Pencarian

Asmara Bernoda Darah 1

Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah Bagian 1


ASMARA BERNODA DARAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Asmara Bernoda Darah
128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Seorang gadis memacu kencang kudanya sambil se-
sekali melihat ke belakang. Pada jarak sepuluh tombak lebih, terlihat lima orang
laki-laki bertampang seram tengah mengejarnya disertai nafsu membunuh di atas
kudanya. "Heaaa...! Hus, hus...!"
"Gadis keparat! Berhenti, dan kembalikan barang-
barang yang kau curi!" teriak seorang laki-laki brewok yang berkuda paling depan
di antara keempat temannya. Suaranya terdengar keras, berusaha mengalah-
kan gemuruhnya derap kaki kuda.
"Huh! Ambillah sendiri kalau kalian mampu!"
"Awas kau! Sekali tertangkap, jangan harap bisa lepas dari tanganku!"
"Hi hi hi...! Jangan banyak omong! Kau tak akan
mampu menangkapku!"
Bukan main geramnya laki-laki brewok itu menden-
gar jawaban gadis di depannya. Sambil mengeretakkan rahang, kudanya dipacu cepat
Keempat orang temannya pun mengikutinya. Kuda-kuda mereka tampak
sudah terengah-engah, namun kelima orang itu tak
mempedulikannya. Bahkan terus menggebahnya, se-
hingga hewan-hewan itu berlarian seperti dikejar setan saja.
Menyadari kalau orang-orang itu benar-benar ber-
niat mengejar, hati gadis ini mulai ciut juga. Dengan berbesar hati kudanya
digeprak kuat-kuat, hingga meringkik kesakitan.
Memang, kuda yang ditunggangi para pengejar ber-
seragam hitam itu adalah kuda pilihan. Begitu gagah, dan kuat untuk dipacu
kencang dalam waktu yang la-
ma. Sebaliknya kuda yang ditunggangi gadis itu ha-
nyalah kuda biasa. Tak heran walaupun telah dipacu kencang, tapi masih juga
hampir terkejar. Bahkan hewan itu tiba-tiba meringkik keras dan tersungkur
ketika kaki depannya tersandung sebuah batu sebesar kepala kerbau. Untungnya,
gadis itu cepat melompat Tubuhnya lalu bersalto beberapa kali, dan mendarat
manis di atas tanah.
"Kuda sial!" maki gadis itu kesal.
Diliriknya kelima pengejarnya, sebelum berlari se-
kencang-kencangnya dari tempat itu. Kudanya yang
meringkik-ringkik kesakitan dan berusaha untuk
bangkit kembali pun ditinggalkannya.
"Ha ha ha...! Sekarang mau lari ke mana kau"! Kali ini jangan harap bisa lolos
dariku!" seru laki-laki berwajah brewok sambil tertawa-tawa.
Maka kelima orang bertampang seram itu dengan
penuh semangat terus memacu kudanya untuk men-
gejar gadis itu. Meskipun telah berlari sekuat tenaga, rasanya gadis itu tak
mungkin bisa lolos dari mereka.
Apalagi, ketika laki-laki brewok itu memerintahkan keempat temannya untuk
menyebar dan mengepung si
gadis. "Setan!" gadis itu memaki ketika melihat dari arah samping, salah seorang
pengejarnya semakin mendekat.
Dia berlari ke depan. Tapi dari ujung sebelah kiri, salah seorang pengejarnya
telah menghadangnya. Kemudian berturut-turut dari samping kanan dan bela-
kang. Kini gadis berbaju merah itu terkepung rapat.
Mulutnya menyumpah serapah tak habis-habisnya.
Disembunyikannya bungkusan kain kecil yang tadi di-genggamnya di tangan kiri, ke
dalam bajunya yang
agak longgar. Dan langsung pedangnya dicabut, siap
menghadapi segala kemungkinan.
"He he he...! Mau lari ke mana kau sekarang"!" ejek laki-laki brewok.
"Tikoro! Astaga, gadis itu cantik juga rupanya! Sebaiknya jangan buru-buru
dibunuh!" kata seorang teman laki-laki berwajah brewok yang bertubuh kurus
sambil menelan ludah dan wajah penuh nafsu.
"Ha ha ha...! Boyang! Matamu bisa juga melihat ga-
dis cantik. Kau pikir, aku sebodoh itu dengan buru-buru membunuhnya" Dia akan
merasakan kehanga-
tanku dulu, sebelum mampus!" sahut laki-laki brewok yang dipanggil Tikoro. Dan
melihat penampilannya, kelihatannya orang yang bernama Tikoro adalah pemim-
pin laki-laki berseragam hitam ini. Karena kelihatannya, dia begitu dihormati
oleh yang lainnya.
"Ha ha ha...! Bolehlah, Tikoro. Karena kau pemim-
pin kami, biarlah kau yang pertama. Dan kami akan
rela bila hanya mendapat sisanya!" sahut laki-laki lain, yang bertubuh pendek.
"Hei"! Apakah kau berminat juga pada barang ba-
gus ini, Selarong?" tanya laki-laki yang dipanggil Boyang dengan nada mengejek.
Sementara dua orang yang lain terbahak mendengar
kata-kata itu. Mereka semua tahu, bahwa laki-laki
pendek yang dipanggil Selarong selama ini kurang per-kasa terhadap wanita. Hal
itu sering dikeluhkan pada teman-temannya. Padahal, istrinya dua orang dengan
wajah cukup lumayan. Dan kalau ketidakmampuan-nya melayani istri-istrinya
dikeluhkan, teman-
temannya sering mengejek. Kata mereka, kedua is-
trinya sudah buruk dan tua, hingga tak mampu mem-
bangkitkan gairahnya lagi. Padahal, itu hanya olok-olok saja. Dan sebenarnya,
kedua istri Selarong justru masih muda.
"Tutup mulut kotor kalian! Cuihhh!" dengus gadis
itu sambil meludah dengan wajah berang.
"Hei" Galak juga dia! Tikoro! Biarkan aku mering-
kusnya!" seru Boyang yang agaknya sudah tak sabar.
Boyang langsung melompat dari punggung kudanya
dan mencabut keris yang terselip di pinggang.
"Gadis liar! Menyerahlah, agar aku tak berbuat lebih kasar hingga melukai
kulitmu yang halus itu!" kata Boyang keras.
"Phuih! Tutup mulutmu yang bau itu. Kau boleh
menangkapku, setelah aku menjadi bangkai!"
"He he he...! Semakin galak sikapmu, justru mem-
buat semangatku lebih menggebu untuk memelukmu.
Kuperingatkan sekali lagi, lebih baik menyerah saja.
Siapa tahu, Juragan Waluya mau mengampunimu.
Kami pasti akan melindungimu dari hukumannya,"
sahut Boyang seraya tersenyum kecil.
"Huh! Jangan harap! Menyingkirlah kau dari hada-
panku, Keparat!"
"Sial! Kalau begitu, kau memang tak ingin diperla-
kukan baik-baik. Awas kau!" Boyang mendengus ga-
rang. "Hup!" gadis itu bergerak lincah menghindar ketika Boyang cepat menyerang.
"Hm.... Bagus! Rupanya, kau memiliki sedikit ke-
pandaian. Tapi di depanku, jangan harap bisa berlagak!" geram Boyang semakin
kalap. "Jangan banyak omong, Anjing Busuk! Ke sinilah
kalau tak ingin lehermu kupenggal!"
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
"Uts...!"
Boyang semakin kalap saja ketika gadis itu mampu
menghindari serangannya. Bahkan sesekali ujung pe-
dang gadis itu sempat menyambar leher dan jantung-
nya. Kalau saja gerakannya tidak gesit, niscaya nyawanya sudah melayang sejak
tadi. Memang, nyata-
nyata gadis itu hendak menghabisi nyawanya.
"Boyang! Apakah aku perlu turun tangan untuk me-
ringkus gadis itu" Kulihat kau malah bermain-main saja!" kata Tikoro, sinis.
"Tak perlu! Sebentar lagi gadis binal ini pasti akan kuringkus!" sahut Boyang.
"Huh! Kenapa tidak kalian berlima saja yang maju
sekaligus, agar lebih mudah aku memotes leher ka-
lian!" cetus gadis itu, mengejek.
"Setan! Tikoro, biarkan mulut gadis liar itu ku-
bungkam saja!" dengus Selarong. Rupanya hatinya sudah langsung panas mendengar
ejekan gadis itu.
Maka tanpa mempedulikan larangan Boyang, Sela-
rong sudah langsung melompat dan ikut menyerang
gadis berbaju merah itu.
"Yeaaa...!"
*** Melihat dirinya dikeroyok dua orang, gadis itu sama
sekali tak menunjukkan ketakutannya. Bahkan perla-
wanannya semakin gigih dengan putaran pedangnya
yang tertuju ke arah lawan.
Boyang sebenarnya tak suka melihat Selarong
membantunya. Tapi dia harus menjaga gengsi di depan Tikoro yang merupakan
pemimpinnya. Karena bisa jadi gadis itu nantinya malah menghajar dirinya.
Buktinya sepintas saja terlihat kalau ilmu alat gadis itu amat lihai. Untuk
itulah dia tak melarang Selarong, dan terus memusatkan perhatian terhadap gadis
itu. "Jatuh!" sentak Selarong sambil mengayunkan ke-
palan tangan ke dada gadis itu. Dan pada saat yang
sama, Boyang menusukkan kerisnya ke bahu.
Namun, gadis itu cepat memutar pedangnya, me-
nangkis senjata lawan. Sementara tangan kirinya memapak serangan Selarong.
Trang! Plak! "Akh!"
Terdengar keluhan bernada kesakitan, begitu gadis
itu memapak serangan Selarong. Dari sini bisa dilihat kalau tenaga dalamnya
masih kalah dibanding lawannya.
"Ha ha ha...! Kau pikir dirimu hebat mampu menga-
lahkan kami" Jangan harap!" ejek Selarong, ketika melihat gadis itu meringis
kesakitan sambil memegang tangan kirinya.
"Yeaaa...!"
Dan belum juga gadis itu mengatur keseimbangan
tubuhnya, tiba-tiba Selarong melesat cepat bagai kilat sambil melepaskan sebuah
pukulan tangan kanan.
Tak ada waktu lagi bagi gadis itu untuk menghindar, kecuali memapaknya dengan
tangan kanan, dengan
gerakan dari bawah ke atas. Padahal, kuda-kudanya
masih belum sempurna.
Plak Kembali gadis itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Dan kesempatan ini
tidak disia-siakan Selarong.
Cepat-cepat tubuhnya meluncur seraya melepaskan
sodokan tangan kiri ke arah dada gadis itu. Dan. ..
Des! "Akh!"
Gadis berbaju merah itu menjerit kesakitan ketika
sodokan Selarong berhasil mendarat di dadanya. Kembali gadis itu terhuyung-
huyung sambil mendekap dadanya yang terkena sodokan Selarong dengan tangan
kiri. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan Boyang. Sen-
jatanya dengan cepat memapas pedang di genggaman
gadis itu hingga terlepas.
Trang! "Ugh!"
Gadis itu kembali mengeluh kesakitan. Telapak tan-
gannya kontan terasa perih akibat papasan senjata lawan. Sementara, pada saat
yang sama Selarong kem-
bali meluruk, dan langsung menotok gadis itu.
Tuk! "Ahhh...!"
Gadis itu kontan ambruk ke tanah tanpa daya sam-
bil mengeluh. Dadanya masih terasa nyeri. Sementara, wajahnya tetap menunjukkan
kegarangan ketika kelima orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Apa kataku"! Percuma saja kau mela-
wan. Kalau sejak semula menyerah, tentu kami akan
memperlakukanmu baik-baik. Tapi sayang, kau telah
membuatku marah. Maka jangan harap kami akan
melepaskanmu begitu saja," kata Selarong.
"Bagus, Selarong. Kau memang bisa diandalkan,"
sahut Tikoro, seraya turun dari kudanya dan meng-
hampiri gadis itu.
Laki-laki brewok itu lalu berjongkok dan mengang-
kat dagu gadis itu. Kemudian dipandanginya gadis itu sambil menyeringai buas
penuh nafsu. "Sayang! Wanita cantik sepertimu, kenapa harus
mencuri...."
"Phuih! Majikanmu tukang peras rakyat! Jadi, su-
dah sepatutnya aku mengambil sedikit bagian darinya.
Itu lebih terpuji daripada mencekik orang- orang mela-rat!"
"He he he...! Siapa yang peduli alasanmu...," sahut
Tikoro pelan. Pelan-pelan tangan Tikoro menyelusup ke balik baju gadis itu untuk mengambil
kantung kecil yang tadi
disembunyikan. Namun sebelum hal itu dilakukan,
tangannya dengan nakal mempermainkan dua buah
bukit kecil yang padat berisi, sehingga merangsang nafsu birahinya.
"Jahanam keparat! Phuih! Hentikan perbuatan ko-
tormu, Anjing Busuk..! Aouw...!" gadis itu kontan menjerit sambil memaki-maki
tak karuan. "He he he...! Memakilah sepuas hatimu. Tapi seben-
tar lagi, kau akan merasakan hal yang lebih dari itu,"
kata Tikoro sambil tertawa-tawa kecil dan melempar kantung yang didapat ke arah
Selarong. "Tikoro, jangan lama-lama bermain dengannya. Ke-
dua lututku sudah gemetar tak tahan!" sahut Selarong ketika melihat Tikoro telah
membopong gadis itu dan membawanya ke semak-semak.
"Tenanglah, Selarong. Kau akan mendapat giliran
setelah aku. Ingin kulihat, apakah kau mampu menaklukkan gadis liar ini. Mudah-
mudahan saja kau nanti bisa menjadi laki-laki tulen!"
Mendengar itu, meledaklah tawa ketiga teman- te-
mannya. Sementara, Selarong sendiri hanya bisa tersenyum-senyum kecil di antara
teriakan-teriakan gadis dalam bopongan Tikoro. Wajah keempat orang itu
tampak tegang. Masing-masing menelan ludah, sambil membayangkan kenikmatan yang
akan didapat Tikoro.
Bahkan teriakan-teriakan gadis itu terasa membang-
kitkan gairah kelelakian mereka.


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara di balik semak-semak terdengar desah
dan dengusan geram. Meskipun tak terlihat apa yang terjadi, namun keempat orang
itu bisa menduga apa
yang sedang terjadi di balik semak-semak. Tikoro me-
mang buas terhadap wanita. Bahkan tak pernah ber-
main lembut, sehingga membuat jantung keempat te-
mannya semakin berdegup kencang.
"Aouw! Keparat busuk, lepaskan aku! Le-
paskaaan...! Jahanam! Aku bersumpah akan membu-
nuhmu...! Aouw...! Lepaskan! Lepaskaaan...!"
"He he he...! Tenanglah, Manis. Nanti setelah segalanya beres, kau akan kami
lepaskan dan pergi bebas ke surga! He he he...!"
"Kisanak, lepaskan gadis itu...!"
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar
suara bentakan.
"Heh"!"
Tikoro kontan terkejut, dan langsung menghentikan
perlakuannya terhadap gadis itu. Dan belum juga dia sempat mencari orang yang
membentak, mendadak....
Des! "Aaakh...!"
*** Tikoro kontan menjerit kesakitan dan terpental ke
belakang ketika sebuah tendangan menghantam wa-
jahnya. Begitu keras, sehingga membuatnya terjungkal sampai beberapa tombak.
Sementara keempat teman Tikoro yang tak jauh da-
ri semak-semak itu juga terkejut menyaksikan tahu-
tahu di balik semak-semak berdiri tegak sepasang mu-da-mudi. Yang seorang adalah
pemuda berambut pan-
jang terurai. Wajahnya tampan, mengenakan baju
rompi putih. Sebatang pedang berhulu kepala burung tampak menyembul di balik
punggungnya. Sedangkan
di sebelahnya seorang gadis cantik berkulit putih.
Rambutnya panjang. Dan bajunya ketat berwarna biru.
Tampak sebuah kipas baja putih terselip di pinggangnya yang ramping. Sementara,
di punggungnya me-
nyembul sebatang pedang bergagang kepala naga.
"Keparat! Ingin mampus rupanya orang ini!" maki
Selarong garang.
"Siapa kalian"!" bentak Boyang tak kalah garang-
nya. "Kami hanya pengembara yang muak melihat ting-
kah laku bajingan-bajingan busuk seperti kalian!" sahut pemuda berbaju rompi
putih itu. Tikoro yang bajunya sudah tak karuan, cepat mem-
benahi dan berdiri tegak di hadapan kedua orang mu-da itu. Wajahnya tampak
gusar. Sementara masih terlihat tetesan darah di bibirnya yang pecah terkena
tendangan pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan
sorot matanya tajam penuh kebencian dan dendam.
"Bocah keparat! Siapa kau, sehingga berani meng-
ganggu kesenangan orang"! Apa sudah bosan hidup,
heh"!"
"Hm.... Rupanya telingamu tuli karena nafsu se-
tanmu sudah sampai ke ubun-ubun...!" gumam pemu-
da tampan itu. "Keparat!" maki Tikoro, mendengar jawaban itu.
Dia bermaksud menghajar pemuda itu dengan men-
cabut goloknya yang terselip di pinggang.
Tapi.... "Tikoro! Diamlah. Biar aku yang akan menghajar
bocah sombong ini," cegah Selarong seraya maju ke
depan. Langsung ditatapnya pemuda itu dengan sinis.
"Kakang Rangga, rasanya tanganku sudah gatal in-
gin menghajar bajingan-bajingan busuk ini. Izinkanlah aku memberi pelajaran pada
mereka," sahut gadis berbaju biru kepada pemuda yang tak lain Rangga, alias
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum kecil sambil mengangguk.
"Baiklah, Pandan. Tapi jangan terlalu keras. Aku
khawatir, mereka malah tak sempat tobat nantinya...."
"Setan! Majulah kalian berdua. Hadapi aku kalau
memang punya kepandaian!" bentak Selarong semakin
kesal saja. "Hi hi hi...! Manusia cebol! Kau pikir dirimu punya derajat berhadapan
dengannya"! Ke sinilah kau, agar tubuhmu bisa kubuat rata," ejek Pandan Wangi
atau yang dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Huh! Tahan serangan...!"
"Hup! Uts...! Kurang cepat, Cebol!" ejek gadis berbaju biru itu ketika berhasil
menghindari serangan lawan.
"Kuntilanak sial! Jangan menyesal kalau nanti ku
telanjangi!"
"Hi hi hi...! Otakmu kotor sekali. Rupanya kau se-
nang menunjukkan kebugilan. Baiklah, akan ku ka-
bulkan keinginanmu," sahut Pandan Wangi.
Selesai berkata demikian, si Kipas Maut segera
mencabut kipas bajanya. Langsung diserangnya lawan dengan gencar. Selarong
terkejut melihat serangan gadis itu yang lihai bukan main. Selama bertarung, dia
memang jarang sekali menggunakan senjata. Ilmu silat tangan kosongnya sudah
sangat hebat. Dan walaupun
menghadapi lawan bersenjata, dia masih mampu me-
lumpuhkannya. Tapi menghadapi gadis ini, sungguh
merasa kewalahan juga. Dan dalam waktu dua jurus
saja, dia terlihat sudah terdesak hebat
"Yeaaa...!"
"Gadis keparat! Lihat kaki...!"
"Pandan, awas...!" teriak Rangga, ketika lawan me-
lancarkan sebuah tipuan maut.
Saat itu, Selarong mencoba memapak kibasan kipas
maut Pandan Wangi. Namun papakan itu rupanya
hanya tipuan saja. Karena dengan cepat Selarong menunduk, seraya memberi sapuan
kaki. Namun, Pandan Wangi yang mendengar peringatan
Rangga segera mencelat ke atas. Sehingga sambaran
kaki lawan hanya mengenai angin kosong saja. Bahkan Pandan Wangi kembali menukik
dengan putaran kipasnya.
Keadaan Selarong memang tak memungkinkan lagi.
Untung pada saat yang tepat, Tikoro langsung melompat untuk melindungi temannya,
di samping menye-
rang Pandan Wangi.
?"Yeaaa....!"
Sementara, Pandan Wangi juga menyadari kea-
daannya. Maka tubuhnya cepat berputar bagai gangs-
ing. Dan tanpa bisa dicegah lagi, kipasnya menyambar baju Selarong hingga koyak.
Dan secepat itu pula,
Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke arah Tikoro.
Dan.... Cras! "Aaakh!"
Tikoro menjerit kesakitan ketika kipas maut Pandan Wangi merobek perutnya.
"Pergilah dari sini kalau masih ingin selamat Jika tidak, maka kepalamu akan
menggelinding saat ini ju-ga!" dengus Pandan Wangi, begitu melihat sinar
kegentaran pada wajah lawan-lawannya.
Sementara Tikoro tampak meringis kesakitan sam-
bil memegangi perutnya yang robek mengeluarkan ba-
nyak darah. Sedangkan Selarong malah seperti orang bengong, memandangi bajunya
yang koyak sehingga
hampir telanjang.
*** 2 Sambil bersungut-sungut geram, Tikoro mengajak
teman-temannya untuk pergi secepatnya. Dia memang
tak punya pilihan, selain pergi meninggalkan tempat itu. "Nisanak! Ingatlah
baik-baik! Urusan kita belum selesai. Suatu saat, aku akan menagih hutang ini
berikut bunganya!" kata Tikoro mengancam, sebelum berlalu.
"Aku akan menunggu kapan saja kau suka. Nah,
pergilah cepat dari hadapanku, sebelum aku muntah
melihat tampang busuk kalian!" bentak Pandan Wangi sambil menahan geli melihat
Selarong yang menutupi bagian tubuhnya yang terbuka di sana sini, akibat ba-
batan kipas mautnya.
"Hm.... Bagus, Pandan! Kemajuanmu semakin pesat
saja...," puji Rangga.
"Kalau bukan karena petunjukmu, mana mungkin
aku menghadapi mereka, Kakang," sahut Pandan
Wangi. "Ah, sudahlah. Mari kita lihat gadis itu," ujar Rangga, seraya melangkah hendak
menolong gadis yang ta-di hendak dinodai Tikoro.
Rangga mengurungkan niatnya untuk mendekati,
ketika melihat keadaan gadis itu yang tampak sudah bugil. Hal itu bisa dimaklumi
Pandan Wangi. Maka cepat dihampiri dan membebaskan totokan gadis itu. La-lu
ditutupinya bagian tubuh terlarang milik gadis itu dengan bekas cabikan bajunya.
Namun, tetap saja pa-da bagian-bagian tubuh yang lain masih tersingkap jelas.
"Tak apalah bila hanya untuk sementara. Nanti se-tiba di desa yang terdekat,
kami akan membelikanmu
baju yang pantas...," kata Pandan Wangi menghibur.
"Oh, terima kasih atas pertolongan kalian. Aku tak tahu, bagaimana harus
membalasnya. Kalau tak ada
kalian, entah bagaimana nasibku...," ujar gadis itu ter-haru.
Pandan Wangi tersenyum, lalu mengulurkan tan-
gannya penuh persahabatan.
"Namaku Pandan Wangi. Dan itu temanku. Mari ku
perkenalkan kau padanya," ajak Pandan Wangi men-
dekati Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di atas sebatang pohon tumbang,
membelakangi mereka.
"Aku Nawang Sari...," sahut gadis itu memperkenal-
kan diri sebelum mengikuti Pandan Wangi dari bela-
kang. "Kakang....!"
"Hm...," gumam Rangga seraya berbalik.
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut melihat ca-ra berpakaian gadis itu.
Tapi mengingat apa yang terjadi barusan, hal itu bisa dimakluminya.
"Rangga...!"
"Nawang Sari...!" gadis yang bernama Nawang Sari
itu mengulurkan tangan, menyambut uluran tangan
Rangga. Nawang Sari tersekat. Diam-diam dikaguminya ke-
tampanan pemuda itu. Dan tak terasa, jantungnya
berdetak kencang. Ada gejolak hangat yang menjalar pada setiap pembuluh
darahnya, hingga membuatnya
tak sadar kalau belum melepaskan jabatan tangannya.
"Eh, ng.... Maaf...," Pendekar Rajawali Sakti berucap lirih.
Rangga jadi salah tingkah sendiri dan cepat mele-
paskan genggaman tangannya. Apalagi di situ ada
Pandan Wangi. Jelas, dia tak mau membuat kekasih-
nya cemburu. Namun, Rangga harus mengakui juga
kalau Nawang Sari cukup cantik. Bibirnya merah me-
rekah. Sepasang alis matanya tebal bagai semut berir-ing. Tubuhnya sintal.
Sempat terlihat oleh Rangga be-tapa dada gadis itu yang menyembul sedikit di
balik bajunya yang ala kadarnya. Tak heran kalau sifat ke-laki-lakiannya
tergoda, sehingga jantungnya sempat berdetak keras.
"Nah, Nawang. Sekarang kau bebas dari ancaman
mereka. Apakah kau ingin kami antarkan pulang...?"
tanya Pandan Wangi, menawarkan.
Mendengar itu, terlihat wajah Nawang Sari berubah
muram. Tubuhnya lalu berbalik dengan wajah tertun-
duk dalam. "Ada apa" Apakah kau tak ingin pulang?" tanya
Pandan Wangi. "Aku..., aku tak tahu harus ke mana...."
"Kau tak punya keluarga...?"
Nawang Sari menggeleng lemah.
"Orangtua?"
"Aku hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.
Hidupku berkelana dari satu tempat, ke tempat lain tanpa tujuan pasti...."
"Hm...," Pandan Wangi bergumam sambil meman-
dang Rangga. Sementara Rangga diam tak memberi tanggapan.
"Bagaimana, Kakang...?"
"Terserah kau saja...."
Pandan Wangi bisa merasakan, apa yang dirasakan
gadis itu. Dan sebenarnya, nasibnya tak jauh beda
dengan dirinya sendiri.
"Nawang, kau boleh ikut kami untuk sementara
waktu. Tapi setelah itu, kau mesti menentukan jalan hidupmu sendiri...."
Nawang Sari mengangguk cepat, meskipun tak
mengerti apa yang dimaksud gadis cantik berbaju biru itu. Di hatinya tersembul
satu kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan. Dan yang pasti karena untuk beberapa
waktu akan merasa aman berada di tengah-tengah
penolongnya. *** Telaga Sampang dikenal sebagai tempat yang indah
dan ramai. Untuk ke tempat itu hanya setengah hari perjalanan dari Kotaraja
Kerajaan Gautama, yang merupakan kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kerajaan
Tirtasura. Telaga itu sendiri memang diketahui sebagai jalur lalu lintas
perdagangan. Juga sebagai jalan pintas dari dan ke Kotaraja Kerajaan Gautama.
Tak heran bila tempat itu banyak dikunjungi, baik oleh pendatang da-ri luar
daerah, maupun dari negeri asing. Dan letaknya juga sangat dekat dengan
pelabuhan, tempat bersandar kapal-kapal besar dari negeri asing.
Setelah membeli pakaian untuk Nawang Sari, Pen-
dekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan Nawang Sari menuju sebuah kedai. Begitu
memasuki kedai yang
cukup ramai itu, semua orang yang ada di dalam kedai serentak memandang mereka.
Namun Rangga tak merasa heran. Bahkan bisa menduga arti pandangan itu.
Tampaknya, mereka iri melihat pemuda berbaju rompi putih itu datang bersama dua
gadis cantik. "Kakang! Aku jadi risih dengan pandangan orang-
orang itu," bisik Pandan Wangi, ketika mereka telah duduk pada sebuah meja yang
memiliki empat buah
kursi". "Tenang sajalah. Toh, mereka tak mengganggu ki-
ta...." "Kau bisa tenang. Tapi, kami mana bisa...!" rungut Pandan Wangi setengah kesal.
Rangga hanya tertawa kecil.
"Betul, Pandan. Kita toh tak punya urusan dengan
mereka. Buat apa dipedulikan!" timpal Nawang Sari.
Pandan Wangi hanya bisa menahan rasa kesal. Se-
jak tadi, hatinya memang panas melihat kelakuan Nawang Sari. Sepanjang
perjalanan, sepertinya dia berusaha memancing perhatian Rangga. Nawang Sari
selalu berjalan di samping pemuda itu, sambil mengajak bicara, berkelakar,
tertawa-tawa, dan sesekali mencubit genit. Dan yang membuatnya bertambah kesal,
Rangga sepertinya tak berusaha mengelak atau menunjukkan


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketidaksukaannya. Dan ini membuat kobaran api
cemburu dalam dada Pandan Wangi semakin menyala
saja. "Kakang, tadi aku benar-benar terkejut bercampur
senang, ketika mengetahui kalau kau ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang
kesohor itu. Sudah lama sekali aku ingin bertemu dan melihat orang yang
julukannya amat menghebohkan. Dan tak sangka kalau hari ini
aku bisa bicara berdekatan," ujar Nawang Sari dengan bola mata berbinar-binar.
"Nawang, kau mengatakan kalau hanya orang biasa
dan sama sekali tak mengerti orang-orang persilatan.
Lalu, bagaimana mungkin bisa tahu kalau Kakang
Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pan-
dan Wangi sambil menyembunyikan kecemburuan ha-
tinya. "Hm.... Mungkin kalian tak akan percaya kalau ku-
ceritakan bahwa setiap anak kecil di pelosok desa sekalipun, akan mengenal
julukan Pendekar Rajawali
Sakti. Julukan itu tidak hanya dikenal orang-orang persilatan, tapi juga orang
awam seperti aku ini!" sa-
hut Nawang Sari.
Rangga hanya tersenyum enteng saja mendengar
pujian gadis itu, yang terasa berlebihan dan terlalu membesar-besarkan.
"Apakah kau tak tahu kalau julukanku juga dikenai
semut-semut yang ada di lubang paling dalam?" kata Rangga berkelakar.
"Kakang. Aku berkata yang sebenarnya!"
"Ssst! Pelankan nada suaramu sedikit Jangan sam-
pai mengganggu pengunjung yang lain," tegur Rangga mengingatkan, ketika melihat
gadis itu berusaha
meyakinkan, sehingga tanpa sadar bersuara cukup keras.
Namun, ternyata percuma saja. Ketika mata Pende-
kar Rajawali Sakti melirik sekilas, tampak seorang la-ki-laki bertubuh kekar
berkulit coklat kehitam-
hitaman sudah menghampiri mereka. Di punggungnya
terlihat sebilah golok yang besar dan panjang. Dia langsung berdiri di tepi meja
sambil meletakkan telapak tangan kanannya. Sementara matanya menatap
tajam ke arah Nawang Sari.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Susah payah aku menca-
ri, ternyata kau datang menghampiri!" kata laki-laki itu. Suaranya terdengar
berat dan bercampur serak.
Rangga jadi tak enak hati. Dan hatinya sudah me-
rasa tak senang melihat sikap laki-laki berwajah kasar itu. "Kisanak, tidak
bisakah bersikap sedikit sopan?" tegur Rangga, halus.
Laki-laki itu mendengus seraya memandangi Pen-
dekar Rajawali Sakti tajam-tajam sambil menyeringai buas.
"Bangsat! Apakah kau ingin mampus, heh"!" bentak
laki-laki dengan suara menggelegar, seraya langsung
melayangkan kepalan tangannya.
Rangga cepat memiringkan kepala. Langsung dihan-
tamnya pergelangan tangan laki-laki itu dengan tangan kiri.
Tak! "Akh!"
Laki-laki itu menjerit kesakitan sambil memegangi
pergelangan tangannya yang terasa akan patah. Se-
dangkan matanya langsung melotot garang.
"Dasar maling! Sudah sepantasnya kau berteman
dengan bajingan! Kalian bertiga patut mampus!"
Laki-laki itu langsung mencabut goloknya. Dan se-
ketika hendak dihantamkan ke kepala Rangga.
Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan un-
tuk menghindari sambaran senjata lawan.
Wuuut! Golok itu lewat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan begitu golok itu terus melaju, Rangga masih sempat melayangkan sebelah
kakinya, untuk mengait kaki Nawang Sari yang menjadi sasaran golok. Akibatnya,
gadis yang sedang duduk itu jadi terjerembab ke lantai. Tapi dengan begitu,
nyawanya selamat dari ancaman golok. Pandan Wangi sendiri sudah menjatuhkan
diri ke lantai, dan cepat bangkit dengan wajah marah.
"Bajingan tak tahu aturan! Datang mengganggu dan
mencari urusan! Apa sudah bosan hidup, heh"!" ben-
tak Pandan Wangi.
"Huh! Tahu apa kau dengan urusanku"! Kalau tak
senang, boleh angkat kaki dari sini. Tapi, tinggalkan dulu gadis keparat ini
untuk kucincang!" dengus laki-laki berwajah kasar itu sambil menunjuk Nawang
Sari. Semula, Pandan Wangi sudah ingin melabrak laki-
laki kasar itu saja. Tapi, Rangga cepat menahannya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti segera memandang laki-
laki itu dengan wajah penuh tanda tanya.
"Kisanak! Apa maksudmu akan menahan dan me-
nyakiti temanku ini?"
"Huh, pura-pura tak tahu! Baiklah ku ingatkan lagi, agar semua orang mengetahui
kebusukan temanmu
ini. Dia telah mencuri patung kucing yang dikera-
matkan perguruan kami. Dan perlu kalian tahu, pa-
tung itu amat berharga karena keseluruhannya ter-
buat dari emas murni," jelas laki-laki itu.
Rangga seketika memandang Nawang Sari.
"Benarkah apa yang dikatakannya?"
"Dusta! Dia penipu. Aku sama sekali tak mengenal-
nya. Apalagi, perguruannya. Sungguh mustahil kalau aku mencuri seperti yang
dikatakannya!" sanggah Nawang Sari sengit.
"Keparat! Percuma berdebat dengan kalian! Hei, Pe-
rempuan Busuk! Kau pikir mataku sudah rabun, se-
hingga tak mengenalmu"!" bentak laki-laki itu seraya mengayunkan kepalan
tangannya. Rangga tersentak kaget. Nawang Sari akan celaka
kalau tak segera ditolong. Maka....
"Yeaaa...!"
Plak! "Sabar, Kisanak ..."
Bukan main gusarnya lelaki itu ketika Rangga kem-
bali ikut campur dengan menangkis serangannya.
"Kurang ajar! Majulah semuanya agar aku lebih
mudah memecahkan batok kepala kalian bertiga!"
Maka tanpa mempedulikan cegahan Rangga, laki-
laki itu cepat menyerang.
Pertarungan tak dapat dielakkan lagi di dalam
ruangan kedai itu. Pemilik kedai sudah sejak tadi berteriak-teriak cemas melihat
kedainya berantak- an.
Meja dan kursi jungkir balik tak karuan. Beberapa
pengunjung malah sudah lebih dulu menyelamatkan
diri, keluar dari dalam kedai ini.
*** Sambil berusaha mengelak, berkali-kali Rangga
mencoba menyadarkan. Tapi, agaknya laki-laki itu betul-betul keras kepala. Maka
terpaksa Rangga melade-ninya kalau tak ingin celaka disambar golok lawan
yang bertubi-tubi mengincarnya. Lalu dengan satu
lompatan ringan, Rangga keluar dari dalam kedai untuk menghindari kerusakan yang
lebih parah lagi.
"Keparat! Jangan harap bisa kabur dariku!" bentak
laki-laki bertampang seram itu seraya menyusul.
"Kisanak! Jangan khawatir. Aku tak akan lari sebe-
lum urusan ini selesai," sahut Rangga pendek.
"Mampus!"
Namun, Rangga cepat bergeser ke samping kiri. Tu-
buhnya seperti akan jatuh ke tanah, dengan gerakan kaki indah melompat ke sana
kemari. Jelas, Pendekar Rajawali Sakti mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib'. Akibatnya, golok lawan hanya menyambar-nyambar tempat kosong saja.
"Uts!"
Wut! Wut! "Setan!"
Laki-laki itu bertambah gusar, menyadari seran-
gannya tak juga membuahkan hasil. Berkali-kali dia menggeram hebat sambil
mengayunkan goloknya. Sementara dari mulutnya tak henti-hentinya keluar makian
kasar. "Hm.... Ternyata Kakang Rangga memang bukan
orang sembarangan. Baru kali ini aku menyaksikan
kehebatannya!" puji Nawang Sari sambil berdecak kagum melihat pertarungan itu.
Pandan Wangi yang berada di sebelahnya tak mem-
beri tanggapan apa-apa mendengar pujian itu. Sementara, ada rasa curiga yang
mulai tumbuh terhadap gadis itu. Kenapa laki-laki itu begitu yakin kalau Nawang
Sari terlibat dalam pencurian benda pusaka perguruannya" Diakah yang
melakukannya" Ataukah ada
orang lain yang mirip, atau barangkali laki-laki itu mengada-ada"
"Pandan, aku berani bertaruh. Sesaat lagi orang itu pasti akan dapat dirobohkan
Kakang Rangga!" seni
Nawang Sari, berseri.
"Kenapa kau begitu yakin" Orang itu memiliki ilmu
olah kanuragan yang cukup tinggi...."
"Hei"! Masak kau tidak melihat" Meskipun dia ber-
senjata, tapi Kakang Rangga mampu mendesaknya. "
Apa yang dikatakan Nawang Sari memang benar.
Meski lawan bersenjata, tapi perlahan-lahan Rangga berhasil mendesak. Bahkan
kini tubuhnya bergerak
cepat, ketika lawan mengayunkan golok.
"Yeaaa...!"
Plak! Ayunan golok lawan berhasil dipapak Pendekar Ra-
jawali Sakti dengan kibasan tangan kiri yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Senjata itu kontan terpental dari genggaman saat pergelangan tangannya terkena
pukulan Rangga. Dan belum lagi laki-laki itu menyadari apa yang terjadi, tiba-
tiba satu tendangan keras menyodok perutnya.
Begkh! "Aaakh...!"
Laki-laki bertampang kasar itu kontan menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya terjerembab beberapa langkah dis-
ertai suara berdebuk keras. Dia berusaha cepat bangkit, tapi satu tendangan lagi
menghajar rahangnya.
Diegkh! Kembali laki-laki itu tersungkur. Dari mulutnya
tampak mengucur darah segar, karena dua buah gi-
ginya tanggal. Laki-laki itu masih berusaha bangkit, tapi telapak kaki Rangga
telah lebih cepat menekan perutnya dengan keras.
"Kisanak! Aku tak mempunyai urusan denganmu.
Dan selamanya pun, hal itu tak kuinginkan. Tapi kau terlalu memaksa. Maka kini
pilihan ada di tanganmu.
Kalau kau masih ingin melanjutkan pertarungan, kau akan celaka sekarang. Tapi
bila ingin menyudahinya, kau boleh pergi!" ujar Rangga dengan nada dingin.
"Huh! Kau boleh membunuhku sesuka hatimu. Ta-
pi, jangan harap aku akan menyudahi persoalan ini
begitu saja!" dengus laki-laki itu.
"Hm, baiklah kalau itu keinginanmu!" Rangga
menggeram sambil menekan perut lawan perlahan-
lahan semakin kuat.
Wajah laki-laki itu kontan berkerut menahan sakit.
Sementara orang-orang yang menyaksikan kejadian
tak jauh dari tempat itu sudah menduga kalau tak la-ma lagi nyawa laki-laki
keras kepala itu pasti akan melayang. Sedangkan Pandan Wangi memalingkan wajah,
tak tega melihat semua itu. Beda halnya dengan Na-
wang Sari. Gadis itu malah membuka kelopak matanya lebar-lebar.
"Kakang Rangga, mengapa tak cepat-cepat dihabisi
saja nyawanya" Orang itu jahat dan tak tahu aturan.
Kalau kau mengampuninya, tentu dia akan membuat
kekacauan nantinya!" teriak Nawang Sari.
Rangga sebenarnya tak bersungguh-sungguh mem-
bunuh lawannya, meski hatinya geram bukan main
melihat kekerasan hati laki-laki itu. Dia hanya ingin memberi pelajaran, agar
laki-laki itu tak main-main dengan ucapannya. Namun sebelum hal itu berlanjut,
sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda yang
bergemuruh memasuki wilayah itu. Orang-orang berteriak-teriak sambil berlari
serabutan menyelamatkan diri.
"Celaka! Orang-orang asing itu menyerang ke sini!"
"Lari! Lari...!"
"Heh"!"
*** 3 Rangga terkejut melihat tak lebih dari tiga puluh
orang bersenjata golok besar bergerak cepat memacu kudanya. Bahkan mereka
langsung menyerang penduduk yang berada paling dekat, dan membunuh tanpa
ampun. Pekik kematian disertai bergelimpangannya
beberapa tubuh mewarnai tempat itu. Para penduduk
saling menyelamatkan diri. Dan sebagian lagi ragu-
ragu untuk bergerak atau melawan.
"Pandan! Jaga Nawang Sari. Aku akan menghenti-
kan orang-orang gila itu!" teriak Rangga sambil melompat cepat menghampiri
gerombolan itu.
"Hati-hati Kakang...!"
"Yeaaa...!"
Rangga langsung mengamuk sejadi-jadinya, meng-
hantam orang-orang yang sedang membantai pendu-
duk yang tak tahu apa-apa. Akibatnya beberapa orang yang memang berkepandaian
rendah itu terjungkal
disertai jerit kesakitan. Maka dalam waktu singkat saja Rangga telah menjadi
pusat perhatian gerombolan itu.
"Berhenti...!"
Terdengar salah seorang di antara mereka berteriak keras. Dan tak lama,
gerombolan itu terlihat menghentikan kekejamannya. Lalu dengan patuh, mereka
membentuk barisan. Salah seorang penunggang kuda
yang berpakaian mewah dilapisi rompi besi, meng-
hampiri Rangga. Dan kudanya dihentikan persis ketika jaraknya tinggal lima
langkah lagi. "Hm.... Ternyata ada juga orang yang bernyali ma-
can di tempat ini. Siapa kau sebenarnya?" tanya orang berbaju lapis rompi besi
dengan suara berat dan serak.
Pada jarak dekat seperti ini, Rangga dapat melihat jelas kalau cara berpakaian
mereka berbeda dengan
penduduk negeri ini. Wajah serta kulit mereka pun amat berbeda. Logat bahasanya
pun terdengar asing
dan terpatah-patah. Rangga sudah cepat menduga ka-
lau mereka adalah pendatang dari suatu negeri yang cukup jauh di seberang
lautan. Tapi apa perlunya mereka ke sini dan membunuh penduduk yang tak tahu
apa-apa" "Kisanak! Aku hanya salah seorang penduduk yang
tak suka melihat tindakan kalian yang biadab!"
"Ha ha ha...! Jawaban polos yang dilakukan pahla-
wan-pahlawan kesiangan. Hm.... Kuhargai sikapmu
itu. Nah, menyingkirlah dari tempat ini dan jangan mencampuri urusan kami!"
Rangga tertawa kecil mendengar kata-kata orang
itu. "Hm.... Bicaramu sungguh keterlaluan, Kisanak.
Kulihat kau bukan orang negeri ini. Dan kalian amat asing bagi kami. Seharusnya,


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian yang datang dari jauh bisa menjaga sikap dan bersikap sopan. Tapi,
yang kalian lakukan malah sebaliknya. Jadi mana
mungkin aku bisa mendiamkan begitu saja," kata
Rangga, tenang.
"Huh! Kalau begitu, terimalah kematianmu!" dengus
orang itu seraya memberi isyarat.
Seketika, serentak tujuh orang pengikut laki-laki
asing itu bergerak mengepung Rangga dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
Rangga segera bergerak lincah memainkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari serangan orang-orang asing itu yang
gencar dan teratur. Kelihatannya jurus-jurus yang mereka mainkan sedikit as-
ing. Terlalu banyak gerakan yang kelihatannya tak
berguna. Namun justru hal itu untuk memancing la-
wan agar terkecoh. Sedikit saja Rangga lengah, maka serangan kilat akan
menghabisinya dalam waktu singkat.
Wut! Dua pasang senjata lawan mengincar leher. Maka
Pendekar Rajawali Sakti cepat menundukkan kepala.
Tapi saat itu juga, dua buah senjata lawan kembali menebas pinggang. Rangga
melompat; ke samping.
Namun pada saat yang sama mendadak dua buah sen-
jata lawan yang lain menghunus punggung dan da-
danya. Sementara ujung senjata lawan yang lain me-
nyambar kedua kakinya.
"Yeaaa...!"
Tanpa banyak berpikir lagi Rangga cepat melenting
ke atas, dan berputaran beberapa kali. Dan begitu menukik turun, cepat
dimainkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dan yang dituju adalah
sasaran yang terdekat dengannya.
Wuttt! Tak! Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak
menyambar pergelangan lawan, sehingga membuat
senjata di tangan orang itu terlepas.
"Aaakh...!"
Orang itu kontan memekik kesakitan. Begitu men-
darat, Rangga bermaksud menghajar kepala dengan
tendangan kakinya yang lain. Namun, sebuah ayunan
senjata lawan yang lain cepat bergerak hendak memapas tulang kakinya. Terpaksa
Rangga mengangkat ka-
kinya dan langsung menghajar tengkuk satu lawannya lagi dengan sebelah kakinya.
"Uts...!"
Diegkh! Orang itu langsung tersungkur sambil menjerit ke-
sakitan. Dan Rangga tak mau kepalang tanggung lagi.
Ketika tubuhnya kembali berkelebat, cepat dile-
paskannya dua pukulan beruntun menggunakan 'Pu-
kulan Maut Paruh Rajawali' tahap pertama, disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. "Yeaaa...!"
Plak! Begkh! "Aaa...!"
Dua orang kembali terjungkal terkena tendangan
dan sodokan kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Begitu berhenti berkelebat, Rangga cepat berdiri tegak memandang ke arah laki-
laki asing yang masih menunggang kuda. Dan agaknya, dialah pemimpin dari
gerombolan ini. Wajahnya terlihat geram. Sementara kumis tipisnya yang panjang
bergerak-gerak menan-dakan gejolak hatinya. Mendadak, dengan satu lompatan manis
dia telah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Sebuah serangan kepalan tangan lawan bergerak
cepat ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti. Namun cepat bagai kilat Rangga
memiringkan kepala. Lalu tubuhnya cepat berputar. Dan dengan kepalan kiri, di-
hantamnya dada lawan.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Tapi orang asing itu sudah mencelat ke atas. Se-
mentara kedua kakinya berputar melepaskan tendan-
gan ke arah Rangga. Namun Rangga cepat membuang
diri hingga rata dengan tanah. Dan dalam keadaan te-lentang, kakinya memapak
tendangan lawan.
Bugkh! "Ugh...!"
Terdengar lawan mengeluh kesakitan ketika kedua
kakinya beradu dengan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Dan Rangga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
ini. Cepat tubuhnya bangkit dan langsung melenting ringan. Cepat dikejarnya
lawan yang terhuyung-huyung ke belakang. Kepalan tangan kanannya lang-
sung disodokkan ke arah dada. Namun lawan segera
memiringkan tubuhnya. Tapi pada saat tegak kembali, tendangan Rangga sudah
melayang ke arah pinggang
sekeras-kerasnya.
Begkh! "Aaakh...!"
Pemimpin gerombolan itu kontan menjerit kesakitan
ketika tubuhnya terhantam tendangan Pendekar Raja-
wali Sakti, hingga tersungkur ke tanah.
"Bunuh dia!" teriak orang itu memberi perintah.
Bagai tanggul jebol yang langsung memuntahkan
air bah, maka lebih dari dua puluh orang asing itu bergerak menyerang. Rangga
jadi terkesiap, dan mun-dur dua langkah. Seketika pedang pusakanya dicabut.
Maka, saat itu juga memancar sinar biru yang mene-
rangi tempat itu. Melihat hal itu lawan-lawannya tercekat beberapa saat. Betapa
pamor pedang pusaka itu memancarkan perbawa yang kuat Sebenarnya, Pendekar
Rajawali Sakti hanya dalam keadaan terpaksa saja bila mengeluarkan pedang
pusakanya. Dan apa yang
dilakukan, sebenarnya hanya untuk menakut-nakuti,
agar tidak jatuh korban lagi.
*** "Mundur...!" perintah pemimpin gerombolan orang
asing itu, begitu melihat pamor Pedang Rajawali Sakti.
Seketika para pengikutnya yang masih tersisa, sege-ra berlari dan melompat ke
punggung kuda masing-
masing. Dan mereka langsung melarikan diri dari tempat itu mengikuti pemimpinnya
yang telah lebih dulu menggebah kudanya. Rangga membiarkan mereka pergi. Namun
beberapa penduduk yang sejak tadi ber-
sembunyi karena takut, tiba-tiba melemparkan senjatanya. Akibatnya, dua orang
yang berada paling belakang kontan terjengkang jatuh dari kuda, setelah ter-
tembus golok. Sedangkan sisanya berhasil kabur.
Memang, sudah sejak lama para penduduk merasa
terkekang dan terancam keselamatannya oleh gerom-
bolan orang asing itu. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak, karena memang
tidak berdaya. Baru se-
telah gerombolan itu dibuat kalang- kabut oleh Pendekar Rajawali Sakti, mereka
mulai berani. Bahkan telah timbul semangat untuk mengusir gerombolan itu.
"Kakang, kau tak apa-apa?" Pandan Wangi meng-
hampiri Rangga dengan wajah cemas.
Rangga menoleh, lalu menggeleng lemah. Matanya
melirik sekilas pada Nawang Sari. Gadis itu tampak
berjalan ringan, menghampiri Rangga.
"Wah! Kau hebat sekali, Kakang. Gerombolan itu
mampu kau hajar sampai tunggang-langgang!"
Rangga tersenyum kecil. Dilihatnya beberapa orang
menghampiri sambil tersenyum ramah. Salah seorang
laki-laki berkumis tipis dan berusia sekitar tiga puluh tahun, mendekat dan
mengulurkan tangan kepada
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Aku Prawiro Seno. Atas nama teman-
teman, aku mengucapkan terima kasih atas segala
bantuanmu dalam mengusir orang-orang asing itu!"
"Tak perlu berterima kasih, Kisanak. Sudah jadi
kewajibanku untuk menolong orang yang lemah. O, ya.
Namaku Rangga," kata Rangga merendah.
"Ah, kami sudah tahu. Kau pasti Pendekar Rajawali
Sakti yang tersohor itu"!"
"Ah! Hanya julukan kosong saja, Kisanak. Sudah-
lah, yang penting gerombolan itu sudah terusir."
Rangga memang jadi rikuh juga mendengar pujian
yang dirasanya terlalu berlebihan. Maka buru-buru pembicaraan itu dialihkannya.
"Kisanak, siapakah orang-orang itu" Dan, apa mak-
sudnya melakukan kekacauan di sini?"
"Hm.... Rupanya kau belum tahu apa yang sedang
terjadi di sini, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Panggil aku Rangga saja," pinta Rangga.
"Baiklah. Begini, Rangga. Pasukan orang asing dari negeri seberang itu telah
mendarat di sini. Mereka cukup banyak di pantai utara negeri ini. Tujuan mereka
adalah ingin menguasai negeri ini. Mereka lalu memecah beberapa rombongan untuk
menguasai desa satu
persatu. Sementara pihak kerajaan bukannya tak tahu kedatangan mereka. Tapi
seperti diketahui, saat ini prajurit-prajurit kerajaan tengah dikerahkan untuk
menghalau serangan dari kerajaan besar yang berada di sebelah timur pulau ini.
Dan rupanya, kesempatan ini digunakan orang- orang asing itu untuk menyerbu ke
sini." Orang yang mengaku bernama Prawiro Seno itu ter-
diam sesaat. Tampak matanya membayangkan pende-
ritaan yang amat berat. Sebuah penderitaan dari
orang-orang yang terjajah.
"Maka Gusti Prabu lalu meminta bantuan dari para
pemuda dan seluruh rakyat yang mampu berjuang ba-
hu-membahu dengan prajurit-prajurit kerajaan, untuk menghalau orang-orang asing
itu. Rangga! Kau orang persilatan yang memiliki kepandaian hebat. Banyak sudah
pendekar yang berjuang mengusir orang-orang asing itu. Dan, apakah kau berminat
bergabung bersama mereka?"
Rangga terdiam sejenak mendengar penjelasan Pra-
wiro Seno. Hatinya merasa tergugah. Dan seketika rasa kemanusiaannya yang tinggi
timbul, seiring jiwa kependekarannya yang mulai berkobar.
"Kisanak! Di mana saja orang-orang asing itu saat
ini berada?"
Prawiro Seno segera menjelaskan, sepanjang yang
diketahuinya. "Baiklah. Terima kasih atas penjelasanmu. Jangan
khawatir, aku akan menyumbangkan apa yang bisa
kulakukan untuk negeri ini, agar orang- orang asing itu selekasnya angkat kaki!"
sahut Rangga. "Ah! Aku bersyukur mendengar kata-katamu itu,
Rangga. Teman-teman yang lain tentu akan bangkit
semangatnya bila mengetahui kalau pendekar besar
sepertimu turut berjuang membebaskan negeri ini dari ancaman orang-orang asing
itu. Nah, Rangga. Selamat berjuang. Kami harus cepat-cepat bergabung dengan
barisan lainnya!"
Prawiro Seno menyalami tangan Rangga, sebelum
berlalu meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang bersamanya turut pula
menjabat tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga hanya memandang
mereka sekilas, sebelum Pandan Wangi menyadarkan-
nya. "Kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Eh, apa?" Rangga tersentak.
Sebelum Pandan Wangi melanjutkan, Nawang Sari
telah mendekat.
"Kakang Rangga! Untuk apa bersusah-payah mem-
bantu pihak kerajaan" Apakah kau memperoleh sesua-
tu dari mereka" Kalau kau tewas dalam pertempuran
itu, mana mungkin mereka nantinya mengurus jena-
zahmu!" kata Nawang Sari sinis.
"Aku tak pernah mengharap imbalan atas apa yang
telah kuperbuat, Nawang. Semua apa yang kulakukan, tak lebih dari pengabdianku
sebagai pendekar. Sekarang, negeri ini sedang terancam. Dan selama ini, rakyat
merasa aman di bawah pemerintahan raja yang
sekarang. Maka, apabila orang-orang asing itu berhasil merebut negeri ini dan
mendirikan kekuasannya, belum tentu mereka akan memperhatikan rakyat. Bah-
kan tidak mungkin mereka akan menindas rakyat dan
mengeruk segala kekayaan yang dimiliki. Contoh yang jelas telah kita lihat tadi.
Tanpa belas kasihan, mereka seenaknya menyerbu dan membunuh penduduk yang
tak tahu apa-apa," kilah Rangga.
Nawang Sari terdiam dan tak meneruskan kata-
katanya. *** Malam telah menyelimuti alam Kotaraja Gautama.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wan-gi, dan Nawang Sari belum
menemukan tempat mengi-
nap. Bahkan perkampungan yang terdekat pun tak
terlihat di depan mata. Maka terpaksa mereka bermalam di tepi sebuah hutan.
Kini Rangga tampak tengah menghadapi api unggun
tanpa menoleh pada kedua gadis itu. Pikirannya masih terpusat pada kejadian tadi
siang. Saat ini, ingin rasanya dia terbang dan menghajar orang asing itu satu
persatu. Tapi dengan adanya kedua gadis ini, langkahnya terasa berat. Hal inilah
yang akan diutarakannya kepada Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti melirik sekilas gadis itu.
Tampak Pandan Wangi tertidur nyenyak beralaskan
rumput di sebelahnya. Dan Rangga jadi tak tega untuk meninggalkannya begitu
saja. Dan ketika melihat ke arah Nawang Sari, gadis itu pun juga tertidur pulas
bersama mimpi-mimpinya. Pendekar Rajawali Sakti
menghela napas pendek, kemudian beranjak agak
menjauhi mereka. Bulan di langit terlihat separoh, ter-selubung awan hitam. Di
sekelilingnya terbias cahaya redup. Sekilas Rangga mendongak, lalu pandangannya
kembali ke arah semula. Dia kini duduk pada sebuah batu yang cukup besar. Lama
Pendekar Rajawali Sakti termenung sendiri.
"Kau belum tidur juga, Kakang?" tiba-tiba sebuah
suara memecah keheningan.
"Heh"!"
"Jangan kaget! Aku hanya...."
"Pandan! Kenapa kau tak tidur" Apa kau tidak me-
rasa letih oleh perjalanan tadi siang?"
Gadis itu diam tak menjawab, lalu duduk di sebelah Rangga. Dipandanginya bulan
sekilas, sebelum beralih
memandang kekasihnya.
"Sejak tadi kuperhatikan, kau nampak gelisah te-
rus. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran-
mu?" Rangga mendesah kecil. Sulit baginya untuk men-
gatakan, apa yang terkandung dalam hatinya. Selama beberapa lama bersama Pandan
Wangi, rasanya ada
yang mengusik hatinya. Entah apa, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, Pendekar
Rajawali Sakti merasa semakin sayang saja pada gadis itu. Kadang, terbayang
dalam benaknya bila berumah tangga dengan Pandan
Wangi, dan melupakan petualangannya. Namun, jiwa
kependekarannya menuntut lain. Masih banyak


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keangkaramurkaan yang membentang di depan mata,
dan mana mungkin ditinggalkannya" Dan itu membu-
tuhkan tenaganya, ketimbang bersenang-senang di Kerajaan Karang Setra.
"Apa yang kau pikirkan, Kakang?" tanya Pandan
Wangi lembut. "Pandan, sudah berapa lama kita berpetualang me-
ninggalkan Karang Setara?" tanya Rangga.
"Cukup lama juga, Kakang. Kurang lebih dua bu-
lan...." "Hm.... Rasanya aku sudah lama tidak mendengar
kabar tentang Karang Setra. Kalau kau sudi, mau-
kah...." "Aku mengerti, Kakang...," potong Pandan Wangi
sambil menunduk.
Suasana sepi menyelimuti mereka untuk beberapa
saat "Aku rasa sudah saatnya bagi kita untuk berpisah.
Dan aku ingin agar kau pergi ke Karang Setra. Tunggulah aku di sana. Dan aku
sendiri akan pergi untuk membasmi orang-orang asing yang telah menjajah ne-
geri ini," ujar Rangga.
Pandan Wangi memandang wajah kekasihnya den-
gan wajah muram.
"Mengapa kau tidak mengajakku, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. Rangga mendesah kecil.
"Maafkan aku, Pandan. Bukannya aku tidak mau
mengajakmu. Tapi, aku ingin mendengar kabar Karang Setra dari mulutmu sendiri.
Kau bersedia, kan?"
Pandan Wangi diam membisu. Rangga lalu mende-
kati gadis itu.
"Aku tak perlu berpamitan pada Nawang Sari. Je-
laskanlah esok hari...," ujar Rangga.
"Apakah Kakang akan pergi malam ini juga?"
Rangga mengangguk. Pandan Wangi segera berbalik
dan menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Ada gejolak perasaan di hatinya yang
sulit ditahan. Sementara, Rangga bisa melihat dengan jelas kedua belah pipi
gadis itu yang basah deh air mata. Dan tiba-tiba saja Pandan Wangi memeluknya
erat, dan memberi ciuman
ke bibirnya. Dan Rangga membalasnya tak kalah han-
gat. Sebentar mereka saling berpagutan, kemudian saling menatap.
"Pergilah, Kakang. Tugas telah menanti. Jangan ke-
cewakan semua pendekar. Aku tak bisa menghalangi,
meski berat melepaskanmu...," lirih suara Pandan
Wangi tanpa melepaskan pelukannya.
Rangga tak tahu, apa yang dirasakan gadis itu saat ini. Wajah Pandan Wangi
disandarkan di bahu Rangga yang terasa hangat oleh air mata. Pemuda itu masih
terdiam sampai Pandan Wangi kembali mengangkat
wajahnya. "Pergilah, Kakang...!" ujar Pandan Wangi haru.
"Jaga dirimu baik-baik...."
Pandan Wangi menganggukkan kepala.
"Kau tentu bisa menjelaskan kepada Nawang Sari
nanti, bukan?"
"Jangan khawatir, Kakang."
"Aku pergi, Pandan ..."
Pandan Wangi kembali menganggukkan kepala. Kali
ini Rangga tak menoleh lagi. Tubuhnya sudah berkelebat cepat, dan sesaat saja
sudah lenyap dari pandangan. Pandan Wangi lama mematung dengan perasaan
tak menentu. Matanya menatap kosong ke depan, pada kegelapan malam. Suara burung
hantu dan kepak
sayap kelelawar seperti ingin mengusiknya dari lamunan.
Desir angin malam menyapu lembut wajah Pandan
Wangi. Hatinya kontan tersentak dari lamunan seraya bergegas melangkah pelan ke
tempatnya. Api unggun telah padam meninggalkan sisa-sisa arang yang masih
membara. Dan pandangannya langsung tertuju ke
arah Nawang Sari tadi berada. Tapi kini gadis itu telah lenyap entah ke mana.
Pandan Wangi jadi bingung,
dan memanggil-manggil nama gadis itu dengan suara keras. Tapi, tak juga
terdengar sahutan. Dugaannya, mungkin Nawang Sari tengah buang air kecil. Namun
sampai ditunggu lama, gadis itu belum juga muncul.
Pandan Wangi semakin gelisah.
Ke mana gadis itu" Apakah ada orang lain yang
menculiknya" Ah, mustahil! Kakang Rangga memiliki
ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tentu dia bisa mengetahui kehadiran orang lain
di sini. Hei" Jangan-
jangan gadis itu diam-diam mengikuti Kakang Rangga.
Pandan Wangi berkata sendiri dalam hati.
Pandan Wangi bingung harus bertindak apa. Maka
diputuskannya untuk menyusul Rangga, dan memas-
tikan apakah dugaannya itu benar.
*** 4 Apa yang diduga Pandan Wangi memang benar. Ta-
di, ketika dia bersama Rangga menjauh dari tempat
itu, diam-diam Nawang Sari yang sejak tadi berpura-pura tidur segera bangkit dan
mendengar pembicaraan mereka. Rangga yang saat itu memang sedang tak
memusatkan pikiran padanya, tentu saja tak mengetahui kehadiran gadis itu.
Dan ketika Rangga pergi dari tempat itu, Nawang
Sari sudah langsung mengikutinya. Namun sejauh itu, meski semua ilmu larinya
telah dikerahkan, Rangga
belum bisa terkejar. Nawang Sari kesal. Sepanjang malam gadis itu terus berlari,
sampai akhirnya kehilangan jejak Rangga sama sekali. Tapi dasar gadis liar,
pikirannya langsung menduga kalau Rangga tentu akan
langsung menuju tempat para pejuang di Kotaraja
Gautama yang dijarah orang-orang asing. Maka ke sa-nalah tujuan Nawang Sari
sekarang. Matahari semakin meninggi di atas cakrawala.
Meski belum tepat benar di atas kepala, namun sengatannya sudah mulai terasa di
ubun-ubun. Nawang Sari merasakan matanya telah berat dan tubuhnya mulai
letih. Gadis itu berniat mencari-cari sumber mata air untuk menyegarkan tubuh.
Mujur baginya, sebab tak
jauh dari situ terdapat sebuah sungai yang mengalir bening. Nawang Sari segera
mencari tempat yang agak tersembunyi dari pandangan orang, sambil menyusuri
tepian sungai. Tiba di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan, dia
terkejut sambil memandang
tak percaya. Tampak tidak begitu jauh, seorang pemuda yang
sudah dikenalnya sedang timbul tenggelam berkecipak di air, sambil berenang ke
sana kemari. Nawang Sari buru-buru bersembunyi di balik sebuah batu, sambil
terus memperhatikan dengan seksama. Jantungnya terasa berdegup kencang dan
wajahnya tampak berseri
ketika yakin, siapa pemuda itu.
"Kakang Rangga...," gumam Nawang Sari senang.
Gadis itu lalu tersenyum kecil. Matanya yang nakal kemudian mencari-cari pakaian
pemuda itu. Dan setelah ditemukannya, dengan mengendap-endap diambil-
nya. Gadis itu kembali bersembunyi di tempatnya tadi sambil menunggu pemuda itu
selesai mandi. Memang, setelah seharian berlari menembus ma-
lam, Rangga merasa perlu untuk menyegarkan diri di sungai. Cukup lama tubuhnya
berendam, dan kini
bersiap untuk naik.
"Hei"! Ke mana pakaianku" Pedangku" Astaga!"
Rangga terkejut begitu melihat pakaian serta pedangnya yang ditinggal di tepi
sungai telah lenyap.
Rangga mencari-cari di ujung sungai kalau-kalau
terhanyut, namun tak terlihat juga. Hatinya mulai curiga. Pendengarannya segera
ditajamkan, kalau-kalau mendengar sesuatu. Dan ternyata tidak salah.
"Sobat yang bersembunyi di balik batu itu, keluar-
lah. Aku tahu kau di sana!"
Sementara itu, Nawang Sari tersenyum nakal. Sen-
gaja dia diam untuk beberapa saat.
"Nisanak! Apakah kau yang menyembunyikan pa-
kaianku?" tanya Rangga, sudah langsung menebak ka-
lau yang bersembunyi di balik batu sebesar badan
kerbau itu seorang wanita.
Kali ini, Nawang Sari keluar dari persembunyiannya sambil tersenyum-senyum dan
mengacungkan pakaian
serta pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga
hanya menggelengkan kepala ketika mengenali gadis
itu. "Nawang Sari, apa-apaan ini" Cepat kembalikan pakaianku!" dengus Rangga,
kesal. "Hi hi hi...! Kakang, kau seperti tikus dalam got
Ambillah sendiri kalau bisa!"
"Nawang Sari, jangan bercanda. Ayo, cepat kembali-
kan pakaianku!"
"Tidak!"
"Apa maksudmu" Apakah kau ingin melihatku bugil
di depanmu?"
"Hi hi hi...! Apakah kau berani melakukannya" Co-
ba saja!" Rangga kesal mendengar jawaban yang dirasa
mempermainkan dirinya. Pemuda itu menjadi heran,
bagaimana mungkin Nawang Sari berani bicara begitu"
Biasanya, gadis-gadis akan malu dan langsung merah wajahnya bila mendengar
ancaman begitu dari seorang laki-laki. Tapi, Nawang Sari malah senyum-senyum
seperti menantang.
"Sudahlah, Nawang. Kembalikanlah pakaianku. Aku
bisa kedinginan kalau begini terus...."
"Aku akan mengembalikan pakaian dan pedangmu,
asal kau mau mengabulkan permintaanku," kata Na-
wang Sari. "Permintaan apa?"
"Katakanlah dulu kalau Kakang akan mengabul-
kannya!" "Bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya
sebelum mengetahui apa yang kau inginkan" Kalau
kau mau menyuruhku bunuh diri, bagaimana mung-
kin kukabulkan"!"
"Hi hi hi...! Tidak. Aku tak akan menyuruhmu me-
lakukan itu. Ayo, katakan kalau kau akan mengabul-
kannya." Rangga berpikir sesaat, sebelum menganggukkan
kepala. "Sungguh!"
"Dasar nakal! Tidak cukupkah jawabanku itu"!"
Rangga mulai kesal melihat tingkah gadis itu.
"Apa" Kau memakiku" Lebih baik tak usah kukem-
balikan pakaian dan pedang ini!" sahut Nawang Sari sambil memutar tubuh dan
melangkah pelan.
"Hei, Nawang! Baiklah. Aku akan mengabulkan
permintaanmu!" teriak Rangga akhirnya.
Gadis itu kembali berbalik sambil tersenyum penuh
kemenangan. "Nah, begitu kan lebih baik...."
"Ayo, cepat katakan. Apa maumu" Dan setelah itu,
kembalikan pakaian dan pedangku!"
"Eit, sabarlah sebentar. Hal ini mungkin berat ba-
gimu. Aku hanya ingin agar kau mengajakku ke mana
saja kau pergi...."
Rangga terdiam mendengar permintaan gadis itu.
"Bagaimana, Kakang" Kau pasti menyanggupinya,
bukan?" "Tak mungkin kalau selamanya."
"Kalau begitu, baiknya pakaian dan pedangmu ini
kubawa saja...."
Rangga berpikir cepat sebelum gadis itu melangkah
pergi lagi. "Baiklah. Aku akan mengabulkan permintaanmu...."
"Sungguhkah"!" bola mata gadis itu berbinar se-
nang. Rangga menganggukkan kepala, walau terpaksa.
"Kau seorang pendekar besar. Dan aku yakin, kau
pasti akan selalu menepati janji," kata Nawang Sari, seraya meletakkan pakaian
dan pedang Rangga di tepi
sungai. *** Rangga melotot garang ketika melihat gadis itu ma-
sih memperhatikannya pada jarak lima langkah.
"Hei! Apakah kau masih penasaran ingin melihatku
bugil" Ayo, ke sana dan jangan menoleh sedikit pun!"
"Eh, apa" Oh, baiklah...," kata Nawang Sari, tampak gugup dan buru-buru
berbalik. Dia kemudian melangkah menjauhi tempat itu ketika Rangga melompat dari
dalam sungai dan buru-buru berpakaian.
"Sudah...?"
Rangga diam saja sambil menyibakkan rambutnya.
Gadis itu menoleh sekilas, dan tersenyum lega. Lalu, dihampirinya Rangga ketika
telah berpakaian.
"Kenapa kau bisa tiba di sini?"
"Hm.... Kebetulan saja, karena langkah kakiku me-
nuntunku ke sini...."
Rangga menatap gadis itu tajam-tajam.
"Kenapa" Ada yang aneh" Pandan Wangi mengata-
kan kepadaku tentang kepergianmu. Dan aku pun me-
rasa tak mau mengganggunya. Jadi, aku menentukan
sendiri langkah serta jalan hidupku," kata Nawang Sari berusaha mengusir praduga
di benak Rangga tentang
dirinya. "Sejak kapan kau pergi?"
"Ya, sejak tadi malam tentunya!" sahut Nawang Sari pendek.
"Dan kau tiba di tempat ini sejak tadi?"
"Kata siapa" Aku baru saja tiba dan melihat kau sedang mandi di sini."
Rangga tersenyum tipis, lalu berjalan pelan. Semen-
tara Nawang Sari mengikuti di sebelahnya.
"Nawang! Untuk perempuan lemah yang tak memi-
liki kemampuan ilmu olah kanuragan sepertimu, jalan di waktu malam adalah sangat
membahayakan. Kemudian yang kedua, jarak tempat itu ke sini cukup
jauh. Rasanya mustahil kau dapat menempuh perjala-
nan dalam waktu secepat ini. Hm.... Apa lagi yang
akan kau sembunyikan dariku...?"
"Aku tak menyembunyikan apa-apa darimu. Kena-
pa" Apakah kau tak mempercayai ceritaku?"
"Lalu bagaimana caranya kau bisa tiba di sini secepat ini" Atau barangkali kau
ingin mengatakan kalau memiliki ilmu terbang?"
"Aku..., aku. Eh..., aku menunggang kuda...."
"Menunggang kuda?"
"Kenapa" Aneh" Apakah tidak boleh seorang gadis
desa dan lemah sepertiku menunggang kuda?"
"Kau gadis desa yang istimewa dan tak umum. En-
tahlah. Aku banyak tak mengerti ceritamu...," gumam Rangga tersenyum kecil
sambil menggeleng lemah.


Pendekar Rajawali Sakti 98 Asmara Bernoda Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak memintamu untuk mempercayai ceritaku,
Kakang." "Lalu apa gunanya memintaku untuk selalu menga-
jakmu ke mana saja aku pergi?"
"Karena..., karena..., ah! Begitu kejamkah hatimu
terhadap gadis malang sepertiku" Aku tak tahu, ke
mana harus pergi. Dan saat ini, hanya kaulah satu-
satunya yang bisa kupercaya. Apakah aneh bila kemudian aku merasa kalau kaulah
satu-satunya orang
yang kuanggap dekat denganku dan memperhatikan
hidupku?" Rangga terdiam tanpa menghentikan langkahnya.
"Kakang Rangga! Apakah kau keberatan dengan
permintaanku itu" Aku betul-betul tak tahu harus ke
mana. Berjalan seorang diri bagi gadis lemah sepertiku sangat membahayakan. Dan
itu pernah ku alami. Kalau saja kau tak cepat datang, entah bagaimana nasibku
menanggung malu yang tiada terkira...," ratap Nawang Sari lirih dan terisak
kecil. Rangga menoleh sekilas. Tampak gadis itu menutup
wajahnya sambil berlari kecil menjauh. Lalu kesedi-hannya ditumpahkan di bawah
sebatang pohon. Mau
tak mau, Rangga menjadi iba dan menggeleng pelan.
Didekati dan ditepuknya bahu gadis itu lembut.
"Sudahlah, kenapa untuk soal itu saja kau menan-
gis...?" "Bagimu mungkin tak terlalu memusingkan. Tapi,
apakah kau bisa merasakan bagaimana aibnya bila
seorang gadis telah kehilangan kehormatannya" Hidup pun tak lebih mulia
dibanding seonggok sampah yang menjijikkan!" dengus Nawang Sari sengit di antara
isak tangisnya.
Rangga terdiam. Sulit, apa yang harus dilakukan-
nya dalam keadaan begini. Bicara salah dan diam pun terasa menyiksa. Akhirnya,
Rangga hanya bisa mon-dar-mandir sambil mendesah pelan dengan wajah bin-
gung. Sesekali dilihatnya gadis itu. Barangkali saja tangisnya sudah reda.
Nawang Sari terdiam, namun
wajahnya masih menekuri batang pohon. Dan Rangga
jadi ragu-ragu untuk menegurnya.
"Sudahlah, Nawang. Maafkan kalau kata-kataku ta-
di menyinggung perasaanmu...."
Nawang Sari diam tak memberikan jawaban.
"Ayolah. Mari kita lanjutkan perjalanan...."
"Kau harus berjanji dulu."
"Tadi memenuhi permintaanmu, dan sekarang ha-
rus berjanji lagi. Lalu, sebentar lagi apa?" tanya Rangga bernada kesal.
"Kau pasti sangat membenciku, Kakang...," lirih suara Nawang Sari, seperti tak
mempedulikan kata-kata Rangga.
"Tidak. Kenapa aku mesti membencimu...?"
"Sungguh, kau tak membenciku?"
Nawang Sari berbalik dan langsung menatap Rang-
ga dalam-dalam. Dan pemuda itu berusaha tersenyum
manis, seraya membalas tatapan Nawang Sari.
"Jawablah pertanyaanku, Kakang...."
"Aku harus jawab apa?"
"Kau membenciku, bukan?"
"Tidak!"
"Kalau kau tak membenciku, berarti kau..., kau
menyukaiku...?"
"Apa maksudmu, Nawang Sari" Bicaramu semakin
membuatku bingung saja. Sudahlah, lupakanlah hal
itu...," Rangga berbalik lalu melangkah pelan.
Nawang Sari mengikuti kembali di sampingnya.
"Apakah Pandan Wangi itu kekasihmu...?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Aku hanya ingin tahu. Tidak boleh" Hm, aku se-
makin yakin kalau kau mencintai Pandan...."
Rangga tersentak juga mendengar ucapan gadis itu.
Dipandangnya Nawang Sari agak lama.
"Nawang Sari. Rasanya aku memang harus berterus
terang padamu. Antara aku dengan Pandan Wangi
memang mempunyai hubungan khusus. Dan itu su-
dah terjalin cukup lama," kata Rangga, berterus terang.
"Oh, apa"!" Nawang Sari terkejut seraya memaling-
kan muka. Makin kuat dugaannya kalau Pandan Wan-
gi memang kekasih Rangga. Semalam dia telah melihat Rangga dicium Pandan Wangi.
Dan kini, Rangga mengakui kalau sudah menjadi kekasih Pandan Wangi.
"Nawang! Kau kenapa"!"
Tanpa sadar Rangga menarik kedua bahu Nawang
Sari hingga wajah mereka saling bertemu. Namun be-
lum lagi Rangga mendapat jawabannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Nawang Sari! Hm.... Bagus benar perbuatanmu
itu!" "Heh"!"
"Sidarta..."!" desis Nawang Sari ketika mengenali
orang yang hadir di tempat itu.
Tampaklah seorang pemuda gagah bertubuh tinggi
kekar, tengah berdiri tegak pada jarak sepuluh tombak di belakang mereka. Kedua
tangannya disilangkan di depan dada. Rambutnya yang pendek dan kaku, diikat
sehelai kain merah. Kulitnya sawo matang agak kehitam-hitaman, dan wajahnya
terlihat kasar.
"Nawang Sari, kemari kau!" bentak pemuda itu ke-
ras. "Huh! Sidarta, kau pikir siapa dirimu hingga berani membentak keras padaku"!"
dengus Nawang Sari sengit. "Hm, bagus. Rupanya kau telah kepincut bocah ini.
Asal kau tahu, Nawang. Siapa pun orang yang telah
berani mendekatimu, maka mesti berhadapan dengan-
ku!" "Hi hi hi...! Sidarta, kau boleh saja bermimpi. Tapi, aku berhak menentukan
jalan hidupku sendiri. Hm....
Kenapa kau merasa menjadi kekasihku. Padahal, me-
lihat tampangmu saja aku sudah jijik!"
"Kurang ajar!" pemuda yang dipanggil Sidarta itu
memaki seraya mendekati.
Sidarta langsung memandang tajam ke arah Rang-
ga, dan menuding sinis.
"He, Bocah" Pergilah dari hadapanku sebelum ku-
hajar! Karena ulahmu, Nawang Sari berani berkata kasar begitu. Ayo, pergi! Atau
perlu kutendang"!"
"Kisanak, jaga kata-katamu itu. Aku sama sekali...."
Kata-kata Rangga terpaksa berhenti ketika dengan
gusar Sidarta sudah langsung mengayunkan kepalan
tangannya. "Mampus!"
Tapi Rangga cepat memapak pukulan Sidarta den-
gan telapak tangan kirinya yang mengembang.
Tap! Tiba-tiba, Sidarta memutar tubuhnya. Sementara,
tangan kirinya mengibas ke arah pelipis. Namun,
Rangga cukup jeli. Cepat-cepat kepalanya ditunduk-
kan untuk menghindarinya.
Mendapat serangannya gagal, Sidarta semakin ka-
lap saja. Maka langsung tendangannya diayunkan ser-ta pukulan bertubi-tubi.
Melihat serangan bertubi-tubi ini, Rangga jadi kesal juga. Apalagi sebelumnya
sikap pemuda itu begitu
sombong. Bahkan sama sekali tak memandang sedikit
pun padanya. Hal itu sudah cukup membuat Rangga
ingin memberi pelajaran.
Maka ketika satu serangan Sidarta meluncur
menghantam ke arah muka, Rangga cepat menangkis
dengan tangan kirinya. Bahkan langsung ditangkapnya pergelangan tangan lawan.
Lalu dengan kecepatan
yang sulit diduga, lutut kanannya bergerak menghajar perut lawan, setelah
menarik tangan Sidarta.
"Hih!"
Bugk! "Ugkh...!"
Sidarta mengeluh kesakitan. Dan dalam keadaan
tangan masih tergenggam, Sidarta kontan terbungkuk.
Kesempatan ini digunakan Rangga untuk mengangkat
tubuhnya ke belakang. Langsung dibantingnya Sidarta dengan keras ke tanah.
Kembali Sidarta berteriak kesakitan, lalu berusaha bangkit dengan gemas. Namun
Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat bergerak. Langsung dilepaskannya satu
tendangan cepat, menghajar dagu Sidarta.
Diegkh! "Ugkh...!"
Kembali Sidarta tersungkur dengan beberapa buah
gigi tanggal serta bibir pecah mengeluarkan darah. Wajahnya mencium tanah dengan
keras. "Kisanak, kukira cukuplah pelajaran ini agar lain
kali kau bisa bersikap sopan pada orang lain!" dengus Rangga dingin, sambil
menatap tajam pemuda itu.
Sidarta mendengus geram. Hajaran Rangga tadi su-
dah cukup membuat nyalinya ciut dan tak berani
mencoba menyerang kembali. Sorot matanya tajam
bergantian memandang Rangga dan Nawang Sari.
Sambil mengusap darah yang keluar dari bibirnya, dia mendengus sinis.
"Baiklah. Aku mengaku kalah. Kau boleh berbuat
apa saja terhadap Nawang Sari. Tapi, ingat! Dia tetap milikku. Dan tak kuizinkan
seorang pun untuk men-dekatinya. Tidak juga kau! Hari ini kau boleh menang.
Tapi nanti, aku akan datang lagi untuk menagih kepalamu!"
Rangga tak melayani amarah yang dilontarkan Si-
darta. Dibiarkannya pemuda itu pergi, meski Nawang Sari hendak bergerak memungut
sebuah batu. Mak-sudnya, hendak dilemparkan ke arah Sidarta.
"Kenapa, Kakang" Kau terlalu berbaik hati pada
orang yang akan berbuat kurang ajar padamu!"
Suramnya Bayang Bayang 36 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Ilmu Ulat Sutera 3
^