Pencarian

Asmara Bernoda Darah 2

Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah Bagian 2


"Siapa yang berbuat kurang ajar" Kau terlalu ba-
nyak membuat persoalan. Siapa sebenarnya kau ini?"
tanya Rangga kesal, menatap gadis itu curiga.
Nawang Sari tersedak. Tampak wajah Rangga telah
berubah dingin. Dan ini memang disengaja Rangga,
karena tidak ingin memberi harapan pada gadis itu.
"Nawang Sari, aku tak ada waktu untuk meladeni-
mu. Selamat tinggal!" kata Rangga langsung berbalik, dan melesat cepat bagai
kilat. Nawang Sari diam saja saat Rangga hilang ditelan
lebatnya hutan. Entah apa yang dirasakan gadis itu saat ini. Matanya kosong
menatap ke arah Rangga
yang sudah hilang dari penglihatannya. Tubuhnya
berdiri tegak dengan air mata berlinang pelan membasahi pipinya yang halus.
*** 5 Seorang laki-laki tampak duduk bersila di ruang
tengah rumahnya sambil memejamkan kedua mata.
Tubuhnya yang kurus tampak masih terlihat gagah.
Padahal rambut di kepalanya telah memutih semua.
Lebih dari setengah hari dia bersikap demikian. Dan ketika pendengarannya yang
tajam merasakan kehadiran seseorang di tempatnya, matanya dibuka dan
langsung menatap tajam ke depan.
Tampaklah halaman luas dan lebar dipenuhi pepo-
honan. Suasananya tampak sepi. Sesekali angin ber-
tiup menerbangkan dedaunan kering yang sudah layu
dan menguning kecoklatan. Kelelawar tampak beter-
bangan satu persatu dari tempatnya, mengisyaratkan sesaat lagi senja akan
berganti malam.
"Nawang Sari, kaukah itu...?"
Tak lama seseorang masuk dari pintu depan dengan
langkah lesu. Wajahnya tertunduk dalam- dalam. Tan-pa banyak bicara tubuhnya
langsung disandarkan ke
dinding dekat pintu.
"Kenapa wajahmu begitu kusut" Ada persoalan
yang membebani pikiranmu?" tanya orang tua itu.
Gadis yang tak lain Nawang Sari itu diam tak men-
jawab.. "Kau bentrok lagi dengan orang lain?"
Nawang Sari tetap membisu. Sementara orang tua
yang sebenarnya bernama Ki Paladiga itu beranjak dari duduknya dan mendekati
Nawang Sari. "Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka meng-
ganggu orang lain. Sikapmu itu amat buruk dan tak
terpuji. Cobalah menjadi orang baik dengan menjaga segala tingkah lakumu...."
"Bukan karena persoalan itu, Eyang...!" sahut Na-
wang Sari, kesal.
"Lalu apa?"
"Eyang harus membantuku!"
Ki Paladiga menggeleng pelan. Murid satu- satunya
ini memang amat disayanginya. Bahkan sudah diang-
gapnya sebagai anak sendiri. Tapi, Nawang Sari me-
mang sangat bengal dan suka sekali memamerkan ke-
pandaian ilmu silat yang dipelajari untuk menguji
orang lain. Di samping itu, sifatnya juga tak terpuji.
Dia suka mencuri barang-barang berharga milik orang lain. Telah beberapa kali Ki
Paladiga mendapat teguran dari berbagai kalangan, atas kelakuan muridnya.
Untungnya, kebanyakan dari mereka hanya memandang
siapa dirinya, sehingga mau menyelesaikan persoalan secara baik-baik.
"Persoalan apa lagi yang kini menyusahkan hatimu"
Kau mencuri barang berharga lagi?"
"Bukan!"
"Lalu apa?" desah Ki Paladiga.
"Eyang harus menghajar seorang pemuda yang san-
gat ku benci!"
"Hm, ini pasti salahmu!"
"Apakah Eyang tak percaya padaku" Pemuda itu
sangat kurang ajar. Dia..., dia telah menodaiku!"
"Apa"!" sepasang alis orang tua itu kontan terang-
kat tinggi mendengar penuturan muridnya.
"Aku sama sekali tak mengganggunya. Datang- da-
tang, dia menghajar dan bermaksud meringkusku.
Tentu saja aku melawan. Tapi kepandaiannya sangat
tinggi, sehingga dengan leluasa nafsu kotornya dilam-piaskan kepadaku...,"
lanjut Nawang Sari sambil meni-tikkan air mata.
"Kurang ajar! Katakan, siapa pemuda itu"!"
Dengan terisak-isak, Nawang Sari berusaha menye-
but nama seseorang.
"Dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti...!"
"Apa"!" untuk kedua kalinya Ki Paladiga dibuat terkejut oleh penuturan muridnya.
Setahunya, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah
orang sembarangan. Rasanya, tak seorang pun tokoh-
tokoh persilatan yang tak mengenal julukan itu. Ki Paladiga jadi terdiam
beberapa saat lamanya. Rasanya, Pendekar Rajawali Sakti tak mungkin akan berbuat
hina yang dituturkan muridnya. Apakah Nawang Sari
berdusta, dan hanya ingin memancingnya untuk
membela" Siapa tahu dia hanya mencari gara-gara lebih dulu, lalu dengan mudah
dikalahkan pemuda itu.
Dan kini, dia mengadu yang tidak-tidak" Tapi, jangankan Nawang Sari. Dia sendiri
rasanya belum tentu
mampu melawan pemuda yang julukannya kian men-
julang dan disegani tokoh-tokoh persilatan.
"Bagaimana, Eyang" Kau tentu mau menghajarnya,
bukan?" "Nawang, aku curiga...."
"Heh! Apakah kali ini Eyang tak percaya kalau aku
berkata yang sebenarnya"!" Nawang Sari sudah lang-
sung memotong ucapan gurunya dengan nada ketus.
"Dengarlah, Nawang. Pendekar Rajawali Sakti bu-
kanlah orang sembarangan. Aku memang sayang pa-
damu. Tapi dalam hal ini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ada beberapa hal yang
menyebabkannya. Perta-
ma, aku tak begitu yakin dengan ceritamu. Dan yang kedua, meskipun kukerahkan
seluruh kepandaianku,
rasanya tak akan mampu mengalahkannya," ujar Ki
Paladiga. "Huh! Percuma saja aku memiliki guru yang berilmu
tinggi, kalau hanya menghadapi Pendekar Rajawali
Sakti saja sudah ciut nyalinya!" dengus Nawang Sari kesal.
"Nawang, jaga mulutmu! Sejak kapan kau berani
berkata kasar begitu pada gurumu"! Hm.... Semakin
lama segala tingkahmu kubiarkan, kelihatannya malah semakin buruk saja. Mulai
sekarang, kau tak boleh la-gi keluar dari tempat ini!" bentak Ki Paladiga tegas.
"Apakah Eyang bermaksud menyekapku selama
bertahun-tahun di sini?" terdengar sinis suara Nawang Sari.
"Kalau kurasa perlu, mengapa tidak"!"
"Tidak! Kau tak berhak melarangku. Lebih baik,
bunuh saja aku daripada disekap terus- menerus. Hidupku pun kini sudah tak
berguna lagi. Aku tak takut mati, Eyang. Ayo, bunuhlah aku. Daripada kau
menyekapku di sini!" teriak gadis itu, kalap.
"Nawang Sari, diamlah! Diam...!" Ki Paladiga men-
coba menenangkan muridnya.
"Aku tak akan diam selama persoalanku belum
beres! Tak malukah Eyang mengetahui muridnya di-
nodai orang lain secara paksa"! Apakah Eyang akan
berdiam diri saja dan menunggu tokoh-tokoh persilatan mempermalukan Eyang"!"
sentak Nawang Sari lagi, bernada memohon.
"Baiklah. Tenanglah dulu. Persoalan ini akan kuse-
lesaikan nanti dengan pikiran jernih...."
"Tidak! Aku ingin mendengar keputusan Eyang se-
karang juga. Apakah Eyang akan mendiamkan persoa-
lan ini, atau menyelesaikannya sampai tuntas?"
"Baiklah. Kita akan membereskan sampai tuntas...."
"Eyang akan menghajarnya?"
Ki Paladiga menghela napas pendek.
"Sudah kukatakan tadi, percuma saja seluruh ke-
pandaianku di hadapan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kalau memang begitu keras
niatmu untuk membalas
perlakuannya, aku bisa menunjukkan padamu orang
yang tepat untuk melakukannya...."
"Apa maksud Eyang?"
"Ada seorang tokoh berilmu tinggi yang telah lama
mengasingkan diri dari dunia persilatan. Rasanya, saat ini hanya orang itulah
yang mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Namanya, Ki Sembung Prana.
Mintalah padanya agar dia mau mengajarimu beberapa jurus ilmu silat Jika dia tak
mau membantumu, kau
harus membujuknya. Tapi ingat, orang tua itu tak mudah dibujuk. Jadi, kau harus
pandai-pandai membu-
juknya...," jelas Ki Paladiga.
Wajah Nawang Sari kontan berseri-seri senang
mendengar penjelasan gurunya. Dicatatnya baik- baik pesan gurunya. Terutama,
tentang tempat tinggal
orang yang dimaksud Ki Paladiga.
*** Sementara itu, di lain tempat, Sidarta terus berlari membawa dendam di hatinya.
Rasa sakit akibat dicundangi Pendekar Rajawali Sakti seperti tak dirasakannya.
Di suatu tempat di ujung Desa Kutipan, Sidarta tersungkur persis di muka sebuah
halaman rumah yang tak terlalu luas. Dia berusaha bangkit sambil berjalan tertatih-tatih
menuju rumah itu.
"Guru...!" panggil Sidarta lirih.
Pintu ternyata tak terkunci. Dan Sidarta terus me-
langkah ke dalam. Tapi baru saja hendak membuka
pintu, sesosok tubuh tinggi besar telah berdiri tegak di muka pintu. Sorot
matanya tampak tajam dan wajahnya terlihat seram. Tampak bopeng-bopeng memenuhi
seluruh permukaan kulit wajahnya.
"Guru, tolonglah aku...," lirih suara Sidarta.
"Hm, kenapa kau?" suara laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun itu
terdengar keras dan berat
"Aku telah dihajar dan dihina seseorang...."
"Duduklah. Tenangkan hatimu, dan ambil napas
perlahan-lahan. Baru setelah itu, ceritakan apa yang terjadi."
Sidarta menghela napas. Dia beringsut lebih ke da-
lam, kemudian duduk bersila sambil mengatur perna-
fasannya. Orang tua itu sendiri duduk tepat di hadapannya sambil memperhatikan
muridnya tanpa berke-
dip. Sebenarnya orang tua yang wajahnya penuh bo-
peng dan berambut kaku ini adalah Wangsa Naraya.
Dia adalah salah seorang tokoh persilatan golongan hitam yang memiliki gelar
Gagak Hitam Pemakan Bang-
kai. Ilmunya sangat tinggi dan disegani orang-orang persilatan. Sifatnya garang
dan gampang naik darah.
Dan dia tak ingin orang lain memiliki kelebihan dari dirinya.
"Nah, ceritakan apa yang telah menimpamu?" tanya
Ki Wangsa Naraya setelah melihat wajah Sidarta lebih tenang dari semula.
"Seseorang telah merebut Nawang Sari...!"
"Hm, aku tak heran. Dari semula, gadis itu tak me-
nyukaimu. Tapi, kenapa kau masih bersikeras juga...?"
"Tapi ini sangat menyakitkan, Guru. Dia pergi ber-
sama seorang pemuda yang berkepandaian tinggi.
Bahkan sengaja menghinaku!"
"Lalu kau dapat dikalahkan?"
Sidarta mengangguk lemah sambil menundukkan
wajah lesu. "Hm.... Ini lebih tak mengherankan lagi. Kau me-
mang murid yang malas dan tak sabaran. Ilmumu be-
lum seberapa. Apalagi, pelajaran yang kuberikan masih kurang. Tapi, mengapa kau
sudah berani men-
gumbarnya di luar sana. Kau hanya mempermainkan-
ku saja!" dengus Ki Wangsa Naraya.
"Tapi ini bukan sekadar mempermalukan ku saja,
Guru. Tapi juga menyangkut dirimu!" sahut Sidarta, memulai memutar otak untuk
mencari alasan memancing kemarahan gurunya.
"Apa maksudmu?"
"Orang itu tahu kalau aku adalah muridmu. Ala-
sannya mengalahkanku bukan sekadar karena Na-
wang Sari, melainkan karena ingin menjatuhkan na-
mamu...!" kata Sidarta, berdusta.
"Apa katamu"! Kurang ajar! Siapa orang itu" Ayo,
cepat katakan! Biar kupatahkan batang lehernya!"
bentak Ki Wangsa Naraya murka.
Sidarta tersenyum-senyum kecil dalam hati, melihat gurunya terpancing ceritanya.
Sidarta tahu betul, bagaimana caranya agar gurunya mau ikut campur da-
lam urusannya. "Aku..., aku tak sempat menanyakannya, Guru. Ta-
pi kalau kusebutkan ciri-cirinya, mungkin Guru mengenalnya...," sahut Sidarta
kembali. "Ayo, cepat katakan! Siapa tokoh persilatan yang
tak kukenal"!"
Sidarta lalu menyebutkan ciri-ciri pemuda yang te-
lah mengalahkannya. Kening Ki Wangsa Naraya tam-
pak berkerut dalam, berusaha mengingat-ingat ciri-ciri yang disebutkan muridnya.
Namun tak berapa lama....
"Hm, pantas saja kau tak mampu mengalahkan-
nya...." "Kenapa, Guru" Apakah Guru mengenalnya...?"
"Pemuda yang kau hadapi itu adalah Pendekar Ra-
jawali Sakti!"
Sidarta terpaku beberapa saat lamanya mendengar
keterangan gurunya.
"Dia memang berilmu tinggi dan sulit diukur ke-
pandaiannya...!"
"Jadi bagaimana, Guru" Apakah kau akan men-
diamkan saja dirimu dihina begitu rupa" Dia bahkan berani menantangmu!"
"Huh! Percuma aku dijuluki Gagak Hitam Pemakan
Bangkai kalau menghadapi bocah ingusan itu saja
nyaliku sudah ciut. Justru kesempatan inilah yang sangat kutunggu-tunggu. Telah
lama aku ingin mema-tahkan kesombongan pemuda itu. Tapi, tak punya alasan tepat
untuk menantangnya. Dan kebetulan dengan adanya persoalanmu ini, aku mempunyai
alasan tepat untuk menjajalnya!" geram Ki Wangsa Naraya.
"Kalau begitu, buat apa ditunda lagi, Guru?"
"Diam kau! Kau pikir bisa mengakaliku" Kalau aku
menghajar pemuda itu, bukan karena ingin membela-
mu. Tapi, karena memang sudah lama aku menunggu
saat-saat seperti ini!"
Nyali Sidarta mengkeret mendengar bentakan gu-
runya. Tapi, apa pun yang dikatakan gurunya tak dipedulikan. Yang jelas, pemuda
yang telah memperma-
lukannya di depan Nawang Sari harus mampus. Cepat


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau lambat, tak perlu dipersoalkan. Dan dia tahu betul watak gurunya. Kalau ada
sesuatu yang menggan-
jal hatinya, tak pernah sampai ditunda sekian lama.
Pasti akan diselesaikan segera. Dan Pendekar Rajawali Sakti adalah ganjalannya!
*** 6 Rasa cinta Nawang Sari pada Rangga perlahan- la-
han berubah menjadi rasa benci yang meluap-luap dalam hatinya. Selama ini, siapa
laki-laki yang tak tunduk terhadap rayuannya" Wajahnya cantik dan tu-
buhnya menggiurkan. Setiap laki-laki waras pasti akan berusaha mendekati dan
berharap memilikinya. Dan
Nawang Sari yang cerdik dan nakal, senang sekali melihat banyak lelaki yang
tergila-gila padanya. Bahkan dia malah sengaja mempermainkan mereka.
Tapi dengan Rangga, Nawang Sari betul-betul kena
batunya. Pemuda itu kelihatan tak begitu menggebu
terhadapnya. Bahkan sampai dia sendiri yang menya-
takan cintanya. Namun, dengan seenaknya pula pe-
muda itu menolak. Bukan main panasnya hati Nawang
Sari. Padahal, rasa cintanya kepada Rangga bukanlah cinta pura-pura semata.
Hatinya betul-betul jatuh cinta pada Rangga, pemuda yang bergelar Pendekar
Rajawali Sakti.
Maksud hati Nawang Sari meminta bantuan gu-
runya bukanlah untuk membunuh pemuda itu. Me-
lainkan, untuk meringkusnya. Dia ingin membuat
pembalasan yang menyakitkan. Tapi karena gurunya
merasa tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali
Sakti, hatinya sedikit kecewa. Untunglah Ki Paladiga menunjukkan tempat
seseorang yang bernama Ki
Sembung Prana berada. Konon menurut gurunya, Ki
Sembung Prana adalah seorang tokoh tua yang selama malang melintang dalam dunia
persilatan tak pernah terkalahkan.
Tapi", bagaimana aku harus menaklukkannya jika
menurut guru Ki Sembung Prana sama sekali tak mau
peduli dengan segala urusan dunia persilatan" Gu-
mam Nawang Sari dalam hati ragu-ragu, setelah dalam perjalanan menuju tempat
orang yang disebutkan gurunya itu.
Sepanjang jalan, Nawang Sari memeras otak. Dica-
rinya cara untuk membujuk orang tua itu agar mau
membantu atau mengajarkan barang beberapa jurus
ilmu olah kanuragan, agar bisa mengalahkan dan me-
ringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm, walau bagaimanapun, aku harus menda-
patkan sesuatu darinya. Dengan cara apa pun!" gu-
mam Nawang Sari membulatkan tekadnya.
Setelah berjalan kira-kira dua hari lamanya, Na-
wang Sari tiba di suatu perbukitan sunyi yang jauh da-ri keramaian manusia.
Nawang Sari ragu melangkah. Matanya beredar ke
sekeliling tempat itu yang kelihatan permai, namun sedikit menyeramkan. Banyak
terdapat pepohonan besar yang batangnya tak bisa dipeluk dua tangan orang dewasa
sekalipun. Selain sunyi, tempat itu pun tak terlalu terang karena terlindungi
oleh cabang serta ranting-ranting pohon yang banyak bergerumbul. Dan di satu
sudut yang berdekatan dengan sebatang pohon
besar, tampaklah sebuah pondok kecil yang hanya sa-tu-satunya di tempat itu.
Nawang Sari segera melangkah mendekati
"Sampurasun, adakah orang di dalam" Aku penge-
lana tersesat yang ingin menumpang menginap barang satu atau dua hari...!" sapa
Nawang Sari, dengan suara sedikit keras.
Baru saja kata-katanya selesai, tiba-tiba sudah berdiri tegak seseorang di
belakangnya sambil menepuk bahunya. Kehadiran orang itu sama sekali tak
diketahuinya. Bahkan lebih halus dari angin yang bertiup.
Tentu saja hal itu membuat Nawang Sari terlonjak kaget dan buru-buru menoleh.
"Heh"!"
"Siapa kau, Nduk Dan, apa yang kau kerjakan di
tempat sunyi ini?"
"Eh, ng.... Apa..., apakah Kakek pemilik pondok
ini?" tanya Nawang Sari gugup.
Di hadapan gadis itu telah berdiri seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh
puluh tahun lebih. Walau begitu, tubuhnya masih terlihat kekar, meski beberapa
bagian terlihat keriput-keriput yang tak bisa disembunyikan. Wajahnya bersih
dengan kumis tipis yang sudah memutih seperti rambut di kepalanya. Namun so-
rot matanya lembut, menusuk sanubari orang yang
melihatnya. Seperti apa yang dirasakan Nawang Sari saat ini.
Orang tua itu mengangguk.
"Kau belum menjawab pertanyaanku?" tegur orang
tua itu, mengingatkan dengan suara lembut.
"Ah! Aku Nawang Sari. Ada pun tujuanku ke sini
mencari seseorang yang bernama Ki Sembung Pra-
na...." "Cah ayu, kau tengah berhadapan dengan orang
yang kau maksudkan saat ini...!"
"Oh! Jadi, kakekkah orang yang bernama Ki Sem-
bung Prana"! Terimalah salam hormatku...!" Nawang
Sari menjatuhkan diri dan bersujud di dekat kaki
orang tua itu. "Berdirilah, Cah Ayu! Aku tak mengerti, untuk apa
hal ini kau lakukan...."
"Aku tak akan berdiri, sebelum mendengar penega-
sanmu untuk mengangkatku menjadi muridmu...!" sa-
hut Nawang Sari langsung.
Ki Sembung Prana terdiam. Terdengar helaan na-
fasnya yang halus lewat kedua bahunya yang terangkat pelan.
"Sayang sekali, Cah Ayu. Kalau kau hendak bergu-
ru, maka kau telah datang pada orang yang salah. Aku tak memiliki apa-apa untuk
menurunkan kepandaianku...!"
"Tolonglah aku, Ki. Aku berjanji akan menjadi mu-
ridmu yang berbakti dan mematuhi segala perintahmu.
Apa pun yang kau perintahkan padaku, akan kulaku-
kan segera...."
"Aku tak meragukan tekadmu itu, Cah Ayu. Tapi
perlu kukatakan sekali lagi agar kau ketahui, bahwa kau telah datang pada orang
yang salah. Aku orang
tua lemah yang bodoh, dan tak memiliki apa-apa un-
tuk kuajarkan padamu. Mudah-mudahan, kau bisa
mengerti...," sahut Ki Sembung Prana arif.
"Ki Sembung Prana! Namamu telah termahsyur di
mana-mana. Dan hal itu bukanlah nama kosong bela-
ka. Setiap orang yang mendengar namamu, pasti akan menghormatinya. Kau disegani
seluruh kalangan persilatan. Lalu, apakah kau masih ingin mengatakan lagi kalau
kau orang tua yang lemah dan bodoh...?"
"Hm.... Dari mana kau dapatkan cerita kosong itu?"
"Ki, itu bukan cerita kosong. Semua orang sudah
tahu...." Ki Sembung Prana mengerutkan dahi untuk bebe-
rapa saat Lalu tanpa banyak bicara, dilewatinya gadis itu dan terus melangkah ke
dalam. *** "Ki Sembung Prana, aku mohon kemurahan hati-
mu...!" Nawang Sari tersekat. Dicobanya untuk me-
nyusul orang tua itu ke dalam.
"Maaf, Cah Ayu. Kukira ucapanku tadi sudah jelas!"
potong orang tua itu sambil menutup pintu.
Nawang Sari berusaha mengetuknya beberapa kali.
"Ki Sembung Prana, aku akan menunggu di muka
pintu ini sampai kau bersedia mengangkatku menjadi muridmu...!"
Tak terdengar sahutan dari dalam. Sementara, Na-
wang Sari mulai gelisah. Kalau di perjalanan hatinya merasa yakin akan mampu
menaklukkan hati orang
tua itu, maka kali ini dia sedikit kecewa. Orang tua inilah satu-satunya harapan
untuk membalaskan sakit
hatinya pada Pendekar Rajawali Sakti. Walau bagai-
manapun, dia harus mampu membujuknya. Tapi den-
gan cara bagaimana"
Nawang Sari melangkah pelan dan duduk di atas
sebuah batu yang tak jauh dari pintu itu, sambil memikirkan apa yang akan
dilakukannya untuk membu-
juk orang tua itu. Apakah dia akan menunjukkan ke-
kerasan hatinya dengan terus menunggu di muka pin-
tu ini" Bagaimana kalau ternyata hati orang tua itu tetap keras kepala dan tak
peduli" Gadis itu terus berpikir keras. Dan kini, ingatannya
tertuju pada Bunga Asmara Dewa. Dan bunga itu me-
mang dari hasil curiannya. Nawang Sari memang terkenal nakal dan suka mencuri
benda- benda berharga milik seseorang. Dan gurunya sendiri, Ki Paladiga, ta-hu
akan hal itu. Di antara orang-orang atau tokoh-
tokoh persilatan yang mengetahui kalau gadis itu muridnya, maka sudah langsung
mendatanginya untuk
meminta pertanggung-jawaban. Dan kalau sudah de-
mikian, Nawang Sari tak punya pilihan lagi selain
mengembalikan barang-barang yang dicurinya. Tapi
banyak juga yang gentar oleh kebesaran nama Ki Paladiga. Sehingga bila Nawang
Sari berhasil mencuri barang-barang milik mereka, jarang sekali bisa kembali
lagi. Sementara tentang Bunga Asmara Dewa, bunga itu
memang sangat berkhasiat untuk membangkitkan naf-
su birahi seseorang. Dan ketika itu, banyak orang
memperebutkannya karena nilainya sangat mahal. Ti-
dak hanya sulit dicari, tapi juga tak sembarang orang mengetahui tempatnya. Dan
suatu saat, Nawang Sari
secara kebetulan bertemu dua orang yang tergesa-gesa memacu kudanya. Niat Nawang
Sari pada mulanya
hanya sekadar merampok, karena melihat kedua pe-
nunggang kuda itu membawa sebuah buntalan. Dis-
angkanya, mereka memiliki barang berharga. Maka
langsung dicegatnya dua orang penunggang kuda itu.
Lalu, dengan paksa direbutnya buntalan itu dari tangan mereka. Meskipun keduanya
mempertahankan mati- matian, tapi Nawang Sari berhasil melumpuhkan mereka dan merampas buntalan
itu. Dan dia memang
tak berniat membunuh. Gadis itu langsung melarikan diri.
Dan setelah jauh dari mereka, barulah buntalan itu dibukanya. Ternyata, isinya
adalah sekuntum bunga
yang bening di antara kepingan uang emas. Dan sebenarnya, Nawang Sari tak tahu
kalau bunga itulah yang dicari-cari orang. Belakangan, barulah diketahui, ketika
mendengar cerita orang mengenai ciri-cirinya yang sama persis dengan bunga yang
kini berada di tangannya.
"Hm.... Apakah perlu bunga ini kugunakan untuk
menaklukkannya?" kata Nawang Sari pelan, mengak-
hiri lamunannya.
Nawang Sari masih ragu melakukannya. Karena ka-
lau hal itu harus dilakukan, berarti mempertaruhkan harga dirinya. Gadis cerdik
itu masih berharap Ki
Sembung Prana mau berubah pikiran. Maka seharian
itu hatinya dikeraskan untuk tetap tak beranjak dari tempat itu.
Tapi apa yang diharapkan rasanya tak akan terwu-
jud. Buktinya sampai jauh malam, Ki Sembung Prana
sedikit pun tak membuka pintu, tanpa peduli dengan apa yang dilakukannya. Nawang
Sari menggigil kedinginan karena udara di tempat itu memang amat dekat dengan
pegunungan. Dan ketika malam tiba, dingin-nya bukan kepalang.
"Orang tua sial! Dia sama sekali tak peduli padaku.
Rasanya meskipun aku sampai mati di sini, dia tetap tak akan peduli. Tapi aku
harus bisa menaklukkannya. Aku harus bisa mendapatkan kepandaiannya!" tegas
Nawang Sari membulatkan tekad di hatinya. Su-
dah tidak dipikirkan lagi akibat apa pun, selain keingi-nannya tercapai.
Nawang Sari beranjak, lalu mengulurkan sesuatu
dari balik bajunya. Kini, sekuntum bunga yang telah berwarna kuning kecoklatan
tergenggam dalam tangannya. Bunga itulah yang disebut Bunga Asmara De-
wa, yang telah lama disimpan hingga menjadi layu.
Tapi meski begitu, khasiatnya tetap tak berubah.
Gadis itu lalu membuat perapian dengan bantuan
batu pemantik, setelah mengumpulkan ranting-ranting kering. Begitu api berkobar,
satu persatu kelopak Bunga Asmara Dewa itu diceburkan ke dalam gejolak nyala
api. Dan sesaat saja, tercium bau harum semerbak di sekitar tempat itu, sehingga
mampu membuat seseorang terhanyut dalam khayalan yang memabukkan.
Sementara itu, Ki Sembung Prana tengah duduk
bersila memusatkan pikiran seperti yang telah biasa dilakukannya setiap malam.
Kelopak matanya terpe-jam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dalam
keadaan begitu, aliran darahnya terasa mengalir teratur ke seluruh bagian tubuh.
Dan lewat pernapa-san yang teratur, dikumpulkannya hawa mumi yang
berpusat di bawah perut untuk dialirkan ke seluruh bagian tubuh. Dalam keadaan
demikian, pikirannya
seakan-akan kosong sehingga mampu menenangi ji-
wanya. "Heh"!"
Ki Sembung Prana tersentak kaget ketika penci-
umannya mengendus sesuatu dan langsung merasuk
dalam pikirannya. Bau harum itu begitu semerbak,
dan dengan cepat membangkitkan gairah kelelakian-
nya. "Celaka!" Ki Sembung Prana tersentak kaget.
Laki-laki tua itu berusaha menahan pengaruh yang
mulai menjalar di setiap pembuluh darahnya. Namun
semakin mencoba untuk menahan, perasaan tak me-
nentu seperti tak tertahan terus menyerang. Tubuhnya mulai gemetar dan helaan
nafasnya mulai tak beratu-ran. Perlahan-lahan orang tua itu bangkit dan berjalan
menuju pintu depan.
Memang, setinggi apa pun ilmu seseorang, tak ba-
kalan mampu mengalahkan pengaruh harumnya Bun-
ga Asmara Dewa. Akibatnya, tak heran kalau Ki Sem-
bung Prana menjadi kalang-kabut menerima pengaruh
itu. "Ki Sembung Prana! Aku kedinginan di luar. Tidak adakah sedikit belas
kasihanmu untuk mempersila-kanku masuk...?" lirih suara Nawang Sari di depan
pintu. Ki Sembung Prana membuka pintu. Ditatapnya ga-
dis itu beberapa saat dengan sorot mata aneh.
"Masuklah...!" ujar orang tua itu lembut.
Nawang Sari melangkah pelan. Sedang Ki Sembung
Prana membimbingnya sambil memegangi bahunya.
"Kau tentu lelah seharian berada di luar. Istirahatlah di tempat tidurku...,"
lanjut Ki Sembung Prana lagi, begitu telah berada di dalam kamarnya.
Lagi-lagi Nawang Sari tak membantah. Tubuhnya
lalu dibaringkan di tempat tidur, sementara Ki Sembung Prana menyelimutinya.
Tapi dalam benaknya
mulai bergejolak pikiran-pikiran tak menentu terhadap gadis itu. Ki Sembung
Prana berusaha sekuat mungkin menahannya, dan bermaksud meninggalkan gadis itu
sendirian. "Ki, aku takut sendirian. Kamar ini gelap dan me-
nyeramkan. Kau di sinilah menemaniku," ujar Nawang Sari, yang mulai dirasuki
khasiat Bunga Asmara Dewa sambil mencekal pergelangan tangan Ki Sembung Prana.
Ki Sembung Prana diam mematung sambil menatap
Nawang Sari. Sorot matanya semakin menunjukkan


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegelisahan. Dan helaan nafasnya semakin tak terken-dali lagi. Apalagi ketika
Nawang Sari mulai menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu perlahan-
lahan bajunya mulai dibuka sambil memandang Ki
Sembung Prana dengan tatapan mesra.
"Ki Sembung, aku kedinginan sejak di luar tadi.
Maukah kau menemaniku tidur di sini...?"
Ki Sembung Prana tetap mematung. Pandangannya
mulai kosong, tanpa berkedip ketika melihat tubuh
Nawang Sari yang tanpa sehelai benang pun. Apalagi saat Nawang Sari mendekat,
dan mulai membuka pakaian orang tua itu satu persatu. Ki Sembung Prana seperti
tak kuasa mencegahnya. Urat syarafnya kian menegang dan aliran darahnya kian
mengalir hingga
membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Cah ayu...!" terdengar lirih suara orang tua itu.
Ki Sembung Prana menepis kedua tangan gadis itu.
Lalu dengan cepat pakaiannya dibuka sendiri. Sepa-
sang matanya jalang menatap keindahan lekuk-lekuk
tubuh Nawang Sari. Kemudian dengan satu gerakan
cepat, disambarnya tubuh molek itu dan dihem-
paskannya ke tempat tidur. Nawang Sari sendiri seperti tak kuasa menolak. Dia
hanya bisa mendesah pelan sambil sesekali merintih lirih.
"Ki Sembung, cepatlah berikan sesuatu padaku.
Bangkitkanlah gairahmu.... Reguklah kenikmatan di
malam dingin ini...."
Ki Sembung Prana diam tak menjawab. Hanya dari
mulutnya saja yang mengeluarkan geraman halus. Tak dipedulikan lagi erangan-
erangan gadis itu. Tubuhnya langsung menghimpit, seperti hendak menyatu dengan
gadis itu. Berkali-kali mulutnya menggeram hebat, diiringi rintihan halus Nawang
Sari. Di luar, malam semakin kelam dan dingin merasuk
tulang. Suara burung malam terdengar berbaur teriakan penghuni hutan yang tak
jauh dari pondok itu.
Beberapa kelelawar yang tadi hinggap di tepi atap, ti-ba-tiba melesat terbang
sambil mengeluarkan suara.
Dari luar terdengar helaan napas memburu dan jerit kecil seseorang yang berbaur
derit kayu dipan yang be-raturan. Kemudian ketika terdengar lenguhan panjang,
suasana kembali sepi. Dari dalam satu ruangan dalam pondok itu hanya terdengar
helaan napas lelah!
*** Pagi-pagi sekali saat terbangun, Ki Sembung Prana
tersentak kaget mendapati dirinya tidur tanpa sehelai benang pun. Sedang di
sebelahnya tertidur seorang
gadis cantik yang kemarin berdiri di muka pintu pon-doknya. Tubuhnya pun dalam
keadaan sama. Ki Sem-
bung Prana mulai mengingat-ingat peristiwa yang terjadi semalam.
"Astaga"! Apa yang telah kulakukan tadi malam"!"
sentak Ki Sembung Prana.
Nawang Sari mulai sadar dari tidurnya, begitu men-
dengar seruan kaget orang tua itu. Dan ketika mendapati dirinya dalam keadaan
polos, buru-buru disambarnya selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya
langsung memandang lekat ke arah Ki Sembung Prana
dengan rasa kemarahan yang meluap.
"Kau..., kau.... Apa yang telah kau lakukan terha-
dap diriku" Ki Sembung Prana! Tak kusangka, kau telah memperdayakan diriku.
Kukira kau tokoh terhor-
mat yang menjunjung tinggi kesusilaan. Tapi kini, ter-bukti bahwa kau tak lebih
dari seorang laki-laki hidung belang terkutuk!" maki Nawang Sari, mulai me-
nyusun siasatnya. Dan sebenarnya dia sadar, kalau dirinya juga telah tersirep
harum Bunga Asmara Dewa.
Gadis itu juga mendekap wajahnya, dan menangis ter-sedu-sedu.
"Cah ayu! Jangan sembarangan bicara! Semua ini
karena ulahmu sendiri. Kaulah yang menyebabkan
semua ini terjadi!" bantah Ki Sembung Prana sengit
"Mustahil! Kau hanya mencari-cari alasan. Kaulah
yang membawaku masuk ke sini, dan memaksaku me-
lakukan perbuatan terkutuk itu. Dan kini, dengan
seenaknya berusaha mengelak!"
"Hm.... Kau sungguh cerdik, Cah Ayu. Kau pikir,
aku tak tahu apa yang kau perbuat Bau harum yang
memabukkan itu semalam bukan bau harum biasa.
Tapi, berasal dari suatu bunga yang berkhasiat untuk membuat pikiran manusia
dikacaukan hawa nafsunya
sendiri...."
"Kau bisa saja bicara apa pun. Tapi yang jelas, kau telah memaksaku untuk
melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan kau harus mempertanggungjawabkannya.
Kalau tidak, aku akan katakan pada seluruh tokoh
persilatan tentang apa yang kau lakukan malam tadi terhadapku!" ancam Nawang
Sari. Ki Sembung Prana tercekat. Padahal, selama ini dia mengasingkan diri dari dunia
persilatan, adalah untuk menjauhkan diri dari segala fitnah dan cerita-cerita
buruk yang bisa menjatuhkan namanya. Laki-laki tua itu adalah tokoh terpandang
dan disegani. Semua tokoh persilatan dari berbagai golongan menaruh hormat
padanya, karena sikap dan perbuatannya yang selalu adil dan bijaksana. Di
samping itu, telah banyak orang yang menjadikannya sebagai tokoh panutan. Dan
kini, bila gadis ini betul-betul melaksanakan ancamannya, habislah nama baiknya.
Dan dia bakal jadi sorotan
orang banyak serta mendapat caci-maki. Lalu, ingin di-taruh di mana mukanya"
"Kau tak bisa melakukan itu...," lirih suara Ki Sembung Prana.
"Kenapa tidak" Hidupku kini terhina dan menjadi
orang yang terbuang, akibat perbuatanmu itu. Se-
dangkan kau, jangankan mau bertanggung jawab, tapi malah berusaha balik
menuduhku yang tidak-tidak!"
sahut Nawang Sari sengit.
Ki Sembung Prana terdiam beberapa saat lamanya
memikirkan kata-kata gadis itu.
"Kau boleh saja tak mau bertanggung jawab atas
segala perbuatanmu itu, asal dengan satu syarat Kau harus mengajarkan
kepandaianmu kepadaku! Kalau
menolak, maka sepulang dari tempat ini aku akan
mengadukan hal ini dan menyebarkannya kepada se-
mua orang...," ancam Nawang Sari, memecah kehenin-
gan. Ki Sembung Prana tersenyum kecil. Mengertilah dia
kini. Ternyata, gadis ini memang sengaja menjebaknya.
Tapi keadaannya kini semakin terpojok. Kalaupun mau bertanggung jawab dengan
mengawini gadis ini, maka berarti tetap saja akan membuat nama baiknya terce-
mar. Tokoh-tokoh peralatan tentu akan bertanya-
tanya, apa gerangan sebabnya sehingga orang setua dirinya mengawini seorang
gadis belia yang cantik"
Banyak orang tahu, bahwa sejak masih muda dia tak
pernah memiliki seorang istri. Dan kini, kenapa tiba-tiba pada usia setua ini
pikirannya berubah" Bukankah nanti orang akan menyangka kalau dirinya telah
berubah" "Hm.... Setelah sekian lama, kini terpaksa aku ha-
rus membatalkan janji untuk tidak mencampuri segala urusan dunia persilatan.
Baiklah, Cah Ayu. Kau menang. Aku tak punya pilihan lain. Tapi, kau harus pegang
janjimu...."
Mendengar itu, bukan main senangnya hati Nawang
Sari. "Kau tak perlu khawatir, Ki. Setelah selesai pelajaran yang kau berikan padaku,
maka saat itu pula aku tak akan pernah mengungkit-ungkit persoalan tadi
malam. Dan kau terbebas dari segala tanggung jawab serta ancamanku tadi!"
*** 7 Sudah tiga hari lebih Pandan Wangi berkelana dari
satu desa ke desa lain untuk mencari jejak Rangga.
Namun sejauh ini jejak pemuda itu belum juga dite-
muinya. Pandan Wangi tahu betul, ke mana tujuan
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tak lain ingin membantu para pejuang untuk
mengusir orang-orang asing dari negeri ini. Setiap desa yang disinggahinya,
telah diperkirakan sebagai tempat yang dituju orang-orang asing itu. Namun
kebanyakan dari tempat yang disinggahi, hanya sedikit pejuang yang tersisa. Dan
itu pun kebanyakan dari mereka akan kembali ke induk pasu-kannya. Dari cerita-
cerita penduduk desa itulah Pandan Wangi mendengar sepak terjang Rangga. Dan hal
ini diam-diam membuatnya merasa bangga. Mereka se-
lalu memuji-muji pemuda bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu, karena berhasil
membuat orang-orang asing yang menjarah desa lari tunggang-langgang.
Siang ini, matahari teras panas menyengat Tanah
menjadi kering dan daun-daun layu di pepohonan be-
terbangan, manakala angin bertiup kencang. Pandan
Wangi kini bersandar di bawah sebatang pohon sambil melepas lelah. Kulit
tubuhnya yang putih kini terlihat
kemerah-merahan. Beberapa tetes peluh tampak
membasahi kening dan tubuhnya.
"Hm.... Ke manakah Kakang Rangga?" bisik gadis
itu lirih. Batin Pandan Wangi terasa getir. Dan rasa cemburu
tak terasa menyusup dalam hati bila membayangkan
saat ini Rangga tengah berduaan dengan Nawang Sari.
Rasa penyesalannya timbul dan tak habis-habis men-
gutuk diri sendiri. Kenapa dia mau saja disuruh Rangga untuk pergi ke Karang
Setra" "Amboi...! Seorang gadis cantik tengah termenung-
menung sendiri di siang terik begini...!" tiba-tiba terdengar suara yang
menyentak lamunan Pandan Wangi.
"Heh"!"
Pandan Wangi langsung menoleh ke arah sumber
suara. Tiba-tiba di belakangnya telah berdiri seorang laki-laki cebol yang
tingginya hanya sebatas pinggang.
Melihat dari raut wajahnya, tampak laki-laki ini masih muda. Matanya tajam
seperti hendak menelanjangi seluruh tubuh gadis itu. Dan senyumnya selalu
terkembang nakal. Tapi melihat cara berpakaian dan raut wajahnya, tampaknya dia
bukan penduduk asli sini.
Bahkan lebih mirip orang-orang asing yang dulu pernah dihajar Rangga.
"Siapa kau"!" tanya Pandan Wangi bernada tak su-
ka. "He he he...! Perkenalkan. Namaku, Ceng Ho.
Orang-orang di tempatku menyebutku sebagai Dewa
Cebol Periang. Sebaliknya, siapa kau. Dan, kenapa
siang-siang melamun di tempat ini" Bukankah lebih
baik kalau menemaniku" He he he...! Tak kusangka di negeri ini aku bisa
menemukan bidadari secantikmu!"
sahut laki-laki yang mengaku bernama Ceng Ho atau
Dewa Cebol Periang itu.
Walaupun kata-kata yang diucapkan Ceng Ho en-
teng saja, tapi Pandan Wangi tetap tak menyukainya.
Orang ini sepintas terlihat seperti orang baik-baik.
Namun siapa tahu di balik itu menyimpan maksud-
maksud buruk. "He, Ceng Ho.... Namaku Pandan Wangi. Nah! Kare-
na tak ada urusan denganmu, aku harus pergi. Ada
sesuatu yang harus kukerjakan secepatnya...."
"Eee, mau ke mana" Kenapa harus buru-buru" Kau
pasti berbohong padaku. Mana mungkin ada urusan, kalau ternyata kau masih
menyempatkan diri termenung-menung di sini. Ayo, temanilah aku sejenak,"
ajak Ceng Ho sambil menghalangi langkah Pandan
Wangi yang ingin berlalu darinya.
Pandan Wangi menaikkan alis. Wajahnya sudah tak
ramah seperti tadi, tapi lebih mirip rasa kesal dan jengkel.
"Kisanak! Aku tak ada waktu untuk menemanimu.
Harap kau maklum saja. Lagi pula, siapa bilang aku bermenung-menung" Aku hanya
sedang berpikir. Dan
hal itu tak ada urusannya sedikit pun denganmu!" sahut Pandan Wangi cepat
"Ha ha ha...! Gadis cantik yang cerdas. Aku semakin suka saja kepadamu. Dan
kalau Ceng Ho sudah suka,
maka kau tak boleh ke mana-mana sebelum kuizin-
kan." "Apa maksudmu?"
"Sederhana saja. Kau tak boleh pergi ke mana-
mana, sebelum aku mengizinkannya!" tegas Ceng Ho
dengan wajah mulai sungguh-sungguh.
"Heh! Apa hakmu berkata begitu?" tanya Pandan
Wangi geram. "Rasanya tak perlu hak untuk bicara begitu. Tapi
cukup kau ketahui, kau tak akan bisa pergi ke mana-
mana sebelum menemaniku beberapa saat!"
"Cebol! Aku tak mengerti maumu. Tapi kalau kau
hendak bermain kekerasan, maka kau boleh berbuat
sesuka hatimu setelah aku jadi mayat!" dengus Pan-
dan Wangi kesal.
"Baik! Rupanya kau memang perlu dikerasi!"
Maka dengan gerakan gesit, Ceng Ho melesat cepat
bagai kilat, hendak menyambar Pandan Wangi. Na-
mun, gadis itu cepat waspada. Langsung saja dia
membuang diri, menghindari serangan laki-laki cebol itu. "Yeaaa...!"
Wuuut! Serangan Ceng Ho luput. Dan Pandan Wangi cepat
bangkit kembali. Kini mereka saling menatap tajam.
Kecepatan gerak orang bertubuh cebol itu sungguh
membuat kagum Pandan Wangi. Dan diam-diam ha-
tinya merasa khawatir. Satu jurus saja baru berlangsung, namun sudah terasa ada
tekanan berat yang dilakukan orang bertubuh cebol itu. Gadis itu segera
menyadari kalau orang cebol ini tak bermaksud melu-kainya. Karena dari beberapa
serangannya, terlihat dia hanya melancarkan gerakan totokan saja. Agaknya,
orang itu bermaksud meringkusnya hidup-hidup. Di
samping itu, Pandan Wangi merasa kalau ilmu kedig-
dayaannya masih di bawah Ceng Ho. Namun, di ha-
tinya tidak ada ke- gentaran sedikit pun.
"Hm.... Boleh juga kepandaianmu. Tapi coba tahan
jurus 'Burung Penari Menghina Elang' ku!" kata Ceng Ho sambil terkekeh.
"Huh! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu. Aku
tak akan gentar sedikit pun!" dengus Pandan Wangi.
*** "Hiyaaat..!"
Tubuh Ceng Ho bergerak cepat menyerang, mem-
buat Pandan Wangi terkesiap. Kali ini, lawan agaknya betul-betul mengeluarkan
seluruh kepandaiannya.
Namun Pandan Wangi bukanlah gadis sembarangan.
Ilmu silatnya juga sudah cukup tinggi, kendati sedikit di bawah lawannya. Dan
kalau Pandan Wangi gadis
lemah, mungkin sudah sejak tadi berhasil dijatuhkan lawan. Namun, rupanya kini
kepandaian Pandan Wangi tak berarti banyak saat Ceng Ho mengeluarkan jurus
'Burung Penari Menghina Elang'. Dari awal jurus itu saja, sudah terlihat kalau
Pandan Wangi mulai terpojok. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari
serangan lawan dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya. Tapi gerakan Ceng Ho luar biasa ce-
patnya dan sulit sekali diimbangi.
Dalam suatu kesempatan, Ceng Ho terus melancar-
kan serangan-serangannya. Dan dengan suatu gerak
tipu manis, tangan kirinya bergerak menyambar leher.
Maka cepat-cepat Pandan Wangi memapak dengan


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kanan. Namun sebelum terjadi benturan, Ceng Ho telah menarik pulang
serangannya. Akibatnya tubuh Pandan Wangi jadi melintir, menyambar angin kosong.
Sementara, kesempatan itu digunakan Ceng Ho
untuk melesat ke atas. Tak ada kesempatan bagi Pandan Wangi untuk menghindar.
Maka.... "Jatuh...!"
Tuk! "Ohhh...!"
Pandan Wangi mengeluh pelan. Memang, Ceng Ho
berhasil menotok urat bahunya hingga gadis itu am-
bruk tak berdaya. Kemudian, kakinya telah mendarat di tanah.
"Ha ha ha...! Sudah kukatakan, kau tak akan bisa
pergi ke mana-mana. Tapi, kau masih juga tak per-
caya!" kata Ceng Ho sambil terkekeh dan bertolak
pinggang menatap gadis itu.
"Keparat! Lepaskan aku! Aku masih sanggup meng-
hadapimu dalam seribu jurus sekalipun!" teriak Pandan Wangi marah.
"Ha ha ha...! Kau memang gadis yang memiliki ke-
pandaian hebat. Dan aku percaya kata-katamu itu.
Tapi saat ini, aku tak tertarik untuk bertarung denganmu. Karena, ada hal lain
yang membuatku lebih
tertarik. Aku ingin menikmati tubuhmu yang menggi-
urkan!" sahut Ceng Ho sambil tertawa-tawa kecil.
Kemudian dengan tiba-tiba, Ceng Ho menubruk tu-
buh Pandan Wangi, hingga kini telah berada dalam
pondongannya. Dan langsung dibawanya tubuh Pan-
dan Wangi berlari dari tempat itu.
"Cebol keparat! Lepaskan aku! Mau kau bawa ke
mana aku"! Lepaskan..."!" Pandan Wangi hanya bisa
berteriak-teriak memaki.
Ceng Ho menghentikan langkahnya ketika tiba di
suatu tempat yang banyak ditumbuhi semak- semak.
Dibaringkannya tubuh Pandan Wangi di tanah. Dan
sambil menyeringai lebar, tangannya mulai meraba-
raba beberapa bagian tubuh gadis itu.
"He he he...! Tenang-tenang sajalah. Aku sedang
mencari tempat aman untuk kita berdua. Nah! Kukira, di sini cukup aman!" sahut
Ceng Ho. "Keparat busuk! Hentikan perbuatan kotormu! Ke-
parat..! Hentikan...! Aou, setan laknat!" Pandan Wangi semakin kalap, berteriak
dan memaki-maki Ceng Ho.
Pandan Wangi semakin keras menjerit ketika pada
bagian dadanya yang mencuat, seenaknya digerayangi tangan-tangan nakal laki-laki
cebol itu. Ceng Ho agak-
nya sudah tak bisa menahan gejolaknya lagi. Tanpa
mempedulikan teriakan dan makian gadis itu, dira-
banya dengan kasar tubuh gadis itu. Tentu saja Pandan Wangi semakin menjerit-
jerit tak karuan. Sumpah serapah dan makian tak terhitung lagi keluar dari
mulutnya. Tapi, Ceng Ho malah semakin kurang ajar saja.
Dengan geram dan penuh nafsu, digumulnya gadis itu.
Teriakan dan makian gadis itu seperti membuat naf-
sunya kian bergejolak saja.
Hati Pandan Wangi sudah mulai putus asa. Percu-
ma saja menjerit-jerit, namun Dewa Cebol Periang semakin tambah beringas saja.
Air matanya mulai me-
netes membasahi pipi.
Tapi sebelum semuanya menimpa gadis itu, tiba-
tiba terlihat tubuh Dewa Cebol Periang melayang ke depan sambil menjerit keras.
Dan sebelumnya, memang ada sekelebat bayangan putih yang melesat ce-
pat. "Aaakh...!"
Dan tahu-tahu saja di dekat Pandan Wangi telah
berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi.
Rambutnya panjang terurai. Tampak di punggungnya
tersampir sebuah gagang pedang berhulu kepala bu-
rung. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti"
Rangga tampak berdiri tegang dengan napas men-
deru. Dadanya turun naik, dan wajahnya memerah.
Mulutnya mendesis geram, dengan geraham bergeme-
letuk. Jelas, kemarahannya telah sampai ke ubun-
ubun melihat Pandan Wangi diperlakukan tidak seno-
noh. Siapa yang tidak geram melihat kekasihnya di-
buat seperti itu"
"Kakang...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!"
Pendekar Rajawali Sakti segera melepaskan totokan
gadis itu. Dan Pandan Wangi tak tahu, bagaimana caranya menumpahkan rasa haru di
hatinya. Begitu me-
rasa terbebas, langsung dirangkulnya Rangga seperti ingin menumpahkan gejolak
hatinya. Dan gadis itu
menangis sesenggukan di bahu Pendekar Rajawali
Sakti. "Pandan..., kau.., kau...?" tiba-tiba Rangga mele-
paskan pelukannya.
"Kenapa, Kakang?"
"Pakaianmu...."
"Oh!"
Pandan Wangi terperanjat kaget. Baru disadari kalau saat itu pakaiannya sudah
tak karuan bentuknya.
Buru-buru dia berlari dan bersembunyi di balik semak untuk merapikan pakaian.
Sementara itu, Ceng Ho yang tadi terpental terkena tendangan Rangga, langsung
bangkit kembali. Wajahnya garang dengan sorot mata tak suka melihat kehadiran
Rangga yang tiba-tiba.
"Setan! Siapa kau, hingga berani mencampuri uru-
sanku"!" bentak Ceng Ho keras.
"Aku"! Biadab busuk! Aku yang akan mencabut
nyawamu!" balas Rangga begitu geram melihat Pandan Wangi diperlakukan tidak
senonoh. Dan sudah menjadi janjinya dalam hati, akan membunuh siapa saja bila
ada yang berbuat kurang ajar terhadap Pandan Wangi.
Hatinya memang sangat geram melihat tingkah si
cebol itu. Lebih-lebih ketika tampangnya mirip orang-orang asing yang beberapa
hari lalu dihajarnya. Maka rasa kesal di hatinya kini bercampur perasaan geram
dan marah. "Keparat! Jiwamu benar-benar licik, dan hanya be-
rani main belakang!"
"Kini kita sudah saling berhadapan. Apa lagi yang
ditunggu" Dan yang pasti, kau harus mampus di tan-
ganku!" tantang Rangga tak peduli ejekan lawan.
"Huh! Bocah dungu, terimalah bagianmu...!"
Selesai berkata begitu, Ceng Ho langsung melompat
sambil mengirim satu serangan bertenaga dalam kuat ke arah Rangga.
"Yeaaa...!"
Sekilas Rangga sudah bisa merasakan kalau seran-
gan lawan bukan sembarangan. Makanya, dia tak mau
menganggap remeh. Dan tubuhnya langsung bergerak
cepat menghindar. Namun, Ceng Ho yang bertubuh
cebol bagaikan bola karet gerakannya cepat dan gesit Akibatnya, untuk beberapa
saat Rangga sedikit terdesak. Namun itu tidak berlangsung lama. Kini Pendekar
Rajawali Sakti mulai membalas serangan sambil mengeluarkan rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'.
"Hiyaaa...!"
*** Pada suatu kesempatan tubuh Ceng Ho berputar
sambil mengayunkan sebelah kakinya ke rahang Pen-
dekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit, Rangga mengelak. Langsung ditangkapnya
pergelangan kaki
lawan. Plak! Wut! Dan dengan kekuatan penuh, Rangga memutar-
mutar tubuh Ceng Ho. Lalu....
Des! "Akh!" Ceng Ho terpekik nyaring ketika tubuhnya
dihantamkan ke sebatang pohon yang cukup besar.
Begitu Rangga melepaskan pegangannya, maka tu-
buh Dewa Cebol Periang langsung jatuh ke tanah. Namun, laki-laki cebol itu cepat
bangkit berdiri, walaupun agak sempoyongan. Tubuhnya terasa sakit bukan
main. Pernafasannya pun sedikit sesak. Bahkan beberapa kali memuntahkan darah
segar. Tulang dadanya
terasa nyeri dan isi perutnya seperti diaduk-aduk. Dan belum juga Ceng Ho
bersiap, Rangga telah bergerak
cepat Langsung dikirimkannya serangan keras berupa tendangan bertenaga dalam
tinggi. Ceng Ho yang belum dap betul menjadi terkesiap bukan kepalang.
"Hiyaaa...!"
Begkh! "Aaah...!"
Kembali Dewa Cebol Periang terpekik nyaring, dan
kembali jatuh bergulingan di tanah. Tampak begitu tubuhnya berhenti bergulingan,
Ceng Ho kembali me-
muntahkan darah. Sementara Rangga berdiri meman-
dangi dengan sikap sinis.
"Kisanak! Seharusnya kau mampus! Kau telah begi-
tu berani bermaksud kotor terhadap kekasihku. Na-
mun, rupanya Sang Hyang Widhi menghendaki lain!"
kata Rangga, geram.
Ceng Ho memandang Rangga sekilas, lalu menun-
dukkan wajahnya.
"Kau memang hebat dan aku mengaku kalah. Kau
boleh berbuat apa saja padaku. Dan sebelum aku ma-
ti, sebutkan julukanmu!" sahut Ceng Ho mantap.
"Orang menjulukiku Pendekar Rajawali Sakti...!"
Ceng Ho mendongakkan kepala, dan langsung me-
mandang Rangga seperti tak percaya apa yang baru
didengarnya. "Hm.... Kaukah orangnya" Kedatanganku ke sini ju-
stru hendak menemuimu, karena kau membuat gentar
prajurit-prajurit kerajaanku. Tapi, tak disangka kalau
mengalahkanku dengan mudah. Nah, Kisanak. Kalau
kau berniat membunuhku, aku sudah siap. Bagiku
untuk hidup pun saat ini sudah tak berguna lagi. Aku tak mampu menyelesaikan
tugas yang diberikan kepadaku untuk membunuhmu," kata Ceng Ho.
"Kisanak, terlalu enak bagimu untuk kubunuh. Tiga
jalan darah di tubuhmu akan kutotok. Sehingga da-
rahmu berhenti mengalir. Dan kau akan merasakan
kesakitan yang hebat. Tapi kalau kau memiliki tenaga dalam kuat, pasti bisa
membebaskan diri sebelum sore nanti! Hiyaaat!"
Tuk! Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Ceng Ho mengeluh pelan dengan suara lirih. Tu-
buhnya kontan terasa lemas tak bertenaga, dan tak
mampu digerakkan. Segera diketahui kalau pemuda
itu memang tidak membunuhnya. Namun, tiga kali to-
tokan yang dilakukan pemuda itu begitu kuat menyengatnya.
"Pendekar Rajawali Sakti! Lebih baik bunuh saja
aku daripada disiksa begini!" lirih suara Ceng Ho.
Tapi Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Tu-
buhnya cepat berkelebat bersama Pandan Wangi, me-
ninggalkan tempat itu. Sementara Ceng Ho hanya berteriak-teriak memanggilnya.
Namun keduanya telah
menghilang jauh. Laki-laki cebol itu terus berteriak-teriak, ketika merasakan
sakit yang amat sangat di tubuhnya!
*** 8 Di sebuah pinggiran hutan, Pendekar Rajawali Sakti
dan Pandan Wangi berjalan bersama-sama. Begitu bertemu sebuah sungai yang airnya
sangat jernih, mereka berhenti. Dan Rangga segera membasuh wajah sambil
meneguk air, sekadar membasahi tenggorokannya
yang terasa kering. Sementara, Pandan Wangi diam
memperhatikan sambil bersandar di bawah pohon.
Suasana di tempat ini begitu sunyi. Namun kesu-
nyian itu tiba-tiba dipecahkan oleh kehadiran dua sosok tubuh yang berkelebat
cepat menghampiri. Rangga langsung bangkit dan bersiaga, ketika dua sosok itu
telah berada tepat di hadapannya. Salah seorang me-
mang pernah dikenalnya. Pemuda itulah yang pernah
dicundanginya ketika sedang jalan bernama Nawang
Sari. Sedang di sebelahnya terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun. Wajahnya penuh
bopeng, dan tubuhnya tinggi besar.
"Sidarta! Bocah inikah yang kau ceritakan itu"!"
tanya orang tua itu pada pemuda di sampingnya.
"Benar, Guru. Pemuda sok jago inilah yang telah
menghinamu!"
"Hm...!" orang tua itu mendehem kecil sambil mena-
tap Rangga dengan sorot mata tajam menusuk.
"Kisanak! Siapakah kau sebenarnya, dan ada uru-
san apa ke tempat ini?" tanya Rangga, datar. Rangga sebenarnya sudah bisa
membaca gelagat buruk, tapi
pura-pura tak tahu.
"Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh gegabah kau be-
rani menghina dan menantangku! Aku Wangsa Naraya
yang bergelar Gagak Hitam Pemakan Bangkai. Memang
tak termahsyur julukanmu. Tapi, hari ini jangan harap kau bisa bertingkah di
depan hidungku!"
Rangga tak merasa heran kalau mendengar kema-
rahan orang tua itu, sebab kedatangan orang yang ber-juluk Gagak Hitam Pemakan
Bangkai itu bersama pe-
muda yang bernama Sidarta. Pemuda itulah yang per-
nah menaruh dendam padanya. Tapi, ada urusan apa
hingga orang tua itu mengatakan kalau Rangga meng-
hina dan menantangnya" Jelas, Sidartalah yang melebih-lebihkan ucapannya agar
orang tua itu mau turun tangan dan membalaskan sakit hatinya.
"Kisanak! Tak kusangka hari ini mendapat kehor-
matan bisa bertemu Gagak Hitam Pemakan Bangkai
yang terkenal itu. Tapi, agaknya kau salah sangka.
Aku sama sekali tak pernah menghinamu, apalagi be-
rani menantangmu," sahut Rangga.
"Huh! Setelah bertemu denganku, kini nyalimu mu-
lai ciut dan berkata begitu. Tapi jangan harap kata-katamu bisa kupercayai.
Bersiap dan cabutlah pe-
dangmu. Siapa pun orangnya yang berani menghina
dan menantangku, tak akan luput dari kematian!"
dengus Ki Wangsa Naraya, kalem.
Setelah berkata begitu, Ki Wangsa Naraya langsung
membuka jurus tangan kosongnya. Sedangkan Rangga
mendesah kecil sambil memberi isyarat pada Pandan
Wangi agar waspada.
"Guru! Hajarlah pemuda sombong itu, sementara
biarlah gadis di sebelahnya menjadi bagianku!" ujar Sidarta sambil menyeringai
buas kepada Pandan Wangi. "Kisanak! Agaknya kau memang tak bisa diajak bicara
baik-baik, meski kepalamu telah memutih. Silakan mulai. Dan aku akan
menghadapimu dengan tan-


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan kosong saja sepertimu!" sahut Rangga mulai geram melihat tingkah mereka.
"Ha ha ha...! Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana kesombongan dan kehebatanmu
yang sering digembar-gemborkan orang!" Ki Wangsa Naraya tertawa girang.
Mereka mulai bersiap memasang kuda-kuda. Begitu
juga halnya Pandan Wangi ketika Sidarta bersiap-siap akan meringkusnya. Gadis
itu tersenyum sekilas melihat wajah lawannya yang penuh keyakinan akan dapat
mengalahkannya.
Namun sebelum terjadi pertarungan di antara me-
reka, tiba-tiba melesat sesosok tubuh ramping di tempat itu. Dan tahu-tahu telah
berdiri tegak seorang gadis di dekat mereka.
"Ki Wangsa Naraya! Minggulah! Aku punya urusan
pribadi yang harus kuselesaikan dengan Pendekar Rajawali Sakti!"
"Heh"!"
"Nawang Sari...!" seru keempat orang itu nyaris ber-samaan.
*** Sosok tubuh yang baru tiba itu memang Nawang
Sari. Dan pandangannya langsung menghunjam tajam
ke arah Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Kemu-
dian, kakinya melangkah pelan mendekati Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau! Aku bersumpah akan membunuhmu. Maka
hari ini, terimalah kematianmu!" tuding Nawang Sari ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya menyadari, apa
yang membuat gadis itu berubah. Apa lagi kalau bu-
kan soal cinta" Dan Rangga sebenarnya bukan hanya
kesal. Bahkan dia sudah mulai tidak suka melihat
tingkah laku gadis itu.
Tapi sebelum Rangga menyahut, dan sebelum Na-
wang Sari melakukan serangan, Ki Wangsa Naraya te-
lah melompat sambil mengirimkan serangan ke arah
gadis itu. "Gadis liar tak tahu sopan! Sejak kapan kau berani bertingkah di depanku"!"
bentak Ki Wangsa Naraya geram. "Yeaaa...!"
Gagak Hitam Pemakan Bangkai langsung mele-
paskan serangan berupa kibasan tangan. Ki Wangsa
Naraya begitu yakin akan mampu menjatuhkan gadis
itu. Sebab selama ini, dia tahu betul kalau kepandaian Nawang Sari tak berbeda
jauh dengan Sidarta. Tapi....
Plak! "Akh..."!
Alangkah terkejutnya orang tua itu ketika merasa-
kan tenaga dalam kuat dari gadis itu. Begitu habis menangkis, tangannya kontan
terasa seperti kesemutan. Bahkan tubuhnya sempat terjajar beberapa tom-
bak. Kesempatan ini cepat digunakan Nawang Sari un-
tuk menyodok dada orang tua itu, sehingga terdengar suara tulang berderak patah.
Prak! Belum lagi Ki Wangsa Naraya menyadari apa yang
terjadi, tubuh gadis itu terus mencelat menyerangnya kembali. Maka walaupun
dalam keadaan kepayahan,
orang tua itu berusaha menghindarkan diri, dengan berjungkir balik. Namun
agaknya Nawang Sari tak
main-main dengan serangannya.
"Yeaaa...!"
Dan begitu Ki Wangsa Naraya bangkit, Nawang Sari
melepaskan tendangan lurus ke arah dagunya.
Diegkh! "Aaa...!"
Kembali Ki Wangsa Naraya menjerit nyaring ketika
tubuhnya bagai seonggok karung yang melayang ter-
kena tendangan gadis itu. Dan begitu ambruk ke ta-
nah, dari mulutnya menyembur darah segar berkali-
kali. Wajahnya pucat pasti dan nafasnya memburu tak berdaya. Ki Wangsa Naraya
menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Perempuan sial! Kau harus bayar nyawa guruku!"
bentak Sidarta sambil melompat menyerang Nawang
Sari. Gadis itu hanya perlu sedikit berkelit, maka serangan Sidarta hanya menyambar
angin kosong. Begitu
tubuh Sidarta lewat, langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada.
Begkh! "Aaakh...!"
Sidarta menjerit keras ketika tubuhnya terbanting, begitu terkena pukulan Nawang
Sari. Seketika dadanya terasa nyeri. Dan kini gadis itu tahu-tahu telah berdiri
di depannya. "Pergi kau dari sini, dan jangan mencampuri uru-
sanku! Kalau tidak, kau akan mampus lebih dulu!"
ujar Nawang Sari.
Sidarta meringis kesakitan sambil bangkit berdiri.
Dipandanginya gadis itu dengan sinar mata tak per-
caya. Dengan sekali hajar, dia dapat dijatuhkan dengan mudah. Kini baru
disadari. Kalau gurunya saja
dapat dibuat tak berdaya, apalagi dirinya" Maka dengan tertatih-tatih, Sidarta
berlalu dari situ sambil membopong tubuh gurunya yang telah tewas.
Sementara, Nawang Sari sama sekali tak peduli. Ki-
ni langsung ditatapnya Rangga dengan sorot mata penuh kebencian, tanpa
mempedulikan Sidarta yang
membawa mayat gurunya pergi dari situ.
"Kini giliranmu!" dengus Nawang Sari dingin.
"Nawang Sari! Apa-apaan kau ini"! Tiba-tiba datang, malah bermaksud buruk pada
orang yang pernah me-
nolongmu. Apakah kau tak tahu berterima kasih"!"
sentak Pandan Wangi. Dan memang, gadis itu tak tahu masalahnya kalau Nawang Sari
menyimpan dendam
dan kebencian di hati.
"Diam kau! Tahu apa kau tentang persoalanku den-
gan kekasihmu ini. Dia harus mampus di tanganku!"
potong Nawang Sari langsung dengan bentakan.
Bukan main geramnya Pandan Wangi mendengar
jawaban gadis itu. Dia sudah langsung bergerak mendekati sambil menuding garang.
"Nawang Sari! Kau boleh sombong dengan kepan-
daian yang kau miliki saat ini. Tapi, bukan berarti aku takut setelah kau
berhasil menghajar kedua orang itu!"
"Hei" Apa maumu"! Kau ingin mampus di tangan-
ku" Sinilah maju!"
"Setan!"
"Tahan, Pandan!" teriak Rangga mencegah kekasih-
nya. "Biarkan, Kakang. Gadis liar ini mesti diberi pelajaran agar tak seenaknya buka
mulut!" "Sabarlah. Dia bukan Nawang Sari yang pernah kau
kenal dulu. Gadis ini telah dipenuhi nafsu dalam dadanya untuk membunuh semua
orang. Aku tak mau
kau terbawa-bawa dendamnya nanti!"
Pandan Wangi tak bisa berbuat apa-apa mendengar
kata-kata Rangga, meski hatinya kesal bercampur geram.
Rangga lalu menatap tajam Nawang Sari.
"Nawang Sari! Apakah aku pernah bermusuhan
denganmu" Apakah karena persoalan itu kau bermak-
sud membunuhku" Kulihat perkembanganmu bebera-
pa hari saja telah jauh pesat. Entah apa yang kau lakukan. Namun, agaknya kau
bersungguh-sungguh in-
gin membunuhku. Kenapa?"
"Jangan banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti!
Yang jelas, aku telah mengorbankan harga diriku, agar dapat membunuhmu. Dan hari
ini, kalaupun mesti
mati, aku tak peduli. Asal, kau pun mati bersamaku!"
dengus Nawang Sari.
"Nawang Sari! Sampai sejauh itukah dendammu
padaku" Apakah tak sedikit pun kau bisa mengerti"
Cobalah...."
"Aku tak perlu khotbahmu, tapi nyawamu!
Yeaaa...!"
Rangga menghentikan ucapannya ketika tiba- tiba
gadis itu menyerang dengan cepat.
"Uts...!"
Bukan main terkejutnya Rangga melihat serangan
yang begitu tiba-tiba. Tidak ada waktu lagi baginya, kecuali menangkis pukulan
gadis itu. Plak! "Heh"!"
Kembali Pendekar Rajawali Sakti menjadi terkejut
ketika tangannya terasa kesemutan luar biasa. Sudah bisa diduga, kehebatan
tenaga dalam Nawang Sari saat ini. Buktinya, tubuhnya sempat terjajar beberapa
langkah. "Hiyaaa...!"
Nawang Sari seperti orang kesetanan. Diserangnya
Rangga bertubi-tubi sambil mengerahkan segenap ke-
pandaian yang dimiliki saat ini. Agaknya, gadis itu benar-benar menghendaki
nyawanya. *** Melihat itu tentu saja Rangga tak bisa mendiam-
kannya begitu saja. Berkali-kali gadis itu coba diperin-
gatkan. Namun, Nawang Sari sama sekali tak mengin-
dahkannya. Bahkan terus menyerangnya tanpa henti.
Sementara, Rangga sendiri tak bisa terus-terusan
menghindar. Angin serangan Nawang Sari terasa kuat sekali. Bahkan mampu membuat
kulit tubuhnya seperti diiris-iris. Rangga sendiri tak mengerti, dengan cara apa
gadis ini memperoleh kemajuan yang begitu pesat dalam beberapa hari saja.
Kalau saja pemuda itu tahu, dia tak menjadi heran.
Kenyataannya, Ki Sembung Prana memang telah me-
nyalurkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki kepada gadis itu, di samping ilmu
olah kanuragan lainnya. Dalam ilmu silat, orang tua itu hanya memberi jurus-
jurus terpenting saja. Dan memang, Nawang Sari me-
rasa kalau jurus-jurus lainnya tak begitu penting, karena bermaksud cepat-cepat
menamatkan pelajaran-
nya. Dan tujuannya sudah tentu agar bisa memba-
laskan sakit hati pada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bukannya tak menyadari kelemahan gadis
itu. Meskipun tenaga dalamnya kuat, tapi kecepatan geraknya masih kalah
setingkat di bawahnya. Lagi pu-la, gerakan-gerakan yang dilakukan gadis itu
masih terlihat kaku. Kalau orang yang mempunyai kepandaian rendah, tentu tak
akan bisa melihat kekurangan gadis itu. Tapi pandangan Pendekar Rajawali Sakti
yang jeli langsung memanfaatkan kelemahan gadis itu.
Dan pada satu kesempatan, langsung dikirimkannya
serangan bertenaga kuat, diiringi bentakan nyaring.
"Yeaaa...!"
Namun, Nawang Sari tidak tinggal diam. Kedua tan-
gannya cepat dijulurkan ke depan dengan telapak terbuka. Langsung disambutnya
serangan Pendekar Ra-
jawali Sakti. Maka....
Blam! "Aaakh...!"
Rangga menjerit keras ketika pukulannya seperti
menghantam dinding baja yang sangat tebal. Tubuh-
nya kontan terpental, lalu jatuh berdebuk keras di tanah.
"Kakang...!"
"Pandan! Awas jangan mendekat!" teriak Rangga
memperingatkan.
Pandan Wangi buru-buru menghentikan langkah-
nya. Sementara Nawang Sari terus bergerak mengirim serangan ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Melihat hal ini, Pandan Wangi bertindak nekat. Maka buru-buru
dia bergerak kembali untuk melindungi pemuda itu
dari serangan lawan.
Tapi Nawang Sari sudah bisa membaca gelagat itu.
Seketika, serangannya pada Pendekar Rajawali Sakti dihentikan. Lalu, langsung
dipapaknya serangan Pandan Wangi.
Plak! "Aaakh...!"
Pandan Wangi terpekik. Dan tubuhnya kontan ter-
lempar keras sejauh dua tombak sambil memuntahkan
darah segar. Tenaga dalam yang dikerahkan Nawang
Sari dalam papakan tadi memang bukan sembaran-
gan. Seluruh tenaga dalamnya telah dikerahkan, se-
hingga Pandan Wangi sampai terpental dan memun-
tahkan darah segar.
"Pandan...! Hup!"
Rangga menjerit mencemaskan nasib Pandan Wan-
gi. Tapi Nawang Sari sudah kembali menyerang. Maka terpaksa Pendekar Rajawali
Sakti menyelamatkan diri dengan melenting ke udara dan bersalto beberapa kali.
Padahal, rasa nyeri terasa di dadanya. Kemudian dengan satu gerakan manis,
Pendekar Rajawali Sakti ber-
hasil bertengger di cabang pohon. Tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya
bertengger. Nawang Sari tak memberi kesempatan lagi. Lang-
sung dikejarnya Rangga ke atas.
"Yeaaa...!"
Prak! Cabang-cabang pohon itu kontan hancur berenta-
kan terkena hajaran gadis itu. Tapi, tubuh Rangga telah lebih dulu mencelat dan
menukik turun. Bukan main geramnya gadis itu. Kembali dia turun
ke bawah. Tampak Rangga telah berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Masih
terlihat bekas tetesan darah di sudut bibirnya yang telah dihapus.
"Nawang Sari, kau sudah kelewat batas. Aku tahu,
kau memiliki aji 'Selubung Naga'. Dan ajian itu hanya dimiliki oleh satu orang,
yaitu Ki Sembung Prana. Memang hebat ajian itu. Bahkan tak ada tandingan. Tak
heran bila pukulanku tadi balik menyerangku. Tapi
sayang, justru ajian itu kau gunakan untuk mengum-
bar nafsu iblismu. Balas dendam mengumbar keben-
cian bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan
masalah, Nawang. Ada cara lain yang lebih baik, jika kau mau berpikir jernih,"
Rangga mencoba menasihati kembali.
Nawang Sari hanya membisu saja. Namun, matanya
tatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, dia sudah tidak
sabar ingin melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm, kau pasti telah berhasil mengecoh Ki Sembung
Prana. Sebegitu murahkah dirimu" Sudahlah, Nawang.
Urungkan saja niatmu itu. Aku sudah tahu kelemahan ajian itu. Terus terang, aku
tak mau bertarung denganmu," lanjut Rangga dengan suara lunak, namun
mengandung ketegasan.
"Huh! Mengocehlah sesuka hatimu. Tapi, jangan
harap aku akan mengurungkan niatku. Sekarang, te-
rimalah kematianmu!" sentak Nawang Sari.
Rangga mendesah kesal sambil menggelengkan ke-
pala melihat tingkah Nawang Sari yang keras kepala.
Lalu.... Cring! Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang
dengan cepat. Dan saat itu juga terlihat seberkas sinar biru menerangi tempat


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Lalu dengan cepat, Rangga menggosok-gosok mata pedangnya dari pangkal
hingga ke ujungnya. Perlahan-lahan dari mata pedang keluar gumpalan cahaya biru
bersama asap putih bergulung-gulung. Tak lama kemudian, gumpalan cahaya biru itu
telah menyebar ke tangan Pendekar Rajawali Sakti. La-lu....
Cring! Pedang Pusaka Rajawali Sakti kembali dimasukkan
Pendekar Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di
punggung. "Bersiaplah menghadapi aji pamungkas ku. Hiyaaa!"
Nawang Sari sudah melesat cepat sambil mele-
paskan aji 'Selubung Naga'. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri
tegak menanti. Dan begitu serangan lawan mendekat, maka ...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan
kedua tangannya yang terbuka, begitu serangan Na-
wang Sari meluncur tiba. Dan ...
Glarrr! "Aaakh...!"
Satu ledakan keras terjadi begitu dua kekuatan
dahsyat beradu pada satu titik. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjajar dua
langkah ke belakang. Sedang-
kan tubuh Nawang Sari terlempar beberapa tombak,
diiringi pekik kesakitan. Kemudian, dengan keras tubuhnya jatuh berdebuk di
tanah. Tubuh gadis itu masih terbungkus sinar biru dari
aji 'Cakra Buana Sukma' yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti. Sesaat Nawang Sari menggelepar kesakitan, kemudian diam tak
bergerak lagi. Dan begitu sinar biru itu hilang perlahan-lahan, tubuh Nawang
Sari langsung meledak dan hancur berkeping-keping.
Rangga diam mematung sambil memandangi serpi-
han-serpihan. tubuh gadis itu. Tatapannya seperti tak percaya kalau Nawang Sari
telah dibunuhnya.
"Sudahlah, Kakang. Dia memang menginginkannya.
Sebaiknya, lekas kita tinggalkan tempat ini...," hibur Pandan Wangi, sambil
menahan rasa nyeri di dadanya.
Rangga mengangguk lemah. Kemudian, diraihnya
pundak Pandan Wangi. Lalu, mereka sama-sama me-
ninggalkan tempat itu sambil berangkulan. Ada tugas lain yang masih menanti bagi
kedua pendekar dari Karang Setra itu.
SELESAI Juru Scan: Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
*** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Kasih Diantara Remaja 9 Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina Istana Pulau Es 1
^