan menghajar orang-orang Siluman Ular
Merah. Keadaan pertarungan cepat sekali berbalik.
Orang-orang berbaju merah itu jadi kelabakan
menghadapi gempuran dua orang pendekar dig-
daya yang berkemampuan jauh di atas mereka.
Tak seorang pun berhasil mendekati kedua pen-
dekar muda itu. Jerit dan pekik melengking ter-
dengar saling susul menjadi satu dengan denting senjata beradu.
Melihat orang-orangnya berantakan, Silu-
man Ular Merah jadi berang. Dia kemudian langsung melompat terjun dalam kancah
pertempu- ran. Namun sebelum sempat melakukan tinda-
kan, Pendekar Kalung Sakti sudah lebih dahulu
menghadang.

Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau lawanku, Siluman Ular Merah...!" dengus Pendekar Kalung Sakti.
"Pendekar Kalung Sakti.... Phuih!" desis Si-
luman Ular Merah seraya menyemburkan ludah-
nya. Siluman Ular Merah memutar-mutar tong-
katnya. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti meng-
geser kakinya ke kiri. Tatapan matanya begitu tajam mengamati gerak tongkat
laki-laki tua berjubah merah itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Silu-
man Ular Merah melesat menerjang Pendekar Ka-
lung Sakti. Cepat sekali tongkatnya dikibaskan ke arah kepala pemuda berjubah
kuning gading itu.
Begitu dahsyatnya serangan yang dilakukan Si-
luman Ular Merah, sehingga desingan tongkat
berkepala tengkorak itu menimbulkan deru angin
yang keras bagaikan badai.
"Hait! Yeaaah...!"
Bergegas Pendekar Kalung Sakti merunduk-
kan kepala. Bersamaan dengan itu, kalung emas
saktinya dikibaskan ke arah dada Siluman Ular
Merah. Namun laki-laki tua itu cepat menarik
tongkatnya pulang. Langsung saja tongkatnya di-
kibaskan, menyampok untaian kalung berwarna
kuning keemasan itu.
Trang! Satu benturan senjata beradu keras. Bunga
api seketika memercik dari kedua senjata itu.
Pendekar Kalung Sakti cepat melentingkan tu-
buhnya ke belakang. Jari-jari tangan kanannya
terasa bergetar ketika kalung emasnya beradu
dengan tongkat Siluman Ular Merah. Langsung
disadari kalau tenaga dalamnya masih berada di
bawah laki-laki tua berjubah merah itu.
"Yeaaah...!"
Siluman Ular Merah tidak memberi kesem-
patan sedikit pun pada Pendekar Kalung Sakti
untuk menarik napas, sehingga langsung cepat
menyerang kembali. Tongkatnya berkelebatan ce-
pat mengincar bagian-bagian tubuh pendekar
muda berjubah kuning gading itu. Beberapa kali
ujung tongkat Siluman Ular Merah hampir bersa-
rang di tubuh Pendekar Kalung Sakti. Namun
pemuda berjubah kuning gading itu masih mam-
pu menghindarinya.
Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Tanpa
terasa, mereka bertarung sudah memakan lebih
dari sepuluh jurus. Sementara pertarungan di
tempat lain masih terus berlangsung. Orang-
orang Siluman Ular Merah semakin kedodoran sa-
ja karena munculnya Danupaksi, Cempaka, dan
Pandan Wangi dari tiga arah. Perhatian mereka
benar-benar terpecah, karena mendapat perlawa-
nan dari segala jurusan. Sementara di lain tem-
pat, terlihat Ganta tengah bertarung sengit melawan Langkas dan lima orang anak
buahnya. "Ganta, awas...!" teriak Rangga tiba-tiba.
Pada saat itu, seorang anak buah Langkas
mengibaskan goloknya dari arah belakang. Perin-
gatan Rangga membuat Ganta tersentak kaget.
Maka kepalanya cepat dirundukkan, mencoba
menghindari bokongan itu. Tapi gerakannya ter-
lambat. Dan begitu golok itu sampai di kepala
Ganta, mendadak saja sebuah bayangan putih
berkelebat. Trak! Dieghk! "Aaakh...!"
Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sak-
ti. Seketika disentilnya golok yang hampir bersarang di kepala Ganta sambil
memberikan satu so-
dokan bertenaga dalam penuh pada pembokong
itu. Akibatnya orang itu terpental jauh ke belakang, lalu ambruk ke tanah tak
bergerak-gerak lagi. "Terima kasih," ucap Ganta.
"Sebaiknya kau bantu adikmu. Biar mereka
aku yang bereskan," kata Rangga.
Ganta melirik Widarti. Gadis itu tampak se-
makin kewalahan saja menghadapi lawan-
lawannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Ganta cepat melesat ke arah adiknya.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah harus berhadapan dengan
Langkas dan anak buahnya yang kini tinggal em-
pat orang. *** Langkas dan empat orang anak buahnya
memang bukan tandingan Pendekar Rajawali
Sakti. Dalam waktu tidak berapa lama saja, me-
reka sudah dibuat bergelimpangan. Sehingga tak
mampu melanjutkan pertarungan lagi. Sedangkan
Langkas yang merasa tidak ada gunanya lagi me-
neruskan pertarungan, mengambil langkah seribu
meninggalkan tempat itu. Namun tindakannya itu
cepat diketahui Ganta.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaat..!" teriak Ganta lantang.
Bagaikan kilat, pemuda itu melesat mengejar
Langkas yang mencoba kabur. Secepat kilat go-
loknya dibabatkan ke punggung laki-laki tegap
berwajah bengis itu. Langkas yang tak sempat
menyadari, tidak mampu menghindar lagi. Dan...
Cras! "Aaakh...!"
Darah seketika muncrat keluar dari pung-
gung Langkas yang tertebas golok Ganta. Namun
pemuda itu masih belum puas, maka kembali go-
loknya dikibaskan ke arah leher, tepat di saat
Langkas membalikkan tubuhnya. Tak pelak lagi,
golok yang tajam berkilat itu membabat leher
Langkas. "Mampus kau...!"
Cras! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi men-
gantar kematian Langkas. Darah semakin banyak
mengucur dari leher laki-laki berwajah bengis itu.
Ganta menyemburkan ludahnya dengan perasaan
benci yang amat sangat. Hanya sebentar saja
Langkas mampu menggeliat, kemudian diam tak
bernyawa lagi. Darah terus mengucur dari pung-
gung dan lehernya.
"Kakang, awas...!" tiba-tiba terdengar Widarti
memperingatkan.
"Yeaaah...!"
Ganta cepat memutar tubuhnya sambil
membabatkan goloknya. Seorang berbaju merah
ternyata mencoba mengambil kesempatan untuk
membokong. Namun gerakan Ganta memang le-
bih cepat, sehingga golok pemuda itulah yang lebih dulu beraksi.
Sementara Ganta kembali terjun ke dalam
pertarungan, di tempat lain tampak Pendekar Ka-
lung Sakti mulai terdesak menghadapi Siluman
Ular Merah. Entah sudah berapa kali pendekar
muda berjubah bagai pendeta itu menerima pu-
kulan maupun tendangan keras bertenaga dalam
tinggi. Darah sudah terlihai keluar dari sudut bibirnya.
'Yeaaah...!"
Diegkh! *** Tubuh Pendekar Kalung Sakti terpental ting-
gi ke udara ketika satu pukulan menggeledek
mengandung pengerahan tenaga dalam penuh
kembali dilepaskan Siluman Ular Merah. Pukulan
itu tepat menghantam dada pendekar muda ber-
jubah kuning gading bagai pendeta itu. Pada saat tubuh Pendekar Kalung Sakti
berada di udara,
terlihat Rajawali Putih menukik deras.
Langsung disambarnya pendekar muda itu,
dan segera dibawanya keluar dari kancah per-
tempuran. "Heh..."! Apa itu...?"
Siluman Ular Merah yang melihat Pendekar
Kalung Sakti disambar seekor burung rajawali
raksasa, jadi terlongong hampir tidak percaya.
Namun dia tidak sempat lagi berpikir lebih jauh, karena pada saat itu berkelebat
sebuah bayangan putih di depannya. Dan tahu-tahu di depan laki-laki berjubah
merah itu sudah berdiri Pendekar
Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Siluman Ular Merah langsung mengenali pemuda
berbaju rompi putih Itu.
"Di antara kita memang belum pernah
punya persoalan. Tapi aku tidak suka kau mengo-
tori wilayah kerajaanku," ujar Rangga, dingin na-da suaranya.
"Seharusnya kau bersenang-senang bersama
gundikmu, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya
malah mencampuri urusanku!" bentak Siluman Ular Merah mengejek.
"Siapa saja yang mengotori wilayah Karang
Setra, harus berhadapan denganku."
"Bagus...! Aku memang ingin menjajal ke-
pandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Orang lain boleh gentar mendengar namamu,
tapi kau akan tunduk di tanganku!"
"Bersiaplah, Siluman Ular Merah. Hih...!"
"Hap...! Mereka langsung bersiap membuka jurus
masing-masing. Sebentar mereka saling bertata-
pan tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat
kepandaian masing-masing. Mereka sama-sama
bergerak berputar perlahan-lahan. Lalu...
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sak-
ti! Hiyaaat...!"
Siluman Ular Merah melakukan serangan
lebih dahulu. Cepat sekali tubuhnya melompat
sambil mengibaskan tongkat ke arah dada Pende-
kar Rajawali Sakti. Namun hanya sedikit menarik tubuhnya ke belakang, Rangga
berhasil mengelakkan serangan laki-laki tua berjubah merah itu.
Dan begitu tongkat berkepala tengkorak itu lewat, secepat kilat Rangga memberi
serangan balasan
dengan menyodokkan tangan kiri ke arah muka.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Siluman Ular Merah cepat menarik kepala
ke samping. Dan sodokan Rangga hanya lewat
sedikit saja di samping wajah laki-laki tua itu.
Mereka terus bertarung saling menyerang dan
menghindar, menggunakan jurus-jurus tingkat
tinggi, Serangan-serangan yang dilakukan begitu cepat dan dahsyat. Sedikit
kelengahan saja bisa berakibat parah.
Jurus demi jurus cepat berlalu. Dan perta-
rungan pun semakin meningkat. Namun sampai
sejauh ini, Rangga belum menggunakan senja-
tanya yang terkenal dahsyat luar biasa.
"Awas kepala...!" seru Siluman Ular Merah tiba-tiba.
"Hait..!"
Rangga cepat merunduk ketika tiba-tiba Si-
luman Ular Merah mengibaskan tongkat ke arah
kepala. Namun tanpa diduga sama sekali, kaki
laki-laki tua itu menghentak ke depan sambil
memiringkan tubuhnya. Rangga terkesiap, dan ti-
dak sempat lagi menghindar dalam keadaan sulit
seperti ini. Des! "Ugkh...!" Rangga mengeluh begitu tendangan Siluman Ular Merah mendarat telak di
da- danya. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung
ke belakang sambil mendekap dadanya yang
mendadak saja jadi terasa sesak. Bergegas tan-
gannya digerak-gerakkan di depan dada, kemu-
dian gagang pedangnya yang masih tersampir di
punggung dijamahnya.
"Bagus! Keluarkan senjatamu, Pendekar Ra-
jawali Sakti. Kau akan menyesal jika mati tanpa memegang senjata," ejek Siluman
Ular Merah. "Bersiaplah, Siluman Ular Merah. Hadapi
Pedang Rajawali Sakti ku!" desis Rangga.
Sret! Cring...! Begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari wa-
rangka, seketika itu juga menyemburat cahaya bi-ru terang menyilaukan. Siluman
Ular Merah agak
terbeliak melihat pamor pedang yang begitu dah-
syat. "Tahan seranganku, Siluman Ular Merah...!
Hiyaaat..!" seru Rangga lantang menggelegar.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti me-
nyerang Siluman Ular Merah. Pedangnya berkele-
bat cepat membabat ke arah dada laki-laki itu.
Cepat-cepat Siluman Ular Merah menghentakkan
tongkatnya, menangkis tebasan pedang bersinar
biru menyilaukan itu.
Trang! "Heh...!"
Bukan main terkejutnya Siluman Ular Me-
rah ketika merasakan seluruh persendian tan-
gannya bergetar nyeri saat tongkatnya beradu
dengan Pedang Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia
melompat mundur mencari jarak. Namun begitu
kakinya menjejak tanah, Rangga sudah kembali
cepat menyerang. Pedangnya berkelebat mengu-
rung laki-laki tua berjubah merah itu.
Saat itu Rangga sudah mengeluarkan satu
jurusnya yang dahsyat. Jurus 'Pedang Pemecah


Pendekar Rajawali Sakti 55 Siluman Ular Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sukma'. Menghadapi jurus itu, Siluman Ular Me-
rah tampak agak kewalahan juga. Beberapa kali
pedang itu terpaksa harus ditangkis. Dan setiap kali terjadi benturan senjata,
tulang-tulangnya terasa bagai dilorot keluar dari tubuhnya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga semakin memperhebat serangannya.
Dan pada satu serangan, dia berhasil menipu la-
wannya dengan gerakan tubuh yang lentur bagai
karet Siluman Ular Merah jadi terkecoh. Diki-
ranya Pendekar Rajawali Sakti hendak melontar-
kan satu pukulan tangan kiri ke arah dada, na-
mun yang terjadi malah sebaliknya.
Rangga membabatkan pedangnya ke arah
kaki laki-laki tua itu. Begitu cepat serangannya, sehingga Siluman Ular Merah
tidak sempat lagi
menghindar. Maka tongkatnya cepat dikibaskan
untuk melindungi kakinya.
Trang! Begitu pedangnya berhasil ditangkis lawan,
cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting-
kan tubuhnya ke udara. Lalu bagaikan kilat, pe-
dangnya dikibaskan ke arah kepala Siluman Ular
Merah. "Hiyaaat...!"
Serangan yang dilakukan Rangga begitu ce-
pat luar biasa. Dan Siluman Ular Merah, tidak
punya kesempatan lagi untuk menghindar. Se-
hingga.... Cras! "Aaa...!" Siluman Ular Merah menjerit keras melengking tinggi.
Tebasan pedang Rangga tepat menghantam
batok kepala laki-laki tua berjubah merah itu.
Darah seketika muncrat keluar dari kepala yang
hampir terbelah menjadi dua. Hampir saja Rang-
ga melepaskan satu pukulan ke arah dada, tapi
niatnya segera dibatalkan. Karena, Siluman Ular Merah sudah keburu ambruk dan
menggelepar di tanah. Beberapa saat Siluman Ular Merah menge-
rang dan menggelepar meregang nyawa, kemu-
dian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus
bercucuran keluar dari kepalanya.
Cring! Rangga memasukkan kembali pedang pusa-
kanya ke dalam warangka di punggung. Seketika
cahaya biru lenyap dari pandangan mata.
Tewasnya Siluman Ular Merah rupanya
membuat semangat bertempur orang-orangnya
langsung menghilang. Mereka yang punya kesem-
patan melarikan diri, bergegas kabur dari tempat itu. Sedangkan yang tidak
sempat, harus rela melepaskan nyawa.
Sementara Rangga bergegas menghampiri
Pendekar Kalung Sakti yang duduk bersila di
tempat aman, ditunggui Rajawali Putih. Pendekar muda berjubah bagai pendeta itu
membuka kelo-pak matanya saat menyadari ada orang di depan-
nya. "Kau terluka, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Rangga.
"Ya, luka dalam," sahut Pendekar Kalung Sakti tanpa malu-malu lagi.
"Parah...?" tanya Rangga lagi seraya menempelkan telapak tangannya di dada
Pendekar Ka- lung Sakti. Pendekar muda berjubah kuning gading itu
tidak perlu menjawab. Rangga tahu kalau Pende-
kar Kalung Sakti mengalami luka dalam yang cu-
kup parah. Sementara pertarungan benar-benar
sudah berhenti. Dan mereka yang bertarung su-
dah berkumpul di belakang Rangga. Tak ada lagi
orang-orang Siluman Ular Merah yang hidup, ke-
cuali mereka yang berhasil kabur.
"Sebaiknya kau ke istana, Pendekar Kalung
Sakti. Di sana kau bisa tenang menyembuhkan lu-
ka dalammu," kata Rangga menawarkan.
"Terima kasih, kau tidak perlu merepotkan
diri," ucap Pendekar Kalung Sakti.
"Sama sekali tidak. Kau perlu tempat dan
waktu untuk menyembuhkan lukamu."
"Biar aku ke istana, Kakang. Akan ku-
siapkan tempat bersemadi," selak Danupaksi.
Sebenarnya Pendekar Kalung Sakti ingin
menolak, tapi Danupaksi sudah cepat berlari.
Maka kini dia tidak bisa menolak lagi. Rangga
membantu pendekar muda berjubah kuning gad-
ing itu berdiri. Ganta bergegas menghampiri dan memapah pendekar muda itu.
"Kalian juga sebaiknya beristirahat di tem-patku. Kalian bisa memulihkan
kesehatan di sa-
na," kata Rangga menawarkan pada Ganta dan Widarti.
"Terima kasih," hanya itu yang dapat di-ucapkan Ganta dan Widarti bersamaan.
"Aku ambil kuda dulu, Kakang. Biar Pende-
kar Kalung Sakti menunggang kudaku," tambah Cempaka.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Cempaka
bergegas pergi untuk mengambil kudanya. Se-
mentara Rangga mendekati Pandan Wangi yang
telah berdiri di dekat Rajawali Putih. Pemuda berbaju rompi putih itu segera
mengambil tangan si Kipas Maut dan meremasnya dengan mesra.
"Aku rindu padamu, Pandan," ucap Rangga perlahan dengan sinar mata penuh kasih
sayang. Pandan Wangi hanya tersipu malu. Dia tidak
mampu menjawab pernyataan Rangga. Hanya
tangannya saja yang semakin erat menggenggam
tangan Rangga. "Kirk...!" Rajawali Putih mengkirik lirih, seakan-akan tahu kalau Rangga ingin
berduaan den- gan kekasihnya.
"Oh, ya. Kau boleh kembali, Rajawali Putih,"
ujar Rangga sambil menghampiri burung raksasa
itu. Kemudian ditepuk-tepuknya leher burung itu.
"Khrrrk...!"
Setelah mendapat pelukan dari Rangga, Ra-
jawali Putih melesat ke angkasa. Burung raksasa itu berputar-putar tiga kali,
seakan-akan ingin mengucapkan selamat tinggal. Kemudian binatang itu cepat
melesat pergi menembus awan.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi telah
berjalan meninggalkan keramaian di belakangnya.
Kedua pendekar muda itu kembali melanjutkan
petualangannya membela keadilan.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely peace
Pendekar Misterius 1 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Rahasia Hiolo Kumala 20
^